Upload
yada90
View
291
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
preskas
Citation preview
PRESENTASI KASUS
KLAVUS DAN TINEA PEDIS
Moderator :
Kolonel (Purn) CKM dr. FX. Hanny Suwandhani, Sp.KK
Disusun Oleh :
Mitta Arlina Solihadin
1410221087
Dipresentasikan tanggal:
20 Agustus 2015
KEPANITERAAN KLINIK PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL’VETERAN’ JAKARTA
PERIODE 10 AGUSTUS – 11 SEPTEMBER 2015
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................ii
BAB I STATUS PASIEN..................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................10
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................19
2
ii
BAB I
STATUS PASIEN
I. Identitas Pasien
Nama : AM
Usia : 72 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Kali deres
Agama : Islam
Pekerjaan : Pensiunan TNI
II. Anamnesa
Dilakukan secara autoanamesis hari Selasa, tanggal 18 Agustus 2015
a. Keluhan Utama
Nyeri pada telapak kaki kiri dengan kulit yang menebal disertai gatal pada
sela jari kelingking kiri dengan bercak berwarna keputihan.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSPAD dengan
keluhan rasa nyeri pada telapak kaki kiri yang dirasakan sejak kurang
lebih 6 bulan lalu yang timbul saat berjalan. Sebelumnya pasien
merasakan terdapat penebalan pada kulit telapak kaki kiri sejak 2 tahun
yang lalu. Pasien merasa terganggu sehingga 6 bulan lalu pasien
mengelupaskan kulit yang menebal tersebut dengan menggunakan silet
akibat hal tersebut telapak kakinya merasa nyeri dan sedikit mengeluarkan
darah. Pasien menyangkal terdapat demam. Pasien juga mengeluhkan
gatal pada sela jari kaki kelingking yang dirasakan sejak sekitar 3 minggu
yang lalu. Awalnya timbul lenting yang kemudian pecah dan melebar
yang disertai rasa gatal yang muncul tiba-tiba. Gatal yang dirasakan
hilang timbul dan saat malam hari keluhan gatal semakin bertambah.
Untuk mengatasi gatal tersebut pasien menggaruk dan akhirnya timbul
luka yang makin lama makin meluas.
3
Pasien memiliki kebiasaan menggunakan sepatu boot saat
berkebun. Pasien menyangkal memiliki kebiasaan menggunakan jamu
herbal.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki penyakit gula yang terkontrol,dengan metformin 500mg
3x1, gula darah terakhir 86 mg/dl.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien menyangkal dikeluarganya ada yang mempunyai keluhan yang
sama.
III. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik, tampak sakit ringan.
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital :
Tekanan Darah : tidak dilakukan pemeriksaan
Nadi : 88 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Kepala :
Bentuk : Normocephali
Mata : Konjuntiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Thorax
Jantung : tidak dilakukan pemeriksaan
Paru : tidak dilakukan pemeriksaan
Abdomen : tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Akral hangat, oedem (-), sianosis (-)
Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan
4
2. Status Dermatologis
Lokasi : pedis sinistra bagian plantar
Efloresensi : tampak plak, ukuran numular, dengan tepi berbatas tegas,
terdapat skuama putih dan ekskoriasi.
Gambar 1. Kalus pada pedis sinistra bagian plantar
5
Gambar 2. Kalus pada pedis sinistra bagian plantar
6
Lokasi : pedis sinistra bagian interdigitalis diantara jari IV dan V
Efloresensi :tampak maserasi ,skuama putih dan beberapa erosi.
IV. Resume
Pasien Tn.A M, Laki-laki, berusia 72 tahun datang dengan keluhan rasa
nyeri pada telapak kaki kiri yang dirasakan sejak kurang lebih 6 bulan
lalu. Sebelumnya pasien merasakan terdapat penebalan pada kulit telapak
kaki kiri sejak 2 tahun yang lalu. Pasien merasa terganggu sehingga 6
bulan lalu pasien mengelupaskan kulit yang menebal tersebut dengan
menggunakan silet akibat hal tersebut telapak kakinya merasa nyeri dan
sedikit mengeluarkan darah.. Pasien juga mengeluhkan gatal pada sela jari
kaki kelingking yang dirasakan sejak sekitar 3 minggu yang lalu. Pasien
memiliki kebiasaan menggunakan sepatu boot saat berkebun.
7
Gambar 3. Tinea pedis interdigitalis.
V. Diagnosa Kerja
1. Klavus
2. Tinea Pedis
VI. Diagnosa Banding
1. Tinea Pedis
- Kandidiasis
VII.Pemeriksaan Anjuran
Pemeriksaan KOH
VIII. Penatalaksanaan
1. Klavus
Non Medikamentosa
Menganjurkan pada pasien untuk menghindari pemakaian
sandal/sepatu yang memiliki ukuran yang sempit.
Menyarankan pasien untuk tidak membersihkan kulit yang
menebal dengan benda tajam sendiri.
Medikamentosa
Elektrokateurisasi
Topikal :
Salep kloramfenikol 2% 2x1 selama 5 hari
8
2. Tinea Pedis
Non Medikamentosa
Menyarankan kepada pasien untuk mengkonsumsi obat secara
teratur dan tidak menghentikan pengobatan tanpa seizin dokter.
Pencucian kaki setiap hari diikuti dengan pengeringan yang baik.
Menganjurkan pada pasien untuk menghindari pemakaian sepatu
yang tertutup
Medikamentosa
Topikal :
o Salep AAV I 2 x 1 sehari selama 1 bulan
IX. Prognosis
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
KLAVUS
2.1.1 Definisi
Klavus ialah kelainan kulit beupa hyperkeratosis berbatas tegas, tidak
merata, tampaknya seolah-olah seperti kerucut terbalik, dengan alas ad di
permukaan kulit dan puncaknya ada di dermis.1
Gambar 4. Klavus yang terdapat pada metatarsal III 5
2.1.2. Etiologi dan patogenesis
Timbulnya akibat gesekan atau tekanan yang berselang seling dalam
waktu yang lama, mempunyai tempat predileksi pada daerah yang mengalami
eksositosis, misalnya di persendian metatarsal-falangeal, jari kaki, dan plantar
pedis. 1,5
2.1.3. Gejala klinis
Terdapat dua bentuk klavus yaitu klavus yang luna kdan klavus yang keras.
Klavus yang keras berbentuk seperti kerucut atau paku yang menghujam. Berbeda
dengan kalus, pada klavus hyperkeratosis tidak merata, dibagian tengan seolah-
olah terdapat inti. Pengerasan inti tersebut biasanya berakhir pada serabut saraf di
dermis sehingga terasa nyeri bila berjalan. 1, 5
10
2.1.4. Pengobatan
Pengobatan yang paling utama adalah menghlangkan faktor tekanan.
Pasien dianjurkan untuk menggunakan sepatu sesuai ukurannya dan nyaman.
Sebagai pengobatan lokal dapat digunakan asam salisilat 40%, sebagai keratolitik.
Tindakan debroidement mengeluarkan inti juga dapat dilakukan. 1,5
TINEA PEDIS
2.2.1. Definisi
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat
tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang
disebabkan golongan jamur dermatofita.
Tinea pedis adalah dermatofitosis pada kaki, terutama pada sela-sela jari
dan telapak kaki.1
2.2.2 Etiologi dan patogenesis
Dermatofita ialah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.
Golonganjamur ini mempunyai sifat mencemakan keratin.Dermatofita termasuk
kelas Fungi impetiecti, yang terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum,
Trichophyton, dan Epidermophyton.1
Tinea pedis disebabkan oleh Trichophyton rubrum (umumnya),
Trichophyton mentagrophytes, Epidermophyton floccosum. Telah diketahui
bahwa 9% dari kasus tinea pedis diakibatkan oleh agen infeksi selain dermatofit.
Individu dengan imun yang rendah seperti, HIV/AIDS, transplantasi organ,
kemoterapi,dan steroid diduga dapat menurunkan resistensi pasien terhadap
infeksi dermatofitosis. Faktor seperti umur, obesitas dan diabetes melitus juga
mempunyai dampak negatif terhadap kesehatan pasien secara keseluruhan dan
dapat menurunkan imunitas dan meningkatkan terjadinya tinea pedis. Dengan
menggunakan enzim keratinase, jamur ini menginvasi keratin superfisialis dari
kulit dan infeksi akan terbatas pada lapisan kulit ini. Dinding dermatofit memiliki
mannans, yang akan menghambat respon imun tubuh. Trichophyton rubrum
11
umumnya memiliki mannans yang akan menghambat proliferasi keratinosit,
mengakibatkan berkurangnya kecepatan pergantian kulit dan berujung pada
infeksi kronis. Suhu dan faktor serum seperti beta globulin dan ferritin nampaknya
memiliki efek menghambat dermatofit, akan tetapi patofisiologinya tidak begitu
dimengerti. Sebum juga berperan sebagai penghambat, sehingga menjelaskan
kenapa infeksi dermatofit sering pada daerah kaki yang tidak memiliki kelenjar
sebum.4,5,6
2.2.3. Epidemiologi
a. Usia
Usia muda atau tua. Tersering pada usia 20-50 tahun.
b. Jenis kelamin
Pria lebih banyak daripada wanita
c. Faktor lingkungan
Panas, udara lembab, penggunaan sepatu yang sempit, dan keringat
berlebih sering mempermudah infeksi.
d. Transmisi
Berjalan tanpa pakai alas kaki yang terkontaminasi lantai/tanah. Artrospora
dapat bertahan selama 12 bulan..2,3
2.2.4. Manifestasi Klinis
Lesi kulit
- Tipe interdigitalis
1. Terdapat dua pola:
a. Skuama kering
b. Maserasi, fisura pada sela jari, hyperhidrosis (keringat
berlebih)
2. Paling sering pada sela jari 4-5
3. Infeksi dapat menyebar ke area kaki yang lain
12
Gambar 5.Tinea pedis interdigitalis. Maserasi dan terdapat
skuama putih dan beberapa erosi. 8
Gambar 6. Tinea pedis pada bagian bawah jari kaki. 8
- Tipe moccasin
1. Eritema dibatasi papul-papul kecil dipinggir lesi, skuama putih
halus dan hyperkeratosis. Sering terjadi pada tumit, telapak dan
pinggir lateral kaki.
2. Distribusi pada telapak kaki termasuk pada area yang tertutup
sepatu
3. Dapat terjadi pada satu atau kedua kaki, tersering pada kedua
kaki. 4,5,6
13
Gambar 7. Tinea pedis.Terdapat distribusi tipe moccasin.
Bentuk arciform dari sisik yang merupakan karakteristik. 8
- Tipe inflammatory/bula
1. Vesikel atau bula terisi cairan jernih
2. Pus biasanya menandakan infeksi sekunder dari S. aureus
3. Setelah pecah timbul erosi dengan tepi seperti cincin
4. Distribusi pada telapak kaki, punggung kaki dan sela-sela jari
Gambar 8. Tinea pedis tipe bulosa. Vesikel pecah, bula,
eritema, dan erosi pada bagian belakang dari ibu jari kaki.8
- Tipe ulseratif
Penyebaran dari interdigitalis ke dorsal atau plantar pedis.5,6
2.2.5. Pemeriksaan laboratorium
e. Kerokan kulit + KOH 10% ditemukan hifa sejati dan artospora
14
2.2.6. Diagnosa Banding
Kandidiasis : biasaya terdapat skuama yang berwarna putih pada
sela jari 4-5, dan terdapat lesi satelit
2.2.7. Pengobatan
1. Antifungal Topikal
Obat topikal digunakan untuk mengobati penyakit jamur yang terlokalisir.
Efek samping dari obat-obatan ini sangat minimal, biasanya terjadi dermatitis
kontak alergi, yang biasanya terbuat dari alkohol atau komponen yang lain.
a. Imidazol Topikal. Efektif untuk semua jenis tinea pedis tetapi lebih cocok
pada pengobatan tinea pedis interdigitalis karena efektif pada dermatofit dan
kandida.1
Klotrimazole 1 %. Antifungal yang berspektrum luas dengan menghambat
pertumbuhan bentuk yeast jamur. Obat dioleskan dua kali sehari dan
diberikan sampai waktu 2-4 minggu. Efek samping obat ini dapat terjadi
rasa terbakar, eritema, edema dan gatal. 1,2,3
Ketokonazole 2 % krim merupakan antifungal berspektrum luas
golongan Imidazol; menghambat sintesis ergosterol, menyebabkan
komponen sel yang mengecil hingga menyebabkan kematian sel
jamur. Obat diberikan selama 2-4 minggu. 3,4,5
Mikonazol krim, bekerja merusak membran sel jamur dengan
menghambat biosintesis ergosterol sehingga permeabilitas sel meningkat
yang menyebabkan keluarnya zat nutrisi jamur hingga berakibat pada
kematian sel jamur. Lotion 2 % bekerja pada daerah-daerah intertriginosa.
Pengobatan umumnya dalam jangka waktu 2-6 minggu. 3,4,5
b. Tolnaftat 1% merupakan suatu tiokarbamat yang efektif untuk sebagian besar
dermatofitosis tapi tidak efektif terhadap kandida. Digunakan secara lokal 2-3
kali sehari. Rasa gatal akan hilang dalam 24-72 jam. Lesi interdigital oleh
jamur yang rentan dapat sembuh antara 7-21 hari. Pada lesi dengan
hiperkeratosis, tolnaftat sebaiknya diberikan bergantian dengan salep asam
salisilat 10 %.4,5
15
c. Piridones Topikal merupakan antifungal yang bersifat spektrum luas dengan
antidermatofit, antibakteri dan antijamur sehingga dapat digunakan dalam
berbagai jenis jamur. 4,5
Sikolopiroksolamin. Pengunaan kliniknya untuk dermatofitosis,
kandidiasis dan tinea versikolor. Sikolopiroksolamin tersedia dalam
bentuk krim 1 % yang dioleskan pada lesi 2 kali sehari. Reaksi iritatif
dapat terjadi walaupun jarang terjadi. 6,7
d. Alilamin Topikal. Efektif terhadap berbagai jenis jamur. Obat ini juga berguna
pada tinea pedis yang sifatnya berulang (seperi hiperkeratotik kronik).
Terbinafine (Lamisil®), menurunkan sintesis ergosterol, yang
mengakibatkan kematian sel jamur. Jangka waktu pengobatan 1 sampai 4
minggu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan bahwa terbinafine 1%
memiliki keefektifan yang sama dengan terbinafine 10% dalam mengobati
tine pedis namun dalam dosis yang lebih kecil dan lebih aman.4
e. Anti jamur Topikal Lainnya.
Asam benzoat dan asam salisilat. Kombinasi asam benzoat dan asam
salisilat dalam perbandingan 2 : 1 (biasanya 6 % dan 3 %) ini dikenal
sebagai salep Whitfield. Asam benzoat memberikan efek fungistatik
sedangkan asam salisilat memberikan efek keratolitik. Asam benzoat
hanya bersifat fungistatik maka penyembuhan baru tercapai setelah lapisan
tanduk yang menderita infeksi terkelupas seluruhnya. Dapat terjadi iritasi
ringan pada tempat pemakaian, juga ada keluhan yang kurang
menyenangkan dari para pemakainya karena salep ini berlemak. 6,7
Asam Undesilenat. Dosis dari asam ini hanya menimbulkan efek
fungistatik tetapi dalam dosis tinggi dan pemakaian yang lama dapat
memberikan efek fungisidal. Obat ini tersedia dalam bentuk salep
campuran yang mengangung 5 % undesilenat dan 20% seng
undesilenat.6,7
Haloprogin. Haloprogin merupakan suatu antijamur sintetik, berbentuk
kristal kekuningan, sukar larut dalam air tetapi larut dalam alkohol.
Haloprogin tersedia dalam bentuk krim dan larutan dengan kadar 1 %.6,7
16
2. Antifungal Sistemik
Pemberian antifungal oral dilakukan setelah pengobatan topikal gagal
dilakukan. Secara umum, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan
pemberian beberapa obat antifungal di bawah ini antara lain :
a. Griseofulvin merupakan obat yang bersifat fungistatik. Griseofulvin dalam
bentuk partikel utuh dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1 g untuk orang
dewasa dan 0,25 - 0,5 g untuk anak-anak sehari atau 10-25 mg/kg BB. Lama
pengobatan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit, dan imunitas
penderita. Setelah sembuh klinis dilanjutkan 2 minggu agar tidak residif.
Dosis harian yang dianjurkan dibagi menjadi 4 kali sehari. Di dalam klinik
cara pemberian dengan dosis tunggal harian memberi hasil yang cukup baik
pada sebagian besar penderita. Griseofulvin diteruskan selama 2 minggu
setelah penyembuhan klinis. Efek samping dari griseofulvin jarang dijumpai,
yang merupakan keluhan utama ialah sefalgia yang didapati pada 15 %
penderita. Efek samping yang lain dapat berupa gangguan traktus
digestivus yaitu nausea, vomitus dan diare. Obat tersebut juga dapat bersifat
fotosensitif dan dapat mengganggu fungsi hepar.1
b. Ketokonazole. Obat per oral, yang juga efektif untuk dermatofitosis yaitu
ketokonazole yang bersifat fungistatik. Kasus-kasusyang resisten terhadap
griseofulvin dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg per hari selama 10
hari – 2 minggu pada pagi hari setelah makan. Ketokonazole merupakan
kontraindikasi untuk penderita kelainan hepar.1
c. Itrakonazole. Itrakonazole merupakan suatu antifungal yangdapat digunakan
sebagai pengganti ketokonazole yang bersifat hepatotoksik terutama bila
diberikan lebih dari sepuluh hari. Itrakonazole berfungsi dalam menghambat
pertumbuhan jamur dengan mengahambat sitokorm P-45 yang dibutuhkan
dalam sintesis ergosterol yang merupakan komponen penting dalam sela
membran jamur. Pemberian obat tersebut untuk penyakit kulit dan selaput
lendir oleh penyakit jamur biasanya cukup 2 x 100-200 mg sehari dalam
selaput kapsul selama 3 hari. Interaksi dengan obat lain seperti antasida (dapat
memperlambat reabsorpsi di usus), amilodipin, nifedipin (dapat menimbulkan
17
terjadinya edema), sulfonilurea (dapat meningkatkan resiko hipoglikemia).
Itrakonazole diindikasikan pada tinea pedis tipe moccasion. 1
d. Terbinafin. Terbinafin berfungsi sebagai fungisidal juga dapat diberikan
sebagai pengganti griseofulvin selama 2-3 minggu, dosisnya 62,5 mg – 250
mg sehari bergantung berat badan. Mekanisme sebagai antifungal yaitu
menghambat epoksidase sehingga sintesis ergosterol menurun. Efek samping
terbinafin ditemukan pada kira-kira 10 % penderita, yang tersering gangguan
gastrointestinal di antaranya nausea, vomitus, nyeri lambung, diare dan
konstipasi yang umumnya ringan. Efek samping lainnyadapat berupa
gangguan pengecapan dengan presentasinya yang kecil. Rasa pengecapan
hilang sebagian atau seluruhnya setelah beberapa minggu makan obat dan
bersifat sementara. Sefalgia ringan dapat pula terjadi. Gangguan fungsi hepar
dilaporkan pada 3,3 % - 7 % kasus.1 Terbinafin baik digunakan pada pasien
tinea pedis tipe moccasion yang sifatnya kronik. Pada suatu penelitian ternyata
ditemukan bahwa pengobatan tinea pedis dengan terbinafine lebih efektif
dibandingkan dengan pengobatan griseofulvin.8
3. Pencegahan
Salah satu pencegahan terhadap reinfeksi tinea pedis yaitu menjaga kaki
tetap dalam keadaan kering dan bersih, menghindari lingkungan yang lembab,
menghindari pemakaian sepatu yang terlalu lama, tidak berjalan dengan kaki
telanjang di tempat-tempat umum seperti kolam renang serta menghindari hindari
kontak dengan pasien yang sama. Setelah mandi sebaiknya kaki dicuci dengan
benzoil peroksidase.8
2.2.8. PROGNOSIS
Tinea pedis pada umumnya memiliki prognosis yang baik. Beberapa
minggu setelah pengobatan dapat menyembuhkan tinea pedis, baik akut maupun
kronik. Kasus yang lebih berat dapat diobati dengan pengobatan oral. Walaupun
dengan pengobatan yang baik, tetapi bila tidak dilakukan pencegahan maka pasien
dapat terkena reinfeksi. 8
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Budimulja U. Mikosis. Dalam: Ilmu penyakit kulit dan kelamin, Edisi 5.
Jakarta: FK UI. 2007: h. 89
2. Chamlin L Sarah, Lawley P Leslie.Tinea. In: Fitzpatrick’s Dermatology
in General Medicine, 8th edition. New York: McGraw-Hill Medicine.
2009:pg; 3237-3267
3. Chytia, C, Barbara J. (2008). Laboratory and Diagnostic Procedures. Fifth Edition. St. Louis, Missouri: Sauders Elsevier. (pg; 210-211)
4. Djuanda Adhi. Dermatofitosis. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Edisi kelima. Jakarta: FKUI 2007:h. 92
5. Fitzpatrick Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. Edisi 7.
2008. (pg; 736-872)
6. G. James D William, Andrews’. (2008). Diseases resulting from fungi and yeast. Disease of the skin, Edisi 10. Canada: Saunders Elsevier. (pg; 303-303)
7. Kumar V, Tilak R, Prakash P,Nigam C, Gupta R. (2011). Tinea Pedis. Asian journal of medical science. (pg;134-135)
8. Siregar, R. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta :
EGC. 2005. (pg; 23-25)
19