Upload
atma-nuvi-toend-toend
View
61
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
makalah yang berisi mengenai penggunaan metode belajar tanya jawab dalam kegiatan pembelajaran.
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masa remaja dipandang sebagai periode perkembangan yang menentukan,
karena di dalamnya terdapat proses transisi dari masa kanak-kanak menuju masa
dewasa. Remaja pada masa ini mengalami perubahan pada sejumlah aspek
perkembangan, salah satunya adalah aspek moral (Hurlock 1980). Pada masa
remaja mores atau moral merupakan suatu hal yang penting sebagai pedoman atau
petunjuk bagi remaja dalam rangka mencari jalannya sendiri menuju ke
kepribadian yang matang dan menghindarkan diri dari konflik-konflik peran yang
selalu terjadi pada masa remaja (Sarwono, 2010).
B. RUMUSAN MASALAH
Beradasarkan latar belakang tersebut, maka masalah yang akan dibahas
antara lain :
1. Apakah yang dimaksud dengan metode belajar ?
2. Bagaimanakah metode belajar diskusi atau tanya jawab ?
3. Bagaimana teknik dalam menggunakan metode belajar tanya jawab ?
4. Apa kelebihan serta kekurangan metode belajar tanya jawab?
C. TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari makalah ini antara
lain:
1. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan metode belajar
2. Menjelaskan metode belajar tanya jawab
3. Menjelaskan teknik dalam menggunakan metode belajar tanya jawab
4. Menjelaskan kelebihan serta kekurangan metode belajar tanya jawab
2
D. MANFAAT
Berdasarkan tujuan di atas adapun manfaat makalah ini sebagai berikut:
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan metode belajar
2. Mengetahui metode belajar tanya jawab
3. Mengetahui teknik dalam menggunakan metode belajar tanya jawab
4. Mengetahui kelebihan serta kekurangan metode belajar tanya jawa
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian moral
Kata Moral berasal dari kata latin “mos” yang berarti kebiasaan. Kata
mos jika akan dijadikan kata keterangan atau kata sifat lalu mendapat
perubahan dan belakangannnya, sehingga membiasakan menjadi “morris”
kepada kebiasaan moral dan lain-lain dan moral adalah kata nama sifat dari
kebiasaan moral dan lain-lain, dan moral adalah kata nama sifat dari
kebiasaan itu, yang semula berbunyi moralis. Kata sifat tidak akan berdiri
sendiri dalam kehidupan sehari-hari selalu dihubungkan dengan barang
lain. Begitu pula kata moralis dalam dunia ilmu lalu dihubungkan dengan
scientia dan berbunyi scientis moralis, atau philosophia moralis. Karena
biasanya orag-orang telah mengetahui bahwa pemakaian selalu berhubungan
deangan kata-kata yang mempunyai arti ilmu. Maka untuk mudahnya
disingkat jadi moral.
Moral dapat didefinisikan dengan berbagai cara, Menurut Rogers dan
Baron (dalam Martani, 1995). Moral merupakan suatu standar salah atau
benar bagi seseorang. Hal yang hampir sama dikemukakan oleh oleh Hasan
(2006) bahwa secara umum moral dapat dikatakan sebagai kapasitas untuk
membedakan yang benar dan yang salah, bertindak atas perbedaan tersebut,
dan mendapatkan penghargaan diri ketika melakukan yang benar dan merasa
bersalah atau malu ketika melanggar standar tersebut.
4
Kohlberg (1995) menyatakan bahwa moral adalah bagian dari penalaran,
dan ia pun menamakannya dengan istilah penalaran moral (moral reasoning).
Penalaran moral merefleksikan kemampuan seseorang untuk berpikir
mengenai isu-isu moral dalam situasi kompleks (Rest dalam Kaplan, 2006).
Penalaran moral bukan berkenaan dengan jawaban atas pertanyaan ”apa
yang baik dan buruk” melainkan terkait dengan jawaban atas pertanyaan
mengapa dan bagaimana seseorang sampai pada keputusan bahwa sesuatu
dianggap baik dan buruk (Sarwono, 2010). Penalaran moral berkembang
melalui tahapan tertentu. Tahapan moral ini merupakan salah satu faktor
yang ikut menentukan perilaku moral seseorang (Kohlberg dalam Martani,
1995).
B. Karakteristik moral remaja
Salah satu, tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja adalah
mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok daripadanya dan kemudian
bersedia membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial /
masyarakat tanpa terus dimbimbing, diawasi, didorong, dan diancam
hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak. Remaja diharapkan
mengganti konsep-konsep moral yang berhubungan dan merumuskannya ke
dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya.
Michael meringkaskan lima perubahan daasar dalam moral yang harus
dilakukan oleh remaja ( Hurlock alih bahasa Istiwidayanti dan kawan-kawan,
1980 : 225 ) sebagai berikut :
1. Pandangan moral individu makin menjadi lebih abstrak.
2. Keyakinan moral lebih terpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa
yang salah. Kejadian muncul sebagai kekuatan moral yang dominan.
3. Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Hal ini mendorong remaja lebih
mengambil keputusan terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
4. Penilaian moral menjadi kurang egosentris.
5
5. Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa
penilaian moral merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan
emosi
Menurut Furter (1965) (dalam Monks, 1984 : 252), kehidupan moral merupakan
probelamatik yang pokok dalam masa remaja. Maka perlu kiranya untuk meninjau
perkembangan moralitas ini mulai dari waktu anak dilahirkan, untuk dapat
memahami mengapa justru pada masa remaja hal tersebut menduduki tempat yang
sangat penting.
Dari hasil penyelidikan-penyelidikannya, Kohlberg mengemukakan enam
tahap ( stadium ) perkembangan moral yang berlaku secara universal dan dalam
urutan tertentu. Ada tiga tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg, yaitu
tingkat :
I. Prakonvensional
II. Konvensional
III. Post-konvensional
Masing-masing tingkat terdiri dari dua tahap sehingga keseluruhan ada enem
tahapan (stadium) yang berkembang secara bertingkat dengan urutan yang tetap.
Tidak setiap orang mencapai tahap terakhir perkembangan moral.
Dalam stadium nol, anak-anak menganggap baik apa yang sesuai dengan
permintaan dan keinginannya. Sesudah stadium ini datanglah :
Tingkat I; parkonvensional, yang terdiri dari stadium 1 dan 2
Pada stadium 1, anak berorientasi kepada kepatuhan dan hukuman. Anak
menganggap baik atau buruk atas dasar akibat yang ditimbulkannya. Anak hanya
mengetahui bahwa aturan-aturan ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidka
bisa diganggu gugat. Ia harus menurut atau kalau tidak, akan memperoleh
hukuman.
Pada stadium 2, berlaku prinsip Relativistik-Hedonism. Pada tahap ini, anak tidak
lagi secara mutlak tergantung kepada aturan yang ada diluar dirinya, atau
6
ditentukan oleh orang lain, tetapi mereka sadar bahwa setiap kejadian mempunyai
beberapa segi. Jadi, ada relativisme. Relativisme ini aratinya bergantung pada
kebutuhan dan kesanggupan seseorang (Hedonistik). Misalnya mencuri ayam
karena kelaparan. Karena perbuatan “mencuri” untuk memenuhi keburuhannya
(lapar), maka mencuri dianggap sebagai perbuatan yang bermoral, meskipun
perbuatan mencuri itu sendiri diketahui sebgai perbuatan yang salah karena ada
akibatnya, yatu hukuman.
Tingkat II; Konvensional
Stadium 3, menyangkut orientasi mengenai anak yang baik. Pada stadium ini,
anak mulai memasuki umur belasan tahun, dimana anak memperlihatakan
orientasi perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik atau tidak baik oleh orang
lain. Masyarakat adalah sumber yang menentukan, apakah perbuatan seseorang
baik atau tidak. Menjadi “anak yang manis” masih sangat penting dalam stadium
ini.
Staduim 4, yaitu tahap mempertahankan norma-norma sosial dan otoritas. Pada
stadium ini perbuatan baik yang diperlihatkan seseorang bukan hanya agar dapat
diterima oleh lingkungan masyarakatnya, melainkan agar dapat ikut
mempertahankan aturan-aturan atau norma-norma sosial. Jadi perbuatan baik
merupakan kewajiban untuk ikut melaksanakan aturan-aturan yang ada, agar tidak
timbul kekacauan.
Tingkat III; pasca konvensional
Stadium 5, merupakan tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan
lingkungan sosial. Pada stadium ini ada hubungan timbal balik antara dirinya
dengan lingkungan sosial, dengan masyrakat. Seseorang harus memperlihatkan
kewajibannya, harus sesuai dengan tuntutan norma-norma sosial karena
sebaliknya, lingkungan sosial atau masyarakat akan memberikan perlindungan
kepadanya.
7
Originalitas remaja juga tampak dalam hal ini. Pertama, remaja masih mau diatur
secara ketat oleh hukum-hukum umum yang lebih tinggi. Meskipun disini kata
hati sudah mulai berbicara, namun penilaian-penilaiannya masih belum timbul
dari kata hati yang sudah betul-betul diinternalisasi, yang sering kala tampak
dalam sikap yang kaku.
Stadium 6, tahap ini disebut Prinsip universal. Pada tahap ini ada norma etik
disamping norma pribadi dan subjektif. Dalam hubungan dengan perjanjian antara
seseorang dengan masyrakatnya ada unsur-unsur sujektif yang menilai apakah
sutau perbuatan itu baik atau tidah baik. Subjektivitisme ini berarti ada perbedaan
penilaian antara seseorang dengan orang lain. Dalam hal ini, unsur etika akan
menentukan apa yang boleh dan baik dilakukan atau sebaliknya. Remaja
mengadakan penginternalisasian moral yaitu remaja melakukan tingkah laku-
tingkah laku moral yang dikemudikan oleh tanggung jawab batin sendiri. Tingkat
perkembangn moral pasca konvensional harus dicapai selama masa remaja.
Menurut Furter (1965), menjadi remaja berarti mengerti nilai-nilai (Monk’s,
1984 : 257). Mengerti nilai-nilai ini tidak berarti hanya memperoleh pengertian
saja melainkan juga dapat manjalankannya/ mengamalkannya. Hal ini selanjutnya
berarti bahwa remaja sudh dapat menginternalisasikan penilaian-penilaian moral,
menjadikannya sebagai nilai-nilai pribadi. Untuk selanjutnya pengiinternalisasian
nilai-nilai ini akan tercermin dalam sikap dan tingkah lakunya.
C. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral
Bagi para ahli psikoanalisis perkembangan moral dipandang sebagai
proses internalisasi norma-norma masyarakat dan dipandang sebagai
kematangan dari sudut organik biologis. Menurut psikoanalisi moral dan
nilai menyatu dalam konsep superego. Superego dibentuk melalui jalan
internalisasi larangan-larangan atau perintah-perintah dari luar (khusunya
dari orangtua) sedemikian rupa sehingga akhirnya terpecah dari dalam diri
sendiri. Karena itu orang-orang yang tak mempunyai hubungan yang
8
harmonis dengan orang tuanya di masa kecil kemungkinan besar tidak
mampu mengembangkan superego yang cukup kuat, sehingga mereka bisa
menjadi orang yang sering melanggar norma masyarakat.
Teori-teori lain yang non-psikoanalisis beranggapan bahwa hubungan
anak-orangtua bukan satu-satunya sarana pembentuk moral. Para sosiolog
beranggapan bahwa masyarakat sendiri mempunyai peran penting dalam
pembentukan moral. Tingkah laku yang terkendali disebabkan oleh adanya
kontrol dari masyarakat itu sendiri yang mempunyai sanksi-sanksi tersendiri
buat pelanggar-pelanggarnya (Sarlito, 1992 : 92).
Di dalam usaha membentuk tingkah laku sebagai pencerminan nilai-nilai
hidup tertentu ternyata bahwa faktor lingkungan memegeng peranana
penting. Di antara segala unsur lingkungan sosial yang berpengaruh, yang
tampaknya sangat penting adalah unsur lingkungan berbentuk manusia yang
langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan dari nilai-
nlai tertentu. Dalam hal ini lingkunagan sosial terdekat yang terutama terdiri
dari mereka yang berfungsi sebagai pendidik atau pembina. Makin jelas
sikap dan sifat lingkunagan terhadap nilai hidup tertentu dan moral mskin
kuat pula pengaruhnya untuk membentuk (atau meniadaka) tingkah laku
yang sesuai.
Teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh Kohlberg
menunjukkan bahwa sikap moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang
diperoleh dari dan hal-hal lain yang berhubungan dengan nilai kebudayaan.
Tahap-tahap perkembangan moral terjadi dari aktivitas spontan pada anak-
anak (Singgih G. 1990:202). Anak memang berkembang melalui interaksi
sosial tapi interaksi ini mempunyai corak yang khusus dimana faktor pribadi,
faktor si anak dalam membentuk aktivitas-aktivitas ikut berperan. Dalam
perkembangan moral, Kohlberg menyatakan adanya tahap-tahap yang
berlangsung sama pada setiap kebudayaan. Penahapan yang dikemukakan
bukan mengenai sikap moral yang khusus, melainkan berlaku pada proses
penalaran yang mendasarinya. Moral yang sifatnya penalaran menurut
Kohlberg, perkembangannya dipengaruhi oleh perkembangan nalar
9
sebagaimana dikemukakan oleh Piaget. Makin tinggi tingkat penalaran
seseorang menurut tahap-tahap perkembangan Piaget, makin tinggi pula
tingkat moral seseorang.
D. Perbedaan individual dalam perkembangan moral
Pengertian moral dan nilai pada anak-anak umur sepuluh atau sebelas
tahun berbeda dengan anak-anak yang lebih tua. Pada anak-anak terdapat
anggapan bahwa aturan-aturan adalah pasti dan mutlakoleh karena diberikan oleh
orang dewasa atau Tuhan yang tidak bisa diubah lagi (Kohlberg, 1963).
Pengertian mengenal aspek moral pada anak-anak lebih besar, lebih lentur, dan
nisbi. Ia bisa menawar atau mengubah sesuatu aturan kalau disetujui semua orang.
Untuk sebagian remaja serta orang dewasa yang penalarannya terhambat
atau kurang berkembang, tahap perkembangan moralnya ada pada tahap
prakonvensional. Pada tahap ini seseorang belum benar-benar mengenal apalagi
menerima aturan dan harapan masyarakat. Pada tingkatan yang paling awal,
pedoman mereka hanyalah menghindri hukuman. Sedangkan bagi mereka yang
dapat mencapai tingkat kedua sudah ada pengertian bahwa untuk memenuhi
kebutuhan sendiri seseorang juga harus memikirkan kepentingan orang lain.
Menurut Kohlberg, faktor kebudayaan mempengaruhi
perkembanganmoral, terdapat berbagai rangsangan yang diterima oleh anak-anak
dan dan ini mempengaruhi tempo perkembangn moral. Bukan saja mengenai
cepat atau lambatnya tahap-tahap perkembangan yang dicapai, melainkan juga
mengenai batas tahap-tahap yang dapat dicapai. Perbedaan seseorang juga dapat
dilihat pada latar belakang kebudayaan tertentu.
Dalam kenyataan sehari-hari selalu saja ada gradasi dalam intensitas
penghayatan dan pengalaman individu mengenai nilai-nilai tertentu, apapun nilai
10
tersebut. Misalnya pemahaman konsep dan nilai tenggang rasa, bila dibandingkan
dengan sikap serta tingkah lakunya dalam kaitannya dengan tenggang rasa,
memungkinkan kita menempatkan individu dalam satu kontinum.
a. Di ujung paling kiri, kita kelompokkan individu yang hampir-hampir
atau sama sekali tidak tahu tentang konsep dan nilai-nilai tenggang
rasa dan karenanya juga tidak bertindak secara benar ditinjau dari
konsep tenggang rasa.
b. Di ujung paling kanan, terdapat individu yang baik pengetahuan
maupun tingkah lakuny, mencerminkan penghayatan nilai tenggang
rasa yang sangat meyakinkan.
Diantara dua ujung yang ekstrem ini, kita kelompokkan individu-
individu yang memiliki berbagai tingkat pemahaman dan yang
memperlihatkan berbagai bentuk tingkah laku, sehingga garis
kontinum itu terisi seluruhnya. Dari kegiatan ini, dapat pula dipahami
bahwa terdaat perbedaan-perbedaan individual dalam pemahaman
nilai-nilai, dan moral-moral sebagai pendukung sikap dan perilakunya.
Jadi, mungkin terjadi individu atau remaja yang tidak mencapai
perkembangan nilai, moral, dan sikap serta tingkah laku yang
diharapkan padanya.
E. Upaya mengembangkan Moral remaja dalam penyelenggaraan
pendidikan
Perwujudan moral tidak terjadi dengan sendirinya. Proses yang dilalui
seseorang dalam pengembangan nilai-nilai hidup tertentu adalah sebuah
proses yang belum seluruhnya dipahami oleh para ahli(Surakhmad,1980:17).
Apa yang terjadi di dalam diri pribadi seseorang hanya dapat didekati
melalui cara-cara tidak langsung, yakni dengan mempelajari gejala dan
tingkah laku seseorang tersebut, maupun membandingkannya dengan gejala
serta tingkah laku orang lain. Di antara proses kejiwaan yang sulit untuk
dipahami adalah proses terjadinya dan terjelmanya nilai-nilai hidup dallam
11
diri individu, yang mungkin didahului oleh pengenalan nilai tersebut, dan
yang kemudian tumbuh di dalam diri seseorang sedemikian rupa kuatnya
sehingga seluruh jalan pikiran, tingkah lakunya, serta sikapnya terhadap
segala sesuatu diluar dirinya, bukan saja diwarnai tetapi juga dijiwai oleh
nilai tersebut.
Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan moral
remaja adalah:
a. Menciptakan komunikasi
Dalam komunikasi didahului dengan pemberian informasi tentang
nilai-nilai dan moral. Anak tidak pasif mendengarkan dari orang dewasa
bagaimana seseorang harus bertingkah laku sesuai dengan norma dan
nilai-nilai moral, tetapi anak-anak harus dirangsang supaya lebih aktif.
Hendaknya ada upaya untu mengikutsertakan remaja dalam beberapa
pembicaraan dan dala pengambilan keputusan keluarga, sedangkan
dalam kelompok sebaya, remaja turut serta secara aktif dalam tanggung
jawab dan penentuan maupun keputusan kelompok.
Di sekolah remaja hendaknya diberi kesempatan berpartisipasi
untuk mengembangkan aspek moral misalnya dalam kerja kelompok,
sehingga dia belajar tidak melakukan sesuatu yang akan merugikan orang
lain karena hal ini tidak sesuai dengan nilai atau norma-norma moral.
Kita mengetahui bahwa nilai-nilai hidup yang dipelajari
memerlukan satu kesempatan untuk diterima dan diresapkan sebelum
menjadi bagian integral dari tingkah laku seseorang. Dan kita ketahui
pula bahwa nilai-nilai hidup yang dipelajari barulah betul-betul
berkembang apabila telah dikaitkan dalam konteks kehidupan bersama.
b. Menciptakan iklim lingkungan yang serasi
Untuk remaja, moral merupakan suatu kebutuhan tersendiri oleh
karena mereka sedang dalam keadaan membutuhkan pedoman atau
petunjuk dalam rangka mencari jalannya sendiri. Pedoman ini juga untuk
menumbuhkan identitas dirinya, menuju kepribadian yang matang dan
12
menghindarkan diri dari konflik-konflik peran yang selalu terjadi dalam
masa transisi ini.
Akhirnya perlu diperhatikan bahwa satu lingkungan yang lebih
banyak bersifat mengajak, mengundang, atau memberi kesempatan, akan
lebih efektif daripada lingkungan yang ditandai dengan larangan-
larangan dan peraturan-peraturan yang serba membatasi.
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Metode belajar adalah jalan atau cara yang ditempuh pelaku proses
pembelajaran untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Metode Tanya jawab
adalah penyampaian pesan pengajaran dengan cara mengajukan pertanyaan-
pertanyaan dan siswa memberikan jawaban atau sebaliknya siswa diberi
kesempatan bertanya dan guru menjawab pertanyaan-pertanyaan. Ada
beberapa teknik dalam menggunakan metode tanya jawab antara lain The
Mixe Strategy, the Speaks Strategy,the Pleteaus Strategy, the Inductive
Strategy dan the Deductive Strategy. Dalam penggunaannya metode tanya
jawab memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga harus dikolaborasikan
dengan metode belajar yang lain.
B. Saran
Bagi para pembaca diharapkan makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan
tambahan untuk lebih memahami tentang metode belajar tanya jawab