Upload
others
View
12
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
MODEL PENGEMBANGAN KEILMUAN
UIN MALANG & UIN JOGJAKARTA
Oleh:
Moch. Khafidz Fuad Raya
(Dosen Tetap STAI Al Falah As Sunniyyah Kencong Jember)
Abstract
The integration of Islam and science is not an ordinary matter. Until now, the widespread
community who said that "religion" and "science" are two entities that can not be
reconciled. Both have separate territories, separate from one another, both in terms of
formal object-material, research methods, truth criteria, the role played by the scientist
and the status of the appointed theorist, to the institution of the organizer. From the
scientific paradigm developed by UIN Maliki and UIN Likes this seems to have been the
inspiration and reference for PTKI throughout Indonesia to develop Islamic universities
that have a mission to integrate Islam and Science in various disciplines of science and
research, it is expected later with the development of Islamic universities can answering
the anxiety and anxiety of people who have been crystallized so that Muslims are shackled
and stagnant in place.
Key Words: Model Pengembangan Keilmuan UIN Malang & UIN Jogjayakarta
PENDAHULUAN
Science dan religion serta al-turâts wa al-tajdîd merupakan wacana yang selalu
menarik perhatian bagi kalangan intelektual. Apalagi wacana tentang science dan Islam
menjadikan dunia keilmuan semakin bergairah untuk dikaji. Wacana persoalan
epistimologi ilmu agama dan ilmu umum yang ditandai dengan transformasi Perguruan
Tinggi Keagamaan Islam (STAIN/IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN), dan
perlunya dikaji ulang mengenai ilmu-ilmu keislaman, atau mengenai wider-mandate,
merupakan salah satu tiga contoh dari sekian banyak persoalan terkait dengan integrasi
science dan Islam.
Integrasi islam dan sains bukanlah sebuah persoalan biasa. Hingga kini, masyarkat
luas yang mengatakan bahwa “agama” dan “ilmu” adalah dua entitas yang tidak bisa
dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah-wilayah tersendiri, terpisah antara satu dan
lainnya, baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran
yang dimainkan oleh ilmuwan maupun status teori yang diangkat, sampai pada institusi
penyelenggaranya.1 Masyarakat beranggapan bahwa ilmu sains tidak memperdulikan
1 Amin Abdullah, et.al, Integrasi Islam-Sains: Mempertemukan Epistimologi Islam dan Sains,
(Yogyakarta: SUKA Press, 2004), hlm. 3.
2
agama, dan agama tidak memperdulikan ilmu sains,2 keduanya mempunyai wilayah
tersendiri dalam aksentuasinya.3
Dari data empirik yang diperoleh melalui sejarah perkembangan ilmu di dunia, bahwa
di kawasan Timur, dalam hal ini dunia keislaman, pengajaran ilmu-ilmu agama Islam yang
normatif-tekstual terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ilmu-ilmu
sosial, ekonomi, hukum, dan humaniora pada umunya. Sehingga terjadi kesenjangan
antara Islam dengan sains. Begitu juga pada dunia Barat, terjadi kegundahan takkala Isaac
Newton dan tokoh-tokoh ilmu sains menempatkan Tuhan hanya sekedar sebagai penutup
lobang kesulitan (to fill gaps) yang tidak terpecahkan dan terjawab oleh teori-teori sains
mereka, begitu sulitnya memecahkan integrasi agama dan sains tersebut sehingga
muncullah sebuah paradigma “sekuler” dalam dunia ilmu pengetahuan dan agama.4
Perbedaan ini semakin hari semakin jauh dan membawa akibat yang tidak nyaman
bagi kehidupan dan kesejahteraan umat manusia. Bagaimana tidak, kesejahteraan umat
manusia bergantung pada pencernaan dan pengaplikasian ilmu agama dan ilmu sains
dalam kehidupan mereka, jika terjadi saling dikotomi, maka kehidupan dan kesejahteraan
akan saliang berbenturan dan berlawanan. Pola pikir yang serba bipolar-dikotomis ini
menjadikan manusia terasing dari nilai-nilai spiritualitas-moralitas, terasing dari dirinya
sendiri, terasing dari keluarga dan masyarakat sekelilingnya.
Umat Islam khususnya menghendaki adanya sebuah pemahaman bahwa sejatinya
Islam dan Sains itu tidaklah terpisah (dikotomi). Islam menilai bahwa kebenaran Tuhan
dalam segala penciptaan langit dan bumi serta alam semesta ini yang tertuang dalam kalam
suci al-Qur‟ân telah menyiratkan pesan yang begitu besar bahwa sebenarnya Islam dan
Sains bagaikan sebuah bagian bangunan yang tidak dapat dipisahkan.5 Keinginan umat
2 Sumaya Mohamed and Shadiya Baqutayan, Toward Social Change in Islam, University Technology
Malaysia (UTM), International Journal of Basic & Applied Sciences IJBAS-IJENS Vol: 11 No: 02 3 Dalam prakteknya, masyarakat tidak mau tau, apakah agama itu berhubungan dengan ilmu
sains atau tidak. Mereka menganggap bahwa agama adalah agama dan sains adalah sains, keduanya tidak bisa disatukan. Jika dipaksakan disatukan, maka akan menimbulkan polusisasi bagi keduanya sehingga tidak mempunyai nilai-nilai unsur pembangun keduanya. Lihat dalam Ian G. Barbour, Issues in Science and Religion, (New York: Harper Tourchbooks, 1996), hlm. 1-2. Bandingkan dengan John Polkinghorne, Belief in God in an Age of Science, (London: Yale University Press, 1988), hlm. 76-100. Bandingkan juga dengan M. Kamal Hasan, “The Expanding Spiritual-Moral Role of World Religions in the New Millinium”, dalam American Journal of Islamic School Science, Volume 18, Winter 2001, Number 1, pp.43-58.
4 Amin Abdullah, et.al, Integrasi Islam-Sains: Mempertemukan Epistimologi Islam dan Sains, hlm. 4. 5 Muhammad Amimul Ahsan, et.al., Islamization of Knowledge: An Agenda for Muslim Intellectuals,
Global Journal of Management and Business Research Administration and Management, Volume 13 Issue 10 Version 1.0 Year 2013, Global Journals Inc. (USA).
3
Islam tersebut diaktualisasikan melalui berbagai cara, salah satunya adalah merumuskan
kembali epistimologi antara ilmu agama dengan ilmu sains dalam pendidikan. Keinginan
umat Islam untuk memiliki lembaga pendidikan Islam yang mampu mengintegrasikan
konsep ilmu dan Islam, pertama kali digagas pada tahun 1970-an dalam Konferensi
Pendidikan Islam Internasional, yang sejak tahun itu hingga sekarang sudah
diselenggarakan sebanyak 5 (lima) kali. Konsep itu menggagas tentang konsep keilmuan
Islam, yaitu:
“planning education to be based on the classification of knowledge into two
catagories: (a) Perennial knowledge derived from the Qur’ân and Sunnah
meaning all syari’ah oriented knowledge relevant and releted to the, and (b)
Acquired knowledge suspectible ti quantitative growth and multification,
limited variation and cross cultural borrowing as long as consistency with
syari’ah as the source of values is maintained”.6
Pembagian ilmu menurut pandangan Islam dalam konferensi tersebut yang dibagi
menjadi dua bagian, yaitu perennial knowledge dan acquired knowledge yang disusun
melalui tingkat dasar hingga ke perguruan tinggi. Hal ini sejalan dengan apa yang
disampaikan oleh Muhaimin, yang memetakan tiga aspek yang melandasi perubahan
pendidikan tinggi Islam, yaitu (1) normatif-teologis; (2) filosofis; (3) historik.7 Karena itu,
pengembangan pendidikan tinggi Islam harus dipahami sebagai suatu wahana untuk
pengembangan pandangan dan ketrampilan hidup manusia secara menyeluruh.
Maka dalam ranah pemikiran integrasi Islam dan Sains pada perguruan tinggi Islam
perlu mendapatkan perhatian khusus. Perhatian tersebut bukan hanya sekedar
mempertemukan konsepsi antara ilmu agama dngan ilmu sains, melainkan lebih dari
sekedar itu yaitu membongkar epistimologi ilmu pengetahuann dan epistimologi ilmu
agama sebagai upaya reintegrasi terhadap Islam dan Sains. Oleh karena itu, upaya
pengembangan pemikiran integrasi Islam dan Sains pada perguruan tinggi agama Islam
perlu dikuak dan dianalisis demi memperoleh gambaran menyeluruh demi
mempertemukan secara utuh Islam dan Sains dalam pendidikan Islam, terutama pada
pengembangan perguruan tinggi agama Islam.
6 Lihat dalam Imam Suprayogo dan Rasmianto, Perubahan Pendidikan Tinggi Islam: Refleksi
Perubahan IAIN/STAIN menjadi UIN, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 1-2. 7 Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 245.
Untuk pembahasan yang lebih jelas diterangkan pada bahasan yang selanjutnya.
4
PEMBAHASAN
Epistemologi dan Pengembangan Keilmuan Integrasi Islam dan Sains
A. Epistimologi Dalam Perpektif Islam
Kesatuan epistimologi Islam ini tertuang dalam perpektif tauhid yang mana
instrumennya ada pada diri masing-masing manusia dalam memahami kebenaran.
Al-Qur‟ân menegaskan ada tiga daya ruhaniyah yang menjadi sarana untuk
memahami suatu kebenaran, yaitu pikiran (al-fikr), akal (al-‘aql), hati nurani, (al-
qalb al-af’idah). Ketiganya dipakai al-Qu‟ân dalam konteks dan kapasitas berbeda,
tetapi saling melengkapi dan dapat menyatu ke arah tarnsendensi.
Proses pemahaman dengan menggunakan sarana ruhaniah dengan kata fikr
(pikiran) terdapat dalam kurang lebih 16 ayat al-Qur‟ân, dan kesemuanya dipakai
dalam konteks alam dan manusia dalam dimensi fisiknya. Sedangkan kat ayang
menngunakan ‘aql terdapat dalam kurang lebih 49 ayat, dipakai dalam konteks
yang lebih luas dan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat konkret, material,
spiritual, maupun bersifat gaib. Adapau mengenai sarana ruhaniah dengan sebutan
al-qalb terdapat dalam kurang lebih 101 ayat yang pada umumnya dipakai dalam
hal-hal yang bersifat gaib dan spiritual saja.8
Dengan demikian, ada tiga daya instrumen daya ruhaniah yang dipakai al-
Qur‟ân untuk memahami suatu kebenaran yang berjenjang, yaitu: pertama,
kebenaran yang berkaitan dengan hal-hal yang fisik dan material semata-mata
sebuah kebenaran yang dapat dipahami dan dikuasai dengan menggunakan ratio;
Kedua, kebenaran kebenaran berdimensi berdimensi ganda yaitu material dan
spiritual yang dapat dipahami dengan menggunakan ‘aql; dan Ketiga kebenaran
yang sepenuhnya berdimensi gaib dan immaterial yang dapat dimengerti dengan
menggunakan qalb.
Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam pandangan
al-Qur‟ân bahwa untuk memahami kebenaran ada tiga, yaitu (al-fikr), akal (al-
‘aql), hati nurani, (al-qalb). Ketiganya merupakan kesatuan organik yang sifatnya
berlapis dan berjenjang. Integrasi IPTEK, filsafat, dan agama dimungkinkan karena
objek kajiannya mempunyai kesatuan sumber, yaitu ayat-ayat Tuhan yang ada di
alam, manusia, dan sejarah, serta tersurat dalam kitab suci. Jika IPTEK digunakan
sebagai digunakan untuk memecahkan persoalan yang bersifat teknis, operasional,
8 R.A. Nicholson, The Mytic of Islam, (London: Routledge and Kegen Paul, 1979), hlm. 68.
5
maka filsafat memberikan landasan hakikat dan maknanya terhadap sesuatu hal,
memberikan wawasan yang bersifat metateknis, metafisik, dan selanjutnya agama
akan memberikan arah dan tujuan paling akhir dari hidup manusia.
Epistimologi dalam pandangan Islam dimaksudkan untuk
mengaktualisasikan bagaimana mengaktualisasikan konsep tauhid dalam
kehidupan. Secara khusus, epistimologi dalam Islam diungkapkan melalui
metodologi yang dipaparkan dalam al-Qur‟ân yang terdapat dalam surat yang
pertama kali diturunkan, QS. Al-„alaq (96): 1-5, yang menegaskan suatu cara
membaca realitas atas nama Tuhan, atau membaca dengan kesadaran kehadiran
Tuhan, kemudian dilanjutkan dalam secara operasional daam QS. Ali „Imran (3):
190-191:
Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka”.9
Inilah yang sesungguhnya disebut sebagai epistimologi dalam perspektif
Islam, yang tidak mengkiblatkan diri ke Yunani apalagi ke Barat, karena perspektif
epistimologis dalam Islam harus benar-benar menunjukkan bahwa itu memang
bersumber dari al-Qur‟ân yang mempunyai pondasi perspektif tersendiri.
B. Paradigma Pengembangan Keilmuan Integrasi Islam dan Sains
Tantangan di era globalisasi menuntut respon cepat dan tepat dari sistem
pendidikan Islam secara keseluruhan. Jika kaum muslimin tidak hanya ingin
sekedar survive di tengah persaingan global yang semakin tajam dan ketat, tetapi
juga berharap mampu tampil di depan, maka re-orientasi pemikiran mengenai
pendidikan Islam dan rekonstruksi sistem dan kelembagaan merupakan
9 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Kemenag RI, 1998).
6
keniscayaan. Umat Islam tidak boleh menonton dari luar seluruh perkembangan
yang terjadi tanpa melakukan apa-apa.10
Sejarah mencatat perkembangan paradigma keilmuan integrasi Islam dan
sains yang dicetuskan oleh Ismail Raji al-Faruqi dengan karya populernya yaitu
Islamization of Knowledge bersama Naquib al-Attas.11
Ide tersebut merupakan
reaksi atas krisis sistem pendidikan yang dihadapi umat Islam yakni adanya
dualisme sistem pendidikan Islam dan pendidikan modern (sekuler) yang menurut
masyarakat membingungkan. Gagasan islamisasi tersebut muncul sebagai respon
terhadap efek negatif yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan modern-barat. Bai
al-Faruqi maupun al-Attas melihat adanya krisis dalam basis ilmu pengetahuan
modern mengenai realitas atau pandangan dunia-nya (world view), yang kemudian
berkembang pada persoalan epistimologi.
Gagasan awal islamisasi ilmu pengetahuan dilontarkan secara gamblang
pada saat konferensi dunia pertama (al-Mu’tamar al-Dauly al-Awwal) tentang
pendidikan muslim di Mekkah, pada tahun 1977 yang diprakarsai oleh King Abdul
Aziz University. Ide tersebut yang dilontarkan oleh Ismail Raji al-Faruqi dalam
makalahnya Islamizing Social Science dan Syekh Muhammad Naquib al-Attas
dalam makalahnya Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the
Aims od Education.12
Bagi al-Faruqi pendekatan yang dipakai untuk mengintegrasikan Islam dan
sains adalah dengan jalan menuangkan kembali seluruh khazanah sains Barat
dalam kerangka Islam yang dalam prakteknya “tidak lebih” dari usaha penulisan
kembali buku-buku teks dan berbaga disiplin ilmu dengan wawasan ajaran Islam,
atau dalam kata lain hanya sebagai penyalinan kembali buku-buku sains Barat yang
kemudian disadur dan dikait-kaitkan dengan perspektif Islam. Sedangkan menurut
al-Attas adalah dengan jalan pertama membersihkan sains Barat dari unsur-unsur
yang bertentangan dengan ajaran Islam, kemudian merumuskan kembali dan
memadukan unsur-unsur Islam yamh esensial dan konsep-konsep kunci sehingga
menghasilkan komposisi yang merangkum pengetahuan inti.
10 Amin Abdullah, et.al, Integrasi Islam-Sains: Mempertemukan Epistimologi Islam dan Sains, hlm. 8. 11 Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyudin, (Bandung: Pustaka, 1995).
Lihat juga dalam Ismail SM (ed.), Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 110.
12 Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, 11. Bandingkan dengan Syekh Muhammad Naquib a-Attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung: Pustaka, 1981), hlm. 95.
7
Sejalan dengan kedua tokoh di atas, Sayyid Husen Nasr menganjurkan
tentang Islamisasi baru yang dijauhkan dai matrik sekuler dan dishumanisme. Ia
mengkritik sains Barat, karena menyebabkan kehancuran manusia dan alam. Oleh
karena itu Nasr menganjurkan agar semua aktivitas keilmuan harus tunduk kepada
norma agama dan hukum-hukum suci Islam.13
Dari tokoh-tokoh Islamisasi atau integrasi Islam dan sains di atas, al-Faruqi
lah tokoh yang gigih melandingkan gagasan integrasi ini. Ide dan gagasannya
secara tegas diformulasika dengan sistematis dalam bukunya The Islamization of
Knowledge. Kemudian untuk merealisasikan idenya itu pada tahun 1981 ia
mendirikan International Intitute of Islamic Thought (IIIT) di Washington D.C.
Amerika.14
IIIT inilah yang pada tahun 1982 menyelenggarakan konferensi yang
bekerja sama dengan International Islamic University di Islamabad Pakistan.
Adapun langkah kerja dari program Islamisasi atau pengintegrasian Islam
dan sains yang digagas oleh al-Faruqi adalah sebagai berikut:15
1. Penguasaan disiplin ilmu modern;
2. Penguasaan khazanah Islam;
3. Penentuan relevasi Islam bagi masing-masing bidang ilmu modern;
4. Pencarian sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu modern;
5. Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan
pola rencana Allah SWT.
Kemudian rumusan tersebut dirinci menjadi 12 (dua belas) langkah:
1. Langkah 1: Penguasaan Disiplin Ilmu Modern (Penguraian Kategoris); dalam
disiplin ilmu modern harus dipecah-pecah menjadi kategori-kategori,
metodologi-metodologi, problem-problem, dan tema-tema, yang hasilnya
kemudian berupa kalimat-kalimat yang memperjelas istilah teknis.
2. Langkah 2: Survei Disiplin Ilmu; setiap disiplin ilmu harus disurvei dan harus
ditulis esai-esainya untuk menjamin bahwa para sarjana muslim telah
menguasainya.
13 Syekh Muhammad Naquib a-Attas, Islam dan Sekularisme, hlm. 195. 14 Dalam Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebas Manusia Modern: Tela’ah Konsep Tradisional Sayyid
Husen Nasr, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2003), hlm. 170. 15 Wan Mohd Daud, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam S.M.N. al-Attas, (Bandung: Mizan, 2003),
hlm. 392. Lihat juga dalam Ismail Raji Al Faruqi, An Expose of the Legacy of a Mujtahid in the Modern Age, Seminar Programe, 2010 in International Institute of Islamic Thought, UK and USA.
8
3. Langkah 3: Penguasaan Khazanah Islam; penguasaan khazanah warisan Islam
ini perlu sebaga titik awal upaya Islamisasi ilmu pengetahuan modern, karena
proses islamisasi akan menjadi miskin jika tidak memperhatikan penguasaan
khazanah warisan Islam tersebut.
4. Langkah 4: Penguasaan Khazanah Islam Tahap Analisis; untuk dapat
memahami kristalisasi wawasan Islam maka karya-karya mereka perru
dianalisis dengan latar belakang sejarah dengan identifikasi yang jelas.
5. Langkah 5: Penentuan Relevansi Islam yang Khas terhadap Displin-Disiplin
Ilmu; dalam hal ini al-Faruqi membagi tiga kelompok, pertama; apakah yang
disumbangkan Islam mulai dari al-Qur‟an hingga penemuannya telah tercover
dalam disiplin-disiplin ilmu modern?, kedua; seberapa besar sumbangan itu ika
dibandingkan dengan penemuan dari ilmu modern dari Barat?, ketiga; jika ada
kekurangan di luar kahzanah Islam, kemanakah upaya umat Islam harus
mengisi kekurangan-kekurangan itu?
6. Langkah 6: Analisi Kritis terhadap Disiplin Ilmu Modern; setelah relevansi
Islam dengan masing-masing ilmu telah ditentukan, maka langkah selanjutnya
adalah dengan menganalisis dari sudut pandang Islam.
7. Langkah 7: Analisis Kritis terhadap Khazanah Islam; yang menjadi sasaran
kritis adalah pemahaman intelektual muslim mengenai nash (al-Qur‟an dan
Sunnah) dan semua karya-karyanya begitu pula harus dianalisis relevansinya
dengan masa kekinian.
8. Langkah 8: Survey Permasalahan yang Dihadapi Umat Islam; permasalah yang
harus dihadapi umat ini mencakup semua aspek, baik sosial, politik, ekonomi,
budaya, moral, dan seterusnya.
9. Langkah 9: Survey Permasalahan Kemanusiaan Secara Umum; yaitu
mendiagnosis apa yang menjadi permasalah dalam aspek kemanusiaan secara
umum di kalangan masyarakat.
10. Langkah 10: Analisis Sintesis Relatif; pada tahap ini para sarjana muslim sudah
siap untuk memadukan warisan Islam dengan disiplin ilmu modern dan
mendobrak semua kemandekan pembangunan selama berabad-abad. Dari hasil
ini warisan intelektual Islam harus berkesinambungan dan sepadan denga hasil-
hasil ilmu modern dan bahkan melebihinya.
9
11. Langkah 11: Menyusun Kembali Disiplin Ilmu Modern ke dalam Kerangka
Islam: begitu proses kesinambungan dilakukan, maka daras (teks) harus ditulis
dan diabadikan dalam hak kekayaan intelektual Islam.
12. Langkah 12: Menyebarkan Ilmu-Ilmu yang Telah di Islamisasi (diintegrasikan);
karya-kary aintelektual teresebut kemudian disosialisakan dan diajarkan kepada
seluruh lapisan masyarakat agar memperoleh gambaran yang jelas mengenai
displin ilmu yang telah diintegrasikan tersebut.
Pengembangan Keilmuan Integrasi Islam dan Sains di Perguruan Tinggi
Keagamaan Islam Negeri (PTKIN)
A. UIN Maliki Malang
Merupakan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam yang mengalami proses
transformasi yang begitu cepat dan tak disangka oleh banyak orang. PTKIN
yang mampu membawa sivitas akademika maupun lulusannya menjadi umat
Islam yang berkualitas dan unggul. Banyak yang tidak menyangka UIN Maliki
Malang mengalami proses perubahan baik dari sisi kelembagaan maupun
keilmuan yang diajarkan secara cepat dan menakjubkan. Integrasi Islam dan
Sains yang diusung oleh kampus ini telah mampu menjawab kegelisahan yang
selama ini dihadapi oleh umat Islam, khususnya di Indonesia.
Ciri khusus lain Universitas ini sebagai implikasi dari model
pengembangan keilmuannya adalah keharusan seluruh bagi anggota sivitas
akademika menguasai bahasa Arab dan bahasa Inggris. Melalui bahasa Arab,
diharapkan mereka mampu melakukan kajian Islam melalui sumber aslinya
yaitu al-Qur‟an dan Hadis dan melalui bahasa Inggris mereka diharapkan
mampu mengkaji ilmu-ilmu umum dan modern, selain sebagai piranti
komunikasi global. Karena itu pula, Universitas ini disebut bilingual university.
Untuk mencapai maksud tersebut, dikembangkan ma‟had atau pesantren
kampus di mana seluruh mahasiswa tahun pertama harus tinggal di ma‟had.
Karena itu, pendidikan di Universitas ini merupakan sintesis antara tradisi
universitas dan ma‟had atau pesantren.
Melalui model pendidikan semacam itu, diharapkan akan lahir lulusan
yang berpredikat ulama yang intelek profesional dan atau intelek profesional
yang ulama. Ciri utama sosok lulusan demikian adalah tidak saja menguasai
10
disiplin ilmu masing-masing sesuai pilihannya, tetapi juga menguasai al-Qur‟an
dan Hadis sebagai sumber utama ajaran Islam.
Universitas Islam Negeri (UIN) Malang berdiri berdasarkan Surat
Keputusan Presiden No. 50 tanggal 21 Juni 2004. Bermula dari gagasan para
tokoh Jawa Timur untuk mendirikan lembaga pendidikan tinggi Islam di bawah
Departemen Agama, dibentuklah Panitia Pendirian IAIN Cabang Surabaya
melalui Surat Keputusan Menteri Agama No. 17 Tahun 1961 yang bertugas
untuk mendirikan Fakultas Syariah yang berkedudukan di Surabaya dan
Fakultas Tarbiyah yang berkedudukan di Malang. Keduanya merupakan
fakultas cabang IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan diresmikan secara
bersamaan oleh Menteri Agama pada 28 Oktober 1961. Pada 1 Oktober 1964
didirikan juga Fakultas Ushuluddin yang berkedudukan di Kediri melalui Surat
Keputusan Menteri Agama No. 66/1964.
Dalam perkembangannya, ketiga fakultas cabang tersebut digabung dan
secara struktural berada di bawah naungan Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Sunan Ampel yang didirikan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama No.
20 tahun 1965. Sejak saat itu, Fakultas Tarbiyah Malang merupakan fakultas
cabang IAIN Sunan Ampel. Melalui Keputusan Presiden No. 11 Tahun 1997,
pada pertengahan 1997 Fakultas Tarbiyah Malang IAIN Sunan Ampel beralih
status menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Malang
bersamaan dengan perubahan status kelembagaan semua fakultas cabang di
lingkungan IAIN se-Indonesia yang berjumlah 33 buah. Dengan demikian,
sejak saat itu pula STAIN Malang merupakan lembaga pendidikan tinggi
Islam otonom yang lepas dari IAIN Sunan Ampel.
Di dalam rencana strategis pengembangannya sebagaimana tertuang
dalam Rencana Strategis Pengembangan STAIN Malang Sepuluh Tahun ke
Depan (1998/1999-2008/2009), pada paruh kedua waktu periode
pengembangannya STAIN Malang mencanangkan mengubah status
kelembagaannya menjadi universitas. Melalui upaya yang sungguh-sungguh
dan bertanggungjawab usulan menjadi universitas disetujui Presiden melalui
Surat Keputusan Presiden RI No. 50, tanggal 21 Juni 2004 dan diresmikan oleh
Menko Kesra ad Interim Prof. H.A. Malik Fadjar, M.Sc bersama Menteri
Agama Prof. Dr. H. Said Agil Husin Munawwar, M.A. atas nama Presiden
11
pada 8 Oktober 2004 dengan nama Universitas Islam Negeri (UIN) Malang
dengan tugas utamanya adalah menyelenggarakan program pendidikan tinggi
bidang ilmu agama Islam dan bidang ilmu umum. Dengan demikian, 21 Juni
2004 merupakan hari jadi Universitas ini.
Sempat bernama Universitas Islam Indonesia-Sudan (UIIS) sebagai
implementasi kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Sudan dan
diresmikan oleh Wakil Presiden RI H. Hamzah Haz pada 21 Juli 2002 yang
juga dihadiri oleh Wakil Presiden Republik Sudan serta para pejabat tinggi
pemerintah Sudan, secara spesifik akademik, Universitas ini mengembangkan
ilmu pengetahuan tidak saja bersumber dari metode-metode ilmiah melalui
penalaran logis seperti observasi dan eksperimentasi, tetapi juga bersumber dari
al-Qur‟an dan Hadits yang selanjutnya disebut paradigma integrasi. Oleh
karena itu, posisi al-Qur‟an, Hadits menjadi sangat sentral dalam kerangka
integrasi keilmuan tersebut.
Secara kelembagaan, sampai saat ini Universitas ini memiliki 6 (enam)
fakultas dan Sekolah Pascasarjana, yaitu: (1) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, menyelenggarakan Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), Jurusan
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan Jurusan Pendidikan Guru
Madrasah Ibtidaiyah (PGMI); (2) Fakultas Syariah, Jurusan Al-Ahwal al-
Syakhshiyah, dan Hukum Bisnis Syariah (3) Fakultas Humaniora dan Budaya,
Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, dan
Jurusan Pendidikan Bahasa Arab (4) Fakultas Ekonomi, Jurusan Manajemen,
(5) Fakultas Psikologi, dan (6) Fakultas Sains dan Teknologi, Jurusan
Matematika, Biologi, Fisika, Kimia, Teknik Informatika, dan Teknik
Arsitektur, dan Program Pascasarjana mengembangkan 4 (empat) program
studi magister, yaitu: (1) Program Magister Manajemen Pendidikan Islam, (2)
Program Magister Pendidikan Bahasa Arab, (3) Program Magister Studi Ilmu
Agama Islam, dan (4) Program Magister Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah
(PGMI). Sedangkan untuk program doktor, Program Pascasarjana
mengembangkan 3 (tiga) program yaitu (1) Program Doktor Manajemen
Pendidikan Islam (2) Program Doktor Pendidikan Bahasa Arab, dan (3)
Program Doktor Pendidikan Agama Islam Berbasis Studi Interdisipliner.
12
Terletak di Jalan Gajayana 50, Dinoyo Malang dengan lahan seluas 14
hektar, Universitas ini memordernisasi diri secara fisik sejak September 2005
dengan membangun gedung rektorat, fakultas, kantor administrasi, perkuliahan,
perpustakaan, laboratorium, kemahasiswaan, pelatihan, olah raga, bussiness
center, poliklinik dan tentu masjid dan ma‟had yang sudah lebih dulu ada,
dengan pendanaan dari Islamic Development Bank (IDB) melalui Surat
Persetujuan IDB No. 41/IND/1287 tanggal 17 Agustus 2004.
Pada tanggal 27 Januari 2009, Presiden Republik Indonesia Dr. H. Susilo
Bambang Yudhoyono berkenan memberikan nama Universitas ini dengan
nama Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Mengingat
nama tersebut cukup panjang diucapkan, maka pidato pada dies natalis ke-4,
Rektor menyampaikan singakatan nama Universitas ini menjadi UIN Maliki
Malang.16
Dalam perkembangan selanjutnya, UIN Maliki telah memiliki kampus II
di Dadaprejo Kota Batu yang digunakan sebagai kampus Pascasarjana (untuk
S2 dan S3) yang terletak di Jalan Ir. Soekarno No.1. Dadaprejo Kota Batu
Malang.17
Sampai saat ini, UIN Maliki berencana akan membangun kampus III
di daerah Junrejo seluas 100 Hektar yang digunakan untuk Fakultas Kedokteran
dan Fakultas Teknik serta sarana laboraturium lengkap dan Rumah Sakit
Pendidikan. UIN Maliki juga telah membuat rencana pembangunan kampus
selanjutnya yang digunakan untuk Fakultas Peternakan, Pertanian, dan
Kelautan di Malang Selatan.18
Pengembangan keilmuan yang dilakukan oleh UIN Maliki adalah adalah
pengembangan keilmuan secara integrasi Islam dan Sains. Filsafat keilmuan
dan pondasi keilmuannya adalah digambarkan dengan “Pohon Ilmu”.
16 Diambil dari Arsip Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono yang ke 3943 dalam Situs Resmi
Presiden RI, www.presidenri.go.id/index.php/fokus/2009/01/27/3943.html, diakses pada tanggal 05 Maret 2015.
17 Kantor Berita Resmi RI ANTARA, Wapres Boediono meresmikan gedung Pascasarjana UIN Malang, (Jakarta: Antara, 2013), redaktur Widodo S Jusuf, Berita dimuat pada tanggal 25 Maret 2013, dalam http://www.antaranews.com/berita/365235/wapres-resmikan-gedung-pasca-sarjana-uin-malang, diakses pada tanggal 05 Maret 2015..
18 Bambang Supriyanto, IDB danai pembangunan UIN Malang Rp. 1,5 Trilyun, Artikel dimuat pada tanggal Selasa 17 Mei 2011, dalam http://finansial.bisnis.com/read/20110517/9/30015/idb-danai-pembangunan-uin-malang-rp1-5-triliun, diakses pada tanggal 05 Maret 2015..
13
Bangunan struktur keilmuan Universitas didasarkan pada universalitas
ajaran Islam. Metafora yang digunakan adalah sebuah pohon yang kokoh,
bercabang rindang, berdaun subur, dan berbuah lebat karena ditopang oleh akar
yang kuat. Akar yang kuat tidak hanya berfungsi menyangga pokok pohon,
tetapi juga menyerap kandungan tanah bagi pertumbuhan dan perkembangan
pohon.
Akar pohon menggambarkan landasan keilmuan universitas. Ini
mencakup: (1) Bahasa Arab dan Inggris, (2) Filsafat, (3) Ilmu-ilmu Alam, (4)
Ilmu-ilmu Sosial, dan (5) Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.
Penguasaan landasan keilmuan ini menjadi modal dasar bagi mahasiswa untuk
memahami keseluruhan aspek keilmuan Islam, yang digambarkan sebagai
pokok pohon yang menjadi jati-diri mahasiswa universitas ini, yaitu: (1) Al-
Qur‟an dan as-Sunnah, (2) Sirah Nabawiyah, (3) Pemikiran Islam, dan (4)
Wawasan Kemasyarakatan Islam.
Gambar 1.1.
Filsafat/Struktur Keilmuan UIN Maliki
“Pohon Ilmu”.
Dahan dan ranting mewakili bidang-bidang keilmuan universitas ini
yang senantiasa tumbuh dan berkembang, yaitu: (1) Tarbiyah, (2) Syariah,
(3) Humaniora dan Budaya, (4) Psikologi, (5) Ekonomi, dan (6) Sains dan
14
Teknologi. Bunga dan buah menggambarkan keluaran dan manfaat upaya
pendidikan universitas ini, yaitu: keberimanan, kesalehan, dan keberilmuan.
Seperti keniscayaan bagi setiap pohon untuk memiliki akar dan pokok
pohon yang kuat, maka merupakan kewajiban bagi setiap individu
mahasiswa untuk menguasai landasan dan bidang keilmuan. Digambarkan
sebagai dahan dan ranting, maka penguasaan bidang studi baik akademik
maupun profesional, merupakan pilihan mandiri dari masing-masing
mahasiswa.
Gambar 1.2.
Pola Pengembangan Keilmuan UIN Maliki
Gambar 1.3.
Paradigma Keilmuan Yang Terjadi Sekarang
15
Gambar 1.4.
Hasil Integrasi Islam dan Sains di UIN Maliki Malang
B. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Merupakan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam yang mengalami proses
transformasi yang cepat bersama-sama dengan UIN Maliki Malang.
Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2004
tentang Perubahan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga
Yogyakarta menjadi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dan
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Malang menjadi Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang yang tertanggal pada 21 Juni
2004 yang ditandatangi oleh Presiden RI kelima Megawati Soekarno Putri.
16
Sejarah munculnya UIN Suka dimulai dengan Penegerian Fakultas
Agama Universitas Islam Indonesia (UII) menjadi Perguruan Tinggi Agama
Islam (PTAIN) yang diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 1950
Tanggal 14 Agustus 1950 dan Peresmian PTAIN pada tanggal 26 September
1951. Pada Periode ini, terjadi pula peleburan PTAIN (didirikan berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 1950) dan ADIA (didirikan berdasarkan
Penetapan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1957) dengan diterbitkannya
Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1960 Tanggal 9 Mei 1960 tentang
Pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dengan nama Al-Jami'ah al-
Islamiyah al-Hukumiyah. pada periode ini, PTAIN berada di bawah
kepemimpinan KHR Moh Adnan (1951-1959) dan Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya
(1959-1960).
Proses yang terjadi berdirinya UIN Suka setelah periode perintisan
dilanjutkan dengan periode peletakan landasan (1960-1972), periode peletakan
landasan akademik (1972-1996), periode pemantapan akademik dan
manajemen (1996-2001), periode pengembangan kelembagaan (2001-2010),
dan periode kebersamaan dan kesejahteraan (2010-2014).19
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (yang disingkat dengan UIN Suka)
adalah Perguruan Tinggi Keagamaan Islam yang visi misi universitasnya adala
untuk mengintegrasikan Islam dan Sains. Terkenal dengan pondasi
keilmuannya yang mengusung “Integratif-Interkonektif”20
, “Dedikatif-
Inovatif”21
, dan “Inklusif-Continuous Improvement”.22
Tetapi yang terkenal
adalah dengan pengembangan keilmuan yang Integratif-Interkonektif.
Paradigma keilmuan yang ditekankan di UIN Suka adalah
mengintegrasikan ilmu Islam dengan Sains bukan hanya sekedar hanya
menempel-nempelka begitu saja, melainkan sudah mempunyai disiplin ilmu
tersendiri. Filsafat keilmuan UIN Suka yang terkenal adalah konsep “jaring
laba-laba keilmuan”.
19 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sejarah Universitas, http://uin-
suka.ac.id/index.php/page/universitas/1-sejarah, diakses pada tanggal 05 April 2015. 20 Sistem keterpaduan dalam pengembangan akademik, manajemen, kemahasiswaan, kerjasama,
dan entrepreneurship 21 Bersikap dedikatif, amanah, pro mutu, berpikir dan bergerak aktif, kreatif, cerdas, dan inovatif;
tidak sekadar bekerja rutin dan rajin 22 Bersifat terbuka, akuntabel, dan komit terhadap perubahan dan keberlanjutan.
17
Gambar 1.2.
Filsafat/Struktur Keilmuan UIN Maliki
“Jaring Laba-Laba”.
Gambar tersebut mengilustrasikan hubungan jaring laba-laba yang
bercorak teoantroposentris-integralistik yang mengusung misi bahwa untuk
mempelajari dan memahami ilmu pengetahuan, sains, dan agama diperlukan
paradigma ini. Al-Qur‟an dan Hadis merupakan sumber ilmu pengetahuan,
sains, dan segala apa yang ada di alam semesta ini, mempunyai kajian keilmuan
yang sangat meluas. Ketika berbicara Al-Qur‟an dan Hadis dengan berbagai
pendekatan dan pendekatan, maka akan muncul ilmu kalam, ilmu tafsir, ilmu
falsafah, ilmu tasawuf, ilmu tarikh, ilmu fiqih, dan ilmu lughah. Lingkar ke-
empat dari hasil pembahasan ilmu-ilmu tersebut muncul diferensiasi ilmu lebih
khusus, seperti ilmu psikologi, ilmu filogi, ilmu arkeologi, ilmu sosiologi, ilmu
18
hermeneutik, dan lain-lain. Dari hasil pemahaman yang mendalam diferensiasi
ilmu pada lingkar keempat, pada lingkar kelima muncullah ilmu yang lebih
spesifik lagi yang berupa pembahasan mengenai isu-isu lingkungan, gender,
pluralisme, saintek, ekonomi, politik/civic society, humaniora, dan lain-lain.
Dari paradigma keilmuan yang dikembangkan oleh UIN Maliki dan
UIN Suka ini rupanya telah menjadi inspirasi dan rujukan bagi PTKI di seluruh
Indonesia untuk mengembangkan perguruan tinggi Islam yang mempunyai misi
mengintegrasikan Islam dan Sains dalam berbagai displin ilmu serta penelitian,
diharapkan nanti dengan pengembangan perguruan tinggi Islam dapat
menjawab kegelisahan dan kegalauan umat yang selama ini telah mengkristal
sehingga umat Islam terbelenggu dan stagnan di tempat.
DAFTAR RUJUKAN
Abdullah, Amin et.al. 2004. Integrasi Islam-Sains: Mempertemukan Epistimologi Islam
dan Sains. Yogyakarta: SUKA Press.
Ahsan, Muhammad Amimul et.al., 2013. Islamization of Knowledge: An Agenda for
Muslim Intellectuals, Global Journal of Management and Business Research
Administration and Management, Volume 13 Issue 10 Version 1.0 Year 2013,
Global Journals Inc. (USA).
al-Faruqi, Ismail Raji. 1995. Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyudin. Bandung:
Pustaka.
________________. 2010. An Expose of the Legacy of a Mujtahid in the Modern Age,
Seminar Programe, 2010 in International Institute of Islamic Thought, UK and
USA.
Arsip Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono yang ke 3943 dalam Situs Resmi Presiden
RI, www.presidenri.go.id/index.php/fokus/2009/01/27/3943.html, diakses pada
tanggal 05 Maret 2015.
Barbour, Ian G. 1996. Issues in Science and Religion. New York: Harper Tourchbooks.
Daud, Wan Mohd. 2003. Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam S.M.N. al-Attas. Bandung:
Mizan.
Departemen Agama RI. 1998. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Kemenag RI.
Hasan, M. Kamal. 2001. “The Expanding Spiritual-Moral Role of World Religions in the
New Millinium”, American Journal of Islamic School Science, Volume 18, Winter
2001, Number 1, pp.43-58.
Kantor Berita Resmi RI ANTARA. 2013. Wapres Boediono meresmikan gedung
Pascasarjana UIN Malang, (Jakarta: Antara, 2013), redaktur Widodo S Jusuf,
Berita dimuat pada tanggal 25 Maret 2013, dalam
http://www.antaranews.com/berita/365235/wapres-resmikan-gedung-pasca-sarjana-
uin-malang, diakses pada tanggal 05 Maret 2015.
Maksum, Ali. 2003. Tasawuf Sebagai Pembebas Manusia Modern: Tela’ah Konsep
Tradisional Sayyid Husen Nasr. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
19
Mohamed, Sumaya and Shadiya Baqutayan. 2011. Toward Social Change in Islam,
University Technology Malaysia (UTM). International Journal of Basic & Applied
Sciences IJBAS-IJENS Vol: 11 No: 02.
Muhaimin, 2003. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nicholson, R.A. 1979. The Mytic of Islam. London: Routledge and Kegen Paul.
Polkinghorne, John. 1988. Belief in God in an Age of Science. London: Yale University
Press.
SM, Ismail (ed.), Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suprayogo, Imam dan Rasmianto. 2008. Perubahan Pendidikan Tinggi Islam: Refleksi
Perubahan IAIN/STAIN menjadi UIN. Malang: UIN-Malang Press.
Supriyanto, Bambang. 2011. IDB danai pembangunan UIN Malang Rp. 1,5 Trilyun,
Artikel dimuat pada hari Selasa 17 Mei 2011, dalam
http://finansial.bisnis.com/read/20110517/9/30015/idb-danai-pembangunan-uin-
malang-rp1-5-triliun, diakses pada tanggal 05 Maret 2015.
Syekh Muhammad Naquib a-Attas. 1981. Islam dan Sekularisme, terj. Bandung: Pustaka.
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2015. Sejarah Universitas, http://uin-
suka.ac.id/index.php/page/universitas/1-sejarah, diakses pada tanggal 05 April
2015.