Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PEMBATALAN WASIAT ORANG TUA TERHADAP ANAK
(Studi Putusan Nomor 0214/Pdt.G/2017/PA.Pbr, Nomor 0027/Pdt.
G/2017/PTA.Pbr, Nomor 558 K/Ag/2017)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
IRWAN HIDAYAT
NIM: 11150440000009
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1441 H/2019 M
v
ABSTRAK
Irwan Hidayat, NIM 11150440000009. Pembatalan Wasiat Orang Tua
Terhadap Anak (Studi Putusan Nomor 0214/Pdt. G/2017/PA.Pbr, Nomor 0027/Pdt.
G/2017/PTA. Pbr, dan Nomor 558 K/Ag/2017 ). Program Studi Hukum Keluarga
(Ahwal Syakhsiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2019 M. ( xiii + 71 halaman).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: a) Bagaimana pembatalan wasiat
orang tua terhadap anak menurut Hukum Islam dan Hukum yang berlaku di
Indonesia, b) Apa yang menjadi pertimbangan Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tinggi Agama Pekanbaru yang menolak gugatan pembatalan wasiat orang tua
terhadap anak dan Hakim Kasasi yang mengabulkan pembatalan wasiat orang tua
terhadap anak. c) Dan bagaimana masing-masing putusan tersebut ditinjau dari
Hukum Islam dan peraturan yang berlaku di Indonesia
Di dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan normatif doktiner
yaitu pendekatan yang menggunakan rumusan-rumusan berdasarkan Al-Quran, Hadits
dan peraturan yang berlaku di Indonesia kemudian dihubungkan dengan putusan
Nomor 0214/Pdt.G/2017/PA.Pbr, Nomor 0027/Pdt.G/2017/PTA.Pbr dan Nomor 558
K/Ag/2017 lalu kemudian di analisis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: a) Para fuqaha berbeda pendapat
tentang pembatalan wasiat orang tua terhadap anak. Menurut Mazhab Syafi‟i wasiat
kepada ahli waris dibolehkan jika ada izin dari ahli waris lainnya. Apabila wasiat
telah terlanjur diberikan sedangkan ahli waris lain tidak setuju maka wasiat itu harus
dibatalkan. Sedangkan menurut kalangan Malikiyah, Al-Muzanni, dan Zahiriyah tidak
boleh wasiat kepada ahli waris, dengan demikian jika terjadi wasiat kepada ahli waris,
wasiat tersebut wajib untuk dibatalkan. Adapun menurut peraturan yang berlaku di
Indonesia pasal 195 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam, wasiat kepada ahli waris
dibolehkan jika ahli waris lain menyetujuinya. Namun jika terjadi wasiat kepada ahli
waris namun tidak ada persetujuan dari ahli waris lain maka wasiat tersebut harus
dibatalkan. b) Pengadilan Agama dan Pengadilan Agama Tinggi Pekanbaru menolak
gugatan pembatalan wasiat orang tua terhadap anak dengan pertimbangan bahwa
gugatan Penggugat obsur libel gugat prematur dan error in persona karena penggugat
bukanlah orang yang mempunyai hak dan berkepentingan (persona standi in judicio).
Kemudian MA yang mengabulkan gugatan Penggugat karena Para Pemohon Kasasi
atau Para Penggugat memiliki legal standing untuk membatalkan wasiat yang
mempunyai hak terhadap objek wasiat yang merupakan harta orang tua Para Pemohon
Kasasi atau Para Penggugat serta hak dalam memberikan persetujuan atau tidak
memberi persetujuan atas harta tersebut. c) Ditinjau dari Hukum Islam dan peraturan
yang berlaku di Indonesia, putusan pada Tingkat I dan Tingkat Banding, hakim keliru
dalam memutuskan kasus ini karena Penggugat memiliki legal standing dalam
membatalkan wasiat karena mempunyai hak dan kepentingan atas harta orang tua.
Kemudian di Tingkat Kasasi dilihat hakim sudah sesuai dalam memutuskan perkara
ini, hal tersebut sudah sesuai dengan ditetapkannya syariat (maqashid al-syariah)
yang dalam hal ini masuk dalam kategori hifdzu al mal (menjaga harta).
Kata Kunci : Pembatalan, Surat Wasiat, Anak
Pembimbing : Dr. Mesraini, S.H., M.Ag.
Daftar Pustaka : 1982 s.d 2018
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, Segala puja dan puji syukur penulis panjatkan
kepada Tuhan semesta alam, Allah SWT. Sebuah kesyukuran yang mendalam atas
segala nikmat, ma‟unah, hidayah serta karunia Allah kepada kita semua khususnya
kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan Judul
“Pembatalan Wasiat Orang Tua Kepada Anak (Studi Putusan (Studi Putusan Nomor
0214/Pdt.G/2017/PA.Pbr Nomor 0027/Pdt. G/2017/PTA Nomor 558 K/Ag/2017).
Shalawat serta salam tak lupa penulis curahkan kepada baginda besar Nabi
Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya menuju jalan yang lurus dan yang
diridhoi oleh Allah SWT.
Penulis amat terharu, bersyukur dan gembira sekali, karena telah
menyelesaikan tugas akhir dalam jenjang pendidikan Srata Satu (SI) ini, sehingga bisa
memperoleh gelar Sarjana Hukum lulusan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Penulis juga meminta maaf yang sebesar-besarnya apabila
skripsi ini kurang berkenan bagi para pembaca, karena penulis menyadari bahwa
skripsi penulis jauh dari kata kesempurnaan.
Perlu diketahui bahwa selama penulis masih di bangku perkuliahan sampai
pada tahap akhir ini yakni penulisan skripsi, penulis mendapatkan banyak pendidikan,
arahan, bantuan, masukan, serta dukungan yang luar biasa dari para pihak. Oleh
karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya khususnya
kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., Rektor Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta berikut para wakil
Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
3. Dr. Mesraini, S.H., M.Ag., dan Ahmad Chairul Hadi, M.A., selaku Ketua
Program Studi Hukum Keluarga dan Sekretaris Program Studi Hukum
Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum, atas jasa-jasa beliau berdualah yang
membuat penulis bersemangat untuk menjadi mahasiswa yang unggul dan
vii
bermanfaat, selalu mendukung penulis di tengah-tengah kesibukannya serta
memotivasi penulis untuk secepatnya menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
4. Dr. H. Ahmad Juaini Syukri, M.A., selaku Dosen Penasehat Akademik yang
tak kenal lelah membimbing penulis serta mendampingi penulis dengan
penuh keikhlasan dan kesabaran sampai pada tahap semester akhir di Fakultas
Syariah dan Hukum tercinta ini, khususnya pada penyelesaian skripsi penulis.
5. Dr. Mesraini, S.H., M.Ag., selaku Dosen Pembimbing Skripsi penulis, yang
selalu membimbing penulis dengan penuh kesabaran di tengah kesibukan
yang beliau hadapi, memberikan arahan serta masukan yang sangat positif
untuk perumusan dan penyusunan skripsi ini, sehingga merupakan suatu
kebanggaan tersendiri bagi penulis karena telah dibimbing oleh orang hebat
seperti beliau.
6. Kedua orang tua penulis, ayahku tercinta Nurjasri, dan ibuku tersayang
Rosnita, terima kasih atas kasih sayangmu yang tiada tara, pengertianmu yang
sangat membuatku bahagia, doa-doamu tiap malam, dukunganmu yang luar
biasa ketika Ananda sedang jatuh terpuruk, serta didikanmu selama ini,
sehingga karena kalian berdualah Ananda terinspirasi untuk menyelesaikan
skripsi ini.
7. Kepada kakak-kakaku tercinta Yoni Fasri, Febri Satria dan M. Ridwan yang
selalu menyemangati penulis dan mengingatkan penulis untuk menjadi
pribadi yang lebih baik kedepannya khususnya dukungan untuk pembuatan
skripsi ini.
8. Kepada para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah mendidik
penulis dan memberikan keilmuannya sehingga skripsi ini dapat tuntas.
9. Kepada Keluarga Besar Ayahku, dan Keluarga Besar ibuku, saudara-
saudaraku, pakde dan budeku, sepupu-sepuku yang sangat penulis cintai dan
penulis banggakan.
10. Kepada sahabat-sahabat Alumni MAN 2 Payakumbuh yang senantiasa
memberikan semangat kepada penulis.
11. Teman-teman KMM (Keluarga Mahasiswa Minangkabau) Ciputat khususnya
angkatan 2015, yang telah berbagi ilmu dan selalu ,mendoakan penulis
sehingga selesainya skripsi ini.
viii
12. Teman-teman Pramuka UIN Jakarta Fatahillah-Nyimas Gandasar mulai dari
Angkatan Bacem (semangat pembinaannya), Angkatan Pasrah (kritis yang
luar biasa), Angkatan Batu (angkatan ini penulis merasakan manis dan
asamnya perjuangan di Pramuka UIN Jakarta) dan Angkatan 2014 sampai
angkatan pertama kali pembentukan Pramuka UIN Jakarta, Dewan
Kehormatan Pandega, Senioren dan kakak lainnya yang tidak dapat di
sebutkan satu persatu yang selalu memberikan masukan dan semangat dalam
membagi waktu antara organisasi dan kewajiban kuliah.
13. Kepada sahabat-sahabat terbaik penulis, Lutfi Zakaria, Ilham Ramdani (teman
seperjuangan paling jos dari awal kuliah sampai skripsi), Noufal, Rizki, Agus,
Dani, Imam (teman kosan terheboh), Azka, Wafi, Mukhlis, Iyef, Yoga, Rozak
(teman kosan beneran) Syahrul Ramdhani (Ayung), Nazim (kawan skripsian),
Ridwan, Mahmudin, Firhan (teman berantam dalam berdiskusi yang tidak
habisnya dan tidak pernah baper), Kindy, Ipong (teman angkatan yang luar
biasa dalam pengabdian kepada Racana) dan masih banyak lagi teman-teman
penulis yang tidak tercantum di sini akan tetapi tidak mengurangi rasa hormat
dan sayang penulis kepada mereka, terima kasih atas dukungan kalian selama
ini, kalian terbaik!
Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT membalas jasa-jasa mereka,
kebaikan mereka, dan melindungi mereka baik di dunia maupun di akhirat kelak,
aamiin! Semoga skripsi ini membawa berkah dan banyak manfaat bagi para pembaca
walaupun masih banyak kekurangan dan belum sempurna, karena kesempurnaan
hanya milik Allah SWT. Wallahu a‟lam bi al-Showab.
Jakarta, 10 November 2019
Irwan Hidayat
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing
(terutama Arab) ke dalam tulisan Latin dimana istilah Arab tersebut belum dapat
diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup penggunaannya masih terbatas.
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
H ha dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis bawah ص
D de dengan garis bawah ض
T te dengan garis bawah ط
Z zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan „ ع
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Qo ق
x
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrop ˋ ء
Y Ya ي
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti bahasa Indonesia, memiliki vokal atau
monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau monoftong,
ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
A Fathah
I Kasrah
U Dammah
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
Ai a dan i ي
Au a dan u و
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
diimbangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
 a dengan topi di
atas
Î i dengan topi di
xi
atas
Û u dengan topi di
atas
Kata sandang, dalam bahasa Arab dilambangkan dengan alif dan lam (ال),
dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau huruf
qomariyyah. Misalnya:
al-ijtihâd = الإجتهاد
al-rukhsah, bukan ar-rukhsah = الرخصة
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak berlaku
jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti
oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:
.al-syuf‟ah tidak ditulis asy-syuf‟ah = الشفعة
Dalam penulisan ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat
contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbȗtah
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti dengan kata benda (isim), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
“t” (te) (lihat contoh 3).
No. Kata Arab Alih Aksara
syarî‟ah شريعة 1
al-syarî‟ah al-islâmiyyah الشريعة الإسلامية 2
muqâranat al-madzâhib مقارنة المذاىب 3
Untuk huruf kapital tidak dikenal dalam tulisan Arab. Tetapi dalam
transliterasi huruf ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diketahui bahwa jika nama diri didahului
oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal
nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Contoh: البخاري = al-Bukhâri
tidak ditulis Al-Bukhâri.
xii
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara
ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal. Berkaitan
dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia Nusantara sendiri,
disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut berasal dari bahasa
Arab, Misalnya: Nuruddin al- Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
Setiap kata, baik kata kerja (fi‟il) kata benda (isim) atau huruf (harf), ditulis
secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih akasara dengan berpedoman pada
ketentuan-ketentuan diatas:
No Kata Arab Alih Aksara
-al-darûrah tubîhu al الضرورة تبيح المحظورات 1
mahzûrât
al-iqtisâd al-islâmî الاقتصاد الإسلامي 2
usûl al-fiqh أصول الفقو 3
al-„asl fî al-asyya الأصل في الأشياء الإباحة 4 al-ibâhah
al-maslahah al-mursalah المصلحة المرسلة 5
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................................... iv
ABSTRAK ..................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................................ vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................................ ix
DAFTAR ISI ............................................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................ 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 5
D. Kajian (Review) Studi Terdahulu ....................................................... 6
E. Metode Penelitian ............................................................................... 7
F. Sistematika Penulisan ......................................................................... 9
BAB II WASIAT DAN HIBAH MENURUT FIQH DAN PERUNDANG-
UNDANGAN DI INDONESIA
A. Wasiat
1. Pengertian Wasiat ........................................................................ 10
2. Dasar Hukum Wasiat ................................................................... 12
3. Rukun Wasiat dan Syarat-Syarat Wasiat ..................................... 14
4. Tata Cara Pelaksanaan Wasiat ..................................................... 18
5. Pembatalan Wasiat ...................................................................... 21
B. Hibah
1. Pengertian Hibah .......................................................................... 23
2. Dasar Hukum Hibah .................................................................... 25
3. Rukun Hibah ................................................................................ 27
4. Syarat-Syarat Hibah ..................................................................... 28
5. Penarikan Hibah ........................................................................... 31
xiv
BAB III GAMBARAN PUTUSAN PEMBATALAN WASIAT ORANG
TUA TERHADAP ANAK NOMOR 0214/Pdt. G/2017/PA.Pbr,
NOMOR 0027/Pdt. G/2017/PTA. Pbr, dan NOMOR 558
K/AG/2017
A. Penetapan Nomor 0214/Pdt. G/2017/PA.Pbr
1. Posisi Kasus ................................................................................. 34
2. Putusan dan Pertimbangan Hakim ............................................... 39
B. Penetapan Nomor 0027/Pdt. G/2017/PTA. Pbr
1. Posisi Kasus ................................................................................. 42
2. Putusan dan Pertimbangan Hakim ............................................... 45
C. Penetapan Nomor 558 K/AG/2017
1. Posisi Kasus ................................................................................. 47
2. Putusan dan Pertimbangan Hakim ............................................... 48
BAB IV TINJAUAN HUKUM WASIAT ISLAM DI INDONESIA
TERHADAP PENETAPAN HAKIM DALAM PEMBATALAN
WASIAT ORANG TUA TERHADAP ANAK
A. Analisis Putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama
Pekanbaru yang menolak Pembatalan Wasiat Orang Tua Terhadap
Anak ................................................................................................. 51
B. Analisis Kasasi Mahkamah Agung yang Mengabulkan Pembatalan
Wasiat Orang Tua Terhadap Anak .................................................. 62
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................... 66
B. Saran ................................................................................................ 67
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 68
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Orang yang memiliki harta terkadang berkeinginan agar hartanya
kelak ia meninggal dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan yang
dibutuhkan orang lain dengan harta yang ia wasiatkan untuk orang lain.1 Di
dalam Islam wasiat adalah satu cara untuk memberikan harta benda kepada
orang yang akan diberikan wasiat. Wasiat sendiri juga merupakan hal yang
sangat penting supaya tidak terjadi sengketa antara ahli waris. Para ahli
hukum Islam mengemukakan bahwa wasiat adalah pemilikan yang
didasarkan pada orang yang menyatakan wasiat sudah meninggal dunia
dengan tujuan untuk jalan kebajikan tanpa mengharap imbalan.2 Wasiat
adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang
ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang
yang berwasiat mati.3
Para fuqaha‟ Hanafiyah, Malikiyah, Syafi‟iyah dan Hanabilah secara
umum mengartikan wasiat sebagai hak mengalihkan memiliki secara
sukarela (tabarru‟) yang pelaksanaanya ditangguhkan setelah adanya
peristiwa kematian.4
Dengan demikian, wasiat merupakan pernyataan seseorang kepada
orang lain untuk memberikan hartanya, membebaskan utang atau
memberikan manfaat suatu barang miliknya setelah meninggal dunia.5
Inisiatif untuk berwasiat biasanya bersifat sepihak, artinya kehendak untuk
memberikan harta, membebaskan utang atau memberikan manfaat dari suatu
barang tersebut datang dari pihak pewasiat. Sejalan dengan pandangan ilmu
1 Oemarsalim, Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006), h.
82. 2 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media
Grup, 2008), h. 149. 3 M. Fahmi Al Amruzi, Rekonstrusi Wasiat Wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam,
(Yogyakarta : Aswaja Pressindo, 2000), h. 124. 4 KH. Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris Al-Faraidl, (Surabaya: Pustaka
Hikmah Perdana, 2005), h. 223. 5 Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 104
2
hukum, bahwa wasiat merupakan perbuatan hukum sepihak (merupakan
pernyataan sepihak), jadi dapat saja wasiat dilakukan tanpa dihadiri oleh
penerima wasiat, dan bahkan dapat saja dilakukan dalam bentuk tertulis.6
Oleh karenanya wasiat ini dapat digolongan pada akad yang bersifat
sepihak.
Motivasi pewasiat memberikan wasiat kepada seseorang
bermacam-macam, seperti berwasiat kepada orang yang telah banyak
berjasa kepadanya dan membantu usahanya selama pewasiat hidup
sementara orang tersebut bukanlah bagian dari keluarga yang memperoleh
bagian harta warisan. Dengan demikian faktor yang paling memotivasi
seseorang memberikan wasiat adalah faktor kemanusiaan, keikhlasan dan
ketulusan dari orang yang berwasiat.7
Namun demikian, dalam pelaksanaan adakalanya tidak berjalan
sesuai dengan harapan pewasiat. Seperti kasus yang terjadi di Pengadilan
Agama Pekanbaru Nomor: 0214/Pdt.G/2017/PA.Pbr. Di mana orang tua
yang bernama Prof. Dr. H. TR, M. Kes yang memiliki empat orang anak.
Sebelum wafatnya orang tua, dia membuat wasiat bahwa di memberikan
harta pada salah satu anaknya bernama Dr. dr. Hj. SAT kemudian Dr. IT
dengan alasan meneruskan usaha Yayasan Abdurrab yang meliputi Rumah
Sakit Abdurrab dan Universitas Abdurrab. ada dua orang anak yang
menggugat orang tuanya yang berkaitan dengan surat wasiat pada tanggal
08 Januari 2009. Penggugat satu dan dua merasa keberatan atas surat
wasiat tersebut karena melanggar pasal 195 ayat (1) dan pasal 195 ayat (3)
Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi wasiat dilakukan secara lisan di
hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau di
hadapan Notaris dan wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh
semua ahli waris. Pada tingkat pertama majelis hakim menolak gugatan
dari para penggugat di karenakan menurut majelis hakim bahwasannya
6 Suhrawardi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), h. 44. 7 Nurnazli, “Kontruksi Hukum Islam Tentang Pembatalan Dan Pencabutan Wasiat”,
Jurnal Ijtima‟iyya, Vol 9, No. 2 Agustus 2016, h. 78.
3
tidak ada ketentuan di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) untuk
membatalkan surat wasiat akibat adanya pihak yang merasa keberatan
dengan surat wasiat tersebut. Setelah adanya putusan pertama tersebut para
penggugat masih belum puas dengan putusan majelis hakim tingkat
pertama dan para penggugat melanjutkan upaya hukum ke tingkat banding
ke Pengadilan Tinggi Agama Pekanbaru Nomor: 0027/Pdt. G/2017/PTA.
Pbr. Di tingkat banding hakim menguatkan apa yang menjadi putusan
hakim di tingkat pertama yang mana menolak gugatan dari penggugat
dikarenakan menurut majelis hakim bahwasannya para penggugat bukan
orang yang berhak untuk mengajukan gugatan, karena diwakilkan oleh
kuasa hukum. Sedangkan ditingkat Kasasi Mahkamah Agung Nomor: 558
K/Ag/2017, Hakim Kasasi membatalkan putusan Hakim tingkat satu dan
dua bahwa secara materil surat wasiat yang dibuat oleh termohon kasasi
pada tanggal 08 Januari 2009 tidak sejalan dengan Hukum Islam. Di dalam
Kasus ini, penulis menemukan perbedaan putusan hakim PA dan PTA
Pekanbaru dengan Putusan Hakim Tingkat Kasasi. Oleh karena itu penulis
tertarik ingin mengkaji lebih dalam lagi apa yang menjadi pertimbangan
majelis hakim pada masing-masing pengadilan tersebut dan bagaimana
putusan majelis hakim pada masing-masing tingkatan tersebut ditinjau dari
hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Kajian
tersebut akan penulis paparkan dalam bentuk skripsi dengan Judul:
“Pembatalan Wasiat Orang Tua Terhadap Anak (Studi Putusan Nomor.
0214/Pdt. G/2017/PA.Pbr, Nomor 0027/Pdt. G/2017/PTA. Pbr, DAN
Nomor 558 K/AG/2017 )”
4
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
a. Bagaimana ketentuan surat wasiat orang tua terhadap anak
dalam perspektif Hukum Islam dan hukum positif yang berlaku
di Indonesia?
b. Apa dasar pertimbangan hakim tingkat pertama yang
menyetujui surat wasiat orang tua kepada anak dalam putusan
Nomor 0214/Pdt.G/2017/PA.Pbr.?
c. Apa dasar pertimbangan hakim tingkat banding yang
menguatkan putusan hakim tingkat pertama dalam penentuan
surat wasiat orang tua terhadap anak dalam putusan Nomor
0027/Pdt. G/2017/PTA?
d. Apa dasar pertimbangan hakim tingkat kasasi yang
membatalkan putusan hakim tingkat pertama dan tingkat
banding dalam penentuan surat wasiat orangtua terhadap anak
dari hasil putusan Nomor 558 K/Ag/2017?
e. Bagaimana putusan hakim pada masing-masing tingkat tersebut
ditinjau dari Hukum Islam dan Perundang-undangan di
Indonesia?
2. Batasan Masalah
Dalam skripsi ini penulis hanya membatasi dan berfokus
pada putusan Nomor. 0214/Pdt. G/2017/PA.Pbr, Nomor 0027/Pdt.
G/2017/PTA. Pbr, dan Nomor 558 K/AG/2017. Dan yang disoroti
dalam skripsi ini hanyalah persoalan pembatalan wasiat yang
diberikan oleh orang tua terhadap anak, bukan ahli waris lain.
Pembatalan itu pun dibatasi hanya wasiat yang berkaitan
peruntukkan harta saja, tidak materi wasiat lain.
5
3. Perumusan masalah
a. Bagaimana ketentuan pembatalan wasiat orang tua terhadap
anak menurut Hukum Islam dan hukum yang berlaku di
Indonesia?
b. Apa yang menjadi pertimbangan Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama Pekanbaru yang menolak gugatan
pembatalan wasiat orang tua terhadap anak dan Hakim Kasasi
yang mengabulkan pembatalan wasiat orang tua terhadap anak?
c. Bagaimana masing-masing putusan tersebut ditinjau dari
Hukum Islam dan peraturan yang berlaku di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui ketentuan pembatalan wasiat orang tua terhadap
anak menurut Hukum Islam dan hukum yang berlaku di Indonesia.
b. Untuk mengetahui pertimbangan Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama Pekanbaru yang menolak gugatan
Pembatalan wasiat orang tua terhadap anak dan Hakim Kasasi
yang mengabulkan pembatalan wasiat orang tua terhadap anak
Untuk mengetahui perbandingan pertimbangan hakim tingkat
pertama sampai tingkat kasasi dalam hal penentuan surat wasiat
orangtua terhadap anak dan bagaimana masing-masing putusan
tersebut ditinjau dari Hukum Islam dan peraturan yang berlaku di
Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat , yaitu :
a. Memberikan sumbangan pemikiran dan ilmu pengetahuan
dalam perkembangan ilmu hukum keluaga pada umumnya dan
konsep wasiat pada khususnya.
b. Menjadi rujukan bagi akademisi tentang bagaimana analisa
secara mendalam mengenai Wasiat.
6
c. Selanjutnya menjadi bahan tambahan terhadap mahasiswa yang
akan melakukan penelitian berkaitan dengan wasiat.
D. Review Studi Terdahulu
Dari hasil penelusuran pada karya tulis ilmiah yang berkaitan
dengan Wasiat ternyata memiliki sejumlah bahasan yang berbeda. Baik itu
secara tematik serta objek kajian yang diteliti. Adapun kajian terdahulu
yang penulis temukan diantaranya.
“Pelaksanaan Wasiat Menurut KUHPerdata di Pengadilan Negeri
Makassar (Ditinjau Dari Kompilasi Hukum Islam yang ditulis oleh
Andriawan tahun 2013 di Makassar. Penulis membahas tentang
pelaksanaan surat wasiat dan fakto-faktor yang menghambat pelaksanaan
surat wasiat menurut KUHPerdata di Pengadilan Negeri Makassar serta
pandangan Kompilasi Hukum Islam tentang wasiat menurut KUHPerdata
“Kedudukan Surat Perjanjian Terhadap Pembagian Harta Waris
Wasiat di Pengadilan Negeri Yogyakarta (Studi Putusan Perkara Nomor:
128/PDT.G/2013/PN.YK. Pengadilan Negeri Yogyakarta)”, yang ditulis
oleh Angga Wijaya, tahun 2015 di Yogyakarta. Penulis membahas tentang
adanya wanprestasi yang lahir dari wasiat tentang harta waris dan
bertujuan untuk mengetahui kedudukan surat perjanjian kesepakatan yang
telah dibuat oleh para pihak yang berpakara atas harta waris wasiat.
“Jurnal Kontruksi Hukum Islam Tentang Pembatalan dan
Pencabutan Wasiat”, yang ditulis oleh Nurnasli. Dipublikasikan dalam
jurnal Ijtima‟iyya, vol 9, No. 2, Agustus 2019. Penulis membahas tentang
bagaimana seharusnya pembatalan dan pencabutan dari wasiat tersebuat
Dari ketiga karya tulis ilmiah di atas, ada perbedaan dengan skripsi
penulis. Yaitu penelitian ini lebih menganalisis terhadap perbandingan
pertimbangan hakim dalam hal pembatalan surat wasiat orang tua terhadap
anak pada putusan Nomor 0214/Pdt.G/2017/PA.Pbr, Nomor
0027Pdt.G/2017/PTA.Pbr dan Nomor 558 K/Ag/2017.
7
E. Metode Penelitian
Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan terencana,
dilakukan dengan metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data baru
guna membuktikan kebenaran atau ketidak benaran dari suatu gejala.8
Dalam membahas penelitian ini, diperlukan suatu metode untuk
memperoleh data yang berhubungan dengan masalah-masalah yang
dibahas dan gambaran dari masalah tersebut secara jelas, tepat dan akurat,
dengan rincian sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif doktiner yaitu
pendekatan yang menggunakan rumusan-rumusan berdasarkan Al-
Quran, Hadits dan peraturan yang berlaku di Indonesia kemudian
dihubungkan dengan putusan Nomor 0214/Pdt.G/2017/PA.Pbr, Nomor
0027Pdt.G/2017/PTA.Pbr dan Nomor 558 K/Ag/2017 lalu kemudian
di analisis.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif yaitu penelitian
tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung mengunakan
analisis. Karena semua penelitian juga ada analisis.
3. Sumber Data
a. Data primer yaitu data yang berkaitan langsung dengan surat
wasiat orang tua terhadap anak yaitu putusan Nomor 0214/Pdt.
G/2017/PA.Pbr, Nomor 0027/Pdt. G/2017/PTA. Pbr, dan Nomor
558 K/AG/2017, Kompilasi Hukum Islam, KUHPerdata, dan
hukum yang berlaku di Indonesia.
b. Sumber data sekunder dari penelitian ini adalah buku-buku, jurnal,
artikel, peraturan Perundang-undangan, dan tulisan lain yang
berhubungan dengan permasalahan yang menjadi pokok dalam
bahasan dalam penelitian ini. Oleh karena itu pada umumnya data
8 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), h.
2.
8
sekunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat dipergunakan
dengan segera, dan salah satu ciri dari data sekunder tidak terbatas
oleh waktu maupun tempat.9
4. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan Studi Kepustakaan Penelusuran
Informasi dan data yang diperlukan dalam beberapa sumber.
Penyusunan dengan menggunakan studi kepustakaan dilakukan dengan
cara membaca, mempelajari serta menganalisis literatur atau buku-
buku dan sumber lainnya yang berkaitan dengan tema penelitian.
5. Metode Analisa Data
Data yang telah didapatkan oleh penulis dari hasil studi
kepustakaan, kemudian diseleksi dan disusun, setelah itu penulis
melakukan klasifikasi data, yaitu usaha mengumpulkan data
berdasarkan kategori tertentu. Selanjutnya penulis melakukan
sistematisasi data yaitu kegiatan menyusun data yang saling
bergubungan dan merupakan satu kesatuan yang bukat dan terpadu
pada sub pokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.
Analisis data dalam penelitian ini adalah dengan metode content
analysis (analisis isi) yaitu penelitian yang bersifat pembahasan
mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis, dalam hal ini adalah isi
salinan putusan Nomor 0214/Pdt. G/2017/PA.Pbr, Nomor 0027/Pdt.
G/2017/PTA. Pbr, dan Nomor 558 K/AG/2017.
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan penelitian ini merujuk pada pedoman penulisan
skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM)
Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2017.
9 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta, Universitas
Indonesia, 1986), h. 11.
9
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan dalam penulisan, skripsi ini
dibagi atas lima bab yang saling berkaitan satu sama lain.
Bab Pertama, berisikan Pendahuluan yang berhubungan erat
dengan permasalahan yang akan dibahas yaitu: latar belakang masalah,
Identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sitematika penulisan.
Bab Kedua, menjelaskan tentang ketentuan wasiat dan hibah
Menurut fiqh dan Peraturan di Indonesia yang meliputi pengertian wasiat,
dasar hukum wasiat, rukun dan syarat wasiat, tata pelaksanaan wasiat, dan
pembatalan wasiat. kemudian pengertian hibah, dasar hukum hibah, rukun
dan syarat hibah, dan penarikan hibah.
Bab Ketiga, memberikan gambaran umum putusan dan
pertimbangan hukum hakim tingkat pertama sampai dengan tingkat kasasi
dalam hal Pembatalan wasiat orang tua kepada anaknya.
Bab Keempat, merupakan bab inti yaitu dalam skripsi ini, yaitu
menganalisis pertimbangan hukum tingkat pertama, tingkat dan tingkat
kasasi dalam hal pembatalan wasiat dari perspektif Hukum Islam dan
peraturan di Indonesia.
Bab Kelima, merupakan bab akhir dalam penelitian ini, yang
terdiri dari penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran yang bersifat
membangun bagi penyempurnaan penelitian ini.
10
BAB II
WASIAT DAN HIBAH MENURUT FIQIH DAN PERATURAN
INDONESIA
A. Wasiat
1. Pengertian Wasiat
Secara bahasa wasiat mempunyai beberapa arti yaitu menjadikan,
menaruh kasih sayang, menyuruh dan menghubungkan sesuatu dengan
sesuatu yang lain.1 Wasiat diambil dari kata washshaitu al syaia, uushihi,
yang bermakna aushaituhu yaitu menyampaikan sesuatu.2 Secara
etimologi wasiat berarti pesan, nasehat, dan juga mensyari‟atkan.3 Wahbah
Zuhaili dalam bukunya Fiqih Islam Wa Adillatuhu menjelaskan wasiat
sebagai janji kepada orang lain untuk melaksanakan suatu pekerjaan
tertentu semasa hidupnya atau setelah meninggalnya, aushaitu lahu au
ilaih artinya aku memberikan pesan atau perintah untuknya. Berarti aku
menjadikan washi (pelaksana) yang akan menguasai orang setelahnya
(pihak penerima/mushaa „alaih).4
Secara terminologi wasiat diartikan sebagai penyerahan harta
benda atas kehendak sendiri dari seseorang kepada orang lain yang berlaku
setelah orang yang mewasiatkan harta tersebut meninggal dunia, baik itu
berbentuk harta benda maupun berbentuk kemanfaatan yang diberikan
oleh si pemberi.5
Mazhab Syafi‟i mengatakan bahwa wasiat adalah amal sedekah
dengan sesuatu kepada orang lain yang pantas yang disandarkan kepada
keadaan setelah orang yang memberikan meninggal dunia, baik cara
1 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2011) h. 83. 2 Suhrawardi K Lubis, dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, h. 44.
3 Sidik Tono, Kedudukan Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan, (Jakarta:
Kementerian Agama Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Direktorat
Pendidikan Tinggi Islam, 2012), h. 43. 4 Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa adillatuhu, Jilid X, Penerjemah Abdul Hayyie Al-
Kattari dkk, Cet. 1 (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 154. 5 Badran Abu Al-Ainaini Badran, Ahkam Al-Wasaya wa al-Auqaf, (Iskandariah: Musasah
Syabab al-jammi‟ah, 1982), h. 6.
11
memberikannya dengan cara memberitahu secara langsung maupun tidak.6
Menurut A. Hanafi, wasiat adalah pesan seseorang untuk
menyisihkan sebagian harta bendanya untuk orang yang ditentukan dan
pelaksanaannya terjadi setelah ia meninggal.7
Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia pasal 171 huruf f mengatur bahwa wasiat adalah
pemberian sesuatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga
yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Ketentuan wasiat ini lebih
dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 194 sampai pada
pasal 209 yang mengatur secara keseluruhan prosedur tentang wasiat.
Sedangkan dalam Pasal 875 KUHPerdata disebutkan wasiat adalah
suatu akta yang berisi pernyataan seseorang tentang apa yang akan terjadi
setelah dia meninggal dunia dan olehnya dapat ditarik kembali.
Wasiat atau sering disebut testament dalam Perdata merupakan
pernyataan keinginan seseorang mengenai apa yang akan dilakukan
terhadap harta yang dia miliki setelah meninggal dunia.8 Suatu wasiat
(testament) harus dalam bentuk tertulis yang dibuat dengan akta di bawah
tangan maupun akta autentik. Akta ini berisi tentang pernyataan kehendak
seseorang sebagai tindakan hukum sepihak. Yang dimaksud tindakan
hukum sepihak adalah pernyataan itu berasal dari orang yang memberikan
wasiat itu. Dengan kata lain testament adalah mengenai pernyataan
seseorang kepada orang lain setelah pemberi wasiat meninggal dunia.
Jadi, wasiat baru mempunyai akibat hukum setelah orang yang pemberi
wasiat meninggal dunia.9
Hukum Islam mengatur tentang waris dan wasiat akan lebih jauh
dijelaskan bahwa:10
6
M. Zuhri, Fiqh Empat Mahzab, Jilid IV, (Semarang: Asy-Syifa, 1994), h. 485. 7 A. Hanafi , Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 37.
8 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2013), h. 95.
9 Maman Suparman, Hukum Waris Perdata dalam Perspektif Islam,Adat dan BW ,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2015), h. 105.
10
A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2002), h. 416.
12
a. Wasiat wajib keluarkan kepada orang penerima wasiat hanya 1/3
dari seluruh harta kekayaan dan tidak boleh lebih dari 1/3 harta.
b. Tidak seorang pun dapat membuat wasiat, dalam hal ini ahli waris
yang sah menurut Al-Qur‟an, dengan kata lain, kerabat-kerabat
dekat mempunyai hak atau bagian sebagaimana dijelaskan di
dalam Al-Qur‟an.dalm memberikan wasiat tidak boleh lebih dari
sepertiga harta. begitu pula seseorang tidak akan mendapatkan
warisan yang sah sebelum wasiat dilaksanakan terlebih dahulu
sebelum pembagian wasiat.
Di samping petunjuk yang jelas tentang pembagian kewarisan menurut
Al-Quran dan Sunnah. Wasiat masih berlaku sebanyak-sebanyaknya 1/3
harta bahkan harus dilaksanakan dengan rasa keadilan.11
2. Hukum Wasiat
Dalil yang menerangkan kebolehan dari wasiat terdapat dalam
firman Allah SWT di dalam surat An-Nisa‟ ayat 11 yaitu:
“Artinya: sesudah di penuhinya wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya”
Dan beberapa hadits yang menerangkan bahwa tentang wasiat, di
antaranya hadits riwayat Bukhori Nomor 2587 dan Muslim Nomor 1627
dari Ibnu Umar r.a bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
لت ين إلا ووصيتو مكتوبة عنده ما حق امرئ مسلم لو شيء يوصي فيو يبيت لي
“Artinya: tidak dibenarkan bagi seorang muslim yang memiliki sesuatu
yang igin diwasiatkan sampai bermalam dua hari kecuali wasiatnya itu
sudah ditulis disampingnya”
11
A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), h. 416.
13
Dari hadits di atas bahwasanya, yang sepatutnya dilakukan oleh
orang muslim untuk berhati-hati, seharusnya ia menulis wasiat dengan
sesegera mungkin dan disunnahkan untuk dikerjakan dalam keadaan sehat
wal‟afiat.12
Para ulama berbeda pendapat mengenai wasiat. Secara keseluruhan
pendapat tersebut dibagi atas 3, yaitu: 13
1. Pendapat pertama mengatakan bahwa, wasiat diwajibkan bagi
setiap orang yang meninggal untuk meninggalkan harta, baik
sedikit maupun banyak. Pendapat ini dinyatakan oleh Az-Zuhri dan
Abu Mijaz. Ibnu Hazm juga sependapat dengan dengan penyataan
dari Az-Zuhri dan Abu Mijaz. Riwayat lain dari Ibnu Umar,
Thalhah, Az-Zubair, Abdullah bin Abu Aufa, Thalhah bin
Mutharif, Thawus, serta Asy-Sya‟by menyatakan bahwa wasiat
adalah wajib. Dia berdalil dengan firman Allah SWT dalam Surat
Al-Baqarah ayat 180.
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara
ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
2. Pendapat kedua mengatakan bahwa, wasiat wajib bagi kedua orang
tua dan kerabat yang tidak mewarisi dari orang yang meninggal
dunia. Pendapat ini dinyatakan oleh Masruq, Iyas, Qatadah, Ibnu
Jarir, Az-Zuhri.
12 Syaikh Dr. Mustafa Dieb al-Bigha, Fikih Sunnah Imam Syafi‟i, (Depok: Fathan Media
Prima, 2018), h. 190.
13
Syaikh Sulaiman bin Ahmad bin Yahya Al-Faifi, Ringkasan Fiqih Sunnah, (Depok:
Senja Media Utama, 2017), h. 740-741.
14
3. Pendapat ketiga yaitu pendapat dari dari empat imam dan pendapat
madzhab zaidiyah bahwa hukum wasiat berbeda-beda sesuai
dengan keadaan. Bisa wajib, sunnah, haram, makhruh, atau mubah.
3. Syarat-syarat dan Rukun Wasiat
Secara garis besar syarat-syarat wasiat tidak terlepas mengikuti rukun-
rukunnya sendiri. Adapun rukun-rukun dan syarat-syarat wasiat tersebut
adalah:14
a. Redaksi wasiat (sighat)
Untuk redaksi atau ucapan pemberian wasiat tidak ada yang khusus
dikarenakan ucapan bagaimanapun bisa sah dianggap pemberian hak
kepemilikan secara sukarela sesudah orang yang memberikan wasiat
wafat. Contoh ucapan pemberian wasiat “aku mewasiatkan barang ini
untuk si fulan”, dalam hal ini ucapan itu sudah dinyatakan adanya
unsur wasiat tanpa harus ada tambahan “setelah aku meninggal”.15
Ibnu Rusyd mengatakan bahwa wasiat dilaksanakan mengunakan
redaksi (sighat) yang jelas atau sharih dengan kata wasiat dapat
dilaksanakan dengan kata-kata yang samara (ghairu sharih). Ini dapat
ditempuh karena wasiat berbeda dengan hibah. Wasiat bisa dilakukan
secara tertulis dan tidak memerlukan jawaban (qabul) penerimaan
secara langsung.16
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah penerimaan (qabul)
orang yang menerima wasiat adalah syarat sah atau tidak. Imam Malik
mengatakan bahwa penerimaan (qabul) wasiat merupakan syarat sah.
Imam Syafi‟i mengatakan bahwa qabul orang yang menerima wasiat
tidak merupakan syarat sah. Abu hanifah dan kedua muridnya, Abu
yusuf dan Hasan al-Syaibani memandang bahwa qabul dalam wasiat
harus ada. Alasan Abu Hanifah dan kedua muridnya adalah wasiat
14 Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqh Lima Mahzab “Ja‟fari, Hanafi, Maliki, Syafi‟i,
Hambali”, (Jakarta: Lentera, 2013), h. 504-511.
15
Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqh Lima Mahzab “Ja‟fari, Hanafi, Maliki, Syafi‟i,
Hambali”, (Jakarta: Lentera, 2013), h. 504-511.
16
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Depok: Rajawali Pers, 2017), cet
ke III, h. 366.
15
merupakan tindakan ikhtirariyah dan pernyataan menerima penting
adanya, seperti juga dengan traksaksi lain.17
Seperti yang dimaksud dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
dalam pasal 195 ayat (1), wasiat perlu dibuktikan secara autentik atau
jelas. Karena wasiat merupakan tindakan hukum yang membawa
kepada perpindahan hak satu orang kepada orang lain.
b. Pemberi wasiat
Tentang orang yang berwasiat para ulama sepakat bahwa orang
yang berwasiat adalah orang yang memiliki dengan kepemilikan yang
sah. Menurut Imam Malik wasiat orang bodoh dan anak kecil yang
mengerti dengan berbagai macam ibadah adalah sah. Abu Hanifah
mengatakan, wasiat anak kecil yang belum dewasa tidaklah sah.
Sedangkan menurut Syafi‟i yaitu sama dengan kedua pendapat
tersebut.18
Syarat-syarat pemberian wasiat dilihat dari kelayakan dalam
melakukan kebajikan, yaitu orang yang sudah dewasa, memiliki akal
atau tidak gila, merdeka, ikhtiyar, dan tidak dibatasi dengan kebodohan
atau kelalaian. Jika pemberi wasiat kurang kemampuannya seperti
anak kecil, gila, hamba sahaya, dipaksa atau dibatasi maka wasiatnya
tidak sah.19
Ada dua pengecualian dalam syarat orang pemberi wasiat yaitu:20
1. Wasiat anak kecil yang sudah bisa membedakan antara
yang baik dan yang buruk yang berkenaan dengan yang
khusus mengenai perlengkapannya dan penguburannya
selama batas-batas kebaikannya.
17 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 366-367.
18
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 666.
19
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), h. 472.
20
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, h. 472.
16
2. Wasiat orang yang terhalang terhadap hal kebajikan,
seperti orang yang mengajarkan Al-Qur‟an, membangun
masjid dan mendirikan rumah sakit.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa syarat-syarat
pemberian wasiat terdapat dalam buku II tentang Hukum Kewarisan
bab V pasal 194 yang menyatakan bahwa:
1. Orang yang telah berumur sekurang-kurang nya 21 tahun,
berakal sehat, dan tanpa adanya paksaan dalam memwasiatkan
sebagian harta bendanya kepada orang lain atau sebuah
lembaga.
2. Harta benda yang harus diwasiatkan haruslah harta benda milik
orang yang mewasiatkan.
3. Wasiat bisa dilaksanakan apabila pewasiat sudah meninggal
dunia.
c. Penerima wasiat
Mahzab empat sepakat bahwa tidak bolehnya wasiat untuk ahli
waris, kecuali jika disetujui oleh para ahli waris lainnya. Sedangkan
menurut mahzab Imamiyah mengatakan bahwa wasiat boleh dilakukan
kepada ahli waris maupun yang tidak ahli waris dan tidak bergantung
kepada persetujuan dari ahli waris lainnya sepanjang dari sepertiga
dari harta warisan. Kemudian Ahli Zahir dan Al-Muzani berpendapat
bahwa wasiat kepada ahli waris tidak dibolehkan walaupun di
setujui.21
Adapun syarat-syarat penerima wasiat adalah sebagai bukan ahli
waris penerima wasiat:
ى اصحاب المغازي أن رسول الله صلى الله عليو وسلم قال عام الفتح : لا وصية رو
رمذي وحسنو لوارث. رواه أحد واب و داود والت
21 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 668.
17
“Diriwayatkan oleh al-maghazi bahwa Rasulullah saw telah bersabda
pada waktu penaklukan kota mekah tidak ada wasiat untuk ahli waris”
(HR Ahmad, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi). Hadits tersebut dinilai
khabar ahad, tetapi para ulama sepakat dan diterima oleh orang
banyak.22
Namun mazhab Syafi‟i, Hanafiyah, dan Malikiyah
memperbolehkan untuk berwasiat kepada ahli waris dengan syarat
apabila ahli waris menyetujuinya. Dasarnya adalah يز الورثة لا وصية لوارث ارقطن –إلا أن ي أخرجو الد
“tidaklah sah wasiat kepada ahli waris, kecuali apabila ahli waris lain
membolehkannya.” (Riwayat al-Daruqutny)
Dalam Kompilasi Hukum Islam dikemukakan masalah ini, terdapat
dalam pasal 195 huruf (C) yang menjelaskan bahwa “Wasiat kepada
ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris”.23
Dalam pasal ini dijelaskan bahwa wasiat kepada ahli waris harus
disetujui oleh ahli waris lainnya.
Sayid Sabiq juga mengemukakan pendapat tentang syarat orang
yang menerima wasiat. orang yang menerima wasiat tidak ahli waris
pewasiat, penerima wasiat hadir pada waktu yang telah ditentukan,
terakhir Sayid Sabiq mengemukakan penerima tidak melakukan
pembunuhan yang diharamkan kepada pewasiat.24
Kompilasi Hukum Islam juga menjelaskan juga orang yang
menerima wasiat ditunjuk secara tegas. Hal ini terdapat dalam pasal
196 berbunyi: “dalam wasiat baik secara tertulis maupun secara lisan
harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapa-siapa atau lembaga apa
yang ditunjuk untuk menerima harta benda yang diwasiatkan.”
22
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), h. 473.
23
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Depok: Rajawali Pers, 2017), cet
ke III, h. 363.
24
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 364.
18
d. Barang yang diwasiatkan
Semua mahzab sepakat bahwa barang yang diwasiatkan harus bisa
dimiliki yang memiliki harga jual atau yang bisa digunakan. Tidak
sahnya mewasiatkan benda yang lazimnya tidak bisa dimiliki, seperti
serangga, minuman keras atau tidak dimiliki secara syar‟i.
Adapun untuk syarat dalam pemberian wasiat dalam bentuk barang
harus yang bernilai manfaat seperti tempat tinggal, hewan ternak, dan
hal lain yang bisa dimanfaatkan orang yang diwasiatkan oleh pewasiat.
Dan wasiat tidak sah apabila mewasiatkan yang bukan harta seperti air,
dan yang tidak bernilai bagi orang yang menerima wasiat yaitu khamar
bagi orang muslim. Wasiat sah apabila bernilai baik berupa barang
ataupun yang bisa dimanfaat.25
4. Tata Cara Pelaksanaan Wasiat
a. Batasan wasiat
Para ulama berbeda pendapat tentang masalah batasan wasiat ini.
Namun mayoritas ulama berpendapat bahwa sepetiga harta itu di
hitung dari semua harta yang di tinggalkan oleh pemberi wasiat. Imam
Malik Berpendapat bahwa sepertiga harta itu berasal dari harta yang di
ketahui oleh pemberi wasiat, bukan yang masih berkembang
sedangkan pemberi wasiat tidak mengetahui perkembangannya.26
Namun di dalam buku Musthafa Dib al-Bugha dan kawan
kawannya yang berjudul “Fikih Manhaji” yang mejelaskan bahwa, ada
3 batasan dalam berwasiat yaitu:27
1. Sebaiknya wasiat dan bahkan disunnahkan bagi orang yang
berwasiat untuk tidak mewasiatkan lebih dari 1/3 dari hartanya.
2. Harta wasiat dihitung semenjak kematian pewasiat, bukan
ketika berwasiat. Karena wasiat adalah penyerahan
25
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, h. 475.
26
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, h. 477.
27
Musthafa Dib al-Bugha,Dkk, Fikih Manhaji, (Yogyakarta: Darus Uswah, 2012), h.
874-875.
19
kepemilikan setelah orang yang memberi wasiat meninggal
dunia.
3. Wasiat yang telah diberikan oleh pewasiat setelah melunasi
utangnya si mayit atau dalam tanggungannya. Sehingga apabila
pewasiat telah mewasiatkan 1/3 harta maka wasiat itu setelah
hutang dilunasi. Firman Allah Swt dalam surat An-Nisa ayat
11:
“Sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya. “
b. Wasiat kepada Ahli waris
Pada dasarnya wasiat diperuntukkan kepada selain ahli waris
karena tujuan dari wasiat adalah pendekatan diri kepada Allah Swt,
mendapatkan pahala dan apa yang telah dilakukan selama hidup.
Adapun ahli waris sudah ada bagian warisnya sendiri. Akan tetapi
banyak dari pewasiat yang mewasiatkan kepada ahli warisnya.
Menurut Mahzab Syafi‟i, berwasiat kepada ahli waris
diperbolehkan. Akan tetapi wasiat tidak bisa dilaksanakan kepada hak
ahli waris, tanpa persetujuan dari ahli waris lainnya sehingga
persetujuan bisa mewujudkan wasiat orang yang berwasiat. 28
c. Pencabutan wasiat
Semua mahzab sepakat bahwa wasiat bukanlah suatu keharusan
dari pihak pemberi wasiat maupun penerima wasiat. Karena itu,
pemberi wasiat boleh mencabut kembali wasiatnya, barang yang
berkenaan dengan barang, manfaat maupun kekuasaan. Pencabutan
wasiat ini bisa dilakukan dengan ucapan ataupun perbuatan, seperti
ucapan, aku batalkan wasiat ini, aku mencabutnya, aku merusaknya,
28
Musthafa Dib al-Bugha,Dkk, Fikih Manhaji, (Yogyakarta: Darus Uswah, 2012), h. 876.
20
atau harta itu untuk ahli warisku.29
Dengan demikian juga pemberi
wasiat boleh mencabut semua dan sebagian dari hartanya.30
Sayid Sabiq mengatakan bahwa wasiat itu termasuk kepada
perjanjian yang dibolehkan oleh hukum namun dalam perjanjian itu
orang yang memberikan wasiat tersebut dapat mengubah wasiatnya
atau menarik kembali wasiat yang telah di berikan. Menurut mazhab
Hanafi adalah sikap mengingkari wasiat yang telah diakadkan atau
diberikan. Jika pencabutan wasiat dilakukan dengan ucapan, harusnya
dengan secara tegas dalam pencabutan ataupun pembatalan wasiat
yang dihadiri dengan saksi-saksi. Sedangkan wasiatyang dibatalkan
dengan perbuatan adalah melalui tulisan ataupun perbuatan-perbuatan
yang menujukkan penarikan kembali wasiat.31
Menurut Pasal 199 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa ada
empat macam yaitu:
1. Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima
wasiat belum menyatakan menyetujuinya atau sudah
menyatakan menyetujunya akan tetapi ditarik kembali.
2. Wasiat yang dibuat secara lisan dapat dicabut secara lisan
dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau dilakukan secara
tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau
berdasarkan akte notaris bila wasiat dibuat secara lisan.
3. Wasiat yang dibuat secara tertulis, hanya dapat dicabut dengan
cara tetulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau
berdasarkan akte notaris.
4. Wasiat yang dibuat dari akte notaris maka hanya dapat dicabut
berdasarkan akte notaris.
29
Muhammad Jawad Mugniyah, Figh Lima Mahzab “Ja‟fari, Hanafi, Maliki, Syafi‟i,
Hambali”, (Jakarta: Lentera, 2015), h. 552.
30
Musthafa Dib al-Bugha,Dkk, Fikih Manhaji, h. 877.
31
Nurmazli, Kontruksi Hukum Islam Tentang Pembatalan dan Pencabutan Wasiat,
Ijtima‟iyya, Vol. 9, Nomor 2, Agustus 2016, h. 93.
21
5. Pembatalan wasiat
Wasiat dapat dibatalkan melalui proses pembatalan jika orang yang
memberi wasiat tidak cakap dalam tindakan hukum atau orang yang
diberikan wasiat tidak berhak atas barang yang diwasiatkan. wasiat juga
dapat batal apabila orang yang menerima wasiat tersebut terlebih dahulu
meninggal dunia dari pada orang yang memberi wasiat atau objek dari
wasiat tersebut musnah sebelum barang tersebut diterima oleh penerima
wasiat.32
Mayoritas ulama ulama fiqih menyatakan bahwa apabila wasiat telah
memenuhi rukun dan syaratnya maka wasiat dianggap sah dan harus di
laksanakan terhitung sejak wafatnya pemberi wasiat, namun mereka
sepakat bahwa akad tidak mengikat dan pemberi wasiat dapat
membatalkan wasiat tersebut selagi pemberi wasiat masih hidup, kapan
saja bisa dibatalkan seluruh wasiat maupun sebagian atau seluruh bagian,
dan pembatalan itu dapat dilakukan dalam keadaan sehat amaupun sakit.33
Umar Bin Khatab pernah mengatakan bahwa seseorang boleh
membatalkan atau mengubah dari isi wasiat tersebut. Diperbolehkannya
pembatalan wasiat kepada orang lain karena wasiat hanyalah pemberian
atau hadiah yang baru bisa dilaksanakan ketika orang yang memberikan
tersebut sudah meninggal dunia. Oleh sebab itu orang yang memberi
wasiat boleh saja membatalkan pemberian sebelum ia meninggal dunia.34
Pembatalan wasiat menurut ulama bersepakat bahwa boleh dilakukan
dengan ucapan yang jelas dan tindakan. Contoh ucapan yang jelas dari
pemberi wasiat adalah “saya batalkan wasiat yang telah saya berikan
kepada si fulan” atau pemberi wasiat mengatakan “harta ini untuk ahli
warisku” dengan menunjuk harta yang sebelum diwasiatkan kepada orang
yang diberikan wasiat. Ulama mazhab Maliki berpendirian bahwa
32
Nurmazli, Kontruksi Hukum Islam Tentang Pembatalan dan Pencabutan Wasiat,
Ijtima‟iyya, Vol. 9, Nomor 2, Agustus 2016, h. 90.
33
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Dalam Perspektif
Islam, (Jakarta: Kencana Predana Media Grup, 2008), h. 76.
34
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Dalam Perspektif
Islam, h. 77.
22
melakukan tindakan hukum terhadap harta yang telah diberikan kepada
orang yang diwasiatkan harus bersifat menyeluruh seperti menjual harta
itu keseluruhannya atau menghibahkan kepada orang lain.35
Batalnya wasiat jika salah satu syarat dari wasiat tidak terpenuhi.
Wasiat juga batal jika terjadi hal-hal sebagai berikut:36
1. Jika seseorang yang berwasiat mengidap penyakit gila hingga
menimbulkan kematian;
2. Penerima wasiat meninggal dunia sebelum diberi wasiat;
3. Harta yang diwariskan hancur sebelum si penerima sempat
menerima hartanya.
Pembatalan wasiat menurut KHI pasal 197, yaitu:
(1) wasiat dapat dibatalkan berdasarkan putusan dari hakim
yang sudah berkekuatan hukum tetap, apabila:
a. Pewasiat dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh
atau menganiaya berat kepada pewasiat.
b. Penerima wasiat di persalahkan secara memfitnah telah
mengajukan pengaduan, bahwa pewasiat telah melakukan suatu
kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun pencara atau
hukuman yang berat.
c. Penerima wasiat dipersalahkan dengan kekerasan ancaman atau
ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau
mengubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat.
d. Penerima wasiat dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak
atau memalsukan surat wasiat dari pewasiat.
(2) wasiat menjadi batal apabila yang menerima yang ditunjuk
untuk menerima wasiat itu:
a. Penerima wasiat tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai
ia meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat.
35
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Dalam Perspektif
Islam, h. 77.
36
Syaikh Sulaiman bin Ahmad bin Yahya Al-Faifi, Ringkasan Fiqih Sunnah, (Depok:
Senja Media Utama, 2017), h. 743.
23
b. Penerima wasiat mengetahui adanya wasiat itu, akan tetapi ia
menolak untuk menerima wasiat tersebut.
c. Penerima wasiat mengetahui adanya wasiat tersebut, namun ia
tidak pernah menyatakan untuk menerima atau menolak untuk
menerima wasiat tersebut.
d. Barang yang di wasiatkan musnah.
B. Hibah
1. Pengertian Hibah
Hibah merupakan salah satu cara memberikan harta kepada orang lain
semasa hidup di atas dunia. Hibah sendiri adalah memberikan harta
kepada orang lain dengan tidak mengharapkan imbalan balik atau jasa dari
orang lain. Hibah sendiri berasal dari bahasa arab yaitu al-hibah yang
artinya pemberian seseorang saat dia masih hidup kepada orang lain tanpa
imbalan baik berupa harta ataupun yang bukan harta yang diberikan
kepada orang lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
menyatakan bahwa pemberian (dengan sukarela) dengan mengalihkan hak
atas sesuatu kepada orang lain.37
Dengan demikian hibah adalah
pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain dengan
semasa hidup dan sehat kepada orang lain. Menurut Imam Al-Nawawi r.a
menjelaskan bahwa hibah sebagai pemberian cuma-cuma dengan
pernyataan dari orang pemberi hibah.38
Sedangkan menurut istilah didefenisikan bahwa hibah disyariatkan
bertujuan untuk saling menguatkan ikatan lahir batin antara sesama
manusia itu sendiri. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhori adalah saling memberi hadiah lah kamu maka kamu saling
mencintai. Di dalam Al-Qur‟an banyak yang meyuruh untuk saling
memberi satu sama lain salah satu antaranya adalah surah Al-Munafiqun
(63) : 10
37
http://kbbi.web.id/hibah.html, diakses tanggal 7 Juli 2019.
38
http://almanhaj.or.id/6422-hibah-dalam-perspektif-fikih.html, diakses tanggal 18 Juli 2019.
24
Artinya:
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan
kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara
kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku,mengapa Engkau tidak
menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang
menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku Termasuk orang-orang yang
saleh”39
Di dalam kompilasi Hukum Islam (KHI) hibah terdapat dalam
pasal 171 huruf g. Hibah adalah pemberian suatu benda secara suka rela
dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup
untuk dimiliki. Ketentuan tentang hibah terdapat dalam pasal 210 sampai
pada 214 yang mengatur keseluruhan prosedur tentang hibah.
Hibah dalam KUHPerdata diatur dalam buku III pasal 1666-1693.
Sedangkan untuk pengertian hibah terdapat dalam pasal 1666 yang
berbunyi: “Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di
waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik
kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah
yang menerima penyerahan itu”.40
Dengan demikian adanya kerelaan dalam melakukan perbuatan
hukum tanpa ada paksaan dari pihak lain merupakan unsur yang harus ada
dalam hibah, dengan kata lain hibah haruslah bersifat sukarela tanpa ada
imbalan apapun.41
Dari uraian di atas, hibah merupakan suatu proses
hukum perpindahan hak milik atau pemberian harta kepada orang lain
dengan memberikan dengan Cuma-Cuma tanpa ada imbalan yang diminta
kepada orang yang dihibahkan semasa hidupnya dan boleh untuk dijual,
39
Usep Saipullah, Pemikiran Hukum Islam Tentang Hibah dalam KHI, Lembaga
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UIN Sunan Gunung Djati Bandung 2015, h. 18-20.
40
Dewi Sartika Utami, Akibat Hukum Pemberian Hibah yang Melebihi Batas Legitime
Portie (Analisis Kasus Putusan Pengadilan Negeri Nomor 109/PDT.G/2009/PN. MTR), Jurnal
IUS, Vol IV, Nomor 2, Agustus 2015, h. 97-98.
41 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2011), h. 92.
25
dipinjamkan, atau di hadiahkan kembali kepada orang lain. Hibah yang
biasanya diberikan kepada ahli waris adalah untuk pemberian modal
kepada ahli waris yang belum mampu.42
Karena dalam pemberian hibah
orang tua kepada anak bisa dikatakan warisan. di dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 211 dijelaskan bahwa “hibah orang tua kepada anaknya bisa
diperhitungankan sebagai warisan”.43
2. Hukum Hibah
Hibah itu dianjurkan bagi orang yang ingin memberikan hibah,
karena hibah sendiri adalah perbuatan yang baik. Sesuai dengan firman
Allah dalam surat Al-Imran (5) ayat 134:
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu
lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan.”
Sesuai dengan firman Allah tersebut nabi Muhammad saw telah
mencontohkan dengan akhlak yang baik dan dermawan kepada umat
manusia. Sedangkan setiap orang yang menerima hibah hukumnya
berbeda sesuai dengan perbedaan situasi kondisi orang yang menerima
hibah. 44
Allah SWT. telah mensyariatkan hibah sebagai perjinakan hati dan
meneguhkan kecintaan sesama manusia. Dalam suatu hadits disebutkan
bahwa dari riwayat Abu Hurairah r.a Rasulullah berkata: ت هادوا تاب وا
“saling memberi hadiahlah, maka kalian saling mencintai”
42 Syiah Khosyi‟ah, Wakaf & Hibah, (Bandung: Cv Pustaka Setia, 2010), h. 239-240.
43
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 211. 44
Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-„Utsaimin, Shahih Fiqih Wanita, (Jakarta:
Akbarmedia, 2009), cetakan ke 2, h. 470.
26
Dari hadits di atas pun bahwa Rasulullah Saw sendiri menerima
hadiah dan membalasnya. Dan Rasulluah Saw menyerukan untuk
menerima hadiah dan menganjurkannya.45
Pada dasarnya memberikan sesuatu adalah hal yang sangat baik
dan sangat dianjurkan. Hukum untuk memberikan sesuatu kepada orang
lain pada umumnya adalah mubah, boleh memberikan barang atau harta
kepada orang lain dengan cuma-cuma tanpa meminta imbalan. Hibah
menjadi haram apabila barang atau harta yang dihibahkan diambil
kembali. Jika seseorang telah melakukan hibah maka harta yang
dihibahkan menjadi milik orang yang menerima hibah tersebut. Dia antara
masalah yang terkenal ini dibolehkannya i‟tishar (menarik kembali) suatu
pemberian. Namun para ulama berbeda pendapat tentang hal ini:46
1. Malik dan Jumhur Ulama Madinah berpendapat bahwa seorang
bapak berhak menarik kembali barang yang telah dia berikan
kepada anaknya, selama anaknya belum menikah atau belum
memiliki utang atau secara garis besar belum terkena hak orang
lain. Dan seorang ibu juga berhak menarik kembali pemberiannya
jika bapaknya masih hidup. Telah diriwayatkan suatu pendapat
bahwa dari Imam Malik bahwa seorang ibu tidak boleh menarik
kembali pemberiannya.
2. Ahmad dan Ahli Zhahir berpendapat bahwa tidak dibolehkan bagi
orang seorang pun menarik kembali pemberiannya.
3. Abu Hanifah berpendapat siapa saja dibolehkan menarik kembali
pemberiannya
Dari semuanya itu sepakat bahwa hibah yang tujuannya sebagai
sedekah kepada orang lain tidak seorang pun dibolehkan menarik kembali
pemberiannya kecuali pemberian orang tua kepada anaknya, ini juga
dijelaskan didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 212 menjelaskan
45 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi aksara, 2004), h. 436.
46
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 663.
27
hibah tidak dapat dicabut atau ditarik kembali kecuali hibah orang tua
kepada anaknya.47
3. Rukun Hibah
Dalam hibah ada aturan atau rukun hibah yang harus ada dalam
pelaksanaan hibah antara lain, yaitu:48
a. Orang yang menghibahkan (Wahib)
Para ulama sepakat bahwa pemberi hibah dibolehkan hibahnya
jika orang yang menghibahkan barang yang akan dihibahkan dengan
kepemilikan yang sah, yaitu dalam keadaan sehat dan dalam keadaan
menguasai sepenuhnya. Para ulama berbeda pendapat ketika dalam
keadaan sakit, idiot dan pailit. Tentang orang yang sakit:49
1. Jumhur mengatakan bahwa hibah pada sepertiga hartanya
karena disamakan dengan wasiat maksudnya, hibah yang
sempurna dengan terpenuhi syarat-syaratnya.
2. Sekelompok ulama dari kalangan salaf dan sekelompok ahli
zhahir mengatakan bahwa hibahnya dikeluarkan dari harta
pokoknya jika dia meninggal dunia dan tidak ada perselisihan
diantara mereka bahwa jika dia sehat dari sakitnya maka
hibahnya sah.
Adapun orang yang bodoh ataupun pailit tidak ada
perbedaan antara para ulama yang menyatakan adanya
pembatasan terhadap mereka bahwa hibah mereka tidak
berlaku.50
Untuk masalah orang yang menghibahkan ini sekurang-
kurangnya berumur 21 tahun, dalam memberikan hibah tidak
adanya paksaan dalam menghibahkan, dalam menghibahkan
47
H. Abdul Manan, M Fauzan, Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan
Agama, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002) h. 119.
48
http://www.kompasiana.com/amp/www.alfaderahukum.com/hibah-ditinjau-dari-
kompilasi-hukum-islam-edisi-1_562f1eebe8afbd0e149ec425, diakses tanggal 20 Juli 2019
49
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 652-653. 50 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, h. 653.
28
harta yang boleh dihibahkan adalah 1/3 harta kepada orang lain
atau suatu lembaga.
b. Adanya orang yang menerima hibah (Mawhublah)
Orang yang menerima hibah haruslah nyata pada saat
dihibahkan barang kepadanya. Dalam hal lain pemberian hibah
kepada bayi yang masih dalam kandungan tidaklah sah.
c. Adanya barang yang dihibahkan
Dalam pemberian hibah kepada orang lain haruslah hak
milik dari orang yang akan memberikan hibah dan bukan punya
orang lain pada saat menghibahkan barang tersebut kepada orang
lain.
d. Adanya ijab dan kabul
Ijab dan kabul haruslah ada dalam setiap apa yang harus di
lakukan. Dengan adanya pernyataan dari orang yang
menghibahkan dan pernyataan menerima dari yang menerima
hibah maka sahlah penghibahan barang yang di hibahkan. Contoh
pelafadzan ijab dan kabul seperti “saya berikan barang atau harta
kepada engkau” dan dijawab “ya, saya terima”. Dalam pengucapan
ini harus di dasarkan kesepakatan. Menurut fuqaha adanya ijab
harus di ikuti oleh kabul. Namun menurut Imam Abu Hanifah,
dalam hibah cukup dengan kata hijab saja, tanpa harus di ikuti oleh
kabul.51
4. Syarat Hibah
Tentang syarat-syarat hibah. Hibah mengharuskan adanya pihak
pemberi hibah, penerima hibah dan sesuatu yang dihibahkan:52
a. Syarat-syarat Pemberi Hibah
1. Pemberi hibah haruslah yang memiliki barang hibah atau orang
yang memberi hibah haruslah punya pemberi hibah, karena
51 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2011), h. 80.
52
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi aksara, 2004), h.437-438.
29
kalau bukan milik orang pemberi hibah tidak bisa dihibahkan
ke orang lain.
2. Pemberi hibah bukanlah orang yang dibatasi haknya dalam
meberikan hibah kepada orang lain.
3. Pemberi hibah haruslah sudah dewasa dalam memberikan
hibah kepada orang lain.
4. Pemberi hibah bukanlah orang yang dipaksa dalam
memberikan hibah, karena hibah sendiri adalah pemberian
yang cuma-cuma kepada orang lain dan akad dari hibah sendiri
mensyaratkan untuk keridhaan.
b. Syarat-syarat Penerima Hibah
Haruslah hadir pada saat pemberian hibah pada saat
pemberian hibah, apabila orang penerima hibah tidak ada atau di
perkirakan ada, misalkan janin yang masih dalam kandungan,
maka hibah tidaklah sah.
Penerima hibah yang hadir pada saat menerim hibah itu di
anggap sah dan ketika penerima hibah itu masih kecil haruslah
diwakilkan oleh orang tuanya atau walinya, pendidiknya atau
pemelihara dari anak kecil tersebut.
c. Syarat-syarat Barang yang dihibahkan53
1. Barang yang dihibahkan haruslah ada wujudnya pada saat
dihibahkan
2. Barang yang dihibahkan tersebut haruslah bernilai dan bisa
dimanfaatkan oleh orang yang menerima hibah
3. Barang-barang yang dihibahkan haruslah yang bisa dimiliki
zatnya oleh orang yang menerima hibah. Bahwa barang harus
bisa dimiliki, diterima peredarannya dan pemilikannya bisa
berpindah tangan. Tidaklah sah suatu hibah apabila
menghibahkan air yang ada di sungai, ikan yang ada di lautan,
53 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, h. 438.
30
burung-burung di udara, masjid-masjid, ataupun majelis-
majelis ilmu.
4. Hibah yang diberikan kepada orang yang menerima bukanlah
berhubungan dengan tempat milik pemberi hibah secara tetap,
seperti menghibahkan tanaman pohon, bangunan tanpa
tanahnya, akan tetapi barang yang dihibahkan itu harus wajib
dipisahkan dari pemilik orang yang dihibahkan dan diserahkan
kepada penerima orang yang menerima hibah hingga hinga
menjadi milik yang utuh untuk orang yang menrima hibah
5. Dalam menghibahkan sesuatu kepada orang harus lah
berbentuk khusus bukan yang milik orang umum, sebab
kepemilikan tidaklah sah kecuali apabila ditentukan seperti
halnya suatu jaminan. Imam Malik, Syafi‟i, Ahmad, dan Abu
Tsaur berpendapat bahwa tidak ada syarat tersebut. Mereka
berkata bahwa “sesungguhnya hibah yang sah apabila untuk
orang umum yang tidak bisa dibagi-bagi”. Sedangkan kalangan
mazhab Maliki berpendapat bahwa membolehkan hibah
sesuatu yang tidak sah dijual seperti unta liar, bukan sebelum
tampak hasilnya atau barang hasil rampasan perang.
Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dijelaskan bahwa
ada beberapa syarat pelaksanaan hibah yaitu:54
a. Semua orang boleh memberikan dan menerima hibah kecuali
mereka yang oleh undang-undang dinyatakan tidak mampu dalam
memberi dan menerima hibah. Anak-anak juga tidak boleh dalam
menghibahkan sesuatu kecuali dalam melaksanakan hibah kecuali
dalam hal tertentu KUHPerdata dalam bab tujuh dari buku satu.55
b. Suatu hibah dilakukan dengan suatu akta notaris yang aslinya
disimpan oleh notaris.56
54 http://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt51e582b1ad14c/prosedur-hibah-tanah-
dan-bangunan-kepada-keluarga/, diakses tanggal 23 Juli 2019.
55 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Bab 7 Buku 1 pasal 1677
56
Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1682
31
c. Suatu hibah mengikat orang yang menghibahkan dengan suatu kata
yang tegas dan dapat di terima oleh orang yang menerima hibah.57
d. Penghibahan kepada orang yang belum dewasa yang berada di
bawah umur penghibahan atas orang tuanya. Hibah kepada anak-
anak di bawah umur yang masih atas perwalian orangtuanya harus
diterima oelh wali atau pengampunya yang telah diberi kuasa oleh
pengadilan.58
Di Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa syarat-syarat hibah
adalah sebagai berikut:
a. Orang yang menghibahkan haruslah orang yang sudah berakal
sehat dan tidak gila dalam memberikan hibahkan barang atau harta
kepada orang lain dan tanpa paksaan dalam menghibahkan, harta
yang dihibahkan haruslah 1/3 harta kepada orang lain atau kepada
suatu lembaga.59
b. Harta yang dihibah haruslah harta hak dari orang yang
menghibahkan barang atau harta.60
5. Penarikan Hibah
Penarikan kembali hibah yang diberikan kepada orang lain adalah
suatu hal yang tidak halal atau haram untuk dilaksanakan dan tidak
dianjurkan dalam menarik kembali hibah yang sudah diberikan kepada
orang lain, sekalipun hibah yang diberikan itu kepada saudara ataupun
suami-isteri, kecuali hibah orang tua kepada anaknya.
Adapun masalah menarik kembali hibah yang diberikan kepada
orang lain, para ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan boleh
menarik kembali hibah yang diberikan ke orang lain namun ada yang
mengatakan bahwa tidak boleh menarik hibah yang diberikan kepada
orang lain. ulama mazhab Maliki hibah yang sudah diberikan tidak boleh
57 Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1683
58
Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1685
59 Kompilasi Hukum Islam Pasal 210 ayat (1)
60
Kompilasi Hukum Islam Pasal 210 ayat (2)
32
lagi di ambil, karena hibah merupakan sebuah akad yang sudah tetap.
Ulama mazhab Syafi'i menerangkan bahwa, apabila Hibah telah dinilai
sempurna dengan adanya penerimaan dengan seizin pemberi Hibah, atau
pihak pemberi Hibah telah menyerahkan barang yang diberikan, maka
Hibah yang demikian ini telah berlangsung sempurna, artinya tidak dapat
ditarik kembali hibah yang sudah di berikan kepada orang lain. Ulama
mazhab Hambali menegaskan, orang yang memberikan Hibah
diperbolehkan mencabut pemberiannya sebelum pemberian itu diterima.61
Dipernyataan para ulama mahzab tersebut banyak yang tidak
membolehkan untuk mengambil kembali hibah yang sudah diberikan
kepada orang lain.
Berdasarkan riwayat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad Saw, Rasulullah Saw bersabda: ل لرجل أن ي عطي عطية أو ي هب ىبة ف ي رجع فيها إلا الوالد فيما ي عطي ولده، وم لا ثل ي
الذي ي عطي العطية، ث ي رجع فيها كمثل الكلب يأكل فإذا شبع قاء، ث عاد في ق يئو
“Tidak halal seseorang menarik kembali pemberiannya, kecuali
pemberian ayah kepada anaknya, jika ayah menghibahkan sesuatu kepada
cucunya sampai garis ke bawah boleh ditarik kembali”.62
Hadits tersebut sangat jelas sekali menunjukkan bahwa menarik
kembali hibah adalah sebuah keharaman jika ditarik kembali hibah yang
diberikan, kecuali hibah orang tua kepada anaknya.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menjelaskan masalah
keharaman tentang pencabutan hibah ini. Pasal yang menjelaskan tentang
pelarangan untuk menarik kembali hibah ini terdapat dalam pasal 213
61 Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Madzhab IV,(Semarang: As-Syifa‟, 1994), h. 215.
62 Abd. Somad, Hukum Islam “Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia”,
(Jakarta : Prenada Media Group, 2010), h. 362.
33
yang berbunyi:63
“hibah tidak dapat ditarik kembali kecuali hibah yang
diberikan orang tua kepada anaknya.”
Mengenai alasan-alasan pembatalan hibah diatur dalam Pasal 1688
BW, yang menyebutkan bahwa suatu hibah tidak dapat ditarik kembali
maupun dihapuskan karenanya64
, kecuali dalam hal-hal sebagai berikut:65
a. Dalam pengibahan tersebut syarat-syaratnya tidak dipenuhi pada
saat menghibahkan barang atau harta yang diberikan kepada orang
lain.
b. Penerima hibah jika ketahuan dalam melakukan kesalahan yang
tidak bisa diterima oleh orang yang menghibahkan barang tersebut
atau membantu melakukan kejahatan dengan tujuan mengambil
nyawa orang yang memberikan hibah atau dengan kejahatan yang
menganggu keselamatan dari orang yang menghibahkan tersebut.
c. Orang yang memberikan hibah kepada orang lain namun orang
yang memberikan hibah ini dalam keadaan jatuh miskin akan tetapi
orang yang menerima hibah ini menolak untuk diberikan hibah
oleh orang yang memberikan hibah kepadanya. Jika ia menolak
memberikan tunjangan nafkah kepada si penghibah, setelah orang
ini jatuh dalam kemiskinan.
63 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 213
64
Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1688
65
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, “Perspektif Hukum Perdata
Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat”, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), h. 92.
34
BAB III
GAMBARAN PUTUSAN PEMBATALAN WASIAT ORANG TUA
TERHADAP ANAK NOMOR 0214/Pdt. G/2017/PA.Pbr, NOMOR 0027/Pdt.
G/2017/PTA. Pbr, DAN NOMOR 558 K/AG/2017
A. Penetapan Nomor 0214/Pdt. G/2017/PA.Pbr
1. Posisi Kasus
Perkara putusan ini adalah pembatalan hibah yang dikumulasi1
wasiat, perkara ini adalah permohonan pembatalan hibah antara penggugat
dan tergugat yang di identitasnya sebagai berikut:
Penggugat.
Penggugat pertama bernama Dr. dr. Hj. DT, berumur 48 tahun,
Agama Islam, pekerjaan Dewan Pengawas Rumah Sakit Ibu dan Anak,
kewarganegaraan Indonesia, tempat tinggal di Jln. Diponorogo No. 47, RT
001/ RW 003, Kelurahan Cinta Raja, Kecamatan Sail, Kota Pekanbaru,
Provinsi Riau.
Penggugat kedua bernama dr. IT, Sp.P, umur 44 tahun, beragama
Islam pekerjaan Dokter, kewarganegaraan Indonesia, tempat tinggal di
Kel. Asam Kubang, kecamatan Medan Selayang, Kota Medan, Provinsi
Sumatera Utara, yang memberikan kuasa kepada H. Arbakmis Lamid, SH.
MH dan Nurhasmi, SH. Advokat, yang beralamat Jln. Keliling/Gunung
Gayo, Nomor 5 RT 04/RW 08, Kelurahan Tangkerang Timur, Kecamatan
Tenayan Raya, Kota Pekanbaru, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal
20 Januari 2017.2
Tergugat
Tergugat pertama bernama Prof. Dr. H. TR, M. Kes. Yang berumur
74 tahun, beragama Islam, tempat tinggal di Jln. Sisingamangaraja Nomor
1 Kumulasi gugatan atau samenvoeging van vordering merupakan pengabungan bebrapa
tuntutan hukum kedalam satu gugatan. Lihat M. Yahya Harahab, Hukum Acara Perdata, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2008), h. 102. 2 Putusan Nomor 0214/Pdt.G/2017/PA.Pbr, h. 1.
35
93 RT 02/RW 06, Kelurahan Rintis, Kecamatan Limapuluh Kota, Kota
Pekanbaru.
Tergugat kedua Bernama Dr. dr. Hj. SAT, yang berumur 46 tahun,
beragama Islam, tempat tinggal di Jln. Sisingamangaraja Nomor 93 RT
02/RW 06, Kelurahan Rintis, Kecamatan Limapuluh Kota, Kota
Pekanbaru.
Tergugat ketiga, bernama Dr. IT, berumur 41 tahun, beragama
Islam, Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil (PNS), Kewarganegaraan
Indonesia, tempat tinggal di Jln. Merak Villa Bunga Raya, Blok D No. 17,
RT 02/RW 07, Kel. Tengkareng Labuai, Kecamatan Bukit Raya, Kota
pekanbaru, yang diberikan kuasa kepada H. Armalis Ramaini, SH,
Zulkifli, SH, dan Hendra Baharius, SH, MH, adalah Advokat beralamat di
Jln. Sisingamangaraja No. 71, Hotel BI Kota Pekanbaru. Berdasarkan
surat Kuasa Khusus tanggal 17 Februari 2017.
Perkara ini sesuai dengan yang didaftarkan pada kepaniteraan
Pengadilan Agama Pekanbaru tertera pada Nomor
0214/Pdt.G/2017/PA.Pbr.3
Sebelumnya penggugat pertama dan kedua pernah mengajukan
gugatan ke Pengadilan Agama Pekanbaru dengan nomor pekara
1596/Pdt.G/2016/PA.Pbr tanggal 12 januari 2017 yang menolak gugatan
dari penggugat dan menghukum penggugat tiga ratus enam belas ribu
rupiah. Dalam hal ini penggugat yang masih banyak kekurangan dalam
sidang pertama yang diajukan oleh penggugat. Kemudian pada gugatan
yang sebelumnya sudah disempurnakan, maka penggugat mengajukan
kembali gugatan baru kembali untuk mendapatkan apa yang sudah
diperkarakan.
Pengadilan Agama sesuai dengan Undang-Undang Republik
Indonesia nomor 50 tahun 2009 tentang perubahan kedua Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 7 tahun 1989 yang mempunyai tugas atnomor 7
tahun 1989 yang mempunyai tugas atnomor 7 tahun 1989. Pasal 49 ayat
3 Putusan Nomor 0214/Pdt.G/2017/PA.Pbr, h. 2.
36
(1) yang mempunyai tugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan
menyelesaikan perkara tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam yaitu:
a. Perkawinan
b. Kewarisan
c. Wasiat
d. Hibah
e. Wakaf
f. Shadaqah
g. Ekonomi Syari‟ah4
Penggugat I,II dan Tergugat II,III adalah anak laki-laki dan
perempuan dari Tergugat I yang masih berhubungan baik antara orang
tua dan anak sampai saat ini, sebagaimana layaknya keluarga muslim
lainnya yang harmonis, melayu khususnya.
Pada tanggal 8 Januari 2009, penggugat I mengeluarkan atau
menerbitkan surat wasiat kepada tergugat II tanpa sepengetahuan dari
Penggugat I dan II yang isi suratnya adalah sebagai berikut
SURAT WASIAT
Pada Hari ini, Kamis tanggal 8 Januari 2009 saya yang bertanda
tangan dibawah ini:
Nama : Prof. Dr. H. TR
Umur : 67 Tahun
Alamat : Jl. Pattimura No. I Pekanbaru
Dengan ini membuat wasiat kepada anak kandung saya Dr. Hj.
ST untuk meneruskan usaha Yayasan Abdurrab yang meliputi Rumah
Sakit Abdurrab dab Universitas Abdurrab.
Oleh karena itu saya hibahkan harta benda milik saya dengan
ultimatum tidak dapat dijual, dipindah tangankan atau dibalik namakan
kepada pihak lain dan hanya dibangun atau digunakan untuk
kepentingan sosial sebagai berikut:
4 https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4c4042b91308/peradilan-agama/
37
Tanah berikut gedung universitas di Jl. Riau Ujung No. 73 Pekanbaru
(SER.HM No. 22271)
a. Tanah berikut gedung rumah sakit Yayasan Abdurrab, yang
terletak di Jl. Jend. Sudirman No. 410 Pekanbaru. (SER.HGB No.
77, SER.HGB No. 878, SER. HM No. 17, SER.HGB No. 137,
SER. HM No. 301, SKGR No. 63/592.2.KSJ/01)
b. Tanah berikut bangunan yang terletak dibelakang kamous
Universitas Abdurrab (Gg. Ikhlas). (SER. HM. No. 1048, 2
SKGR). Yang merupakan pengembangan kampus Universitas
Abdurrab.
c. Tanah kosong yang terletak di Jl. Bakti yang diperuntukkan untuk
pengembangan Universitas Abdurrab dan Rumah Sakit Pendidikan
Universitas Abdurrab (SER. HM No. 1137, SER. HM No. 971,
Akta Notaris 38/LG/2007)
d. Tanah berikut bangunan yang terletak di Jl. Angsana Pekanbaru
(SER. HM No. 385)
e. Tanah berikut bangunan yang terletak di Jl. KH. Ahmad Dahlan
No. 137 Pekanbaru (SER. HM No. 808, SER. HM No.n 632)
f. Tanah berikut bangunan gedung yang terletak di Jl. Pattimura No.
01 Pekanbaru (SER. HM No. 189)
g. Sebidang tanah seluas 135 M2 dan sebuah rumah diatasnya yang
terletak di Jl. Gempol AsriX No. 2 Bandung.
h. Tanah kosong yang terletak di Jl. Ababil Sukajadi Pekanbaru
(SER. HM No. 46).
i. Sebidang tanah kosong yang terletak di Jl. Pemudi Tampan
pekanbaru (SKGR No. 330/PYK/05/08).
j. Tanah yang terletak di Desa Rimbo Panjang (SER. HM 3190, SER.
HM 3191).
k. Tiga bidang tanah yang terletak di Desa Muara Fajar Rumbai
(SER. HM No. 1768, SER. HM No. 1769, SER. HM No. 1770).
38
Demikian surat wasiat ini saya buatkan dengan akal dan pikiran
sehat untuk digunakan bilamana perlu.
Pekanbaru, 08 Januari 2009
Yang menerima wasiat yang memberi wasiat
Dr. Hj. ST Prof. Dr. H. TR
Setelah surat itu diterima oleh penggugat, penggugat
mempelajari surat yang dari tergugat I kepada penggugat II tanggal 08
Januari 2009 yang berisikan dua poin yaitu:5
a. Persoalan pertama adalah amanah untuk meneruskan usaha dari
usaha Yayasan Abdurrab
b. Hibah yang diberikan oleh tergugat I kepada tergugat II yang
berjumlah 12 item.
Berdasarkan dua poin di atas penggugat menganggap bukanlah
sebuah wasiat karena dalam hal ini wasiat tidak berlaku langsung,
namun hal ini berlaku langsung, sedangkan wasiat berlaku ketika orang
yang memberikan wasiat sudah meninggal dunia, kemudian wasiat
yang diberikan oleh penggugat melebihi dari 1/3 harta.
Dalam hal ini penggugat menganggap tergugat I keliru dalam
melakukan tindakan atau perbuatan yang tidak adil kepada Penggugat I
dan II yang harta tersebut diberikan kepada seorang anaknya saja yaitu
tergugat II yang sudah berjalan lebih kurang selama 8 tahun, artinya
objek harta lebih banyak di kuasai oleh tergugat II dengan beralasan
untuk kepentingan sosial sesuai dengan tujuan dari Tergugat I.
Surat tanggal 08 Januari 2009 yang dibuat oleh tergugat I tidak
sesuai dengan peraturan yang ada dan dibuat di bawah tangan, tidak ada
saksi dan tidak adanya persetujuan dari ahli waris. Hal ini tidak sesuai
dengan Pasal 195 Ayat (1) dan Ayat (3) Kompilasi Hukum Islam yang
5 Putusan Nomor 0214/Pdt.G/2017/PA.Pbr, h. 5.
39
melanggar aturan yang ada. Oleh karenanya surat tanggal 08 Januari
2009 harus dibatalkan atau dinyatakan tidak sah atau sekurang-
kurangnya dinyatakan tidak berkekuatan hukum tetap. 6
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, penggugat merasa
kehidupan keluarganya tidak mungkin rukun lagi dengan tergugat.
Penggugat memohon kepada Ketua Pengadilan Agama Pekanbaru dan
Majelis Hakim yang menyidangkan gugatan penggugat dengan putusan
sebagai berikut:7
a. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat I dan II
b. Membatalkan surat yang dibuat oleh tergugat I yang ditujukan
kepada tergugat II tanggal 08 Januari 2009 atau dinyatakan tidak
sah dan tidak berharga atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak
berkekuatan hukum.
c. Menghukum Tergugat I, II, III untuk mentaati isi putusan ini
d. Menghukum Tergugat I, II untuk membayar biaya perkara yang
timbul
Secara teknis, pemeriksaan perkara dilanjutkan melalui tahapan
Mediasi antara Penggugat dengan Tergugat. Setelah melalui tahap itu,
dalam sidang berikutnya yaitu tahap Pemeriksaan.
Setelah Majelis Hakim melakukan sidang setempat atas objek
sengketa masing-masing, di sidang berikutnya antara Penggugat
dengan Tergugat masing-masing mengajukan kesimpulan yang pada
pokoknya bertahan dengan dalil-dalilnya semula.
2. Putusan dan Pertimbangan Hakim
Pada amar putusannya majelis hakim menetapkan 2 penetapan,
yakni :8
a. Menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima (Niet
Ontvankelijke Verklaard)
b. Membebankan biaya perkara tersebut kepada para penggugat
6 Putusan Nomor 0214/Pdt.G/2017/PA.Pbr, h. 10.
7 Putusan Nomor 0214/Pdt.G/2017/PA.Pbr, h. 8. 8 Putusan Nomor 0214/Pdt.G/2017/PA.Pbr, h. 12.
40
Dari amar putusan yang telah dideskripsikan di atas majelis
hakim telah memanggil antara Penggugat dan Tergugat untuk bisa
hadir di persidangan sebagaimana yang dimaksud sesuai dengan pasal
55 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 dan pasal 26 ayat (1)
Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975, panggilan kepada
Penggugat dan tergugat telah disampaikan secara resmi dan patut.
Pada saat hari persidangan telah ditentukan penggugat dan
tergugat hadir dengan kuasa hukumya di Persidangan, kemudian
majelis menjelaskan tentang mediasi sesuai dengan Perma No. 1
Tahun 20169 dan para pihak menandatangan Pernyataan mediasi
dengan mediator yang telah ditunjuk oleh Ketua Majelis Hakim.
Pada saat dilaksanakannya mediasi antara Penggugat dan
Tergugat tidak dapat menghasilkan kesepakatan damai, maka perkara
ini dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan.10
Berdasarkan ketentuan
pasal 49 ayat (1) huruf b dan ayat (3) Undang-Undang nomor 7 tahun
1989 sebagaimana telah diubah dengan Undag-undang nomor 3 tahun
2006 dan perubahan kedua Undang-undang nomor 50 tahun 2009,
pemeriksaan perkara sengketa hibah adalah kewenangan dari Peradilan
Agama.11
Majelis Hakim berargumen bahwa berdasarkan Kompilasi
Hukum Islam Pasal 210 ayat (1) orang yang telah berumur sekurang-
kurangnya 21 tahun, berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat
menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 hartanya kepada orang lain
atau sebuah lembaga yang disaksikan oleh dua orang saksi, kemudian
pada pasal 211 Kompilasi Hukum islam bahwasannya hibah orang tua
kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai harta warisan.
Gugatan penggugat tentang pembatalan surat hibah yang dibuat
oleh orang tua Penggugat pertama yang diberikan kepada beberapa
saudara kandung penggugat tanpa sepengetahuan dari penggugat.
9 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016
10 Putusan Nomor 0214/Pdt.G/2017/PA.Pbr, h. 9.
11 Putusan Nomor 0214/Pdt.G/2017/PA.Pbr, h. 10.
41
Majelis Hakim dalam hal ini memperjelas sengketa hibah perlu
merujuk kepada undang-undang yang secara luas tentang rukun hibah
dan orang yang berhak mendapatkan hibah, pasal 685 Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah (KHES)12
rukun hibah yang terdiri dari,
yakni Pemberi Hibah (wahib), Penerima Hibah (mauhublah), benda
yang dihibahkan (mauhubbin), pernyataan ((Iqrar), penyerahan
(Qabd). Juga pada pasal 712 KHES, Penghibah dapat menarik
kembali harta hibahnya setelah penyerahan dilaksanakan dengan
syarat penerima menyetujuinya, pada pasal 173, apabila orang yang
memberikan hibah dapat menarik kembali barang yang telah
dihibahkan, atau tanpa keputusan pengadilan, maka wahib ditetapkan
sebagai perampas barang lain dan apabila barang tersebut rusak atau
hilang maka ia harus menganti kerugiannya.
Hakim dalam hal ini juga berpendapat bahwa, dalam gugatan
penggugat bukanlah orang yang berhak membatalkan hibah tersebut
karena penggugat tidak termasuk kepada kategori rukun hibah.
Sehingga secara yuridis penggugat bukanlah orang yang Pesona Standi
In Judicio terhadap surat hibah tersebut, karena yang berhak
membatalkan hibah adalah orang yang memberikan hibah kepada
orang lain atau penerima hibah jika hibahnya ditarik kembali tanpa
persetujuan penerima hibah.13
Selanjutnya hakim memberikan landasan merujuk kepada
firman Allah dalam Surat Al-Isra‟ ayat 23:
12
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Pasal 685 13
Putusan Nomor 0214/Pdt.G/2017/PA.Pbr, h. 10.
42
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu
bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara
keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.”
Berdasarkan firman tersebut mengajarkan bahwa sebagai
seorang anak harus berbakti kepada kedua orang tua, berbuat baik
kepadanya dan berupaya membuat orang tua selalu bahagia selagi
orang tua masih hidup, karenanya kita bisa tumbuh dan bisa
mengembangkan potensi yang ada, semua itu adalah jerih payah dari
orang tua kepada anaknya. dengan demikian dalam gugatan penggugat
mengenai harta orang tua yang dibagikan secara tidak adil kepada
anak-anaknya, hal itu sangat tergantung orang tua yang masih
mempunyai hak yang penuh terhadap hartanya, dan keadilan orang tua
tidak terbaca oleh anak-anaknya, untuk menuntut harta orang tua untuk
dibagi secara adil, penggugat masih dikategorikan gugat premature,
karena penggugat belum mempunyai status ahli waris selagi orang tua
masih hidup.14
Kemudian dari fakta-fakta di dalam persidangan dan juga
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, majelis hakim
berijtihad bahwa gugatan penggugat mengandung Obscur Libel gugat
premature dan juga error in persona karena penggugat bukanlah orang
yang mempunyai hak dan kepentingan, sehingga gugatan pembatalan
surat hibah yang diajukan oleh penggugat tidak dapat diterima.
B. Penetapan Nomor 0027/Pdt. G/2017/PTA. Pbr
1. Posisi Kasus
Perkara ini adalah perkara lanjutan dari pekara nomor 0214/Pdt.
G/2017/PA.Pbr yakni perkara pembatalan hibah yang dikomulasi
14
Putusan Nomor 0214/Pdt.G/2017/PA.Pbr, h. 11.
43
wasiat Pada tahab ini para pihak mengajukan upaya hukum lanjutan
yaitu upaya hukum banding dengan didentitats sebagai berikut:
Pembanding pertama bernama Dr. dr. Hj. DT, berumur 48
tahun, Agama Islam, pekerjaan Dewan Pengawas Rumah Sakit Ibu dan
Anak, kewarganegaraan Indonesia, tempat tinggal di Jln. Diponorogo
No. 47, RT 001/ RW 003, Kelurahan Cinta Raja, Kecamatan Sail, Kota
Pekanbaru, Provinsi Riau.
Pembanding kedua bernama dr. IT, Sp.P, umur 44 tahun,
beragama Islam pekerjaan Dokter, kewarganegaraan Indonesia, tempat
tinggal di Kel. Asam Kubang, kecamatan Medan Selayang, Kota
Medan, Provinsi Sumatera Utara, yang memberikan kuasa kepada H.
Arbakmis Lamid, SH. MH dan Nurhasmi, SH. Advokat, yang
beralamat Jln. Keliling/Gunung Gayo, Nomor 5 RT 04/RW 08,
Kelurahan Tangkerang Timur, Kecamatan Tenayan Raya, Kota
Pekanbaru, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Januari 2017.15
Terbanding pertama bernama Prof. Dr. H. TR, M. Kes. Yang
berumur 74 tahun, beragama Islam, tempat tinggal di Jln.
Sisingamangaraja Nomor 93 RT 02/RW 06, Kelurahan Rintis,
Kecamatan Limapuluh Kota, Kota Pekanbaru.
Terbanding kedua Bernama Dr. dr. Hj. SAT, yang berumur 46
tahun, beragama islam, tempat tinggal di Jln. Sisingamangaraja Nomor
93 RT 02/RW 06, Kelurahan Rintis, Kecamatan Limapuluh Kota, Kota
Pekanbaru.
Tergugat III, bernama Dr. IT, berumur 41 tahun, beragama
Islam, Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil (PNS), Kewarganegaraan
Indonesia, tempat tinggal di Jln. Merak Villa Bunga Raya, Blok D No.
17, RT 02/RW 07, Kel. Tengkareng Labuai, Kecamatan Bukit Raya,
Kota pekanbaru, yang diberikan kuasa kepada H. Armalis Ramaini,
SH, Zulkifli, SH, dan Hendra Baharius, SH, MH, adalah Advokat
15
Putusan Nomor 0027/Pdt. G/2017/PTA. Pbr, h. 1.
44
beralamat di Jln. Sisingamangaraja No. 71, Hotel BI Kota Pekanbaru.
Berdasarkan surat Kuasa Khusus tanggal 17 Februari 2017.16
Pada perkara ini para pihak terlihat belum merasa puas dengan
putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama , sehingga pihak yang merasa
keberatan atas putusan tersebut kemudian mengajukan upaya hukum
lanjutan untuk mencari keadilan.
Upaya hukum pertama yang ditempuh adalah upaya hukum
banding. Yang dimaksud dengan upaya hukum banding adalah upaya
hukum yang dilakukan oleh salah satu pihak yang berperkara terhadap
putusan hakim karena menganggap putusan tersebut kurang benar atau
kurang adil.17
Mengutip uraian sebagaimana termuat dalam putusan yang
dijatuhkan oleh Pengadilan Agama Pekanbaru Nomor 0214/Pdt.
G/2017/PA.Pbr yang amarnya berbunyi :
a. Menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima (Niet
Ontvankelijke Verkland)
b. Menghukum penggugat untuk membayar semua biaya yang tibul
dalam perkara ini hingga saat ini dihitung sebesar Rp. 466.000,-
(Empat ratus enam puluh enam ribu rupiah)
Dari permohonan banding pemohon yang dibuat oleh Penitera
Pengadilan Agama Pekanbaru Nomor 0214/Pdt. G/2017/PA.Pbr pada
tanggal 24 Maret 2017, tentang pernyataan banding penggugat yang
telah diberitahukan kepada pihak terbanding pada tanggal 27 Maret
2017.18
Bahwa berdasarkan surat tanda terima dari Panitera Pengadilan
Agama Pekanbaru pada tanggal 06 April 2017, pembanding telah
menyerahkan berkas banding, kemudian pada tanggal 07 April 2017,
telah disampaikan kepada terbanding.
16
Putusan Nomor 0027/Pdt. G/2017/PTA. Pbr, h. 1. 17
Bambang, Sugeng, dab Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh
Dokumen Litigasi Perkara Perdata, (Jakarta:Pradana Media 2013), h. 92 18
Putusan Nomor 0027/Pdt. G/2017/PTA. Pbr, h. 2
45
Pada tanggal 12 April 2017 bahwa terbanding telah
menyerahkan kontra yang berisi penjelasan banding, kemudian pada
tanggal 13 April 2017 disampaikan pula kontra yang berisi penjelasan
banding kepada pembanding.
Selanjutnya pada tanggal 06 April 2017 pemberitahuan
pemeriksaan berkas perkara banding kepada kuasa pembanding , akan
tetapi kedua belah pihak tidak ada yang mengunakan haknya untuk
memeriksa berkas perkara sesuai surat keterangan wakil panitera.19
2. Amar Putusan dan Pertimbangan Hakim
Pada amar putusannya, Majelis Hakim menetapkan, pertama
menerima permohonan banding pembanding, kedua menguatkan
putusan Pengadilan Agama Pekanbaru Nomor 0214/Pdt. G/2017/PA
pada tanggal 20 Maret 2017, dan ketiga, membebankan kepada
pembanding untuk membayar biaya perkara.20
Majelis Hakim menimbang penetapan di atas bahwa,
pembanding dalam hal ini adalah Pengguat Pertama dan Kedua dalam
pemeriksaan judex factie tingkat pertama, sesuai dengan pasal 6
Undang-undang nomor 20 tahun 1947 tentang peradilan ulangan di
Jawa dan Madura jo pasal 61 Undang-undang nomor 7 tahun 1989
tentang peradilan agama yang sudah di ubah dengan Undang-undang
nomor 3 tahun 2006 dan perubahan kedua Undang-undang nomor 50
tahun 2009, maka pembanding mempunyai hak untuk mengajukan
permohonan banding. Pengadilan Tinggi Agama Pekanbaru sebagai
pemeriksa di tingkat banding dan memberikan putusan yang benar dan
adil, oleh karena itu Pengadilan Tinggi Agama Pekanbaru memeriksa
ulang pokok perkara ditingkat pertama.21
Pada tanggal 20 Maret 2017, pembanding mengajukan banding
dengan putusan yang diucapkan, maka Majelis Hakim tingkat banding,
permohonan banding dari terbanding telah sesuai dengan aturan yang
19
Putusan Nomor 0027/Pdt. G/2017/PTA. Pbr, h. 6. 20
Putusan Nomor 0027/Pdt. G/2017/PTA. Pbr, h. 6. 21
Putusan Nomor 0027/Pdt. G/2017/PTA. Pbr, h. 3.
46
berlaku dalam melakukan upaya hukum banding sesuai dengan waktu
yang telah ditetapkan, secara formal permohonan banding harus dapat
dinyatakan diterima.22
Kemudian Majelis Hakim tingkat banding mempelajari berkas
pekara yang terdiri dari surat gugatan para penggugat, berita acara
sidang hakim tingkat pertama, bukti-bukti lain yang berhubungan
dengan perkara, saksi-saksi yang dijaukan oleh para pihak yang
berperkara, dalam hal ini Majelis Hakim tingkat banding dapat
menyetujui putusan hakim tingkat pertama yang sudah tepat dan benar
dalam menerpakan hukum dan hakim tingkat pertama mengambil alih
dan mengeluarkan pendapatnya sendiri.
Majelis Hakim tingkat banding mengeluarkan pendapat bahwa
dalam buku II Mahkamah Agung Republik Indonesia, Dirjen Badan
Pengadilan Agama mendefenisikan:
a. Hibah adalah perbuatan hukum seseorang untuk mengalihkan harta
benda miliknya kepada orang lain atas dasar berbuat baik
b. Hibah menurut syara‟ adalah pemberian harta milik seseorang
kepada orang lain di waktu dia hidup tanpa adanya imbalan.
c. Hibah dalam Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden Nomor 1
tahun 1991) adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan
tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup
untuk dimiliki.
d. Hibah menurut Asaf A. A Fyzee adalah penyerahan langsung dan
tidak bersyarat tanpa pemberian alasan.23
Memahami surat wasiat yang berisikan hibah dari tergugat 1
kepada anak kandungnya tergugat II tanggal 08 Januari 2009 yang
menyatakan “oleh karena itu kepada yang bersangkutan saya hibahkan
harta benda milik saya dengan ultimatum tidak dapat dijual, dipindah
22
Putusan Nomor 0027/Pdt. G/2017/PTA. Pbr, h. 3. 23 Putusan Nomor 0027/Pdt. G/2017/PTA. Pbr, h. 7.
47
tangankan atau dibaliknamakan kepada pihak lain dan hanya dibangun
atau digunakan untuk kepentingan sosial.
Memahami bunyi kalimat Hibah tersebut Majelis Hakim
Tingkat Banding berpendapat bahwa surat wasiat yang berisikan Hibah
dalam perkara a quo bukanlah hibah, akan tetapi adalah penyerahan
manajemen untuk meneruskan usaha yayasan Abdurrab yang meliputi
rumah sakit Abdurrab, dan Universitas Abdurrab dan harta lainnya
yang disebutkan dalam surat wasiat pada tanggal 08 Januari 2009 dan
untuk selanjutnya tidak harus dibatalkan.24
Bila memperhatikan isi wasiat yang dan tatacara yang dilakukan
oleh tergugat pertama dan kedua tidak seperti wasiat dan hibah
sebagaimana yang telah diatur dalam Hukum Islam. Wasiat sendiri
berlaku ketika pewasiat sendiri sudah meninggal. Dan untuk hibah
tidak membatasi ruang gerak yang menerima hibah.
Majelis Hakim tingkat banding sebagai pemeriksa tingkat
banding belum memerisa pokok perkara akan tetapi masih dalam
pemeriksaan formilnya, apakah orang yang mengajukan tersebut
memiliki legal standing atau berkompeten, dari hal tersebut Majelis
Hakim tingkat banding berpendapat bahwa pembanding bukanlah
orang yang mempunyai hak dan berkepentingan, oleh karenanya
gugatan pembatalan hibah yang diajukan melalui kuasa hukumnya
tidak dapat diterima dan putusan tersebut dapat dikuatkan.
C. Penetapan Nomor 558 K/AG/2017
1. Posisi Kasus
Pada tahap ini Dr. dr. Hj DT dan dr. IT, Sp.P sebagai
penggugat I dan II pada tingkat banding berkedudukan sebagai
pembanding kemudian mengajukan upaya hukum berikutnya yaitu
upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung yang mana saat ini Kedua
Penggugat berkedudukan sebagai Pemohon Kasasi, sedangkan Prof.
24
Putusan Nomor 0027/Pdt. G/2017/PTA. Pbr, h. 8.
48
Dr. H. TR, M.Kes, Dr. dr. Hj SAT dan Dr. IT sebagai tergugat I, II,
dan III pada Tingkat Banding berkedudukan sebagai Terbanding pada
tahap ini sebagai Termohon Kasasi.25
Pada perkara ini, para pihak yang masih merasa belum puas
dengan putusan Majelis Hakim Tingkat Banding sehingga pihak yang
keberatan atas hal ini mengajukan upaya hukum lanjutan untuk
mencari keadilan. Upaya hukum tersebut yang ditempuh adalah upaya
hukum kasasi. Upaya hukum Kasasi tersebut adalah upaya hukum
yang dilakukan terhadap lembaga peradilan terakhir yakni Mahkamah
Agung.26
2. Amar Putusan dan Pertimbangan Hakim
Pada amar putusannya, Majelis Hakim menetapkan, pertama
mengabulkan gugatan Para penggugat. Kedua, membatalkan hibah
wasiat Tergugat Pertama kepada Tergugat Kedua. Ketiga, menyatakan
bahwa surat yang dibuat oleh Tergugat Pertama kepada Tergugat
Kedua tidak sah dan tidak mengikat, kemudian majelis membebankan
kepada Termohon Kasasi untuk membayar biaya perkara semua
tingkat peradilan.27
Sebagaimana penjelasan penetapan yang di atas bahwa Hakim
Kasasi telaah membaca memori kasasi dan putusan judex facti
mengeluarkan pendapat sendiri. Alasan yang disampaikan pada saat
banding dapat dibenarkan, karena Pengadilan Tinggi Agama
Pekanbaru yang menguatkan putusan dari Pengadilan Agama
Pekanbaru adalah salah dan keliru dalam menerapkan hukum. Bahwa
surat wasiat yang dibuat oleh Prof. Dr. H. TR, M.Kes sebagai
termohon kasasi atau Tergugat pertama, pada tanggal 8 Januari 2009
yang di tandatangani oleh pemberi wasiat itu sendiri bersama dengan
25
Putusan Nomor 558 K/AG/2017, h. 1. 26
Rasito, Panduan Belajar Hukum Acara Perdata, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015). 27
Putusan Nomor 558 K/AG/2017, h. 13.
49
penerima wasiat anaknya Dr. dr. Hj SAT sebagai Termohon Kasasi
dan Tergugat II di bawah tangan adalah batal demi hukum, karena
tidak memenuhi syarat sahnya wasiat menurut Hukum Islam di
Indonesia pada Pasal 194 dan Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam,
yaitu:28
a. Pasal 194 berbunyi
1. Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun,
berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan
sebagaian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
2. Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari
pewasiat.
3. Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat
(1) pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat
meninggal dunia.
b. Pasal 195 berbunyi
1. Wasiat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang saksi, atau
tertulis di hadapan dua orang saksi, atau di hadapan Notaris.
2. Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga
dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.
3. Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh
semua ahli waris.
4. Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat
secara lisan di hadapan dua orang saksi, atau tertulis di hadapan
dua orang saksi, atau di hadapan Notaris.
Secara materil surat wasiat yang dibuat oleh termohon kasasi
atau Tergugat Pertama tidak sejalan dengan Hukum Islam. Dalam
pandangan Hukum Islam kekayaan orang tua ada tiga fungsi yaitu
untuk kepentingan nafkah keluarga, untuk kepentingan keluarga dan
yang terakhir adalah kepentingan anak yang ditinggal ketika yang
28
Putusan Nomor 558 K/AG/2017, h. 11.
50
bersangkutan meninggal dunia. Firman Allah Swt dalam sura An-Nisa
ayat 9:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah,
yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab
itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan Perkataan yang benar.”
Berdasarkan diatas para Pemohon Kasasi sebagai anak
kandung pewasiat dan sebagai saudara kandung penerima wasiat
memiliki legal standing untuk membatalkan wasiat in casu, karena
memiliki hak untuk mendapatkan objek yang diwasiatkan yang
merupakan harta dari orang tua serta hak untuk memberi persetujuan
atau tidak memberi memberi persetujuan dalam wasiat ini.29
29
Putusan Nomor 558 K/AG/2017, h. 12.
51
BAB IV
TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN PERATURAN DI INDONESIA
TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM PEMBATALAN WASIAT
ORANG TUA TERHADAP ANAK
A. Analisis Putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama
Pekanbaru yang menolak Pembatalan Wasiat Orang Tua Terhadap
Anak
Setelah peneliti mengetahui kasus dalam perkara Nomor 0214/Pdt.
G/2017/PA.Pbr, Nomor 0027/Pdt. G/2017/PTA. Pbr dapat dipahami
bahwa masalah yang disengketakan antara pihak Penggugat dan Tergugat
ialah mengenai sengketa pembatalan wasiat yang diberikan orang tua
kepada anaknya (Tergugat I). Berdasarkan peraturan Pasal 49 huruf c
Undang-undang No. 3 Tahun 2006, perkara ini adalah kewenangan absolut
Pengadilan Agama. 1
Berkaitan dengan pertimbangan hakim dalam putusan ini, menurut
peneliti, Majelis Hakim telah menggali nilai-nilai hukum dan keadilan
yang hidup di masyarakat, sebagaimana dalam ketentuan tentang
kekuasaan kehakiman terbaru yaitu UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 ayat
(1). Memang dalam memutus perkara, hakim harus merujuk pada undang-
undang yang berlaku. Tetapi dalam hal tuntutan keadilan, hakim bukanlah
corong pada undang-undang. Tetapi Hakim wajib menafsirkan dan
menemukan hukum demi memutuskan suatu perkara dengan adil.2
Dalam kasus yang seperti ini seorang hakim yang menjadi ulul
amri dan mewakili Negara yang memiliki kewenangan untuk berijtihad
1 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruh Politik Hukum (Hk. Islam,
Hk Barat, dan Hk. Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradillan
Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Aceh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010),
cetakan ke 2, h. 25. 2 Jonaedi Effendi, Rekonstruksi Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Berbasis Nilai-Nilai
Hukum dan Rasa Keadilan Yang Hidup Dalam Masyarakat, (Depok: Prenadamedia Group, 2018),
Ed. 1, Cet. 1, h. 233.
52
sesuai dengan nash serta dengan mempertimbangkan implikasinya
terhadap keadaan sosial masyarakat dan keluarga.3
Seperti yang telah dijelaskan di bab sebelumnya mengenai tata cara
pembagian Wasiat dan penyelesaiannya, semua telah diatur berdasarkan
ketentuan Hukum Islam dan perundang-undang yang berlaku di Indonesia.
Dalam Hukum Islam sudah disebutkan bahwa rukun dan syarat wasiat itu
adalah sebagi berikut:
1. Pemberi wasiat
Syarat-syarat bagi orang yang memberikan wasiat adalah
kelayakan dalam melakukan kebajikan yaitu orang yang memiliki
kemampuan yang didasari pada akal, kedewasaan, kemerdekaan,
berusaha dan tidak dibatasi oleh kebodohan atau kelalaian.
Semua mazhab sepakat bahwa wasiat orang gila dan wasiat
anak kecil yang belum mumayyiz tidak lah sah. Namun ada perbedaan
pendapat, menurut Imam Malik wasiat orang bodoh dan anak kecil
yang mengerti dengan berbagai macam ibadah adalah sah. Abu
Hanifah mengatakan, wasiat anak kecil yang belum dewasa tidaklah
sah. mazhab Syafi‟i mengatakan bahwa wasiat orang yang hilang
kesadarannya adalah tidak sah, tetapi wasiat orang yang mabuk adalah
sah.4
Muhammad Jawad Mughniyah, mengemukakan bahwa di
kalangan mazhab Imamiyah mengatakan bahwa orang yang idiot tidak
boleh berwasiat dalam soal kebendaan atau hartanya, tetapi boleh
berwasiat yang tidak berhubungan dengan kebendaan atau harta.5
Kemudian Para Fuqaha yaitu Hanafiyah, Malikiyah, Syafi‟iyah
dan Hanabilah secara umum mengatakan bahwa wasiat sebagai hak
mengalihkan harta yang dimiliki secara sukarela (tabarru‟) yang
3 Achmad Arief Budiman, “Penemuan Hukum dalam Putusan Mahkamah Agung dan
Relevansinya bagi Pengembangan Hukum Islam di Indonesia”, Pemikiran Hukum Islam, XXIV, 1
(April, 2014), h. 6. 4 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 666.
5 Muhammad Jawad Mughniyah, Al Fiqhu al Mazahibi al Khamsah, Terjemahan Afif
Muhammad, (Basrie Press, 1994), h. 240.
53
pelaksanaanya setelah adanya peristiwa kematian atau orang yang
memberikan wasiat sudah meninggal dunia.6
Sedangkan di Kompilasi Hukum Islam yang senada dengan
Hukum Islam yang dijelaskan pada pasal 194 disebutkan bahwa:
a. Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun dan
berakal sehat, dan tanpa adanya paksaan ketika mewasiatkan
sebagian harta bendanya kepada orang lain atau suatu lembaga.
b. Harta benda yang diwasiatkan adalah harta benda dari pewasiat.
c. Wasiat dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.
Lalu pada putusan Nomor 0214/Pdt. G/2017/PA.Pbr dan
Nomor 0027/Pdt. G/2017/PTA. Pbr yang menolak gugatan pembatalan
wasiat orang tua terhadap anak. Secara keseluruhan persyaratan yang
disebutkan di atas sudah terpenuhi, namun ada satu persyaratan yang
tidak dilaksanakan yaitu orang yang memberikan wasiat belum
meninggal dunia. Dalam kasus ini peneliti menilai bahwa tidak sah
wasiat tersebut karena orang yang memberikan wasiat belum
meninggal dunia namun wasiat ini sudah jalan selama 8 tahun.
Sedangkan pada Hukum Islam dan KHI menjelaskan bahwa, wasiat
dapat dilaksanakan atau sahnya wasiat apabila orang yang memberikan
wasiat sudah meninggal dunia.
2. Penerima wasiat
Para Ulama Mazhab dalam hal ini sepakat bahwa tidak bolehnya
wasiat untuk ahli waris, kecuali jika disetujui oleh para ahli waris lainnya.7
Alasan dari empat Mahzab ini adalah hadits riwayat Ahmad dan Tirmidzi:8
و فلا وصية لوارث إن الله قد أعطى كل ذي حق حق
6 KH. Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris Al-Faraidl, (Surabaya:
Pustaka Hikmah Perdana, 2005), h. 223. 7 Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqh Lima Mahzab “Ja‟fari, Hanafi, Maliki, Syafi‟i,
Hambali”, (Jakarta: Lentera, 2013), h. 507. 8 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), h. 473-474.
54
“Sesungguhnya Allah telah memberikan setiap hak akan haknya,
maka tidak ada wasiat untuk ahli waris”.
Hadits yang diriwayatkan Daruqutni:
يز الورثة ارقطن –لا وصية لوارث إلا أن ي أخرجو الد
“Tidak boleh berwasiat untuk ahli waris, kecuali jika dikehendaki
oleh ahli waris lainnya”.9
Kalangan Malikiyah, Al-Muzanni dan Zahiriyah menyatakan
bahwa larangan berwasiat tidak menjadi gugur dengan adanya izin dari
ahli waris lainnya. Menurut kalangan ini, larangan seperti itu termasuk
kepada hak Allah yang tidak bisa gugur dengan kerelaan hati dari
manusia dalam hal ini ahli waris. Ahli waris tidak berhak dalam untuk
membenarkan sesuatu yang dilarang oleh Allah. Seandainya ahli waris
menyetujuinya juga maka statusnya bukan lagi wasiat tetapi adalah
hibah dari pihak ahli waris itu sendiri, yang harus memenuhi ketentuan
dari hibah tersebut sebagaimana lazimnya.10
Syiah Imamiyah dan sebagian dari Syiah Zaidiyah berpendapat,
boleh hukumnya berwasiat kepada ahli waris tanpa ada persetujuan
dari ahli waris lainnya dalam batas sepertiga harta.11
Alasan Mereka
adalah Surat Al-Baqarah ayat 180 yang sudah dinasakhkan oleh ayat
waris.
9 http://www.rumahfiqih.com/t.php?id=335, diakses tanggal 26 November 2019
10 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, h. 381-
382, lihat juga Wahbah al-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr,
1997), h. 7478. 11
Wahbah al-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, h. 7477.
55
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara
ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”
Namun mereka menolak pendapat mayoritas ulama yang
mengatakan bahwa ayat tersebut sudah dinasakhkan oleh Surat An-
Nisa ayat 11-14:
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak.
jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat
yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-
hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara
seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau
sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada
ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at
yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Penyantun.”
56
Memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan
seperti:
1) Mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka.
2) Berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan. Sekalipun
kurang dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris, juga
tidak diperbolehkan.12
Pada pasal 195 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam menjelaskan
bahwa wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh
semua ahli waris. 13
Hakim dalam putusan Nomor 0214/Pdt. G/2017/PA.Pbr dan
Nomor 0027/Pdt. G/2017/PTA. menurut peneliti kurang tepat dalam
memutuskan perkara ini karena mengabaikan dari aspek yuridis yaitu
karena tidak menerapkan dari pasal 195 ayat (3) Kompilasi Hukum
Islam yang menjelaskan bahwa berwasiat kepada ahli waris haruslah
ada persetujuan dari ahli waris lainnya.
3. Redaksi wasiat (Sighat)
Ibnu Rusyd mengatakan bahwa wasiat dilaksanakan
mengunakan redaksi (sighat) yang jelas atau sharih dengan kata wasiat
dapat dilaksanakan dengan kata-kata yang samara (ghairu sharih). Ini
dapat ditempuh karena wasiat berbeda dengan hibah. Wasiat bisa
dilakukan secara tertulis dan tidak memerlukan jawaban (qabul)
penerimaan secara langsung.14
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah penerimaan
(qabul) orang yang menerima wasiat adalah syarat sah atau tidak.
Imam Malik mengatakan bahwa penerimaan (qabul) wasiat merupakan
syarat sah. Imam Syafi‟i mengatakan bahwa qabul orang yang
12
Aplikasi Al-Qur‟an Word 13
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CV Nuansa Aulia,
2017), h. 57. 14
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Depok: Rajawali Pers, 2017), cet
ke III, h. 366.
57
menerima wasiat tidak merupakan syarat sah. Abu hanifah dan kedua
muridnya, Abu yusuf dan Hasan al-Syaibani memandang bahwa qabul
dalam wasiat harus ada. Alasan Abu hanifah dan kedua muridnya
adalah wasiat merupakan tindakan ikhtirariyah dan pernyataan
menerima penting adanya, seperti juga dengan traksaksi lain.15
Bila dikaitkan dengan Pasal 195 ayat (1) Kompilasi Hukum
Islam yang menjelaskan bahwa wasiat dilakukan secara lisan di
hadapan dua orang saksi, atau tertulis di hadapan dua orang saksi, atau
di hadapan Notaris.
Namun peneliti melihat bahwa syarat yang berkaitan dengan
redaksi ini tidak sesuai dengan pendapat fuqaha‟ dan Kompilasi
Hukum Islam yang sudah dijelaskan, karena secara persyaratan pun
sudah tidak sesuai. Dalam membuat wasiat harus ada dua orang saksi
atau dihadapan notaris secara lisan maupun tulisan. Sedangkan dalam
perkara Nomor 0214/Pdt. G/2017/PA.Pbr dan Nomor 0027/Pdt.
G/2017/PTA wasiat tersebut tidak disaksikan oleh 2 orang saksi dan
tidak juga dibuat dihadapan notaris.
4. Barang yang Diwasiatkan
Semua mahzab sepakat bahwa barang yang diwasiatkan harus
bisa dimiliki dan memiliki harga jual atau yang bisa digunakan. Tidak
sahnya mewasiatkan benda yang lazimnya tidak bisa dimiliki, seperti
serangga, minuman keras atau tidak dimiliki secara syar‟i.
Namun barang atau harta yang diwasiatkan tidak boleh lebih
dari sepertiga harta. Jika melebihi sepertiga harta warisan, semua
mahzab sepakat bahwa hal itu harus ada izin dari ahli waris. Sekiranya
diizinkan maka wasiat itu di perbolehkan lebih dari sepertiga harta,
kalau tidak ada izin dari ahli waris maka wasiat itu batal.16
Tapi jika
sebagian ada yang menyetujui namun sebagian lagi menolak maka
15
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 366-367. 16
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Premadia Group, 2018), h. 170.
58
yang dikeluarkan adalah sepertiga harta, dan izin dari ahli waris adalah
orang yang sudah baligh, sehat dan rasyid. 17
Imam Malik berpendapat bahwa wasiat maksimal boleh
dikeluarkan adalah sepertiga harta yang dimiliki. Abu Hanifah
mengatakan, wasiat boleh keseluruhan dari harta. Imam Syafi‟i dan
Imam Ahmad mempunyai dua pendapat, namun Imam Syafi‟i
mengatakan tidak boleh melebihi dari sepertiga harta.18
Senada dengan apa yang sudah dijelaskan oleh para Ulama
Mazhab, pasal 195 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam menjelaskan
bahwa Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari
harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.19
Maksudnya, wasiat hanya boleh sepertiga harta, kalau wasiat lebih dari
sepertiga harta harus ada persetujuan dari ahli waris.
Dari keseluruhan yang di uraikan diatas peneliti melihat bahwa
Hakim PA dan PTA Pekanbaru yang memutuskan perkara tidak
sejalan dengan Hukum Islam dan peraturan yang berlaku di Indonesia.
Dilihat dari semua rukun dan syarat wasiat tersebut Hakim PA dan
PTA belum sesuai dengan Hukum Islam dan peraturan di Indonesia
dalam memutuskan perkara pembatalan wasiat orang tua terhadap anak
dan juga tidak melihat asas keadilan yang melanggar dari semua aspek
yang ada yaitu melanggar ketentuan dari pasal 194 dan 195 Kompilasi
Hukum Islam.
Kalau dari kasus ini hakim lebih cenderung membahas tentang
hibah dan tidak menyorot dari kasus wasiatnya. Secara rukun dan
syarat hibah hampir sama dengan wasiat, adanya pemberi hibah,
penerima hibah, barang yang dihibahkan dan redaksi hibah.
17
Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqh Lima Mahzab “Ja‟fari, Hanafi, Maliki, Syafi‟i,
Hambali”, (Jakarta: Lentera, 2013), h. 513. 18
Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqh Lima Mahzab “Ja‟fari, Hanafi, Maliki, Syafi‟i,
Hambali, h. 513. 19
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CV Nuansa Aulia,
2017), h. 57
59
Pemberi hibah disini menurut para ulama sepakat bahwa orang
yang menghibahkan adalah yang memiliki dari barang tersebut, bukan
orang yang dibatasi haknya, pemberi adalah orang yang baliq dan tidak
adanya keterpaksaan dalam pemberian hibah.20
Para Fuqaha
berpendapat bahwa orang yang memberikan hibah kepada orang lain
dibenarkan memberikan sepertiga hartanya. Mayoritas ulama
membolehkan semua harta yang dimiliki kepada orang lain. Namun
Muhammad Ibnu Hasan dan sebagian kalangan Hanafi mengatakan
tidak sah menghibahkan semua harta meskipun tujuan kebaikan
Kemudian orang menerima hibah, para ulama sepakat bahwa
harus hadir pada saat pemberian hibah. Tapi kalau orang yang
menerima hibah masih kecil atau gila harus diambil oleh walinya. Abu
Hanifah, Syafi‟i dan ats-Tsauri mengatakan penerimaan langsung
hibah adalah syarat sah dari hibah tersebut.21
Kemudian barang yang diwasiatkan harus ada wujud, benda
tersebut ada harga nilainya, dan bisa dimiliki zatnya. Terakhir adalah
redaksi hibah. Ijab dan kabul haruslah ada dalam setiap apa yang harus
dilakukan. Dengan adanya pernyataan dari orang yang menghibahkan
dan pernyataan menerima dari yang menerima hibah maka sahlah
penghibahan barang yang di hibahkan. Contoh pelafadzan ijab dan
kabul seperti “saya berikan barang atau harta kepada engkau” dan
dijawab “ya, saya terima”. Dalam pengucapan ini harus di dasarkan
kesepakatan. Menurut fuqaha adanya ijab harus di ikuti oleh kabul.
Namun menurut Imam Abu Hanifah, dalam hibah cukup dengan kata
hijab saja, tanpa harus diikuti oleh kabul.22
Dalam hal ini apa yang sudah dijelaskan dari rukun dan syarat
hibah sejalan dengan pasal 210 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang
menjelaskan bahwa orang yang mewasiatkan telah berumur 21 tahun,
20
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi aksara, 2004), h. 438 21
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, h-438 22
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2011), h. 80
60
berakal sehat, tanpa ada paksaan dan tidak melebihi dari sepertiga
harta dan harus di saksikan dua orang saksi.
Perkara Nomor 0214/Pdt. G/2017/PA.Pbr dan Nomor
0027/Pdt. G/2017/PTA dalam pertimbangannya mengatakan untuk
masalah pasal 210 ayat (1) dan juga mengutip pasal 211 yang
mengatakan hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan
sebagai warisan. Kemudian mengutip pasal 685 Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES). Setelahnya Hakim PA Pekanbaru
menyimpulkan bahwa penggugat dalam hal ini mengandung Obcur
Libel atau gugat prematur23
dan juga error in persona karena
penggugat bukanlah orang yang mempunyai hak dan kepentingan.
Kemudian Hakim PTA pekanbaru menguatkan putusan tersebut
dengan mempunyai putusan sendiri melihat dari Buku II Mahkamah
Agung Republik Indonesia yang berisikan tentang hibah. Hakim PTA
menyimpulkan bahwa Pembanding atau Penggugat bukanlah orang
yang mempunyai hak dan berkepentingan dalam membatalkan surat
wasiat yang berisikan hibah tersebut.
Menurut analisa peneliti dalam perkara Nomor 0214/Pdt.
G/2017/PA.Pbr dan Nomor 0027/Pdt. G/2017/PTA. dikatakan benar
dalam menerapkan hukum karena melihat dari faktor hukum yang
disebutkan. Kemudian orang yang berhak dalam mencabut hibah
tersebut adalah orang yang memberi hibah. Dan hibah orang tua
kepada anak bisa dikatakan warisan.
Namun pekara Nomor 0214/Pdt. G/2017/PA.Pbr dan Nomor
0027/Pdt. G/2017/PTA dalam hal ini tidak sejalan dengan Hukum
Islam dan Peraturan yang berlaku di Indonesia. Dalam batasan atau
ukuran menghibahkan harta atau barang kepada orang lain adalah tidak
boleh lebih dari sepetiga harta yang dimiliki. Kemudian juga KHI pun
23
Yang dimaksud dengan gugat prematur adalah gugatan yang diajukan terlalu dini,
karena batas waktu yang telah ditentukan belum sampai atau belum terpenuhi. Lebih lanjut lihat:
http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt5d9c586817f1f/arti-gugatan-prematur/, diakses tanggal
26 November 2019
61
menjelasaskan harus ada dua orang saksi dalam pemberian hibah ini.
Namun dalam hibah tidak ada orang saksi dalam pemberian hibah.
Dengan demikian, berdasarkan uraian-uraian yang sudah
peneliti paparkan bahwa dalam perkara Nomor 0214/Pdt.
G/2017/PA.Pbr dan Nomor 0027/Pdt. G/2017/PTA belum tepat dalam
memutuskan perkara karena tidak sesuai dengan Hukum Islam dan
Peraturan yang berlaku di Indonesia juga tidak melihat dari asas
keadilan dalam memutuskan perkara ini. Karenanya hakim yang
berkesimpulan bahwa Penggugat bukanlah orang yang mempunyai hak
dan kepentingan menurut peneliti adalah kurang tepat, bahwa
Penggugat dalam hal ini adalah anak kandung dari Tergugat 1 yang
sangat sah untuk bisa membatalkan surat wasiat yang berisikan hibah,
karena wasiat kepada ahli waris boleh dilakukan apabila ahli waris lain
menyetujuinya.
Kelebihan dari pertimbangan hakim dalam perkara ini yaitu
hakim mampu memberikan pendapat hukum berdasarkan Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Pasal 685 tentang rukun hibah dan
juga di Tingkat Banding mengunakan argumen mengunakan buku II
Mahkamah Agung yang menjelaskan tentang hibah. Yang berarti
Hakim Tersebut memberikan terobosan baru dalam perkembangan
kasus ini.
Tapi di balik itu, kekurangan dari pertimbangan hakim tersebut
ialah kurang mempertimbangkan dalam memutuskan perkara tersebut
yang membuat hak anak lainnya terambil yang tidak sesuai dengan
Kompilasi Hukum Islam, KUHPerdata, dan para ulama umumnya
tidak sepakat dalam pemberian wasiat kepada anak dan juga tidak
sesuai dengan asas keadilan yang diputuskan oleh hakim dalam
perkara ini.
62
B. Analisis Putusan Kasasi Mahkamah Agung yang Mengabulkan
Pembatalan Wasiat Orang Tua Terhadap Anak
Pada amar putusan Kasasi Nomor 558 K/AG/2017, Majelis Hakim
menetapkan, pertama mengabulkan gugatan Para penggugat. Kedua,
membatalkan hibah wasiat Tergugat Pertama kepada Tergugat Kedua.
Ketiga, menyatakan bahwa surat yang dibuat oleh Tergugat Pertama
kepada Tergugat Kedua tidak sah dan tidak mengikat, kemudian majelis
membebankan kepada Termohon Kasasi untuk membayar biaya perkara
semua tingkat peradilan.24
Pada bab dan penjelasan sebelumnya juga sudah dijelaskan bahwa
Hakim Kasasi dalam hal memutuskan kasus ini, kalau dilihat dari aspek
rukun dan syarat wasiat yaitu:
1. Pemberi Wasiat
2. Penerima Wasiat
3. Redaksi Wasiat
4. Barang atau Harta yang diwasiatkan
Peneliti menilai bahwa Hakim Kasasi dalam hal ini sudah tepat
dalam memutuskan kasus ini karena sudah sesuai dengan Hukum Islam
dan peraturan yang berlaku di Indonesia. Hakim Kasasi menilai bahwa
putusan Hakim PA dan PTA Pekanbaru keliru dalam memutuskan perkara
karena tidak sesuai dengan Pasal 194 dan Pasal 195 Kompilasi Hukum
Islam 25
Kemudian pada pasal 1320 tentang perjanjian unsur ke empat
disebutkan disana adalah suatu kehalalan.26
Kehalalan di sini adalah
perjanjian yang tidak disepakati dari pihak lain. Juga pada pasal 1365
KUHPerdata27
tentang perbuatan melawan hukum. Yang dimaksud dengan
perbuatan melawan hukum adalah setiap orang yang mengakibatkan
24
Putusan Nomor 558 K/AG/2017, h. 13 25
Putusan Nomor 558 K/AG/2017, h. 11. 26
Burgelijk Wetboek, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT Balai
Pustaka,2014), h. 339. 27
Burgelijk Wetboek, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 346.
63
kerugian pada orang lain, mewajibkan orang lain menganti kerugian.28
Tergugat dalam hal ini melawan dari hukum ini sendiri.
Kemudian Hakim Kasasi juga mengambil dalil dari putusan Ketua
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor KMA/032/SK/IV/2006
tentang pemberlakuan buku II pedoman pelaksanaan tugas dan
administrasi pengadilan, huruf B angka 2 pedoman khusus huruf c, wasiat
dan hibah angka 3 dan huruf c yang menjelaskan bahwa dalam hal terjadi
sengketa wasiat dan hibah baik yang disebabkan oleh karena wasiat dan
hibah yang tidak memenuhi syarat suatu perikatan atau melanggar
Undang-undang, maka Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar‟iyah
dapat mendomani beberapa petunjuk yang diuraikan pada pedoman ini.
Huruf c menjelaskan bahwa ahli waris atau pihak yang berkepentingan
dapat mengajukan gugatan pembatalan wasiat dan hibah, bila wasiat dan
hibah melebihi dari sepertiga bagian dari harta benda pemberi wasiat atau
pemberi hibah.29
Secara materil surat wasiat yang dibuat oleh Termohon Kasasi atau
Tergugat Pertama tidak sejalan dengan Hukum Islam dalam Pandangan
Hukum Islam. Kekayaan orang tua ada tiga fungsi yaitu untuk kepentingan
nafkah keluarga, untuk kepentingan keluarga dan yang terakhir adalah
kepentingan anak yang ditinggal ketika yang bersangkutan meninggal
dunia.
Argumen terakhir dari mejelis hakim terdapat dalam Firman Allah
Swt dalam surat An-Nisa ayat 9:
` 28
Sedyo Prayogo, Penerapan Batas-Batas Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum
dalam Perjanjian, Jurnal Pembaharuan Hukum, Volume III No. 2, Mei-Agustus 2016, h. 281. 29
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
KMA/032/SK/IV/2006 tentang pemberlakuan buku II, Angka 3 Huruf c
64
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
Perkataan yang benar.”
Menurut peneliti sudah sangat tepat ketika seorang Hakim
menjadikan Al-Qur‟an sebagai dasar hukum. Karena dengan begitu, jati
diri dari hukum Islam menjadi lebih kokoh dan kuat, bukan
mengesampingkan syariah dan membungkusnya dengan konsep-konsep
keadilan yang diciptakan oleh manusia, tidak ada jaminan akan benar-
benar adil. Tetapi apabila kita memaksa syariah sebagai sumber hukum,
tentu tidak mungkin jika Tuhan sengaja menurunkan hukum hanya untuk
menghardik manusia, dan sebagai seorang muslim sudah sangat wajar
apabila menganggap apa yang Allah swt. tetapkan, maka itulah sesuatu
yang terbaik bagi hamba-Nya.
Kekurangan dari pertimbangan Hakim dalam perkara Nomor 558
K/Ag/2017 adalah cara hakim dalam memutuskan perkara ini terlalu
tekstual sehingga berkesan bahwa hukum wasiat itu bersifat status dan
stagnan.
Tetapi kelebihan dari pertimbangan hakim dalam perkara ini
adalah memegang teguh sumber-sumber hukum dengan dalil yang kuat
dengan melihat asas keadilan yang telah diputuskan. Namun menurut
penulis disinilah faktor seorang Hakim dalam memutuskan suatu perkara
yang seadil-adilnya.
Peneliti menilai dari putusan Nomor 558 K/Ag/2017 yang
menerima putusan tersebut dan membatalkan seluruh harta yang diberikan
kepada Tergugat II adalah sudah tepat dan sudah menjalankan doktrin
keadilan yang memutuskan perkara berdasarkan Hukum Islam dan hukum
yang berlaku di Indonesia yaitu pasal 194 yaitu ayat (1) bahwa “Orang
yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa
adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagaian harta bendanya kepada
65
orang lain atau lembaga”. Selanjutnya dalam pasal 194 ayat (3) diatur
bahwa “pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia”.
Sedangkan pada pasal 195 yaitu ayat (1)-(4) dijelaskan bahwa wasiat
dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis di hadapan
dua orang saksi, atau di hadapan Notaris. Wasiat hanya diperbolehkan
sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua
ahli waris menyetujui, wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila
disetujui oleh semua ahli waris. Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan
(3) pasal ini dibuat secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis di
hadapan dua orang saksi, atau dihadapan notaris dalam Kompilasi Hukum
Islam. Juga KUHPerdata pada pasal 1320 tentang kehalalan dan 1360
tentang melawan hukum, juga Hakim Tingkat Kasasi melihat dari
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
KMA/032/SK/IV/2006 tentang pemberlakuan buku II.
Selain itu, putusan Hakim Kasasi Nomor 558 K/Ag/2017 tersebut
sudah sesuai dengan ditetapkannya syariat (maqashid al-syariah) yang
dalam hal ini masuk dalam kategori hifdzu al mall (menjaga harta) yaitu
sesuatu yang menjadi penopang keluarga, kesejahteraan keluarga dan
kebahagian keluarga, karena harta orang tua adalah untuk kepentingan
nafkah keluarga, untuk kepentingan keluarga dan yang terakhir adalah
kepentingan anak yang ditinggal ketika yang bersangkutan meninggal
dunia. Dengan demikian peneliti berkesimpulan bahwa putusan Hakim
Kasasi Nomor 558 K/Ag/2017 telah sesuai dengan Hukum Islam dan
peraturan di Indonesia.
66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian diatas yang telah peneliti paparkan
sebelumnya, penulis dapat memberikan beberapa kesimpulan, yaitu
sebagai berikut:
1. Para fuqaha berbeda pendapat tentang pembatalan wasiat orang tua
terhadap anak. Menurut Mazhab Syafi‟i wasiat kepada ahli waris
dibolehkan jika ada izin dari ahli waris lainnya. Apabila wasiat telah
terlanjur diberikan sedangkan ahli waris lain tidak setuju maka wasiat
itu harus dibatalkan. Sedangkan menurut kalangan Malikiyah, Al-
Muzanni, dan zahiriyah tidak boleh wasiat kepada ahli waris, dengan
demikian jika terjadi wasiat kepada ahli waris, wasiat tersebut wajib
untuk dibatalkan. Adapun menurut peraturan yang berlaku di
Indonesia pasal 195 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam, wasiat kepada
ahli waris dibolehkan jika ahli waris lain menyetujuinya. Namun jika
terjadi wasiat kepada ahli waris namun tidak ada persetujuan dari ahli
waris lain maka wasiat tersebut harus dibatalkan.
2. Pengadilan Agama Pekanbaru yang menolak gugatan pembatalan
wasiat orang tua terhadap anak dengan pertimbangan bahwa gugatan
Penggugat obsur libel gugat prematur dan error in persona karena
penggugat bukanlah orang yang mempunyai hak dan kepentingan,
sedangkan Pengadilan Tinggi Agama Pekanbaru juga menolak dan
menguatkan putusan Hakim Pengadilan Agama Pekanbaru
berpendapat hal yang sama yaitu Pembanding bukanlah orang yang
mempunyai hak dan berkepentingan (persona standi in judicio).
Kemudian MA yang mengabulkan gugatan Penggugat karena Para
Pemohon Kasasi atau Para Penggugat memiliki legal standing untuk
membatalkan wasiat yang mempunyai hak terhadap objek wasiat yang
merupakan harta orang tua Para Pemohon Kasasi atau Para Penggugat
67
serta hak dalam memberikan persetujuan atau tidak memberi
persetujuan atas harta tersebut.
3. Masing-masing putusan tersebut ditinjau dari Hukum Islam dan
peraturan yang berlaku di Indonesia, pada Tingkat I dan Tingkat
Banding kalau dilihat dari rukun dan syarat wasiat, hakim keliru dalam
memutuskan kasus ini karena Penggugat memiliki legal standing
dalam membatalkan wasiat karena mempunyai hak dan kepentingan
atas harta orang tua. Kemudian di Tingkat Kasasi dilihat dari rukun
dan syarat wasiat hakim sudah sesuai dalam memutuskan perkara ini,
hal tersebut juga sesuai dengan ditetapkannya syariat (maqashid al-
syariah) yang dalam hal ini masuk dalam kategori hifdzu al mal
(menjaga harta).
B. Saran
Berdasarkan penelitian, pembahasan dan kesimpulan, Maka
penulis perlu untuk memberikan saran-saran sebagai bahan pertimbangan
di kemudian hari. Saran ini penulis tujukan kepada seluruh Hakim yang
berada di bawah naungan Mahkamah Agung agar senantiasa memberikan
rasa keadilan dalam setiap putusan-putusannya karena jika keadilan tidak
terwujud bisa menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum
khususnya di Indonesia.
68
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abta ,KH. Asyhari dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu waris Al-Faraidl,
Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005.
Alam, Andi Syamsu dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Dalam
Perspektif Islam, Jakarta: Kencana Predana Media Grup, 2008.
Amruzi, M. Fahmi Al, Rekonstrusi Wasiat Wajibah Dalam Kompilasi
Hukum Islam, Yogyakarta : Aswaja Pressindo, 2000.
Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011.
Aulia, Redaksi Nuansa, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: CV Nuansa
Aulia, 2017.
Badran, Badran Abu Al-Ainaini, Ahkam Al-Wasaya wa al-Auqaf,
Iskandariah: Musasah Syabab al-jammi‟ah, 1982.
al-Bugha, Mustafa Dieb, Fikih Sunnah Imam Syafi‟i, Depok: Fathan
Media Prima, 2018.
al-Bugha, Musthafa Dib,Dkk, Fikih Manhaji, Yogyakarta: Darus Uswah,
2012.
Djalil, A. Basiq , Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruh Politik Hukum
(Hk. Islam, Hk Barat, dan Hk. Adat) dalam Rentang Sejarah
Bersama Pasang Surut Lembaga Peradillan Agama Hingga
Lahirnya Peradilan Syariat Aceh, Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup, 2010.
Doi, A. Rahman I., Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah),
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Effendi, Jonaedi, Rekonstruksi Dasar Pertimbangan Hukum Hakim
Berbasis Nilai-Nilai Hukum dan Rasa Keadilan Yang Hidup
dalam Masyarakat, Depok: Prenadamedia Group, 2018.
Al-Faifi, Syaihk Sulaiman bin Ahmad bin Yahya, Ringkasan Fiqih
Sunnah, Depok: Senja Media Utama, 2017.
69
Hanafi, A. , Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1970.
Harahab, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Al-Jaziri, Abdurrahman, Fiqh Empat Madzhab IV. Semarang: As-Syifa‟,
1994.
Khosyi‟ah, Syiah, Wakaf & Hibah, Bandung: Cv Pustaka Setia, 2010.
Lubis, Suhrawardi K., dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata di Indonesia, Jakarta:
Prenada Media Grup, 2008.
Manan, Abdul, M Fauzan, Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang
Peradilan Agama, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.
Mugniyah, Muhammad Jawad, Figh Lima Mahzab “Ja‟fari, Hanafi,
Maliki, Syafi‟i, Hambali”, Jakarta: Lentera, 2013.
Oemarsalim, Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia, Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2006.
Rasito, Panduan Belajar Hukum Acara Perdata, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2015.
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Rofiq, Ahmad, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Depok: Rajawali Pers,
2017.
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Jakarta: Pena Pundi aksara, 2004.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas
Indonesia, 1986.
Soimin, Soedharyo, Hukum Orang dan Keluarga, “Perspektif Hukum
Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat”, Jakarta :
Sinar Grafika, 2004.
Somad, Abd., Hukum Islam “Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum
Indonesia”, Jakarta : Prenada Media Group, 2010.
Sugeng, Bambang dan Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata dan
Contoh Dokumen Litigasi Perkara Perdata, Jakarta:Pradana
Media 2013.
70
Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam,Adat
dan BW, Bandung: PT Refika Aditama, 2013.
Suparman, Eman, Inti Sari Hukum Waris Indonesia, Bandung, CV Mandar
Maju, 1991.
Suparman, Maman , Hukum Waris Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2015.
Suhrawardi K., dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Jakarta:
Sinar Grafika, 2009.
Thalib, Sayuti, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 2000.
Tono, Sidik, Kedudukan Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta
Peninggalan, Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan
Tinggi Islam, 2012.
Al-„Utsaimin, Syaikh Muhammad Bin Shalih, Shahih Fiqih Wanita,
Jakarta: Akbarmedia, 2009.
Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar
Grafika, 1991.
Wetboek, Tim Burgelijk, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta:
PT Balai Pustaka, 2014.
Zein, Satria Effendi M., Problematika Hukum Keluarga Islam
Kontemporer, Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2010.
Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie
Al-Kattari dkk, , Jakarta: Gema Insani, 2011.
Zuhri, M., Fiqh Empat Mahzab, Jilid IV, Semarang: Asy-Syifa, 1994.
Jurnal dan Artikel
Budiman, Achmad Arief, “Penemuan Hukum Dalam Putusan Mahkamah
Agung dan Relevansinya Bagi Pengembangan Hukum Islam di
Indonesia”, Pemikiran Hukum Islam, XXIV, 1 April, 2014
Nurnazli, Kontruksi Hukum Islam Tentang Pembatalan Dan Pencabutan
Wasiat, Jurnal Ijtima‟iyya, Vol 9, No. 2 Agustus 2016
71
Prayogo, Sedyo, Penerapan Batas-Batas Wanprestasi dan Perbuatan
Melawan Hukum dalam Perjanjian, Jurnal Pembaharuan Hukum,
Volume III No. 2, Mei-Agustus 2016
Saipullah, Usep, Pemikiran Hukum Islam Tentang Hibah dalam KHI,
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UIN
Sunan Gunung Djati Bandung 2015
Utami, Dewi Sartika, Akibat Hukum Pemberian Hibah yang Melebihi
Batas Legitime Portie (Analisis Kasus Putusan Pengadilan
Negeri Nomor 109/PDT.G/2009/PN. MTR), Jurnal IUS, Vol IV,
Nomor 2, Agustus 2015
Internet
http://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt51e582b1ad14c/prosedur-
hibah-tanah-dan-bangunan-kepada-keluarga/
http://www.kompasiana.com/amp/www.alfaderahukum.com/hibah-
ditinjau-dari-kompilasi-hukum-islam-edisi
1_562f1eebe8afbd0e149ec425
http://kbbi.web.id/hibah.html
http://almanhaj.or.id/6422-hibah-dalam-perspektif-fikih.html
http://www.rumahfiqih.com/t.php?id=335
Undang-undang
Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016
Putusan
Putusan Nomor 0214/Pdt.G/2017/PA.Pbr
Putusan Nomor 0027/Pdt. G/2017/PTA. Pbr
Putusan Nomor 558 K/AG/2017