96
MOTIF TINDAKAN SOSIAL TERHADAP PARTISIPASI POLITIK BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT PEDESAAN ANNISA MAGHFIRAH I34100110 DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014

MOTIF TINDAKAN SOSIAL TERHADAP PARTISIPASI POLITIK ... · bahwa partisipasi masyarakat dalam pemilihan dilandasi oleh nilai demokrasi yang ... individu dalam masyarakat dalam berpartisipasi

  • Upload
    ngongoc

  • View
    221

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

MOTIF TINDAKAN SOSIAL TERHADAP PARTISIPASI

POLITIK BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL

MASYARAKAT PEDESAAN

ANNISA MAGHFIRAH

I34100110

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Motif Tindakan Sosial

terhadap Partisipasi Politik Berdasarkan Stratifikasi Sosial Masyarakat Pedesaan

adalah benar hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan

belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014

Annisa Maghfirah

NIM I34100110

ABSTRAK

ANNISA MAGHFIRAH. Motif Tindakan Sosial terhadap Partisipasi Politik

Berdasarkan Stratifikasi Sosial Masyarakat Pedesaan. Dibimbing oleh SOFYAN

SJAF.

Bentuk-bentuk partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat dalam

pemilihan memiliki 5 bentuk partisipasi politik, yaitu menggunakan hak pilih,

mengikuti kampanye, menjadi panitia pemilihan, mempersuasi pihak lain untuk

berpartisipasi, serta mengikuti proses penghitungan suara. Tingkat partisipasi

masyarakat tinggi pada bentuk partisipasi penggunaan hak pilih, sedangkan

tingkat partisipasi masyarakat pada bentuk-bentuk lainnya cenderung rendah.

Tidak ada perbedaan bentuk-bentuk partisipasi politik antara masyarakat strata

atas dan strata bawah. Terdapat empat motif-motif tindakan sosial masyarakat

pada partisipasi politik, yaitu rasional instrumental, rasional berorientasi nilai,

afektif, dan tradisional. Tingkat kecenderungan motif yang tinggi adalah motif

rasional berorientasi nilai pada masyarakat strata atas dan strata bawah serta motif

tradisional pada masyarakat strata bawah, sedangkan motif-motif lainnya

cenderung rendah. Motif rasional berorientasi nilai yang tinggi menunjukkan

bahwa partisipasi masyarakat dalam pemilihan dilandasi oleh nilai demokrasi

yang melekat pada masyarakat. Motif tradisional yang tinggi pada strata bawah

menunjukkan bahwa masyarakat strata bawah masih mengangkat nilai-nilai

tradisional pada partisipasi politik.

Kata kunci: partisipasi politik, motif tindakan sosial, stratifikasi sosial

ABSTRACT

ANNISA MAGHFIRAH. Social Motives on Political Participation based on

Social Stratification in Rural Communities. Supervised by SOFYAN SJAF.

Forms of political participation by the community in the selection has 5

forms which is participation in voting, campaign, election committee, persuading

others to participate, and following the vote counting process. Participation in

voting has high level, while participation in other forms tend to be low. There is

not difference forms of political participation between the upper and lower

stratum of community. There are four motives of social action on political

participation, namely instrumental rational, value-oriented rational, affective, and

traditional. The highest level motive in political participation is value-oriented

rational in the upper and lower stratum of community and traditional motive on

the lower stratum of community, while other motives tend to be low. Value-

oriented rational motive, which is high, shows that the participation of community

in the selection based on democracy-value in community. Traditional motive,

which is high in the lower stratum in community, shows that community raise

traditional-value in political participation.

Keywords: political participation, motive of social action, social stratification

MOTIF TINDAKAN SOSIAL TERHADAP PARTISIPASI

POLITIK BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL

MASYARAKAT PEDESAAN

ANNISA MAGHFIRAH

I34100110

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2014

Judul Skripsi : Motif Tindakan Sosial terhadap Partisipasi Politik Berdasarkan

Stratifikasi Sosial Masyarakat Pedesaan

Nama : Annisa Maghfirah

NIM : I34100110

Disetujui oleh

Dr Sofyan Sjaf

Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah, MSc

Ketua Departemen

Tanggal Lulus : _______________________

PRAKATA

Puji syukur yang sebesar-besarnya penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT

atas rahmat dan hidayah yang telah dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan Skripsi yang berjudul “MOTIF TINDAKAN SOSIAL

TERHADAP PARTISIPASI POLITIK BERDASARKAN STRATIFIKASI

SOSIAL MASYARAKAT PEDESAAN” dengan baik. Skripsi ini disusun dengan

tujuan untuk melengkapi kewajiban dalam menempuh tugas belajar pada program

Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi

Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan-bantuan moril dan material

dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan

terima kasih kepada berbagai pihak yang terlibat. Pertama, ucapan terima kasih

penulis kepada Bapak Dr. Sofyan Sjaf selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan waktu, tenaga, bimbingan, arahan, saran, dan kritik yang sangat

membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga menyampaikan

terima kasih kepada orang tua tercinta, Bapak Khairuddin dan Ibu Iznanizmah,

yang selalu melimpahkan kasih sayang, doa, serta motivasi kepada penulis.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibunda tercinta almh. Meichati

Syam yang selalu menjadi sosok inspirasi bagi penulis. Tidak lupa terima kasih

juga penulis sampaikan kepada teman-teman SKPM angkatan 47 yang selalu

memberi semangat dan masukan untuk penulis dalam penulisan proposal

penelitian ini. Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh pihak di

Desa Pancawati Kec.Caringin Kab.Bogor yang sudah banyak membantu penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Januari 2014

Annisa Maghfirah

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Masalah Penelitian 3

Tujuan Penelitian 4

Kegunaan Penelitian 4

PENDEKATAN TEORITIS 5

Tinjauan Pustaka 5

Partisipasi Politik 5

Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik 5

Motif-Motif Tindakan Sosial 7

Stratifikasi Sosial 13

Masyarakat Pedesaan 14

Kerangka Pemikiran 14

Hipotesis Penelitian 16

Definisi Operasional 16

Bentuk Partisipasi Politik 16

Motif Tindakan Sosial 18

Stratifikasi Sosial 22

PENDEKATAN LAPANG 23

Lokasi dan Waktu Penelitian 23

Metode Penelitian 23

Teknik Sampling 24

Pengumpulan Data 25

Pengolahan dan Analisis Data 25

GAMBARAN LOKASI PENELITIAN 27

Kondisi Geografis dan Ekonomi 27

Karakteristik Responden dan Pelapisan pada Masyarakat 29

BENTUK-BENTUK PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT

BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL 39

Bentuk Partisipasi Penggunaan Hak Pilih 39

Bentuk Partisipasi dalam Kampanye 41

Bentuk Partisipasi sebagai Panitia Pemungutan Suara (PPS) atau

Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) 42

Bentuk Partisipasi dalam Mempersuasi Pihak Lain untuk

Berpartisipasi 45

Bentuk Partisipasi dalam Proses Penghitungan Suara 47

vi

Ikhtisar: Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik Berdasarkan Stratifikasi

Sosial 49

PERBEDAAN MOTIF-MOTIF TINDAKAN SOSIAL DALAM

PARTISIPASI POLITIK BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL 53

Motif Rasional Instrumental pada Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik 53

Motif Rasional Berorientasi Nilai pada Bentuk-Bentuk Partisipasi

Politik 56

Motif Afektif pada Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik 59

Motif Tradisional pada Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik 61

Ikhtisar: Motif-Motif Partisipasi Politik Masyarakat Berdasarkan

Stratifikasi Sosial 63

PENGARUH MOTIF-MOTIF TINDAKAN SOSIAL TERHADAP

PERBEDAAN BENTUK PARTISIPASI POLITIK BERDASARKAN

STRATIFIKASI SOSIAL 65

Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik Penggunaan

Hak Pilih 65

Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik dalam

Kampanye 66

Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik sebagai Panitia

Pemungutan Suara (PPS) atau Kelompok Penyelenggara Pemungutan

Suara (KPPS) 67

Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik dalam

Mempersuasi Pihak Lain untuk Berpartisipasi 68

Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik dalam Proses

Penghitungan Suara 69

Ikhtisar: Motif-Motif Tindakan Sosial pada Berbagai Bentuk

Partisipasi Politik 69

PENUTUP 73

Simpulan 73

Saran 74

DAFTAR PUSTAKA 75

LAMPIRAN 77

DAFTAR TABEL

1. Luas dan persentase wilayah lahan berdasarkan berbagai bentuk

penggunaan lahan di Desa Pancawati tahun 2012 27

2. Jumlah tenaga kerja berdasarkan jenis-jenis pekerjaan masyarakat Desa

Pancawati tahun 2012 28

3. Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi menggunakan

hak pilih berdasarkan stratifikasi sosial 39

4. Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi kampanye

berdasarkan stratifikasi sosial 41

5. Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi sebagai

panitia pemilihan berdasarkan stratifikasi sosial 43

6. Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi mempersuasi

pihak lain berdasarkan stratifikasi sosial 45

7. Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi proses

penghitungan suara berdasarkan stratifikasi sosial 47

8. Tingkat partisipasi masyarakat dalam bentuk-bentuk partisipasi politik

berdasarkan stratifikasi sosial 49

9. Jumlah dan persentase motif rasional instrumental responden berdasarkan

stratifikasi sosial 53

10. Jumlah dan persentase motif rasional berorientasi nilai responden

berdasarkan stratifikasi sosial 56

11. Jumlah dan persentase motif afektif responden berdasarkan stratifikasi

sosial 59

12. Jumlah dan persentase motif tradisional responden berdasarkan

stratifikasi sosial 61

13. Tingkat kecenderungan motif-motif partisipasi politik masyarakat

berdasarkan stratifikasi sosial 63

14. Tingkat kecenderungan motif tindakan sosial pada bentuk-bentuk

partisipasi politik 70

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka pemikiran penelitian 15

2. Metode pengambilan sampel 24

3. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin 29

4. Karakteristik responden berdasarkan kepemilikan aset atau barang

berharga 30

5. Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan 31

6. Karakteristik responden berdasarkan pendapatan 31

7. Karakteristik responden berdasarkan pengeluaran 32

8. Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan Kepala Keluarga 33

9. Karakteristik responden berdasarkan kondisi rumah 33

10. Karakteristik responden berdasarkan jenis lantai bangunan tempat tinggal 34

11. Karakteristik responden berdasarkan jenis dinding bangunan tempat

tinggal 34

12. Karakteristik responden berdasarkan tempat mandi dan buang air besar 35

13. Karakteristik responden berdasarkan sumber air bersih untuk minum 36

14. Karakteristik responden berdasarkan sumber air bersih untuk kebutuhan

sehari-hari 36

15. Karakteristik responden berdasarkan bahan bakar (energi) untuk

memasak 37

16. Karakteristik responden berdasarkan jenis penanganan kesehatan 38

DAFTAR LAMPIRAN

1. Denah lokasi penelitian 77

2. Jadwal pelaksanaan penelitian 78

3. Daftar nama responden penelitian 79

4. Hasil uji korelasi Rank Spearman 81

5. Dokumentasi 84

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang menganut paham

demokrasi. Sebagai negara demokrasi, salah satu tugas pemerintahan adalah

melibatkan masyarakat dalam pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan

politik. Umumnya cara yang digunakan oleh pemerintah untuk melibatkan

masyarakat dalam sistem politik adalah melalui pemilihan umum dalam memilih

pemimpin negara atau pemimpin daerah. Pada Undang-Undang Nomor 22 tahun

2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, dinyatakan bahwa pemilihan

umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan

rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemilihan umum sudah dijalankan di Indonesia sejak tahun 1955. Pesta

demokrasi berupa pemilihan ini masih terus dijalankan sampai sekarang. Tidak

hanya pemilihan umum, pemerintah juga melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah

(Pilkada) yang memberikan kesempatan kepada masyarakat masing-masing

daerah untuk memilih kepala daerahnya sendiri.

Menurut Sastroatmodjo (1995), kegiatan pemilihan pimpinan pemerintahan

adalah salah satu kegiatan partisipasi politik yang aktif. Bentuk kegiatan ini

disebut aktif karena terjadi “masukan” politik. Pemilihan umum atau pemilihan

kepala daerah dapat dikatakan sebagai wadah yang diciptakan oleh pemerintah

untuk masyarakat agar ikut berpartisipasi aktif dalam sistem pemerintahan.

Sayangnya, terkadang wadah ini tidak dimanfaatkan oleh masyarakat secara baik.

Akhir-akhir ini terdapat kecenderungan meningkatnya angka golput (golongan

putih) dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Semakin banyak

masyarakat yang bersikap apatis dan tidak mau berpartisipasi dalam sistem politik

di Indonesia. Salah satu contoh rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemilihan

kepala daerah adalah saat pemilihan Gubernur Jawa Barat yang baru saja diadakan

pada bulan Februari 2013 yang lalu. Hasil pemilihan kepala daerah tersebut

menunjukkan tingginya angka golput. Pasangan Cagub-Cawagub terpilih pun

memperoleh suara yang lebih rendah daripada angka golput1.

Rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah tidak

terjadi pada seluruh wilayah Indonesia. Ada juga daerah-daerah yang

menunjukkan semakin tingginya partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala

daerah. Salah satu daerah yang menunjukkan tingginya tingkat partisipasi adalah

Kabupaten Temanggung. Pemilihan kepala daerah di Temanggung pada tahun

2008 menunjukkan bahwa 81.03% pemilih ikut berpartisipasi dalam pemilihan

kepala daerah.

Perbedaan kecenderungan semakin tinggi dan semakin rendahnya tingkat

partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah menunjukkan bahwa

1 Gunernur terpilih memperoleh suara 6 515 313 (32.39%) suara, sedangkan angka golput

mencapai 11 823 201 (36.3%). Sumber: Herdiana I. 2013.Golput Pilgub Jabar capai 36

persen.[Internet]. [dikutip 23 Juni 2013]. Dapat diunduh dari:

http://daerah.sindonews.com/read/2013/03/03/21/723605/golput-pilgub-jabar-capai-36-

persen

2

masyarakat memiliki motif yang berbeda-beda dalam berpartisipasi politik.

Mengacu pada pengkategorian motif tindakan sosial menurut Max Weber (1992),

maka motif-motif yang mendorong partipasi politik masyarakat dalam pemilihan

dapat dibagi menjadi 4, yaitu rasional instrumental, rasional berorientasi nilai,

afektif, dan tradisional.

Salah satu contoh kasus yang menunjukkan perbedaan motif pada individu-

individu dalam masyarakat dalam berpartisipasi pada Pemilu atau Pilkada adalah

kasus yang diteliti oleh Bawono (2008) di Kabupaten Nganjuk. Hasil penelitian

tersebut menunjukkan bahwa terdapat beberapa motif yang mendasari partisipasi

politik masyarakat dalam Pemilu. Motif-motif tersebut antara lain adalah

kesadaran masyarakat akan hak dan kewajiban masyarakat sebagai warga negara,

kemauan masyarakat untuk mencari pemimpin, menyalurkan aspirasinya untuk

memilih wakil rakyat yang baik, memiliki ikatan emosional dengan partai dan

calon yang bersangkutan, dan menginginkan perubahan ekonomi yang lebih baik.

Penelitian tersebut juga menunjukkan beberapa motif yang mendasari masyarakat

yang tidak menggunakan hak pilihnya. Motif-motif tersebut antara lain adalah

tidak memahami Pemilu, kepercayaan pemilih yang sudah menurun terhadap

partai dan calon, tidak ingin terlibat dalam politik, dan lebih mengutamakan

kepentingan mencari nafkah daripada ikut berpartisipasi dalam Pemilu. Hal ini

menunjukkan terdapat perbedaan motif yang mendasari masyarakat dalam

berpartisipasi pada Pemilu atau Pilkada.

Motif-motif yang dimiliki masyarakat dapat menjadi dasar untuk berbagai

bentuk partisipasi politik. Tidak hanya memberikan suara, masyarakat juga dapat

terlibat dalam bentuk-bentuk partisipasi lainnya dalam pemilihan. Bentuk-bentuk

partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan dapat berupa pemberian

sumbangan pada kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan

bagi seorang calon, dan setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil

proses pemilihan (Sari 2007). Hal ini menunjukkan pemilihan dapat memberikan

kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat dalam berbagai bentuk partisipasi

politik.

Perbedaan motif-motif yang mendasari bentuk-bentuk partisipasi politik

masyarakat pada Pemilu atau Pilkada dapat diidentifikasi berdasarkan stratifikasi

sosial. Stratifikasi sosial pada umumnya diukur berdasarkan status sosial-ekonomi

masyarakat. Masyarakat yang berbeda strata atau lapisan di dalam masyarakat

diasumsikan cenderung memiliki motif yang berbeda dalam melakukan tindakan

sosial, termasuk dalam berpartisipasi pada Pemilu atau Pilkada. Penelitian yang

dilakukan oleh Bawono (2008) di Kabupaten Nganjuk juga menunjukkan bahwa

partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh latar belakang pekerjaan dan pendidikan.

Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan status sosial-ekonomi akan mempengaruhi

individu dalam berpartisipasi. Dapat dikatakan juga bahwa perbedaan status

sosial-ekonomi masyarakat berpengaruh terhadap perbedaan motif individu dalam

berpartisipasi politik. Oleh karena itu, menarik untuk dikaji motif-motif yang

mendasari partisipasi politik masyarakat berdasarkan stratifikasi sosial.

Salah satu kasus yang menjadi dasar pada penelitian ini adalah Pemilihan

Bupati Kabupaten Bogor 2013. Pemilihan ini dijadikan dasar oleh peneliti karena

pemilihan inilah yang terakhir kali dilaksanakan di Kabupaten Bogor. Karena

pemilihan ini baru saja terjadi, diharapkan masyarakat masih dapat mengingat

3

partisipasi apa saja yang dilakukan pada pemilihan dan dapat mengidentifikasi

motif-motif yang mendasari partisipasi tersebut.

Peneliti melakukan penelitian di lokasi yang memiliki tingkat partisipasi

sedang. Motif-motif partisipasi politik masyarakat di wilayah yang memiliki

tingkat partisipasi sedang dalam Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor 2013

diharapkan dapat mewakili seluruh wilayah, baik wilayah yang memiliki

partisipasi tinggi maupun wilayah yang memiliki partisipasi rendah. Pada

penelitian ini, peneliti menganalisis motif-motif yang mendasari partisipasi politik

masyarakat Desa Pancawati, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor berdasarkan

stratifikasi sosial pada Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah,

khususnya pada Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor 2013.

Masalah Penelitian

Pemilihan Umum atau Pemilihan Kepala Daerah adalah hal yang sudah

tidak asing lagi di masyarakat Indonesia, begitu juga pada masyarakat Desa

Pancawati, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Melalui kegiatan

pemilihan ini, masyarakat melakukan partisipasi politik. Berbagai bentuk

partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat tidak terlepas dari motif-motif

tindakan sosial. Perbedaan bentuk partisipasi politik dan motif partisipasi politik

yang dimiliki masyarakat salah satunya dipengaruhi oleh stratifikasi sosial. Oleh

karena itu, masalah utama yang dikaji pada penelitian ini adalah bagaimana motif-

motif tindakan sosial yang mendasari berbagai bentuk partisipasi politik

masyarakat Desa Pancawati pada pemilihan berdasarkan stratifikasi pada

masyarakat?

Bentuk partisipasi politik pada pemilihan yang dilakukan oleh masyarakat

tidak hanya berupa penggunaan hak suara, tetapi juga partisipasi dalam

kampanye, pelaksanaan pemilihan, persuasi kepada pihak lain untuk

berpartisipasi, dan penghitungan suara. Berbagai bentuk partisipasi politik ini

dilakukan oleh masyarakat dari berbagai strata. Ada kecenderungan bahwa

masyarakat yang memiliki status sosial-ekonomi yang berbeda atau berasal dari

strata yang berbeda akan melakukan bentuk partisipasi politik yang berbeda. Oleh

karena itu, perlu untuk dianalisis apakah bentuk-bentuk partisipasi politik pada

pemilihan berbeda berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat pedesaan?

Bentuk-bentuk partisipasi politik yang dilakukan oleh setiap strata pada

masyarakat tidak terlepas dari motif-motif tindakan sosial yang mendasarinya.

Motif-motif tindakan sosial pada masyarakatlah yang menjadi dasar dilakukannya

berbagai bentuk partisipasi politik pada pemilihan. Oleh karena itu, perlu untuk

dianalisis apakah motif-motif tindakan sosial partisipasi politik pada pemilihan

berbeda berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat pedesaan?

Motif-motif tindakan sosial yang mendasari masyarakat dalam berpartisipasi

politik memiliki perbedaan. Setiap masyarakat memiliki alasannya masing-masing

dalam melakukan partisipasi politik pada pemilihan. Salah satu hal yang

menyebabkan perbedaan motif partisipasi politik pada masyarakat adalah

perbedaan strata pada masyarakat. Masyarakat yang berada di strata atas memiliki

motif-motif partisipasi politik yang berbeda dengan motif partisipasi politik yang

dimiliki oleh masyarakat pada strata bawah. Perbedaan motif ini melandasi

4

berbagai bentuk partisipasi politik dalam pemilihan. Oleh karena itu, perlu untuk

dianalisis apa motif-motif tindakan sosial yang mendasari bentuk-bentuk

partisipasi politik pada pemilihan berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat

pedesaan?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka tujuan penelitian umum

pada penelitian ini adalah menganalisis motif-motif tindakan sosial yang

mendasari berbagai bentuk partisipasi politik masyarakat Desa Pancawati pada

pemilihan berdasarkan stratifikasi pada masyarakat. Adapun tujuan-tujuan khusus

pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis perbedaan bentuk-bentuk partisipasi politik pada pemilihan

berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat Desa Pancawati.

2. Menganalisis perbedaan motif-motif tindakan sosial partisipasi politik pada

pemilihan berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat Desa Pancawati.

3. Menganalisis perbedaan motif-motif tindakan sosial pada berbagai bentuk

partisipasi politik dalam pemilihan berdasarkan stratifikasi sosial

masyarakat Desa Pancawati.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi berbagai pihak,

antara lain:

1. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menambah

khasanah penelitian mengenai motif-motif yang mendasari partisipasi

politik masyarakat pedesaan. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi

acuan atau literatur bagi akademisi yang ingin meneliti lebih jauh mengenai

motif-motif yang mendasari partisipasi politik masyarakat pedesaan

berdasarkan stratifikasi sosial.

2. Bagi pembuat kebijakan atau pihak pemerintahan, penelitian ini diharapkan

dapat menjadi salah satu rujukan mengenai motif-motif partisipasi politik

pada masyarakat pedesaan, yang selanjutnya dapat menjelaskan mengenai

alasan tinggi atau rendahnya partisipasi politik masyarakat pedesaan pada

Pilkada. Melalui hasil penelitian ini, pemerintah diharapkan dapat membuat

kebijakan atau memberikan solusi untuk lebih meningkatkan partisipasi

politik masyarakat pedesaan pada Pilkada.

3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

mengenai motif-motif yang mendasari partisipasi politik masyarakat

pedesaan pada Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah berdasarkan

stratifikasi pada masyarakat.

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Partisipasi Politik

Partisipasi politik diartikan dengan berbagai bentuk oleh para ahli. Dengan

mengacu pendapat beberapa ahli, Soebagio (2008) menyatakan bahwa partisipasi

politik memiliki substansi core political activity yang bersifat personal dari setiap

warga negara secara sukarela untuk berperan serta dalam proses pemilihan umum

untuk memilih para pejabat publik, baik secara langsung maupun tidak langsung

dalam proses penetapan kebijakan publik. Tidak terlalu berbeda dengan pendapat

Soebagio, dengan mengacu pada pendapat para ahli, Tarigan (2009) dalam

tesisnya menyatakan bahwa partisipasi politik adalah suatu rangkaian kegiatan

yang melibatkan peran serta masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung,

yang bertujuan untuk memengaruhi kebijakan pemerintah yang menyangkut

kepentingan masyarakat. Berdasarkan kedua pendapat tersebut, maka partisipasi

politik dapat dinyatakan sebagai keterlibatan masyarakat, baik secara langsung

maupun tidak langsung, dalam mempengaruhi keberlangsungan sistem

pemerintahan.

Berdasarkan berbagai konsep partisipasi politik yang dikemukakan oleh

para ahli, tidak dibedakan secara tegas apakah partisipasi politik tersebut bersifat

otonom atau dimobilisasi. Definisi partisipasi politik yang dinyatakan Huntington

dan Nelson (1994) pun tidak membedakan kedua sifat tersebut. Mengutip

pendapat Huntington dan Nelson, Kamarudin (dalam Tarigan 2009) menyatakan

bahwa sifat otonom dan mobilisasi tersebut tidak dibedakan karena beberapa

alasan. Pertama, perbedaan antara keduanya lebih tajam dalam prinsip daripada di

alam realitas. Kedua, dapat dikatakan semua sistem politik mencakup suatu

campuran keduanya. Ketiga, hubungan keduanya bersifat dinamis, artinya bahwa

partisipasi politik yang bersifat dimobilisasi karena faktor internalisasi pada

akhirnya akan menjadi partisipasi yang bersifat otonom. Sebaliknya juga

demikian, partisipasi politik yang bersifat otonom akan berubah menjadi

dimobilisasi. Keempat, kedua bentuk partisipasi tersebut mempunyai konsekuensi

penting bagi sistem politik. Partisipasi politik yang dimobilisasi atau otonom

memberikan peluang-peluang kepemimpinan dan menimbulkan kekangan-

kekangan terhadap pimpinan-pimpinan politik. Berdasarkan alasan-alasan ini,

maka dapat dikatakan bahwa memang tidak perlu membedakan apakah partisipasi

politik tersebut dimobilisasi atau otonom.

Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik

Partisipasi politik dapat diwujudkan dalam berbagai aktivitas. Perwujudan

aktivitas yang terkait dengan partisipasi politik ini dapat dikatakan sebagai

bentuk-bentuk partisipasi politik. Secara umum, bentuk-bentuk partisipasi politik

di masyarakat pedesaan sama dengan bentuk partisipasi politik pada masyarakat

perkotaan. Hanya saja partisipasi politik di perkotaan dapat dikatakan lebih

kompleks daripada partisipasi masyarakat pedesaan. Hal ini dapat dibuktikan dari

hasil penelitian Wahyudi (2007) di Kota Semarang yang mengelaborasikan

pendapat Rush dan Althof (1995) dan Roth dan Wilson (1981) tentang bentuk-

6

bentuk partisipasi politik. Penelitiannya menghasilkan suatu hierarkhi partisipasi

politik yang khusus pada elit perempuan. Pada puncak hierarkhi, terdapat kategori

aktivis, yaitu orang-orang yang memegang jabatan politik atau administrasi,

dalam hal ini adalah KPU dan pengurus partai. Jenjang kedua dari hierarkhi

partisipasi politik disebut dengan partisipan. Kategori ini diuraikan dalam bentuk

pencalonan diri sebagai anggota legislatif, mengikuti kampanye, dan aktif dalam

diskusi informal tentang pemilu. Kategori ketiga adalah pengamat. Bentuk

partisipasi yang tergolong kategori pengamat ini adalah pemberian suara.

Berbeda dengan konteks perkotaan, bentuk-bentuk partisipasi politik pada

masyarakat pedesaan cenderung lebih sederhana. Hal ini sesuai dengan penelitian

yang dilakukan oleh Sari (2007). Berdasarkan penelitian Sari di Desa Gadingsari-

Yogyakarta, didapatkan bentuk-bentuk partisipasi politik aktif yang mencakup

beberapa kegiatan, yaitu kegiatan masyarakat dalam mengajukan usul mengenai

suatu kebijakan kepada pemerintah, mengajukan kritik dan saran untuk

meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak, dan ikut serta dalam kegiatan

pemilihan umum, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala desa.

Uraian tersebut di atas menunjukkan seluruh bentuk-bentuk partisipasi

politik yang terjadi dalam konteks perkotaan dan pedesaan. Uraian tersebut

menunjukkan bahwa partisipasi politik dalam pemilihan umum atau pemilihan

kepala daerah adalah bentuk yang paling umum terjadi. Partisipasi politik dalam

pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah adalah aktivitas partisipasi politik

yang paling dapat “dijangkau” oleh masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan.

Keikutsertaan atau partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum atau pemilihan

kepala daerah masih dapat dibagi lagi ke dalam beberapa bentuk partisipasi

politik.

Bawono (2008) menyatakan bahwa bentuk-bentuk partisipasi politik

masyarakat dalam pemilihan umum dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu terlibat

dalam kampanye, mengikuti penghitungan suara, dan menggunakan hak pilihnya.

Selain Bawono, Sari (2007) juga menyatakan bentuk-bentuk partisipasi politik

dalam kegiatan pemilihan. Bentuk-bentuk partisipasi politik dalam kegiatan

pemilihan yang dinyatakan oleh Sari terdiri dari beberapa aktivitas, yaitu aktivitas

pemberian suara, pemberian sumbangan pada kampanye, bekerja dalam suatu

pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon, dan setiap tindakan yang

bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan. Bentuk-bentuk partisipasi politik

ini yang dijabarkan oleh Sari ini sesuai dengan bentuk-bentuk partisipasi politik

aktif yang terjadi pada masyarakat Desa Gadingsari, Yogyakarta.

Hasil penelitian Tarigan (2009) menyatakan bentuk partisipasi politik

lainnya dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Hasil penelitiannya

di Kabupaten Temanggung menunjukkan bahwa bentuk-bentuk partisipasi politik

masyarakat pada pemilihan kepala daerah adalah peran masyarakat dalam

kampanye, keterlibatan dalam rapat dusun/desa/musrenbang, dan tingkat

kehadiran dalam rapat-rapat tersebut. Tidak jauh berbeda dengan penelitian-

penelitian yang dijabarkan sebelumnya, penelitian yang dilakukan oleh Zainuri

(2007) juga menunjukkan beberapa bentuk partisipasi politik dalam pemilihan

umum atau pemilihan kepala daerah. Hasil penelitiannya di Kudus menunjukkan

bahwa bentuk partisipasi politik perempuan dalam pemilihan umum atau

pemilihan kepala daerah terdiri dari berbagai bentuk, mulai dari penyaluran suara

(hak pilih) saja sampai ikut serta mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.

7

Beberapa kasus dan hasil penelitian yang telah dijabarkan di atas, maka

bentuk partisipasi politik dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah

pada masyarakat pedesaan yang paling jelas dan nyata adalah pemberian suara

(penggunaan hak pilih). Selain penggunaan hak pilih, bentuk partisipasi politik

lainnya yang dapat dikategorikan sebagai bentuk partisipasi politik masyarakat

pedesaan dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah adalah

keterlibatan masyarakat dalam kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan,

mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilkada, dan

mengikuti proses penghitungan suara.

Motif-Motif Tindakan Sosial

Perbedaan kecenderungan tinggi dan rendahnya partisipasi politik

menunjukkan bahwa ada dorongan atau motivasi yang mempengaruhi partisipasi

politik masyarakat. Dorongan-dorongan yang mempengaruhi partisipasi politik

masyarakat ini dapat dikatakan sebagai motif-motif tindakan sosial. Weber

mengemukakan bahwa terdapat 4 motif yang dapat mempengaruhi tindakan sosial

individu, yaitu rasional instrumental, rasional berorientasi nilai, afektif, dan

tradisional. Pada penelitian ini diasumsikan bahwa satu individu dapat memiliki

beberapa motif dalam melakukan partisipasi politik.

a. Rasional Instrumental

Rasional instrumental adalah salah satu motif tindakan sosial menurut Max

Weber yang menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh individu didasari

oleh kerasionalan dan mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi dalam

mencapai tujuan tertentu. Motif ini lebih mengarah pada motif yang didasari oleh

hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi. Motif ini dapat dikaitkan dengan motif-

motif yang mendasari partisipasi politik masyarakat pedesaan dalam pemilihan

umum atau pemilihan kepala daerah.

Hasil penelitian Soebagio (2007) menunjukkan bahwa salah satu alasan

menurunnya partisipasi politik dalam pemilihan umum adalah kenyataan Pemilu

dan Pilkada langsung belum mampu menghasilkan perubahan berarti bagi

peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini merupakan salah satu motif

rasional instrumental yang mempengaruhi partisipasi politik. Tidak adanya

perubahan kesejahteraan yang dirasakan oleh masyarakat menyebabkan partisipasi

politik masyarakat menurun.

Hasil penelitian Bawono (2008) menunjukkan motif rasional instrumental

yang berbeda. Penelitiannya tentang partisipasi politik di Kabupaten Nganjuk

menunjukkan bahwa salah satu alasan masyarakat tidak menggunakan hak

pilihnya dalam pemilihan umum adalah karena masyarakat lebih mengutamakan

kepentingan mencari nafkah daripada ikut berpartisipasi dalam Pemilu. Hal ini

biasanya tejadi pada masyarakat yang tidak memiliki jam kerja yang pasti. Untuk

menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah,

masyarakat harus meluangkan waktunya untuk mendatangi Tempat Pemungutan

Suara (TPS). Waktu yang digunakan masyarakat untuk datang ke TPS dan

menggunakan hak pilihnya pasti mengorbankan waktunya untuk melakukan hal

lain, misalnya bekerja. Walaupun pada umumnya pemilihan umum dilakukan

pada hari libur atau hari yang diliburkan, namun hal tidak berpengaruh untuk

masyarakat yang bekerja di sektor informal. Dengan mempertimbangkan aspek

8

ekonomi, masyarakat pasti cenderung memilih bekerja daripada mengikuti

kegiatan pemilihan umum. Keuntungan atau pendapatan yang akan didapatkannya

dari bekerja pasti lebih menggiurkan daripada harus pergi ke TPS dan

menggunakan hak pilihnya.

Orientasi masyarakat yang lebih mengutamakan kepentingan mencari

nafkah ini juga menyebabkan masyarakat tidak atau kurang terlibat dalam

kampanye, menjadi panitia dalam suatu pemilihan, dan mengikuti proses

penghitungan suara. Hal ini juga terkait dengan waktu dan tenaga yang lebih baik

disalurkan masyarakat untuk bekerja. Fenomena ini menunjukkan bahwa aspek

ekonomi akan mempengaruhi masyarakat dalam berpartisipasi politik di Pemilu

atau Pilkada.

Bentuk lain yang dapat digolongkan sebagai contoh motif rasional

instrumental adalah politik uang. Politik uang ini sudah merupakan hal umum dan

tidak sedikit di Indonesia. Para calon-calon pemimpin yang akan dipilih

masyarakat dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah memberikan

“serangan fajar” kepada masyarakat. Calon-calon pemimpin akan memberikan

uang kepada setiap rumah di suatu wilayah atau bantuan-bantuan fisik kepada

suatu daerah. Bantuan fisik dan uang ini diharapkan dapat dibalas oleh masyarakat

melalui suara yang ditujukan untuk si pemberi bantuan. Hal ini dapat menjadi

salah satu alasan masyarakat untuk berpartisipasi di Pemillu atau Pilkada dalam

bentuk penggunaan hak pilih.

Hasil-hasil penelitian dan penjelasan di atas menunjukkan bahwa partisipasi

politik dipengaruhi oleh hal-hal yang berkaitan dengan aspek ekonomi. Motif

yang berkaitan dengan aspek ekonomi ini disebut sebagai motif rasional

instrumental. Dapat dikatakan bahwa motif rasional instrumental yang

mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum atau

pemilihan kepala daerah terdiri dari tiga hal, yaitu sejauh mana hasil Pemilu atau

Pilkada mampu menghasilkan perubahan pada pendapatan masyarakat, perubahan

sumber penghasilan masyarakat, dan politik uang.

b. Rasional Berorientasi Nilai

Motif rasional berorientasi nilai masih terkait dengan kerasionalan individu

dalam melakukan tindakan sosial. Motif rasional berorientasi nilai menyatakan

bahwa individu melakukan tindakan sosial dengan motif yang rasional dan terkait

dengan pengejaran nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai tersebut dapat berupa nilai-nilai

dalam keluarga, kelompok, atau masyarakat. Motif ini dapat dikaitkan dengan

partisipasi politik masyarakat pedesaan dalam pemilihan umum atau pemilihan

kepala daerah.

Beberapa alasan yang dikemukakan oleh Soebagio (2007) terkait dengan

mengapa partisipasi politik pada pemilihan umum menurun dapat digolongkan

sebagai motif rasional berorientasi nilai. Alasan-alasan tersebut antara lain adalah:

(1) menurunnya kinerja partai politik yang tidak memiliki platform politik yang

realistis dan kader politik yang berkualitas serta komitmen politik yang berpihak

kepada kepentingan publik, melainkan lebih mengutamakan kepentingan

kelompok atau golongannya; (2) merosotnya integritas moral aktor-aktor politik

(elit politik) yang berperilaku koruptif dan lebih mengejar kekuasaan atau

kedudukan daripada memperjuangkan aspirasi publik; (3) tidak terealisasikannya

janji-janji yang dikampanyekan oleh elit politik kepada publik yang

9

mendukungnnya; (4) kurang netralnya penyelenggara Pemilu/Pilkada yang masih

berpotensi melakukan keberpihakan kepada kontestan tertentu, di samping juga

kurangnya intensitas sosialisasi Pemilu secara terprogram dan meluas. Tiga alasan

tersebut menunjukkan bahwa ada nilai-nilai kejujuran yang dituntut oleh

masyarakat. Ketika nilai kejujuran ini tidak dipenuhi oleh para calon pemimpin,

maka masyarakat tidak lagi ingin berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilkada.

Penelitian lain dilakukan oleh Bawono (2008) di Kabupaten Nganjuk. Hasil

penelitian Bawono tersebut menghasilkan beberapa alasan yang mempengaruhi

tingkat partisipasi politik masyarakat. Di antara beberapa alasan yang

dikemukakan, terdapat beberapa alasan yang dapat dihubungkan dengan motif

rasional berorientasi nilai. Alasan-alasan tersebut antara lain adalah faktor

kerumitan tentang sistem Pemilu, adanya sikap apatis masyarakat terhadap

Pemilu, dan ketidakpahaman masyarakat terhadap Pemilu. Adanya sikap apatis

masyarakat jelas menunjukkan bahwa ada nilai yang dianut oleh masyarakat.

Dapat dikatakan bahwa sikap apatis ini timbul karena nilai-nilai yang terdapat

pada masing-masing individu dalam masyarakat. Alasan yang terkait dengan

kerumitan sistem Pemilu dan ketidakpahaman masyarakat terhadap Pemilu juga

menunjukkan ada nilai yang dianut oleh masyarakat. Ketika ada hambatan bagi

masyarakat untuk melakukan sesuatu, seperti kerumitan dan ketidakpahaman,

maka masyarakat lebih memilih untuk tidak bertindak terkait dengan sesuatu

tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi (2007) di Kota Semarang secara

jelas menyatakan bahwa salah satu motif berpartisipasi elit politik perempuan di

Kota Semarang dalam Pemilu legislatif tahun 2004 adalah rasional bernilai. Motif

rasional bernilai yang dinyatakan oleh Wahyudi dengan mengacu pada Weber

adalah motif partisipasi yang didasarkan pada pertimbangan rasional. Dalam

kasus ini, bentuk motif rasional bernilai tersebut terwujud dalam partisipasi politik

perempuan yang telah menilai secara objektif pilihannya. Berdasarkan pernyataan

tersebut, dapat dikatakan bahwa masyarakat berpartisipasi dalam Pemilu atau

Pilkada karena nilai yang dianut oleh masyarakat bahwa partisipasi tersebut

adalah kewajiban sekaligus haknya sebagai warga negara. Masyarakat

menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu atau Pilkada karena masyarakat ingin

ikut melibatkan diri dalam menentukan siapa orang atau pihak yang tepat untuk

berada dalam sistem pemerintahan.

Alasan partisipasi politik masyarakat yang dinyatakan oleh Wahyudi

tersebut di atas dapat dikaitkan dengan beberapa hasil penelitian lainnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Fenyapwain (2013) menunjukkan bahwa iklan

politik Pemilukada di Minahasa mempunyai tingkat hubungan yang cukup kuat

dan memberi sumbangan (kontribusi) yang kecil terhadap partisipasi pemilih

pemula. Penelitian yang dilakukan oleh Gama dan Widarwati (2008)

menunjukkan isu dan kebijakan politik kandidat kepala daerah dapat berpengaruh

cukup tinggi terhadap perilaku pemilih ibu-ibu rumah tangga. Penelitian yang

dilakukan Tarigan (2009) menunjukkan bahwa popularitas calon kepala daerah

adalah salah satu aspek yang mampu mempengaruhi partisipasi politik

masyarakat. Ketiga penelitian tersebut menunjukkan bahwa iklan politik, isu dan

kebijakan politik kandidat kepala daerah, dan popularitas calon kepala daerah ikut

menentukan partisipasi politik masyarakat. Penulis melihat tiga hal ini sebagai

alasan yang berkaitan dengan motif rasional berorientasi nilai partisipasi politik

10

masyarakat. Ketika iklan politik, isu dan kebijakan kandidat, serta popularitas

kandidat diketahui oleh masyarakat, maka masyarakat menjadikan tiga hal ini

untuk menentukan siapa pihak yang berhak untuk dipilih. Ketiga hal tersebut

dapat menjadikan masyarakat lebih mudah memilih kandidat secara objektif.

Ketiga hal tersebut juga dapat menjadi bantuan bagi masyarakat agar meyakinkan

pilihannya. Ketika masyarakat sudah yakin akan memilih siapa dan sudah

merasakan keobjektifan pilihannya, maka masyarakat akan berpartisipasi dalam

Pemilu atau Pilkada untuk menggunakan hak suaranya.

Hasil penelitian lain yang terkait dengan motif rasional berorientasi nilai

adalah penelitian yang dilakukan oleh Bawono (2008). Hasil penelitiannya di

Jawa Timur menunjukkan bahwa masyarakat tidak berpartisipasi dalam pemilihan

umum karena tidak ingin terlibat dalam politik. Ketidakinginan masyarakat untuk

terlibat dalam hal-hal yang berkaitan dengan politik menunjukkan bahwa

masyarakat memiliki nilai tersendiri dalam hal-hal yang berkaitan dengan politik.

Hal ini dapat terjadi karena pengalaman dan pengetahuan yang kurang baik

tentang hal-hal yang berkaitan dengan bidang politik.

Hasil-hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan beberapa motif rasional

berorientasi nilai dalam partisipasi politik masyarakat pada Pemilu atau Pilkada.

Berdasarkan motif ini, partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat didasari

oleh rasionalitas dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Nilai-nilai yang

dianut oleh masyarakat ini terkait dengan kewajiban dan hak masyarakat untuk

menggunakan hak pilihnya atau terlibat dalam Pemilu atau Pilkada. Nilai-nilai

tersebut juga dapat dikaitkan dengan harapan masyarakat untuk mendapatkan

pemimpin yang tepat melalui suaranya dalam Pemilu atau Pilkada. Selain itu,

nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat yang terkait dengan bidang politik juga

dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam Pemilu atau Pilkada.

c. Afektif

Motif tindakan sosial afektif adalah motif yang berkaitan dengan aspek

perasaan atau emosi. Tindakan sosial yang dikaitkan dengan motif afektif adalah

tindakan sosial yang dilakukan oleh individu atau masyarakat karena pelampiasan

emosi atau perasaan. Emosi atau perasaan ini juga dapat menjadi motif bagi

masyarakat pedesaan untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum atau pemilihan

kepala daerah.

Salah satu bentuk nyata bagaimana emosi atau perasaan mempengaruhi

partisipasi politik adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Soebagio (2007).

Hasil penelitian Soebagio menunjukkan bahwa salah satu alasan menurunnya

partisipasi politik masyarakat pada pemilihan umum adalah kejenuhan pemilih

karena sering adanya Pemilu atau Pilkada yang dipandang sebagai kegiatan

seremonial berdemokrasi yang lebih menguntungkan bagi para elit politik.

Kejenuhan masyarakat pada pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah juga

dinyatakan oleh Bawono (2008) sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi

tingkat partisipasi politik masyarakat. Kejenuhan di sini menunjukkan bahwa

emosi atau perasaan masyarakat dapat mempengaruhi berpartisipasi atau tidaknya

masyarakat dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah.

Hasil penelitian Bawono (2008) juga menunjukkan bahwa alasan

masyarakat untuk berpartisipasi dalam Pemilu adalah ikatan emosional antara

masyarakat dengan partai dan calon yang bersangkutan dan kepercayaan pemilih

11

terhadap partai dan calon. Masyarakat yang sudah memiliki ikatan emosional dan

kepercayaan terhadap suatu partai atau calon pemimpin tertentu cenderung akan

berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilkada. Hal ini menunjukkan bahwa emosi atau

perasaan masyarakat akan mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam

Pemilu atau Pilkada.

Penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi (2007) tentang partisipasi elit

politik perempuan di Kota Semarang dalam Pemilu Legislatif tahun 2004 secara

jelas menyatakan bahwa salah satu motif partisipasi politik tersebut adalah motif

yang afektual emosional. Motif ini didasari oleh bentuk kristalisasi nilai yang

didapatkan dalam lingkungan politiknya. Berdasarkan motif ini, motif timbul

sebagai akibat penilaian terhadap agama serta partai politik yang dipilih.

Penelitian lain yang terkait dengan motif afektif partisipasi politik adalah

hasil penelitian Gama dan Widarwati (2008). Penelitiannya tentang perilaku

pemilih partisipasi politik wanita menunjukkan bahwa hubungan antara perasaan

emosional kandidat dan perilaku pemilih ibu-ibu rumah tangga cenderung tinggi.

Citra kandidat kepala daerah cenderung mempengaruhi perilaku pemilih. Hal ini

disebabkan oleh pemilih lebih tertarik pada figur yang memiliki kecerdasan,

berwibawa, kharismatik, mempunyai daya tarik fisik dan psikologis, dan

sebagainya. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa aspek emosi atau perasaan

yang dimiliki oleh masyarakat terhadap kandidat akan mempengaruhi partisipasi

politik masyarakat.

Bentuk motif afektif lainnya ditunjukkan oleh hasil penelitian Tarigan

(2009). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kondisi sosial politik dapat

mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu atau Pilkada. Kondisi

sosial politik ini dikaitkan dengan perasaan atau emosi masyarakat. Tarigan

menyatakan bahwa lingkungan sosial yang kondusif akan membuat orang dengan

senang hati berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam

beraktivitas politik. Penelitian ini menunjukkan bahwa semakin baik kondisi

sosial politik di masyarakat, maka partisipasi politik masyarakat pada pemilihan

umum atau pemilihan kepala daerah akan semakin tinggi.

Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bentuk-bentuk motif

afektif yang mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dapat berupa

ketertarikan masyarakat untuk berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilkada, ikatan

atau hubungan emosional antara masyarakat dengan kandidat, dan kondisi sosial

politik masyarakat yang kondusif. Bentuk-bentuk motif ini terkait dengan aspek

emosi atau perasaan masyarakat. Motif-motif afektif ini dapat mempengaruhi

partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala

daerah.

d. Tradisional

Motif tradisional adalah motif yang terkait dengan tradisi dan adat istiadat.

Tindakan sosial yang didasari oleh motif tradisional adalah tindakan sosial yang

didasari oleh kepatuhan pada tradisi dan adat-istiadat. Tradisi dan adat-istiadat ini

dapat juga dikaitkan dengan agama yang dianut oleh masyarakat. Jika dikaitkan

dengan partisipasi politik masyarakat pedesaan pada pemilihan umum atau

pemilihan kepala daerah, maka partisipasi tersebut dilandasi oleh kepatuhan

terhadap adat-istiadat atau tradisi masyarakat setempat.

12

Partisipasi politik yang didasari oleh motif tradisional dapat jelas terlihat

pada kasus penelitian yang dilakukan oleh Zainuri (2007). Zainuri meneliti

partisipasi politik perempuan di Kudus. Penelitian ini dikaitkan dengan perpsektif

tradisi Islam lokal di Kudus. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa

konstruksi tradisi Islam lokal Kudus menyebabkan perempuan Kudus merasa

terhambat baik secara politis, sosial budaya, psikologis dan agama. Konstruksi

sosial ini menyebabkan perempuan Kudus hanya berpartisipasi dalam

menyalurkan suara saja selama pemilihan umum yang diselenggarakan sebelum

masa reformasi. Kasus ini menunjukkan bahwa kepatuhan masyarakat terhadap

agama (tradisi atau adat istiadat) yang dianut akan mempengaruhi partisipasi

politik masyarakat dalam Pemilu atau Pilkada.

Beberapa penelitian lain juga mengaitkan antara partisipasi politik

masyarakat terhadap tradisi atau adat-istiadat yang dianut oleh masyarakat.

Penelitian yang dilakukan oleh Bawono (2008) menyatakan bahwa salah satu

aspek yang mempengaruhi persepsi, perilaku, dan partisipasi politik masyarakat

pemilih adalah agama. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi (2007)

menyatakan bahwa keyakinan, kultur, dan lingkungan politik memiliki

ketertarikan satu sama lain dalam menentukan bentuk partisipasi politik elit

politik perempuan. Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa agama,

keyakinan, dan kultur akan mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam

pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Sayangnya, para peneliti tersebut

tidak menunjukkan secara gamblang tentang bagaimana agama, keyakinan, dan

kultur mampu mempengaruhi partisipasi politik.

Penulis beranggapan bahwa agama, keyakinan, dan kultur yang dianut oleh

masyarakat dapat mempengaruhi partisipasi politik masyarakat melalui berbagai

cara. Salah satu cara adalah melalui partai dan kandidat yang akan dipilih oleh

masyarakat. Pada umumnya, latar belakang agama yang dimiliki oleh kandidat

akan menentukan partisipasi politik masyarakat pada Pemilu atau Pilkada. Jika

kandidat memiliki agama yang sama dengan masyarakat, maka masyarakat akan

cenderung untuk ikut berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilkada untuk mendukung

kandidat tersebut. Bentuk partisipasi politik yang dilakukan dapat hanya berupa

pemberian suara untuk kandidat, sampai mengikuti kampanye, bahkan membantu,

kampanye yang dilakukan oleh kandidat.

Agama, keyakinan, dan kultur juga dapat mempengaruhi partisipasi politik

masyarakat melalui orang yang berpengaruh dalam suatu budaya. Beberapa kasus

menyatakan bahwa ikut serta atau tidaknya masyarakat dalam Pemilu atau Pilkada

dipengaruhi oleh orang yang dituakan oleh masyarakat. Hal ini biasanya terjadi

pada masyarakat yang memiliki adat yang masih kental. Masyarakat adat akan

berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilkada jika ketua adatnya mengatakan

demikian. Dapat juga dikatakan bahwa masyarakat adat akan berpartisipasi dalam

Pemilu atau Pilkada jika ketua adatnya juga berpartisipasi.

Hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa kepatuhan masyarakat

terhadap tradisi, adat-isitiadat, dan agama akan mempengaruhi partisipasi politik

masyarakat dalam Pemilu atau Pilkada. Tradisi, adat-isitiadat, dan agama tersebut

dapat mempengaruhi masyarakat melalui berbagai cara. Ajaran yang dianut dalam

suatu agama atau adat, latar belakang agama atau suku kandidat, dan orang yang

berpengaruh dalam suatu budaya adalah jalan-jalan yang dapat menentukan

bagaimana tradisi, adat-isitiadat, dan agama yang dianut oleh masyarakat dapat

13

mempengaruhi partisipasi politik masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa motif

tradisional ikut mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan

umum atau pemilihan kepala daerah.

Stratifikasi Sosial

Stratifikasi sosial adalah konsep yang sudah sangat umum dalam ilmu

sosiologi. Parsons (1940) mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai kedudukan

yang berbeda dari individu-individu manusia yang menyusun sistem sosial

tertentu dan perlakuan mereka sebagai hubungan yang superior dan inferior

antara individu yang satu dengan individu lainnya dalam hal-hal yang terkait

dengan bidang sosial tertentu. Bungin (2006) mendefinisikan stratifikasi sosial

sebagai struktur sosial yang berlapis-lapis di dalam masyarakat. Pengertian kedua

ahli tersebut mengindikasikan bahwa stratifikasi sosial dapat diartikan sebagai

pelapisan sosial yang terjadi pada masyarakat.

Berdasarkan konsep stratifikasi sosial yang digunakan oleh Parsons (1940),

maka salah satu dasar pelapisan yang terdapat pada masyarakat adalah harta.

Harta yang dimaksud oleh Parsons adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu dan

dapat dipindahtangankan. Harta di sini tidak hanya terkait dengan obyek yang

bersifat materi.Harta juga dapat dikatakan sebagai prestasi dan kekuasaan yang

dimiliki oleh individu.

Dasar pelapisan harta ini dapat dikaitkan dengan pendapatan yang diterima

oleh individu. Jika dilihat dari klasifikasi pendapatannnya, maka masyarakat dapat

dibagi menjadi kelompok-kelompok berdasarkan mata pencaharian atau strategi

nafkah. Hal ini sesuai dengan pengklasifikasi strata oleh Bungin (2006). Mengutip

pendapat Bungin, maka stratifikasi sosial dalam masyarakat dapat dibedakan

menjadi tiga tingkatan, yaitu atas (Upper Class), menengah (Middle Class), dan

bawah (Lower Class). Kelas atas mewakili kelompok elit di masyarakat yang

jumlahnya sangat terbatas. Kelas menengah mewakili kelompok profesional,

kelompok pekerja, wiraswastawan, pedagang, dan kelompok fungsional lainnya.

Kelas bawah mewakili kelompok pekerja kasar, buruh harian, buruh lepas, dan

semacamnya.

Stratifikasi sosial juga dapat dikategorikan berdasarkan luasan tanah yang

dimiliki oleh petani jika dikaitkan dengan kondisi pedesaan yang didominasi oleh

pertanian. Penggolongan strata masyarakat berdasarkan kepemilikan lahan

pertanian di pedesaan dicetuskan oleh Sajogyo (1978). Bayu (2000) menyatakan

bahwa Sajogyo membagi penggolongan tersebut menjadi 3, yaitu petani gurem

dengan pemilikan lahan kurang dari 0.5 hektar, petani kecil dengan pemilikan

lahan dari 0.5 sampai 1 hektar, dan petani luas dengan pemilikan lahan lebih dari

1 hektar.

Ukuran lainnya yang dapat digunakan untuk melihat strata pada masyarakat

pedesaan adalah ukuran dari Badan Pusat Statistika (BPS). Berdasarkan BPS, ada

14 kriteria atau ciri rumah tangga miskin. Indikator kemiskinan tersebut adalah

luas lantai bangunan tempat tinggal, jenis lantai bangunan tempat tinggal, jenis

dinding bangunan tempat tinggal, sumber air minum, penggunaan fasilitas buang

air besar, jenis bahan bakar untuk masak sehari-hari, sumber penerangan rumah

tangga, kepemilikan aset minimal senilai Rp500 000, frekuensi makan dalam

sehari, pembelian pakaian baru dalam setahun, pembelian daging/ayam/susu

dalam seminggu, kemampuan berobat ke puskesmas atau poliklinik, pendidikan

14

tertinggi kepala rumah tangga, dan bidang pekerjaan utama kepala rumah tangga

(Lindiasari 2008).

Salah satu alat ukur strata yang juga dapat dijadikan acuan untuk

mengklasifikasikan masyarakat berdasarkan strata adalah berdasarkan

kepemilikan aset atau barang berharga yang dimiliki oleh masyarakat.

Kepemilikan barang berharga atau aset inilah yang menjadi acuan bagi peneliti

dalam menggolongkan masyarakat berdasarkan strata. Hal ini sesuai dengan

pembagian strata menurut ahli-ahli yang sudah disebutkan sebelumnya dimana

stratifikasi sosial pada masyarakat dilihat berdasarkan aspek ekonomi. Masyarakat

yang tergolong strata bawah adalah masyarakat yang tidak memiliki barang

berharga sampai memiliki maksimal 2 jenis barang berharga. Masyarakat yang

tergolong strata atas adalah masyarakat yang minimal memiliki 3 jenis barang

berharga. Barang berharga yang digunakan pada penelitian ini adalah televisi,

VCD-DVD room, lemari es, mesin cuci, dan sepeda motor.

Masyarakat Pedesaan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sari (2007), Hayami dan

Kikuchi mendefinisikan desa sebagai unit dasar dari kehidupan pedesaan di Asia,

dimana desa mengandung arti sebagai desa alamiah atau dukuh tempat orang

hidup dalam ikatan keluarga dalam suatu kelompok perumahan dengan saling

ketergantungan yang besar di bidang sosial dan ekonomi dan tidak memiliki

keharusan untuk sama dengan unit administratif setempat dalam negara modern,

walaupun pada kenyataanya hal tersebut sering kali terjadi. Desa yang

didefinisikan oleh peneliti tersebut di atas lebih ditekankan pada adanya ikatan

keluarga dan saling ketergantungan yang besar di bidang sosial dan ekonomi.

Definisi desa secara hukum dapat dilihat dari pengertian desa berdasarkan

kebijakan pemerintah. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah mendefinisikan desa sebagai kesamaan masyarakat hukum

yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat

setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Definisi desa ini menunjukkan bahwa desa adalah kesatuan

masyarakat yang memiliki pemerintahan sendiri.

Masyarakat desa atau masyarakat pedesaan dapat didefinisikasi sebagai

masyarakat yang hidup di desa. Utomo dalam Sari (2007) menyatakan bahwa

karakteristik yang dimiliki oleh masyarakat desa adalah masyarakat yang

mengutamakan hubungan dan ikatan kekerabatan yang berasal dari suatu keluarga

“pembuka desa” tertentu yang merintis terbentuknya suatu masyarakat

gemeinschaft. Masyarakat desa dilingkupi oleh suasana kekeluargaan dan tolong-

menolong.Masyarakat desa juga masih sangat tergantung pada tokoh-tokoh

pemimpin yang ada, baik pemimpin formal maupun informal.

Kerangka Pemikiran

Pemilu dan Pilkada adalah wadah bagi masyarakat untuk terlibat dalam

sistem politik di Indonesia. Masyarakat dapat berpartisipasi dalam berbagai

bentuk partisipasi politik pada pemilihan. Bentuk-bentuk partisipasi politik

15

masyarakat pada pemilihan dipengaruhi oleh motif-motif tindakan sosial yang

berbeda. Analisis motif-motif yang mendasari berbagai bentuk partisipasi politik

dapat dilakukan berdasarkan stratifikasi sosial (Gambar 1). Kerangka pemikiran

pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Keterangan: = Berpengaruh

= Konteks Penelitian

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

Stratifikasi Sosial

Strata atas

Strata bawah

Motif-Motif Tindakan Sosial

1. Rasional Instrumental

Tingkat pengaruh pemilihan terhadap

pendapatan masyarakat

Tingkat pengaruh pemilihan terhadap

sumber penghasilan masyarakat

Tingkat penerimaan politik uang

2. Rasional Berorientasi Nilai

Tingkat kesadaran masyarakat akan

kewajibannya mengikuti pemilihan

Tingkat pentingnya mendapatkan

pemimpin yang tepat bagi masyarakat

Tingkat internalisasi nilai demokrasi

yang ada di dalam masyarakat terkait

dengan hal-hal di bidang politik

3. Afektif

Tingkat ketertarikan masyarakat

untuk berpartisipasi dalam pemilihan

Tingkat kedekatan emosional antara

masyarakat dengan kandidat

Tingkat kekondusifan kondisi sosial

politik masyarakat

4. Tradisional

Tingkat internalisasi ajaran yang

dianut dalam suatu agama atau adat

Tingkat kesesuaian antara latar

belakang agama atau suku kandidat

dengan masyarakat

Tingkat kepatuhan masyarakat

kepada tokoh atau kelembagaan yang

berpengaruh dalam suatu budaya

Bentuk-Bentuk Partisipasi

Politik dalam Pemilihan

1. Tingkat partisipasi

masyarakat dalam

menggunakan hak

pilihnya

2. Tingkat keterlibatan

masyarakat dalam

kampanye

3. Tingkat keterlibatan

masyarakat sebagai

panitia pemilihan

4. Tingkat partisipasi

masyarakat dalam

mempersuasi pihak lain

untuk berpartisipasi dalam

Pilkada

5. Tingkat keterlibatan

masyarakat pada proses

penghitungan suara

16

Bentuk-bentuk partisipasi politik yang dapat dilakukan oleh masyarakat

pada pemilihan adalah menggunakan hak pilihnya, terlibat dalam kampanye,

terlibat dalam proses pelaksanaan pemilihan, mempersuasi pihak lain untuk

berpartisipasi dalam Pilkada, dan terlibat pada proses penghitungan suara. Demi

kebutuhan penelitian, peneliti menurunkan konsep bentuk-bentuk partisipasi

politik ini ke dalam variabel-variabel yang dapat diukur. Variabel-variabel dalam

konsep bentuk partisipasi politik ini adalah variabel dependen atau variabel yang

dipengaruhi.

Bentuk-bentuk partisipasi politik pada pemilihan dipengaruhi oleh motif-

motif tindakan sosial, yaitu rasional instrumental, rasional berorientasi nilai,

afektif, dan tradisional. Motif-motif tindakan sosial ini diturunkan oleh peneliti

menjadi variabel-variabel yang dapat diukur. Variabel yang diturunkan ini

dijadikan variabel independen atau variabel yang mempengaruhi bentuk-bentuk

partisipasi politik.

Motif-motif yang mendasari partisipasi politik pada masyarakat berbeda-

beda antara individu yang satu dengan yang lain. Salah satu aspek yang

membedakan motif-motif partisipasi politik ini adalah status sosial ekonomi atau

stratifikasi sosial. Masyarakat dengan strata yang berbeda cenderung akan

memiliki motif yang berbeda dalam berbagai bentuk partisipasi politik pada

pemilihan. Oleh karena itu, peneliti menganalisis pengaruh variabel independen

motif tindakan sosial terhadap variabel dependen bentuk-bentuk partisipasi politik

dalam konteks masyarakat pedesaan berdasarkan stratifikasi sosial.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini dapat disajikan sebagai berikut:

1. Partisipasi politik masyarakat pedesaan pada setiap strata berbeda bentuk.

2. Bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat pada pemilihan berdasarkan

stratifikasi sosial dipengaruhi oleh motif-motif tindakan sosial yang

berbeda.

3. Masyarakat yang berasal dari strata yang berbeda memiliki motif -motif

tindakan sosial yang berbeda dalam mempengaruhi bentuk-bentuk

partisipasi politik dalam pemilihan.

Definisi Operasional

Bentuk Partisipasi Politik

Konsep bentuk partisipasi politik masyarakat pada Pemilihan Umum atau

Pemilihan Kepala Daerah dapat diturunkan menjadi 5 variabel, yaitu:

1. Tingkat partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Variabel ini

diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu partisipasi sangat tinggi (skor

4), partisipasi tinggi (skor 3), partisipasi rendah (skor 2), dan partisipasi sangat

rendah (skor 1). Indikator untuk mengukur partisipasi masyarakat dalam

menggunakan hak pilihnya adalah:

Partisipasi masyarakat dalam mengikuti prosedur untuk menjadi

pemilih pada pemilihan

17

Partisipasi masyarakat dalam memberikan suara pada pemilihan

Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang

digunakan, maka tingkat partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak

pilihnya dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu:

Tinggi : skor 7 < x ≤ 8

Sedang : skor 6 ≤ x ≤ 7

Rendah : skor 4 ≤ x < 6

2. Tingkat keterlibatan masyarakat dalam kampanye. Variabel ini diukur dengan

menggunakan skala Likert, yaitu partisipasi sangat tinggi (skor 4), partisipasi

tinggi (skor 3), partisipasi rendah (skor 2), dan partisipasi sangat rendah (skor

1). Indikator untuk mengukur keterlibatan masyarakat dalam kampanye

adalah:

Sumbangan tenaga masyarakat untuk pelaksanaan kampanye

Sumbangan waktu masyarakat untuk pelaksanaan kampanye

Sumbangan gagasan masyarakat untuk pelaksanaan kampanye

Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang

digunakan, maka tingkat keterlibatan masyarakat dalam kampanye dapat

dibagi menjadi 3 kategori, yaitu:

Tinggi : skor 9 < x ≤ 12

Sedang : skor 7 ≤ x ≤ 9

Rendah : skor 4 ≤ x < 7

3. Tingkat keterlibatan masyarakat sebagai panitia pemilihan. Variabel ini diukur

dengan menggunakan skala Likert, yaitu partisipasi sangat tinggi (skor 4),

partisipasi tinggi (skor 3), partisipasi rendah (skor 2), dan partisipasi sangat

rendah (skor 1). Indikator untuk mengukur keterlibatan masyarakat dalam

proses pelaksanaan pemilihan adalah:

Sumbangan tenaga masyarakat untuk mengadakan pemilihan di

wilayahnya

Sumbangan materi masyarakat untuk mengadakan pemilihan di

wilayahnya

Sumbangan waktu masyarakat untuk mengadakan pemilihan di

wilayahnya

Sumbangan gagasan masyarakat untuk mengadakan pemilihan di

wilayahnya

Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang

digunakan, maka tingkat keterlibatan masyarakat dalam proses pelaksanaan

pemilihan dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu:

Tinggi : skor 12 < x ≤ 16

Sedang : skor 8 ≤ x ≤ 12

Rendah : skor 4 ≤ x < 8

4. Tingkat partisipasi masyarakat dalam mempersuasi pihak lain untuk

berpartisipasi dalam Pemilu/Pilkada. Variabel ini diukur dengan menggunakan

skala Likert, yaitu partisipasi sangat tinggi (skor 4), partisipasi tinggi (skor 3),

partisipasi rendah (skor 2), dan partisipasi sangat rendah (skor 1). Indikator

18

untuk mengukur partisipasi masyarakat dalam mempersuasi pihak lain untuk

berpartisipasi dalam pemilihan adalah:

Kegiatan masyarakat dalam mengajak orang lain untuk menggunakan

hak suaranya dalam pemilihan

Kegiatan masyarakat dalam mengajak orang lain untuk terlibat dalam

kampanye kandidat

Kegiatan masyarakat dalam mengajak orang lain untuk terlibat dalam

dalam proses perencanaan sampai pelaksanaan pemilihan (menjadi

panitia)

Kegiatan masyarakat dalam mengajak orang lain untuk mengikuti

proses penghitungan suara

Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang

digunakan, maka tingkat partisipasi masyarakat dalam mempersuasi pihak lain

untuk berpartisipasi dalam pemilihan dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu:

Tinggi : skor 12 < x ≤ 16

Sedang : skor 8 ≤ x ≤ 12

Rendah : skor 4 ≤ x < 8

5. Tingkat keterlibatan masyarakat pada proses penghitungan suara. Variabel ini

diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu partisipasi sangat tinggi (skor

4), partisipasi tinggi (skor 3), partisipasi rendah (skor 2), dan partisipasi sangat

rendah (skor 1). Indikator untuk mengukur keterlibatan masyarakat pada

proses penghitungan suara adalah:

Sumbangan tenaga masyarakat dalam proses penghitungan suara di

TPS

Sumbangan waktu masyarakat dalam melakukan proses penghitungan

suara di TPS

Sumbangan gagasan masyarakat dalam proses penghitungan suara di

TPS

Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang

digunakan, maka tingkat keterlibatan masyarakat pada proses penghitungan

suara dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu:

Tinggi : skor 9 < x ≤ 12

Sedang : skor 7 ≤ x ≤ 9

Rendah : skor 4 ≤ x < 7

Motif Tindakan Sosial

Konsep motif tindakan sosial masyarakat pada pemilihan terdiri dari 4

motif, yaitu:

1. Rasional instrumental. Variabel-variabel yang digunakan dalam motif rasional

instrumental adalah:

a. Tingkat pengaruh pemilihan terhadap pendapatan masyarakat. Variabel ini

diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat berpengaruh (skor

4), berpengaruh (skor 3), tidak berpengaruh (skor 2), dan sangat tidak

berpengaruh (skor 1). Indikator untuk mengukur pengaruh hasil pemilihan

terhadap pendapatan masyarakat adalah:

Penambahan pendapatan masyarakat karena adanya pelaksanaan

pemilihan

19

Penambahan proyek pada pekerjaan masyarakat karena adanya

pelaksanaan pemilihan

b. Tingkat pengaruh pemilihan terhadap sumber penghasilan masyarakat.

Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat

berpengaruh (skor 4), berpengaruh (skor 3), tidak berpengaruh (skor 2),

dan sangat tidak berpengaruh (skor 1). Indikator untuk mengukur

pengaruh pemilihan terhadap sumber penghasilan masyarakat adalah:

Penambahan sumber penghasilan masyarakat karena adanya

pelaksanaan pemilihan

Penambahan jam kerja masyarakat karena adanya pelaksanaan

pemilihan

c. Tingkat penerimaan politik uang. Variabel ini diukur dengan

menggunakan skala Likert, yaitu sangat penting/mempengaruhi (skor 4),

penting/mempengaruhi (skor 3), tidak penting/mempengaruhi (skor 2), dan

sangat tidak penting/mempengaruhi (skor 1). Indikator untuk mengukur

penerimaan masyarakat terhadap politik uang adalah:

Sikap masyarakat terhadap bantuan yang diberikan partai atau kandidat

kepada masyarakat pada saat-saat menjelang pemilihan

Pengaruh bantuan yang diberikan kandidat terhadap partisipasi politik

masyarakat

Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang

digunakan, maka pengaruh motif rasional instrumental terhadap partisipasi

masyarakat dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu:

Tinggi : skor 15 ≤ x ≤ 24

Rendah : skor 6 ≤ x < 15

2. Rasional berorientasi nilai. Variabel-variabel yang digunakan dalam motif

rasional berorientasi nilai adalah:

a. Tingkat kesadaran masyarakat akan kewajibannya mengikuti pemilihan.

Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat

penting (skor 4), penting (skor 3), tidak penting (skor 2), dan sangat tidak

penting (skor 1).Indikator untuk mengukur kesadaran masyarakat akan

kewajibannya mengikuti pemilihan adalah:

Sikap masyarakat tentang pelaksanaan pemilihan

Sikap masyarakat tentang pentingnya pelaksanaan pemilihan

Sikap masyarakat tentang pentingnya suara mereka dalam pemilihan

b. Tingkat pentingnya mendapatkan pemimpin yang tepat bagi masyarakat.

Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat

penting (skor 4), penting (skor 3), tidak penting (skor 2), dan sangat tidak

penting (skor 1). Indikator untuk mengukur harapan masyarakat untuk

mendapatkan pemimpin yang tepat adalah:

Waktu masyarakat dalam menentukan kandidat yang akan dipilih

Pencarian informasi oleh masyarakat terkait dengan kandidat-kandidat

dalam Pilkada sebelum menentukan kandidat yang akan dipilih

Sikap masyarakat tentang pentingnya memilih kandidat yang tepat

dalam pemilihan

20

c. Tingkat internalisasi nilai demokrasi yang ada di dalam masyarakat terkait

dengan hal-hal di bidang politik. Variabel ini diukur dengan menggunakan

skala Likert, yaitu sangat penting/mempengaruhi (skor 4),

penting/mempengaruhi (skor 3), tidak penting/mempengaruhi (skor 2), dan

sangat tidak penting/mempengaruhi (skor 1). Indikator untuk mengukur

internalisasi nilai yang ada di dalam masyarakat terkait dengan hal-hal di

bidang politik adalah:

Pengaruh manfaat dilaksanakannya pemilihan terhadap partisipasi

politik masyarakat

Pengaruh pentingnya pelaksanaan pemilihan terhadap partisipasi

politik masyarakat

Sikap masyarakat untuk terlibat lebih jauh di dalam sistem

pemerintahan

Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang

digunakan, maka pengaruh motif rasional berorientasi nilai terhadap

partisipasi masyarakat dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu:

Tinggi : skor 23 ≤ x ≤ 36

Rendah : skor 9 ≤ x < 23

3. Afektif. Variabel-variabel yang digunakan dalam motif afektif adalah:

a. Tingkat ketertarikan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilihan.

Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat

penting/mempengaruhi (skor 4), penting/mempengaruhi (skor 3), tidak

penting/mempengaruhi (skor 2), dan sangat tidak

penting/mempengaruhi(skor 1). Indikator untuk mengukur ketertarikan

masyarakat terhadap pemilihan adalah:

Pengaruh ketertarikanmasyarakat untuk terlibat di pemilihan terhadap

kesediaan masyarakat untuk mengikuti prosedur dalam mengikuti

pemilihan tersebut

Pentingnya pelaksanaan pemilihan yang dirasakan oleh masyarakat

Manfaat pelaksanaan pemilihan yang dirasakan oleh masyarakat

b. Tingkat kedekatan emosional antara masyarakat dengan kandidat. Variabel

ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat

penting/mempengaruhi (skor 4), penting/mempengaruhi (skor 3), tidak

penting/mempengaruhi (skor 2), dan sangat tidak penting/mempengaruhi

(skor 1). Indikator untuk mengukur kedekatan emosional antara

masyarakat dengan kandidat adalah:

Sikap masyarakat untuk mengenal pribadi kandidat lebih jauh

Pengetahuan masyarakat tentang pribadi kandidat dalam pemilihan

Kedekatan secara emosional yang dirasakan oleh masyarakat terhadap

kandidat dalam pemilihan

c. Tingkat kekondusifan kondisi sosial politik masyarakat. Variabel ini

diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat mempengaruhi

(skor 4), mempengaruhi (skor 3), tidak mempengaruhi (skor 2), dan sangat

tidak mempengaruhi (skor 1). Indikator untuk mengukur kekondusifan

kondisi sosial politik masyarakat adalah:

Kondisi keamanan di lingkungan masyarakat karena hasil pemilihan

21

Kondisi kenyamanan di lingkungan masyarakat karena hasil pemilihan

Besarnya potensi terjadinya konflik di lingkungan masyarakat terkait

dengan hasil pemilihan

Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang

digunakan, maka pengaruh motif afektif terhadap partisipasi masyarakat dapat

dibagi menjadi 2 kategori, yaitu:

Tinggi : skor 23 ≤ x ≤ 36

Rendah : skor 9 ≤ x < 23

4. Tradisional. Variabel-variabel yang digunakan dalam motif tradisional adalah:

a. Tingkat internalisasi ajaran yang dianut dalam suatu agama atau adat.

Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat

penting/mempengaruhi (skor 4), penting/mempengaruhi (skor 3), tidak

penting/mempengaruhi (skor 2), dan sangat tidak penting/mempengaruhi

(skor 1). Indikator untuk mengukur tingkat internalisasi ajaran yang dianut

dalam suatu agama atau adat adalah:

Pentingnya ajaran agama atau adat yang diterapkan masyarakat dalam

kehidupan sehari-hari

Adanya kesan bagi masyarakat akan adanya kewajiban untuk terlibat

dalam pemilihan berdasarkan ajaran agama atau adat yang masyarakat

miliki

Adanya pengaruh ajaran agama atau adat yang masyarakat miliki

dengan keterlibatan masyarakat dalam pemilihan

b. Tingkat kesesuaian antara latar belakang agama atau suku kandidat dengan

masyarakat. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu

sangat penting/mempengaruhi (skor 4), penting/mempengaruhi (skor 3),

tidak penting/mempengaruhi (skor 2), dan sangat tidak

penting/mempengaruhi (skor 1). Indikator untuk mengukur kesesuaian

antara latar belakang agama atau suku kandidat dengan masyarakat adalah:

Sikap masyarakat dalam mencari tahu latar belakang agama atau suku

kandidat sebelum memilih kandidat dalam pemilihan

Adanya pengaruh latar belakang agama atau suku kandidat terhadap

partisipasi politik masyarakat

Pentingnya latar belakang agama atau suku kandidat dalam pemilihan

c. Tingkat kepatuhan masyarakat kepada tokoh atau kelembagaan yang

berpengaruh dalam suatu budaya. Variabel ini diukur dengan

menggunakan skala Likert, yaitu sangat mempengaruhi (skor 4),

mempengaruhi (skor 3), tidak mempengaruhi (skor 2), dan sangat

mempengaruhi (skor 1). Indikator untuk mengukur kepatuhan masyarakat

kepada orang yang berpengaruh dalam suatu budaya adalah:

Pengaruh kelembagaan yang dianggap paling berpengaruh dalam

lingkungan masyarakat terhadap partisipasi politik masyarakat

Pengaruh tokoh yang dianggap paling berpengaruh dalam lingkungan

masyarakat terhadap partisipasi politik masyarakat

Pengaruh kedekatan emosional antara masyarakat dengan orang yang

paling berpengaruh dalam lingkungannya terhadap partisipasi politik

masyarakat

22

Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang

digunakan, maka pengaruh motif tradisional terhadap partisipasi masyarakat

dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu:

Tinggi : skor 30 ≤ x ≤ 48

Rendah : skor 12 ≤ x < 30

Stratifikasi Sosial

Stratifikasi pada masyarakat dapat diukur dari status sosial-ekonomi. Sesuai

dengan konteks masyarakat pedesaan yang digunakan oleh peneliti sekaligus

untuk memudahkan pendataan pelapisan di masyarakat pedesaan, maka aspek

yang dapat digunakan untuk mengukur kondisi sosial-ekonomi pada masyarakat

adalah kepemilikan aset atau barang berharga yang dimiliki oleh masyarakat.

Barang berharga yang dimaksud pada penelitian ini adalah televisi, VCD-DVD

room, lemari es, mesin cuci, dan sepeda motor. Oleh karena itu, maka sistem

pelapisan yang digunakan pada penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu:

Strata atas, yaitu masyarakat yang memiliki minimal 3 jenis barang

berharga

Strata bawah, yaitu masyarakat yang tidak memiliki barang berharga

sampai masyarakat yang memiliki maksimal 2 jenis barang berharga

PENDEKATAN LAPANG

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian mengenai motif-motif tindakan sosial terhadap partisipasi politik

berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat pedesaan dilaksanakan di Desa

Pancawati, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi

ini dilakukan secara purposive dengan mempertimbangkan hasil Pemilihan Bupati

Kabupaten Bogor 2013. Hasil pemilihan Bupati Kabupaten Bogor 2013 ini dapat

diolah sehingga didapatkan pengklasifikasian wilayah-wilayah yang memiliki

partisipasi tinggi, sedang, dan rendah. Wilayah yang diteliti pada penelitian ini

adalah kecamatan yang memiliki partisipasi sedang. Peneliti memilih wilayah

yang memiliki partisipasi sedang agar wilayah tersebut dapat mewakili wilayah

lain secara umum, baik wilayah yang memiliki partisipasi tinggi maupun wilayah

yang memiliki partisipasi rendah. Setelah dilakukan pengklasifikasian, didapatkan

bahwa terdapat 19 kecamatan yang memiliki partisipasi sedang. Dilakukan

pengambilan sampel secara acak dan Kecamatan Caringin terpilih sebagai

kecamatan diadakannya penelitian. Untuk lokasi penelitian yang lebih spesifik,

peneliti juga melakukan pengklasifikasian tinggi-rendahnya partisipasi

masyarakat dari tiap-tiap desa di Kecamatan Caringin. Terdapat 3 dari 12 desa

yang memiliki partisipasi sedang pada Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor 2013

di Kecamatan Caringin. Ketiga desa tersebut kemudian diacak untuk memiliki

lokasi penelitian di tingkat desa. Desa Pancawati (Lampiran 1) terpilih sebagai

lokasi penelitian melalui pengambilan sampel secara acak tersebut.

Kegiatan penelitian yang dilakukan oleh peneliti meliputi penyusunan

proposal penelitian, kolokium, perbaikan proposal penelitian, pengambilan data

lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan

perbaikan skripsi. Proses penelitian dimulai dari pembuatan proposal penelitian

pada bulan Juni 2013. Penelitian di lapangan dilakukan selama 10 minggu, yaitu

pada bulan September hingga November 2013. Pengolahan dan analisis data

dilakukan selama empat minggu dari Oktober sampai November 2013. Penulisan

laporan akhir skripsi, sidang penelitian, dan perbaikan skripsi dilakukan pada

bulan Desember 2013 hingga Januari 2014 (Lampiran 2).

Metode Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian

kuantitatif yang didukung oleh metode penelitian kualitatif. Hal ini dilakukan

untuk memperkaya data dan lebih memahami fenomena sosial yang diteliti

(Singarimbun dan Effendi 1989). Teknik penelitian yang digunakan dalam

penelitian kuantitatif adalah teknik penelitian survei. Penelitian survei adalah

penelitian yang datanya dikumpulkan dari sampel atas populasi untuk mewakili

seluruh populasi. Informasi yang dikumpulkan dalam penelitian survei adalah

informasi dari responden dengan menggunakan kuesioner. Unit analisa yang

digunakan pada penelitian ini adalah individu. Penelitian survei yang digunakan

pada penelitian ini digunakan untuk maksud penjelasan (explanatory). Pada

24

penelitian explanatory, peneliti menjelaskan hubungan kausal antara variabel-

variabel melalui pengujian hipotesa (Singarimbun dan Effendi 1989).

Teknik survei yang digunakan untuk penelitian kuantitatif menggunakan

instrumen kuesioner. Kuesioner ini digunakan untuk mengukur konsep motif

tindakan sosial yang mempengaruhi partisipasi politik masyarakat pada pemilihan

serta konsep bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat pada pemilihan.

Kuesioner juga digunakan untuk melihat stratifikasi sosial pada masyarakat, tetapi

kuesioner yang digunakan ini tidak digunakan untuk mengukur. Kuesioner untuk

stratifikasi sosial pada masyarakat digunakan hanya untuk menentukan strata pada

masyarakat yang dijadikan sebagai konteks penelitian.

Penelitian kualitatif dilakukan dengan teknik penelitian wawancara tidak

terstruktur, wawancara mendalam, observasi, dan analisa data sekunder yang

terkait dengan topik penelitian peneliti. Penelitian kualitatif yang dilakukan

berguna untuk melengkapi data terkait motif-motif partisipasi politik masyarakat

pada pemilihan, bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat pada pemilihan,

serta hubungan antara motif tindakan sosial dan bentuk-bentuk partisipasi politik

pada pemilihan berdasarkan stratifikasi sosial.

Teknik Sampling

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang terdaftar

sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor

2013 di Desa Pancawati, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Unit penelitian

atau unit yang diteliti oleh peneliti adalah individu yang sudah memiliki hak suara

dalam pemilihan, minimal pada saat Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor 2013.

Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui motif-motif

tindakan sosial terhadap partisipasi politik. Oleh karena itu, individu yang

dianalisa pada penelitian adalah individu yang sudah pernah mengikuti pemilihan.

Gambar 2 Metode pengambilan sampel

Metode penarikan sampel yang digunakan oleh peneliti pada penelitian ini

adalah pengambilan sampel acak sederhana (simple random sampling) (Gambar

2). Berdasarkan data DPT Desa Pancawati pada Pilbup Kab.Bogor 2013, peneliti

Populasi

Simple

random

sampling

Kepemilikan

minimal 3

jenis barang

berharga

Kepemilikan

maksimal 2

jenis barang

berharga

21 orang

Responden

Strata Atas

39 orang

Responden

Strata

Bawah

60 orang

responden

25

memilih 60 orang masyarakat secara acak untuk menjadi responden pada

penelitian ini (Lampiran 3). Jumlah responden sebanyak 60 orang ini sesuai

dengan aturan Roscoe (1975) yang menyatakan bahwa jumlah sample minimal

dalam penelitian adalah 30 orang. Jika dilakukan pengkategorian, maka jumlah

sample minimal pada masing-masing kategori adalah 30 orang (Hill 1998).

Penelitian ini menganalisis responden dari 2 strata yang berbeda, yaitu strata atas

dan strata bawah. Oleh karena itu, responden yang diambil adalah 60 orang

dengan asumsi bahwa masing-masing strata diwakili oleh 30 orang.

Sebanyak 60 orang responden yang terpilih kemudian diklasifikasikan

berdasarkan kepemilikan aset atau barang berharga menjadi responden strata atas

dan strata bawah. Responden strata atas adalah responden yang memiliki minimal

3 jenis barang berharga. Responden strata bawah adalah responden yang tidak

memiliki barang berharga sampai memiliki maksimal 2 jenis barang berharga.

Barang berharga yang dimaksud pada penelitian ini adalah televisi, VCD-DVD

room, lemari es, mesin cuci, dan sepeda motor. Berdasarkan pengklasifikasian

tersebut, maka didapatkan 21 orang responden strata atas dan 39 orang responden

strata bawah. Walaupun responden pada masing-masing strata tidak setara 30

orang, namun demi tercapainya validitas data, hal ini tidak dipermasalahkan

karena kepemilikan barang berhargalah yang menjadi acuan dalam penggolongan

strata responden.

Pengumpulan Data

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder. Data primer adalah data yang didapatkan peneliti melalui observasi,

kuesioner, dan wawancara mendalam kepada responden dan informan secara

langsung di lokasi penelitian. Observasi dilakukan oleh peneliti dengan cara

mengamati kondisi fisik dan aktivitas yang terdapat di lokasi penelitian.

Kuesioner diberikan kepada 60 orang responden yang sudah ditentukan

sebelumnya. Wawancara mendalam dilakukan kepada responden dan informan

untuk melengkapi data yang dibutuhkan. Data sekunder diperoleh peneliti melalui

studi literatur yang berkaitan dengan penelitian ini. Data sekunder juga diperoleh

dari pihak-pihak yang berkaitan dengan penelitian ini, seperti Komisi Pemilihan

Umum (KPU), Badan Pusat Statistika (BPS), dan Pemerintah Desa Pancawati.

Data sekunder yang diambil dari lembaga-lembaga tersebut adalah data yang

berkaitan dengan tujuan penelitian, seperti profil Desa Pancawati, Daftar Pemilih

Tetap Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor 2013 di Desa Pancawati, hasil

Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor 2013 di Desa Pancawati, dan data-data lain

yang terkait.

Pengolahan dan Analisis Data

Data kuantitatif yang didapatkan dari hasil kuesioner responden diolah dan

dianalisis dengan menggunakan program software SPSS Statistics 16.0 dan

Microsoft Office Excel 2007. Program SPSS Statistics 16.0 digunakan oleh

peneliti untuk melakukan uji statistik. Uji statistik dilakukan dengan

26

menggunakan analisa Rank Spearman. Uji Rank Spearman digunakan untuk

mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara dua variabel atau lebih yang

berskala ordinal2. Hasil analisis ini disajikan dalam bentuk tabulasi silang, grafik,

dan bagan, dengan menggunakan program Microsoft Office Excel 2007.

Analisis data kualitatif dilakukan melalui empat tahap, yaitu pengumpulan

data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan atau verifikasi kesimpulan

(Miles & Hiberman dalam Sari 2007). Pengumpulan data dilakukan secara

bersamaan dengan analisis data. Reduksi data dilakukan untuk menajamkan,

menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan

mengorganisasikan data (Sari 2007). Tahap selanjutnya adalah menyajikan data,

baik dalam bentuk kutipan langsung maupun tidak. Tahap terakhir adalah

melakukan verifikasi atau penarikan kesimpulan terhadap data yang telah

disajikan.

2 Sarwono J. 2009. Statistik itu mudah: Panduan lengkap untuk belajar komputasi statistik

menggunakan SPSS 16. Yogyakarta [ID]: Andi Offset. 344 hal.

GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

Kondisi Geografis dan Ekonomi

Desa Pancawati adalah salah satu dari dua belas desa yang terdapat di

Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Seluruh wilayah desa ini

merupakan dataran tinggi dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut.

Curah hujan rata-rata di desa ini adalah 205 mm. Desa Pancawati terbagi menjadi

5 Dusun, 13 RW (Rukun Warga), dan 48 RT (Rukun Tetangga). Adapun batas-

batas wilayah Desa Pancawati adalah sebagai berikut:

- Sebelah Utara : Desa Cileungsi

- Sebelah Timur : Gunung Gede Pangrango

- Sebelah Selatan : Desa Cimande

- Sebelah Barat : Desa Ciderum

Adapun luas wilayah Desa Pancawati adalah sekitar 673 ha. Sebagian besar

lahan di Desa Pancawati digunakan untuk pemukiman. Sebanyak 45.17 persen

(304 ha) wilayah desa merupakan perumahan. Selain wilayah perumahan, Desa

Pancawati juga memiliki persawahan yang cukup luas. Sebesar 31.05 persen (209

ha) wilayah desa merupakan daerah persawahan (Tabel 1).

Tabel 1 Luas dan persentase wilayah lahan berdasarkan berbagai bentuk

penggunaan lahan di Desa Pancawati tahun 2012

Penggunaan lahan Luas wilayah

Luas (ha) Persentase (%)

Perumahan 304 45.17

Persawahan 209 31.05

Ladang/kebun 61.5 9.14

Empang/kolam 0 0.00

Area wisata 0 0.00

Pemakaman 5 0.74

Perkantoran umum 0.5 0.07

Lapangan olahraga 0.2 0.03

Bangunan pendidikan 20.8 3.09

Bangunan peribadatan 25 3.71

Prasarana umum lainnya 47 6.98

Total 673 100

Sumber: Data profil Desa Pancawati, 2012

Jumlah Kepala Keluarga (KK) di Desa Pancawati adalah 5 264 KK. Total

penduduk seluruhnya adalah 13 187 jiwa yang terdiri dari 6 387 jiwa penduduk

perempuan dan 6 800 jiwa penduduk laki-laki. Jumlah keluarga prasejahtera di

Desa Pancawati adalah sebanyak 3 685 keluarga. Jumlah ini menunjukkan bahwa

sekitar 70 persen dari seluruh keluarga di Desa Pancawati adalah keluarga

prasejahtera.

Banyaknya keluarga prasejahtera di Desa Pancawati dapat dikaitkan dengan

rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Masyarakat yang tingkat

28

pendidikannya hanya tamat SD/sederajat sebanyak 3 812 orang. Masyarakat yang

tamat SLTP/sederajat sebanyak 832 orang dan yang tamat SLTA/sederajat

sebanyak 524 orang. Hanya sedikit masyarakat yang pernah duduk di bangku

perguruan tinggi. Masyarakat yang tamat DI/DII/DIII sebanyak 25 orang dan yang

tamat SI sebanyak 19 orang.

Tabel 2 menunjukkan jumlah dan persentase angkatan kerja di Desa

Pancawati berdasarkan jenis pekerjaan atau mata pencaharian. Mata pencaharian

utama di Desa Pancawati adalah sebagai buruh tani. Selain sebagai petani,

masyarakat di Desa Pancawati juga banyak yang bekerja sebagai wiraswasta.

Masyarakat yang bekerja sebagai wiraswasta paling banyak adalah masyarakat

yang membuka toko kelontong dan sebagai tukang ojeg (Tabel 2).

Tabel 2 Jumlah tenaga kerja berdasarkan jenis-jenis pekerjaan masyarakat Desa

Pancawati tahun 2012

Jenis pekerjaan Tenaga kerja

Jumlah (orang) Persentase (%)

Buruh tani 1 127 20.51

Petani 983 17.89

Tukang ojeg 789 14.36

Wiraswasta 712 12.96

Karyawan swasta 532 9.68

Buruh bangunan 437 7.95

Pegawai swasta 365 6.64

Pedagang 271 4.93

Pengrajin 87 1.58

Pensiunan PNS/TNI/POLRI 63 1.15

Supir angkot 53 0.96

Penjahit 35 0.64

Pegawai Negeri Sipil 30 0.55

Bengkel 4 0.07

POLRI 3 0.05

Tukang las 2 0.04

TNI 1 0.02

Total 5 494 100

Sumber: Data profil Desa Pancawati, 2012

Usaha-usaha lain yang dibuka sendiri oleh masyarakat adalah usaha

peternakan, perikanan, perkebunan, dan usaha jasa keterampilan. Usaha jasa

keterampilan ini meliputi usaha jahit atau bordir, pangkas atau cukur, service alat-

alat elektronik, dan usaha pijat atau pengobatan. Usaha jasa penginapan juga

banyak digeluti oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan banyak wisatawan yang

datang ke Desa Pancawati untuk menghabiskan akhir pekan. Mengingat Desa

Pancawati yang terletak di dataran tinggi dan memiliki cuaca yang sejuk, maka

bukanlah suatu yang aneh jika banyak wisatawan yang datang ke desa ini.

29

Karakteristik Responden dan Pelapisan pada Masyarakat

Responden pada penelitian ini berjumlah 60 orang. Responden adalah

masyarakat yang tercatat sebagai pemilih pada Daftar Pemilih Tetap Pemilihan

Bupati Kabupaten Bogor 2013. Pembagian masyarakat ke dalam kelompok-

kelompok strata dilakukan dengan ukuran kepemilikan aset yang dimiliki oleh

responden. Responden yang digolongkan sebagai strata bawah adalah responden

yang tidak memiliki aset sampai memiliki 2 jenis aset, sedangkan reponden yang

digolongkan sebagai strata atas adalah responden yang memiliki 3 jenis sampai 5

jenis aset. Pada penelitian ini jumlah responden strata atas adalah 21 orang,

sedangkan responden strata bawah berjumlah 39 orang.

Responden terdiri dari individu yang berjenis kelamin laki-laki dan

perempuan. Mayoritas responden berjenis kelamin perempuan. Sebanyak 65

persen (39 orang) responden adalah perempuan, yang terdiri dari 21.67 persen (13

orang) perempuan strata atas dan 43.33 persen (26 orang) perempuan strata bawah

(Gambar 3). Banyaknya jumlah responden perempuan pada penelitian ini

dikarenakan oleh Kepala Keluarga (laki-laki) meminta perempuan pada rumah

tangga tersebut untuk menjadi responden. Peneliti berasumsi bahwa hal ini terjadi

karena peneliti adalah perempuan.

Gambar 3 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin

Perbedaan antara responden pada strata atas dan bawah diukur dari

kepemilikan aset yang dimiliki oleh responden. Resonden pada strata bawah

adalah responden yang maksimal memiliki 2 jenis aset, sedangkan responden pada

strata atas adalah responden yang minimal memiliki 3 jenis aset. Jenis-jenis aset

yang dimaksud disini adalah barang-barang berharga, seperti televisi, VCD-DVD

room, lemari es, mesin cuci, dan sepeda motor. Mayoritas responden strata bawah,

yaitu sebanyak 36.67 persen (22 orang) responden memiliki 1 jenis barang

berharga. Barang berharga tersebut pada umumnya adalah televisi. Berbeda

dengan responden pada strata bawah, mayoritas responden pada strata atas, yaitu

sebanyak 23.33 persen (14 orang) responden memiliki 3 jenis barang berharga

(Gambar 4). Kepemilikan barang berharga paling banyak dimiliki oleh 1.67

persen (1 orang) responden pada strata atas, yaitu sebanyak 5 jenis barang

berharga, yaitu televisi, VCD-DVD room, lemari es, mesin cuci, dan sepeda

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

70,00

Strata Atas Strata Bawah Total

Per

sen

tase

Res

pon

den

Laki-Laki

Perempuan

30

motor. Kepemilikan barang berharga paling sedikit adalah sebanyak 3.33 persen

(2 orang) responden pada strata bawah yang tidak memiliki barang berharga.

Gambar 4 Karakteristik responden berdasarkan kepemilikan aset atau barang

berharga

Penggolongan strata berdasarkan kepemilikan aset menunjukkan bahwa

aspek ekonomi menjadi dasar dalam penggolongan strata pada penelitian ini.

Berdasarkan penggolongan tersebut, informasi mengenai taraf hidup responden

diklasifikasikan menurut masing-masing strata. Taraf hidup responden tersebut

diukur berdasarkan kondisi rumah, sumber air bersih untuk minum, sumber air

bersih untuk kebutuhan sehari-hari, bahan bakar (energi) untuk memasak, tempat

mandi dan buang air besar, jenis lantai bangunan tempat tinggal, jenis dinding

bangunan tempat tinggal, dan penanganan kesehatan. Selain itu, perbedaan strata

responden dapat didukung oleh data tingkat pendidikan, pendapatan, pengeluaran,

dan pekerjaan Kepala Keluarga responden.

Berdasarkan tingkat pendidikan, responden pada strata atas cenderung

memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi daripada responden pada strata

bawah. Responden yang tidak tamat SD dan yang tamat SD cenderung lebih

banyak pada responden yang berada pada strata bawah, yaitu sebanyak 89.74

persen (35 orang) dari seluruh responden strata bawah. Hal ini berbeda dengan

responden strata atas dimana responden yang tidak tamat SD dan taman SD

hanya sebanyak 61,90 persen (13 orang) dari seluruh responden strata atas.

Responden yang tingkat pendidikannya SMP, SMA, dan perguruan tinggi

cenderung lebih banyak pada responden yang berada pada strata atas (Gambar 5).

0,00

5,00

10,00

15,00

20,00

25,00

30,00

35,00

40,00

Strata Atas Strata Bawah Total

Per

sen

tase

Res

pon

den

Tidak Ada

1 Jenis

2 Jenis

3 Jenis

4 Jenis

5 Jenis

31

Gambar 5 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan

Karakteristik responden berdasarkan pendapatan, terdapat kecenderungan

bahwa responden pada strata atas memiliki pendapatan yang lebih tinggi daripada

responden pada strata bawah. Responden yang memiliki pendapatan kurang dari

Rp500 000 cenderung berada pada strata bawah. Terdapat 3.33 persen (2 orang)

responden pada strata atas yang memiliki pendapatan kurang dari Rp500 000,

sedangkan responden pada strata bawah yang memiliki pendapatan kurang dari

Rp500 000 sebanyak 15 persen (9 orang). Secara umum, mayoritas responden,

yaitu sebanyak 70 persen (42 orang) responden, memiliki pendapatan sekitar

Rp500 000 sampai Rp1 500 000 per bulan (Gambar 6). Tidak terdapatnya

perbedaan yang terlalu signifikan antara pendapatan strata atas dan strata bawah

dapat diakibatkan oleh penggolongan pendapatan yang dilakukan pada kuesioner.

Gambar 6 Karakteristik responden berdasarkan pendapatan

Pengeluaran responden tidak jauh berbeda dengan pendapatan responden.

Pengeluaran responden pada strata atas dan strata bawah berkisar antara

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

70,00

Strata Atas Strata Bawah Total

Per

sen

tase

Res

pon

den

Tidak Tamat SD

SD

SMP

SMA

Perguruan Tinggi

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

70,00

80,00

Strata Atas Strata Bawah Total

Per

sen

tase

Res

pon

den

Pendapatan < Rp500 000

Rp500 000 ≤ Pendapatan ≤

Rp1 500 000

Rp1 500 000 < Pendapatan

≤ Rp2 500 000

Pendapatan > Rp2 500 000

Tidak Diketahui

32

Rp500 000 sampai Rp1 500 000 (Gambar 7). Pada umumnya, masyarakat

mengaku bahwa pengeluaran mereka lebih besar daripada pendapatan. Walaupun

masih berkisar antara Rp500 000 sampai Rp1 500 000, selisih antara pendapatan

dan pengeluaran mereka cukup besar. Pemenuhan kebutuhan sehari-hari biasanya

tidak bisa hanya mengandalkan pekerjaan utama. Tidak terdapatnya perbedaan

yang terlalu signifikan antara pengeluaran strata atas dan strata bawah dapat

diakibatkan oleh penggolongan pengeluaran yang dilakukan pada kuesioner.

Gambar 7 Karakteristik responden berdasarkan pengeluaran

Penggolongan pekerjaan Kepala Keluarga (KK) responden dapat dibagi

menjadi 5 golongan, yaitu pekerjaan buruh, petani, karyawan, wiraswasta, dan

guru. Mayoritas KK pada rumah tangga responden strata bawah memiliki

pekerjaan sebagai buruh, yaitu sebanyak 40.00 persen (24 orang) responden.

Mayoritas KK pada rumah tangga responden strata atas memiliki pekerjaan

sebagai wiraswasta, yaitu sebanyak 11.67 persen (7 orang) responden. Walaupun

responden strata atas sudah dipilih secara purposive dengan melihat KK rumah

tangga yang bekerja sebagai wiraswasta atau karyawan swasta, namun di lapangan

masih terdapat responden strata atas yang Kepala Keluarganya bekerja sebagai

buruh. Hal ini dapat terjadi karena kurang akuratnya data desa atau data desa yang

belum diperbaharui. Secara umum, mayoritas KK pada rumah tangga responden

bekerja sebagai buruh, yaitu sebanyak 48.33 persen (29 orang) responden

(Gambar 8).

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

70,00

80,00

Strata Atas Strata Bawah Total

Per

sen

tase

Res

pon

den

Pengeluaran < Rp500 000

Rp500 000 ≤ Pengeluaran

≤ Rp1 500 000

Rp1 500 000 < Pengeluaran

≤ Rp2 500 000

Pengeluaran > Rp2 500 000

Tidak Diketahui

33

Gambar 8 Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan Kepala Keluarga

Kondisi rumah responden digolongkan menjadi rumah permanen dan

semi-permanen. Responden yang memiliki rumah permanen lebih banyak

daripada responden yang memiliki rumah semi-permanen, yaitu sebanyak 85

persen (51 orang) responden. Rumah semi-permanen hanya terdapat pada

responden strata bawah, yaitu sebanyak 15.00 persen (9 orang) responden strata

bawah memiliki rumah semi-permanen (Gambar 9).

Gambar 9 Karakteristik responden berdasarkan kondisi rumah

Kondisi rumah responden, baik permanen maupun semi-permanen, terkait

dengan jenis lantai dan dinding bangunan tempat tinggal responden. Sebagian

besar responden strata atas memiliki lantai keramik, yaitu sebanyak 33.33 persen

(20 orang) responden. Hanya terdapat 1.67 persen (1 orang) responden strata atas

yang memiliki lantai semen. Tidak ada responden strata atas yang memiliki lantai

rumah dari bambu atau tanah. Hal ini berbeda dengan responden pada strata

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

Strata Atas Strata Bawah Total

Per

sen

tase

Res

pon

den

Buruh

Petani

Karyawan

Wiraswasta

Guru

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

70,00

80,00

90,00

Strata Atas Strata Bawah Total

Per

sen

tase

Res

pon

den

Permanen

Semi-Permanen

34

bawah. Walaupun mayoritas strata bawah juga memiliki lantai keramik, namun

persentase responden strata bawah yang memiliki lantai keramik lebih sedikit

daripada responden strata atas. Persentase responden strata bawah yang memiliki

lantai semen pun lebih banyak daripada responden strata atas. Selain itu, terdapat

11.67 (7 orang) responden strata bawah yang memiliki lantai rumah bambu dan

terdapat 3.33 persen (2 orang) responden yang memiliki lantai tanah (Gambar 10).

Gambar 10 Karakteristik responden berdasarkan jenis lantai bangunan tempat

tinggal

Jenis dinding bangunan tempat tinggal mayoritas responden adalah semen,

yaitu sebanyak 83.33 persen (50 orang) responden. Seluruh responden strata atas

memiliki dinding rumah semen. Tidak ada responden strata atas yang memiliki

dinding bambu atau batako. Hal ini berbeda dengan responden pada strata bawah.

Pada responden strata bawah, sebanyak 15.00 persen (9 orang) memiliki dinding

bambu dan sebanyak 1.67 persen (1 orang) memiliki dinding batako (Gambar 11).

Gambar 11 Karakteristik responden berdasarkan jenis dinding bangunan tempat

tinggal

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

70,00

Strata Atas Strata Bawah Total

Per

sen

tase

Res

pon

den

Keramik

Semen

Bambu

Tanah

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

70,00

80,00

90,00

Strata Atas Strata Bawah Total

Per

sen

tase

Res

pon

den

Semen

Bambu

Batako

35

Informasi lainnya yang terkait dengan rumah bangunan tempat tinggal

responden adalah tempat mandi dan buang air besar. Sebagian besar responden

memiliki kamar mandi sendiri dengan septic tank, yaitu sebanyak 86.67 persen

(52 orang) responden. Pada responden strata atas, terdapat 1.67 persen (1 orang)

responden yang memiliki kamar mandi sendiri tanpa septic tank. Tidak ada

responden strata atas yang menggunakan kamar mandi umum untuk mandi dan

buang air besar. Pada responden strata bawah, terdapat 5 persen (3 orang) yang

menggunakan kamar mandi umum dengan septic tank dan terdapat 5 persen (3

orang) yang menggunakan kamar mandi umum tanpa septic tank (Gambar 12).

Gambar 12 Karakteristik responden berdasarkan tempat mandi dan buang air

besar

Informasi lainnya yang didapat oleh peneliti adalah sumber air bersih yang

digunakan responden untuk minum. Secara umum, sumber air minum responden

adalah air sumur. Sebanyak 40 persen (24 orang) responden memiliki sumber air

minum dari sumur (Gambar 13). Mayoritas responden strata atas membeli air

mineral untuk air minum, yaitu sebanyak 13.33 persen (8 orang) responden.

Terdapat sebuah pabrik air minum di Desa Pancawati. Pabrik inilah sumber air

minum yang dibeli dari sebagian besar responden strata atas. Mayoritas responden

strata bawah memiliki sumur sebagai sumber air minum, yaitu sebanyak 30 persen

(18 orang) responden.

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

70,00

80,00

90,00

100,00

Strata Atas Strata Bawah Total

Per

sen

tase

Res

pon

den Kamar Mandi Sendiri

dengan Septic Tank

Kamar Mandi Sendiri

Tanpa Septic Tank

Kamar Mandi Umum

dengan Septic Tank

Kamar Mandi Umum

Tanpa Septic Tank

36

Gambar 13 Karakteristik responden berdasarkan sumber air bersih untuk minum

Sumber air bersih untuk kebutuhan sehari-hari juga menjadi salah satu

informasi yang terkait dengan karakteristik responden berdasarkan stratifikasi

sosial. Kebutuhan sehari-hari yang dimaksud pada karakteristik responden ini

adalah aktivitas sehari-hari responden yang menggunakan air, seperti mencuci.

Sebagian besar responden, yaitu sebanyak 40 persen (24 orang), menggunakan air

gunung sumur untuk mencuci (Gambar 14). Mayoritas responden strata atas

menggunakan air gunung/weslik untuk aktivitas sehari-hari, yaitu sebanyak 15

persen (9 orang) responden. Air gunung/weslik adalah air yang mengalir langsung

dari mata air di gunung terdekat di Desa Pancawati. Karena Desa Pancawati

terletak di daerah dataran tinggi, maka cukup banyak wilayah yang dapat dialiri

oleh air gunung tersebut. Mayoritas responden strata bawah, yaitu sebanyak 26.67

persen (16 orang) responden, menggunakan air sumur untuk aktivitas sehari-hari.

Gambar 14 Karakteristik responden berdasarkan sumber air bersih untuk

kebutuhan sehari-hari

0,00

5,00

10,00

15,00

20,00

25,00

30,00

35,00

40,00

45,00

Strata Atas Strata Bawah Total

Per

sen

tase

Res

pon

den

PDAM

Beli

Air Gunung/Weslik

Sumur

Air Sungai

Lainnya

0,00

5,00

10,00

15,00

20,00

25,00

30,00

35,00

40,00

45,00

Strata Atas Strata Bawah Total

Per

sen

tase

Res

pon

den

PDAM

Beli

Air Gunung/Weslik

Sumur

Air Sungai

Lainnya

37

Penggolongan karakteristik responden lainnya adalah bahan bakar (energi)

yang digunakan untuk memasak. Sebanyak 31.67 persen (19 orang) responden

pada strata atas menggunakan bahan bakar gas untuk memasak dan 3.33 persen (2

orang) menggunakan gas dan arang atau kayu bakar. Tidak ada responden strata

atas yang menggunakan arang atau kayu bakar saja untuk memasak. Hal ini

berbeda dengan responden pada strata bawah. Sebanyak 33.33 persen (20 orang)

responden pada strata bawah menggunakan bahan bakar gas untuk memasak,

18.33 persen (11 orang) menggunakan arang atau kayu bakar, dan 13.33 persen (8

orang) menggunakan keduanya (Gambar 15).

Gambar 15 Karakteristik responden berdasarkan bahan bakar (energi) untuk

memasak

Responden yang menggunakan gas dan arang atau kayu bakar untuk

memasak menunjukkan bahwa bahan bakar yang digunakan oleh responden tidak

tetap. Jika kondisi keuangannya memungkinkan, maka responden akan membeli

gas. Jika kondisi keuangan responden tidak memungkinkan untuk membeli gas,

maka responden menggunakan arang atau kayu bakar. Kayu bakar yang biasanya

digunakan responden untuk memasak diambil dari kebun sekitar rumah

responden. Kayu bakar tersebut biasanya tidak dibeli. Responden hanya

mengambil kayu-kayu yang sekiranya tidak digunakan untuk dijadikan bahan

bakar memasak.

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

70,00

Strata Atas Strata Bawah Total

Per

sen

tase

Res

pon

den

Gas

Gas dan Arang/Kayu

Bakar

Arang/Kayu Bakar

38

Gambar 16 Karakteristik responden berdasarkan jenis penanganan kesehatan

Karakteristik responden lainnya berdasarkan strata adalah jenis penanganan

kesehatan responden. Mayoritas responden berobat ke puskesmas untuk

penanganan kesehatan. Sebanyak 26.67 persen (16 orang) responden strata atas

dan 56.67 persen (34 orang) responden strata bawah berobat ke Puskesmas untuk

penanganan kesehatan. Sebanyak 3.33 persen (2 orang) responden strata atas

berobat ke rumah sakit untuk penanganan kesehatan, sedangkan responden strata

bawah yang berobat ke rumah sakit untuk penanganan kesehatan sebanyak 1.67 (1

orang) responden. Responden yang membeli obat di warung untuk penanganan

kesehatan adalah 1.67 persen (1 orang) responden pada strata bawah. Responden

yang termasuk ke dalam kategori lainnya adalah responden yang berobat ke klinik

swasta atau mantri untuk penanganan kesehatan (Gambar 16).

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

70,00

80,00

90,00

Strata Atas Strata Bawah Total

Per

sen

tase

Res

pon

den

Berobat ke Rumah Sakit

Berobat ke Puskesmas

Beli Obat di Warung

Lainnya

BENTUK-BENTUK PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT

BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL

Bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat pada Pemilihan Kepala Daerah

dan Pemilihan Umum dapat dibagi menjadi lima bentuk, yaitu penggunaan hak

pilih masyarakat atau melakukan pencoblosan, keterlibatan masyarakat dalam

kampanye, keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan suatu pemilihan atau

menjadi panitia pemungutan suara, partisipasi masyarakat dalam mengajak pihak

lain untuk berpartisipasi dalam pemilihan, dan partisipasi masyarakat dalam

proses penghitungan suara. Setiap orang dapat melakukan seluruh bentuk-bentuk

partisipasi politik tersebut.

Bentuk Partisipasi Penggunaan Hak Pilih

Bentuk partisipasi politik yang memiliki tingkat partisipasi paling tinggi

adalalah partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Sebagian besar

masyarakat memiliki tingkat partisipasi yang tinggi dalam menggunakan hak

pilihnya (Tabel 3). Bentuk partisipasi politik penggunaan hak pilih ini adalah

bentuk yang paling memungkinkan bagi masyarakat untuk berpartisipasi di

dalamnya. Masyarakat memiliki hak sekaligus kewajiban untuk menggunakan hak

pilihnya dalam pemilihan. Masyarakat diberikan hak untuk memilih calon

pemimpinnya. Secara otomatis, pemilihan ini juga merupakan sarana partisipasi

politik yang mewajibkan masyarakat untuk terlibat di dalamnya.

Tabel 3 Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi menggunakan

hak pilih berdasarkan stratifikasi sosial

Strata

Tingkat partisipasi Total

Tinggi Sedang Rendah

n % n % n % n %

Atas 20 33.33 1 1.67 0 0.00 21 35.00

Bawah 33 55.00 5 8.33 1 1.67 39 65.00

Total 53 88.33 6 10.00 1 1.67 60 100.00

Analisis Rank Spearman: (p value Sig.(2-tailed)) = 0.224

Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat sudah memiliki

tingkat partisipasi yang tinggi dalam penggunaan hak pilih. Terlihat bahwa 88.33

persen (53 orang) responden, baik dari strata atas maupun strata bawah, memiliki

tingkat partisipasi yang tinggi. Tingginya tingkat partisipasi pada bentuk

partisipasi politik ini menunjukkan bahwa masyarakat mengikuti semua bentuk

pemilihan, baik Pemilihan Kepala Daerah maupun Pemilhan Umum, yang pernah

diadakan oleh pemerintah. Tidak ada pemilihan yang dilewatkan oleh masyarakat

yang memiliki partisipasi tinggi ini.

Berbeda dengan masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi tinggi,

masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi sedang adalah masyarakat yang

pernah melewatkan pemilihan. Masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi

40

sedang adalah masyarakat yang selalu mengikuti pemilihan, namun karena

beberapa hal mereka melewatkan beberapa pemilihan. Sebanyak 10 persen (6

orang) responden memiliki tingkat partisipasi sedang dalam penggunaan hak pilih.

Umumnya masyarakat yang tidak mengikuti pemilihan adalah masyarakat

yang lebih memilih bekerja daripada mengikuti pemilihan. Mereka mengaku

bahwa waktu diadakannya pemilihan bertepatan dengan jam kerja yang sibuk.

Ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan atau sedang memiliki banyak tugas

kerja juga menjadi alasan masyarakat tidak berpartisipasi dalam pemilihan.

Terdapat pula 1.67 persen (1 orang) responden yang memiliki tingkat

partisipasi rendah pada bentuk partisipasi penggunaan hak pilih ini. Masyarakat

yang memiliki tingkat partisipasi rendah ini adalah seorang responden yang

merupakan imigran. Responden sudah menetap di Desa Pancawati sejak beberapa

tahun yang lalu, namun baru terdaftar sebagai penduduk Desa Pancawati pada

tahun 2013. Satu-satunya pemilihan yang pernah diikuti oleh responden adalah

Pemilihan Umum tahun 2009. Ketidakjelasan identitas tempat tinggal

menyebabkan responden tidak menerima undangan sebagai pemilih di Desa

Pancawati. Pada saat Pilbup Kab.Bogor 2013, beliau tidak dapat mengikuti

pemilihan karena sedang bekerja di luar desa. Hal inilah yang menyebabkan

responden tidak pernah mengikuti pemilihan di Desa Pancawati.

Partisipasi penggunaan hak pilih masyarakat antara strata atas dan stata

bawah tidak berbeda jauh. Tidak ada kecenderungan tingkat partisipasi yang lebih

tinggi pada masyarakat dari kedua strata tersebut. Masyarakat pada strata atas dan

strata bawah memiliki tingkat partisipasi yang sama tinggi pada bentuk partisipasi

politik ini. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kecenderungan yang berarti

antara tingkat partisipasi strata atas dan tingkat partisipasi strata bawah.

Hasil pengolahan data program SPSS Rank Spearman dalam menguji

hubungan antara variabel bentuk partisipasi politik penggunaan hak pilih dengan

variabel stratifikasi sosial responden telampir pada Lampiran 4. Jika nilai

signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak

terdapat hubungan nyata antara bentuk partisipasi politik penggunaan hak pilih

dengan stratifikasi sosial. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) ≤ 0.05,

maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata antara bentuk partisipasi

politik penggunaan hak pilih dengan stratifikasi sosial.

Hasil perhitungan dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa angka

korelasi antara variabel bentuk partisipasi politik penggunaan hak pilih dengan

variabel stratifikasi sosial adalah sebesar 0.224. Nilai ini menunjukkan jumlah

yang lebih besar dari 0.05. Nilai p value Sig.(2-tailed) > alpha (0.05 = 5%)

menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara variabel bentuk partisipasi

politik penggunaan hak pilih dengan variabel stratifikasi sosial. Tinggi atau

rendahnya partisipasi masyarakat dalam penggunaan hak pilih tidak memiliki

hubungan dengan stratifikasi sosial masyarakat. Strata atas atau bawah pada

masyarakat tidak berhubungan dengan partisipasi politik masyarakat dalam

menggunakan hak pilihnya.

Tidak terdapatnya perbedaan tingkat partisipasi masyarakat pada bentuk

partisipasi politik penggunaan hak pilih antara masyarakat strata atas dan strata

bawah dapat disebabkan oleh karena bentuk partisipasi politik ini memang

memungkinkan bagi semua pihak untuk terlibat di dalamnya. Selain itu, tidak

adanya perbedaan tingkat partisipasi ini dapat disebabkan oleh senjang antara

41

masyarakat strata atas dan bawah yang tidak jauh. Karakteristik antara masyarakat

strata atas dan bawah tidak berbeda jauh. Walaupun begitu, terdapat sedikit

perbedaan tingkat partisipasi masyarakat pada bentuk partisipasi politik ini. Jika

dibandingkan pada masing-masing strata, maka 95.24 persen responden strata atas

memiliki tingkat partisipasi tinggi, sedangkan responden strata bawah yang

memiliki tingkat partisipasi tinggi sebanyak 84.62 persen. Persentase masyarakat

strata atas yang memiliki tingkat partisipasi tinggi lebih banyak daripada

persentase masyarakat strata bawah yang memiliki tingkat partisipasi tinggi.

Bentuk Partisipasi dalam Kampanye

Bentuk partisipasi politik kampanye adalah bentuk partisipasi masyarakat

untuk terlibat dalam kampanye. Masyarakat yang berpartisipasi dalam kampanye

adalah masyarakat yang pernah menghabiskan waktu, tenaga, atau pikirannya

untuk terlibat dalam kampanye. Sebagian besar masyarakat memiliki tingkat

partisipasi yang rendah dalam kampanye (Tabel 4).

Tabel 4 Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi kampanye

berdasarkan stratifikasi sosial

Strata

Tingkat partisipasi Total

Sedang Rendah

n % n % n %

Atas 1 1.67 20 33.33 21 35.00

Bawah 3 5.00 36 60.00 39 65.00

Total 4 6.67 56 93.33 60 100.00

Analisis Rank Spearman: (p value Sig.(2-tailed)) = 0.671

Tidak ada masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi tinggi pada bentuk

partisipasi politik kampanye ini. Sebagian besar masyarakat mengaku tidak

pernah mengikuti kampanye. Sebanyak 93.33 persen (56 orang) responden

memiliki tingkat partisipasi yang rendah. Masyarakat yang memiliki tingkat

partisipasi rendah ini adalah masyarakat yang mengaku tidak pernah terlibat atau

berpartisipasi dalam kampanye dalam bentuk apapun, baik tenaga, gagasan,

maupun waktu. Masyarakat pun mengaku bahwa tidak ada kampanye yang bisa

dihadiri oleh masyarakat karena biasanya kampanye dilakukan melalui pawai.

Masyarakat menyatakan bahwa sejauh ini tidak pernah ada kampanye Pemilu atau

Pilkada, khususnya Pilbup, yang sampai ke tingkat desa. Biasanya kampanye

yang dilakukan oleh kandidat-kandidat dalam Pilkada hanya sampai di tingkat

kecamatan.

Sebanyak 6.67 persen (4 orang) responden memiliki tingkat partisipasi

sedang pada bentuk partisipasi politik kampanye. Masyarakat yang memiliki

tingkat partisipasi sedang adalah masyarakat yang pernah mengikuti kampanye

satu sampai dua kali. Mereka mengaku bahwa mereka terlibat dalam kampanye

yang dilakukan di luar desa. Masyarakat yang pernah mengikuti kampanye ini

berpartisipasi dalam kampanye dalam bentuk tenaga dan waktu. Biasanya, waktu

yang dihabiskan dalam satu kali kampanye adalah sekitar 12 jam. Masyarakat

yang mengikuti kampanye akan pawai mengelilingi kecamatan dengan

42

menggunakan sepeda motor atau mobil sambil membawa bendera atau simbol-

simbol yang menunjukkan dukungan kepada salah satu kandidat dalam pemilihan.

Masyarakat yang memiliki kesempatan untuk mengikuti kampanye biasanya

adalah masyarakat yang memiliki jaringan di tingkat kecamatan. Mereka dapat

mengikuti kampanye karena mendapat tawaran dari sesama rekannya di tingkat

kecamatan. Hal ini terjadi karena lingkup kampanye paling kecil yang dilakukan

oleh kandidat dalam pemilihan adalah di tingkat kecamatan. Kampanye tidak

pernah dilakukan di tingkat desa. Bentuk sosialisasi di tingkat desa biasanya

hanya melalui poster atau spanduk.

Terlihat pada Tabel 4 bahwa tidak ada kecenderungan atau perbedaan

yang signifikan antara tingkat partisipasi masyarakat strata atas dengan partisipasi

masyarakat strata bawah pada bentuk partisipasi politik kampanye ini. Partisipasi

politik masyarakat dalam kampanye adalah rendah, baik pada strata atas maupun

pada strata bawah. Walaupun begitu, jika dibandingkan pada masing-masing

strata, terdapat kecenderungan bahwa persentase masyarakat strata bawah yang

memiliki tingkat partisipasi sedang pada kampanye cenderung lebih besar

daripada masyarakat strata atas. Sebanyak 7.69 responden strata bawah memiliki

tingkat partisipasi sedang, sedangkan responden strata atas yang memiliki tingkat

partisipasi sedang sebanyak 4.76 persen. Tidak terdapatnya perbedaan tingkat

partisipasi masyarakat yang berarti pada bentuk partisipasi politik dalam

kampanye antara masyarakat strata atas dan strata bawah dapat disebabkan oleh

senjang antara masyarakat strata atas dan bawah yang tidak jauh. Karakteristik

antara masyarakat strata atas dan bawah tidak berbeda jauh.

Pada Lampiran 4 terdapat hasil pengolahan data program SPSS Rank

Spearman dalam menguji hubungan antara variabel bentuk partisipasi politik

dalam kampanye dengan variabel stratifikasi sosial responden. Jika nilai

signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak

terdapat hubungan nyata antara bentuk partisipasi politik dalam kampanye dengan

stratifikasi sosial. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) ≤ 0.05, maka dapat

disimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata antara bentuk partisipasi politik

dalam kampanye dengan stratifikasi sosial.

Hasil perhitungan dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa angka

korelasi antara variabel bentuk partisipasi politik dalam kampanye dengan

variabel stratifikasi sosial adalah sebesar 0.671. Nilai ini menunjukkan jumlah

yang lebih besar dari 0.05. Nilai p value Sig.(2-tailed) > alpha (0.05 = 5%)

menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara variabel bentuk partisipasi

politik dalam kampanye dengan variabel stratifikasi sosial. Tinggi atau rendahnya

partisipasi masyarakat dalam kampanye tidak berhubunganan dengan stratifikasi

sosial masyarakat. Strata atas atau bawah pada masyarakat tidak berhubungan

dengan partisipasi politik masyarakat dalam kampanye.

Bentuk Partisipasi sebagai Panitia Pemungutan Suara (PPS) atau Kelompok

Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS)

Bentuk partisipasi politik sebagai panitia menunjukkan peran serta

masyarakat dalam menjalankan pemilihan. Sebagian besar masyarakat memiliki

tingkat partisipasi yang rendah sebagai panitia pemilihan (Tabel 5). Panitia

43

pemilihan adalah pihak-pihak yang menyumbangkan gagasan, waktu, dan

tenaganya untuk menjalankan pemilihan. Bentuk kepanitiaan pelaksanaan

pemilihan di tingkat desa terbagi menjadi dua ketegori, yaitu Panitia Pemungutan

Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Panitia

Pemungutan Suara (PPS) adalah panitia pemilihan yang berada di tingkat desa.

Anggota PPS terdiri dari satu orang aparat desa dan beberapa orang masyarakat

yang dipercaya oleh elit desa untuk menjadi PPS. Masyarakat yang tergabung

dalam PPS adalah orang-orang yang terpilih berdasarkan hasil musyawarah antara

aparat desa, ketua-ketua RW, ketua-ketua RT, kader PKK, dan elit desa lainnya.

Berbeda dengan PPS, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS)

adalah panitia pemilihan yang berada di tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Anggota KPPS juga merupakan orang-orang terpilih yang merupakan hasil

musyawarah antara aparat desa, ketua-ketua RW, ketua-ketua RT, kader PKK,

dan pihak PPS. Anggota PPS dan KPPS tidak hanya terdiri dari elit-elit dan aparat

desa. Masyarakat yang tidak memiliki jabatan dalam pemerintahan desa juga

berkesempatan untuk menjadi panitia pemilihan. Pada umumnya, masyarakat

yang ikut menjadi panitia pemilihan adalah masyarakat yang direkomendasikan

oleh elit atau aparat desa.

Mekanisme pembentukan PPS dan KPPS yang dilakukan di Desa Pancawati

dapat dikatakan sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Salah satu aturan

yang menjelaskan mengenai pembentuk PPS dan KPPS adalah Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan

Umum. Pasal 44 ayat (2) pada UU tersebut menyebutkan bahwa anggota PPS

diangkat oleh KPU Kabupaten/Kota atas usul bersama kepala desa/kelurahan dan

badan permusyaratan desa/dewan kelurahan. Proses pembentukan KPPS tidak

dijelaskan pada UU ini, namun dinyatakan pada Pasal 46 ayat (2) bahwa anggota

KPPS diangkat dan diberhentikan oleh PPS atas nama ketua KPU

Kabupaten/Kota.

Tabel 5 Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi sebagai panitia

pemilihan berdasarkan stratifikasi sosial

Strata

Tingkat partisipasi Total

Tinggi Sedang Rendah

n % n % n % n %

Atas 1 1.67 4 6.67 16 26.67 21 35.00

Bawah 2 3.33 8 13.33 29 48.33 39 65.00

Total 3 5.00 12 20.00 45 75.00 60 100.00

Analisis Rank Spearman: (p value Sig.(2-tailed)) = 0.879

Tingkat partisipasi politik masyarakat sebagai panitia pemilihan cenderung

rendah. Sebesar 75 persen (45 orang) responden memiliki tingkat partisipasi yang

rendah. Masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi rendah ini adalah

masyarakat yang tidak penah menjadi panitia pemilihan. Rendahnya tingkat

partisipasi masyarakat sebagai panitia pemilihan merupakan hal yang wajar

karena tidak semua pihak atau masyarakat berkesempatan untuk berpartisipasi

sebagai panitia pemilihan. Hanya orang-orang tertentu saja yang berkesempatan

mendapat tawaran untuk menjadi panitia pemilihan. Walaupun masyarakat biasa

memiliki kesempatan untuk menjadi panitia, namun kesempatan ini tidak dimiliki

44

oleh sembarang orang. Jabatan sebagai panitia yang cukup krusial mengharuskan

pihak aparat dan elit desa memilih orang-orang yang bisa dipercaya dan

berkualifikasi. Maka bukanlah suatu hal yang aneh jika pihak-pihak yang terpilih

sebagai panitia adalah pihak-pihak yang memiliki pekerjaan yang menuntut

ketelitian, seperti guru, dan pihak-pihak yang merupakan orang kepercayaan

aparat dan elit desa.

Masyarakat yang tidak berkesempatan menjadi panitia pemilihan tidak

mempermasalahkan pihak-pihak yang biasanya dipilih sebagai panitia. Beberapa

masyarakat menganggap bahwa elit desa yang dipilih sebagai panitia pemilihan

adalah hal yang wajar. Masyarakat beranggapan bahwa hal tersebut merupakan

bagian dari tugas sebagai aparat desa. Walaupun begitu, beberapa masyarakat

mengaku bahwa mereka akan bersedia jika dipilih sebagai panitia pemilihan.

Terdapat pula masyarakat yang mengaku akan menolak jika ditawarkan menjadi

panitia pemilihan. Masyarakat yang akan menolak jika mendapat tawaran adalah

masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Mereka menyatakan

bahwa mereka tidak akan sanggup menjadi panitia pemilihan karena panitia

pemilihan adalah pekerjaan yang sulit.

Sebanyak 20 persen (12 orang) responden memiliki tingkat partisipasi

sedang sebagai panitia pemilihan. Masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi

sedang adalah masyarakat yang pernah menjadi panitia pemilihan sebanyak satu

sampai dua kali, baik sebagai PPS maupun KPPS. Pada kasus penelitian ini,

masyarakat yang memiliki partisipasi sedang ini adalah 12 orang responden yang

terlibat sebagai anggota KPPS di TPS. Sebanyak 12 orang tersebut terdiri dari 11

orang anggota KPPS dan 1 orang Ketua KPPS.

Masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi tinggi sebagai panitia

pemilihan adalah sebanyak 5 persen (3 orang) responden. Masyarakat yang

memiliki tingkat partisipasi tinggi ini adalah pihak yang sudah berkali-kali

dipercaya untuk menjadi KPPS. Pihak-pihak tersebut adalah ketua-ketua RT dan

kader Posyandu yang sudah mengabdi bertahun-tahun di Desa Pancawati.

Sebagian besar elit desa berada pada strata atas. Jika dibandingkan

persentase elit desa pada masing strata, maka didapatkan bahwa sebanyak 19.05

persen (4 orang) pada responden strata atas adalah elit dan sebanyak 20.51 persen

(8 orang) pada responden strata bawah adalah elit. Hal ini menyebabkan sebagian

besar masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi sedang dan tinggi sebagai

panitia pemilihan adalah masyarakat strata bawah. Perbedaan jumlah elit dari

strata atas dan bawah tidak berbeda jauh, sehingga tidak terdapat perbedaan yang

berarti antara partisipasi masyarakat pada strata atas dengan partisipasi

masyarakat pada strata bawah. Tidak ada kecenderungan tinggi atau rendahnya

tingkat partisipasi sebagai panitia pemilihan berdasarkan stratifikasi sosial pada

masyarakat. Tidak terdapatnya perbedaan tingkat partisipasi masyarakat yang

berarti pada bentuk partisipasi politik sebagai panitia pemilihan antara masyarakat

strata atas dan strata bawah dapat disebabkan oleh senjang antara masyarakat

strata atas dan bawah yang tidak jauh. Karakteristik antara masyarakat strata atas

dan bawah tidak berbeda jauh.

Lampiran 4 menyajikan hasil pengolahan data program SPSS Rank

Spearman dalam menguji hubungan antara variabel bentuk partisipasi politik

sebagai panitia pemilihan dengan variabel stratifikasi sosial responden. Jika nilai

signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak

45

terdapat hubungan nyata antara bentuk partisipasi politik sebagai panitia

pemilihan dengan stratifikasi sosial. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed))

≤ 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata antara bentuk

partisipasi politik sebagai panitia pemilihan dengan stratifikasi sosial.

Hasil perhitungan dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa angka

korelasi antara variabel bentuk partisipasi politik sebagai panitia pemilihan

dengan variabel stratifikasi sosial adalah sebesar 0.879. Nilai ini menunjukkan

jumlah yang lebih besar dari 0.05. Nilai p value Sig.(2-tailed) > alpha (0.05 = 5%)

menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara variabel bentuk partisipasi

politik sebagai panitia pemilihan dengan variabel stratifikasi sosial. Tinggi atau

rendahnya partisipasi masyarakat sebagai panitia pemilihan tidak memiliki

hubungan dengan stratifikasi sosial masyarakat. Strata atas atau bawah pada

masyarakat tidak berhubungan dengan partisipasi politik masyarakat sebagai

panitia pemilihan.

Bentuk Partisipasi dalam Mempersuasi Pihak Lain untuk Berpartisipasi

Keterlibatan masyarakat dalam mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi

dalam pemilihan dapat dikategorikan sebagai bentuk partisipasi politik. Pada

bentuk partisipasi ini, masyarakat diharapkan dapat terlibat dalam mengajak pihak

lain untuk berpartisipasi dalam pemilihan, seperti mempersuasi masyarakat agar

menggunakan hak pilihnya, mempersuasi masyarakat agar terlibat dalam

kampanye, mempersuasi masyarakat untuk berpartisipasi sebagai panitia

pemilihan, atau mempersuasi masyarakat dalam mengikuti proses penghitungan

suara. Sebagian besar masyarakat memiliki tingkat partisipasi yang rendah dalam

mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi (Tabel 6).

Tabel 6 Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi mempersuasi

pihak lain berdasarkan stratifikasi sosial

Strata

Tingkat partisipasi Total

Sedang Rendah

n % n % n %

Atas 8 13.33 13 21.67 21 35.00

Bawah 11 18.33 28 46.67 39 65.00

Total 19 31.67 41 68.33 60 100.00

Analisis Rank Spearman: (p value Sig.(2-tailed)) = 0.441

Sebanyak 68.33 persen (41 orang) responden memiliki tingkat partisipasi

yang rendah pada bentuk partisipasi politik ini. Masyarakat yang memiliki tingkat

partisipasi rendah adalah masyarakat yang mempersuasi pihak lain untuk

menggunakan hak pilihnya saja. Sebagian besar masyarakat akan mengajak

masyarakat lainnya untuk menggunakan hak pilihnya ketika hari pemilihan. Pada

umumnya masyarakat mengaku bahwa bentuk persuasi ini dilakukan agar mereka

tidak sendirian ke TPS. Masyarakat akan mengajak tetangga atau kerabat di dekat

rumah untuk bersama-sama ke TPS di hari pemilihan agar ada teman berbincang

ketika menuju TPS.

46

Sebanyak 31.67 persen (19 orang) responden memiliki tingkat partisipasi

sedang. Tingkat partisipasi sedang ini menunjukkan bahwa persuasi yang

dilakukan tidak hanya mengajak masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya,

tetapi juga persuasi dalam bentuk-bentuk partisipasi politik lainnya, seperti

mengikuti kampanye, menjadi panitia pemilihan, atau mengikuti proses

penghitungan suara. Pada kasus ini, pihak-pihak yang memiliki tingkat partisipasi

sedang adalah masyarakat yang memiliki bentuk partisipasi lain, selain

menggunakan hak pilihnya. Contohnya adalah masyarakat yang mengikuti

kampanye cenderung akan mengajak rekannya untuk mengikuti kampanye juga,

masyarakat yang mengikuti proses penghitungan suara akan cenderung mengajak

pihak lain untuk mengikuti proses penghitungan suara juga, dan masyarakat yang

merupakan aparat atau elit desa akan mengajak masyarakat yang memungkinkan

untuk menjadi panitia pemilihan.

Tidak ada masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi yang tinggi pada

bentuk partisipasi persuasi ini. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada masyarakat

yang mempersuasi pihak lain untuk terlibat dalam semua bentuk partisipasi. Tidak

adanya masyarakat yang mempersuasi untuk terlibat dalam semua bentuk

partisipasi menunjukkan bahwa tidak ada masyarakat yang terlibat dalam semua

bentuk partisipasi politik dalam suatu waktu pemilihan yang sama.

Bentuk partisipasi politik mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi

dalam pemilihan ini tidak memiliki kecenderungan perbedaan antar strata.

Walaupun begitu, jika dibandingkan pada masing-masing strata, terdapat sedikit

perbedaan dimana masyarakat strata atas lebih banyak berpartisipasi dalam bentuk

partisipasi ini. Sebanyak 38.10 persen responden strata atas memiliki tingkat

partisipasi yang sedang, sedangkan responden strata bawah yang memiliki tingkat

partisipasi sedang sebanyak 28.21 persen. Terlihat bahwa perbedaan tingkat

partisipasi masyarakat pada strata atas tidak berbeda secara signifikan dengan

tingkat partisipasi masyarakat pada strata bawah. Masyarakat memiliki tingkat

partisipasi yang cenderung rendah dalam mempersuasi pihak lain untuk

berpartisipasi, baik masyarakat pada strata atas maupun masyarakat pada strata

bawah. Tidak terdapatnya perbedaan tingkat partisipasi masyarakat yang berarti

pada bentuk partisipasi politik mempersuasi pihak lain antara masyarakat strata

atas dan strata bawah dapat disebabkan oleh senjang antara masyarakat strata atas

dan bawah yang tidak jauh. Karakteristik antara masyarakat strata atas dan bawah

tidak berbeda jauh.

Lampiran 4 menunjukkan hasil pengolahan data program SPSS Rank

Spearman dalam menguji hubungan antara variabel bentuk partisipasi politik

dalam mempersuasi pihak lain dengan variabel stratifikasi sosial responden. Jika

nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa

tidak terdapat hubungan nyata antara bentuk partisipasi politik mempersuasi pihak

lain dengan stratifikasi sosial. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) ≤

0.05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata antara bentuk

partisipasi politik dalam mempersuasi pihak lain dengan stratifikasi sosial.

Hasil perhitungan dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa angka

korelasi antara variabel bentuk partisipasi politik dalam mempersuasi pihak lain

dengan variabel stratifikasi sosial adalah sebesar 0.441. Nilai ini menunjukkan

jumlah yang lebih besar dari 0.05. Nilai p value Sig.(2-tailed) > alpha (0.05 = 5%)

menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara variabel bentuk partisipasi

47

politik dalam mempersuasi pihak lain dengan variabel stratifikasi sosial. Tinggi

atau rendahnya partisipasi masyarakat dalam mempersuasi pihak lain untuk

berpartisipasi tidak memiliki hubungan dengan stratifikasi sosial masyarakat.

Strata atas atau bawah pada masyarakat tidak berhubungan dengan partisipasi

politik masyarakat dalam mempersuasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam

pemilihan.

Bentuk Partisipasi dalam Proses Penghitungan Suara

Bentuk partisipasi politik lainnya dalam Pemilihan Kepala Daerah atau

Pemilihan Umum adalah partisipasi masyarakat dalam mengikuti proses

penghitungan suara. Bentuk partisipasi politik ini memungkinkan semua pihak

untuk terlibat. Waktu, tenaga, atau gagasan yang diluangkan masyarakat untuk

mengikuti proses penghitungan suara ini menunjukkan bahwa masyarakat

berpartisipasi di dalamnya. Sebagian besar masyarakat memiliki tingkat

partisipasi yang rendah pada proses penghitungan suara (Tabel 7).

Tabel 7 Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi proses

penghitungan suara berdasarkan stratifikasi sosial

Strata

Tingkat partisipasi Total

Tinggi Sedang Rendah

n % n % n % n %

Atas 5 8.33 3 5.00 13 21.67 21 35.00

Bawah 6 10.00 9 15.00 24 40.00 39 65.00

Total 11 18.33 12 20.00 37 61.67 60 100.00

Analisis Rank Spearman: (p value Sig.(2-tailed)) = 0.958

Umumnya pihak-pihak yang menjadi panitia pemilihan pasti terlibat dalam

proses penghitungan suara ini dengan menyumbangkan waktu dan tenaganya. Hal

ini ditunjukkan pada Tabel 7 bahwa terdapat 18.33 persen (11 orang) responden

yang memiliki tingkat partisipasi tinggi dalam mengikuti proses penghitungan

suara. Masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi tinggi pada bentuk partisipasi

politik ini adalah pihak-pihak yang merupakan anggota KPPS. Sebanyak 1 orang

yang memiliki tingkat partisipasi tinggi adalah seorang pedagang yang biasa

berjualan di sekitar wilayah TPS. Hari pemilihan dijadikan kesempatan bagi

pedagang untuk menawarkan barang dagangannya. Hal ini dipertegas oleh

pernyataan Ibu ZBD sebagai berikut:

“Kalau ada pemilihan, saya sering datang ke TPS sambil bawa barang

dagangan. Pagi hari saya datang untuk nyoblos. Setelah nyoblos, saya

langsung berjualan di sekitar TPS. Biasanya kalau ada pemilihan, TPS ramai. Jadi hasil yang didapat juga lumayan. Saya baru pulang sore hari,

setelah selesai penghitungan suara.” (ZBD, masyarakat desa)

Sebanyak 20 persen (12 orang) responden memiliki tingkat partisipasi

sedang dalam mengikuti proses penghitungan suara. Masyarakat yang tergolong

berpartisipasi sedang adalah masyarakat yang terkadang mengikuti proses

48

penghitungan suara dan terkadang tidak. Ikut atau tidaknya masyarakat untuk

mengikuti proses penghitungan suara ini biasanya ditentukan oleh pekerjaan yang

sedang mereka jalankan. Jika hari pemilihan bertepatan dengan hari dimana

mereka sedang tidak ada pekerjaan, mereka akan mengikuti proses penghitungan

suara. Jika hari pemilihan bertepatan dengan hari dimana mereka sedang memiliki

banyak pekerjaan, maka mereka tidak akan mengikuti proses penghitungan suara.

Mayoritas masyarakat tidak terlibat dalam proses penghitungan suara ini,

yaitu 61.67 persen (37 orang) responden yang memiliki tingkat partisipasi rendah.

Masyarakat berpartisipasi rendah ini mengaku bahwa rendahnya partisipasi

mereka dalam proses penghitungan suara dikarenakan mereka tidak memiliki

kepentingan untuk mengikuti proses tersebut. Jika sekedar untuk mengetahui

siapa kandidat terpilih, maka tidak perlu repot mengikuti proses penghitungan

suara. Biasanya kandidat yang terpilih dapat diketahui dari desas-desus di

masyarakat atau dari informasi yang diberikan Ketua RT. Alasan pekerjaan dan

kegiatan di rumah tangga pun menjadi alasan mengapa banyak masyarakat yang

tidak terlibat dalam proses penghitungan suara. Hal ini sekaligus menunjukkan

bahwa masyarakat belum menganggap partisipasi dalam proses penghitungan

suara sebagai bentuk kontrol sosial dalam proses pemilihan. Sejatinya, partisipasi

masyarakat dalam proses penghitungan suara dapat dianggap sebagai bentuk

kontrol yang dilakukan oleh masyarakat terhadap proses pemilihan. Masyarakat

yang mengikuti proses penghitungan suara bukan berperan sebagai penonton

tetapi sebagai saksi untuk memastikan bahwa proses penghitungan suara berjalan

baik.

Tidak terdapat perbedaan kecenderungan tingkat partisipasi antara strata

atas dan bawah pada bentuk partisipasi politik keterlibatan dalam proses

penghitungan suara ini. Tingkat partisipasi masyarakat pada strata atas tidak

berbeda nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat pada strata bawah. Partisipasi

masyarakat dalam proses penghitungan suara cenderung rendah, baik masyarakat

strata atas maupun masyarakat strata bawah. Walaupun begitu, jika dibandingkan

pada masing-masing strata, terdapat sedikit perbedaan dimana masyarakat strata

atas lebih banyak berpartisipasi dalam bentuk partisipasi ini. Sebanyak 23.81

persen responden strata atas memiliki tingkat partisipasi yang tinggi, sedangkan

responden strata bawah yang memiliki tingkat partisipasi tinggi sebanyak 15.38

persen. Terlihat bahwa tidak terdapatnya perbedaan tingkat partisipasi masyarakat

yang berarti pada bentuk partisipasi politik dalam proses penghitungan suara

antara masyarakat strata atas dan strata bawah. Hal ini dapat disebabkan oleh

senjang antara masyarakat strata atas dan bawah yang tidak jauh. Karakteristik

antara masyarakat strata atas dan bawah tidak berbeda jauh.

Hasil pengolahan data program SPSS Rank Spearman dalam menguji

hubungan antara variabel bentuk partisipasi politik dalam proses penghitungan

suara dengan variabel stratifikasi sosial responden dapat dilihat pada Lampiran 4.

Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) > 0.05, maka dapat disimpulkan

bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara bentuk partisipasi politik dalam

proses penghitungan suara dengan stratifikasi sosial. Jika nilai signifikansi (p

value Sig.(2-tailed)) ≤ 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan

nyata antara bentuk partisipasi politik dalam proses penghitungan suara dengan

stratifikasi sosial.

49

Hasil perhitungan dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa angka

korelasi antara variabel bentuk partisipasi politik dalam proses penghitungan suara

dengan variabel stratifikasi sosial adalah sebesar 0.958. Nilai ini menunjukkan

jumlah yang lebih besar dari 0.05. Nilai p value Sig.(2-tailed) > alpha (0.05 = 5%)

menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara variabel bentuk partisipasi

politik dalam proses penghitungan suara dengan variabel stratifikasi sosial. Tinggi

atau rendahnya partisipasi masyarakat dalam mengikuti proses penghitungan

suara tidak memiliki hubungan dengan stratifikasi sosial masyarakat. Strata atas

atau bawah pada masyarakat tidak berhubungan dengan partisipasi politik

masyarakat dalam mengikuti proses penghitungan suara.

Ikhtisar: Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik Berdasarkan Stratifikasi

Sosial

Masyarakat memiliki tingkat partisipasi yang berbeda-beda dalam berbagai

bentuk partisipasi politik dalam pemilihan. Tabel 8 menunjukkan tingkat

partisipasi yang dominan pada masing-masing bentuk partisipasi politik

berdasarkan stratifikasi sosial. Pada tabel 8 terlihat bahwa tingkat partisipasi

masyarakat hanya tinggi pada bentuk partisipasi penggunaan hak pilih, baik pada

masyarakat strata atas maupun masyarakat strata bawah. Selain bentuk partisipasi

penggunaan hak pilih, tingkat partisipasi masyarakat strata atas dan bawah pada

bentuk partisipasi politik lainnya, yaitu partisipasi dalam kampanye, partisipasi

sebagai panitia pemilihan, partisipasi dalam mempersuasi pihak lain, serta

partisipasi dalam proses penghitungan suara cenderung rendah.

Tabel 8. Tingkat partisipasi masyarakat dalam bentuk-bentuk partisipasi politik

berdasarkan stratifikasi sosial

Strata

Tingkat partisipasi masyarakat dalam bentuk-bentuk partisipasi politik

Penggunaan

hak pilih Kampanye

Panitia

pemilihan

Persuasi

masyarakat

Proses

penghitungan

suara

Atas Tinggi Rendah Rendah Rendah Rendah Bawah Tinggi Rendah Rendah Rendah Rendah

Tingginya tingkat partisipasi masyarakat dalam bentuk partisipasi

penggunaan hak pilih disebabkan oleh kesempatan yang dimiliki setiap

masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan. Hak yang dimiliki

setiap masyarakat untuk melakukan pemilihan dapat disebut juga sebagai

kewajiban yang perlu dilakukan sebagai bentuk kontribusi dalam sistem

pemerintahan. Hak sekaligus kewajiban yang dimiliki oleh setiap masyarakat

untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan ini menjadikan tingkat

partisipasi dalam bentuk partisipasi politik ini cenderung tinggi. Hal ini berbeda

dengan bentuk partisipasi politik lainnya.

Bentuk partisipasi politik kampanye cenderung rendah pada masyarakat

strata atas dan bawah karena kesempatan untuk mengikuti kampanye tidak

dimiliki oleh setiap orang. Kesempatan mengikuti kampanye biasanya dimiliki

oleh pihak-pihak yang memiliki jaringan dengan pihak kecamatan atau dengan

50

pihak golongan tertentu dalam suatu pemilihan. Hal ini disebabkan oleh

pelaksanaan kampanye yang hanya diadakan di tingkat kecamatan.

Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat strata atas dan bawah dalam

bentuk partisipasi politik sebagai panitia pemilihan juga disebabkan oleh

rendahnya kesempatan yang dimiliki masyarakat untuk terlibat sebagai panitia

pemilihan. Pihak-pihak yang bisa menjadi panitia pemilihan adalah aparat desa

dan elit desa serta sesama rekannya yang terkait. Peran sebagai panitia pemilihan

yang cukup penting dalam pemilihan menjadikannya sulit untuk diikuti oleh

masyarakat pada umumnya.

Bentuk partisipasi politik dalam mempersuasi pihak lain juga memiliki

tingkat partisipasi yang rendah. Hal ini masih terkait dengan kesempatan serta

motif yang dimiliki masyarakat untuk berpartisipasi dalam bentuk partisipasi

politik ini. Bentuk partisipasi mempersuasi pihak lain yang dilakukan oleh

masyarakat pada umumnya adalah mempersuasi kerabat atau tetangga untuk

menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan. Secara umum, masyarakat hanya

bisa melakukan persuasi dalam bentuk partisipasi ini. Masyarakat juga dapat

melakukan persuasi kepada pihak lain untuk mengikuti proses penghitungan

suara, namun tingkat partisipasi masyarakat dalam proses penghitungan suara itu

sendiri juga rendah, sehingga hanya sedikit masyarakat yang mempersuasi pihak

lain untuk mengikuti proses penghitungan suara. Persuasi masyarakat dalam

mengajak pihak lain untuk mengikuti kampanye serta panitia pemilihan terkait

dengan partisipasi masyarakat itu sendiri dalam kampanye dan sebagai panitia

pemilihan. Tingkat partisipasi untuk terlibat dalam kampanye serta partisipasi

sebagai panitia pemilihan sudah rendah karena tidak semua pihak bisa terlibat,

sehingga persuasi yang dilakukan masyarakat dalam mengajak pihak lain untuk

mengikuti kampanye dan panitia pemilihan juga memiliki tingkat partisipasi yang

rendah. Bentuk partisipasi politik sebagai panitia pemilihan adalah bentuk yang

paling tidak memungkinkan bagi masyarakat untuk mempersuasi pihak lain untuk

mengikutinya. Hal ini dikarenakan penentuan pihak-pihak yang menjadi panitia

pemilihan ditentukan oleh diskusi yang diadakan oleh aparat desa.

Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam proses penghitungan suara

terkait dengan alasan yang dimiliki masyarakat untuk terlibat dalam proses

tersebut. Masyarakat yang mengikuti proses penghitungan suara bertujuan untuk

mengetahui pihak atau kandidat yang terpilih atau memenangkan pemilihan. Jika

informasi kandidat terpilih ini bisa didapatkan dari kerabat atau tetangga sekitar,

maka masyarakat merasa tidak perlu untuk mengikuti proses penghitungan suara.

Masyarakat juga disibukkan dengan kegiatan lain terkait pekerjaan atau aktivitas

rumah tangga sehingga tidak dapat mengikuti proses penghitungan suara.

Masyarakat masih menganggap bahwa proses penghitungan suara hanya sebagai

proses untuk melihat siapa pihak yang memenangkan pemilihan. Masyarakat

belum melihat bahwa partisipasi dalam proses penghitungan suara ini dapat

dijadikan sebagai bentuk kontrol sosial yang perlu dilakukan oleh masyarakat

terhadap pemilihan.

Tingkat partisipasi masyarakat pada berbagai bentuk partisipasi politik tidak

berbeda antara strata atas dan strata bawah. Hal ini terjadi pada seluruh bentuk

partisipasi politik dalam pemilihan. Tidak adanya perbedaan tingkat partisipasi

pada bentuk-bentuk partisipasi politik antara masyarakat strata atas dan strata

bawah dapat disebabkan oleh kesenjangan yang tidak jauh antara masyarakat

51

strata atas dan strata bawah. Karakteristik antara masyarakat strata atas dan bawah

tidak berbeda jauh. Selain itu, hal ini dapat disebabkan oleh kurang

operasionalnya instrumen kuesioner yang digunakan oleh peneliti. Walaupun

begitu, pada beberapa bentuk partisipasi politik terlihat sedikit perbedaan

kecenderungan tingkat partisipasi antara masyarakat strata atas dan strata bawah.

Tidak adanya perbedaan tingkat partisipasi dan perbedaan bentuk-bentuk

partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat strata atas dan bawah

menunjukkan bahwa stratifikasi sosial tidak berhubungan dengan tingkat

partisipasi masyarakat dan bentuk-bentuk partisipasi politik yang dilakukan

masyarakat dalam pemilihan.

52

PERBEDAAN MOTIF-MOTIF TINDAKAN SOSIAL DALAM

PARTISIPASI POLITIK BERDASARKAN

STRATIFIKASI SOSIAL

Motif-motif tindakan sosial menurut Weber (1992) terbagi menjadi empat

jenis motif, yaitu motif rasional instrumental, rasional berorientasi nilai, afektif,

dan tradisional. Motif dapat dikatakan sebagai dasar-dasarnya suatu perbuatan

dilakukan. Motif-motif tindakan sosial ini juga dapat diposisikan pada motif-motif

yang mendasari masyarakat dalam berpartisipasi politik. Alasan-alasan atau dasar-

dasar partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat dapat diidentifikasi

berdasarkan motif-motif tindakan sosial tersebut. Pada penelitian ini diasumsikan

bahwa satu individu pada masyarakat dapat memiliki beberapa motif sebagai

dasar dalam berpartisipasi politik.

Motif Rasional Instrumental pada Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik

Motif tindakan sosial rasional instrumental adalah motif tindakan sosial

yang menunjukkan bahwa suatu tindakan dilandasi oleh motif yang terkait dengan

kerasionalitasan yang mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi untuk

mencapai tujuan. Motif rasional instrumental ini terkait dengan pertimbangan

ekonomi dalam melakukan suatu tindakan sosial. Bentuk-bentuk partisipasi

politik yang didasari oleh motif rasional instrumental menunjukkan bahwa

partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat dilandasi oleh pencapaian-

pencapaian ekonomi. Sebagian besar masyarakat memiliki tingkat kecenderungan

motif rasional instrumental yang rendah dalam berpartisipasi pada pemilihan

(Tabel 9).

Tabel 9 Jumlah dan persentase motif rasional instrumental responden berdasarkan

stratifikasi sosial

Strata

Tingkat kecenderungan motif rasional

instrumental Total

Tinggi Rendah

n % n % n %

Atas 9 15.00 12 20.00 21 35.00

Bawah 15 25.00 24 40.00 39 65.00

Total 24 40.00 36 60.00 60 100.00

Analisis Rank Spearman: (p value Sig.(2-tailed)) = 0.745

Motif rasional instrumental yang mendasari masyarakat dalam melakukan

bentuk-bentuk partisipasi politik tergolong rendah, baik masyarakat pada strata

atas maupun masyarakat pada strata bawah. Sebanyak 60 persen (36 orang)

responden memiliki tingkat motif rasional instrumental yang rendah. Tingkat

motif rasional instrumental rendah ini menunjukkan bahwa motif partisipasi

politik masyarakat pada pemilihan tidak terkait dengan pencapaian-pencapaian

ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat beranggapan

54

bahwa bantuan dari kandidat pada pemilihan dianggap tidak mempengaruhi

partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat. Walaupun masyarakat

mengaku bahwa bantuan yang diberikan kandidat dalam pemilihan penting,

namun bantuan tersebut dianggap tidak mempengaruhi keterlibatan masyarakat

dalam pemilihan. Masyarakat mengaku bahwa ada atau tidaknya bantuan yang

diberikan kandidat dalam pemilihan tidak akan mempengaruhi partisipasi

masyarakat. Bantuan-bantuan yang biasanya diberikan kandidat kepada

masyarakat bukanlah bantuan langsung ke rumah-rumah masyarakat. Bantuan

yang diberikan kandidat pemilihan biasanya dalam bentuk sarana dan prasarana

desa, misalnya pembangunan jalan dan bantuan yang diberikan ke musholla.

Sebanyak 40 persen (24 orang) responden memiliki tingkat kecenderungan

motif rasional instrumental yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa bantuan yang

diberikan kandidat dalam pemilihan memberikan pengaruh pada partisipasi

masyarakat. Masyarakat menjadi lebih semangat dalam memilih dan lebih

menaruh harapan pada kandidat yang biasanya memberikan bantuan.

Kecenderungan yang terjadi adalah bahwa masyarakat akan memilih kandidat

yang memberikan bantuan ke desa. Banyak masyarakat yang menyatakan bahwa

bantuan-bantuan tersebut adalah bukti keseriusan kandidat akan janji-janjinya

membangun desa. Masyarakat juga mengaku bahwa jika ada kandidat yang mau

memberikan bantuan langsung ke rumah tangga di masyarakat, maka bantuan

tersebut akan lebih mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pemilihan.

Tingginya tingkat kecenderungan masyarakat pada motif rasional

instrumental juga menunjukkan bahwa partisipasi politik yang dilakukan oleh

masyarakat tidak hanya dipengaruhi oleh bantuan-bantuan yang diberikan

kandidat pemilihan, tetapi juga perubahan-perubahan ekonomi yang diterimanya

sebagai akibat dari adanya pemilihan. Beberapa masyarakat yang memiliki tingkat

motif rasional instrumental yang tinggi adalah masyarakat yang terlibat sebagai

panitia pemilihan, yaitu anggota dan ketua KPPS. Keterlibatan masyarakat

sebagai panitia pemilihan memberikan keuntungan ekonomi. Keuntungan

ekonomi mungkin bukanlah satu-satunya motif panitia pemilihan untuk terlibat

dalam pemilihan, namun keuntungan ekonomi termasuk salah satu motif yang

cukup berpengaruh bagi keterlibatan masyarakat untuk menjadi panitia pemilihan

tersebut.

Tingkat motif rasional instrumental yang tinggi juga dimiliki oleh

masyarakat yang sering mengikuti kampanye-kampanye. Tenaga dan waktu yang

dikeluarkan masyarakat untuk terlibat dalam kampanye akan dibayar oleh pihak

penyelenggara kampanye. Hal ini juga menunjukkan bahwa keterlibatan

masyarakat dalam kampanye juga memberikan keuntungan ekonomi. Selain itu,

pihak yang memiliki tingkat motif rasional instrumental yang tinggi adalah

pedagang yang biasanya berjualan di sekitar tempat pemilihan. Salah satu dari

responden mengaku bahwa aktivitas pemilihan ini memberikan dampak yang baik

untuk kegiatan perdagangannya. Responden yang merupakan pedagang ini akan

berangkat ke tempat pemilihan pada pagi hari kemudian berdagang di sekitar

tempat pemilihan setelah ia menggunakan hak pilihnya. Pemilik warung makan di

sekitar tempat pemilihan juga merasakan keuntungan ekonomi ketika adanya

aktivitas pemilihan. Dampak ekonomi yang dirasakan ketika ada pemilihan juga

dapat mempengaruhi partisipasi politik penjual atau pedagang dalam

55

menggunakan hak pilihnya. Hal ini didukung oleh pernyataan Ibu ELW sebagai

berikut:

“Kalau sedang ada pemilihan, biasanya panitia pemilihan pesan makanan

untuk makan siang di tempat saya. Biasanya saya menyediakan makanan untuk panitia TPS di sekitar warung. Jumlah yang dipesan cukup banyak.

Satu TPS saja bisa pesan untuk 7 sampai 8 orang ...” (ELW, masyarakat

desa)

Tidak terlihat adanya perbedaan tingkat kecenderungan motif rasional

instrumental yang berarti antara masyarakat strata atas dan bawah. Terlihat pada

Tabel 9 bahwa tingkat motif rasional instrumental masyarakat cenderung rendah,

baik masyarakat pada strata atas maupun masyarakat pada strata bawah.

Walaupun begitu, jika dibandingkan pada masing-masing strata, terdapat sedikit

perbedaan dimana persentase responden strata atas yang memiliki tingkat

kecenderungan yang tinggi pada motif rasional instrumental ini lebih banyak

daripada strata bawah. Sebanyak 42.86 persen responden strata atas memiliki

tingkat kecenderungan motif rasional instrumental yang tinggi, sedangkan

responden strata bawah yang memiliki tingkat kecenderungan motif rasional

instrumental yang tinggi sebanyak 38.46 persen. Terlihat bahwa tidak terdapat

perbedaan tingkat kecenderungan motif rasional instrumental yang berarti pada

bentuk-bentuk partisipasi politik antara masyarakat strata atas dan strata bawah.

Hal ini dapat disebabkan oleh kesenjangan yang tidak jauh antara masyarakat

strata atas dan bawah. Karakteristik antara masyarakat strata atas dan bawah tidak

berbeda jauh.

Pada Lampiran 4 terdapat hasil pengolahan data program SPSS Rank

Spearman dalam menguji hubungan antara variabel motif rasional instrumental

dengan variabel stratifikasi sosial responden. Jika nilai signifikansi (p value

Sig.(2-tailed)) > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan

nyata antara motif rasional instrumental dengan stratifikasi sosial. Jika nilai

signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) ≤ 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa

terdapat hubungan nyata antara motif rasional instrumental dengan stratifikasi

sosial.

Hasil perhitungan dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa angka

korelasi antara variabel motif rasional instrumental dengan variabel stratifikasi

sosial adalah sebesar 0.745. Nilai ini menunjukkan jumlah yang lebih besar dari

0.05. Nilai p value Sig.(2-tailed) > alpha (0.05 = 5%) menunjukkan bahwa tidak

terdapat korelasi antara variabel motif rasional instrumental dengan variabel

stratifikasi sosial. Tinggi atau rendahnya motif rasional instrumental tidak

memiliki hubungan dengan stratifikasi sosial masyarakat. Strata atas atau bawah

pada masyarakat tidak berhubungan dengan motif rasional instrumental yang

melandasi partisipasi politik masyarakat.

Motif Rasional Berorientasi Nilai pada Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik

Motif rasional berorientasi nilai adalah motif tindakan sosial yang terkait

dengan pengejaran nilai-nilai sosial tertentu dalam masyarakat tertentu. Nilai-nilai

sosial tertentu pada masyarakat yang diukur pada motif ini adalah kesadaran

56

masyarakat akan kewajiban mereka mengikuti pemilihan, sikap masyarakat

mengenai pentingnya mendapatkan pemimpin yang tepat, dan sejauh mana nilai-

nilai yang terkait dengan bidang politik terinternalisasi di dalam masyarakat.

Sebagian besar masyarakat memiliki tingkat kecenderungan motif rasional

berorientasi nilai yang tinggi pada partisipasi politik (Tabel 10).

Tabel 10 Jumlah dan persentase motif rasional berorientasi nilai responden

berdasarkan stratifikasi sosial

Strata

Tingkat kecenderungan motif rasional

berorientasi nilai Total

Tinggi Rendah

n % n % n %

Atas 19 31.67 2 3.33 21 35.00

Bawah 34 56.67 5 8.33 39 65.00

Total 53 88.33 7 11.67 60 100.00

Analisis Rank Spearman: (p value Sig.(2-tailed)) = 0.710

Tabel 10 memperlihatkan bahwa sebanyak 88.33 persen (53 orang)

responden memiliki tingkat kecenderungan motif rasional berorientasi nilai yang

tinggi. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat mengikuti pemilihan

karena didasari oleh nilai-nilai dalam masyarakat. Nilai-nilai dalam masyarakat

yang dimaksud adalah nilai-nilai demokrasi dimana partisipasi masyarakat dalam

pemilihan sudah menjadi budaya dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut pun

mengindikasikan bahwa partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat dalam

pemilihan didasari oleh kewajiban sekaligus hak masyarakat untuk terlibat dalam

pemilihan. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh masyarakat sudah menyadari

pentingnya Pemilihan Umum atau Pemilihan Kepala Daerah yang diadakan oleh

pemerintah.

Masyarakat beranggapan bahwa pemimpin yang dipilih oleh masyarakat

melalui pemilihan akan lebih dikenal oleh masyarakat. Keterlibatan masyarakat

dalam memilih pemimpinnya akan menjadikan pemimpin lebih bertanggung

jawab atas jabatan yang ia miliki. Masyarakat yang memiliki tingkat motif

rasional berorientasi nilai tinggi ini juga menyadari pentingnya partisipasi

masyarakat dalam pemilihan. Sumbangan satu suara yang diberikan kepada calon

pemimpin dapat mempengaruhi hasil pemilihan. Masyarakat beranggapan bahwa

satu suara tetap mampu berkontribusi menentukan siapa kandidat yang akan

terpilih pada pemilihan.

Masyarakat yang memiliki tingkat kecenderungan yang tinggi pada motif

berorientasi nilai ini juga menyadari pentingnya memilih pemimpin yang tepat

dalam pemilihan. Partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat dalam pemilihan

juga dilandasi oleh keinginan masyarakat untuk memilih pemimpin yang tepat

dalam pemilihan. Hak satu suara yang dimiliki oleh masing-masing masyarakat

adalah kesempatan yang perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya. Masyarakat yang

memiliki tingkat tinggi pada motif rasional berorientasi nilai ini mengaku bahwa

mereka mencari informasi terkait kandidat-kandidat dalam pemilihan sebelum

menentukan siapa yang akan dipilih. Beberapa masyarakat menyatakan bahwa

pencarian informasi ini dilakukan melalui media massa, seperti televisi atau

spanduk-spanduk.

57

Umumnya masyarakat melakukan pencarian informasi melalui lingkungan

sosial sekitar. Hal ini dilakukan melalui konsensus tidak tertulis. Biasanya

masyarakat berdiskusi dengan tetangga dan kerabat keluarga mengenai kandidat-

kandidat dalam pemilihan. Informasi kandidat-kandidat pemilihan yang

dikumpulkan dari lingkungan sosial masyarakat ini menunjukkan bahwa ikatan

sosial di dalam masyarakat masih kuat. Biasanya masyarakat memiliki “jagoan”

yang sudah disepakati bersama. Pihak yang menjadi “jagoan” masyarakat adalah

pihak yang pernah memberikan bantuan ke desa atau pihak yang melakukan

pendekatan-pendekatan khusus ke desa. Oleh karena itu, dapat diasumsikan

bahwa nama “jagoan” masyarakat didapat dari pihak elit desa yang biasanya

berhubungan langsung dengan pihak-pihak luar desa. Walaupun secara umum

masyarakat memiliki “jagoan”, namun masing-masing masyarakat tetap memiliki

hak untuk menentukan siapa kandidat yang akan dipilihnya. Masyarakat yang

sudah mencari informasi terkait dengan kandidat-kandidat dalam pemilihan ini

menunjukkan bahwa masyarakat sudah melakukan persiapan sebelum memilih

agar tidak salah pilih.

Terkait dengan manfaat yang dirasakan dari pelaksanaan pemilihan,

beberapa masyarakat mengaku bahwa mereka tidak merasakan adanya manfaat

dari pelaksanaan pemilihan. Pelaksanaan serta hasil pemilihan yang dilakukan

oleh pemerintah tidak membawa perubahan atau manfaat kepada masyarakat.

Beberapa masyarakat justru mengaku bahwa terdapat perubahan yang dirasakan

dengan adanya pemilihan. Adanya pemilihan memberikan kesempatan kepada

masyarakat untuk memilih kandidat yang memiliki program-program yang baik.

Manfaat yang dirasakan oleh masyarakat di antaranya adalah pelayanan rumah

sakit dan pelayanan sekolah. Masyarakat mengaku bahwa program Bantuan

Operasional Sekolah (BOS) yang dimiliki oleh pemerintah cukup membantu

masyarakat untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Selain itu, pelayanan rumah

sakit yang diberikan untuk masyarakat juga berbeda tergantung pemimpinnya.

Masyarakat menyatakan bahwa manfaat-manfaat yang mereka terima dari

pelayanan umum bisa berbeda-beda tergantung pada pemerintahan siapa yang

sedang berjalan. Hal ini menunjukkan bahwa pentingnya serta manfaat

pelaksanaan pemilihan benar-benar dirasakan oleh masyarakat dan mampu

mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pemilihan.

Sebanyak 11.67 persen (7 orang) responden memiliki tingkat

kecenderungan motif rasional berorientasi nilai yang rendah. Masyarakat yang

memiliki tingkat kecenderungan yang rendah pada motif rasional berorientasi nilai

ini mengaku bahwa mereka menganggap pemilihan yang dilakukan oleh

pemerintah tidak penting untuk dilakukan. Hal ini dipertegas oleh pernyataan Ibu

MMH sebagai berikut:

“Sebaiknya pemimpin itu dipilih langsung dari pemerintah saja. Masyarakat

tidak perlu ikut menentukan pemimpin. Kalau dipilih oleh pemerintah,

pemimpin yang dipilih pasti yang bagus. Kalau dipilih oleh masyarakat, masyarakat bisa salah pilih. Masyarakat kan tidak tahu pasti siapa calon

pemimpin yang baik. Daripada salah pilih, mendingan langsung dipilih dari

pemerintah saja.” (MMH, masyarakat desa)

Tidak pentingnya Pemilihan Kepala Daerah atau Pemilihan Umum yang

dilakukan oleh pemerintah juga terkait dengan manfaat yang tidak dirasakan oleh

58

masyarakat. Seluruh masyarakat yang memiliki tingkat kecenderungan yang

rendah pada motif rasional berorientasi nilai ini menyatakan bahwa pemilihan

tidak memberikan manfaat dan pengaruh apapun terhadap kehidupan mereka.

Tidak ada perubahan yang terjadi sebagai akibat dari adanya pemilihan atau hasil

dari pemilihan. Selain itu, masyarakat yang memiliki tingkat kecenderungan yang

rendah pada motif rasional berorientasi nilai ini biasanya tidak berusaha mencari

informasi yang terkait dengan kandidat-kandidat dalam pemilihan. Walaupun

mereka mengakui pentingnya mengetahui informasi-informasi terkait kandidat

dalam pemilihan, namun mereka cenderung tidak mencari informasi terkait

kandidat pemilihan. Mereka biasanya langsung menentukan kandidat yang akan

dipilih ketika sudah di Tempat Pemungutan Suara.

Tidak terdapat perbedaan yang berarti pada tingkat kecenderungan motif

rasional berorientasi nilai antara masyarakat strata atas dan strata bawah. Motif

rasional berorientasi nilai yang mendasari partisipasi politik masyarakat pada

pemilihan memiliki tingkat kecenderungan yang tinggi, baik masyarakat pada

strata atas maupun masyarakat pada strata bawah. Walaupun begitu, jika

dibandingkan pada masing-masing strata, terdapat sedikit perbedaan dimana

persentase responden strata atas yang memiliki tingkat kecenderungan yang tinggi

pada motif rasional berorientasi nilai ini lebih banyak daripada strata bawah.

Sebanyak 90.48 persen responden strata atas memiliki tingkat kecenderungan

motif rasional berorientasi nilai yang tinggi, sedangkan responden strata bawah

yang memiliki tingkat kecenderungan motif rasional berorientasi nilai yang tinggi

sebanyak 87.18 persen. Terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat

kecenderungan motif rasional berorientasi nilai yang berarti pada bentuk-bentuk

partisipasi politik antara masyarakat strata atas dan strata bawah. Hal ini dapat

disebabkan oleh kesenjangan yang tidak jauh antara masyarakat strata atas dan

bawah. Karakteristik antara masyarakat strata atas dan bawah tidak berbeda jauh.

Pada Lampiran 4 terdapat hasil pengolahan data program SPSS Rank

Spearman dalam menguji hubungan antara variabel motif rasional berorientasi

nilai dengan variabel stratifikasi sosial responden. Jika nilai signifikansi (p value

Sig.(2-tailed)) > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan

nyata antara motif rasional berorientasi nilai dengan stratifikasi sosial. Jika nilai

signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) ≤ 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa

terdapat hubungan nyata antara motif rasional berorientasi nilai dengan stratifikasi

sosial.

Hasil perhitungan dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa angka

korelasi antara variabel motif rasional berorientasi nilai dengan variabel

stratifikasi sosial adalah sebesar 0.710. Nilai ini menunjukkan jumlah yang lebih

besar dari 0.05. Nilai p value Sig.(2-tailed) > alpha (0.05 = 5%) menunjukkan

bahwa tidak terdapat korelasi antara variabel motif rasional berorientasi nilai

dengan variabel stratifikasi sosial. Tinggi atau rendahnya motif rasional

berorientasi nilai tidak memiliki hubungan dengan stratifikasi sosial masyarakat.

Strata atas atau bawah pada masyarakat tidak berhubungan dengan motif rasional

berorientasi nilai yang melandasi partisipasi politik masyarakat.

59

Motif Afektif pada Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik

Motif afektif yang menjadi dasar masyarakat dalam melakukan partisipasi

politik pada pemilihan terkait dengan emosi atau perasaan yang dimiliki oleh

masyarakat. Motif afektif yang dimiliki oleh masyarakat pada pemilihan terkait

dengan ketertarikan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilihan, kedekatan

emosional antara masyarakat dengan kandidat dalam pemilihan, serta

kekondusifan kondisi sosial politik masyarakat. Sebagian besar masyarakat

memiliki tingkat kecenderungan motif afektif yang rendah dalam partisipasi

politik (Tabel 11).

Tabel 11 Jumlah dan persentase motif afektif responden berdasarkan stratifikasi

sosial

Strata

Tingkat kecenderungan motif afektif Total

Tinggi Rendah

n % n % n %

Atas 4 6.67 17 28.33 21 35.00

Bawah 5 8.33 34 56.67 39 65.00

Total 9 15.00 51 85.00 60 100.00

Analisis Rank Spearman: (p value Sig.(2-tailed)) = 0.527

Tabel 11 menunjukkan bahwa sebanyak 85 persen (51 orang) responden

memiliki tingkat kecenderungan motif afektif yang rendah. Ini menunjukkan

bahwa mayoritas masyarakat melakukan partisipasi politik pada pemilihan tidak

berdasarkan perasaan atau emosi yang besar terhadap politik. Rendahnya tingkat

kecenderungan pada motif menunjukkan bahwa masyarakat tidak memiliki

ketertarikan untuk berpartisipasi dalam pemilihan. Masyarakat yang tidak

merasakan ketertarikan ini adalah masyarakat yang tidak merasakan manfaat dari

adanya pemilihan. Masyarakat juga menyatakan bahwa pemilihan yang dilakukan

pemerintah tidak dirasa penting. Hal ini juga terkait dengan tidak adanya manfaat

yang masyarakat rasakan sebagai akibat diadakannya pemilihan. Masyarakat

mengaku bahwa tidak ada perubahan yang terjadi sebagai akibat dari adanya

pemilihan yang dilakukan oleh pemerintah. Hasil pemilihan pun tidak membawa

perubahan dan manfaat apapun pada masyarakat.

Rendahnya motif afektif yang dimiliki oleh sebagian besar masyarakat

untuk berpartisipasi dalam pemilihan ini dapat menjawab tingginya angka golput

pada Pemilu/Pilkada. Dapat diasumsikan bahwa angka golput yang tinggi

berkorelasi dengan rendahnya tingkat afektif masyarakat terhadap pemilihan.

Masyarakat tidak merasakan pentingnya pelaksanaan pemilihan. Masyarakat pun

merasa tidak mendapatkan manfaat dari pelaksanaan pemilihan yang diadakan

oleh pemerintah.

Sebanyak 15 persen (9 orang) responden memiliki tingkat kecenderungan

motif afektif yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki

tingkat ketertarikan yang cukup besar untuk berpartisipasi dalam pemilihan.

Ketertarikan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilihan didasari oleh

manfaat yang dapat diterima masyarakat. Manfaat langsung atau tidak langsung

yang diterima oleh masyarakat dari pemilihan atau hasil pemilihan memberikan

sikap positif masyarakat terhadap pemilihan. Hal ini juga dilandasi oleh anggapan

60

masyarakat yang menyatakan bahwa pemilihan penting untuk dilakukan.

Pentingnya pemilihan yang dirasakan oleh masyarakat membuat masyarakat

bersedia untuk ikut serta dalam pemilihan. Hal ini menunjukkan sikap positif

masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilihan.

Masyarakat yang memiliki tingkat kecenderungan yang tinggi pada motif

afektif juga menunjukkan bahwa masyarakat memiliki hubungan emosional yang

cukup baik dengan kandidat dalam pemilihan. Masyarakat mengaku bahwa kenal

atau tidaknya masyarakat dengan kandidat mempengaruhi partisipasi masyarakat

dalam pemilihan. Kedekatan yang dirasakan oleh masyarakat juga mempengaruhi

partisipasi masyarakat dalam pemilihan. Kenal atau tidaknya masyarakat serta

kedekatan yang dirasakan oleh masyarakat terhadap kandidat biasanya berasal

dari informasi yang diterima masyarakat tentang kandidat. Selain informasi

tersebut, masyarakat biasanya merasakan kedekatan dengan kandidat yang

sebelumnya sudah menjabat dalam pemilihan. Salah satu contohnya adalah kasus

yang terjadi ketika Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor. Masyarakat mengaku

bahwa masyarakat lebih merasakan kedekatan terhadap kandidat Bupati yang

merupakan Bupati pada periode sebelumnya. Hal ini kemudian mempengaruhi

partisipasi masyarakat dalam pemilihan.

Umumnya masyarakat mengaku bahwa hasil pemilihan tidak mempengaruhi

kondisi kenyamanan dan keamanan desa. Tidak pernah ada konflik yang terjadi di

desa yang dikarenakan oleh hasil pemilihan. Pada umumnya hasil pemilihan

hanya menyebabkan desas-desus pada masyarakat. Desas-desus tersebut pun

biasanya hanya berkisar tentang siapa kandidat yang terpilih dan alasan dia

terpilih. Tidak ada desas-desus yang memicu konflik. Suasana pemilihan di Desa

Pancawati selalu kondusif. Suasana desa yang tidak dipengaruhi oleh hasil

pemilihan menunjukkan bahwa masyarakat tidak memiliki motif afektif yang

besar terhadap hasil pemilihan atau terhadap pemilihan itu sendiri.

Tidak ada perbedaan kecenderungan tingkatan motif afektif antara

masyarakat pada strata atas dan strata bawah. Mayoritas masyarakat memiliki

tingkat kecenderungan motif afektif yang rendah, baik masyarakat pada strata atas

maupun strata bawah. Walaupun begitu, jika dibandingkan pada masing-masing

strata, terdapat sedikit perbedaan dimana persentase responden strata atas yang

memiliki tingkat kecenderungan yang tinggi pada motif afektif ini lebih banyak

daripada strata bawah. Sebanyak 19.05 persen responden strata atas memiliki

tingkat kecenderungan motif afektif yang tinggi, sedangkan responden strata

bawah yang memiliki tingkat kecenderungan motif afektif yang tinggi sebanyak

12.82 persen. Terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat kecenderungan

motif afektif yang berarti pada bentuk-bentuk partisipasi politik antara masyarakat

strata atas dan strata bawah. Hal ini dapat disebabkan oleh kesenjangan yang tidak

jauh antara masyarakat strata atas dan bawah. Karakteristik antara masyarakat

strata atas dan bawah tidak berbeda jauh.

Pada Lampiran 4 terdapat hasil pengolahan data program SPSS Rank

Spearman dalam menguji hubungan antara variabel motif afektif dengan variabel

stratifikasi sosial responden. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) > 0.05,

maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara motif afektif

dengan stratifikasi sosial. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) ≤ 0.05,

maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata antara motif afektif

dengan stratifikasi sosial.

61

Hasil perhitungan dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa angka

korelasi antara variabel motif afektif dengan variabel stratifikasi sosial adalah

sebesar 0.527. Nilai ini menunjukkan jumlah yang lebih besar dari 0.05. Nilai p

value Sig.(2-tailed) > alpha (0.05 = 5%) menunjukkan bahwa tidak terdapat

korelasi antara variabel motif afektif dengan variabel stratifikasi sosial. Tinggi

atau rendahnya motif afektif tidak memiliki hubungan dengan stratifikasi sosial

masyarakat. Strata atas atau bawah pada masyarakat tidak berhubungan dengan

motif afektif yang melandasi partisipasi politik masyarakat.

Motif Tradisional pada Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik

Motif tradisional pada partisipasi politik menunjukkan bahwa partisipasi

yang dilakukan oleh masyarakat dilandasi oleh kepatuhan masyarakat terhadap

tradisi dan adat-istiadat. Motif tradisional ini diukur dengan melihat tingkat

internalisasi masyarakat terhadap ajaran agama atau adat-istiadat yang dianut oleh

masyarakat, kesesuaian latar belakang agama atau suku kandidat dengan

masyarakat, dan kepatuhan masyarakat terhadap tokoh atau kelembagaan yang

berpengaruh dalam suatu budaya. Secara umum, sebagian besar masyarakat

memiliki tingkat kecenderungan motif tradisional yang tinggi untuk berpartisipasi

pada pemilihan (Tabel 12).

Tabel 12 Jumlah dan persentase motif tradisional responden berdasarkan

stratifikasi sosial

Strata

Tingkat kecenderungan motif tradisional Total

Tinggi Rendah

n % n % n %

Atas 10 16.67 11 18.33 21 35.00

Bawah 22 36.67 17 28.33 39 65.00

Total 32 53.33 28 46.67 60 100.00

Analisis Rank Spearman: (p value Sig.(2-tailed)) = 0.523

Tabel 12 menunjukkan bahwa sebanyak 53.33 persen (32 orang) responden

memiliki tingkat kecenderungan motif tradisional yang tinggi. Hal ini

menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat memiliki motif tradisional yang

cukup besar dalam berpartisipasi pada saat pemilihan. Secara umum, masyarakat

akan memperhatikan agama atau suku kandidat. Masyarakat cenderung memilih

kandidat yang memiliki agama atau suku yang sama dengan dirinya. Masyarakat

menganggap bahwa agama kandidat penting untuk dijadikan bahan pertimbangan

dalam memilih. Hal ini dipertegas oleh pernyataan Bapak SMA sebagai berikut:

“Sebagai orang Islam, kita harus memilih pemimpin yang beragama Islam

juga. Etikanya kan seperti itu. Agama itu penting sebagai dasar pemimpin.”

(SMA, masyarakat desa)

Informasi mengenai agama kandidat dapat diketahui oleh masyarakat dari

media massa, seperti televisi. Pada umumnya, kandidat yang mencalonkan diri di

Indonesia beragama Islam. Hal ini sejalan dengan masyarakat Desa Pancawati

62

yang mayoritas (99.88 persen) beragama Islam, sehingga terkadang masyarakat

merasa tidak perlu mencari tahu informasi agama kandidat karena masyarakat

sudah yakin bahwa kandidat-kandidat yang mencalonkan diri beragama Islam.

Masyarakat yang memiliki tingkat kecenderungan yang tinggi pada motif

tradisional ini mengaku bahwa tokoh atau kelembagaan berpengaruh di desa ikut

mempengaruhi partisipasi masyarakat. Beberapa masyarakat yang memiliki

tingkat kecenderungan motif tradisional yang tinggi adalah masyarakat yang

memiliki hubungan dekat dengan kelembagaan atau tokoh berpengaruh di desa.

Tokoh berpengaruh tersebut adalah pihak-pihak elit desa, seperti Kepala Desa,

Ketua RW, Ketua RT, kader PKK, dan aparat desa lainnya. Kelembagaan yang

berpengaruh di desa adalah pemerintahan desa dan kelembagaan-kelembagaan

yang berada di bawah kontrol pemerintahan desa, seperti PKK. Oleh karena itu,

masyarakat yang dipengaruhi oleh tokoh atau kelembagaan berpengaruh di desa

adalah pihak-pihak yang memang bertugas di kelembagaan pemerintahan desa

serta pihak-pihak yang memiliki hubungan kekerabatan dengan aparat desa.

Beberapa masyarakat mengaku bahwa pengaruh yang diberikan tokoh atau

kelembagaan berpengaruh tidaklah besar. Biasanya partisipasi masyarakat dalam

pemilihan dipengaruhi oleh pemerintah desa dan aparatnya karena pihak-pihak

tersebutlah yang memberikan undangan ke rumah-rumah masyarakat. Partisipasi

masyarakat dalam pemilihan juga sedikit dipengaruhi oleh pemerintah dan

aparatnya karena hal itu merupakan bentuk kepatuhan masyarakat terhadap

pemerintahan desa.

Sebanyak 46.67 persen (28 orang) responden memiliki tingkat

kecenderungan motif tradisional yang rendah. Masyarakat yang memiliki tingkat

kecenderungan motif tradisional yang rendah adalah masyarakat yang tidak

mempermasalahkan agama atau suku kandidat dalam pemilihan. Kandidat

beragama atau bersuku apapun bukanlah masalah. Masyarakat lebih

mengutamakan nilai-nilai pribadi yang dimiliki oleh kandidat. Masyarakat juga

mengaku bahwa pemerintah desa tidak mempengaruhi partisipasi masyarakat

dalam pemilihan. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi politik yang dilakukan

oleh masyarakat dalam pemilihan tidak didasari oleh motif tradisional.

Masyarakat yang memiliki tingkat kecenderungan yang rendah pada motif

tradisional didominasi oleh masyarakat strata atas. Hal ini menunjukkan bahwa

nilai-nilai tradisional yang dimiliki oleh masyarakat strata atas sudah mulai pudar.

Nilai-nilai tradisional tersebut terkait dengan sejauh mana nilai-nilai agama atau

suku terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Sementara itu,

tingkat kecenderungan motif tradisional yang tinggi didominasi oleh masyarakat

strata bawah. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai tradisional cenderung

melekat pada masyarakat strata bawah daripada masyarakat strata atas.

Perbedaan kecenderungan antara masyarakat strata atas dan masyarakat

strata bawah tidak berbeda jauh, yaitu sebanyak 52.38 persen responden strata atas

memiliki tingkat kecenderungan motif tradisional yang rendah dan sebanyak

56.41 persen responden strata bawah memiliki tingkat kecenderungan motif

tradisional yang tinggi. Walaupun terdapat perbedaan kecenderungan tingkat

motif antara masyarakat strata atas dan masyarakat strata bawah, namun hasil ini

tidak menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara motif tradisional dengan

stratifikasi sosial pada masyarakat.

63

Hasil pengolahan data program SPSS Rank Spearman dalam menguji

hubungan antara variabel motif tradisional dengan variabel stratifikasi sosial

responden terdapat pada Lampiran 4. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed))

> 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara

motif tradisional dengan stratifikasi sosial. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-

tailed)) ≤ 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata antara

motif tradisional dengan stratifikasi sosial.

Hasil perhitungan dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa angka

korelasi antara variabel motif tradisional dengan variabel stratifikasi sosial adalah

sebesar 0.523. Nilai ini menunjukkan jumlah yang lebih besar dari 0.05. Nilai p

value Sig.(2-tailed) > alpha (0.05 = 5%) menunjukkan bahwa tidak terdapat

korelasi antara variabel motif tradisional dengan variabel stratifikasi sosial. Tinggi

atau rendahnya motif tradisional tidak memiliki hubungan dengan stratifikasi

sosial masyarakat. Strata atas atau bawah pada masyarakat tidak berhubungan

dengan motif tradisional yang melandasi partisipasi politik masyarakat.

Ikhtisar: Motif-Motif Partisipasi Politik Masyarakat Berdasarkan

Stratifikasi Sosial

Tabel 13 menunjukkan tingkat kecenderungan motif yang dominan pada

masing-masing motif partisipasi politik berdasarkan stratifikasi sosial. Pada tabel

13 terlihat bahwa motif partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan memiliki

tingkat kecenderungan yang tinggi pada motif rasional berorientasi nilai, baik

pada masyarakat strata atas maupun strata bawah. Selain itu, tingkat

kecenderungan yang tinggi juga terlihat pada motif tradisional yang dimiliki oleh

masyarakat strata bawah. Motif-motif partisipasi politik lainnya, yaitu motif

rasional instrumental pada masyarakat strata atas dan bawah, motif afektif pada

masyarakat strata atas dan bawah, serta motif tradisional pada masyarakat bawah

cenderung rendah. Tidak terdapat perbedaan perbedaan motif partisipasi politik

antara masyarakat strata atas dan strata bawah.

Tabel 13. Tingkat kecenderungan motif-motif partisipasi politik masyarakat

berdasarkan stratifikasi sosial

Strata

Tingkat kecenderungan motif-motif partisipasi politik

Rasional

instrumental

Rasional

berorientasi

nilai

Afektif Tradisional

Atas Rendah Tinggi Rendah Rendah Bawah Rendah Tinggi Rendah Tinggi

Tingkat kecenderungan yang rendah pada motif rasional instrumental

menunjukkan bahwa masyarakat mengaku bahwa bantuan-bantuan yang diberikan

kandidat tidak dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pemilihan.

Bantuan yang diberikan kandidat biasanya berupa bantuan untuk saran dan

prasarana umum di desa. Bantuan untuk sarana dan prasarana umum desa yang

biasanya diberikan kandidat tidak mempengaruhi partisipasi politik masyarakat.

64

Tingkat kecenderungan motif rasional berorientasi nilai yang dimiliki oleh

masyarakat cenderung tinggi, baik masyarakat strata atas dan masyarakat strata

bawah. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sudah memahami pentingnya

pelaksanaan pemilihan dan pentingnya partisipasi setiap masyarakat dalam

pemilihan dalam memilih pemimpin yang tepat. Masyarakat mengaku bahwa

sebaiknya pemilihan pemimpin memang dilakukan melalui pemilihan umum atau

pemilihan kepala daerah agar masyarakat mengetahui pemimpinnya. Masyarakat

juga dapat memberikan kontribusi suara atau pendapatnya dalam memilih pihak

yang akan memimpinnya.

Motif afektif terkait dengan tindakan partisipasi politik masyarakat yang

dilandasi oleh motif emosi atau perasaan. Hal ini dapat dikaitkan dengan sikap

masyarakat terhadap pemilihan. Rendahnya tingkat kecenderungan motif afektif

pada masyarakat strata atas dan bawah menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat

berpartisipasi dalam pemilihan bukan dikarenakan oleh sikap positif atau emosi

positif mereka terhadap pemilihan. Manfaat yang dirasakan oleh masyarakat tidak

mempengaruhi partisipasi mereka dalam pemilihan.

Motif tradisional adalah satu-satunya motif yang memiliki kecenderungan

yang berbeda antara masyarakat strata atas dan masyarakat strata bawah.

Masyarakat strata atas memiliki tingkat kecenderungan motif tradisional yang

rendah. Rendahnya motif tradisional ini menunjukkan bahwa masyarakat pada

strata atas cenderung tidak dipengaruhi oleh agama atau suku kandidat serta tidak

dipengaruhi oleh kelembagaan dan tokoh berpengaruh dalam melakukan

partisipasi politik. Hal ini berbeda dengan masyarakat strata bawah. Masyarakat

strata bawah memiliki tingkat kecenderungan motif tradisional yang tinggi.

Tingginya motif tradisional ini menunjukkan bahwa masyarakat cukup

mempertimbangkan latar belakang agama dan suku kandidat dalam pemilihan.

Masyarakat cenderung menggunakan hak pilihnya untuk kandidat yang seagama

dengannya. Tingkat kecenderungan motif tradisional yang tinggi ini juga

menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pemilihan juga dipengaruhi

oleh pihak-pihak yang berpengaruh. Pihak yang berpengaruh dalam hal ini adalah

aparat desa yang mengundang masyarakat untuk mengikuti pemilihan.

Tingkat kecenderungan motif tindakan sosial yang dimiliki oleh masyarakat

tidak berbeda antara strata atas dan strata bawah. Hal ini terjadi pada seluruh

motif tindakan sosial, kecuali motif tradisional. Walaupun terdapat perbedaan

tingkat kecenderungan motif tradisional antara masyarakat strata atas dan strata

bawah, namun perbedaan ini tidak menunjukkan bahwa stratifikasi sosial

berhubungan motif tradisional. Tidak adanya perbedaan tingkat kecenderungan

motif yang berarti antara masyarakat strata atas dan strata bawah dapat disebabkan

oleh kesenjangan antara masyarakat strata atas dan strata bawah yang tidak jauh.

Karakteristik antara masyarakat strata atas dan bawah tidak berbeda jauh. Tidak

adanya perbedaan tingkat kecenderungan motif ini juga dapat disebabkan oleh

kurang operasionalnya instrumen kuesioner yang digunakan oleh peneliti. Tidak

adanya perbedaan tingkat kecenderungan motif partisipasi politik antara

masyarakat strata atas dan bawah menunjukkan bahwa stratifikasi sosial tidak

berhubungan dengan motif tindakan sosial masyarakat dalam berpartisipasi pada

pemilihan.

PENGARUH MOTIF-MOTIF TINDAKAN SOSIAL

TERHADAP PERBEDAAN BENTUK PARTISIPASI POLITIK

BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL

Setiap bentuk-bentuk partisipasi politik dilandasi oleh motif-motif tindakan

sosial yang berbeda. Analisis motif-motif yang mendasari setiap bentuk partisipasi

politik dilakukan oleh peneliti dari hasil wawancara yang dilakukan kepada

responden dan informan. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa tidak

terdapat perbedaan motif-motif tindakan sosial yang melandasi bentuk partisipasi

politik penggunaan hak pilih antara masyarakat strata atas dan strata bawah. Hal

ini dapat disebabkan oleh kesenjangan yang tidak jauh antara masyarakat strata

atas dan strata bawah. Karakteristik antara masyarakat strata atas dan bawah tidak

berbeda jauh. Selain itu, tidak adanya perbedaan motif-motif ini juga dapat

disebabkan oleh kurang operasionalnya instrumen kuesioner yang digunakan oleh

peneliti.

Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik Penggunaan Hak Pilih

Bentuk partisipasi politik penggunaan hak pilih adalah bentuk partisipasi

politik yang memiliki tingkat partisipasi paling tinggi di antara bentuk-bentuk

partisipasi politik lainnya. Motif-motif yang mendasari partisipasi masyarakat

dalam menggunakan hak pilihnya tidak berbeda antara masyarakat strata atas dan

strata bawah. Secara umum, motif yang mendominasi dalam mendorong

masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya adalah motif rasional berorientasi

nilai. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak

pilihnya didasari adanya kesadaran oleh masyarakat untuk terlibat dalam

pemilihan. Partisipasi ini juga terkait dengan nilai-nilai demokrasi yang dimiliki

oleh masyarakat. Masyarakat menyadari bahwa hak mereka dalam menggunakan

hak suaranya juga merupakan kewajiban yang harus dilakukan. Hal ini

mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilihan dalam menggunakan

hak pilihnya.

Motif tradisional adalah motif lainnya yang mendasari partisipasi politik

masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Motif tradisional ini tidak memiliki

pengaruh sebesar motif rasional berorientasi nilai, namun motif ini cukup

berkontribusi dalam menjadi dasar bagi masyarakat untuk menggunakan hak

pilihnya. Motif tradisional yang mendasari masyarakat untuk menggunakan hak

pilihnya terkait dengan lembaga yang berpengaruh di masyarakat. Dalam hal ini,

lembaga tersebut adalah pemerintah desa, termasuk di dalamnya aparat desa,

Ketua RW, dan Ketua RT. Ketua RT dan Ketua RW yang biasanya berperan

sebagai Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) bertugas untuk

membagikan undangan pemilihan kepada masyarakat. Pihak yang berperan

membagikan undangan ini cukup mempengaruhi masyarakat dalam berpartisipasi

menggunakan hak pilihnya. Masyarakat merasa bahwa memenuhi undangan ini

juga merupakan bentuk kepatuhan masyarakat kepada aturan desa.

Motif tradisional juga mempengaruhi pilihan masyarakat untuk memilih

kandidat. Motif tradisional yang mendasari masyarakat dalam memilih ini berarti

66

masyarakat cenderung memilih kandidat yang memiliki agama atau suku yang

sama dengan dirinya. Hal ini terlihat dari pernyataan responden bahwa masyarakat

perlu mengetahui latar belakang kandidat, termasuk latar belakang agama atau

suku kandidat. Informasi yang didapatkan oleh masyarakat terkait dengan latar

belakang kandidat ini kemudian mempengaruhi masyarakat dalam memilih

kandidat.

Tidak hanya motif tradisional, motif rasional instrumental juga menjadi

dasar bagi masyarakat dalam memilih kandidat. Masyarakat mengaku bahwa

masyarakat cenderung memilih kandidat yang pernah atau sudah memberikan

bantuan. Bantuan yang dimaksud di sini bukanlah bantuan yang diberikan

kandidat kepada masing-masing rumah tangga masyarakat. Bantuan yang

biasanya diberikan oleh kandidat adalah bantuan untuk sarana dan prasarana

umum desa. Bantuan sarana dan prasarana umum ini cukup mempengaruhi siapa

kandidat yang dipilih oleh masyarakat dalam pemilihan.

Motif afektif juga menjadi landasan bagi masyarakat dalam memilih

kandidat dalam pemilihan. Masyarakat cenderung memilih kandidat yang sudah

dikenalnya. Pada kasus Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor 2013, masyarakat

cenderung memilih kandidat yang sebelumnya pernah menjadi Bupati Kabupaten

Bogor. Masyarakat merasa bahwa sebaiknya memilih kandidat yang sudah

dikenalnya. Selain itu, kinerja dari Bupati Kabupaten Bogor sebelumnya juga

dirasakan cukup baik oleh masyarakat. Motif afektif ini juga terkait dengan

manfaat yang dirasakan oleh masyarakat. Masyarakat yang merasakan manfaat

dari adanya pemilihan akan cenderung berpartisipasi dalam menggunakan hak

pilihnya.

Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik dalam Kampanye

Motif-motif yang mendasari partisipasi masyarakat dalam kampanye tidak

berbeda antara masyarakat strata atas dan strata bawah. Bentuk partisipasi politik

dalam kampanye cenderung didasari oleh motif rasional instrumental. Kampanye

masyarakat yang dilandasi oleh motif ini menunjukkan bahwa alasan kampanye

yang dilakukan oleh masyarakat terkait dengan pencapaian materi. Kampanye

yang diikuti oleh masyarakat memberikan insentif bagi masyarakat. Hal inilah

yang mendorong masyarakat untuk mengikuti kampanye. Pekerjaan masyarakat

yang tidak tetap pun mendukung mereka untuk berpartisipasi dalam kampanye.

Waktu kerja yang tidak tetap membuat mereka sangat berkesempatan untuk

mengikuti kampanye.

Salah satu hal yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk ikut melakukan

kampanye adalah jaringan. Kampanye oleh kandidat tidak pernah dilakukan di

tingkat desa. Kampanye biasanya dilakukan di tingkat kecamatan. Oleh karena itu,

masyarakat perlu jaringan di tingkat kecamatan atau jaringan yang terkait dengan

kandidat pemilihan untuk mengikuti kampanye. Beberapa masyarakat mengaku

bahwa jika mereka memiliki jaringan dengan kandidat terkait dan berkesempatan

untuk melakukan kampanye, mereka akan mengikuti kampanye. Hal ini

dikarenakan kampanye yang dilakukan oleh masyarakat memberikan insentif bagi

mereka. Masyarakat mengakui bahwa mengikuti kampanye bisa menjadi salah

satu bentuk cara untuk mendapatkan pendapatan.

67

Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik sebagai Panitia

Pemungutan Suara (PPS) atau Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara

(KPPS)

Masyarakat yang berkesempatan untuk menjadi panitia pemilihan, baik

Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tingkat desa maupun Kelompok

Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di tingkat TPS, adalah masyarakat

yang merupakan aparat desa, elit desa, atau pihak-pihak terkait. Proses memilih

panitia pemilihan dilakukan melalui diskusi yang diisi oleh aparat pemerintah

desa. Pihak-pihak yang dipilih oleh aparat desa untuk menjadi panitia pemilihan

biasanya adalah Ketua RT, Ketua RW, serta kader PKK. Pihak-pihak tersebut

dipilih langsung oleh aparat desa untuk menjadi panitia pemilihan. Oleh karena

itu, motif yang dimiliki oleh pihak-pihak tersebut untuk menjadi panitia

pemilihan adalah rasional berorientasi nilai.

Motif rasional berorientasi nilai yang dimiliki oleh Ketua RT, Ketua RW,

serta kader PKK, menunjukkan bahwa partisipasi sebagai panitia pemilihan yang

dilakukan oleh mereka adalah sebagai bentuk kewajiban yang perlu dilakukan.

Kepercayaan yang diberikan untuk menjadi panitia pemilihan ini sama seperti

bentuk kepercayaan yang diberikan aparat desa kepada mereka untuk menjadi

Ketua RT, Ketua RW, serta kader PKK. Motif rasional berorientasi nilai juga

menunjukkan bahwa Ketua RT, Ketua RW, serta kader PKK yang ikut sebagai

panitia pemilihan ini menganggap bahwa kesediaan untuk menjadi panitia

pemilihan bertujuan untuk membantu aparat desa dalam menjalankan pemilihan di

desa.

Berbeda dengan Ketua RT, Ketua RW, serta kader PKK yang langsung

dipilih oleh aparat desa untuk menjadi panitia pemilihan, masyarakat yang

menjadi panitia pemilihan adalah masyarakat yang direkomendasikan oleh aparat

dan elit desa. Rekomendasi tersebut biasanya dilandasi oleh pekerjaan masyarakat

serta kepercayaan aparat dan elit desa terhadap masyarakat. Masyarakat yang

direkomendasikan biasanya adalah masyarakat yang berprofesi sebagai guru serta

orang-orang kepercayaan aparat dan elit desa. Hal ini terkait dengan pentingnya

peran yang dijalankan oleh panitia pemilihan. Masyarakat yang direkomendasikan

oleh masing-masing aparat desa dan elit desa tersebut kemudian didiskusikan lagi

oleh aparat desa untuk dipilih menjadi panitia pemilihan.

Tidak berbeda dengan motif Ketua RT, Ketua RW, serta kader PKK,

masyarakat yang menjadi panitia pemilihan juga memiliki motif rasional

berorientasi nilai. Motif ini tidak berbeda antara masyarakat strata atas dan strata

bawah. Hal ini juga terkait dengan alasan kepercayaan yang sudah diberikan

aparat desa untuk masyarakat. Masyarakat yang sudah dipercaya untuk menjadi

panitia pemilihan merasa perlu ikut terlibat dalam menjalankan pemilihan. Selain

itu, masyarakat juga berniat untuk membantu pihak aparat desa untuk

menjalankan pemilihan. Kesempatan untuk menjadi panitia pemilihan ini dapat

menjadi peluang bagi masyarakat untuk terlibat lebih jauh dalam pemilihan, tidak

hanya berpartisipasi dalam menggunakan hak suaranya.

68

Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik dalam Mempersuasi

Pihak Lain untuk Berpartisipasi

Bentuk partisipasi mempersuasi pihak lain pada umumnya dilakukan oleh

masyarakat dalam bentuk mempersuasi kerabat atau tetangga untuk menggunakan

hak suaranya. Motif yang biasanya dimiliki oleh masyarakat dalam mempersuasi

pihak lain untuk menggunakan hak suaranya adalah afektif. Motif afektif yang

mendasari partisipasi masyarakat dalam mempersuasi pihak lain untuk

berpartisipasi ini tidak berbeda antara masyarakat strata atas dan strata bawah.

Masyarakat mengaku bahwa persuasi yang mereka lakukan sebelum ke Tempat

Pemungutan Suara (TPS) dilakukan agar mereka memiliki teman diskusi sebelum

memilih. Beberapa masyarakat juga mengaku bahwa mereka mengajak teman ke

TPS karena mereka merasa takut kalau pergi sendirian ke TPS.

Mempersuasi pihak lain untuk menggunakan hak suaranya dalam pemilihan

juga terkait dengan tugas yang dimiliki oleh panitia pemilihan, baik Panitia

Pemungutan Suara (PPS) di tingkat desa maupun Kelompok Penyelenggara

Pemungutan Suara (KPPS) di tingkat TPS. Mengajak masyarakat untuk

menggunakan hak suaranya adalah bagian dari kewajiban panitia pemilihan. Hal

ini menunjukkan bahwa motif yang mendasari pantia pemilihan dalam mengajak

masyarakat untuk menggunakan hak suaranya terkait dengan motif rasional

instrumental. Motif rasional instrumental di sini berarti bahwa ajakan panitia

pemilihan tersebut terkait dengan efektifitas pencapaian tujuan. Tujuan yang

dimaksud di sini adalah tujuan secara umum dari pemilihan, yaitu agar partisipasi

jumlah masyarakat yang menggunakan hak suaranya dapat dimaksimalkan.

Persuasi ini tidak hanya dilakukan melalui surat undangan secara resmi, tetapi

juga melalui persuasi-persuasi lisan.

Motif afektif ini juga dilakukan oleh pihak-pihak yang mempersuasi pihak

lain untuk mengikuti proses penghitungan suara. Masyarakat yang mengikuti

proses penghitungan suara cenderung mempersuasi pihak lain untuk juga

mengikuti proses penghitungan suara agar ada teman diskusi ketika menyaksikan

proses penghitungan suara. Hal ini jarang dilakukan karena pada umumnya yang

mengikuti proses penghitungan suara adalah pria, sedangkan masyarakat yang

sering mengajak pihak lain untuk berpartisipasi dalam pemilihan adalah

perempuan, terutama dalam kasus mempersuasi pihak lain untuk menggunakan

hak suaranya.

Mempersuasi pihak lain untuk menjadi panitia pemilihan hanya bisa

dilakukan oleh pihak-pihak yang merupakan aparat atau elit desa. Pada umumnya,

persuasi tersebut dilakukan untuk melengkapi jumlah panitia pemilihan yang

dibutuhkan. Oleh karena itu, persuasi yang dilakukan oleh aparat desa dalam

mengajak pihak lain agar menjadi panitia pemilihan termasuk ke dalam motif

rasional instrumental. Hal ini dikarenakan motif persuasi tersebut terkait dengan

efektifitas dan efisiensi pencapaian tujuan dalam memenuhi kebutuhan kuantitas

panitia pemilihan.

69

Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik dalam Proses

Penghitungan Suara

Motif yang dimiliki masyarakat dalam mengikuti proses penghitungan suara

adalah motif rasional berorientasi nilai, baik pada masyarakat strata atas maupun

strata bawah. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi yang dilakukan oleh

masyarakat dalam mengikuti proses penghitungan suara dilandasi oleh nilai-nilai

yang ada di dalam masyarakat. Masyarakat merasa perlu untuk mengetahui dan

menyaksikan proses penghitungan suara agar mengetahui siapa kandidat yang

terpilih dalam pemilihan. Walaupun informasi mengenai kandidat yang terpilih

dalam pemilihan dapat diketahui dari tetangga sekitar atau dari Ketua RT secara

langsung tanpa mengikuti proses penghitungan suara, namun beberapa masyarakat

merasa perlu mengikuti proses penghitungan suara untuk menyaksikan proses

terpilihnya kandidat.

Pihak yang berpartisipasi dalam proses penghitungan suara tidak hanya

dilakukan oleh masyarakat secara umum, tetapi juga dilakukan oleh pihak-pihak

yang menjadi Panitia Pemungutan Suara (PPS) atau Kelompok Penyelenggara

Pemungutan Suara (KPPS). Panitia pemilihan secara otomatis pasti mengikuti

proses penghitungan suara. Hal ini termasuk bagian dari kewajiban mereka

sebagai panitia pemilihan untuk terlibat langsung dalam proses penghitungan

suara. Hal ini menunjukkan bahwa motif yang dimiliki panitia pemilihan untuk

mengikuti proses penghitungan suara terkait dengan motif rasional berorientasi

nilai.

Motif rasional berorientasi nilai yang dimiliki oleh panitia pemilihan

menunjukkan bahwa partisipasi panitia pemilihan dalam proses penghitungan

suara masih terkait dengan kewajibannya sebagai panitia pemilihan. Mengikuti

proses penghitungan suara termasuk bagian dari tugas panitia pemilihan. Hal ini

juga masih terkait dengan tujuan panitia pemilihan yang ingin membantu pihak

aparat desa dalam menjalankan pemilihan.

Ikhtisar: Motif-Motif Tindakan Sosial pada Berbagai Bentuk Partisipasi

Politik

Tingkat motif-motif tindakan sosial yang mendasari bentuk-bentuk

partisipasi politik pada pemilihan dapat diidentifikasi. Identifikasi ini pun dapat

mengarahkan pada tinggi atau rendahnya tingkat partisipasi masyarakat pada

setiap bentuk partisipasi politik (Tabel 14). Analisis motif pada bentuk-bentuk

partisipasi politik ini tidak dijelaskan pada masing-masing strata karena tidak ada

perbedaan motif dan bentuk partisipasi politik antara masyarakat strata atas dan

masyarakat strata bawah.

70

Tabel 14 Tingkat kecenderungan motif tindakan sosial pada bentuk-bentuk

partisipasi politik

Motif tindakan

sosial

Bentuk-bentuk partisipasi politik

Penggunaan

hak pilih Kampanye

Panitia

pemilihan

Persuasi

pihak

lain

Proses

penghitungan

suara

Rasional

instrumental

Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah

Rasional

berorientasi

nilai

Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi

Afektif Rendah Rendah Rendah Tinggi Rendah

Tradisional Tinggi Rendah Rendah Rendah Rendah

Kecenderungan

tingkat

partisipasi

Tinggi Rendah Rendah Rendah Rendah

Secara umum, bentuk partisipasi politik yang memiliki tingkat partisipasi

paling tinggi adalah penggunaan hak pilih. Tingginya tingkat partisipasi

masyarakat dalam menggunakan hak pilih dilandasi oleh tingginya motif rasional

instrumental nilai dan motif tradisional yang dimiliki masyarakat. Tingginya motif

rasional instrumental terbukti dari adanya kesadaran masyarakat untuk terlibat

dalam pemilihan. Budaya demokrasi yang diusung oleh pemerintah terlihat sudah

melekat pada masyarakat. Masyarakat berpendapat bahwa menggunakan hak pilih

dalam pemilihan adalah kewajiban sekaligus hak yang perlu dilakukan untuk

negara.

Selain motif rasional berorientasi nilai, motif tradisional pada bentuk

partisipasi politik penggunaan hak pilih juga tinggi. Hal ini terkait dengan

bagaimana masyarakat menentukan pilihannya dalam pemilihan. Secara umum,

masyarakat cenderung memperhatikan agama atau suku kandidat dalam

menentukan pilihan. Motif tradisional ini pun terkait dengan berpengaruhnya

tokoh atau kelembagaan di desa dalam mendukung masyarakat untuk

menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan.

Motif yang mendominasi pada bentuk partisipasi politik kampanye adalah

motif rasional instrumental. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat

dalam kampanye terkait dengan motif ekonomi. Masyarakat yang mengikuti

kampanye adalah masyarakat yang cenderung ingin mendapatkan insentif

daripada mendukung kandidat.

Bentuk partisipasi politik masyarakat sebagai panitia pemilihan dilandasi

oleh motif rasional instrumental yang tinggi. Hal ini terkait dengan motif yang

dimiliki oleh aparat desa dan pihak-pihak terkait dalam menjalankan tugas sebagai

KPPS dan PPS. Partisipasi sebagai panitia pemilihan dianggap sebagai salah satu

kewajiban yang perlu dilakukan sebagai pihak aparat pemerintah desa. Kewajiban

ini juga terkait dengan nilai yang dimiliki oleh aparat desa untuk menjalankan

pesta demokrasi di Indonesia.

Tingkat kecenderungan motif yang tinggi pada bentuk partisipasi politik

mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi adalah motif rasional instrumental

dan motif afektif. Tingginya motif rasional instrumental pada bentuk partisipasi

71

politik ini terjadi pada persuasi yang dilakukan oleh panitia pemilihan kepada

masyarakat untuk menggunakan hak pilih dan mengikuti proses penghitungan

suara. Persuasi ini dilakukan atas dasar mengajak masyarakat untuk terlibat dalam

pemilihan. Hal ini terkait dengan usaha pencapaian target jumlah masyarakat yang

menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan.

Motif afektif pada bentuk partisipasi politik mempersuasi pihak lain terjadi

pada persuasi yang dilakukan oleh masyarakat kepada kerabat atau tetangganya

untuk menggunakan hak pilih dan mengikuti proses penghitungan suara. Persuasi

ini dilakukan oleh masyarakat agar ada teman diskusi ketika menuju TPS atau

ketika mengikuti proses penghitungan suara. Beberapa masyarakat mengaku

merasa takut jika harus ke TPS sendirian.

Tingkat kecenderungan motif yang tinggi pada bentuk partisipasi politik

dalam mengikuti proses perhitungan suara adalah motif rasional berorientasi nilai.

Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi dalam mengikuti proses penghitungan

suara dilandasi oleh nilai-nilai demokrasi pada masyarakat untuk terlibat dalam

proses pemilihan. Motif ini sama dengan motif rasional berorientasi nilai yang

dimiliki masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya.

Secara umum, tidak ada perbedaan motif-motif tindakan sosial dan

perbedaan bentuk-bentuk partisipasi politik antara masyarakat strata atas dan

strata bawah. Stratifikasi sosial tidak berhubungan dengan motif-motif tindakan

sosial pada partisipasi politik, bentuk-bentuk partisipasi politik, serta pengaruh

motif terhadap bentuk-bentuk partisipasi politik. Perbedaan kecenderungan motif

tindakan sosial dan bentuk-bentuk partisipasi politik terlihat pada pihak-pihak

yang menjadi aktor atau elit desa. Tidak adanya perbedaan antara strata atas dan

strata bawah ini dapat disebabkan oleh kesenjangan yang tidak jauh antara

masyarakat strata atas dan strata bawah. Karakteristik antara masyarakat strata

atas dan bawah tidak berbeda jauh. Selain itu, tidak adanya perbedaan ini juga

dapat disebabkan oleh kurang operasionalnya instrumen kuesioner yang

digunakan oleh peneliti.

72

PENUTUP

Simpulan

Terdapat lima bentuk-bentuk partisipasi politik yang dilakukan oleh

masyarakat dalam pemilihan, yaitu partisipasi dalam menggunakan hak pilih,

mengikuti kampanye, menjadi panitia pemilihan, mempersuasi pihak lain untuk

berpartisipasi, serta mengikuti proses penghitungan suara. Masyarakat memiliki

tingkat partisipasi paling tinggi pada bentuk partisipasi dalam menggunakan hak

pilih. Tingkat partisipasi masyarakat dalam bentuk partisipasi lainnya cenderung

rendah. Hal ini terjadi pada strata atas dan bawah pada masyarakat. Tidak ada

perbedaan bentuk-bentuk partisipasi politik dan perbedaan tingkat partisipasi pada

bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat strata atas dan strata bawah.

Motif-motif tindakan sosial yang dapat mendasari bentuk-bentuk partisipasi

politik adalah motif rasional instrumental, motif rasional berorientasi nilai, motif

afektif, dan motif tradisional. Motif pada partisipasi politik yang memiliki tingkat

kecenderungan paling tinggi adalah motif rasional berorientasi nilai. Tingginya

tingkat kecenderungan pada motif rasional berorientasi nilai ini terjadi pada

masyarakat strata atas dan masyarakat strata bawah. Hal ini menunjukkan nilai

demokrasi yang sudah mulai melekat pada masyarakat. Selain itu, motif pada

partisipasi politik yang memiliki tingkat kecenderungan yang tinggi adalah motif

tradisional pada masyarakat strata bawah. Berbeda dengan masyarakat strata

bawah, motif tradisional pada masyarakat strata atas memiliki tingkat

kecenderungan yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat nilai-nilai

tradisional yang dipatuhi oleh masyarakat dalam melakukan partisipasi politik.

Motif-motif lainnya, yaitu motif rasional instrumental dan motif afektif,

pada partisipasi politik masyarakat cenderung rendah, baik masyarakat strata atas

maupun strata bawah. Motif rasional instrumental yang rendah menunjukkan

bahwa partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat tidak terkait dengan

pencapaian nilai-nilai ekonomi. Motif afektif yang rendah menunjukkan bahwa

partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat tidak terkait dengan perasaan

atau emosi masyarakat. Secara umum, tidak ada perbedaan tingkat kecenderungan

motif tindakan sosial pada partisipasi politik antara masyarakat strata atas dan

strata bawah.

Setiap bentuk-bentuk partisipasi politik memiliki kecenderungan motif yang

berbeda. Partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya, menjadi

panitia pemilihan, dan mengikuti proses penghitungan suara cenderung didukung

oleh motif rasional berorientasi nilai. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga bentuk

partisipasi politik tersebut dilakukan atas dasar nilai demokrasi yang sudah mulai

melekat pada masyarakat. Masyarakat menggunakan hak pilihnya karena

kewajiban sekaligus haknya sebagai warga negara. Begitu juga partisipasi

masyarakat dalam proses penghitungan suara. Partisipasi masyarakat sebagai

panitia pemilihan yang pada umumnya dilakukan oleh elit-elit desa pun dilakukan

sebagai salah satu kewajiban yang terkait dengan peran elit desa serta niat untuk

membantu pihak pemerintah desa dalam menjalankan pemilihan di desa.

Bentuk partisipasi politik dalam kampanye cenderung didorong oleh motif

rasional instrumental. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat yang mengikuti

74

kampanye cenderung dilandasi oleh motif pencapaian nilai-nilai ekonomi. Hal ini

terkait dengan insentif yang didapat masyarakat jika mengikuti kampanye.

Berbeda dengan bentuk partisipasi dalam kampanye, bentuk partisipasi

masyarakat dalam mempersuasi pihak lain cenderung dilandasi oleh motif afektif.

Persuasi yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya adalah persuasi untuk

mengikuti pemilihan. Hal ini dilakukan karena masyarakat cenderung takut untuk

pergi ke TPS sendirian. Hal inilah yang terkait dengan motif afektif masyarakat

dalam mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi.

Saran

Dominasi motif rasional berorientasi nilai yang dimiliki oleh masyarakat

untuk terlibat dalam pemilihan menunjukkan bahwa masyarakat sudah memiliki

nilai-nilai demokrasi. Pemerintah perlu memperkuat nilai-nilai ini dalam

masyarakat agar tingkat partisipasi masyarakat semakin tinggi untuk terlibat

dalam pemilihan. Penguatan nilai-nilai demokrasi pada masyarakat ini dapat

dilakukan dengan melakukan sosialisasi pada tingkat keluarga. Sosialisasi dan

penguatan nilai di tingkat keluarga ini selanjutnya dapat meminimalisasi politik

transaksional yang terkait dengan motif-motif ekonomi masyarakat untuk

berpartisipasi pada pemilihan sehingga tercipta Pemilu/Pilkada yang jujur dan

adil. Penguatan nilai ini juga dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam

pemilihan dan mengurangi angka golput.

Sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah perlu melibatkan aktor-aktor

desa, seperti aktor adat dan aktor agama. Hal ini terkait dengan masih kuatnya

nilai-nilai tradisional dalam mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam

pemilihan, terutama pada masyarakat strata bawah. Kuatnya pengaruh aktor-aktor

desa ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mustaqim (2013)

mengenai kuatnya pengaruh kepemimpinan ulama terhadap politik lokal pada

masyarakat pedesaan. Pemimpin-pemimpin lokal perlu menjadi pihak yang ikut

mengawal proses pemilihan secara independent (bebas), tanpa berpihak kepada

siapapun.

Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah penelitian serta dapat

menambah pengetahuan masyarakat mengenai motif-motif yang mendasari

partisipasi politik masyarakat pedesaan pada Pemilihan Umum dan Pemilihan

Kepala Daerah berdasarkan stratifikasi sosial. Peneliti menyadari keterbatasan dan

kekurangan pada penelitian ini, baik dari segi metode penelitian maupun analisis

yang dilakukan terhadap fenomena yang terjadi. Oleh karena itu, diperlukan

penelitian yang lebih menyeluruh dan lebih mendalam untuk meneliti bagaimana

motif-motif tindakan sosial mendasari partisipasi politik masyarakat pada

pemilihan.

DAFTAR PUSTAKA

Bawono M. 2008. Persepsi dan perilaku pemilih terhadap partisipasi politik dalam

pemilihan umum legislatif 2004 di Kabupaten Nganjuk. M’Power.

[Internet]. [dikutip 11 Maret 2013]. 8 (8): 1-17. Dapat diunduh dari:

http://pppm.pasca.uns.ac.id/wp-content/uploads/2012/09/Muhammad-

Bawono.pdf

Bayu A. 2000. Hubungan kondisi sosial ekonomi masyarakat pemukiman dalam

kawasan (enclave) dengan penggunaan lahan di Taman Nasional Gunung

Halimun (Studi kasus di Kampung Ciear, Desa Cisarua, Resort Cigudeg).

[skripsi]. [Internet]. [dikutip 20 Mei 2013]. Bogor [ID]: Institut Pertanian

Bogor. Dapat diunduh dari:

http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/13710/E00ABA1.pd

f

Bungin MB. 2006. Sosiologi komunikasi: Teori, paradigma, dan diskursus

teknologi komunikasi di masyarakat. Jakarta [ID]: Kencana Prenada Media

Group. 395 hal.

Fenyapwain MM. 2013. Pengaruh iklan politik dalam Pemilukada Minahasa

terhadap partisipasi pemilih pemula di Desa Tounelet. Acta Diurna.

[Internet]. [dikutip 15 April 2013]. I (1). Dapat diunduh dari:

http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/actadiurna/article/view/975/790

Gama B, Widarwati NT. 2008. Hubungan antara kampanye kandidat kepala

daerah dan perilaku pemilih partisipasi politik wanita: Studi pada ibu-ibu

rumah tangga dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah di Kabupaten

Sukoharjo. Scriptura. [Internet]. [dikutip 19 April 2013]. 2 (1): 63-80. Dapat

diunduh dari:http://puslit.petra.ac.id/journals/communication/ Hill R. 1998. What sample size is “enough” in internet survey research?. IPCT-

Journal. [Internet]. [dikutip 29 Januari 2014]. 6 (3-4). Dapat diunduh dari:

http://www.reconstrue.co.nz/IPCT-

J%20Vol%206%20Robin%20hill%20SampleSize.pdf

Lindiasari E. 2008. Analisis kemiskinan di tingkat rumah tangga di Kabupaten

Bogor. [skripsi]. [Internet]. [dikutip 8 September 2013]. Bogor [ID]: Institut

Pertanian Bogor. Dapat diunduh dari:

http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/1813/A08eli_abstrac

t.pdf;jsessionid=75D3921A3944757726ACA97F041B0A96?sequence=1

Mustaqim MR. 2013. Pengaruh kepemimpinan ulama terhadap politik lokal

berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat pedesaan. [skripsi]. Bogor [ID]:

Institut Pertanian Bogor. 68 hal.

Parsons T. 1940. An analytical approach to the theory of social.The American

Journal of Sociology. [Internet]. [dikutip 17 Mei 2013]. 45 (6): 841-862.

Dapat diunduh dari: http://docenti.unimc.it/docenti/monica-

raiteri/2009/sociologia-e-politiche-del-controllosociale-2009-

3/stratificazione-sociale/parsons-sulla-stratificazione-

sociale/at_download/file

Sari DM. 2007. Dinamika politik dan kepemimpinan lokal pedesaan Jawa: Studi

kasus Desa Gadingsari, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul, Provinsi

76

Daerah Istimewa Yogyakarta. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian

Bogor. 168 hal.

Sastroatmodjo S. 1995. Perilaku politik. Semarang [ID]: IKIP Semarang Press.

252 hal.

Singarimbun M, Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta [ID]: LP3ES.

334 hal.

Soebagio H. 2008. Implikasi golongan putih dalam perspektif pembangunan

demokrasi di Indonesia. Makara, Sosial Humaniora. [Internet]. [dikutip 11

Maret 2013]. 12 (2): 82-86. Dapat diunduh dari:

http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/2/8141c4beae79dde4e73aa111d63

fbfd369e0bc4d.pdf

Tarigan M. 2009. Partisipasi politik masyarakat Kabupaten Temanggung dalam

pelaksanaan Pilkada tahun 2008. [tesis]. [Internet]. [dikutip 19 April 2013].

Semarang [ID]: Universitas Diponegoro. Dapat diunduh dari:

http://eprints.undip.ac.id/18117/1/MARLINI_TARIGAN.pdf

[UU] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang

Penyelenggara Pemilihan Umum. [Internet]. [dikutip 10 Januari 2014].

Dapat diunduh dari:

http://datahukum.pnri.go.id/index.php?option=com_phocadownload&view=

category&download=1127:uuno15th2011&id=23:tahun-2011&Itemid=27

[UU] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 tentang

Penyelenggara Pemilihan Umum. [Internet]. [dikutip 22 April 2013]. Dapat

diunduh dari: http://www.kpu.go.id/dmdocuments/UU_No.22.pdf

[UU] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintah Daerah. [Internet]. [dikutip 17 Juni 2013]. Dapat diunduh dari:

http://www.kpu.go.id/dmdocuments/UU_32_2004_Pemerintahan%2520Dae

rah.pdf

Wahyudi B. 2007. Partisipasi politik elit politik perempuan Kota Semarang dalam

Pemilu tahun 2004. [skripsi]. [Internet]. [dikutip 15 April 2013]. Semarang

[ID]: Universitas Negeri Semarang. 90 hal. Dapat diunduh dari:

http://lib.unnes.ac.id/3756/1/2054a.pdf

Weber M. 1992. Etika Protestan dan spirit kapitalisme. (Alih bahasa dari bahasa

Inggris oleh Utomo TW dan Sudiarja YP). Yogyakarta [ID]: Pustaka

Pelajar. 418 hal. [Judul asli: The Protestant ethic spirit of capitalism].

Zainuri M. 2007. Partisipasi politik perempuan: Perspektif tradisi Islam lokal

Kudus. [tesis]. [Internet]. [dikutip 19 April 2013]. Semarang [ID]:

Universitas Diponegoro. 187 hal. Dapat diunduh dari:

http://eprints.undip.ac.id/18065/1/M._ZAINURI.pdf

LAMPIRAN

Lampiran 1 Denah lokasi penelitian

78

Lampiran 2 Jadwal pelaksanaan penelitian

Jadwal Pelaksanaan Penelitian

Kegiatan Juni September Oktober November Desember Januari

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Penyusunan

proposal

skripsi

Kolokium

Perbaikan

proposal

skripsi

Pengambilan

data

lapangan

Pengolahan

dan analisis

data

Penulisan

draft skripsi

Sidang

skripsi

Perbaikan

skripsi

79

Lampiran 3 Daftar nama responden penelitian

No Nama Kampung RT RW

1 DDM Leuweung Larangan 1 1

2 RN Leuweung Larangan 1 1

3 UK Leuweung Larangan 3 1

4 DWP Leuweung Larangan 4 1

5 PT Leuweung Larangan 4 1

6 TTN Leuweung Larangan 1 2

7 EKL Leuweung Larangan 2 2

8 MMH Leuweung Larangan 2 2

9 YSY Leuweung Larangan 2 2

10 YT Leuweung Larangan 3 2

11 MMS Lemah Neundeut 2 3

12 YYN Lemah Neundeut 2 3

13 EK Lemah Neundeut 2 3

14 BT Lemah Neundeut 3 3

15 STM Pasir Kuda 1 4

16 MS Pasir Kuda 1 4

17 AR Pasir Kuda 1 4

18 SFD Pasir Kuda 4 4

19 ZBD Pasir Kuda 7 4

20 UJK Ciherang Satim 1 5

21 AP Ciherang Satim 2 5

22 IY Ciherang Satim 2 5

23 MSN Ciherang Satim 3 5

24 IA Ciherang Satim 1 6

25 AA Ciherang Satim 1 6

26 SNH Ciherang Satim 2 6

27 ARY Ciherang Satim 2 6

28 ASY Ciherang Satim 2 6

29 AMA Pasir Tengah 2 7

30 DSA Pasir Tengah 2 7

31 OCH Pasir Tengah 2 7

32 DH Pasir Tengah 2 7

33 NMI Pasir Tengah 1 8

34 SRD Pasir Tengah 2 8

35 RHY Pasir Tengah 2 8

36 IMS Pasir Tengah 3 8

37 EH Pasir Tengah 4 8

80

38 IDP Legok Nyenang 1 9

39 SYH Legok Nyenang 1 9

40 APN Legok Nyenang 2 9

41 DD Legok Nyenang 4 9

42 SI Legok Nyenang 4 9

43 ACN Legok Nyenang 2 10

44 ISH Legok Nyenang 2 10

45 PPT Legok Nyenang 3 10

46 RST Legok Nyenang 3 10

47 SGD Legok Nyenang 4 10

48 DH Legok Nyenang 2 11

49 NHN Legok Nyenang 2 11

50 MMN Legok Nyenang 3 11

51 YT Legok Nyenang 3 11

52 SPR Cipare 1 12

53 JL Cipare 1 12

54 ASY Cipare 2 12

55 SDN Cipare 2 12

56 JHR Cipare 3 12

57 UJH Pancawati 1 13

58 RSA Pancawati 1 13

59 TBY Pancawati 2 13

60 MHN Pancawati 2 13

81

Lampiran 4 Hasil uji korelasi Rank Spearman

Hasil uji SPSS Rank Spearman hubungan antara strata sosial dengan bentuk

partisipasi responden dalam menggunakan hak pilih

Correlations

Bentuk Partisipasi

Penggunaan Hak Pilih Stratifikasi Sosial

Spearman's rho Bentuk Partisipasi Penggunaan Hak Pilih

Correlation Coefficient 1.000 .159

Sig. (2-tailed) . .224

N 60 60

Stratifikasi Sosial Correlation Coefficient .159 1.000

Sig. (2-tailed) .224 .

N 60 60

Hasil uji SPSS Rank Spearman hubungan antara strata sosial dengan bentuk

partisipasi responden dalam kampanye

Correlations

Bentuk Partisipasi Mengikuti Kampanye Stratifikasi Sosial

Spearman's rho Bentuk Partisipasi Mengikuti Kampanye

Correlation Coefficient 1.000 -.056

Sig. (2-tailed) . .671

N 60 60

Stratifikasi Sosial Correlation Coefficient -.056 1.000

Sig. (2-tailed) .671 .

N 60 60

Hasil uji SPSS Rank Spearman hubungan antara strata sosial dengan bentuk

partisipasi responden sebagai panitia pemilihan

Correlations

Bentuk Partisipasi

sebagai Panitia Pemilihan Stratifikasi Sosial

Spearman's rho Bentuk Partisipasi sebagai Panitia Pemilihan

Correlation Coefficient 1.000 -.020

Sig. (2-tailed) . .879

N 60 60

Stratifikasi Sosial Correlation Coefficient -.020 1.000

Sig. (2-tailed) .879 .

N 60 60

82

Hasil uji SPSS Rank Spearman hubungan antara strata sosial dengan bentuk

partisipasi responden dalam mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi

Correlations

Bentuk Partisipasi dalam

Mempersuasi Pihak Lain Stratifikasi Sosial

Spearman's rho Bentuk Partisipasi dalam Mempersuasi Pihak Lain

Correlation Coefficient 1.000 .101

Sig. (2-tailed) . .441

N 60 60

Stratifikasi Sosial Correlation Coefficient .101 1.000

Sig. (2-tailed) .441 .

N 60 60

Hasil uji SPSS Rank Spearman hubungan antara strata sosial dengan bentuk

partispasi responden dalam proses penghitungan suara

Correlations

Bentuk Partisipasi dalam

Proses Penghitungan

Suara Stratifikasi Sosial

Spearman's rho Bentuk Partisipasi dalam Proses Penghitungan Suara

Correlation Coefficient 1.000 -.007

Sig. (2-tailed) . .958

N 60 60

Stratifikasi Sosial Correlation Coefficient -.007 1.000

Sig. (2-tailed) .958 .

N 60 60

Hasil uji SPSS Rank Spearman hubungan antara strata sosial dengan motif

rasional instrumental responden

Correlations

Motif Rasional Instrumental Stratifikasi Sosial

Spearman's rho Motif Rasional Instrumental Correlation Coefficient 1.000 .043

Sig. (2-tailed) . .745

N 60 60

Stratifikasi Sosial Correlation Coefficient .043 1.000

Sig. (2-tailed) .745 .

N 60 60

83

Hasil uji SPSS Rank Spearman hubungan antara strata sosial dengan motif

rasional berorientasi nilai responden

Correlations

Motif Rasional Berorientasi Nilai Stratifikasi Sosial

Spearman's rho Motif Rasional Berorientasi Nilai

Correlation Coefficient 1.000 .049

Sig. (2-tailed) . .710

N 60 60

Stratifikasi Sosial Correlation Coefficient .049 1.000

Sig. (2-tailed) .710 .

N 60 60

Hasil uji SPSS Rank Spearman hubungan antara strata sosial dengan motif afektif

responden

Correlations

Motif Afektif Stratifikasi Sosial

Spearman's rho Motif Afektif Correlation Coefficient 1.000 .083

Sig. (2-tailed) . .527

N 60 60

Stratifikasi Sosial Correlation Coefficient .083 1.000

Sig. (2-tailed) .527 .

N 60 60

Hasil uji SPSS Rank Spearman hubungan antara strata sosial dengan motif

tradisional responden

Correlations

Motif Tradisional Stratifikasi Sosial

Spearman's rho Motif Tradisional Correlation Coefficient 1.000 -.084

Sig. (2-tailed) . .523

N 60 60

Stratifikasi Sosial Correlation Coefficient -.084 1.000

Sig. (2-tailed) .523 .

N 60 60

84

Lampiran 5 Dokumentasi

Kantor Desa Pancawati Kondisi Sawah

Kondisi Jalan Proses Pembangunan Jembatan

Kondisi Rumah Warga Kondisi Rumah Warga

85

Perkebunan Tomat Perkebunan Jagung

Kerja Bakti Warga Petani sedang Bertani

86

RIWAYAT HIDUP

Annisa Maghfirah dilahirkan di Tanjung Morawa pada tanggal 24 Oktober

1992. Penulis adalah anak pertama dari pasangan Bapak Khairuddin dan Ibu

Meichati Syam. Penulis menempuh pendidikan formal sejak di TK Aisyiyah

Medan pada tahun 1997. Pada tahun 1998 penulis menempuh pendidikan formal

di SD Harapan 2 Medan sampai tahun 2004. Kemudian penulis melanjutkan

sekolah ke SMP Negeri 6 Medan selama 3 tahun. Setelah lulus SMP pada tahun

2007, penulis melanjutkan sekolah ke SMA Negeri 2 Medan sampai tahun 2010.

Pada bulan Juni 2010 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Sains

Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut

Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Talenta Masuk (UTM).

Aktivitas penulis selama di IPB tidak hanya di perkuliahan, tetapi juga di

organisasi. Penulis adalah anggota dari Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA)

Ikatan Mahasiswa Muslim Asal Medan (IMMAM) dari tahun 2010 sampai 2011.

Pada tahun 2012, penulis menjabat sebagai Sekretaris Manajemen Public Relation

dalam organisasi Leadership and Entrepreneurship Schools (LES) dan anggota

Divisi Public Relation dalam HIMASIERA (Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-

Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat).

Tidak hanya di organisasi, penulis juga aktif di beberapa kepanitiaan. Pada

tahun 2012 penulis pernah menjabat sebagai anggota Divisi Acara International

Scholarship Education Expo (ISEE), Sekretaris 2 Masa Perkenalan Fakultas

(MPF) FEMA, anggota Divisi Pembimbing Anggota Kelompok (PAK) Masa

Perkenalan Departemen (MPD) SKPM, anggota Divisi Acara Kemah Riset

FEMA, dan anggota Divisi Dana Usaha dan Sponsorship Kunjungan

HIMASIERA. Pada tahun 2011 penulis pernah menjabat sebagai anggota Divisi

Humas dan Sponsorship Pelatihan Public Speaking PRIORITY (Public Speaking

to Research and Broadcast Our Community) HIMASIERA, anggota Divisi

Humas Gebyar Nusantara, Bendahara Divisi Acara Masa Perkenalan Kampus

Mahasiswa Baru (MPKMB) Angkatan 48 IPB, dan Sekretaris Masa Perkenalan

Fakultas Ekologi Manusia Angkatan 48 FEMA.