23
1 DIMENSI EKONOMI BAHASA AL-QUR'AN: Studi Teks dan Konteks Ayat-ayat Al-Qur'an Dalam Perspektif Balàgah dan Tektolinguistik Oleh Dr. Muhbib Abdul Wahab, MA. A. Pendahuluan Al-Qur‘an merupakan kitab suci penuh mukjizat, baik dari segi isi maupun redaksi bahasanya. Semua ayat Al-Qur‘an diyakini benar berasal dari Allah subëànahu wa ta„àlà, disampaikan kepada Nabi Muëammad êallallàhu „alaihi wa sallam melalui malaikat Jibril. Kemukjizatan Al-Qur‘an tidak hanya terjadi selama masa kenabian, melainkan terus berlangsung sepanjang masa. Kemukjizatan Al- Qur‘an dari segi bahasanya tidak hanya menginspirasi umat Islam untuk mengungkap keindahan dan kedalaman maknanya, melainkan juga meneliti redaksi, pilihan kata (diksi), implikasi semantik, kesan dan pesan yang ditimbulkannya. Pemahaman dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur‘an secara kontekstual dapat mengantarkan kita kepada pemaknaan ekonomi bahasa (al-iqtiêàdul lugawì) Al- Qur‘an. Berbasis teori-teori dalam ilmu balàgah dan tekstolinguistik, penulis mengajukan tesis bahwa bahasa Al-Qur‘an itu sangat ekonomis: efisien, singkat, padat, bernas, dan bermakna luas. Dimensi ekonomi bahasa Al-Qur‘an dapat dilihat dari segi konteks linguistiknya (diksi, redaksi, keserasian, keseimbangan, dan intensi makna) dan konteks sosio-kulturalnya (asbàbun nuzùl, konteks sosio-historis dan sosio-kultural teks itu hadir). Dimensi tersebut berimplikasi kepada penafsiran secara lebih kontekstual dan membuat bahasa Al-Qur‘an menjadi universal. Selain berfungsi meringankan (takhfìf) dalam pembacaannya, dimensi delasi (ëaž f) dalam konteks ekonomi bahasa Al-Qur‘an, misalnya, juga menunjukkan keagungan dan kemukjizatan Al-Qur‘an. Keekonomian bahasa Al-Qur‘an, tidak hanya terlihat dari ta‟addud al-ma‟na li al- mabna al-wàëid (multimakna dari sebuah konstruksi kata), misalnya kata ضربdalam

Muhbib Abdul Wahab-FITK

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Muhbib Abdul Wahab-FITK

1

DIMENSI EKONOMI BAHASA AL-QUR'AN: Studi Teks dan Konteks Ayat-ayat Al-Qur'an

Dalam Perspektif Balàgah dan Tektolinguistik

Oleh Dr. Muhbib Abdul Wahab, MA.

A. Pendahuluan

Al-Qur‘an merupakan kitab suci penuh mukjizat, baik dari segi isi maupun

redaksi bahasanya. Semua ayat Al-Qur‘an diyakini benar berasal dari Allah

subëànahu wa ta„àlà, disampaikan kepada Nabi Muëammad êallallàhu „alaihi wa

sallam melalui malaikat Jibril. Kemukjizatan Al-Qur‘an tidak hanya terjadi selama

masa kenabian, melainkan terus berlangsung sepanjang masa. Kemukjizatan Al-

Qur‘an dari segi bahasanya tidak hanya menginspirasi umat Islam untuk

mengungkap keindahan dan kedalaman maknanya, melainkan juga meneliti

redaksi, pilihan kata (diksi), implikasi semantik, kesan dan pesan yang

ditimbulkannya.

Pemahaman dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur‘an secara kontekstual dapat

mengantarkan kita kepada pemaknaan ekonomi bahasa (al-iqtiêàdul lugawì) Al-

Qur‘an. Berbasis teori-teori dalam ilmu balàgah dan tekstolinguistik, penulis

mengajukan tesis bahwa bahasa Al-Qur‘an itu sangat ekonomis: efisien, singkat,

padat, bernas, dan bermakna luas. Dimensi ekonomi bahasa Al-Qur‘an dapat

dilihat dari segi konteks linguistiknya (diksi, redaksi, keserasian, keseimbangan, dan

intensi makna) dan konteks sosio-kulturalnya (asbàbun nuzùl, konteks sosio-historis

dan sosio-kultural teks itu hadir).

Dimensi tersebut berimplikasi kepada penafsiran secara lebih kontekstual

dan membuat bahasa Al-Qur‘an menjadi universal. Selain berfungsi meringankan

(takhfìf) dalam pembacaannya, dimensi delasi (ëažf) dalam konteks ekonomi bahasa

Al-Qur‘an, misalnya, juga menunjukkan keagungan dan kemukjizatan Al-Qur‘an.

Keekonomian bahasa Al-Qur‘an, tidak hanya terlihat dari ta‟addud al-ma‟na li al-

mabna al-wàëid (multimakna dari sebuah konstruksi kata), misalnya kata ضرب dalam

Page 2: Muhbib Abdul Wahab-FITK

2

berbagai konteksnya yang memiliki multimakna seperti: memukul (sesuatu),

membuat (perumpamaan), mendirikan (tenda), meniup (terompet), menghalangi,

pergi, menikah, cenderung, merusak, mencegah, mengalikan, mencetak (koin) dan

sebagainya1, melainkan juga terungkap dari rahasia di balik ketepatan, keserasian,

dan keseimbangan atau proporsionalitas (ta‟àdul) dalam pemilihan kosakata, irama,

formula kata, hingga ta‟àdul ma‟nawi (keseimbangan makna).2 Tulisan ini merupakan hasil kajian tekstolinguistik3 secara kritis terhadap

sejumlah aspek atau dimensi ekonomi bahasa A-Qur‘an. Studi ekonomi bahasa (al-

iqtiêàdul lugawi) sendiri merupakan salah satu jenis kajian baru dalam dunia

linguistik yang, menurut penulis, sangat menarik, diaplikasikan dalam melihat dan

memakai teks dan konteks redaksi ayat-ayat Al-Qur‘an. Dengan memahami berbagai

dimensi ekonomi bahasa Al-Qur‘an, terutama dalam persepektif Balàgah4 (eloquence,

1 Mengenai contoh redaksi konteks penggunaan kata ضرب lebih detil, lihat Aëmad Abù

Sa‘d, Mu‟jam at-Taràkìb wa al-„Ibàràt al-Iêíilàëiyyah al-„Arabiyyah al-Qadìm minha wa al-Muwallad, (Beirut: Dàrul ‗Ilmi lil Malàyín, 1987), Cet. I, h. 6.

2 Keseimbangan atau proporsionalitas penggunaan bahasa dalam Al-Qur‘an merupakan kajian baru yang sangat menarik, karena dapat mengungkap berbagai dimensi keseimbangan dan keserasian ungkapan maupun pesan ayat-ayat al-Qur‘an. Keseimbangan dimaksud, antara lain, meliputi: keseimbangan fonologis (misalnya antara bunyi vokal dan konsonan), kesimbangan dalam delasi, keseimbangan morfologis, keseimbangan derivasi (musytaqqàt), keseimbangan dalam kedudukan kata (mawàqi‟ul i‟ràb), dan keseimbangan makna (ta‟àdul ma‟nawi). Lebih lanjut, lihat Ibtisàm Šàbit Muëammad, at-Ta‟àdul fil „Arabiyyah: Diràsah Ëawtiyyah Ëarfiyyah Naëwiyyah, (Bagdàd: Markaz al-Buëùš wad Diràsàtil Islàmiyyah, 2009).

3 Tekstolinguistik („Ilmul Lugatin Nashshí atau ‗Ilm Nashshil Lugah) merupakan salah satu disiplin ilmu baru yang merupakan pengembangan dari tekstologi („Ilmun Nashsh) atau aplikasi dari linguistik terhadap teks. Tekstolinguistik berkaitan erat dengan ilmu sastra, balaghah, syair (puisi), gaya bahasa (al-uslùb), psikologi, sosiologi, filsafat, dan sebagainya. Tekstologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari konstruksi teks lisan (verbal) maupun non-verbal (tertulis). Ilmu juga diartikan sebagai kajian linguistik terhadap perangkat bahasa mengenai koherensi teks (tamàsuk nashshì), baik dari segi bentuk dan semantiknya (form and meaning). Kajian dalam tekstolinguistik menekankan pentingnya konteks (siyàq) dan adanya latar belakang bagi penerima pesan ketika melakukan analisis teks. Dengan kata lain, tekstolinguistik merupakan ilmu yang mengkaji teks sebagai unit kebahasaan terbesar, dengan memperhatikan berbagai aspeknya seperti koherensi, keterpaduan, referensi, konteks teks, peran pengirim dan penerima teks, baik lisan maupun tulis. Lihat Shubhi Ibrahim al-Faqi, „Ilmul Lugatin Naêêì Baina an-Naîariyyah wa at-Taíbìq: Diràsah Taìbíqiyyah „ala as-Suwar al-Makkiyah, (Kairo: Dàr Qubà‘, 2000), Jilid I, h. 33-36.

4 Dalam „Ilmul Ma‟ànì misalnya terdapat topik kajian seputar al-ìjàz (bracylogy), yaitu ekspresi tujuan, makna dan pesan dengan lafazh yang lebih sedikit (ekonomis) dari yang biasa berlaku, namun tetap memadai dan memenuhi maksudnya dengan tujuan tertentu. Lihat Aëmad Muêíafà al-Maràgì, „Ulùm al-Balàgah: al-Bayàn wal Ma‟àní wal Badí‟, (Beirut: Dàrul Kutub al-‗Ilmiyyah, 2012), Cet. IV, h. 182. Dengan kata lain, al-ìjàz merupakan formulasi kalam (pembicaraan) yang

Page 3: Muhbib Abdul Wahab-FITK

3

rhetoric) dan Tekstolinguistik –salah satu ilmu baru yang merupakan pengembangan

dari tekstologi (‟ilmun nashsh) atau aplikasi linguistik terhadap pemaknaan teks,

pembaca, pengkaji, dan penafsir (mufassir) Al-Qur‘an akan semakin yakin bahwa

redaksi Al-Qur‘an itu merupakan integrasi teks dan konteks yang sangat ekonomis:

diksi, intensi, dan aktualisasi yang efisien, efektif, sekaligus progresif. Pilihan

kosakata (ikhtiyàr mufradàt), ungkapan, ragam jumlah ismiyyah atau fi‟liyyah (kalimat

nomina dan verba), berikut gaya bahasa Al-Qur‘an (al-uslùbul Qur‟aní) dipastikan

sarat makna, rahasia estetika, stilistika, dan nilai sastra yang tinggi, sehingga pesan

dan makna selalu aktual dan kontekstual. Pembacaan dan pemaknaan teks dan

konteks ayat-ayat Al-Qur‘an pada gilirannya dapat mengungkap secara lebih

mendalam dan indak kandungan dan pesan Al-Qur‘an.

Permasalahannya kemudian adalah bagaimana fenomena ekonomi bahasa

Al-Qur‘an itu dipahami dalam persepektif ilmu balàgah dan tekstolinguistik? Jika

diyakini bahwa tidak penggunaan bahasa Al-Qur‘an yang ―sia-sia, tanpa maksud dan

tujuan‖, apa saja dimensi yang dapat diungkap dan dijelaskan dari fenomena iqtiêàd

lugawì dalam Al-Qur‘an? Bagaimana formulasi konteks dan implikasi ekonomi

bahasa Al-Qur‘an terhadap pemaknaan dan penafsirannya? Tulisan ini berupaya

menjawab beberapa permasalahan tersebut dengan dilandasi tesis bahwa bahasa

Arab Al-Qur‘an itu sarat dengan kemukjizatan linguistik (i‟jàz lugawí), antara lain

tercermin pada fenomena ekonomi bahasanya: singkat kata, tetapi padat makna;

efisien ungkapan, tetapi kaya pesan; dan ringkas dalam pelafalan, tetapi bernas

dalam memberi wawasan.

menunjukkan makna yang beragam dengan menggunakan ungkapan yang sedikit, ringkas, tanpa merusak atau mengurangi maknanya. Ìjàz kemudian diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu ìjàzul qishar dan ìjàz al-ëažf. Yang pertama merupakan formulasi ìjàz yang didasarkan pada penggunaan delasi (ëažf). Sedangkan yang kedua merupakan formulasi ìjàz disebabkan oleh penggunaan delasi beberapa ungkapan, berdasarkan penunjuk atau indikator (qarà‟in) terhadap ungkapan yang didelasikan. Lihat Abdurraëmàn Èasan Èabannakah al-Maidànì, al-Balàgah al-„Arabiyyah: Ususuhà, wa „Ulùmuhà, wa Funùnuhà, (Damaskus: Dàrul Qalam, 1996), Juz II, Cet. I, h. 26-29. Balagah sendiri umumnya dipahami sebagai ilmu yang mempelajari kesesuaian kalàm (perkataan, ungkapan, wacana) yang fasih dengan konteks sosialnya (muqtaýal ëàl). Lihat Majdì Wahbah dan Kàmil al-Muhandis, Mu‟jam al-Muêíalaëàt al-„Arabiyyah fil Lugah wal Adab, (Beirùt: Maktabah Lubnàn, 1984), h. 79.

Page 4: Muhbib Abdul Wahab-FITK

4

B. Teks dan Konteks

1. Konsep Dasar Teks

Teks dalam bahasa Arab disebut nashsh. Kata صن dalam dunia bahasa Arab

menunjukkan sejumlah makna yang dapat dilihat dari empat segi, yaitu: (a)

mengangkat, meninggikan, dan memperlihatkan (al-raf‟u wal iîhàr), (b) konsistensi

dan reliabilitas (al-istiqàmah wal šabàt), (c) berakhir pada sesuatu (al-intiëà‟ fisy syai‟),

dan (d) konstruksi dan gerakan (al-tarkìb wal ëarakah).5 Menurut Ibnu Manzhùr,

naêê (teks) mengandung arti mengangkat, meninggikan, atau menjadikan tampak

atau terlihat, sehingga dari kata ini muncul kata منصة (panggung, mimbar, podium)

yang umumnya menonjol, berada dalam posisi yang lebih tinggi agar dapat dilihat

oleh audien. Naêê juga berarti target atau tujuan akhir sesuatu6, karena melalui

teks, penyampai pesan (mursil) bermaksud mengantarkan dan memahamkan apa

yang menjadi target dan tujuannya (ìêàl ar-risàlah wal ma‟na).

Karena itu, al-Jurjànì mendefinisikan teks (naêê) sesuatu yang membuat

makna semakin jelas terhadap yang tampak pada mutakallim (pembicara, penyampai

pesan); teks mengantarkan pembicaraan pada (kejelasan) makna.7 Dalam perspektif

ilmul Uêùl, teks (naêê) dipahami sebagai lafaî yang terdapat dalam Al-Qur‘an dan as-

Sunnah yang dijadikan sebagai dalil untuk penetapan hukum suatu masalah.8 Teks

itu adalah îahir (aspek luar) dari redaksi ayat Al-Qur‘an atau hadits Nabi.

Dalam linguistik modern, teks dipahami sebagai serangkaian kalimat yang

saling berkaitan; atau setiap kalimat yang saling bertautan dan unsur-unsurnya

memiliki relasi satu sama lain.9 Teks mengandung arti wacana atau alenia tertulis

5 Maëmùd Èasan al-Jàsim, Ta‟wìl al-Naêê Al-Qur‟ani wa Qaýàyàn Naëwi, (Damaskus: Dàrul

Fikril Mu‘àêir, 2010), h. 40 6 Ibn Manzhùr, Lisànul „Arab, entri nashaha; lihat juga Raddat Allah, Dalàlatus Siyàq,

(Mekkah: Jàmi‘ah Ummil Qura, 2003), h. 251-252. 7 Al-Jurjànì, Kitâb al-Ta‟rìfàt, Tahqiq Ibràhìm al-Ibyàri, (Kairo: Dàrul Bayàn lit Turàš, tt.), h.

309. 8 Ibn Èazm al-Adalùsì, al-Ihkàm fi Ushùlil Aëkàm, (Beirùt: Dàrul Àfàqil Jadìdah, 1400 H), Jilid

I, h. 42. 9 Raddatullah, Dalàlatus Siyàq …, h. 255.

Page 5: Muhbib Abdul Wahab-FITK

5

maupun verbal (diucapkan) –seberapa pun panjangnya— dengan ketentuan

merupakan satu kesatuan yang utuh.10 Wacana adalah organisasi bahasa di atas

kalimat atau di atas klausa. Wacana merupakan seperangkat preposisi yang saling

berhubungan untuk menghasilkan rasa kepaduan atau rasa kohesi bagi penyimak

atau pembaca. Wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel,

buku, ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat atau kata yang membawa

amanat yang lengkap.11

Teks memang mengemban ‖tugas komunikatif‖ (waîìfah tawàêuliyyah).

Karena itu, teks juga dimaksudkan sebagai ‖bangunan kebahasaan yang terstruktur

sedemikian rupa yang menjalankan fungsi komunikatif, baik mengandung makna

(penunjukan) yang jelas maupun masih mengadung ta‟wìl.12

Dalam hal ini, Tammàm Èassàn menegaskan bahwa teks bahasa Arab

merupakan konstruksi kata dan kalimat yang mengandung pesan atau makna.

Makna itu dipahami dari relasi antarkata, antarkalimat, dan antarparagraf sebagai

sebuah sistem terpadu. Menurutnya, penggunaan bahasa, lisan maupun tulis, yang

kemudian membentuk teks, pada akhirnya bermuara kepada dua hal: sistem (al-

niîàm) dan ekstensifikasi (tawassu‟). Sebagai sistem, penggunaan bahasa Arab

potensial memiliki multimakna bagi satu konstruksi (mabna), baik pada tataran

morfologis maupun leksikal. Misalnya saja, partikel (adàt) ما dapat berarti nàfiyah

(negasi), istifhàmiyyah (kata tanya), syaríiyyah (kondisional), ta‟ajjubiyyah (eksklamasi),

dan seterusnya sesuai dengan keberadaannya dalam sistem kalimat (teks). Demikian

pula kata "ضرب" dapat berarti memukul seperti dalam kalimat: كلبا ;ضرباخلادم

dapat juga berarti membuat seperti: ضرباهللمثال atau berarti bepergian seperti: وإذا

10 Aëmad ‗Afìfì, Naëwun Naêê: Ittijàh Jadìd fid Darsin Naëwi, (Kairo: Maktabah Zahrà‘isy Syarq,

2001), h. 23. 11 Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta: Gramedia, 1984), h. 208; dan Henry

Guntur Tarigan, Pengajaran Wacana, (Bandung: Angkasa, 2009), Edisi Revisi, h.24. 12 Mahmàd Èasan al-Jàsim, Ta‟wìlun Naêê ,…, h. 44.

Page 6: Muhbib Abdul Wahab-FITK

6

(ضربتميفاألرضفليسعليكمجناحأنتقصروامنالصالة...)سورةالنساء: dan dapat

pula berarti ‖kali‖ (bilangan) seperti: ...ضربمخسةيفستة dan seterusnya.13

Sementara itu, penggunaan bahasa yang bermuara pada ekstensifikasi

adalah berupa mutasi (al-naql) konstruksi kata atau kalimat dari makna yang

populer kepada makna yang lain, baik pada tataran sintaksis maupun tataran

leksikal. Para ahli nahwu dalam hal, antara lain, memberikan contoh mutasi

kalimat informatif (jumlah khabariyyah) beralih makna do‘a seperti: فيك اهلل ;بارك

kalimat tanya beralih makna kalimat pengingkaran seperti: عليك؟ اهلل نعمة ;أتنكر

sementara mutasi pada tataran leksikal dapat dijumpai pada sejumlah fenomena

penggunaan lafaî yang berubah dari makna hakiki menjadi makna majàzi (metafor).

Hal ini menjadi bahasan utama ‗Ilmul Bayàn (art of tropes).14

Sebagai peristiwa komunikasi, menurut Tammâm mengutip pendapat

Beaugrande, teks harus memenuhi tujuh kriteria berikut: (1) kohesi (al-sabk) atau

keterkaitan gramatikal (ar-rabíun naëwì), (2) koherensi (al-ta‟lìq) atau keterpaduan

semantik (at-tamasuk ad-dalàlì), (3) intensionalitas (al-qashd) atau tujuan teks, (4)

akseptabilitas (al-qabùl), sikap penerima atau pembaca teks terhadap keberterimaan

pesan teks, (5) informativitas (al-ma‟lùmiyyah, al-I‟làmiyyah), prediksi terjadinya

informasi atau tidaknya, dan (6) situasionalitas (al-mawqif), dan intertektualitas (al-

tanàshsh). Semua itu bergantung pada pengguna atau pembaca teks. Ketujuh kriteria

ini menjalankan prinsip-prinsip formatif (pembentukan) dan prinsip-prinsip

regulatif yang menentukan dan menciptakan komunikasi. Prinsip-prinsip regulatif

yang dimaksud adalah (1) efisiensi (al-kafà‟ah), (2) efektivitas (al-ta‟tsìr), dan (3)

relevansi (al-munàsabah).15 Dalam konteks ini, kajian ekonomi bahasa Al-Qur‘an

melihat dan mencermati penggunaan kata, ungkapan, kalimat, dan gaya bahasa dari

13 Tammàm Hassàn, Maqàlàt fi l Lugah wal Adab, (Kairo: ‗Àlamul Kutub, 2006), Jilid I, h.

475-476. 14 Tammàm Èassàn, Maqàlàt fil Lugah wal Adab, Jilid I, h. 476. 15 Tammàm Èassàn, Ijtihàdàt Lugawiyyah, (Kairo: ‗Àlamul Kutub, 2007) h. 365.

Page 7: Muhbib Abdul Wahab-FITK

7

segi efisiensi dan keekonomiannya yang dipadukan dengan luasnya makna yang

dapat diungkap.

Di manapun dan kapanpun, teks bahasa dikendalikan oleh relasi linguistik

(kebahasaan) yang mempunyai dua aspek: lafîi dan maknawi. Karena esensi bahasa,

termasuk bahasa Al-Qur‘an, adalah sinergi antara makna dan mabna, antara form

dan function, atau antara simbol dan pesan. Relasi ini bekerja untuk

mengoherensikan dan menyatupadukan semua yang menjadi bagian atau unsur

pembentuk teks. Dari relasi sub-sub teks inilah, interpretasi dan pemaknaan

dilakukan.16

Eksistensi teks pada dasarnya meniscayakan makna yang progresif. Karena

teks selalu terbuka untuk dimaknai. Teks itu bermakna dinamis, karena relasi

antara teks dengan makna bukan hubungan statis, dan pasti. Menurut Heideger,

dan Gadamer teks bahasa tidak memiliki dalàlah (penunjukan makna) tunggal,

karena bahasa tidak mesti menunjuk sesuatu.17 Karena itu, teks-teks, tidak mesti

menunjuk sesuatu, dan makna tertentu.

Memahami teks-teks agama (Al-Qur‘an dan hadits Nabi), pada dasarnya

tidak jauh berbeda dengan memahami teks-teks lain sebagai sistem simbol (tanda).

Secara sederhana, Al-Qur‘an berisi pelbagai tanda (al-àyah). Jika simbol-simbol

bahasa tidak menunjuk secara langsung pada realitas objektif-eksternal (al-wàqi„ul

khàrijì al-mawýù„ì), tetapi, simbol bahasa tersebut menunjuk pada pandangan,

pemahaman, dan pikiran dalam komunitas tertentu, maka bahasa tersebut berada

dalam ranah ―budaya‖ karena bahasa merupakan subsistem budaya.18 Pada tataran

inilah pemahaman teks Al-Qur‘an perlu dikaitkan dengan aspek sosial budaya di

mana teks itu lahir dan dikonstruksi. Asbàbun nuzùl dan sistem sosial budaya yang

mengitari teks atau ayat-ayat Al-Qur‘an menjadi penting ditelusuri dan

16 Maëmùd Èasan al-Jàsim, Ta‟wìlun Naêê …, h. 131. 17 Naêr Èàmid Abù Zayd, Isykàliyyàtul Qirà‟ah wa Àliyyàtut Ta‟wìl, (Beirùt: al-Markazus Šaqàfí

Al-‗Arabì, 1999), Cet. V, h. 42. 18 ‗Azmì Islàm, Mafhùm al-Ma„nâ: Diràsah Taëlìliyyah, (Kuwait: Fakultas Adab, Universitas

Kuwait, 1986), h. 18.

Page 8: Muhbib Abdul Wahab-FITK

8

direkonstrusi guna memperoleh pemaknaan dan pemahaman yang lebih

kontekstual.

2. Konsep Dasar Konteks

Jika naëwu mempelajari relasi antarkata dalam struktur kalimat dan

memberikan konteks internal kebahasaan (as-siyàqul lugawì ad-dàkhilì), maka balàgah

berupaya melampaui konteks internal kebahasaan itu dengan aspek eksternal, di

luar bahasa, atau sering disebut dengan muqtaýal ëàl atau siyàq al-mawqif (konteks

situasi dan kondisi di luar teks, seperti: kondisi penerima pesan, persistiwa sosial,

sistem sosial budaya, dan sebagainya).

Konteks dalam bahasa Arab disebut siyàq, berasal dari s-w-q, yang

mengandung arti: keberturutan, keberlanjutan (at-tawàli) atau kehadiran (al-

tawàrud). Dengan kata lain, konteks meniscayakan kehadiran unsur-unsur bahasa

yang dilihat secara berlanjut dan menyeluruh. Menurut Tammàm, konteks dapat

dilihat dari dua aspek. Pertama, keberlanjutan unsur-unsur yang menjadikan

struktur dan kohesi itu terjadi. Inilah yang disebut dengan konteks teks (siyàqun

naêê). Kedua, keberlanjutan dan kehadiran peristiwa yang menyertai penggunaan

bahasa dan mempunyai relasi dengan komunikasi. Inilah yang disebut dengan

konteks situasi (sosial) atau siyàqul mawqif. Kedua konteks tersebut mempunyai

relasi seperti relasi umum dan khusus, yang disebut dalàlatun naêê (penunjukan

atau makna teks) atau qarìnatun naêê (indikator teks).19

Konteks teks atau konteks bahasa itu sendiri merupakan objek kajian naêwu

(al-naëwu mawýù‟uhu as-siyàq).20 Karena, menurut Tammâm, nahwu mengkaji relasi

antarkata dalam struktur kalimat sebagai sebuah sistem. Karena itu, pemahaman

terhadap kehadiran unsur-unsur yang membentuk kata, kalimat, paragraf dan

wacana sangat menentukan makna. Konteks hadir dalam spektrum bahasa yang

luas dan menyeluruh, meliputi konstruksi morfologis, semantik, dan kosakata,

19 Tammàm Èassàn, Maqàlàt fil-Lugah wal Adab, Jilid II, h. 65. 20 Tammàm Èassàn, al-Ushùl: Diràsah Epistimùlujiyyah lil Fikril Lugawí „indal „Arab: al-Naëw –

Fiqhul Lugah – al-Balàgah, (Kairo: ‗Àlamul Kutub, 2000), Cet. II, h. 245.

Page 9: Muhbib Abdul Wahab-FITK

9

leksikon, serta mencakup aneka makna bahasa: makna konvensional, makna

rasional, dan makna natural. Dengan kata lain, qarìnatus siyàq (indikator konteks)

merupakan qarìnah paling menentukan makna gramatikal maupun makna

kontekstual teks itu sendiri.21 Sebagai contoh, sabda Rasulullah berikut: قالرسول

Jika diartikan secara leterlek, maka اهللصلىاهللعليووسلمإمناادلاءمنادلاء)رواهمسلم(

hadis ini tidak dapat dipahami dengan baik: ―Air itu dari air‖.22 Jika dilihat konteks

sosial, hadis yang sangat singkat (ekonomis) ini berkaitan dengan peristiwa yang

dialami oleh seorang sahabat dari Baní Sàlim, pada saat Nabi dan Abu Sa‘íd al-

Khudrí pergi ke kampung Quba‘, maka pesan yang disampaikan Nabi intinya

adalah bahwa mandi wajib (janàbah) disebabkan oleh air sperma. Jadi, al-mà‟ yang

pertama itu berarti guslul janàbah, sedangkan al-mà‟ yang kedua adalah manìyyul

yumna (air sperma) yang keluar, baik disebabkan oleh mimpi atau hubungan suami

istri.

Konteks mempunyai signifikansi yang strategis dalam menentukan makna

teks yang dikehendaki. Karena itu, ulama bahasa Arab di masa lalu merumuskan

signifikansi teks dengan pernyataan: ‖مقال مقام Setiap konteks mempunyai) ‖لكل

teks atau ungkapannya tersendiri). Hal ini mengandung arti bahwa pemahaman

terhadap konteks, baik konteks kebahasaan (as-siyàqul lugawì) maupun konteks non-

kebahasaan (as-siyàqu ghairul lugawì), seperti misalnya asbàbun nuzùl dalam

penafsiran suatu ayat, menjadi suatu kemestian. Tammàm misalnya memberikan

21 Tammàm Èassàn, al-Bayân fi Rawâ‟i Al-Qur‟an: Diràsah Lugawiyyah wa Uslùbiyyah lin Naêê Al-

Qur‟ànì, (Kairo: ‗Àlamul Kutub, 2000), Jilid I, h. 173. 22

Konteks sosial dari hadis tersebut dapat dipahami dari kelengkapan hadis berikut:

إسمعيل أخبرنا وقال اآلخرون حدثنا يحيى بن يحيى قال ن حجر وابوقتيبة ويحيى بن أيوب يحيى بن يحيى حدثنا قال خرجت مع رسول اهلل صلى أبيو عن عبد الرحمن بن أبي سعيد الخدري عن شريك يعني ابن أبي نمر عن وىو ابن جعفر

ا كنا في بني سالم وقف رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم على باب عتبان فصرخ اهلل عليو وسلم يوم االثنين إلى قباء حتى إذبو فخرج يجر إزاره فقال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم أعجلنا الرجل فقال عتبان يا رسول اهلل أرأيت الرجل يعجل عن

)رواهمسلم(امرأتو ولم يمن ماذا عليو قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم إنما الماء من الماءLebih lanjut lihat Imam Nawawi, Syarë an-Nawawi „ala Muslim, bàb innamal mà‘u minal mà‘i,

(Kairo: Darul Khair, 1996).

Page 10: Muhbib Abdul Wahab-FITK

10

contoh bagaimana makna leksikal إال tidak selamanya berarti ―kecuali‖ (istišnà‟),

misalnya dalam surat Íàhà/20:2-3 berikut: إالتذكرة﴾﴿ ما أنزلناعليكٱلقرءانلتشقى

﴾﴿ يشى -Dalam ayat ini, konteks (keseluruhan dan keterpaduan unsur .لمن

unsur bahasa dalam ayat ini) menghendaki makna istišnà‟ (eksepsi) tersebut

ditransformasi menjadi makna istidràk (لكن, tetapi) karena frase pada ayat setelah

itu merupakan frase penetapian dari ayat sebelumnya23: ―Tidaklah Kami إال

menurunkan Al-Qur‘an kepadamu (Muëammad) agar kamu menderita, tetapi

(bukan kecuali) agar menjadi peringatan bagi orang mau mendekatkan diri dengan

hati penuh takwa.‖ (QS. Íàhà/20: 2-3). Dengan kata lain, melalui konteks, kita

dapat memahami adanya mutasi makna (naqlul ma‟na) dari makna leksikal menjadi

makna kontekstual yang lebih relevan dan tepat untuk dimengerti pesannya.

Konteks tidak dapat dipisahkan dari struktur bahasa. Struktur linguistik Al-

Qur‘an pada umumnya mengandung multi-interpretasi. Namun demikian,

pemahaman terhadap konteks redaksi ayat memungkin kita menyingkap makna

yang lebih mendekati kebenaran. Dengan kata lain, pemahaman konteks membuat

interpretasi ayat-ayat Al-Qur‘an tidak terkungkung oleh makna leksikal (ma‟na

mu‟jamì) suatu lafaî atau ungkapan. Pengalihan makna leksikal menjadi makna

kontekstual mutlak dipengaruhi oleh pemahaman pembaca teks A-Qur‘an. Mutasi

dan transformasi makna sedemikian penting atau signifikan, karena Al-Qur‘an

memang diturunkan dan ditransmisikan dengan makna dan lafaî sekaligus dari satu

generasi ke generasi berikutnya.

Sedemikian signifikansinya konteks teks dan konteks sosial, Tammàm

Èassàn misalnya memberi contoh pemaknaan ayat berikut dengan pemahaman

yang sangat logis dan menarik: عمران/آل﴿مسلمونوأنتمإالتوتنوال:﴾ Jika

diartikan secara leksikal, maka redaksi terjemahannya adalah: ―Dan janganlah kalian

mati kecuali dalam keadaan Muslim.‖ Secara sepintas, penerjemahan tersebut seolah

23 Tammàm Èassàn, Maqàlàt fil Lugah wal Adab, Jilid II, h. 66.

Page 11: Muhbib Abdul Wahab-FITK

11

tidak ―bermasalah‖. Akan tetapi jika dipahami secara rasional, maka seharusnya:

―mati itu tidak perlu dilarang‖ (semua manusia pada akhirnya pasti mati, tanpa

harus dilarang). Karena itu, konteks redaksi ayat tersebut bukan melarang ―mati‖,

melainkan ―memerintahkan umat Muslim untuk berpegang teguh atau

berkomitmen kuat (iltizàm wa istiqàmah) kepada Islam hingga mati‖.24 Jadi, makna

kontekstual ayat yang hampir selalu dibaca khatib pada setiap Jum‘at tersebut

adalah: ―Kalian harus memiliki komitmen dan sikap istiqamah yang kuat dalam

beriman dan berislam hingga meninggal dunia dengan husnul khàtimah‖. Oleh karena itu, konteks mempunyai banyak fungsi, antara lain adalah (a)

mengukuhkan kepastian suatu penunjukan makna yang masih mengandung

kemungkinan, (b) menjelaskan yang bersifat global, rujukan prenomina dan bacaan

yang tepat suatu kata dalam struktur kalimat, dan (c) merevisi penafsiran yang

kurang atau tidak tepat, dan (d) menolak praduga adanya ayat-ayat yang saling

bertentangan.25

Dalam kajian linguistik modern, pemahaman terhadap konteks dilandasi oleh

sebuah asumsi bahwa sistem bahasa itu, termasuk bahasa Al-Qur‘an, saling

berkaitan satu sama lain di antara unsur atau unit-unitnya, dan selalu mengalami

perubahan dan perkembangan. Karena itu, dalam menentukan makna, diperlukan

adanya penentuan berbagai konteks yang melingkupinya. Teori yang dikembangkan

oleh Wittgenstein maupun K. Ammer ini menegaskan bahwa makna suatu kata

dipengaruhi oleh empat konteks, yaitu: (a) konteks kebahasaan, (b) konteks

emosional, (c) konteks situasi dan kondisi, dan (d) konteks sosio-kultural.26

Konteks kebahasaan terkait erat dengan konstruksi bahasa itu sendiri. Kata

mempengaruhi makna kalimat. Akan tetapi, kalimat (keseluruhan rangkaian kata)

mempengaruhi makna kata tertentu dalam kalimat itu. Artinya, makna kontekstual

diperoleh dan dipahami dari keseluruhan konstruksi kata yang membentuk

24 Tammàm Hassàn, al-Bayàn fi Rawà‟i‟ Al-Qur‟an... h. 164. 25 Abdullah, Zaid ‘Umar, ‖al-Siyàq Al-Qur‘àni wa Ašaruhu fil Kasyfi ‘an al-Manà‘ni‖, diakses

dari http://alukah.net., 20 April 2010. 26 Farìd ‗Iwaý Haidar, „Ilmud Dalàlah: Diràsah Naîariyyah wa Tathbîqiyyah, (Kairo: Maktabatul

Adab, 2005), h. 158.

Page 12: Muhbib Abdul Wahab-FITK

12

kalimat.27 Kata "الفصللل" dalam enam kalimat berikut maknanya pasti berbeda,

meskipun akar katanya sama. Perhatikan dan pahami konteks enam kalimat

berikut:

(bab, bagian) منكتاب"العربيةبنييديك".الفصلاخلامسقرأنا-

(musim) منفصولالسنة.فصلإنالربيعىوأمجل-

(semester).منىذاالعامالدراسيالفصلاألولإننااآلنيف-

(babak, episode) منادلسرحية.الفصلالثاينشاىدنا-

(pemutusan hubungan kerja, PHK).الفصلمنالعملقرارالععامليستلم-

firman pemisah (antara yang hak dan) ﴾:الطلار//﴿فصلل لقلول ۥإنلو-

yang batil)Konteks kebahasaan berkaitan dengan struktur kata dalam kalimat yang dapat

menentukan makna yang berbeda, seperti taqdìm (posisi didahulukan) dan ta‟khìr

(diakhirkan), seperti: أمحللدأققللراءةالكتللاب"" berbeda dengan: "قللراءةالكتللابأتمحللاأمحللد". Konteks emosional dapat menentukan makna bentuk kata dan strukturnya dari

segi kuat dan lemahnya muatan emosional, seperti dua kata yang berarti

"membunuh", yaitu: "اغتللال"و"قتللل" ; yang pertama digunakan dalam pengertian

membunuh orang yang mempunyai kedudukan sosial yang tinggi dan dengan motif

politis, sedangkan yang kedua berarti membunuh secara membabi buta dan

ditujukan kepada orang yang tidak memiliki kedudukan sosial yang tinggi. Konteks

situasi adalah situasi eksternal yang membuat suatu kata berubah maknanya karena

adanya perubahan situasi. Sedangkan konteks kultural adalah nilai-nilai sosial dan

kultural yang mengitari kata yang menjadikannya mempunyai makna yang berbeda

dari makna leksikalnya. Makna yang demikian dapat dijumpai dalam peribahasa,

seperti: بلل السليلالزبلا maknanya adalah "Nasi telah menjadi bubur", bukan "Air bah

telah mencapai tempat yang tinggi".

Menurut J.R. Firth, teori konteks sejalan dengan teori relativisme dalam

pendekatan semantik bandingan antarbahasa. Makna sebuah kata terikat oleh

lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu. Teori ini juga

mengisyaratkan bahwa sebuah kata atau simbol tidak mempunyai makna jika ia

terlepas dari konteks. Namun demikian, ada yang berpendapat bahwa setiap kata

27 Muëammad ‗Alì al-Khùlì, „Ilmud Dalàlah („Ilmul -Ma‟na), (‗Amman: Dàrul Falàë, 2001), h.

69.

Page 13: Muhbib Abdul Wahab-FITK

13

mempunyai makna dasar atau primer yang terlepas dari konteks situasi. Kata baru

mendapatkan makna sekunder sesuai dengan konteks situasi. Singkatnya,

hubungan makna itu, bagi Firth, baru dapat ditentukan setelah masing-masing kata

berada dalam konteks pemakaian melalui beberapa tataran analisis, seperti leksikal,

gramatikal, dan sosio-kultural.28 Dengan demikian, teks dan konteks ayat, pada

gilirannya, dapat mengantarkan kita kepada penelusuran ekonomi bahasa Al-

Qur‘an, sehingga dapat diketahui dimensi dan implikasi keekonomiannya. C. Dimensi Ekonomi Bahasa Al-Qur’an

1. Definisi Ekonomi Bahasa A-Qur’an

Penggunaan bahasa dapat diklasifikasikan menjadi dua: berbahasa

ekonomis dan tidak ekonomis. Jika dibandingkan dengan bahasa lainnya, bahasa

Arab memiliki sejumlah karakteristik yang unik. Selain dinilai sebagai lughatul

isytiqàq (bahasa yang kaya derivasi, turunan kata), bahasa Arab juga dinilai sebagai

bahasa yang ekonomis.29 Ungkapannya ringkas atau pendek, tetapi maknanya luas,

mendalam, dan kontekstual. Jadi, ekonomi (iqtiêàd) merupakan salah satu ciri khas

bahasa Arab30, termasuk bahasa A-Qur‘an.

Menurut Fakhruddin Qabawah, ekonomi bahasa (iqtiêàd lugawì) adalah

penyampaian sebesar mungkin pesan (makna) oleh pengguna bahasa dengan

sesedikit mungkin penggunaan pemikiran dan ungkapan.31 Dengan kata lain,

ekonomi bahasa berorientasi kepada efisiensi penggunaan kata-kata, ungkapan,

frase, dan kalimat, tetapi mengandung makna dan pesan yang luas dan mendalam.

28 Faríd ‗Iwaý Èaidar, „ilmud Dalàlah..., h. 157. 29

Bahasa Arab, antara lain, memiliki karakteristik yang elastis (murùnah), menganut sistem derivasi dan analogi (isytiqàq wa qiyàs) yang komprehensif, dan memiliki perbendaharaan kata (šarawàt lugawiyyah wa mufradàt) yang kaya dan adaptif (mampu beradaptasi menyesuaikan dengan perkembangan zaman). Mengenai karakteristik bahasa Arab sebagai bahasa Semit, lihat selengkapnya ulasan Aëmad Muëammad Qaddùr, Madkhal ila Fiqhil Lugatil „Arabiyyah, (Damaskus: Dàrul Fikr, 1999), h. 52-55.

30 Menurut Tammàm Èassàn, bahasa Arab mempunyai tiga karakteristik utama, yaitu: durjiyyaut tanîìm (gradasi sistematika), iqtiêàd (ekonomi), dan muràwagatul labs (peniadaan bias). Ekonomi bahasa Arab terlihat pada penggunaan kata, ungkapan, dan kalimat yang ringkas, singkat, dan padat, tetapi mengandung makna yang luas dan mendalam. Lihat Tammàm Èassàn, Maqàlàt fil Lugah wal Adab, Jilid II, h. 289 dan seterusnya.

31 Fakhruddìn Qabàwah, al-Iqtiêàdul Lugawì fi Ëiyagatil Mufrad, (Giza: al-Syarikatul Miêriyyah al-‗Àlamiyyah, 2001), h. 31

Page 14: Muhbib Abdul Wahab-FITK

14

Ekonomi bahasa juga mengandung pengertian efisiensi pemikiran dalam

berbahasa, karena aktivitas berbahasa pasti didahului dengan berpikir.

Bahasa Al-Qur‘an merupakan bahasa yang paling ekonomis: singkat, padat

dan tepat, baik dari segi diksi, intensi, dan ekspresinya. Tujuan ekonomi bahasa Al-

Qur‘an adalah pertama, takhfìf (peringanan dan pemudahan), baik pada level

fonetik (pelafalan, pengucapan) maupun pada level morfologis (konstruksi kata

menjadi lebih ringan, tidak berat dalam pengucapan maupun penulisannya). Selain

itu, ekonomi bahasa Al-Qur‘an juga dimaksudkan untuk memberikan rukhêah

(dispensasi). Hal ini sesuai dengan semangat ayat berikut:

﴾:القمر/﴿مدكر منفلمحلللذكرٱلقرءانيسرناولقد

Artinya: ―Dan sungguh, telah Kami mudahkan Al-Qur'an untuk peringatan, maka adakah

orang yang mau mengambil pelajaran?‖ (QS. Al-Qamar/54: 17)

Kedua, kontekstualisasi substansi makna dan mabna (konstruksi bahasa),

baik pada tataran diksi maupun tataran ekspresi, termasuk gaya bahasa. Sebagai

contoh, pesan yang berisi perintah tidak selalu dan selamanya menggunakan verba

imperatif (fi‟lul amr) atau verba muýàri‟ (present and future tense) yang didahului

dengan lamul -amr. Dalam konteks ini Al-Qur‘an menampilkan maêdar (infinitive)

sebagai pengganti amr, seperti dalam ayat berikut: الءيل إسر بنميث قأخذناوإذلدينٱللوإالتلعبدون )البقرةوبٱلو /إحسان ا.... :) (Dan (ingatlah) ketika Kami

mengambil janji dari Bani Isràìl, "Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan

berbuat-baiklah kepada kedua orang tua…) (QS. al-Baqarah/2: 83)

Ketiga, peniadaan prenomina (ýamìr) yang dapat dipahami dari konteks

kalimat, tanpa harus disebutkan, sehingga irama redaksi ayat menjadi lebih indah

dan menarik. Sebagai contoh, dapat dikemukakan beberapa ayat yang ýamìrnya

ditiadakan:

ت عليمحملفتحنا وٱتلقوا ءامنوا ٱلقرى أىلأنولو - ول كنوٱألرضء ٱلسمامنبلرك بوا م كذ ﴾األعراف:﴿يكسبون كانوابافأخذن

﴾التوبة:﴿يكسبون كانوابا ء جزاكثري ا وليبكواقليال فلليضحكوا -لعلمحم عملواذىٱلبلعضليذيقمحمٱلناسأيدىكسبتباوٱلبحرٱلبلرفٱلفسادظمحر -

﴾الروم:﴿يلرجعون

Page 15: Muhbib Abdul Wahab-FITK

15

Dalam tiga ayat tersebut terdapat ism mawêùl, yaitu mà dan al-laži. Biasanya

setelah ism mawêùl terdapat êilah mawêùl yang dibarengi dengan ýamìr yang merujuk

kepada mawêùl -nya sebelumnya. Pada ayat pertama dan kedua, setelah bimà

terdapat fi‟il (verba) yang biasanya disertai ýamìr (prenomina), sehingga redaksi yang

biasanya digunakan orang Arab adalah bimà kànù yaksibùnahu. Demikian pula pada

ayat ketiga, setelah al-laži, orang Arab biasanya meenghubungkan shilah mawshùl-nya

itu dengan ýamìr, sehingga redaksinya menjadi al-laži „amilùhu. Namun demikian,

peniadaan ýamìr tersebut, membuat lebih ringan (akhaffu) diucapkan, tidak

membuat makna menjadi kabur, dan tetap kontekstual.

Keempat, ekonomi bahasa Al-Qur‘an juga didesain untuk penyesuaian ritme

(al-íqà‟, rhytme) redaksi dalam serangkaian ayat yang puitis dan menyentuh kalbu.

Misalnya ayat berikut: تٱألرضخلقمنتنزيال و ﴾:طو/﴿ٱلعلىوٱلسم . Secara

gramatikal, sifat al-„ulà asalnya adalah al-„ulyà, bentuk muannaš dari al-a‟là (yang

sangat tinggi), namun untuk menyesuaikan dengan ritme dan irama (musikalitas)

ayat, maka huruf yà‟ didelasi, sehingga menjadi al-„ulà. Ritme ayat yang dipadu

dengan naîm (versivication) atau keteraturan dan keindahan struktur dan gaya

bahasa, menjadikan delasi yà‟tersebut lebih mengena dan mempesona. Dalam aspek

inilah terkandung salah satu bentuk kemukjizatan al-Qur‘an dari segi bahasanya.32 Dalam konteks ini, musikalitas ayat-ayat Al-Qur‘an termasuk sangat unik dan

tiada duanya di masa turunnya. Orang Arab mengakui dan mengagumi orisinalitas

ritme dan keindahan lantunan ayat-ayat Al-Qur‘an. Ketika dibacakan, menurut

Muêíafà Ëàdiq ar-Ràfi‘í, lagu dan ritme ayat itu serasa tidak dibacakan, melainkan

mengalir bagaikan lantunan lagu yang merasuk dalam kalbu. Karena itu,

kemukjizatan bahasa Al-Qur‘an (al-i‟jàzul lugawí al-bayànì) tidak hanya terletak pada

akurasi (diqqah) pemilihan kata (diksi), keserasian ungkapan dan kalimat,

melainkan pada kesempurnaan bahasa (al-kamàlul lugawì), pengulangan (at-takràr),

keelokan gaya bahasa, dan musikalitasnya yang berkualitas, merdu, dan puitis.33

2. Aneka Dimensi Ekonomi Bahasa Al-Qur’an

32 Abdul ‗Aîím Ibràhím al-Maì‘aní, Khaêàiêut Ta‟bíril Qur‟àní waSimàtuhul Balàgiyyah,

(Kairo: Maktabtu Wahbah, 1992), Jilid I, Cet. I, h. 156. 33

Muêíafà Ëàdiq ar-Ràfi‘í, I‟jàzul Qur‟àn wal Balàgah an-Nabawiyyah, (Kairo: Maìba‘atul Muqtaíaf, 1928), h.247.

Page 16: Muhbib Abdul Wahab-FITK

16

Diakui bahwa bahasa Al-Qur‘an, mulai pemilihan kosakata (diksi),

ungkapan („ibàrah) kalimat (jumlah), akurasi penggunaan gaya bahasa (uslùb) dan

ritme (íqà‟) menunjukkan kebalagahan tingkat tinggi dan tidak mungkin dibuat

atau ditirukan oleh siapapun. Ekonomi bahasa Al-Qur‘an, menurut penelusuran

penulis, setidak-tidaknya hadir dalam enam dimensi. Dimensi lafaî dan anmàí

(struktur dan pola kalimat) menjadi dimensi paling menonjol dalam ekonomi

bahasa Al-Qur‘an.

Pertama, dimensi delasi (hadzf). Banyak redaksi ayat Al-Qur‘an yang berdiksi

delasi, baik pada tataran huruf, kata, atau kalimat. Misalnya saja delasi pada tataran

huruf seperti: ﴾ممنكلأمر ﴿٤ ئكةوٱلروحفيمحابإذنرب ذ لكتأويلمالتسطع atau تلنلزلٱلمل

﴾﴿ صبلر ا itu mengikuti wazan تنزل Dari segi morfologi (sharaf), verba 34.عليو

(formula): تتفعل (tatafa‟alu), terjadi delasi satu huruf. Sedangkan ayat berikut خفتمفإن

أالتلعولوا﴿﴾ أدن لك ذ أي نكم ملكت ما أو فلو حدة mengandung delasi pada أالتلعدلوا

jawab syarath setelah fa‟. Jika dicermati terjemahan ayat ini (Tetapi jika kamu

khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau

hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar

kamu tidak berbuat zalim), maka setidak-tidak ada dua kata atau satu kalimat yang

didelasi, yaitu : مرأة فانكحوا sehingga menjadi lebih ekonomis: singkat, padat, dan

bernas!

Kedua, dimensi majàz (metofor), yaitu pengalihan atau mutasi makna (naqlul

ma‟na) pada level leksikal dari makna hakiki kepada makna metafor karena adanya

qarìnah (indikator) dan „alàqah fanniyah (relasi artistik) yang mengharuskan

pengalihan makna kepada yang lebih rasional. Dimensi ekonomi bahasa Al-Qur‘an

34

Menurut ‗Alí as-Ëàbùnì, dalam ayat tersebut terdapat ìjàz bil ëažf berupa delasi huruf tà‟ (lam tasìi‟). Delasi dalam konteks ayat ini menunjukkan pendek atau sedikitnya kesabaran Mùsa „alaihissalàm dalam menerima pelajaran dari Nabi Khiýir alaihissalàm. Lihat Muëammad ‗Alí as-Ëàbùnì, Ëafwatut Tafàsir, (Kairo: Dàrus Ëàbùnì, 1997), tafsir ayat 82 surat al-Kahfi.

Page 17: Muhbib Abdul Wahab-FITK

17

dari segi majàz merupakan bagian dari kajian „ilmul bayàn.35 Sebagai contoh adalah

ayat berikut:

دقونوإنافيمحاأقلبللناٱلتوٱلعريفيمحاكناٱلتٱلقريةوسل ل ﴾:/يونس﴿لص

Dalam ayat tersebut terdapat delasi kata “ahl” sebelum al-qaryah, karena tidak

mungkin dan tidak rasional ―al-qaryah‖ ditanyai. Yang ditanyakan pastilah

penduduk kampung/negeri itu, sehingga wajar jika ayat tersebut diterjemahkan

menjadi: ―Dan tanyalah (penduduk) negeri tem-pat kami berada, dan kafilah yang datang

bersama kami. Dan kami adalah orang yang benar." (QS. Yunus/10: 82)

Ketiga, ta‟addud al-ma‟na li al-mabna al-wàëid (multimakna dari sebuah konstruksi

kata). Hal ini, antara lain, seperti telah diuraikan sebelumnya, makna kata ýaraba

yang beragam itu. Demikian pula makna adawàt (partikel), misalnya min, yang bisa

berarti: dari, sebagian, termasuk, sebab, berupa, di, dan sebagainya sesuainya

dengan konteksnya. Multimakna dari sebuah kata ini menunjukkan bahwa bahasa

Al-Qur‘an itu ekonomis, tidak boros.

Keempat, an-naql (pengalihan, mutasi) makna. Dalam bahasa Arab, kalimat

verba tidak selama menunjukkan pernyataan atau berita tertentu. Tidak sedikit,

kalimat verba digunakan dalam konteks berdoa, sehingga terjadi pengalihan makna

dari makna ikhbàri menjadi makna do‘a. Misalnya: وباركعليك،ومجع باركاهلللك،

خري.بينكما يف Ungkapan semacam ini tentu saja lebih ekonomis karena dapat

―menghemat‖ penyebutan: اللمحمأوربنا. Ungkapan ekonomis semacam ini juga tidak

jarang diposisikan sebagai jumlah mu‟tariýah (kalimat sisipan) yang mengandung arti

35 Menurut Tammàm Èassàn, „ilmul bayàn merupakan ilmu taktik leksikologis, dengan

memperhatikan relasi sebab-akibat (álàqah sababiyyah), kuantitatif („alàqah kammiyyah) berupa relasi sebagian dan keseluruhan, kala („alàqah zamaniyyah) berupa apa telah dan akan terjadi, tempat („alàqah makaniyyah) berupa keadaan dan kedudukan, dan perumpamaan atau pengibaratan („alàqah tasybihiyyah) dalam mengespresikan makna pembicaraan. Lihat Tammàm Èassàn, Maqàlàt fil Lugah wal Adab, Jilid II, (Kairo: ‗Àlam al-Kutub, 2006), h. 296.

Page 18: Muhbib Abdul Wahab-FITK

18

doa dan harapan baik, seperti: وسلم setelah penyebutan nama Nabi صلىاهللعليو

Muëammad.

Kelima, peniadaan kata kerja bantu (al-af‟alul musa‟idah atau auxiliary verb) dalam

mengekspresikan antara subjek (mubtada‟) dan khabar (prediket) pada jumlah

ismiyyah. Berbeda dengan bahasa Inggris yang dalam struktur kalimatnya

memerlukan kata kerja bantu seperti: are, is, am, kalimat bahasa Arab, khususnya

jumlah ismiyyah pada umumnya tidak memerlukannya, sehingga kalimatnya menjadi

lebih ekonomis, seperti beberapa ayat berikut:

تنورٱللو - و (:)النور/...وٱألرضٱلسم ا - (:...)احلجرات/إخوة ٱلمؤمنونإمن (:اهللالصمد)اإلخالص/ -

Keenam, diksi nomina invinitive (ism maêdar)36 yang kuantitas hurufnya lebih

sedikit, sehingga pelafalannya menjadi ringan dan mudah. Diksi ism maêdar dalam

Al-Qur‘an juga memperlihatkan dimensi ekonomi bahasa Al-Qur‘an, seperti dalam

beberapa ayat berikut yang mengandung kata ―syùrà”, lebih ringkas daripada

musyàwarah atau wifàq, lebih singkat daripada muwàfaqah:

مٱستجابواوٱلذين . ةوأقاموالرب نلمحمشورى وأمرىمٱلصلو محمومابليل ينفقونرزقلن ﴾:الشورى/﴿

Artinya: ―… dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka…‖ (QS. as-Syùrà/42: 38)

ال﴾﴿أحقاب افيمحال بثني﴾﴿مل اب اللط غني ﴾﴿مرصاد اكانتجمحنمإن .يم اإال﴾﴿شراب اوالبلرد افيمحايذوقون ﴾﴿وفاق اجزاء ﴾﴿وغساق امح

36 Ismul maêdar adalah bentuk kata yang setara dengan maêdar dari segi maknanya, namun

lebih sedikit jumlah hurufnya dari maêdar êarìë. Misalnya, kata jihàd adalah bentuk ismul maêdar dari verba jàhada-yujàhidu. Maêdar êarìë-nya sendiri adalah mujàhadah, lebih banyak kuantitas hurufnya. Lihat ‗Abdul Ganí Ad-Daqar, Mu‟jam al-Qawà‟idil „Arabiyyah, (Damaskus: Dàrul Qalam, 2001), Cet. III, h. 50-51.

Page 19: Muhbib Abdul Wahab-FITK

19

Artinya: ―Sungguh, (neraka) Jahanam itu (sebagai) tempat mengintai (bagi penjaga

yang mengawasi isi neraka), menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui

batas. Mereka tinggal di sana dalam masa yang lama, mereka tidak merasakan kesejukan di

dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman, selain air yang mendidih dan nanah,

sebagai pembalasan yang setimpal.‖ (QS. An-Naba‘/78: 21-26) D. Implikasi Ekonomi Bahasa dalam Penafsiran Ayat

Dimensi-dimensi ekonomi bahasa Al-Qur‘an ternyata membawa sejumlah

implikasi penting dalam kajian bahasa dan sastra di satu pihak, dan dalam

pemaknaan dan penafsiran ayat-ayat al-Qur‘an di lain pihak. Jika tiga ayat berikut

yang di dalamnya terdapat kata ―تنزل‖ dan ―تتنزل‖:

مبإذنفيمحاوٱلروحئكة ٱلمل تلنلزل - ﴾القدر:﴿أمر كلمنربيللقون﴾﴿أثيم أفاك كلعلى تلنلزل﴾﴿ٱلشي طنيتلنلزلمنعلى أنلبئكمىل -

ذبونوأكثلرىمٱلسمع (-)الشعراء:﴾﴿ك مواثٱللوربلنا قالواٱلذينإن - تزنواوال تافواأالئكة ٱلمل عليمحمتلتلنلزل ٱستلق

﴾فصلت:﴿توعدونكنتمٱلتبٱلنة وأبشرواdianalisis secara kontekstual, maka secara balàgah, dapat dipahami dan diungkap

mengapa pada dua ayat pertama, salah satu tà‟ pada verba tersebut didelasi,

sementara pada ayat yang terakhir (surat Fuêêilat) tidak didelasi?

Menurut ulama balàgah, pemilihan ل dengan delasi salah satu tà‟ pada ت ن ز

surat al-Qadar tersebut menunjukan sedikitnya malaikat turun, yaitu hanya pada

lailatul qadri, terjadi sekali setahun dan hanya di bulan Ramadan saja37. Jadi, salah

satu rahasia mengapa ta‟ didelasi dalam surat al-Qadar adalah menunjukkan

kesesuaian(munàsabah) antara substansi ayat yang menunjukkan sedikitnya

malaikat turun, dengan pengurangan jumlah huruf pada verba ل .tersebut ت ن ز

37

Fàýil Ëàlië as-Sàmirràì, Balàgatul Kalimah fit Ta’bìril Qur’ànì, (‗Ammàn: Dàr ‗Ammàr, 2009), Cet. V, h. 15.

Page 20: Muhbib Abdul Wahab-FITK

20

Berbeda dengan ل pada surat fuêêilat tersebut yang tà‟-nya tidak ت ت ن ز

didelasi, penyebutan tà‟ sesuai dengan formula (wazn) tatafa‟alu menunjukkan

banyak frekuensi malaikat turun. Dalam konteks ini, dapat dipahami bahwa

malaikat yang turun menghampiri orang-orang Mukmin pada saat kematian mereka

untuk menyampaikan ―kabar gembira berupa surga‖ itu sangat sering, bahkan

setiap saat sepanjang tahun, tidak seperti lailatul qadar yang hanya sekali dalam

setahun.38

Memahami teks Al-Qur‘an dengan metodologi ilmiah, antara lain linguistik

teks („ilmul lugatin nashshì) atau tekstologi („ilmun nashshì) sangat penting dan relevan

untuk pemaknaan dan penafsiran, baik pada level leksikon, morfologis, sintaksis

maupun semantik dan stilistik ayat. Pendekatan balàgah dan tekstolinguistik

dapat membantu memahami teks secara objektif, epistemologis dan dalam lingkup

rasionalitas manusia, bukan ‗rasio‘ Tuhan yang diyakini sebagai hulu teks tersebut.

Kedua pendekatan tersebut dalam tradisi Islam terbukti dapat

memproduksi tafsir (al-tafsìr) dan takwil (al-ta‟wìl). Keduanya tidak bisa dipisahkan,

saling berkaitan. Menurut Imam Ali bin Abi Thalib, teks tidak bisa berbicara secara

parsial, dan memberi makna (arti) sendiri. Namun, ia membutuhkan manusia. ―Al-

Qur‟an, bayna dafftay al-Muêëaf là yaníiq, wa innamà yatakallamu bihi al-rijàl‖ (Al-

Qur‘an dalam muêëaf ini, tidak berbicara, dan hanya dengan [perantara] manusia ia

berbicara). Kalimat Imam Ali tersebut ditujukan pada kaum Khawarij yang

memahami otoritas dalil pada teks an sich, bukan pada otoritas interpretasi. Seolah-

olah, Al-Qur‘an berbicara sendiri dan memberi makna tanpa keterlibatan manusia,

padahal interpretasi manusialah yang memberi makna dan menentukan pesan yang

dikandungnya, tentu dengan menggunakan seperangkat pendekatan dan

metodologi. Namun demikian, keterlibatan manusia dalam memahami teks juga

dibantu oleh pemahamannya terhadap konteks teks itu sendiri dan konteks

sosialnya melalui balàgah dan tekstolinguistik tersebut. Dalam analisis intertekstual

(tanàshsh), dikenal ungkapan: ―an-Nashshu yufassiru ba‟ýuhu ba‟ýan‖ (teks itu saling

38

Fàýil Ëàlië as-Sàmirràì, Balàgatul Kalimah…, h. 14-15.

Page 21: Muhbib Abdul Wahab-FITK

21

memberi tafsir/penjelasan satu sama lain). Dalam konteks inilah, pendekatan

balàgah dan tekstolinguistik memberi kontribusi positif sebagai ―pintu masuk‖

dalam memahami teks sekaligus memantapkan hasil analisis intertekstual menjadi

penafsiran dan pemaknaan yang lebih kontekstual.

Implikasi lain dari ekonomi bahasa Al-Qur‘an adalah bahwa umat Islam

dididik untuk belajar berpola hidup ekonomis, sederhana, tetapi tetap lugas dan

tegas. Selain itu, ekonomi bahasa Al-Qur‘an pada gilirannya dapat melatih kita

untuk memilah dan memilih diksi yang tepat dan akurat, sehingga dalam berbahasa

atau menyampaikan pesan tidak terjadi pemborosan yang diperlukan, sehingga

membuat audien menjadi bosan, dan pesan yang dikomunikasikan menjadi tidak

efektif dan bermakna secara persuasif. Dengan kata, melalui kajian ekonomi bahasa

Al-Qur‘an, kita dapat belajar berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang

singkat, padat, tepat, dan berkesan kuat.

E. Kesimpulan

Dari kajian dan analisis tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa selain

indah, puitis, dan mudah, bahasa Al-Qur‘an itu sangat ekonomis: singkat padat,

ringkas bernas, dan bermakna luas. Keekonomian bahasa Arab menunjukkan

bahwa bahasa Al-Qur‘an akan selalu melampaui zaman, selalu aktual, dan

kontekstual. Keserasian, keseimbangan, dan keekonomian yang ditimbulkan dari

ayat-ayat Al-Qur‘an selalu menghadirkan kesan, pesan, dan wawasan baru jika

dibaca dan dipahami dengan ketulusan dan kesungguhan hati.

Ekonomi bahasa Al-Qur‘an hadir dalam berbagai dimensi, utamanya adalah

dimensi delasi dan pemilihan diksi yang berdispensasi, ringan, mudah, tetapi tidak

mengurangi dan membuat makna mengalami deviasi (penyimpangan). Sebaliknya,

ritme dan musikalitas ayat tetap mempesona dan menyentuh hati sanubari.

Ekonomi bahasa Al-Qur‘an menunjukkan betapa pentingnya manusia belajar

berkomunikasi secara efisien, efektif, dan persuasif, dalam segala situasi dan

kondisi, sehingga pesan yang disampaikan tetap bermakna dan kontekstual.

Page 22: Muhbib Abdul Wahab-FITK

22

Ekonomi bahasa Al-Qur‘an dapat semakin berfungsi dalam komunikasi kita jika

pemahamannya didekati melalui balàgah dan tekstolinguistik secara integratif.

Daftar Pustaka

‗Afífí, Aëmad, Naëwun Naêê: Ittijàh Jadìd fid Darsin Naëwi, Kairo: Maktabah Zahrà‘isy Syarq, 2001.

Abdullah, Zaid ‘Umar, ‖al-Siyàq Al-Qur‘àni wa Ašaruhu fil Kasyfi ‘an al-Manà‘ni‖, diakses dari http://alukah.net., 20 April 2010.

Abù Sa‘d, Aëmad, Mu‟jam at-Taràkìb wa al-„Ibàràt al-Iêíilàëiyyah al-„Arabiyyah al-Qadìm minha wa al-Muwallad, Beirut: Dàrul ‗Ilmi lil Malàyín, Cet. I, 1987.

Abù Zayd, Naêr Èàmid, Isykàliyyàtul Qirà‟ah wa Àliyyàtut Ta‟wíl, Beirùt: al-Markazus Šaqàfí Al-‗Arabí, Cet. V, 1999.

Al-Adalùsì, Ibn Èazm, al-Ihkàm fi Ushùlil Aëkàm, Jilid I, Beirùt: Dàrul Àfàqil Jadìdah, 1400 H.

Ad-Daqar, ‗Abdul Ganì, Ad-Mu‟jam al-Qawà‟idil „Arabiyyah, Damaskus: Dàrul Qalam, Cet. III, 2001.

As-Ëàbùní, Muëammad ‗Alí, Ëafwatut Tafàsir, Kairo: Dàrus Ëàbùnì, 1997. Èassàn, Tammàm , Ijtihàdàt Lugawiyyah, Kairo: ‗Àlamul Kutub, 2007. Èassàn, Tammàm, al-Bayân fi Rawâ‟i Al-Qur‟an: Diràsah Lugawiyyah wa Uslùbiyyah lin

Naêê Al-Qur‟àní, (Kairo: ‗Àlamul Kutub, Jilid I, 2000) Èassàn, Tammàm, al-Ushùl: Diràsah Epistimùlujiyyah lil Fikril Lugawí „indal „Arab: al-

Naëw – Fiqhul Lugah – al-Balàgah, Kairo: ‗Àlamul Kutub, Cet. II, 2000. Èassàn, Tammàm, Maqàlàt fil Lugah wal Adab, Jilid II, Kairo: ‗Àlam al-Kutub, 2006. Al-Faqi, Shubhi Ibrahim, „Ilmul Lugatin Naêêì Baina an-Naîariyyah wa at-Taíbìq:

Diràsah Taìbíqiyyah „ala as-Suwar al-Makkiyah, Kairo: Dàr Qubà‘, Cet. I, 2000. Guntur Tarigan, Henry, Pengajaran Wacana, (Bandung: Angkasa, Edisi Revisi, 2009. Haidar, Faríd ‗Iwaý, „Ilmud Dalàlah: Diràsah Naîariyyah wa Tathbîqiyyah, Kairo:

Maktabatul Adab, 2005. Ibn Manzhùr, Lisànul „Arab, entri nashaha, Beirut: Dàrul Fikr, tt. Islàm, ‗Azmí, Mafhùm al-Ma„nâ: Diràsah Taëlíliyyah, Kuwait: Fakultas Adab,

Universitas Kuwait, 1986. Al-Jàsim, Maëmùd Èasan, Ta‟wìl al-Naêê Al-Qur‟ani wa Qaýàyàn Naëwi, Damaskus:

Dàrul Fikril Mu‘àêir, 2010. Al-Jurjànì, Kitâb al-Ta‟rífàt, Tahqiq Ibràhìm al-Ibyàri, Kairo: Dàrul Bayàn lit Turàš,

tt. Al-Khùlí, Muëammad ‗Alí , „Ilmud Dalàlah („Ilmul -Ma‟na), ‗Amman: Dàrul Falàë,

2001. Kridalaksana, Harimurti, Kamus Linguistik, Jakarta: Gramedia, 1984. Al-Maì‘aní, Abdul ‗Aîím Ibràhím, Khaêàiêut Ta‟bíril Qur‟àní waSimàtuhul Balàgiyyah,

Kairo: Maktabatu Wahbah, Jilid I, Cet. I, 1992.

Page 23: Muhbib Abdul Wahab-FITK

23

Al-Maidàní, ‗Abdurraëàn Èasan Èabannkah, al-Balàgah al-„Arabiyyah: Ususuhà, wa „Ulùmuhà, wa Funùnuhà, Damaskus: Dàrul Qalam, Juz II, Cet. I, 1996.

Al-Maràgì, Aëmad Muêíafà, „Ulùm al-Balàgah: al-Bayàn wal Ma‟àní wal Badí‟, Beirut: Dàrul Kutub al-‗Ilmiyyah, Cet. IV, 2012.

Muëammad, Ibtisàm Šàbit, at-Ta‟àdul fil „Arabiyyah: Diràsah Ëawtiyyah Ëarfiyyah Naëwiyyah, Bagdàd: Markaz al-Buëùš wad Diràsàtil Islàmiyyah, 2009.

Nawawi, Imam, Syarë an-Nawawi „ala Muslim, bàb innamal mà‘u minal mà‘i, Kairo: Darul Khair, 1996.

Qabàwah, Fakhruddìn, al-Iqtiêàdul Lugawì fi Ëiyagatil Mufrad, Giza: al-Syarikatul Miêriyyah al-‗Àlamiyyah, 2001.

Qaddùr, Aëmad Muëammad, Madkhal ila Fiqhil Lugatil „Arabiyyah, Damaskus: Dàrul Fikr, 1999.

Raddatullah, Dalàlatus Siyàq, Mekkah: Jàmi‘ah Ummil Qura, 2003. Ar-Ràfi‘í, Muêíafà Ëàdiq, I‟jàzul Qur‟àn wal Balàgah an-Nabawiyyah, Kairo:

Maìba‘atul Muqtaìaf, 1928. As-Sàmirràì, Fàýil Ëàlië, Balàgatul Kalimah fit Ta‟bíril Qur‟àní, ‗Ammàn: Dàr

‗Ammàr, Cet. V, 2009. Wahbah, Majdì dan Kàmil al-Muhandis, Mu‟jam al-Muêíalaëàt al-„Arabiyyah fil Lugah

wal Adab, Beirùt: Maktabah Lubnàn, 1984.