148

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian

Embed Size (px)

Citation preview

NASKAH AKADEMIK

ARAH KEBIJAKANKETRANSMIGRASIANTAHUN 2015-2019

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETRANSMIGRASIANBADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INFORMASIKEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI RI.Jakarta, 2013

NASKAH AKADEMIK ARAH KEBIJAKAN

KETRANSMIGRASIAN TAHUN 2015-2019

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETRANSMIGRASIAN BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INFORMASI

KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI 2013

TIM PENYUSUN NASKAH AKADEMIK 1. Harry Heriawan Saleh 2. Anharudin 3. Etti Diana 4. Saraswati Soegiharto 5. Djoko Puguh 6. Sri Najiati 7. Pandiadi 8. Priyono 9. Siti Fatimah 10. Ismi Nurmawati 11. Mujianto 12. Yustina Farida

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

i Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

KATA SAMBUTAN

Puja dan puji syukur perlu kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas hikmat dan rahmat-Nya Naskah Akademik Kebijakan Transmigrasi 2015-2019 ini dapat selesai disusun secara tepat waktu dan tanpa ada hambatan apapun.

Naskah ini disusun atas dasar semangat dan kebutuhan untuk melakukan perubahan saat ini dan di masa depan, pemenuhan ekspektasi publik, dan akomodasi berbagai gagasan kritis-kreatif tentang ketransmigrasian. Tentu saja, kita berharap moga-moga semua gagasan dan konsep yang telah dirumuskan di dalam naskah ini dapat terwujud, sehingga kerja-kerja intelektual yang telah dilakukan benar-benar memberikan manfaat bagi semua.

Dengan kaidah-kaidah metodologis penulisan ilmiah, tim penyusun naskah ini telah bekerja keras melakukan analisis dan interpretasi terhadap berbagai gagasan dan aspirasi publik tentang ketransmigrasian yang saat ini berkembang. Berbagai forum telah diselenggarakan untuk menghimpun bahan dan masukan, baik dialog-meja bundar (rountable dialogue) seminar, maupun workshop, dengan melibatkan para pakar (akademisi), pegiat lembaga-lembaga non-pemerintah, dan para stakeholders lain, dari pusat dan daerah. Tentu saja dengan melakukan kajian-kajian literatur, atau pencermatan sumber-sumber tertulis (dokumen kebijakan, hasil-hasil penelitian, dan statistik).

Berbagai pemikiran telah dielaborasi di dalam naskah ini. Secara keseluruhan, naskah ini telah memuat konsep-konsep ideal dan teoretis transmigrasi kedepan, sekaligus gagasan-gagasan praktis tentang pekerjaan pemerintah (steering), yang berbasis ukuran-ukuran kinerja utama (IKU), sebagai bagian dari sistem manajemen pembangunan transmigrasi kedepan. Berbagai situasi

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

iii Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

KATA PENGANTAR

Sejarah transmigrasi di Indonesia telah memperlihatkan, bahwa dalam usianya yang lebih dari satu abad (lebih dari seratus tahun sejak tahun 1905) transmigrasi mampu bertahan sebagai program pemerintah. Meskipun Kabinet pemerintahan silih-berganti, namun transmigrasi tetap bertahan, baik sebagai program pembangunan maupun sebagai nomenklatur kelembagaan birokrasi.

Sejarah transmigrasi, yang sudah sangat panjang, merupakan bukti bahwa transmigrasi memang selalu diperlukan bagi Indonesia, untuk membangun negeri berkepulauan, penuh dengan ketimpangan, baik ketimpangan hasil ekonomi, pembangunan, antar wilayah, desa kota, maupun ketimpangan persebaran penduduknya.

Maka kedudukan transmigrasi kedepan akan semakin kuat, bukan saja sebagai pembangunan negeri Indonesia, sebagai bagian dari pelaksanaan amanat Undang-Undang, tetapi juga sebagai jalan alternatif bagi sebagian masyarakat untuk memperbaiki taraf hidupnya.

Kita semua boleh menyadari, bahwa transmigrasi adalah pelaksanaan amanat UUD 1945, untuk mencapai Indonesia yang makmur dan berkeadilan. Dan sebagai pendekatan pembangunan, transmigrasi memiliki nilai-nilai hakiki, bukan saja sebagai bentuk pengamalan Pancasila, tetapi juga pengamalan berbagai klausul berbagai perangkat perundangan, dalam mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Hal ini berarti bahwa kedepan transmigrasi akan tetap dibutuhkan, dipertahankan dan dilaksanakan.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

v Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

DAFTAR ISI

KATA SAMBUTAN ...................................................................................... i KATA PENGANTAR .................................................................................... iii DAFTAR ISI ................................................................................................. v DAFTAR TABEL .......................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................................... 1 BAB 2 URGENSI TRANSMIGRASI BAGI INDONESIA: Landasan Filosofis, Historis-Sosiologis dan Yuridis ........... 9

A. LANDASAN FILOSOFIS ................................................. 10 B. LANDASAN HISTORIS ................................................... 14 C. LANDASAN YURIDIS ...................................................... 21

BAB 3 LINGKUNGAN STRATEGIS ..................................................... 23

A. LINGKUNGAN GLOBAL ............................................... 23 1. Kesepakatan MDGs .............................................. 23 2. Kesepakatan AFTA ............................................... 25 3. Kesepakatan APEC .............................................. 26 4. Komitmen Terhadap Forum G-20 ........................ 27

B. LINGKUNGAN NASIONAL ............................................ 28 1. Lingkungan Hidup .................................................. 28 2. Ketimpangan Demografis ....................................... 33

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

vi Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

3. Ketimpangan Wilayah ........................................... 34 4. Ketahanan Pangan ............................................... 37 5. Ketersediaan Energi .............................................. 41 6. Ketenagakerjaan, Kemiskinan dan

Pengangguran ....................................................... 45 7. Perluasan Kesempatan Kerja ................................ 46 8. Otonomi Daerah ..................................................... 48 9. Iklim Investasi ........................................................ 49

BAB 4 TELAAHAN TERHADAP RENCANA STRATEGI TRANSMIGRASI TAHUN 2010-2014 ..................................... 64

A. RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL (RPJP-N) 2005-2025 ................................... 64

B. RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH NASIONAL (RPJM-N) 2010-2014

[PERPRES NO.5/2010] ................................................... 55 C. RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG [RPJP]

2010-2025 BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN [PERMEN NAKERTRANS No.12/2012] ..................................................................... 57

D. TRANSMIGRASI DALAM RENCANA STRATEGIS TRANSMIGRASI 2010-2014 [PERMEN NAKERTRANS

No. 2/Tahun /2012] .......................................................... 62 E. EVALUASI PENYELENGGARAAN TRANSMIGRASI

TAHUN 2010-2014 .......................................................... 69 BAB 5 AGENDA KETRANSMIGRASIAN KE DEPAN ......................... 73

A. MEMBANGUN RUANG-WILAYAH ................................. 74 1. Hirarki Ruang-Wilayah .............................................. 74 2. Integrasi Ke dalam Sistem Tata-Ruang ..................... 77 3. Perolehan dan Konsolidasi Lahan ............................. 82 4. Berada dalam Koridor Ekonomi Nusantara ................ 87 5. Prioritas Sumber Daya Alam ...................................... 90

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

vii Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

B. PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN [SDM] ................... 91 1. Pengarahan dan Penataan Penduduk ....................... 91 2. Kualitas Sumberdaya Manusia .................................. 94 3. Pemanfaatan Bonus Demografi ................................. 94 4. Harmonisasi Hubungan Lintas-Kultural ...................... 97 5. Penguatan Modal Sosial dan Adaptasi Lingkungan ... 98

C. PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL .......................... 99 1. Sistem Agribisnis dan Investasi .................................. 100 2. SDM yang Kompeten ................................................. 102 3. Sistem Insentif ............................................................ 102 4. Mendukung Green Economy ...................................... 103 5. Pengembangan dan Penguatan Kelembagaan .......... 103

D. PENGUATAN KELEMBAGAAN PENYELENGGARA ... 104 1. Kerjasama-Sinergis Pemerintah-Provinsi- Kabupaten-Kota ......................................................... 104 2. Komitmen Pusat-Daerah .......................................... 105 3. Indikator Kinerja Utama .............................................. 105 4. Kebijakan Berbasis Pengetahuan (knowledge based policy) ........................................... 105

BAB 6 KONSEP ARAH KEBIJAKAN TRANSMIGRASI 2015-2019 .... 107

A. TRANSMIGRASI DALAM PARADIGMA BARU ............. 109 1. Pemilihan Ruang-Wilayah .......................................... 110

a. Dasar Pertimbangan (Rationale): ......................... 110 b. Arah Kebijakan ...................................................... 111

2. Penyiapan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia ..................................................................... 113

a. Dasar Pertimbangan ............................................. 113 b. Arah Kebijakan: .................................................... 115

3. Pengembangan Ekonomi Lokal .................................. 116 a. Dasar Pertimbangan: ............................................ 116 b. Arah Kebijakan: ..................................................... 117

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

viii Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

B. TRANSMIGRASI DALAM PEMERINTAHAN DESENTRALISTIK ......................................................... 118 1. Kerjasama Pusat-Daerah .......................................... 118

a. Dasar Pertimbangan: ............................................ 118 b. Arah Kebijakan ...................................................... 120

2. Kerjasama Lintas-Kementerian/Lembaga ................ 120 a. Dasar Pertimbangan: ............................................ 120 b. Arah Kebijakan: ..................................................... 121

3. Kelembagaan yang Menangani Urusan Ketransmigrasian ....................................................... 122

a. Dasar Pertimbangan ............................................. 122 b. Arah Kebijakan ...................................................... 123

BAB 7 PENUTUP ................................................................................. 124 REFERENSI PENDUKUNG DALAM FGD ......................................... 132

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

ix Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Rencana Tindak Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014 Program Pembangunan Kawasan Transmigrasi ....................... 65

Tabel 2. Rencana Tindak Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014 Program Pengembangan Masyarakat dan Kawasan

Transmigrasi .............................................................................. 67 Tabel 3. Realisasi Penempatan Transmigrasi Menurut Jenis Transmigrasi Tahun 2010-2014 ................................................. 71 Tabel 4. Skenario Penataan Persebaran Kekuatan Ekonomi Dan Persebaran Penduduk di Wilayah Nusantara ...................... 89 Tabel 5. Sub Urusan Pemerintah Bidang Ketransmigrasian .............................. 119 Tabel 6. Hubungan Misi dan Sasaran Strategis Ketransmigrasian ........... 128

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

x Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Profil Persebaran Penduduk 1930-2010 ..................................... 3 Gambar 2. Peta Ilustrasi Ketimpangan Populasi .......................................... 4 Gambar 3. Peta Ilustrasi Ketimpangan Ekonomi .......................................... 4 Gambar 4. Floods in Java 2000-2008 .......................................................... 31 Gambar 5. Landsudes in Java 2000-2008 .................................................... 32 Gambar 6. Peta Strategis Ketranmigrasian .................................................. 129

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

1 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

NASKAH AKADEMIK ARAH KEBIJAKAN KETRANSMIGRASIAN

TAHUN 2015-20191

1 PENDAHULUAN

Pengertian transmigrasi dalam UU No. 29 Tahun 2009 adalah perpindahan penduduk secara sukarela untuk meningkatkan kesejahteraan dan menetap di kawasan transmigrasi yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Interpretasi terhadap definisi tersebut bahwa pembangunan transmigrasi pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk merekayasa ruang atau wilayah agar mempunyai nilai tambah dan daya tarik bagi penduduk untuk mendatanginya, bertempat tinggal di dalamnya, dan untuk bekerja-berusaha guna peningkatkan kesejahteraan. Masyarakat transmigrasi, baik para pendatang ataupun masyarakat (penduduk lokal), yang berada di satuan-satuan permukiman dalam kawasan transmigrasi, merupakan entitas kehidupan sosial sebagai subyek, pionir, sekaligus pemanfaat pembangunan transmigrasi.

Pembangunan transmigrasi telah berhasil menciptakan wilayah-wilayah baru berbasis komoditas unggulan, baik sebagai pusat pertumbuhan baru, maupun sebagai pendukung pusat pertumbuhan yang telah ada, sehingga mempercepat pembangunan daerah. Melalui pembangunan transmigrasi selama ini, telah terbentuk 3.052 desa, 382 kecamatan, 104 (kabupaten-kota), dan satu ibu kota provinsi2). Hingga saat ini, tercatat sekitar 2 (dua) juta keluarga atau 10 jutaan jiwa, yang difasilitasi langsung untuk bermukim,

1 Tim Penyusun Naskah Akademik (Puslitbangtrans: Harry Heriawan Saleh, Anharudin, Etti Diana, Djoko Puguh, Saraswati Soegiharto, Sri Najiati, Pandiadi, Priyono, Siti Fatimah, Ismi Nurmawati, Mujianto, Yustina Farida) 2Sumber: Data PusdatinTrans (2010).

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

bekerja atau berusaha di kawasan transmigrasi3), sementara itu terdapat sekitar 20 jutaan jiwa yang merupakan generasi berikutnya. Jalan telah terbangun sepanjang 50.025 Km, jembatan 40.551 Km, ribuan sekolah dasar dan pusat kesehatan desa hingga dermaga dibangun. Kehadiran transmigrasi di bumi nusantara ini juga telah memperkuat nilai–nilai persatuan bangsa dan merekatkan kesatuan wilayah serta memperkaya kemajemukan budaya.

Mengacu pada UU No. 29 Tahun 2009, dari sisi pembangunan kewilayahan, misi pembangunan transmigrasi adalah memunculkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi sebagai wahana bagi penduduk untuk melakukan mobilitas, baik secara horisontal (gerak keruangan) maupun secara vertikal (peningkatan kesejahteraan), dengan slogan people follow jobs. Cara untuk mencapainya adalah dengan menekankan pada kemampuan SDM dalam memanfaatkan sumber daya alam dan sarana-prasarana yang tersedia, untuk mengembangkan komoditas unggulan dengan prinsip green economy.

Secara empirik perencanaan dan pembangunan kawasan transmigrasi belum sepenuhnya sesuai dengan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Rencana kawasan transmigrasi belum sepenuhnya didasarkan atas Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Usulan-usulan atau pencadangan lokasi (area) untuk permukiman transmigrasi dengan basis kawasan yang diajukan Pemerintah, Pemerintah Daerah (Gubernur, atau Bupati dan atau Walikota) perlu ditindaklanjuti dengan suatu Rencana Kawasan Transmigrasi (RKT) sebagai bagian dari Rencana Tata Ruang Kawasan Perdesaan (RTRKP). Bilamana RTRKP belum ada, maka dokumen RKT itu digunakan sebagai masukan dalam penyusunan RTRKP.

Dari sisi pembangunan kependudukan, transmigrasi akan tetap memperhatikan masalah-masalah kependudukan sebagai basis perencanaan pembangunan. Di samping sebagai bagian dari pembangunan kewilayahan (spasial), transmigrasi masih akan menjadi bagian dari pembangunan kependudukan, yang oleh karenanya harus mempertimbangkan isu-isu kependudukan, seperti kuantitas, kualitas, serta mobilitas dan persebaran penduduk, sebagai basis perencanaan pembangunan 4.

3 Hasil penelitian Najiyati et al. (2005, 2006) bahwa sebanyak 2.115.309 Kepala Keluarga telah ditempatkan, kesejahteraan transmigran meningkat dibandingkan kehidupan di daerah asal sebelumnya, dan kesempatan kerja yang diciptakan tidak hanya terbatas pada sektor pertanian, tetapi juga sektor-sektor non pertanian lainnya baik di hulu maupun hilirnya. 4 Harmadi, Sonny H. B. 2013. Kependudukan dan Transmigrasi

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

3 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Salah satu isu penting dalam ranah kependudukan yang menjadi persoalan nasional adalah ketimpangan persebaran penduduk, berupa fenomena aglomerasi demografis. Hingga saat ini Indonesia masih menghadapi persoalan aglomerasi penduduk di Indonesia Bagian Barat, yang dicirikan dengan jumlah penduduk Indonesia yang berada di Pulau Jawa lebih dari separuhnya (58%). Aglomerasi ini relatif tidak berubah sejak tahun 1930 hingga saat ini, padahal luas Pulau Jawa tidak lebih dari 7% wilayah Indonesia. Selengkapnya lihat tabel 1, berikut.

Profil Persebaran Penduduk 1930-2010

Aglomerasi demografis di wilayah barat ini terjadi sebagai akibat dari politik investasi dan pembangunan, yang menempatkan jumlah penduduk yang besar (di wilayah Jawa dan Sumatera) sebagai dalih bagi Pemerintah dan Swasta untuk berinvestasi di segala bidang, sehingga memicu semakin terkonsentrasinya pusat-pusat pemerintahan, informasi, transportasi, ekonomi, dan berbagai fasilitas publik lain yang lebih banyak berada di satu wilayah. Kondisi demikian melahirkan aglomerasi ekonomi5, dengan konsekuensi bahwa penduduk di wilayah-wilayah lain akan cenderung terus bergerak dan mendorong terjadinya konsentrasi (pemusatan) yang kemudian menjadi kontraproduktif bagi upaya-upaya pemerataan pembangunan antar-wilayah (lihat gambar berikut).

5 Sumber: World Bank (2011).

Sumber: Grand Design Pembangunan Kependudukan 2012-2015, Kemenko Kesra, 2012

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

4 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Gambar 1. Peta Ilustrasi Ketimpangan Populasi

Wolfgang Fengler. 2009. Indonesia’s Economic Geography and Fiscal Decentralization: 10 Years after Designing the Big Bang.

Peta Ilustrasi Ketimpangan Ekonomi

Luas pulau Jawa sekitar 7% dari seluruh luas daratan IndonesiaDitempati Sekitar 60% dari Total penduduk IndonesiaKontribusi Pulau Jawa Menyumbang 59% PDRB nasional 7

JOBS FOLLOWPEOPLE1/7/2014 harry hs

Fenomena ini terjadi tidak lain dari pembangunan yang bias pada jobs follow people, berupa semakin deras dan besarnya arus urbanisasi ke wilayah perkotaan tertentu di wilayah Barat Indonesia. Fenomena yang berkelanjutan memicu munculnya perangkap bagi negara-negara berpenghasilan menengah untuk naik menjadi kelompok berpenghasilan tinggi. Dengan kata lain, upaya untuk menebar kekuatan ekonomi melalui transmigrasi menjadi kurang optimal dengan adanya fenomena jobs follow people.

Di Indonesia ada fenomena yang menjadi ancaman dan membuat stagnansi pendapatan per kapita penduduk bagi negara-negara berkembang Asia yang telah sukses meningkatkan pendapatannya dari kelompok rendah ke kelompok menengah (US $ 2.000 – 6.000), yaitu meningkatnya populasi usia lanjut, masifnya arus urbanisasi, serta terganggunya etika lingkungan yang tidak mampu meredam dampak pembangunan terhadap kerusakan planet. Kekhawatiran ini semakin beralasan bila dikaitkan dengan fenomena urbanisasi yang begitu kuat, yaitu migrasi desa-kota tidak lain sebagai akibat dari adanya kemiskinan perdesaan dan meningkatnya upah perkotaan 6.

6Sumber Haruhiko Kuroda (ADB 2011).

Sumber: Grand Design Pembangunan Kependudukan 2012-2015, Kemenko Kesra, 2012

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

5 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Seperti diketahui, bahwa jumlah penduduk Indonesia saat ini telah berada pada peringkat ke 4, setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 237.6 juta jiwa7, disertai dengan fenomena pertumbuhan yang sangat cepat, persebaran yang tidak seimbang, kualitas yang rendah, dan komposisi yang sebagian besar berusia muda. Karakteristik demografis Indonesia dicirikan oleh dominasi (64% atau 151 juta jiwa) kelompok usia produktif (15-59 tahun). Dengan karateristik yang demikian, pada periode (2020-2030) Indonesia diperkirakan segera memasuki window of opportunity, sehingga dapat memanfaatkan bonus demografi dalam pembangunan sepanjang dapat memenuhi semua persyaratan 8.

Agenda lain dalam konsep pembangunan kependudukan terutama yang terkait dengan nirfisik adalah dengan mengembangkan penduduk sebagai sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, berkemampuan Iptek dan Imtaq agar berdaya saing sebagai modal dasar dalam membentuk masyarakat yang maju dengan tetap memiliki asal-usul identitas etnis, kultural, dan kearifan lokalnya.

Dari sisi pengembangan ekonomi lokal, saat ini pemerintah telah meluncurkan kebijakan nasional melalui Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dengan enam Koridor Ekonomi-nya. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menjadikan koridor ekonomi tersebut sebagai tulang punggung wilayah ekonomi Nusantara dan berbagai pembangunan yang berskema kawasan, yang dapat bersinergi, melengkapi satu sama lain, dan meniadakan kelemahannya masing-masing.

Maka tantangan transmigrasi kedepan adalah mengintegrasikan kawasan transmigrasi ke dalam koridor ekonomi (seperti MP3EI) dan mempercepat terbentuknya pusat pertumbuhan. Sementara itu, kawasan yang sudah terbangun dengan skema Kota Terpadu Mandiri (KTM) mulai tahun 2007 dilakukan revitalisasi kawasan transmigrasi sebagai upaya percepatan.

Transmigrasi dengan skema KTM tersebut merupa kan upaya menggerakkan pengembangan ekonomi daerah yang diawali dengan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan yang bersifat lokal. Perkembangan tersebut melalui tahapan-tahapan yang dimulai dari kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, yang selanjutnya berkembang menjadi klaster komoditas atau industri 7 BPS Tahun (2010). 8 Bonus demografi adalah suatu kondisi ketika struktur penduduk suatu negara dicirikan oleh beban penduduk yang harus ditanggungnya (kelompok anak-anak dan lansia) lebih kecil dari 50 %, atau porsi kelompok usia produktif lebih besar dibandingkan dengan beban yang harus ditanggungnya, sehingga kondisi pada periode ini merupakan modal dasar bagi peningkatan produktivitas ekonomi dan pengembangan pasar domestik.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

6 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

sampai membentuk integrasi desa-kota dan akhirnya terjadi proses aglomerasi ekonomi di satu wilayah. Selanjutnya perkembangan ekonomi tersebut juga diharapkan dapat mencapai ke skala sub-nasional, nasional, regional, dan global.

Dari sisi komitmen pembangunan internasional, transmigrasi menjadi bagian dan patuh pada kesepakatan-kesepakatan yang tertuang dalam instrumen komitmen internasional, baik bilateral seperti IJEPA, plurilateral (AFTA, CAFTA) dan multilateral (WTO, MDGs, dan Agenda Pembangunan Pasca MDGs 2015). Besarnya jumlah penduduk di Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi membuat keamanan pasokan pangan (pertanian, peternakan, perikanan), penciptaan lapangan kerja, pendidikan, kesehatan, dan fasilitas publik menjadi krusial. Tantangan pada tahun 2014–2019 terdapat hal-hal penting seperti hadirnya ASEAN Economic Community (AEC) yang efektif berlaku Desember 2015 dan pelaksanaan Agenda Pembangunan Dunia Pasca-MDGs 2015. Dengan semakin terbukanya pasar global menjadikan konsumen di wilayah perdagangan bebas tersebut tidak lagi membedakan pasar domestik atau pasar internasional dalam memperoleh barang dan atau jasa yang dibutuhkan dengan harga yang bersaing 9. Implikasi selanjutnya di wilayah tersebut akan terjadi fenomena: (1) konsumsi global dengan pendapatan lokal; (2) berlakunya hukum satu harga untuk barang dan atau jasa yang ditawarkan; dan (3) pemenang akan menguasai pasar.

Konsensus global tentang Millenium Develelopment Goals (MDGs) akan berakhir pada tahun 2015, Sebagai kesepakatan pembangunan internasional, MDGs telah mendorong negara-negara anggotanya untuk memajukan berbagai aspek pembangunan. Seperti diketahui, ada 8 (delapan) tujuan dari Pembangunan Millenium (MGDs), yang telah disepakati para pemimpin dunia pada pertemuan puncak PBB tahun 2000, dengan target-target spesifik pemecahan masalah terkait dengan ketransmigrasian, yaitu: (1) pengentasan kemiskinan, (2) pendidikan, (3) kesetaraan gender, (4) kesehatan anak dan ibu, (5) stabilitas lingkungan, dan (6) kemitraan global untuk pembangunan. Lebih jauh dari itu menyongsong kedepan, pembangunan transmigrasi juga diletakkan dalam kaidah-kaidah Sustainable Development Goals (SDGs), sebagai wujud dari pasca-MDGs. Kaidah-kaidah tersebut satu sama lain terkait antara dinamika kependudukan dengan aspek keadilan sosial, masalah lingkungan, dan pembangunan ekonomi.

9 Saleh, H. Heriawan. Memahami dan Menyikapi Perdagangan Bebas: Tinjauan Perspektif Bisnis dan Implikasinya terhadap Ketenagakerjaan (IJEPA-AFTA-ACFTA sudah di dalam rumah kita). Bahan paparan (2010).

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

7 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Dengan adanya perubahan-perubahan pada ranah pemikiran dan wacana ketransmigrasian, serta tantangan dan situasi eksternal, maka pemahaman baru transmigrasi yang lebih inklusif dan responsif diperlukan, dalam wujud paradigma baru: Pembangunan Transmigrasi Berbasis Kawasan dan Pembangunan Kawasan Transmigrasi Berbasis Kependudukan dan Ekonomi Lokal. Paradigma tersebut perlu mendasari seluruh perencanaan dan pembangunan transmigrasi kedepan.

Paradigma Pembangunan Transmigrasi Berbasis Kawasan dan Pembangunan Kawasan Transmigrasi Berbasis Kependudukan dan Ekonomi Lokal, mencakup pemahaman sebagai berikut. 1. Pembentukan kawasan transmigrasi dirancang secara bertahap mulai dari unit

spasial terkecil berupa pembangunan Satuan Pengembangan (SP), Satuan Kawasan Pengembangan (SKP), hingga unit terbesar yaitu kawasan dengan tingkat konektivitas dan inter-konektivitas tinggi, sesuai dengan sistem tata ruang dan koridor ekonomi nasional;

2. Pembentukan kawasan beserta Kawasan Perkotaan Baru (KPB) sebagai pusat pelayanan kawasan (PPK) dilengkapi dengan infrastruktur pelayanan dasar dan infrastruktur lainnya bagi perkembangan sektor sekunder dan tersier dengan tetap memperhatikan kaidah keserasian lingkungan;

3. Perpindahan penduduk secara horisontal diarahkan menuju kawasan-kawasan transmigrasi terbangun, turut menciptakan struktur penduduk yang lebih produktif, dengan memperhatikan keserasian hubungan antar-kelompok;

4. Perpindahan melalui sponsor pemerintah dilakukan sebagai inisiatif awal ( initial goverment investment) untuk mengantisipasi terjadinya kegagalan proses alamiah (pasar bebas);

5. Fasilitasi perpindahan penduduk secara spontan diberikan secara proposional untuk mendukung terjadinya perpindahan secara alamiah (atas dasar daya tarik pasar kerja atau people follow jobs);

6. Investasi di kawasan transmigrasi didasarkan atas potensi daerah untuk kepentingan nasional guna mendukung ketahanan pangan dan ketersediaan energi;

7. Investasi pembangunan kependudukan dalam penyelenggaraan transmigrasi diarahkan pada peningkatan kualitas penduduk dan kapasitas sosial (kesehatan, pendidikan, modal sosial) sehingga tercipta aktivitas ekonomi masyarakat secara lebih produktif;

8. Menggerakkan ekonomi lokal (local economic development) dengan sistem agribisnis yang sinergis, dengan dukungan SDM yang kompeten; sistem insentif yang berpihak kepada masyarakat transmigrasi dan pelaku bisnis; sistem produksi yang berorientasi Green Economy; penyediaan infrastruktur untuk konektivitas kawasan yang termanfaatkan oleh masyarakat dan pelaku bisnis, pada akhirnya dapat mendorong mobilitas penduduk secara vertikal berupa meningkatnya kesejahteraan masyarakat.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

8 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Naskah ini disusun dengan tujuan untuk merumuskan arah kebijakan pembangunan transmigrasi sebagai basis perencanaan strategis dan perencanaan kinerja tahunan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi periode 2015-2019.

Naskah akademik Kebijakan Transmigrasi 2015-2019 disusun dengan memperhatikan berbagai pemikiran di atas dan tetap mengacu pada rumusan: (1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP-N) 2005-2025 pada tahap pembangunan kedua nasional (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM-N) 2010-2014) yang berfokus pada pemantapan penataan kembali NKRI, peningkatan kualitas SDM, pembangunan kemampuan Iptek, dan penguatan daya saing perekonomian 10; (2) RPJM-N 2015-2019 yang berfokus pada pemantapan pembangunan secara menyeluruh dengan penekanan pada pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis SDA yang tersedia, SDM yang berkualitas, serta kemampuan iptek, dan pada akhirnya menjadikan pembangunan yang mempunyai daya saing ekonomi; (3) Rencana Pembanganan Jangka Panjang (RPJP) 2010-2025 dan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi 2010-2014.

Di samping memuat konsep-konsep ideal dan teoretis transmigrasi kedepan, Naskah Akademik Arah Kebijakan Transmigrasi Tahun 2015-2019 ini juga memuat sisi-sisi praktis menyangkut pekerjaan pemerintah (steering), yaitu bagaimana melakukan pentahapan operasional dengan membuat ukuran-ukuran kinerja utama (IKU), sebagai bagian dari sistem manajemen kinerja dalam pembangunan transmigrasi kedepan, yang juga dipengaruhi oleh lingkungan strategis dari perubahan peraturan Pemerintah Daerah UU. No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dan perubahan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang pembagian kewenangan urusan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Transmigrasi 2015-2019 ini disusun melalui analisis terhadap berbagai gagasan (wacana) ketransmigrasian yang saat ini berkembang, yang dihimpun dari dialog pakar dan stakeholders melalui diskusi terbatas, seminar/workshop; maupun dari hasil pencermatan terhadap sumber-sumber tertulis meliputi literatur, dokumen kebijakan dan pembangunan, hasil-hasil penelitian, dan data statistik pembangunan.

10 Sumber: RPJM-Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian 2010-2025 [Permen Nakertrans No. 12/2012]

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

9 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

2 URGENSI TRANSMIGRASI BAGI INDONESIA:

Landasan Filosofis, Historis-Sosiologis dan Yuridis

Pemikiran filosofis, historis, sosiologis dan yuridis transmigrasi jelas akan memperkukuh kedudukan dan urgensi transmigrasi bagi Indonesia. Gagasan tentang hakikat (filsafat) transmigrasi memberikan legitimasi secara logis bahwa transmigrasi, baik secara semantis maupun substansial, adalah bagian dari sunnatullah. Karena itu pikiran-pikiran jernih tentang transmigrasi perlu terus digali agar transmigrasi tidak kehilangan makna hakikinya, baik bagi masyarakat sebagai pelaku dan pemanfaat (beneficiaries), maupun bagi pemerintah sebagai agen pembangunan.

Sementara itu, sosiologi transmigrasi sebagai fenomena khas Indonesia, telah diakui dan dirasakan oleh masyarakat, sebagai sarana [alternatif] pemecahan masalah ketiadaan pekerjaan, sekaligus pencapaian kesejahteraan. Transmigrasi telah begitu popular, dikenal masyarakat, karena jasa-jasanya dalam membentuk komunitas/masyarakat, yang bermukim di desa-desa baru di berbagai belahan negeri ini. Banyak entitas kehidupan sosial-ekonomi dan kultural, yang terbentuk melalui transmigrasi, yang kini telah maju dan berkembang.

Sejarah transmigrasi di Indonesia telah memperlihatkan, bahwa dalam usianya yang lebih dari satu abad (lebih dari seratus tahun sejak tahun 1905) transmigrasi mampu bertahan sebagai program pemerintah. Meskipun kabinet pemerintahan silih-berganti, namun transmigrasi t etap bertahan, baik sebagai program pembangunan maupun sebagai nomenklatur kelembagaan birokrasi.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

10 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Sejarah transmigrasi, yang sudah sangat panjang, merupakan bukti bahwa transmigrasi memang selalu diperlukan bagi Indonesia untuk membangun negeri berkepulauan, dengan suasana penuh ketimpangan, baik hasil pembangunan (ekonomi) maupun persebaran penduduknya antarwilayah.

Kedudukan transmigrasi kedepan akan semakin kuat, bukan saja sebagai kebutuhan pembangunan bagi Indonesia, tetapi juga sebagai bagian dari pelaksanaan berbagai amanat Undang-Undang. Transmigrasi adalah pelaksanaan amanat UUD 1945, untuk mencapai Indonesia yang makmur dan berkeadilan. Sebagai pendekatan pembangunan, transmigrasi memiliki nilai-nilai hakiki, bukan saja sebagai bentuk pengamalan Pancasila, tetapi juga pengamalan berbagai klausul berbagai perangkat perundangan, dalam mencapai tujuan berbangsa dan bernegara.

A. LANDASAN FILOSOFIS

Filsafat (filosofi) transmigrasi dapat dirumuskan ketika transmigrasi dipertanyakan dari sudut pandang filosofis dan hakikat transmigrasi itu sendiri. Filosofi transmigrasi berurusan dengan pemikiran tentang hakikat manusia, hakikat gerak dan perpindahan, hakikat nasib manusia, kehendak bebas, dan potensi jati diri manusia sebagai makhluk sosial yang berdimensi ruang dan waktu.

Salah satu aliran dalam filsafat berpandangan bahwa seluruh isi alam semesta, dari yang sangat kecil hingga yang terbesar, berada dalam keadaan memancar atau bergerak dari satu tempat ke tempat lain11. Dalam pandangan ini, benda-benda langit, baik itu planet, bintang (matahari), dan satelit, molekul dan sel tubuh manusia, berada pada posisi bergerak dalam poros atau orbitnya masing-masing, atau bergerak berputar-melingkar seperti spiral, dalam keabadian, tidak berpermulaan dan tidak berkesudahan. Tidak ada hakikat lain bahwa hakikat itu sendiri adalah gerak (pergerakan) atau perpindahan, yang pada dasarnya merupakan suatu perubahan ke arah yang lebih baik.

Jika disepakati bahwa yang ada adalah gerak, pertanyaan yang muncul adalah, kemanakah tujuan dari setiap gerak segala sesuatu di alam semesta ini?. Filsafat teleology (filsafat tentang tujuan), berpandangan bahwa tujuan gerak adalah kesempurnaan, peremajaan, pengejawantahan kembali, revitalisasi atau hidup kembali12.

11Sumber: Sahrastani: Filsafat Iluminasi (1999). 12 Sumber: Jujun Surya Sumantri: Ilmu dalam perspektif (1999)

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

11 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Jadi, gerak atau perpindahan, adalah hukum semesta, atau hukum alam [Sunnatullah]. Tuhan menciptakan benda-benda (bumi dan benda-benda angkasa lainnya) dalam keadaan bergerak, berpindah dari satu ruang ke ruang lain, agar semua benda tersebut terus dan tetap bergairah, menghirup angkasa luas tanpa batas, sehingga dengan gerak itu maka segala sesuatu menjadi mungkin. Manusia adalah makhluk bagian dari alam semesta, karena itu ia juga terikat dengan hukum alam, hukum gerak. Secara eksistensial, gerak manusia pertama adalah gerak pertumbuhan fisik, dari pembuahan [janin], kelahiran, kekanakan, ketuaan, hingga kematian. Gerak kedua adalah keruangan, yaitu gerak manusia sebagai penghuni semesta (bumi) atau benda langit, yang berpindah dan berputar dalam poros dan orbitnya, dalam tata surya maupun dalam galaksi. Gerak ketiga adalah gerak atomis, yaitu gerak seluruh organ dan sel tubuh, metabolism, sirkulasi darah, pergantian sel, dan napas kehidupan itu sendiri. Gerak keempat adalah gerak sosial dan spasial, yaitu perpindahan fisik dari satu tempat ke tempat lain, dan satu kondisi ke kondisi lain, dan seterusnya. Dengan kata lain, manusia adalah bagian dari makhluk semesta yang selalu bergerak. Gerak adalah hakikat dasar dari segala sesuatu sebagai bagian dari semesta.

Transmigrasi, sebagai perpindahan atau gerak manusia [penduduk] dari satu tempat ke tempat lain, secara esensial sejalan dengan hakikat semesta, hahikat hukum alam. Bertransmigrasi, berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, bukan saja berarti mengharmoniskan dengan hukum semesta, tetapi juga mengembalikan eksistensi (keberadaan) manusia dengan eksistensi jagat yang lebih besar.

Sebagai makhluk yang memiliki kesadaran (pikiran), manusia dapat menguasai ruang (tempat). Gerak manusia bukanlah gerak mekanik yang tanpa disadari (sebagaimana geraknya binatang), tetapi gerak yang didasarkan atas pertimbangan pikiran [kesadaran], pilihan baik-buruk (etis), ataupun nilai-nilai lain yang melekat (inherent) dalam tingkat kesadaran manusia.

Dengan demikian maka transmigrasi atau perpindahan manusia dari suatu tempat ke tempat lain adalah sunnatullah. Dimensi sunatullah dari transmigrasi adalah gerak (perpindahan) itu sendiri. Perpindahan adalah konsekuensi dari ekspresi kehendak bebas. Ketika komunitas manusia mengalami tekanan-tekanan struktural-geografis dan sosial-demografis, maka pilihan pertama dalam proses penyesuaian dan kenyamanan hidup adalah melalui perpindahan. Karena itu, sejarah umat manusia ditandai oleh perpindahan manusia [suku-suku bangsa] dari suatu wilayah [tempat] ke wilayah [tempat] lain.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

12 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Jika manusia adalah makhluk yang harus tunduk pada hukum gerak dan sunnatullah itu, maka apakah manusia berarti tidak memiliki kehendak bebas?; Atau apakah manusia tidak memiliki peluang untuk memilih tindakannya secara bebas? Apakah manusia berada dalam posisi pasif, bagaikan wayang yang tidak memiliki kehendak dan eksistensi, kecuali kehendak dan eksistensi kekuatan yang lebih besar, yaitu Sang Dalang-nya?.

Dalam khasanah filsafat agama, setidaknya ada dua paham tentang nasib manusia; yaitu paham Pre-determination, dan paham Kehendak Bebas (Self-determination). Paham Pre-ditermination memandang bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas. Manusia dipandang bagaikan robot, atau wayang yang seluruh aktivitas dan geraknya ditentukan oleh kehendak Sang Dalang, Sang Pencipta. Dan inilah paham yang melandasi tentang nasib manusia sebagai kodrat (takdir).13

Paham Self-Determination berpandangan sebaliknya, bahwa manusia memiliki kehendak bebas, dan karena itu mempunyai tanggung jawab atas apa yang dikerjakannya. Paham ini menempatkan manusia pada posisi bebas, untuk memilih menjadi baik atau buruk. Manusia diberi instrumen organik berupa akal dan pikiran, kemampuan untuk membedakan dan mengambil resiko atas pilihan-pilihan dalam hidupnya, dan Tuhan tidak lagi melakukan intervensi terhadap alam, gerak, nasib, dan usaha manusia. Tuhan mencipta alam dilengkapi dengan hukum-hukum, siapa yang patuh akan hukum-Nya akan mendapat keberuntungan, siapa yang melanggar hukum mendapat resiko bagi dirinya. Dengan kehendak bebas ( free will)-nya, manusia dapat memilih jalan mana yang akan ditempuh, dan karena itu manusia mempunyai tanggung jawab atas pilihan jalan hidupnya.

Transmigrasi menempatkan posisi filosofisnya pada pandangan Self-determination, sehingga konsekuensi filosofisnya adalah bahwa manusia pada dasarnya makhluk yang memiliki kuasa atas dirinya, atas lingkungan dan alam semesta. Maknanya adalah bahwa alam semesta diciptakan untuk kemaslahatan umat manusia. Dengan demikian, kawasan transmigrasi sebagai bagian dari alam semesta dibangun dan dikembangkan untuk kesejahteraan masyarakat transmigrasi. Selanjutnya bila masyarakat transmigrasi tidak mampu mengelola ruang beserta sumber kekayaan alam yang ada di dalamnya untuk kawasan transmigrasi, justru menjadi sumber bencana.

13 Sumber: Sidi Gazalba, Filsafat Agama (1992)

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

13 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Dengan menempatkan manusia pada posisi supremasi atas alam, dan memandang manusia memiliki kebebasan, tanggung jawab, dan moralitas dalam menjalankan kehidupan di atas bumi ini, maka nasib buruk manusia, kemalangan, dan juga kemujuran tidak lain adalah konsekuensi sosial-logis dari jalan yang dipilih manusia itu sendiri, baik itu cara berpikir, berbuat, atau pilihan-pilihan sadar atas nilai-nilai atau ukuran-ukuran yang dianut. Demikian sebaliknya, nasib baik dan keberuntungan manusia juga diperoleh melalui cara-cara berpikir dan tindakannya yang positif.

Landasan filosofis transmigrasi sejalan dengan pandangan keagamaan [Islam], yang dikenal dengan konsep "hijrah" dalam pengertian luas, yaitu sebagai upaya konsolidasi spiritual dan sosial. Transmigrasi secara eksplisit mendapat legitimasi teologis, tercantum dalam teks-teks kitab suci, baik Al-Qur'an maupun Al-Kitab [Perjanjian Lama]. Dalam Perjanjian Lama, dikisahkan perpindahan [eksodus, pengusiran atau diaspora] orang-orang Israel dari Mesir ke wilayah Timur, menyeberangi Sungai Nil, telah membangun peradaban Timur Tengah. Di masa abad ke-7 [Nabi Muhammad], migrasi jemaah Islam Arab [kaum muhajirin] dilukiskan sebagai orang-orang yang lebih hebat dari pada para pejuang (mujahid)14.

Hijrah atau transmigrasi bukanlah merupakan realitas yang semata-mata menjadi monopoli sejarah Islam, sebagaimana yang dikenal dengan hijrahnya kaum muslimin dari Makkah ke Habasyah atau Madinah, atas perintah Rasul. Sebaliknya, hijrah atau transmigrasi merupakan Iandasan sosial yang teramat penting dalam kehidupan suatu bangsa.

Di balik semua pertumbuhan budaya, tersembunyi suatu proses sosial yang disebut hijrah atau transmigrasi. Ketika ditelusuri secara cermat sejarah masyarakat besar manapun, ditemukan bahasa dan cerita-cerita tentang hijrah (migrasi dan transmigrasi) kelompok-kelompok diaspora yang menjadi pelopor peradaban. Sebagai contoh, transmigrasi yang dilakukan oleh suku-suku Aria pasca-primitif ke Selatan dan Barat, telah melahirkan peradaban-peradaban Barat dan Timur yang lebih besar. Sedangkan transmigrasi orang-orang Samiyah ke wilayah antara dua sungai (Eufrat dan Tigris), Mesir, dan Afrika Utara, telah mendorong lahirnya peradaban-peradaban besar di Sumeria, Babilon, dan Arkadea. Sementara itu exodus kaum Bani Israel dari Mesir ke Palestina, dan orang-orang Barbar ke Barat dan Timur, serta bangsa Frank, Slavia dan Saxon ke dataran Eropa di kurun waktu belakangan, semuanya membuktikan bahwa transmigrasi, atau hijrah, merupakan faktor dasar bagi

14 Sumber: Ali Syariati: Alhajj: Mizan, Bandung [1993]

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

14 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

peralihan komunitas nomadik dan kekabilahan menjadi masyarakat yang memiliki peradaban besar.

Demikian juga, transmigrasi besar-besaran yang dilakukan oleh kabilah-kabilah pasca-primitif ke berbagai wilayah baru, selalu diikuti kemudian dengan munculnya peradaban-peradaban dan bangunan masyarakat besar, serta rnunculnya bangsa-bangsa, sistem budaya, agama-agama, dan pembangunan di muka bumi. Itulah mengapa, teks-teks dalam Al-Qur'an juga menggambarkan hijrah secara jelas sebagai salah satu upaya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik bagi orang-orang yang secara kultural dan ekonomik tersisih, dan sebagai cara untuk memperoleh kenikmatan yang lebih besar dan perubahan kondisi kehidupan di dunia. Ketika teks-teks Kitab Suci berbicara tentang hijrah (transmigrasi), maka hijrah selalu dilukiskan sebagai "mencari penghidupan yang lebih baik di muka bumi", "keluar dari suatu negeri" (bedol desa) atau “lingkungan yang secara sosio-kultural dan ekonomik tidak lagi memungkinkan bagi individu untuk berkembang”15.

Jadi, etos dan ajaran agama mendorong umatnya untuk meninggalkan tanah tumpah darahnya, demi mengangkat kemerdekaan dan martabat serta kehormatan individu. Tuhan mendorong umatnya untuk berhijrah demi tercapainya kemungkinan-kemungkinan baru, dan ditemukannya lingkungan baru yang lebih kondusif bagi pengembangan diri dan potensi masyarakat, sekaligus demi menyebarluaskan dan mengembangluaskan pemikiran serta akidah di wilayah lingkungan lain, dalam rangka menunaikan tugas risalah kemanusiaan yang universal.

B. LANDASAN HISTORIS

Transmigrasi di Indonesia telah berjalan selama lebih dari satu abad. Transmigrasi di Indonesia telah memiliki sejarah panjang. Sebagai program pembangunan yang khas Indonesia, awalnya merupakan program politik etis Pemerintah Hindia Belanda, dengan memberikan kesempatan bagi penduduk miskin Jawa, untuk bekerja sebagai buruh di perkebunan swasta di Sumatera. Program ini dinamakan kolonisatie, yang dimulai sejak tahun 1905. Selama tahun 1905 hingga 1941, sejumlah besar penduduk telah dipindahkan ke Lampung dan Sumatera Bagian Selatan. Setelah kemerdekaan, Pemerintah Indonesia, dengan menggantikan istilah kolonisatie dengan transmigrasi, melanjutkan program ini dengan cara-cara yang relatif sama.

15 Sumber: Anharudin, Teologi Transmigrasi: Jurnal Perspektif [1995].

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

15 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Antara tahun 1905-1941, pemerintah Hindia Belanda secara keseluruhan telah memindahkan sekitar 200 ribuan jiwa dari Jawa ke luar Jawa. Namun, selama kurun waktu yang sama, penduduk Pulau Jawa meningkat dari 30 juta menjadi 45 juta jiwa. Sementara itu, program pemindahan penduduk pada masa-masa berikutnya sudah dirintis. Para pemimpin Republik Indonesia, di masa awal proklamasi, walaupun mengritik kesalahan penjajah dan tidak mengakui apa yang telah dicapai program kolonisatie, tetap menyelenggarakan program yang sama. Akan tetapi, dengan alasan berkonotasi “pejoratif”, istilah kolonisatie pada tahun 1947 digantikan dengan kata “transmigrasi”16

Transmigrasi diselenggarakan Pemerintah pasca kemerdekaan atas alasan-alasan: Demografis (ketimpangan penduduk Indonesia), ideologis (persatuan dan kesatuan bangsa), ekonomis (pengentasan kemiskinan), politis (pemerataan pembangunan antar-wilayah), dan kultural, yaitu terjadinya akulturasi dalam hubungan lintas etnis, bagi masyarakat lokal dan pendatang dalam setting budaya masyarakat Indonesia yang plural.

Transmigrasi merupakan salah satu program khas Pemerintah Indonesia, yang diselenggarakan dalam bentuk pemindahan (perpindahan) penduduk secara besar-besaran dari dan keluar pulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok, untuk bekerja sebagai petani. Selama masa Orde Baru, atau sebelum tahun 2000-an, program transmigrasi pernah dilaksanakan secara besar-besaran untuk menangani problem kemiskinan perdesaan Jawa.

Dari waktu ke waktu, sejarah transmigrasi diwarnai beberapa perubahan baik dari sisi aturan legal, kebijakan dan paradigma, serta orientasi pragmatis pelaksananya. Sejak masa pra-Pelita hingga kini, setidaknya ada 4 (empat) kategori “generasi transmigrasi”, yang dapat dijelaskan sebagai berikut.

Generasi Pertama, adalah transmigrasi yang dilaksanakan di masa pra-Pelita dan berakhir hingga pertengahan tahun 1980-an (Pelita III). Dasar legalnya adalah UU No. 3 tahun 1972 (tentang Ketentuan Pokok Transmigrasi). Ciri utama transmigrasi generasi ini adalah pemindahan penduduk secara besar-besaran dari dan keluar Pulau Jawa, Madura, Bali (Jambal), dan Lombok, dengan sepenuhnya biaya ditanggung pemerintah. Tema-tema utama transmigrasi saat itu adalah pengurangan kepadatan penduduk Jawa dan kelangkaan penduduk luar Jawa. Pola usaha dan permukiman transmigrasi hampir seluruhnya dibangun dengan orientasi pengembangan pertanian (padi-sawah) baik lahan basah maupun lahan kering. Produk akhir transmigrasi generasi ini adalah kesatuan-kesatuan sosial, atau komunitas-komunitas 16Patric Levang (1998).

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

16 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

administratif desa, yang dalam jangka panjang telah terbukti mampu memberikan kontribusi terhadap perkembangan wilayah dan ekonomi regional sebagai pusat-pusat produksi pertanian dan menjadi wilayah belakang (hinterland) dari kota-kota yang secara tradisional sudah ada di wilayah provinsi yang bersangkutan. Komunitas desa-desa eks transmigrasi umumnya berskala besar, dan berkembang pesat baik secara politis maupun administratif.

Generasi Kedua, adalah transmigrasi yang dilaksanakan di masa Pelita IV hingga berakhir di akhir tahun 1990-an (Pelita VII). Dalam era ini transmigrasi ditandai salah satunya oleh keterlibatan pihak swasta untuk berinvestasi di sektor perkebunan. Sekalipun pola usaha tanaman pangan (padi sawah) masih dipertahankan, pola-pola kemitraan perkebunan dalam bentuk Perusahaan Inti Rakyat (PIR-Trans) dikembangkan secara besar-besaran. Program transmigrasi mendapat berkah dengan dikucurkannya dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) kepada swasta, sehingga banyak swasta yang kemudian berinvestasi membangun perkebunan sawit dan karet dalam bentuk PIR-Trans. Tema-tema demografis transmigrasi di era ini kemudian ditinggalkan, karena efek-efek pengurangan penduduk di daerah asal (Jambal) ternyata tidak tercapai. Transmigrasi kemudian dilakukan dengan orientasi pengembangan wilayah di daerah. Maka lahirlah UU No. 15 tahun 1997 (tentang Ketransmigrasian, sebagai pengganti UU Nomor 3 tahun 1972). Secara konseptual, orientasi transmigrasi generasi kedua bukan lagi membangun komunitas administratif desa atau desa definitif, melainkan pembangunan proyek-proyek berbasis spasial yaitu WPT (Wilayah Pengembangan Transmigrasi) dan LPT (Lokasi Permukiman Transmigrasi).

Generasi ketiga, adalah transmigrasi yang dilaksanakan sejak berakhirnya pemerintahan sentralistik Orde Baru, dan berakhir di penghujung tahun 2004. Dengan demikian, dalam prakteknya UU nomor 15/1997 belum sempat diimplementasikan secara utuh dan orientasi pengembangan wilayah praktis belum sempat dilaksanakan, karena ketika itu transmigrasi lebih difokuskan atau mendapat mandat yang bersifat ad hoc untuk menangani secara permanen korban konflik baik horisontal maupun konflik vertikal melalui upaya pemukiman kembali di berbagai wilayah (termasuk daerah asal Jawa, Madura, dan Bali). Pada era ini, transmigrasi mengalami stagnasi. Tahun 2000-2001, misalnya, tidak ada penempatan transmigrasi. Di beberapa propinsi, program transmigrasi dihentikan. Sejak saat itulah maka citra (syi’ar) transmigrasi mulai meredup. Kondisi ini semakin sulit, karena otonomi daerah yang mulai diberlakukan menjadikan dikotomi yang begitu kuat antara kepentingan daerah tujuan dan daerah asal transmigrasi, serta perolehan lahan pun untuk

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

17 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

permukiman transmigrasi berskala luas (yang bersifat eksklusif) menjadi semakin sensitif untuk dibicarakan. Satuan-satuan permukiman transmigrasi dibangun dalam skala yang relatif lebih kecil, sehingga sulit untuk menjadi embrio pusat pertumbuhan ekonomi wilayah.

Transmigrasi kembali normal menjadi program reguler pemerintah yang teratur di tahun 2005. Namun transmigrasi di era ini sebagian masih mewarisi problematik di era generasi ketiga. Dalam paruh kedua pemerintahan SBY Jilid I, upaya untuk membenahi transmigrasi sebagai program reguler-sektoral, telah berhasil dilakukan. Maka muncullah paradigma baru transmigrasi, yang bukan lagi berorientasi demografis melalui pemindahan dan penempatan penduduk secara besar-besaran, tetapi lebih pada pembangunan transmigrasi dengan membangun dan mendorong pusat-pusat pertumbuhan baru dan atau pusat pertumbuhan yang sudah ada melalui skema Kota Terpadu Mandiri (KTM) dengan basis kawasan transmigrasi (dimulai tahun 2007), yang tujuannya untuk mengurangi ketimpangan dan mempercepat pembangunan daerah dalam rangka memperkukuh pelaksanaan otonomi.

Tetapi dalam era ini, transmigrasi masih tetap harus dilakukan dalam bentuk perpindahan penduduk dari dan keluar daerah pengirim (asal), dengan tetap menyertakan masyarakat setempat sebagai Transmigran Penduduk Setempat (TPS), dan dengan dengan porsi dan komposisi yang lebih seimbang, bahkan lebih besar. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan perlindungan hak-hak masyarakat lokal agar tidak terjadi marginalisasi, karena mereka adalah pemilik teritorial atau daerah kebudayaan, masyarakat penerima, atau bahkan sebagai pemberi lahan untuk lokasi pembangunan.

Di medio KIB jilid I tahun 2006, keluar Inpres 6 yang menginstruksikan antara lain tentang perlunya menyempurnakan UU 15/1997 agar transmigrasi dapat berperan lebih berarti dalam Pembangunan Nasional, dengan harus mempertimbangkan kejelasan peran pemda dalam otonomi daerah, peningkatan peranserta masyarakat termasuk badan usaha, serta rencana tata ruang sebagai dasar perencanaan. Pada tahun 2009, UU No. 29/2009 disahkan sebagai perubahan (amandemen) atas UU No. 15/1999. Banyak tugas baru yang diamanatkan dalam UU tersebut. Transmigrasi di era Kabinet SBY jilid II, di bawah kepemimpinan Menteri Muhaimin Iskandar, dihadapkan pada tuntutan perubahan kebijakan dan strategi implementasi transmigrasi, sebagai pelaksanaan amanat UU tersebut. Salah satu tugas baru transmigrasi, sesuai amanat UU No. 29/2009, adalah menempatkan kawasan transmigrasi yang di dalamnya terdapat Kawasan Perkotaan Baru (KPB), sebagai satu kesatuan sistem pengembangan ekonomi wilayah.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

18 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Membangun KPB, tidak lain dimulai dengan membangun dan mengembangkan kawasan. Hal ini berarti bahwa transmigrasi kedepan masih tetap berorientasi pengembangan wilayah, yang bukan saja sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, tetapi sekaligus juga sebagai kawasan-kawasan yang memiliki fungsi-fungsi perkotaan baru atau mempunyai ciri fungsi perkotaan baru, di daerah-daerah luar Pulau Jawa, Madura dan Bali.

Era baru transmigrasi akan menjadi transmigrasi generasi keempat, yaitu transmigrasi yang mendapat tugas lebih kompleks, yaitu: Pertama, merencanakan infrastruktur kawasan transmigrasi sebagai kawasan yang memiliki fungsi-fungsi perkotaan atau ciri fungsi perkotaan baru. Maka transmigrasi dihadapkan pada tantangan untuk memperoleh dukungan aparat birokrasi yang memahami betul planologi wilayah perkotaan. Kedua, transmigrasi harus mempersiapkan para calon transmigran, baik dari daerah pengirim maupun dari daerah tujuan atau penempatan (transmigran penduduk setempat), untuk menjadi calon masyarakat transmigrasi yang mampu menopang pertumbuhan budaya perkotaan dengan basis pertanian. Selain tugas membangun prasarana dan sarana fisik kawasan perkotaan guna melayani kebutuhan masyarakat, tugas baru transmigrasi adalah membuat program-program pengembangan kultur perkotaan bagi masyarakat transmigran, atau model transformasi kultural yang diperlukan guna menopang kemajuan kawasan yang berciri atau berfungsi perkotaan. Pada generasi ini (saat ini) diperlukan aparat birokrasi (pusat maupun daerah) yang mampu melakukan rekayasa transformasi budaya dari tradisional ke modernitas pendukung kehidupan kota. Ketiga, memberikan pemahaman kepada publik bahwa transmigrasi kedepan bukan lagi hanya membangun desa, melainkan membangun masyarakat kota yang dicirikan oleh kultur kerja keras, kompetitif, dan reseptif terhadap nilai-nilai moderen yang mendukung kemajuan. Di era baru ini, transmigrasi akan memasuki babak baru, sebagai program yang sangat prestisius, tetapi tetap berciri populis, dan akan mendapat simpati rakyat (publik), bagi siapapun rezim pelaksana dan berkuasa di negeri ini.

Setiap generasi, karena bentuk dan sifat pembangunannya, transmigrasi secara langsung bersinggungan dengan problema pluralitas kultural. Dengan mempertemukan berbagai kelompok etnik, kultur dan agama ke dalam unit-unit kehidupan (permukiman) baru, transmigrasi bisa memperkukuh pluralitas, atau sebaliknya rentan atas disintegrasi. Tetapi transmigrasi pada umumnya telah memperkukuh pluralitas masyarakat dengan tumbuh dan berkembangnya simpul-simpul pertumbuhan ekonomi, dengan tingkat akulturasi berbagai kelompok yang tinggi. Oleh karena itu tantangan pembangunan transmigrasi salah satunya adalah bagaimana memperkukuh kesatuan dan persatuan

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

19 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

masyarakat, baik pada tingkat lokal, regional maupu nasional, dengan meningkatkan tingkat integrasi dan akulturasi masyarakat dengan memperkuat basis kehidupan ekonomi pada tingkat akar rumput.

Dengan menempatkan atau memukimkan kembali penduduk dalam wilayah permukiman baru, atau dengan memfasilitasi perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain di wilayah Indonesia, transmigrasi diselenggarakan dalam konteks kemajemukan Indonesia, baik kemajemukan suku bangsa, agama dan regional. Dalam konteks kemajemukan suku-suku bangsa, transmigrasi pada dasarnya merupakan jalan untuk mempertemukan berbagai varian suku-bangsa yang berbeda tersebut, sehingga tidak lagi terjadi isolasionisme kultural.

Dalam konteks kemajemukan agama dan kepercayaan, transmigrasi perlu mengembangkan sikap keberterimaan (tolerance) di antara komunitas-komunitas agama yang berbeda dalam sebuah komunitas baru. Dengan demikian, transmigrasi berkaitan erat dengan penciptaan hubungan lintas-budaya (cross-cultural relation) di antara beragam kelompok budaya dan suku-bangsa. Transmigrasi merupakan salah satu upaya pemerintah menciptakan peluang kerja dan berusaha bagi masyarakat. Lokasi-lokasi transmigrasi sebagian telah menjadi daya tarik bagi terjadinya mobilitas penduduk, merangsang perkembangan daerah dan kegiatan perekonomian, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik transmigran maupun masyarakat sekitar.

Pembukaan daerah baru melalui pembangunan transmigrasi, jelas mengundang dan mengandung konsekuensi hubungan lintas-etnik, baik yang berciri integratif, maupun yang berpotensi disintegratif. Transmigrasi berekonsekuensi positif jika penempatan transmigran yang plural secara etnik dan kultural itu berakhir secara harmonis, dan integratif melalui proses akulturasi. Berkonsekuensi negatif jika penempatan transmigrasi berciri disintegratif dan disharmonis, jika permukiman transmigrasi menjadi arena pertarungan antar-kelompok etnik dan agama, atau menjadi ajang kekerasan antar sesama transmigran atau transmigran dengan masyarakat setempat.

Konsep ideal masyarakat transmigrasi, atau masyarakat yang dibangun melalui transmigrasi, adalah masyarakat di mana keanekaragaman etnik-kultural tetap eksis dan terpelihara dan mampu hidup berdampingan secara damai dan harmonis. Hal ini berarti bahwa pengembangan komunitas desa transmigrasi diarahkan pada terjadinya integrasi berbagai kelompok (etnis, agama, dan ideologi) dengan tetap memelihara identitas kultural masing-masing.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

20 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Masyarakat transmigrasi diandaikan sebagai sebuah masyarakat yang memiliki integrasi tinggi di atas keragaman (ke-bhinneka-an) dengan basis wawasan kebersamaan, pluralisme, dan multikulturalisme yang kuat-mendalam. Integrasi sosial yang dikehendaki adalah suatu akulturasi yang adil dan seimbang, yang ditandai salah satunya oleh semakin mencairnya fanatisme sempit terhadap primordialisme identitas kultural-etnis masing-masing. Akulturasi yang demikian, yang dengan ditopang oleh basis perekonomian yang kuat, secara nasional akan melanggengkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Apa yang menjadi ciri khas (“trademark”) dari program transmigrasi, adalah bahwa melalui transmigrasi, atau dengan mengikuti program ini, seseorang atau suatu unit keluarga, dapat memperoleh bantuan sarana produksi, berupa tanah, pangan untuk bekerja ( food for work), dan perlakuan pembinaan kemasyarakatan setelah bertempat tinggal (pasca penempatan) di permukiman baru transmigrasi. Dengan kata lain, program transmigrasi memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat untuk bekerja dan berusaha di daerah baru, dengan memanfaatkan sumber daya alam (lahan pertanian).

Konsekuensi sosial dari pembangunan transmigrasi, adalah terbentuknya komunitas-komunitas lokal yang bersifat plural, baik secara etnik, budaya, maupun agama. Pluralitas etnis menjadi karakter umum dari desa-desa atau komunitas-komunitas yang dibentuk melalui skim transmigrasi. Dengan kata lain, “proyek transmigrasi” telah membentuk komunitas (community bulding) dengan nilai dan norma baru yang berciri plural, karena bentuk programnya adalah mempertemukan dan memukimkan penduduk dari berbagai varian etnis, budaya, dan agama, dalam sebuah kompleks permukiman baru, untuk tinggal-menetap sebagai warga komunitas baru, dan untuk berusaha-bekerja dengan basis lahan, sebagai petani atau pekebun. Pemerintah memberikan berbagai subsidi, baik berupa sarana usaha, bantuan pangan (jaminan hidup), maupun berbagai sarana lain yang diperlukan.

Kelompok sosial (penduduk) yang “ditransmigrasikan”, umumnya adalah kelompok-kelompok masyarakat dari “lapisan bawah”, baik itu petani, buruh, nelayan, pengrajin, pekerja seks, maupun pekerja kasar, dari daerah-daerah perdesaan dari daerah pengirim. Kelompok lain yang masuk ke dalam komunitas transmigrasi, adalah masyarakat atau penduduk sekitar permukiman baru, yang dikenal sebagai Transmigran Penduduk Setempat (TPS). Pemberian kesempatan bagi masyarakat sekitar (setempat) untuk menjadi transmigran, dilakukan atas dasar “asas” bahwa transmigrasi berwawasan lingkungan, dan berbasis etika politik, dengan melibatkan “golongan pribumi”

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

21 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

atau masyarakat lokal (indegenous people), sebagai peserta atau transmigran, untuk juga tinggal-menetap di unit-unit permukiman baru transmigrasi.

Sebagai program pembangunan Pemerintah Indonesia, transmigrasi pernah mengalami masa gemilang dan masa-masa suram. Tingkat keberhasilannya sama dengan tingkat kegagalannya. Keberhasilan dan atau kegagalan program transmigrasi, berkaitan erat dengan persepsi publik pengamat, yang secara sederhana dapat dipetakan kedalam dua kubu, yang pro dan yang kontra. Dalam pandangan yang pro, misalnya dari kalangan birokrasi Pemerintah, transmigrasi selalu dipandang sukses, terutama dalam hal pembentukan daerah-daerah baru, pembukaan dan pemanfaatan sumber daya lahan secara lebih produktif, dan bahkan dalam hal pengentasan kemiskinan. 17

C. LANDASAN YURIDIS

Landasan hukum di sini diartikan sebagai peraturan baku yang merupakan dasar bagi penyelenggaraan transmigrasi sejalan dengan perkembangannya. Transmigrasi awalnya dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Penyelenggara Transmigrasi yang telah dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 56 tahun 1958, dianggap sebagai Badan Koordinasi Penyelenggara Transmigrasi. Sejak itu, beberapa landasan hukum penyelenggaraan transmigrasi adalah sebagai berikut.

(1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 29 Tahun 1960 (29/1960); (2) Ketentuan Ketentuan Pokok Transmigrasi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1972; (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1973 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi; (4) UU No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian; (5) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ketransmigrasian; (6) Transmigrasi pada dasarnya merupakan sektor pembangunan yang diselenggarakan sebagai bentuk pelaksanaan atas berbagai Undang-Undang; yaitu UU No. 15/1997 Jo UU No. 29/2009.

Peraturan yang terkait dengan ketransmigrasian dari sektor yaitu: (1) UU No. 52/2009, tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga; (2) UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, dan UU No. 1/2011 tentang Tata Ruang Nasional; (3) Dalam UU No. 26/2007 tentang Tata Ruang Nasional, dan PP No 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ditekankan

17 Patrice Levang, 1998.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

22 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

pentingnya Perencanaan Tata Ruang Wilayah (RTRW), baik propinsi maupun kabupaten-kota (RTRWK), Pemanfaatan Ruang Wilayah, baik wilayah nasional, propinsi, maupun kabupaten-kota. Juga menekankan pentingnya Penataan Ruang Kawasan Perkotaan dan Perdesaan, serta Perencanaan Tata Ruang Kawasan Perkotaan dan dan Perdesaan. Dengan demikian maka transmigrasi sudah harus tunduk dan mendukung pelaksanaan ketentuan dalam kedua instrumen hukum tersebut.

Dalam UU 52/2009, disebutkan bahwa: (1) Pengarahan mobilitas penduduk dan/atau penataan persebaran penduduk diarahkan untuk mencapai persebaran penduduk yang optimal, didasarkan pada keseimbangan antara jumlah penduduk dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan; (2) Pengarahan mobilitas penduduk dan/atau penyebaran penduduk meliputi (a) mobilitas internal dan (b) mobilitas internasional dilaksanakan pada tingkat nasional dan daerah serta ditetapkan secara berkelanjutan.

Dalam UU No. 1/2011, disebutkan bahwa; kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Pembangunan keruangan diarahkan pada tumbuh dan berkembangnya kota-kota kecil baru tanpa permukiman kumuh, terutama di luar Jawa. Sementara itu, pembangunan berwawasan kependudukan diarahkan pada pengarahan mobilitas penduduk untuk mendukung pembangunan.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

23 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

3 LINGKUNGAN STRATEGIS

Lingkungan strategis suatu negara-bangsa, umumnya terus mengalami perubahan dan perkembangan, baik pada tataran global, regional, maupun nasional. Perubahan-perubahan tersebut jelas sangat berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Banyak hal yang dapat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan strategis, antara lain: aturan main atau persyaratan dalam berbagai jenis hubungan, baik antar-kelembagaan, perdagangan dunia, maupun dalam hal tata cara pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Hal yang sama juga terjadi pada kondisi lingkungan strategis pembangunan Indonesia, seperti lingkungan strategis negara-negara Asia Tenggara (ASEAN), dan lingkungan strategis negara-negara Asia Pasifik atau APEC. Lingkungan strategis nasional pun sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan kemajuan nusantara, yang tentunya tidak terlepas dari perkembangan politik, ekonomi, sosial budaya dan Hankam dalam negeri. Perkembangan lingkungan strategis yang semakin dinamis tersebut merupakan perkembangan penting yang harus sejak dini diantisipasi oleh para stakeholders pembangunan.

A. LINGKUNGAN GLOBAL

1. Kesepakatan MDGs

Lingkungan yang mempengaruhi konsensus global tentang Millenium Develelopment Goals (MDGs) akan berakhir pada tahun 2015. Sebagai kesepakatan pembangunan internasional, MDGs telah mendorong negara-negara anggotanya untuk memajukan berbagai aspek pembangunan. Seperti diketahui, ada 8 (delapan) tujuan dari pembangunan millenium (MGDs), yang telah disepakati para pemimpin dunia pada pertemuan puncak PBB tahun 2000, dengan target-target spesifik pemecahan masalah, yaitu: (1)

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

24 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

pengentasan kemiskinan, (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua, (3) kesetaraan gender, (4) menurunkan angka kematian balita, (5) meningkatkan kesehatan ibu, (6) stabilitas lingkungan, (7) penurunan angka penderita HIV/AIDS dan penyakit menular lain, dan (8) kemitraan global untuk pembangunan. Namun demikian, MDGs belum cukup sebagai kekuatan pendorong bagi negara pihak yang terkait dalam keanggotaannya untuk mengatasi masalah-masalah domestiknya. Kesepakatan tersebut telah menjadi tanggung jawab bersama semua negara dan diharapkan pasca 2015 perjuangan melawan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan pada intinya dapat ditata kembali.

Menjelang berakhirnya masa konsesus MGDs, kini dunia tengah mulai memikirkan dan mencurahkan perhatian pada post 2015 development (pembangunan pasca 2015). Sebagai negara peserta, Indonesia berkesempatan untuk dapat mewarnai proses perumusan agenda-agenda pembangunan pasca 2015, bersama negara-negara lain dan badan-badan PBB. Peran aktif Pemerintah diperlukan untuk menjamin bahwa kebijakan internasional tersebut bukan saja sesuai dengan kebutuhan negara-negara berkembang, tetapi juga dapat memperkuat agenda pembangunan nasional yang benar-benar dapat menyejahterakan masyarakat.

Gagasan awal tentang prinsip-prinsip agenda pembangunan pasca 2015, adalah; Pertama, Inklusif; bahwa kesepakatan agenda pembangunan pasca 2015 harus dengan tegas memuat penghormatan dan perlindungan kepada kebhinekaan dan prinsip non-diskriminasi. Proses penyusunan dan pelaksanaan kesepakatan agenda pembangunan pasca 2015 harus berlangsung konsultatif dan partisipatif, termasuk melibatkan kelompok masyarakat sipil dan marjinal. Kedua, International Cooperation; bahwa kesepakatan agenda pembangunan pasca 2015 harus feasible, dalam arti secara politik merupakan titik temu kepentingan antara negara maju dan negara berkembang serta miskin. Dengan kata lain, tidak boleh hanya merupakan kepentingan negara maju atau negara miskin. Ketiga, Akuntabilitas; bahwa sasaran post 2015 harus memuat perubahan dan perbaikan keadaan di tingkat nasional dan global. Pada tingkat nasional terjadi penurunan indeks ketimpangan (gini ratio); terjadi kenaikan HDI (human development index), dan pada tingkat global, misalnya, terjadi penurunan kasus, jumlah dan besaran penghindaran pajak oleh MNCs. Pada tingkat global lainnya adalah pemenuhan ODA 0,7% GNI (pendapatan) oleh sebagian besar negara-negara OECD (Organization for Economic Co-operation and Development ) pada tahun 2020.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

25 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Hal yang tidak kalah penting adalah dalam agenda pembangunan pasca 2015, bahwa peran masyarakat sipil perlu diakui sebagai Non-State Actor (Aktor di luar Negara). Sebagaimana dalam Busan Outcome Document Pasal 22, disebutkan bahwa masyarakat sipil adalah aktor pembangunan yang memiliki peran penting dalam pemberdayaan masyarakat, dan penggalakan pendekatan pemenuhan hak-hak (pendekatan pembangunan berbasis hak). Dengan demikian setidaknya ada sebelas agenda yang akan digagas dan diajukan dalam pembangunan pasca 201518, yang diistilahkan dengan “The World We Want” Development Agenda, yaitu: (1) Dinamika kependudukan, (2) Pengurangan kemiskinan dan kesamaan (equity), (3) Kesehatan, (4) Pendidikan, (5) Pertumbuhan perkotaan dan pemekerjaan, (6) Ketahanan pangan dan gizi, (7) Kecukupan sumberdaya air, (8) Kecukupan dan efisiensi energi, (9) Kelestarian lingkungan, (10) Konflik dan fragility, dan (11) Tata kelola (governance).

Berdasarkan perjalanan pembahasan persiapan pembangunan pasca 2015, disimpulkan bahwa pembangunan pasca 2015 adalah agenda universal (universal agenda) yang perlu digerakkan oleh lima pergeseran besar yang bersifat transformatif (five big, transformative shifts)19: (1) Tidak ada seorang pun tertinggal (leave no one behind); (2) Tempatkan pembangunan berkelanjutan sebagai inti (put sustainable development at the core ); (3) Transformasikan ekonomi untuk pekerjaan dan pertumbuhan yang inklusif (transform economies for jobs and inclusive growth); (4) Bangun kelembagaan untuk semua yang damai dan efektif, serta terbuka dan akuntabel ( build peace and effective, open and accountable institutions for all ); (5) Bangun suatu kemitraan global yang baru (forge a new global partnership). Kelima langkah besar tersebut diyakini merupakan perubahan yang tepat, cerdas, dan penting untuk dilakukan. Namun dampaknya akan sangat tergantung pada seberapa jauh dapat diterjemahkan ke dalam agenda prioritas dan aksi yang khas bagi setiap Negara.

2. Kesepakatan AFTA

ASEAN Free Trade Area (AFTA) adalah kawasan perdagangan bebas ASEAN, artinya tidak ada hambatan tarif perdagangan (karena bea masuk hanya 0-5%), atau hambatan non tarif bagi negara-negara anggota ASEAN, melalui skema CEPT-AFTA. AFTA merupakan wujud dari kesepakatan negara-

18 Salim, Emil et al. Roles Of Population Dynamics In Development: An Indonesian Case Study, 2013

19 The Report of the High-Level Panel of Eminent Persons on Post-2015 Development Agenda. A New Global Partnership: Eradicate Poverty and Transform Economies Through Sustainable Development. United Nations, 2013

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

26 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya.20

Tujuan AFTA adalah: (1) Meningkatkan perdagangan di tingkat ASEAN (intra-ASEAN trade); (2) Merangsang pertumbuhan penanaman modal langsung (foreign direct investment); dan (3) Membuat kawasan regional ASEAN sebagai tempat produksi yang kompetitif. Manfaat AFTA bagi Indonesia antara lain: (1) Terbukanya peluang pasar yang semakin besar dan luas bagi produk Indonesia, karena jumlah penduduk ASEAN sebesar ± 500 juta dan tingkat pendapatan masyarakatnya yang beragam; (2) Biaya produksi menjadi lebih efisien karena ada spesialisasi; (3) Pemasaran produk lebih mudah ke negara-negara ASEAN; (4) Implementasi AFTA meningkatkan ekspor negara-negara ASEAN; (5) Pilihan konsumen atas jenis/ragam produk yang tersedia di pasar domestik semakin banyak dengan tingkat harga dan mutu tertentu; (6) Kerjasama dalam menjalankan bisnis semakin terbuka karena pelaku bisnis dapat beraliansi dengan pelaku bisnis lain di lingkup negara anggota ASEAN.

Tantangan AFTA bagi Indonesia adalah kurang siapnya sumber daya manusia Indonesia dalam berinovasi, dan belum maksimalnya Pemerintah dalam menyediakan infrastruktur dasar wilayah. Dengan kondisi demikian, maka pelaku bisnis Indonesia dituntut untuk terus-menerus meningkatkan kemampuan dalam menjalankan bisnisnya secara lebih profesional guna memenangkan kompetisi terhadap produk-produk yang berasal dari negara-negara anggota ASEAN lainnya. Selain itu, pelaku bisnis Indonesia juga dituntut dapat memenangkan kompetisi, baik dalam memanfaatkan peluang pasar domestik maupun pasar negara-negara anggota ASEAN lainnya.

3. Kesepakatan APEC

Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) merupakan forum kerja sama ekonomi lingkar Pasifik yang didirikan di Canberra, Australia pada tahun 1989. APEC saat ini beranggotakan 21 negara, yaitu Australia, Brunei Darussalam, Kanada, Cili, China, Hong Kong-China, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Filipina, Papua New Guinea, Rusia, Singapura, Thailand, China Taipei, Amerika Serikat, dan Vietnam.

APEC bertujuan untuk mencapai Bogor Goals, yaitu terciptanya liberalisasi perdagangan dan investasi di kawasan Asia Pasifik sebelum tahun 2010 untuk 20 Samriyah.files.wordpress.com/2013/01/asean-free-trade-area.docx, diunduh 30 Nopember 2013

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

27 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

negara-negara anggota yang tergolong Ekonomi Maju, dan sebelum tahun 2020 untuk negara-negara anggota yang tergolong Ekonomi Berkembang. Dalam mencapai Bogor Goals, APEC melandaskan kerjasama yang dibangun pada tiga pilar, yaitu liberalisasi perdagangan dan investasi, fasilitasi bisnis, dan kerjasama ekonomi dan teknik (ECOTECH). KTT APEC 2011 diselenggarakan di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat pada tanggal 12-15 November 2011, dengan memprioritaskan pembahasan pada tiga bidang, yaitu isu-isu perdagangan dan investasi generasi baru, pertumbuhan hijau ( green growth), dan kerja sama reformasi regulasi (regulatory reform).

Diharapkan negara-negara anggota APEC lebih fokus pada upaya memperkuat integrasi ekonomi guna mewujudkan kawasan perdagangan bebas Asia Pasifik, sehingga nantinya berbagai tarif perdagangan dapat dihilangkan dan tidak ada lagi tarif-tarif baru yang akan muncul. Pada tahun 2013, KTT ke-21 APEC akan diselenggarakan di Bali, dan seluruh rangkaian pertemuan APEC perlu dimanfaatkan sebagai peluang untuk menunjukkan peran aktif Indonesia di dalam memajukan arsitektur ekonomi regional, memanfaatkan integrasi ekonomi kawasan bagi pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, peningkatan investasi dan ekspor Indonesia, serta mempromosikan potensi perdagangan, investasi, pariwisata, kebudayaan daerah dan nasional.

Manfaat APEC bagi Indonesia yaitu: Pertama, APEC merupakan forum yang fleksibel untuk membahas isu-isu ekonomi internasional; Kedua, APEC merupakan forum konsolidasi menuju era perdagangan terbuka dan sejalan dengan prinsip-prinsip perdagangan multilateral, yaitu (1) Peningkatan peran swasta dan masyarakat Indonesia menuju liberalisasi perdagangan; (2) Peningkatan Human and Capacity Building; dan (3) Sumber peningkatan potensi ekonomi perdagangan dan investasi Indonesia; Ketiga, APEC sebagai forum untuk bertukar pengalaman, dan memproyeksikan kepentingan-kepentingan Indonesia dalam konteks ekonomi internasional; Keempat, APEC merupakan salah satu forum yang memungkinkan Indonesia memproyeksikan kepentingan-kepentingannya dan mengamankan posisinya dalam tata hubungan ekonomi internasional yang bebas dan terbuka.

4. Komitmen Terhadap Forum G-20

Krisis ekonomi dan keuangan global yang terjadi pada tahun 2007 merupakan dampak dari sistem arsitektur ekonomi dan keuangan internasional yang tidak berimbang terutama dalam hal regulasi sektor keuangan yang kurang accountable. Berawal dari krisis kredit perumahan (subprime mortgage crisis) di AS, lemahnya regulasi keuangan dan tingginya keterikatan sektor

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

28 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

keuangan antarnegara, khususnya produk derivatif keuangan, menyebabkan menjalarnya krisis negara maju ke negara berkembang lainnya. Efek domino krisis ekonomi tersebut turut menyeret sektor riil dan mengakibatkan terpuruknya perekonomian negara-negara di dunia.

Krisis ekonomi serupa pernah dialami kawasan Asia tahun 1997. Namun, krisis ini memiliki pengaruh yang lebih besar sehingga memerlukan penanganan yang lebih menyeluruh dan kerjasama negara-negara di dunia. Krisis ekonomi dan keuangan global telah menghambat proses pembangunan terutama di negara-negara Least Developed Countries serta telah menyebabkan kemunduran pencapaian MDGs.

Peran Indonesia dalam setiap KTT G-20 senantiasa memajukan kepentingan negara berkembang serta menjaga terciptanya sistem perekonomian global yang inklusif dan berkelanjutan (antara lain, usulan pembentukan global expenditure support fund, menghindari pembahasan exit strategy paket stimulus fiskal yang dapat merugikan negara-negara berkembang, dan mendorong tercapainya konsensus selaku bridge builder).

Manfaat konkret Indonesia berpartisipasi aktif dalam G-20 yaitu: (1) Indonesia masuk anggota baru Financial Stability Forum (FSF) yang merupakan standart setting body bagi sistem keuangan; (2) Indonesia mendapatkan Defered Drawdown Option (DDO) dari Bank Dunia, ADB, Jepang dan Australia bagi program pengentasan kemiskinan dan infrastruktur yang menjadi model GESF; (3) G-20 yang merupakan pemegang saham terbesar di ADB berkomitmen untuk meningkatkan permodalan ADB untuk mendorong pembangunan kawasan Asia; (4) Negara maju berkomitmen untuk memberikan peningkatan kapasitas bagi pengembangan sektor keuangan di negara-negara berkembang; (5) Manfaat non keuangan yakni, G-20 berkomitmen menjamin dan melindungi hak pekerja migran.

B. LINGKUNGAN NASIONAL

1. Lingkungan Hidup

Spektrum persoalan lingkungan hidup sangat luas, baik yang bersifat global, maupun yang bersifat nasional dan lokal. Isu lingkungan hidup Indonesia pada tingkat nasional adalah antara lain adalah: Pertama, adalah perubahan-perubahan pada cuaca dan iklim, yang berakibat pada munculnya kekeringan, banjir, longsor, erosi, dll. Penyebabnya salah satunya adalah

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

29 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

kerusakan hutan, terutama disebabkan oleh: Penebangan liar ( ilegal logging); kebakaran hutan dan lahan, kegiatan penambangan; peralihan fungsi hutan (konversi) menjadi perkebunan skala besar dan hutan tanaman industri; Penebangan yang tidak lestari (unsustainable logging). Contoh, penyebab dan dampak lingkungan nasional, antara lain: Kebakaran Hutan. Proses kebakaran hutan dapat terjadi dengan alami atau ulah manusia. Kebakaran oleh manusia biasanya karena bermaksud pembukaan lahan untuk perkebunan. Dampaknya: memberi kontribusi CO2 di udara, hilangnya keaneragaman hayati, asap yang dihasilkan dapat mengganggu kesehatan dan asapnya bisa berdampak kenegara lain. Tidak hanya pada lokal namun ke negara tetanggapun juga terkena.

Kedua, Pencemaran lingkungan. Salah satu contohnya adalah pencemaran air lain pada minyak lepas pantai. Hasil ekploitasi minyak bumi diangkut oleh kapal tanker ke tempat pengolahan minyak bumi. Pencemaran minyak lepas pantai diakibatkan oleh sistem penampungan yang bocor atau kapal tenggelam yang menyebankan lepasnya minyak ke perairan. Dampak : mengakibatkan limbah tersebut dapat tersebar tergantung gelombang air laut. Dapat berdampak kebeberapa negara, akibatnya tertutupnya lapisan permukaan laut yang menyebabkan penetrasi matahari berkurng menyebabkan fotosintesis terganggu, pengikatan oksigen, dan dapat menyebabkan kematian organisme laut.

Ketiga, Ilegal logging: proses penebangan hutan tanpa kendali dan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan peruntukannya berupa permukiman di DAS dan kawasan hutan lindung. Dampaknya antara lain adalah pada saat musim hujan wilayah Indonesia sering dilanda banjir dan tanah longsor. Menurut Catatan Harian, pada tahun 2007 Indonesia telah mengalami 236 kali banjir di 136 kabupaten dan 26 propinsi. Di samping itu juga terjadi 111 kejadian longsor di 48 kabupaten dan 13 propinsi.

Isu Lingkungan Global yang dihadapi semua negara di antaranya adalah pemanasan bumi akibat efek rumah kaca, atau menipisnya lapisan ozon. Di tengah kondisi di atas mak dimulailah prakarsa-prakarsa pro-lingkungan pada tingkat global. Kyoto Protokol adalah konvensi yang masih cukup hangat dan masih akan diberlakukan secara efektif mulai tahun 2007. Isi utama Protokol ini adalah upaya pengurangan emisi enam gas (CO2, Metana, Dinitrooksida, CFC, Klor, dan Brom) yang mengakibatkan kenaikan suhu global. Pada tahun 2008-2012 akan diadakan pengukuran sistematis balance pengeluaran dan penyerapan gas-gas ini pada semua negara yang telah menandatangani Protokol ini. Contoh, penyebab dan dampak lingkungan global:

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

30 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

a. Pemanasan Global: Pemanasan Global/Global Warming pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas karbondioksida, metana, dinitrooksida, dan CFC sehingga energy matahari tertangkap dalam atmosfer bumi. Dampak bagi lingkungan biogeofisik antara lain adalah: pelelehan es di kutub, kenaikan mutu air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna, migrasi fauna dan hama penyakit. Dampak bagi aktiitas sosial ekonomi masyarakat: gangguan pada pesisir dan kota pantai, gangguang terhadap prasarana fungsi jalan, pelabuhan dan bandara. Gangguan terhadap pemukiman penduduk, ganggungan produktifitas pertanian. Peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit.

b. Penipisan Lapisan Ozon: Dalam lapisan statosfer pengaruh radiasi ultraviolet, CFC terurai dan membebaskan atom klor. Klor akan mempercepat penguraian ozon menjadi gas oksigen yang mengakibatkan efek rumah kaca. Beberapa atom lain yang mengandung brom seperti metal bromide dan halon juga ikut memeperbesar penguraian ozon. Dampak bagi makhluk hidup antara lain adalah lebih banyaknya kasus kanker kulit melanoma yang bisa menyebabkan kematian, meningkatkan kasus katarak pada mata dan kanker mata, menghambat daya kebal pada manusia (imun), penurunan produksi tanaman jagung, serta kenaikan suhu udara dan kematian pada hewan liar.

c. Hujan Asam merupakan proses revolusi industri mengakibatkan timbulnya zat pencemaran udara. Pencemaran udara tersebut bisa bereaksi air hujan dan turun menjadi senyawa asam. Dampaknya yaitu proses korosi menjadi lebih cepat, iritasi pada kulit, sistem pernafasan, menyebabkan pengasaman pada tanah.

d. Desertifikasi, merupakan penggurunan, menurunkan kemampuan daratan. Pada proses desertifikasi terjadi proses pengurangan produktifitas yang secara bertahap dan penipisan lahan bagian atas karena aktivitas manusia dan iklim yang bervariasi seperti kekeringan dan banjir. Dampak : awalnya berdampak local namun sekarang isu lingkungan sudah berdampak global dan menyebabkan semakin meningkatnya lahan kritis di muka bumi sehingga penangkap CO2 menjadi semakin berkurang.

e. Penurunan keaneragaman hayati: adalah keaneragaman jenis spesies makhluk hidup. Tidak hanya mewakili jumlah atau sepsis di suatu wilayah,

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

31 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

meliputi keunikan spesies, gen serta ekosistem yang merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Dampaknya: karena keaneragaman hayati ini memeliki potensi yang besar bagi manusia baik dalam kesehatan, pangan maupun ekonomi.

f. Pencemaran limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun): bahan yang diindentifikasi memiliki bahan kimia satu atau lebih dari karasteristik mudah meledak, mudah terbakar, bersifai reaktif, beracun, penyabab infeksi, bersifat korosif. Dampak : dulunya hanya bersifat lokal namun sekarang antar negara pun melakukan proses pertukaran dan limbanya di buang di laut lepas. Dan jika itu semua terjadi maka limbah bahan berbahaya dan beracun dapat bersifat akut sampai kematian makhluk hidup.

g. Pertumbuhan populasi merupakan pertambahan penduduk dunia yang mengikuti pertumbuhan secara eksponsial merupakan permasalahan lingkungan. Dampaknya adalah terjadinya pertumbuhan penduduk akan menyebabkan meningkatnya kebutuhan sumber daya alam dan ruang, ilustrasi seperti pada Gambar 2 dan 3 berikut.

Gambar 2. FLOODS IN JAVA 2000-2008

2003

2008

2000

2006

Sumber: Grand Design Pembangunan Kependudukan 2012-2035, Kemenko Kesra, 2012

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

32 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

eded

eded

eded

Gambar 3. LANDSLIDES IN JAVA 2000-2008

2003

2008

2000

eded

2006

§ Dampak bagi Indonesia. Banjir dan tanah longsor di Indonesia telah memakan korban harta dan jiwa yang sangat besar. Kerusakan lingkungan yang paling terlihat adalah di daerah Jawa dan Sumatera, banjir bandang dan tanah longsor sangat parah. Akibat dari perubahan iklim/pemanasan global, disertai dengan ulah manusia yang muncul secara bersamaan dengan aglomerasi penduduk dan aglomerasi ekonomi membuat intensitas dan frekuensi bencana alam semakin tinggi/luas dan semakin kerap (lihat gambar ilustrasi berikut). Bahkan studi UNFPA (2011)21 secara lebih spesifik mengisyaratkan bahwa perlu antisipasi untuk melakukan mitigasi lingkungan terhadap perkiraan 40 C kenaikan suhu bumi pada tahun 2050 terhadap sekitar 60 jutaan jiwa di wilayah pantai Utara Jawa.

Lingkungan strategis pada berbagai tataran berupa pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan, yang berinteraksi secara timbal balik dengan dinamika penduduk, menuntut kawasan transmigrasi harus berdaya saing sebagai wahana bagi rakyat dalam mendayagunakan sumber daya alam yang tersedia (resource endowment) dengan prinsip green economy guna meningkatkan kesejahteraannya.

21 Hayes, C. Adrian. Population and Climate Change in Indonesia: Mobilizing for a Sustainable Future. UNFPA-Indonesia, 2011.

Sumber: Grand Design Pembangunan Kependudukan 2012-2035, Kemenko Kesra, 2012

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

33 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Dampak negatif yang dialami Indonesia, juga dirasakan oleh belahan dunia lainnya, karena pada akhirnya kemaslahatan umat manusia sangat tergantung pada keberadaan sumber daya alam dan perilaku manusia dalam memperlakukan sumber daya alam tersebut22. Tak dipungkiri bahwa pertumbuhan jumlah penduduk dunia memang melambat, namun tidak menjamin kemaslahatannya tercukupi. Konsumsi yang berkelebihan di Negara-negara kaya dan sebaliknya malnutrisi di Negara-negara miskin akan terus berlanjut yang bahkan meningkatkan ketidakadilan di muka bumi ini. Kerusakan lingkungan sudah menjadi isu yang fatalistic dan berpengaruh nyata terhadap kemaslahatan umat manusia. Populasi dunia akan bertambah sekitar 2,5 milyar jiwa pada tahun 2050 yang akan didominasi penduduk perkotaan dan hampir seperempat penduduk dunia akan berusia lebih dari 60 tahun. Abad 21 ini diwarnai oleh kombinasi yang unik antara tiga aspek, yaitu diversitas demografi, perubahan lingkungan global, dan globalisasi. Kesemua itu membawa konsekuensi timbal balik antara konsumsi (pangan dan energi) yang terus bertambah dan perubahan demografi.

2. Ketimpangan Demografis

Indonesia saat ini masih menghadapi persoalan kependudukan. Ketimpangan persebaran penduduk merupakan salah satu masalah, baik persebaran antarpulau, antarpropinsi, maupun antardesa-kota telah lama menjadi isyu strategis pembangunan nasional. Aglomerasi demografis di wilayah barat Indonesia ini terjadi sebagai akibat dari politik investasi dan pembangunan, yang mendorong pembangunan wilayah dan industrialisasi lebih dipusatkan di wilayah Jawa dan Sumatera.

Konsentrasi penduduk di wilayah barat Indonesia (Jawa dan Sumatera), telah menjadi persoalan pembangunan, yaitu pusat pemerintahan, informasi, transportasi, ekonomi, dan berbagai fasilitas publik lebih terkonsentrasi dan lebih banyak berada di wilayah barat. Konsekuensinya adalah, penduduk di wilayah-wilayah lain cenderung bermigrasi, dan akhirnya akan terus semakin terjadi terkonsentrasi (terpusat), yang kemudian menjadi kontra produktif bagi upaya-upaya pemerataan pembangunan antar wilayah.

Aglomerasi demografis di wilayah Barat Indonesia juga terjadi sebagai akibat langsung dari warisan pembangunan kolonial, yang menjadikan Jawa sebagai episentrum pemerintahan dan aktivitas ekonomi Hindia-Belanda. Sementara 22 The Royal Society Science Policy Centre Report 01/12. People and the Planet. The Royal Society Science Policy. London, 2012.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

34 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Pemerintah Indonesia merdeka tidak melakukan rekonstruksi dan koreksi secara menyeluruh terhadap paradigma pembangunan kolonial tersebut. Pemerintah sebelum reformasi (1966-1998), yang ditopang stabilitas politik dan pinjaman modal asing begitu besar, sebenarnya berkesempatan menciptakan ekuilibrium pembangunan nasional, namun sayangnya justru terjebak pada model ekonomi pertumbuhan dan “mengabaikan” pada aspek pemerataan, baik pemerataan antargolongan maupun antarwilayah. Investasi di Jawa terus dipacu, dengan tanpa diikuti oleh akselerasi pembangunan di wilayah lain, terutama di wilayah timur Indonesia.

Masalah kependudukan Indonesia yang bakal dihadapi di era pasca 2015, adalah munculnya penduduk berusia lanjut (emerging ageing population), yang akan menjadi beban atau tekanan bagi pembangunan ekonomi. Gejala ini muncul sebagai konsekuensi dari angka harapan hidup ( life expectancy at birth) yang cukup tinggi (71 tahun) pada tahun 2010, dan angka ini akan terus berlanjut hingga beberapa dekade kedepan. Isu tentang penduduk berusia tua (ageing issue) di Indonesia adalah munculnya begitu besar penduduk tua yang hidup dengan tingkat pendapatan rendah.

Seiring dengan kemajuan di bidang transportasi publik dan teknologi informasi (IT) serta semakin terbukanya pasar kerja global, pola dan kecenderungan arah mobilitas penduduk Indonesia pasca 2015, akan mengalami perubahan. Kecenderungan yang akan terjadi adalah meningkatnya migrasi internal berupa mobilitas (migrasi) komuter (ulang-alik), meningkatnya mobilitas musiman, serta meningkatnya mobilitas keluar negeri (overseas migration), internal displaced persons (IDP’s/pengungsi), dan membanjirnya tenaga-tenaga asing. Sementara itu, pola dan kecenderungan lain yang akan terjadi dan berlanjut kedepan adalah: (1) perpindahan ke arah daerah-daerah urban terutama di Jawa; (2) perpindahan ke arah daerah-daerah di mana terdapat konsentrasi industri ekstraktif di luar Jawa; dan (3) perpindahan ke luar negeri, terutama negara-negara penerima buruh rendah, seperti Malaysia, Arab, Korea Selatan, Jepang, dan Hong Kong. Atas dasar pemikiran di atas, maka agenda pembangunan pasca 2015 perlu mempertimbangkan aspek kependudukan. Dan ke depan diperlukan perubahan dan koreksi mendasar terhadap paradigma pembangunan yang selama ini justru melestarikan ketimpangan.

3. Ketimpangan Wilayah

Pertumbuhan ekonomi nasional selama masa pra-reformasi, seperti tercermin dalam indikator tingginya GNP, ternyata tidak dengan sendirinya berimplikasi terhadap pemerataan pertumbuhan yang seimbang antarwilayah, terutama

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

35 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur(KTI). Perkembangan antardaerah memperlihatkan kecenderungan bahwa daerah-daerah di Pulau Jawa umumnya mengalami perkembangan ekonomi lebih cepat dibandingkan dengan daerah di luar Jawa. Dengan kata lain, proses pembangunan selama ini masih belum sepenuhnya mampu mengatasi masalah kesenjangan (disparitas) antardaerah, terutama antara Jawa-luar Jawa, antara perkotaan dan pedesaan, dan terlebih antara KBI dengan KTI.

Kebijakan pembangunan yang justru telah memperlebar kesenjangan antarwilayah, telah membawa implikasi berlapis, bukan saja pada aspek demografis, tetapi juga pada aspek pembangunan sektoral dan daerah. Berbagai program pembangunan pemerintah tidak berjalan secara optimal, karena tidak ditopang oleh kebijakan pemerataan investasi. Transmigrasi, pengentasan kemiskinan, swasembada pangan, maritim, dan sistem transportasi nasional, merupakan beberapa contoh yang tidak bisa berjalan secara optimal, karena tidak didukung oleh keseimbangan pembangunan infrastruktur, SDM, dan distribusi modal antara Jawa dan luar Jawa.

Selama ini pilihan strategi pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi telah memberikan kemajuan di berbagai bidang. Namun, pendekatan pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah maju atau Kawasan Barat Indonesia (Pulau Jawa, Sumatera) dan bersifat ekstraktif terhadap sumberdaya tidak terbarukan (non renewable) masih menyisakan disparitas atau ketimpangan antardaerah. Kebijakan dan strategi pembangunan ekonomi di masa lalu juga telah merubah struktur ekonomi dan mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Di lain pihak perubahan tersebut hanya terjadi pada tingkat nasional, sedangkan pada level daerah, ternyata tidak semua daerah memperoleh manfaat dari strategi tersebut.

Masalah mendasar ketimpangan ekonomi tersebut adalah karena potensi ekonomi (SDA, SDM, aksesibilitas) yang tidak sama. Terdapat beberapa wilayah yang tidak mempunyai kelimpahan SDA, tetapi dilakukan intervensi (investasi, infrastrukur) dan didorong untuk menjadi kawasan industri sebagai pusat pertumbuhan. Secara nyata ketimpangan antarwilayah terjadi antara perdesaan dan perkotaan, antara pulau Jawa dengan luar Jawa, antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia antara pusat pertumbuhan dan kawasan perbatasan, antara wilayah pedalaman dan pesisir, termasuk di dalamnya pulau-pulau kecil yang tersebar di berbagai wilayah.

Indikasi ketimpangan terlihat dari distribusi penduduk yang tidak merata antarkawasan. Hasil Sensus Penduduk Tahun 2010, menunjukkan jumlah

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

36 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

penduduk Indonesia sebanyak 238.641.326 jiwa, tetapi 57.5 % terkonsentrasi di Pulau Jawa yang luas wilayahnya 6,77 % dari luas wilayah Indonesia. Wilayah Papua dan Maluku yang luasnya 25,9 % dari luas wilayah Indonesia hanya dihuni oleh 2.59 % penduduk Indonesia.

Ditinjau dari sisi kesejahteraan, masih terjadi ketimpangan antara daerah perkotaan dan perdesaan. Pada Maret 2013, jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 28,07 juta jiwa (11,27 persen). Dari jumlah tersebut penduduk miskin di daerah perdesaan sebanyak 17,74 juta jiwa (14,32 persen), sedangkan jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan adalah 10,33 juta jiwa (8,39 persen). Secara spasial persentase pendududk miskin terbesar berada di Pulau Maluku dan Papua, yaitu 23,97 persen, sementara penduduk miskin terendah berada di Pulau Kalimantan, yaitu sebanyak 0,92 juta orang.(6,37 persen). Sedangkan jumlah penduduk miskin di Pulau Jawa sebanyak 15,36 juta orang.

Ketimpangan juga terlihat dari aktivitas ekonomi yang masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Sumatera. Pada triwulan III-2013 masih didominasi oleh kelompok provinsi di Pulau Jawa yang memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 58,20 persen, kemudian diikuti oleh Pulau Sumatera sebesar 23,75 persen, Pulau Kalimantan 8,45 persen, Pulau Sulawesi 4,87 persen, dan sisanya 4,73 persen di pulau-pulau lainnya. Di Pulau Jawa, provinsi-provinsi yang memberikan sumbangan terbesar terhadap Produk Domestik Bruto adalah DKI Jakarta (16,58 persen), Jawa Timur (15,02 persen), Jawa Barat (14,26 persen), dan Jawa Tengah (8,27 persen). Sedangkan di Pulau Sumatera tiga provinsi penyumbang PDB terbesar adalah Riau (6,83 persen), Sumatera Utara (5,30 persen), dan Sumatera Selatan (3,07 persen). Provinsi penyumbang PDB terbesar di Pulau Kalimantan adalah Kalimantan Timur sebesar 5,33 persen, sedangkan provinsi penyumbang terbesar di Pulau Sulawesi adalah Sulawesi Selatan sebesar 2,52 persen.

Ketimpangan spasial juga terlihat di kawasan tertinggal dan kawasan perbatasan. Kawasan atau daerah yang dikategorikan tertinggal, sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia. Permasalahan yang dihadapi daerah tertinggal antara lain: (1) terbatasnya akses transportasi yang menghubungkan daerah tertinggal dengan daerah maju; (2) kepadatan penduduk yang relatif rendah dan kondisinya tersebar; serta (3) miskin sumberdaya alam dan manusia. Oleh karena itu, perlu penanganan yang terintegrasi dari semua sektor terkait dan pemerintah daerah untuk mengembangkan wilayah tersebut.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

37 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Selain daerah tertinggal, beberapa wilayah di Indonesia juga berbatasan langsung dengan negara tertangga. Di bagian utara, wilayah Sumatera dan Kalimantan berbatasan dengan empat negara yaitu Malaysia, Singapura, Thailand dan Vietnam. Selain itu, wilayah Sulawesi juga berbatasan dengan negara Filipina. Di bagian Timur, wilayah Papua berbatasan dengan Negara Papua Nugini dan di bagian selatan wilayah Nusa Tenggara berbatasan langsung dengan Negara Timor Leste dan Australia. Permasalahan yang muncul di beberapa wilayah perbatasan, khususnya di Kalimantan adalah masih tertinggalnya pembangunan di wilayah perbatasan Indonesia dibandingkan negara tetangga (Malaysia), serta pandangan tentang daerah perbatasan sebagai halaman belakang sehingga bukan menjadi prioritas pembangunan.

Salah satu kebijakan untuk mengurangi ketimpangan antarwilayah adalah melalui upaya pengembangan ekonomi daerah, selain bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam rangka peningkatan daya saing ekonomi daerah, juga untuk memeratakan pembangunan serta memperkecil ketimpangan pembangunan antarwilayah Jawa-luar Jawa, antarprovinsi, antarkabupaten/kota, dan juga antardesa-kota secara berkeadilan melalui peningkatan daya saing daerah. Melalui pembangunan secara terpadu dalam satu wilayah, proses pembangunan daerah yang digerakkan oleh pengembangan ekonomi daerah umumnya diawali dengan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan, baik yang bersifat lokal, kemudian berkembang ke skala regional maupun nasional dan internasional, melalui tahapan-tahapan yang dimulai dengan pusat pertumbuhan lokal, pengembangan klaster komoditas industri sampai akhirnya terjadi proses aglomerasi di satu wilayah, yang selanjutnya memberikan efek pengganda bagi perkembangan daerah sekitarnya. Sebagai bagian dari tahapan pengembangan tersebut, beberapa upaya pengembangan pusat-pusat pertumbuhan wilayah lokal dalam kerangka pengembangan keterkaitan desa-kota telah dilakukan, baik dengan membangun pusat pertumbuhan lokal yang baru maupun dengan mengembangkan pusat pertumbuhan lokal yang telah ada, melalui pengembangan kawasan agropolitan dan minapolitan, kawasan sentra produksi, kawasan industri berbasis kompetensi inti industri daerah, dan juga dilakukan melalui pengembangan kawasan transmigrasi dengan skema Kota Terpadu Mandiri.

4. Ketahanan Pangan

Saat ini, Indonesia tengah mengalami ketahanan pangan yang rapuh, ditandai salah satunya oleh keharusan untuk mengimpor beras dan kedele

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

38 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

dalam jumlah besar. Pada tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai 235 juta jiwa dan akan terus bertambah dari tahun ke tahun. Penduduk yang besar ini akan membawa implikasi terutama dalam penyediaan pangan disamping permasalahan pendidikan dan lapangan pekerjaan. Karena pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan setiap hari, maka pangan merupakan komoditas strategis. Isu politis dapat muncul karena adanya kelangkaan dan naiknya harga pangan, khususnya komoditas beras. Untuk memenuhi kebutuhan pangan dan demi menjaga ketersediaan beras dalam negeri, maka jalan pintas yang diambil pemerintah adalah membuka kran impor beras.

Ironis, bila dikaitkan dengan Indonesia sebagai negara agraris, namun untuk komoditas ubi kayu saja masih harus didatangkan dari negara luar walau ubi kayu bukan merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia pada umumnya. Data memperlihatkan bahwa hingga bulan April 2012, Indonesia telah mengimpor beras sebanyak 834 ribu ton dengan nilai seluruhnya sebesar US$ 456 juta atau Rp 4,24 triliun. Pada bulan April, di mana tengah panen raya di Indonesia, terjadi impor beras sebesar 63 ribu ton dengan nilai US$ 35 juta (Hida.R.E, 2012). Tingginya nilai impor beras Indonesia karena permintaan yang tidak seimbang dengan hasil produksi beras nasional. Bila kran import tidak dibatasi atau bahkan ditutup dan program diversifikasi pangan tidak berjalan, maka diprediksikan Indonesia akan kekurangan pangan.

Data tersebut di atas memperlihatkan betapa sangat tergantungnya Indonesia terhadap impor komoditas pertanian terutama beras. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi impor pangan adalah melakukan diversifikasi pangan secara konsisten dengan pangan lokal sumber karbohidrat. Beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan harus sudah saatnya dijalankan sesuai sasaran yang hendak dicapai, seperti Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Dalam Perpres ini telah ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Gubernur di 22 provinsi dan Peraturan Bupati/Walikota di 30 daerah (Kompas, 2011). Walau program diversifikasi pangan sampai sekarang terus dipromosikan oleh pemerintah, namun belum memberikan efek yang berarti bagi masyarakat Indonesia.

Di tengah kesulitan untuk meningkatkan produksi pangan, terutama beras, justru terjadi alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian yang terus terjadi, diantaranya untuk kawasan industri, perumahan dan lain-lain. Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan mengingat kebutuhan pangan Indonesia

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

39 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

terutama beras terus meningkat. Disisi lain, produksi pangan juga menghadapi tantangan seperti adanya perubahan iklim global.

Saragih 2009, mengatakan bahwa penduduk Indonesia pada tahun 2035 diperkirakan akan bertambah menjadi 2 kali lipat dari jumlahnya sekarang, atau menjadi kurang lebih 400 juta jiwa. Dengan meningkatnya pendidikan dan kesejahteraan masyarakat, terjadi pula peningkatan konsumsi/kapita untuk berbagai pangan. Akibatnya, dalam waktu 35 tahun yang akan datang Indonesia memerlukan tambahan ketersediaan pangan yang lebih dari 2 kali jumlah kebutuhan saat ini. Produksi beras pada tahun 2010 adalah 32,65 juta ton, sementara kebutuhan beras pada tahun 2010 sebesar 36,77 juta ton, sehingga terjadi defisit sekitar 4,12 juta ton beras. Demikian pula untuk tahun 2015 dan 2020 diprediksi terjadi kekurangan beras sebanyak 5,8 juta ton pada tahun 2015, dan meningkat menjadi 7,49 juta ton pada tahun 2020.

Adanya alih fungsi lahan sawah terutama di Jawa yang tidak terkendali, dapat menyebabkan ancaman terhadap stabilitas ketahanan pangan nasional. Dalam periode 1981-1999 konversi lahan sawah nasional mencapai 1.628 ribu ha, dimana sekitar 61,6% terjadi di Jawa. Sebagian besar lahan sawah yang terkonversi tersebut pada mulanya beririgasi teknis atau setengah teknis dengan produktivitas tinggi. Bahkan jika dilihat pada 3 tahun terakhir atau periode 1999-2002 menunjukkan peningkatan konversi lahan sawah rata-rata sekitar 187.720 ha/tahun (Saragih, 2009). Perhatian Pemerintah terhadap hal ini diwujudkan dengan menetapkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.

Ketahanan pangan diartikan sebagai terpenuhinya pangan dengan ketersediaan yang cukup, tersedia setiap saat di semua daerah, mudah memperoleh, aman dikonsumsi dan harga yang terjangkau. Hal ini diwujudkan dengan bekerjanya sub sistem ketersediaan, sub sistem distribusi dan sub sistem konsumsi. Penganekaragaman pangan merupakan suatu hal yang harus ditingkatkan sejalan dengan teknologi pengolahan, yang bertujuan menciptakan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang. Pada Pasal 1 UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, disebutkan bahwa definisi pangan adalah “segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air baik yang diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia”.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

40 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Banyak definisi tentang ketahanan pangan, namun yang sering diacu: Pertama, Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996 yaitu, kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Kedua, USAID (United states Agency for International Development), 1992: Kondisi ketika semua orang pada setiap saat mempunyai akses secara fisik dan ekonomi untuk memperoleh kebutuhan konsumsinya untuk hidup sehat dan produktif. Ketiga, FAO (Food and Agriculture Organization), 1997, ketahanan pangan adalah situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut.

Perbedaan mendasar dari tiga definisi ketahanan pangan tersebut yaitu pada UU No 7 Tahun 1996 menekankan pada ketersediaan, rumah tangga dan kualitas (mutu) pangan, sedangkan pada definisi USAID menekankan pada konsumsi, individu dan kualitas hidup. Menurut FAO konsep ketahanan pangan mencakup ketersediaan yang memadai, stabilitas dan akses terhadap pangan-pangan utama. Determinan dari ketahanan pangan dengan demikian adalah daya beli atau pendapatan yang memadai untuk memenuhi biaya hidup.

Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu: (1) Kecukupan ketersediaan pangan; (2) Stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun; (3) Aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan; dan (4) Kualitas/keamanan pangan.

Tidak hanya aspek jumlah yang perlu diperhatikan, namun aspek lain seperti mutu pangan, kontinyuitas ketersediaan dan keterjangkauannya juga diperhatikan. Dilihat dari sisi kualitas, kontinyuitas dan keterjangkauannya (aspek harga) ini berarti bahwa konsepsi ketahanan pangan mengandung isi keadilan. Amanat yang terkandung dalam pengertian tesebut adalah pangan yang baik harus tersedia secara berkesinambungan hingga ke segenap lapisan masyarakat. Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terdiri atas sub sistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi.

Hasil akhir dari sistem tersebut adalah stabilitas antara pasokan pangan, distribusi dan kemudahan akses masyarakat terhadap pangan serta pemanfaatan pangan termasuk di dalamnya pengaturan menu dan distribusi pangan dalam keluarga. Indikator dari kebaikan sistem ketahanan pangan

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

41 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

tercermin dalam status gizi masyarakat dengan indikator utama adalah status gizi anak balita. Indikator ini dipilih karena anak-anak merupakan kelompok masyarakat yang paling rentan dan paling cepat terkena dampak dari buruknya sistem ketahanan pangan di suatu daerah.

5. Ketersediaan Energi

Kondisi keenergian Indonesia saat ini masih memiliki banyak tantangan. Besarnya ketergantungan energi Indonesia terhadap minyak bumi dan rendahnya pemanfaatan energi terbarukan bila dibandingkan dengan potensi yang dimiliki masih menjadi tantangan tersendiri di sektor energi. Lebih kurang 80 % kebutuhan energi di Indonesia dipenuhi oleh minyak bumi. Permintaan energi diproyeksikan akan terus meningkat, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, perubahan gaya hidup (life style) maupun peningkatan standar kesejahteraan sosial. Studi Comprehensive Assessment of Diferent Energy Source for Electricity Demand atau CADES (2000), memproyeksikan bahwa permintaan energi akan mengalami pertumbuhan, dimulai sekitar 4.028 Peta Joule pada tahun 2000, dan mencapai angka sekitar 8.200 Peta Joule pada tahun 2025.

Pertumbuhan yang substansial dalam permintaan energi nasional ini tentu akan menjadi tantangan besar bagi sektor pemasok energi Indonesia. Sementara itu, tidak dapat dihindarkan bahwa sumber energi ini semakin langka dan mahal harganya. Ketergantungan tersebut memunculkan masalah-masalah peningkatan kelangkaan ketersediaan sumber energi fosil, ketimpangan distribusi lokasi cadangan energi fosil, harga minyak bumi yang fluktuatif-spekulatif tapi cenderung naik, potensi konflik berlatar belakang energi fosil, dan masalah lingkungan akibat konsumsi energi fosil. Dalam masalah lingkungan saja tercakup di dalamnya fenomena pemanasan global yang memunculkan sangat banyak masalah serius.

Meskipun demikian, Indonesia adalah negara yang termasuk sebagai negara yang kaya energi, baik energi tak terbarukan maupun yang terbarukan. Energi tak terbarukan selama ini dimanfaatkan secara berlebihan, sedangkan energi alternatif belum dikelola dan dimanfaatkan secara baik. Penggunaan energi yang tak terbarukan akan menimbulkan permasalahan: pertama, energi primer produksi minyak sedang menurun, sementara produksi gas memiliki harapan untuk ditingkatkan. Kedua, energi non migas perlu dilakukan diversifikasi mengingat cadangan minyak Indonesia hanya 0,3 persen dan cadangan gas hanya 1,7 persen dari cadangan dunia; Oleh karena itu, harus ditingkatkan peran sumber panas bumi karena Indonesia memiliki 50 persen dari cadangan

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

42 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

dunia. Selain itu, juga sumber energi matahari yang berlimpah 12 jam sehari, batubara, biofuel yang diperoleh dari tanaman yang tumbuh subur di Indonesia. Ketiga, pengelolaan energi mineral masih dapat ditingkatkan untuk mendapatkan devisa negara yang lebih tinggi dengan cara ekstraksi sehingga biji yang berkualitas tinggi yang dikirim ke pasar. Ke empat, listrik yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, akan diusahakan agar elektrifikasinya ditingkatkan (ketersediaan listrik sampai ke desa-desa, maupun di daerah terpencil).

Pengembangan sumber energi alternatif sebagai usaha untuk membatasi konsumsi sumber energi tak terbarukan seperti minyak bumi dan batubara, serta yang paling penting, mengurangi pencemaran lingkungan dan efek negatif pada sumber daya alam seperti air, udara, hutan, dan lain-lain. Keuntungan lain dengan meningkatkan penggunaan sumber energi alternatif akan menciptakan lapangan kerja baru sehingga mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Potensi energi alternatif yang dapat dimanfaatkan di Indonesia iantara lain:

(a) Tenaga Nuklir; dari hasil survei yang dilakukan pada tahun 2007 menunjukkan, sekitar 14% pasokan listrik dunia dipenuhi oleh pembangkit listrik tenaga nuklir.

(b) Energi Biomassa adalah bahan organik yang dihasilkan melalui proses fotosintetik, baik berupa produk maupun buangan. Contoh biomassa antara lain adalah tanaman, pepohonan, rumput, ubi, limbah pertanian, limbah hutan, tinja, dan kotoran ternak. Selain digunakan untuk bahan primer pembuatan serat, bahan pangan, pakan ternak, minyak nabati, bahan bangunan dan sebagainya, biomassa juga digunakan sebagai sumber energi (bahan bakar). Sumber energi biomassa mempunyai beberapa kelebihan, antara lain merupakan sumber energi yang dapat diperbaharui (renewable) sehingga dapat menyediakan sumber energi secara berkesinambungan (suistainable).

(c) Gas Alam; yang sekarang ini telah menjadi sumber energi alternatif yang banyak digunakan masyarakat dunia untuk berbagai keperluan, baik untuk perumahan, komersial maupun industri. Dari tahun ke tahun penggunaan gas alam selalu meningkat. Hal ini karena banyaknya keuntungan yang didapat dari penggunaan gas alam dibanding dengan sumber energi lain. Energi yang dihasilkan gas alam lebih efisien. Tidak seperti halnya minyak bumi dan batu bara, penggunaannya jauh lebih bersih dan sangat ramah lingkungan sehingga tidak menimbulkan polusi terhadap lingkungan.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

43 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Selain itu, gas alam juga mempunyai beberapa keunggulan lain, seperti tidak berwarna, tidak berbau, tidak korosif, dan tidak beracun.

(d) Panas bumi; adalah sumber energi alternatif yang ekonomis, dapat diandalkan dan ramah lingkungan. Panas bumi juga merupakan sumber energi yang dapat diperbarui sehingga bebas dari isu kelangkaan. Panas bumi adalah energi yang diekstraksi dari panas yang tersimpan di dalam Bumi. Energi panas bumi ini berasal dari aktivitas tektonik di dalam bumi yang terjadi sejak planet ini diciptakan. Panas ini juga berasal dari panas matahari yang diserap oleh permukaan bumi. Energi ini telah dipergunakan untuk memanaskan (ruangan ketika musim dingin atau air) sejak peradaban Romawi, namun sekarang lebih populer untuk menghasilkan energi listrik. Sekitar 10 Gigawatt pembangkit listrik tenaga panas bumi telah dipasang di seluruh dunia pada tahun 2007, dan menyumbang 0,3% total energi listrik dunia.

(e) Tenaga air atau hydropower; adalah energi yang diperoleh dari air yang mengalir. Pada dasarnya, air di seluruh permukaan bumi ini bergerak atau mengalir. Tenaga air yang memanfaatkan gerakan air biasanya didapat dari sungai yang dibendung. Pada bagian bawah bendungan tersebut terdapat lubang-lubang saluran air. Pada lubang-lubang itu terdapat turbin yang berfungsi mengubah energi kinetik dari gerakan air menjadi energi mekanik yang dapat menggerakan generator listrik. Energi listrik yang berasal dari energi kinetik air disebut hydroelectric. Energi ini menyumbang sekitar 715 ribu MW atau sekitar 19% kebutuhan listrik dunia. Bahkan di Kanada, 61% dari kebutuhan listrik negara berasal dari hydroelectric. Tenaga air juga merupakan sumber energi terbarukan sekaligus ramah lingkungan karena tidak menghasilkan limbah.

(f) Sumber energi tenaga angin; Angin juga dapat diolah menjadi sumber energi alternatif. Melalui penggunaan baling-baling atau kincir, tenaga angin disalurkan ke dalam turbin dan diolah menjadi listrik. Kebanyakan tenaga angin moderen dihasilkan dalam bentuk listrik dengan mengubah rotasi dari pisau turbin menjadi arus listrik dengan menggunakan generator listrik. Pada kincir angin, energi angin digunakan untuk memutar peralatan mekanik untuk melakukan kerja fisik, seperti menggiling gandum atau memompa air. Tenaga angin digunakan dalam ladang angin skala besar untuk penghasilan listrik nasional dan juga dalam turbin individu kecil untuk menyediakan listrik di lokasi yang terisolir. Tenaga angin banyak jumlahnya, tidak habis-habis, tersebar luas, bersih, dan merendahkan efek rumah kaca. Pada tahun 2005, terdapat ribuan turbin angin yang beroperasi dengan kapasitas total 58.982 MW, yang 69% di antaranya

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

44 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

berada di Eropa. Jerman merupakan produsen terbesar tenaga angin dengan 32% dari total kapasitas dunia pada 2005.

(g) Tenaga Matahari atau tenaga surya adalah energi yang didapat dengan mengubah panas matahari melalui peralatan tertentu menjadi sumber pembangkit daya. Tenaga matahari kini umum digunakan sebagai pembangkit listrik dalam bentuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) adalah pembangkit listrik yang mengubah energi matahari menjadi energi listrik. Pembangkitan listrik bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu secara langsung menggunakan photovoltaic dan secara tidak langsung dengan pemusatan energi matahari. Photovoltaic mengubah secara langsung energi cahaya menjadi listrik menggunakan efek fotoelektrik. Sedangkan pemusatan energi matahari menggunakan sistem lensa atau cermin dikombinasikan dengan sistem pelacak untuk memfokuskan energi matahari ke satu titik untuk menggerakkan mesin kalor.

(h) Energi gelombang laut adalah energi yang dihasilkan dari pergerakan gelombang laut menuju daratan dan sebaliknya. Beberapa negara di dunia, seperti Jerman dan Jepang, sudah memanfaatkan energi tersebut untuk menghasilkan listrik dan mendistribusikannya ke rumah-rumah. Pemanfaatan energi gelombang laut juga ramah lingkungan, tidak seperti BBM yang menimbulkan polusi udara. Namun, memang tidak dipungkiri bahwa pengadaan alat untuk merealisasikan pembangkit listrik tenaga gelombang laut mahal dan sangat sulit perawatannya. Selain itu, masalah lain dalam memperluas penggunaan pemanfaatan energi ini adalah dampak negatif yang akan terjadi pada lingkungan laut. Pembangkit listrik dari gelombang laut juga berpotensi mengganggu usaha penangkapan ikan yang dilakukan oleh para nelayan.

(i) Energi Pasang Surut atau tidal energy adalah energi yang dihasilkan dari pergerakan air laut akibat perbedaan pasang surut. Energi pasang surut merupakan energi yang terbarukan. Prinsip kerjanya sama dengan pembangkit listrik tenaga air, yang memanfaatkan air untuk memutar turbin dan menghasilkan energi listrik.

(j) Energi panas laut sebagai ide pemanfaatan energi dari laut yang terakhir bersumber dari adanya perbedaan temperatur di dalam laut. Perbedaan temperatur tersebut dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik. Pemanfaatan sumber energi jenis ini disebut dengan konversi energi panas laut atau Ocean Themal Energy Conversion (OTEC). OTEC mempunyai kelebihan seperti tidak menghasilkan gas rumah kaca ataupun limbah lainnya, tidak membutuhkan bahan bakar, biaya operasi rendah, produksi

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

45 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

listrik stabil, serta dapat dikombinasikan dengan fungsi lainnya, yakni menghasilkan air pendingin, produksi air minum, suplai air untuk aquaculture, ekstraksi mineral, dan produksi hidrogen secara elektrolisis. Namun, OTEC juga memiliki kekurangan seperti belum adanya analisis mengenai dampaknya terhadap lingkungan, efisiensi total masih rendah (hanya 1 - 3%), dan biaya pembangunan yang sangat mahal.

6. Ketenagakerjaan, Kemiskinan dan Pengangguran

Indonesia saat ini masih dihadapkan pada persoalan kemiskinan, terlihat dari masih begitu besarnya jumlah penduduk miskin. Pencermatan terhadap data kemiskinan menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami fluktuasi. Menurut Badan Pusat Statistik (2013), jumlah penduduk miskin Indonesia pada tahun 2012 tercatat 28,59 juta atau (11.66%) dari total penduduk Indonesia. Jumlah ini mengalami penurunan 4,92% dari sebelumnya mencapai 16,58% pada tahun 2007. Walaupun demikian, jumlah ini masih relatif tinggi dibandingkan dengan target Millennium Development Goals (MDGs) sebesar 7,5% pada tahun 2015.

Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan sebanyak 10,33 juta orang sedangkan di pedesaan sebesar 17,74 juta orang. Sementara itu, jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2013 mencapai 121,2 juta orang. Jumlah penduduk yang bekerja mencapai 114,0 juta orang. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mencapai 5,92 persen, jumlah ini menunjukkan bahwa tingkat pengangguran di Indonesia tinggi.

Bagi Pemerintah, persoalan kemiskinan tidak semata-mata persoalan politis dan gengsi negara di percaturan internasional, tetapi menyangkut tanggung jawab negara terhadap pemenuhan hak setiap warga negara untuk hidup secara layak, sejahtera dan terbebas dari masalah kemiskian. Pasal 39 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin. Undang Undang No 13 Tahun 2011 tentang Fakir Miskin menyebutkan bahwa fakir miskin berhak untuk memperoleh derajad kehidupan yang layak. Oleh sebab itu, program penanggulangan kemiskinan menjadi stategis untuk selalu dikaji dan disempurnakan mekanismenya.

Berbagai upaya pembangunan nasional hingga saat ini masih belum sepenuhnya mampu mengangkat dan memecahkan masalah kemiskinan. Model-model aksi nasional pengentasan kemiskinan selama masa dan pasca reformasi, masih belum sepenuhnya efektif mengangkat golongan miskin baik di

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

46 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

perdesaan maupun perkotaan. Pemecahan dan penanggulangan kemiskinan melalui pendekatan sentralistik, seragam dan berskala nasional hasilnya masih belum optimal. Berbagai proyek pengentasan kemiskinan belum mampu mengurangi jumlah angka kemiskinan, sehingga jumlah orang miskin tidak pernah berkurang. Hal ini menunjukkan bahwa kemiskinan sebagai masalah nasional tidak dapat hanya diselesaikan oleh pemerintah melalui berbagai kebijaksanaan pembangunan, tetapi juga harus menjadi tanggung jawab bersama bagi semua pelaku pembangunan.

Program penanggulangan kemiskinan secara yuridis diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Program penanggulangan kemiskinan dilakukan melalui bantuan sosial, pemberdayaan masyarakat, pemberdayan usaha mikro dan kecil, serta program lain dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi. Agenda pemerintah untuk menyejahterakan rakyat dengan menurunkan penduduk miskin menjadi 7.5% sesuai target MDGs serta memenuhi hak-hak dasar rakyat seperti memperoleh pekerjaan dan perumahan yang layak, pelayanan pendidikan dan kesehatan yang memadai, serta pangan yang cukup memerlukan penanganan terintegrasi dari berbagai sektor.

7. Perluasan Kesempatan Kerja

Salah satu masalah kependudukan di negara berkembang adalah peningkatan jumlah penduduk yang besar dan kualitas rendah, sehingga berakibat pada tingginya jumlah tenaga kerja yang menjadi penganggur. Jumlah penduduk Indonesia yang besar, juga berakibat pada proporsi penduduk kelompok usia produktif relatif lebih tinggi dibandingkan usia non produktif. Persoalan ini semakin rumit tatkala peningkatan jumlah penduduk produktif, tidak diimbangi dengan ketersediaan kesempatan kerja dan peluang usaha yang memadai, sehingga berdampak pada timbulnya akumulasi pengangguran dari waktu ke waktu yang cenderung terus meningkat.

Pengangguran dan kesempatan kerja merupakan dua aspek ketenagakerjaan yang sangat erat. Pengangguran dan kesempatan kerja ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Banyak penduduk yang menjadi penganggur di satu sisi akibat kesempatan kerja terbatas, dan di sisi lain penduduk yang menganggur tidak mampu menciptakan kesempata kerja, sehingga mengakibatkan pengangguran terus meningkat. Banyaknya penduduk yang menganggur antara lain karena rendahnya kualitas sumberdaya manusia bersangkutan, atau karena kesempatan kerja yang tersedia tidak sesuai dengan keahlian/keterampilan yang dibutuhkan. Salah satu upaya untuk

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

47 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

mengatasi pengangguran adalah menciptakan kesempatan kerja melalui transmigrasi.

Transmigrasi merupakan salah satu pendekatan pembangunan yang memiliki kontribusi bagi upaya pemerintah untuk memperluas kesempatan kerja. Upaya perluasan kesempatan kerja ini merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban pemerintah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang 1945, Pasal (2) yang menyatakan, bahwa memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak merupakan hak setiap warga Negara Indoensia yang dijamin oleh Undang-Undang.

Kesempatan kerja yang tercipta dalam pembangunan transmigrasi sangatlah luas, mulai dari kesempatan kerja pada kegiatan persiapan permukiman hingga pasca penempatan, baik yang bersifat temporer maupun permanen. Pekerjaaan temporer umumnya tercipta selama tahap pembangunan fisik permukiman transmigrasi, sedangkan pekerjaan yang bersifat permanen tercipta setelah pembangunan fisik permukiman selesai, dan dilanjutkan dengan kegiatan penempatan serta pengembangan usaha pokok transmigran.

Berdasarkan sifatnya, pembangunan transmigrasi dapat menciptakan kesempatan kerja secara langsung (direct employment) maupun tidak langsung (indirect employment). Pertama, kesempatan kerja yang tercipta secara langsung; Kesempatan kerja seperti ini tercipta, baik pada masa pembangunan fisik permukiman maupun pada masa penempatan dan pengembangan usaha pokok transmigran. (1) Pada masa pembangunan fisik permukiman, pekerjaan utama yang tercipta adalah penyiapan lahan, dilanjutkan dengan pembangunan prasarana dan sarana permukiman. Kesempatan kerja yang tercipta dalam kegiatan penyiapan lahan meliputi pembukaan lahan (tebas, tebang, potong, pilah, kumpul, bersih). Sedangkan kesempatan kerja yang tercipta dalam pembangunan prasarana dan sarana permukiman meliputi pembangunan jalan, jembatan, gorong-gorong, saluran drainase dan dermaga (untuk lahan basah). Disamping itu, kesempatan kerja yang tercipta dalam pembangunan permukiman meliputi pembangunan rumah transmigran dan jamban keluarga (RTJK), sarana air bersih (SAB), dan fasilitas umum (kantor permukiman, balai desa, rumah ibadah, gudang, pustu, rumah kepala unit dan rumah petugas). (2) Pada masa penempatan dan pengembangan usaha pokok, pekerjaan utama yang tercipta secara permanen adalah pengembangan usaha sesuai dengan komoditas unggulan setempat. Jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan meliputi pengembangan usaha tani dan kegiatan pendukungnya (non usaha tani), seperti usaha industri, jasa, dan

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

48 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

perdagangan yang terkait dengan komoditas unggulan yang dikembangkan. Tenaga kerja yang terlibat biasanya adalah transmigran dan keluarganya.

Kedua, kesempatan kerja yang tercipta secara tidak langsung; Kesempatan kerja ini tercipta karena adanya dampak pekerjaan utama yang sering disebut sebagai efek pengganda (multiplier effect), baik pada masa pembangunan permukiman, maupun pada masa pengembangan usaha pokok. (1) Pada Masa Pembangunan Permukiman; kesempatan kerja yang tercipta secara tidak langsung adalah pemasok bahan bangunan, industri kayu, batu bata, batako, genteng, jasa transportasi, dan pekerjaan pada usaha efek konsumsi; (2) Pada Pengembangan Usaha Pokok; kesempatan kerja yang tercipta secara tidak langsung meliputi pekerjaan pada usaha penunjang usaha pokok, baik di bagian hulu maupun hilir (backward and forward linkages), termasuk kesempatan kerja karena efek konsumsi dan usaha tambahan transmigran, seperti usaha warung yang melayani pekerja bangunan, usaha warung kelontong dan usaha dagang kebutuhan sehari-hari. Pada umumnya, tenaga kerja yang terlibat adalah penduduk yang berada di sekitar permukiman transmigrasi dan pendatang dari luar daerah (termasuk transmigran swakarsa). Dengan demikian, melalui program transmigrasi diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata bagi penanggulangan kemiskinan dan pengangguran melalui penciptaan kesempatan kerja baru, utamanya di sektor usaha primer.

8. Otonomi Daerah

Tidak sedikit wacana yang berkembang yang membahas mengenai masalah yang timbul dalam pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah dan permasalahannya secara umum adalah terkait dengan kelemahan dan kekurangan yang masih terdapat dalam regulasi yang mengatur mengenai pelaksanaan otonomi daerah. Undang-undang tentang pemerintahan daerah hingga saat ini telah mengalami perubahan hingga beberapa kali dan rencananya masih akan dilakukan perubahan.

Perubahan regulasi yang terlalu sering dilakukan tersebut merupakan salah satu indikasi bahwa konsepsi otonomi daerah yang dilaksanakan bukan hanya sedang mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat, melainkan pada dasarnya memang belum komprehensif dan masih mencari bentuk yang paling tepat. Faktanya saat ini kita masih membahas persoalan mekanisme pemilihan Gubernur yang rencananya akan dikembalikan dari pemilihan langsung menjadi pemilihan tidak langsung atau melalui lembaga perwakilan rakyat

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

49 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

daerah. Artinya regulasi yang telah ditetapkan melalui undang-undang pemerintahan daerah akan diubah kembali ke bentuk semula.

Daerah juga hingga saat ini dianggap belum siap dalam melaksanakan otonomi daerah. Salah satu indikasinya adalah lemahnya kemampuan daerah dalam menyusun peraturan daerah yang sesuai dengan ketentuan. Sejumlah peraturan daerah telah dianulir oleh Kementerian Dalam Negeri karena dianggap tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan berpotensi menghambat laju pertumbuhan ekonomi daerah.

Beberapa hal terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah dan permasalahannya di daerah, antara lain: lemahnya pemahaman pemerintah daerah terhadap konsepsi otonomi daerah, dan minimnya sumber daya manusia yang memadai. Beberapa permasalahan tersebut telah menjadi wacana yang tidak boleh dipandang sebelah mata dan harus segera diselesaikan.

Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah merebaknya kasus korupsi di daerah. Masyarakat luas bisa melihat sendiri melalui media massa sejumlah Kepala Daerah dan pejabatnya yang menjadi tersangka kasus korupsi. Wacana ini sebenarnya telah menjadi issu sejumlah kalangan aktivis pada masa awal pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.

9. Iklim Investasi

Secara lebih spesifik berdasarkan UU Nomor 25/2007 bahwa investasi adalah semua kegiatan usaha yang menanamkan modalnya di Indonesia. Persoalan investasi yang dihadapi Indonesia adalah banyaknya keluhan dari kalangan dunia usaha tentang sejumlah hambatan investasi (iklim investasi), baik yang terkait dengan persoalan kepastian hukum, keterbatasan infrastruktur, keamanan berinvestasi, dan lain-lain yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.

Untuk meningkatkan aliran investasi, baik yang terkait dengan Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), pada saat ini Pemerintah telah dan sedang mengevaluasi 13.520 Peraturan Daerah, serta membatalkan 824 Peraturan Daerah dalam kerangka menyeimbangkan kecepatan dan kemudahan perijinan yang dipandang menghambat investasi 23. Sebagai contoh, jika pada masa lalu penerbitan ijin usaha membutuhkan waktu

23 Kemendagri, 2011

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

50 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

sekitar 60 hari, maka pada saat ini proses perijinan diharapkan dapat dipercepat menjadi 17 hari. Demikian pula, dalam upaya penegakan hukum, sangat penting dilakukan untuk meningkatkan rasa aman dan stabilitas dalam berinvestasi. Keluhan dari dunia usaha sangat mungkin terjadi berdasarkan pengalaman dalam upaya menanamkan modalnya di Indonesia. Penjelasan sederhana adalah sebagai berikut: “Para investor akan berinvestasi di suatu daerah yang paling kecil resikonya dalam berbagai dimensi (seperti keamanan dan kenyamanan) serta daerah yang aksesibilitasnya paling tinggi dan infrastrukturnya paling bagus”24. Pilihan tempat untuk berinvestasi dalam konteks internasional selalu dikaitkan dengan berbagai indikator seperti yang dilaporkan oleh Global Economic Forum (2013) dalam the Global Competitiveness Report 2012-2013, kita berada pada peringkat 50, sebelumnya 44 (2010-2011), 54 (2009-2010), dan 55 (2008-2009). Demikian pula halnya, seperti indikator the Ease of Doing Business yang dibuat oleh International Finance Corporation (IFC)/World Bank (2013), memposisikan Indonesia pada peringkat 128 (2012), naik dari 129 (2011). Secara umum dapat dikatakan bahwa di kalangan ASEAN, Indonesia selalu berada di kelompok menengah baik untuk daya saing maupun kemudahan berinvestasi.

Dengan penjelasan tersebut, tentunya akal sehat akan memutuskan bahwa kalaupun para investor akan menanamkan modalnya di Indonesia, Jawa tetap menjadi pilihan bagi sebagian besar investor. Pilihan para investor ini terbukti dari seri publikasi BKPM dari tahun ke tahun bahwa nilai rencana dan realisasi investasi selalu didominasi oleh kawasan Jawa dan lebih khusus lagi Jabodetabek.

Untuk memperbaiki iklim investasi, selain dengan membenahi sistem perijinan dan regulasi yang telah diterbitkan, juga dapat dilakukan dengan pembangunan infrastruktur dasar wilayah, yang mencakup pembangunan dan pengembangan prasarana jalan, kelistrikan, telekomunikasi, dan sarana air bersih. Karena hal ini, jika dipersiapkan dengan baik dapat menarik investor untuk mengembangkan usaha di suatu daerah dengan mempertimbangkan potensi dan peluang investasi yang terbentang luas di Indonesia. Ketersediaan dan kualitas infrastruktur dasar wilayah merupakan syarat keharusan (necessary condition) yang perlu mendapat dukungan dari berbagai kalangan, termasuk dunia usaha nasional dalam mengakselerasi pembangunan untuk menjamin keberlanjutan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, dan penciptaan lapangan usaha baru. Namun

24 Mergonoto, Soedomo. Industrialisasi Indonesia Timur: Dari Perspektif Dunia Usaha (2013)

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

51 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

demikian, tantangan terberat dalam pembangunan infrastruktur dewasa ini adalah kebutuhan infrastruktur yang amat tinggi, sementara anggaran yang tersedia dalam APBN relatif terbatas. Pada tahun 2013, kebutuhan transfer dana ke daerah berjumlah lebih dari Rp 500 triliun, sehingga Pemerintah mengundang BUMN dan swasta untuk bekerja sama dengan Pemerintah guna mempercepat dan memperluas pembangunan infrastruktur. Jika hal ini tidak dilakukan, maka ekonomi Indonesia yang dewasa ini tumbuh rata-rata 6 persen, dengan peluang investasi yang amat besar tidak akan mencapai hasil yang lebih tinggi.

Untuk mendorong pengembangan usaha ekonomi di kawasan transmigrasi, perlu didukung oleh adanya investasi sebagai pemicu dalam menumbuh-kembangkan perekonomian kawasan, sehingga kapasitas usaha dari waktu ke waktu semakin meningkat. Investasi di kawasan transmigrasi secara umum terbagi menjadi dua kategori, yaitu investasi berbasis lahan dan investasi berbasis non lahan. Pertama, investasi berbasis lahan, dalam hal ini pelaksanaannya telah diakomodasikan melalui berbagai peraturan, antara lain: (a) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep.216/Men/2003 tentang Tata Cara Kemitraan Badan Usaha dengan Transmigran Dalam Pelaksanaan Transmigrasi; (b) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No: PER.03/MEN/III/2008 tentang Peranserta Badan Usaha Dalam Pelaksanaan Transmigrasi, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri No: Per.12/Men/2009 yang menitikberatkan pada regulasi tentang Pemberian Izin Kemitraan; (c) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No:Kep.214/Men/V/2007 tentang Pedoman Umum Pembangunan dan Pengembangan KTM di Kawasan Transmigrasi; serta (d) Berbagai Peraturan Daerah yang terkait dengan investasi. Kedua, investasi berbasis non lahan, sampai saat ini tampaknya belum diakomodasikan dalam peraturan perundangan-undangan, padahal dalam pemberdayaan masyarakat transmigran banyak sekali kerjasama-kerjasama yang dilakukan antara petani dengan perusahaan, baik antara kelompok tani (Gapoktan) dengan badan usaha (swasta/BUMD), atau kerjasama antara koperasi transmigran dengan badan usaha (swasta/ BUMD), bahkan kerjasama antar individu dengan swasta. Keadaan seperti ini tentunya akan menjadi persoalan apabila tidak diatur secara jelas, terutama menyangkut pengaturan hak dan kewajiban masing-masing pihak yang terlibat dalam kerjasama kemitraan. Dengan demikian dalam konteks ini pemerintah perlu menyusun regulasi tentang kerjasama kemitraan usaha berbasis non lahan.

Sebagai contoh, ada kerjasama antara Badan Usaha Swasta dengan transmigran di beberapa kawasan transmigrasi untuk mengembangkan

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

52 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

komoditas tertentu. Ternyata Badan Usaha (Swasta/BUMD) tidak selalu menjadi faktor penyebab yang merugikan transmigran, tetapi adakalanya Badan Usaha tersebut justru merasa dirugikan oleh kebijakan pemerintah yang memberi bantuan cuma-cuma (charity) secara sporadis kepada transmigran. Bantuan tersebut diberikan melalui dinas-dinas terkait, yang dampaknya petani menjadi kurang serius dalam mengembangkan budidaya tanaman karena dimanjakan oleh bantuan. Implikasi dari adanya bantuan charity yang dilakukan secara berlebihan menyebabkan kesulitan tersendiri untuk menciptakan kemandirian transmigran, karena dengan adanya bantuan dari berbagai pihak telah mengakibatkan meningkatnya ketergantungan transmigran kepada pemerintah. Kondisi seperti ini, seringkali menyebabkan Badan Usaha yang berinvestasi mengundurkan diri dalam kerjasama kemitraan.

Demikian pula dalam aspek kelembagaan, keberadaan dan peran Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (KPTSP) di suatu kabupaten sangat dibutuhkan untuk melayani calon investor yang akan berinvestasi di kawasan transmigrasi. Dari banyak kasus, ternyata keberadaan KPTSP belum banyak berperan secara optimal dalam melayani masyarakat dan dunia usaha yang akan berinvestasi di kawasan transmigrasi. Oleh karena itu, pemerintah daerah dituntut untuk berperan lebih aktif dalam memberikan pelayanan kepada investor dan calon investor, dengan tidak memberikan kesan bahwa KPTSP justru menambah birokrasi ketika calon investor akan mengembangkan usahanya di kawasan transmigrasi.

Berdasarkan penjelasan di atas problematik investasi di kawasan transmigrasi masih cukup besar. Investasi belum berkembang optimal diantaranya karena pelaku usaha (badan usaha swasta) kurang tertarik untuk menanamkan modalnya di kawasan transmigrasi akibat terbatasnya infrastruktur dasar wilayah, proses perijinan yang membutuhkan waktu relatif panjang dan biaya besar, sehingga hal ini mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Bahkan kondisi ini sering diperparah oleh adanya tumpang-tindih alokasi lahan usaha, masalah kepastian hukum, dan keamanan berinvestasi yang kurang terjamin.

Tidak dipungkiri bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah telah mengeluarkan beberapa kebijakan investasi dan kerjasama kemitraan antara badan usaha swasta dan petani (transmigran), disamping juga menyediakan prasarana dan sarana dasar wilayah yang diharapkan mampu mendukung investasi di kawasan transmigrasi. Namun, upaya tersebut tampak belum mampu menjawab sepenuhnya ketertarikan investor untuk masuk ke kawasan transmigrasi. Oleh karena itu, Pemerintah dan pemerintah daerah dituntut untuk bekerja lebih professional menemukenali kendala dan faktor-faktor yang

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

53 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

menyebabkan investasi di kawasan transmigrasi kurang berkembang. Upaya ini perlu dilakukan secara sungguh-sungguh dan hasilnya diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan penyempurnaan kebijakan investasi di kawasan transmigrasi dalam rangka mewujudkan kawasan transmigrasi sebagai pusat pertumbuhan atau mendukung pusat pertumbuhan yang sudah ada.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

54 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

4 Telaahan terhadap Rencana Strategi Transmigrasi

Tahun 2010-2014

Telaahan Rencana Strategi Transmigrasi Tahun 2010-2014 ditinjau dari dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP-N) Tahun 2005-2025; Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM-N) Tahun 2010-2014; Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Tahun 2010-2025 Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian; dan Review Rencana Strategis Kementerian Tenaga Kerja dan Ketransmigrasian Tahun 2010-2014.

A. RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL (RPJP-N) 2005-2025

Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan. Evaluasi pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) merupakan salah satu langkah penting yang harus dilakukan. Hasil evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan akan memberikan informasi kinerja pembangunan, khususnya pencapaian berbagai sasaran yang telah ditetapkan, permasalahan

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

55 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

dan kendala yang dihadapi, serta alternatif tindak lanjut yang diperlukan dalam perencanaan pembangunan pada periode berikutnya Pentahapan kedua RPJP-N 2005-2025 pada RPJMN 2010-2014 adalah memantapkan penataan kembali NKRI, meningkatkan kualitas SDM, membangun kemampuan Iptek, memperkuat daya saing perekonomian, dengan 14 prioritas nasional : (1) reformasi birokrasi dan tata kelola; (2) pendidikan; (3) kesehatan: (4) penanggulangan kemiskinan; (5) ketahanan pangan; (6) infrastruktur; (7) iklim investasi dan iklim usaha; (8) energi; (9) lingkungan hidup dan pengelolaan; (10) daerah tertinggal, terdepan, terluar dan pasca konflik; (11) kebudayaan, kreativitas dan inovasi teknologi; (12) bidang politik, hukum dan keamanan; (13) bidang perekonomian; (14) bidang kesejahteraan. Keterkaitan kebijakan bidang ketransmigrasian dalam prioritas nasional terletak pada penanggulangan kemiskinan serta daerah tertinggal, terdepan, terluar dan pasca konflik. Tujuan dari pentahapan RPJM-N 2010-2014 ini adalah (1) mendukung koordinasi antar pelaku; (2) menjamin integrasi, sinkronisasi, dan sinergi antardaerah/antarruang/antarwilayah, antarwaktu, antar fungsi pemerintah, antara pusat dan daerah; (3) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; (4) mengoptimalkan partisipasi masyarakat; (5) Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan. B. RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH NASIONAL (RPJM-

N) 2010-2014 [PERPRES NO.5/2010]

Selain terkait dengan Prioritas Nasional, sesuai dengan tugas dan fungsinya, maka di dalam RPJMN 2010-2014, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada bidang ketransmigrasian juga terkait dengan prioritas bidang yaitu Bidang Wilayah dan Tata Ruang yang diarahkan pada pembangunan perdesaan dan pengembangan ekonomi lokal dan daerah. Prioritas Bidang Wilayah dan Tata Ruang dilaksanakan melalui: 1. Program Pembangunan Kawasan Transmigrasi, dengan kegiatan:

a. Penyediaan Tanah Transmigrasi; b. Penyusunan Rencana Pembangunan Kawasan Transmigrasi dan

Penempatan Transmigrasi; c. Pembangunan Permukiman di Kawasan Transmigrasi; d. Fasilitasi Perpindahan di Kawasan Transmigrasi; e. Fasilitasi Perpindahan dan Penempatan Transmigrasi;

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

56 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

f. Pengembangan Peran Serta Masyarakat dalam Pembangunan Transmigrasi.

2. Program Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi, dengan kegiatan: a. Penyusunan Rencana Teknis Pengembangan Masyarakat

Transmigrasi dan Kawasan Transmigrasi; b. Peningkatan kapasitas SDM dan Masyarakat di Kawasan

Transmigrasi; c. Pengembangan Usaha di Kawasan Transmigrasi; d. Pengembangan Sarana dan Prasarana di Kawasan Transmigrasi; e. Penyerasian Lingkungan di Kawasan Transmigrasi.

Penilaian terhadap capaian sasaran-sasaran pembangunan dilakukan dengan menggunakan gap analysis, yaitu melihat perbedaan capaian sampai dengan Oktober 2013 dan memperkirakan pencapaian sasarannya pada tahun 2014 pada tingkat visi, misi dan agenda pembangunan kebijakan ketransmigrasian dan pembiayaan pembangunan, serta sasaran prioritas bidang pembangunan perdesaan dan pengembangan ekonomi lokal dan daerah. Analisis pencapaian sasaran utama pembangunan didasarkan pada indikator sasaran utama pembangunan nasional serta berdasarkan pada kegiatan prioritas yang dianggap stategis yang dimuat dalam Buku II RPJMN 25 transmigrasi secara eksplisit disebutkan (dibahas) tertuang pada Bab IX. Dalam buku tersebut, disebutkan bahwa Kedudukan transmigrasi dalam pembangunan nasional 26 adalah bagian dari pembangunan Wilayah dan Tata Ruang. Sementara itu, perencanaan pembangunan transmigrasi termasuk dalam program bidang Pembangunan Perdesaan dan Pengembangan Ekonomi Lokal dan Daerah.27

Dalam pembangunan perdesaan, sesuai dengan RPJM-N, pembangunan perdesaan diarahkan pada pembangunan permukiman dengan basis pelayanan dasar, dengan output (untuk mencapai) desa mandiri dalam jangka waktu lima tahun. Sementara itu, pembangunan transmigrasi diarahkan pada pembangunan berbasis kawasan dengan skema KTM, dan ditujukan pada pembangunan bidang pengembangan ekonomi lokal dan daerah, dengan output (menuju) terbentuknya pusat pertumbuhan (embrio) kawasan perkotaan baru.

25Perpres No. 5 Tahun 2010

26 Perpres No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2010-2014. Buku II Memperkuat Sinergi Antar Bidang Pembangunan Bab IX Wilayah dan Tata Ruang.

27lampiran Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2010-2014 (RPJM 2010-2014).

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

57 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Pengembangan Ekonomi Lokal dan Daerah dalam konteks transmigrasi dilakukan sebagai bagian dari upaya pembentukan (perwujudan) pusat-pusat pertumbuhan wilayah, melalui pengembangan konektivitas inter dan antar kawasan (sub-kawasan), baik untuk mendukung pusat pertumbuhan baru maupun pusat pertumbuhan yang telah ada. Baik berada dalam lokus kawasan tertinggal, kawasan perbatasan, kawasan terluar, maupun kawasan strategis dan cepat tumbuh.

Sampai dengan tahun 2010, rintisan pembangunan kawasan perkotaan baru melalui skema KTM telah dilaksanakan di 44 kawasan pada 22 provinsi 28.

C. RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG [RPJP] 2010-2025 BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN [PERMEN NAKERTRANS No.12/2012]

Pembangunan transmigrasi dalam periode 2010-2014 diarahkan untuk memberikan kontribusi nyata dalam mewujudkan “Pembangunan yang Merata dan Berkeadilan” melalui pembangunan kawasan transmigrasi menjadi klaster-klaster sistem pengembangan ekonomi wilayah. Pembangunan kawasan transmigrasi dilaksanakan dengan: 1. Mengedepankan pembangunan dan pengembangan sumber daya manusia

masyarakat transmigrasi menjadi lebih berkualitas sebagai modal dasar menghadapi persaingan yang semakin ketat;

2. Memperkuat perekonomian kawasan berbasis keunggulan lokal menuju keunggulan kompetitif dengan membangun keterkaitan sistem produksi, distribusi, dan pasar;

3. Mempertegas penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan tanah berdasarkan ketentuan perundang-undangan sebagai aset sosial, ekonomi, dan budaya yang berkeadilan;

4. Meningkatkan penguasaan, pemanfaatan, dan penciptaan pengetahuan dan teknologi tepat guna;

5. Membangun infrastruktur yang memadai; dan

28Dengan rincian: 14 kawasan di Pulau Sumatera (Provinsi NAD, Sumbar, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumsel, dan Lampung), 10 kawasan di pulau Kalimantan (Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan), 12 kawasan pulau Sulawesi (Provinsi Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara), 1 kawasan di Provinsi Maluku Utara, 1 kawasan di Provinsi Maluku, 3 kawasan di Provinsi Papua, 1 kawasan di Provinsi NTT, dan 2 kawasan di Provinsi NTB.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

58 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

6. Melakukan penyempurnaan sistem perencanaan, pemrograman, dan pelaksanaan pembangunan kawasan transmigrasi terintegrasi dengan pemugaran permukiman penduduk setempat dalam satu kesatuan, serta sistem pelayanan dan pengendalian dan pengawasan 29 .

Untuk melaksanakan arah pembangunan transmigrasi tersebut, ada tujuh kebijakan yang telah dicanangkan, dan diharapkan telah dilaksanakan secara konsisten, yaitu:

Pertama, memberikan perhatian khusus pada unsur-unsur pengembangan daya saing kawasan, dengan mengutamakan keterkaitan produksi, pengolahan, dan pasar atau hulu-hilir dalam bentuk keterkaitan antar-kawasan berdasarkan produk unggulan setempat; memprioritaskan wilayah tujuan berbasis kemampuan sumberdaya dan prospek pengembangan kawasan secara terintegrasi; dan memprioritaskan wilayah sasaran sumber calon transmigran berbasis kebutuhan penyelesaian masalah kependudukan dalam rekruitmen calon transmigran.

Kedua, mengarusutamakan Kawasan Perkotaan Baru sejak dari proses perencanaan hingga pengembangan kawasan, baik dalam kerangka revitalisasi permukiman penduduk yang ada maupun pembangunan kawasan baru.

Ketiga, memfokuskan dan memprioritaskan pembangunan kawasan transmigrasi untuk mempercepat pengembangan kabupaten daerah perbatasan (termasuk pulau-pulau kecil terluar), dan kabupaten daerah tertinggal, tanpa mengesampingkan kawasan strategis lain.

Keempat, lebih memerankan Pemerintah Daerah dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan transmigrasi.

Kelima, pembangunan dan pengembangan kawasan transmigrasi dilaksanakan secara terintegrasi dengan bidang-bidang pembangunan lain dalam koridor ekonomi sesuai dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) menjadi embrio sistem pengembangan ekonomi wilayah yang didukung adanya Kawasan Perkotaan Baru sebagai pusat Pelayanan Kawasan.

29Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian Tahun 2010-2025 (Permen Nakertrans No 12 Tahun 2012).

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

59 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Keenam, peningkatan kemandirian masyarakat di kawasan transmigrasi.

Ketujuh, meningkatkan komunikasi, informasi, dan edukasi untuk membangun kesepakatan berbagai pihak.

Renstra Pertama dan yang direview, sama-sama tidak menyebutkan angka (target). Sementara, RPJP 2010-2025 bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian sudah menyebutkan bahwa tahun 2010-2014, telah mengembangkan KTM, dengan tahapan sebagai berikut:

Pada periode 2010-2014, Sasaran yang hendak dicapai pada tahap ini seperti dibawah ini. Ada 44 KTM yang dibangun menjadi rintisan mulai periode tahun 2007-2010, terdiri dari 16 KTM yang direvitalisasi sudah terbangun menjadi arah kemandirian, dan ditargetkan 2015-2019 menjadi klaster sistem pengembangan ekonomi yang didukung adanya Kawasan Perkotaan Baru. Sedangkan sisanya 28 KTM diarahkan untuk memenuhi basic services, kemudian dilanjutkan pemenuhannya pada tahun 2015-2019.

Dari hasil evaluasi terhadap target pembangunan transmigrasi periode 2010-2014 terdapat kecenderungan tidak keseluruhan sasaran dapat tercapai.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

60 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Pertama, dari target penyesuaian tata kelola, sampai dengan akhir periode tahapan. Rencana Peraturan Pemerintah sebagai salah satu payung hukum penyusunan peraturan pelakanan maupun peraturan teknis masih belum disahkan sebagai dokumen hukum resmi. Kondisi tersebut sangat berpengaruh terhadap penyusunan peraturan pelaksanaan sebagai kerangka kerja maupun penyusunan satuan biaya setiap kegiatan.

Namun, dibalik keterbataan peraturan pelaksanaan tersebut telah dilaksanakan sosialisai, konsultasi, pelatihan teknis ketranmigrasian, workshop dengan para pihak baik di tingkat pusat dan daerah terkait dengan paradigma baru ketransmigrasian. Hal ini dimasudkan sebagai strategi untuk mencapai pemahaman yang sama tentang konsep-konsep baru ketransmigrasian, pentingnya transmigrasi dalam kerangka pengentasan kemiskinan, ketimpangan wilayah, ketahanan pangan yang seluiruhnya bermuara pada peningkatan kesejahteraan. Langkah ini penting mengingat bahwa desentralisasi mempunyai implikasi dengan spektrum yang luas terhadap aspek birokrasi, persepsi tentang transmigrasi khususnya di tingkat daerah (kabupaten/kota).

Dari sisi waktu, penetapan payung hukum ketransmigrasian terlalu singkat, baik penetapan UU No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian sebagaimana diubah dengan UU No. 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian sehingga menghambat evaluasi pencapaian dan kebutuhan yang harus dirumuskan dalam kerangka kerja jangka panjang ketransmigrasian.

Kedua, revitalisasi30 16 kawasan dengan skema KTM menjadi WPT dan LPT. Sasaran dari target tersebut adalah meningkatkan kapasitas 16 kawasan transmigrasi dari 44 yang telah ditetapkan sebagai KTM sehingga mampu tumbuh berkembang menjadi menjadi embrio kawasan transmigrasi yang berdaya saing. Namun, dari hasil penelusuran data dan informasi dari pelaksana program target revitalisasi dari 16 kawasan sebagai WPT maupun LPT sebagai embrio kawasan yang berdaya saing dan berperan sebagi sub sistem produksi masih belum sepenuhnya tercapai. Hal ini mengingat bahwa proses revitalisasi dalam skala kawasan mempunyai spektrum yang sangat luas, baik dalam aspek luasan, lingkup aktivitas, aktor yang terlibat maupun 30Pengertian revitalisasi, adalah kegiatan atau upaya untuk menghidupkan kembali kawasan mati, atau mengendalikan dan mengembangkan kawasan untuk menemukan kembali potensi yang dimiliki ( pernah dimiliki atau seharusnya dimiliki) oleh sebuah kota, baik dari segi sosio-kultural, sosio-ekonomi, segi fisik alam lingkungan, sehingga diharapkan dapat memberikan peningkatan kualitas lingkungan kota yang pada akhirnya berdampak pada kualitas hidup dari penghuninya (Ditjen Tata Perkotaan dan Perdesaan, 2003).

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

61 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

dukungan pembiayaan. Untuk sisanya 28 KTM akan didorong dapat memenuhi pembangunan dengan basic services dalam menumbuhkan embrio kawasan transmigrasi/pusat pertumbuhan baru.

Adapun isu yang relevan dengan kondisi kawasan transmgrasi adalah: Pertama, penurunan vitalitas kawasan diakibatkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah perekonomian yang tidak stabil, pertumbuhan dan produktivitas kawasan yang menurun. Kedua, prasarana dan sarana tidak memadai mencakup penurunan kondisi dan pelayanan parasarana (jalan/jembatan, air bersih, drainase sanitasi), penurunan kondisi dan pelayanan sarana (pasar, ruang industri, ekonomi fasilitas sosial dan budaya dan sarana transportasi).

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka tujuan yang akan dicapai dalam revitalisasi kawasan adalah memberdayakan daerah dalam usaha menghidupkan kembali vitalitas kawasan untuk mewujudkan kawasan yang mempunyai daya saing pertumbuhan dan stabilitas ekonomi lokal, berkeadilan sosial, serta terintegrasi dalam kesatuan sistem kota.

Untuk mengembangkan kawasan yang mengalami kemerosotan pertumbuhan mempunyai kendala dan tantangan yang sangat kompleks. Oleh sebab itu, sebagai suatu program kegiatan harus dilaksanakan secara bertahap sebagai berikut.

1. Intervensi fisik, merupakan kegiatan pembangunan dan pengembangan prasarana rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan;

2. Rehabilitasi ekonomi, melalui kegiatan penciptaan lapangan kerja dan pendapatan ekonomi daerah, mengembangakan daerah usaha dalam stabilitas ekonomi kawasan, mendorong partisipasi masyarakat, investor dan pemerintah lokal;

3. Revitalisasi sosial dan kelembagaan mendorong partisipasi masyarakat, investor, dan pemerintah lokal;

Mengacu tentang konsepsi revitalisasi, maka upaya menjadikan kawasan transmigrasi yang berdaya saing mempunyai tantangan dan spektrum sangat luas. Di samping faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya, revitalisasi 16 kawasan sebagai target pembangunan pada periode 2010-2014 faktor desentralisasi juga menjadi faktor penentu keberhasilan.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

62 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Bergesernya peran daerah sebagai pelaku utama pengembangan wilayah belum diikuti dengan kemampuan untuk pembiayaan pembangunan kawasan transmigrasi dalam skala WPT dn LPT. Selain itu, otonomi daerah telah merubah struktur kelembagaan penyelenggara transmigrasi di tingkat kabupaten/kota, yaitu organisasi penyelenggaraan yang hanya setingkat bidang maupun seksi. Penempatan aparat juga cenderung tidak mempunyai kompetensi di bidang ketranmigrasian, sehingga pengusulan program umumnya hanya berorientasi proyek, dengan mengesampingkan posisi strategis transmigrasi.

Di lain pihak, penetapan 16 kawasan revitalisasi belum sepenuhnya menjadi fokus berbagi aktivitas pada tingkat Direktorat Jenderal. Pertimbangannya adalah sebagai berikut: (a) keterbatasan kapasitas dalam melakukan pencermatan ulang terhadap faktor-faktor penentu pembentukan WPT dan LPT sebagai kawasan berdaya saing; (b) masih terdapat sisa program periode sebelumnya yang harus dipenuhi; (c) keterbatasan dukungan anggaran untuk pembangunan dan pengembangan infrastruktur dasar khususnya fasilitas pelayanan perkotaan.

D. TRANSMIGRASI DALAM RENCANA STRATEGIS TRANSMIGRASI 2010-2014 [PERMEN NAKERTRANS No. 2/Tahun /2012]

Review Renstra memuat alasan-alasan mengenai perubahan terhadap Dokumen Rencana Strategis Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.03/MEN/I/2010 tanggal 28 Januari 2010. Alasan-alasan tersebut meliputi

Pertama, perlunya dilakukan penyesuaian (mengacu) pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014. Disebutkan dalam RPJMN, bahwa tugas dan fungsi Kemennakertrans diarahkan untuk mendukung pencapaian 4 (empat) prioritas sasaran pembangunan dalam RPJM, yaitu: Pendidikan, Penanggulangan Kemiskinan, Iklim Investasi dan Iklim Usaha, serta Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pasca-konflik. Selain mengakomodasi prioritas pembangunan yang dimuat dalam RPJMN, dokumen Renstra juga memuat tentang kebijakan kementerian dan target sasaran yang ingin dicapai setiap tahunnya, sebagai acuan untuk perencanaan penganggaran tahunan pada saat penyusunan Rencana Kerja (Renja) Kemnakertrans.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

63 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Kedua, dalam perjalanan pelaksanaan program dan kegiatan pada kurun waktu 2010-2011 telah terjadi berbagai perubahan strategis, di lingkup internal terjadi perubahan struktur organisasi Kemnakertrans sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.12/MEN/VIII/2010 yang berimplikasi pada perubahan nomen klaktur unit kerja. Unit kerja Eselon I Ditjen Pembinaan Penyiapan Pemukiman dan Penempatan Transmigrasi (P4Trans) berganti nama menjadi Ditjen Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi (P2KT). Selain pada tingkat Eselon I, perubahan juga terjadi pada tingkat direktorat, misalnya Direktorat Fasilitasi Perpindahan Transmigrasi berubah nama menjadi Direktorat Fasilitasi Penempatan Transmigrasi. Dalam lingkup Ditjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, Direktorat Pemberdayaan Pengawasan Ketenagakerjaan berganti nama menjadi Direktorat Bina Penegakan Hukum. Ditjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas, Direktorat Produktivitas menjadi Direktorat Produktivitas dan Kewirausahaan.

Ketiga, terjadi perubahan kebijakan di bidang ketransmigrasian dengan diterbitkannya UU Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian, yang secara prinsip mengatur perubahan pendekatan pembangunan ketransmigrasian.

Keempat, terjadi perubahan dalam penerapan sistem penganggaran yang diberlakukan sejak tahun 2011. Pada sistem ini setiap unit kerja Eselon I melaksanakan satu program dan capaiannya terletak pada tingkatan outcome. Adapun indikator yang digunakan sebagai pengukur keberhasilan pada level ini adalah Indikator kinerja utama. Sedangkan, unit kerja Eselon II melaksanakan satu kegiatan dengan output yang terukur. Dengan kata lain, outcome yang dicapai oleh unit kerja Eselon I bergantung pada capaian output yang dihasilkan oleh unit kerja Eselon II.

Kelima, perubahan strategis eksternal dalam penempatan tenaga kerja ke beberapa negara penerima Tenaga Kerja Indonesia (TKI), perkembangan dan tuntutan penurunan angka pengangguran dan kemiskinan juga mempengaruhi kebijakan di bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian.

Dengan adanya perubahan kebijakan di internal-eksternal Kemnakertrans, maka dilakukan review terhadap Renstra Kemnakertrans 2010-2014, sebagai upaya menyesuaikan tuntutan kebutuhan dan mempertajam kembali arah kebijakan, program, kegiatan dan sasaran Kemnakertrans.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

64 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Proses penyusunan review Renstra ini melibatkan seluruh jajaran unit organisasi Kemnakertrans sehingga penyempurnaannya dapat merupakan representasi dari seluruh unit di lingkungan Kemnakertrans sebab dokumen review Renstra ini akan menjadi acuan semua unit jajaran Kemnakertrans dalam merencanakan program dan kegiatan untuk mewujudkan visi dan misi dalam kurun waktu 2010-2014.

Rencana tindak pembangunan jangka menengah 2010-2014 bidang ketransmigrasian dirumuskan dalam Program Pembangunan Kawasan Transmigrasi dan Program Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi. Program Pembangunan Kawasan Transmigrasi ditujukan untuk terwujudnya permukiman dalam kawasan transmigrasi sebagai tempat tinggal dan tempat berusaha yang layak, dengan indikator kinerja utama program adalah jumlah permukiman transmigrasi yang dibangun dan transmigran yang ditempatkan di kawasan transmigrasi, yang diukur dari: (1) Penduduk yang tertata terintegrasi dalam kawasan transmigrasi; (2) Infrastruktur kawasan yang dibangun; (3) Lahan yang tersedia; (4) Rencana pembangunan kawasan transmigrasi; (5) Lembaga pemerintah dan non-pemerintah yang berpartisipasi dalam pembangunan kawasan transmigrasi. Program ini meliputi kegiatan-kegiatan (1) Fasilitasi penempatan transmigrasi, (2) Pembangunan permukiman dan infrastruktru kawasan transmigrasi, (3) Penyediaan tanah transmigrasi, (4) Penyusunan rencana pembangunan kawasan transmigrasi, (5) Partisipasi masyarakat. Kegiatan, sasaran, serta indikator kegiatan Program Pembangunan Kawasan Transmigrasi selama tahun 2010-2014 disajikan dalam tabel 2 berikut.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Tabel 1. Rencana Tindak Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014 Program Pembangunan Kawasan Transmigrasi

No Kegiatan Sasaran Indikator Keluaran 2010 2011 2012 2013 2014

1 Fasilitasi Penempatan Transmigrasi

Terfasilitasinya penempatan transmigran

Keluarga yang difasilitasi perpindahannya ke permukiman transmigrasi (KK)

8.598 8.500 9.000 9.250 9.300

Penduduk yang tertata, terintegrasi dalam kawasan transmigrasi (KK)

24.500 25.500 27.000 27.750 27.900

2 Pembangunan permukiman dan infrastruktur kawasan transmigrasi

Terbangunnnya permukiman transmigrasi dan infrastruktur di kawasan transmigrasi

Sarana yang di bangun (Unit) 11.065 13.221 14.984 15.250 18.897 Prasarana yang dibangun (km) 51 316 426,20 417,15 464,23

3 Penyediaan tanah transmigrasi

Tersedianya lahan untuk pembangunan kawasan transmigrasi

Lahan yang tersedia (Ha) 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000

4 Penyusunan rencana pembangunan kawasan transmigrasi

Tersedianya rencana pembangunan kawasan transmigrasi

Rencana pembangunan kawasan transmigrasi (Kawasan)

6 Kws 6 Kws 6 Kws 10 Kws 9 Kws

5 Partisipasi masyarakat

Meningkatnya peran serta masyarakat dalam pemabngunan kawasan transmigrasi dalam rangka pembangunan perdesaan

Lembaga pemerintah yang berpartisipasi dalam pembangunan kawasan transmigrasi (Lembaga)

304 115 115 115 115

Lembaga non pemerintah yang berpartisipasi dalam pembangunan kawasan transmigrasi (Lembaga)

15 15 28 26 34

Sumber: Review Rencana Strategis Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Tahun 2010-2014

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

66 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Program Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi. Ditujukan untuk berkembangnya masyarakat dan kawasan transmigrasi yang terintegrasi dalam satu kesatuan sistem pengembangan ekonomi wilayah yang berdaya saing, dengan indikator kinerja utama dari program ini adalah jumlah permukiman transmigrasi (kimtrans) yang mandiri dan kawasan transmigrasi yang berkembang, yang diukur dari: (1) Jumlah kimtrans dan kawasan yang dikembangkan sarana dan prasarananya; (2) Jumlah luasan lahan yang produktif dan produktivitas lahan di Kimtrans dan Kawasan; (3) Jumlah kepala keluarga yang mendapat layanan sosial budaya dan kelembagaan di Kimtrans yang berfungsi; (4) Jumlah kimtrans yang mandiri dan kawasan yang berwawasan lingkungan; (5) Jumlah Dokumen Rencana Pengembangan Masyarakat dan Kawasan yang dapat diimplementasikan. Program kegiatannya adalah: (1) Pengembangan sarana dan prasarana kawasan; (2) Pengembangan usaha di kawasan transmirasi; (3) Peningkatan kapasitas SDM dan masyarakat di kawasan transmigrasi; (4) Penyerasian lingkungan di kawasan transmigrasi; (5) Perencanaan teknis pengembangan masyarakat di kawasan transmigrasi. Kegiatan, sasaran, serta indikator kegiatan pada Program Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi selama tahun 2010-2014 disajikan dalam Tabel 3 berikut.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Tabel 2. Rencana Tindak Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014 Program Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi No Kegiatan Sasaran Indikator

Keluaran 2010 2011 2012 2013 2014 1 Pengembangan sarana

dan prasarana kawasan, Berkembangnya sarana dan prasarana dipermukiman transmigrasi dan kawasan transmigrasi

Jumlah kimtrans/kawasan yang dikembangkan kawasannya

30/20 31/20 34/20 40/22 40/22

Jumlah kimtrans/kawasan yang dikembangkan prasarananya

50/20 50/20 49/20 50/22 50/22

Pengembangan usaha di kawasan transmirasi,

Meningkatnya produktivitas lahan dan penerapan teknologi tepat guna, berkembangnya jejaring pemasaran, kelembagaan ekonimi yang fungsional dan tumbuhnya wirausaha mandiri

Jumlah luasan lahan produktif dan produktifitas lahan di permukiman transmigrasi (Ha/ton)

6.734 / 20.202

7.116/ 12.962

10.242/ 30.726

10.131/ 30.393

10.614/ 31.842

Jumlah kelompok masyarakat transmigrasi yang menerapkan teknologi pengolahan hasil pertanian (Kimtrans)

128 162 95 106 119

Jumlah kelembagaan ekonomi yang fungsional di kawasan transmigrasi (Lembaga)

46 65 87 100 139

Jumlah kewirausahaan yang berkembang di kawasan transmigrasi (orang)

2.000 2.000 2.000 2.000 2.000

Jumlah kawasan yang dipersiapkan/dikembangkan/ terwujud sebagai agroindustri (Kawasan)

0 0 0 0 2

3 Peningkatan kapasitas SDM dan masyarakat dikawasan transmigrasi,

Meningkatnya kapasitas masyarakat transmigrasi yang produktif, sehat, terdidik dan kelembagaan yang berfungsi di kimtrans/ kawasan transmigrasi

Jumlah transmigran yang mendapat bantuan pangan dan kesehatan di imtrans (KK)

50.731 53.171 41.622 49.118 56.719

Jumlah permukiman transmigrasi/ kawasan yang mendapat layanan sosial budaya/pendidikan, mental spiritual (Kimtrans/Kawasan)

155/18 155/18 197/18 255/18 300/18

Jumlah kelembagaan/ pengelola yang terbentuk dan berfungsi di permukiman transmigrasi/Kawasan (Lembaga/Kawasan)

76/18 91/18 22/18 15/18 51/18

Jumlah KK yang mendapat bantuan pendampingan/ pemberdayaan di Kimtrans (KK)

50.731 53.171 41.622 49.118 56.719

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

4 Penyerasian lingkungan di kawasan transmigrasi,

Berkembangnya permukiman transmigrasi yang mendiri dan pusat pertumbuhan kawasan yang berkelanjutan

Jumlah dokumen lingkungan di permukiman transmigrasi/ kawasan (Dokumen/Kawasan)

15/2 19/2 29/5 14/5 16/1

Jumlah mitigasi lingkungan di permukiman transmigrasi/ kawasan (Kimtrans/Kawasan)

11/3 15/2 11/8 29/4 28/7

Jumlah permukiman transmigrasi yang mandiri (Kimtrans)

62 76 18 17 17

Jumlah hasil evaluasi perkembangan pusat pertumbuhan (Kawasan)

2 2 4 4 3

5 Perencanaan teknis pengembangan masyarakat di kawasan transmigrasi

Tersedianya dokumen perencanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi yang berkualitas

Jumlah dokumen renbang masyarakat di kimtrans dan renbang kawasan transmigrasi yang dapat diaplikasikan (Kimtrans/Kawasan)

15/2 22/2 28/4 33/8 35/8

Jumlah rencana pengembangan pusat pertumbuhan yang dapat diaplikasikan (Pusat Pertumbuhan)

0 2 4 8 8

Data dan informasi pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi yang akurat dan valid (Kimtrans/Kawasan)

155/10 195/10 182/10 186/14 186/6

Jumlah Masterplan di WPT yang di-Perda-kan (Kawasan)

2 2 4 3 3

Sumber: Review Rencana Strategis Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Tahun 2010-2014

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

69 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

E. EVALUASI PENYELENGGARAAN TRANSMIGRASI TAHUN 2010-2014

Evaluasi pembangunan transmigrasi ini dilakukan melalui pendekatan content analisis, yaitu analisis terhadap pelaksanaan pembangunan transmigrasi berdasarkan target dan realisasi pencapaian, dalam periode 2010-2014. 31 Berbagai faktor yang menyebabkan arahan pembangunan transmigrasi 2010-2014 tIdak (belum) sepenuhnya dilaksanakan adalah:

Pertama, penyusunan rencana dan program dalam dokumen Review Rencana Strategi Kementerian Tenaga Kerja dan Ketransmigrasian 2010-2014 tidak konsisten dengan RPJP 2010-2025 bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian;

Kedua, pelaksanaan transmigrasi selama tahun 2010-2014 kurang konsisten dengan rencana dan program yang tertuang dalam dokumen Review Rencana Strategi Kementerian Tenaga Kerja dan Ketransmigrasian 2010-2014;

Ketiga, pembangunan transmigrasi dalam tataran rencana dan program pada tahun 2010-2014, belum berdasarkan pola pikir transmigrasi berbasis kawasan, meskipun sudah mempunyai indikator keluaran kegiatan berupa rencana pengembangan kawasan transmigrasi. Indikator Kinerja Utama (IKU) yang digunakan untuk penilaian pelaksanaan Renstra Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tahun 2010-2014 masih didasarkan atas IKU yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 20 Tahun 2008 yang sesungguhnya diperuntukan bagi Renstra Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tahun 2005-2009. IKU tersebut semata-mata ditetapkan karena tuntutan bahwa sistem penganggaran harus berbasis kinerja (Anggaran Berbasis Kinerja/ABK), selain pada saat yang bersamaan pembangunan transmigrasi sudah memulai berbasis kawasan dengan skema KTM. Dengan demikian anggaran transmigrasi yang dialokasikan melalui APBN pada saat itu perlu diwujudkan dalam berbagai kegiatan berikut indikator capaian kinerja, sehingga kurang mempertimbangkan kaidah-kaidah yang baik dan benar, tercermin dari masih rancunya antara indikator input/proses/output

31Sumber data utama dalam melakukan evaluasi ini adalah buku dokumen resmi, yaitu Bab-VIII Buku II. Memperkuat Sinergi Antar Bidang Pembangunan Bab IX Wilayah dan Tata Ruang (lampiran Permen No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nakertrans Tahun 2010-2014), Rencana Pembangunan Panjang Bidang Ketenagakerjaan dan Bidang Ketransmigrasian serta Rencana Strategis (Lampiran Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 12 Tahun 2012). Selain itu, juga dianalisis secara mendalam terhadap faktor penghambat dan dan faktor yang mendorong percepatan pencapaian target program.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

70 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

yang seolah-olah sebagai ukuran indikator keberhasilan (outcomes). Kondisi ini diperparah dengan suatu kenyataan bahwa IKU yang ditetapkan pada tahun 2008 tersebut masih digunakan sebagai dasar penyusunan Renstra Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tahun 2010-2014 dan RPJP tahun 2010-2025 Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian. Menjadi sangat ironis ternyata sampai saat ini evaluasi capaian kinerja Renstra 2010-2014 belum pernah dilakukan. Seyogyanya evaluasi capaian kinerja ini harus dilakukan secara berkala dan terus menerus sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan. Akibat dari ini semua menjadikan hasil penilaian terhadap Laporan Akuntabilitas Instansi Pemerintah (LAKIP) setiap tahun tidak beranjak dari kriteria nilai C, karena IKU belum ditetapkan padahal bobotnya besar.

Lebih dari itu, pembangunan transmigrasi berbasis kawasan juga mengandung makna people follow jobs, yang berarti program TSM seharusnya semakin meningkat, namun dalam RPJP Tahun 2010-2025 bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian dan dokumen review Renstra Tahun 2010-2014 justru terjadi bias Transmigran Umum;

Keempat, UU No.29/2009 belum diikuti dengan peraturan pelaksanaan sehingga para pelaksana tetap berpegang pada tradisi yang berlaku, atau mengembangkan Permukiman Transmigrasi yang cenderung tidak memiliki keterkaitan fungsional dengan kawasan sekitar .

Kelima, penyusunan rencana pembangunan transmigrasi berbasis kawasan memerlukan proses panjang (3-4 tahun sebelum pelaksanaan pembangunan permukiman) sehingga pembangunan transmigrasi periode 2010-2014 masih menggunakan hasil-hasil perencanaan tahun sebelumnya .

Keenam, pola pikir dan pola sikap pelaksana transmigrasi di berbagai tingkatan cenderung diwarnai oleh ”kebiasaan” yang berpandangan bahwa ”transmigrasi adalah perpindahan penduduk ke Permukiman Transmigrasi (Kimtrans) sehingga pengelola Kimtrans cenderung hanya pada urusan pemberdayaan transmigran yang pindah, sementara penduduk setempat belum dipahami sebagai bagian dari tugas pengelola transmigrasi.

Ketujuh, Pelaksanaan pembangunan transmigrasi dengan skema KTM cenderung dilakukan secara sektoral sehingga belum dipahami sebagai upaya terpadu pembangunan dan pengembangan wilayah dalam rangka mewujudkan daya saing. Beranjak dari fenomena tersebut , maka revitalisasi 16 kawasan

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

71 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

sebagai bagian dari 44 kawasan dengan skema KTM yang dirintis pembangunannya pada periode 2001-2010 menjadi satu kesatuan sistem pengembangan belum dapat diwujudkan dan karenanya harus ”diluncurkan” penyelesaiannya pada periode 2015-2019”32.

Kedelapan, pelaksanaan penempatan transmigran cenderung bias Transmigrasi Umum (TU). Dalam penyelenggaraan transmigrasi berbasis kawasan menggunakan cara pandang people follow jobs, yang artinya penduduk pindah ke kawasan transmigrasi karena adanya daya tarik kawasan. Dalam konteks ketransmigrasian berarti semakin meningkatnya Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM). Pada faktanya jumlah transmigran secara mandiri jauh dari harapan, seperti terlihat pada Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Realisasi Penempatan Transmigrasi Menurut Jenis Transmigrasi Tahun 2010-2014

Tahun Jumlah UPT TU (KK) TSB

(KK) Penataan

(KK) TSM (KK)

Total KK Jiwa

2010 75 4.124 897 850 1.475 7.346 28.081 2011 - 5.977 360 677 260 7.274 26.134 2012 75 12.666 1.840 586 - 15.092 56.552

2013*) - 756 50 31 - 837 2.989 Jumlah 2010 s.d 2013 30.549 113.756

2014**) - - - - - 9.300 - Sumber: Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (2013), dalam www.nakertrans.go.id Keterangan : *) Posisi 17 Oktober 2013, Rencana Penempatan pada wilayah: (1) perbatasan: 1.033 KK; (2) tertinggal: 2.822 KK; (3) strategis/cepat tumbuh: 2.817 KK (total: 6.672 KK) **) Target Penempatan Transmigran (Review Recana Strategis Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Tahun 2010-2014

Kesembilan, RPJP 2010-2025 bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian memuat pengembangan transmigrasi berbasis kelautan, namun di dalam Renstra bidang ketransmigrasian 2010-2014 tidak menyinggung transmigrasi perikanan. Pada beberapa daerah justru transmigrasi nelayan dilaksanakan dengan dukungan ABPD, tanpa dukungan APBN. Misalnya adalah penempatan transmigrasi nelayan yang dilaksanakan di Kab. Parigi Moutong

32Manuwito, Mirwanto. 2012. Arah Pembangunan Transmigrasi Tahun 2015-2029. Pokok-pokok pikiran dsampaikan dalam dialog penyusunan Rencana Strategis Pembangunan Transmigrasi Tahun 2015-2019. Biro Perencanaan Kemenakertrans. Cikarang 18-19 Oktober 2012.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

72 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

(Sulawesi Tengah) tahun 2004-201133 program ini dilaksanakan sebagai upaya pengentasan kemiskinan pada penduduk di wilayah pesisir.

Berdasarkan hasil evaluasi yang telah digambarkan di atas, maka sebagai koreksi dan masukan untuk penyempurnaan penyelenggarakan transmigrasi kedepan sebagai upaya mewujudkan transmigrasi program strategis dalam konteks pembangunan nasional, maka perlu dilakukan melakukan beberapa refleksi sebagai berikut.

1. Penyelenggara harus secara jujur dan berani menyadari bahwa target program pada periode 2010-2014 tidak mencapai sasaran yang telah ditetapkan sebanyak 44 kawasan berbasis KTM, dan menjadikan prioritas terhadap 16 kawasan sehingga menjadi kawasan berdaya saing sebagai bagian dari sub sistem produksi wilayah, dan 28 kawasan menjadi kawasan yang terpenuhi pembangunan basic services. Membangun 25 Kawasan Transmigrasi Baru pada Kawasan Tertinggal.

2. Melakukan redesain terhadap perencanan dan restrukturisasi terhadap berbagai kegiatan, termasuk permukiman transmigrasi yang sudah ada.

3. Berkomitmen menempatkan RPJP Tahun 2010-2025 bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian dan Renstra kedepan sebagai dasar pelaksanaan kegiatan

4. Mempunyai komitmen yang kuat dan konsisten melaksanakan prinsip-prinsip dan kebijakan sebagaimana tertuang dlam RPJP bidang ketransmigrasian dalam rangka mewujudkan misi ““Pembangunan yang Merata dan Berkeadilan”.

5. Semakin pentingnya peran sistem manajemen kinerja, maka penetapan IKU merupakan suatu keharusan. Oleh karena itu sejak tahun 2011, sudah dilakukan penyusunan IKU berbasis Balanced Scorecard (BSC) yang hasilnya sudah disetujui oleh pimpinan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Dengan demikian IKU berbasis BSC yang sudah disetujui tersebut, agar segera ditetapkan dengan Peraturan Menteri sebagai dasar antara lain untuk penyusunan dokumen perencanaan yang disinergikan/disinkronkan dengan penetapan indikator yang didasarkan pada pedoman penyusunan Renstra Kementerian/Lembaga Tahun 2015-2019.

33 Saraswati Soegiharto dkk, Kajian Pola-Pola Usaha Transmigrasi (Kasus Pola Nelayan), 2013 (belum dipbulikasi)

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

73 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

5 AGENDA KETRANSMIGRASIAN KE DEPAN

Pemberlakuan UU No. 29/2009, mengharuskan adanya perubahan paradigma (paradigm

shift) transmigrasi, yaitu; “Pembangunan Transmigrasi Berbasis Kawasan.” Dengan paradigma ini maka transmigrasi tidak boleh lagi dibangun dalam bentuk permukiman

yang single tanpa adanya konektivitas (keterkaitan) baik secara horisontal dengan permukiman lain di sekitarnya, atau secara vertikal dengan pusat pertumbuhan yang

ada.

Istilah “kawasan” dalam konteks paradigma ini adalah, bahwa suatu wilayah haruslah dibangun secara terstruktur, atau secara hirarkis, dari ruang terkecil berupa

unit (satuan) permukiman skala kecil (SP), ke skala yang lebih besar yaitu ruang permukiman yang lebih besar (gabungan lebih dari satu SP menjadi SKP), hingga ruang

permukiman yang lebih besar lagi, yaitu kawasan, yang terdiri atas beberapa SKP.

Dengan demikian, orientasi transmigrasi ke depan bukan lagi membangun satuan-satuan permukiman yang terisolasi atau berdiri sendiri secara spasial, atau terpencil secara

sosial, tanpa adanya jaringan konektivitas, atau saluran penghubung dari dan ke dalam permukiman tersebut, dan tanpa adanya garis deliniasi yang menggambarkan posisi

permukiman tersebut dalam satuan permukiman yang lebih besar.

Agenda Ketransmigrasian ke depan intinya adalah mengembangkan ruang (wilayah), orang (sumber daya masyarakat transmigrasi) dan uang (aktivitas ekonomi dan

peningkatan produktivitas untuk mencapai kesejahteraan).

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

74 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

A. MEMBANGUN RUANG-WILAYAH Pembangunan keruangan mencakup; Hirarkis Ruang-Wilayah (teori nodal, supply and demand side, perubahan dari rural-subsitence-to industrialization of urban); Integrasi ke dalam Sistem Tata Ruang (Aturan ketataruangan dan Lokus: Perbatasan-Tertinggal-Strategis); Perolehan dan Konsolidasi Tanah, Koridor Ekonomi- termasuk MP3EI, dan Prioritas Sumber Daya Alam;

1. Hirarki Ruang-Wilayah

Kawasan transmigrasi kedepan harus dirancang dan dibangun atas dasar prinsip-prinsip teori pembangunan wilayah, salah satunya adalah bahwa suatu kawasan dibangun dengan menempatkan pusat-tepian secara terstruktur yang bersifat hirarkis, dari unit-unit (satuan) permukiman terkecil hingga lebih besar. Dengan demikian transmigrasi tidak lagi dibangun dengan pendekatan permukiman skala kecil yang hanya berorientasi terbentuknya unit-unit administratif setingkat desa transmigrasi (Satuan Permukiman Transmigrasi).

Struktur kawasan (region) transmigrasi kedepan harus dibangun atas dasar ciri “fungsional-struktural”, yaitu bentuk hirarki struktur yang mencerminkan hubungan fungsional, dari skala yang paling kecil hingga skala yang lebih luas. Dengan ciri tersebut maka diharapkan pada kurun waktu tertentu unit-unit atau satuan-satuan permukiman (SP) transmigrasi akan berkembang bukan saja menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menjadi unit-unit (SP) yang kuat baik secara ekonomi maupun administratif (berskala desa, kecamatan, dan atau kabupaten).

Sejak diterapkan UU No. 15/1997 tentang Ketransmigrasian, pada dasarnya telah ada tuntutan untuk membangun transmigrasi melalui pendekatan kawasan (dalam bentuk WPT dan atau LPT). Namun pada tingkat implementasi, banyak lokus transmigrasi yang dibangun dengan skala kecil, tidak memiliki keterkaitan fungsional (konektivitas) baik dengan permukiman lain maupun dengan kawasan yang lebih besar. Bahkan banyak permukiman yang dibangun secara tunggal, terpencil, dan terpisah dari pusat pertumbuhan yang ada. Sampai dengan pemberlakuan UU No. 29/2009, apa yang terjadi dalam implementasi transmigrasi adalah kesalahan ( fallacies) pada ranah perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Oleh karena itu, perencanaan kawasan transmigrasi ke depan perlu disusun atas dasar prinsip-prinsip teori pembangunan wilayah tersebut.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

75 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Jika konsep istilah WPT dan LPT masih akan digunakan, maka LPT dibangun sebagai penyangga sebuah pusat, atau berperan sebagai pendukung pusat yang telah ada. Sementara WPT dirancang dan dibangun dari awal sebagai embrio terbentuknya sebuah pusat baru. Pusat di sini dapat berupa kegiatan ekonomi, atau pusat pelayanan jasa-jasa secara lebih intensif.

Jadi konsep struktur ruang transmigrasi, dalam perspektif pengembangan wilayah tersebut adalah Wilayah Pengembangan Transmigrasi (WPT) sebagai wilayah (pusat) pertumbuhan ekonomi, yang basis penyangganya adalah satuan-satuan permukiman yang dibangun secara bertahap melalui skim transmigrasi dan termasuk desa sekitarnya dalam deliniasinya. Sementara Lokasi Permukiman Transmigrasi (LPT) adalah lokasi-lokasi permukiman transmigrasi yang dibangun di dalam wilayah penyangga atau desa-desa yang telah ada guna mendukung pusat yang sudah ada (tidak harus WPT).

Jadi kawasan transmigrasi baik berwujud WPT maupun LPT merupakan lokus tujuan perpindahan transmigrasi, yang secara konseptual merupakan sebuah wilayah atau ruang delineatif yang dibangun dengan struktur hirarkis-nodal. Dalam konsep WPT, struktur hirarkisnya adalah strata (orde) terkecil berupa satuan permukiman (SP), dan beberapa SP kemudian diintegrasikan dalam satuan lintas-SP berupa SKP, dan kemudian beberapa SKP diintegrasikan dalam satu kesatuan kawasan yang di dalamnya ada satu titik yang dibangun baru dengan predikat KPB dan berfungsi sebagai pusat pelayanan kawasan. Sementara LPT merupakan kawasan transmigrasi yang didelineasikan dan di dalamnya sudah ada titik (atau potensi titik) yang sudah (atau akan) dipromosikan sebagai pusat pelayanan kawasan, sehingga keberadaan permukiman desa-desa setempat yang telah ada, bersama-sama dengan potensi permukiman transmigrasi baru terintegrasi sebagai satuan-satuan permukiman, dan seterusnya membentuk SKP menjadi wilayah penyangga bagi pusat pertumbuhan yang telah ada di dalam kawasan tersebut.

Perbedaan WPT dan LPT terletak pada pendekatan dalam pembangunannya. Pendekatan pembangunan WPT digunakan untuk membangun pusat pertumbuhan baru, sedangkan pendekatan LPT digunakan untuk mendukung atau mendorong percepatan pusat pertumbuhan yang ada.

Kawasan-kawasan transmigrasi yang saat ini telah menjadi pusat-pusat pertumbuhan, basisnya adalah satuan permukiman (SP), yaitu suatu permukiman penduduk yang tertata rapi dalam sebuah tata-ruang yang terkonsentrasi (mengelompok) dan dengan sistem blok (block system) permukiman-perumahan yang dilengkapi (dikelilingi) oleh kapling-kapling lahan

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

76 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

usaha pertanian (perkebunan). Satuan permukiman itulah yang kemudian menjadi desa administratif, komunitas basis, yang baik secara spasial maupun sosial saling berinteraksi dan menjadi sebuah pusat produksi pertanian, atau yang saat ini menjadi konsep-istilah “kawasan transmigrasi”.

Kawasan transmigrasi kedepan dibangun dan diskenariokan untuk menjadi kawasan pusat-pusat pertumbuhan, atau menjadi daya tarik (“gula”), yang mampu menarik perpindahan penduduk ke dalamnya.

Pengembangan wilayah melalui skim transmigrasi dapat dianggap sebagai suatu bentuk intervensi positif terhadap pembangunan di suatu wilayah. Dalam hal ini ada 2 (dua) strategi yang diterapkan untuk melakukan intervensi tersebut, yang secara teoritis ada dua kategori untuk dijadikan pertimbangan, yaitu (1) demand side strategy dan (2) supply side strategy.

Strategi pertama, adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang diupayakan melalui peningkatan produksi barang-barang dan jasa dari masyarakat setempat melalui kegiatan yang bersifat dan berskala lokal, dengan tujuan agar secara umum terjadi peningkatan taraf hidup penduduk. Peningkatan taraf hidup ini diharapkan akan meningkatkan permintaan terhadap barang-barang non-pertanian. Adanya permintaan tersebut akan meningkatkan perkembangan sektor industri dan jasa-jasa yang akan mendorong perkembangan wilayah yang bersangkutan .

Strategi kedua, adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang terutama diupayakan melalui investasi modal (capital invesment) untuk kegiatan-kegiatan produksi yang berorientasi keluar, dengan tujuan untuk meningkatkan pasokan dari komoditas yang pada umumnya diproses dari sumber daya alam lokal. Kegiatan produksi terutama ditujukan untuk ekspor yang akhirnya akan meningkatkan pendapatan lokal. Hasil dari kegiatan ini selanjutnya diharapkan akan menarik kegiatan lain untuk datang ke wilayah tersebut.

Perbedaan dari kedua strategi tersebut terletak pada; bahwa keuntungan penggunaan supply side strategy adalah prosesnya cepat sehingga efek yang ditimbulkan cepat terlihat (quick yielding activities), sebaliknya strategi pertama justru bersifat slow yielding. Namun pada strategi kedua sering muncul komplikasi permasalahan berupa: (1) muncul enclave karena keterbatasan kapasitas penduduk setempat (pengetahuan, keterampilan/keahlian, dan perilaku), sehingga yang menikmati seringkali hanya kelompok masyarakat tertentu dengan jumlah terbatas dari luar kawasan, dan (2) sangat peka terhadap berbagai perubahan ekonomi di luar wilayah (faktor eksternal). Lain

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

77 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

halnya dengan strategi pertama, strategi kedua lebih terfokus pada pemberdayaan masyarakat di kawasan tersebut (put people first) untuk dapat menguasai dan memanfaatkan teknologi dalam mengusahakan dan mendayagunakan sumber daya alam yang ada.

Pengembangan wilayah (kawasan transmigrasi baru) melalui strategi demand side adalah suatu pengembangan wilayah yang diupayakan melalui peningkatan barang-barang dan jasa masyarakat melalui ekonomi lokal, dengan pemberian input-input produksi (perumahan, lahan, saprodi penyuluhan, mediasi).

Melalui berbagai intervensi, diharapkan terjadi peningkatan taraf hidup akibat proses produksi (pertanian pangan) sehingga menghasilnya produksi yang di atas kebutuhan masyarakat (marketable surplus) dan mendorong meningkatnya permintaan barang dan jasa non-pertanian.

Melalui strategi kedua, dengan input yang berbeda suatu kawasan [transmigrasi] akan tumbuh dan berkembang secara gradual, dari tahapan sub-subsisten, subsisten, marketable surplus, industri pertanian, industri non-pertanian, sampai dengan mencapai tahap industrialisasi perdesaan.

2. Integrasi Ke dalam Sistem Tata-Ruang

Pemilihan dan penetapan kawasan transmigrasi (site plan) ke depan haruslah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Daerah. Sejak diterapkan Undang-Undang No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, dan PP No 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, pembangunan kawasan transmigrasi harus tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam instrumen regulasi tersebut.

UU tersebut menekankan pentingnya Perencanaan dan Pemanfaatan Ruang Wilayah. Perencanaan Tata Ruang Wilayah (RTRW), mencakup propinsi dan kabupaten-kota (RTRWP dan Kab/Kota), sementara Pemanfaatan Ruang Wilayah mencakup wilayah Nasional, Propinsi, maupun Kabupaten-Kota. Di dalamnya juga menekankan pentingnya Penataan Ruang Kawasan Perkotaan dan Perdesaan, serta Perencanaan Tata Ruang Kawasan Perkotaan dan dan Perdesaan.

Dengan demikian, transmigrasi kedepan perlu dan harus tunduk pada aturan-aturan penataan ruang, baik pada skala nasional, propinsial, maupun lokal (kabupaten-kota). Pada skala lokal (Kabupaten/Kota) transmigrasi harus dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (Kota), yang di dalamnya terdapat kategori kawasan perkotaan, perdesaan, dan agropolitan.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

78 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Intinya adalah, bahwa kedepan RTRWK akan melahirkan RTR Kawasan Perdesaan, dan Rencana Kawasan Transmigrasi (RKT) disusun sebagai bentuk perwujudan RTR Kawasan Perdesaan. Dengan kata lain, bahwa RKT kedepan akan menjadi bagian dari perencanaan tingkat daerah, dan fungsi perencanaan ini perlu (akan) dijalankan oleh pemerintahan daerah (Kabupaten Kota). Maka kawasan transmigrasi akan mendapat kedudukan kuat dalam setting perencanaan tata ruang daerah.

Penyelenggaraan transmigrasi sepanjang sejarahnya pada dasarnya telah mengacu ketentuan [aturan] kewilayahan. Karakteristik potensi sumberdaya unggulan, keterkaitan dengan pusat pertumbuhan dan hirarki kawasan merupakan faktor penting yang dipertimbangan dalam membangun kawasan transmigrasi di berbagai daerah. Terkait dengan struktur dan hirarki kawasan transmigrasi, hal ini sejalan dengan rencana pengembangan wilayah yang telah menggariskan skenario tata ruang nasional melalui Strategi Nasional Pengembangan Pola Tata Ruang (SNPPTR) sebagai dasar penyusunan Rencara Tata Ruang Wilayah Propinsi/Kabupaten (RTRWP/K).

Strategi pemanfaatan ruang nasional berisikan struktur dan kriteria pengelolaan kawasan lindung dan budidaya, sedangkan dalam struktur ruang mengidentifikasikan kawasan-kawasan strategis nasional, sistem kota-kota dan arahan pengembangannya, sistem transportasi dan infrastruktur utama (pelabuhan laut dan udara).

Selama ini, salah satu kendala dalam percepatan pembangunan kawasan adalah adanya perencanaan kawasan yang bersifat sektoral. Idealnya kawasan transmigrasi periode tersebut dipandang sebagai bentuk pengembangan wilayah dan pembangunan daerah dan merupakan ruang bersama yang disepakati lintas sektor terkait dalam merancang program dan kegiatan secara terpadu. Sebaliknya yang terjadi adalah munculnya kecenderungan ego-sektoral yang kuat. Dalam arti setiap sektor mempunyai rancangan tata ruang pembangunan yang berbeda sehingga menyebabkan pengembangan sistem transportasi, hirarki pusat pelayanan, sistem pengadaan faktor-faktor produksi sistem pasar tidak terencana secara terintegrasi (Ernan Rustiadi, 2004).

Meskipun demikian, kawasan-kawasan transmigrasi yang dibangun melalui pendekatan kewilayahan, dalam kurun waktu relatif panjang mampu berkembang menjadi pusat pertumbuhan baru, pusat produksi baru di berbagai daerah. Dalam kerangka pengembangan wilayah, kawasan transmigrasi dapat berperan menciptakan konektivitas antar daerah, antara wilayah maju dan wilayah terbelakang. Maupun menjaga keseimbangan pertumbuhan antar wilayah akibat berkembangnya aktivitas usaha pokok. Di sisi lain, terbatasnya

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

79 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

peraturan perundangan tata ruang telah menyebabkan pemanfaatan ruang yang menyebabkan berubahnya fungsi kawasan (pemanfaatan kawasan hutan produksi dan hutan lindung melalui program Hutan Rakyat Transmigrasi (HRT), pemanfaatan tanah adat secara sepihak, pembangunan kawasan transmigrasi di wilayah pesisir).

Sebagai payung hukum, Peraturan perundangan tentang Rencana Tata Ruang merupakan landasan hukum yang mendasari pemanfaatan dan pengelolaan ruang dan menjadi acuan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Provinsi/Kabupaten kota (RTRWN/P/K). Dalam rencana tata ruang Nasional, Provinsi, Kabupaten secara substansi penting, di antaranya adalah: penyusunan rencana pembangunan jangka panjang (Nasional, Provinsi dan Kabupaten), penyusunan rencana pembangunan jangka menengah (Nasional, Provinsi dan Kabupaten) pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah (Nasional, Provinsi dan Kabupaten) mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah (Provinsi, Kabupaten) serta keserasian antar-sektor, penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi, penataan ruang kawasan strategis (nasional Provinsi dan Kabupaten); dan penataan ruang wilayah Provinsi dan, Kabupaten/Kota

Pertanyaannya dimana dan bagaimana kedudukan rencana pembangunan transmigrasi dalam kerangka rencana tata ruang?. Secara eksplist dalam penjelasan UU No 29 Tahun 2009 ditegaskan bahwa dengan mempertimbangan dinamika perubahan dan tantangan yang dihadapi, maka pembangunan kawasan transmigrasi dilaksanakan melalui pendekatan (berbasis) kawasan yang memiliki keterkaitan dengan kawasan sekitar membentuk suatu kesatuan sistem pengembangan wilayah kegiatan ekonomi.

Di dalam imlementasinya, pembangunan kawasan [transmigrasi] sebagian besar sudah dirancang secara komprehensif dan holistik, sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah melalui pendekatan Wilayah Pembangunan Transmigrasi (WPT) untuk mewujudkan pusat pertumbuhan baru, atau sebagai Kawasan Perkotaan Baru dan Lokasi Permukiman Transmigrasi (LPT) untuk mendukung pusat pertumbuhan yang telah ada ataupun sedang berkembang sebagai Kawasan Perkotaan Baru (KPB).

Sebagai program yang mengacu pada prinsip-prinsip kewilayahan, transmigrasi pada hakekatnya merupakan program pembangunan pada suatu wilayah potensial, dengan penempatan penduduk baru untuk menetap, atau sumberdaya manusia yang kompeten secara terbatas sebagai aktor pembangunan. Oleh sebab itu, pembangunan transmigrasi pada dasarnya

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

80 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

merupakan bagian integral dari pembangunan Nasional, Provinsi, Kabupaten, maupun lokal, pada wilayah-wilayah potensial yang telah ditetapkan.

Kedudukan lokasi transmigrasi pada umumnya merupakan kawasan belakang (hinterland) dalam bentuk kawasan perkotaan baru atau bagian dari kawasan perkotaan baru yang bercirikan perdesaaan. Sebagai kawasan perkotaan baru, kawasan transmigrasi mempunyai pusat pelayanan perkotaan sebagai pendukung aktivitas produksi, masyarakat yang kompeten sebagai pelaku penting aktivitas produksi. Melalui skenario demikian maka kawasan transmigrasi merupakan hinterland penyedia bahan baku produksi yang berdaya saing.

Sebagai kawasan hinterland yang berciri perdesaan, maka kedudukan rencana kawasan transmigrasi yang berisikan struktur dan pola ruang, rencana penyediaan sumberdaya, rencana pengembangan kawasan, rencana pengembangan usaha, rencana pengembangan sosial-budaya adalah merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis dalam lingkup Nasional, Provinsi dan Kabupaten.

Dalam RPJMN 2010-2014, disebutkan bahwa pembangunan transmigrasi diarahkan pada bidang pembangunan pedesaan dan bidang pengembangan ekonomi lokal dan daerah untuk mendukung prioritas nasional dalam pembangunan daerah perbatasan yang tertinggal, terdepan, terluar dan paska konflik. Oleh karena itu, lokus pembangunan transmigrasi kedepan, masih perlu diarahkan pada daerah (wilayah) perbatasan, daerah tertinggal dan daerah pasca konflik.

Wilayah perbatasan, kedepan perlu dipersepsikan sebagai beranda depan wilayah NKRI agar tingkat kerawanan perbatasan Indonesia dengan negara lain ke depan dapat diantisipasi. Sebagai batas kedaulatan negara, wilayah perbatasan sangatlah penting, karena itu kebijakan transmigrasi perlu diarahkan ke wilayah ini, baik untuk kepentingan pertahanan dan ketahanan nasional, maupun kepentingan hubungan antar-negara. Pembangunan wilayah perbatasan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Wilayah perbatasan seringkali dipandang sebagai wilayah pinggiran yang terbelakang. Padahal, wilayah perbatasan sangat penting bagi keutuhan NKRI. Karena itu, wilayah perbatasan perlu menjadi perhatian bagi seluruh komponen bangsa.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

81 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Kesadaran dan kepedulian terhadap wilayah perbatasan sebagai bagian integral dari wilayah NKRI, telah mendorong berbagai upaya untuk membangun dan mengelolanya sebagai halaman (beranda) depan negara, yang bernilai sangat strategis.

Pembangunan dan pengelolaan wilayah perbatasan sebagai beranda depan, tidak saja untuk mengendalikan lalu-lintas orang, barang dan jasa, yang keluar-masuk wilayah negara, tetapi juga untuk tujuan kesejahteraan bagi masyarakat yang berada di wilayah tersebut.

Pembangunan dan pengelolaan wilayah perbatasan juga dilakukan untuk menghindari penggunaan wilayah perbatasan sebagai lalu lintas kegiatan yang merugikan kepentingan nasional, seperti infiltrasi, penyelundupan (pencurian), kejahatan transnasional dan tindakan lain yang dapat mengganggu stabilitas nasional.

Pembangunan kawasan perbatasan dengan skema transmigrasi dipandang sebagai salah satu model dalam upaya peningkatan kesejahteraan di kawasan perbatasan, yang dilakukan dengan membangun titik-titik tumbuh disepanjang perbatasan melalui pengembangan Kawasan Perkotaan Baru.

Pembangunan transmigrasi di wilayah perbatasan negara telah dilaksanakan sejak era reformasi antara lain, di Pulau Natuna, Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat, Nunukan Provinsi Kalimantan Timur, Arso, Tanah Merah dan Muting di Papua. Di Belu, Alor dan Timor Tengah Utara di Nusa Tenggara Timur.

Pembangunan transmigrasi di kawasan perbatasan juga telah disinergikan dengan pengembangan investasi dengan mengembangkan komoditas perkebunan dan pangan. Beberapa diantara wilayah-wilayah tersebut sekarang telah berkembang menjadi daerah otonom sebagai kabupaten baru.

Sebagai negara kepulauan (archipelago state), Indonesia memiliki perbatasan dengan beberapa wilayah negara tetangga, yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Philipina, Republik Palau, Papua New Guinea, Timor Leste, dan Australia. Khusus untuk perbatasan darat, wilayah Indonesia berbatasan langsung dengan tiga negara tetangga, yaitu Malaysia, Papua New Guinea, dan Timor Leste.

Perbatasan darat antara Indonesia dengan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) membentang sepanjang 255,4 km meliputi Kabupaten Belu Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan Kota Kupang di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berbatasan langsung dengan tiga distrik di Negara Timor Leste,

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

82 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

yaitu Maliana, Kovalima dan Oecusse. Wilayah distrik Oecusse, menjadi daerah enclave yang terjepit antara Kabupaten Belu dan Kabupaten TTU di Provinsi NTT, Indonesia. Khusus di Kabupaten Belu, terdapat 9 (sembilan) Kecamatan meliputi 28 desa yang berbatasan langsung dengan Timor Leste yaitu; Kecamatan Lasiolat, Raihat, Lamaknen, Lamaknen Selatan, Tasifeto Timur, Tasifeto Barat, Kobalima, Kobalima Timur, dan Malaka Barat.

Sementara Pos lintas batas darat di Provinsi Papua, belum ada yang diresmikan. Peraturan dan perjanjian perbatasan yang telah dibuat meliputi: Undang-Undang RI Nomor 6 tahun 1973, Keputusan Presiden RI Nomor 27 Tahun 1974, Keputusan Presiden RI Nomor 6 Tahun 1980 dan Pembaharuan Perjanjian Perbatasan dengan Papua New Guinea (18 Maret 2003).

Namun, ke depan pembangunan transmigrasi perbatasan perlu diprioritaskan pada perbatasan Indonesia-Malaysia, di mana terdapat 8 (delapan) Kabupaten perbatasan, yaitu 5 Kabupaten di Kalimantan Barat (Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, dan Putusibau), dan 3 Kabupaten di Kalimantan Timur (Nunukan, Malinau, dan Kutai Barat).

Wilayah perbatasan darat Indonesia-Malaysia berada pada wilayah Provinsi Kalimantan Barat dengan Negeri Serawak, dan Propinsi Kalimantan Timur dengan Negeri Sabah. Kedua wilayah tersebut relatif berhubungan langsung satu sama lain. Kondisinya berbeda di mana wilayah Malaysia relatif lebih maju dibandingkan dengan wilayah Indonesia, sehingga terjadi kecenderungan perubahan orientasi kegiatan sosial ekonomi penduduk dari wilayah Indonesia ke wilayah Malaysia. Pos lintas batas darat yang telah diresmikan meliputi dua titik, yaitu Entikong (Kalimantan Barat)-Tebedu (Negeri Sarawak) dan Nanga Badau (Kalimantan Barat)-Lubuk Antu (Sarawak).

Membangun dan mengembangkan kawasan transmigrasi baru di kabupaten daerah tertinggal pada 183 kabupaten di Indonesia, dengan memberikan perhatian khusus agar wilayah tersebut dapat relatif terbuka sebagai bagian dari NKRI serta menekan potensi konflik vertical, antara lain Nanggroe Aceh Darussalam34, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua.

3. Perolehan dan Konsolidasi Lahan

Oleh karena transmigrasi merupakan sektor pembangunan yang berbasis keruangan, maka lahan (tanah) menjadi persoalan sentral dalam 34 Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, 2012

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

83 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

pembangunan. Maka ke depan diperlukan strategi perolehan tanah (lahan) untuk transmigrasi, baik lahan untuk permukiman dan atau untuk sarana usaha masyarakat. Diperlukan lahan diketahui bahwa program transmigrasi terkait erat dengan upaya menjawab masalah pangan dan kemiskinan. Selama dijalankan dalam kurun waktu 63 tahun, sampai tahun 2013 program transmigrasi telah membuka lahan pertanian baru lebih kurang 4 juta hektar, yang dibagikan kepada sekitar 2,2 juta KK petani atau sekitar 8,8 juta orang; bentuk distribusi tanah kepada rakyat. Di waktu yang lalu program ini telah sangat besar peranannya dalam menjadikan Indonesia swasembada beras tahun 1984 s/d 1998, yang telah membuat Presiden Soeharto/Pemerintah Indonesia memperoleh Food Award, sebuah penghargaan dari FAO dan menjadikan Indonesia produser terbesar CPO kelapa sawit.

Cara-cara mendapatkan ruang-wilayah, yang di dalamnya terdapat lahan (tanah), baik “milik” masyarakat, negara dan atau badan usaha, haruslah sesuai sesuai dengan instrumen hukum pertanahan yang masih berlaku. Juga sesuai atau mempertimbangkan aspek-aspek sosiologi (antropologi tanah), kultur pemilikan lokal (tradisional) masyarakat. Hukum positif pertanahan mencakup aturan dan prosedur administratif lahan (aspek legal) berkaitan dengan hak-hak lahan (tanah), yang harus dilalui secara sah.

Karena penyediaan tanah untuk pembangunan transmigrasi pada dasarnya merupakan persoalan hukum, maka wacana ketransmigrasian ke depan harus sarat dengan perspektif mengenai hukum pertanahan nasional. Persoalan transmigrasi tidak bisa dipisahkan dengan persoalan penyediaan dan perolehan tanah, karena disadari bahwa transmigrasi adalah sektor pembangunan yang berbasis tanah, dan sangat tergantung pada ketersediaan dan atau penyediaan tanah.

Klausul-klausul kebijakan penyediaan lahan (tanah) untuk pembangunan transmigrasi antara lain berbunyi: Pasal 23: menyebutkan: (a) Pemerintah menyediakan tanah bagi penyelenggaraan transmigrasi. (b) Alokasi penyediaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan rencana Tata Ruang Wilayah dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku (UU 15/1997].

Pasal 24, Tanah yang diperoleh Pemerintah untuk penyelenggaraan transmigrasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 diberikan dengan hak pengelolaan (HPL) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

84 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

berlaku35. Dalam hal tanah yang akan diberikan kepada transmigran dikuasai oleh Badan Usaha, tanah tersebut terlebih dahulu diserahkan kepada Pemerintah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Tanah yang diperuntukkan (diberikan) kepada transmigran berstatus hak milik.

Lahan berstatus Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang diberikan kepada Pemerintah (Kementerian atau Departemen) yang mengurusi transmigrasi secara yuridis hanya dibenarkan jika digunakan untuk pembangunan transmigrasi. Dengan kata lain, lahan HPL-Transmigrasi peruntukannya hanyalah untuk pembangunan transmigrasi, baik untuk lahan pekarangan dan tapak rumah transmigran, lahan fasilitas umum dan fasilitas ekonomi, maupun lahan usaha (LU-I dan atau LU-II).

Prioritas HPL untuk pembangunan transmigrasi, dimaksudkan untuk memberikan kepastian (jaminan) bagi transmigran, yaitu kepastian akan adanya lapangan kerja dan atau ruang usaha (lahan usaha) dan permukiman bagi dirinya setelah berada di daerah baru. Maka dalam Pasal 24 ayat 1, Tanah yang diperoleh Pemerintah untuk penyelenggaraan transmigrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 diberikan dengan hak pengelolaan (HPL) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan demikian maka lahan (tanah) yang akan dijadikan sebagai lokasi pembangunan transmigrasi pertama-tama berstatus sebagai Hak Pengelolaan (HPL), yang dipunyai Kementerian yang mengurusi transmigrasi, dan hak tersebut diperoleh (dikeluarkan) dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Setelah dibangun permukiman dan lahan usaha, maka lahan yang berstatus HPL tersebut, kemudian dibagikan kepada transmigran sebagai Hak Milik, pada setiap bidang (persilnya), baik lahan pekarangan maupun Lahan Usaha.

Selanjutnya, dalam penjelasan ayat 1 dalam UU: Penyediaan tanah bagi penyelenggaraan transmigrasi dapat berasal dari tanah negara dan/atau tanah hak. Apabila berasal dari dari tanah hak, tanah dimaksud harus terlebih dahulu dibebaskan dari segala hak atas tanah dan segala sesuatu yang berada di atasnya, dan selanjutnya diproses hak pengelolaan (HPL)-nya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 35 Hak pengelolaan (HPL) adalah hak yang diberikan oleh Badan Pertanahan Nasional kepada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi atas areal yang telah dicadangkan untuk lokasi permukiman transmigrasi dengan wewenang untuk merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah serta menyerahkan bagian-bagiannya kepada para transmigran atau instansi pemerintah dalam rangka penyelenggaraan transmigrasi. Dalam perkembangannya banyak lokasi HPL yang belum dipergunakan untuk pembangunan permukiman transmigrasi, dan malah dipergunakan oleh pihak lain, dikarenakan kurang pengaturan, pemeliharaan, dan pengamanan terhadap HPL tersebut.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

85 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Ayat 2, Dalam hal tanah yang akan diberikan kepada transmigran dikuasai oleh Badan Usaha, tanah tersebut terlebih dahulu diserahkan kepada Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan ayat 2 dalam UU: Tanah yang dikuasi oleh Badan Usaha yang dialihkan peruntukannya bagi penyelenggaraan transmigrasi terlebih dahulu diserahkan kepada Menteri yang diserahi urusan agraria (BPN) untuk kemudian diproses hak pengelolaan (HPL)-nya kepada Menteri (Transmigrasi).

Dalam PP No. 2 Th 1999 (Tentang Penyelenggaraan Transmigrasi), Pasal 28 menyebutkan bahwa tanah untuk Wilayah Pengembangan Transmigrasi (WPT) dan Lokasi Permukiman Transmigrasi (LPT) berasal dari tanah negara dan atau tanah hak. Pasal 29 , ayat 1, Perolehan tanah untuk Wilayah Pengembangan Transmigrasi dan Lokasi Permukiman Transmigrasi yang berasal dari kawasan hutan, didahului dengan pelepasan kawasan hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal-pasal mengenai penyediaan lahan, sebagaimana dikutip di atas, adalah pasal-pasal yang tidak diubah dalam UU No. 29/2009, sehingga masih tetap berlaku, mengikat, dan tetap harus dijadikan acuan bagi Pemerintah dalam penyediaan lahan transmigrasi.

Masalah pertanahan transmigrasi seringkali muncul di tingkat hilir, antara lain: Pertama, kekurangan lahan (sehingga pemenuhan hak normatif lahan bagi transmigran tidak terlaksana), banyak kasus misalnya transmigran sudah ditempatkan di permukiman baru tetapi kemudian tidak memperoleh lahan usaha (karena lahan usaha dua sekalipun ada tetapi “diambil” pihak lain. Kedua, klaim masyarakat adat setempat terhadap lahan transmigrasi yang telah dibagikan, bahkan ada yang sudah bersertifikat hak milik; dan Ketiga, dan tumpang tindih lahan HPL transmigrasi dengan pihak lain, misalnya kasus perijinan investor.

Dengan demikian maka “struktur persoalan” lahan HPL transmigrasi, pada umumnya berbentuk konflik antara pemerintah dengan pihak lain, khususnya masyarakat setempat. Banyak kasus sengketa atau konflik lahan tersebut yang proses penyelesaiannya cenderung berlarut-larut.

Kasus konflik pertanahan transmigrasi, atau masalah-masalah yang timbul dikemudian hari pada lahan-lahan HPL transmigrasi perlu dilihat dari ranah hulu dan hilir. Banyak hal yang tidak dipertimbangkan pada ranah hulu, yaitu ketika masa pra-pencadangan dan proses perolehan.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

86 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Oleh karena itu, kedepan pemahaman terhadap kultur tanah masyarakat lokal (setempat) perlu ditingkatkan, sebagai basis kegiatan pencadangan dan perolehan, sehingga proses clear and clean benar-benar dapat dicapai. Tindakan preventif seharusnya dilakukan pada tahap hulu, yaitu masa pra-pencadangan (penyediaan), masa pencadangan (sertifikasi), dan proses perolehan (pembebasan hak penguasaan lokal).

Perhatian dan atau tindakan preventif yang perlu dilakukan di ranah hulu antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, Pemahaman Kultur Lokal. Ketika proses pencadangan (penyediaan) dilakukan, semestinya terlebih dahulu dilakukan identifikasi terhadap bentuk-bentuk kultur lokal terhadap penguasaan tanah, mencakup hak-hak tradisional yang berkembang, berbagai upacara simbolis mengenai kesuburan tanah, bentuk penguasaan, cara-cara pemindah-tanganan, kultur pengelolaan dan budidaya, dan simbol-simbol magis-spiritual masyarakat atas tanah yang dikuasainya. Komunitas tradisional, masyarakat adat (lokal) umumnya memiliki tradisi yang mengatur tata kelola penguasaan tanah.

Banyak kajian antropologis yang menyajikan fakta-fakta budaya masyarakat “pedalaman” yang memiliki simbol-simbol tentang kekuatan magis, yang menguasai jagat termasuk lahan dan tanam-tumbuh serta benda-benda material yang berada di atasnya, semua benda diandaikan ada yang menunggu berupa makhluk-makhluk supra-natural, yang jika diganggu keberadaan ekosistemnya maka dipercayai akan mengganggu dan membahayakan kehidupan komunal. Kepercayaan tradisional mengenai kekuatan magis (gaib) itu dilembagakan dalam pranata adat atau tradisi, dan dijadikan pedoman praktis kehidupan sehari-hari.

Atas dasar kenyataan adanya pranata tradisional tersebut, maka pengambilan tanah tradisional untuk kepentingan pembangunan (modernisasi), termasuk transmigrasi, selain harus mendapat restu dan izin secara kolektif, juga harus ditempuh dengan cara-cara pelepasan tradisional berupa upacara-upacara yang dipercayainya dapat menghalau “kekuatan magis” penjaga lahan, sehingga tidak lagi terjadi kekacauan sosial. Pemahaman terhadap kultur lokal tanah tradisional, dan mempertimbangkannya melalui pendekatan kultural dalam pengambil-alihan, merupakan tindakan preventif terjadinya konflik lahan di kemudian hari. Dan hal ini mestinya dilakukan pada saat proses pencadangan atau bahkan proses perolehan (pelepasan hak).

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

87 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Kedua, Komunikasi Budaya dalam Proses Perolehan. Perolehan merupakan proses di mana Pemerintah “mengambil” lahan masyarakat yang secara legal-yuridis telah diberikan melalui pencadangan. Perolehan dilakukan untuk mencapai kondisi sosial dan yuridis clear and clean (2C). Tindakan preventif yang harus dilakukan dalam proses perolehan antara lain adalah komunikasi-budaya secara intensif dengan masyarakat setempat, tentang pelepasan hak-hak tradisional dan bentuk-bentuk kesepakatan mengenai rekognisi dan ganti-untung (kompensasi), baik kompensasi simbolis maupun material-ekonomis, yang sifatnya partisipatif.

Karakteristik masyarakat transmigrasi (sosial, budaya dan ideologi) negara kesatuan perlu dikomunikasikan secara intensif dengan masyarakat setempat. Komunikasi itu dilakukan sebelum dan atau proses penentuan lahan untuk lokasi transmigrasi. Komunikasi itu dapat dilakukan melalui silaturahim tatap-muka (face to face relation), dengan media focus group discussion (FGD-Kelompok Diskusi Terarah) atau hadir dalam upacara ritual peralihan dan komunitas adat.

Konsolidasi tanah kedepan bukan saja dilakukan pada Satuan Permukiman Baru, tetapi pada satuan-satuan permukiman yang dipugar (SP-Pugar) dan satuan permukiman setempat (tempatan). Konsolidasi tanah merupakan merupakan aspek penting dalam pembangunan transmigrasi, yaitu melalui pendekatan partisipasi masyarakat karena menyangkut kepastian hukum bagi transmigran, dari sisi kepemilikan aset produksi, khususnya lahan.

4. Berada dalam Koridor Ekonomi Nusantara

Agenda ketransmigrasian ke depan adalah mengintegrasikan kawasan terpilih ke dalam koridor ekonomi (MP3EI). Saat ini Pemerintah Indonesia tengah menerapkan kebijakan nasional untuk mempercepat pembangunan ekonomi melalui peningkatan investasi di bidang infrastruktur, SDM dan komoditas pada wilayah-wilayah tertentu, yang dikenal sebagai koridor ekonomi. Dokumen perencanaan pembangunan ekonomi tersebut tertuang dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), sebagai bagian integral dari perencanaan pembangunan nasional.

Dalam MP3EI tersebut dirumuskan secara rinci perencanaan 6 (enam) koridor ekonomi, yang diharapkan akan menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi regional. Enam koridor ekonomi yang telah ditetapkan adalah Sumatera Timur, Pantai Utara Jawa, Kalimantan, Sulawesi Barat, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Barat dan Maluku-Papua. Keenam koridor meliputi (1) Sumatra sebagai pusat sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan lumbung energi

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

88 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

nasional. (2) Jawa sebagai pendorong industri dan jasa Nasional. (3) Kalimantan sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil tambang dan lumbung energi nasional. (4) Sulawesi sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan nasional. (5) Bali-Nusa Tenggara sebagai pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional. (6) Papua-Maluku sebagai pengolahan sumber daya alam yang melimpah dan SDM yang sejahtera.

Upaya konkrit untuk mewujudkan integrasi tersebut adalah dengan mendorong perwujudan 16 kawasan transmigrasi (lihat kembali RPJPN bidang transmigrasi 2010-2025) untuk dapat menjadi embrio di antara 24 kota-kota kecil baru pada tahun 202536, sebagaimana ditargetkan dalam MP3EI, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya harus berkoordinasi dengan Kementerian yang menangani urusan perumahan rakyat. Hubungan dan integrasi kedua kepentingan ini secara teoritik perlu diletakkan dalam suatu skenario penataan persebaran kekuatan ekonomi (yang direpresentasikan dengan keberadaan wilayah perkotaan) dan persebaran penduduk di wilayah Nusantara 37. Selengkapnya lihat tabel 5 berikut.

Merujuk pada skenario besar tersebut, pembangunan transmigrasi berbasis kawasan harus diperankan sebagai jalan (perintis) dan hulu ledak yang berisikan muatan secara integratif dengan pembangunan (semua sektor) berskema kewilayahan dalam wujud satu kesatuan sistem pengembangan ekonomi wilayah. Integrasi ekonomi wilayah ini secara berjenjang akan mendorong dan memperkuat keberadaan kota-kota kecil, kota-kota sedang, kota-kota besar hingga munculnya metropolitan di seantero Nusantara. Kemunculan kota-kota kecil ini dengan sendirinya menjadi daya tarik bagi pergerakan keruangan penduduk (people follow jobs) secara lebih seimbang. Diperkirakan pada tahun 2035 dari 300 jutaan penduduk Indonesia pada saat itu, sekitar 160 jutaan penduduk di antaranya akan menghuni wilayah perkotaan (metropolitan dan kota besar) aktual dan potensial di Nusantara, yang 50 jutaan di antaranya bergerak dari Jawa ke luar Jawa.

36 Kemenpera, 2011 37 Saleh, H. Heriawan dan Tirtosudarmo, R. Spatial Dimensions Of Population And Socio-Economic Development And Their Implications To Macro And Sustainable Development (2013)

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

89 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Tabel 4. Skenario Penataan Persebaran Kekuatan Ekonomi Dan Persebaran Penduduk di Wilayah Nusantara

No Region (000 km2) Number of Urban Area: Actual (A) & Potential (P)

potential demand of population to generate

urban (mill) Mega- metropolitan

Metropolitan Big City

1. Sumatera (473,5)

A = 1 P = 2

A = 2 P = 8

A = 30 P = 23

+22

2. Kalimantan (425,3)

A = 0 P = 3

A = 0 P = 3

A = 9 P = 21

+24

3. Sulawesi-Maluku (261,9)

A = 0 P = 3

A = 0 P = 4

A = 14 P = 13

+26 112

4. Papua (537,4)

A = 0 P = 3

A = 0 P = 3

A = 5 P = 26

+30

5. Bali-Nusa Tenggara (73,7)

A = 0 P = 1

A = 1 P = 3

A = 4 P = 4

+10

6. Java (127,0)

A = 3 P = 2

A = 4 P = 2

A = 34 P = 27

-51

Total A = 4 P = 14

A = 7 P = 23

A = 96 P =114

Scenario of Spatial Distribution on Potential Urban Areas by Region and by Potential Demand (2035) Remark: 1. if A > P à the city needs to be consolidated or reclassified or downgraded

2. If P > A à to promote the lower city to be the higher one 3. The number of A includes capital of province, capital of regency, and/or municipality

(autonomous city) 4. The great majority of actual big cities outside Java are still under capacity regarding

spatial class

Kawasan-kawasan transmigrasi yang akan dibangun kedepan, haruslah berada dalam koridor-koridor ekonomi tersebut, dengan demikian maka transmigrasi akan berposisi sebagai penopang pembangunan zona ekonomi wilayah tersebut. Dengan memperhatikan daerah-daerah tujuan transmigrasi, maka koridor ekonomi nusantara yang relevan adalah seluruh koridor, kecuali Jawa.

MP3EI dirancang sedemikian rupa atas dasar prinsip not bussines as usual (bukan bisnis biasa), yaitu bahwa pembangunan koridor tidak semata-mata berbasis anggaran negara, melainkan merupakan “proyek” dari seluruh stakeholder untuk membiayainya.

Filosofi MP3EI adalah bahwa Indonesia membutuhkan percepatan transformasi ekonomi, agar kesejahteraan seluruh masyarakat dapat diwujudkan lebih cepat. Tujuan itulah yang akan ditempuh melalui langkah-langkah percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi. Untuk itu dibutuhkan perubahan pola pikir (mindset) yang didasari oleh semangat “Not Business As Usual”.

Perubahan pola pikir paling mendasar adalah pemahaman bahwa pembangunan ekonomi membutuhkan kolaborasi bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD dan Swasta (dalam semangat Indonesia Incorporated). Oleh karena kemampuan finansial pemerintah melalui

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

90 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

ABPN dan APBD dalam pembiayaan pembangunan sangat terbatas, maka diperlukan investasi swasta. Dengan pemahaman bahwa semakin maju perekonomian suatu negara, semakin kecil proporsi anggaran pemerintah dalam pembangunan ekonomi, maka dinamika ekonomi suatu negara perlu mengedepankan peran dan partisipasi dunia usaha, mencakup BUMN, BUMD, dan swasta domestik dan asing.

Semangat Not Business As Usual inilah yang mendasari pembangunan koridor ekonomi (MP3EI), terutama dalam hal penyediaan infrastruktur. Semangat inilah yang merubah pola pikir masa lalu, bahwa infrastruktur harus dibangun dengan menggunakan anggaran Pemerintah. Dan karena anggaran Pemerintah selalu terbatas, maka pola pikir tersebut kemudian berujung pada kesulitan memenuhi kebutuhan infrastruktur bagi percepatan kemajuan ekonomi. Saat ini, telah didorong pola pikir yang lebih maju dalam penyediaan infrastruktur, yaitu melalui model kerjasama pemerintah dan swasta atau Public-Private Partnership (PPP).

Jadi, keuntungan yang diperoleh dari pengintegrasian pembangunan transmigrasi kedalam korideor MP3EI, adalah bahwa pembangunan koridor tersebut diharapkan akan meningkatkan penyediaan infrastruktur secara besar-besaran guna mendukung konektivitas dan interkonektivitas wilayah. Dengan demikian, “proyek” MP3EI, diharapkan akan menjadi “habitat” yang sangat menguntungkan bagi penyelenggaraan transmigrasi di daerah. Penyediaan infrastruktur yang mendorong konektivitas akan menurunkan biaya transportasi dan logistik sehingga dapat meningkatkan daya saing produk, dan mempercepat gerak ekonomi.

5. Prioritas Sumber Daya Alam Sumber daya alam, terutama lahan, ke depan masih menjadi basis

produksi dan aktivitas ekonomi masyarakat transmigrasi. Karena itu, lahan (tanah) akan tetap menjadi modal (capital) prioritas, baik sebagai permukiman (tapak rumah dan pekarangan), maupun sebagai sarana produksi ( means of production) dan pilihan komoditasnya. Dengan demikian, pola-pola usaha transmigrasi ke depan masih berciri land-base, dengan mengandalkan sumber daya alam sebagai basis produksi (primer).

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

91 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

B. PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN [SDM]

Pembangunan kependudukan mencakup, Pengarahan dan Penataan Penduduk; Kualitas Sumber Daya Transmigran; Pemanfaatan Bonus Demografi; Harmonisasi hubungan lintas-kultural; Penguatan Modal Sosial dan Adaptasi Lingkungan.

1. Pengarahan dan Penataan Penduduk

Agenda pengarahan perpindahan, dan penataan penduduk di kawasan transmigrasi, adalah untuk melakukan intervensi agar perpindahan penduduk tidak berciri kounter-produktif terhadap kecenderungan aglomerasi ke arah Indonesia Bagian Barat.

Pembangunan transmigrasi ke depan bukan saja berbasis kawasan, tetapi juga “Pembangunan Kawasan [Transmigrasi] yang Berbasis Kependudukan”, yang berarti bahwa kawasan-kawasan transmigrasi dibangun dengan mempertimbangkan aspek kependudukan, yaitu situasi dinamik perkembangan penduduk Indonesia sebagai subyek pembangunan.

Sebagai pendekatan pembangunan dengan dua pendekatan (kewilayahan dan kependudukan), maka transmigrasi ke depan akan tetap memposisikan penduduk [orang-orang atau komunitas yang berada di dalam ruang atau kawasan transmigrasi], sebagai subyek yang berperan aktif dalam kegiatan ekonomi untuk mencapai kondisi sejahtera, yaitu sehat fisik-jasmani dan berpengetahuan luas, sehingga mampu beraktivitas ekonomi secara produktif.

Jika aspek pengembangan wilayah [bangwil] dalam pembangunan transmigrasi secara jelas dirancang dan dibangun dalam bentuk kawasan, yaitu suatu ruang wilayah yang hirarkis-terstruktur sehingga menjamin kemajuan secara ekonomi dan spasial, maka aspek kependudukan [bangduk] dalam pembangunan transmigrasi dirancang dan dilaksanakan dalam bentuk pengarahan dan fasilitasi perpindahan, penataan persebaran, peningkatan kapasitas dan kompetensi, serta pemanfaatan bonus demografi secara terencana dan programatik.

Jika penekanan dalam konsep pengembangan wilayah [bangwil] adalah terjadinya konektivitas dan interkonektivitas, baik pada skala mikro maupun skala makro, maka penekanan pada pengembangan kependudukan [ bangduk], adalah pada pada link-and-macth antara pengarahan perpindahan dan penataan persebaran, antara pendidikan, penyehatan, dan peningkatan kapasitas dengan pemekerjaan (employment-creation) dan aktivitas ekonomi [produktifitas].

Paradigma ini juga berarti bahwa pembangunan kawasan transmigrasi ditujukan untuk mendorong dan menarik mobilitas penduduk dari kawasan lain

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

92 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

kedalam kawasan tersebut. Pengembangan wilayah transmigrasi didasarkan atas konsep people follow jobs [ada gula ada semut], sebagai bagian dari upaya pengelolaan penduduk agar menjadi kekuatan pembangunan. Dengan demikian, transmigrasi ke depan akan menjadi bagian dari pembangunan wilayah berbasis kependudukan; yang secara eksplisit mendukung agenda pembangunan pasca 2015.

Paradigma pembangunan wilayah berbasis kependudukan, bagi sektor transmigrasi, dilakukan melalui (1) pembentukan “kawasan transmigrasi”, secara bertahap dari unit spasial terkecil berupa pembangunan SP, SKP, hingga unit terbesar yaitu kawasan dengan tingkat konektivitas dan inter-konektivitas tinggi; (2) Pembentukan kawasan beserta pusat kawasan sebagai kota, dengan infrastruktur pelayanan dasar-basic servises); (3) Pengarahan perpindahan penduduk secara horisontal menuju kawasan-kasawan transmigrasi terbangun, diarahkan agar terjadi second stage migration secara spontan (4) Perpindahan penduduk secara horisontal terjadi secara alamiah (atas daya tarik pasar kerja, atau people follow jobs), dan (5) Perpindahan melalui sponsor pemerintah dilakukan hanya sebagai inisiatif awal ( initial goverment investement) untuk mengantisipasi terjadinya kegagalan proses alamiah (pasar bebas); (6) Investasi di dalam bangwil tersebut diarahkan pada kebijakan nasional; mendukung ketahanan pangan dan suplai energi; (7) Investasi di dalam pembangunan kependudukan diarahkan pada peningkatan kesehatan dan pengetahuan (pendidikan) penduduk, sehingga tercipta aktivitas ekonomi masyarakat secara lebih produktif.

Hahekat transmigrasi pada dasarnya merupakan pembangunan yang secara langsung memberikan perlakuan terhadap penduduk, terutama penduduk yang melakukan perpindahan, baik untuk tujuan kesejahteraan, pemerataan pembangunan daerah, maupun tujuan kesatuan dan persatuan bangsa.

Definisi Transmigrasi dalam Undang-Undang memang perpindahan penduduk..dst, tetapi perpindahan dalam hal ini merupakan konsekuensi logis dari terbangunnya kawasan-kawasan transmigrasi. Dengan demikian, pembangunan transmigrasi kedepan harus mampu menjadi arah dan sekaligus tujuan bagi pergerakan penduduk secara spasial. Jadi, kedepan perpindahan penduduk dalam konteks transmigrasi tidak lagi diterjemahkan sebagai perpindahan antar-pulau, dari pulau-pulau Jambal (Jawa-Bali-Madura-dan Lombok) ke pulau-pulau lain, tetapi lebih pada penataan persebaran penduduk antar kabupaten dalam satu propinsi, dan atau antar propinsi dalam wilayah NKRI.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

93 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Pembangunan kependudukan tidak bisa dipisahkan dengan pembangunan wilayah (spasial), demikian sebaliknya. Bahwa perkembangan terakhir transmigrasi diarahkan pada pembangunan spasial, yaitu pembentukan kawasan-kawasan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Meskipun demikian, core business transmigrasi pada hakekatnya adalah membangun kualitas sumber daya manusia sebagai penopang kemajuan, melalui perpindahan (pemindahan) penduduk38.

Program transmigrasi kedepan harus didasarkan atas pemahaman bahwa, jika tidak dikelola secara baik, jumlah penduduk Indonesia yang begitu besar akan menjadi beban pembangunan. Dalam konteks kondisi kependudukan yang ditandai oleh ketimpangan persebaran, maka salah satu bentuk pengelolaan kependudukan adalah dengan mengarahkan perpindahan (mobilitas, migrasi) penduduk ke wilayah-wilayah lain (di luar Jawa), melalui penyediaan lapangan kerja, dan pembangunan spasial yang menjamin tumbuh-kembangnya wilayah tersebut menjadi pusat-pusat kegiatan ekonomi.

Sebagai upaya untuk menekan kekuatan sentrifugal terjadinya aglomerasi penduduk di wilayah Jawa, Pemerintah Indonesia sesungguhnya telah menetapkan kebijakan pengarahan penyebaran penduduk, dengan tujuan untuk mencapai persebaran penduduk secara seimbang dan yang optimal, yaitu kondisi seimbang antara jumlah penduduk dengan dukung daya alam dan daya tampung lingkungan [UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga] .

Sejalan dengan UU tersebut, transmigrasi diselenggarakan dengan orientasi pada penataan persebaran penduduk yang serasi dan seimbang dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan, peningkatan kualitas SDM, dan perwujudan integrasi masyarakat [sebagaimana juga diamanatkan oleh pasal 5 UU No. 15 tahun1997, jo UU No. 29 Tahun 2009 tentang Ketransmigrasian.

Dengan demikian, upaya-upaya untuk mengarahkan persebaran penduduk, termasuk penataan persebaran penduduk, melalui program transmigrasi, selama ini telah dilakukan agar interaksi antara matra dan fungsi ruang dengan

38 Hingga saat ini, terma-terma transmigrasi masih tetap dikaitkan dengan persoalan kependudukan, misalnya perpindahan penduduk, Transmigran Penduduk Asal (TPA), Transmigran Penduduk Setempat (TPS), Penduduk Sekitar, Penduduk Lokal, dll. Penggunaan istilah-istilah tersebut tidak berarti bahwa pembangunan transmigrasi saat ini bahkan dikaitkan dengan perspektif baru, yaitu pembangunan berwawasan kependudukan, dan pembangunan kependudukan yang berwawasan spasial (keruangan), melalui upaya penataan persebaran, pengarahan mobilitas, dan penempatan (memukimkan) penduduk sesuai daya dukung alam dan daya tampung lingkungan.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

94 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

penduduk di atasnya berada dalam kondisi seimbang, selaras dan serasi. Jika jumlah penduduk terlalu besar dan melebihi daya tampung lingkungan, maka akan terjadi degradasi lingkungan yang berpengaruh pada kualitas kehidupan penduduk, tetapi jika jumlah penduduk sangat kurang, juga akan terjadi inefisiensi pemanfaatan sumber daya dan fasilitas publik.

Transmigrasi menghadapi tantangan besar, karena melawan arus perpindahan penduduk yang terjadi atas daya tarik pasar bebas, dimana penduduk cenderung bermigrasi dari wilayah pinggiran ke pusat (dari luar Jawa ke Jawa). Karena itu, mobilitas penduduk melalui transmigrasi selama ini terjadi melalui intervensi (dukungan, campur tangan, dan subsidi) Pemerintah, baik secara finansial, program, dan fasilitas perpindahannya. Namun demikian, pembangunan transmigrasi, sejak masa pemerintahan sebelum reformasi hingga saat ini, telah berhasil menciptakan simpul-simpul konsentrasi penduduk di luar Jawa, sebagai basis kegiatan ekonomi kerakyatan (lokal) di bidang pertanian. Komunitas dan permukiman yang dibangun melalui program transmigrasi, telah menjadi unit-unit administratif, baik dalam skala lokal (desa), kecamatan, ataupun kabupaten.

2. Kualitas Sumberdaya Manusia

Agenda Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia, dilakukan agar transmigrasi didukung oleh kualitas SDM yang mumpuni, dan unggul baik dari segi pendidikan, dan atau keahlian, dan atau kompetensi sesuai kebutuhan karakteristik keunggulan lokal, sehingga dapat mempercepat perkembangan dan kemajuan kawasan dapat terjadi. Transmigrasi juga perlu memperhitungkan bonus demografi, di dalam seleksi, rekruitmen dan perlakuan diarahkan pada penduduk usia produktif, sehingga tidak terjadi masalah di daerah tujuan. Sebaliknya adanya multiplier effect dari terbangunnya pusat pertumbuhan di kawasan transmigrasi, maka akan lebih mudah mengisi lapangan kerja yang tersedia, kesempatan pendidikan yang lebih baik, peningkatan kesehatan dan kesejahteraan penduduk bertambah.

3. Pemanfaatan Bonus Demografi

Fasilitasi perpindahan penduduk dari daerah asal ke daerah tujuan, atau penataan persebaran penduduk di daerah sekitar kawasan transmigrasi, perlu diprioritaskan pada penduduk yang berusia muda (produktif), dan berpendirikan. Sasaran rekruitmen dan seleksi calon-calon transmigran perlu diperketat untuk mendapatkan sumber daya manusia yang memiliki etos kerja tinggi, berketerampilan, dan berkemampuan kerja produktif, sehingga kawasan transmigrasi yang dibangun dapat berkembang cepat atas dukungan sumber daya masyarakat yang berkompeten.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

95 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Indonesia diprediksi akan mendapat bonus di tahun 2020-2030. Bonus tersebut adalah Bonus Demografi, dimana penduduk dengan umur produktif sangat besar sementara usia muda semakin kecil dan usia lanjut belum banyak. Jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) pada 2020-2030 akan mencapai 70 persen, sedangkan sisanya, 30 persen, adalah penduduk yang tidak produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun ). Dilihat dari jumlahnya, penduduk usia produktif mencapai sekitar 180 juta, sementara non-produktif hanya 60 juta.

Jadi, bonus Demografi adalah bonus yang dinikmati suatu negara sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk produktif (usia 15-64 tahun) dalam evolusi kependudukan yang dialaminya. Sebetulnya sejak saat ini Indonesia sudah memulai mengalami bonus demografi dikarenakan proses transisi demografi yang berkembang sejak beberapa tahun lalu, yang dipercepat dengan keberhasilan program KB menurunkan tingkat fertilitas dan meningkatnya kualitas kesehatan serta suksesnya program-program pembangunan lainnya. Akan tetapi usia produktif ini apabila tidak berkualitas malah akan menjadi beban negara.

Bonus demografi ini tentu akan membawa dampak sosial-ekonomi. Salah satunya adalah menyebabkan angka ketergantungan penduduk, yaitu tingkat penduduk produktif yang menanggung penduduk non produktif (usia tua dan anak-anak) akan sangat rendah, diperkirakan mencapai 44 per 100 penduduk produktif. Hal ini sejalan dengan laporan PBB, yang menyatakan bahwa dibandingkan dengan negara Asia lainnya, angka ketergantungan penduduk Indonesia akan terus turun sampai 2020.

Melimpahnya jumlah penduduk usia kerja akan menguntungkan dari sisi pembangunan sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi. Impasnya adalah meningkatkannya kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Namun berkah ini bisa berbalik menjadi bencana jika bonus ini tidak dipersiapkan kedatangannya. Masalah yang paling nyata adalah ketersedian lapangan pekerjaan. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah negara kita mampu menyediakan lapangan pekerjaan untuk menampung 70 persen penduduk usia kerja di tahun 2020-2030.

Berkaca dari fakta yang ada sekarang, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) Indonesia masih rendah. Dari 182 negara di dunia, Indonesia berada di urutan 111. Sementara di kawasan ASEAN, HDI Indonesia berada di urutan enam dari 10 negara ASEAN. Posisi ini masih di bawah Filipina, Thailand, Malaysia, Brunei dan Singapura. Tingkat

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

96 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

HDI ini terbukti dari tidak kompetitifnya pekerja Indonesia di dunia kerja baik di dalam ataupun luar negeri. Paling tidak, pekerja Indonesia di luar negeri adalah menjadi pembantu. Ujung-ujungnya disiksa dan direndahkan. Untuk tingkat dalam negeri sekali pun, pekerja Indonesia masih kalah dengan pekerja asing. Hal ini ditandai dari banyaknya peluang kerja dan posisi strategis yang malah ditempati tenaga kerja asing.

Permasalah pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) inilah yang harusnya bisa diselesaikan dari sekarang, jauh sebelum bonus demografi datang. Jangan sampai hal yang menjadi berkah justru membawa bencana dan membebani negara atau pemerintah, karena masalah yang mendasar pada kualitas manusia. Kenyataannya pembangunan kependudukan seolah terlupakan dan tidak dijadikan underlined factor. Padahal pengembangan sumber daya manusia yang merupakan investasi jangka panjang yang menjadi senjata utama kemajuan suatu bangsa.

Dalam hal ini pemerintah harus mampu menjadi agent of development dengan cara memperbaiki mutu modal manusia (human capital), mulai dari pendidikan, kesehatan, kemampuan komunikasi, serta penguasaan teknologi. Solusi lainnya bisa dengan memberikan keterampilan kepada tenaga kerja produktif sehingga pekerja tidak hanya bergantung pada ketersediaan lapangan pekerjaan tapi mampu menciptakan lapangan pekerjaan itu sendiri. Selain itu pemerintah juga harus mampu menjaga ketersediaan lapangan pekerjaan, menjaga aset-aset Negara agar tidak banyak dikuasai pihak asing yang pastinya akan merugikan dari sisi peluang kerja.

Bukan hanya pemerintah, masyarakat juga harus menjadi pendukung utama pembangunan mutu manusia dengan cara menyadari pentingnya arti pendidikan, kesehatan dan aspek-aspek yang dapat mengembangkan kualitas manusia itu sendiri. Dengan demikian, bonus demografi ibarat pedang bermata dua. Satu sisi adalah berkah jika berhasil mengambilnya. Satu sisi yang lain adalah bencana seandainya kualitas SDM tidak dipersiapkan. Sebuah bangsa yang kuat harus mempunyai perencanaan, termasuk membangun sumber daya manusia berkualitas yang akan menjadi daya saing sebuah bangsa. Sejatinya, perubahan tidak bisa dilakukan dalam sekejap, maka dari itu pembenahan kualitas manusia harus dimulai dari sekarang.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

97 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

4. Harmonisasi Hubungan Lintas-Kultural

Agenda pengembangan hubungan lintas kultural dilakukan agar penduduk di dalam kawasan transmigrasi mampu hidup secara harmonis, sehingga terhindar dari segala bentuk potensi konflik dan disharmoni, baik antar personal-komunitas, maupun antar etnis-agama dan budaya.

Agenda lain dalam konsep pembangunan kependudukan, adalah penduduk sebagai sumber daya manusia (SDM) dan sekaligus sebagai komunitas basis yang memiliki asal-usul identitas etnis (kultural). Transmigrasi merupakan model pembangunan yang mempertemukan berbagai varian penduduk [suku-bangsa atau etnik] yang berbeda. Kawasan transmigrasi dihuni oleh beragam identitas kultural [etnisitas], yang berinteraksi dalam hubungan lintas kultural. Oleh karena itu, pengembangan komunitas transmigrasi [sebagai bagian dari pembangunan kependudukan] perlu diarahkan pada pembentukan sikap dan perilaku yang co-eksistensial (pro-eksistensial) damai, antar dan lintas-kultural dalam kemajemukan (baik tradisi, keyakinan agama, ideologi, norma-sosial, maupun nilai-nilei etik).

Implikasi dari hubungan lintas-kultural yang beragam adalah kebutuhan tumbuhnya sikap-pandangan dan perilaku toleran, reseptif, relatif, dan pluralistik, maka pembangunan kependudukan dalam konteks Bangwil Transmigrasi, perlu diarahkan pada perlindungan dan pemenuhan hak-hak kultural penduduk, yaitu dengan menjamin hak-hak sosio-kultural, kelestarian [preservasi] identitas budaya asal, dan harmonisasi hubungan lintas-etnis [budaya] antar berbagai varian etnis yang ada. Dengan kata lain, pembangunan kependudukan dalam konteks pengembangan wilayah transmigrasi harus mampu mengelola dan mengontrol situasi yang memungkinkan terjadinya disharmoni tersebut, yang disebabkan oleh stereotipe-etnik (prasangka etnis), etnosentris, religiosentris, dan kecemburuan-kultural, baik antar-transmigran, maupun antara transmigran dengan penduduk setempat.

Salah satu resiko dari hubungan lintas-etnik, lintas-kultural, dan lintas-agama, adalah ketegangan, pertikaian, disharmoni, konflik, disintegrasi, atau berbagai macam ketidaknyamanan sosial-kultural yang muncul bermula dari sikap dan pandangan yang inheren dari setiap komunitas etnik itu sendiri, yaitu pandangan etnosentris dan stereotipe-etnik. Dengan demikian, pembangunan transmigrasi harus mampu mengelola dan mengontrol situasi yang memungkinkan terjadinya disharmoni tersebut, yang disebabkan oleh stereotipe-etnik (prasangka etnis), etnosentris, religiosentris, dan

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

98 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

kecemburuan-kultural, baik antar-transmigran, maupun antara transmigran dengan penduduk setempat.

Problematik hubungan lintas etnis, berupa disharmoni, disintegrasi, dan segala bentuk konflik, dalam pembangunan transmigrasi perlu dihindari, dan integrasi menjadi agenda yang perlu diupayakan secara terus-menerus (berkesinambungan) guna menopang proses pertumbuhan ekonomi, baik pada pada tingkat lokal maupun regional. Maka pengembangan komunitas transmigrasi diarahkan pada terjadinya integrasi sosial-budaya.

5. Penguatan Modal Sosial dan Adaptasi Lingkungan

Dalam rangka peningkatan perekonomian di daerah modal sosial memegang peranan penting karena merupakan sumberdaya yang dapat memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan individu dan masyarakat seperti halnya sumberdaya lain (alam, ekonomi dan sumberdaya manusia). Modal sosial merupakan modal produktif yang terdiri dari rasa percaya ( trust), kemampuan dalam membangun jaringan kerja (network) serta kepatuhan terhadap norma (norm) yang berlaku. Modal tersebut memberi keuntungan untuk mengakses modal lainnya serta memfasilitasi kerjasama intra dan antar kelompok masyarakat dalam tataran inter dan antar kawasan transmigrasi.

“Kapital/modal” dapat dipahami sebagai aset-aset dari berbagai macam hal dan modal sosial dapat diciptakan. Aset adalah segala sesuatu yang dapat mengalirkan manfaat untuk membuat proses produktif di masa mendatang lebih efisien, efektif, inovatif dan dapat diperluas/disebarkan dengan mudah. Modal sosial merupakan akumulasi dari beragam tipe sosial, psikologis, budaya, kognitif, kelembagaan, dan aset-aset yang terkait yang dapat meningkatkan manfaat bersama dari perilaku kerjasama antara penduduk setempat dan pendatang di kawasan transmigrasi, sehingga dapat menguatkan kapital manusia (pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan), kapital fisik (sarana dan prasarana dapat ditingkatkan melalui swadaya masyarakat), kapital sosial (hubungan sosial, melalui penguatan kelembagaan yang mempunyai tingkat kepercayaan, mentaati norma, serta saling interaksi).

Dimensi modal sosial yang telah berkembang perlu dilembagakan agar menjadi rujukan dan penguatan interaksi antar subkultur dalam mencapai keberhasilan usaha secara berkelanjutan. Pertanyaannya apakah modal sosial harus dianggap sebagai bentuk kapital/modal? Apakah ia harus menjadi hasil dari beberapa investasi? Dengan kata lain, apakah ia harus disengaja-terencana ataukah dapat tumbuh dengan alamiah-natural? Apakah modal

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

99 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

sosial harus memiliki beberapa manfaat lintas domain atau hanya dalam aktivitas yang spesifik pada komunitas di kawasan transmigrasi?. Untuk itu pengembangan kawasan transmigrasi dengan penguatan modal sosial perlu ditumbuhkan mulai dari level grass root (komunitas) dengan lintas etnis-budaya, sosial, ekonomi yang ada di kawasan transmigrasi, dibentuk dengan menumbuhkan saling percaya, taat pada norma-norma yang berlaku, mempunyai jaringan kerja dan saling berinteraksi mulai dari level komunitas (mikro) dan level pemerintah desa baik intra dan antar kawasan transmigrasi, sampai ke level meso (pemerintahan di level Kecamatan/Kabupaten) dan level regional (Provinsi), serta level makro (nasional/global).

Adaptasi lingkungan merupakan adaptasi dan keberdayaan masyarakat atau penduduk yang berada di kawasan transmigrasi, baik penduduk lokal dan pendatang dapat memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam yang ada pada wilayah kawasan transmigrasi yang ditempati sebagai usaha dalam keberlanjutan kehidupannya. Oleh karena itu, masyarakat juga adalah kelompok yang paling rentan terhadap perubahan kondisi di lingkungan hidupnya. Adanya pola-pola adaptasi kehidupan masyarakat dengan kebiasaan hidupnya pada daerah asalnya maupun tumbuhnya usaha-usaha baru bagi penduduk pendatang dan lokal yang berada di kawasan transmigrasi yang saling berinteraksi. Sebagai contoh ada dampak dari perubahan iklim , bukan hanya persoalan aspek ekonomi, pangan, kekurangan air bersih, tetapi juga tentang aspek kesehatan, budaya dan spiritualitas, maka penduduk pada komunitas yang baru di kawasan transmigrasi dapat menguasai kondisi alam yang ada.

Dari beragam dampak-tersebut, masyarakat juga memiliki kapasitas beradaptasi dan memitigasi yang luar biasa, seiring dengan perubahan lingkungan yang telah mempengaruhi mata pencaharian mereka di masa lalu, dalam banyak kasus masyarakat dapat mengembangkan strategi menghadapi perubahan lingkungannya, dengan penguasaan teknologi yang dipunyai dari masing-masing penduduk yang berada di kawasan transmigrasi.

C. PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL

Agenda pengembangan ekonomi lokal (perdesaan) dalam transmigrasi mencakup: agribisnis, kemitraan usaha, dan investasi perdesaan. Pengembangan ekonomi lokal dilaksanakan secara sinergis antara kewenangan pemerintah, kekuatan pasar, dan kemampuan masyarakat untuk kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

100 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Prinsip yang harus dikembangkan dalam pengembangan ekonomi lokal adalah pertama, investasi berbasis lahan harus memenuhi skala minimal ekonomi, alokasi lahan untuk masyarakat transmigrasi menjadi prioritas utama dengan memperhatikan reforma agraria yang mengarah pada dimungkinkannya penerapan modernisasi pertanian. Alokasi lahan untuk pihak swasta tidak memunculkan fenomena penguasaan aset tanah yang berkelebihan dengan prinsip berkeadilan dan saling menguntungkan. Kedua, investasi berbasis non lahan dalam mengembangkan ekonomi lokal harus sudah mulai menempatkan bahwa masyarakat transmigrasi sebagai mitra mempunyai hak sebagai pemegang saham atas usaha yang dikembangkan, tidak hanya sebagai tenaga kerja. Ketiga, semua bantuan dan insentif pemerintah dalam bentuk apapun untuk pengembangan ekonomi lokal harus diarahkan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dan daya saing usaha investasi, bukannya menciptakan ketergantungan. Pada tingkat Satuan Permukiman (SP), usaha di bidang primer (budidaya) lahan, perlu diperkuat sedemikian rupa agar dapat mencapai produktivitas tinggi, melalui penerapan inovasi teknologi budidaya secara intensif. Desa Utama sebagai pusat pertumbuhan SKP didorong (dipromosikan) untuk mengembangkan usaha sekunder, dan sementara Pusat Kegiatan Ekonomi (PKE) pada Pusat Pertumbuhan dipromosikan untuk mengembangkan usaha sekunder dan tersier.

Pembagian lahan sebagai pemenuhan hak normatif transmigran terutama untuk pengembangan usaha sektor primer harus diberikan sekaligus sesuai dengan ketentuan minimal dua hektar. Lahan tersebut dimanfaatkan untuk pengembangan komoditas pertanian (dalam arti luas), yang tidak hanya terbatas pada budidaya atau usaha tani, tetapi terintegrasi juga dengan penanganan pasca panennya dalam sistem agribisnis. Selanjutnya secara berjenjang pengembangan usaha sekunder yang mengambil lokus di pusat SKP dilakukan terintegrasi dengan usaha sektor primer di tingkat SP dan usaha sektor sekunder dan tersier yang ada di KPB.

1. Sistem Agribisnis dan Investasi

Memperhatikan konsep pengembangan kawasan transmigrasi (ada gula ada semut), maka pertanian sebagai salah satu faktor penggerak keberhasilan transmigrasi perlu dikembangkan ke arah “Agricultural Industry Oriented “.39

39Heady (1974), yang kemudian lebih umum dikenal sebagai konsep “Agribisnis” (Saragih, 2010).

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

101 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Sistem agribisnis yang perlu dikembangkan di kawasan transmigrasi, sebagai pendukung perkembangan pusat pertumbuhan adalah sebagai berikut. a. Pengembangan diversifikasi usahatani, melalui pengembangan usahatani

dengan komoditas bernilai tinggi dan pengembangan kegiatan off-farm untuk meningkatkan pendapatan dan nilai tambah;

b. Peningkatan nilai tambah produk pertanian peternakan, kehutanan, dan perikanan melalui peningkatan penanganan pasca panen, mutu, pengolahan hasil dan pemasaran dan pengembangan agroindustri di wilayah transmigrasi;

c. Pengembangan dan rehabilitasi infrastruktur pertanian dan pemukiman transmigrasi, melalui perbaikan jaringan irigasi dan jalan usahatani, serta infrastruktur lainnya di wilayah transmigrasi;

d. Peningkatan akses terhadap sumberdaya produktif, terutama permodalan; e. Pengurangan hambatan perdagangan antar wilayah dan perlindungan dari

sistem perdagangan yang tidak adil; f. Peningkatan IPTEK pertanian dan pengembangan riset pertanian melalui

pengembangan dan pemanfaatan teknologi tepat dan spesifik lokasi yang ramah lingkungan; dan

g. Pengembangan lembaga keuangan di wilayah transmigrasi dan sistem pendanaan yang layak bagi usaha pertanian, antara lain melalui pengembangan dan penguatan lembaga keuangan mikro/perdesaan, insentif permodalan dan pengembangan pola-pola pembiayaan yang layak dan sesuai bagi usaha pertanian.

Memperhatikan program-program tersebut di atas, maka akan sangat sulit jika sebuah wilayah transmigrasi yang sifatnya masih baru untuk dapat mengakomodir program-program tersebut, maka pengembangan pertanian berbasis agribisnis sebaiknya dilekatkan/didekatkan pada wilayah transmigrasi yang sudah lebih maju.

Filosofi tersebut telah diadopsi dengan penerapan Kota Terpadu Mandiri (KTM), konsep ini cukup baik dalam rangka ikut mengembangkan penerapan konsep agribisnis di wilayah transmigrasi. KTM menyatakan bahwa Kota Terpadu Mandiri adalah Kawasan Transmigrasi yang pertumbuhannya dirancang menjadi Pusat Pertumbuhan melalui pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan yang mempunyai fungsi sebagai berikut.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

102 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

a. Pusat kegiatan pertanian berupa pengolahan barang pertanian jadi dan setengah jadi serta kegiatan agribisnis;

b. Pusat pelayanan agroindustri khusus dan pemuliaan tanaman unggul; c. Pusat kegiatan pendidikan dan pelatihan di sektor pertanian, industri dan

jasa; d. Pusat perdagangan wilayah yang ditandai dengan adanya pasar-pasar

grosir dan pergudangan komoditas sejenis.

2. SDM yang Kompeten

Pengembangan ekonomi lokal akan berhasil apabila digerakkan oleh SDM yang kompeten yaitu SDM yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai serta memiliki perilaku yang baik. SDM penggerak ekonomi lokal ini meliputi SDM aparat Pemerintah, swasta dan masyarakat yang bergerak di sektor hulu hingga hilir atau dari subsistem sarana dan prasarana hingga subsistem pemasaran, dari non-farm, on-farm, hingga off-farm.

Guna mempersiapkan SDM dengan kompetensi yang memadai, akan dilakukan peningkatan kompetensi aparat penyelenggara transmigrasi, seleksi calon transmigran yang tepat, serta penyelenggaraan pelatihan teknis dan managamen yang efektif bagi pelaku usaha dan masyarakat; serta diseminasi teknologi inovatif yang berkesinambungan.

3. Sistem Insentif

Pembangunan ekonomi lokal di kawasan transmigrasi meliputi aspek perencanaan, monitoring serta evaluasi perlu didukung oleh data dan informasi yang akurat dan terkini serta dukungan peraturan perundang-undangan yang diarahkan agar dapat dihasilkan produk yang berdaya saing dan mensejahterakan pelaku usaha dalam setiap sub sistem agribisnis. Peraturan atau kebijakan pemerintah harus berpihak kepada para pelaku usaha dari setiap sub sistem agribisnis di kawasan transmigrasi, seperti kemudahan berinvestasi, kemudahan perijinan dalam berusaha, kemudahan ekspor, melindungi produk pertanian (secara luas) dalam negeri dari serbuan produk-produk impor, menghilangkan pungutan ilegal, penyediaan fasilitas modal yang mudah dan murah, insentif pajak, biaya transportasi yang murah, jaminan keamanan usaha, infrastruktur, penyediaan fasilitas lembaga keuangan mikro, Bank untuk usaha pertanian dan sebagainya .

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

103 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Peraturan atau kebijakan pemerintah harus berpihak kepada para pelaku usaha dari setiap sub sistem agribisnis dan memberikan perlindungan terhadap produsen maupun konsumen baik pada perdagangan di tingkat lokal, nasional maupun internasional.

4. Mendukung Green Economy

Pembangunan transmigrasi sebagaimana diamanatkan Undang-Undang adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat transmigrasi dan penduduk di sekitarnya. Peningkatan kesejahteraan dalam hal ini bukan diartikan sebagai kesejahteraan dalam jangka pendek tetapi harus memiliki makna dalam jangka panjang hingga ke generasi-generasi berikutnya. Oleh sebab itu, pengembangan ekonomi lokal di kawasan transmigrasi harus mengacu pada prinsip-prinsip green economy yaitu yang meningkatkan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial bagi generasi kini dan mendatang, sekaligus mengurangi risiko lingkungan secara signifikan 40.

Sebagai konsekuensi dari prinsip green economy dalam penyelenggaran transmigrasi, maka pengembangan ekonomi lokal di kawasan transmigrasi harus mengacu pada komoditas unggulan yang sesuai dan memberikan kontribusi bagi produksi O2, mendukung konservasi tanah dan air, serta menggunakan teknologi yang ramah lingkungan dan sesedikit mungkin memproduksi CO2 sejak aktifitas penyiapan lahan, penyiapan sarana hingga subsistem pemasaran.

5. Pengembangan dan Penguatan Kelembagaan

Kelembagaan petani merupakan unsur yang sangat penting untuk mendukung pengembangan agribisnis di kawasan transmigrasi, guna merespon pasar dan persaingan, meningkatkan efisiensi produksi, serta mengefektifkan pelayanan yang menunjang pengembangan usaha agribisnis. Kelembagaan usaha menjadikan petani memiliki kemandirian usaha dan menumbuhkan jiwa kewirausahaan untuk mampu bersaing. Pengembangan kelembagaan di tingkat petani diarahkan untuk membentuk Kelompok Tani, asosiasi produsen atau koperasi usaha sehingga dapat meningkatkan posisi tawar ( bargaining position). Untuk memperkuat aspek kelembagaan maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan diantaranya: penguatan manajemen kelompok melalui

40 Penjelasan bersumber dari laporan Program Lingkungan PBB (UNEP) berjudul Towards a Green Economy: Pathways to Sustainable Development and Poverty Eradication - A Synthesis for Policy Makers.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

104 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

pola partisipatif, fasilitasi kemitraan antara kelompok tani dengan pedagang atau pengusaha, fasilitasi pertemuan pelaku usaha untuk pengaturan logistik dan distribusi, pertemuan pelaku usaha dalam rangka tukar menukar informasi supply dan distribusi, disamping penguatan modal usaha kelompok. Pelaku usaha agribisnis terdiri dari banyak petani yang tersebar di pedesaan dengan skala kecil dan bersifat musiman sehingga menyebabkan adanya fluktuasi produksi dan harga. Oleh karena kecilnya skala usahatani, maka pembentukan kelembagaan produksi yang serasi (compatible) dengan ciri sosial-budaya dan ekonomi petani sangat diperlukan.

D. PENGUATAN KELEMBAGAAN PENYELENGGARA

1. Kerjasama-Sinergis Pemerintah-Provinsi-Kabupaten-Kota

Untuk membangun kawasan berikut pusat-pusat pelayanannya tidak bisa dilaksanakan oleh suatu sektor tertentu tetapi harus melibatkan sektor lain secara terpadu. Dalam hal pembangunan kawasan transmigrasi sebagaimana pembangunan sektor lain yang berbasis kewilayahan harus dipersepsikan menjadi kepentingan bersama. Oleh karena itu perencanaan kawasan dengan skema-skema sektoral tertentu pada berbagai jenjang pemerintahan harus dikoordinasikan oleh Kementerian/Lembaga atau Satker yang berkewenangan dalam perencanaan pembangunan. Konsekuensi logis dari pembangunan yang melibatkan multisektor adalah dalam pembiayaan yang dapat bersumber dari Pemerintah (APBN), Pemerintah Provinsi (APBD), dan Pemerintah Kabupaten/Kota (APBD), serta sangat terbuka kemungkinan dana masyarakat termasuk dunia usaha. Sesuai amanat UU. Nomor 29 Tahun 2009 dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang ketransmigrasian bahwa koordinasi dan pengawasan pelaksanaan pembangunan transmigrasi diatur dengan Peraturan Presiden. Sehubungan dengan itu berbagai macam skema pembangunan berbasis kewilayahan (seperti agropolitan, minapolitan, Kawasan Ekonomi Khusus, dan Kawasan Transmigrasi) sepanjang memenuhi persyaratan perlu dipertimbangkan untuk diintegrasikan satu dengan yang lainnya menjadi klaster-klaster dalam kawasan tertentu (konteks lokal menjadi sangat penting, karena perlu diketahui sejauh mana pemerintah daerah memandang peran program transmigrasi dalam pembangunan daerah).

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

105 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

2. Komitmen Pusat-Daerah

Komitmen Pusat-Daerah dalam pembangunan dan pengembagan kawasan transmigrasi diperlihatkan dengan dipilihnya transmigrasi sebagai sebuah kewenangan pada suatu daerah. Untuk merealisasikan komitmen dirumuskan pembagian urusan kewenangan dalam pembangunan transmigrasi. Pembagian kewenangan ini harus diletakkan sebagai satu kesatuan yang utuh pada masing-masing tingkat pemerintahan (Pemerintah, Pemprov, dan Pemkab/Kota) sehingga dapat menggambarkan rangkaian proses penyelenggaraan transmigrasi dan rancangan kelembagaan, kepegawaian dan ketatalaksanaan. Pembagian urusan ini harus sejalan dengan revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah serta revisi PP nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Kewenangan.

Pembagian peran ini mungkin berbeda dan bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya, bergantung pada isu pembangunan lokal dan aspirasi dan penerimaan (acceptance) pemerintah daerah. Bisa saja program yang dibutuhkan dan diinginkan daerah adalah semacam “Transmigrasi Lokal’. Strategi marketing sangat diperlukan. Untuk itu konteks lokal menjadi sangat penting. Sejauh mana pemerintah daerah memandang peran program transmigrasi dalam pembangunan daerah?

Transmigrasi merupakan pembangunan terpadu antar sektor, artinya transmigrasi tidak akan mencapai tujuannya apabila tidak didukung oleh kegiatan sektor lainnya. Oleh karenanya, keberhasilan pembangunan dan pengembangan kawasan transmigrasi mensyaratkan komitmen pengambil kebijakan dan keterlibatan secara aktif sektor-sektor terkait.

3. Indikator Kinerja Utama

Tersusunnya indikator kinerja utama ketransmigrasian yang berbasis outcome dengan menetapkan: (a) terpenuhinya kualifikasi SDM sesuai dengan daya tampung alam dan daya dukung lingkungan, (b) tumbuh dan berkembangnya kewirausahaan sebagai indikator keberhasilan kehidupan masyarakat transmigrasi, (c) berfungsinya kelembagaan sosial budaya sebagai indikator keberhasilan layanan kesehatan dan pendidikan, (d) bermanfaatnya infrastruktur intra dan antar kawasan.

4. Kebijakan Berbasis Pengetahuan (knowledge based policy)

Transmigrasi ke depan menghadapi tantangan dan kendala yang semakin kompleks dengan stakeholder yang semakin kritis. Dalam lingkungan ilmu

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

106 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

pengetahuan juga sedang terjadi pergeseran paradigma. Dalam situasi ini, dukungan teori, riset, dan data semakin diperlukan dalam perumusan kebijakan. Oleh sebab itu, kebijakan transmigrasi ke depan disusun berbasis pengetahuan yang diperoleh dari riset dengan menggunakan teori, data dan informasi terkini.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

107 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

6 KONSEP ARAH KEBIJAKAN TRANSMIGRASI

2015-2019

Dari berbagai pemikiran yang telah dihimpun, maka diperoleh suatu intisari (khulasoh) bahwa transmigrasi ke depan [2015-2019] perlu melakukan penyesuaian strategis, dengan mengubah cara-pandang (paradigma) dan strategi kebijakan. Karena itu, paradigma yang dapat diajukan adalah: “pembangunan transmigrasi berbasis

kawasan, dan pembangunan kawasan berbasis kependudukan dan pengembangan ekonomi lokal”.

Paradigma ini diharapkan dapat mewujudkan transmigrasi sebagai pendekatan pembangunan yang lebih komprehensif baik secara spasial, sosial, dan ekonomi.

Untuk menginplementasikan konsep transmigrasi dengan paradigma baru tersebut, dalam periode 2015-2019, perlu disusun arah-kebijakan yang relevan dan akurat.

Salah satu masalah yang akan dihadapi pada ranah pelaksanaan, adalah hubungan kelembagaan birokratik, baik hubungan vertikal Pusat-Daerah, maupun hubungan

horisontal lintas-Kementerian. Oleh karena itu, langkah yang perlu dilakukan adalah: Pertama, peningkatan pemahaman konseptual transmigrasi Aparat Penyelenggara

Pusat dan Daerah secara menyeluruh melalui diseminasi dan dialog-dialog kebijakan transmigrasi. Kedua, meningkatkan negosiasi-negosiasi Pusat-Daerah, untuk

mencapai kesepahaman dan kerjasama yang saling bertanggungjawab, baik secara teknis maupun finansial, dalam implementasi program transmigrasi.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

108 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Transmigrasi secara kontemporer perlu diarahkan pada upaya untuk mendukung kebijakan politik pembangunan nasional, khususnya di bidang-bidang strategis; (1) Mendukung ketahanan pangan nasional, melalui upaya-paya peningkatan produktivitas pertanian pangan (padi, kedelai, jagung, gula, dan daging (sapi). Upaya ini dilakukan melalui intensifikasi budidaya, penerapan teknologi pertanian moderen, penyediaan sarana dan prasarana yang memadai, serta ekstensifikasi lahan-lahan pertanian, dengan tetap memperhatikan kesejahteraan petani; (2) Mendukung upaya pencarian sumber-sumber energi alternatif, sekaligus merekayasa dan mengembangkannya teknologi energi alternatif. Upaya ini dilakukan melalui berbagai uji-coba, riset, dan pengembangan potensi-potensi lokal di kawasan transmigrasi; meliputi biomas, hidro-power, dan tenaga angin.

Transmigrasi kedepan secara permanen (jangka panjang) akan tetap diarahkan pada (1) Upaya pemantapan persatuan bangsa dan kesatuan wilayah negara, melalui terjadinya interdependensi ekonomi yang kuat antar satu daerah dengan daerah lainnya, serta interdependensi sosial-budaya yang harmonis antar-etnis. (2) Upaya mendukung kualitas sumber daya manusia guna meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Indekx (HDI) khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan (masyarakat). (3) Upaya mendukung kelestarian lingkungan, yang secara embedded terintegrasi pada seluruh aktivitas pembangunan. Kebijakan ini ditekankan sebagai bagian dari komitmen global tentang green economy dan pencegahan pemanasan global (efek rumah kaca).

Konsep Kebijakan transmigrasi 2015-2019, diturunkan dari mimpi besar yang belum seluruhnya dapat diwujudkan yaitu masyarakat transmigrasi yang produktif dan sejahtera dalam kawasan transmigrasi yang berdaya saing. Guna mewujudkan mimpi tersebut dicapai melalui 2 (dua) pemikiran (konseptual) besar, yaitu: Pertama, Konsep tentang Bentuk Konstruksi dan Arsitektur Transmigrasi dalam perspektif (paradigma) baru; Kedua, Konsep tentang Manajerial Penyelenggaraan Transmigrasi dalam perspektif kelembagaan Pemerintahan Otonomi (Desentralistik). Arah dan langkah yang perlu diambil untuk mewujudkan mimpi tersebut berdasarkan dua konsep pemikiran diatas adalah sebagai berikut: PARADIGMA TRANSMIGRASI KE DEPAN: “Pembangunan Transmigrasi Berbasis Kawasan”, dan Pembangunan Kawasan Transmigrasi Berbasis Kependudukan, serta Pengembangan Ekonomi Lokal”.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

109 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

ARAH DAN LANGKAH KEDEPAN 1. Membangunan kawasan transmigrasi yang inklusif dan responsive terhadap

lingkungan strategi; 2. Membangun dan mengembangkan wilayah secara hirarkis sebagai sarana

untuk mencapai kesejahteraan masyarakat; 3. Menempatkan posisinya sebagai wahana bagi seluruh sektor pembangunan

untuk berperan aktif dalam mendukung percepatan pembangunan ekonomi regional;

4. Membangun wilayah berbasis kependudukan dengan penekanan pada keterkaitan dan kesepadanan ( link and match) antara pendidikan dan pemekerjaan (employment), dan antara kesehatan dan aktivitas ekonomi [produktif];

5. Mengembangkan wilayah atas dasar ada gula ada semut [people follow jobs], dan mengelola penduduk sebagai kekuatan pembangunan.

6. Mengembangkan ekonomi lokal dengan sistem agribisnis dan agroindustri yang mengarah pada fungsi/ciri perkotaan baru melalui penguatan kapital sosial dan adaptasi lingkungan, serta memperhatikan green economy dan kelestarian lingkungan;

7. Mengembangkan komunitas transmigrasi [sebagai bagian dari pembangunan kualitas nirfisik penduduk] yang diarahkan untuk membentuk sikap dan perilaku yang co-eksistensial (pro-eksistensial) damai, antar dan lintas-kultural dalam kemajemukan (baik tradisi, keyakinan agama, ideologi, norma-sosial, maupun nilai-nilai etik);

A. TRANSMIGRASI DALAM PARADIGMA BARU

Transmigrasi dalam paradigma baru, yaitu “pembangunan transmigrasi berbasis kawasan, dan pembangunan kawasan berbasis kependudukan:”, diterjemahkan sebagai transmigrasi membangun Ruang (wilayah), Orang (Sumberdaya Manusia dan Masyarakat), dan Uang (ekonomi, kapital, teknologi, dan kegiatan bisnis), dalam rangka pencapaian kesejahteraan dan kemajuan.

Untuk memayungi implementasi paradigma baru ketransmigrasian dengan tiga dimensi ruang, orang dan uang, maka peran modal sosial menjadi sangat strategis untuk mengakselerasikan bergeraknya tiga dimensi tersebut secara harmonis.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

110 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Dalam konsep ini, arah kebijakan yang diperlukan mencakup (1) Pemilihan dan [Penentuan] Ruang (Wilayah; (2) Penyiapan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (SDM); dan (3) Pengembangan Ekonomi Lokal.

1. Pemilihan Ruang-Wilayah

a. Dasar Pertimbangan (Rationale):

Pemilihan dan penentuan ruang merupakan kegiatan ranah hulu yang sangat menentukan (determinan) dalam pencapaian kesuksesan penyelenggaraan transmigrasi. Prinsip pengembangan kawasan transmigrasi adalah penciptaan “gula” yang mampu menarik berbagai macam “semut”.

Hal ini berarti bahwa perwujudan kawasan perkotaan baru (KPB) di setiap kawasan transmigrasi (sebagaimana diamanatkan UU No. 29/2009) diharapkan akan dapat menjadi alternatif untuk mengalihkan arus urbanisasi dari kota-kota metropolitan yang ada, ke kawasan perdesaan [transmigrasi] yang telah dilengkapi dengan fungsi-fungsi perkotaan (kota bentukan). Dengan demikian maka akan terjadi integrasi desa kota sebagai satu kesatuan fungsi (ruang kehidupan).

Dengan dasar konsep penciptaan “gula”, maka perlu ditekankan bahwa kedepan kawasan-kawasan transmigrasi (berikut kawasan perkotaan baru) harus dibangun dengan basis komoditas unggulan, harus menjadi sebuah klaster atau simpul-simpul kegiatan ekonomi, yang mempunyai inter-konektivitas dengan kawasan–kawasan lainnya. Konektivitas antarkawasan perlu ditekankan, karena hal itu merupakan penggerak ekonomi wilayah yang secara inklusif melibatkan masyarakat transmigrasi sebagai objek, subjek dan penerima manfaat dari kemitraan bisnis yang dikembangkan bersama dunia usaha. Jika hal ini dapat terwujud maka kawasan-kawasan transmigrasi akan menjadi kontributor penting bagi pembangunan nasional, baik di bidang pangan, energi, perluasan kesempatan kerja, maupun di bidang penghapusan kemiskinan dan ketimpangan wilayah

Pengembangan wilayah [kawasan transmigrasi], yang muaranya untuk menghasilkan daya saing daerah, pada dasarnya tidak cukup hanya mengandalkan keberadaan [ketersediaan] SDA ( resources endowment), kapasitas SDM, kepemimpinan dan elit daerah, tetapi juga faktor letak lokasi kawasan transmigrasi yang dipilih. Karena itu, pemilihan lokasi menjadi sangat penting.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

111 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Dalam perspektif sistem ketata-keruangan, kawasan transmigrasi dapat diskenariokan sebagai alat bagi semua pemangku kepentingan untuk melakukan transformasi struktur ekonomi dari sektor primer ke sekunder dan tersier secara sistematis. Transformasi ini bergerak dari pengembangan usaha yang berbasis SDA (pertanian) dan sekaligus dilengkapi dengan upaya peningkatan kapasitas SDM untuk dapat menjadi pelaku yang handal di sektor selanjutnya. Skenario tersebut dapat beranjak dengan: (1) pengembangan permukiman transmigrasi yang ada sepanjang memenuhi persyaratan minimal suatu kawasan, (2) pengembangan kawasan transmigrasi sebagai PKSN, PKW dan PKL sesuai dengan potensi wilayah masing-masing, (3) mengembangkan kawasan transmigrasi sebagai hinterland dari pusat-pusat kegiatan yang ada (PKN, PKSN, PKW dan PKLP). Mengingat pembangunan kawasan transmigrasi berangkat dari pembangunan kawasan perdesaan maka rencana kawasan transmigrasi harus merujuk pada Rencana Tata Ruang Perdesaan. Namun rencana tata ruang perdesaan di luar Jawa belum ada yang tersusun, maka rencana kawasan transmigrasi yang ditetapkan dengan Perda sebaliknya dapat menjadi masukan untuk penyusunan rencana tata ruang kawasan perdesaan. Terkait dengan pembangunan ekonomi regional (koridor ekonomi), pembangunan transmigrasi yang berbasis kawasan harus dipersepsikan bukan sebagai lokomotif pembangunan daerah, tetapi lebih sebagai rel bagi semua gerbong pembangunan lintas sektor yang diletakkan di sepanjang koridor ekonomi. Pembangunan transmigrasi yang berbasis kawasan juga mempunyai mandat untuk melaksanakan kebijakan reforma agraria dalam wujud pendistribusian aset produksi (termasuk konsolidasi tanah) kepada rakyat, berikut hak milik atas tanah tersebut. Pendistrbusian aset ini juga sebagai wujud dari pemberian akses modal dan teknologi kepada masyarakat.

b. Arah Kebijakan 1) Pemilihan atau penentuan calon lokasi [lokus kawasan] diletakkan pada

koridor ekonomi dengan prioritas pada daerah perbatasan, daerah tertinggal, strategis (nasional, propinsi dan atau kabupaten).

2) Perencanaan kawasan yang [harus] didasarkan atas prinsip-prinsip pengembangan spasial; struktur hirarkis, nodal, dan berkonektivitas tinggi, sehingga menjamin terjadinya perubahan (perkembangan) kearah

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

112 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

pusat-pusat pertumbuhan yang berdaya saing, menjadi daya tarik (“gula”) bagi arus migrasi (mobilitas) penduduk sekunder.

3) Perolehan sumber daya alam (lahan), yang dilakukan secara demokratis, dengan melibatkan secara intensif para stakeholder daerah, sehingga menjamin diperolehnya lahan dengan kondisi clear-clean, baik secara, legal, sosial, maupun kultural.

4) Penyelesaian aspek hukum atas aset-aset masyarakat, yang dilakukan melalui upaya konsolidasi tanah ( land consolidation) sebagai bagian dari upaya pemberian kepastian hukum (kepemilikan aset) bagi masyarakat di kawasan transmigrasi.

Kebijakan tersebut akan [dan perlu] ditekankan pada pembangunan kawasan transmigrasi baru pada periode 2015-2019, dengan mengacu pada RPJP (2010-2025) bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian (Permen No 12/2012), yaitu: “membangun dan mengembangkan 25 kawasan transmigrasi baru berupa WPT/LPT yang diprioritaskan di Kabupaten daerah tertinggal dan perbatasan”.

5) Pembangunan tahap dua (second stage development) atau perlakuan

ulang terhadap kawasan-kawasan terbangun sejak tahun 2007, hingga 2014, yang diarahkan pada penyediaan dan atau peningkatan kualitas infrastruktur yang mendukung konektivitas inter dan antar kawasan, sehingga menjamin dan mendukung kelancaran [perputaran] arus barang, jasa, modal, dan berbagai aktivitas ekonomi masyarakat.

Kebijakan ini perlu ditekankan pada pembangunan kawasan-kawasan transmigrasi yang telah dibangun sejak tahun 2007 hingga 2014, yang ditengarai masih menghadapi berbagai kendala dalam proses perkembangannya menuju kawasan pusat pertumbuhan. Kebijakan ini dikeluarkan sebagai sebagai pelaksanaan RPJP (2010-2025) Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian, yaitu sebagai berikut. Terdapat 44 Kawasan Transmigrasi dengan skema KTM sebagai hasil pembangunan periode 2007-2010. Dari 44 kawasan yang ada, 28 diantaranya akan dipacu untuk menjadi kawasan perdesaan yang memiliki pelayanan dasar (basic services) secara lengkap pada periode 2015-2019. Sisanya 16 kawasan akan dipromosikan menjadi klaster-klaster sebagai bagian dari 25 kota-kota kecil baru yang diproyeksikan secara nasional pada tahun 2025.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

113 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

2. Penyiapan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia

a. Dasar Pertimbangan

Pembangunan transmigrasi kedepan harus mampu menciptakan kesempatan kerja dan peluang berusaha melalui aktivitas mobilitas penduduk baik secara horizontal (spasial) maupun vertikal (pemberdayaan masyarakat), sehingga dapat menaikkan bonus demografi daerah yang bersangkutan. Hal ini dapat menjadi komponen penentu dalam perencanaan tenaga kerja daerah.

Di daerah-daerah padat penduduk, transmigrasi dilakukan dengan mendorong dan mengarahkan mobilitas penduduk ke arah kawasan-kawasan yang dibangun. Sedangkan di daerah-daerah di mana dibangun kawasan transmigrasi, dilakukan penataan persebaran penduduk, yang dilakukan dengan menarik penduduk setempat (lokal) yang berada dalam permukiman-permukiman terpencar dan terpencil ke dalam kawasan-kawasan yang dibangun, sehingga terjadi konsentrasi sebagai persyaratan demografis terbentuknya pusat pertumbuhan. Baik pengarahan perpindahan maupun penataan persebaran penduduk ditujukan pada kelompok usia produktif, sehingga menjadi penduduk yang berpindah mampu menjadi penggerak di kawasan baru, dan tidak menjadi beban bagi daerah yang ditempatinya.

Salah satu tujuan transmigrasi adalah kesejahteraan masyarakat transmigran dan penduduk sekitar. Tujuan kesejahteraan dicapai salah satunya melalui pendekatan ekonomi, melalui pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumberdaya alam, penciptaan kesempatan kerja, dan pembentukan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi wilayah.

Pembangunan ekonomi melalui pemanfaatan sumber daya alam memerlukan dukungan sumber daya manusia (SDM) yang handal dan profesional. Dalam konteks ini maka aspek pendidikan memiliki peran penting dalam peningkatan kualitas dan kapasitas SDM. Aspek pendidikan dalam pembangunan transmigrasi, juga sangat penting untuk pencapaian kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat transmigran. Kegagalan dalam mengembangkan aspek pendidikan masyarakat transmigran akan melahirkan problematik sosial berupa kemiskinan dan keterbelakangan.

Dewasa ini, paradigma pembangunan yang merujuk pada knowledge-based economy semakin dominan. Paradigma ini menekankan tiga hal: Pertama,

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

114 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

kemajuan ekonomi yang bertumpu pada dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, hubungan kausalitas antara pendidikan dan kemajuan ekonomi menjadi semakin kuat. Ketiga, pendidikan menjadi penggerak utama dinamika perkembangan ekonomi, yang mendorong proses transformasi struktural berjangka panjang.

Selain pendidikan, adalah aspek kesehatan, yang juga sangat penting sebagai indikator kualitas sumber daya manusia (SDM). Kesehatan merupakan bagian dari indikator kesejahteraan masyarakat. Karena itu, untuk mencapai kesejahteraan, kesehatan masyarakat perlu menjadi prioritas. Dengan menerapkan prinsip-prinsip hidup sehat, akan tercapai kesehatan masyarakat, dan melahirkan generasi sehat yang mampu memberikan kontribusi optimal bagi membangun. Individu dan masyarakat yang sehat secara fisik dan batin, akan menjadi kekuatan pendorong kemajuan. Kesehatan mencakup spektrum yang luas; dari kesehatan keluarga, kesehatan reproduksi, hingga kesehatan masyarakat, dari kesehatan fisik hingga kesehatan mental-spiritual.

Kesehatan keluarga merupakan bagian dari kesehatan masyarakat yang perlu diperhatikan, mengingat keluarga adalah bagain terkecil dari masyarakat. Kebutuhan akan terciptanya keluarga yang sehat, perlu menjadi perhatian masyarakat dan karena itu masyarakat perlu memiliki pengetahuan dalam melindungi kesehatan keluarga.

Kesehatan reproduksi sangat penting untuk diberikan kepada para wanita, terutama para ibu dan remaja yang umumnya sangat rentan. Pemahaman tentang kesehatan reproduksi perlu dikuasai masyarakat, mengingat masih banyak wanita yang belum memahami pentingnya merawat kesehatan ini. Masyarakat di kawasan transmigrasi ditengarai masih sangat terbatas dalam menguasai pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi ini. Hal ini disebabkan oleh kurangnya media yang memberikan informasi secara menyeluruh dan mendalam tentang kesehatan reproduksi.

Dengan begitu kompleks dan luasnya aspek kesehatan masyarakat, khususnya masyarakat di kawasan transmigrasi, maka dipelukan upaya untuk memahaminya secara mendalam dan menyeluruh, agar dapat diketahui kebutuhan program dan dukungan kegiatan pembangunan yang diperlukan guna peningkatan kesehatan masyarakat di kawasan transmigrasi.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

115 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

b. Arah Kebijakan:

1) Penentuan calon transmigran dari daerah sekitar kawasan, yang didasarkan atas kriteria tertentu (yang perlu segera disusun), yaitu kriteria pemenuhan standar kompetensi antara lain; berusia produktif, berpendidikan minimal SMA/SLTA, berketerampilan sesuai pola usaha yang dikembangkan.

2) Perencanaan Sumberdaya Kawasan yang [harus] dilaksanakan pada T-2 dengan didasarkan atas prinsip-prinsip; penataan persebaran penduduk di dalam dan di luar kawasan, kesesuaian antara daya dukung dan tampung, kesempatan kerja, pola usaha, dan kompetensi yang dibutuhkan, dan berorientasi pada pemanfaatan bonus demografi.

3) Model-model perlakuan masyarakat (pelatihan-training) peningkatan kualitas dan kapasitas (pasca penempatan di lingkungan baru) di kawasan transmigrasi, yang didisain sedemikian rupa sehingga dapat mencapai transformasi mental dan personalitas, mencakup; sikap dan perilaku reseptif, terampil, berwawasan pluralis-multikulturalis, peningkatan hasrat need-for achievement (N-Ach), dan toleran, sehingga menjamin pencapaian transmigran unggul.

4) Model-model pendampingan untuk peningkatan kapasitas masyarakat menjadi SDM yang berdaya saing dan kompetitif, dalam pengembangan kawasan transmigrasi.

Kebijakan tersebut akan [perlu] ditekankan pada pembangunan kawasan baru 2015-2019, sebagaimana telah ditetapkan dalam RPJP (2010-2025) bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian, yaitu: “membangun dan mengembangkan 25 kawasan transmigrasi baru berupa WPT/LPT yang diprioritaskan di Kabupaten daerah tertinggal dan perbatasan”.

Terhadap kawasan-kawasan telah dibangun sejak tahun 2007 hingga 2014, pengembangan sumber daya manusia dan masyarakat diarahkan pada:

• Peningkatan kapasitas kelembagaan ( institutional capacity building)

bagi kelompok-kelompok yang telah ada melalui fasilitasi [pemberian bantuan] sarana-sarana aktivitas organisasional yang diperlukan;

• Penyelenggaraan berbagai pelatihan dengan materi-materi khusus bagi agen-agen (pelaku, pegiat) di kawasan yang ada;

• Peningkatan aktivitas pelayanan umum, khusus di bidang pendidikan dan kesehatan, baik di dalam hal sarana fisik maupun pendampingan sosial.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

116 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

3. Pengembangan Ekonomi Lokal

a. Dasar Pertimbangan:

Baik kawasan-kawasan transmigrasi yang akan dibangun, maupun yang saat ini telah terbangun, pada kurun waktu 2015-2019, pola usaha pokok yang berbasis tanaman pangan, harus dibangun dan atau dikembangkan dengan menerapkan sistem agrobisnis-agroindustri dari hulu ke hilir. Tanaman pangan yang diusahakan harus menjawab tantangan isu global (liberalisasi perdagangan) serta perubahan iklim (pemanasan global) dikaitkan dengan ketahanan pangan.

Untuk mewujudkan kawasan transmigrasi sebagai lokus pengembangan agribisnis, maka produk yang dihasilkan tidak hanya sebatas pada produk primer, melainkan juga produk yang mempunyai nilai tambah, dan sepanjang memungkinkan terkait dengan produk yang dibutuhkan konsumen akhir. Oleh karena itu, semua prasyarat harus terpenuhi, yaitu infrastruktur, SDM, insentif fiskal dan non fiskal, modal, dan teknologi.

Dalam pengembangan usaha, perencanaannya harus memperhatikan: (a) pertumbuhan dan sebaran penduduk; (b) kebutuhan konsumsi pangan dan gizi; (c) daya dukung sumber daya alam, teknologi, dan kelestarian lingkungan; (d) pengembangan sumber daya manusia dalam Penyelenggaraan Pangan; (e) kebutuhan sarana dan prasarana penyelenggaraan pangan; (f) potensi pangan dan budaya lokal; (g) rencana tata ruang wilayah; dan (h) rencana pembangunan nasional dan daerah; (h) pengurangan kemiskinan. Untuk menjamin keberlanjutan pengembangan usaha petani dan masyarakat transmigrasi tersebut harus juga diperhatikan antara kepentingan konsumen dan petani sebagai produsen.

Mengingat selama ini usaha khusus usaha tanaman pangan yang dilakukan oleh petani tidak kompetitif dengan komoditas lainnya maka perlu adanya intervensi dari pemerintah dalam bentuk infrastruktur, modal dan teknologi, serta jaminan pemasaran. Untuk meringankan beban bantuan pemerintah dalam pengembangan usaha tanaman pangan dimungkinkan keterlibatan badan usaha melakukan kemitraan dengan petani, serta tetap menempatkan Bulog sebagai penjamin dan penyeimbang pasar yang semakin kompetitif.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

117 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

b. Arah Kebijakan:

1) Perencanaan kegiatan ekonomi (kawasan), yang sejak dini perlu diarahkan pada pemilihan komoditas unggulan yang tepat, bentuk kelembagaan ekonomi relevan, sumber-sumber akses permodalan daerah, investor yang potensial, dan konsep kerjasama sektor public dan sektor private yang kuat, dan saling menguntungkan.

2) Pengembangan ekonomi lokal yang terkait erat dengan koridor ekonomi, dan penekanan pada formula agribisnis sesuai dengan potensi kawasan.

3) Penggalakkan investasi swasta yang diprioritaskan pada investor-investor nasional setempat, baik skala besar maupun menengah, dengan skema kerjasama bisnis transmigran-dunia usaha yang berkeadilan dan saling menguntungkan;

4) Pengembangan sistem insentif bidang perpajakan (tax incentive) bagi investasi di kawasan transmigrasi;

5) Advokasi pemanfaatan zona-zona ekonomi kawasan, yang dilakukan secara intensif bagi pengembangan (penanaman investasi) dunia usaha, sehingga diperoleh investor-investor yang handal dan terpercaya.

6) Pembangunan kawasan transmigrasi baru, yang dilaksanakan dengan mempertimbangkan pola usaha transmigrasi berbasis sumber daya alam (lahan), dengan orientasi pangan atau mendukung ketahanan pangan dalam spektrum luas (padi, kedelai, gula, jagung dan daging sapi).

7) Menyeimbangkan perlindungan petani dan pelaku bisnis dalam mendorong pengembangan ekonomi lokal melalui sistem agribisnis di kawasan transmigrasi.

8) Penguatan kapital sosial di level masyarakat untuk pengembangan masyarakat yang berorientasi pada usaha yang kompetitif dan berdaya saing, serta mampu beradaptasi lingkungan.

Terhadap kawasan-kawasan yang telah dibangun sejak tahun 2007 hingga 2014, pengembangan ekonomi lokal diarahkan pada: 1) Peningkatan fungsi-fungsi pelayanan usaha ekonomi, meliputi akses

permodalan, akses pasar lokal dan regional, peningkatan sarana-prasarana perhubungan antar dan inter, satuan dan pusat permukiman;

2) Promosi (iklanisasi), advokasi, dan penyebarluasan informasi peluang investasi dan pengembangan usaha dengan konsep kemitraan bisnis yang berkeadilan dan saling menguntungkan di kawasan transmigrasi;

3) Peningkatan .(penyediaan) infrastruktur pelayanan jasa-jasa dan penyediaan zona-zona (lapak) bagi usaha kecil menengah (UKM).

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

118 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

4) Penumbuhan wirausahawan dengan basis pola usaha yang dikembangkan baik sektor primer, skunder dan tertier pada kawasan transmigrasi

5) Perlindungan dan keberpihakan pada petani dalam proses produksi melalui sistem agribisnis dan agroindustri dengan sistem insentif yang dapat mensejahterakan masyarakat dan petani.

6) Penumbuhan kapital sosial (tumbuhnya saling kepercayaan (trust), saling berinteraksi, taat pada norma yang berkembang, serta mempunyai jaringan kerja (network) diantara masyarakat yang berada di kawasan transmigrasi melalui penguatan kelembagaan yang tumbuh di masyarakat.

Pola usaha transmigrasi yang telah dipilih dan dibangun diperkuat, dan ditingkatkan pada tahap berikutnya, yaitu marketable surplus, dengan penerapan sistem agribisnis, dan dengan melibatkan peran swasta melalui kemitraan usaha.

B. TRANSMIGRASI DALAM PEMERINTAHAN DESENTRALISTIK

Domain manajerial pembangunan transamigrasi mencakup kerja organisasional (birokratis-pemerintahan) menyangkut hubungan kelembagaan Pusat-Daerah dan Pusat-Pusat (lintas-Sektoral-Kementerian), dan Daerah-Daerah (Lintas-Dinas) dengan tetap mengacu pada pencapaian Indikator Kinerja Utama masing-masing.

1. Kerjasama Pusat-Daerah

a. Dasar Pertimbangan:

Hubungan Pusat-Daerah dalam implementasi transmigrasi sejak dan selama masa reformasi ditandai dengan pola hubungan yang asimetrik, dengan ketergantungan begitu besar daerah terhadap Pusat, sehingga beban pusat menjadi semakin berat. Sementara itu, karakter daerah sendiri sangat beragam dari sisi potensinya. Ada kemampuan dan kompetensi daerah, tetapi tidak ada kompetensi untuk melakukannya, sementara ada kemauan tetapi tidak memiliki kemampuan, baik kemampuan sumber dana maupun sunber daya aparat pelaksananya.

Mensikapi kondisi keberagaman daerah, maka perlu dilakukan assesment terhadap daerah-daerah. Selama ini, data base tentang kondisi dan tingkat kemampuan masing-masing daerah (Provinsi dan atau Kabupaten/Kota) masih belum dimiliki pusat secara akurat. Tidak ada perlakuan Pusat

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

119 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

terhadap Daerah melalui negosiasi-negosiasi atas dasar kemampuan daerah, terutama dalam hal memberikan persetujuan pengajuan program dan anggaran pembangunan transmigrasi. Pemberian pagu daerah, selama ini, bukan berdasarkan ketersediaan anggaran daerah, melainkan masih atas dasar pertimbangan teknis, misalnya ketersediaan lahan yang ada di daerah tersebut. Jadi, perlu interpretasi ulang atas klausul kewenangan pilihan.

Saat ini tengah diajukan perubahan UU Pemerintah Daerah, menyangkut kewenangan dan pembagian urusan dalam pembangunan transmigrasi. Perubahan yang diusulkan adalah bahwa pembangunan transmigrasi akan kembali menjadi kewenangan pusat. Hal ini dilakukan atas dasar pengalaman selama satu dasawarsa (dekade) kebelakang, di mana penyelenggaraan transmigrasi mengalami karut-marut di tangan pemerintah kabupaten kota.

Atas pertimbangan itulah maka saat ini tengah diajukan perubahan manajemen pembangunan transmigrasi, melalui revisi UU Otonomi Daerah. Perubahan fungsi-fungsi manajerial pembangunan transmigrasi ke depan akan terjadi sebagaimana dalam Tabel 5 berikut.

Tabel 5. Sub Urusan Pemerintah Bidang Ketransmigrasian

SUB URUSAN PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI

PEMERINTAHAN DAERAH

KABUPATEN/KOTA PERENCANAAN KAWASAN TRANSMIGRASI

Penetapan dan perencanaan kawasan transmigrasi

Pencadangan tanah untuk kawasan transmigrasi lintas Kabupaten/Kota dalam 1 (satu) Provinsi

Pencadangan tanah untuk kawasan transmigrasi di Kabupaten/Kota

PEMBANGUNAN KAWASAN TRANSMIGRASI

• Pembangunan Satuan Permukiman di kawasan transmigrasi

• Penataan persebaran penduduk yang berasal lintas-Provinsi

Penataan pesebaran penduduk yang berasal dari lintas-Kabupaten/ Kota dalam 1 (satu) Provinsi

Penataan pesebaran penduduk yang berasal dari 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota

PENGEMBANGAN KAWASAN TRANSMIGRASI

• Pengembangan Satuan Permukiman pada tahap penyesuaian

• Pengembangan kawasan transmigrasi

Pengembangan Satuan Permukiman pada tahap pemantapan

Pengembangan Satuan Permukiman pada tahap kemandirian

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

120 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Penyelenggaraan transmigrasi ke depan akan sangat terikat pada pencapaian indikator kinerja utama (IKU). Indikator kinerja utama ketransmigrasian ke depan akan berbasis outcome, yaitu dengan menetapkan: (a) terpenuhinya kualifikasi SDM sesuai dengan daya tampung alam dan daya dukung lingkungan, (b) tumbuh dan berkembangnya kewirausahaan sebagai indikator keberhasilan kehidupan masyarakat transmigrasi, (c) berfungsinya kelembagaan sosial budaya sebagai indikator keberhasilan layanan kesehatan dan pendidikan, (d) bermanfaatnya infrastruktur intra dan antar kawasan.

b. Arah Kebijakan

1) Hubungan kerjasama Pusat-daerah, yang dilakukan pada negosiasi-negosiasi secara setara dana menguntungkan, saling mendukung sehingga menjamin pelaksanaan program transmigrasi, menghadapi karakter daerah yang bermacam-macam.

2) Peningkatan kompetensi aparat Pemda (di bidang urusan ketransmigrasian) agar menguasai konsep-konsep pembangunan ketransmigrasian, sekaligus kemampuan praktis penyelenggaraan.

3) Advokasi terhadap Pemerintahan Daerah (eksekutif dan legislatif) agar memberikan share pembiayaan secara signifikan bagi pembangunan kawasan transmigrasi.

2. Kerjasama Lintas-Kementerian/Lembaga a. Dasar Pertimbangan:

Kerjasama kelembagaan antar sektor pemerintah (lintas-stakeholder) atau lintas-pemangku kepenting (antar-kementerian), umumnya masih dalam hal saling pengertian (mutual understanding), menyangkut kepercayaan dan terutama pemahaman antar lembaga pemerintah tersebut dalam mencapai tujuan atau merumuskan tujuan. Ini merupakan cerminan dari kecenderungan ego-sektoral yang masih mewarnai hubungan kelembagaan antar pemerintah. Ego-sektoral muncul karena terkait dengan kinerja lembaga, atau tingkat pencapaian target-target programatik dan finansial dalam satu kurun anggaran, oleh seuatu lembaga atau unit kerja. Kinerja juga berkaitan dengan tanggung jawab, baik finansial, teknis, maupun moral suatu lembaga dalam menjalankan tuigas dan fungsinya.

Karena itu, kedepan pengembangan kelompok kerja lintas-sektor dalam suatu progran pembangunan ke depan perlu terus dilakukan dan

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

121 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

ditingkatkan, mengingat ada berbagai keterbatasan dan kendala yang dihadapi unit-unit kerja pemerintahan. Kendala tersebut dapat berupa anggaran, SDM, kapasitas, dan sarana prasarana. Dalam upaya pengembangan kawasan transmigrasi, perlu dikembangkan kerjasama lintas sektor secara efektif, yang bukan saja bergerak (bekerja) pada perumusan kebijakan lintas-sektor, tetapi juga perumusan program dan kegiatan lintas-sektor yang relevan dengan upaya-upaya perkembangan ekonomi kawasan.

Politik anggaran berbasis sektoral selama ini telah menjadi faktor kendala, yaitu menjadi pembatas kemampuan sektor untuk menjalankan fungsi-fungsi program pembangunan, dan persoalan ini masih belum terpecahkan. Jika kendala finansial pembangunan zona ekonomi diatasi melalui model kerjasama pemerintah dan swasta atau Public-Private Partnership (PPP). Maka kendala finansial pembangunan yang bersumber dari APBN sesungguhnya dapat diatasi dengan cara joint-budgeting antar [lintas] sektoral, baik di pusat maupun di daerah.

Gagasan tentang pembiayaan bersama lintas-sektor untuk pembangunan transmigrasi sesungguhnya telah lama muncul, namun hingga saat ini masih sulit untuk diterapkan karena landasaran hukum yang mengikatnya belum ada. Oleh karena itu, kedepan perlu diprakarsai adanya advokasi kebijakan, yang didasari atas kesamaan kepentingan (common interest) terhadap seluruh fungsi pembangunan yang berbasis spasial (PU, Perumahan Rakyat, Kemendagri, PDT, Perdagangan, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kelautan dan Perikanan, Pertanian, dan Perindustrian), yang dipayungi oleh ketentuan minimal Peraturan Presiden (Perpres) tentang Koordinasi dan Pembiayaan Bersama ( joint budgeting) pembangunan berbasis kawasan.

b. Arah Kebijakan:

1. Kerjasama lintas-sektor diarahkan pada upaya untuk meningkatkan rasa tanggung jawab dan sense of belonging semua sektor terhadap transmigrasi sebagai pembangunan spasial, sosial dan ekonomi yang sangat besar manfaat dan kontribusinya bagi pembangunan daerah.

2. Kerjasama lintas sektor (Kementerian/Lembaga) diarahkan pada upaya untuk dapat menjalin integrasi program, sinkronisasi pelaksanaan, dan pembagian alokasi biaya (budget sharing) dalam penyelenggaraan transmigrasi.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

122 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

3. Mempersiapkan Kelembagaan Pengelola Kawasan Perkotaan Baru yang tumbuh dari pembangunan transmigrasi, sehingga secara fungsional mampu melayani kebutuhan kegiatan ekonomi kawasan, dan secara administratif memiliki status dan hirarki dalam sistem pemerintahan.

3. Kelembagaan Yang Menangani Urusan Ketransmigrasian

a. Dasar Pertimbangan

Sejarah membuktikan penyelenggaraan transmigrasi yang dirintis sejak jaman kolonisasi 1905 sampai dengan saat ini mempunyai motif yang berbeda dari satu masa ke masa berikutnya. Konsekwensi dari perubahan motif ini membuat kelembagaan yang menangani urusan ketransmigrasi selalu berubah sesuai dengan kepentingan rezim yang berkuasa (politik, ideologi dan ekonomi). Bukti ini menunjukkan bahwa transmigrasi tetap menjadi salah satu alat untuk mencapai tiga dari empat tujuan nasional 41 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.

Perkembangan sejarah yang demikian dinamis menempatkan transmigrasi dalam posisi pasang surut, lebih sebagai peran pelengkap dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan. Padahal, the founding fathers RI menegaskan bahwa unsur perekat persatuan bangsa dan kesatuan wilayah NKRI dipengaruhi oleh keadilan sosial yang dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat di seantero nusantara. Kata kunci untuk terwujudnya keadilan sosial tersebut antara lain dari terdistribusinya secara seimbang sebaran kekuatan ekonomi dan sebaran penduduk. Dengan demikian, dimensi pembangunan pemanfaatan ruang untuk kemaslahatan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat itu sendiri yang justru menjadi roh dari pembangunan transmigrasi merupakan suatu keniscayaan.

Belajar dari masa lalu dan perkembangan masa kini dengan mempertimbangkan dunia tanpa batas geografis (borderless world) menuntut tingginya daya saing daerah dan mumpuninya kapasitas SDM, yang didorong oleh aktivitas ekonomi inklusif. Kesemua itu harus berjalan secara simultan dalam arah dan tujuan seluruh sektor pembangunan

41 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

123 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

berbasis spasial. Oleh karena itu, semua kepentingan sektor pembangunan berbasis spasial harus terkoordinasi dalam suatu kelembagaan.

b. Arah Kebijakan

Penataan ulang dan penajamaan fungsi-fungsi pemerintahan yang berorientasi pada pembangunan berbasis spasial berada dalam satu Kementerian/Lembaga yang terintegrasi.

Dalam hal ini perspektif kelembagaan bidang ketransmigrasian diletakkan pada ranah kewilayahan sebagai fungsi utama tugas umum pemerintahan, yang diperkaya dengan fungsi-fungsi lainnya untuk meningkatkan kualitas ruang wilayah yaitu fungsi pengelolaan kependudukan dan fungsi pengembangan ekonomi lokal. Arah kebijakan dalam penataan ulang fungsi-fungsi pemerintahan di bidang ketransmigrasian dirumuskan dengan sasaran-sasaran strategi transmigrasi ke depan yang secara indikatif disusun berdasarkan prinsip good governance melalui komitmen menjalankan Indikator Kinerja Utama berbasis Balanced Scoredcard.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

124 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

7 PENUTUP

Naskah Akademik Arah Kebijakan Transmigrasi 2015-2019 disusun dengan mempertimbangkan berbagai kecenderungan pemikiran terkini, pengalaman sejarah pelaksanaan rencana program, dan situasi lingkungan strategik serta kebutuhan nasional sehingga dipandang cukup ideal sebagai tuntunan dalam perumusan konsep transmigrasi kedepan. Namun demikian, konsep kebijakan ini masih harus diturunkan kedalam dokumen yang lebih rinci, dengan memuat sasaran-sasaran strategis, tahap-tahap pembangunan, dan mengacu pada prinsip good governance dengan menetapkan Indikator Kinerja Utama (IKU) serta situasi politis pragmatis yang bersifat sangat dinamis sesuai dengan perkembangan kebutuhan.

Misi pembangun transmigrasi kedepan, berasaskan 3 dimensi yaitu: (1) ruang (M1), (2) orang (M2) dan uang (M3). Sedangkan sasaran-sasaran strategi transmigrasi kedepan yang dapat dirumuskan secara indikatif berdasarkan IKU adalah sebagaimana gambar peta strategis sebagai berikut.

1. Peningkatan produktivitas usaha ekonomi di kawasan transmigrasi (SS1)

2. Peningkatan layanan sosial budaya di Kawasan Transmigrasi (SS2) 3. Peningkatan kelembagaan ekonomi yang Fungsional di kawasan

transmigrasi (SS3) 4. Peningkatan jumlah KawasanTransmigrasi yang dikembangkan dan

berkelanjutan (SS4) 5. Peningkatan penataan persebaran penduduk di kawasan transmigrasi

(SS5)

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

125 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

6. Peningkatan jumlah kawasan transmigrasi yang dibangun (SS6) 7. Peningkatan kualitas perencanaan pengembangan kawasan (SS7) 8. Peningkatan kualitas perencanaan pembangunan kawasan (SS8) 9. Peningkatan kapasitas organisasi dan pegawai di lingkungan

ketransmigrasian (SS9) 10. Peningkatan ketersediaan sumber dana lain dalam mendukung program

transmigrasi (SS10) 11. Peningkatan efisiensi dan efektivitas anggaran transmigrasi (SS11)

Berdasarkan sasaran-sasaran strategis dimaksud dapat disusun rancangan program dan atau kegiatan secara indikatif sebagai berikut.

1. Pemilihan atau penentuan calon lokasi [lokus kawasan] diletakkan pada

koridor ekonomi dengan prioritas pada daerah perbatasan, daerah tertinggal, strategis (nasional, propinsi dan atau kabupaten) à [M1, SS8]

2. Perencanaan kawasan yang [harus] didasarkan atas prinsip-prinsip pengembangan spasial; struktur hirarkis, nodal, dan berkonektivitas tinggi, sehingga menjamin terjadinya perubahan (perkembangan) kearah pusat-pusat pertumbuhan yang berdaya saing, menjadi daya tarik (“gula” ) bagi arus migrasi (mobilitas) penduduk sekunder. à [M1, SS7, SS8]

3. Perolehan sumber daya alam (lahan), yang dilakukan secara demokratis, dengan melibatkan secara intensif para stakeholder daerah, sehingga menjamin diperolehnya lahan dengan kondisi clear-clean, baik secara, legal, sosial, maupun kultural. à [M1, SS8]

4. Penyelesaian aspek hukum atas aset-aset masyarakat, yang dilakukan melalui upaya konsolidasi tanah ( land consolidation) sebagai bagian dari upaya pemberian kepastian hukum (kepemilikan aset) bagi masyarakat di kawasan transmigrasi. à [M1, SS8, SS10]

5. Pembangunan tahap dua (second stage development) atau perlakuan ulang terhadap kawasan-kawasan terbangun sejak tahun 2007, hingga 2014, yang diarahkan pada penyediaan dan atau peningkatan kualitas infrastruktur yang mendukung konektivitas inter dan antar kawasan, sehingga menjamin dan mendukung kelancaran [perputaran] arus barang, jasa, modal, dan berbagai aktivitas ekonomi masyarakat. à [M3, SS3, SS7, SS8, SS10]

6. Penentuan calon transmigran dari daerah sekitar kawasan, yang didasarkan atas kriteria tertentu (yang perlu segera disusun), yaitu kriteria pemenuhan standar kompetensi antara lain; berusia produktif, berpendidikan minimal SMA/SLTA, berketerampilan sesuai pola usaha yang dikembangkan. à [M2, SS2, SS5]

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

126 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

7. Perencanaan sumberdaya kawasan yang harus dilaksanakan pada T-2 dengan didasarkan atas prinsip-prinsip; penataan persebaran penduduk di dalam dan di luar kawasan, kesesuaian antara daya dukung dan tampung, kesempatan kerja, pola usaha, dan kompetensi yang dibutuhkan, dan berorientasi pada pemanfaatan bonus demografi. à [M1, SS5, SS6, SS8, SS10]

8. Model-model perlakuan masyarakat (pelatihan-training) peningkatan kualitas dan kapasitas (pasca penempatan di lingkungan baru) di kawasan transmigrasi, yang didisain sedemikian rupa sehingga dapat mencapai transformasi mental dan personalitas, mencakup; sikap dan perilaku reseptif, terampil, berwawasan pluralis-multikulturalis, peningkatan hasrat need-for achievement (N-Ach), dan toleran, sehingga menjamin pencapaian transmigran unggul. à [M2, SS1, SS2, SS3, SS7]

9. Peningkatan kapasitas kelembagaan ( institutional capacity building) bagi kelompok-kelompok yang telah ada melalui fasilitasi [pemberian bantuan] sarana-sarana aktivitas organisasional yang diperlukan. à [M3, SS1, SS3]

10. Penyelenggaraan berbagai pelatihan dengan materi-materi khusus bagi agen-agen (pelaku, pegiat) di kawasan yang ada. à [M2, SS1, SS3]

11. Peningkatan aktivitas pelayanan umum, khusus di bidang pendidikan dan kesehatan, baik di dalam hal sarana fisik maupun pendampingan sosial. à [M2, SS2]

12. Perencanaan kegiatan ekonomi (kawasan), yang sejak dini perlu diarahkan pada pemilihan komoditas unggulan yang tepat, bentuk kelembagaan ekonomi relevan, sumber-sumber akses permodalan daerah, investor yang potensial, dan konsep kerjasama sektor public yang melayani dan sektor private yang kuat, dan saling menguntungkan. à [M3, SS1, SS3, SS7, SS10]

13. Pengembangan ekonomi lokal yang terkait erat dengan koridor ekonomi, dan penekanan pada formula agribisnis sesuai dengan potensi kawasan. à [M3, SS1, SS3, SS7, SS10]

14. Penggalakan investasi swasta yang diprioritaskan pada investor-investor nasional setempat, baik skala besar maupun menengah, dengan skema kerjasama bisnis transmigran-dunia usaha yang berkeadilan dan saling menguntungkan. à [M3, SS1, SS3, SS7, SS10]

15. Pengembangan sistem insentif bidang perpajakan ( tax incentive) bagi investasi di kawasan transmigrasi. à [M3, SS1, SS3, SS4, SS7, SS10]

16. Advokasi pemanfaatan zona-zona ekonomi kawasan, yang dilakukan secara intensif bagi pengembangan (penanaman investasi) dunia usaha, sehingga diperoleh investor-investor yang handal dan terpercaya. à [M3, SS1, SS3, SS7, SS10]

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

127 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

17. Pembangunan kawasan transmigrasi baru, yang dilaksanakan dengan mempertimbangkan pola usaha transmigrasi berbasis sumber daya alam (lahan), dengan orientasi pangan atau mendukung ketahanan pangan dalam spektrum luas (padi, kedelai, gula, jagung dan daging sapi). à [M1, SS1, SS4, SS6, SS8, SS10]

18. Menyeimbangkan perlindungan petani dan pelaku bisnis dalam mendorong pengembangan ekonomi lokal melalui sistem agribisnis di kawasan transmigrasi. à [M3, SS1, SS3, SS7, SS10]

19. Peningkatan fungsi-fungsi pelayanan usaha ekonomi, meliputi akses permodalan, akses pasar lokal dan regional, peningkatan sarana-prasarana perhubungan antar dan inter, satuan dan pusat permukiman. à [M3, SS1, SS3, SS7, SS10]

20. Promosi (iklanisasi), advokasi, dan penyebarluasan informasi peluang investasi dan pengembangan usaha dengan konsep kemitraan bisnis yang berkeadilan dan saling menguntungkan di kawasan transmigrasi. à [M3, SS1, SS3, SS7, SS10]

21. Peningkatan (penyediaan) infrastruktur pelayanan jasa-jasa dan penyediaan zona-zona (lapak) bagi usaha kecil menengah (UKM). à [M3, SS1, SS3, SS10]

22. Penumbuhan dan penguatan kapital sosial (kepercayaan, norma, jejaring kerja) diantara masyarakat baik intra dan antar kawasan transmigrasi à [M2, SS1, SS2, SS3, SS7, SS10]

23. Penumbuhan wirausahawan dengan basis pola usaha yang dikembangkan baik sektor primer, skunder dan tertier pada kawasan transmigrasi. à [M3, SS1, SS3, SS10]

24. Perlindungan dan keberpihakan pada petani dalam proses produksi melalui sistem agribisnis dan agroindustri dengan sistem insentif yang dapat mensejahterakan masyarakat dan petani. à [M3, SS1, SS3]

25. Hubungan kerjasama Pusat-daerah, yang dilakukan pada negosiasi-negosiasi secara setara dana menguntungkan, saling mendukung sehingga menjamin pelaksanaan program transmigrasi, menghadapi karakter daerah yang bermacam-macam. à [M4, SS9, SS10, SS11]

26. Peningkatan kompetensi aparat Pemda (di bidang urusan ketransmigrasian) agar menguasai konsep-konsep pembangunan ketransmigrasian, sekaligus kemampuan praktis penyelenggaraan. à [M4, SS9, SS10, SS11]

27. Advokasi terhadap Pemerintahan Daerah (eksekutif dan legislatif) agar memberikan share pembiayaan secara signifikan bagi pembangunan kawasan transmigrasi. à [M4, SS9, SS10, SS11]

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

128 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Sasaran-sasaran strategi tersebut sebagai wujud dari berbagai program dan kegiatan di bidang ketransmigrasian guna mewujudkan misi dan mencapai visi ketransmigrasian, sebagai mana termuat pada Tabel 6 berikut ini. Tabel 6. Hubungan Misi dan Sasaran Strategis Ketransmigrasian

No Sasaran Stratgis Misi

M1 (Ruang)

M2 (Orang)

M3 (Uang) M4 (good governance)

1 Peningkatan produktivitas usaha ekonomi di Kawasan Transmigrasi (SS1) (17) (8), (10),

(22)

(9), (12), (14), (15), (16), (18), (19), (20), (21),

(23), (24)

2 Peningkatan layanan sosial budaya di Kawasan Transmigrasi (SS2)

(6), (8), (11), (22)

3 Peningkatan kelembagaan ekonomi yang Fungsional di Kawasan Transmigrasi (SS3) (8), (10),

(22)

(5), (9), (12), (14), (15), (16), (18), (19), (20), (21), (23), (24)

4 Peningkatan jumlah kawasantransmigrasi yang dikembangkan dan berkelanjutan (SS4)

(17) (15)

5 Peningkatan penataan persebaran penduduk di kawasan transmigrasi (SS5)

(7) (6)

6 Peningkatan jumlah kawasan transmigrasi yang dibangun (SS6)

(7), (17)

7 Peningkatan kualitas perencanaan pengembangan kawasan (SS7)

(2) (8), (22) (5, (14), (15),

(16), (18), (19), (20)

8 Peningkatan kualitas perencanaan pembangunan kawasan (SS8)

(1), (2), (3), (4), (7), (17)

(5)

9 Peningkatan kapasitas organisasi dan pegawai di lingkungan Ketransmigrasian*) (SS9)

(25), (26), (27)

10 Peningkatan ketersediaan sumber dana lain dalam mendukung program transmigrasi*) (SS10)

(4), (7), (17) (22)

(5), (14), (15), (16), (18), (19), (20), (21), (23)

(25), (26), (27)

11 Peningkatan efisiensi dan efektivitas anggaran transmigrasi*) (SS11)

(25), (26), (27)

Keterangan *): Sebagai sasaran strategis untuk mendukung terciptanya good governance (M4)

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

129 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Hubungan misi dan sasaran strategis ini dapat dilihat pada Gambar 5 berikut.

Membangun kawasan serta memfasilitasi perpindahan dan penempatan transmigran

Peningkatan kualitas perencanaan di bidang

ketransmigrasian

Peningkatan realisasi persebaran penduduk sesuai dengan rencana

rinci SKP

Peningkatan jumlah Kawasan Transmigrasi yang dibangun dan

dikembangkan

Peningkatan layanan sosial budaya di Kawasan Transmigrasi

Peningkatan produktivitas usaha ekonomi di Kawasan transmigrasi

Man

ajem

en In

tern

alPe

lang

gan

Mengembangkan kapasitas masyarakat transmigrasi dan kawasan transmigrasi

Peningkatan efiensi anggaran Satker ketransmigrasian

Peningkatan kualitas dukungan manajemen dan

teknis

Keua

ngan

Pertumbuhan

pembelajaran

PERSPEKTIF PENDUKUNG

Peningkatan ketersediaan sumber

dana lain dalam mendukung program

transmigrasi

VISI KEMENAKERTRANS “Terwujudnya Tenaga Kerja dan Masyarakat Transmigrasi yang Produktif, Kompetitif dan Sejahtera”

Visi

dan

Misi

Gambar 5. Peta Strategis Ketransmigrasian

Sekalipun secara teknis isi dan bentuk Naskah ini masih menyimpan ketidak-sempurnaan, tetapi secara substansial dipandang cukup untuk menjadi dasar bagi para pengambil kebijakan untuk merumuskan berbagai dokumen perencanaan strategik pada kurun waktu 2015-2019. Akhirnya, sebesar apapun suatu kesalahan, masih ada peluang untuk disempurnakan.

Saripati dari substansi Naskah Akademik ini, dirumuskan dalam wujud mimpi, arah, dan langkah kedepan sebagai berikut.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

130 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

TRANSMIGRASI KE DEPAN PARADIGMA: “Pembangunan Transmigrasi Berbasis Kawasan, serta Pembangunan Kawasan Transmigrasi Berbasis Kependudukan dan Pengembangan Ekonomi Lokal”. VISI: Mewujudkan masyarakat transmigrasi yang produktif dan sejahtera di kawasan transmigrasi yang berdaya saing ARAH DAN LANGKAH KE DEPAN (MISI) 1. Membangun kawasan transmigrasi secara hirarkis yang inklusif dan responsif

terhadap lingkungan strategi sebagai wahana bagi seluruh pemangku kepentingan untuk mempercepat pembangunan daerah.

2. Mengembangkan masyarakat transmigrasi yang sejahtera dan produktif dengan kapasitas SDM yang mumpuni, integrasi lintas-kultural yang harmonis, modal sosial yang berlimpah, dan kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan yang responsif.

3. Mengembangkan kawasan transmigrasi sebagai satu kesatuan sistem pengembangan ekonomi wilayah.

4. Melalui reformasi birokrasi, diwujudkan penyelenggaraan transmigrasi yang berasaskan good governance

Transmigrasi kedepan akan tetap menekankan pembangunan dan pengembangan wilayah sebagai tools untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, yang diwujudkan dalam bentuk pembangunan kawasan yang dirancang dan dibangun secara struktural (nodal) dan hirarkis. Kawasan-kawasan transmigrasi perlu dibangun dengan tingkat konektivitas dan interkonektivitas tinggi, baik pada skala mikro maupun skala makro, sehingga menjamin terjadinya kemajuan, baik secara secara ekonomi maupun spasial.

Lebih lanjut bahwa kemiskinan perdesaan ini selalu didampingi dengan rendahnya melek huruf dan miskinnya kepemilikan aset mereka yang berurbanisisasi, bahkan banyak melibatkan pekerja anak 42. Dengan demikian maka pengembangan wilayah melalui transmigrasi ke depan harus didasarkan atas konsep people follow jobs [ada gula ada semut], sebagai bagian dari upaya pengelolaan penduduk agar menjadi kekuatan pembangunan. Paradigma ini juga berarti bahwa pembangunan dan pengembangan kawasan transmigrasi ditujukan untuk mendorong dan mengalihkan sebagaian arus 42Sumber: Rinaldi dan Nurwita (2009) dalam Priyarsono dan Rustiadi (2010).

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

131 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

urbanisasi dari wilayah-wilayah perkotaan yang selama ini terjadi ke dalam kawasan tersebut.

Transmigrasi mendatang akan menjadi bagian dari pembangunan wilayah berbasis kependudukan. Dan pembangunan kependudukan di bidang kualitas melalui transmigrasi dirancang dan dilaksanakan dalam bentuk pendidikan dan kesehatan. Dalam pembangunan kependudukan, penekanannya pada link-and-macth antara pendidikan dan pemekerjaan (employment), dan antara kesehatan dan aktivitas ekonomi [produktif].

Sebagai bagian dari pembangunan kependudukan, transmigrasi kedepan perlu mempertimbangkan implikasi-implikasi sosio-kultural dari mobiltas etnis. Transmigrasi merupakan model pembangunan yang mempertemukan berbagai varian penduduk [suku-bangsa atau etnik] yang berbeda. Kawasan transmigrasi dihuni oleh beragam identitas kultural [etnisitas], yang berinteraksi dalam hubungan lintas-etnis dan kultural. Dengan kata lain, masyarakat yang terbentuk melalui transmigrasi adalah masyarakat diaspora yang heterogen dan plural, baik secara etnik, budaya dan agama, sehingga rentan terhadap situasi disharmoni (konflik dan segala bentuk ketegangan sosial).

Oleh karena itu, pengembangan komunitas transmigrasi [sebagai bagian dari pembangunan kependudukan] perlu diarahkan pada pembentukan sikap dan perilaku yang co-eksistensial (pro-eksistensial) damai, antar dan lintas-kultural dalam kemajemukan (baik tradisi, keyakinan agama, ideologi, norma-sosial, maupun nilai-nilai etik).

Implikasi dari hubungan lintas-kultural yang beragam, di samping potensi konflik dan disharmoni, adalah kebutuhan akan tumbuhnya sikap-pandangan dan perilaku toleran, reseptif, relatif, dan pluralistik. Karena itu pembangunan kependudukan dalam konteks pengembangan wilayah transmigrasi, perlu diarahkan pada perlindungan dan pemenuhan hak-hak kultural penduduk, yaitu dengan menjamin hak-hak sosio-kultural, kelestarian [preservasi] identitas budaya asal, dan harmonisasi hubungan lintas-etnis [budaya] antar berbagai varian etnis yang ada.

Dengan kata lain, pembangunan kependudukan dalam konteks pengembangan wilayah transmigrasi harus mampu mengelola proses terbentuknya suatu masyarakat harmonis yang terdiri dari kelompok pendatang dan penduduk setempat. Juga harus mampu menghindari situasi yang memungkinkan terjadinya disharmoni, baik yang disebabkan oleh stereotipe-etnik (prasangka etnis), etnosentris, religiosentris, maupun kecemburuan-ekonomi. Karena itu,

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

132 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

juga harus mampu mempersempit jurang kesenjangan ekonomi yang dapat memicu konflik antar-lapisan dan antar-kelompok dalam masyarakat di kawasan transmigrasi.

Kedepan, transmigrasi perlu menjadi bagian dari Agenda Pembangunan Pasca 2015. Konsensus global tentang Millenium Develelopment Goals (MDGs) akan berakhir pada tahun 2015. Sebagai kesepakatan pembangunan internasional, MDGs telah mendorong negara-negara anggotanya untuk memajukan berbagai aspek pembangunan. Seperti diketahui, ada 8 (delapan) tujuan dari Pembangunan Millenium (MGDs), yang telah disepakati para pemimpin dunia pada pertemuan puncak PBB tahun 2000, dengan target-target spesifik pemecahan masalah terkait dengan ketransmigrasian, yaitu: (1) pengentasan kemiskinan, (2) pendidikan, (3) kesetaraan gender, (4) kesehatan anak dan ibu, (5) stabilitas lingkungan, dan (6) kemitraan global untuk pembangunan. Lebih jauh dari itu menyongsong kedepan, pembangunan transmigrasi juga diletakkan dalam kaidah-kaidah Sustainable Development Goals (SDGs), sebagai wujud dari pasca-MDGs. Kaidah-kaidah tersebut terkait antara dinamika kependudukan dengan aspek keadilan sosial, masalah lingkungan, dan pembangunan ekonomi.

Apa yang baru dari paradigma tersebut di atas adalah bahwa kawasan-kawasan yang dibangun melalui skema transmigrasi [pembangunan wilayah] kedepan harus mempertimbangkan aspek kependudukan, suatu situasi dinamik perkembangan penduduk Indonesia sebagai subyek pembangunan.

REFERENSI PENDUKUNG DALAM FORUM KELOMPOK DISKUSI

1. Abdul Aziz Ahmad, 2013. Transmigrasi Sebagai Program Pembangunan Industri Dan Perdagangandi Pedesaan, pada Diskusi Terbatas. Puslitbang Ketransmigrasian, Balitfo, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta.

2. Agus Manshur, 2013. Kontribusi Pemikiran Pengembangan Kawasan Transmigrasi: Pokok-Pokok Bahasan Terhadap Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2015-2019, pada Workshop Menuju Pembangunan Kawasan Transmigrasi Berdaya Saing 2015-2019, Bandung, 16 Desember 2013. Puslitbang Ketransmigrasian, Balitfo, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta.

3. Anharudin, Dewi RN, Anggraini R. 2006. Membidik Arah Kebijakan Transmigrasi Pasca Reformasi. Jakarta: Puslitbangtrans Depnakertrans.

4. Anharudin, Priyono, Susilo SRT. 2008. Transmigrasi di Era Kabinet Indonesia Bersatu. Jakarta: Bangkit Daya Insana.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

133 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

5. Arsyad Nurdin, M, 2013. Pembangunan Kawasan Transmigrasi: Pokok-Pokok Bahasan Terhadap Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2015-2019, pada Workshop Menuju Pembangunan Kawasan Transmigrasi Berdaya Saing 2015-2019, Bandung, 16 Desember 2013. Puslitbang Ketransmigrasian, Balitfo, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta.

6. Arie Sukanti Hutagalung. 2013. Aspek Hukum Tanah Transmigrasi, pada Forum Diskusi Puslitbang Ketransmigrasian, Balitfo, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta.

7. Arya Hadi Dharmawan. 2013. Pengembangan Masyarakat [di Desa] Transmigrasi Dalam Pembangunan Ekonomi Lokal Berbasis Kawasan2015-2019, pada Seminar Transmigrasi Dalam Perspektif Pengembangan Wilayah, Kependudukan dan Ekonomi Pedesaan, 4 Desember 2013, Puslitbang Ketransmigrasian, Balitfo, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta.

8. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia. Jakarta: BPS.

9. Diah Indrajati. 2013. Kebijakan Pembangunan Kawasan Transmigrasi Dalam Perubahan UU Pemerintahan Daerah (Revisi Uu 32/2004 Dan Pp 38/2007), pada Seminar Transmigrasi Dalam Perspektif Pengembangan Wilayah, Kependudukan dan Ekonomi Pedesaan, 4 Desember 2013, Puslitbang Ketransmigrasian, Balitfo, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta.

10. Dadang Solihin, 2013. Pembangunan Transmigrasi dalam Perspektif Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah, pada Workshop Menuju Pembangunan Kawasan Transmigrasi Berdaya Saing 2015-2019, Bandung, 16 Desember 2013. Puslitbang Ketransmigrasian, Balitfo, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta.

11. Ernan Rustiadi dan Junaidi, 2013. Pembangunan Kawasan Transmigrasi Dalam Perspektif Pengembangan Wilayah & Perdesaan, pada “Workshop Perencanaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi” Integrasi Perencanaan Kawasan Transmigrasi Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kamis, 14 November 2013. Direktorat Jenderal P2KTrans, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Jakarta.

12. Firman Soebagyo. 2013. Keberpihakan Kebijakan Ketahanan Pangan Untuk Petani / Masyarakat di Kawasan Transmigrasi . Komisi IV DPR. pada Seminar Transmigrasi Dalam Perspektif Pengembangan Wilayah, Kependudukan dan Ekonomi Pedesaan, 4 Desember 2013, Puslitbang Ketransmigrasian, Balitfo, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta.

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

134 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

13. Hayu Parasasti, 2013. Arah Kebijakan Pembangunan Transmigrasi Tahun 2015-2019, disampaikan pada Workshop Badan Penelitian dan Informasi Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, di Solo, 25 Nopember 2013.

14. Harry H. Saleh. 2013. Revitalisasi Transmigrasi Mendorong Daya Saing Daerah: Mendayagunakan Ruang-Memberdayakan Masyarakat- Mengembangkan Ekonomi Lokal, pada Seminar Transmigrasi Dalam Perspektif Pengembangan Wilayah, Kependudukan dan Ekonomi Pedesaan, 4 Desember 2013, Puslitbang Ketransmigrasian, Balitfo, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta.

15. Haryati, Soegiharto S, Priyono, Wibowo DP, Purbandini L, Warsono SH. 2006. Studi Pembangunan Pusat Pertumbuhan . Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi

16. Herbert Siagian, 2013. Government Roles Towards Decentralization In The Next Mid-Term, pada Dikusi Terbatas. Puslitbang Ketransmigrasian, Balitfo, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta.

17. Oswar Mungkasa, MURP, 2013. Transmigrasi Dalam Perspektif Ruang, pada Seminar Transmigrasi Dalam Perspektif Pengembangan Wilayah, Kependudukan dan Ekonomi Pedesaan , 4 Desember 2013, Puslitbang Ketransmigrasian. Jakarta

18. Mulyanto 2007. Pengembangan dan Pengukuran Indikator Pembangunan Daerah di Era Otonomi dan Desentralisasi. Region 2(1). 53-66.

19. Mulyadi Moehsin, 2013. Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi, Pokok-Pokok Bahasan Terhadap Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2015-2019, pada Workshop Menuju Pembangunan Kawasan Transmigrasi Berdaya Saing 2015-2019, Bandung, 16 Desember 2013. Puslitbang Ketransmigrasian. Jakarta

20. Najiyati S, Wasono SH, Manurung L, Anharudin, Kuswandari D. 2008. Transmigrasi dan Pengembangan Masyarakat Desa Sekitar . Jakarta: Bangkit Daya Insana.

21. Nizam, 2013. Dukungan SDM & De-Bottlenecking Kebutuhan Iptek , pada Forum Diskusi Puslitbang Ketransmigrasian, Balitfo, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta.

22. Rachmat Pambudy, 2013. Pengembangan Agribisnis di Kawasan Transmigrasi, pada Forum Diskusi Puslitbang Ketransmigrasian, Balitfo, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta.

23. Rahma Iryanti, 2013. Pasar Tenaga Kerja Indonesia: Isu Dan Arah Kebijakan, pada Workshop Badan Penelitian dan Informasi Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, Solo, 25 Nopember 2013.

24. Riwanto Tirtosudarmo, 2013. (Trans) Migrasi, Konflik dan Otonomi Daerah di Indonesia, pada Seminar Transmigrasi Dalam Perspektif Pengembangan

Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2014-2019

135 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian

Wilayah, Kependudukan dan Ekonomi Pedesaan, 4 Desember 2013, Puslitbang Ketransmigrasian, Balitfo, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta.

25. Sonny Harry B. Harmadi, 2013. Kependudukan dan Transmigrasi, pada Seminar Transmigrasi Dalam Perspektif Pengembangan Wilayah, Kependudukan dan Ekonomi Pedesaan, 4 Desember 2013, Puslitbang Ketransmigrasian, Balitfo, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta.

26. Tommy Firman, 2013. Kebijakan Transmigrasi dan Pengembangan Wilayah serta Kelembagaan Implementasinya, pada Seminar Transmigrasi Dalam Perspektif Pengembangan Wilayah, Kependudukan dan Ekonomi Pedesaan, 4 Desember 2013, Puslitbang Ketransmigrasian, Balitfo, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta.