13
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam eISSN: 2549-4198 Vol. 04., No. 02. Juli-Desember 2019 pISSN: 2549-3809 Miswardi 192 Pemberdayaan Nilai-nilai... http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index Miswardi IAIN Bukittinggi, [email protected] Diterima: 12 Juli 2019 Direvisi : 13 November 2019 Diterbitkan: 25 Desember 2019 Abstract The demand for a democratic system of government in Indonesia is not only the demands of society but also constitutional demands. Therefore, regional autonomy is expected to be able to provide answers to both needs. Because the essence of local independence itself is a tangible form of the practice of democracy in society, in the way of giving autonomy to the region to advance its society democratically in various aspects of life, politics, social economy and culture, to answer the challenges in the era of globalization. Community involvement by empowering local community values is one surefire strategy in the process of democratization. Besides, bureaucratic reform is a necessity; therefore, a combination of allowing the benefits of local communities with the government bureaucracy system is an appropriate strategy for accelerating democratic development. Keywords: Islamic Law, Criminal Law, Development Law Theory. Abstrak Tuntutan terhadap sistem pemerintahan yang demokratis di Indonesia bukan hanya tuntutan masyarakat semata akan tetapi merupakan tuntutan konstitusi. Oleh karena itu otonomi daerah sangat diharapkan mampu memberikan jawaban atas kedua tuntutan itu. Karena hakikat otonomi daerah itu sendiri adalah bentuk nyata daripada praktik demokrasi di dalam masyarakat dalam bentuk pemberian kemandirian kepada daerah untuk memajukan masyarakatnya secara demokratis dalam berbagai aspek kehidupan, politik, ekonomi sosial dan budaya, untuk menjawab tantangan di era globalisasi. Penglibatan masyarakat dengan pemberdayaan nilai-nilai masyarat lokal merupakan salah satu stategi jitu dalam proses demokratisasi. Selain itu reformasi birokrasi merupakan keniscayaan, oleh karena itu perpaduan antara pemberdayaan nilai-nilai masyarakat lokal dengan sistem birokrasi pemerintahan merupkan strategi tepat untuk percepatan pembangunan demokrasi. Kata kunci : Nilai-nilai Masyarakat Lokal, Birokrasi dan Demokrasi. . PENDAHULUAN Democracy is not herritag, but democrac y is learned” demokrasi tidak diturunkan melalui kelahiran tetapi dicerna melalui proses belajar. 1 Demokrasi adalah sebuah konsep yang lahir dari tradisi pemikiran Yunani sebagai antitesis dari konsep otoriter Romawi yang mulai dikembangkan sejak abad ke 6 SM sampai abad ke 4 M. Sesuai dengan kondisi pada awal mula berkembangnya konsep demokrasi 1 Jordi Feu et al., “Democracy and Education: A Theoretical Proposal for the Analysis of Democratic Practices in Schools,” Studies in Philosophy and Education 36, no. 6 (2017): 647–61, doi:10.1007/s11217-017-9570- 7. dimana masyarakat yang masih sederhana hak rakyat untuk membuat keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara berdasarkan prosedur mayoritas yang disebut dengan konsep demokrasi langsung (direct domocration). Praktek demokrasi langsung itu tidak bertahan lama disebabkan terjadinya perubahan dalam sistem kemasyarakatan Yunani pada masa itu terutama disebabkan pengaruh kehidupan keagamaan yang berpusat pada Paus dan pejabat Agama dengan kehidupan politik yang ditandai dengan perebutan kekuasaan dikalangan bangsawan

Miswardi IAIN Bukittinggi, [email protected]

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Miswardi IAIN Bukittinggi, miswardi@iainbukittinggi.ac

ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam eISSN: 2549-4198

Vol. 04., No. 02. Juli-Desember 2019 pISSN: 2549-3809

Miswardi 192 Pemberdayaan Nilai-nilai... http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index

Miswardi

IAIN Bukittinggi, [email protected]

Diterima: 12 Juli 2019 Direvisi : 13 November 2019 Diterbitkan: 25 Desember 2019

Abstract The demand for a democratic system of government in Indonesia is not only the demands of society but also constitutional demands. Therefore, regional autonomy is expected to be able to provide answers to both needs. Because the essence of local independence itself is a tangible form of the practice of democracy in society, in the way of giving autonomy to the region to advance its society democratically in various aspects of life, politics, social economy and culture, to answer the challenges in the era of globalization. Community involvement by empowering local community values is one surefire strategy in the process of democratization. Besides, bureaucratic reform is a necessity; therefore, a combination of allowing the benefits of local communities with the government bureaucracy system is an appropriate strategy for accelerating democratic development. Keywords: Islamic Law, Criminal Law, Development Law Theory.

Abstrak

Tuntutan terhadap sistem pemerintahan yang demokratis di Indonesia bukan hanya tuntutan masyarakat semata akan tetapi merupakan tuntutan konstitusi. Oleh karena itu otonomi daerah sangat diharapkan mampu memberikan jawaban atas kedua tuntutan itu. Karena hakikat otonomi daerah itu sendiri adalah bentuk nyata daripada praktik demokrasi di dalam masyarakat dalam bentuk pemberian kemandirian kepada daerah untuk memajukan masyarakatnya secara demokratis dalam berbagai aspek kehidupan, politik, ekonomi sosial dan budaya, untuk menjawab tantangan di era globalisasi. Penglibatan masyarakat dengan pemberdayaan nilai-nilai masyarat lokal merupakan salah satu stategi jitu dalam proses demokratisasi. Selain itu reformasi birokrasi merupakan keniscayaan, oleh karena itu perpaduan antara pemberdayaan nilai-nilai masyarakat lokal dengan sistem birokrasi pemerintahan merupkan strategi tepat untuk percepatan pembangunan demokrasi. Kata kunci : Nilai-nilai Masyarakat Lokal, Birokrasi dan Demokrasi. .

PENDAHULUAN

“Democracy is not herritag, but democrac y is

learned” demokrasi tidak diturunkan melalui

kelahiran tetapi dicerna melalui proses belajar.1

Demokrasi adalah sebuah konsep yang lahir

dari tradisi pemikiran Yunani sebagai antitesis

dari konsep otoriter Romawi yang mulai

dikembangkan sejak abad ke 6 SM sampai

abad ke 4 M. Sesuai dengan kondisi pada awal

mula berkembangnya konsep demokrasi

1 Jordi Feu et al., “Democracy and Education: A

Theoretical Proposal for the Analysis of Democratic Practices in Schools,” Studies in Philosophy and Education 36, no. 6 (2017): 647–61, doi:10.1007/s11217-017-9570-7.

dimana masyarakat yang masih sederhana hak

rakyat untuk membuat keputusan politik

dijalankan secara langsung oleh seluruh warga

negara berdasarkan prosedur mayoritas yang

disebut dengan konsep demokrasi langsung

(direct domocration). Praktek demokrasi langsung

itu tidak bertahan lama disebabkan terjadinya

perubahan dalam sistem kemasyarakatan

Yunani pada masa itu terutama disebabkan

pengaruh kehidupan keagamaan yang berpusat

pada Paus dan pejabat Agama dengan

kehidupan politik yang ditandai dengan

perebutan kekuasaan dikalangan bangsawan

Page 2: Miswardi IAIN Bukittinggi, miswardi@iainbukittinggi.ac

ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam eISSN: 2549-4198

Vol. 04., No. 02. Juli-Desember 2019 pISSN: 2549-3809

Miswardi 193 Pemberdayaan Nilai-nilai... http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index

yang melahirkan kembali sistem

kemasyarakatan feodal.2

Tarik ulur praktek kehidupan

masyarakat feodal dan demokrasi berlangsung

dalam masa yang cukup lama dimana kedua

konsep tersebut saling mengembangkan

pengaruh terutama dikawasan Eropa 3 yang

pada umumnya dikuasai sistem feodal.

Praktek demokrasi bangkit kembali di

Eeropa menjelang abad pertengahan ditandai

dengan lahirnya magna charta4 di Inggris sebagai

suatu piagam yang memuat perjanjian antara

rakyat kaum bangsawan dengan Raja, dalam

magna charta tersebut ditegaskan bahwa raja

mengakui dan menjamin beberapa hak rakyat

terutama yang berkaitan dengan hak dasar

(asasi) yakni pertama: adanya pembatasan

kekuasaan raja, kedua, dalam menjalankan

kekuasaannya raja harus menghormati hak

asasi manusia (rakyat). 5

2

Jason Gainous, Jason P. Abbott, and Kevin M. Wagner, “Traditional Versus Internet Media in a Restricted Information Environment: How Trust in the Medium Matters,” Political Behavior 41, no. 2 (2019): 401–22, doi:10.1007/s11109-018-9456-6.

3 Dalam sejarah perkembangan sistem

pemerintahan demokrasi Yunani dan sistem pemerintahan Feodal Romawi masing-masing mengembangkan pengaruh dikawasan Eropah, pengaruh Yunani lebih berkembang dikawasan Eeropah selatan sedangkan pengaruh Romawi dengan sistem pemerintahan feodalnya lebih berkembang di kawasan Eropah Utara (kawasan dataran tinggi) yang pada mulanya menumbuhkan penguasa tanah (land lord) yang kemudian berkembang menjadi negara kerajaan. Sedangkan kawasan Eropa Selatan merupakan kawasan pesisisir dimana penduduknya hiterogen yang terdiri dari para pedagang dari berbagai daerah sehingga kepentingan mereka pada dasarnya adalah untuk berdagang tidak ada kepentingan untuk menguasai kawasan, sehingga sistem demokrasi lebih cenderung untuk berkembang dibandingkan dengan dikawasan Eropah utara.

4 Magna Charta, merupakan tonggak awal dari

lahirnya konstitusi di negara-negara dunia dewasa ini, karena kelahiran magna charta adalah sebagai respons dari raja atas tuntutan Rakyat terhadap feodalisme kekuasaan raja. Oleh karena itu inti dari isi magna Charta adalah pembatasan kekuasaan raja dengan perlindungan hak asasi manusia.

5 Ibid.

Momentum lain yang menandai

lahirnya kembali demokrasi di Eropa adalah

gerakan pencerahan (renaissance) dan reformasi.

Gerakan pencerahan Barat merupakan buah

dari kontak Eropa dengan dunia Islam ketika

itu sedang berada pada puncak kejayaan

peradaban dan Ilmu pengetahuan

perkembangan ilmu pengetahuan ini

memberikan dampak besar terhadap tuntutan

kembali munculnya sistem demokrasi di

masyarakat barat. Ini membuktikan bahwa

sesungguhnya demokrasi itu bukan sesuatu

yang turun begitu saja dari langit akan tetapi

memerlukan pembelajaran untuk memberikan

kesadaran akan perlunya demokrasi.

Walaupun sebenarnya demokrasi

sebagai nilai-nilai dasar universal umat

manusia, akan tetapi tidak begitu saja nilai

tersebut dapat diwujudkan dalam praktek

bernegara, karena banyak faktor yang

menghambat tumbuh berkembangnya nilai

demokrasi dalam masyarakat, terjadi

gelombang pasang surut demokrasi dibanyak

negara di Indonesia misalnya walaupun di

dalam konstitusi (UUD 1945) secara tegas

dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara

hukum yang berdasarkan demokrasi, akan

tetapi juga tidak serta merta konsep demokrasi

dapat berjalan di Indonesia, misalnya saja pada

masa orde lama dan orde baru sistem

pemerintahan Indonesia sangat jauh dari nilai-

nilai demokrasi itu sendiri bahkan lebih

cendrung nilai otoriternya.

Kondisi di banyak negara seperti ini,

menunjukkan bahwa pembangunan demokrasi

tidak cukup hanya dengan modal keinginan

negara saja akan tetapi banyak faktor yang

harus dilibatkan terutama nilai-nilai kearifan

lokal (local wisdom) karena demokrasi pada

dasarnya berakar pada masyarakat dimana

demokrasi itu akan ditumbuhkan.

Di negara yang bercita-cita untuk

mensejahterakan masyarakat (warfare state),

dengan konsep demokrasi sebagai landasan

Page 3: Miswardi IAIN Bukittinggi, miswardi@iainbukittinggi.ac

ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam eISSN: 2549-4198

Vol. 04., No. 02. Juli-Desember 2019 pISSN: 2549-3809

Miswardi 194 Pemberdayaan Nilai-nilai... http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index

pembangunan bangsa, 6 partisipasi masyarakat

dalam berbagai aspek pembangunan mutlak

diberikan, karena tanpa adanya partisipasi

masyarakat pembangunan yang dilakukan oleh

negara hanyalah menjadikan masyarakat

sebagai objek, sehingga tidak dapat disalahkan

apabila masyarakat merasa “tidak memiliki dan

tidak bertanggung jawab” terhadap

pembangunan yang telah dilakukan oleh

pemerintah. Oleh karena itu dalam konsep

pembangunan di dalam negara demokrasi,

penempatan masyarakat sebagai objek

pembangunan mutlak dilakukan sehingga

masyarakat akan dapat berperan secara aktif

mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga

monitoring dan evaluasi pembangunan, terlebih

apabila akan melakukan pembangunan dengan

semangat lokalitas, masyarakat lokal menjadi

bahagian yang paling memahami keadaan

daerahnya tentu akan mampu memberikan

masukan yang sangat berharga. Dalam teori

ilmu sosial dikatakan bahwa nilai yang tumbuh

dan berkembang di tengah masyarakat

merupakan modal sosial (social capital) yang

sangat berharga yang akan dapat dimanfaatkan

untuk mensejahterakan masyarakt lokal

tersebut, bahkan masyarakat lokal dengan

pengalaman dan pemahamannya menjadi

modal yang sangat besar bagi negara dalam

melaksanakan pembangunan,karena masyarat

lokal-lah yang paling mengetahui segala

permasalahan yang dihadapi serta juga potensi

yang dimiliki oleh daerahnya, bahkan juga

mereka akan memiliki pengetahuan lokal

untuk menyelesaikan permasalahan yang

dihadapi tersebut.

Oleh karena itu dalam konteks

otonomi daerah penerapan dan pelaksanaan

pembangunan harus melibatkan peran serta

masyarakat, pengambilan keputusan tidak lagi

dilaksanakan secara terpusat (top down) karena

6 Di dalam penjelasan Pasal 1 UUD 1945 secara

tegas dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan demokrasi dengan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat.

model seperti ini tidak aakan mampu

merefleksikan aspirasi masyarakat yang justru

akan menjadi tujuan dari pembangunan itu

sendiri.

Midgley7 menyatakan bahwa partisipasi

bukan hanya sekedar salah satu dari tujuan

pembangunan sosial tetapi merupakan bagian

yang tidak dapat dipisahkan dalam proses

pembangunan sosial, partisipasi masyarakat

berarti perwujudan eksistrensi manusia

seutuhnya.8Tuntutan akan partisiasi masyarakat

semakin meningkat seiring dengan kesadaran

akan hak dan kewajiban negara, pengalaman

kegagalan pembangunan perspektif

modernisasi yang mengabaikan partisiasi

publik menjadi mementum yang berharga

dalam tuntutan peningkatan partisipasi warga

masyarakat, tuntutan ini semakin kuat seiring

kuatnya negara menekan kebebasan

masyarakat.

Partisipasi publik dalam bentuk

munculnya inisiatif lokal merupakan suatu hak

penting untuk menumbuhkan inisiatif lokal

merupakan suatu hal penting untuk

menumbuhkan iklim demokratisasi pada

tingkat lokal. Dengan cara ini dapat

diharapkan bahwa setiap keputusan publik

betul-betul berpihak kepada publik, dengan

demikian semakin kuatnya inisiatif lokal

kecendrungan untuk terjadinya proses alienasi

dan tidak berdayanya individu dapat dikurangi.

Dengan mendorong munculnya inisiatif lokal

yang optimal maka proses pemaknaan dan

identifikasi individu atas keberdayaannnya

akan terwujud, sehingga pemaknaan dan

pemenuhan identitas personal tidak lagi

dikuasasi oleh struktur-struktur besar, namun

7

James Midgley, Community Partisipation, socialsosial develpoment and the state, (London: Methium, 1996), 77

8 Coralie Bryant & Louise G White dalam

Manajemen Pembangunan untuk negara berkembang, diterjemahkan oleh Rusyanto L Simatupang, (Jakarta: LP3 ES ,1987), 268-276 mengingatkan pula agar konsep partisipasi tidak dipersempit hanya pada aspek penerimaan manfaat belaka karena akan mengubah pengertian umum partisipasi.

Page 4: Miswardi IAIN Bukittinggi, miswardi@iainbukittinggi.ac

ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam eISSN: 2549-4198

Vol. 04., No. 02. Juli-Desember 2019 pISSN: 2549-3809

Miswardi 195 Pemberdayaan Nilai-nilai... http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index

lebih terwujud dalam lingkungan publik

sehingg kehidupan masyarakat umum tidak

lagi dalam posisi terpinggirkan serta makna

personal individu akan lebih kuat.

Sistem politik Indonesia yang

cenderung otoriter selama masa orde baru

berdampak pada hilangnya kreativitas dan

inovasi masyarakat lokal dalam berbagai aspek

kehidupan, baik aspek sosial maupun aspek

kehidupan bernegara, karena pola

pemerintahan orde baru dengan landasan

stabilitas nasional pola pembangunan

cendrung top down, yang tidak memberikan

kebebasan kepada masyarakat lokal untuk

berinovasi sesuai dengan kebutuhan lokal.

Pola seperti ini melahirkan sikap

generasi bangsa yang apatis, keengganan dan

bahkan rasa ketakutan masyarakat untuk

berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan

tersebut di atas. Lebih jauh hal ini juga

berdampak kepada tidak berfungsinya

lembaga-lembaga masyarakat lokal

sebagaimana mestinya, dan ketergantungan

masyarakat kepada pemerintah semakin tinggi,

kondisi seperti ini semakin menjauhkan dari

proses demokratisasi. Dalam konsep

demokratisasi partisipasi masyarakat yang

diharapkan datang dari bawah justru terbalik

menjadi mobilisasi pembangunan dari atas.

OTONOMI DAERAH DAN

DEMOKRATISASI

Litvaack & Seddon,9 desentralisasi atau

otonomi daerah dimaknai sebagai “the transefer

of outhority responsibility for public from the central

government to sub ordinate or quasi indefendent

government organization, or the privat sector”. Pada

sisi lain Rondinelli10 menekankan desentralisasi

atau otonomi daerah itu sebagai “transfer of

9 Larry Diamond, “Rethinking Civil Society:

Toward Democratic Consolidation,” Journal of Democracy 5, no. 3 (1994): 4–17.

10 Ibid. 61

political power”. Sedangkan Priyatmoko, MA. 11

Menyatakan desentralisasi dengan wujud

otonomi daerah pada dasarnya menyangkut

pengalihan kekuasaan dan sumber daya dari

pusat ke daerah.

Dalam pembangunan demokrasi suatu

negara tidak bisa terlepas dari beberapa elemen

penting seperti politik dan hukum, perpaduan

antara dua elemen tersebut merupakan suatu

yang sangat penting karena suatu negara yang

didominasi oleh kekuasaan politik akan

cenderung menjadi feodal, sedangkan apabila

suatu negara hanya didominasi oleh kekuasaan

hukum tanpa ada kekuasaan politik akan

lemah.

Oleh karena itu untuk membangun

demokratisasi dalam suatu negara perpaduan

kekuasaan hukum dengan kekuasaan politik

merupakan suatu kemestian dengan posisi

hukum sebagai panglima yang mampu

mengendalikan dan mengarahkan politik,

seperti yang telah menjadi prinsip dalam

negara hukum Indonesia. Pemerintah (dalam

hal ini juga termasuk pemerintah daerah)

sebagai pemegang kewenangan public

(performing public authority), yang didapat

berdasarkan pelimpahan kewenangan oleh

rakyat diharapkan mampu merespon nilai-nilai

yang tumbuh dan berkembang ditengah

masyarakat lokal dan menempatkan sebagai

modal sosial (sosial capital).

Menurut Leumieux,12 otonomi daerah

sebagai suatu kebebasan bagi daerah untuk

mengambil keputusan sendiri baik dalam

bidang politik maupun dalam bidang

administrasi dengan tetap menghormati

peraturan perundang-undangan. Sedangkan

11

Priyatmoko, “Peningkatan Profesionalisme Eksekutif Dan Implementasi Otonomi Daerah”, Makalah dalam Workshop Desentralisasi, Demokrasi dan Akuntabilitas Daerah oleh Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) dan Parthnership for Governance Reform Indonesia, (Semarang: 25 – 27 Maret 2002), 1.

12 Leumeux, dikutip oleh Siti Zuhro, Pemerintan Lokal dan otonomi daerah di Indonesia, Thailand dan Pakistan, Jakarta: PPW LIPI, 1998), 5.

Page 5: Miswardi IAIN Bukittinggi, miswardi@iainbukittinggi.ac

ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam eISSN: 2549-4198

Vol. 04., No. 02. Juli-Desember 2019 pISSN: 2549-3809

Miswardi 196 Pemberdayaan Nilai-nilai... http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index

oleh Kjellberg 13 otonomi dimaknai sebagai

Local self government yang terdapat sets of values,

such as. Liberty or outonomy, democration or

participation and efficiency” pertama, otonomi

sebagai nilai utama dari teori lokal self

government, dimaknai sebagai konsep freedom from

something kepada freedom to do something, atau local

authonomy become an instrument for the realization of

communal interest. Kedua, partisipasi atau

demokrasi bermakna untuk memperkuat

demokratisasi dalam masyarakat supaya adanya

partisipasi aktif masyarakat itu senidiri.

David Held 14 berpendapat bahwa

otonomi berarti sebagai kapasitas manusia

untuk memahami kesadaran dirinya,

merefleksikan dirinya dan menentukan

nasibnya sendiri dengan prinsip-prinsip

sebagai berikut: a) masyarakat seharusnya

merasa nyaman dengan hak-hak yang setara

dan sejalan dengan itu. b) kewajiban yang

setara pula di dalam kehususan kerangka kerja

politik yang memberikan sekaligus membatasi

kesempatan yang disediakan untuk mereka.

Prinsip-prinsip ini berarti mereka bebas dan

sederajat menentukan kehidupan mereka

sendiri selama mereka tidak memasuki hak

orang lain. Prinsip otonomi menggambarkan

secara mendasar dua gagasan dasar :

1. Ide bahwa rakyat seharusnya berhak

untuk menentukan sendiri nasibnya.

2. Gagasan tentang pemerintahan demokrasi

harus terbatas sebagai pemerintah yang

menegakkan susunan kekuasaan yang

mengikuti undang-undang.

Beranjak dari pemikiran di atas, terlihat

betapa sangat pentingnya peranan masyarakat

dalam konsep pemerintahan daerah, sehingga

nilai-nilai masyarakat lokal dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah

merupakan aspek penentu untuk mewujudkan

13 Francesco Kjellberg, “The Changging Values

of Lokal Governement”, Annals AAPPS, (540 July 1995), 40-50.

14 David Held, “Menggagas Ulang Demokrasi”, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan UNISIA, (No. 36/XX/IV/1999), 75.

makna otonomi daerah, dengan kata lain

otonomi sebagai prasyarat dari demokratisasi,

karena otonomi juga sebagai wadah bagi

masyarakat lokal untuk merefleksikan

kesadaran diri untuk menentukan nasibnya

sendiri, atau untuk bertindak sebagai pencipta

kehidupan sendiri baik dalam dunia politik

maupun dalam kehidupan pribadi tanpa

ketergantungan dengan pihak lain, yang dalam

kontek pemerintahan masyarakat lokal tidak

tergantung kepada pemerintah pusat untuk

mengekspresikan diri, memberdayakan nilai-

nilai lokal untuk mewujudkan kesejahteraan

sendiri.

Menurut Undang-Undang yang

mengatur tentang Otonomi Daerah yakni

Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah yang diganti

dengan Undang-Undang nomor 32 tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah dan diubah

kembali menjadi Undang Undang Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,

dimana otonomi daerah dimaksudkan sebagai

desentralisasi kekuasaan pemerintah yang

selama masa orde baru tersentral pada

pemerintahan pusat, dimana daerah hanya

menerima segala kebijakan pemerintah pusat

baik dalam bidang ekonomi, sosial maupun

politik. Praktek seperti itu kemudian disadari

tidak memberikan banyak makna bagi

kehidupan masyarakat, terutama masyarakat

lokal karena masyarakat lokal tidak diberikanb

kesempatan untuk merefleksikan nilai-nilai

yang mereka miliki sendiri, tetapi justru

sebaliknya masyarakat lokal hanya disuguhi

dengan nilai-nilai yang telah diformat

sedemikian rupa oleh pemerintah pusat,

masyarakat lokal sebagai subjek dalam

pembangunan demokrasi tidak dilibatkan

dalam pengambilan keputusan penting,

sehingga tidak heran manakala rakyat sendiri

merasa asing dengan kebijakan yang diambil

oleh pemerintah. Pengalaman seperti itu

kemudian sangat memberikan kesan negatif

dalam pembangunan demokrasi. Atas

Page 6: Miswardi IAIN Bukittinggi, miswardi@iainbukittinggi.ac

ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam eISSN: 2549-4198

Vol. 04., No. 02. Juli-Desember 2019 pISSN: 2549-3809

Miswardi 197 Pemberdayaan Nilai-nilai... http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index

kesadaran dengan kondisi seperti demikian itu

maka dengan semangat undang - undang

otonomi daerah dimaksudkan untuk

memberikan kebebasan kepada masyarakat

lokal untuk berekspresi dengan nilai-nilai lokal,

karena sebagaimana dikatakan diatas, bahwa

demokrasi itu bukan turun dari atas, akan

tetapi demokrasi itu lahir dari bawah

(masyarakat).

Hakekat demokrasi sesungguhnya

adalah upaya untuk menempatkan masyarakat

sebagai subjek dari pembangunan, karena

masyarakat yang tahu pembangunan seperti

apa yang mereka kehendaki dan pembangunan

seperti apa yang mampu membuat mereka

menjadi sejahtera. Pembangunan yang tidak

melibatkan masyarakat hanyalah menjadikan

masyarakat sebagai objek dalam upaya

demokratisasi. Penempatan masyarakat sebagai

subjek pembangunan merupakan suatu

kemestian sehingga masyarakat akan mampu

berperan serta secara aktif mulai dari

perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan

dan penilaian pembangunan, oleh karenanya

pembangunan sudah seharusnya memahami

dan merespons semangat masyarakat lokal,

karena masyarakat lokal menjadi bahagian yang

paling memahami keadaan daerahnya. Pada sisi

lain pemahaman dan pengalaman masyarakat

lokal terhadap nilai-nilainya menjadikan

sebagai modal pembangunan yang sangat besar

(sosial capital).

Proses demokratisasi tidak mungkin

akan terjadi manakala penerapan dan

pelaksanaan pembangunan tidak melibatkan

masyarakat lokal sebagai pemilik kedaulatan,

karena model pembangunan sentralisasi tidak

akan mampu menterjemahkan aspirasi

masyarakat yang justru menjadi tujuan

pembangunan itu sendiri, karena sebagaimana

dikatakan oleh Midgley 15 bahwa pelibatan

masyarakat dalam pembangunan bukan hanaya

sekedar salah satu dari tujuan pembangunan

15 James Midgley, Cummunity Partisipation,…, 77.

sosial tetapi merupakan bagian yang menyatu

dalam proses pembangunan sosial.

Penglibatan masyarakat dalam proses

pembangunan disegala bidang dalam konteks

demokratisasi merupakan perwujudan manusia

seutuhnya atau dengan kata lain

memanusiakan manusia.16 Dewasa ini seiring

dengan meningkatnya kesadaran masyarakat

akan hak dan kewajiban negara, tuntutan

penglibatan masyarakat dalam berbagai aspek

pembangunan semakin meningkat, hal ini juga

didasari dengan pengalaman kegagalan

pembangunan pada masa orde baru yang

mengabaikan penglibatan masyarakat dan

hanya menjadikan masyarakat sebagai objek

pembangunan dan medernisasi sebagai slogan

yang selalu dijunjung.

Dalam teori sosial tuntutan

penglibatan partisipasi masyarakat dengan

nilai-nilai lokalnya dalam proses pembangunan

semakin meningkat, manakala tekanan negara

semakin tinggi terhadap kebebasan

masyarakat. Perlawanan terhadap modernisasi

yang menjauhkan pembangunan dari

partisipasi masyarakat tersebut terjadi dimana-

mana terutama dinegara berkembang yang

kemudian melahirkan apa yang disebut dengan

post modernisme, yang tidak hanya sekedar

melakukan perlawanan terhadap modernisme

yang mengabaikan nilai masyarakat lokal , akan

tetapi juga meberikan solusi dan model

pembangunan yang dirasa lebih tepat dalam

konteks demokratisasi.17

16 Coralie Bryant & Louise G. White, Manajemen

Pembangunban Negara Berkembang, Penerjemah: Rusyanto L. Simatupang, (Jakarta: LP3ES, 1987). 268 – 276. Mengingatkan pula agar konsep partisipasi tidak dipersempit hanya pada aspek penerimaan manfaat belaka, karena akan mengubah pengertian umum partisipasi. Aspek penerimaan manfaat akan merupakan pelengkap dari cakupan pada proses perencanaan dan pelaksanaan sehingga membawa manfaat yang lebih besaar bagi masyarakat awam.

17 Naeni Amanulloh, “Demokratisasi Desa :,” in Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia, 3rd ed. (Jakarta, 2015), 1–47.

Page 7: Miswardi IAIN Bukittinggi, miswardi@iainbukittinggi.ac

ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam eISSN: 2549-4198

Vol. 04., No. 02. Juli-Desember 2019 pISSN: 2549-3809

Miswardi 198 Pemberdayaan Nilai-nilai... http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index

Modernisme yang selama ini menjadi

slogan pembangunan dibanyak negara

berkembang dianggap tidak mampu

mewujudkan hakekat pembangunan yang

sesungguhnya dan bahkan sebaliknya

pembangunan hanya menumbuhkan

kesengsaraan masyartakat pada satu sisi,

misalnya pembangunan justru menjauhkan

masyarakat dengan nilai-nilai lokalnya dan

masyarakat tercabut dari akar budaya dan

melahirkan suatu budaya baru (new cultural)

yang sangat jauh dari nilai-nilai kehidupan

sosialnya.

Model pembangunan ini merupakan

alternatif yang dirasa akan mampu merespon

nilai-nilai sosial masyarakat lokal dan

mendorong partisipasi masyarakat dalam

berbagai aspek pembangunan, karena konsep

post modernisme menawarkan tiga aspek yaitu

1) menempatkan masyarakat lokal sebagai agen

pembangunan itu sendiri, 2) menjadikan

pembangunan partisipatif sebagai suatu

metode, 3) arah dan tujuan pembangunan

ditetapkan oleh masyarakat itu sendiri, dimana

peran negara hanya sebagai fasilitator yang

membantu dan mengarahkan.18

Berkembangnya paradigm post

modernisme dewasa ini dibanyak negara dipicu

oleh pengalaman kegagalan penerapan paradigm

modernisme yang hanya menekankan pada

pertumbuhan ekonomi semata dengan

mengabaikan pertumbuhan sektor lainnya

seperti sektor pertumbuhan siumber daya

manusia, sektor sosial budaya, hal ini ditandai

dengan pengalaman buruk krisis ekonomi

tahun 1999 banyak Negara yang menerapkan

paradigm modernisme dalam pembangunannya

mengalami kolaps. Alternatif pembangunan

dengan paradigm post modernisme mengusung

slogan “things globality act lokality” dengan suatu

18 Daniel A. Sangian, Salmin Dengo, and Jericho

D. Pombengi, “Summary for Policymakers,” in Climate Change 2013 - The Physical Science Basis, ed. Intergovernmental Panel on Climate Change, vol. 53 (Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 1–30, doi:10.1017/CBO9781107415324.004.

kepastian terjadinya keberagaman kepentingan

pembangunan karena dihadapkan pada

permasalahan lokal yang berbeda, karena

model paradigma alternatif ini pembangunan

berupaya untuk menyesuaikan dengan kondisi

lokal yang ada.

Penglibatan masyarakat dalam format

memberikan kesempatan yang luas dalam

mengajukan inbisiatif dan inovatif merupakan

sesuatu yang sudah semestinya dilakukan

dalam proses demokratisasi pada tingkat lokal,

karena dengan cara seperti ini diyakini bahwa

setiap keputusan atau kebijakan publik betul-

betul berpihak kepada masyarakat, terutama

masyarakat yang akan menjadi objek kebijakan

tersebut, sehingga tingkat respons masyarakat

terhadap keputusan atau kebijakan tersebut

semakin tinggi, yang pada akhirnya akan

menumbuhkan tingkat kepercayaan (trust)

masyarakat terhadap pemerintah juga semakin

tinggi dan posisi masyarakat tidak lagi

terpinggirkan.

MASYARAKAT LOKAL SEBAGAI BASIS

DEMOKRATISASI

Pengembangan masyarakat (community

depelovment) merupakan upaya terpenting yang

perlu menjadi perhatian dalam proses

transformasi sosial sebagai bagian ikhtiar

meningkatkan kesejahteraan masyarakat

melalui strategi prakarsa, aspirasi, keperluan

dan kemampuan masyarakat. Pengalaman

dibanyak negara yang sistem pemerintahannya

cendrung feodal, program pembangunan

dirancang dari luar masyarakat atau dari pusat

pemerintahan, sehingga perencanaan kurang

memperhatikan potensi dan keperluan

masyarakat lokal, tidak mengherankan

manakala inisiatif masyarakat sulit untuk

dikembangkan sehingga masyarakat lokal

sangat terggantung pada kekuatan dan

kekuasaan luar.

Dampak lanjutan partisipasi

masyarakat lokal sangat rendah terhadap

program pembangunan yang dilaksanakan oleh

Page 8: Miswardi IAIN Bukittinggi, miswardi@iainbukittinggi.ac

ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam eISSN: 2549-4198

Vol. 04., No. 02. Juli-Desember 2019 pISSN: 2549-3809

Miswardi 199 Pemberdayaan Nilai-nilai... http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index

pemerintah (pusat) karena masyarakat lokal

tidak tahu apa tujuan dari program tersebut.

Dalam kondisi seperti demikian sustainebelity

suatu program sangat rapuh karena sikap

memiliki dan tanggung jawab untuk

meneruskan apa yang telah dilakukan oleh

pemerintah sangat rendah. Kondisi seperti ini

sangat tidak menguntungkan dalam proses

demokratisasi.19

Dampak dari kondisi seperti ini seiring

dengan tumbuhnya semangat demokratisasi di

Indonesia dewasa ini maka muncul paradigma

baru dalam masyarakat, yang menekankan

bahwa pengembangan demokratisasi perlu

memperkuat kemampuan masyarakat lokal

dengan menumbuhkan partisipasi, inisiatif dan

kepemimpinan lokal. Untuk mencapai itu

semua pemberdayaan masyarakat dan

memperkuat institusi lokal sangat diperlukan,

dengan memberikan kewenangan dan otoritas

kepada masyarakat lokal untuk merencanakan

dan menentukan pilihan-pilihan dan secara

aktif terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan,

pengendalian hingga pemanfaatan hasil, untuk

itu juga diperlukan partisipasi masyarakat

secara nyata.

Peluang demokratisasi itu pasca orde

baru sangat terbuka lebar diantaranya ditandai

dengan perubahan paradigma sistem

pemerintan dari sistem sentraliasi kepada

sistem desentralisasi dengan otonomi daerah,

dengan diberlakukkannya undang-undang no

32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang

diubah dengan undang-undang nomor 22

tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Hakekat kedua undang-undang tersebut

adalah upaya pemberdayaan potensi lokal

dalam berbagai aspek, termasuk kewenangan

politik daerah untuk memberdayakan segala

potensi yang dimiliki daerah baik potensi

19 Heru Nugroho, “Demokrasi Dan

Demokratisasi: Sebuah Kerangka Konseptual Untuk Memahami Dinamika Sosial-Politik Di Indonesia,” Jurnal Pemikiran Sosiologi 1, no. 1 (December 2015): 1, doi:10.22146/jps.v1i1.23419.

sumber daya alam, sumber daya manusia,

maupun potensi sosial ekonomi dengan

memberdayakan institusi-instusi atau lembaga

adat masyarakat.

Pemberdayaan inisiatif lokal dalam

proses pembangunan merupakan upaya untuk

melibatkan masyarakat dalam memberikan

sumbangan pemikiran, ide perencanaan

bahkan sampai pada sumbangan pendanaan,

pemeliharaan dan penyelesaian permasalahan

yang terjadi, dengan demikian pelibatan

masyarakat lokal dalam pembangunan

merupakan perwujudan dari semboyan

demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk

rakyat.

Dalam teori ilmu sosial dapat diketahui

ada dua pendekatan yang dapat dilakukan

untuk membangun inisiatif lokal yaitu

pendekatan personal dan pendekatan

kemasyarakatan.20 Dalam pendekatan personal

dapat berupa upaya untuk menumbuhkan

persaingan individu dalam kaitannya dengan

kegiatan tertentu yang dapat diwujudkan dalam

bentuk tanggungjawab sosial dengan

20 D Osborne dan T Gaebler, Reinventing

Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector, A William Patrick Book (Addison-Wesley Publishing Company, 1992), 65-70 menyatakan partisipasi publik tidak saja dalam hal pembangunan akan tetapi juga dalam hal pelayanan publik juga akan memberikan manfaat yang sangat besar. Dari ungkapan kedua pakar tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa partisipasi publik selalunya akan memberikan lebih banyak solusi terhadap hal-hal apabila dibandingkan dengan pelayanan pablik professional pada umumnya. Karena partisipasi masyarakat dalam memberikan solusi terhadap masalah yang mereka hadapi memiliki kelebihan diantaranya: masyarakat awam memiliki komitmen yang lebih besar terhadap para anggotanya dibanding komitmen para penyelenggara Negara. Masyarakat awam lebih baik dalam memahami masalahnya sendiri apabila dibandingkan dengan para professional penyedia layanan; para professional dan pegawai pemerintahan memberikan layanan sedangkan maasyarakat awam menyelesaikan berbagai permasalahan; para professional dan pegawai pemerintahan menawarkan pelayanan sedangkan masayarakat awam memberikan kepedulian; masyarakat awam berusaha menegakkan standart perilaku dengan efektif disbanding denganm para professional pelayan dan pegawai pemerintahan.

Page 9: Miswardi IAIN Bukittinggi, miswardi@iainbukittinggi.ac

ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam eISSN: 2549-4198

Vol. 04., No. 02. Juli-Desember 2019 pISSN: 2549-3809

Miswardi 200 Pemberdayaan Nilai-nilai... http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index

didasarkan akan perlunya usaha untuk

memperbaiki lingkungan sosial yang pada

akhirnnya akan dinikmati secara bersama.

Sedangkan pola pendekatan kemasyarakatan

dapat dilakukan melalui pemberdayaan

kapasitas masyarakat untuk mendorong

pemanfaatan nilai-nilai sosial budaya yang

dimiliki sebagai suatu modal sosial (sosial

capital) dalam pembangunan berkelanjutan.

Pada dasarnya pemberdayaan

masyarakat lokal dalam proses pembangunan

di suatu negara adalah bentuk usaha usaha

terencana untuk memberikan kewenangan

kepada masyarakat untuk ikut berperan aktif

dalam merencanakan apa sesungguhnya yang

mereka sangat perlukan, dan mereka yang akan

melaksanakan sendiri, mengawasi dan

memanfaatkan sendiri. Pada akhirnya akan

berujung pada transformasi sosial yang yang

sesuai dengan kapasitas yang mereka miliki,

selain juga pemberdayaan masyarakat lokal

sebagai wujud untuk memberikan keleluasaan

kepada masyarakat supaya masyarakat pada

tingkat lokal dapat menentukan pilihan dan

memberikan respons terhadap perubahan

sosial sehingga perubahan sosial mampu

memberikan makna sesuai dengan apa yang

mereka kehendaki. Pelibatan partisipasi

masyarakat dalam berbagai aspek

pembangunan haruslah didasari dengan prinsip

saling memerlukan dan menguntungkan bagi

masyarakat dan negara dengan pandangan

yang setara (equal) baik dalam struktur mapun

dalam tanggungjawab.21

Pada sisi lain dalam konteks

ketatanegaraan, keberadaan pemerintah dalam

kehidupan masyarakat tidak dapat diabaikan,

karena pada dasarnya kehadiran pemerintah

adalah untuk mengatur dan melindungi

masyarakat supaya senatiasa dalam keadaan

aman dan tertib, yang dalam teori

pemerintahan fungsi utama pemerintah itu

adalah perwujudan “regulation and service”. Akan

21

Ibid.

tetapi seiring dengan perkembangan zaman,

bagaimanapun kuatnya kekuasaan pemerinntah

diyakini tidak akan mampu menyelenggarakan

pemerintahan secara terpusat secara

berkelanjutan, maka ide desentralisasi menjadi

suatu yang sangat diperlukan dalam

pembangunan suatu negara, terlebih

pembangunan negara dengan konsep

demokratisasi. Karena desentralisasi

menghendaki pelimpahan kewenangan dan

tanggungjawab dari pusat kekuasaan kepada

daerah, ini berarti bahwa peluang

pemberdayaan nilai-nilai lokal sangatlah

terbuka, sehingga masyarakat dapat tumbuh

dan berkembang sesuai dengan nilai-nilai lokal,

karena diyakini nilai-nilai kearifan lokal

masyarakat (local wisdom).

REFORMASI MANAJEMEN

PEMERINTAHAN SEBAGAI

LANGKAH AWAL DEMOKRATISASI

Reformasi manajemen pemerintahan

merupakan aspek yang sangat penting dalam

pertumbuhan di negara-negara berkembang.

Keutamaan perkembangan atau kecepatan

pertumbuhan dan arah pengembangan negara

sangat pantas dan berubah. Menurut Ceid 22

lahirnya kepentingan akan reformasi

manajemen pemerintahan disebabkan

perubahan sistem manajemen pemerintahan

yang dikaitkan dengan usaha meningkatkan

kemampuan dan keprofesionalan organisasi.

Lee 23 memperkenalkan pola kegiatan

manajemen pemerintahan di beberapa negara,

reformasi manajemen pemerintahan

diperkenalkan karena terdapat perubahan

sistem politik seperti di Brazil, Ghana dan

Tanzania. Tindakan - tindakan yang terencana

di bidang manajemen pemerintahan

mengakibatkan perubahan yang berarti dalam

22 G.E. Ceiden, Administrative Reform, In

farazmand, Handbook of Comparative and Development Administration, (New York: Mercel Deccer Inc., 1992). 25.

23 Ibid. 4

Page 10: Miswardi IAIN Bukittinggi, miswardi@iainbukittinggi.ac

ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam eISSN: 2549-4198

Vol. 04., No. 02. Juli-Desember 2019 pISSN: 2549-3809

Miswardi 201 Pemberdayaan Nilai-nilai... http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index

diri aparatur pemerintah. Reformasi

manajemen pemerintah dibanyak negara

berkembang memperlihatkan peranan

organisasi antara bangsa dan pemerintahan

negara asing sangat aktif untuk melakukan

perbaikan manajemen pemerintahan melalui

bantuan teknis.

Pengalaman pelaksanaan reformasi

sistem manajemen pemerintahan di negara-

negara tersebut melahirkan banyak model.

Dalam hubungan ini Zauhar24 melihat bahwa

reformasi manajemen pemerintahan

merupakan suatu pola yang menunjukkan

peningkatan pemanfaatan sumber daya yang

tersedia untuk mencapai tujuan yang telah

ditetapkan. Dengan demikian dalam reformasi

manajemen pemerintahan lebih dicurahkan

pada usaha dan bukan semata-mata hasil.

Secara internal tujuan reformasi adalah untuk

menyempurnakan dan meningkatkan aktivitas

pelayanan publik secara sempurna.

Riggs 25 melihat reformasi atau

pembaharuan pada dua sisi yaitu perubahan

struktur dan manajemen. Secara struktural

adanya penggunaan perubahan susunan

sebagai salah satu ukuran. Pandangan ini

didasarkan pada arah peranan-peranan yang

semakin terkhususkan dan pembagian kerja

yang semakin jelas dan terarah dalam

masyarakat modern. Katz26 melakukan analisis

yang lebih mutahir mengenai keadaan sistem

manajemen pemerintahan di negara

berkembang dan mengungkapkan bahwa

upaya memperbaiki kinerja birokrasi

pemerintah mesti meliputi tanggapan sumber

daya dan kualitas pelayanan.

24 Soesilo Zauhar, Desentralisasi Dan Otonomi

Daerah Dan Pembangunan Nasional (Jakarta: Pelopor, 1994). 4

25 F.W. Riggs, Administrasi Pembangunan, (Jakarta:

Rajawali, 1996), 94 26 Sm Katz, Modernisasi Administrasi dan

Pembangunan Nasional, (Jakarta: Bumi Aksara, 1987), 87.

MANAJEMEN PEMERINTAHAN

BERBASIS BUDAYA LOKAL

Kontroversi pemberdayaan budaya

lokal dalam sistem manajemen pemerintahan

telah terjadi sejak lama, bahkan sejak zaman

kolonial Belanda dahulu. Hal ini dikarenakan

keberadaan pemerintahan selalu ada pada dua

sisi yaitu pada sisi pelayanan publik, tetapi juga

pelayan kekuasaan. Keadaan yang berbeda ini

memerlukan otonomi relatif, osisi relatif

berjarak terhadap masyarakatnya dan bahkan

selalu diperlukan kemampuan menerapkan

hukuman-hukuman tertentu.

Tetapi pada sisi lainnya demi

menjamin kekekukuhan, dukungan keabsahan,

turut ambil bagian, memperoleh tanggapan

dan memelihara keberlangsungan (sustainability)

pemerintahan harus ramah, mendekatkan diri,

mengikatkan diri pada budaya masyarakat lokal

sehingga keberadaannya berarti dan dipercayai.

Usaha mecapai kesepahaman yang adil selalu

menjadi lebih sulit karena masyarakat yang

berkembang semakin terbuka menerima

perubahan, seperti akibat modernisasi dan

industrialisasi. Dengan globalisasi informasi

dan perdagangan sekarang ini tantangan

terjadinya bencana budaya, geger budaya atau

krisis identitas pasti terwujud. Secara teoritis

banyak kajian yang menunjukkan bahwa tidak

ada keberhasilan atau sukses berkelanjutan

yang dapat dicapai dengan mengabaikan

budaya lokal.

Seiring dengan berjalannya reformasi

semangat untuk kembali menggali nilai-nilai

budaya lokal semakin bergairah. Hal ini

berguna untuk memberi respons berbagai

peluang dan tantangan yang dihadapi. Tetapi

pada sisi lain budaya lokal juga dihadapkan

pada ujian untuk menunjukkan

kemampuannya untuk menyesuaikan dengan

kondisi global dan memberi respons kepada

hal-hal yang bersifat pertumbuhan, seperti

demokratisasi, hak asasi manusia, modernitas

pada umumnya.

Page 11: Miswardi IAIN Bukittinggi, miswardi@iainbukittinggi.ac

ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam eISSN: 2549-4198

Vol. 04., No. 02. Juli-Desember 2019 pISSN: 2549-3809

Miswardi 202 Pemberdayaan Nilai-nilai... http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index

Pemberdayaan budaya lokal dalam

sistem manajemen berokrasi di Indonesia telah

tumbuh seiring dengan lahirnya undang-

undang otonomi daerah komponen.

Hubungan dengan undang-undang tersebut

ialah pusat telah memberikan sebahagian

kewenangan kepada daerah.

Anthony Gidden27 dalam bukunya The

Third Way, menginginkan sebuah bangunan

birokrasi yang lahir nantinya haruslah dalam

rangka menumbuhkan Governance bukan lagi

Goverment. Langkah yang dapat memasuki

setelah birokrasi adalah menuju hukum yang

dapat memberikan respons terhadap

kepentingan masyarakt awam, dalam zaman

seperti ini keberadaan people power harus diakui,

negara dengan refresentasi pemerintahan harus

dapat memberi respons nilai-nilai sosial

masyarakat lokal yang berkembang.

Reformasi dapat membawa berkah

bagi masyarakat akan tetapi sekaligus juga

dapat membawa bencana dalam proses

pembangunan kehidupan berbangsa dan

bermasyarakat, manakala hakekat dari

reformasi itu disalah artikan seperti yang selalu

maknai oleh sebahagian masyarakat awam

yang memaknai reformasi sebagai “kebebasan

dan hak asasi manusia tanpa batas hukum”.

Sesungguhnya otonomi daerah merupakan

suatu proses perubahan karena diharapkan

penglibatan masyarakat dalam berbagai proses

pemerintahan dapat menumbuhkan suburkan

nilai demokrasi, dimana sistem birokrasi

pemerintahan akan lebih sempurna dan tingkat

kemandirian daerah lebih kukuh; prospek

otonomi daerah secara teoritis mampu

menjawab berbagai masalah yang intinya pada

keadilan dan keberlanjutan.

Pentingnya penglibatan masyarakat

dalam berbagai aspek pemerintahan

merupakan asas pengembangan demokrasi,

27 Jesper Falkheimer, “Anthony Giddens and

Public Relations: A Third Way Perspective,” Public Relations Review 33, no. 3 (September 2007): 287–93, doi:10.1016/j.pubrev.2007.05.008. 5

dimana rakyat memiliki kedaulatan dan sumber

daya alamnya, rakyat dapat menentukan wakil-

wakil yang akan duduk di parlemen daerah,

menentukan siapa yang akan menjadi

pimpinannya, menysusun dan merancang

pertumbuhan lingkungan. Oleh karena itu

otonomi menuntut kesiapan aparatur negara di

daerah untuk mempasilitasi aspirasi dan

penglibatan masyarakat dalam mewujudkan

pembangunan di daerahnya. Harapan tersebut

tentu juga menghadapi berbagai tantangan,

misalnya sudah maraknya korupsi, kolusi dan

nepotisme, ketidak siapan para aparatur

pemerintahan di daerah dan budaya otoriter

peninggalan zaman orde baru.

Reformasi dalam bidang birokrasi

merupakan suatu wujud yang menunjukkan

peningkatan efektifitas pemanfaatan sumber

daya yang tersedia untuk mencapai tujuan yang

direncanakan. Dengan demikian reformasi

sistem birokrasi perhatian lebih difokuskan

pada usaha bukan semata-mata hasil. Secara

umum dalam tujuan reformasi sistem birokrasi

adalah untuk menyempurnakan atau

meningkatkan kinerja. Sedangkan pada sisi lain

yang berhubungan dengan masyarakat adalah

menyesuaikan sistem birokrasi terhadap

peningkatan keperluan masyarakat. Riggs 28

melihat reformasi atau pembaharuan dari dua

sisi yaitu perubahan struktur dan kinerja.

Sedangkan Willis 29 melakulan analisis yang

lebih modern mengenai keadaan sistem

birokrasi di negara berkembang dan

menyatakan bahwa usaha memperbaiki kinerja

birokrasi pemerintahan harus meliputi

ketanggapan sumber dan efektifitas pelayanan.

Reformsi sistem birokrasi merupakan

suatu usaha terencana untuk perbaikan

birokrasi dan perbaikan perilaku aparatur

28 Riggs, Administrasi Pembangunan, 94. 29 James F Spriggs, “Explaining Federal

Bureaucratic Compliance with Supreme Court Opinions,” Political Research Quarterly 50, no. 3 (1997): 567–93.

Page 12: Miswardi IAIN Bukittinggi, miswardi@iainbukittinggi.ac

ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam eISSN: 2549-4198

Vol. 04., No. 02. Juli-Desember 2019 pISSN: 2549-3809

Miswardi 203 Pemberdayaan Nilai-nilai... http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index

negara yang terlibat di dalamnya, Zauhar 30

berpandangan bahwa dilakukannya reformasi

sistem birokrasi adalah usaha untuk

menyempurnakan metode dan kinerja.

Seiring dengan itu upaya

pembangunan pemerintahan yang baik maka

harus diberikan prioritas pada tiga dimensi

yaitu dimensi politik, hukum dan dimensi

birokrasi. setiap dimensi harus didekati dengan

perspektif sistem yang mengharuskan

terlibatnya berbagai pihak baik perencana

maupun pelaksananya. Dimensi politik

ditentukan dari tingkat penerimaan masyarakat

awam terhadap pemerintah, dimensi hukum

berkaitan dengan adanya jaminan kepastin

hukum oleh pemerintah terhadap rakyat,

sedangkan dimensi birokrasi diukur dari

kemampuan dan efektifitas negara

memberikan pelayanan publik dan

kemampuan negara memberdayakan

masyarakat dalam berbagai aspek

pemerintahan.

Untuk memaksimalkan cita-cita

otonomi daerah, maka perubahan sistem

birokrasi publik sudah seharusnya dilakukan

supaya pemerintah selalu merespons keperluan

dalam masyarakat dan birokrasi publik menata

kembali kehidupan masyarakat. Prasyarat

untuk itu semua harus dilakukan reformasi

sistem birokrasi publik oleh karena

pemerintahan daerah harus semakin terbuka

dalam berbagai aspek kepentingan publik

dalam usaha untuk mewujudkan sistem

pemerintahan yang demokratis.

KESIMPULAN

Indosensia sebagai sebuah negara hukum

sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1

ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dengan

penjelasan ‘Recht staat not macht staat” Negara

hukum bukan Negara kekuasaan belaka, untuk

merealisasikan konsep negara hukum tersebut

30 Zauhar, dalam Rakhmad MS. Reformasi

Administrasi Publik Menuju Pemerintahan Daerah Yang demokratis, (Makalah Seminar, 1996). 5.

tidak ada pilihan lain lagi kecuali harus

membangun demokratisasi, suatu negara

hukum tidak mungkin akan terwujud manakala

dinegara tersebut tidak ada demokrasi ,karena

antara negara hukum dengan demokrasi ibarat

dua sisi mata uang yang antara satu dengan

lainnya tidak bisa dipisahkan.

Pada sisi lain sebagaimana dikatakan di atas

bahwa demokrasi itu bukan sesuatu yang “

diterjunkan” dari atas akan tetapi susuatu yang

dilahirkan dari bawah, sehingga proses

dempkratisasi disuatu negara diyakini akan

mudaha terwujud manakala negara secara

sadar memberikan kebebasan dan ruang

untuk merespon semaksimal mungkin nilai-

nilai masyarakat lokal. Terlebih lagi masyarakat

Indonesia yang terdiri dari berbagai macam

suku, budaya dan Bahasa (multikulturalisme)

yang diyakini sebagai suatu modal sosial (capital

social) dalam pembangunan dalam berbagai

bidang.

Penglibatan nilai-nilai budaya lokal

secara prororsional dalam pembangunan akan

melahirkan rasa memiliki dan

bertanggungjawab yang tinggi bagi masyarakat

local yang seiring daripada itu perwujudan

prinsip demokrasi juga berjalan.

Page 13: Miswardi IAIN Bukittinggi, miswardi@iainbukittinggi.ac

ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam eISSN: 2549-4198

Vol. 04., No. 02. Juli-Desember 2019 pISSN: 2549-3809

Miswardi 204 Pemberdayaan Nilai-nilai... http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Amanulloh, Naeni. “Demokratisasi Desa:” In Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia, 3 ed., 1–47. Jakarta, 2015.

Bryant & Louise G White, dalam Manajemen Pembangunan untuk negara berkembang, diterjemahkan oleh Rusyanto L Simatupang, Jakarta: LP3ES, 1987.

Diamond, Larry. “Rethinking civil society: Toward democratic consolidation.” Journal of democracy 5, no. 3 (1994): 4–17.

David Osborne and Ted Gaebler (1992) Reinventing Government,how the Entrepreneurial spirit is Transforming the public sector (New York: A William Patrict Book).

Falkheimer, Jesper. “Anthony Giddens and public relations: A third way perspective.” Public Relations Review 33, no. 3 (1 September 2007): 287–93. doi:10.1016/j.pubrev.2007.05.008.

Feu, Jordi, Carles Serra, Joan Canimas, Laura Làzaro, dan Núria Simó-Gil. “Democracy and Education: A Theoretical Proposal for the Analysis of Democratic Practices in Schools.” Studies in Philosophy and Education 36, no. 6 (2017): 647–61. doi:10.1007/s11217-017-9570-7.

F.W.Riggs, Administrasi Pembangunan, Jakarta: Rajawali, 1996. Gainous, Jason, Jason P. Abbott, dan Kevin M. Wagner. “Traditional Versus Internet Media in a

Restricted Information Environment: How Trust in the Medium Matters.” Political Behavior 41, no. 2 (2019): 401–22. doi:10.1007/s11109-018-9456-6.

G.E. Ceiden, Administrative Reform, In farazmand, Handbook of Comparative and Development Administration, New York: Mercel deccer, Inc., 1992.

James Midgley, Community Partisipation, Social Develpoment and the State, London, 1996. Hidayat, Komaruddin & Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Azazi Manusia, Dan Masyarakat Madani,

Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidyatullah, 2006. Methium, Sm Katz, Modernisasi Administrasi dan Pembangunan Nasional, Jakarta: Bumi Aksara, 1987. Nugroho, Heru. “Demokrasi dan Demokratisasi: Sebuah Kerangka Konseptual Untuk

Memahami Dinamika Sosial-Politik di Indonesia.” Jurnal Pemikiran Sosiologi 1, no. 1 (14 Desember 2015): 1. doi:10.22146/jps.v1i1.23419.

Riggs F.W., Administrasi Pembangunan, Jakarta: Rajawali, 1996. Sangian, Daniel A., Salmin Dengo, dan Jericho D. Pombengi. “Summary for Policymakers.” In

Climate Change 2013 - The Physical Science Basis, diedit oleh Intergovernmental Panel on Climate Change, 53:1–30. Cambridge: Cambridge University Press, 2013. doi:10.1017/CBO9781107415324.004.

Schneider, Ingrid. “Osborne, D. and Gaebler, T. 1992. Reinventing Government. New York, NY.” Journal of Leisure Research, A William Patrick Book, 27, no. 3 (13 September 1995): 302–4. doi:10.1080/00222216.1995.11949751.

Spriggs, James F. “Explaining federal bureaucratic compliance with Supreme Court opinions.” Political Research Quarterly 50, no. 3 (1997): 567–93.

Willis M., Bureucracy, London: Mc. Millan, 1989. Zauhar, Soesilo. Desentralisasi dan Otonomi Daerah dan Pembangunan Nasional. Jakarta: Pelopor, 1994.