23
  1 Pendekatan Dalam Memahami Hadis BAB I PENDAHULUAN Problem pemahaman hadits Nabi merupakan persoalan yang sangat urgen untuk diangkat. Hal demikian berangkat dari realitas hadis sebagai sumber kedua ajaran islam setelah alQuran yang dalam banyak aspeknya berbeda dengan al Quran. 1  Menurut petunjuk alquran, nabi Muhammad SAW selain dinyatakan sebagai Rasulullah juga dinyatakan sebagai manusia biasa. Dengan perkataan lain, nabi Muhammad disamping berstatus sebagai rasu, beliau juga berstatus sebagai manusia. Dalam kapasitas sebagai manusia, beliau diakui oleh Umat Islam dan non Islam sebagai kepala negara, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim, dan pribadi manusia biasa. Berkaitan dengan status Nabi SAW diatas, maka mengkaji hadits dengan melihat status Nabi dan konteks sebuah hadits pada saat sebuah hadist disabdakan serta mengetahui bentuk- bentuk matan hadits merupakan upaya yang sangat  penting dalam menangkap makna hadits secara utuh. Oleh sebab itu, beberapa  pendekatan seperti pendekatan bahasasa, historis, sosiologis, sosio-historis, antropologis dan psikologis dalam pemahaman hadits sangat diperlukan dalam kerangka menemukan keutuhan makna hadits dan mencapai kesempurnaan kandungan maknanya. 1  Suryadi, Metode Kotemporer Memahami Hadis Nabi, (Yogyakarta: Teras 2008). Hlm 1.

metode pendekatan hadis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

metode pendekatan dalam memahami hadis

Citation preview

BAB IPENDAHULUANProblem pemahaman hadits Nabi merupakan persoalan yang sangat urgen untuk diangkat. Hal demikian berangkat dari realitas hadis sebagai sumber kedua ajaran islam setelah alQuran yang dalam banyak aspeknya berbeda dengan al Quran.[footnoteRef:2] [2: Suryadi, Metode Kotemporer Memahami Hadis Nabi, (Yogyakarta: Teras 2008). Hlm 1.]

Menurut petunjuk alquran, nabi Muhammad SAW selain dinyatakan sebagai Rasulullah juga dinyatakan sebagai manusia biasa. Dengan perkataan lain, nabi Muhammad disamping berstatus sebagai rasu, beliau juga berstatus sebagai manusia. Dalam kapasitas sebagai manusia, beliau diakui oleh Umat Islam dan non Islam sebagai kepala negara, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim, dan pribadi manusia biasa.Berkaitan dengan status Nabi SAW diatas, maka mengkaji hadits dengan melihat status Nabi dan konteks sebuah hadits pada saat sebuah hadist disabdakan serta mengetahui bentuk- bentuk matan hadits merupakan upaya yang sangat penting dalam menangkap makna hadits secara utuh. Oleh sebab itu, beberapa pendekatan seperti pendekatan bahasasa, historis, sosiologis, sosio-historis, antropologis dan psikologis dalam pemahaman hadits sangat diperlukan dalam kerangka menemukan keutuhan makna hadits dan mencapai kesempurnaan kandungan maknanya.

BAB IIPENDEKATAN DALAM MEMAHAMI HADISA. Pendekatan BahasaPersoalan pemahaman makna hadis tidak dapat dipisahkan dari penelitian matan. Pemahaman hadits dengan beberapa pendekatan memang diperlukan. Salah satunya adalah pendekatan bahasa. Hal tersebut karena bahasa Arab yang digunakan oleh Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan berbagai hadits selalu dalam susunan yang baik dan benar. Pendekatan bahasa dalam penelitian Matan akan sangat membantu terhadap kegiatan penelitian yang berhubungan dengan kandungan petunjuk dari matan hadis yang bersangkutan. Apalagi bila diingat bahwa sebagian dari kandungan mataan berhubungan dengan masalah keyakinan , hal-hal ghoib, dan petunjuk kegiatan agama yang bersifat taabudi.[footnoteRef:3] [3: Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan). (Yogyakarta: CESAD YPI Al Rahmah, 2001).hlm 57.]

Penelitian hadis dengan menggunakan pendekatan bahasa ini dapat digunakan untuk meneliti makna hadis, meneliti nilai sebuah hadis apabila terdapat perbedaan lafad dalam matan hadis. Pendekatan bahasa dalam memahami hadis dilakukan apabila dalam sebuah matan hadis terdapat aspek-aspek keindahan bahasa (Balaghoh) yang memungkinkan mengandung pengertian majazi (metaforis) sehingga berbeda dengan pengertian haqiqi.Adapun tujuan dari memahami hadis melalui pendekatan bahasa adalah[footnoteRef:4] : [4: Alfatih suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis (Yogyaakarta: SUKA Pres UIN Sunan Kalijaga 2012). Hlm 124-126.]

1. Peneliti dapat mengetahui dan memahami makna dari lafad-lafad hadis yang ghorib dan juga mengetahui illat serta syadz.2. Memahami dan mengetahui makna dan tujuan hadis Nabi muhamad Saw. contoh 3. Mengkorfirmasi pengertian kata-kata hadis. 1. Batas-baatas Tekstual (Pendekatan Bahasa)Batasan-batasan tekstual meliputi:a. Ide moral/ide dasar/tujuan dibalik teks (tersirat). Ide ini ditentukan dari makna yang tersirat dibalik teks yang sifatnya universal, lintas ruang waktu dan intersubyektif.b. Bersifat absolute, prinsipil, universal, fundamental.c. Mempunyai visi keadilan, kesetaraan, demokrasi, muasyaroh bil maruf.d. Terkait relasi antara manusia dan Tuhan yang bersifat universal artinya segala sesuatu yang dapat dilakukan siapapun, kapanpun, dan dimanpun tanpa terpengaruh letak geografis, budaya dan historis tertentu misalnya solat.2. Kekurangan dan Kelebihan Pendekatan Bahasa tepat.Kelebihan melakukan pendekatan bahasa adalah:a. Keyakinan bahwa teks-teks islam adalah petunjuk terakhir dari langit yang berlaku sepanjang masa, hal ini mengandung makna bahwa didalam teks yang terbatas tersebut memiliki dinamika internal yang sangat kaya, yang harus terus menerus dilakukan eksternalisasi melalui interpretasi yang tepat.b. Dapat mengetahui makna-makna dari lafad-lafad yang ghorib serta memahami benar kalimat-kalimat yang bermakna haqiqi.Adpun kekurangannya yaitu:Implementasi pemahaman terhadap nash secara tekstual seringkali tidak sejalan dengan kemaslahatan yang justru menjadi alasan kehadiran islam itu sendiri.Contoh aplikasiSebagai contoh matan hadis yang berbentuk tasybih (allegory) yaitu hadis persaudaraan atas dasar iman misalnya, memiliki perbedaan lafaz matan. Redaksi hadis tersebut adalah:459 - Artinya:Sesungguhnya orang yang beriman satu memperkokoh terhadap bagian lainnya, dan jari jermarinya berjalinan. (H.R. al Bukhori dari Abu Musa). - ( 8 / 20)675 - - - .Artinya Sesungguhnya orang yang beriman terhadap orang yang beriman lainnya ibarat bangunan bagian yang satu memperkokoh bagian yang lainnya (H. R. Muslim dari Abu Musa). (7/ 167)1851 - Artinya: sesungguhnya orang yang beriman terhadap orang yang beriman lainnya ibarat bangunan bagian yang satu memperkokoh terhadap bagian laiinya. (H.R al-Turmuzi dari Abu Musa Al-Asyari). Jika hadis-hadis tersebut dicermati, maka tiga hadis tentang persaudaraan atas dasar iman ini telah terjadi perbedaan lafaz antara sumber dari al-Bukhori dengan dua periwayat lain (Muslim dan Tirmizi). Meskipun sumber perawi berasal dari satu sumber. Perbedaan tersebut terjadi dalam riwayat al Bukhori di tambahkan lafal inna dan wa syabbaka asabiah sedang kedua riwayat lainya tidak mencantumkan kedua lafaz tersebut.Perbedaan matan tersebut masih dapat di toleransi, karena isinya tidak bertentangan dengan maksud kandungan hadis. Bahkan, matan hadist yang berbentuk tasybih ini memiliki keindahan bahasa dan uslub yang tinggi dalam bahasa Arab. Aspek susunan bahasa inilah yang oleh jumhur ulama dijadikan salah satu tanda-tanda atau kriteria hadis sohih.Salah satu sebab terjadinya perbedaan lafaz pada matan hadis yang semakna adalah karena adanya ziyadah dari periwayat jalur al Bukhori. Dalam menanggapi persoalan ziyadah ini, maka menurut ibnu sholah, ziyadah ada tiga macam yaitu:1. Ziyadah yang berasal dari periwayat yang siqoh yang isinya bertentangan dengan yang dikemukakan oleh banyak periwayat yang bersifat siqoh juga, ziyadah tersebut ditolak, dan ziyadah seperti ini termasuk hadis sadz.2. Ziyadah yang berasal dari periwayat yang siqoh yang isinya tidak bertentangan dengan yang dikemukakan oleh banyak periwayat yang bersifat siqoh juga, Ziyadah seperti ini dapat diterima. Pendapat ini merupakan kesepakatan ulama.3. Ziyadah yang berasal dari periwayat yang siqoh berupa sebuah lafaz yang mengandung arti tertentu, sedang para periwayat lainnya yang bersifat siqoh tidak mengemukakannya. Ibnu solah tidak mengemukakan penjelasan tentang bagaimana kedudukan ziadah model ketiga ini.[footnoteRef:5] [5: Ibid, hlm 61. ]

Dengan demikian dapat diketahui bahwa ziyadah dari jalur sanad al Bukhori tidak bertentangan dengan periwayat dari jalur Muslim dan al Tirmizi, bahkan kata tambahannya berupa takid.Dilihat dari kebahasaan, matan hadis Nabi: orang yang beriman terhadap orang yang beriman lainnya ibarat bangunan bagian yang satu memperkokoh bagian yang lainnya.Matan hadis tersebut mengandung ungkapan gaya bahasa tasybih tamsil jika dilihat dari segi wajah syibh-nya. Sebuah ungkapan tasybih disebut tasybih tamsil bila mana wajah syibh-nya berupa gambaran yang dirangkai dsri keadaan beberapa hal. Nabi Muhammad menyerupakan gambaran dua orang mukmin dengan sebuah bangunan yang bagian-bagiannya saling memperkuat. Jika dicermati, maka wajah syibihnya diambil dari beberapa hal, yakni adannya bagian-bagian yang saling memperkuat. Musyabah dari hadis diatas adalah gambaran dari orang mukmin dengan mukmin lainnya; musyabah bihnya adalah gambaran bangunan yang bagian-bagiannya saling memperkokoh; sedang wajah syibh-nya adalah gambaran bagian-bagian bangunan yang memperkuat dan mempererat sebuah bangunan.Tujuan dari tasybih dalam matan hadis tersebut antara lain adalah:1. Menjelaskan keadaan musyabbah karena musyabbah tidak dikenal sifatnya sebelum dijelaskan melalui tasybih. Dengan demikian, tasybih itu memberikan pengertian yang sama dengan sifat tersebut.2. Tasykhis (personifikasi) yakni penggambaran benda marti menjadi benda hidup.B. Pendekatan HistorisSuatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahawa hadis muncul dalam historis tertentu, oleh karenanya antara haadis dan sejarah memiliki hubungan sinergiss yang saling menguatkan satu sama lain . adanya kecocokan antara hadis dengan fakta sejarah akan menjadikan hadis memiliki sandaran validitas yang kokoh, demikian pula sebaliknya bila terjadi penyimpangan antara hadis dengan sejarah, maka diantara salah satu dari keduanya diragukan kebenarannya.[footnoteRef:6] [6: Suryadi, Metode Kotemporer memahami Hadiss Nabi: Persepektif Muhamad Al Ghozali dan Yusuf al Qaradhwi, (Yogyakaarta: Teras 2008). Hlm 85.]

Pendekatan historis dalam hal ini adalah suatu upaya memahami hadis dengan cara mempertimbangkan kondisi historis empiris pada saat hadis itu disampaikan Nabi SAW. Dengan kata lain pendekatan historis adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara mengkaitkan antara idea tau gagasan yang terdapat dalam hadis dengan determinasi-deaterminasi social dan situasi historis cultural yang mengitarinya.[footnoteRef:7] Pendekatan model ini sebenarnya sudah dirintis oleh para ulama hadis sejak dulu, yaitu dengan munculnya ilmu asbabul wurud, yaitu, suatu ilmu yang menerangkan sebab-sebab mengapa Nabi SAW. Menuturkan sabdanya dan waktu menuturkannya[footnoteRef:8]. Ada yang mendefinisikan bahwa asbabul wurud adalah ilmu yang berbicara mengenai peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan yang terjadi pada saat hadis tersebut disampaikan oleh Nabi. [7: Abdul Mustaqim dkk. Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami Hadis Nabi, (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga: 2008) Hlm 7.] [8: Said Agil Husin Munawwar, Asbabul Wurud (Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2001). Hlm 27.]

Dalam pendekatan historis biasanya pertanyaan yang ditekankan adalah mengapa Nabi SAW. Bersabda demikian, bagaimana kondisi historis sosio kultural masyarakat atau bahkan politik pada saat itu, serta mengamati proses terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut.[footnoteRef:9] [9: M. Alfatih Suryadilaga Metodologi Syarah Hadis................................................Hlm 69.]

Contoh AplikasiPemahaman hadis dengan menggunakan pendekatan historis dapat dapat dilihat dalam memahami hadis tentang hukum rajam. Penetapan hukum rajam hanya diberlakukan bagi pelaku zina muhsan sebagaimana yang disebutkan dalam hadis. Pelaku zina muhson itu sendiri dikelompokan menjadi dua macam yaitu dari kalangan muslim dan non muslim.Contoh hadis yang menetapkan rajam bagi pelaku zina muhsan muslim adalah: (21/ 101)6325 - [footnoteRef:10] [10: Al Bukhori, Maktabah Syamilah, Shahih Al-Bukhori Kitaab Al Hudud no 6325 ]

Adapun hadis yang menyebutkan rajam bagi pelaku zina muhson non muslim adalah: (11/ 465)3363 - [footnoteRef:11] [11: Al Bukhori, Maktabah Syamilah, Shahih AL-Bukhori kitab al Maanaqib no 3363.]

Persoalan pemberlakuan hadis tersebut muncul ketika terjadi penolakan hukum rajam tersebut dengan mengajukan argumentasi bahwa hadis yang menunjukan adanya hukum rajam tersebut terjadi sebelum turunnya aal-Quran surat al-Nur ayat 2, sehingga hadis mengnai rajam dinaskh oleh al-Quran. Polemik anatara menolak dan menerima hukum rajam inipun berlanjut sampai sekarang ini. Problem inilah yang menuntut adanya fiqh al-hadis dengan menggunakan pendekatan historis dengan melihat peristiwa pelaksanaan hukum rajam dari sisi sejarah atau pembongkaran data-data kesejarahan yang berkaitan dengan hadis tersebut.Menurut para mufaassir pada periode awal islam, sanksi przinaan adalah kurungan bagi wanita yang telah kawin dan bagi gadis di cerca, sedang bagi laki-laki dipermalukan dan dicerca di hadapan khalayak ramai.[footnoteRef:12] [12: Muhammad al-Razi, al-Tafsir al Kabir (beirut : Dar al-Fikr,1985), juz XII, Hlm. 125.]

Dengan melihat kenyataan sejarah bahwa pada masa Nabi Muhammad SAW, orang-orang islam hidup berdampingan dengan orang-orang Yaahudi, yang memiliki kitab suci dan diakui oleh umat islam. Oleh sebab itu, ketika orang-orang Yahudi melakukan pelanggaran hukum (zina), maka sangat wajar bila Nabi Muhammad mmberlakukan huku rajam bagi mereka sesuai dengan ajaran yang terdapat dalam kitab sucinya, kitab taurat. Selanjutnya akan muncul pertanyaan: bagaimana pelaksanaaan hukum rajam tersebut bagi orang-orang islam? Jawabanya adalah bahwa hukum-hukum yang ada dalam kitab suci terdahulu itu memang masih diberlakukan kepada umat islam sepanjang tidak di ubah dan tidak diganti dengan ketentuan hukum baru, sehingga dalam kasus pelaksanaan hukum rajam, apakah kasus pelaksanaan hukum rajam bagi orang-orang islam dilaksanakan sebelum atau sesudah turunnya hukum bagi pezina yang tertuang dalam surat al-Nur ayat 2.[footnoteRef:13] [13: Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan). (Yogyakarta: CESAD YPI Al Rahmah, 2001).hlm 77.]

Sejauh tinjauan dari aspek kesejarahan dalam kitab-kitab hadis dan asbabul wurud, tidak ditemukan secara pasti tentang kapan pelaksanaan hukum rajam tersebut, terutama terhadap orang islam. Sedangkan dalam riwayat Bukhori sendiri tidak ditemukan kepastian waktu pelaksaan. Bahkan hadis tersbut memperkuat ketidaktahuannya waktu pelaksanaanya secara pasti. Hadis sesuai dengan laafaz Imam Al Bukhori adalah: (21/ 120)6335 - [footnoteRef:14] [14: Al Bukhori, Maktabah Syamilah, Shahih Al-Bukhori]

Hadis ini dengan jelas menunjukan bahwa waktu pelaksanaan hukum rajam yang diberikan pada zaman Nabi terhadap orang islam tidak diketahui.Dari kenyataan sejarah ini jelas dapat dipahami mengapa Nabi Muhammad melaksanakan hukum yang ada dalam kitab Taurat terhadap orang Yahudi dan juga orang Islam. Namun setelah aayat tentang hukum bagi pezina telah diturunkan , maka nabi tidak lagi menghukum rajam terhadap orang islam. Hal ini dikarenakan bagi mereka yang berzina (baik laki-laki atau perempuan, muhsan aatu ghairu muhsan ) hukumannya adalah deraan seratus kali.[footnoteRef:15] [15: Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan)..........................hlm 78.]

Dengan pemahaman historis yang didukung pemahaman korelasional dengan ayat al- Quraan dan hadis-hadis lain dapat diperoleh kesimpulan bahwa meskipun hadis rajam sahih dan pelaksaan hukumnya pernah diterapkan Nabi, tetapi melalui telaah historis, hadis tersebut telah di mansukh oleh al-Quran surah An-nur ayat2, sehingga hadis ini tidahk bisa diberlakukan karena termasuk hadis ghair mamul bih

C. Pendekatan SosiologisSosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaannya, keyakinan yang member sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam setiap persekutuan hidup manusia.Dari beberapa peryataan diatas terlihat bahwa sosiologi adalah Ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang paling berkaitan. Dengan ilmu ini fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama dan hadis. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama dan hadis yang baru dapat dipahami secara proporsial dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosiologi. Pendekatan sosiologis dimaksudkan agar orang yang akan memaknai dan memahami hadis itu memperhatikan keadaan masyarakat setempat secara umum. Kondisi masyarakat pada saat munculnya hadis boleh jadi sangat mempengaruhi munculnya suatu hadis. Jadi keterkaitan antara hadis dengan situasi dan kondisi masyarakat pada saat itu tidak dapat dipisahkan. Karena itu dalam memahami hadis kondisi masyarakat harus dipertimbangkan agar pemaknaan tersebut tidak salah.[footnoteRef:16] [16: Agil Husain Al-Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud : Studi Kritis Atas Hadis Nabi, Pendekatan Sosio, Historis, Kontekstual (Cet.1 ; Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), h.24-25.]

Pendekatan sosiologis terhadap suatu hadist merupakan usaha untuk memahami hadist dari aspek tingkah laku sosial masyarakat pada saat itu.[footnoteRef:17] Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa pendekatan sosiologis terhadap hadist adalah mencari uraian dan alasan tentang posisi masyarakat sosial yang berhubungan dengan ketentuan-ketentuan dalam hadist. Penguasaan konsep-konsep sosiologi dapat memberikan kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap efektifitas hadist dalam masyarakat, sebagai sarana untuk merubah masyarakat agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu yang lebih baik.[footnoteRef:18] [17: Abdul Mustaqim, Ilmu Maanil Hadist (Paradigma Interkoneksi). (Yogyakarta: Idea Press, 2009), hal. 62] [18: Ibid. Hlm 63]

Contoh penerapan [footnoteRef:19] [19: http://173.193.234.99/~daawa/islam/moslim_2/moslim/alhaj.php?alhaj=74 ]

Hadis di atas mempunyai sebab-sebab yang pada saat itu tidak bisa dipisahkan dalam memaknainya, apabila memaknai sebuah hadis dan meninggalkan sejarah turunnya hadis dapat dipastikan akan berujung pada makna yang kurang tepat bahkan keliru. Dalam hal ini metode pendekatan sosiologis sangatlah diperlukan, agar dapat di ketahui apa yang di maksud dari hadis tersebut, paling tidak mendekati kebenaran. Jika kita lihat kondisi historis dan sosiologis masyarakat saat ini, sangatlah mungkin larangan itu di latar belakangi terhadap kaum perempuan.Kalau kita perhatikan pada hadis di atas kita kan temukan makna yang tersirat pada larangan tersebut bahwa Rasullah saw sebenarnya menghendaki keamanan pada kaum perempuan pada saat bersafar. Mengingat pada masa itu dimana orang yang hendak bepergian ia menggunakan kendaraan seperti onta, keledai dll, tentu sangatlah berbeda dengan keadaan sekarang yang mana sarana transportasi sungguh lebih modern.Namun ada beberapa pendapat yang berkenaan dengan hadis di atas sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Abu Hanifah dan didukung oleh mayoritas ulama hadis adalah wajib hukumnya yang hendak haji, harus disertai marom atau suami, namun menurut Imam SyafiI tidak wajib ia hanya keamanan saja, keamanan bisa diperolah oleh adanya mahrom atau suami perempuan-perempuan lain yang dapat dipercaya.[footnoteRef:20] [20: Abdul Muttaqin, Pradigma Interkoneksi Dalam Memahami Hadis Nabi: Pendekatan Historis, Sosiologis Dan Antropologis, Yogyakarta: Jurnal Study Ilmu-Ilmu Al-Qur;An Dan Al-Hadis, 2008.H 94]

D. Pendekatan Sosio-HistorisPemahaman hadis dengan pendekatan sosio-historis adalah memahami hadis-hadis dengan melihat sejarah sosial dan setting sosial pada saat dan menjelang hadis tersebut diriwayatkan. Pendekatan sosio-historis ini dapat diterapkan, misalnya dalam memahami hadis tentang larangan perempuan menjadi pemimpin. Bunyi matan hadis tersebut adalah sebagai berikut: ( )Jumhur ulama memahami hadis kepemimpinan politik perempuan secara tektual. Mereka berpendapat bahwa berdasarkan petunjuk hadis tersebut pengangkatan perempuan menjadi kepala negara, hakim pengadilan dan berbagai jabatan politik lainnya, dilarang dalam agama. Selanjutnya mereka menyatakan bahwa perempuan menurut petunjuk syara hanya diberi tanggung jawab untuk menjaga harta suaminya. Demikian pula al-Syaukani dalam menafsirkan hadis tersebut berkata bahwa perempuan itu tidak termasuk ahli dalam hal kepemimpinan, sehingga tidak boleh menjadi kepala negara. Dalam memahami hadis tersebut, perlu dicermati terlebih dahulu keadaan yang sedang berkembang pada saat hadis itu disabdakanatau harus dilihat latar belakang munculnya hadis (aspek historitas), disamping setting sosial pada saat itu. Oleh karena itu dalam memahami dan mengkaji hadis ini mutlak diperlukan informasi yang memadahi mengenai latar belakang kejadiannya (sisi historis).Sebenarnya jauh sebelum hadis tersebut muncul, yakni pada masa awal dakwah Islamiah dilakukan oleh Nabi ke beberapa daerah dan negeri. Pada saat itu nabi pernah mengirim surat kepada pembesar negeri lain dengan maksud mengajak mereka untuk memeluk islam. Diantara pembesar yang dikirimi surat oleh nabi adalah Kisra Persia. Kisah pengiriman surat tersebut dijelaskan sebagai berikut:Rasulullah telah mengutus Abdullah Ibnu Hudaifah al-Syami untuk mengirimkan surat tersebut kepada pembesar Bahrain. Setelah tugas dilakukan sesuai dengan pesan dan diterima oleh pembesar Bahrain, kemudian pembesar Bahrain tersebut memberikan surat kepada Kisra. Setelah membaca surat dari nabi Muhammad, Kisra menolak dan bahkan merobek-robek surat nabi. Menurut riwayat Ibn al-Musyayyab setelah peristiwa tersebut sampai kepada Rasulullah, kemudian rasulullah bersabda: siapa saja yang telah merobek-robek surat saya, akan dirobek-robek (diri dan kerajaan) orang itu. Tidak lama kemudian, kerajaan persia dilanda kekacauan dan berbagai pembunuhan yang dilakukan oleh keluarga dekat raja. Hingga pada akhirnya, diangkatlah seorang perempuan yang bernama Buwaran Binti Syairawih bin Kisra (cucu Kisra yangpernah dikirimi surat nabi) sebagai ratu (Kisra) di Persia, setelah terjadi pembunuhan-pembunuhan dalam rangka suksesi kepemimpinan. Hal tersebut karena ayah Buwaran meninggal dunia dan anak laki-lakinya telah mati terbunuh tatkala melakukan perebutan kekuasaan, karenanya Buwaran dinobatkan menjadi Ratu. Peristiwa tersebut terekam dalam sejarah terjadi pada tahun 9 H. Selain itu dari sisi sejarah sosial bangsa tersebut dapat dikuak bahwa menurut tradisi masyarakat yang berlangsung di Persia sebelum itu, jabatan kepala negara dipegang oleh kaum laki-laki. Sedang yang terjadi pada tahun 9 hijriyah tersebut menyalahi tradisi itu, sebab yang diangkat sebagai raja bukan laki-laki lagi, melainkan perempuan. Pada waktu itu derajat kaum perempuan dimata masyarakat berada dibawah derajat kaum laki-laki. Pendekatan sosio-historis diatas didukung juga oleh pencarian petunjuk hadis dengan mengaitkan pada kapasitas Nabi saat menyabdakan hadis, apakah sebagai seorang rosul, kepada negara, panglima perang, hakim, tokoh masyarakat atau seorang pribadi manusia biasa, merupakan suatu yang sangat penting sebagaimana yang dikatakan oleh Mahmud Syaltut: mengetahui hal-hal yang dilakukan oleh Nabi dengan mengaitkan pada fungsi Nabi ketika hal itu dilakukan, sangat besar manfaatnya.[footnoteRef:21] [21: Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekata ), )Yogyakarta : CESad YPI Al-Rahmah, 2001), Hlm. 92-96]

Dengan demikian dapat dipahami bahwa melalui pendekatan sosio-historis dalam memahami hadis tersebut dapat diperoleh kesimpulan bahwa hadis larangan perempuan menjadi pemimpin merupakan pernyataan Nabi dalam merespon berita pengangkatan putri Kisra sebagai pemimpin Persia tersolut yang tidak terkait dengan wacana persyaratan syari bagi seorang pemimpin, namun hanya merupakan informasi mengenai pendapat pribadi Nabi yang memberi peluang adanya dua kemungkinan. Pertama, boleh jadi sabda Nabi tersebut merupakan doa agar pemimpin negeri Persia itu tidak sukses dan jaya. Kedua, boleh jadi hal tersebut merupakan pendapat pribadi Nabi yang didasarkan pada fakta realitas histori yang pada saat itu tidak memungkinkan bagi seorang perempuan untuk memimpin negara, karena tidak memperoleh legitimasi dari masyarakat dan tidak berwibawa jika dipercaya menjadi pemimpin mereka. Oleh karena itu tidak ada larangan bagi seorang perempuan untuk menjadi pemimpin bila kondisi sosial berbeda dengan kondisi pada saat hadis tersebut muncul. Jika keadaan perempuan sudah dihormati dan mempunyai kewibawaan serta memiliki kualifikasi, maka memaksakan pemahaman hadis secara tekstual merupakan tindakan yang kurang bijaksana.[footnoteRef:22] [22: Ibid.,Hlm. 102-103 ]

E. Pendekatan AntropologisPemahaman hadis dengan pendekatan antropologis adalah memahami hadis dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, tradisi dan budaya yang berkembang dalam masyarakat pada saat hadis tersebut disabdakan. Pengertian Antropologi menurut bebrbagai ahli dan fakar didalamnya sendiri sebagai berikut: Wiliam A. Havilan mengatakan Antropologi adalah studi tentang umat manusia berusaha menyusun generalisasi yng bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia. David Huter: anropologi adalah imu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia. Dari definisi tersebut, dapat disusun pengertian sederhana antropologi yaitu sebuah ilmu mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan yang dihasilkan setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Atropologi adalah salah satu disiplin ilmu dri cabang ilmu pengetahuan sosial yang memfokuskan kajiannya kepada manusia. Secara umum, objek kajian antropologi dapat dibagi menjadi dua bidang, antropologi fisik yang mengkaji makhluk manusia sebagai organisme biologis, dan antropologi budaya. Objek dari antropologi adalah manusia didalam masyarakat suku bangsa, kebudayaan dan perilakunya. Ilmu pengetahuan antropologi memiliki tujuan untuk mempelajari manusia dalam bermasyarakat suku bangsa, berperilaku dan kebudayaan untuk membangun masyarakat itu sendiri. Jika budaya tersebut dikaitkan dengan agama, maka agama yang dipelajari adalah agama sebagai sebuah fenomena budaya, bukan ajaran agama yang datang dengan perantara seoang Rasul dan sebagainya. Antropologi tidak membahas salah benarnya suatu agama, seperti kepercayaan, ritual dan kepercayaan kepada yang sacral. Wilayah antropologi hanya terbatas pada kajian terhadap enomena yang muncul.[footnoteRef:23] [23: M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis, (yogyakarta: Suka-Press UIN Sunan Kalijaga, 2012), Hlm. 87-89 ]

Pendekatan antropologis memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu pada tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan masyarakat manusia. Kontribusi pendekatan antropologis adalah ingin membuat uraian yang meyakinkan tentang apa sesungguhnya yang terjadi dengan manusia dalam berbagai situasi hidup dalam kaitan waktu dan ruang. Dengan pendekatan tersebut diharapkan seorang pembaca hadis akan memperoleh suatu pemahaman kontekstual progresif, dan apresiatif terhadap perubahan masyarakat yang merupakan implikasi dari adanya perkembangan dan kemajuan sains-teknologi.[footnoteRef:24] [24: Abdul Mustaqim, Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami Hadis (yogyakarta: Sukses Offset, 2008) ]

Pemahaman hadis dengan antropologis bahkan sudah diterapkan Nabi SAW. Suatu ketika seorang Arab badui datang mengaku kepada Nabi perihal istrinya yang melahirkan anak berkulit berbeda dengan kulitnya. Ia mencurigai istrinya tidak jujur karena kulitnya berwarna kuning sedangkan kulit anaknya berwarna hitam. Untuk menanggapi orang tersebut memakai logika dengan bertanya apakah orang itu memiliki unta. Orang tersebut lalu menjawab bahwa dia mempunyai unta yang berwarna kecoklat-coklatan. Rosulullah bertanya: kira-kira apakah untamu itu mempunyai nenek moyang yang warnanya hitam? maka orang itu menjawab: saya kira punya. Maka rasulullah menyahut: jangan-jangan nenek moyang anakmu juga ada yang kulitnya berwarna hitam, tidak kuning sepertimu. Maka orang itu lalu berkata: betul juga ya rasullullah, kalau begitu dia anak saya. Pendekatan yang digunakan oleh Nabi dalam kasus ini adalah pendekatan antropologis. Hadis tersebut berbunyi: .. ( ) Jika rasulullah memberi contoh pemahaman dengan menggunakan pendekatan antropologi, maka sudah tentu dalam memahami hadis beliau juga diperlukan pendekatan serupa.[footnoteRef:25] Hadis yang lain yang dipahami dengan pendekatan antropologis adalah hadis yang berbunyi: [25: Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekata ), )Yogyakarta : CESad YPI Al-Rahmah, 2001), Hlm. 103-104]

.. ( ) Dari jabir berkata: rasulullah SAW bersabda: matikanlah lampu-lampu pada waktu malam ketika kamu sekalian hendak tidur, kuncilah pintu-pintu, ikatilah tempat-tempat air minum (yang terbuat dari kulit), dan tutupilah makanan dan minuman. Pada masa Nabi secara anstropologis, alat penerang waktu malam adalah lampu minyak. Apabila lampu tidak dimatikan tatkala hendak tidur, maka mungkin akan terjadi kebakaran. Penyebabnya mungkin karena lampu minyak itu disentuh oleh binatang misalnya tikus atau karena hembusan angin. Untuk keamanan bersama dan untuk penghematan, maka penghuni rumah perlu mematikan lampu-lampu terdahulu sebelum tidur. Pada zaman sekarang, banyak rumah yang menggunakan lampu listrik. Dengan demikian, keamanan lebih terjamin walaupun lampu dinyalakan tatkala penghuninya sedang tidur. Dengan fasilitas lampu seperti ini, maka tidak ada salahya sekiranya lampu tetap menyala walaupun penghuni rumah sudah tidur.[footnoteRef:26] [26: Ibid.,Hlm. 106-107]

F. Pendekatan Psikologis Yang dimaksud dalam pendekatan psikologis dalam pemahaman hadis adalah memahami hadis dengan memperhatikan kondisi psikologis Nabi SAW dan masyarakat yang dihadapi Nabi ketika hadis tersebut disabdakan.Hadis-hadis Nabi adakalanya disabdakan sebagai respon terhadap pertanyaan dan perilaku sahabat. Oleh karenanya dalam keadaan tertentu Nabi memperhatikan faktor psikologi sahabat ketika hendak mengucapkan sebuah hadis. Dengan melihat dua kondisi psikologis (Nabi dan Sahabat) ini akan mementukan pemahaman yang utuh terhadap hadis tersebut. Salah satu contoh adalah hadis tentang amalan yang utama. Ternyata hadis yang menyatakan amalan yang utama berjumlah banyak dan sangat variatif. Hadis-hadis tersebut adalah: ( ) mereka (para sahabat Nabi) bertanya: ya Rasulallah amalan islam yang manakah yang lebih utama? beliau menjawab (yaitu) orang yang kaum muslimin selamat dari gangguan mulutnya dan tangannya ( bahwa Rasulullah SAW ditanya oleh seseorang: amal apakah yang paling utama?beliau menjawab beriman kepada Allah dan Rasulnya(Beliau) ditanya lagi: kemudian apalagi? beliau menjawab: Jihad dijalan Allah (Beliau) ditanya lagi: kemudian apalagi? beliau menjawab: Haji mabrur.Hanya satu pertanyaan yang ditanyakan oleh sahabat yang berbeda, ternyata jawaban Nabi berbeda - beda atau bermacam-macam: pada suatu saat Nabi menyatakan Man salima Al-Muslimun min lisanihi wayadihi dan pada saat yang lain Nabi menjawab, As-sholatu ala waqtiha dan pada saat yang lain menjawab: Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.Perbedaan materi jawaban tersebut sesungguhnya bertolak dari kondisi psikologis orang yang bertanya kondisi psikologis Nabi. Jawaban yang diberikan Nabi sangat memperhatikan kondisi kejiwaan yang bertanya. Oleh karnanya, jawaban itu sebenarnya sesuai dengan kondisi keadaan psikologis sang penanya. Pada saat penanya adalah orang yang sering berbuat bohon dan lainnya, maka Nabi dalam kapasitas sebagai Rasul ingin membimbing dan menasehatinya agar ia menjada mulut dan tangannya. Pada waktu sang penanya adalah orang yang sibuk terus mengurus dunia, ketika waktu shalat telah tiba, ia tidak berhenti dari pekerjaan, maka amal yang paling utama bagi penanya ini menurut Nabi adalah shalat pada waktunya. Dengan demikian, dalam memahami hadis tersebut, jawaban tidaklah bersifat substantif. Yang subtantif ada dua kemungkinan yakni:a. Relevansinya antara keadaan yang bertanya dan materi jawaban yang diberikan.b. Relevansi antara keadaan kelompok masyarakat tertentu dengan materi jawaban yang diberikan. Kemungkinan yang kedua mempertimbangkan bahwa jawaban Nabi itu merupakan petunjuk umum bagi kelompok masyarakat yang dalam kesehariannya mereka menunjukkan gejala yang perlu diberikan bimbingan dengan menekan perlunya dilaksanakan amalan-amalan tertentu. Orang yang bertanya sekedar berfungsi sebagai wakil dari keinginan untuk memberikan bimbingan kepada kelompok masyarakat tertentu. Orang yang bertanya sekedar berfungsi sebagai wakil dari keinginan untuk memberikan bimbingan kepada kelompok masyarkat tertentu. Oleh sebab itu hadis-hadis tersebut bersifat kondisional dalam pengertian sesuai dengan kondisi psikologis seseorang. Jika seseorang memiliki kebiasaan yang tidak baik dalam memelihara mulut, maka amal baginya adalah menjaga mulut dan tangannya. Namun, bila seseorang memiliki kebiasaan menunda-nunda shalat maka yang terbaik baginya adalah shalat pada waktunya atau bahkan mementingkan pekerjaan ketimbang shalat, maka yang terbaik baginya adalah shalat pada waktunya. Demikian seterusnya. Perlu disebutkan bahwa beberapa pendekatan dalam memahami hadis tersebut tidak bisa diterapkan dalam seluruh hadis Nabi, tetapi dalam melihat aspek-aspek diluar teks hadis seperti As-bab al-Wurud. Kondisi social keagamaan yang berkembang pada saat hadis disabdakan tentu akan dapat diketahui pendekatan mana yang lebih tepat untuk dipakai dalam memahami hadis tersebut.[footnoteRef:27] [27: Ibid.,Hlm. 108-112 ]

BAB IIIKESIMPULANA. Pendekatan bahasa Penelitian hadis dengan menggunakan pendekatan bahasa ini dapat digunakan untuk meneliti makna hadis, meneliti nilai sebuah hadis apabila terdapat perbedaan lafad dalam matan hadis. Pendekatan bahasa dalam memahami hadis dilakukan apabila dalam sebuah matan hadis terdapat aspek-aspek keindahan bahasa (Balaghoh) yang memungkinkan mengandung pengertian majazi (metaforis) sehingga berbeda dengan pengertian haqiqiAdapun tujuan dari memahami hadis melalui pendekatan bahasa adalah:1. Peneliti dapat mengetahui dan memahami makna dari lafad-lafad hadis yang ghorib dan juga mengetahui illat serta syadz.2. Memahami dan mengetahui makna dan tujuan hadis Nabi muhamad Saw. contoh 3. Mengkorfirmasi pengertian kata-kata hadis.B. Pendekatan Historis Pendekatan historis dalam hal ini adalah suatu upaya memahami hadis dengan cara mempertimbangkan kondisi historis empiris pada saat hadis itu disampaikan Nabi SAW. Dengan kata lain pendekatan historis adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara mengkaitkan antara idea tau gagasan yang terdapat dalam hadis dengan determinasi-deaterminasi social dan situasi historis cultural yang mengitarinya. Pendekatan model ini sebenarnya sudah dirintis oleh para ulama hadis sejak dulu, yaitu dengan munculnya ilmu asbabul wurud, yaitu, suatu ilmu yang menerangkan sebab-sebab mengapa Nabi SAW. Menuturkan sabdanya dan waktu menuturkannya. Ada yang mendefinisikan bahwa asbabul wurud adalah ilmu yang berbicara mengenai peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan yang terjadi pada saat hadis tersebut disampaikan oleh Nabi. Dalam pendekatan historis biasanya pertanyaan yang ditekankan adalah mengapa Nabi SAW. Bersabda demikian, bagaimana kondisi historis sosio kultural masyarakat atau bahkan politik pada saat itu, serta mengamati proses terjadinya peristiwa-peristiwa tersebutC. Pendekatan SosiologisSosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaannya, keyakinan yang member sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam setiap persekutuan hidup manusia.Dari beberapa peryataan diatas terlihat bahwa sosiologi adalah Ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang paling berkaitan. Dengan ilmu ini fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.Pendekatan sosiologis dimaksudkan agar orang yang akan memaknai dan memahami hadis itu memperhatikan keadaan masyarakat setempat secara umum. Kondisi masyarakat pada saat munculnya hadis boleh jadi sangat mempengaruhi munculnya suatu hadis. Jadi keterkaitan antara hadis dengan situasi dan kondisi masyarakat pada saat itu tidak dapat dipisahkan. Karena itu dalam memahami hadis kondisi masyarakat harus dipertimbangkan agar pemaknaan tersebut tidak salah.D. Pendekatan Sosio-HistorisPemahaman hadis dengan pendekatan sosio-historis adalah memahami hadis-hadis dengan melihat sejarah sosial dan setting sosial pada saat dan menjelang hadis tersebut diriwayatkan. Dalam memahami hadis tersebut, perlu dicermati terlebih dahulu keadaan yang sedang berkembang pada saat hadis itu disabdakanatau harus dilihat latar belakang munculnya hadis (aspek historitas), disamping setting sosial pada saat itu. Oleh karena itu dalam memahami dan mengkaji hadis ini mutlak diperlukan informasi yang memadahi mengenai latar belakang kejadiannya (sisi historis).E. Pendekatan AntropologisPemahaman hadis dengan pendekatan antropologis adalah memahami hadis dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, tradisi dan budaya yang berkembang dalam masyarakat pada saat hadis tersebut disabdakan. Pendekatan antropologis memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu pada tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan masyarakat manusia. Kontribusi pendekatan antropologis adalah ingin membuat uraian yang meyakinkan tentang apa sesungguhnya yang terjadi dengan manusia dalam berbagai situasi hidup dalam kaitan waktu dan ruangF. Pendekatan Psikologis Yang dimaksud dalam pendekatan psikologis dalam pemahaman hadis adalah memahami hadis dengan memperhatikan kondisi psikologis Nabi SAW dan masyarakat yang dihadapi Nabi ketika hadis tersebut disabdakan.Hadis-hadis Nabi adakalanya disabdakan sebagai respon terhadap pertanyaan dan perilaku sahabat. Oleh karenanya dalam keadaan tertentu Nabi memperhatikan faktor psikologi sahabat ketika hendak mengucapkan sebuah hadis. Dengan melihat dua kondisi psikologis (Nabi dan Sahabat) ini akan mementukan pemahaman yang utuh terhadap hadis tersebut.

DAFTAR PUSTAKA Suryadi, 2008, Metode Kotemporer Memahami Hadis Nabi: Persepektif Muhamad Al Ghozali dan Yusuf al Qaradhwi,Yogyakarta: Teras Ali Nizar, 2001, Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan) Yogyakarta: CESAD YPI Al Rahmah.Suryadilaga Alfatih, 2012, Metodologi Syarah Hadis, Yogyaakarta: SUKA Pres UIN Sunan Kalijaga.Abdul Mustaqim dkk.,2008, Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami Hadis Nabi, Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga,Said Agil Husin Munawwar, 2001, Asbabul Wurud (Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual), Yogyakarta: Pustaka Pelajar Al Bukhori, Maktabah Syamilah, Shahih Al-Bukhori Kitaab Al Hudud no 6325 Al Bukhori, Maktabah Syamilah, Shahih AL-Bukhori kitab al Maanaqib no 3363.Muhammad al-Razi,1985, al-Tafsir al Kabir beirut : Dar al-Fikr, juz XII. Al Bukhori, Maktabah Syamilah, Shahih Al-BukhoriAgil Husain Al-Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud, 2001, Studi Kritis Atas Hadis Nabi, Pendekatan Sosio, Historis, Kontekstual, Cet.1 Yogyakarta : Pustaka PelajarAbdul Mustaqim, 2009, Ilmu Maanil Hadist (Paradigma Interkoneksi) Yogyakarta: Idea Press.http://173.193.234.99/~daawa/islam/moslim_2/moslim/alhaj.php?alhaj=74 Abdul Muttaqin, 2008, Pradigma Interkoneksi Dalam Memahami Hadis Nabi: Pendekatan Historis, Sosiologis Dan Antropologis, Yogyakarta: Jurnal Study Ilmu-Ilmu Al-Qur;An Dan Al-Hadis. M. Alfatih Suryadilaga, 2012, Metodologi Syarah Hadis, yogyakarta: Suka-Press UIN Sunan Kalijaga.

23 Pendekatan Dalam Memahami Hadis