Model Berbasis Demokrasi Dalam Pembelajaran Ips Di Sekolah Dasar

Embed Size (px)

Citation preview

MODEL BERBASIS DEMOKRASI DALAM PEMBELAJARAN IPS DI SEKOLAH DASAR (Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat kenaikan golongan pegawai negeri sipil dinas pendidikan dasar)

OLEH : GANA

SEKOLAH DASAR NEGERI KERTAMUKTI 02 UPTD KECAMATAN CIBITUNG KABUPATEN BEKASI 2009

BAB I PENADAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran ilmu sosial IPS di lingkungan pendidikan dasar dalam kurikulum yang dipakai saat ini cenderung dilakukan secara terpisah dan masing-masing sebagai mata pelajaran monolitik. Masing-masing mata pelajaran memiliki tujuan yang tidak secara jelas memiliki keterkaitan satu sama lain. Bahkan menurut hasil penelitian Education Project, 1999 dalam Zamroni (2002) dikemukakan bahwa jumlah mata pelajaran dan beban masing-masing mata pelajaran dinilai terlalu banyak yang memberatkan baik bagi guru, lebih-lebih bagi siswa. Hal ini mendorong guru melaksanakan proses belajar mengajar dengan menekankan pada siswa untuk menghafal pelajaran dengan mengorbankan pengembangan critical thinking. Siswa menjadi pendengar pasif, sementara guru menyampaikan pelajaran, mendikte ataupun menulis di papan tulis. Tradisi yang dilakukan dalam pembelajaran ilmu sosial cenderung menggunakan pendekatan monolitik dan bersifat top down, semua materi pengajaran secara detail telah dipersiapkan oleh pusat. Nuansa pendekatan teoritis sangat kental, ditunjukkan dengan penekanan pada pembahasan apa yang ada dalam buku teks, tanpa dikaitkan dengan apa yang ada dan relevan bagi bangsa Indonesia. Siswa cenderung bersifat text book yang sama sekali tidak dikaitkan dengan pengalaman yang dimiliki para siswa sendiri. Sebagai akibatnya pembelajaran ilmu sosial hanya memiliki kontribusi yang amat kecil dalam pengembangan individu dan masyarakat yang demokratis. Masyarakat yang beraneka ragam dan pluralistik merupakan ancaman bagi desintegrasi bangsa. Oleh karena itu pembelajaran ilmu sosial seyogyanya merupakan satu instrumen utama untuk memperkuat dan memperekat integrasi bangsa, termasuk di dalamnya memperkuat dan mendorong proses transisi menunju masyarakat demokratis. Inovasi dan reorientasi pembelajaran ilmu sosial sangat diperlukan agar pembelajaran yang dilakukan memberikan kontribusi maksimal dalam proses akselerasi pembangunan demokrasi. Tujuan, materi dan organisasi pelaksanaan (metode)

pembelajaran ilmu-ilmu sosial perlu diubah secara total dan berkesinambungan sesuai dengan konteks dan perubahan tuntutan kehidupan masyarakat Indonesia, sehingga pengembangan ilmu-ilmu sosial benar-benar berwajah Indonesia. B. Tujuan Penulisan Sebagai salah satu syarat kenaikan golongan pegawai negeri sipil dalam lingkup dinas pendidikan dasar. Untuk menambah wawasan tentang model pembelajaran IPS di Sekolah Dasar Untuk mengetahui model pembelajaran IPS yang tepat untuk digunakan di Sekolah Dasar C. Manfaat Penulisan Manfaat yang dapat kita ambil dari pembuatan makalah ini dapat menjadi acuan dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar khususnya dalam menggunakan model pembelajaran IPS berbasis demokrasi agar pembelajaran IPS di Sekolah Dasar dapat mencapai sasaran dari apa yang menjadi tujuan dari pembelajaran IPS

BAB II ISI

A. Kendala yang di hadapi Pembelajaran IPS Fakta-fakta menunjukkan adanya ketidakpuasan siswa dalam mempelajari ilmuilmu sosial. Hal ini terjadi karena mereka berpendapat guru kurang menguasai materi, dan metode pengajarannya. Mereka merasakan bahwa cara guru mengajar cenderung membosankan dan terlalu abstrak. Oleh karena itu mereka menginginkan dan menyarankan agar guru menggunakan variasi berbagai metode mengajar, sehingga tidak monoton dan juga sangat menginginkan agar para guru mengajak siswa untuk belajar di lapangan dan tidak hanya belajar dari buku (teksbooks) yang ada. Menurut Mohammad Numan Somantri, 2001 pada dasarnya ada empat pendapat mengenai tujuan pengajaran IPS di sekolah, yaitu: Pertama, ada yang berpendapat bahwa tujuan pengajaran IPS di sekolah adalah untuk mendidik para siswa menjadi ahli ekonomi, politik, hukum, sosiologi dan pengetahuan sosial lainnya. Menurut paham ini, kurikulum pengajaran IPS harus diorganisasikan secara terpisah-pisah sesuai dengan body of knowledge masing-masing disiplin ilmu sosial tersebut. Organisasi pelajaran harus disusun menurut struktur disiplin ilmunya, baik proses penyusunan syntactical structure-nya maupun conceptual structure-nya. Tidak ada masalah dalam meramu bahan pelajaran dengan disiplin yang lainnya. Demikian pula tidak ada masalah untuk menjadikan para siswa menjadi warga negara yang baik. Walaupun demikian, aliran ini mengakui pentingnya menumbuhkan ciri warga negara yang baik, karena hal itu akan datang dengan sendirinya setelah para siswa mempelajari masing-masing disiplin ilmu sosial tersebut. Golongan yang menganut pahan ini tidak setuju apabila nama pengajaran IPS di sekolah di sebut social studies, tetapi harus disebut social sciences. Golongan ini menekankan pada content continumm dalam mencapai tujuan pembelajaran IPS. Kedua, bahwa tujuan pengajaran IPS di sekolah adalah menumbuhkan warga negara yang baik. Pengajaran di sekolah harus merupakan a unified coordinated holistic study of men living in societies (Hanna , 1962 dalam Dedi Supriyadi, 2001). Menurut paham ini, sifat warga negara yang baik akan lebih mudah ditumbuhkan pada siswa

apabila guru mendidik mereka dengan jalan menempatkannya dalam konteks kebudayaannya dari pada memusatkan perhatian pada disiplin ilmu sosial yang terpisahpisah seperti dilakukan di universitas. Karena itu, pengorganisasian bahannya harus secara ilmiah dan psikologis. Golongan ini menghendaki agar program pengajaran mengkorelasikan bahkan harus mungkin mengintegrasikan beberapa disiplin ilmu sosial, dalam unit program studi. Golongan ini menekankan pada process continum dalam mencapai tujuan pengajaran IPS. Ketiga, merupakan kompromi dari pendapat pertama dan kedua, golongan ini mengakui kebenaran masing-masing pendapat pertama dan kedua di atas. Tujuan program pengajaran IPS menurut kelompok ini adalah simplifikasi dan distilasi dari berbagai ilmu-ilmu sosial untuk kepentingan pendidikan ( Wesley, 1964 dalam Dedi Supriyadi dan Rohmat Mulyana, 2001). Golongan ini berpendapat bahwa bahan pelajaran IPS merupakan sebagian dari hasil penelitian dalam ilmu-ilmu sosial, untuk kemudian dipilih dan diramu agar cocok untuk program pengajaran di sekolah. Keempat, berpendapat bahwa pengajaran IPS di sekolah dimaksudkan untuk mempelajari bahan pelajaran yang sifatnya tertutup (closed areas). Maksudnya ialah bahwa dengan mempelajari bahan pelajaran yang pantang (tabu) untuk dibicarakan, para siswa akan memperoleh kesempatan untuk memecahkan konflik intrapersonal maupun antar-personal. Bahan pelajaran IPS yang tabu tersebut dapat timbul dari bidang ekonomi, politik, sejarah, sosiologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Dengan mempelajari hal-hal yang tabu, para siswa akan memperoleh banyak keuntungan, yaitu : a) Dapat mempelajari masalah-masalah sosial yang perlu mendapatkan pemecahannya; b) Sifat pengajaran akan mencerminkan suasana yang mengarah pada prospek kehidupan yang demokratis; c) Dapat berlatih berbeda pendapat, suatu hal yang sangat penting dalam memperkuat asas demokrasi; d) Bahan yang tabu seringkali sangat dekat kegunaannya dengan kebutuhan pribadi maupun masyarakat. Kelemahanya adalah kesulitan dalam melakukan pemilihan bahan yang tepat untuk suatu tingkat kelas. Kurang cermatnya mempersiapkan bahan yang tabu dapat

menjadi masalah yang akan menyulitkan guru dan masyarakat itu sendiri, bahkan bukan tidak mungkin akan mengganggu ketertiban. Oleh karenanya, pilihan judulnya harus tepat dengan mengikutsertakan pendapat siswa dalam masyarakat. B. Pembelajaran IPS dengan Model Demokratis Bagi bangsa Indonesia sekarang, berkaitan dengan pembangunan demokrasi dan menjaga keutuhan integritas sebagai suatu bangsa yang multi-kultural, seyogyanya dapat menjadikan pengajaran ilmu-ilmu sosial bukan hanya sekedar transfer pengetahuan, melainkan harus dapat menjadikannya sebagai kekuatan pembebas pada setiap kehidupan individu warga bangsa. Pengajaran ilmu-ilmu sosial sangat terkait dengan nilai-nilai demokrasi, dan partisipasi positif warga bangsa. Pengajaran ilmu-ilmu sosial dalam masa transisi peril menekankan pada tujuan pengembangan kesadaran akan pentingnya demokrasi dan kemampuan untuk hidup dalam alam demokrasi. Dengan demikian, secara singkat dapat dikatakan bahwa pengajaran ilmu-ilmu sosial bertujuan untuk mengembangkan pada diri siswa pengetahuan yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan diri dan masyarakatnya. Siswa yang mempelajari ilmuilmu sosial harus mampu mengkaitkan permasalahan makro (umum) ke mikro (individu), dan mampu menunjukkan pemikiran dan perilaku yang respek terhadap hubungan antara pendidikan dan tanggungjawab pribadi untuk memajukan kepentingan umum. Di samping itu permasalahan lain yang dihadapi adalah adanya kondisi yang semakin tidak menguntungkan untuk pembangunan demokrasi, karena pengajaran ilmuilmu sosial hanya menggunakan metode ceramah, yang berarti hanya mencekoki para siswa dengan abstraksi masyarakat Barat, tanpa melakukan kritik dan validasi dengan masyarakat sendiri. Akibatnya, terjadi kesenjangan antara apa yang dilihat dan dialami di masyarakatnya dengan apa yang dipelajari di sekolah-sekolah. Untuk itu sudah tiba saatnya bagi dunia pendidikan di Indonesia untuk mulai mempersiapkan dan mengembangkan ilmu-ilmu sosial yang berwajah Indonesia, yang tumbuh dan lahir dari masyarakatnya sendiri, sehingga betul-betul mencerminkan kondisi dan keadaan masayarakat yang ada. Para praktisi pendidikan, khususnya Ilmuwan sosial bisa belajar dari Amerika Serikat, sebagaimana Bloom (1987) lewat bukunya The Closing of The American Mind, mengingatkan agar bangsa Amerika membersihkan diri

dari pengaruh pemikiran Jerman. Demikian juga Indonesia dalam membangun demokrasi harus mulai membersihkan diri dari pemikiran Barat yang mendasarkan pada JudeoCristian Traditions, yang hanya didasarkan pengalaman yang terjadi di pangung sejarah Eropa Barat, khususnya Inggris, Jerman dan Perancis dan tidak pernah memperhatikan panggung sejarah belahan dunia lain. Bahkan Fukuyama, 1995 (dalam Zamroni, 2002:19) sudah meramalkan kemunculan demokrasi dengan wajah bangsa-bangsa Asia ini yang berbeda dengan demokrasi Amerika Serikat. Karena pada hakikatnya sejarah panjang yang sudah mendarah daging suatu bangsa akan mewarnai wajah demokrasi bangsa yang bersangkutan, cepat atau lambat. Demikian juga dengan Bangsa Indonesia yang memiliki akar sejarah budaya panjang, yang mungkin tidak sama dengan nilai-nilai demokrasi yang ada sekarang ini. Oleh karena itu, dalam jangka panjang sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi yang terjadi, demokrasi yang berwajah Indonesia juga perlu dilahirkan di bumi ini, agar warga bangsa tidak asing dengan sistem kehidupan sosial politiknya sendiri. Untuk itu, betapapun kecilnya peran dan kontribusi yang akan diberikan, pengajaran ilmu-ilmu sosial perlu mulai menyajikan dan membahas materimateri yang muncul dari persoalan bangsa sendiri. Materi dan model pengajaran ilmu-ilmu sosial perlu diubah dengan mengedepankan prinsip adaptif dan participatory action learning, yang memungkinkan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkaji teori dan dikaitkan dengan apa yang ada di masyarakat, mengeksplor dan mendalami nilai-nilai individu dan masyarakat. Oleh karena itu, pengajaran ilmu-ilmu sosial perlu membiasakan para siswa untuk diajak mengem-bangkan prinsip antisipatory, partisipasi dan mapping. Antisipatori berarti siswa dibiasakan untuk dapat membaca tanda-tanda masa depan dari apa yang dipelajari saat ini. Partisipasi maksudnya siswa diajak untuk menguji dan menyaksikan apa yang ada dalam teori dengan kenyataan yang ada di masyarakatnya. Sedangkan mapping artinya adalah siswa diajak untuk melakukan observasi di tengah-tengah masyarakat sekitaarnya untuk menangkap gejala sebab akibat yang terjadi secara berulang-ulang secara konsisten. Dalam pendidikan demokrasi mutlak diperlukan adanya pengembangan kemampuan berpikir kritis, analitis dan jernih disertai dengan pengendalian diri yang

tinggi. Menurut Snauwaert (2001) yang dikutip Zamroni, 2002 menyatakan bahwa pendidikan demokrasi senantiasa harus mendasarkan diri pada prinsip-prinsip kemanusiaan, dan menitikberatkan pada tujuan untuk mengembangkan pada diri siswa empati, toleransi, respek pada yang lain, dan memiliki pandangan sebagai warga negara bangsa dan warga masyarakat global. Hal ini dapat dilakukan apabila sekolah dapat mentransfer pengajaran yang bersifat akademis sempit ke dalam realitas kehidupan yang amat luas di masyarakat. Pendidikan demokrasi harus bisa mengembangkan toleransi dan social trust di kalangan siswa dengan memberikan kesempatan, bahkan mendorong setiap siswa untuk belajar hidup bersama dan saling menghargai melalui kebiasaan hidup berdampingan, dan berinteraksi dengan individu-individu dan kelompok-kelompok yang memiliki berbagai perbedaan dengan dirinya. Menurut Zamroni (2002:11), secara singkat pendidikan demokrasi memiliki empat tujuan: a) b) c) d) mengembangkan kepribadian siswa sehingga memiliki sifat empati, mengembangkan kesadaran selaku warga suatu bangsa dan warga dunia, meningkatkan kemampuan mengambil keputusan secara nasional dan, meningkatkan kemampuan berkomunikasi diantara sesama warga. respek, toleransi dan kepercayaan pada orang lain,

C. Inovasi Model dan Desain Pembelajaran Demokratis Inovasi model dan disain pembelajaran demokratis semula dikembangkan berlandaskan kerangka pikir Teori Belajar Kognitivisme. Menurut teori ini belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati. Asumsi dasar dari teori ini adalah bahwa setiap orang telah mempunyai pengalaman dan pengetahuan di dalam dirinya. Pengalaman dan pengetahuan ini tertata dalam bentuk struktur kognitif. Proses belajar akan berjalan baik apabila materi pelajaran yang baru beradaptasi (bersambung) secara klop dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki siswa. Secara lebih khusus lagi, teori belajar yang dikembangkan dalam model pembelajaran demokratis adalah Teori Kognitivisme Ausubel yang menyatakan

bahwa proses belajar terjadi bila siswa mampu mengasimilasikan pengetahuan yang dimilikinya dengan pengetahuan yang baru. Proses belajar akan terjadi melalui tahap-tahap : a) b) c) memperhatikan stimulus yang diberikan; memahami makna stimulus; menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami.

Secara umum, penggunaan teori belajar Kognitivisme Ausubel dalam praktek pembelajaran berbasis demokratisasi belajar adalah sebagai berikut: 1) 2) Menentukan tujuan-tujuan instruksional; Mengukur kesiapan siswa dalam mengikuti pembelajaran (minat,

kemampuan, struktur kognitif) baik melalui test awal (pre test), interview, review, pertanyaan dan lain-lain. 3) 4) materi tersebut; 5) harus dipelajari; 6) Membuat dan menggunakan advance organizer, paling tidak dengan cara membuat rangkuman terhadap materi yang baru saja diberikan, dilengkapi dengan uraian singkat yang menunjukkan relevansi (keterkaitan) materi yang sudah diberikan tersebut dengan materi baru yang akan diberikan; 7) Mengajar siswa memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang sudah ditentukan, dengan memberi fokus pada hubungan yang terjalin antara konsep konsep yang ada. 8) Mengevaluasi proses dan hasil belajar. Dalam kajian dan perkembangan berikutnya juga digunakan teori belajar yang dikembangkan oleh Gagne, Briggs & Wager (1993) yang menyatakan bahwa proses belajar seseorang dapat dipengaruhi oleh faktor internal peserta didik itu sendiri dan faktor eksternal yaitu pengaturan kondisi belajar. Dalam penerapannya pada pembelajaran demokratis ada tahapan pengkondisian awal. Proses belajar terjadi karena Menyajikan suatu pandangan yang menyeluruh tentang apa yang Memilih materi pelajaran dan mengaturnya dalam bentuk Mengidentifikasi prinsip-prinsip yang harus dikuasai siswa dari penyajian konsep konsep kunci;

sinergi memori jangka pendek dan jangka panjang diaktifkan melalui penciptaan faktor eksternal, yaitu pembelajaran atau ling-kungan belajar. Melalui inderanya, peserta didik dapat menyerap materi secara berbeda. Pengajar mengarahkan agar pemrosesan informasi atau memori jangka panjang dapat berlangsung lancar. Selanjutnya menurut Magnesen (Dryden & Vos, 1999) dalam Dewi Salma Prawiranegara (2007) belajar dan daya serap otak manusia dapat terjadi melalui kegiatan: 1) 2) 3) 4) 5) 6) membaca daya serapnya sebanyak 10% mendengar daya serapnya sebanyak 20% melihat daya serapnya sebanyak 30 % melihat dan mendengar daya serapnya sebanyak 50% mengatakan kembali daya serapnya sebanyak 70% mengatakan sambil mengerjakan daya serapnya sebanyak 90%.

Oleh karena itu pemberdayaan optimal dari seluruh indera seseorang dalam belajar dapat menghasilkan kesuksesan bagi seseorang. Seseorang yang belajar dan terlibat langsung dengan suatu kegiatan atau mengerjakan sesuatu dianggap sebagai cara terbaik dan bertahan lama. Diilhami oleh teori ini maka dalam inovasi model dan disain pembelajaran demokratis dikembangkan model belajar sambil mencari dan mengerjakan sesuatu serta mempresentasikan/mengatakannya kembali membuat kliping menganalisis mempresentasikan di depan kelas. Adapun teori pembelajaran yang mengilhami inovasi model dan disain pembelajaran demokratis adalah teorinya Bruner yang menyatakan bahwa penyajian materi bisa dimulai dari yang termudah secara bertahap ke arah materi yang lebih sukar. Dengan kata lain, materi yang bersifat sederhana sebaiknya dijelaskan terlebih dahulu, sehingga jika diberikan materi yang lebih rumit peserta didik tidak terlalu kaget. Dalam pelaksanaan pengembangannya model dan disain pembelajaran demokratis, penyajian materi dimulai dari hal-hal yang berisi materi konkret, nyata, sederhana diberikan terlebih dahulu karena lebih mudah dipahami, kemudian disusul dengan materi abstrak, konseptual dan kompleks secara bertahap. Sedangkan teori komunikasi yang digunakan dalam inovasi model dan disain pembelajaran demokratis adalah teori komunikasi Berlo. Teori ini mengembangkan wawasan kegiatan belajar mengajar pada kelas konvensional sebagai suatu komunikasi.

Menurut teori Berlo ini, dalam suatu pembelajaran konvensional, pengajar adalah pengirim pesan yaitu materi ajar. Saluran digunakan untuk menyampaikan pesan tersebut bisa saja segala potensi pengajar, media pembelajaran, serta indra yang dimiliki oleh peserta didik. Lalu peserta didik sebagai penerima pesan atau topik yang disampaikan oleh pengajar mencerna materi. Gangguan timbul pada pesan seperti ketiadaan aliran listrik dapat menyebabkan gangguan pada perangkat elektronik yang seharusnya digunakan. Salah cetak pada buku bisa pula menimbulkan gangguan. Umpan balik adalah respons peserta didik terhadap topik yang disampaikan oleh pengajar. Pertanyaan, nilai buruk yang diperoleh mencerminkan umpan balik. Baik pengajar maupun peserta didik ternyata dipengaruhi oleh nilai sosial, pengetahuan, dan minat masing-masing. Pengajar yang memiliki potensi tinggi dalam disiplin ilmu serta mampu mengolah topik menjadi sajian menarik, diyakini akan berdampak positif terhadap penerima pesan atau peserta didik. Sebaliknya kebekuan komunikasi karena perbedaan persepsi yang besar antara pengajar dan peserta didik berakibat buruk terhadap proses belajar. Untuk mengefektifkan pesan/materi ajar yang disampaikan maka dalam inovasi model dan disain pembelajaran demokratis difasilitasi melalui penggunaan berbagai media yang ada, tersedia dan mudah di dapat di sekitar lingkungan keseharian siswa. Penggunaan teori kecerdasan majemuk (multiple intelegences) juga dilakukan dalam inovasi model dan disain pembelajaran demokratis. Teori kecerdasan majemuk atau Multiple Intelegences adalah validasi tertinggi gagasan bahwa perbedaan individu adalah penting. Pemakaiannya dalam pendidikan sangat tergantung pada pengenalan, pengakuan, dan peng-hargaan terhadap setiap atau berbagai cara siswa (peserta didik) belajar, di samping pengenalan, pengakuan dan penghargaan terhadap setiap minat dan bakat masing-masing pembelajar. Teori kecerdasan majemuk atau Multiple Intelegences bukan hanya mengakui perbedaan individual ini untuk tujuan-tujuan praktis, seperti pengajaran dan penilaian, tetapi juga menganggap serta menerimanya sebagai sesuatu yang normal, wajar bahkan menarik dan sangat berharga. Multiple Intelegences (MI) tidak berhubungan dengan mengidentifikasi satu kecerdasan yang dimiliki siswa akan tetapi multiple intellegences mengembangkan

kecerdasan lain yang dimiliki siswa karena masing-masing siswa memiliki 8 (delapan) jenis kecedasan. Menurut Gardner dalam Cambell, dkk. (2002) ke 8 (delapan) kecerdasan tersebut meliputi: (1) Logika dan Matematika, (2) Musik, (3) Kinestetik, (4) Linguistik, (5) Spasial, (6) Antar Pribadi (interpersonal), (7) Intra Pribadi (Intrapersonal) dan (8) Naturalis. Selanjutnya Cambell, dkk (2002) menyatakan bahwa kreativitas dapat diekspresikan melalui semua kecerdasan tersebut. Dalam pelayanan siswa yang menjadi perhatian guru adalah perbedaan kemampuan dan talenta yang dimiliki siswa. Gardner menegaskan bahwa kebanyakan manusia kreatif dalam domain yang spesifik (Cambell, dkk.2002). Apabila guru memperhatikan kemampuan dan talenta siswa tidak menutup kemungkinan dapat mengembangkan kemampuan siswa yang lain. Menurut teori Multiple Intelegences, seseorang dapat mempelajari apapun, asal materi itu disampaikan sesuai dengan intelegences yang menonjol pada siswa atau peserta didik (Paul Suparno, 2004). Dalam pengembangan lebih lanjut aspek multiple intellegences pada model pembelajaran demokratis perlu dibahas secara lebih detail dalam kajian penelitian tersendiri terutama berkaitan dengan karakteristik peserta didik dan gaya belajar masingmasing, yang cenderung unik dan menarik. Untuk itu disarankan pada peneliti atau peneliti lain untuk mengkajinya dalam penelitian fundamental berikutnya. D. Karakteristik Model Pembelajaran Demokratis Karakteristik umum Inovasi model model pembelajaran demokratis yang dapat dikembangkan di lingkungan pendidikan dasar, meliputi 5 (lima) unsur pokok, yaitu: a. Sintakmatik ( tahap tahap dari kegiatan) Terdiri dari 7 (tujuh) tahap/ langkah, yaitu : 1) pengkondisian awal, 2) pembentukan konseptual, 3) pembentukan kelompok kerja, 4) proses kerja kelompok, 5) presentasi, 6) refleksi dan reinforcement, dan 7) penutup. b. Sistem sosial Yaitu situasi atau suasana dan norma yang berlaku dalam model pembelajaran demokratis dalam pembelajaran IPS bersifat demokratis dan adil gender, yang ditandai oleh keputusan-keputusan yang dikembangkan dari atau setidaknya diperkuat oleh pengalaman kelompok dalam konteks masalah yang menjadi titik sentral kegiatan belajar.

Kegiatan kelompok yang terjadi sedapat mungkin bertolak dari pengarahan minimal dari pengajar. Suasana kelas akan terasa tak begitu terstruktur dan kaku, tapi dinamis dan menggairahkan. Pengajar dan pembelajar memiliki status yang sama dihadapan masalah yang dipecahkan dengan peranan yang berbeda. (guru sebagai fasilitator dan siswa sebagai aktor) Di samping itu situasi pembelajaran dikembangkan atas prinsip 5 M yaitu : (1) menyenangkan, (2) mengasyikkan, (3) mencerdaskan, (3) menguatkan dan memanusiakan. Lingkungan belajar yang demokratis, hendaknya mampu mewarnai suasana kelas yang dapat digunakan sebagai ajang dialog, keterbukaan, toleransi, kritis dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip manusiawi, empati, adil gender, demokratis dan religius. c. Prinsip Reaksi/Pengelolaan; Yaitu pola kegiatan yang menggambarkan bagaimanaseharusnya guru melihat dan memperlakukan peserta didik, termasuk bagaimana seharusnya pengajar atau pendidik memberikan respon terhadap mereka. Dalam kelas yang menerapkan model pembelajaran yang berbasis demokratisasi belajar guru atau pengajar lebih berperan sebagai fasilitator, mediator, konselor, konsultan dan pemberi kritik yang bersahabat. Dalam kelas ini mengedepankan prinsip relasi dan interaksi edukatif berpola demokratis partisipatifdialogis dan adil gender. Di samping itu juga dikembangkan pola pikir kritis-kreatifreflektif berasaskan kebebasan berpendapat. Sikap guru harus menjauhi model indoktrinatif, dan lebih berperan sebagai fasilitator dan moderator yang baik, yang membiarkan dan merangsang siswa untuk aktif dalam menggeluti bahan pelajaran. Hubungan antarguru yang saling terbuka, saling menghargai, saling membantu dalam bekerjasama, dan demokratis dalam menentukan kehidupan sekolah akan membantu siswa untuk menerapkan perilaku demokrasi yang baik di kemudian hari. d. Sistem Pendukung; Yaitu segala sarana, bahan dan alat yang diperlukan untuk melaksanakan model pembelajaran IPS berbasis demokratisasi belajar, yang meliputi segala sesuatu yang menyentuh kebutuhan siswa untuk menggali berbagai informasi yang sesuai dan diperlukan untuk melakukan proses pemecahan masalah kelompok. Perpustakaan, bukubuku penunjang serta bahan bahan kliping (artikel dan gambar) dari koran, mudah dijangkau dan relatif memadai untuk dijadikan sebagai media pembelajaran. Kelas atau

sekolah yang menerapkan model pembelajaran demokratis akan menggunakan berbagai media dan sumber belajar yang dekat dengan konteks dan lingkungan belajar siswa. e. Dampak Instruksional dan Pengiring; Dampak instruksional, yaitu hasil belajar yang dicapai langsung dengan cara menga-rahkan para pelajar pada tujuan yang diharapkan. Berkaitan dengan dampak instruksional ini, sekolah atau kelas yang menerapkan model pembelajaran IPS berbasis demokratisasi belajar dalam pencapaian tujuan instruksional akan berorientasi pada materi akademik (sesuai tema dan topik pelajaran serta standar kompetensi dasar yang digariskan dalam kurikulum). Serta ditujukan untuk mencapai ketrampilan proses demokrasi dalam lingkup kelas (kelas demokratis sebagai miniatur masyarakat demokratis). Dampak Pengiring, ialah hasil belajar lainnya yang dihasilkan oleh sebuah proses belajar mengajar, sebagai akibat terciptanya suasana belajar yang dialami langsung oleh para pelajar tanpa pengarahan langsung dari pengajar. Sebagai dampak pengiring dari model pembelajaran IPS berbasis demokratisasi belajar tersebut, adalah guru dan siswa yang terlibat dalam proses pembelajaran akan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap nilai-nilai demokrasi, keadilan dan kesetaraan gender. Mereka akan menjadi warganegara yang aktif dalam proses kehidupan demokrasi sehari-hari. Siswa akan menjadi lebih berani menyampaikan pendapat, tidak takut salah dalam belajar, berani berbeda pendapat, tapi juga menjunjung tinggi nilai toleransi. Sedangkan sebagai sebuah disain pembelajaran, maka inovasi model dan disain pembelajaran demokratis dikembangkan sesuai dengan pendapatnya Dick, Carey & Carey mencakup seluruh proses yang dilaksanakan pada pendekatan sistem. Pendekatan sistem untuk disain pembelajaran terdiri atas analisis, disain, pengembangan, implementasi dan evaluasi. Teori belajar, teori evaluasi dan teori pembelajaran merupakan teori-teori yang melandasi disain pembelajaran. Di samping itu Gagne, Briggs & Wager (1992) mengembangkan konsep disain pembelajaran membantu proses belajar seseorang, dimana proses belajar itu sendiri memiliki tahapan segera dan jangka panjang. Disain pembelajaran haruslah sistematis, dan menerapkan konsep pendekatan sistem agar berhasil meningkatkan mutu kinerja seseorang.

Esensi disain pembelajaran demokratis yang dikembangkan mencakup empat komponen yaitu: (a) peserta didik, (b) tujuan, (c) metode, dan (d) evaluasi yang dipengaruhi oleh teori belajar dan pembelajaran serta analisis topik yang dihasilkan dari disiplin ilmu tertentu, dalam hal ini adalah ilmu sosial.

BAB III PENUTUP Dengan pemberlakuan KBK (2004) dan KTSP (2006) yang mana KBK dipersepsikan sebagai kurikulum yang mengutamakan kompetensi (kemampuan). Sebagai sebuah konsepsi kurikulum, KBK secara teoritis memberi landasan yang kuat bagi penanaman dan pengembangan nilai dan moral manusia. Kurikulum tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah berpedoman pada standar kompetensi lulusan dan standar isi serta panduan penyusunan kurikulum yang dibuat oleh BSNP. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip: (a) Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya, (b) Beragam dan terpadu, (c) Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (d) Relevan dengan kebutuhan kehidupan (e) Menyeluruh dan berkesinam-bungan (f ) Belajar sepanjang hayat (g) Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.

DAFTAR PUSTAKA Depdiknas, 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Puskur: Jakarta. DPR RI, 2003 . Undang Undang Sisdiknas RI No 20 Tahun 2003, Sekretariat DPR- RI: Jakarta. Prawiradilaga, Dewi Salma, 2007. Prinsip Disain Pembelajaran (Instructional Design Principles), Kencana Prenada Media Group: Jakarta. Soekamto, Toeti dan Udin Saripudin Winataputra, 1996. Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran ; Program Pengembangan Ketrampilan Dasar Instruksional (Pekerti) Untuk Dosen Muda Buku IB, P3AI Dikti : Jakarta. Sumantri, Numan, 2001.Pembaharuan Pendidikan IPS, Rosda Karya : Bandung. Suparno, Paul, dkk. 1999. Pendidikan Dasar yang Demokratis Suatu Usulan Untuk Reformasi Pendidikan Dasar di Indonesia, Penerbit Universitas Sanata Dharma : Yogyakarta. Wiryokusumo, Iskandar, 2000. Demokratisasi Belajar dan Pembelajaran Ditinjau dari Pengalaman Empiris, Kumpulan Makalah Paradigma Baru Pendidikan Memasuki Era Demokratisasi Belajar, Univ. Negeri Malang bekerjasama dengan IPTPI Malang, tanggal 7 Oktober 2000. Zuriah, Nurul dkk. 2006. Analisis Model Teoritik Inovasi Pembelajaran Berbasis Demokratisasi di Lingkungan Pendidikan Dasar, Laporan Hasil Penelitian Fundamental Tahap 1 tahun 2006, Ditbinlitabmas Dikti dan Lemlit UMM.