21
PENGANTAR Gamelan Degung Ada beberapa gamelan yang pernah ada dan terus berkembang di Jawa Barat, antara lain Gamelan Salendro, Pelog dan Degung. Gamelan salendro biasa digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang, tari, kliningan, jaipongan dan lain-lain. Gamelan pelog fungsinya hampir sama dengan gamelan salendro, hanya kurang begitu berkembang dan kurang akrab di masyarakat dan jarang dimiliki oleh group-group kesenian di masyarakat. Hal ini menandakan cukup terwakilinya seperangkat gamelan dengan keberadaan gamelan salendro, sementara gamelan degung dirasakan cukup mewakili kekhasan masyarakat Jawa Barat. Degung merupakan salah satu gamelan khas dan asli hasil kreativitas masyarakat Sunda. Gamelan yang kini jumlahnya telah berkembang dengan pesat, diperkirakan awal perkembangannya sekitar akhir abad ke-18/awal abad ke-19. Jaap Kunst yang mendata gamelan di seluruh Pulau Jawa dalam bukunya Toonkunst van Java (1934) mencatat bahwa degung terdapat di Bandung (5 perangkat), Sumedang (3 perangkat), Cianjur (1 perangkat), Ciamis (1 perangkat), Kasepuhan (1 perangkat), Kanoman (1 perangkat), Darmaraja (1 perangkat), Banjar (1 perangkat), dan Singaparna (1 perangkat). Masyarakat Sunda dengan latar belakang kerajaan yang terletak di hulu sungai, kerajaan Galuh misalnya, memiliki pengaruh tersendiri terhadap kesenian degung, terutama lagu-

Musik Degung

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Musik Degung

PENGANTAR

Gamelan Degung

Ada beberapa gamelan yang pernah ada dan terus berkembang di

Jawa Barat, antara lain Gamelan Salendro, Pelog dan Degung. Gamelan

salendro biasa digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang, tari,

kliningan, jaipongan dan lain-lain. Gamelan pelog fungsinya hampir sama

dengan gamelan salendro, hanya kurang begitu berkembang dan kurang

akrab di masyarakat dan jarang dimiliki oleh group-group kesenian di

masyarakat. Hal ini menandakan cukup terwakilinya seperangkat gamelan

dengan keberadaan gamelan salendro, sementara gamelan degung

dirasakan cukup mewakili kekhasan masyarakat Jawa Barat.

Degung merupakan salah satu gamelan khas dan asli hasil kreativitas

masyarakat Sunda. Gamelan yang kini jumlahnya telah berkembang dengan

pesat, diperkirakan awal perkembangannya sekitar akhir abad ke-18/awal

abad ke-19. Jaap Kunst yang mendata gamelan di seluruh Pulau Jawa dalam

bukunya Toonkunst van Java (1934) mencatat bahwa degung terdapat di

Bandung (5 perangkat), Sumedang (3 perangkat), Cianjur (1 perangkat),

Ciamis (1 perangkat), Kasepuhan (1 perangkat), Kanoman (1 perangkat),

Darmaraja (1 perangkat), Banjar (1 perangkat), dan Singaparna (1

perangkat).

Masyarakat Sunda dengan latar belakang kerajaan yang terletak di

hulu sungai, kerajaan Galuh misalnya, memiliki pengaruh tersendiri

terhadap kesenian degung, terutama lagu-lagunya yang yang banyak

diwarnai kondisi sungai, di antaranya lagu Manintin, Galatik Manggut,

Kintel Buluk, dan Sang Bango. Kebiasaan marak lauk masyarakat Sunda

selalu diringi dengan gamelan renteng dan berkembang ke gamelan

degung.

Dugaan-dugaan masyarakat Sunda yang mengatakan bahwa degung

merupakan musik kerajaan atau kadaleman dihubungkan pula dengan

Page 2: Musik Degung

kirata basa, yaitu bahwa kata “degung” berasal dari kata "ngadeg" (berdiri)

dan “agung” (megah) atau “pangagung” (menak; bangsawan), yang

mengandung pengertian bahwa kesenian ini digunakan bagi kemegahan

(keagungan) martabat bangsawan. E. Sutisna, salah seorang nayaga

Degung Parahyangan, menghubungkan kata “degung” dikarenakan

gamelan ini dulu hanya dimiliki oleh para pangagung (bupati). Dalam

literatur istilah “degung” pertama kali muncul tahun 1879, yaitu dalam

kamus susunan H.J. Oosting. Kata "De gong" (gamelan, bahasa Belanda)

dalam kamus ini mengandung pengertian “penclon-penclon yang

digantung”.

Gamelan yang usianya cukup tua selain yang ada di keraton

Kasepuhan (gamelan Dengung) adalah gamelan degung Pangasih di

Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang. Gamelan ini merupakan

peninggalan Pangeran Kusumadinata (Pangeran Kornel), bupati Sumedang

(1791—1828).

Dihubungkan dengan kirata basa, kata “degung” berasal dari kata

“ngadeg” (berdiri) dan “agung” (megah) atau “pangagung” (menak;

bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa fungsi kesenian ini

dahulunya digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan.

Entis Sutisna, salah seorang nayaga (penabuh) grup Degung

“Parahyangan”, mengatakan bahwa gamelan Degung dulunya hanya

dimiliki oleh para pangagung (bupati). Dalam buku Sejarah Seni Budaya

Jawa Barat Jidlid II yang disusun oleh Tim Penulisan Naskah Pengembangan

Media Kebudayaan Jawa Barat, disebutkan bahwa:

“Pada mulanya pemanggungan gamelan Degung terbatas di

lingkungan pendopo-pendopo kabupaten untuk mengiringi upacara-upacara

yang bersifat resmi. Menurut riwayat, gamelan Degung yang masuk ke

kabupaten Bandung berasal dari kabupaten Cianjur. Raden Aria Adipati

Wiranatakusumah V yang kemudian dikenal dengan julukan Dalem Haji

sebelum menjadi bupati Bandung pernah berkedudukan sebagai bupati

Page 3: Musik Degung

Cianjur. Pada waktu itu di kabupaten Cianjur telah berkembang seni

Degung. Pada tahun 1920 R.A.A. Wiranatakusumah V mulai diangkat

menjadi bupati Bandung, ketika itu beberapa orang pemain seni Degung

Cianjur ada yang ikut serta ke Bandung.” (1977: 69)

Namun, untuk saat ini kesenian degung yang dulu dianggap salah

satu jenis kesenian yang bersifat resmi dan hanya di pergelarkan untuk

para bangsawan dan bukan termasuk kesenian rakyat. Tetapi, setelah

mengalami beberapa perubahan atau evolusi kesenian degung menjadi hal

yang lumrah yang biasa di pertunjukan untuk rakyat.

Asal Mula Musik Degung

Jaap Kunst dalam bukunya Toonkunst van Java (Kunst, 1934),

mencatat bahwa awal perkembangan Degung adalah sekitar akhir abad ke-

18/awal abad ke-19. Dalam studi literaturnya, disebutkan bahwa kata

“degung” pertama kali muncul tahun 1879, yaitu dalam kamus susunan H.J.

Oosting. Kata “de gong” (gamelan: Belanda) dalam kamus ini terkandung

pengertian: penclon-penclon yang digantung. Menurut Entjar Tjarmedi

dalam bukunya Pangajaran Degung, waditra (instrumen: Sunda) ini

berbentuk 6 buah gong kecil yang biasanya digantung pada sebuah

gantungan yang disebut dengan rancak. Menurut beliau istilah “gamelan

Degung” diambil dari nama waditra tersebut, yang kini lebih dikenal

dengan istilah jenglong (Tjarmedi, 1974: 7).

Adapun mengenai waktu kemunculannya belum ada literatur yang

akurat selain kamus H.J. Oosting di atas. Namun sebagaimana Jaap Kunst,

Enip Sukanda pun berpendapat dalam karya penelitiannya tentang

Dedegungan pada Tembang Sunda Cianjuran, bahwa ketika kamus itu

dicetak berarti gamelan Degung-nya sudah ada terlebih dahulu, katakanlah

sekitar 100 tahun sebelumnya (Sukanda, 1984:15).

Ada pendapat lain yaitu dari Atik Soepandi, dalam tulisannya

mengenai Perkembangan Seni Degung Di Jawa Barat, bahwa gamelan

Page 4: Musik Degung

Degung adalah istilah lain dari Goong Renteng, mengingat banyak

persamaan antara lagu-lagu Degung Klasik dengan lagu-lagu goong renteng

(Soepandi, 1974). Perbedaannya adalah apabila Goong Renteng kebanyakan

ditemukan di kalangan masyarakat petani (rakyat), maka gamelan Degung

ditemukan di lingkungan bangsawan (menak).

Istilah “Degung”

Istilah “degung” memiliki dua pengertian: pertama, adalah nama

seperangkat gamelan yang digunakan oleh masyarakat Sunda, yakni

gamelan-degung. Gamelan ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan

gamelan pelog-salendro, baik dari jenis instrumennya, lagu-lagunya, teknik

memainkannya, maupun konteks sosialnya; kedua, adalah nama laras

(tangga nada) yang merupakan bagian dari laras salendro berdasarkan teori

R. Machjar Angga Koesoemahdinata. Dalam teori tersebut, laras degung

terdiri dari degung dwiswara (tumbuk nada mi (2) dan la (5)) dan degung

triswara (tumbuk nada da (1), na (3), dan ti (4)). Karena perbedaan inilah

maka Degung dimaklumi sebagai musik yang khas dan merupakan identitas

masyarakat Sunda.

Dihubungkan dengan kirata basa, kata “degung” berasal dari kata

“ngadeg” (berdiri) dan “agung” (megah) atau “pangagung” (menak;

bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa fungsi kesenian ini

dahulunya digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan.

E.Sutisna, salah seorang nayaga (penabuh) grup Degung

“Parahyangan”, mengatakan bahwa gamelan Degung dulunya hanya

dimiliki oleh para pangagung (bupati). Dalam buku Sejarah Seni Budaya

Jawa Barat Jidlid II yang disusun oleh Tim Penulisan Naskah Pengembangan

Media Kebudayaan Jawa Barat, disebutkan bahwa:

“Pada mulanya pemanggungan gamelan Degung terbatas di

lingkungan pendopo-pendopo kabupaten untuk mengiringi upacara-upacara

yang bersifat resmi. Menurut riwayat, gamelan Degung yang masuk ke

kabupaten Bandung berasal dari kabupaten Cianjur. Raden Aria Adipati

Wiranatakusumah V yang kemudian dikenal dengan julukan Dalem Haji

Page 5: Musik Degung

sebelum menjadi bupati Bandung pernah berkedudukan sebagai bupati

Cianjur. Pada waktu itu di kabupaten Cianjur telah berkembang seni

Degung. Pada tahun 1920 R.A.A. Wiranatakusumah V mulai diangkat

menjadi bupati Bandung, ketika itu beberapa orang pemain seni Degung

Cianjur ada yang ikut serta ke Bandung.” (1977: 69)

Dari keterangan tersebut bisa disimpulkan bahwa pada awalnya

gamelan ini merupakan musik keraton atau kadaleman, di mana nilai-nilai

etika sosial dan estetika dijunjung tinggi. Pada saat itu musik Degung

merupakan musik gendingan (instrumental) untuk mengiringi momen-

momen yang sakral. Namun kepindahannya secara politis dari kabupaten

Cianjur ke kabupaten Bandung, menyebabkan perubahan-perubahan

penting yang akan diterangkan pada bagian setelah ini.

Struktur Waditra/Instrumen

Pada awal pemerintahan Dalem Haji sebagai bupati Bandung,

ensambel gamelan Degung hanya terdiri dari alat-alat instrumen: bonang,

cecempres (saron/panerus), jengglong (degung), dan goong. Namun atas

usul Abah Iyam dan putra-putranya, yaitu Abah Idi, Abah Oyo, dan Abah

Atma, para seniman musik Bandung yang sudah membentuk grup

“Pamagersari” (Abah Idi, 1918) dan “Purbasasaka” (Abah Oyo, 1919),

perangkatnya ditambah dengan: peking, kendang, dan suling. Usul ini

disampaikan setelah diadakan Cuultuurcongres Java Instituut pada tanggal

18 Juni 1921 yang di dalamnya menampilkan Goong Renteng dari desa

Lebakwangi, kecamatan Banjaran, kabupaten Bandung.

Pada tahun 1961 oleh R.A. Darya atau R.A. Mandalakusuma (kepala

RRI Bandung), ketika menggunakan musik Degung untuk mendukung

gending karesmen berjudul “Mundinglayadikusumah” garapan Wahyu

Wibisana, waditra Degung ditambah lagi dengan gambang dan rebab. Lalu

pada tahun 1962, ada yang mencoba memasukkan waditra angklung ke

dalam ensambel Degung. Nano S. dalam karya-karya Degung Baru bahkan

memasukkan waditra kacapi. Namun penambahan beberapa waditra ini

Page 6: Musik Degung

tidak bertahan lama, hanya bersifat situasional dan kondisional pada

garapan tertentu, kecuali waditra peking, kendang, dan suling yang masih

bertahan sampai sekarang.

Dilihat dari bentuknya, waditra bonang, jenglong, dan goong

berbentuk penclon, yang secara organologis termasuk ke dalam klasifikasi

idiofon (alat pukul) dengan sub klasifikasi gong chime. Sedangkan waditra

cecempres dan peking berbentuk wilahan (bilah), yang secara organologis

termasuk ke dalam klasifikasi idiofon dengan sub klasifikasi metalofon.

Sementara waditra suling termasuk aerofon, dan kendang termasuk

membranofon. Klasifikasi ini berdasarkan terjemahan Rizaldi Siagian dari

teori Sachs/Hornbostel (1914:6).

Banyaknya penclon pada waditra bonang biasanya antara 14 sampai

dengan 16 buah, dimulai dengan nada 1 (da) tertinggi sampai nada 1 (da)

terendah sebanyak 3 gembyang (oktaf). Penclon-penclon ini disusun di atas

rancak (penyangga), dengan menempatkan penclon terkecil (nada tertinggi)

di ujung sebelah kanan pemain, berurutan hingga penclon terbesar (nada

terendah) di ujung sebelah kiri pemain. Hal ini disesuaikan dengan urutan

nada pada laras (tangga nada) Degung. Bonang bertugas sebagai pembawa

melodi pokok yang merupakan induk dari semua waditra lainnya. Pangkat

(intro) lagu Degung dimulai dari waditra ini.

Penclon pada waditra jenglong berjumlah 6 buah yang terdiri dari

nada 5 (la) hingga 5 (la) di bawahnya (1 gembyang), dengan ambitus

(wilayah nada) yang lebih rendah dari bonang. Penclon-penclon ini

digantung dengan tali pada rancak yang berbentuk tiang gantungan (lihat

gambar 4 di belakang-kanan). Jenglong bertugas sebagai balunganing

gending (bass; penyangga lagu) yakni sebagai penegas melodi bonang.

Gong yang terdiri dari 2 buah penclon, yakni kempul (gong kecil) dan

goong (gong besar) digantung dengan tali secara berhadapan pada rancak

(lihat gambar 8 di belakang-kiri). Kempul berada di sebelah kiri pemain,

sementara goong di sebelah kanan pemain. Ambitus nada gong sangat

rendah, bertugas sebagai pengatur wiletan (birama) atau sebagai tanda

Page 7: Musik Degung

akhir periode melodi dan penutup kalimat lagu. Goong disebut juga sebagai

pamuas lagu.

Jumlah wilahan pada cecempres adalah 14 buah, disusun di atas

rancak yang dimulai dari nada 2 (mi) tertinggi di ujung sebelah kanan

pemain hingga nada 5 (la) terendah di ujung sebelah kiri pemain.

Cecempres bertugas sebagai rithm (patokan nada) yang menegaskan

melodi bonang, yang dipukul dengan pola yang konstan.

Adapun jumlah wilahan pada peking adalah sama dengan cecempres,

namun nada-nada peking memiliki ambitus (wilayah nada) yang lebih tinggi

dari cecempres (biasanya antara sakempyung: kira-kira 1 kwint hingga

sagembyang: kira-kira 1 oktav). Tugas peking agak berbeda dari cecempres,

yakni sebagai pengiring melodi. Apabila jenglong dan cecempres dipukul

tandak (konstan menurut ketukan), maka peking terkesan lebih ber-

improvisasi. Peking sering juga disebut sebagai pameulit/pamanis lagu.

Sebagaimana penulis jelaskan sebelumnya, peking merupakan waditra

tambahan.

Seperti halnya peking, waditra kendang dan suling juga merupakan

tambahan. Pada awalnya kendang tidak dimainkan seperti pada lagu-lagu

berlaras pelog/salendro, tetapi hanya sebagai penjaga ketukan saja seperti

pada orkestra Barat. Namun, permainan kendang pada lagu-lagu Degung

sekarang lebih variatif, sehingga menurut penulis hal ini menyebabkan

penonjolan melodi bonang jadi ‘tersaingi’. Begitupun dalam permainan

suling. Walaupun dengan timbre (warna suara) yang berbeda, namun

kedudukannya sama seperti vokal sehingga pendengar jadi kurang

menikmati melodi bonang. Namun pada lagu-lagu Degung Baru kehadiran

peking, kendang, dan suling ini menjadi hal biasa, apalagi bagi apresiator

yang belum pernah mendengar lagu-lagu Degung.

Bahan dasar pembuatan bonang, cecempres, peking, jenglong, dan

goong yang paling baik kualitas suaranya adalah dari logam perunggu

(campuran timah dan tembaga dengan perbandingan 1 : 3). Ada yang

menggunakan bahan dasar logam kuningan dan besi. Namun kedua logam

Page 8: Musik Degung

tersebut kualitas suaranya lebih rendah daripada logam perunggu. Kualitas

logam ini pun berpengaruh kepada daya tahan terhadap cuaca.

Laras/Tangga Nada

Laras (berasal dari bahasa Jawa) mengandung pengertian yang sama

dengan tangga nada pada musik Barat, yakni: deretan nada-nada, baik

turun maupun naik, yang disusun dalam satu gembyang (oktav) dengan

swarantara (interval) tertentu. Satu gembyang adalah jarak antara satu

nada ke nada yang sama di atasnya (misalnya dari 1 ke 1’ tinggi). Seperti

kita ketahui bahwa pada teori musik Barat, satu gembyang berjarak 1200

sen.

Sementara swarantara adalah jarak antara nada satu ke nada

berikutnya (misalnya 1 ke 2, 2 ke 3, dan seterusnya). Perbedaan laras

Sunda dengan tangga nada musik Barat adalah, apabila pada tangga nada

musik Barat penomoran nada diatur naik dari nada rendah ke nada tinggi

(berjumlah 7 nada pokok), maka pada laras Sunda penomoran diatur

menurun dari nada tinggi ke nada rendah (berjumlah 5 nada pokok).

Dalam karawitan Sunda dikenal empat laras pokok, yaitu: laras pelog,

laras salendro (yang keduanya dikenal juga di Jawa dan Bali), laras

madenda/sorog, dan laras Degung (yang kedua terakhir ini hanya dikenal di

daerah Sunda). Keempat laras ini masing-masing memiliki perbedaan pada

swarantaranya. Raden Machjar Angga Koemoemadinata dalam buku Ilmu

Seni Raras (1969) telah membagi perbedaan swarantara pada laras-laras

tersebut, namun uraian mengenai hal itu akan memerlukan pembahasan

yang terlalu panjang. Dalam tulisan ini, yang diperlukan adalah perbedaan

swarantara pada laras Degung.

Pola Tabuhan

Karakteristik yang paling menonjol – dan jarang ditemukan pada

ensambel gamelan lain – dari musik Degung adalah pola tabuhan

bonangnya yang menggunakan teknik gumekan. Pola tabuhan bonang inilah

Page 9: Musik Degung

yang mewakili ekspresi melodi utama musik instrumental Degung seperti

permainan piano pada musik klasik Barat. Ketrampilan kedua tangan

pemain bonang memegang peranan yang penting sebagai ‘komando’ pada

orkestra ini.

Pada gamelan pelog/salendro pola tabuhan bonang dan rincik

menggunakan teknik dikemprang atau dicaruk. Namun teknik dicaruk lebih

sering digunakan pada pola tabuhan saron I dan saron II. Jadi, perlu

digarisbawahi bahwa apabila kita menemukan pola tabuhan bonang yang

dikemprang ataupun peking dan saron yang dicaruk pada lagu Degung,

sesungguhnya hal itu adalah pengaruh dari jenis kesenian lain yang

menggunakan gamelan pelog/salendro, seperti: kiliningan, ketuk tiluan, dan

jaipongan.

Teknik gumekan bonang inilah yang menjadi ciri khas lagu-lagu Degung

sekaligus yang membedakannya dengan teknik kemprangan atau carukan

pada lagu-lagu kiliningan, ketuk tiluan, dan jaipongan. Degung adalah

orkestra yang berbentuk instrumental dengan bonang sebagai ‘induk’nya,

sementara kiliningan, ketuk tiluan, dan jaipongan musik pengiring untuk

sekar atau tarian.

Repertoar Degung

Repertoar gamelan Degung dibagi menjadi dua jenis: pertama,

repertoar Degung klasik yang masih mempertahankan teknik gumekan

bonang sebagai ekspresi melodi; kedua, repertoar Degung non klasik – oleh

Soepandi disebut dengan Degung Baru – yang sudah dipengaruhi oleh pola

tabuhan gamelan pelog/salendro (dikemprang atau dicaruk).

Kalimat lagu pada Degung klasik (intrumentalia) umumnya panjang-

panjang, karena itu sering disebut juga dengan ‘lagu ageung’. Sementara

pola lagu-lagu Degung Baru merupakan pirigan untuk mengiringi sekar,

karena itu sering disebut juga dengan ‘lagu alit’. Namun dalam

perkembangannya, beberapa lagu ageung pun sekarang sudah ada yang

diisi rampak sekar (vokal grup).

Page 10: Musik Degung

Struktur garapan pada repertoar Degung terdiri dari: pangkat, eusi,

dan madakeun. Struktur ini sama dengan istilah overture, interlude, dan

coda pada musik Barat. Pangkat adalah kalimat pembuka lagu yang

dimainkan oleh waditra bonang. Eusi adalah melodi pokok yang merupakan

isi lagu itu sendiri. Madakeun adalah kalimat penutup lagu. Kalimat

pangkat dan madakeun lebih pendek daripada eusi.

Melodi pangkat dan madakeun kebanyakan berakhir pada nada 5 (la)

dengan pukulan goong (gong besar) yang juga biasanya bernada 5 (la)

rendah. Di dalam eusi lagu-lagu pun akan banyak kita temui nada 5 (la)

sebagai akhir kalimat lagu (titik), sementara nada 2 (mi) biasanya dijadikan

akhir melodi pada pertengahan lagu (koma). Ini menunjukkan bahwa nada 2

(mi) dan nada 5 (la) merupakan nada yang penting dan menjadi ciri khas

lain pada repertoar Degung.

Perkembangan

Dulu gamelan degung hanya ditabuh secara gendingan

(instrumental). Bupati Cianjur RT. Wiranatakusumah V (1912—1920)

melarang degung memakai nyanyian (vokal) karena membuat suasana

kurang serius (rucah). Ketika bupati ini tahun 1920 pindah menjadi bupati

Bandung, maka perangkat gamelan degung di pendopo Cianjur juga turut

dibawa bersama nayaganya, dipimpin oleh Idi. Sejak itu gamelan degung

yang bernama Pamagersari ini menghiasi pendopo Bandung dengan lagu-

lagunya.

Sebelumnya waditra (instrumen) gamelan degung hanya terdiri atas

koromong (bonang) 13 penclon, cempres (saron panjang) 11 wilah, degung

(jenglong) 6 penclon, dan goong satu buah. Kemudian penambahan-

penambahan waditra terjadi sesuai dengan tantangan dan kebutuhan

musikal, misalnya penambahan kendang dan suling oleh bapak Idi. Gamelan

degung kabupaten Bandung, bersama kesenian lain digunakan sebagai

musik gending karesmen (opera Sunda) kolosal Loetoeng Kasaroeng

tanggal 18 Juni 1921 dalam menyambut Cultuurcongres Java Institut.

Page 11: Musik Degung

Sebelumnya, tahun 1918 Rd. Soerawidjaja pernah pula membuat gending

karesmen dengan musik degung, yang dipentaskan di Medan. Tahun 1926

degung dipakai untuk illustrasi film cerita pertama di Indonesia berjudul

Loetoeng Kasaroeng oleh L. Heuveldrop dan G. Kruger produksi Java Film

Company, Bandung. Karya lainnya yang menggunakan degung sebagai

musiknya adalah gending karesmen Mundinglaya dikusumah oleh M. Idris

Sastraprawira dan Rd. Djajaatmadja di Purwakarta tahun 1931.

Setelah Idi meninggal (tahun 1945) degung tersendat

perkembangannya. Apalagi setelah itu revolusi fisik banyak mengakibatkan

penderitaan masyarakat. Degung dibangkitkan kembali secara serius tahun

1954 oleh Moh. Tarya, Ono Sukarna, dan E. Tjarmedi. Selain menyajikan

lagu-lagu yang telah ada, mereka menciptakan pula lagu-lagu baru dengan

nuansa lagu-lagu degung sebelumnya. Tahun 1956 degung mulai disiarkan

secara tetap di RRI Bandung dengan mendapatkan sambutan yang baik dari

masyarakat. Tahun 1956 Enoch Atmadibrata membuat tari Cendrawasih

dengan musik degung dengan iringan degung lagu palwa. Bunyi degung

lagu Palwa setiap kali terdengar tatkala pembukaan acara warta berita

bahasa Sunda, sehingga dapat meresap dan membawa suasana khas Sunda

dalam hati masyarakat.

Pengembangan lagu degung dengan vokal dilanjutkan oleh grup

Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi sekitar tahun 1958. Selanjutnya E.

Tjarmedi dan juga Rahmat Sukmasaputra mencoba menggarap degung

dengan lagu-lagu alit (sawiletan) dari patokan lagu gamelan salendro pelog.

Rahmat Sukmasaputra juga merupakan seorang tokoh yang memelopori

degung dengan nayaga wanita. Selain itu, seperti dikemukakan Enoch

Atmadibrata, degung wanita dipelopori oleh para anggota Damas (Daya

Mahasiswa Sunda) sekitar tahun 1957 di bawah asuhan Sukanda Artadinata

(menantu Oyo).

Tahun 1962 ada yang mencoba memasukkan waditra angklung ke

dalam degung. Tetapi hal ini tidak berkembang. Tahun 1961 RS. Darya

Mandalakusuma (kepala siaran Sunda RRI Bandung) melengkapi degung

Page 12: Musik Degung

dengan waditra gambang, saron, dan rebab. Kelengkapan ini untuk

mendukung gending karesmen Mundinglayadikusumah karya Wahyu

Wibisana. Gamelan degung ini dinamakan degung Si Pawit. Degung ini juga

digunakan untuk pirigan wayang Pakuan. Dari rekaman-rekaman produksi

Lokananta (Surakarta) oleh grup RRI Bandung dan Parahyangan pimpinan

E. Tjarmedi dapat didengarkan degung yang menggunakan waditra

tambahan ini. Lagu-lagu serta garap tabuhnya banyak mengambil dari

gamelan salendro pelog, misalnya lagu Paksi Tuwung, Kembang Kapas, dsb.

Pada tahun 1964, Mang Koko membuat gamelan laras degung yang

nadanya berorientasi pada gamelan salendro (dwi swara). Bentuk ancak

bonanya seperti tapal kuda. Dibanding degung yang ada pada waktu itu,

surupannya lebih tinggi. Keberadaan degung ini sebagai realisasi teori R.

Machyar. Gamelan laras degung ini pernah dipakai untuk mengiringi

gending karesmen Aki Nini Balangantrang (1967) karya Mang Koko dan

Wahyu Wibisana.

Tahun 1970—1980-an semakin banyak yang menggarap degung,

misalnya Nano S. dengan group Gentra Madya (1976), lingkung seni Dewi

Pramanik pimpinan Euis Komariah, degung Gapura pimpinan Kustyara, dan

degung gaya Ujang Suryana (Pakutandang, Ciparay) yang sangat populer

sejak tahun 1980-an dengan ciri permainan sulingnya yang khas. Tak kalah

penting adalah Nano S. dengan grup Gentra Madya-nya yang memasukan

unsur waditra kacapi dalam degungnya. Nano S. membuat lagu degung

dengan kebiasaan membuat intro dan aransemen tersendiri. Beberapa lagu

degung karya Nano S. yang direkam dalam kaset sukses di pasaran, di

antaranya Panglayungan (1977), Puspita (1978), Naon Lepatna (1980),

Tamperan Kaheman (1981), Anjeun (1984) dan Kalangkang yang

dinyanyikan oleh Nining Meida dan Barman Syahyana (1986). Lagu

Kalangkang ini lebih populer lagi setelah direkam dalam gaya pop Sunda

oleh penyanyi Nining Meida dan Adang Cengos sekitar tahun 1987.

Berbeda dengan masa awal (tahun 1950-an) dimana para penyanyi

degung berasal dari kalangan penyanyi gamelan salendro pelog (pasinden;

Page 13: Musik Degung

ronggeng), para penyanyi degung sekarang (sejak 1970-an) kebanyakan

berasal dari kalangan mamaos (tembang Sunda Cianjuran), baik pria

maupun wanita. Juru kawih degung yang populer dan berasal dari kalangan

mamaos di antaranya Euis Komariah, Ida Widawati, Teti Afienti, Mamah

Dasimah, Barman Syahyana, Didin S. Badjuri, Yus Wiradiredja, Tati Saleh

dan sebagainya.

Lagu-lagu degung di antaranya: Palwa, Palsiun, Bima Mobos

(Sancang), Sang Bango, Kinteul Bueuk, Pajajaran, Catrik, Lalayaran, Jipang

Lontang, Sangkuratu, Karang Ulun, Karangmantri, Ladrak, Ujung Laut,

Manintin, Beber Layar, Kadewan, Padayungan, dsb. Sedangkan lagu-lagu

degung ciptaan baru yang digarap dengan menggunakan pola lagu

rerenggongan di antaranya: Samar-samar, Kembang Ligar, Surat

Ondangan, Hariring Bandung, Tepang Asih, Kalangkang, Rumaos, Bentang

Kuring, dsb.

kajian permasalahan

Dari keterangan tersebut bisa disimpulkan bahwa pada awalnya

gamelan ini merupakan musik keraton atau kadaleman, di mana nilai-nilai

etika sosial dan estetika dijunjung tinggi. Pada saat itu musik Degung

merupakan musik gendingan (instrumental) untuk mengiringi momen-

momen yang sakral. Namun kepindahannya secara politis dari kabupaten

Cianjur ke kabupaten Bandung, menyebabkan perubahan-perubahan

penting.

Setelah dilakukannya pengamatan pada permasalahan degung ini

saya dapat menyimpulkan bahwa ternyata kesenian degung itu berasal dari

kalangan menak atau para bangsawan yang memang bukan untuk rakyat

melainkan untuk penyatuan kekutan di pendopo. Namun, seiring dengan

perkembangan jaman dan dengan adanya perubahan pada fungsi degung.

Maka degung sampai saat ini masih tetap ada (bertahan). Sekalipun perlu

disadari bahwa saat ini anak muda atau regenerasi tidak terlalu menyukai

degung, namun kita perlu menjaga dan melestarikannya.

Page 14: Musik Degung

Tanggapan terhadap kesenian degung

Didalam hal ini memang kita perlu menegaskan bahwa kesenian

degung sampai saat ini berubah fugsi yang tadinya hanya untuk kalangan

bangsawan dan di pergelarkan di pendopo saja, sekarang sudah bisa di

pergelarkan dikalangan masyarakat. Dan fungsi yang lainnya sebagai

sarana hiburan yang tergolong pada degung kreasi. Tetapi, ada juga yang

merubah fungsi degung menjadi kesenian atau suatu jenis atau gendre

music yang bisa dipakai untuk upacara adat, kolaborasi dll yang di

pergelarkan di acara syukuran.

Maka dari itu fungsi degung pada jaman dulu dan jaman sekarang

sangat jauh berbeda dan tidak bisa di cekal atau tidak diperbolehkan.

Karena dengan cara seperti, ini kesenian degung masih bertahan dan lebih

dikenal di kalangan masyarakat. Sehingga, masyarakat dapat menikmati

kesenian yang pada awalnya tidak bisa di nikmati oleh mereka dan tidak

bisa di pakai untuk kebutuhan yang bersifat luar, yang tidak ad kaitannya

dengan silsilah degung itu sendiri. Contoh: adanya group degung yang

berfungsi untuk hiburan dengan menggunakan gamelan degung seperti

group “Sambasunda” yang beralamat di jl. Pangampaan Ciateul Bandung.

Yang dipimpin oleh bapak Ismet Ruchimat. Bahkan group ini bisa

melanglang buana samapai kemanca negara dengan karya music yang

menggunakan gamelan degung.

Maka, jelas sekali bahwa perubahan fungsi degung disini memang

sangat jauh dengan fungsi degung pada zaman dulu. Degung yang digarap

oleh bapak ismet ruchimat adalah salah satu degung kreasi yang di inovasi

agar degung bisa lebih menarik dan disukai oleh semua kalangan

masyarakat. Seperti dalam album sambasunda “rahwana cry’s”.

Kritik dan saran

Kritik dan saran untuk masalah ini yakni setiap kesenian pasti ada

perubahan sekalipun tidak secara utuh. Namun, sebagai pemerhati juga

Page 15: Musik Degung

pelaku seni saya berharap karya-karya baru yang ada dari perkembangan

atau inovasi degung dapat dipertahankan. Karena, peminat makin kesini

makin menurun maka dengan adaya sesuatu yang berbeda mudah-mudahan

peminatpun makin bertambah,dan kesenian degung tidak terbilang musnah.

Kesimpulan

Memang benar bahwa suatu kesenian atau budaya akan berubah

ketika orang atau masyarakat itu sendiri yang merubahnya. Karena sangat

jelas sekali dilihat dari permasalahan yang ada dalam kajian degung ini

sangat cenderung pada perubahan yang terjadi dari kebiasaan pada jaman

dulu pada kebiasaan sekarang. Jadi, pada intinya suatu kesenian atau

kebudayaan akan tetap bertahan ketika masyarakat itu sendiri

mempertahankan dan menjaga kesenian tersebut, agar tidak terjadi

perubahan baik dari segi fungsi, struktur dan lain-lain.

Maka jelas sekali sekalipun degung sekarang sudah berubah fungsi

tetapi degung sampai saat ini masih bertahan dan dapat di lestarikan oleh

masyarakat khususnya jawabarat. Secara keseluruhan dilihat dari semua

segi ternyata degung tergolong pada fungsionalisme. Kerena, sekalipun

degung sudah berubah fungsi dan bentuk sajian nya, tetapi degung masih

memiliki nilai yang sama dimata masyarakat.

Daftar pustaka

Wikipedia.Com, Sejarah Kesenian Degung.

Sundanet.Com, Pengertian Degung.

Soepandi, Atik

1970 Teori Dasar Karawitan. PT. Pelita Massa, Bandung.

Page 16: Musik Degung

Resensi Karya Musik Etnik(Degung)

Diajukan untuk memenuhi syarat UTS mata kuliah Kreativitas Karawitan ISemester V

Disusun Oleh :Desta Mulyanti

08 222 78

Page 17: Musik Degung

SEKOLAH TINGGI SENI INDONESIA ( STSI )BANDUNG

2010