Upload
ali-murfi
View
14.335
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Dilihat dari segi pendidikan, keluarga merupakan satu kesatuan hidup
(sistem sosial), dan keluarga menyediakan situasi belajar.
Sebagai satu kesatuan hidup bersama (sistem sosial), keluarga dapat
berbentuk keluarga inti (nucleus family), terdiri dari ayah, ibu dan anak.
Ataupun keluarga yang diperluas (disamping inti, ada orang lain: kakek/nenek,
adik/ipar, pembantu, dan lain-lain). Ikatan kekeluargaan membantu anak
mengembangkan sifat persahabatan, cinta kasih, hubungan antar pribadi, kerja
sama, disiplin, tingkah laku yang baik, serta pengakuan akan kewibawaan.1
Sementara itu, yang berkenaan dengan keluarga menyediakan situasi
belajar, dapat dilihat bahwa bayi dan anak sangat bergantung kepada orang tua,
baik karena keadaan jasmaniahnya maupun kemampuan intelektual, social, dan
moral. Bayi dan anak belajar menerima dan meniru apa yang diajarkan oleh
orang tua.2
Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka,
karena dari merekalah anak mula-mula menerima pendidikan. Dengan
demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan
keluarga. Orang tua dikatakan pendidik pertama karena dari merekalah anak
mendapatkan pendidikan untuk pertama kalinya dan dikatakan pendidik utama
karena pendidikan dari orang tua menjadi dasar bagi perkembangan dan
kehidupan anak dikemudian hari.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Dra.Kartini Kartono, “keluarga
merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat ia belajar dan
menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Dalam keluarga umumnya anak ada
dalam hubungan interaksi yang intim. Keluarga memberikan dasar
pembentukan tingkah laku, watak, moral, dan pendidikan anak.”3
1 Kewibawaan adalah pengakuan dan penerimaan secara sukarela terhadap pengaruh atau anjuran yang datang dari orang lain.
2 Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan:(Umum dan Agama Islam), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 87.
3 Kartini Kartono, Peran Keluarga Memandu Anak, (Jakarta : Rajawali Press, 1992), Cet.ke 2, hlm.19
1
Masalah anak-anak dan pendidikan adalah suatu persoalan yang sangat
menarik bagi seorang pendidik dan ibu-ibu yang setiap saat menghadapi anak-
anak yang membutuhkan pendidikan. Mengasuh dan membesarkan anak berarti
memelihara kehidupan dan kesehatanya serta mendidiknya dengan penuh
ketulusan dan cinta kasih. Secara umum tanggung jawab mengasuh anak adalah
tugas kedua orang tuanya. Firman Allah SWT yang menunjukkan perintah
tersebut adalah
Hai orang-orang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.
(Q.S At-Tahrim: 6)
Pengertian mengasuh anak adalah mendidik, membimbing,
memeliharanya, mengurus makanan, minuman, pakaian, kebersihanya, atau
pada segala perkara yang seharusnya diperlukanya, sampai batas bilamana si
anak telah mampu melaksanakan keperluanya yang vital, seperti makan,
minum, mandi dan berpakaian.4
Anak lahir dalam pemeliharaan orang tua dan dibesarkan dalam keluarga.
Orang tua bertugas sebagai pengasuh, pembimbing, pemelihara, dan sebagai
pendidik terhadap anak-anaknya menjadi manusia yang pandai, cerdas dan
berakhlakul karimah. Akan tetapi banyak orang tua yang tidak menyadari
bahwa cara mereka mendidik membuat anak merasa tidak diperhatikan, dibatasi
kebebasanya, bahkan ada yang merasa tidak disayang oleh orang tuanya.
Perasaan-perasaan itulah yang banyak mempengaruhi sikap, perasann, cara
berfikir, bahkan kecerdasan mereka.
Keluarga adalah koloni terkecil terkecil di dalam masyarakat dan dari
keluargalah akan tercipta pribadi-pribadi tertentu yang akan membaur dalam
satu masyarakat. Lingkungan keluarga sering disebut sebagai lingkungan
pendidikan informal yang mempengaruhi berbagai aspek perkembangan anak.
Adakalanya ini berlangsung melalui ucapan-ucapan, perintah-perintah yang
diberikan secara langsung untuk menunjukkan apa yang seharusnya
diperlihatkan atau dilakukan anak. Adakalanya orang tua bersikap atau
4 Umar Hasyim, Anak Soleh (Cara Mendidik Anak dalam Islam), (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993), Jilid 2, hlm. 86
2
bertindak sebagai patokan, sebagai contoh agar ditiru dan apa yang ditiru akan
meresap dalam dirinya. Dan menjadi bagian dari kebiasaan bersikap dan
bertingkah laku atau bagian dari kepribadianya. Orang tua menjadi factor
terpenting dalam menanamkan dasar kepribadian tersebut yang turut
menentukan corak dan gambaran kepribadian seseorang setelah dewasa.
Sebagaimana dalam buku Ilmu Pendidikan karangan Drs. Abu Ahmadi,
Imam Ghazali menyatakan: “Dan anak itu sifatnya menrima semua yang
dilakukan, yang dilukiskan dan condong kepada semua yang tertuju kepadanya.
Jika anak itu dibiasakan dan diajari berbuat baik maka anak itu kan hidup
berbahagia di dunia dan di akhirat. Dari kedua orang tua serta semua guru-
gurunya dan pendidik-pendidiknya akan mendapatkan kebahagiaan itu. Tetapi
jika dibiasakan berbuat jahat dan dibiarkan begitu saja, maka anak itu akan
celaka dan binasa. Maka yang menjadi ukuran dari ketinggian anak ialah
terletak pada yang bertanggung jawab (pendidik) dan walinya.”5
Prinsip serta harapan-harapan seseorang dalam bidang pendidikan anak
beraneka ragam coraknya, ada yang menginginkan anaknya menjalankan
disiplin keras, ada yang menginginkan anaknya lebih banyak kebebasan dalam
berfikir maupun bertindak. Ada orang tua yang terlalu melindungi anak, ada
yang bersikap acuh terhadap anak. Ada yang mengadakan suatu jarak anak dan
ada pula yang menganggap anak sebagai teman.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan hal-hal yang tertulis dalam latar belakang, maka penulis dalam hal
ini akan merumuskan permasalahan dalam beberapa pertanyaan.
1. Apa yang dimaksud dengan pola asuh orang tua?
2. Apa saja macam-macam pola asuh orang tua?
3. Apa peranan orang tua dalam keluarga?
4. Apa saja macam-macam aliran pendidikan?
1.3. TUJUAN MASALAH
Dengan berdasar kepada poin-poin pertanyaan tersebut di atas, maka penulis
mempunyai tujuan dalam penulisan makalah ini, yaitu :
5 Abu Ahmadi dan Nuruhbiyati, Ilmu Pendidikan, hlm. 117
3
1. Memahami pengertian pola asuh orang tua.
2. Mengetahui macam-macam pola asuh orang tua.
3. Mengetahui peranan orang tua dalam keluarga.
4. Mengetahui macam-macam aliran pendidikan.
BAB II
ISI
4
2.1. PENGERTIAN POLA ASUH ORANG TUA
Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya menjadi orang yang
berkpribadian baik, sikap mental yang sehat serta akhlak yang terpuji. Orang tua
sebagai pembentuk pribadi yang pertama dalam kehidupan anak, dan harus
menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya. Sebagaimana yang dinyatakan
Zakiyah Daradjat, bahwa “ Kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup
merupakan unsure-unsur pendidikan yang secara tidak langsung akan masuk ke
dalam pribadi anak yang sedang tumbuh”6
Dalam mendidik anak, terdapat berbagai macam bentuk pola asuh yang
bias dipilih dan digunakan oleh orang tua. Sebelum berlanjut kepada
pembahasan berikutnya, terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian pola
asuh itu sendiri.
Pola asuh terdiri dari dua kat yaitu ”Pola”dan”Asuh”. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, “Pola” berarti corak, model, system, cara kerja, bentuk
(struktur) yang tetap.7 Sedangkan kata “Asuh” berarti menjaga (merawat dan
mendidik) anak kecil, membimbing (membantu, melatih dan sebagainya), dan
memimpin (mengepalai dan menyelenggarakan) satu badan atau lembaga.8
Lebih jelasnya kata Asuh adalah mencakup segala aspek yang berkaitan
dengan pemeliharaan, dukungan dan bantuan sehingga orang tetap berdiri dan
menjalani hidupnya secara sehat.9 Menurut Dr. Ahmad Tafsir seperti yang
dikutip oleh Danny I. Yatim-Irwanto, Pola Asuh berarti pendidikan, sedangkan
pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian
yang utama.10
Jadi, pola asuh orang tua adalah suatu keseluruhan interaksi antara orang
tua dan anak, dimana orang tua bermaksud menstimulasi anaknya dengan
dengan mengubah tingkah laku, pengetahuan serta nilai-nilai yang dianggap
6 Zakiyah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996), Cet ke-15, hlm. 56 7 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1988), hlm. 54 8 TIM Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1988), Cet. Ke-1, hlm. 6929 Elaine Donelson, Asih, Asah, Asuh Keutamaan Wanita, (Yogyakarta : Kanisius, 1990),
Cet. Ke-1, hlm.510 Danny I. Yatim-Irwanto, Kepribadian Keluarga Narkotika, (Jakarta : Arcan, 1991), Cet.
Ke-1, hlm. 94
5
paling tepat oleh orang tua, agar anak dapat mandiri, tumbuh dan berkembang
secara sehat dan optimal.
2.2. MACAM-MACAM POLA ASUH ORANG TUA
Dalam mengelompokkan pola asuh orang tua dalam mendidik anak, para
ahli mengemukakan pendapat yang berbeda-beda yang antara satu sama lain
hamper mempunyai persamaan. Di antaranya adalah sebagai berikut:
A. Dr. Paul Hauck menggolongkan pengelolaan anak ke dalam empat macam
pola, yaitu:
1. Kasar dan Tegas
Orang tua yang mengurus keluarganya meurut skema neurotic
menentukan peraturan yang keras dan teguh yang tidak akan diubah dan
mereka membina suatu hubungan seperti majikan dan pembantu antara
mereka sendiri dan anak-anak mereka.
2. Baik Hati dan Tidak Tegas
Metode pengelolaan anak ini cenderung membuahkan anak-anak nakal
yang manja, yang lemah dan yang tergantung, dan yang bersifat kekanak-
kanakan secara emosional.
3. Kasar dan tidak tegas
Inilah kombinasi yang menghancurkan kekasaran tersebut, biasanya
diperlihatkan dengan keyakinan bahwa anak dengan sengaja berperilaku
buruk dan ia bias memperbaikinya apabila ia mempunyai kemauan untuk
itu.
4. Baik Hati dan Tegas
Orang tua tidak ragu untuk membicarakan dengan anak-anak mereka
tentang tindakan yang mereka tidak setujui. Namun dalam melakukan ini,
mereka membuat suatu batas hanya memusatkan selalu pada tindakan itu
sendiri, tidak pernah si anak atau pribadinya.11
B. Drs. H. Abu Ahmadi mengemukakan bahwa, berdasrkan penelitian yang
dilakukan oleh Fels Research Institute, corak hubungan orang tua
dengananak dibedakan menjadi tiga pola, yaitu:
11 Paul Hauck, Psikologi Populer: Mendidik Anak Dengan Berhasil, (Jakarta: Arcan, 1993), Cet.Ke-5, Hlm. 37
6
1. Pola menerima-menolak
Pola ini didasarkan atas taraf kemesraan orang tua terhadap anak.
2. Pola memiliki-melepaskan
Pola ini didasarkan atas sikap protektif orang tua terhadap anak. Pola ini
bergerak dari sikap orang tua yang overprotektif dan memiliki anak
sampai kepada sikap mengabaikan anak sama sekali
3. Pola demokrasi-otokrasi
Pola ini didasarkan atas taraf partisipasi anak dalam menentukan kegiatan-
kegiatan dalam keluarga. Pola otokrasi berarti orang tua bertindak sebagai
dictator terhadap anak, sedangkan dalam pola demokrasi, sampai batas-
batas tertentu, nak dapat berpartisipasi dalam keputusan-keputusan
keluarga.12
C. Elizabeth B. Hurlock mengemukakan ada beberapa sikap orang tua yang
khas dalam mengasuh anaknya, antara lain:
1. Melindungi secara berlebihan
Perlindungan orang tua yang berlebihan mencakup pengasuhan dan
pengendalian anak yang berlebihan.
2. Permisivitas
Permisivitas terlihat pada orang tua yang membiarkan anak berbuat
sesuka hati denagn sedikit pengendalian.
3. Memanjakan
Permisivitas yang berlebih/memanjakan membuat anak egois, menuntut
dan sering tiranik.
4. Penolakan
Penolakan dapat dinyatakan dengan mengabaikan kesejahteraan anak atau
dengan menuntut terlalu banyak dari anak dan sikap bermusuhan yang
terbuka.
5. Penerimaan
Penerimaan orang tua ditandai oleh perhatian yang besar dan kasih sayang
pada anak, orang tua menerima, memperhatikan perkembangan kemapuan
anak dan memperhitungkan minat anak.
12 Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991), hlm. 180.
7
6. Dominasi
Anak yang didominasi oleh salah satu atau kedua orang tua. Bersifat jujur,
sopan dan berhati-hati tetapi cenderung malu, patuh dan mudah
dipengaruhi orang lain, mengalah dan sangat sensitive.
7. Tunduk pada anak
Orang tua yang tunduk pada anaknya membiarkan anak mendominasi
mereka dan rumah mereka.
8. Favoritisme
Meskipun mereka berkata bahwa mereka mencintai semua anak dengan
sama rata, kebanyakan orang tua mempunyai favorit. Hal ini membuat
mereka lebih menuruti dan mencintai anak favoritnya dari pada anak lain
dalam keluarga.
9. Ambisi orang tua
Hamper semua orang tua mempunyai ambisi bagi anak mereka, seringkali
sangat tinggi sehingga tidak realistis. Ambisi ini sering dipengaruhi oleh
ambisi orang tua yang tidak tercapai dan hasrat orang tua supaya anak
mereka naik di tangga status social.13
D. Danny I. Yatim Irwanto mengemukakan beberapa pola asuh orang tua, yaitu:
1. Pola asuh Otoriter
Pola ini ditandai dengan adanya aturan-aturan yang kaku dari orang tua.
Kebatasan anak sangat dibatasi.
2. Pola asuh Demokratik
Pola ini ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dengan
anaknya.
3. Pola Asuh Permisif
Pola asuh ini ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak
untuk berperilaku sesuai dengan keinginanya.
4. Pola Asuh dengan Ancaman
Ancaman atau peringatan keras yang diberikan pada anak akan dirasa
sebagai tantangan terhadap otonomi dan pribadinya. Ia akan
melanggarnya untuk menunjukkanbahwa ia mempunyai harga diri.
5. Pola Asuh dengan Hadiah
13 Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak/Child Development, Terj. Meitasari Tjandrasa, (Jakarta: Erlangga, 1990), Cet.Ke-2, hlm. 204
8
Dalam hal ini yang dimaksud adalah jika orang tua memergunakan hadiah
yang bersifat material atau suatu janji ketika menyuruh anak
berperilakuseperti apa yang diinginkan.14
E. Thomas Gordon mengemukakan pola asuh orang tua, yaitu:
1. Pola Asuh Menang
2. Pola Asuh Mengalah
3. Pola Asuh Tidak Menag Dan Tidak Kalah15
F. Syamsu Yusuf mengemukakan pola asuh orang tua, yaitu:
1. Overprotection (terlalu melindungi)
2. Permisivienes (pembolehan)
3. Rejection (penolakan)
4. Acceptance (penerimaan)
5. Domination (dominasi)
6. Submission (penyerahan)
7. Over discipline (terlalu disiplin)16
G. Marlcom Hardy dan Steve Heyes mengemukakan empat macam pola asuh
yang dilakuakan orang tua dalam keluarga, yaitu:
1. Autokratis (otoriter)
Pola ini ditandai dengan adanya aturan-aturan yang kaku dari orang tua
dan kebebasan anak sangat dibatasi.
2. Demokratis
Pola ini ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dengan
anaknya.
3. Permisif
Pola ini ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk
berperilaku sesuai dengan keinginanya sendiri.
4. Laissez Faire
Pola ini ditandai dengan sikap acuh tak acuh orang tua kepada anaknya.17
14 Danny I. Yatim-Irwanto, Kepribadian Keluarga Narkotika, (Jakarta : Arcan, 1991), Cet. Ke-1, hlm. 94
15 Thomas Gordon, Menjadi Orang Tua Efektif, (Jakarta: Gramedia, 1994), hlm. 12716 Syamsu Arif, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Terj. Sumarji, (Jakarta: Erlangga,
1986), hlm. 2117 Malcom Hary dan Steve Heyes, Terj. Soenardi, Pengantar Psikologi, (Jakarta: Erlangga, 1986)
Edisi Ke-2, hlm. 131
9
Dari berbagai macam pola asuh yang dikemukakan di atas, penulis hanya
akan mengemukakan tiga macam saja, yaitu: pola asuh otoriter, demokratis dan
laissez Faire. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar pembahasan menjadi
lebih terfokus dan jelas.
Oleh karena itu, jika dilihat dari berbagai macam bentuk pola asuh di atas
pada intinya hampir sama. Misalnya saja antara pola asuh autokratis, over
protection, over disclipine, dominasi, favoritism, ambisi orang tua dan otoriter.
Semua menekankan pada sikap kekuasaan, kedisiplinan dan kepatuhan yang
berlebihan. Demikian oula halnya dengan pola asuh Laissez Faire, rejection,
submission, permissiveness, memanjakan. Secara implisit, kesemuanya itu
memperlihatkan suatu sikap yang kurang berwibawa, bebas, acuh tak acuh.
Adapun acceptance (penerimaan) bias termasuk bagian dari pola asuh
demokratis. Oleh karena itulah, maka penulis hanya akan membahas tiga
macam pola asuh, yang secara teoritis lebih dikenal bila dibandingkan dengan
yang lainya, yaitu pola asuh otoriter, demokratis dan laissez faire.
1. Otoriter
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, otoriter berarti berkuasa sendiri
dan sewenang-wenang.18 Menurut Singgih D. Gunarsa dan Ny. Y. Singgih D
Gunarsa, pola asuh otoriter adalah suatu bentuk pola asuh yang menuntut anak
agar patuh dan tunduk terhadap semua perintah dan aturan yang dibuat oleh
orang tua tanpa da kebebasan untuk bertanya atau mengemukakan pendapatnya
sendiri.19
Jadi pola auh otoriter adalah cara mengasuh anak yang dilakukan orang
tua dengan menentukan sendiri aturan -aturan dan batasan-batasan yang mutlak
harus ditaati oleh anak tanpa kompromi dan memperhitungkan keadaan anak.
Serta orang tualah yang berkuasa menentukan segala sesuatu untuk anak dan
anak hanyalah sebagai objek pelaksana saja. Jika nak-anaknya menentang atau
membantah, maka ia tak segan-segan untuk memberikan hukuman. Jadi, dalam
hal ini kebebasan anak sangatlah dibatasi. Apa saja yang dilakukan anak harus
sesuai dengan keninginan orang tua.
18 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1988), hlm. 69219 Singgih D. Gunarsa dan Ny. Y. Singgih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja,
(Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1995), Cet. Ke-7, hlm. 87
10
Pada pola asuh ini akan terjadi komunikasi satu arah. Orang tualah yang
memberikan tugas dan menentukan berbagai aturan tanpa memperhitungkan
keadaan dan keinginan anak. Perintah yang diberikan berorientaasi pada sikap
keras orang tua. Karena menurutnya tanpa sikap keras tersebut anak tidak akan
melaksanakaan tugas dan kewajibanya. Jadi anak melakukan perintah orang tua
karena takut, bukan karena suatu kesadaran bahwa pa yang dikerjakanya itu
akan bermanfaat bagi kehidupanya kelak.20
Penerapan pola asuh otoriter oleh orang tua terhadap anak, dapat
mempengaruhi proses pendidikan anak terutama dalam pembentukan
kepribadianya. Karena displin yang dinilai efektif oleh orang yang tua
(sepihak), belum tentu serasi dengan perkembangan anak. Prof. Dr. Utami
Munandar mengemukakan bahwa, “sikap orang tua yang otoriter paling tidak
menunjang perkembangan kemandirian dan tanggung jawab social. Anak
menjadi patuh, sopan, rajin mengerjakan pekerjaan sekolah, tetapi kurang bebas
dan kurang percaya diri.”21
Disini perkembangan anak itu semata-mata ditentukan oleh orang tuanya.
Sifat pribadi anak yang otoriter biasanya suka menyendiri, mengalami
kemunduran kematanganya, ragu-ragu di dalam semua tindakan, serta lambat
berinisiatif.22anakyang dibesarkan di rumah yang bernuansa otoriter akan
mengalami perkembangan yang tidak diharapkan orang tua. Anak akan menjadi
krang kreatif jika orang tua selalu melarang segala tindakan anak yang sedikit
menyimpang dari yang seharusnya dilakukan. Larangan dan hukuman orang tua
akan menekan daya kreatifitas anak yang sedang berkembang, anak tidak akan
berani mencoba dan ia tidak kan mengembangkan kemampuan untuk
melakukan sesuatu karena tidak dapat kesempatan untuk mencoba. Anak juga
akan takut untuk mengemukakan pendapatnya, ia merasa tidak dapat
mengimbangi teman-temanya dalam segala hal, sehingga anak menjadi pasif
dalam pergaulan. Lama- lama ia akan mempunyai perasaan rendah diri dan
kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Karena kepercayaan terhadap diri
20 Parsono, Materi Pokok Landasan Kependidikan, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1994), Cet. Ke-2, hlm. 6-8
21 Utami Munandar, Hubungan Isteri, Suami dan Anak Dalam Keluarga, (Jakarta: Pustaka Antara, 1992), hlm. 127
22 Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991), hlm. 112.
11
sendiri tidak ada, maka setelah dewasapun maasih akan terus mencari bantua,
perlindungan dan pengamanan. Ini berarti anak tidak berani tanggung jawab.23
Adapun ciri-ciri dari pola asuh otoriter adalah sebagai berikut:
1). Anak harus mematuhi peraturan-peraturan orang tua yang dan tidak boleh
membantah
2). Orang tua cenderung mencari kesalahan-kesalahan anak dan kemudia
menghukumnya.
3). Orang tua cenderung memberikan perintah danlarangan kepada anak.
4). Jika terdapat perbedaan pendapat antara orang tua dan anak maka nak
dianggap membangkang.
5). Orang tua cenderung memaksakan disiplin.
6). Orang tua cenderung memaksakan segala sesuatu untuk anak dan anak
hanya sebagai pelaksana.
7). Tidak ada komunikasi antara orang tua dan anak.24
2. Demokratis
Menurut Prof. Dr. Utami Munandar, “pola asuh demokratis adalah cara
mendidik anak, dimana orang tua menentukan peraturan-peraturan tetapi dengan
memperhatikan keadaan dan kebutuhan anak.”25
Pola asuh demokratis adalah suatu bentuk pola asuh yang yang
memperhatikan dan menghargai kebebasan anak anak, namun kebebasan itu
tidak mutlak dan dengan bimbingan yang penuh pengertian antara orang tua dan
anak.26 Dengan kata lain, pola asuh demokratis ini memberikan kebebasan
kepada anak untuk mengemukakan pendapat, melakukan apa yang diinginkanya
dengan tidak melewati batas-batas atau aturan-aturan yang telah ditetapkan
orang tua.
Orang tua juga selalu memberikan bimbingan dan arahan dengan penuh
pengertian terhadap anak, mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak. Hal
23 Kartini Kartono, Peran Keluarga Memandu Anak, (Jakarta : Rajawali Press, 1992), Cet.ke 2, hlm.98
24 Zahara Idris Dan Lisma Jamal, Pengantar Pendidikan (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 1992), Cet.Ke-2, hlm. 88
25 Utami Munandar, Pemanduan Anak Berbakat, (Jakarta: CV. Rajawali, 1982), hlm. 9826 Singgih D. Gunarsa dan Ny. Y. Singgih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja,
(Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1995), Cet. Ke-7, hlm. 84
12
tersebut dilakukan orang tua dengan lemah lembut dan penuh kasih saying.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, yang berbunyi:
“Sesungguhnya Allah mencintai kelemah-lembutan dalam segala hal urusan”
(HR.Bukhari)
Pola asuh demokrasi ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang
tua dan anak. Mereka membuat aturan-aturan yang disetujui bersama. Anak
diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, perasaan dan keinginanya.
Jadi dalam pola asuh ini terdapat komunikasi yang baik antara orang tua dan
anak.
Pola asuh demokratis dapat dikatakan sebagai kombinasi dari dua pola
asuh ekstrim yang bertentangan, yaitu pola asuh otoriter dan laissez faire. pola
Asuhan demokrati ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua
dengan anaknya. Mereka membuat aturan aturan yang disetujui bersama. Anak
diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, perasaan dan keinginanya dan
belajar untuk dapat menanggapi pendapat orang lain. Orang tua bersikap
sebagai pemberi pendapat pertimbangan terhadap aktivitas anak.
Dengan pola asuh ini, anak akan mampu mengembangkan control
terhadap perilakunya sendiri dengan hal-hal yang dapat diterima oleh
masyarakat. Hal ini mendorong anak untuk mampu berdiri sendiri, bertanggung
jawab dan yakin terhadap dirinya sendiri. Daya kreativitasnya berkembang baik
karena orang tua selalu merangsang anaknya untuk mampu berinisiatif.27
Rumah tangga yang hangat dan demokratis, juga berarti orang tua
merencanakan kegiatan keluarga untuk mempertimbangkan kebutuhan anak
agar tumbuh dan berkembang sebagai individu dan bahwa orang tua
memberinya kesempatan berbicara atas suatu keputusan semampu yang diatasi
oleh anak. Saran orang tua ialah mengembangkan individu yang berfikir, yang
dapat menilai situasi dan bertindak dengantepat, bukan seekor hewan terlatih
yang patuh tanpa pertanyaan.28
27 Danny I. Yatim-Irwanto, Kepribadian Keluarga Narkotika, (Jakarta : Arcan, 1991), Cet. Ke-1, hlm. 97
28 Joan Beck, asih asuh asah, hal.51
13
Pendapat Fromm, seperti yang dikuti oleh Abu Ahmadi bahwa anak yang
dibesarkan dalam keluarga yang bersuasana demokratik, perkembanganya lebih
luwes dan dapat menerima kekuasaan secara rasional. Sebaliknya anak yang
dibesarkan dalam suasana otoriter, memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang
harus ditakuti dan bersifat nagi (rahasia). Ini mungkin menimbulakan sikap
tunduk secara membuta kepada kekuasaan, atau justru sikap menentang
kekuasaan.29
Indikasi dari hasil penelitian Lutfi (1991), Nur Hidayat (1993) dan Nur
Hidayah dkk. (1995), yang dikutip oleh Mohammad Schohib adalah bahwa
dalam pola asuh dan sikap orang tua yang demokratis menjadikan adanya
komunikasi yang dialogis antara anak dan orang tua dan adanya kehangatan
yang membuat anak remaja yang merasa diterima oleh orang tua
memungkinkan mereka memahami, menerima dan menginternalisasi “pesan”
nilai moral yang diupayakan untuk diapresiasikan berdasarkan kata hati.30
Adapun cirri-ciri pola asuh demokratis adalah sebagai berikut :
1). Menentukan peraturan dan disiplin dengan memperhatikan dan
mempertimbangkan alas an-alasan yang dapat diterima, dipahami dan
dimengerti oleh anak.
2). Memberikan pengarahan tentang perbuatan baik yang perlu dipertahankan
dan yang tidak baik agar ditinggalkan.
3). Memberikan bimbingan dengan penuh pengertian.
4). Dapat menciptakan keharmonisan dalam keluarga.
5). Dapat menciptakan suasana komunikatf antara orang tua dan anak serta
sesama keluarga.31
Dari berbagai macam pola asuh yang banyak dikenal, pola asuh
demokratis mempunyai dampak positifyang lebih besar dibandingkan dengan
pola asus otoriter maupun laissez fraire. Dengan pola asuh demokratis anak
akan menjadi orang yang mau menerima kritik dari orang lain, mampu
menghargai orang lain, mempunyai kepercayaan diri yang tinggi dan mampu
bertanggung jawab terhadap kehidupan sosialnya. Tidak ada orang tua yang
29 Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991), hlm. 180.30 Mohammad Schohib, Pola Asuh Orang Tua Dalam Membantu Disiplin Diri, (Jakarta: PT
Rieneka Cipta, 1998), Cet. Ke-1, hlm. 631 Zahara Idris Dan Lisma Jamal, Pengantar Pendidikan (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 1992),
Cet.Ke-2, hlm. 87-88
14
menerapkan salah satu macam pola asuh dengan murni, dalam mendidik anak-
anaknya. Orang tua menerapkan berbagai macam pola asuh dengan memiliki
kecenderungan kepada salah satu macam pola.
3. Laissez Faire
Kata laissez faire berasal dari bahasa Prancis yang berarti membiarkan
(leave alone). Dalam istilah pendidikan, laissez faire adalah suatu system
dimana pendidik menganut kebijaksanaan non intereference (tidak turut
campur).32 Pola ini ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak
untuk berperilaku sesuai dengan keinginanya sendiri. Orang tua tidak pernah
memberi aturan dan pengarahan kepada anak. Semua keputusan diserahkan
kepada anak tanpa pertimbangan orang tua. Anak tidak tahu apakah prilakunya
benar atau salah karena orang tua tidak pernah membenarkan ataupun
menyalahkan anak. Akibatnya anak akan berprilaku sesuai denagn keinginanya
sendiri, tidak peduli apakah hal itu sesuai dengan norma masyarakat atau
tidak.33 Pada pola asuh ini anak dipandang sebagai makhluk hidup yang
berpribadi bebas. Anak adalah subjek yang tidak dapat bertindak menurut hati
nuraninya. Orang tua membiarkan anaknya mencari dan menentukan sendiri apa
yang diinginkanya. Kebebasan sepenuhnya diberikan kepada anak. Orang tua
seperti ini cenderung kurang perhatian dan acuh tak acuh terhadap mereka.
Metode pengelolaan anak ini cenderung membuahkan anak-anak nakal yang
manja, lemah, tergantung dan bersifat kekanak-kanakan secara emosional.
Seorang anak yang belum pernah diajar untuk mentoleransi frustasi,
Karena ia diperlakukan terlalu bauk oleh orang tuanya, kan menemukan banyak
masalah ketika dewasa. Dalam perkawinan dan pekerjaan, anak-anak manja
tersebut mengharapkan oranglain untuk membuat penyasuaian terhadap tingkah
laku mereka. Ketika mereka kecewa mereka menjadi gusar, penuh kebencian
dan bahkan marah-marah. Pandangan orang lain jarang sekali dipertimbangkan.
Hanya pandangan mereka yang berguna. Kesukaran-kesukaran yang terpendam
antara pandangan suami istri atau kawan sekerja terlihat nyata.34
Adapun cirri-ciri pola asuh laissez faire adalah sebagai berikut:
32 Soegarda Poebakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1976), hlm.16333 Danny I. Yatim-Irwanto, Kepribadian Keluarga Narkotika, (Jakarta : Arcan, 1991), Cet.
Ke-1, hlm. 97
15
1). Membiarkan anak bertindak sendiri tanpa monitor dan membimbingnya.
2). Mendidik anak acuh tak acuh, bersikap pasif dan masa bodoh.
3). Mengutamakan kebutuhan material saja.
4). Membiarkan saja apa yang dilakukan anak (terlalu memberikan kebebasan)
untuk mengatur dirinya sendiri tanpa ada peraturan-peraturan dan norma-
norma yang diberikan atau digariskan oleh orang tua.
5). Kurang sekali keakraban dan hubungan yang hangat dalm keluarga.35
2.3. PERANAN ORANG TUA DALAM KELUARGA
Menurut Gunarsa (1995: 31 – 38) dalam keluarga yang ideal (lengkap)
maka ada dua individu yang memainkan peranan penting yaitu peran ayah dan
peran ibu. Secara umum peran kedua individu tersebut adalah:
A. Peran Ibu adalah
1) Memenuhi kebutuhan biologis dan fisik.
2) Merawat dan mengurus keluarga dengan sabar, mesra dan konsisiten.
3) Mendidik, mengatur dan mengendalikan anak.
4) Menjadi contoh dan teladan bagi anak.
B. Peran Ayah adalah
1) Ayah sebagai pencari nafkah.
2) Ayah sebagai suami yang penuh pengertian dan member rasa aman.
3) Ayah berpastisipasi dalam pendidikan anak.
4) Ayah sebagai pelindung atau tokoh yang tegas bijaksana, mengasihi
keluarga.
2.4. ALIRAN-ALIRAN PENDIDIKAN
Gagasan dan pelaksanaan pendidikan selalu dinamis sesuai dengan
dinamika manusia dan masyarakatnya. Sejak dulu, kini, maupun di masa depan
34 Paul Hauck, Psikologi Populer: Mendidik Anak Denagan Berhasil, (Jakarta: Arcan, 1993), Cet.Ke-5, Hlm. 50-52
35 Zahara Idris Dan Lisma Jamal, Pengantar Pendidikan (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 1992), Cet.Ke-2, hlm. 89-90
16
pendidikan itu selalu mengalami perkembanagan seiring dengan perkembangan
social-budaya dan perkembangan IPTEK. Pemikiran-pemikiran yang membawa
pembaruan pendidikan itu disebut aliran-aliran pendidikan. Seperti dalam
bidang-bidang lainya, pemikiran-pemikiran dalam pendidikan itu berlangsung
seperti suatu diskusi berkepanjangan, yakni pemikiran-pemikiran terdahulu
selalu ditanggapi dengan pro dan kontra oleh pemikir-pemikir berikutnya, dan
arena dialog tersebut akan melahirkan lagi pemikiran-pemikiran baru, dan
demikian seterusnya.36
Aliran-aliran telah dimulai sejak awal hidup manusia karena setiap
kelompok manusia selalu dihadapkan dengan generasi muda keturunanya yang
memerlukan pendidikan yang lebih baikdari orang tuanya. Di dalam berbagai
kepustakaan tentang aliran-aliran pendidikan, pemikiran-pemikiran tentang
pendidikan telah dimulai dari zaman Yunani kuno sampai kini (seperti: Ulich,
1950).37
A. Aliran Klasik dan Gerakan Baru Dalam Pendidikan
1. Aliran-Aliran Klasik Dalam Pendidikan dan Pengaruhnya
Terhadap Pemikiran Pendidikan di Indonesia.
a. Aliran Empirisme
Aliran empirisme bertolak dari Lockean Tradition yang
mementingkan stimulasi eksternal dalam perkembangan manusia, dan
menyatakan bahwa perkembangan anak tergantung pada lingkungan,
sedangkan pembawaan tidak dipentingkan. Pengalaman yang
diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari didapat dari dunia
sekitarnya yang berupa stimulant-stimulan. Stimulasi ini berasal dari
alam bebas ataupun diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk
program pendidikan. Tokoh perintis pandangan ini adalah seoarang
filsuf Inggris yang bernama John Locke (1704-1932) yang
mengembangkan teori “Tabula Rasa”, yakni anak lahir di dunia
bagaikan kertas putih yang bersih. Pengalaman empirikyang
diperoleh dari lingkungan akan berpengaruh besar dalam menentukan
perkembangan anak. Menurut pandangan empirisme (biasa pula
36 Umar Tirtarahardja dan S.L.La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005) Hlm. 191
37 Ibid, hlm. 192
17
disebut enviromentalisme) pendidik memegang peranan yang sangat
penting sebab pendidik dapat menyedikan lingkungan pendidikan
kepada anak dan akan diterima oleh anak sebagai pengalaman-
pengalaman. Pengalaman-pengalaman itu tentunya yang sesuai
dengan tujuan pendidikan.38
b. Aliran Nativisme
Aliran nativisme bertolak dari Leibnitzian Tradition yang
menekankan kemampuan dalam diri anak. Sehingga factor
lingkungan , termasuk factor pendidikan , kurang berpengaruh
terhadap perkembangan anak. Hasil perkembangan tersebut
ditentukan oleh pembawaan yang sudah diperoleh sejak kelahiran.
Lingkungan kurang berpengaruh terhadap pendidikan dan
perkembangan anak. Hasil pendidikan tergantung pada pembawaan.
Schopenhauer (filsuf Jerman 1788-1860) berpendapat bahwa bayi
itu lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh
karena itu, hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang
sudah dibawa sejak lahir. Berdasarkan pandangan ini maka
keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri.
Ditekankan bahwa “yang jahat akan menjadi jahat, dan yang baik
akan menjadi baik”. Pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat dan
pembawaan anak didik tidak akan berguna untuk perkembangan anak
sendiri. Istilah Nativisme dari asal kata Natie yang artinya adalah
terlahir. Bagi Nativisme, lingkungan sekitar tidak ada artinya sebab
lingkungan tidak akan berdaya dalam mempengaruhi perkembangan
anak. Penganut pandangan ini menyatakan bahwa kalau anak
mempunyai pembawaan baik maka dia akan menjadi orang baik.
Pembawaann buruk dan baik ini tidak dapat diubah dari kekuatan
luar.39
c. Aliran Konvergensi
Perintis aliran ini adalah William Stern (1871-1939), seoarang
ahli pendidikan dari Jerman yang berpendapat bahwa seorang anak 38 Umar Tirtarahardja dan S.L.La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005)
Hlm. 194-19539 Umar Tirtarahardja dan S.L.La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005)
Hlm. 196
18
dilahirkan di dunia sudah disertai pembawaan baik maupun
pembawaan buruk. Penganut aliran ini berpendapat bahwa dalam
proses perkembangan anak baik factor pembawaan maupun factor
lingkungan sama-sama mempunyai peranan yang sangat penting
bakat yang dibawa pada waktu lahir tidak akan berkembang dengan
baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai untuk
perkembangan itu. Sebaliknya, lingjungan yang baik tidak dapat
menghasilkan perkembangan anak yang optimal kalau memang pada
diri anak tidak terdapat bakat yang diperlukan untuk mengembangkan
itu.40
William Stern berpendapat bahwa hasil pendidikan itu
tergantung dari pembawaan dan lingkungan, seakan-akan dua garis
yang yang menuju kesatu titik pertemuan sebagai berikut:
Karena itu teori William Stern disebut teori konvergensi
(konvergen artinya memusat kesatu titik). Jadi menurut teori
konvergensi :
1. Pendidikan mungkin untuk dilaksanakan.
2. Pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan
lingkunagn kepada anak didik untuk mengembangkan potensi
yang baikdan mencegah berkembangnya potensi yang kurang baik.
3. Yang membatasi hasil pendidikan adalah pembawaan dan
lingkungan.
Aliran konvergensi pada umumnya diterima secara luas
sebagai pandangan yang tepat dalam memahami tumbuh kembang
manusia.41
40 Ibid, hlm. 198
19
d. Aliran Naturalisme
Pandangan yang ada persamaanya dengan nativisme adalah
aliran Naturalisme yang dipelopori oleh seorang filsuf Prancis J.J
Rousseau (1712-1778). Berbeda dengan Schopenhauer, Rousseau
berpendapat bahwa semua anak yang baru dilahirkan mempunyai
pembawaan buruk. Pembawaan baik anak akan menjadi rusak karena
dipengaruhi oleh lingkungan. Rousseau juga berpendapat bahwa
pendidikan yang diberikan oleh orang dewasa malahan dapat merusak
pembawaan anak yang baik itu. Aliran ini juga disebut Negativisme,
karena berpendapat bahwa pendidik wajib membiarkan anak pada
alam. Jadi dengan kata lain pendidikan tidak diperlukan.42
Pengaruh Aliran Klasik Terhadap Pemikiran dan Praktek
Pendidikan di Indonesia.
Khusus dalam latar persekolahan, kini terdapat sejumlah
pendapat yang lebih menginginkan yang lebih agar peserta didik lebih
ditempatkan pada posisi yang seharusnya, yakni sebagai manusia
yang dapat dididik dan juga mendidikdirinya sendiri. Hubungan
pendidik dan peserta didik seyogyanya adalah hubungan yang setara
antara dua pribadi, meskipun yang satu lebih berkembang dari yang
lain (Raka Joni, 1983: 29; Sulo La Sulo, 1984). Hubungan kesetaraan
dalam interaksi edukatif tersebut seyogyanya diarahkan menjadi suatu
hubungan transaksional, suatu hubungan antar pribadi yang member
peluang baik bagi peserta didik yang belajar, maupun bagi pendidik
yang ikut belajar (colearner). Dengan demikian, cita-cita pendidikan
seumur hidup dapat diwujudkan melaui belajar seumur hidup.
Hubungan tersebut sesuai asas Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madyo
Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Serta pandekatan Cara Belajar
Siswa Aktif (CBSA) dalam kegiatan belajar mengajar. Dalam UU RI
No.2 Tahun 1989 tentang Sisdiknas, peran peserta didik dalam
mengembangkan bakat, minat, dan kemampuanya itu telah diakui dan
41 Umar Tirtarahardja dan S.L.La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), hlm. 199
42 Ibid, hlm. 197
20
dilindungi (antara lain: Pasal 23 Ayat 1, Pasal 24, Pasal 26, dan lain-
lain).43
2. Gerakan Baru Pendidikan.
a. Pengajaran Alam Sekitar.
b. Pengajaran Pusat Perhatian.
c. Sekolah Kerja.
d. Pengajaran Proyek.44
B. Dua Aliran Pokok Pendidikan di Indonesia.
1. Perguruan Kebangsaan Taman Siswa
2. Ruang INS (Indonesia Nederlandsche School).45
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Dari berbagai macam pola asuh yang banyak dikenal, pola asuh
demokratis mempunyai dampak positifyang lebih besar dibandingkan dengan
pola asus otoriter maupun laissez fraire. Dengan pola asuh demokratis anak
43 Umar Tirtarahardja dan S.L.La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), hlm. 200
44 Ibid, hlm. 200-20445 Ibid, hlm, 205
21
akan menjadi orang yang mau menerima kritik dari orang lain, mampu
menghargai orang lain, mempunyai kepercayaan diri yang tinggi dan mampu
bertanggung jawab terhadap kehidupan sosialnya. Tidak ada orang tua yang
menerapkan salah satu macam pola asuh dengan murni, dalam mendidik anak-
anaknya. Orang tua menerapkan berbagai macam pola asuh dengan memiliki
kecenderungan kepada salah satu macam pola.
3.2. SARAN
Sebaiknya anak dibiarkan menikmati masa bermainya, karena dengan
memaksakan kehendak orang tua pada anak seperti mengaharuskan anak
mengamen di jalan dengan sendirnya telah merampas dunia kanak-kanak
mereka.
Perlunya penguatan pada orang tua agar tidak terus menerus
mengkaryakan anaknya untuk mendapatkan uang dengan tanpa susah payah
bekerja keras. Lambat laun orang tua ini akan mengahargai sebuah proses
menujunkesuksesan dibandingkan budaya malas yang menghinggapi selama ini.
22
DAFTAR PUSTAKA
Hasbullah. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Kartono, Kartini. 1992. Peran Keluarga Memandu Anak. Jakarta: Rajawali Press.
Hasyim, Umar. 1993. Anak Sholeh (Cara Mendidik Anak Dalam Islam). Surabaya :
PT Bina Ilmu.
Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Lamsuri, Mohamad. (Ed). 2009. Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan.
Yogyakarta: Laksbang Mediatama Yogyakarta.
Darajat, Zakyat. 1996. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
Depdikbud. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Donelson, Elaine. 1990. Asih, sah, Asuh Keutamaan Wanita. Yogyakarta: Kanisius.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pengembangan Bahasa. 1988. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
I Yatim Irwanto, Danny. 1991. Kepribadian Keluarga Narkotika. Jakarta: Arcan.
Hauck, Paul. 1993. Psikologi Populer: Mendidik Anak Dengan Berhasil.
Jakarta:Arcan.
Idris, Zahara dan Lisma Jamal. 1992. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Gramedia
Widia Sarana
Poebakawatja, Soegarda. 1976. Ensiklopedi Pendidikan. Jakarta: Gunung Agung.
Ahmadi, Abu. 1991. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT Rieneka Cipta
http://alimurfikependidikanislamuinsuka.blogspot.com
23
24