27
MITIGASI DEGRADASI LAHAN GAMBUT IGM. Subiksa 1) , F. Agus 1) , Wahyunto 1) , dan E. Eko Ananto 2) 1) Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian 2) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Berdasarkan interpretasi citra satelit, Indonesia memiliki lahan gambut tropis terluas di dunia yaitu sekitar 21 juta ha, tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (Wahyunto et al., 2003, 2004, 2007). Walaupun secara fisik terlihat hampir sama, namun sejatinya gambut memiliki variabilitas sangat tinggi baik dari segi ketebalan, kematangan maupun kesuburannya. Oleh karenanya, tidak semua lahan gambut layak untuk pertanian karena berbagai kendala fisik dan kimia. Dari 18,3 juta ha lahan gambut, hanya sekitar 6 juta ha yang layak bersyarat untuk pertanian (Tabel 1). Namun karena keterbatasan lahan produktif, akhirnya lahan gambut yang dulunya dianggap sebagai “lahan sisa” (waste land) dan tidak layak, juga dimanfaatkan untuk ekstensifikasi pertanian terutama untuk perkebunan kelapa sawit dan karet. Dalam keadaan alami, ekosistem hutan gambut merupakan ekosistem yang stabil. Ketebalannya bisa bertambah karena proses deposisi bahan organik lebih besar dibandingkan proses dekomposisi. Namun bila kondisi alami terganggu, maka terjadi sebaliknya, lahan mengalami degradasi, sehingga dikatakan bahwa lahan gambut adalah ekosistem yang rapuh. Lahan gambut juga merupakan lahan marginal karena secara inheren (sifat asli) tanahnya bereaksi masam, miskin hara dan mineral yang dibutuhkan tanaman. Oleh karenanya, pemanfaatan lahan harus diawali dengan pembenah tanah dan penambahan input produksi agar tanaman tumbuh optimal. Sampai saat ini sebagian lahan gambut telah dibuka dan dimanfaatkan untuk lahan pertanian baik melalui program pemerintah, swasta, maupun swadaya masyarakat. Dari areal yang dibuka ini, di samping ada yang berhasil secara lestari, namun banyak juga yang menjadi lahan terlantar dan rusak. Kecenderungan perluasan pemanfaatan lahan gambut sangat signifikan terjadi di beberapa provinsi yang memiliki areal gambut yang luas, seperti Riau, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Hasil penelitian dari WWF (2007) menunjukkan laju deforestasi hutan gambut di Riau yang sangat tinggi, yaitu dari 50 ribu ha pada tahun 1982-1988 menjadi 180 ribu ha pada tahun 2005-2006. Deforestasi hutan gambut dalam skala luas yang mengakibatkan kerusakan lahan telah terjadi di Kalimantan Tengah pada proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) dicanangkan pemerintah pada pertengahan tahun sembilan puluhan.

MITIGASI DEGRADASI LAHAN GAMBUT - · PDF fileMITIGASI DEGRADASI LAHAN GAMBUT 115 Dengan meningkatnya kebutuhan untuk penggunaan lahan gambut maka diperlukan suatu pemahaman tentang

Embed Size (px)

Citation preview

MITIGASI DEGRADASI LAHAN GAMBUTIGM. Subiksa1), F. Agus1), Wahyunto1), dan E. Eko Ananto2)

1)Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian2)Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Berdasarkan interpretasi citra satelit, Indonesia memiliki lahan gambut tropis terluas di dunia yaitu sekitar 21 juta ha, tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (Wahyunto et al., 2003, 2004, 2007). Walaupun secara fisik terlihat hampir sama, namun sejatinya gambut memiliki variabilitas sangat tinggi baik dari segi ketebalan, kematangan maupun kesuburannya. Oleh karenanya, tidak semua lahan gambut layak untuk pertanian karena berbagai kendala fisik dan kimia. Dari 18,3 juta ha lahan gambut, hanya sekitar 6 juta ha yang layak bersyarat untuk pertanian (Tabel 1). Namun karena keterbatasan lahan produktif, akhirnya lahan gambut yang dulunya dianggap sebagai “lahan sisa” (waste land) dan tidak layak, juga dimanfaatkan untuk ekstensifikasi pertanian terutama untuk perkebunan kelapa sawit dan karet.

Dalam keadaan alami, ekosistem hutan gambut merupakan ekosistem yang stabil. Ketebalannya bisa bertambah karena proses deposisi bahan organik lebih besar dibandingkan proses dekomposisi. Namun bila kondisi alami terganggu, maka terjadi sebaliknya, lahan mengalami degradasi, sehingga dikatakan bahwa lahan gambut adalah ekosistem yang rapuh. Lahan gambut juga merupakan lahan marginal karena secara inheren (sifat asli) tanahnya bereaksi masam, miskin hara dan mineral yang dibutuhkan tanaman. Oleh karenanya, pemanfaatan lahan harus diawali dengan pembenah tanah dan penambahan input produksi agar tanaman tumbuh optimal.

Sampai saat ini sebagian lahan gambut telah dibuka dan dimanfaatkan untuk lahan pertanian baik melalui program pemerintah, swasta, maupun swadaya masyarakat. Dari areal yang dibuka ini, di samping ada yang berhasil secara lestari, namun banyak juga yang menjadi lahan terlantar dan rusak. Kecenderungan perluasan pemanfaatan lahan gambut sangat signifikan terjadi di beberapa provinsi yang memiliki areal gambut yang luas, seperti Riau, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Hasil penelitian dari WWF (2007) menunjukkan laju deforestasi hutan gambut di Riau yang sangat tinggi, yaitu dari 50 ribu ha pada tahun 1982-1988 menjadi 180 ribu ha pada tahun 2005-2006. Deforestasi hutan gambut dalam skala luas yang mengakibatkan kerusakan lahan telah terjadi di Kalimantan Tengah pada proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) dicanangkan pemerintah pada pertengahan tahun sembilan puluhan.

MITIGASI DEGRADASI LAHAN GAMBUT

114

Tabel 1. Luas dan Sebaran Lahan Gambut dan yang Layak untuk Pertanian di Indonesia (Wahyunto, et al., 2004)

Pulau / Provinsi Luas Total (ha) Layak untuk Pertanian (ha)

Sumatra 6.244.101 2.253.733 Riau 4.043.600 774.946 Jambi 716.839 333.936 Sumatera Selatan l 1.483.662 1.144.851

Kalimantan 5.072.249 1.485.259 Kalimantan Tengah 3.010,640 672.723 Kalimantan Barat 1.729.980 694.714 Kalimantan Selatan 331.629 162.819

Papua dan Papua Barat 7.001.239 2.273.160 Total 18.317.589 6.012.142

Sejak pembukaan mega proyek pengembangan lahan gambut (PLG) 1 juta ha di Kalimantan Tengah, pemanfaatan lahan gambut menjadi kontroversi antara pandangan dari aspek ekonomi dan aspek lingkungan. Dari aspek ekonomi, lahan gambut adalah potensi sumber daya lahan yang dapat dikembangkan untuk pertanian tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan, sedangkan pandangan dari aspek lingkungan, lahan gambut merupakan ekosistem yang memiliki fungsi sangat vital sebagai pengatur hidrologi, iklim global, biodiversity flora dan fauna yang spesifik dan tempat pemijahan dan nursery bagi ikan tertentu. Ekosistem lahan gambut sangat penting dalam sistem hidrologi kawasan hilir DAS karena kemampuannya menyerap air sampai 13 kali lipat dari bobotnya. Selain itu, kawasan gambut juga merupakan penyimpan cadangan karbon sangat besar, terutama di bawah permukaan tanah, selain pada biomassa tanaman yang tumbuh diatasnya. Oleh karenanya penggunaan lahan gambut harus sedemikian rupa sehingga ekosistem ini terlindungi dari kerusakan yang berpengaruh besar terhadap pada lingkungan gambut itu sendiri, maupun pada lingkungan sekitarnya dan iklim global.

Hasil investigasi menunjukkan bahwa ketergantungan penduduk terhadap lahan gambut seperti di Riau dan Kalimantan Barat sangat tinggi (Subiksa et al., 2009). Pemanfaatan lahan gambut sebagai sumber perekonomian masyarakat adalah keniscayaan. Lahan yang sudah dikonversi menjadi lahan pertanian produktif tidak mungkin untuk dikembalikan menjadi hutan untuk memenuhi tuntutan masyarakat global. Namun demikian, dua kepentingan yang berbeda ini perlu diusahakan titik temu yang saling menguntungkan. Beberapa upaya dapat ditempuh antara lain membatasi area yang dibuka melalui regulasi, perbaikan budidaya dan pemilihan komoditas yang rendah emisi.

MITIGASI DEGRADASI LAHAN GAMBUT

115

Dengan meningkatnya kebutuhan untuk penggunaan lahan gambut maka diperlukan suatu pemahaman tentang sifat dan cara pengelolaan lahan gambut secara lestari, dengan meminimalkan dampak kerusakan lingkungan. Bab ini membahas tentang karakteristik lahan gambut, pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian, degradasi lahan gambut serta pendekatan untuk pengelolaan lahan gambut secara lestari.

Karakteristik Lahan GambutPilihan untuk memanfaatkan lahan gambut untuk pertanian atau tindakan konservasi

untuk menjaga lingkungan, harus didasarkan pada pemahaman yang benar terhadap karakteristik lahan gambut. Hal ini untuk mencegah kerusakan lahan yang masif seperti PLG 1 juta ha. Tanah gambut tersusun dari bahan organik yang belum melapuk sempurna sehingga sangat berbeda dengan tanah mineral, baik sifat fisik maupun kimia. Oleh karenanya, teknologi pengelolaan dan konservasi lahan sangat berbeda dengan tanah mineral dan spesifik lokasi.

Karakteristik FisikGambut terbentuk di lingkungan yang jenuh air sehingga kadar air tanah gambut

di lapangan berkisar antara 100 – 1300 persen dari berat kering gambut (Mutalib et al., 1991). Artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali dari bobotnya. Karena kadar air yang tinggi, maka secara fisik tanah menjadi lembek dan dayanya menahan beban (bearing capasity) menjadi rendah (Nugroho et al., 1995; Widjaja Adhi, 1995) serta berat volume (BD)-nya rendah. BD tanah gambut lapisan atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,3 g/cm3 tergantung pada tingkat dekomposisi gambut dan kadar mineral. Gambut fibrik (gambut yang tidak matang) yang umumnya berada di lapisan bawah memiliki BD lebih rendah dari 0,2 g/cm3, tapi gambut pantai dan gambut di jalur aliran sungai yang mendapat pengayaan mineral, bisa memiliki BD > 0,2 g/cm3 (Tie and Lim, 1991; Agus et al., 2010). Volume gambut akan menyusut bila lahan gambut didrainase, sehingga terjadi penurunan permukaan tanah (subsiden). Selain karena penyusutan volume, subsiden juga disebabkan oleh adanya proses dekomposisi dan erosi. Dalam 2 tahun pertama setelah lahan gambut didrainase, laju subsiden bisa mencapai 50 cm. Pada tahun berikutnya laju subsiden sekitar 2 – 6 cm per tahun tergantung kematangan gambut dan kedalaman saluran drainase. Adanya subsiden bisa dilihat dari akar pohon yang muncul dan menggantung di atas permukaan tanah.

Rendahnya daya menahan atau menyangga beban (bearing capasity) lahan gambut menyulitkan beroperasinya peralatan mekanisasi karena tanahnya yang empuk. Gambut juga tidak bisa menahan pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak. Tanaman perkebunan seperti karet, kelapa sawit atau kelapa seringkali doyong atau bahkan roboh.

MITIGASI DEGRADASI LAHAN GAMBUT

116

Gambar 1. Tanaman Doyong dan Akar Menggantung

Gambut memiliki sifat mengering tidak balik. Gambut yang telah sangat mengering tidak bisa menyerap air lagi kalau diberi air (hidrofobik). Gambut yang mengering ini sifatnya sama dengan kayu kering yang mudah hanyut dibawa aliran air dan mudah terbakar serta tidak berfungsi sebagai tanah (Widjaja Adhi, 1988). Gambut yang terbakar menghasilkan energi panas yang lebih besar dari kayu/arang terbakar dan sulit dipadamkan. Api yang membakar gambut bisa merambat di bawah permukaan, sehingga seringkali kebakaran lahan gambut bisa meluas tidak terkendali.

Karakteristik KimiaGambut mengandung asam-asam organik yang tinggi sehingga tingkat kemasamannya

tergolong tinggi dengan nilai pH berkisar antara 3 - 5. Gambut pedalaman yang oligotropik dan memiliki substratum pasir kuarsa di Berengbengkel Kalimantan Tengah atau di Sepucuk Sumatera Selatan memiliki kisaran pH 3,25 – 3,75 (Halim, 1987; Salampak, 1999; Subiksa et al., 2009). Sementara itu gambut peralihan di sekitar Air Sugihan Kiri Sumatera Selatan memiliki kisaran pH H2O yang lebih tinggi yaitu antara 4,1 sampai 4,3 (Hartatik et al., 2004).

Tidak seperti tanah mineral yang muatannya pada fase padat, muatan tanah gambut bersumber dari fase cairnya yang berupa asam organik. Oleh karenanya gambut tidak boleh kering karena akan kehilangan seluruh muatannya dan tidak berfungsi sebagai tanah. Muatan negatif (yang menentukan Kapasitas Tukar Kation, KTK) pada tanah gambut seluruhnya adalah muatan tergantung pH, dimana KTK akan naik bila pH gambut ditingkatkan. Muatan negatif yang terbentuk adalah hasil disasosiasi hidroksil pada gugus karboksilat atau fenol. Oleh karenanya penetapan KTK menggunakan pengekstrak

MITIGASI DEGRADASI LAHAN GAMBUT

117

amonium acetat pH 7 akan menghasilkan nilai KTK yang lebih tinggi dibandingkan KTK yang sebenarnya. Hal ini disebabkan karena proses deprotonisasi pada gugus karboksil dan fenol menghasilkan muatan negatif. Oleh karenanya penetapan KTK sebaiknya menggunakan pengekstrak amonium klorida untuk mendapatkan nilai KTK yang sesuai dengan keadaan di lapangan KTK tinggi menunjukkan kapasitas jerapan (sorption capacity) gambut tinggi, namun kekuatan jerapan (sorption power) lemah, sehingga kation-kation K, Ca, Mg dan Na yang tidak membentuk ikatan koordinasi akan mudah tercuci.

Karena sebagian besar merupakan gambut oligotropik, maka gambut di Indonesia memiliki kandungan kation basa-basa seperti Ca, Mg, K, dan Na umumnya sangat rendah terutama pada gambut tebal. Semakin tebal gambut, basa-basa semakin rendah dan reaksi tanah menjadi semakin masam (Driessen dan Soepraptohardjo, 1974). Di sisi lain kapasitas tukar kation (KTK) gambut tergolong tinggi, sehingga kejenuhan basa (KB) menjadi sangat rendah. Tim Institut Pertanian Bogor, 1974 melaporkan, tanah gambut pedalaman di Kalampangan Kalimantan Tengah mempunyai nilai KB kurang dari 10 persen, demikian juga gambut di pantai Timur Riau (Suhardjo dan Widjaja-Adhi, 1976).

Secara alamiah lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah. Selain karena kandungan unsur haranya rendah, lahan gambut juga mengandung beragam asam-asam organik yang sebagian bersifat racun. Asam organik yang bersifat racun bagi tanaman adalah dari golongan asam fenolat, seperti asam hidroxybenzoat, asam vanilat, asam siringat, asam p-kumarat, dan asam ferulat. Namun demikian asam-asam tersebut merupakan bagian aktif dari tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk menahan unsur hara. Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan sifat kimia dari gambut.

Untuk mengurangi pengaruh buruk asam-asam organik beracun dapat dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan yang banyak mengandung kation polivalen seperti Fe, Al, Cu dan Zn. Kation-kation tersebut membentuk ikatan koordinasi dengan ligan organik membentuk senyawa komplek/khelat. Oleh karenanya bahan-bahan yang mengandung kation tersebut bisa dimanfaatkan sebagai bahan amelioran (Supiandi et al., 1997; Saragih, 1994)

Tanah gambut juga mengandung unsur mikro yang sangat rendah dan diikat cukup kuat oleh bahan organik membentuk khelat, sehingga tidak tersedia bagi tanaman (Kanapathy, 1972). Selain itu, adanya kondisi reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi menjadi bentuk logamnya yang tidak bermuatan. Kandungan unsur mikro pada tanah gambut dapat ditingkatkan dengan menambahkan tanah mineral atau menambahkan pupuk mikro.

Karena terbentuk dari pohon berkayu, maka gambut di Indonesia mempunyai kandungan lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah-tanah gambut yang berada di daerah yang beriklim sedang (Driessen dan Suhardjo, 1976). Lignin yang mengalami proses degradasi dalam keadaan anaerob akan terurai menjadi senyawa humat dan asam-

MITIGASI DEGRADASI LAHAN GAMBUT

118

asam fenolat (Kononova, 1968). Asam-asam fenolat bersifat fitotoksik dan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat (Driessen, 1978; Stevenson, 1994; Rachim, 1995). Asam fenolat merusak sel akar tanaman, sehingga asam-asam amino dan bahan lain mengalir keluar dari sel, menghambat pertumbuhan akar dan serapan hara sehingga pertumbuhan tanaman menjadi kerdil, daun mengalami klorosis (menguning) dan pada akhirnya tanaman akan mati.

Pemanfaatan Lahan Gambut untuk PertanianSesuai dengan Keppres No. 32/1990 gambut dengan ketebalan >3 m diperuntukkan

buat kawasan konservasi. Selanjutnya Permentan No. 14/2009 mengatur pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan, khususnya kelapa sawit. Menurut Djaenuddin (2003) lahan dengan ketebalan gambut antara 0-3 m sesuai marginal untuk beberapa tanaman tahunan seperti karet dan kelapa sawit. Hal ini disebabkan karena makin tebal lapisan gambut maka gambut tersebut semakin rapuh (fragile). Dengan mempertahankannya sebagai kawasan konservasi maka fungsinya sebagai penyangga hidrologi tetap terjaga. Lebih lanjut Departemen Pertanian merekomendasikan untuk tanaman pangan dan hortikultura diarahkan pada gambut dangkal (< 100 cm) dan untuk tanaman tahunan dapat diusahakan pada gambut dengan ketebalan 2 – 3 m (Sabiham et al., 2008). Dasar pertimbangannya adalah gambut dangkal memiliki tingkat kesuburan relatif lebih tinggi dan risiko lingkungan lebih rendah dibandingkan gambut dalam.

Umumnya lahan gambut tergolong sesuai marginal (tingkat kesesuaian rendah) untuk berbagai jenis tanaman pangan dengan faktor pembatas utama media perakaran yang masam dan mengandung asam organik yang beracun, unsur hara rendah dan drainase yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman. Dengan perbaikan kondisi lingkungan perakaran maka beberapa tanaman pangan mampu tumbuh dan beradaptasi antara lain padi, jagung, kedelai, ubikayu, ubijalar, talas dan sebagainya.

Pembuatan saluran drainase mikro sedalam 50 - 100 cm mutlak diperlukan, kecuali untuk tanaman padi sawah cukup dengan kemalir 20-30 cm. Fungsi drainase adalah untuk membuang kelebihan air, menciptakan keadaan tidak jenuh untuk pernapasan akar tanaman, dan mengurangi kadar asam-asam organik. Semakin pendek interval/jarak antar parit drainase lapang maka hasil padi, jagung, kedelai dan kacang tanah yang diperoleh makin baik. Teknologi ameliorasi dan pemupukan dapat mengatasi kendala kemasaman tanah, unsur beracun dan kahat unsur hara. Ameliorasi diperlukan untuk mengatasi kendala reaksi tanah masam dan keberadaan asam organik beracun sehingga media perakaran tanaman menjadi lebih baik. Kapur, tanah mineral, pupuk kandang dan abu sisa pembakaran dapat diberikan sebagai bahan amelioran untuk meningkatkan pH dan basa-basa tanah (Subiksa et al., 1997; Mario, 2002; Salampak, 1999). Namun tidak seperti tanah mineral, pH tanah gambut cukup ditingkatkan sampai pH 5,0 karena gambut tidak

MITIGASI DEGRADASI LAHAN GAMBUT

119

memiliki potensi Al yang beracun. Peningkatan pH terlalu tinggi justru berdampak buruk karena laju dekomposisi gambut menjadi terlalu cepat. Pengaruh buruk asam-asam organik beracun juga dapat dikurangi dengan menambahkan bahan-bahan amelioran yang banyak mengandung kation polivalen seperti terak baja, tanah mineral laterit atau lumpur sungai (Salampak, 1999; Supiandi et al., 1995). Pemberian tanah mineral berkadar besi tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman padi (Mario, 2002; Salampak 1999; Suastika, 2004; Subiksa et al., 1997).

Pemupukan diperlukan karena secara inheren tanah gambut sangat miskin mineral dan hara yang diperlukan tanaman. Jenis pupuk yang diperlukan adalah yang mengandung N, P, K, Ca dan Mg. Pemupukan harus dilakukan secara bertahap dan dosis rendah karena daya pegang (sorption power) hara tanah gambut rendah sehingga pupuk mudah tercuci. Penggunaan pupuk yang tersedianya lambat seperti fosfat alam akan lebih baik dibandingkan dengan SP36, karena akan lebih efisien, harganya murah dan dapat meningkatkan pH tanah (Subiksa et al., 1991). Penambahan kation polivalen seperti Fe dan Al akan menciptakan tapak jerapan bagi ion fosfat sehingga bisa mengurangi kehilangan hara P melalui pencucian (Rachim, 1995).

Tanah gambut juga diketahui kahat unsur mikro karena dikhelat (diikat) oleh bahan organik (Rachim, 1995). Oleh karenanya diperlukan pemupukan unsur mikro seperti terusi, dan seng sulfat masing-masing 15 kg/ha/tahun, mangan sulfat 7 kg/ha, sodium molibdat dan boraks masing-masing 0,5 kg/ha/th. Kekurangan unsur mikro dapat menyebabkan kehampaan pada tanaman padi, tongkol kosong pada jagung atau polong hampa pada kacang tanah. Pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan dan HTI meningkat sangat cepat, terutama di Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.

Gambar 2. Tanaman Sayuran dan Buah-buahan Tumbuh Baik di Lahan Gambut

MITIGASI DEGRADASI LAHAN GAMBUT

120

Tabel 2. Dosis anjuran dan Manfaat Pemberian Amelioran pada Tanah Gambut.

Jenis amelioran Jumlah (t/ha/tahun) Kegunaan

Kapur 1 - 2 Meningkatkan basa-basa dan pH tanah Pupuk kandang 5 - 10 Memperkaya unsur hara makro/mikroTerak baja 2 - 5 Mengurangi fitotoksik asam organik, meningkatkan

efisiensi pupuk PTanah mineral 10 - 20 Mengurangi fitotoksik asam organik, meningkatkan

kadar hara makro/mikroAbu 10 - 20 Meningkatkan basa-basa, dan pH tanahLumpur sungai 10 - 20 Mengurangi fitotoksik asam organik, meningkatkan

basa-basa, unsur haraSumber ; F. Agus dan IGM. Subiksa (2008)

Tanaman tahunan memerlukan saluran drainase dengan kedalaman berbeda-beda. Tanaman sagu dan nipah tidak memerlukan drainase. Tanaman karet memerlukan saluran drainase mikro sedalam 20-40 cm, tanaman kelapa sedalam 50 cm sedangkan tanaman kelapa sawit memerlukan saluran drainase sedalam 50-80 cm. Gambut yang relatif tipis (<100 cm) dan subur juga dapat ditanami dengan tanaman kopi dan kakao dengan saluran drainase sedalam 50 cm. Semakin dalam saluran drainase semakin cepat terjadi penurunan permukaan (subsiden) dan dekomposisi gambut, sehingga ketebalan gambut menciut dan daya sangganya terhadap lingkungan menjadi menurun. Penurunan permukaan gambut dengan mudah dapat diamati dengan munculnya akar tanaman di permukaan tanah.

Gambar 3. Kelapa Sawit di Lahan Gambut Kalbar (kiri) dan Akasia di Lahan Gambut Sumsel (kanan)

Agar pertumbuhan tanaman tetap optimal dan produktif, tanaman perkebunan, khususnya yang menghasilkan buah seperti kelapa sawit, kopi atau kakao, memerlukan pemupukan yang teratur. Unsur hara utama yang perlu ditambahkan adalah unsur N, P, K dan unsur mikro. Tanpa unsur tersebut pertumbuhan tanaman perkebunan sangat

MITIGASI DEGRADASI LAHAN GAMBUT

121

merana dan hasil tanaman yang diperoleh sangat rendah. Untuk hutan tanaman industri, pemupukan tidak mutlak diperlukan atau hanya diperlukan dalam dosis rendah pada saat tanaman masih muda.

Degradasi Lahan dan Aspek Lingkungan

Degradasi Lahan PertanianLahan gambut yang terbentuk dari akumulasi bahan organik, tergolong ekosistem yang

marginal dan rapuh. Pemanfaatan lahan ini untuk pertanian akan merubah keseimbangan emisi GRK ke arah negatif, yang potensial berakibat terjadinya kerusakan lahan. Faktor pendorong terjadinya kerusakan lahan pertanian di lahan gambut antara lain adalah kebakaran lahan, pembuatan saluran drainase dan pengelolaan lahan. Kebakaran lahan bisa terjadi saat pembukaan hutan gambut, persiapan lahan sebelum musim tanam atau musim kemarau ekstrim. Kebakaran yang terjadi pada waktu pembukaan hutan dan persiapan lahan seringkali terjadi karena kesengajaan, sedangkan kebakaran di saat tanaman sudah ditanam bisa terjadi karena keadaan kemarau panjang atau karena kecelakaan. Kasus di Kalimantan Barat, berdasarkan wawancara dengan petani, pembakaran lahan sebelum musim tanam bisa menghabiskan 3 – 5 cm lapisan gambut (Subiksa et al., 2009). Hal ini dilakukan petani untuk mendapatkan abu yang memperbaiki pH dan kejenuhan basa tanah.

Reklamasi gambut untuk pertanian memerlukan jaringan drainase untuk menurunkan permukaan air tanah. Kedalaman drainase disesuaikan dengan kebutuhan tanaman. Drainase berlebihan akan mempercepat kerusakan lahan gambut melalui proses dekomposisi dan pengeringan. Hooijer (2006) membuat persamaan empiris yang menunjukkan hubungan antara kedalaman saluran dengan laju emisi CO2. Proses ini juga menyebabkan lapisan tanah gambut menjadi lebih tipis. Bila substratumnya adalah tanah pasir kuarsa atau lapisan pirit, maka tanah menjadi lebih masam dan potensial mengalami keracunan besi dan Al. Kerusakan ekosistem gambut berdampak besar terhadap lingkungan setempat (in situ) maupun lingkungan sekitarnya (ex situ). Kejadian banjir di hilir DAS atau meningkatnya suhu udara merupakan dampak dari rusaknya ekosistem gambut.

Contoh kasus kerusakan lahan gambut terjadi di Delta Pulau Petak Kalimantan Selatan dan KalimantanTengah dimana pada tahun 1952 masih tercatat sekitar 51.360 hektar lahan gambut. Pada tahun 1972 kawasan gambut di daerah tersebut menjadi 26.400 ha dan penelitian terakhir pada tahun 1992 kawasan gambut tersebut hanya tersisa 9.600 ha (Sarwani dan Widjaja Adhi 1994). Hal ini menunjukkan bahwa laju kerusakan gambut berjalan sangat cepat. Selain hilangnya fungsi hidrologis lahan gambut, ada bahaya lain bila tanah mineral di bawah lapisan gambut adalah tanah mineral berpirit. Saat ini sebagian besar dari bekas kawasan gambut tersebut menjadi lahan sulfat masam aktual terlantar dan menjadi sumber pencemaran lingkungan perairan di daerah tersebut.

MITIGASI DEGRADASI LAHAN GAMBUT

122

Deforestasi hutan di lahan gambut disebut-sebut menyumbang emisi karbon paling tinggi di Indonesia yang bisa mempengaruhi iklim global. WWF (2008) menyatakan bahwa antara 1982 – 2007 Provinsi Riau yang memiliki 3,2 juta ha lahan gambut telah kehilangan 57 persen hutan gambut karena alih fungsi menjadi perkebunan dan penggunaan lainnya. Lebih lanjut dikemukakan bahwa kerusakan lahan gambut di wilayah Tesso Nilo – Bukit Tigapuluh Riau telah terjadi dengan intensitas ringan sampai berat dalam luasan cukup besar. Kerusakan lahan disebabkan karena kebakaran gambut dan dekomposisi yang terlalu cepat setelah lahan didrainase.

Tabel 3. Laju Degradasi Lahan Gambut di Wilayah Tesso Nilo – Bukit Tigapuluh Riau

1990 1995 2000 2005 2007Lahan Hutan 1.283.273 1.116.447 794.346 757.131 542.824Degradasi ringan 128.327 252.804 279.793 256.654Degradasi berat 2.566 38.498 39.781 32.082Total 1.247.340 1.085.648 1.076.705

Sumber: Diolah dari WWF (2008)

Gambar 4. Perubahan Penggunaan Lahan dari Hutan ke Pertanian, Potensial Menyebabkan Degradasi Lahan (foto: courtesy of WWF, 2008)

MITIGASI DEGRADASI LAHAN GAMBUT

123

Sumber : WWF (2008)

Gambar 5.Kondisi Tutupan Lahan Gambut di Provinsi Riau pada Tahun 1982 dan 2007 (WWF 2008)

Kerusakan lahan juga bisa terjadi karena keterbatasan kemampuan untuk mendapatkan pupuk dan bahan ameliorasi. Untuk meningkatkan kesuburan tanah petani di berbagai tempat seperti Kalimantan Barat, Sumatera Selatan dan Jambi membakar serasah tanaman in-situ dan sebagian lapisan gambut kering sebelum bertanam. Hasil wawancara dengan petani di Kalimantan Barat mengatakan bahwa lapisan gambut yang terbakar sekitar 3 – 5 cm tiap musim. Kasus di Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat yang memiliki 60 persen lahan gambut dari total wilayahnya telah menunjukkan terjadi kerusakan lahan cukup luas (Tabel 4). Lahan gambut yang dibuka sebagian berubah menjadi belukar dan semak-semak. Lahan tanaman semusim juga sebagian tidak diusahakan karena kesuburan yang rendah dan keterbatasan modal.

Tabel 4. Penggunaan Lahan Gambut di Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat (Wahyunto et al., 2009)

No. Penggunaan LahanKetebalan Gambut (cm) Total

Luas (ha)<100 100-300 300-500 500-700 >7001 Hutan 1.453 33.854 109.513 88.478 54.413 287.7112 Belukar 688 5.270 15.647 1.250 91 22.9463 Semak 214 - - - - 2144 Mangrove 1.273 - 3.564 1.069 - 5.9065 Kebun campuran 113 12.370 9.105 - - 21.5886 Perairan/rawa 4 75 205 405 - 6897 Kelapa sawit 691 2.331 5.172 - - 8.1948 Karet 610 4.732 3.914 - - 9.256

MITIGASI DEGRADASI LAHAN GAMBUT

124

No. Penggunaan LahanKetebalan Gambut (cm) Total

Luas (ha)<100 100-300 300-500 500-700 >7009 Tanaman semusim-nanas 1.700 2.322 1.729 - - 5.751

10 Tanaman semusim-sayuran 123 190 178 - - 49111 Tanaman semusim- jagung 430 362 848 - - 1.64012 Tegalan 114 2.500 5.500 328 - 8.44213 Sawah 20.528 13.342 1.671 - - 35.541 Jumlah (lahan gambut) 27.941 77.348 157.046 91.530 54.504 408.369 Lahan non Gambut 290.151 Total Kab. Kubu Raya 698.520

Aspek Lingkungan Lahan Gambut Ekosistem gambut merupakan penyangga hidrologi dan cadangan karbon yang sangat

penting artinya bagi lingkungan hidup. Oleh karenanya, ekosistem ini harus dilindungi agar fungsinya dapat dipertahankan sampai generasi mendatang. Sebagai penyangga hidrologi, gambut dikaitkan dengan kemampuannya menyerap air sampai 13 kali bobotnya (Mutalib et al., 1991). Oleh karenanya gambut mampu menyimpan air saat musim hujan sehingga tidak terjadi banjir dan melepaskannya saat musim kemarau sehingga tidak terjadi kekeringan.

Lahan gambut menyimpan cadangan karbon sangat besar yaitu 550 Gt CO2e, setara dengan 75 persen karbon di atmosfer atau setara dengan 2 kali simpanan karbon semua hutan di seluruh dunia (Joosten, 2007). Untuk Indonesia, hasil perhitungan Wahyunto et al., (2007), total stok karbon dari seluruh lahan gambut di Indonesia sekitar 37 Gt CO2e. Tergantung ketebalan gambut, simpanan karbon gambut bisa 10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan simpanan karbon tanah mineral (Tabel 5 ). Mempertahankan karbon dalam tanah dan tanaman menjadi isu lingkungan sangat penting karena konsentrasi karbon di udara berpengaruh terhadap pemanasan global.

Tabel 5. Perbandingan Kandungan Karbon di Atas Permukaan (biomassa tanaman) dan di Bawah Permukaan Tanah pada Hutan Gambut dan Hutan Tanah Mineral (t/ha)

Komponen Hutan gambut Hutan primer tanah mineralAtas permukaan tanah 150-200 200-350Bawah permukaan tanah 300-6.000 30-300

Sumber: Agus dan Subiksa (2008)

Tabel 4. Penggunaan Lahan Gambut di Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat (Wahyunto et al., 2009) (lanjutan)

MITIGASI DEGRADASI LAHAN GAMBUT

125

Gambar 6 . Air Mengalir dari Kubah Gambut

Cadangan karbon lahan gambut telah tersimpan dalam waktu yang sangat lama. Berdasarkan analisis penanggalan karbon (carbon dating), gambut tropis di Indonesia berumur 3.500 – 9.000 tahun (Tie and Esterle, 1991). Gambut tropika di Muara Kaman Kalimantan Timur umurnya relatif muda antara 3.850 sampai 4.400 tahun (Diemont and Pons, 1991). Sedangkan gambut di Kalimantan Tengah umurnya lebih lama yaitu 6230 tahun pada kedalaman 100 cm sampai 8.260 tahun pada kedalaman 5 meter (Rieley, 1991), bahkan Page et al., (2002) menunjukkan bahwa gambut di Kalimantan Tengah umurnya antara 13.000 – 26.000 pada kedalaman gambut 8 – 10 m. Karbon yang sudah terendap sangat lama semestinya harus dipertahankan agar konsentrasi karbon di udara tidak meningkat dengan cepat yang bisa memicu pemanasan global. Pelepasan (emisi) karbon dari lahan gambut bisa terjadi karena kebakaran gambut dan proses dekomposisi.

Dalam lingkungan alami yaitu hutan, tanah gambut tetap mengalami proses dekomposisi yang menghasilkan gas CO2 dan metan. Namun secara simultan, tanaman yang tumbuh juga menyerap CO2 dan menghasilkan biomassa dan serasah yang terakumulasi di permukaan tanah. Proses ini berjalan seimbang, bahkan seringkali menghasilkan akumulasi bersih yang positif sehingga ketebalan gambut bisa bertambah antara 0 – 3 mm/tahun. Di Barambai Delta Pulau Petak, laju penimbunan gambut sekitar 0,05 m dalam seratus tahun. Sedangkan di Pontianak sekitar 0,13 m dalam periode waktu yang sama. Di Serawak Malaysia, laju akumulasi berjalan lebih cepat yaitu sekitar 0,22 – 0,48 m dalam waktu 100 tahun (Noor, 2001, dari berbagai sumber). Bila lahan gambut dibuka dan didrainase, proses dekomposisi gambut akan mengalami percepatan, sehingga meningkatkan emisi gas CO2 sebagai gas rumah kaca (GRK) dan ketebalan gambut akan terus menyusut.

MITIGASI DEGRADASI LAHAN GAMBUT

126

Gambar 7 . Kebakaran Lahan Mengemisi Karbon ke Udara (WWF, 2008)

Pemanfaatan lahan gambut yang diawali dengan pembuatan saluran drainase menyebabkan kesimbangan tersebut di atas terganggu dan mengarah pada net emisi yang besar. Tingkat emisi yang terjadi tergantung dari karakteristik gambut, kedalaman saluran dan kebakaran. Berbagai sistem pertanian yang diterapkan petani di lahan gambut, akan menghasilkan emisi yang berbeda, tergantung pada teknologi budidaya yang diterapkan. Semua sistem budidaya yang di terapkan di gambut akan mempunyai andil yang cukup nyata dalam meningkatkan emisi gas rumah kaca, penyebab pemanasan global.

Drainase dan sistem pengelolaan air di suatu lahan gambut dapat dilihat dari perubahan kondisi hidrologi areal secara menyeluruh. Wosten dalam Hooijer et al., (2006) dan Agus et al., (2010) mengatakan bahwa beberapa sistem drainase jelas mempengaruhi emisi CO2 (Gambar 8).

Pengaruh drainase ini yang mencerminkan kondisi hidrologi di lahan gambut, mempengaruhi perubahan tinggi muka air tanah dan juga kandungan air tanah (Nugroho ,2005). Dengan menghitung luapan atau kondisi air pada tiap waktu, maka kondisi air di suatu areal dapat diperhitungkan, dengan demikian salah satu parameter dari emisi dapat diperhitungkan menurut tahapan waktu dan hidrologi setempat.

MITIGASI DEGRADASI LAHAN GAMBUT

127

y�= �4246.7Ln(x)�+ �7359.6

R 2�= �0.3945

0

10,000

20,000

30,000

40,000

50,000

60,000

0 20 40 60 80 100

Water�table�(cm)

CO2�flux�(mg/m

2/day)

Gambar 8. Kurva Empiris Hubungan antara Kedalaman Drainase dan Laju Emisi CO2 di Lahan Gambut Menurut Hooijer et al., 2006 (kiri) dan Agus et al., 2009 (kanan)

Mitigasi Laju Degradasi Lahan GambutSesuai hasil konvensi perubahan iklim dan COP 15 di Kopenhagen, pemerintah

Indonesia telah sepakat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26persen pada tahun 2020 dari proyeksi 3 Gt/tahun. Untuk mencapai angka tersebut maka berbagai upaya harus dilakukan termasuk mengurangi laju emisi dari lahan gambut. Mengurangi emisi di lahan gambut sama artinya dengan mengurangi laju kerusakan lahan pertanian yang sudah eksis di lahan gambut. Upaya untuk mengurangi laju degradasi lahan pertanian di gambut harus dilakukan dengan mengidentifikasi penyebab terjadinya degradasi, serta tindakan multi strata mengurangi dekomposisi. Degradasi bisa terjadi karena kebakaran gambut, proses dekomposisi yang cepat, dan dehidrasi. Proses kebakaran dan dekomposisi menghasilkan emisi CO2 yang tinggi. Dekomposisi terjadi bila rantai karbon yang panjang mengalami degradasi menjadi senyawa dengan rantai karbon lebih pendek. Proses ini terutama dipicu oleh pembuatan saluran drainase yang menyebabkan meningkatnya redok potensial tanah. Lebih lanjut, kondisi aerob memicu aktivitas mikroba perombak yang memanfaatkan gambut sebagai energi untuk proses metabolismenya.

MITIGASI DEGRADASI LAHAN GAMBUT

128

Gambar 9 . CO2 Tahunan Antara Tahun 1985 sampai 1999 dan Prediksi Emisi antara tahun 2010 sampai 2035 Berdasarkan Beberapa Skenario business as usual (BAU) dan Beberapa Skenario Penurunan Emisi (sumber : Agus et al., 2009)

Emisi CO2 dari lahan gambut bisa dijadikan sebagai indikator adanya proses menuju kerusakan lahan pertanian, karena CO2 dihasilkan dari proses pembakaran dan dekomposisi bahan organik. Agus et al., 2009 menunjukkan bahwa laju emisi CO2 menunjukkan trend yang terus meningkat apabila tidak dilakukan langkah-langkah pengurangan laju emisi (skenario BAU, bussiness as usual). Mitigasi laju kerusakan gambut dapat diupayakan melalui penerapan Permentan 14/2009, penggunaan amelioran, kebijakan tidak membakar dan kebijakan moratorium pemanfaatan lahan. Selain itu, Permentan 14/2009 sebenarnya juga bertujuan untuk mengurangi kerusakan lahan gambut dengan membatasi dan mengatur pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dengan berbagai persyaratan dan mekanisme pengawasan yang sangat ketat.

Keempat upaya tersebut dapat membelokkan turun arah trend laju emisi CO2 sehingga langkah ini dapat dijadikan sebagai acuan mengurangi tingkat kerusakan lahan (Gambar 9). Sementara itu, untuk lahan gambut yang telah dimanfaatakan untuk pertanian, diperlukan pengendalian muka air tanah, ameliorasi/kompleksasi, penyiapan lahan tanpa membakar dan zonasi pemanfaatan lahan.

Pengendalian Muka Air TanahLahan gambut memiliki daya hantar hidrolik yang tinggi, baik secara vertikal maupun

horizontal. Oleh karena itu, saluran drainase sangat menentukan kondisi muka air tanah. Kunci pengendalian muka air tanah adalah mengatur dimensi saluran drainase, terutama

MITIGASI DEGRADASI LAHAN GAMBUT

129

kedalamannya, dan mengatur pintu air. Menurunkan muka air tanah sangat diperlukan untuk menjaga kondisi media perakaran tetap dalam kondisi aerob. Namun penurunan yang terlalu besar menyebabkan gambut mengalami kerusakan. Mengatur tinggi air di saluran drainase dengan mengatur pintu air adalah salah satu tindakan mitigasi emisi CO2 yang terjadi dan pada akhirnya bisa mengurangi laju degradasi lahan.

Hasil penelitian Wosten dalam Hooijer et al., (2006) menunjukkan bahwa laju emisi berbanding lurus dengan kedalaman saluran drainase sedangkan dan Agus et al. (2009) menunjukkan bahwa laju emisi meningkat dengan pola logaritmik dengan makin meningkatnya kedalaman muka air tanah. Oleh karenanya mengatur muka air tanah pada tingkat yang aman untuk tanaman dan minimal emisinya merupakan tindakan mitigasi kerusakan lahan yang sangat efektif. Setiap 10 cm pengurangan kedalaman muka air tanah akan mampu menurunkan 9,1 ton CO2/ha/tahun. Salah satu komponen penting dalam pengatur tata air lahan gambut adalah bangunan pengendali berupa pintu air atau canal blocking di setiap saluran. Pintu air berfungsi untuk mengatur muka air tanah, disesuaikan dengan kebutuhan tanaman.

Drainase berlebihan akan menyebabkan gambut mengering atau dekomposisi aerobik yang menghasilkan emisi gas CO2 dan gambut kering tak balik. Lahan gambut yang kering ini berisiko terbakar yang sulit dipadamkan dan menghasilkan emisi gas CO2 yang lebih banyak lagi. Dari hasil pengembangan usaha pertanian yang dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian di 11 lokasi lahan rawa pasang surut Sumatera Selatan (Ananto et al., 2000) yang mencakup areal seluas 30.800 ha, dimana sebagian merupakan lahan rawa bergambut sampai dengan gambut sedang, menunjukkan bahwa perbaikan jaringan tata air sangat penting dan mutlak mendapatkan perhatian dalam upaya peningkatan produktivitas lahan pasang surut. Penataan jaringan tata air lahan rawa khususnya di lahan rawa pasang surut yang semata-mata hanya untuk tujuan drainase hanya akan menyebabkan muka air tanah akan turun dan menimbulkan overdrain. Kondisi ini sangat berbahaya bagi lahan rawa gambut dan lahan rawa yang mempunyai lapisan pirit dangkal. Oleh karena itu harus diubah menjadi irigasi-drainase sesuai dengan kebutuhan pertanian. Karena dengan penataan jaringan tata air yang benar, pencucian senyawa-senyawa beracun yang terjadi akibat oksidasi pirit dapat berjalan dengan lancar, sehingga produktivitas lahan meningkat.

KompleksasiEmisi GRK adalah hasil dari proses dekomposisi gambut menjadi senyawa karbon

dengan rantai pendek. Proses dekomposisi lebih lanjut dapat ditekan dengan proses kompleksasi senyawa organik sederhana menjadi senyawa komplek. Kompleksasi dapat dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan amelioran yang kaya dengan kation polivalen. Kation polivalen memiliki energi afinitas yang tinggi terhadap gugus fungsional bahan organik membentuk jembatan kation yang merangkai senyawa organik. Senyawa

MITIGASI DEGRADASI LAHAN GAMBUT

130

kompleks yang terbentuk sangat tahan terhadap dekomposisi sehingga emisi karbon bisa ditekan. Hasil penelitian Agus et al., (2009) menunjukkan bahwa pemberian amelioran gambut seperti 5-10 t/ha (sekitar 5-10 m3) tanah liat halus yang kaya besi (tanah laterit) untuk semua tanah pertanian dan perkebunan di lahan gambut diharapkan dapat mengurangi emisi CO2 kumulatif sebanyak 15,5±5,5 persen dibandingkan dengan petani membakar lahan.

Bila program ameliorasi dilengkapi dengan penyediaan pupuk untuk menggantikan teknik pembakaran tradisional, diharapkan dapat mengurangi emisi sebesar 19±7 persen. Hasil ini masih bisa ditingkatkan dengan menggunakan pupuk khusus yang rendah emisi. Hasil penelitian Subiksa et al., (2009) menunjukkan bahwa pemupukan dengan pupuk khusus lahan gambut “Pugam” mampu menurunkan emisi GRK hingga 47 persen dan meningkatkan produksi biomass lebih dari 30 kali lipat (Gambar 10). Hasil penelitian Salampak, 1999; Mario, 2002; Hartatik, 2003 menunjukkan bahwa penambahan senyawa berkadar besi tinggi mampu menekan pengaruh buruk asam-asam fenolat yang beracun sehingga pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik.

Penurunan asam-asam fenolat ini disebabkan oleh adanya interaksi antara kation Fe dari bahan amelioran sebagai jembatan kation dan asam-asam fenolat melalui proses kompleksasi. Kation Fe bereaksi dengan ligan organik membentuk ikatan kompleks. Asam-asam organik berperan sebagai penyumbang pasangan elektron (donor), sedangkan kation Fe berperan sebagai penerima elektron (aseptor) (Tan, 1993).

1

MITIGASI DEGRADASI LAHAN GAMBUT

131

Emisi CO2

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

Pugam A Pugam Q Pugam R Pugam D Pugam T Kontrol P. kontrol

Perlakuan

Emis

i CO

2 (m

g/m

2/m

enit)

Gambar 10. Pemupukan dengan Pupuk Khusus Lahan Gambut “Pugam” Mengurangi

Laju Emisi CO2 (kiri) dan Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman (kanan)

Proses kompleksasi mampu memecahkan beberapa permasalahan yang dihadapi dalam usahatani di lahan gambut yaitu : (1) mengurangi emisi GRK sehingga stabilitas gambut meningkat, (2) menetralisir asam-asam fenolat beracun sehingga perkembangan akar tanaman tidak terganggu, (3) mengurangi pencucian hara karena adanya tapak jerapan positif yang terbentuk dari kation polivalen dan (4) mencegah adanya lahan terlantar karena produktivitas lahan meningkat.

Persiapan Lahan Tanpa BakarEmisi karbon paling masif terjadi saat kebakaran gambut, baik karena kesengajaan

maupun tidak sengaja. Penyiapan lahan dengan sistem membakar menyebabkan terjadinya subsiden dan mengarah pada habisnya lapisan gambut. Penelitian Subiksa et al., (2009) menunjukkan bahwa petani di Kalimantan Barat selalu melakukan pembakaran lahan sebelum tanam tanaman pangan, khususnya jagung. Setiap musim terbakar sekitar 3 - 5 cm lapisan gambut. Dari gambut yang terbakar selama 2 kali tanam/tahun dapat diperkirakan besarnya emisi karbon yaitu sekitar 110,1 t CO2/ha/th (dengan asumsi karbon density gambut sekitar 50 kg/m3 atau 0.05 t/m3).

Adanya pembakaran lahan dan hutan di suatu daerah dapat dipantau melalui satelit yang ditunjukkan oleh adanya hot spot. Jumlah hot spot yang dipantau di beberapa daerah rawan kebakaran lahan menunjukkan bahwa antara bulan Januari – Mei 2010, provinsi Riau dan Kalimantan Timur memiliki hot spot paling banyak. Jumlah hot spot terbanyak terpantau puncaknya pada bulan Februari sampai Maret. Hal ini menunjukkan aktivitas pembakaran untuk pembukaan lahan masih menjadi pilihan masyarakat. Kebiasaan masyarakat ini harus diubah dengan terus menerus melakukan sosialisasi pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB) serta peraturan perundang-undangannya. Pelatihan dan sosialisasi harus disertai dengan pengenalan alternatif lain dalam pembukaan lahan seperti penggunaan mulcher dan traktor. Selain itu fasilitas pemantauan dan pengendalian kebakaran lahan harus disediakan di daerah rawan kebakaran.

MITIGASI DEGRADASI LAHAN GAMBUT

132

Pembakaran lahan, baik yang disengaja maupun tidak, menyebabkan lapisan gambut semakin tipis bahkan habis. Bila lapisan substratum merupakan lapisan mineral berpirit atau pasir kwarsa maka akan terjadi kemerosotan kesuburan tanah. Membakar gambut terkadang sengaja dilakukan petani untuk memperoleh abu yang untuk sementara bisa memperbaiki kesuburan tanah. Abu sisa pembakaran memberikan efek ameliorasi dengan meningkatnya pH dan kandungan basa-basa tanah sehingga tanaman tumbuh lebih baik (Subiksa et al., 1998).

Proses ini harus dihindari dengan mempertahankan kelembaban gambut agar tidak mudah terbakar dan menerapkan sistem pengelolaan zero burning. Pembakaran serasah tanaman secara terkendali di rumah abu adalah salah satu usaha mencegah kebakaran gambut meluas. Tempat khusus ini dibuat berupa lubang yang dilapisi dengan tanah mineral sehingga api tidak sampai membakar gambut. Cara ini diterapkan dengan sangat baik oleh petani sayur di lahan gambut Pontianak Kalbar. Bila pembakaran serasah harus dilakukan langsung di lapang, maka harus dipastikan bahwa gambut dibawahnya jenuh air supaya gambutnya tidak ikut terbakar.

Pengalihan dari cara tradisional dengan cara membakar kepada metode tanpa membakar, diperlukan cara alternatif lain yang bisa diterima masyarakat. Pembukaan lahan baru menggunakan mulcher adalah salah satu alternatif yang baik. Sementara untuk lahan pertanian yang sudah eksis, diperlukan upaya ameliorasi dan pemupukan agar pertumbuhan tanaman bisa optimum. Oleh karenanya penting untuk mengeluarkan kebijakan subsidi pupuk dan amelioran untuk petani di lahan gambut agar kebiasaan membakar yang menghasilkan emisi CO2 tinggi bisa dihindari. Ditjen Perkebunan (2010) memprediksikan bahwa upaya mencegah pembakaran lahan dapat mengurangi emisi CO2 sampai 0,284 Gt CO2 atau 25 persen dari proyeksi BAU 2025.

Zonasi Pemanfaatan Lahan GambutKarena fungsinya yang sangat vital, ekosistem gambut harus dilindungi dari kerusakan.

Pemanfaatan lahan gambut harus dilakukan dengan cermat berdasarkan hasil karakterisasi dan evaluasi lahan yang mendalam. Lahan gambut yang boleh dikembangkan untuk pertanian hanya lahan gambut yang subur dengan kedalaman < 3 m, tidak memiliki substratum pasir kuarsa dan tingkat kematangan bukan fibrik.

Widjaja Adhi (1991) menyarankan agar wilayah ekosistem lahan gambut dibagi menjadi 2 kawasan yaitu: kawasan non budidaya dan kawasan budidaya. Kawasan non budidaya terdiri dari (a) jalur hijau sepanjang pantai dan tanggul sungai dan (b) areal tampung hujan yang mencakup area minimal 1/3 dari seluruh kawasan. Kawasan yang dijadikan sebagai areal tampung hujan adalah bagian kubah gambut (peat dome) sehingga harus menjadi kawasan konservasi. Kubah gambut berfungsi sebagai penyimpan air (resevoir) yang bisa mensuplai air bagi wilayah di sekitarnya, terutama pada musim kemarau, baik untuk air minum maupun usaha tani (Ong dan Yogeswaran, 1991). Sedangkan pada musim hujan

MITIGASI DEGRADASI LAHAN GAMBUT

133

berfungsi sebagai penampung air yang berlebih agar wilayah sekitarnya tidak kebanjiran. Hal ini dimungkinkan karena gambut memiliki daya memegang air sangat besar yaitu sampai 10 kali bobotnya. Perlindungan terhadap kawasan tampung hujan akan menjamin kawasan sekitarnya menjadi lebih produktif.

Aspek legal pemanfaatan lahan gambut diatur dalam Kepres No. 32/1990. Selanjutnya karena maraknya pemanfaatan gambut untuk kelapa sawit, pemerintah mengeluarkan Permentan No. 14/2009. Dengan pembatasan pemanfaatan lahan gambut diharapkan emisi karbon dari kawasan gambut bisa ditekan. Agus et al., (2009) menyatakan bahwa kepatuhan kepada Permentan No. 14/2009, untuk tidak ada izin penggunaan lahan pertanian pada lahan gambut yang ketebalannya >3m dan lahan yang bukan berstatus APL (areal penggunaan lain) diharapkan dapat mengurangi 5,5±3,5 persen dari emisi CO2 kumulatif antara tahun 2010-2035 sebesar 127±42 juta ton pada skenario business as usual (BAU). Pengurangan emisi CO2 merupakan indikasi melambatnya laju kerusakan lahan gambut.

Sosialisasi dan law enforcement tentang peraturan dan perundang-undangan, yang menyangkut ketentuan tentang pelestarian lingkungan di lahan gambut perlu terus menerus dilakukan kepada seluruh stakeholders. Pentaatan oleh para pihak terhadap peraturan yang ada (penggunaan lahan gambut <3m dan perbaikan sistem pengelolaan lahan dan tata air) dapat mengurangi emisi 0,144 Gt CO2 atau 13persen dari proyeksi BAU tahun 2025.

Implementasi CDM dan REDDAkibat salah perencanaan dalam pemanfaatan lahan, lahan gambut yang dibuka untuk

pertanian banyak yang berubah menjadi lahan terlantar. Tingkat kesesuaian lahan yang rendah serta minimnya pengetahuan petani tentang gambut menyebabkan produktivitas lahan merosot dengan cepat sehingga tidak menguntungkan lagi untuk usaha tani. Lahan terlantar dapat dihijaukan kembali dengan tanaman hutan dengan mendapat imbalan dari program CDM (clean development mechanism). Imbalan jasa karbon dari program CDM disediakan oleh negara-negara industri maju yang terdaftar daftar Anneks 1 dalam Kyoto Protocol yang diberlakukan sampai tahun 2012.

Pasca Kyoto Protocol telah dirancang sistem baru perdagangan karbon yang disebut mekanisme REDD (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation). Dalam mekanisme REDD tersebut, negara atau perorangan bisa mendapatkan imbalan jasa karbon dengan mengurangi emisi CO2 dari deforestasi dan degradasi hutan, termasuk hutan gambut. Jasa karbon yang diberikan tersebut bisa mendapat imbalan dengan berbagai ketentuan. Harga resmi jasa mempertahankan karbon (Certified Emission Reduction, CER) yang berlaku dewasa ini berkisar antara US$15 - 25 /t CO2. Untuk sektor kehutanan di negara berkembang kemungkinan harga yang diberlakukan adalah antara US$ 5 sampai 10 per CO2. Lebih rendahnya imbalan pengurangan emisi yang berhubungan dengan sektor kehutanan (dan perubahan penggunaan lahan) disebabkan

MITIGASI DEGRADASI LAHAN GAMBUT

134

tingginya angka ketidakpastian dan variasi pengelolaan dan sifat lahan. Untuk mengurang ketidak pastian tersebut, diperlukan upaya karakterisasi lahan gambut secara lebih detil baik spatial maupun temporal. Data hasil karakterisasi dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk mengetahui keberlanjutan pertanian di lahan gambut. Selain itu kemampuan monitoring dan perhitungan neraca karbon sangat penting dalam menghadapi sistem perdagangan karbon melalui mekanisme REDD.

Agus (2009) menyatakan bahwa pilihan apakah negara kita akan memasuki perdagangan karbon atau tidak perlu memperhitungkan hal berikut:

Apakah nilai imbalan jasa karbon melebihi harapan keuntungan (opportunity cost) dan biaya transaksi perdagangan karbonApakah pemerintah pusat, PEMDA dan masyarakat lokal dapat menjaga komitment jangka panjang (dalam contoh ini 25 tahun) untuk tidak menebang dan mendrainase hutan gambutApakah dengan mengendalikan penebangan hutan pada lokasi yang ada kontraknya/perjanjiannya tidak akan menyebabkan penggelembungan penebangan hutan pada areal sekelilingnya (leakage)Apakah lembaga pada tingkat lokal mampu melakukan monitoring neraca karbon.

Apabila salah satu dari pertanyaan di atas dijawab dengan ”tidak” maka lebih baik tidak membuat komitmen jangka panjang untuk perdagangan karbon.

Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan

Kesimpulan1. Lahan gambut adalah sumber daya lahan yang harus diarahkan pemanfaatannya

secara bijak dan hati-hati, baik untuk tujuan konservasi maupun budidaya dengan memperhatikan karakteristik lahan untuk mendapatkan hasil optimal dan menghindari kerusakan lahan dan lingkungan.

2. Lahan gambut memiliki karakteristik khas yang sangat berbeda dengan tanah mineral. Secara fisik gambut memiliki bearing capacity yang rendah, mengalami subsiden yang tinggi dan mengering tidak balik. Secara kimia bersifat masam, mengandung asam organik beracun dan kandungan hara rendah.

3. Lahan gambut memiliki fungsi kendali hidrologi kawasan DAS dan lingkungan yang sangat penting karena mampu menyerap air 13 kali bobotnya dan menyimpan cadangan karbon sangat besar. Bila cadangan karbon ini teremisi ke udara bebas, sangat potensial menyebabkan percepatan pemanasan global.

4. Dengan pengelolaan yang baik melalui pengelolaan air, ameliorasi dan pemupukan, lahan gambut dengan karakteristik tertentu dapat diusahakan untuk pertanian secara

MITIGASI DEGRADASI LAHAN GAMBUT

135

optimal dengan tetap berpedoman pada kaidah konservasi. Sebaliknya pengelolaan lahan yang tidak baik menyebabkan lahan mengalami degradasi dan menjadi sumber pencemar lingkungan.

5. Dalam rangka mitigasi laju kerusakan lahan pertanian dan dampaknya terhadap lingkungan, diperlukan upaya multistrata yang meliputi pengendalian muka air tanah, kompleksasi ligan organik, pemanfaatan amlioran, zero burning, dan zonasi pemanfaatan lahan.

Implikasi KebijakanSesuai komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26 persen

tahun 2020 mendatang perlu diambil langkah-langkah konkrit pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dengan berbagai kebijakan yang mengarah pada pengurangan emisi untuk mencegah kerusakan lahan pertanian dan pencemaran lingkungan global antara lain:

1. Lahan gambut perlu dipetakan secara menyeluruh dan detail untuk menghindari adanya ketidakpastian data dan memperkuat posisi tawar dalam mekanisme Reducing Emission from Degradation and Forest Deforestation (REDD).

2. Perlu dibuat payung hukum yang jelas agar ada kepastian dalam pemanfaatan lahan gambut, baik untuk tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan hutan tanaman industri, disertai proteksi hutan lindung yang ketat dengan berpedoman pada asas manfaat secara ekonomi dan mempertimbangkan aspek lingkungan lahan gambut.

3. Dalam memenuhi kebutuhan lahan pertanian, terutama untuk perluasan perkebunan, Peraturan Menterai Pertanian No. 14/2007 harus dijadikan salah satu acuan dalam pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian secara selektif dan terkendali

4. Perlu digalakkan program rehabilitasi lahan, saluran, pintu air dan canal blocking di lahan gambut untuk menghindari perubahan kondisi lahan yang drastis, seperti pengeringan. Pintu air harus berfungsi secara optimal agar permukaan air tanah dijaga stabil.

5. Memberlakukan kebijakan subsidi pupuk dan amelioran yang mampu menekan emisi GRK sebagai imbalan untuk melakukan zero burning oleh petani. Kebijakan melarang penggunaan lahan gambut secara total kurang tepat karena masyarakat di lahan gambut memiliki ketergantungan tinggi terhadap lahan gambut.

Daftar PustakaAgus, F. 2009. Cadangan Karbon, Emisi Gas Rumah Kaca dan Konservasi Lahan

Gambut. Prosiding Seminar Dies Natalis Universitas Brawijaya ke 46. 31 Januari 2009, Malang.

Agus, F. 2009. Panduan Metode Pengukuran Karbon Tersimpan di Lahan Gambut. Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian (un-publish).

MITIGASI DEGRADASI LAHAN GAMBUT

136

Agus, F. dan I.G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAFT) Bogor, Indonesia.

Agus, F., Wahyunto, A. Dariah, P. Setyanto, I.G.M. Subiksa, E. Runtunuwu, E. Susanti, W. Supriatna. Carbon Budget and Management Strategies for Conserving Carbon in Peatland: Case study in Kubu Raya and Pontianak Districts, West Kalimantan, Indonesia. Pp. 217-233 Dalam Proceedings, International Workshop on Evaluation and Sustainable Management of Soil Carbon Sequestration in Asian Countries, Bogor, Indonesia, September 28-29, 2010.

Ananto, E.E., Agus S., Soentoro, Hermanto, Yoyo Sulaeman, I Wayan S. dan Bambang Nuryanto. 2000. Pengembangan Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan: Mendukung Ketahanan Pangan dan Pengembangan Agribisnis. Badan Litbang Pertanian. 166 p.

Diemont, W.H. and L.J. Pons. 1991. A Preliminary Note on Peat Formation and Gleying in Mahakam Inland Floodplain, East kalimantan, Indonesia. Proc. International Symposium on tropical peatland. 6-10 May 1991, Kuching, Serawak, Malaysia.

Ditjen Perkebunan. 2010. Arah dan Strategi Pengembangan Perkebunan Rakyat Menghadapi Fenomena Iklim. Paper disampaikan pada Rapat Kerja Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian (BB SDLP), Semarang, 2010.

Djaenuddin, D., Marwan H., Subagyo H. dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian tanah Bogor.

Driessen, P.M. 1978. Peat Soils. pp: 763-779. In: IRRI. Soil and rice. IRRI. Los Banos. Philippines.

Driessen, P.M. and H. Suhardjo. 1976. On the Defective Grain Formation of Sawah Rice on Peat. Soil Res. Inst. Bull. 3: 20 – 44. Bogor.

Halim, A. 1987. Pengaruh Pencampuran Tanah Mineral dan Basa dengan Tanah Gambut Pedalaman Kalimantan Tengah dalam budidaya tanaman kedelai. Disertasi Fakultas Pascasarjana, IPB. Bogor.

Hartatik, W., K. Idris, S. Sabiham, S. Djuniwati, dan J.S. Adiningsih. 2004. Pengaruh Pemberian Fosfat Alam dan SP-36 pada Tanah Gambut yang Diberi Bahan Amelioran Tanah Mineral terhadap Serapan P dan Efisiensi Pemupukan P. Prosiding Kongres Nasional VIII HITI. Universitas Andalas. Padang.

Hooijer, A., Silvius M., Wösten H. and Page S. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2 Emissions from Drained Peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943 (2006).

MITIGASI DEGRADASI LAHAN GAMBUT

137

Joosten, H. 2007. Peatland and carbon. pp. 99-117 In. Parish, F., Siri, A., Chapman, D., Joosten H., Minayeva, T., and Silvius M (eds.) Assessment on Peatland, Biodiversity and Climate Change.Global Environmental Centre, Kuala Lumpur and Wetand International, Wageningen.

Kononova, M.M. 1968. Transformation of Organic Matter and Their Relation to Soil Fertility. Sov. Soil. Sci. 8:1047-1056.

Mario, M.D. 2002. Peningkatan Produktivitas dan Stabilitas Tanah Gambut dengan Pemberian Tanah Mineral yang Diperkaya oleh Bahan Berkadar Besi Tinggi. Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Mutalib, A.A., J.S. Lim, M.H. Wong and L. Koonvai. 1991. Characterization, Distribution and Utilization of Peat in Malaysia. Proc. International Symposium on tropical peatland. 6-10 May 1991, Kuching, Serawak, Malaysia.

Nugroho, K., G. Gianinazzi and I.P.G. Widjaja Adhi. 1997. Soil idraulic properties of Indonesian peat. In: Rieley and Page (Eds.). pp. 147-156. Biodiversity and sustainability of tropical peat and peatland. Samara Publishing Ltd. Cardigan. UK.

Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut: Potensi dan Kendala. Penerbit Kanisius.

Page, S.E., F. Siegert, J.O Rieley, H.D.V. Boehm, A. Jaya and S.H. Limin. 2002. The amount of Carbon Released from Peat and Forest Fires in Indonesia during 1997. Nature 420: 61-65.

Rachim, A. 1995. Penggunaan Kation-Kation Polivalen dalam Kaitannya dengan Ketersediaan Fosfat untuk Meningkatkan Produksi Jagung pada Tanah Gambut. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Rieley, J. 1991. The Ecology of Tropical Peatswamp Forest – a South-East Asean Perspective. Proc. International Symposium on tropical peatland. 6-10 May 1991, Kuching, Serawak, Malaysia.

Sabiham, S., Wahyunto, Nugroho, Subiksa dan Sukarman. 2008. Laporan tahunan 2008. Balai Pesar Penelitian dan Pengembangan Sumber daya Lahan Pertanian, Bogor.

Sabiham, S., T.B. Prasetyo dan S. Dohong. 1997. Phenolic Acid in Indonesian Peat. In Rieley and Page (Eds). Pp. 289-292. Biodiversity and Sustainability of Tropical Peat and Peatland. Samara Publishing Ltd. Cardigan. UK.

Salampak. 1999. Peningkatan Produktivitas Tanah Gambut yang Disawahkan dengan Pemberian Bahan Amelioran Tanah Mineral Berkadar Besi Tinggi. Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Saragih, E.S. 1996. Pengendalian Asam-Asam Organik Meracun dengan Penambatan Fe (III) pada Tanah Gambut Jambi, Sumatera. Tesis S2, Program Pascasarjana, Institut Prtanian Bogor.

MITIGASI DEGRADASI LAHAN GAMBUT

138

Sarwani, M. dan I.P.G. Widjaja Adhi. 1994. Penyusutan Lahan Gambut dan Dampaknya terhadap Produktivitas lahan pertanian di sekitarnya. Kasus Delta Pulau Petak, Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar Nasional 25 tahun Pemanfaatan Lahan Gambut dan Pengembangan Kawasan Pasang Surut. Jakarta, 14-15 Desember 1994.

Stevenson, F.J. 1994. Humus Chemistry. Genesis, Composition, and Reactions. John Wiley and Sons. Inc. New York. 443 p.

Suastika, I.W. 2004. Efektivitas Amelioran Tanah Mineral Berpirit yang Telah Diturunkan Kadar Sulfatnya pada Peningkatan Produktivitas Tanah Gambut. Tesis S2. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Subiksa, I.G.M., D. Ardi dan I.PG. Widjaja Adhi. 1991. Pembandingan Pengaruh P-alam dan TSP pada Tanah Sulfat Masam (Typic Sulfaquent) Karang Agung Ulu Sumatera Selatan. Prosiding Pertemuan Pembahasan Hasil Penelitian Tanah, Cipayung 3-5 Juni 1991.

Subiksa, I.G.M. Sulaeman, dan I.P.G.Widjaja Adhi. 1998. Pembandingan pengaruh bahan amelioran untuk meningkatkan produktivitas lahan gambut. Dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor, 10-12 Februari 1998.

Subiksa, I.G.M., K. Nugroho, Sholeh and I.P.G Widjaja Adhi. 1997. The effect of ameliorants on the chemical properties and productivity of peat soil. In: Rieley and Page (Eds). Pp:321-326. Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands.Samara Publishing Limited, UK.

Subiksa I.G.M., Ai Dariah dan F. Agus. 2009. Sistem Pengelolaan Lahan Eksisting di Kalimantan Barat serta Implikasinya terhadap Siak Kimia Tanah Gambut dan Emisi GRK. Laporan Penelitian Kerjasama Balai Penelitian tanah dengan Kementrian Ristek.

Subiksa IG.M., Husein Suganda dan Joko Purnomo. 2009. Pengembangan Formula Pupuk untuk Lahan Gambut sebagai Penyedia Hara dan Menekan Emisi Gas Rumah kaca (GRK). Laporan Penelitian Kerja Sama antara balai Penelitian tanah dengan Departemen Pendidikan Nasional, 2009.

Suhardjo, H. and I.P.G. Widjaja-Adhi. 1976. Chemical characteristics of the upper 30 cms of peat soils from Riau. ATA 106. Bull. 3: 74-92. Soil Res. Inst. Bogor.

Tadano, T., K. Yonebayashi, and N. Saito. 1992 Effect of phenolic acids on the growth and occurrence of sterility in cnop plants. pp: 358-369. In: K. Kyuma, P. Vijarnsorn, and A. Zakaria (Eds). Coastal lowland ecosystems in southern Thailand and Malaysia. Showado-printing Co. Skyoku. Kyoto.

MITIGASI DEGRADASI LAHAN GAMBUT

139

Tie, Y.L. and J.S. Esterle. 1991. Formation of Lowland Peat Domes in Serawak, Malaysia. Proc. International Symposium on tropical peatland. 6-10 May 1991, Kuching, Serawak, Malaysia.

Tie, Y.L. and J.S. Lim. 1991. Characteristics and Classification of Organic Soils in Malaysia. Proc. International Symposium on tropical peatland. 6-10 May 1991, Kuching, Serawak, Malaysia.

Tim Institut Pertanian Bogor 1974. Laporan Survai Produktivitas Tanah dan Pengembangan Pertanian Daerah Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Bogor.

Wahyunto, Sofyan R., Suparto dan Subagyo H. 2004. Sebaran dan Kandungan Karbon Lahan Gambut di Sumatera dan Kalimantan. Wetland International Indonesia Program.

Wahyunto, Wahyu Supriatna and Fahmuddin Agus. 2009. Future Sustainable Development for Peatland Agriculture Landuse in Kubu Raya and Pontianak District, West Kalimantan.

Widjaja, Adhi. 1997. Developing tropical peatlands for agriculture. In: J.O. Rieley and S.E. Page (Eds.). pp. 45-54. Biodiversity and sustainability of tropical peat and peatland. Proceedings of the International Symposium on Biodiversity, environmental importance and sustainability of tropical peat and peatlands, Palangka Raya, Central Kalimantan 4-8 September 1999. Samara Publishing Ltd. Cardigan. UK.

Widjaja-Adhi, I.P.G. 1988. Physical and Chemical Characteristic of Peat Soil of Indonesia. IARD J. 10:59-64.

WWF, 2008. Deforestation, Forest Degradation, Biodiversity Loss and CO2 Emision in Riau, Sumatera, Indonesia: one Indonesian Propinve’s Forest and Peat Soil Carbon Loss Over a Quarter Century and it’s Plans for the Future. WWF Indonesia Tecnical Report. www.wwf.or.id.