29
MODUL 33 POST ANESTHESIA CARE UNIT (PACU) Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 2) Sesi di dalam kelas Sesi dengan fasilitasi Pembimbing Sesi praktik dan pencapaian kompetensi 2 X 1 jam (classroom session) 3 X 2 (coaching session) 4 minggu (facilitation & assessment) PERSIAPAN SESI Audiovisual Aid: 1. LCD Projector dan screen 2. Laptop 3. OHP 4. Flipchart 5. Video player Materi presentasi: CD PowerPoint Sarana: 1. Ruang belajar 2. Ruang pemeriksaan 3. Ruang Pulih 4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut Kasus : pasien di ruang PACU Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator Penuntun Belajar : lihat acuan materi Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Modul 33 Pacu

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Modul 33 Pacu

Citation preview

MODUL 33POST ANESTHESIA CARE UNIT (PACU)

Mengembangkan KompetensiWaktu (Semester 2)

Sesi di dalam kelas

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing

Sesi praktik dan pencapaian kompetensi2 X 1 jam (classroom session)

3 X 2 (coaching session)

4 minggu (facilitation & assessment)

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

1. LCD Projector dan screen

2. Laptop

3. OHP

4. Flipchart

5. Video player

Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

1. Ruang belajar

2. Ruang pemeriksaan

3. Ruang Pulih

4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut

Kasus : pasien di ruang PACU

Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006

2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

Selain referensi wajib diatas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari referensi tambahan untuk modul PACU seperti yang diuraikan berikut ini:

1. Chung F. Discharge process. In: Twersky RS, ed. The Ambulatory Anesthesia Handbook. St Louis: Mosby;1995,431-49.

2. Practice Guidelines for Postanesthetic Care. Anesthesiology 2002; 96(3).

TUJUAN UMUM

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola pasien pasca anestesi umum dan regional di PACU, mengetahui kapan pasien dipulangkan (untuk ambulatori), kapan boleh dipindah ke ruangan (untuk pasien rawat inap), serta kapan indikasi masuk ICU, HCU, atau perlu operasi lagi.

TUJUAN KHUSUS

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah berikut ini :

Kognitif

1. Mengetahui alat monitoring dan obat-obatan apa yang perlu di ada di PACU

2. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: obstruksi jalan nafas,

3. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipoksemia

4. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: hiperkarbia.

5. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipotensi.

6. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipertensi.

7. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: aritmia.

8. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: menggigil.

9. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: PONV.

10. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: delirium.

11. Mengetahui komplikasi akibat pemasangan jarum untuk anestesi lokal atau akibat kateternya.

12. Memahami kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 1 (pindah ke ruangan atau ke PACU fase 2).

13. Memahami kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 2 (boleh pulang kerumah).

14. Memahami indikasi pasien harus masuk ke ICU atau HCU.

Psikomotor

1. Mampu melakukan pemantauan pasien PACU dan persiapan obat-obatan yang harus ada di PACU.

2. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: obstruksi jalan nafas,

3. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipoksemia

4. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: hiperkarbia.

5. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipotensi.

6. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipertensi.

7. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: aritmia.

8. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: menggigil.

9. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: PONV.

10. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: delirium.

11. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: akibat penusukan jarum untuk anestesi regional atau kateternya.

12. Mampu menilai kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 1 dengan Modifikasi Aldretes score

13. Mampu menilai kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 2 (boleh pulang kerumah) dengan PADSS score.

14. Mampu menilai kapan pasien harus masuk ke ICU atau HCU.

Komunikasi

1. Berkomunikasi dengan ahli bedah bila terjadi komplikasi yang memerlukan tindakan pembedahan ulang akibat pembedahannya.

2. Berkomunikasi dengan ahli bedah bila terjadi komplikasi yang memerlukan tindakan pembedahan akibat pemasangan jarum atau kateter untuk anestesi regional.

Professionalisme

1. Mampu mengenali dan memahami urgensi dari komplikasi pascabedah.

2. Memberikan pelayanan yang baik untuk pengelolaan postoperatif pasien pascabedah baik yang dilakukan dengan anestesi umum atau anestesi regional.

KEYNOTES:

1. Pasien jangan meninggalkan kamar bedah jika jalan nafas belum stabil, ventilasi dan oksigenasi adekuat, stabil hemodinamik.

2. Menggigil dapat menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen, produksi CO2, dan curah jantung. Efek fisiologis sering kurang dapat ditolerir oleh pasien dengan gangguan fungsi paru dan jantung.

3. Masalah respirasi merupakan hal yang paling sering terjadi, yang dihubungkan dengan obstruksi jalan nafas, hipoventilasi, atau hipoksemia.

4. Hipoventilasi di PACU paling sering disebabkan efek residu obat anestesi

5. Depresi sirkulasi, atau asidosis berat merupakan indikasi untuk dilakukan intubasi pada pasien yang mengalami hipoventilasi.

6. Hipovolemia merupakan penyebab paling sering dari hipotensi di PACU

7. Nyeri dari daerah insisi, intubasi endotrakheal, distensi kandung kemih merupakan penyebab hipertensi.

8. Pemulihan di PACU berdasarkan Modifikasi Aldret score

9. Pemulangan pasien kerumahnya berdasarkan kriteria PADSS

GAMBARAN UMUM

Untuk dapat mengelola pasien di PACU diperlukan pengetahuan dan ketrampilan dalam membuat design PACU, emergens dari anestesi umum, transportasi dari OK, pemulihan dari anestesi umum, pemulihan dari anestesi regional, pengelolaan nyeri, agitasi, PONV, menggigil dan hipotermi, kriteria pemulangan dari PACU ke ruangan, kriteria pemulangan dari RS ke rumah, pengelolaan komplikasi obstruksi jalan nafas, hipoventilasi, hipoksemia, hipotensi, hipertensi, aritmia.

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola pasien pasca anestesi umum dan regional di PACU, mengetahui kapan pasien dipulangkan (untuk ambulatori), kapan boleh dipindah ke ruangan (untuk pasien rawat inap), serta kapan indikasi masuk ICU, HCU, atau perlu operasi lagi.

METODE PEMBELAJARAN

Peserta didik sudah harus mempelajari:

1. Bahan acuan (references)2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran

3. Ilmu klinis dasar

Tujuan 1: mampu mengelola pasien pasca anestesi umum dan regional di PACUMetode pembelajaran

1. Small group discussion

2. Peer assisted learning (PAL)

3. Bedside teaching

4. Task-based medical education

Tujuan 2: mengetahui kapan pasien dipulangkan (untuk ambulatori)

Metode pembelajaran

1. Small group discussion

2. Peer assisted learning (PAL)

3. Bedside teaching

4. Task-based medical education

Tujuan 2: kapan boleh dipindah ke ruangan (untuk pasien rawat inap)

Metode pembelajaran

1. Small group discussion

2. Peer assisted learning (PAL)

3. Bedside teaching

4. Task-based medical education

MEDIA

1. Papan tulis

2. Komputer

3. LCD dan slide projector4. Pasien di kamar bedah dan PACU

ALAT BANTU PEMBELAJARAN1. Virtual patients

2. Reading assigment

3. Audiovisual

4. Perpustakaan, internet, skill lab

EVALUASI1. Kognitif :

EMQ (Extended Medical Question)

Multiple observations and assessments

Multiple observers/raters

OSCE (Objective Structure Clinical Examination)

Minicheck

2. Skill/psikomotor :

Multiple observations and assessments

Multiple observers

OSCE

Minicheck

3. Communication and Interpersonal Skills

Multiple Observations and assessments

Multiple observers/rater

4. Professionalism

Multiple Observations and assessments

Multiple observers/rater

Pretest

1. Jelaskan tentang alat pantau dan obat-obatan apa yang diperlukan di PACU!

2. Bagaimana cara mendesign PACU?

3. Jelaskan tentang komplikasi yang sering terjadi di PACU dan cara mengatasinya!

4. Jelaskan tentang kriteria Modifikasi Aldretes score!

5. Jelaskan tentang kriteria pemulangan pasien dengan PADSS!

6. Jelaskan pasien yang bagaimana yang harus masuk ICU padahal sebelumnya tidak direncanakan masuk ICU!

Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).

Bentuk ujian :

Ujian akhir rotasi (post test tulis dan ujian pasien)

Ujian akhir profesi (lisan/ujian nasional)

Bisa dalam bentuk :

1. Kognitif

a. EMQ (Extended Medical Question)

b. Multiple observation and assessmentsc. Multiple observersd. OSCE (Objective Structure Clinical Examination)

e. Minicheck2. Skill/psikomotor

a. Multiple observation and assessmentsb. Multiple observersc. OSCE (Objective Structure Clinical Examination)

d. Minicheck3. Affective : Professionalism, Communication and Interpersonal Skills

a. Multiple observation and assessmentsb. Multiple observers

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No

Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia

Sudah dilakukan

Belum dilakukan

PENGENALAN KOMPLIKASI

1

Pemasangan monitor

2

3.

menilai dan mengatasi komplikasi obstruksi jalan nafas,

menilai dan mengatasi komplikasi hipoksemia

4

menilai dan mengatasi komplikasi hiperkarbia.

5

menilai dan mengatasi komplikasi hipotensi.

6

menilai dan mengatasi komplikasi hipertensi.

7

menilai dan mengatasi komplikasi: aritmia.

8

menilai dan mengatasi komplikasi menggigil.

9

menilai dan mengatasi komplikasi PONV.

10

menilai dan mengatasi komplikasi delirium.

11

menilai dan mengatasi komplikasi akibat penusukan jarum untuk anestesi regional atau kateternya.

12

menilai kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 1 dengan Modifikasi Aldretes score13

menilai kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 2 (boleh pulang kerumah) dengan PADSS score.

14

menilai kapan pasien harus masuk ke ICU atau HCUCatatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

DAFTAR TILIK

Berikan tanda ( dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan, dan berikan tanda ( bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan(MemuaskanLangkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau penuntun

(Tidak memuaskanTidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur standar atau penuntun

T/DTidak diamatiLangkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik

Tanggal

Nama pasien

No Rekam Medis

DAFTAR TILIK

No

Kegiatan / langkah klinik

Kesempatan ke

1

2

3

4

5

Peserta dinyatakan :

( Layak

( Tidak layak

melakukan prosedur

Tanda tangan pelatih

Tanda tangan dan nama terang

MATERI ACUAN

Definisi Pemulihan

Pemulihan adalah proses yang kontinu dan proses tersebut secara tradisional dibagi dalam 3 bagian yang saling tumpang tindih: early recovery, saat pasien bangun dari anestesi; intermediate recovery, bila pasien mencapai kriteria boleh pulang, dan late recovery bila pasien kembali ke keadaan fisiologis seperti sebelum operasi.

Early recovery (phase 1) dimulai dari saat dihentikannya obat anestesi supaya pasien bangun, pulih refleks proteksi jalan nafas, dan kembalinya aktivitas motorik. Fase ini biasanya terjadi di PACU dengan pengawasan ketat dan supervisi perawat. Aldrete merancang suatu sistem skoring untuk menentukan kapan pasien fit untuk keluar dari PACU. Nilai skoring 0, 1, atau 2 ditujukan untuk aktivitas motorik, respirasi, sirkulasi, kesadaran, dan warna. Total skor maksimalnya 10. Penggunaan pulse oximetri dapat menolong lebih akuratnya indikator oksigenasi, dan diusulkanlah suatu Modifikasi Skoring Aldrete yang mengganti kriteria warna pada Aldrete skor dengan SpO2 pada Modifikasi Aldrete Skoring sistem. Bila pasien mencapai skor ( 9, pasien tersebut cukup fit untuk dipindahkan ke ruang pulih fase 2 dimana fase 2 recovery terjadi sampai mencapai kriteria untuk dipulangkan. Phase 3 recovery terjadi setelah keluar dari RS dan berlangsung sampai pasien mampu melakukan aktivitas sehari-hari.

Tabel 1: Aldrete Scoring System dan Modifikasi Aldrete Scoring System

untuk menentukan kapan pasien siap keluar dari PACU.

Tabel 2. Criteria for Fast Tracking and Discharge

Post Anesthesia Recovery Score

(Modified Aldrete Score)

Activity

2=Moves all extremities voluntarily or on command.

1=moves two extremities

0=unable to move extremities

Respiration

2=breathes deeply & cough freely

1=dyspneic, shallow or limited breathing.

0=apneic

Circulation

2=BP(20 mm of preanesthetic level

1=BP(20-50 mm of preanesthetic level

0=BP(50 mm of preanesthetic level

Oxygen saturation

2=SpO2 > 92% on room air

1=Supplemental O2 req to maintain SpO2 > 90%

0=SpO2 30% of baseline MAP value

2

1

0

Respiratory stability

Able to breathe deeply

Tachypnoe with good cough

Dyspneic with weak cough

2

1

0

Oxygen saturation status

Maintains value >90% on room air

Requires supplemental oxygen (nasal prong)

Saturation < 90% with supplemental oxygen

2

1

0

Postoperative pain assessment

None or mild discomfort

Moderate to severe pain controlled with iv analgesics

Persistent severe pain

2

1

0

Postoperative emetic symptoms

None or mild nausea with no active vomiting

Transient vomiting or retching

Persistent moderate to severe nausea and vomiting

2

1

0

Total score

14

MAP=mean arterial pressure

Definisi Postanesthetic care: Kepustakaan tidak memberikan standar definisi postanesthetic care. Pada Practice Guidelines, postanesthetic care dihubungkan dengan aktivitas yang dilakukan untuk mengelola pasien setelah selesainya operasi dan anestesi.

Adanya Practice Guideline for Post Anesthetic Care (PGPAC) ini bertujuan untuk memperbaiki outcome postanesthetic care yang diberikan anestesi atau sedasi dan analgesi. Hal ini dilaksanakan dengan mengevaluasi bukti-bukti dan memberikan rekomendasi untuk penilaian pasien, pemantauan, dan pengelolaan dengan sasaran optimalisasi keselamatan pasien. Diharapkan bahwa setiap rekomendasi akan individual bergantung pada kebutuhan setiap pasien.

Fokus dari Guidelines pada pengelolaan pasien perioperatif dengan sasaran memperbaiki kualitas hidup post anestesia, mengurangi efek yang tidak diinginkan pascabedah, memberikan penilaian pemulihan pasien yang seragam, dan pelurusan kriteria postoperative care dan discharge. Guidelines ini diperuntukan untuk semua umur yang telah mendapat anestesi umum, anestesi regional, sedasi sedang dan dalam. Guidelines ini mungkin perlu dimodifikasi untuk pasien anak atau geriatri. Guidelines ini tidak ditujukan untuk pasien yang dilakukan infiltrasi anestesi lokal tanpa sedasi, pasien yang menerima sedasi minimal, dan pasien yang harus dirawat di ICU .

Penilaian dan pemantauan pasien perioperatif terlihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 4. Summary of recommendations for Assessment and Monitoring Routine

Selected patients

Respiratory

Respiratory rate

Airway patency

Oxygen saturation

Cardiovascular

Pulse rate

Blood pressure

Electrocardiogram

Neuromuscular

Physical examination

Neuromuscular blockade

Nerve stimulator

Mental Status

Temperature

Pain

Nausea and Vomiting

Urin

Voiding

Output

Drainage and bleeding

Pengelolaan perioperatif dan postanesthetic pasien termasuk penilaian secara periodik dan pemantauan dari fungsi respirasi dan kardiovaskuler, neuromuskuler, status mental, temperatur, nyeri, mual dan muntah, drainase dan perdarahan, serta urin.

Fungsi respirasi: literatur menunjukkan bahwa penilaian dan pemantauan fungsi respirasi selama pemulihan, dengan pulse oksimetri, dapat mendeteksi secara dini adanya hipoksemia. Penilaian dan pemantauan secara periodik/ berkala dari patensi jalan nafas, frekuensi nafas, SpO2 harus dilakukan pada emergence dan pemulihan.

Fungsi kardiovaskuler: pemantauan denyut nadi, tekanan darah, elektrokardiografi dapat mendeteksi komplikasi kardiovaskuler, mengurangi outcome yang buruk, dan harus dilakukan selama emergence dan pemulihan.

Dari tabel diatas yang rutin berarti harus dilakukan secara rutin pada semua kasus sedangkan selected patient tidak selalu dilakukan bergantung pada kasusnya, jadi bersifat individual.

Pemulangan Pasien

Program bedah rawat jalan yang sukses tergantung pada pemulangan pasien yang tepat waktu setelah anestesi. Chung dkk membuat sistim skoring yang disebut PADSS (Postanesthesia discharge scoring system) yang secara objektif menilai ke fit-an pasien untuk dipulangkan. Untuk menjamin pendelegasian yang aman pada perawat, suatu sistem skoring harus praktis, simpel, mudah untuk diingat, dan tidak membebani perawat. PADSS berdasarkan 5 kriteria yaitu: 1) tanda vital (tekanan darah, denyut jantung, frekuensi nafas, temperatur), 2) ambulasi 3) mual/muntah, 4) nyeri dan 5) perdarahan akibat pembedahan (lihat tabel). Bila skor mencapai ( 9, pasien cukup aman untuk dipulangkan kerumah. Chung mendemonstrasikan bahwa dengan menggunakan PADSS pasien dapat dipulangkan dalam waktu 1-2 jam pascabedah.

Sebelum ada (PGPAC), ada beberapa cara untuk pemulangan pasien yang aman antara lain:

Table 5. Guidelines for Safe Discharge After Ambulatory Surgery.

Vital signs must have been stable for at least 1 hour

The patient must be

Oriented to person, place, and time

Able to retain orally administered fluids

Able to void

Able to dress

Able to walk without assistance

The patients must not have

More than minimal nausea and vomiting

Excessive pain

Bleeding

The patient must be discharge by both the person who administered

anaesthesia and the person who performed surgery, or by their designates.

Written instruction for the postoperative period at home, including a

contact place and person, must be reinforced.

The patient must have a responsible, vested adult escort them home and

stay with them at home.

Tabel 6: PADSS untuk menentukan kesiapan pasien

dipulangkan kerumah.

Setelah dibuat PGPAC lalu dilakukan modifikasi dari PADSS seperti terlihat dibawah ini:

Tabel 7: Modified PADSS untuk menentukan kesiapan pasien

dipulangkan kerumah.

Dapatkah pasien aman dipulangkan tanpa toleransi terhadap cairan peroral?

Di masa lalu, klinisi enggan untuk memulangkan pasien kerumahnya bila tidak bisa minum karena adanya mual atau alasan lainnya. Kepustakaan tidak cukup untuk mengevaluasi keuntungan minum cairan sebelum pulang. Schreiner dkk meneliti anak dan menemukan lebih tingginya kejadian mual dan lambat pulang pada yang disuruh minum daripada yang minum bila merasa haus .

PGPAC merekomendasikan bahwa minum pascabedah tidak dimasukkan kedalam protokol kriteria pemulangan pasien dan hanya diperlukan pada pasien tertentu. Karena itu, staf medis dan perawat harus berfikir bahwa minum bukan merupakan prasyarat untuk pemulangan pasien sehingga protokol untuk pemulangan pasien harus dimodifikasi.

Apakah Voiding/kencing diperlukan sebelum dipulangkan?

Voiding umumnya dipertimbangkan sebagai syarat mutlak untuk pulang setelah operasi rawat jalan untuk mencegah berkembangnya retensi urin setelah pasien dipulangkan. Tuntutan bahwa pasien harus kencing sebelum dipulangkan mungkin tidak perlu memperpanjang lama tinggal di RS. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan urin telah dilaporkan memperlambat kepulangan pada 5-19% pasien setelah bedah rawat jalan.

Retensi urin pascabedah dapat disebabkan inhibisi refleks kencing akibat manipulasi bedah, pemberian cairan yang berlebihan sehingga menyebabkan distensi kandung kemih, nyeri, kecemasan, atau efek sisa dari anestesi spinal atau epidural. Faktor resiko untuk retensi urin adalah ada riwayat retensi urin, anestesi spinal/epidural, operasi pelvik atau urologi, katerisasi perioperatif. PGPAC merekomendasikan bahwa urinasi sebelum pasien dipulangkan tidak merupakan bagian dari protokol pemulangan pasien dan mungkin hanya diperlukan untuk untuk pasien tertentu. Bila voiding merupakan bagian dari pemulihan, pasien dapat dipulangkan dengan instruksi yang jelas untuk minta pertolongan apabila tidak bisa kencing dalam 6-8 jam pascabedah.

Pemulangan pasien setelah Anestesi Regional

Sejumlah teknik anestesi regional dapat dipakai untuk bedah rawat jalan mulai dari anestesi spinal sampai ke blok ekstrimitas. Pasien yang dilakukan anestesi regional mempunyai kriteria pemulangan yang sama dengan pasien yang di anestesi umum.

Anestesi Spinal

Anestesi spinal sering digunakan untuk bedah rawat jalan dan mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan anestesi umum yaitu lebih rendahnya kejadian PONV, ngantuk, dan nyeri pascabedah. Disamping keuntungan tsb, anestesi spinal bukannya tanpa masalah. Lidokain adalah obat yang populer untuk anestesi spinal akan tetapi mempunyai masalah dengan terjadinya TNS (transient neurologic symptom). TNS jelas dihubungkan dengan pemberian lidokain intratekal dan kejadiannya bervariasi dari 16% sampai 40%.

Penelitian menunjukkan perbedaan pendapat. Vaghadia dkk menemukan bahwa anestesi spinal dengan lidokain memperlambat pemulihan, peneliti yang lain mengatakan pemulangan pasien dengan anestesi spinal lebih cepat daripada anestesi umum. Wong dkk menemukan bahwa pemulangan pasien sama antara spinal dan anestesi umum pada pasien yang mengalami antroskopi.

Akibat adanya kekhawatiran kemungkinan efek neurotoksik dari lidokain membawa minat kearah pemilihan obat anestesi lokal yang lain. Bupivakain merupakan alternatif lain dari lidokain, akan tetapi mempunyai lama kerja yang lebih panjang, yang memungkinkan akan memperlambat pemulangan pasien. Berbagai usaha dilakukan untuk mengurangi dosis bupivakain yang diperlukan untuk anestesi dengan harapan pemulihannya cepat. Dosis kecil bupivakain 4-8 mg dapat digunakan untuk mencapai pemulangan yang sama dengan spinal lidokain. Penambahan fentanyl menyebabkan sinergistik analgesia dan dapat mengurangi dosis bupivakain, lebih cepatnya ambulasi, dan mengurangi resiko retensi urin. Banyak penelitian yang mendukung hal ini (misalnya tambahkan 10 ug fentanyl pada 5mg bupivakain). Sebelum pasien diperbolehkan berjalan, penting untuk menilai apakah motor blok telah regresi. Bila sensasi perianal (S4-5) normal, pleksi plantar, propriosepsi pada ibu jari kaki, pasien aman untuk dimulainya ambulasi.

Faktor yang memperlambat Pemulangan Pasien

Tujuan suksesnya unit ambulatory adalah pemulangan pasien yang aman tepat waktu. Ada beberapa faktor yang memperlambat waktu pemulangan pasien. Meningkatnya umur dihubungkan dengan lambatnya pemulihan, suatu perbedaan umur 10 tahun dihubungkan dengan 2% perubahan lama tinggal. Operasi THT, strabismus, congestive heart failure merupakan prediktor prabedah yang penting untuk lambatnya pemulangan. Faktor intraoperatif adalah anestesi umum, operasi yang lama, adanya kejadian kardiak intraoperatif. Nyeri pascabedah dan PONV juga merupakan faktor yang memperlambat pemulangan pasien, selain itu kadang-kadang masalah logistik akan memperlambat pemulangan pasien.

Nyeri pascabedah dan PONV adalah 2 faktor utama yang memperlambat pemulihan.

Nyeri

Dalam usaha untuk mempertahankan keuntungan dari obat anestesi yang baru, spesialis anestesi harus mengembangkan untuk pengelolaan nyeri pascabedah yang efektif, yang harus dipikirkan sejak saat prabedah. Analgesi harus dimulai di kamar bedah dan dilanjutkan dengan lebih agresif saat pascabedah. Jenis obat, saatnya pemberian obat, dan dengan mempertimbangkan faktor emosional yang akan menambah nyeri, adalah elemen penting untuk keberhasilan terapi nyeri.

Opioid masih merupakan obat yang paling umum digunakan untuk nyeri pascabedah, akan tetapi, adanya efek samping seperti depresi nafas, sedasi, PONV akan mengurangi keuntungan opioid untuk analgesi pascabedah. Keadaan ini yang menyebabkan berkembangnya pemakaian NSAID pada pasien bedah rawat jalan.

Untuk pengobatan nyeri akut pascabedah, dibandingkan ketorolac, fentanyl memberikan hasil yang unggul dalam 15 menit pertama, karena itu, kedua kelompok obat (opioid dan opioid) memberikan hasil yang efektif. Ketorolac 30-60 mg (0,5-2mg/kg) memberikan hasil yang efektif, akan tetapi, gejala mual kurang daripada opioid, dan adanya peningkatan perdarahan akan membatasi pemakaian ketorolac pada beberapa kasus bedah.

Salah satu kriteria utama dari ambulatori adalah nyeri pascabedah yang minimal yang dapat dikendalikan dengan analgesik per oral. Walaupun banyak cara dalam memberikan analgesia, nyeri masih merupakan alasan umum pasien lambat dipulangkan, untuk kontak dengan dokter keluarga, dan untuk menjadi dirawatnya pasien yang direncanakan bedah rawat jalan.

Untuk dapat mengobati nyeri secara efektif, harus mengerti tentang pola nyeri dan membatasi setiap faktor yang menimbulkan nyeri hebat. Chung dan Mezei meneliti 10.008 pasien bedah rawat jalan untuk mengidentifikasi faktor resiko untuk nyeri hebat. Operasi ortopedi mempunyai kejadian paling tinggi untuk nyeri hebat pascabedah, terutama operasi bahu dan pengangkatan metal. Lama operasi juga mempunyai pengaruh untuk terjadinya nyeri pascabedah. Bila lama operasi lebih dari 90 menit, 10% pasien akan mengalami nyeri hebat. Bila operasi melebihi 120 menit, 20% pasien akan mengalami nyeri hebat.

Pengelolaan nyeri pascabedah harus dimulai intraoperatif atau idealnya prabedah untuk menjamin pemulihan yang bebas nyeri. Pendekatannya harus multimodal, menggunakan NSAIDs, opioid, dan anestesi lokal. Harus diingat bahwa NSAIDs perlu waktu sekitar 30 menit untuk menjadi effektif dan sediaan parenteral lebih mahal daripada sediaan per oral.

PONV

PONV masih merupakan masalah yang umum setelah bedah rawat jalan, dan kejadiannya sekitar 20-30% setelah pemberian anestesi umum dan dilaporkan masih terjadi pada 35% pasien setelah dipulangkan kerumah, sehingga mencegah PONV merupakan prioritas bagi pasien. Chung menunjukkan bahwa PONV adalah satu faktor paling penting yang menyebabkan pasien bedah rawat jalan lambat dipulangkan.

Untuk mengelola pasien lebih efektif, Apfel dkk membuat suatu sistem skoring untuk resiko terjadinya PONV yang terdiri dari 4 kategori yaitu : jenis kelamin wanita, ada riwayat PONV dan mabuk perjalanan, tidak merokok, dan penggunaan opioid pascabedah. Bila satu, dua, tiga, atau empat faktor tersebut ada maka kejadian PONV adalah 10%, 20%, 39%, dan 79%. Prosedur bedah yang lama dan jenis operasi tertentu akan menyebabkan lebih tingginya resiko terjadinya PONV. Kejadian PONV yang tinggi terjadi pada operasi intraabdominal, operasi ginekologis besar, laparoskopi, operasi payu dara, mata, dan THT. Disebabkan karena bila telah terjadi PONV biaya akan lebih mahal daripada pencegahan, maka identifikasi faktor prediktor terjadinya PONV sangat penting sehingga dapat diberikan terapi profilaksis.

Dibandingkan dengan plasebo, dexamethason 10 mg secara nyata mengurangi PONV dari 73% menjadi 34% dalam 24 jam setelah laparoskopi. Dexamethason 4 mg sebanding dengan ondansetron 4 mg setelah operasi ginekologis rawat jalan. Dalam suatu metaanalisis, Henzi dkk melaporkan dexamethason terutama efektif melawan late PONV. Kombinasi droperidol dan ondansetron dapat mengurangi kejadian PONV sampai 90%, karena droperidol lebih baik dalam melawan nausea daripada emesis, sedangkan 5HT3 antagonis lebih menguntungkan untuk melawan emesis daripada nausea.

PONV tidak hanya terjadi di PACU, akan tetapi, dapat saja terjadi pada pasen rawat inap setelah kembali ke ruangan atau pasien rawat jalan setelah pasien pulang kerumahnya. Sebelum itu, sedikit perhatian untuk mengendalikan PONV setelah pasien dipulangkan kerumah. Pemberian ondansetron sebelum pasien dipulangkan akan mengurangi kejadian PONV setelah pasien dipulangkan kerumah. Pasien dengan resiko besar untuk terjadi PONV seperti laparoskopi, strabismus sebaiknay diberikan ondansetron sesaat sebelum pasien dipulangkan. Profilaksis antiemetik dengan intravena droperidol 0,625 mg, ondansetron 4 mg, metoclopramide 10 mg, dexamethason 150 uk/g atau sampai 8 mg iv efektif untuk mencegah PONV.

Pada tanggal 5 Desember 2001, FDA menyatakan peringatan black box untuk droperidol. Hal ini disebabkan karena adanya kematian tiba-tiba pada dosis tinggi droperidol (>25 mg) pada kasus psikiatri, adanya resiko aritmia jantung. Peringatan ini berdasarkan pada 9 laporan kasus. Pada 7 laporan dimana diberikan 2,5 mg droperidol, 4 orang meninggal sedangkan 3 orang lagi dapat selamat setelah terjadi henti jantung. Henti jantung juga terjadi pada 2 pasien yang diberi droperidol dengan dosis 1 mg, dimana 1 pasien meninggal. Oleh karena itu, sebaiknya tidak memberikan droperidol untuk terapi PONV.

Table 9. Summary of Treatment recommendation

Prophylaxis and treatment of PONV

Antiemetic agent (5-HT3 antagonist, droperidol, dexamethason, metoclopramide) may be use for prophylaxis or treatment when indicated.

Multiple agent maybe use for prophylaxis or treatment when indicated.

Other antiemetic or nonpharmacologic agent maybe use for treatment when indicated, although the evidence supporting their use is less robust.

Supplemental oxygen

Supplemental

Fluid administration and management

Normalizing patient temperature

Pharmacologic agent for the reduction of shivering

Antagonism of the effects of sedatives, analgesics, and neuromuscular block

Faktor Lain yang memperlambat pemulangan

Simptom yang lain seperti adanya nyeri tenggorokan, sakit kepala, ngantuk, pusing dapat terjadi setelah anestesi bedah rawat jalan. Teknik yang sederhana, seperti hidrasi perioperatif dengan 20 ml/kg BB cairan intravena akan mengurangi simptom pascabedah seperti rasa haus, nausea, pusing, ngantuk sampai 24 jam pascabedah. Penelitian pada 5264 pasien menunjukkan kejadian sore throat sekitar 12,1%. Faktor yang menimbulkan kejadian sore throat adalah intubasi endotrakheal, jenis kelamin wanita, pasien muda, penggunaan suksinilkholin, operasi ginekologis.

Wu dkk meneliti simptom keseluruhan setelah pasien dipulangkan dan kejadiannya kira-kira 45% untuk nyeri, 17% untuk mual, 8% untuk muntah, simptom lainnya adalah ngantuk, pusing, dan lemah.

Pesan/instruksi pada pasien sebelum dipulangkan

Pasien bedah rawat jalan harus disertai orang dewasa yang bertanggung jawab membawanya pulang dan menjaganya dirumahnya karena akan mengurangi kejadian adanya efek yang tidak diinginkan, meningkatkan kenyamanan pasien. Dianjurkan pasien harus diberikan instruksi tertulis tentang prosedur diet, obat, aktivitas, dan nomor telepon bila ada kejadian emergensi. Pasien secara rutin diminta untuk tidak minum alkohol, menyetir, membuat keputusan penting dalam 24 jam. Pasien jangan menyetir untuk 24 jam bila dianestesi kurang dari 1 jam, bila lama anestesi 2 jam atau lebih, pasien tidak boleh nyetir sampai 48 jam, ini bila dianestesi dengan pentotal dan halotan. Dengan adanya obat anestesi yang baru yaitu Propofol, sevofluran, desfluran, remifentanyl maka penelitian Sinclair dengan simulator nyetir menyebutkan bahwa hanya perlu 3 jam.

Harus diingat faktor kenyamanan pasien merupakan salah satu tujuan utama bedah rawat jalan. Faktor yang menentukan kenyamanan pasien adalah keramahan personil kamar bedah, diskusi ahli bedah dengan pasien tentang apa yang ditemukan saat pembedahan, pengelolaan PONV dan nyeri pasca bedah, pemasangan jalur vena yang lancar, dan hindari keterlambatan.

Simpulan

1. Bedah rawat jalan menguntungkan karena lebih murah dibandingkan dengan bedah rawat inap, juga menguntungkan untuk pasien dan keluarganya.

2. Pemantauan di PACU (Pemulihan Phase I/early recovery) dengan Modifikasi sistem Aldrete Skoring dan pasien boleh keluar PACU atau kamar bedah bila skor mencapai 9 atau lebih.

3. Pemantauan di ruang pulih phase II (intermediate recovery) dengan PADSS dan pasien boleh dipulangkan bila sudah mencapai skore 9 atau lebih.

4. Kejadian PONV dan nyeri pascabedah masih merupakan masalah utama yang dapat dikurangi dengan perencanaan anestesi yang tepat.

5. Instruksi pada yang diberikan pada pasien saat dipulangkan harus jelas dan tertulis.

1. Referensi :

2. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006

3. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

_1137239672.ppt

_1137239718.ppt

AFTER GUIDELINES

_1137239618.ppt