Upload
rheeiny-scientifickloverz
View
22.241
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
Naskah Drama oleh Reni Lestari, Deki Arliandi, dan Hastin Azkiah
Tema: Percintaan dan Religi
Judul : Endless Love
Latar : Pondok pesantren Khusnul Khotimah dan Madinah
Perwatakan :
- Aisyah : shalehah, cerdas, sabar, ramah, dan bershabat
- Fatimah : baik hati, shalehah, ramah, dan bersahabat
- Ahmad : shaleh, baik hati, sabar, dan cerdas
- Kiai Haji Zainudin : shaleh, baik hati, sabar, dan bijaksana
Tokoh :
- Aisyah
- Fatimah
- Ahmad
- Kiai Haji Zainudin
Dialog :
Gemericik air hujan jatuh membasahi hamparan tanah yang luas terbentang,
tampak segerombolan santriwan dan santriwati yang asyik melangkahkan kakinya
dengan berhias senyum ikhlas diwajahnya menuju tempat yang senantiasa mereka
kunjungi setiap waktu untuk beribadah dan menyucikan diri yakni di masjid Al-
Musyahadah.
“assholatu sunnataddhuha jami’ah rohimahkumullah!!” (seru sang imam
dengan nada khusyuk, seraya berseru)
“assholatu laailahaillallah” (makmum menjawab seruan imam dengan khusyuk
pula)
“ assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu” (imam menoleh ke arah
kiri dan kanan kemudian mengusap wajahnya)
Sholat dhuha pun selesai dilaksanakan, wajah yang cerah berseri bak mentari
bersinarpun terpancarkan dari wajah-wajah hamba Allah ini. Tampak sang
pemilik pondok pesantren Khusnul Khotimah, Kiai Haji Zainudin beserta
putranya yang bernama Ahmad, sedang berbincang-bincang di sisi depan taman
masjid.
“nak, kau sudah cukup lama mengabdikan dirimu di Pondok Pesantren ini,
tidakkah kau berkeinginan untuk melanjutkan studimu ke jenjang yang lebih
tinggi?, kau bahkan sudah hafal Al-Qur’an 30 Juz (dengan wajah tenang seraya
menggulirkan tasbih yang dipegangnya)
“ InsyaAllah, Abi doakan saja anandamu ini agar dapat segera menuju
kesana” (jawabnya sopan dan lemah lembut)
“ Abi selalu mendoakan mu nak, maka dari itu segeralah kau
persiapkan keberangkatanmu menuju kesana, lebih cepat lebih baik”
“ iya, Abi nanti Ahmad segera hubungi paman Sabiq di Madinah”
“ Alhamdulillah jika kau sudah berencana seperti itu” (berjalan
perlahan menuju pondokannya)
Disisi lain Aisyah beserta sahabatnya yang bernama Fatimah sedang
mengkaji kitab kuning di ruang kelas bersama ukhti lainnya. Setelah jam belajar
berakhir Fatimah bertanya kepada Aisyah.
“ Aisyah, InsyaAllah sebentar lagi aku akan melanjutkan studiku ke
Turki, lantas bagaimana denganmu? Apakah kamu juga berencana melanjutkan
studi ke luar negeri?” (wajah Fatimah antusias penuh tanda tanya)
“ entahlah Fatimah, saat ini aku masih belum ada rencana buat kesana,
oiya kapan kamu berangkat ke Turki?” (tanya Aisyah dengan wajah ceria)
“ InsyaAllah bulan depan, doakan saja secepatnya”
“ Aaamiin, semoga kau dapat menimba ilmu, serta memperdalam iman
dan Islam mu di sana”
“ Aaamiin YaaRobbal’alamiin, syukron katsiiran yaa ukhti fillah”
(ucapnya seraya mendekap erat tubuh Aisyah)
“ aku pun juga akan mendoakanmu semoga kau nanti juga dibukakan
jalan dan kemudahan untuk menyusulku kesana, Aamiin” (seraya meraih kedua
tangan sahabatnya itu)
“ Aaamiin Yaa Robb” (ucap Aisyah pula seraya memegang erat tangan
Fatimah)
Pagi harinya Aisyah sedang berjalan dengan membawa sejumlah buku
yang didekap di tangannya, tak sengaja ia bertabrakan dengan Ahmad yang
sedang terburu-buru keluar dari perpustakaan yang entah kemana ia hendak
menuju.
“ brakkkk” (suara buku yang berserakan akibat tabrakan siku kanan
Ahmad dan Aisyah)
“ Afwan, yaa Ukhti” ucap Ahmad (seraya mengumpulkan buku-buku
yang tengah berserakan)
“ iya, tidak apa-apa biar aku saja” (ucap Aisyah sambil memangambil
buku-bukunya tanpa sedikitpun memandang Ahmad)
(Ketika berdiri tak sengaja Ahmad dan Aisyah bertatapan mata,
kemudian Ahmad pergi berlalu begitupula dengan Aisyah yang segera masuk ke
dalam ruang Perpustakaan)
Bulan purnama bersinar dengan terang, namun tak lebih terang
dapipada wajah santriwan dan santriwati yang baru saja melaksanakan rutinitas
mereka di rumah Allah yang senatiasa mereka makmurkan. Aisyah dan Fatimah
baru saja selesai membaca ayat suci Al-Qur’an. Mereka segera beranjak
meninggalkan masjid dan berjalan menuju pondokannya.
“ Imah, nanti boleh aku curhat padamu?”
“ Tentu saja, aku siap mendengar curhatmu” (jawab Fatimah dengan
senyum berhias di wajahnya)
Sesampaianya di pondokan, Aisyah dan Fatimah duduk di beranda,
mereka mengobrol sambil memandangi bulan dan bintang-bintang yang
bertebaran di langit.
“ Mah, aku mau curhat padamu, tadi siang aku bertemu dengan akhi
Ahmad anaknya Kiai Zainudin”
“ Oya, kok bisa? Gimana ceritanya Syah?(wajah Fatimah kaget penuh
tanda tanya)
“ Begini ceritanya, tadi siang aku hendak pergi ke perpustakan dengan
membawa beberapa bukuku, sesampainya aku di depan perpustakaan, tiba-tiba
tak sengaja aku bertabrakan dengan akhi Ahmad yang tampaknya sedang terburu-
buru, buku-buku milikku jatuh berserakan dan ia membantuku
mengumpulkannya”
“ benarkah begitu? Lantas apakah kau bertatapan dengannya?” (wajah
kaget dan antusias)
“ kurang lebih begitulah, awalnya aku tak menatap ia sedikitpun,
namun ketika aku dan ia berdiri tak sengaja kami saling bertatapan sesaat
kemudian kami pun berlalu” (menundukkan kepala dengan nada suara melemah)
“ mungkinkah saat ini kau memiliki perasan terhadapnya Syah?”
“ entalah lah Mah aku pun tak mengerti kenapa aku sampai kepikiran
seperti ini, mungkin saja ada perasaan seperti itu”
“ kalau memang seperti itu alangkah baiknya jika kamu melaksanakan
shalat istigharah, mohon petunjuk sama Allah agar kamu ditunjukkan jalan yang
terbaik” (memegang bahu Aisyah seraya tersenyum)
“ Baiklah nanti malam kan ku coba, trimakasih atas saranmu”
“ Iya, sama-sama, ngomong-ngomong sudah larut malam nih, ayo kita
tidur biar nanti kita bisa qiyamul lail bersama-sama”
“ baiklah, ayo kita tidur” (ajak Aisyah seraya membuka pintu)
Malam itu juga setelah shalat tahajjud Aisyah melaksanakan sahalat
istigharah sebanyak dua raka’at, iya memohon dan bermunajat kepada sang
Khalik agar ia diberikan petunjuk dari apa yang telah ia alami di hari itu. Aisyah
mengucapkan doanya dengan lembut penuh kekhusyukan.
“ Yaaa Allah Yaa Rahman Yaa Rahim, berilah petunjuk dan
hidayahmu kepada hamba yaa Robbi, tunjukkanlah hambamu ini jalanmu yang
lurus, tuntun dan bimbinglah hamba dengan cahaya rahmatmu, hindarkanlah
hamba dari segala bentuk pikiran-pikiran yang dapat menjerumuskan hamba ke
lembah dosa dan maksiat, pertemukanlah hamba dengan pilihanmu yang terbaik,
aamiin” (mengusapkan kedua telapak tangan ke wajahnya)
Setelah melaksanakan shalat istigharah Aisyah kembali melanjutkan
tidurnya. Di tempat yang berbeda Ahmad juga melaksanakan ibadah qiyamul lail,
yang sudah menjadi rutinitasnya di setiap sepertiga malam yang akhir.
Keesokan harinya Aisyah dikejutkan dengan berita bahwa Ahmad akan
berangkat ke Madinah. Aisyah yang awalnya sama sekali tidak mengetahui
bahwa Ahmad akan melanjutkan studinya ke Madinah, tiba-tiba saja ia terkejut
setelah mendengar berita yang datang dari sahabatnya Fatimah.
“ Syah, sore ini akhi Ahmad akan berangkat ke Madinah loh, apa
kamu sudah tau informasinya?”
“ benarkah begitu Mah? Syukurlah kalau ia memang benar berangkat
ke Madinah” (Aisyah menjawab dengan cuek disertai raut wajah yang tampak
sedih)
“ tuh kan, sudah kukira kau akan sedih mendengarnya, ya sudah
sekarang segera kau buat sepucuk surat untuknya, dengan begitu kau akan lebih
lega melepas kepergiannya”
“ benarkah, seperti itu?, aku tak mau jika nantinya hanya akan menjadi
beban untuknya”
“ InsyaAllah tak kan menjadi beban baginya, justru ia akan senang jika
membaca surat darimu, ayoo cepat lekas kau tulis surat untuknya nanti biar aku
yang sampaikan padanya”
“ Baiklah, kau tunggu disini kan ku tulis sepucuk surat untuknya”
( berlari masuk ke dalam pondokan)
“ Imah, ini surat yang ku tulis untuk akhi Ahmad tolong kau
sampaikan ya padanya”
“ tentu saja akan ku berikan surat ini untuknya, kalau kau mau melihat
ia tuk terakhir kalinya ayo ikut aku” (tukas Fatimah)
“ tidak Mah, lebih baik kau sendiri saja yang pergi ke sana, aku akan
menunggu di pondok saja”
“ baiklah Syah, aku pergi ya Syah”
“ iya, hati-hati ya Mah” (melambaikan tangan ke arah Fatimah yang
telah beranjak pergi meninggalkan pondokan)
“ syukron katsiiran yaa ukhti fillah” (ucap Aisyah dalam hati)
Berkat bantuan teman ikhwan Fatimah yang merupakan sohib Ahmad,
surat yang ditulis Aisyah akhirnya telah sampai di tangan Ahmad. Sesampainya
Ahmad di tanah Madinah barulah ia teringat akan surat yang ditujukan untuknya
itu. Perlahan Ahmad membuka surat itu, kemudian membacanya tanpa bersuara
sedikitpun.
“ Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu, kaifa haluka yaa
akhi? Bagaimana kabar imanmu hari ini? Semoga kau baik-baik saja dan
senatiasa terjaga iman dan taqwa mu oleh Allah SWT, afwan jika kau merasa
risih dengan suratku ini. Semoga iman serta ilmu pengetahuanmu semakin
bertambah dengan adanya kau disana, aku berharap semoga Allah kelak dapat
mempertemukanku dengan hamba Allah yang kelak dapat membimbing dan
membinaku agar kelak di akhirat dapat menjadi ahli surga, aamiin ”
Setelah membaca surat yang diberikan Aisyah untuknya, Ahmad
kemudian berdoa kepada Allah SWT.
Allahu Rabbul Izzati...
Jika Cinta kan menghampiri diri
Jangan biarkan Cinta kepada-Mu hilang di hati..
Perkenankanlah selalu tuk selalu Mencintai-Mu..
Sepenuh hati dan Ketulusan diri
Allahu Rabbul Izzati...
Hanya kepada-Mu Cinta Hakiki
Cinta yang mengantarkan Keindahan sesungguhnya...
Cinta dengan kebersihan jiwa hati..
Cinta untuk mendapatkan Keridhoan-Mu
Allahu Rabbul Izzati...
Cinta itu pasti kan datang menghampiri diri
Berikanlah Cinta kepada seorang insan mulia..
Yang didalam dirinya selalu ada keinginan..
Keinginan dengan tujuan Keridhoan-Mu
Itulah Bidadari Surga Dunia..
Allahu Rabbul Izzati...
Dalam dunia yang merana...
Dunia yang nantinya kan binasa
Dunia kerakusan dan keserakahan manusia..
Dapatkah bertemu dengan dirinya..
Mencintai seorang Bidadari Surga Dunia...
Mencintai karena untuk mendapatkan Keridhoan-Mu
Allahumma Rabbanaa Aamiin....
Begitulah untaian do’a yang terucap dari mulut seorang hamba Allah ini, ia
berdo’a agar kelak dapat dipertemukan dengan bidadari surga dunia pilihan Allah
SWT dalam keadan iman dan islam yang senatiasa terpelihara. Tak terasa waktu
demi waktupun berlalu Ahmad sudah hampir menyelesaikan studi S2 nya di
tanah Madinah. Hingga tiba suatu waktu ia sedang berjalan menuju kampusnya
yaitu Universitas Islam Madinah atau yang biasa disebut Islamic University of
Madinah, ketika itu tak sengaja ia menabrak seorang akhwat yang tengah terburu-
buru.
“ brakkk” (suara buku jatuh berserakan)
“ afwan yaa akhi” (ucap akhwat itu dengan suara lemah lembut seraya
mengambil buku-bukunya yang masih berserakan)
“ na’am laa musyakkilah yaa ukhti” (jawab Ahmad seraya membantu
mengumpulkan buku-buku yang berserakan)
“ syukron katsiiran yaa akhi” (ucap wanita itu pula dengan kepala yang
menunduk ke bawah, seraya hendak beranjak meninggalkan ahmad yang masih
tertegun melihatnya)
“ afwan, hal ana min Indonesia?” tanya Ahmad kepada wanita itu
“ na’am, hal anta min Indonesia aidon?” tanya wanita itu pula dengan kepala
yang masih saja tertunduk
“ na’am ya ukhti, ana mutahkorrijah minal ma’had Khusnul Khotimah” (jawab
Ahmad dengan jelas)
“ benarkah?, apa mungkin kau adalah......” (ucap wanita itu seraya melihat ke
arah wajah Ahmad, dengan ekspresi terkejut)
“ iya, aku adalah Ahmad, bagaimana kabar imanmu sampai hari ini Aisyah”
(melemparkan senyuman dengan manisnya)
“ subhanallah, ternyata benar kau adalah akhi Ahmad anak Kiai Haji Zainudin,
alhamdulillah, imanku saat ini masih dalam fitrah keislaman. Bagaimana
denganmu?” (tanya Aisyah seraya membalas seyum Ahmad)
"Begitupun denganku." (tukas Ahmad pula)
Kedua insan mulia ini akhirnya dipertemukan oleh Allah SWT di tanah
Madinah, sepulangnya dari Madinah ke tanah air Ahmad berencana untuk
menikahi Aisyah yang masih melaksanakan studinya di Madinah. Namun apa
yang direncanakan Ahmad tak sesuai dengan kenyataan yang ia hadapi, ayahnya
Kiai Haji Zainudin berkeinginan untuk menikahkannya dengan anak seorang
syekh keturunan Arab.
“ nak, InsyaAllah bulan depan Abi akan mengajakmu untuk meminang anak
perempuan dari seorang syekh yang bernama Abdul Jalil, Abi harap kau setuju
dengan keputusan Abi, Abi lakukan ini mengingat usiamu yang sudah cukup
dewasa dan mapan untuk menaungi bahtera rumah tangga”
“ Abi, maafkanlah anandamu ini, ananda sebenarnya juga sudah berencana
untuk menikahi seseorang wanita muslimah”
“ benarkah seperti itu nak?, lantas siapa wanita itu dan bagaimana latar
belakang pendidikannya?”
“ ia bernama Aisyah Azzahra, saat ini ia masih melanjutkan studinya di
Madinah, InsyaAllah bulan depan ia wisuda dan akan pulang ke Indonesia, Abi”
“ baiklah nak, jika memang itu keputusanmu, Abi akan mendukungmu,
semoga pilihanmu itu merupakan pilihan terbaik yang Allah berikan untuk kita
semua”
“ Allahumma aamiin”
Kiai Haji Zainudin akhirnya mengijinkan anaknya untuk menikahi wanita
shalehah pilihannya. Sepulangya Aisyah dari Madinah ke tanah air, ia pun
dilamar oleh Ahmad yang didampingi oleh keluarganya. Akhirnya Ahmad dan
Aisyah membangun keluarga yang InsyaAllah senatiasa sakinah, mawaddah dan
warahmah dalam naungan kasih dan cinta Allah SWT.