27
JURNAL INSPIRASI https://doi.org/10.35880/inspirasi.v11i1.161 Wisandana [email protected] © 2020 Model Kemitraan dalam Implementasi Partisipasi Masyarakat pada Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan di Jawa Barat The Partnership Model in The Implementation of Public Participation in Environmental Impact Assessment Process in West Java Wisandana 1 Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Provinsi Jawa Barat Sejak diterbitkannya PP No. 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), maka AMDAL telah menjadi salah satu instrumen birokrasi yang sangat rumit, yang dalam prosesnya tidak hanya menjadikan AMDAL sebagai beban birokrasi, namun juga menjadikannya salah satu faktor ekonomi biaya tinggi. Atas dasar itu, diterbitkanlah PP 51 This study is a comparative case study in which public participation conducted in three projects in West Java were observed during the process of making EIA. This research uses a qualitative approach, i.e. content analysis of related documents, literature, regulations, and the study results are validated by unstructured interviews with EIA practitioners and experts. The results of the study indicate that public participation in the EIA process has been carried out as a form of compliance with EIA procedures. In all EIA documents studied, it is safe to say that the public participation in this process of EIA is indeed one model of partnership. However, the effectiveness of public participation in terms of substance has not been optimally conducted. Therefore it is deemed necessary to explicitly regulate the role of regional, village officials, and environmental organizations as facilitators to accompany public consultations. Kajian ini merupakan studi perbandingan terhadap 3 proyek di Jawa Barat dimana dilakukan observasi terhadap partisipasi masyarakat yang dilaksanakan dalam proses AMDAL. Pendekatan penelitian menggunakan metode kualitatif, yaitu analisis konten terhadap dokumen, literatur, serta validasi temuan penelitian dengan wawancara tidak terstruktur terhadap para ahli dan praktisi di bidang AMDAL. Hasil kajian menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam proses AMDAL telah dilaksanakan sebagai bentuk penaatan (compliance) terhadap prosedur AMDAL. Bentuk partisipasi masyarakat yang dilakukan telah dapat mewujudkan kesetaraan kedudukan diantara pihak – pihak yang terlibat dan hubungan kemitraan yang saling bermanfaat, sehingga merupakan suatu model kemitraan. Namun demikian efektivitas partisipasi masyarakat tersebut dari sisi substansi belum optimal. Oleh karena itu dipandang perlu untuk mengatur secara eksplisit peran perangkat daerah dan perangkat desa serta organisasi lingkungan sebagai fasilitator konsultasi publik. Diterima, 2 Oktober 2020 Direvisi, 4 November 2020 Disetujui, 20 November 2020 kemitraan, partisipasi masyarakat, analisis mengenai dampak lingkungan ,partnership, public participation, environmental impact assessment

Model Kemitraan dalam Implementasi Partisipasi Masyarakat

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Model Kemitraan dalam Implementasi Partisipasi Masyarakat

J U R N A L I N S P I R A S I https://doi.org/10.35880/inspirasi.v11i1.161

Wisandana [email protected]

© 2020

Model Kemitraan dalam Implementasi Partisipasi Masyarakat pada Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan di Jawa Barat

The Partnership Model in The Implementation of Public Participation in Environmental Impact Assessment Process in West Java

Wisandana 1 Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Provinsi Jawa Barat

Sejak diterbitkannya PP No. 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), maka AMDAL telah menjadi salah satu instrumen birokrasi yang sangat rumit, yang dalam prosesnya tidak hanya menjadikan AMDAL sebagai beban birokrasi, namun juga menjadikannya salah satu faktor ekonomi biaya tinggi. Atas dasar itu, diterbitkanlah PP 51

This study is a comparative case study in which public participation conducted in three projects in West Java were observed during the process of making EIA. This research uses a qualitative approach, i.e. content analysis of related documents, literature, regulations, and the study results are validated by unstructured interviews with EIA practitioners and experts. The results of the study indicate that public participation in the EIA process has been carried out as a form of compliance with EIA procedures. In all EIA documents studied, it is safe to say that the public participation in this process of EIA is indeed one model of partnership. However, the effectiveness of public participation in terms of substance has not been optimally conducted. Therefore it is deemed necessary to explicitly regulate the role of regional, village officials, and environmental organizations as facilitators to accompany public consultations.

Kajian ini merupakan studi perbandingan terhadap 3 proyek di Jawa Barat dimana dilakukan observasi terhadap partisipasi masyarakat yang dilaksanakan dalam proses AMDAL. Pendekatan penelitian menggunakan metode kualitatif, yaitu analisis konten terhadap dokumen, literatur, serta validasi temuan penelitian dengan wawancara tidak terstruktur terhadap para ahli dan praktisi di bidang AMDAL. Hasil kajian menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam proses AMDAL telah dilaksanakan sebagai bentuk penaatan (compliance) terhadap prosedur AMDAL. Bentuk partisipasi masyarakat yang dilakukan telah dapat mewujudkan kesetaraan kedudukan diantara pihak – pihak yang terlibat dan hubungan kemitraan yang saling bermanfaat, sehingga merupakan suatu model kemitraan. Namun demikian efektivitas partisipasi masyarakat tersebut dari sisi substansi belum optimal. Oleh karena itu dipandang perlu untuk mengatur secara eksplisit peran perangkat daerah dan perangkat desa serta organisasi lingkungan sebagai fasilitator konsultasi publik.

Diterima, 2 Oktober 2020 Direvisi, 4 November 2020 Disetujui, 20 November 2020

kemitraan, partisipasi masyarakat, analisis mengenai dampak lingkungan ,partnership, public participation, environmental impact assessment

Page 2: Model Kemitraan dalam Implementasi Partisipasi Masyarakat

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 1 N o . 2 , D e s e m b e r 2 0 2 0 : 9 7 – 1 2 3 98

Tahun 1993 sebagai pengganti PP No. 29 Tahun 1986. Selanjutnya, untuk mengantisipasi dinamika sistem pengelolaan lingkungan hidup yang ada, iklim transparansi masyarakat, serta penguatan otonomi daerah, PP No. 51 Tahun 1993 digantikan oleh PP No. 27 Tahun 1999.

Penyelenggaraan AMDAL pasca otonomi daerah menandai dimulainya babak baru pelaksanaan AMDAL di Indonesia, yang berimplikasi kepada persoalan-persoalan yang ditimbulkan sebagai akibat dari ketidaksiapan institusi yang harus menyelenggarakannya. Sejalan dengan dinamika perubahan kebijakan nasional di bidang lingkungan hidup, serta untuk memperkuat dan menjamin kepastian hukum terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, maka PP No. 27 Tahun 1999 tentang AMDAL digantikan oleh PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, yang salah satu materinya mengatur tentang partisipasi masyarakat dalam proses AMDAL.

Dari data Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat Tahun 2017 serta data yang terhimpun di Sekretariat Komisi Penilai AMDAL Provinsi Jawa Barat Tahun 2018 dan 2019, maka terhitung sejak ditetapkannya PP No. 27 Tahun 2012 tentang Ijin Lingkungan, telah dihasilkan 80 dokumen studi AMDAL (rata-rata pertahun 10 dokumen studi AMDAL), yang selama proses implementasinya tidak pernah dievaluasi efektivitasnya dalam mewujudkan proses AMDAL dan izin lingkungan yang transparan dan berkualitas. Bahkan untuk beberapa proses implementasi partisipasi masyarakat belum pernah di evaluasi apakah partisipasi masyarakat pada proses AMDAL tersebut sudah pada tingkat membangun kemitraan atau belum.

Pasal 9 PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan menegaskan bahwa dalam menyusun AMDAL, pemrakarsa kegiatan harus mengikutsertakan masyarakat melalui pengumuman rencana kegiatan dan konsultasi publik. Beberapa bagian dari ketentuan regulasi tersebut yang terkait dengan partisipasi masyarakat, bertujuan agar masyarakat mendapatkan informasi mengenai rencana kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan dan masyarakat dapat mengajukan saran, pendapat dan tanggapan atas rencana kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan. Namun, sebagian tahapan dari partisipasi masyarakat tersebut masih dipandang belum berhasil mencapai tujuan partisipasi masyarakat dalam proses AMDAL tersebut.

Dari referensi hasil penelitian sebelumnya tentang implementasi keterlibatan masyarakat dalam proses AMDAL seperti yang dilakukan oleh World Bank (2006) dan Fransmini Ora Rudini pada studi kasus pertambangan bauksit Kabupaten Ketapang (2015) menunjukan bahwa implementasi partisipasi masyarakat pada proses AMDAL belum di implementasikan sepenuhnya, namun dari hasil analisis dan pandangan praktisi AMDAL terhadap sejumlah studi AMDAL yang telah dihasilkan dan diterbitkan izin lingkungannya di Provinsi Jawa Barat, menggambarkan bahwa meskipun partisipasi masyarakat dalam proses AMDAL telah diterapkan, hasilnya masih belum nyata memberikan kontribusi terhadap proses AMDAL yang lebih baik, terutama disebabkan oleh karena kurangnya pemahaman tentang tujuan partisipasi masyarakat dalam proses AMDAL (sumber : hasil wawancara, 2020).

Urgensi untuk mengkaji tentang partisipasi masyarakat dalam proses AMDAL tersebut menjadi penting oleh karena pada penerapan AMDAL dan penerbitan izin lingkungan di Jawa Barat tercatat adanya gugatan masyarakat terhadap izin lingkungan pada tahun 2017 dalam kasus izin lingkungan rencana pembangunan PLTU Cirebon oleh PT Cirebon Energi Prasarana dan pada tahun 2019 dalam kasus izin lingkungan rencana pembangunan jalan tol Jakarta – Cikampek (Layang – Japek II) oleh PT Jasa Marga Tbk.

Pada kasus gugatan masyarakat terhadap izin lingkungan rencana pembangunan PLTU Cirebon oleh PT Cirebon Energi Prasarana, gugatan masyarakat khususnya berkaitan dengan ketidaksesuaian tata ruang diputuskan dapat diterima dan izin lingkungan dinyatakan agar dibatalkan (Sumber: catatan kronologis gugatan izin lingkungan PLTU Cirebon – DLH 2017)

Page 3: Model Kemitraan dalam Implementasi Partisipasi Masyarakat

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 1 N o . 2 , D e s e m b e r 2 0 2 0 : 9 7 – 1 2 3 99

Sedangkan pada kasus gugatan masyarakat terhadap izin lingkungan rencana pembangunan jalan tol Jakarta – Cikampek (Layang – Japek II) oleh PT Jasa Marga Tbk, gugatan masyarakat berkaitan dengan terjadinya pencemaran udara yang pada saat ini sedang dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Sumber : catatan kronologis gugatan izin lingkungan Japek II – DLH 2019).

Sejumlah persoalan yang ditemui dalam pelaksanaan AMDAL tersebut tidak dijadikan momentum untuk mengevaluasi apakah AMDAL benar-benar telah dijalankan secara efektif sebagai instrumen pengendalian lingkungan. Keraguan atas efektivitasnya nampaknya belum pernah terjawab melalui evaluasi yang mendalam bahkan hingga saat ini. AMDAL tetap dijalankan secara mekanis dan rigid seolah-olah sebagai instrumen pengendalian lingkungan yang berdiri sendiri tanpa ada upaya untuk mengintegrasikan dengan instrumen-instrumen pengendalian lingkungan lainnya, termasuk dalam hal implementasi partisipasi masyarakat.

Atas dasar itulah, dipandang perlu untuk dilakukan suatu kajian terhadap sejauhmana implementasi partisipasi masyarakat dalam proses AMDAL di Jawa Barat serta apakah partisipasi masyarakat dalam proses AMDAL tersebut sudah pada tingkat membangun kemitraan yang berdasarkan salah satu prinsip AMDAL bahwa prosedur AMDAL harus mencakup penilaian yang tidak memihak. Studi ini memperbandingkan proses AMDAL yang terjadi pada 3 kasus di Jawa Barat, dari perspektif proses partisipasi masyarakatnya. Setelah menggali tinjauan teoritis, selanjutnya diuraikan metodologi yang digunakan, uraian mengenai ke 3 kasus dengan penekanan kepada aspek proses partisipasi masyarakatnya. Setelah bagian pembahasan dan analisis data, temuan penelitian dijelaskan pada bagian kesimpulan dan rekomendasi kebijakan.

2.1. Konsep Dasar AMDAL AMDAL merupakam inovasi kebijakan yang sangat sukses dikembangkan pada abad ke

20 yang lalu, dimana sekitar 30 tahun yang lalu tidak dikenal dan sekarang lebih dari 100 negara menggunakannya sebagai instrumen pengendalian lingkungan. AMDAL sebagai instrumen pengendalian lingkungan hidup pada mulanya berkembang di negara-negara Amerika Utara. Menurut NEPA (National Environmental Protection Agency) di Amerika Serikat, AMDAL adalah salah satu alat yang ditujukan untuk mengurangi kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh perencanaan pembangunan yang tidak mempertimbangkan aspek lingkungan.

Meskipun pada saat itu AMDAL atau yang dinegerinya disebut Environmental Impact Assesment (EIA) dipandang sebagai instrumen pengendalian lingkungan yang paling baik dibandingkan dengan instrumen pengendalian lingkungan lainnya, namun pada awal instrumen ini ternyata tidak dapat secara efektif mengendalikan perubahan lingkungan, bahkan seringkali menimbulkan ketidakefesienan. Instrumen ini seringkali menjadi alat yang sangat rumit untuk mengatasi persoalan yang justru sangat sederhana. Akibatnya dalam upaya pengendalian lingkungan hidup, EIA justru menimbulkan beban birokrasi sangat tinggi.

Secara teoritis seharusnya perkembangan EIA telah banyak menunjukan hal yang positif oleh karena sifat dan lingkup dari konsep EIA itu sendiri yang holistik dan prosesnya mengakomodasikan kepentingan antar disiplin, antar sektor dan antar wewenang. Bahkan dalam prosesnya melibatkan pula kepentingan birokrasi, pakar dan masyarakat. Intinya perkembangan EIA telah mendorong pendekatan yang dapat mengkombinasikan proses birokratik dan proses ilmiah.

Menurut NEPA (National Environmental Protection Agency), keunggulan EIA tersebut dibandingkan dengan berbagai instrumen pengendalian yang sebelumnya telah ada, antara lain karena sifatnya:

Page 4: Model Kemitraan dalam Implementasi Partisipasi Masyarakat

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 1 N o . 2 , D e s e m b e r 2 0 2 0 : 9 7 – 1 2 3 100

Antisipatif : berorientasi dan memandang apa yang akan terjadi dimasa datang dan tidak terkungkung oleh baku yang ada;

Komprehensif menyeluruh, meninjau perkara dan persoalan tidak hanya dari satu sisi saja;

Integratif : melihat keterkaitan satu segi dengan segi lain;

Partisipatif : ditelaah dan diputuskan tidak hanya oleh satu orang atau satu pihak tetapi dengan mengikutsertakan berbagai pihak yang terkena dampak maupun yang mempunyai kepedulian.

Diterbitkannya PP No. 29 Tahun 86 tentang AMDAL, memadai dimulainya babak baru pelaksanaan AMDAL di Indonesia, meskipun dalam prakteknya konsep AMDAL tersebut telah dimulai untuk dikembangkan pada berbagai proyek yang di danai oleh Bank Dunia sejak awal tahun 1980-an, antara lain seperti studi AMDAL yang dilakukan oleh Lembaga Ekologi UNPAD pada rencana pembangunan bendung Saguling

Dalam perkembangannya, pelaksanaan mekanisme AMDAL yang seharusnya mempunyai keunggulan tersebut, ternyata hanya digunakan untuk memenuhi kewajiban administrasi saja. Bahkan seringkali proses AMDAL pada akhirnya hanyalah menjadi tambahan beban mata rantai birokrasi yang telah ada. Banyak pakar dan pemerhati lingkungan yang kemudian mengintrodusir bahwa kegagalan AMDAL sebagian besar terletak pada pendekatannya yang bersifat command and control yang berakibat pada pelaksanaannya yang menjadi rigid (kaku) termasuk dalam hal pemilihan metode AMDAL serta prosesnya yang panjang dan sangat birokratis. Oleh karena itu dapat dimengerti apabila pelaksanaan AMDAL ini menjadi salah satu penyebab ekonomi biaya tinggi.

Secara umum ketidakefektifan AMDAL selain disebabkan oleh implikasi birokrasi yang berlebihan, menurut Sutarman (2019) juga dikarenakan faktor-faktor AMDAL dilaksanakan hanya sebagai formalitas persyaratan perijinan, adanya keterbatasan dan kekakuan dalam menerapkan metodologi dan teknik analisis, lemahnya tindak lanjut implementasi RKL/RPL serta sistem pengawasan, keterbatasan wawasan dan kemampuan SDM pelaksanaan AMDAL, serta sifat AMDAL yang reaktif dan menunggu adanya prakarsa (bandingkan dengan tata ruang yang lebih kuat sifat proaktifnya, tanpa menunggu adanya prakarsa).

Keseluruhan faktor-faktor tersebut pada dasarnya telah dipertimbangkan oleh para pemegang otoritas yang berkompeten dalam mengatur regulasi AMDAL dI Indonesia, sehingga sistem dan tata laksana AMDAL selama perjalanannya telah pula mengalami beberapa kali penyempurnaan dari sejak diterbitkannya PP No. 29 Tahun 1986, yang kemudian yang dilatarbelakangi untuk dapat meningkatkan efesinsi dan daya saing perekonomian nasional dan mencegah ekses birokrasi yang berlebihan, PP No. 29 Tahun 1986 tersebut direvisi oleh PP No. 51 Tahun 1993. Kemudian dengan pertimbangan untuk dapat lebih menyederhanakan prosedur AMDAL serta mengembangkan partisipasi masyarakat dalam proses AMDAL disamping memberikan peran yang lebih besar dalam hal penilaian AMDAL kepada daerah, maka PP No. 51 Tahun 1993 tersebut telah digantikan pula oleh PP No. 27 Tahun 1999, dan saat ini telah digantikan oleh PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.

2.2. Prinsip-prinsip Pelaksanaan AMDAL

Beberapa prinsip pelaksanaan AMDAL berdasarkan PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, pertama adalah bahwa suatu rencana kegiatan yang diperkirakan akan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hanya boleh dilakukan setelah dipertimbangkan dampak lingkungannya, PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan menyebutkan bahwa AMDAL merupakan syarat pemberian izin lingkungan.

Prinsip kedua yaitu AMDAL merupakan bagian dari proses perencanaan. Artinya AMDAL adalah bagian dari studi kelayakan ekonomi dan kelayakan teknis. Untuk itu berdasarkan penjelasan umum PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, disamping proses penyusunan

Page 5: Model Kemitraan dalam Implementasi Partisipasi Masyarakat

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 1 N o . 2 , D e s e m b e r 2 0 2 0 : 9 7 – 1 2 3 101

AMDAL yang perlu terus ditingkatkan kualitasnya, maka poses penilaiannyapun perlu untuk terus dikembangkan.

Prinsip selanjutnya adalah bahwa kriteria dan prosedur AMDAL harus jelas dirumuskan dalam pengaturan perundang-undangan PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan menyebutkan bahwa penetapan kegiatan wajib AMDAL dilakukan oleh Menteri Lingkungan Hidup.

Prinsip berikutnya adalah prosedur AMDAL harus mencakup penilaian yang tidak memihak. Artinya, perlu didudukannya lembaga swadaya masyarakat (LSM), pakar atau ahli serta masyarakat yang akan terkena dampak sebagai anggota komisi AMDAL. Selanjutnya ditegaskan pula prinsip bahwa AMDAL bersifat terbuka kecuali yang menyangkut rahasia negara. Artinya setiap orang dapat memperoleh informasi atau salinan hasil AMDAL beserta keputusan atas dokumennya, termasuk dalam hal ini partisipasi masyarakat dalam proses AMDAL nya.

Prinsip yang terakhir menegaskan bahwa keputusan tentang AMDAL harus dilakukan secara tertulis. Hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan sistem informasi lingkungan disamping pernyataan tertulis tersebut pada hakekatnya adalah legitimasi bahwa AMDAL adalah merupakan dokumen hukum. Oleh karena itu, pelaksanaan AMDAL yang sudah disetujui harus dipantau. Artinya, pengawasan pelaksanaan AMDAL merupakan suatu hal yang akan menentukan efektif atau tidaknya AMDAL, sehingga pelaksanaan AMDAL akan memerlukan aparat yang terampil dan memadai.

2.3. Kemitraan

Kemitraan dilihat dari perspektif etimologis diadaptasi dari kata partnership, dan berasal dari akar kata partner. Sedangkan partnership diterjemahkan menjadi persekutuan atau perkongsian. Bertolak dari sini maka kemitraan dapat dimaknai sebagai suatu bentuk persekutuan antara dua pihak atau lebih yang membentuk suatu ikatan kerjasama atas dasar kesepakatan dan rasa saling membutuhkan dalam rangka meningkatkan kapasitas dan kapabilitas di suatu bidang usaha tertentu, atau tujuan tertentu, sehingga dapat memperoleh hasil yang lebih baik.

Menurut Sulistiyani (2017) kemitraan dapat terbentuk apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1. Ada dua pihak atau lebih. 2. Memiliki kesamaan visi dalam mencapai tujuan. 3. Ada kesepakatan. 4. Saling membutuhkan.

Tujuan terjadinya suatu kemitraan adalah untuk mencapai hasil yang lebih baik, dengan saling memberikan manfaat antara pihak yang bermitra. Dengan demikian kemitraan hendaknya memberikan keuntungan kepada pihak – pihak yang bermitra, dan bukan sebaliknya ada suatu pihak yang dirugikan atau merugikan. Untuk terjadinya sebuah kemitraan yang kuat dan saling menguntungkan serta memperbesar manfaat memerlukan komitmen yang seimbang antara yang satu dan yang lainnya.

Kemitraan dapat dilakukan oleh pihak – pihak baik perseorangan atau badan hukum, atau kelompok – kelompok. Adapun pihak – pihak yang bermitra tersebut dapat memiliki status yang setara atau subordinate, memiliki kesamaan misi atau misi berbeda tetapi saling mengisi/melengkapi secara fungsional.

Pada dasarnya menurut Sulistiyani (2017) maka kemitraan dapat dibedakan menjadi kemitraan semu yaitu kemitraan yang sesungguhnya tidak melakukan kemitraan yang seimbang diantara para pihak yang terlibat, dan kemitraan mutualistik yaitu persekutuan diantara para

Page 6: Model Kemitraan dalam Implementasi Partisipasi Masyarakat

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 1 N o . 2 , D e s e m b e r 2 0 2 0 : 9 7 – 1 2 3 102

pihak untuk saling memberikan manfaat sehingga akan dapat mencapai tujuan yang lebih optimal.

Dalam kaitan untuk mewujudkan good governance maka salah satu prinsip atau asas yang harus diterapkan adalah adanya kemitraan yang mendudukan kesetaraan antara peran pemerintah, swasta dan masyarakat sesuai dengan fungsinya masing – masing.

Tentang kemitraan ini Mitchell (dalam Gunawan, 2010) mengemukakan bahwa beberapa elemen kunci kemitraan adalah : 1. Compatibility yang didasarkan atas kepercayaan dan saling menghargai di antara

partisipan. 2. Manfaat bagi semua partisipan yang terlibat. Kemitraan tidak akan berjalan seperti yang

diharapkan apabila ada sebagian pihak yang tidak memperoleh manfaat dari kerjasama yang dibuat.

3. Wewenang dan keterwakilan yang sederajat. Kemitraan tidak akan berjalan bila ada sebagian pihak yang terlalu mendominasi, apalagi bila terdapat sebagian pihak yang tidak memiliki kewenangan apapun.

4. Mekanisme komunikasi yang baik harus dibangun secara internal diantara mitra – mitra yang membangun kemitraan, dan dengan kelompok – kelompok diluar kemitraan yang dibangun.

5. Adaptabilitas. Kemitraan yang dibangun harus bersifat adaptif terhadap berbagai perubahan yang mungkin terjadi.

2.4. Partisipasi Partisipasi (participation) merupakan aksi mengambil bagian atau memberi andil atau

memberi sumbangan pada suatu aktivitas atau peristiwa (Kuswartoyo, 2010). Aksi itu dapat dilakukan oleh perorangan atau oleh sejumlah orang atau banyak orang yang terorganisasikan atau tidak terorganisasikan. Berpatisipasi artinya juga terlibat (involve), tetapi tidak segala keterlibatan dapat disebut partisipasi, karena partisipasi mengandung sifat kesukarelaan atau atas kemauan sendiri bagi kepentingan bersama. Hal ini tentu saja tidak hanya menyangkut pengelolaan lingkungan hidup, tetapi dapat berkaitan dengan segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara (Kuswartojo, 2010).

Semenjak pembangunan tidak lagi dipandang secara sempit sebagai pembangunan ekonomi saja dan semenjak pembangunan juga ditekuni oleh para pakar ilmu sosial, partisipasi menjadi bidang kajian yang berpengaruh dalam manajemen pembangunan dan manajemen publik pada umumnya. Apa yang banyak dirisaukan para pakar sosial adalah bahwa dalam pertumbuhan ekonomi ada sejumlah besar anggota masyarakat yang tidak memperoleh manfaat oleh adanya pertumbuhan itu. Kerisauan ini tidak hanya mengendap dalam nurani para pakar berbagai ilmu sosial yang biasanya mempersoalkan dari sudut moral, etika keadilan dan hak politik, tetapi juga menjadi perhatian juga para ekomom yang melihat ketertinggalan dan kesenjangan ini sebagai beban pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Salah satu upaya untuk mengatasinya adalah dengan mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

Istilah partisipasi dalam pembangunan kemudian menjadi demikian populer serta digunakan oleh berbagai pihak dan kalangan, tetapi dengan pemahaman yang beraneka ragam, paling tidak tercatat ada dua “kubu” dalam pemahaman partisipasi ini. Dalam bahasa birokrat partisipasi diterjemahkan dalam suasana bahwa pemerintahlah membuat rencana dan kemudian rakyat yang diminta untuk mendukung pelaksanaannya. Sedang dalam bahasa keswadayaan, masyarakat justru harus dilibatkan sejak perencanaannya.

Menurut Kuswartoyo (2010), ada dua macam partisipasi, pertama partisipasi dalam konsep birokratik, teknokratik serta pertumbuhan, dan kedua partisipasi dalam konsep

Page 7: Model Kemitraan dalam Implementasi Partisipasi Masyarakat

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 1 N o . 2 , D e s e m b e r 2 0 2 0 : 9 7 – 1 2 3 103

humanistik dan egalitarian. Dalam konsep birokratik ada kecenderungan partisipasi diatur secara terpusat dengan undang-undang nasional, tidak mempribadi (impersonal), rutin, terpolakan dalam suatu prosedur operasi yang baku, tidak arif dan tidak tanggap pada permasalahan setempat dan kepentingan perorangan. Sedang dalam konsep humanistik, partisipasi tidak hanya “menjinakkan” birokrasi tetapi yang penting lagi adalah memperkuat kemampuan perorangan dan komunitas untuk memobilisasi dan menolong dirinya sendiri.

Selanjutnya tentang partisipasi ini, Gunawan (2010) menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat dapat diartikan sebagai suatu usaha terencana untuk melibatkan masyarakat dalam pembuatan keputusan. Oleh karena itu partisipasi dapat diartikan sebagai suatu proses aktif yang memperlihatkan bagaimana pihak – pihak yang mendapat manfaat dapat mempengaruhi pelaksanaan suatu kegiatan. Partisipasi masyarakat bukan hanya melibatkan masyarakat sebagai obyek namun melibatkan masyarakat sebagai subyek.

Pada akhirnya adanya partisipasi masyarakat selain memberikan dampak positif, pada sisi yang lain dapat pula menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan antara lain ketidakpastian hasil dari proses dan keterlambatan suatu pelaksanaan kegiatan oleh karena adanya perpanjangan waktu pelaksanaan dan meningkatnya biaya kegiatan. Namun demikian, kerugian – kerugian tersebut sebenarnya akan terbayar oleh hasil yang lebih baik apabila partisipasi masyarakat tersebut dilakukan berdasarkan kesetaraan posisi dalam bentuk kemitraan.

2.5. Partisipasi dan Pembangunan Berkelanjutan

Agenda 21 sebagai program dunia pembangunan berkelanjutan, yang telah disepakati oleh berbagai negara yang mengikuti Konfrensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janerio tahun 1992, telah menyatakan bahwa partisipasi yang luas dalam pengambilan keputusan adalah prasarat untuk dapat mewujudkan pengembangan kualitas hidup secara berkelanjutan. Oleh karena itulah maka Agenda 21 selain memuat program tentang sosial ekonomi seperti: pengentasan kemiskinan, perubahan pola konsumsi, pengendalian kependudukan, kesehatan, permukiman dan program tentang konservasi dan pengelolaan sumber daya alam, juga mengagendakan penguatan kelompok-kelompok utama untuk memungkinkan dapat dilakukan partisipasi.

Disebutkan bahwa syarat fundamental untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah adanya partisipasi publik yang luas dalam pengambilan keputusan. Selanjutnya dinyatakan bahwa dalam konteks pembangunan dan pengelolaan lingkungan, sesungguhnya suatu prosedur partisipasi dalam pengambilan keputusan telah hadir, yaitu partisipasi dalam proses telaahan dampak lingkungan (di Indonesia dikenal dengan AMDAL). Keharusan melibatkan pihak yang terkena dampak merupakan mekanisme partisipasi tersebut.

Dari pelaksanaan program pembangunan berkelanjutan tersebut berkembang pandangan bahwa pembangunan berkelanjutan, yang artinya pengembangan kualitas hidup secara berkelanjutan hanya dapat terwujud apabila ada penyelenggaraan (governance) yang baik atas sumberdaya. Artinya bagaimana sumberdaya alam, sumberdaya buatan, sumberdaya manusia dan sumberdaya sosial, dipelihara, dikembangkan, dipertukaran, digunakan, dialokasikan dan didistribusikan, harus dilakukan dengan penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance).

Dari dokumen kebijakan UNDP (United Nations Development Program) dapat ditafsirkan bahwa penyelenggaraan negara adalah upaya (exercise) otoritas ekonomi, politik dan administrasi untuk mengelola berbagai peristiwa negeri pada berbagai tingkata. Dalam proses penyelenggaraan negara tersebut pada dasarnya ada tiga pihak dengan wataknya masing yang mempertaruhkan apa yang dimiliki yaitu : pemerintah, usaha swasta dan masyarakat sipil.

Page 8: Model Kemitraan dalam Implementasi Partisipasi Masyarakat

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 1 N o . 2 , D e s e m b e r 2 0 2 0 : 9 7 – 1 2 3 104

Pada penyelenggaraan negara yang baik, masing-masing pihak yang mempertaruhkan kemampuannya untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik itu harus mempunyai wawasan sebagai berikut (Agenda 21 Indonesia, 1997) : Partisipatif, Penataan dan penegakan peaturan perundangan, Transparansi, Daya tanggap, Orientasi pada konsensus, Bersikap adil, Efektif dan efesien, Akuntabilitas atau pertanggung jawaban, dan Visi strategik.

Dengan pandangan dan pengertian tentang penyelenggaraan negara yang baik tersebut dan keyakinan bahwa pembangunan berkelanjutan hanya dapat dicapai melalui penyelenggaraan negara yang baik, maka partisipasi menjadi salah satu syarat untuk mencapai peningkatan kualitas hidup yang berkelanjutan.

2.6. Kerangka Pemikiran

Prinsip penting dalam implementasi partisipasi masyarakat pada proses AMDAL adalah saran dan tanggapan masyarakat tentang rencana usaha atau kegiatan wajib dipertimbangkan dan dikaji dalam penyusunan studi AMDAL. Dengan adanya pelibatan masyarakat sejak dini dan keterbukaan dokumen, diharapkan sejak awal masyarakat sudah mengetahui manfaat, resiko dan konsekuensi yang akan terjadi dan sekaligus bersama-sama dengan pemerintah dapat mempersiapkan diri baik dalam menerima resiko maupun peluang positifnya. Adapun tujuan dari partisipasi masyarakat dalam proses AMDAL adalah: a. Masyarakat mendapatkan informasi tentang rencana kegiatan yang berdampak penting

terhadap lingkungan. b. Masyarakat dapat menyampaikan saran, pendapat dan tanggapan atas rencana kegiatan yang

berdampak penting terhadap lingkungan. c. Masyarakat dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan rekomendasi kelayakan

lingkungan. d. Masyarakat dapat menyampaikan saran, pendapat dan tanggapan atas proses izin

lingkungan. Berdasarkan uraian diatas, maka kerangka pemikiran dalam kajian impelementasi

partisipasi masyarakat pada proses AMDAL sesuai dengan tahapan prosedur yang harus dilaksanakan akan didasarkan pada kerangka prosedur pemberian informasi tentang rencana kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan melalu tahapan pengumuman dan konsultasi publik serta pelibatan masyarakat dalam pemberian saran, pendapat dan tanggapan melalui tahapan pembahasan di Komisi Penilai AMDAL maupun pada tahapan pengambilan keputusan rekomendasi kelayakan lingungan serta penerbitan Izin Lingkungan.

Atas dasar hal tersebut, maka kajian atas model kemitraan dalam implementasi partisipasi masyarakat pada proses AMDAL akan dipandu oleh pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana implementasi partisipasi masyarakat pada proses AMDAL di Jawa Barat mulai

dari tahap pengumuman, konsultasi publik, pembahasan di Komisi Penilai AMDAL sampai dengan penerbitan izin lingkungan ?

Bagaimana model kemitraan dalam implementasi partisipasi masyarakat pada proses AMDAL di Jawa Barat ?Konsep Dasar AMDAL AMDAL merupakam inovasi kebijakan yang sangat sukses dikembangkan pada abad ke

20 yang lalu, dimana sekitar 30 tahun yang lalu tidak dikenal dan sekarang lebih dari 100 negara menggunakannya sebagai instrumen pengendalian lingkungan. AMDAL sebagai instrumen pengendalian lingkungan hidup pada mulanya berkembang di negara-negara Amerika Utara. Menurut NEPA (National Environmental Protection Agency) di Amerika Serikat, AMDAL adalah salah satu alat yang ditujukan untuk mengurangi kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh perencanaan pembangunan yang tidak mempertimbangkan aspek lingkungan.

Page 9: Model Kemitraan dalam Implementasi Partisipasi Masyarakat

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 1 N o . 2 , D e s e m b e r 2 0 2 0 : 9 7 – 1 2 3 105

Meskipun pada saat itu AMDAL atau yang dinegerinya disebut Environmental Impact Assesment (EIA) dipandang sebagai instrumen pengendalian lingkungan yang paling baik dibandingkan dengan instrumen pengendalian lingkungan lainnya, namun pada awal instrumen ini ternyata tidak dapat secara efektif mengendalikan perubahan lingkungan, bahkan seringkali menimbulkan ketidakefesienan. Instrumen ini seringkali menjadi alat yang sangat rumit untuk mengatasi persoalan yang justru sangat sederhana. Akibatnya dalam upaya pengendalian lingkungan hidup, EIA justru menimbulkan beban birokrasi sangat tinggi.

Secara teoritis seharusnya perkembangan EIA telah banyak menunjukan hal yang positif oleh karena sifat dan lingkup dari konsep EIA itu sendiri yang holistik dan prosesnya mengakomodasikan kepentingan antar disiplin, antar sektor dan antar wewenang. Bahkan dalam prosesnya melibatkan pula kepentingan birokrasi, pakar dan masyarakat. Intinya perkembangan EIA telah mendorong pendekatan yang dapat mengkombinasikan proses birokratik dan proses ilmiah.

Menurut NEPA (National Environmental Protection Agency), keunggulan EIA tersebut dibandingkan dengan berbagai instrumen pengendalian yang sebelumnya telah ada, antara lain karena sifatnya:

Antisipatif : berorientasi dan memandang apa yang akan terjadi dimasa datang dan tidak terkungkung oleh baku yang ada;

Komprehensif menyeluruh, meninjau perkara dan persoalan tidak hanya dari satu sisi saja;

Integratif : melihat keterkaitan satu segi dengan segi lain;

Partisipatif : ditelaah dan diputuskan tidak hanya oleh satu orang atau satu pihak tetapi dengan mengikutsertakan berbagai pihak yang terkena dampak maupun yang mempunyai kepedulian.

Diterbitkannya PP No. 29 Tahun 86 tentang AMDAL, memadai dimulainya babak baru pelaksanaan AMDAL di Indonesia, meskipun dalam prakteknya konsep AMDAL tersebut telah dimulai untuk dikembangkan pada berbagai proyek yang di danai oleh Bank Dunia sejak awal tahun 1980-an, antara lain seperti studi AMDAL yang dilakukan oleh Lembaga Ekologi UNPAD pada rencana pembangunan bendung Saguling

Dalam perkembangannya, pelaksanaan mekanisme AMDAL yang seharusnya mempunyai keunggulan tersebut, ternyata hanya digunakan untuk memenuhi kewajiban administrasi saja. Bahkan seringkali proses AMDAL pada akhirnya hanyalah menjadi tambahan beban mata rantai birokrasi yang telah ada. Banyak pakar dan pemerhati lingkungan yang kemudian mengintrodusir bahwa kegagalan AMDAL sebagian besar terletak pada pendekatannya yang bersifat command and control yang berakibat pada pelaksanaannya yang menjadi rigid (kaku) termasuk dalam hal pemilihan metode AMDAL serta prosesnya yang panjang dan sangat birokratis. Oleh karena itu dapat dimengerti apabila pelaksanaan AMDAL ini menjadi salah satu penyebab ekonomi biaya tinggi.

Secara umum ketidakefektifan AMDAL selain disebabkan oleh implikasi birokrasi yang berlebihan, menurut Sutarman (2019) juga dikarenakan faktor-faktor AMDAL dilaksanakan hanya sebagai formalitas persyaratan perijinan, adanya keterbatasan dan kekakuan dalam menerapkan metodologi dan teknik analisis, lemahnya tindak lanjut implementasi RKL/RPL serta sistem pengawasan, keterbatasan wawasan dan kemampuan SDM pelaksanaan AMDAL, serta sifat AMDAL yang reaktif dan menunggu adanya prakarsa (bandingkan dengan tata ruang yang lebih kuat sifat proaktifnya, tanpa menunggu adanya prakarsa).

Keseluruhan faktor-faktor tersebut pada dasarnya telah dipertimbangkan oleh para pemegang otoritas yang berkompeten dalam mengatur regulasi AMDAL dI Indonesia, sehingga sistem dan tata laksana AMDAL selama perjalanannya telah pula mengalami beberapa kali penyempurnaan dari sejak diterbitkannya PP No. 29 Tahun 1986, yang kemudian yang dilatarbelakangi untuk dapat meningkatkan efesinsi dan daya saing perekonomian nasional dan

Page 10: Model Kemitraan dalam Implementasi Partisipasi Masyarakat

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 1 N o . 2 , D e s e m b e r 2 0 2 0 : 9 7 – 1 2 3 106

mencegah ekses birokrasi yang berlebihan, PP No. 29 Tahun 1986 tersebut direvisi oleh PP No. 51 Tahun 1993. Kemudian dengan pertimbangan untuk dapat lebih menyederhanakan prosedur AMDAL serta mengembangkan partisipasi masyarakat dalam proses AMDAL disamping memberikan peran yang lebih besar dalam hal penilaian AMDAL kepada daerah, maka PP No. 51 Tahun 1993 tersebut telah digantikan pula oleh PP No. 27 Tahun 1999, dan saat ini telah digantikan oleh PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.

2.7. Prinsip-prinsip Pelaksanaan AMDAL

Beberapa prinsip pelaksanaan AMDAL berdasarkan PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, pertama adalah bahwa suatu rencana kegiatan yang diperkirakan akan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hanya boleh dilakukan setelah dipertimbangkan dampak lingkungannya, PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan menyebutkan bahwa AMDAL merupakan syarat pemberian izin lingkungan.

Prinsip kedua yaitu AMDAL merupakan bagian dari proses perencanaan. Artinya AMDAL adalah bagian dari studi kelayakan ekonomi dan kelayakan teknis. Untuk itu berdasarkan penjelasan umum PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, disamping proses penyusunan AMDAL yang perlu terus ditingkatkan kualitasnya, maka poses penilaiannyapun perlu untuk terus dikembangkan.

Prinsip selanjutnya adalah bahwa kriteria dan prosedur AMDAL harus jelas dirumuskan dalam pengaturan perundang-undangan PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan menyebutkan bahwa penetapan kegiatan wajib AMDAL dilakukan oleh Menteri Lingkungan Hidup.

Prinsip berikutnya adalah prosedur AMDAL harus mencakup penilaian yang tidak memihak. Artinya, perlu didudukannya lembaga swadaya masyarakat (LSM), pakar atau ahli serta masyarakat yang akan terkena dampak sebagai anggota komisi AMDAL. Selanjutnya ditegaskan pula prinsip bahwa AMDAL bersifat terbuka kecuali yang menyangkut rahasia negara. Artinya setiap orang dapat memperoleh informasi atau salinan hasil AMDAL beserta keputusan atas dokumennya, termasuk dalam hal ini partisipasi masyarakat dalam proses AMDAL nya.

Prinsip yang terakhir menegaskan bahwa keputusan tentang AMDAL harus dilakukan secara tertulis. Hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan sistem informasi lingkungan disamping pernyataan tertulis tersebut pada hakekatnya adalah legitimasi bahwa AMDAL adalah merupakan dokumen hukum. Oleh karena itu, pelaksanaan AMDAL yang sudah disetujui harus dipantau. Artinya, pengawasan pelaksanaan AMDAL merupakan suatu hal yang akan menentukan efektif atau tidaknya AMDAL, sehingga pelaksanaan AMDAL akan memerlukan aparat yang terampil dan memadai.

2.8. Kemitraan

Kemitraan dilihat dari perspektif etimologis diadaptasi dari kata partnership, dan berasal dari akar kata partner. Sedangkan partnership diterjemahkan menjadi persekutuan atau perkongsian. Bertolak dari sini maka kemitraan dapat dimaknai sebagai suatu bentuk persekutuan antara dua pihak atau lebih yang membentuk suatu ikatan kerjasama atas dasar kesepakatan dan rasa saling membutuhkan dalam rangka meningkatkan kapasitas dan kapabilitas di suatu bidang usaha tertentu, atau tujuan tertentu, sehingga dapat memperoleh hasil yang lebih baik.

Menurut Sulistiyani (2017) kemitraan dapat terbentuk apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1. Ada dua pihak atau lebih. 2. Memiliki kesamaan visi dalam mencapai tujuan.

Page 11: Model Kemitraan dalam Implementasi Partisipasi Masyarakat

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 1 N o . 2 , D e s e m b e r 2 0 2 0 : 9 7 – 1 2 3 107

3. Ada kesepakatan. 4. Saling membutuhkan. Tujuan terjadinya suatu kemitraan adalah untuk mencapai hasil yang lebih baik,

dengan saling memberikan manfaat antara pihak yang bermitra. Dengan demikian kemitraan hendaknya memberikan keuntungan kepada pihak–pihak yang bermitra, dan bukan sebaliknya ada suatu pihak yang dirugikan atau merugikan. Untuk terjadinya sebuah kemitraan yang kuat dan saling menguntungkan serta memperbesar manfaat memerlukan komitmen yang seimbang antara yang satu dan yang lainnya.

Kemitraan dapat dilakukan oleh pihak–pihak baik perseorangan atau badan hukum, atau kelompok–kelompok. Adapun pihak–pihak yang bermitra tersebut dapat memiliki status yang setara atau subordinate, memiliki kesamaan misi atau misi berbeda tetapi saling mengisi/melengkapi secara fungsional.

Pada dasarnya menurut Sulistiyani (2017) maka kemitraan dapat dibedakan menjadi kemitraan semu yaitu kemitraan yang sesungguhnya tidak melakukan kemitraan yang seimbang diantara para pihak yang terlibat, dan kemitraan mutualistik yaitu persekutuan diantara para pihak untuk saling memberikan manfaat sehingga akan dapat mencapai tujuan yang lebih optimal.

Dalam kaitan untuk mewujudkan good governance maka salah satu prinsip atau asas yang harus diterapkan adalah adanya kemitraan yang mendudukan kesetaraan antara peran pemerintah, swasta dan masyarakat sesuai dengan fungsinya masing – masing.

Tentang kemitraan ini Mitchell (dalam Gunawan, 2010) mengemukakan bahwa beberapa elemen kunci kemitraan adalah:

1. Compatibility yang didasarkan atas kepercayaan dan saling menghargai di antara partisipan.

2. Manfaat bagi semua partisipan yang terlibat. Kemitraan tidak akan berjalan seperti yang diharapkan apabila ada sebagian pihak yang tidak memperoleh manfaat dari kerjasama yang dibuat.

3. Wewenang dan keterwakilan yang sederajat. Kemitraan tidak akan berjalan bila ada sebagian pihak yang terlalu mendominasi, apalagi bila terdapat sebagian pihak yang tidak memiliki kewenangan apapun.

4. Mekanisme komunikasi yang baik harus dibangun secara internal diantara mitra – mitra yang membangun kemitraan, dan dengan kelompok–kelompok diluar kemitraan yang dibangun.

5. Adaptabilitas. Kemitraan yang dibangun harus bersifat adaptif terhadap berbagai perubahan yang mungkin terjadi.

2.9. Partisipasi

Partisipasi (participation) merupakan aksi mengambil bagian atau memberi andil atau memberi sumbangan pada suatu aktivitas atau peristiwa (Kuswartoyo, 2010). Aksi itu dapat dilakukan oleh perorangan atau oleh sejumlah orang atau banyak orang yang terorganisasikan atau tidak terorganisasikan. Berpatisipasi artinya juga terlibat (involve), tetapi tidak segala keterlibatan dapat disebut partisipasi, karena partisipasi mengandung sifat kesukarelaan atau atas kemauan sendiri bagi kepentingan bersama. Hal ini tentu saja tidak hanya menyangkut pengelolaan lingkungan hidup, tetapi dapat berkaitan dengan segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara (Kuswartojo, 2010).

Semenjak pembangunan tidak lagi dipandang secara sempit sebagai pembangunan ekonomi saja dan semenjak pembangunan juga ditekuni oleh para pakar ilmu sosial, partisipasi menjadi bidang kajian yang berpengaruh dalam manajemen pembangunan dan manajemen publik pada umumnya. Apa yang banyak dirisaukan para pakar sosial adalah bahwa dalam

Page 12: Model Kemitraan dalam Implementasi Partisipasi Masyarakat

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 1 N o . 2 , D e s e m b e r 2 0 2 0 : 9 7 – 1 2 3 108

pertumbuhan ekonomi ada sejumlah besar anggota masyarakat yang tidak memperoleh manfaat oleh adanya pertumbuhan itu. Kerisauan ini tidak hanya mengendap dalam nurani para pakar berbagai ilmu sosial yang biasanya mempersoalkan dari sudut moral, etika keadilan dan hak politik, tetapi juga menjadi perhatian juga para ekomom yang melihat ketertinggalan dan kesenjangan ini sebagai beban pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Salah satu upaya untuk mengatasinya adalah dengan mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

Istilah partisipasi dalam pembangunan kemudian menjadi demikian populer serta digunakan oleh berbagai pihak dan kalangan, tetapi dengan pemahaman yang beraneka ragam, paling tidak tercatat ada dua “kubu” dalam pemahaman partisipasi ini. Dalam bahasa birokrat partisipasi diterjemahkan dalam suasana bahwa pemerintahlah membuat rencana dan kemudian rakyat yang diminta untuk mendukung pelaksanaannya. Sedang dalam bahasa keswadayaan, masyarakat justru harus dilibatkan sejak perencanaannya.

Menurut Kuswartoyo (2010), ada dua macam partisipasi, pertama partisipasi dalam konsep birokratik, teknokratik serta pertumbuhan, dan kedua partisipasi dalam konsep humanistik dan egalitarian. Dalam konsep birokratik ada kecenderungan partisipasi diatur secara terpusat dengan undang-undang nasional, tidak mempribadi (impersonal), rutin, terpolakan dalam suatu prosedur operasi yang baku, tidak arif dan tidak tanggap pada permasalahan setempat dan kepentingan perorangan. Sedang dalam konsep humanistik, partisipasi tidak hanya “menjinakkan” birokrasi tetapi yang penting lagi adalah memperkuat kemampuan perorangan dan komunitas untuk memobilisasi dan menolong dirinya sendiri.

Selanjutnya tentang partisipasi ini, Gunawan (2010) menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat dapat diartikan sebagai suatu usaha terencana untuk melibatkan masyarakat dalam pembuatan keputusan. Oleh karena itu partisipasi dapat diartikan sebagai suatu proses aktif yang memperlihatkan bagaimana pihak – pihak yang mendapat manfaat dapat mempengaruhi pelaksanaan suatu kegiatan. Partisipasi masyarakat bukan hanya melibatkan masyarakat sebagai obyek namun melibatkan masyarakat sebagai subyek.

Pada akhirnya adanya partisipasi masyarakat selain memberikan dampak positif, pada sisi yang lain dapat pula menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan antara lain ketidakpastian hasil dari proses dan keterlambatan suatu pelaksanaan kegiatan oleh karena adanya perpanjangan waktu pelaksanaan dan meningkatnya biaya kegiatan. Namun demikian, kerugian – kerugian tersebut sebenarnya akan terbayar oleh hasil yang lebih baik apabila partisipasi masyarakat tersebut dilakukan berdasarkan kesetaraan posisi dalam bentuk kemitraan.

2.10. Partisipasi dan Pembangunan Berkelanjutan

Agenda 21 sebagai program dunia pembangunan berkelanjutan, yang telah disepakati oleh berbagai negara yang mengikuti Konfrensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janerio tahun 1992, telah menyatakan bahwa partisipasi yang luas dalam pengambilan keputusan adalah prasarat untuk dapat mewujudkan pengembangan kualitas hidup secara berkelanjutan. Oleh karena itulah maka Agenda 21 selain memuat program tentang sosial ekonomi seperti: pengentasan kemiskinan, perubahan pola konsumsi, pengendalian kependudukan, kesehatan, permukiman dan program tentang konservasi dan pengelolaan sumber daya alam, juga mengagendakan penguatan kelompok-kelompok utama untuk memungkinkan dapat dilakukan partisipasi.

Disebutkan bahwa syarat fundamental untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah adanya partisipasi publik yang luas dalam pengambilan keputusan. Selanjutnya dinyatakan bahwa dalam konteks pembangunan dan pengelolaan lingkungan, sesungguhnya suatu prosedur partisipasi dalam pengambilan keputusan telah hadir, yaitu partisipasi dalam

Page 13: Model Kemitraan dalam Implementasi Partisipasi Masyarakat

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 1 N o . 2 , D e s e m b e r 2 0 2 0 : 9 7 – 1 2 3 109

proses telaahan dampak lingkungan (di Indonesia dikenal dengan AMDAL). Keharusan melibatkan pihak yang terkena dampak merupakan mekanisme partisipasi tersebut.

Dari pelaksanaan program pembangunan berkelanjutan tersebut berkembang pandangan bahwa pembangunan berkelanjutan, yang artinya pengembangan kualitas hidup secara berkelanjutan hanya dapat terwujud apabila ada penyelenggaraan (governance) yang baik atas sumberdaya. Artinya bagaimana sumberdaya alam, sumberdaya buatan, sumberdaya manusia dan sumberdaya sosial, dipelihara, dikembangkan, dipertukaran, digunakan, dialokasikan dan didistribusikan, harus dilakukan dengan penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance).

Dari dokumen kebijakan UNDP (United Nations Development Program) dapat ditafsirkan bahwa penyelenggaraan negara adalah upaya (exercise) otoritas ekonomi, politik dan administrasi untuk mengelola berbagai peristiwa negeri pada berbagai tingkata. Dalam proses penyelenggaraan negara tersebut pada dasarnya ada tiga pihak dengan wataknya masing yang mempertaruhkan apa yang dimiliki yaitu : pemerintah, usaha swasta dan masyarakat sipil.

Pada penyelenggaraan negara yang baik, masing-masing pihak yang mempertaruhkan kemampuannya untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik itu harus mempunyai wawasan sebagai berikut (Agenda 21 Indonesia, 1997) : Partisipatif, Penataan dan penegakan peaturan perundangan, Transparansi, Daya tanggap, Orientasi pada konsensus, Bersikap adil, Efektif dan efesien, Akuntabilitas atau pertanggung jawaban, dan Visi strategik.

Dengan pandangan dan pengertian tentang penyelenggaraan negara yang baik tersebut dan keyakinan bahwa pembangunan berkelanjutan hanya dapat dicapai melalui penyelenggaraan negara yang baik, maka partisipasi menjadi salah satu syarat untuk mencapai peningkatan kualitas hidup yang berkelanjutan.

2.11. Kerangka Pemikiran

Prnsip penting dalam implementasi partisipasi masyarakat pada proses AMDAL adalah saran dan tanggapan masyarakat tentang rencana usaha atau kegiatan wajib dipertimbangkan dan dikaji dalam penyusunan studi AMDAL. Dengan adanya pelibatan masyarakat sejak dini dan keterbukaan dokumen, diharapkan sejak awal masyarakat sudah mengetahui apa manfaat, resiko dan konsekuensi yang akan terjadi dan sekaligus bersama-sama dengan pemerintah dapat mempersiapkan diri baik dalam menerima resiko maupun peluang positifnya. Adapun tujuan dari partisipasi masyarakat dalam proses AMDAL adalah: a. Masyarakat mendapatkan informasi tentang rencana kegiatan yang berdampak penting

terhadap lingkungan. b. Masyarakat dapat menyampaikan saran, pendapat dan tanggapan atas rencana kegiatan

yang berdampak penting terhadap lingkungan. c. Masyarakat dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan rekomendasi kelayakan

lingkungan. d. Masyarakat dapat menyampaikan saran, pendapat dan tanggapan atas proses izin

lingkungan. Berdasarkan uraian diatas, maka kerangka pemikiran dalam kajian impelementasi

partisipasi masyarakat pada proses AMDAL sesuai dengan tahapan prosedur yang harus dilaksanakan akan didasarkan pada kerangka prosedur pemberian informasi tentang rencana kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan melalu tahapan pengumuman dan konsultasi publik serta pelibatan masyarakat dalam pemberian saran, pendapat dan tanggapan

Page 14: Model Kemitraan dalam Implementasi Partisipasi Masyarakat

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 1 N o . 2 , D e s e m b e r 2 0 2 0 : 9 7 – 1 2 3 110

melalui tahapan pembahasan di Komisi Penilai AMDAL maupun pada tahapan pengambilan keputusan rekomendasi kelayakan lingungan serta penerbitan Izin Lingkungan.

Atas dasar hal tersebut, maka kajian atas model kemitraan dalam implementasi partisipasi masyarakat pada proses AMDAL akan dipandu oleh pertanyaan penelitian sebagai berikut : 2. Bagaimana implementasi partisipasi masyarakat pada proses AMDAL di Jawa Barat mulai

dari tahap pengumuman, konsultasi publik, pembahasan di Komisi Penilai AMDAL sampai dengan penerbitan izin lingkungan ?

Bagaimana model kemitraan dalam implementasi partisipasi masyarakat pada proses AMDAL di Jawa Barat?

3.1. Pendekatan Penelitian Dalam melakukan kajian implementasi partisipasi masyarakat dalam proses AMDAL di

Jawa Barat, maka digunakan pendekatan kualitatif berdasarkan kajian atas dokumen AMDAL. Pendekatan kualitatif ini dimaksudkan untuk dapat menggambarkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan permasalahan yang berkaitan dengan implementasi partisipasi masyarakat dalam proses AMDAL di Jawa Barat dengan menggunakan data empiris berdasarkan studi dokumen, menganalisis serta meminta pendapat para ahli dan praktisi di bidang AMDAL.

Oleh karena itu kajian ini menggunakan beberapa pendekatan, yaitu: 1. Studi empiris yang merupakan analisis atas studi dokumen AMDAL dimana partisipasi

masyarakat dilaksanakan dalam proses studi AMDAL. Tiga studi AMDAL yang menyangkut partisipasi masyarakat dipilih untuk membuat gambaran empiris ini. Studi dokumen tersebut dipandang mewakili karakteristik dan jenis proyek untuk sektor investasi swasta yaitu sektor industri dan permukiman serta sektor investasi publik di bidang infrastruktur pelabuhan laut serta dipilih untuk dapat mewakili karakteristik latar belakang masyarakat di wilayah perkotaan dan pedesaan. Pertimbangan lain dipilihnya tiga studi dokumen AMDAL tersebut adalah kemudahan akses terhadap informasi proyek yang proses AMDAL nya dilakukan pada dua tahun terakhir.

2. Pendapat para ahli, yaitu pendapat dan gagasan para akademisi dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup ITB dan Pusat Unggulan Lingkungan dan Ilmu Berkelanjutan UNPAD serta praktisi AMDAL dari konsultan penyusun AMDAL yang teregistrasi di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

3. Studi literatur yang merupakan telaahan terhadap berbagai produk perundang-undangan dan hasil pengkajian yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam proses AMDAL.

3.2. Pengumpulan Data

Pengumpulan data diperoleh melalui data sekunder berupa bahan hukum primer peraturan perundang – undangan dan studi dokumen (kajian atas dokumen AMDAL). Disamping itu pengumpulan data diperoleh pula melalui data primer yang diperoleh melalui forum diskusi dan wawancara dengan para pakar AMDAL dari perguruan tinggi serta praktisi AMDAL.

Para ahli atau pakar AMDAL dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup ITB serta Pusat Unggulan Lingkungan dan Ilmu Berkelanjutan UNPAD menjadi narasumber untuk forum diskusi yang dilakukan dan difasilitasi oleh Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat pada tanggal 30 Januari 2020 serta didukung pula oleh hasil wawancara pada bulan Maret 2020 kepada para

Page 15: Model Kemitraan dalam Implementasi Partisipasi Masyarakat

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 1 N o . 2 , D e s e m b e r 2 0 2 0 : 9 7 – 1 2 3 111

anggota Komisi Penilai AMDAL Jawa Barat dan praktisi AMDAL dari konsultan penyusun AMDAL yang menjadi obyek studi dokumen AMDAL yang dipilih dan telah teregistrasi di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

3.3. Pengolahan dan Analisis Data

Keseluruhan data yang diperoleh selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan tahapan-tahapan partisipasi masyarakat dalam proses AMDAL, diolah dan dianalisis secara kualitatif (deskriptif analitis). Prosedur pengolahan data dan analisis data dalam penelitian ini menggunakan model yang biasa digunakan dalam penelitian kualitatif yang dirumuskan oleh Miles dan Huberman (Sugiyono, 2008). Prosedur pengolahan dan analisis data menurut model tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2. Model Analisis Data Interaktif Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2008).

4.1. Deskripsi Kasus Berdasarkan Studi Dokumen AMDAL Dari tiga dokumen AMDAL yang dipilih untuk membuat gambaran empiris

implementasi partisipasi masyarakat dalam proses AMDAL, maka dapat digambarkan deskripsi kegiatan berdasarkan studi dokumen AMDAL :

Kasus 1 : Pembangunan Kawasan Grand Dhika City Bekasi oleh PT. Adhi Commuter Properti Pembangunan kawasan Grand Dhika City Bekasi terdiri atas pembangunan tiga tower apartemen, areal komersial dan penunjang lainnya serta jembatan penghubung yang menghubungkan kota Bekasi dengan kabupaten Bekasi. Dengan luas lahan 20.000 m2, tapak proyek ini terletak di kelurahan Jatimulya kecamatan Tambun Selatan kabupaten Bekasi yang langsung terhubung oleh jembatan penghubung ke wilayah kelurahan Margahayu Kecamatan Bekasi Timur Kota Bekasi. Desain kawasan ini pada dasarnya menyerupai pembangunan TOD (Transit Oriented Development) yang berada pada sisi jalan tol Jakarta – Cikampek dan rencana stasiun LRT Bekasi – Jakarta. Apabila pembangunan kawasan ini telah beroperasi di perkirakan akan menampung hunian sekitar 5.500 orang disertai pengunjung pada areal komersial yang akan membutuhkan sekitar 1.500 satuan ruang parkir kendaraan bermotor. Studi AMDAL ini telah di setujui oleh Komisi Penilai AMDAL Jawa Barat pada tahun 2019 dan telah diterbitkan izin lingkungan.

Page 16: Model Kemitraan dalam Implementasi Partisipasi Masyarakat

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 1 N o . 2 , D e s e m b e r 2 0 2 0 : 9 7 – 1 2 3 112

Kasus 2 : Pengembangan Industri Sepatu Olahraga di Kabupaten Majalengka Oleh PT. Shoetown Ligung Indonesia PT Shoetown Ligung Indonesia adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang industri manufaktor dengan produk utama berupa sepatu olahraga. PT Shoetown Ligung Indonesia terletak di Jl. S Sukani No.8 Desa Buntu Kecamatan Ligung Kabupaten Majalengka. PT Shoetown Ligung Indonesia berencana untuk melakukan penambahan dan perluasan bangunan seluas 217.125 m2. Kegiatan industri sepatu olahraga PT Shoetown Ligung Indonesia saat ini menempati lahan seluas 189.333 m2. PT Shoetown Ligung Indonesia akan melakukan pengembangan fasilitas produksi berupa gedung produksi, gedung workshop dan prasarana pabrik, sehingga total luas lahan menjadi 406.458 m2. Diperkirakan pada saat beroperasi industri sepatu olahraga ini akan menampung sekitar 10.000 tenaga kerja serta akan membutuhkan air bersih sebanyak hampir 500 m3/hari. Studi AMDAL ini telah di setujui oleh Komisi Penilai AMDAL Jawa Barat pada tahun 2019 dan telah diterbitkan izin lingkungan. Kasus 3 : Pembangunan Pelabuhan Pangandaran oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Sesuai dengan Keputusan Meteri Perhubungan Nomor KP.414 Tahun 2013, Pelabuhan Pangandaran telah ditetapkan sebagai Pelabuhan Regional. Pelabuhan ini berada di wilayah administrasi Kabupaten Pangandaran sejak dilakukan pemekaran Kabupaten Ciamis pada tahun 2013 dan baru dikembangkan oleh Kementerian Perhubungan, Pemerintah Kabupaten Pangandaran dan Provinsi Jawa Barat. Pembangunan dan pengembangan pelabuhan berlokasi di Blok Jojongor Dusun Bojongsalawe Desa Karangjaladri Kecamatan Parigi Kabupaten Pangandaran Provinsi Jawa Barat dengan luas area 86.600 m2. Untuk itulah akan dibangun fasilitas pelabuhan laut yang dikategorikan sebagai pelabuhan pengumpan Regional. Sesuai dengan rencana induk pelabuhan nasional yang telah ditetapkan oleh Menteri Perhubungan maka pada Pelabuhan Pangandaran akan dikembangkan fasilitas pelabuhan berupa bangunan dermaga pelabuhan, pergudangan, lapangan Container dan Cargo, bangunan administrasi pelabuhan serta reklamasi lahan pelabuhan. Studi AMDAL yang disusun untuk pembangunan Pelabuhan Pangandaran ini baru pada tahap penyusunan Kerangka Acuan ANDAL dan sedang dalam proses pembahasan terutama terkait dengan aspek hidro dinamika dan oseanografi yang memerlukan pembahasan yang seksama. 4.2. Pembahasan Hasil Kajian 4.2.1. Partisipasi Masyarakat Pada Tahap Pengumuman

Pemrakarsa Proyek dari tiga kasus yang dipelajari keseluruhannya memasang pengumuman di surat kabar daerahnya masing - masing. Tidak ada satupun dari delapan Pemrakarsa Proyek yang memasang pengumuman di surat kabar nasional. Begitu pula tidak ada satupun Pemrakarsa Proyek yang memasang pengumuman melalui media lainnya seperti brosur, pamflet, ataupun media elektronik seperti website dan jejaring sosial.

Dalam hal muatan materi pengumuman, seluruh Pemrakarsa Proyek telah mengikuti ketentuan minimal informasi baik yang berkaitan dengan nama alamat Pemrakarsa serta instansi yang bertanggung jawab. Selanjutnya, muatan tentang pengumuman secara singkat telah menjelaskan jenis rencana kegiatan yang akan dibangun, lokasi rencana kegiatan, serta dampak potensial yang diperkirakan akan timbul.

Dari tiga kasus AMDAL yang dikaji, tidak satupun Instansi Lingkungan yang bertanggung jawab yang membuat dan memasang sendiri pengumuman. Instansi Lingkungan yang bertanggung jawab sepenuhnya menyerahkan kepada Pemrakarsa Proyek untuk

Page 17: Model Kemitraan dalam Implementasi Partisipasi Masyarakat

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 1 N o . 2 , D e s e m b e r 2 0 2 0 : 9 7 – 1 2 3 113

memasang pengumuman di media yang sesuai. Nama dan alamat Instansi Lingkungan yang bertanggung jawab diikutkan pada pengumuman di surat kabar. Namun demikian, dengan muatan pengumuman yang sama, dilakukan pula pengumuman melalui website instansi yang diinisiasi oleh Sekretariat Komisi Penilai AMDAL pada saat proses AMDAL akan dimulai.

Pengumuman tentang rencana kegiatan yang akan dilakukan AMDAL, pada tiga kasus keseluruhannya dilakukan pula melalui papan pengumuman (banner) yang di pasang pada atau di sekitar lokasi proyek, termasuk di balai desa tempat rencana kegiatan berada, dengan maksud untuk memberikan informasi tentang akan adanya rencana kegiatan khususnya dikaitkan dengan informasi tentang dampak lingkungan yang akan terjadi. Tindak lanjut dari pengumuman baik yang dilakukan melalui surat kabar maupun papan pengumuman di lokasi kegiatan, tidak satupun dari tiga kasus studi AMDAL yang mendapatkan tanggapan langsung dari masyarakat terkena dampak maupun masyarakat pemerhati lingkungan dalam bentuk saran, pendapat dan tanggapan.

Meskipun bahasa yang digunakan didalam pengumuman yaitu bahasa Indonesia, serta pada pengumuman dalam bentuk papan pengumuman di lokasi kegiatan terutama yang di pasang di balai desa sebagian besar telah dijelaskan kembali melalui fasilitasi perangkat desanya kepada masyarakat, namun dengan tidak adanya tanggapan dari masyarakat, dapat dikatakan bahwa pada tahap pengumuman ini, partisipasi masyarakat dalam proses AMDAL belum berjalan secara efektif. Dapat dikatakan bahwa apabila dikaitkan dengan kajian pustaka maupun referensi teori serta hasil wawancara dengan konsultan penyusun AMDAL dan Dinas Lingkungan Hidup, maka pada tahap pengumuman ini, sama sekali tidak diperoleh partisipasi masyarakat dalam bentuk pemberian saran, pendapat dan tanggapan tentang suatu keadaan lingkungan pada lokasi rencana kegiatan. Hal ini antara lain disebabkan oleh karena masyarakat di pedesaan pada umumnya tidak terbiasa untuk menulis dan mengirimkan tanggapan tertulis.

Hal lain yang didapat pada kajian tiga kasus AMDAL adalah berkaitan juga dengan pembiayaan untuk segala kewajiban melakukan pengumuman yang ditanggung seluruhnya pembiayaannya oleh Pemrakarsa Proyek, baik dalam hal memasang pengumuman di surat kabar maupun membuat beberapa papan pengumuman di lokasi kegiatan, yang pada dasarnya mengingat tidak adanya tanggapan dari pemasangan pengumuman tersebut, menjadi tidak sepadan dengan biaya yang harus dikeluarkan.

Menurut hasil wawancara dengan konsultan penyusun AMDAL besaran biaya untuk pengumuman baik di surat kabar maupun pembuatan media pengumuman untuk ditempatkan di tapak rencana kegiatan maupun di kantor instansi pemerintah, termasuk biaya konsultasi dan akomodasi wakil masyarakat pada tahapan pembahasan Komisi Peilaian AMDAL berkisar antara sepuluh sampai dua puluh persen dari total anggaran penyusunan AMDAL.

4.2.2. Partisipasi Masyarakat Pada Tahap Konsultasi

PERMEN LH No. 17/2012 mengatur bahwa pemrakarsa wajib melakukan konsultasi dengan masyarakat terkena dampak dan kelompok pemerhati selama persiapan penyusunan AMDAL, dalam hal ini pada saat akan menyusun KA-AMDAL. Hasil konsultasi masyarakat harus digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam proses pelingkupan. Di dalam kegiatan konsultasi ini, pemrakarsa diharuskan memberikan informasi mengenai rencana kegiatan, komponen-komponen lingkungan yang berpotensi terkena dampak, dan berbagai masalah penting lainnya. Contoh metode konsultasi yang dapat digunakan adalah: pertemuan umum, lokakarya, diskusi terarah, dan metode lainnya yang merupakan komunikasi dua arah.

Pada tiga kasus AMDAL yang dikaji, menurut konsultan penyusun AMDAL dan hasil telahan terhadap studi AMDAL, bentuk atau metode konsultasi dengan masyarakat dilakukan melalui pertemuan umum yang diselenggarakan di balai desa atau di kantor kecamatan,

Page 18: Model Kemitraan dalam Implementasi Partisipasi Masyarakat

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 1 N o . 2 , D e s e m b e r 2 0 2 0 : 9 7 – 1 2 3 114

kecuali konsultasi yang dilakukan pada kasus AMDAL pembangunan kawasan Grand Dhika Bekasi yang pertemuannya berlangsung di kantor permakarsa proyek.

Pada tiga kasus AMDAL yang dikaji, pelaksanaan tahap konsultasi ini, Pemrakarsa Proyek menyerahkan sepenuhnya kepanitiaan pertemuan konsultasi masyarakat kepada Instansi Lingkungan daerah setempat atau perangkat desa yang melibatkan penyampai materinya adalah konsultan penyusun AMDAL. Adapun posisi Pemrakarsa lebih kepada memberikan konfirmasi dan jawaban terhadap pertanyaan – pertanyaan peserta konsultasi tentang rencana kegiatan. Pada hampir semua kasus AMDAL, posisi dinas lingkungan hidup daerah setempat hanya memberikan pengantar pada awal konsultasi serta masukan –masukan teknis berkaitan dengan identifikasi dampak lingkungan yang didasarkan atas kondisi lapangan.

Selanjutnya, pemrakarsa yang dibantu oleh konsultan penyusun AMDAL pada saat konsultasi ini menyebarkan pula daftar atau lembar tanggapan tertulis yang diharapkan dapat disampaikan oleh masyarakat peserta konsultasi. Secara garis besar, pola pertemuan konsultasi masyarakat ini terdiri dari sambutan pembukaan dari pihak Pemrakarsa Proyek dan para pejabat daerah, presentasi rencana kegiatan yang dilakukan oleh konsultan penyusun AMDAL, serta tanya jawab dan dialog untuk menyerap saran, tanggapan, dan masukan masyarakat. Oleh karena itu, tanggapan masyarakat yang sebelumnya hampir tidak didapat pada tahap pengumuman, nampaknya keseluruhannya disampaikan pada saat konsultasi masyarakat ini.

Pada tiga kasus AMDAL dikaji, berdasarkan tanggapan yang diterima pada saat konsultasi masyarakat ini, baik yang diberikan secara lisan maupun yang disampaikan secara tertulis oleh peserta konsultasi, dapat diidentifikasi bahwa topik yang seringkali disampaikan berkisar pada hal – hal sebagai berikut:

Komentar tentang kondisi lingkungan saat sekarang;

Kekhawatiran tentang dampak lingkungan biogeofisik dan sosekbud dari rencana kegiatan;

Saran terhadap upaya mitigasi/pengelolaan dampak lingkungan;

Permintaan atas fasilitas umum seperti air bersih, jalan, dsb;

Kesesuaian dengan ketentuan tata ruang yang berlaku;

Permintaan atas penggunaan tenaga kerja lokal;

Permintaan untuk pemberdayaan masyarakat. Pada dasarnya masukan yang disampaikan pada acara konsultasi masyarakat

merupakan saran membangun, serta informasi dan komentar berkenaan dengan studi AMDAL. Hanya pada satu kasus AMDAL yaitu rencana pembangunan Pelabuhan Pangandaran, maka didapat tanggapan sebagian besar wakil masyarakat yang menolak rencana kegiatan, terutama oleh karena kekhawatiran akan mengganggu aktivitas nelayan setempat. Namun demikian, tidak terhindarkan bahwa konsultasi menjadi tempat untuk menyampaikan pandangan dan “daftar keinginan” yang berhubungan dengan pemberdayaan sosial/masyarakat, perekrutan tenaga kerja dan peluang berusaha. Dan nyatanya, berbagai isu inilah yang dibawa ke Komisi Penilai AMDAL, dan merupakan satu hal yang akan selalu dimunculkan oleh para wakil masyarakat, meskipun tidak seluruhnya akan dapat diselesaikan melalui mekanisme AMDAL.

Kenyataan bahwa pertemuan konsultasi masyarakat berakhir dengan penandatanganan surat kesepakatan antara pemrakarsa dan masyarakat mengenai komitmen pemberdayaan masyarakat serta kesepakatan kemitraan yang akan dijalin pada saat rencana kegiatan beroperasi pada dasarnya telah menunjukan bahwa proses konsultasi telat berjalan dengan efektif sesuai dengan maksud dan tujuannya. Terlebih lagi pada saat konsultasi ini disepakati pula siapa saja wakil masyarakat terkena dampak yang akan mewakili dan mengikuti pada pembahasan AMDAL di sidang Komisi Penilai AMDAL.

Meskipun didapat informasi dari konsultan penyusun AMDAL pada tiga kasus AMDAL yang kaji, berkaitan dengan konsultasi masyarakat ini diperlukan pembiayaan yang cukup

Page 19: Model Kemitraan dalam Implementasi Partisipasi Masyarakat

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 1 N o . 2 , D e s e m b e r 2 0 2 0 : 9 7 – 1 2 3 115

besar, baik untuk biaya peminjaman tempat, penyediaan konsumsi, dan pemberian uang saku serta penyediaan materi konsultasi bagi seluruh peserta konsultasi masyarakat, namun melihat efektivitas terjadinya proses dialog antara Pemrakarsa Proyek, masyarakat terkena dampak dan pengampu kebijakan di daerah setempat, maka dapat dikatakan bahwa pengeluaran biaya konsultasi ini menjadi sepadan dengan hasil yang diperoleh dari sebuah proses konsultasi masyarakat.

4.2.3. Partisipasi Masyarakat Pada Tahap Pembahasan Komisi Penilai AMDAL

Berdasarkan PERMEN LH 17/2012, diatur bahwa perwakilan dari masyarakat terkena dampak harus menghadiri pertemuan Komisi Penilai AMDAL untuk mengevaluasi dokumen AMDAL. Masyarakat terkena dampak harus memilih sendiri perwakilannya untuk duduk di Komisi Penilai AMDAL berdasarkan kesepakatan pada saat tahap konsultasi. Lazimnya kriteria dan persyaratan wakil masyarakat terkena dampak selanjutnya ditentukan sebagai berikut:

seseorang yang dikenal sebagai jurubicara dari masyarakat dan/atau telah menerima suatu mandat dari masyarakat;

meyuarakan aspirasi dan opini di masyarakat;

tokoh formal seperti kepala desa atau perangkat desa dan/atau BPD. Berdasarkan hasil telahan terhadap dokumen risalah rapat pembahasan beserta daftar

hadir pada Sekretariat Komisi Penilai AMDAL, jumlah perwakilan masyarakat yang hadir pada rapat Komisi Penilai AMDAL pada tiga kasus AMDAL yang dikaji, dari segi keterwakilan biasanya diwakili oleh tokoh formal perangkat desa dan/atau BPD yang didampingi oleh tokoh masyarakat lainnya dengan jumlah yang hadir pada sidang Komisi Penilai AMDAL berkisar antara lima sampai dengan sepuluh orang. Tidak didapat indikasi bahwa wakil masyarakat yang hadir pada sidang Komisi Penilai AMDAL tersebut berasal dari golongan yang mengaspirasikan mendukung atau menolak atas suatu rencana kegiatan, hal ini disebabkan oleh karena tanggapan yang disampaikan pada dasarnya adalah tanggapan yang telah disampaikan pula pada saat konsultasi baik yang berkaitan dengan kekhawatiran atas dampak lingkungan yang akan terjadi, informasi tentang suatu keadaan lingkungan di lokasi rencana kegiatan maupun sebagian besar berkaitan pemberdayaan masyarakat termasuk permintaan pemenuhan sarana prasarana dasar lingkungan.

Hal lain yang didapat dari kajian tiga kasus studi AMDAL, pada saat tahap pembahasan Komisi Penilai AMDAL ini adalah berkaitan dengan keterwakilan (representativeness) dari aspirasi yang disampaikan, apakah memang sudah secara utuh merepresentasikan aspirasi masyarakat terkena dampak, terlebih lagi mengingat bahwa kehadiran para wakil masyarakat terkena dampak ini sepenuhnya dibiayai oleh Pemrakarsa Proyek baik biaya transportasi, akomodasi, maupun honorarium. Patut dipertanyakan lebih lanjut terkait dengan hal ini adalah independensi tanggapan yang disampaikan pada saat pembahasan di Komisi Penilai AMDAL.

Pada akhirnya, oleh karena maksud dilakukannya pelibatan masyarakat pada tahap sidang pembahasan di Komisi Penilai AMDAL adalah juga untuk dapat memberikan referensi atau masukan dalam rangka pengambilan keputusan kelayakan lingkungan dari suatu rencana kegiatan, maka praktek yang terjadi dalam proses penetapan keputusan kelayakan lingkungan pada tiga kasus studi AMDAL yang dikaji, keseluruhannya telah diakomodasikan bukan hanya sebagai bagian kajian studi AMDAL terutama komitmen pengelolaan dan pemantauan lingkungan namun juga menjadi persyaratan pada saat dokumen AMDAL dinyatakan disetujui.

Dapat dikatakan bahwa proses pengambilan keputusan kelayakan lingkungan yang akan ditindaklanjuti dengan penerbitan izin lingkungan telah memperhatikan semua aspirasi dan kekhawatiran yang disampaikan oleh wakil masyarakat, disamping dalam prakteknya oleh karena pada saat sidang pembahasan Komisi Penilai AMDAL diikutkan pula organisasi

Page 20: Model Kemitraan dalam Implementasi Partisipasi Masyarakat

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 1 N o . 2 , D e s e m b e r 2 0 2 0 : 9 7 – 1 2 3 116

lingkungan yang bergerak di bidang lingkungan hidup, maka partisipasi masyarakat pada tahap pembahasan Komisi Penilai AMDAL dipandang telah efektif dilakukan.

Beberapa praktek yang didapat pada tahap pembahasan Komisi Penilai AMDAL ini adalah adanya semangat dan itikad bersama bahwa dalam proses pembahasan dan pengambilan keputusan kelayakan lingkungan terdapat upaya untuk mengelola berbagai pendapat dan pandangan serta sekaligus mempertemukan perbedaan di antara para pihak yang merefleksikan peran dan fungsi yang setara di antara pemerintah (pengampu AMDAL), dunia usaha (Pemrakarsa Proyek), dan masyarakat sipil (masyarakat terkena dampak), organisasi lingkungan/LSM, serta para pakar dari perguruan tinggi. Pada kondisi inilah dapat dipandang bahwa proses pembahasan AMDAL di Komisi Penilai AMDAL pada dasarnya merupakan salah satu best practice dalam upaya membangun tata kelola kepemerintahan yang baik.

4.2.4. Partisipasi Masyarakat Pada Tahap Penerbitan Izin Lingkungan

Salah satu bentuk partisipasi masyarakat pada tahap penerbitan izin lingkungan adalah diwajibkannya dilakukan pengumuman kepada masyarakat pada saat permohonan izin lingkungan maupun pada saat izin lingkungan telah diterbitkan. Oleh PERMEN LH 17/2012, kewajiban melakukan pengumuman ini harus dilakukan oleh instansi lingkungan hidup daerah sesuai kewenangan penerbitan izin lingkungan.

Dalam prakteknya, terutama setelah berlakunya sistem perizinan satu pintu (one stop service), yang dalam pelaksanaannya di tingkat pemerintahan daerah dilakukan oleh perangkat daerah Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) maka berdasarkan hasil diskusi pada 30 Januari 2020, didapat informasi bahwa dari tiga kasus studi AMDAL yang dilakukan, pengumuman pada tahapan penerbitan izin lingkungan dilakukan oleh DPMPTSP melalui website pelayan perizinan terpadu dan hasilnya tidak pernah ada satupun dari pengumuman yang disampaikan yang sesuai ketentuan dilakukan selama sepuluh hari untuk memperoleh tanggapan baik dari wakil masyarakat terkena dampak maupun dari masyarakat pemerhati lingkungan. 4.2.5. Kendala Partisipasi Masyarakat Dalam Proses AMDAL

Pada tahap pengumuman, dari tiga kasus studi AMDAL memperlihatkan bahwa meskipun dari sisi penaatan Pemrakarsa Proyek dan pemerintah telah dilakukan kewajiban mengumumkan (public notification) sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang Undangan, namun mengingat tidak didapatkan saran, pendapat dan tanggapan masyarakat pada tahap ini, memperlihatkan adanya kendala terkait penggunaan bahasa yang terlalu teknis untuk dipahami oleh masyarakat.

Perlu dipertimbangkan bahwa pada tahap pengumuman ini diperlukan peran dari fasilitator baik dari perangkat desa atau perangkat daerah serta organisasi lingkungan untuk membantu melakukan komunikasi kepada masyarakat terkena dampak dalam memberikan saran, pendapat dan tanggapan yang nantinya dapat disampaikan pada saat dilakukan tahap konsultasi.

Pada tahap konsultasi, meskipun terdapat dan terjalin dialog di antara pihak Pemrakarsa yang dibantu oleh konsultan penyusun AMDAL dengan masyarakat terkena dampak, namun masih terdapat kendala dari sisi substansi saran, pendapat dan tanggapan masyarakat yang sebagian seringkali tidak relevan dengan maksud tujuan konsultasi sehingga masih ada aspirasi atau permintaan masyarakat yang bukan menjadi lingkup kajian AMDAL misalnya tentang permintaan terhadap penyediaan infrastruktur fasilitas umum dan fasilitas sosial serta beberapa permintaan yang terkait dengan bantuan langsung berupa finansial yang

Page 21: Model Kemitraan dalam Implementasi Partisipasi Masyarakat

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 1 N o . 2 , D e s e m b e r 2 0 2 0 : 9 7 – 1 2 3 117

cenderung sifatnya akan kontra produktif dengan kepentingan dan kondusivitas iklim investasi.

Untuk itu dipandang perlu mengoptimalkan peran pemerintah daerah dalam hal ini dinas lingkungan hidup setempat untuk dapat memfasilitasi penyampaian saran, pendapat dan tanggapan agar dapat secara efektif menghasilkan output dari hasil konsultasi yang terkait langsung dengan perumusan potensi dampak lingkungan sebagai bagian dari lingkup kajian AMDAL.

Pada tahap pembahasan Komisi Penilai AMDAL, maka kendala yang dihadapi lebih kepada kapasitas SDM khususnya personil pada unit kerja yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan AMDAL di Dinas Lingkungan Hidup yang terlibat dalam perumusan keputusan kelayakan lingkungan khususnya kapasitas dalam mengagregasikan saran, pendapat dan tanggapan masyarakat untuk kemudian ditransformasikan kedalam pengambilan keputusan kelayakan lingkungan.

Hal lain yang ditemui sebagai kendala dalam keterlibatan masyarakat pada proses AMDAL adalah berkaitan dengan terbatasnya akses informasi masyarakat terhadap proses perencanaan pembangunan berupa perencanaan tata ruang wilayah (RTRW/RDTR)

Dalam tahapan konsultasi maupun tahapan pembahasan Komisi Penilaian AMDAL, masyarakat memerlukan beberapa informasi yang terkait dengan aspek kesesuaian tata ruang. Diperlukan upaya untuk mengintegrasikan informasi perencanaan tata ruang wilayah dengan sistem informasi AMDAL sehingga untuk sebagian isu lingkungan yang ada di masyarakat terutama yang terkait dengan permasalahan pemanfaatan ruang dan daya dukung lingkungan dapat diantisipasi sejak tahap pra-AMDAL. 4.2.6 Pola Partisipasi Masyarakat pada Proses AMDAL sebagai Lesson Learned

Berdasarkan hasil kajian terhadap tiga kasus studi AMDAL yang dipelajari, maka dapat dideskripsikan pola partisipasi masyarakat pada proses AMDAL melalui tabel perbandingan sebagai berikut :

Tabel 1. Partisipasi Masyarakat Pada Proses AMDAL Rencana Kegiatan Pembangunan

Kawasan Grand Dhika City – Kabupaten Bekasi

No. Tahapan Partisipasi

Karakteristik Masyarakat Media Partisipasi

Hasil Partisipasi

1 Pengumuman Publik

- Masyarakat perkotaan di Kel. Jatimulya Bekasi

- pendidikan SMA dan sebagian S1 & S2

- Dominasi pegawai swasta, pedagang, wiraswasta

Koran Radar Bekasi

Tidak ada penyampaian saran, pendapat dan tanggapan dari masyarakat

2 Konsultasi Publik

- Perangkat Kelurahan dan Kecamatan

- Tokoh masyarakat - Warga mewakili RT/RW

Pertemuan konsultasi Publik di kantor marketing galery

- Masyarakat mendukung kegiatan proyek

- Kesepakatan komitmen pemrakarsa untuk prioritas naker/karyawan dari warga setempat dan penyediaan air bersih, fasilitas ruang terbuka untuk warga

3 Pembahasan di Komisi

- Wakil/utusan masyarakat yang

Rapat Pembahasan

- Penguatan aspirasi masyarakat seperti yang

Page 22: Model Kemitraan dalam Implementasi Partisipasi Masyarakat

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 1 N o . 2 , D e s e m b e r 2 0 2 0 : 9 7 – 1 2 3 118

Penilai AMDAL

disepakati dan ditetapkan pada saat konsultasi publik

- Organisasi lingkungan/LSM Walhi

AMDAL di Komisi Penilai AMDAL

telah disampaikan ditahapan konsultasi publik

- Trade off untuk kesepakatan perumusan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan

- Persyaratan yang akan dicantumkan dalam izin lingkungan

4 Penerbitan Izin Lingkungan

Masyarakat yang terkena dampak (interest people) dan LSM LH

Website DPMPTSP

Tidak ada penyampaian saran, pendapat dan tanggapan dari masyarakat

Tabel 2. Partisipasi Masyarakat Pada Proses AMDAL Rencana Kegiatan Pengembangan Industri

Sepatu Olahraga Shoetown Ligung Indonesia – Kabupaten Majalengka

No. Tahapan Partisipasi

Karakteristik Masyarakat Media Partisipasi

Hasil Partisipasi

1 Pengumuman Publik

- Masyarakat pedesaan di Desa Buntu Kec. Ligung

- Rata–rata tamat SD - Dominasi petani, usaha

warung makan dan kos– kosan, karyawan industry

Koran Radar Cirebon

Tidak ada penyampaian saran, pendapat dan tanggapan dari masyarakat

2 Konsultasi Publik

- Perangkat Desa dan BPD

- Tokoh masyarakat - Warga Masyarakat

Pertemuan konsultasi Publik di kantor desa

- Masyarakat mendukung adanya proyek, penyediaan kesempatan kerja dan peluang usaha baru, komitmen pemenuhan kebutuhan air, pengelolaan limbah dan tidak macet

- Kesepakatan untuk prioritas naker/karyawan dari warga setempat dan penyediaan air bersih, kerjasama pengelolaan limbah pabrik, catering dan kantin pabrik.

3 Pembahasan di Komisi Penilai AMDAL

- Wakil/utusan masyarakat yang disepakati dan ditetapkan pada saat konsultasi publik

- Organisasi lingkungan/LSM Walhi

Rapat Pembahasan AMDAL di Komisi Penilai AMDAL

- Penguatan aspirasi seperti yang telah disampaikan ditahapan konsultasi publik

- Trade off untuk kesepakatan perumusan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan

- Persyaratan yang akan

Page 23: Model Kemitraan dalam Implementasi Partisipasi Masyarakat

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 1 N o . 2 , D e s e m b e r 2 0 2 0 : 9 7 – 1 2 3 119

dicantumkan dalam izin lingkungan

4 Penerbitan Izin Lingkungan

Masyarakat yang terkena dampak (interest people) dan LSM LH

Website DPMPTSP

Tidak ada penyampaian saran, pendapat dan tanggapan dari masyarakat

Tabel 3. Partisipasi Masyarakat Pada Proses AMDAL Rencana Kegiatan Pengembangan

Pelabuhan Pangandaran - Kabupaten Pangandaran

No. Tahapan Partisipasi

Karakteristik Masyarakat

Media Partisipasi

Hasil Partisipasi

1 Pengumuman Publik

- Masyarakat pedesaan/nelayan di Desa Karangjaladri Kab. Pangandaran

- Rata–rata tidak tamat SD

- Dominasi nelayan dan petani

Koran Pikiran Rakyat

Tidak ada penyampaian saran, pendapat dan tanggapan dari masyarakat

2 Konsultasi Publik - Perangkat Desa dan BPD

- Tokoh masyarakat - Warga

Masyarakat/nelayan

Pertemuan konsultasi Publik di kantor KUD Mina Pari

- Masyarakat menolak adanya proyek karena akan menimbulkan rawan kecelakaan perahu nelayan, gangguan akses keluar masuk perahu.

- Kesepakatan untuk prioritas naker/ karyawan dari warga setempat, pengerukan palawangan sebagai akses keluar masuk perahu nelayan. dan penyediaan rambu.

3 Pembahasan di Komisi Penilai AMDAL

- Wakil/utusan masyarakat yang disepakati dan ditetapkan pada saat konsultasi publik

- Organisasi lingkungan/LSM Walhi

Rapat Pembahasan AMDAL di Komisi Penilai AMDAL

- Penguatan aspirasi masyarakat seperti disampaikan ditahapan konsultasi publik

- Trade off untuk kesepakatan perumusan RPL

- Persyaratan yang akan dicantumkan dalam izin lingkungan

4 Penerbitan Izin Lingkungan

Masyarakat yang terkena dampak

Website DPMPTSP

Tidak ada penyampaian saran, pendapat dan

Page 24: Model Kemitraan dalam Implementasi Partisipasi Masyarakat

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 1 N o . 2 , D e s e m b e r 2 0 2 0 : 9 7 – 1 2 3 120

(interest people) dan LSM LH

tanggapan dari masyarakat

Dari tabel perbandingan tiga kasus partisipasi masyarakat dalam proses AMDAL

tersebut diatas, nampak bahwa dari hasil partisipasi yang dicapai selain didapat saran, pendapat dan tanggapan dari masyarakat terutama pada tahapan konsultasi public dan pembahasan di Komisi Penilai AMDAL, maka tindak lanjut dari rangkaian proses partisipasi masyarakat dapat ditindak lanjuti ke dalam kesepakatan dan komitmen pemrakarsa kegiatan dalam mengikutsertakan warga masyarakat pada pelaksanaan kegiatan. Pada kasus studi AMDAL yang dikaji tidak terdapat perbedaan hasil partisipasi masyarakat yang di latar belakangi oleh karakteristik masyarakat yang berbeda baik di perkotaan maupun pedesaan. Pada umumnya baik pada masyarakat perkotaan maupun pedesaan, masyarakat berharap untuk dapat memanfaatkan peluang kerja yang ada di kegiatan proyek baik pada tahap konstruksi maupun operasi, dan fasilitasi pemenuhan kebutuhan air serta sarana lingkungan lainnya, terkecuali pada masyarakat perkotaan dalam kasus studi AMDAL pembangunan kawasan Grand Dhika Bekasi terdapat tanggapan khusus berupa permintaan konfirmasi tentang kesesuaian tata ruang.

Sedangkan pada kasus studi AMDAL rencana pengembangan Pelabuhan Pangandaran yang sebagian besar warga masyarakat nya berlatar belakang kelompok nelayan, nampak lebih eksplisit menyatakan menolak adanya proyek oleh karena dipandang akan mengganggu akses keluar masuk perahu nelayan. Oleh karena partisipasi masyarakat pada kasus studi AMDAL rencana pelabuhan ini masih berjalan silmutan dengan pembahasan AMDAL nya, maka pada saat ini kajian AMDAL yang dilakukan diarahkan untuk dapat mengkaji lebih mendalami aspek hidro dinamika dan oseanografi untuk dapat dijadikan referensi jalan keluar permasalahan kemudahan akses keluar masuk perahu nelayan.

Trade off atau posisi tawar aspirasi dalam bentuk saran, pendapat dan taggapan masyarakat pada tiga kasus studi AMDAL yang dikaji pada dasarnya dapat diakomodasikan melalui serangkaian dialog pada tahapan pembahasan di Komisi Penilai AMDAL. Proses dialog baik pada saat tahapan konsultasi publik maupun pembahasan di Komisi Penilai AMDAL merefleksikan adanya kesetaraan posisi masing – masing pihak yang terlibat dalam proses AMDAL, yang menurut pendapat nara sumber penelitian merupakan kesepakatan untuk masing – masing pihak mendapatkan manfaat atau terdapatnya kondisi win – win solution. Hal ini diperkuat pula pendapat nara sumber penelitian lainnya yang menegaskan bahwa elemen kunci dari partisipasi masyarakat adalah terwujudnya kemitraan atas dasar saling percaya dan saling menghargai serta dapat memberi manfaat bagi para pihak terutama bagi masyarakat yang berada di wilayah dampak.

Oleh karena itu mengingat bahwa terjadinya suatu kemitraan adalah untuk mencapai hasil yang lebih baik dan saling memberikan manfaat antara para pihak yang bermitra serta dalam prosesnya terjadi melalui kesetaraan kedudukan, maka pada dasarnya pola partisipasi masyarakat pada proses AMDAL yang dikaji adalah merupakan suatu model kemitraan dalam implementasi partisipasi masyarakat pada proses AMDAL.

Pembelajaran dan pengalaman (lesson learned) yang didapat dari implementasi partisipasi masyarakat pada proses AMDAL sebagai suatu model kemitraan adalah : a. Adanya posisi tawar yang dapat dinegosiasikan atau dimusyawarahkan dalam posisi para

pihak yang setara. b. Adanya kepercayaan dan saling menghargai di antara pada pihak yang terlibat dalam

kemitraan. c. Adanya komunikasi yang transparan.

Page 25: Model Kemitraan dalam Implementasi Partisipasi Masyarakat

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 1 N o . 2 , D e s e m b e r 2 0 2 0 : 9 7 – 1 2 3 121

d. Adanya manfaat yang dirasakan diantara para pihak yang terlibat dalam kemitraan (benefit sharing).

5.1. Kesimpulan Keseluruhan proses partisipasi masyarakat dalam proses AMDAL pada dasarnya telah

dilaksanakan sebagai bentuk penaatan (compliance) terhadap prosedur yang harus dilakukan oleh para pemangku kepentingan dalam proses AMDAL (pemerintah-Pemrakarsa Proyek-konsultan penyusun AMDAL).

Meskipun secara prosedur telah dilakukan, namun efektivitas partisipasi masyarakat dalam proses AMDAL tersebut masih belum optimal dari sisi substansi untuk memperoleh tanggapan, saran dan pendapat masyarakat baik dalam rangka penyusunan AMDAL maupun pengambilan keputusan kelayakan lingkungan, terutama pada tahap pengumuman serta penerbitan izin lingkungan.

Dari hasil pembahasan dapat diperoleh gambaran bahwa implementasi partisipasi masyarakat dalam proses AMDAL :

Pada tahapan pengumuman, masyarakat telah mendapatkan informasi mengenai rencana kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan namun tidak menyampaikan saran, pendapat dan tanggapan terhadap rencana kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan

Pada tahapan konsultasi, masyarakat telah menyampaikan saran, pendapat dan tanggapan melalui dialog yang setara dengan pemrakarsa proyek dalam kaitan rencana kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan meskipun substansinya ada yang tidak terkait dengan lingkup studi AMDAL.

Pada tahapan pembahasan Komisi Penilai AMDAL, masyarakat telah terlibat dalam proses pengambilan keputusan rekomendasi kelayakan lingkungan dari suatu rencana kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan.

Pada tahapan penerbitan izin lingkungan, masyarakat tidak ada yang menyampaikan saran, pendapat dan tanggapan atas proses penerbitan izin lingkungan.

Berdasarkan hasil kajian terhadap tiga studi kasus AMDAL, maka dalam implementasi partisipasi masyarakat pada proses AMDAL, telah dapat dipenuhi prinsip dasar dan tujuan: 1) Pemberian informasi yang transparan tentang rencana suatu kegiatan, dan 2) Kesetaraan posisi di antara pemangku kepentingan dalam proses AMDAL.

Oleh karena itu mengingat dalam implementasi partisipasi masyarakat pada proses AMDAL telah terwujud kesetaraan posisi serta terjadinya manfaat yang dirasakan diantara para pihak, maka partisipasi masyarakat tersebut dapat dikatakan telah dapat membangun suatu kemitraan.

Meskipun membangun partisipasi masyarakat bukan usaha yang mudah oleh karena memerlukan prasyarat adanya kesadaran disertai pengetahuan yang memadai terutama apabila dikaitkan dengan golongan masyarakat subsisten di lingkungan pedesaan, namun berdasarkan hasil kajian implementasi masyarakat dalam proses AMDAL dapat menunjukan best practice penerapan instrumen AMDAL dalam konteks pembangunan berkelanjutan, yaitu adanya partisipasi dalam telaahan dampak lingkungan. Pelibatan pihak yang terkena dampak lingkungan merupakan wujud dari partisipasi masyarakat.

Page 26: Model Kemitraan dalam Implementasi Partisipasi Masyarakat

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 1 N o . 2 , D e s e m b e r 2 0 2 0 : 9 7 – 1 2 3 122

5.2. Saran Peran pemerintah daerah terutama dinas lingkungan hidup setempat dan perangkat

desa perlu diatur lebih eksplisit sebagai fasilitator dialog dalam konsultasi antara Pemrakarsa Proyek dengan masyarakat terkena dampak. Peran ini harus dijalankan dengan netral serta dengan menggunakan bahasa yang komunikatif , sehingga sekaligus dapat mengoptimalkan fungsi pengelolaan dan pendokumentasian tanggapan, saran dan pendapat masyarakat menjadi bagian dari substansi AMDAL di satu sisi, dan di sisi lainnya dapat pula dimanfaatkan oleh Pemrakarsa Proyek dan instansi terkait dalam perumusan program – program pemberdayaan masyarakat.

Mendorong komitmen pihak pemerintah dan organisasi lingkungan/LSM agar dapat berperan dalam proses partisipasi masyarakat pada AMDAL melalui: 1) Pemberian informasi dan pengetahuan tentang proses dan prosedur AMDAL kepada masyarakat terkena dampak.; dan 2) Peningkatan peran fasilitator dalam mengidentifikasi dampak potensial sebagai rujukan bagi masyarakat terkena dampak.

Mengingat keseluruhan proses partisipasi masyarakat dalam AMDAL lebih mengandalkan penyediaan alokasi sumber daya keuangan dari pihak Pemrakarsa Proyek, maka perlu dipertimbangkan strategi ketersediaan anggaran dari instansi pemerintah dengan mengalokasikan anggaran sektor lingkungan hidup untuk pembiayaan partisipasi masyarakat khususnya pada tahap kehadiran wakil masyarakat terkena dampak pada tahap pembahasan di Komisi Penilai AMDAL. Hal ini penting bukan hanya untuk menunjukan tanggung jawab pemerintah dalam meningkatkan efektivitas partisipasi masyarakat dalam proses AMDAL, namun penting juga untuk menghindari situasi konflik kepentingan dan menjamin objektivitas tanggapan, saran dan pendapat masyarakat.

Diperlukan pengembangan sistem informasi AMDAL yang terintegrasi dengan sistem informasi perencanaan tata ruang wilayah sehingga data dan informasi lingkungan yang bersifat strategis pada level kebijakan seperti pola pemanfaatan ruang dan daya dukung lingkungan dapat diakses oleh masyarakat untuk memudahkan dalam penyampaian tanggapan, saran dan pendapat masyarakat.

Abdoellah, O.S. dan Asdak, C, 2000. Reorientasi Paradigma Pengelolaan Lingkungan : Tantangan Menuju Indonesia Baru, Majalah Ekologi dan Pembangunan, PPSDAL UNPAD.

Asrindo Jaya Konsultan, 2019. AMDAL Kawasan Grand Dhika City – Bekasi, PT. Adhi Commuter Property.

Austin, D.E. 1994. Philisophy Into Practice: The Influence of Environmental Ethics on Decision Making Native and Non-Native Americans, University of Arizona.

Danim, 1997. Penelitian Kebijakan, Jakarta, Bumi Aksara.

Dunn, 1994. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Diterjemahkan oleh Samodra, dkk, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.

Erwin, Muh. 2014. Hukum Lingkungan dalam Sistem PPLH, Bandung, Refika Aditama. Gelar Buana Semesta Konsultan, 2019. AMDAL Pengembangan Pelabuhan Pangandaran,

Ditjen Perhubungan Laut Kementerian Perikanan dan Kelautan. Gunawan, Budi. 2010. Aspek Sosial Dalam Pengelolaan Lingkungan, BPLHD – PPSDAL UNPAD. Kuswartojo, T. 2010. Pembangunan dan Lingkungan Hidup, KKPP-SAPPK ITB. Lestari, S.N., 2018. Keterlibatan Masyarakat dalam Penyusunan AMDAL, Sera Envirotama. Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 1997. Agenda 21 Indonesia – Strategi Nasional

Pembangunan Berkelanjutan.

Page 27: Model Kemitraan dalam Implementasi Partisipasi Masyarakat

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 1 N o . 2 , D e s e m b e r 2 0 2 0 : 9 7 – 1 2 3 123

Qipra Galang Kualita, 2006. Public Participation and Information Transparency in Environmental Impact Assessment. World Bank.

Soemarwoto, Otto, 1997. Ekologi dan Pembangunan, Jakarta, Djambatan.

Soemarwoto, Otto, 2014. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.

Sugiyono, 2008. Metode Penelitian, Bandung, Alfabeta. Sulistiyani, A.T, 2017. Kemitraan dan Model – Model Pemberdayaan, Gava Media. Sutarman, 2019. Evaluasi AMDAL dan UKL – UPL, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat. Syaputri, M.D. 2017. Partisipasi Masyarakat dalam AMDAL, Jurnal Universitas Muhammadiyah

Magelang. Vol. 13 No. 2. Tim Sekretariat AMDAL, 2015. Pihak yang Terlibat dalam AMDAL, DLH Provinsi Jawa Barat