65
MAKALAH PRESENTASI KASUS LANGSUNG MENINGOENSEFALITIS TOXOPLASMA Disusun oleh: Bening Putri Ramadhani Usman 1110103000084 Pembimbing : dr. Hastari Soekardi, Sp.S KEPANITERAAN KLINIK SMF NEUROLOGI RSUP FATMAWATI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

Meningoensefalitis Toksoplasma

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Infeksi SSP

Citation preview

Page 1: Meningoensefalitis Toksoplasma

MAKALAH PRESENTASI KASUS LANGSUNG

MENINGOENSEFALITIS TOXOPLASMA

Disusun oleh:

Bening Putri Ramadhani Usman

1110103000084

Pembimbing :

dr. Hastari Soekardi, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK

SMF NEUROLOGI RSUP FATMAWATI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014

Page 2: Meningoensefalitis Toksoplasma

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-nya kami dapat

menyelesaikan makalah diskusi topik ini yang berjudul “Meningoensefalitis Toxoplasma”.

Makalah presentasi kasus langsung ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam

kepaniteraan klinik di stase Neurologi Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta.

Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang

telah membantu dalam penyusunan danpenyelesaian makalah ini, terutama kepada :

1. Dr. Hastari Soekardi, Sp.S selaku pembimbing diskusi topik ini.

2. Semua dokter dan staf pengajar di SMF Neurologi Rumah Sakit Umum Pusat

Fatmawati Jakarta.

3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Neurologi Rumah Sakit Umum Pusat

Fatmawati Jakarta.

Kami menyadari dalam pembuatan makalah diskusi topik ini masih

banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu segala kritik dan saran yang

membangun guna penyempurnaan makalah diskusi topik ini sangat kami

harapkan.

Demikian, semoga makalahpresentasikasus ini dapat bermanfaat

bagi kita semua dan bisa membuka wawasan serta ilmu pengetahuan

kita,terutama dalam bidang neurologi.

Jakarta, 12 Agustus 2014

Penyusu

n

2

Page 3: Meningoensefalitis Toksoplasma

BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. HB

JenisKelamin :Laki-laki

Usia : 25 tahun

Agama : Islam

Alamat : Kp.Rawakalong RT 002/RW 011, Gunung

Sindur, Bogor

Suku : Sunda

Pekerjaan : Pegawai swasta

Pendidikan terakhir : SLTA

Status Pernikahan : Sudah menikah

No. RM : 01313260

Pasien datang ke IGD RSUP Fatmawati pada tanggal 7 Agustus 2014.

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu dan istri

pasien pada tanggal 8 Juni 2014.

a. Keluhan Utama

Penurunan kesadaran sejak 2 minggu SMRS.

3

Page 4: Meningoensefalitis Toksoplasma

b. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 2

minggu SMRS. Penurunan kesadaran yang dialami seperti pingsan,

kadang seperti mengantuk dan sulit dibangunkan. Pasien sering

tidak nyambung bila diajak berbicara. Sejak 1 bulan SMRS, pasien

mengalami demam dan nyeri kepala yang hilang timbul, serta mual

dan muntah. Sifat dan karakteristik nyeri kepala tidak diketahui.

Keluhan lain seperti kejang, kelemahan pada lengan dan tungkai,

lidah pelo, mulut mencong, tersedak, muntah menyemprot,

gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, pusing berputar,

dan rasa baal disangkal. Pasien sering mengalami cegukan setelah

makan atau minum. Saat ini pasien sudah sadar, namun masih

sering tidak nyambung bila diajak berbicara. BAB dan BAK lancar,

menggunakan pampers.

Pada awal Juli 2014, pasien dirawat di Puskesmas akibat

typhoid selama dua hari. Karena tidak ada perbaikan, pasien dirujuk

ke RSUD Tangsel. Namun, keluarga memilih pulang paksa karena

merasa tidak dilayani dengan baik. Saat itu, pasien mulai tidak

nyambung bila diajak berkomunikasi. Dua hari kemudian, pasien

mendadak tidak sadarkan diri. Kemudian, pasien dibawa oleh

keluarga ke RS Atang Sanjaya Bogor, dan dikatakan mengalami

meningitis. Setelah dirawat di sana, keadaan pasien sudah membaik

dan pasien sudah sadar. Lalu, keluarga membawa pasien pulang

paksa dengan alasan lebaran. Empat hari kemudian, pasien kembali

mengalami penurunan kesadaran dan keluarga membawa pasien ke

RS Sari Asih, RS Gaplek, RS PMI, dan RSUD Depok, namun tidak ada

ruangan. Akhirnya pasien dirujuk dari RSUD Depok ke RSUP

Fatmawati pada tanggal 7 Agustus 2014.

c. Riwayat Penyakit Dahulu

4

Page 5: Meningoensefalitis Toksoplasma

Pasien belum pernah mengalami hal serupa sebelumnya.

Riwayat darah tinggi, kencing manis, kolesterol tinggi, gangguan

hati, penyakit jantung, stroke, asma, alergi, dan trauma disangkal.

Riwayat batuk-batuk lama disangkal. Riwayat sering demam, diare,

flu, dan kelainan kulit disangkal.

d. Riwayat Penyakit Keluarga

Paman dan nenek pasien mengalami darah tinggi. Riwayat

kencing manis, penyakit jantung, stroke, asma, alergi, dan sakit paru

pada keluarga disangkal.

e. Riwayat Sosial dan Kebiasaan

Pasien makan 3 kali sehari, dengan kebiasaan makan

makanan berlemak dan bersantan. Pasien menyukai makanan asin

dan minuman manis. Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok,

mengkonsumsi alkohol, menggunakan obat-obatan terlarang, atau

seks bebas. Pasien jarang berolahraga. Pasien tidak rutin

mengkonsumsi obat-obatan tertentu.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik di bangsal Teratai tanggal 8 Agustus 2014.

I. Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Somnolen

Tanda Vital

Tekanan darah : 110/70 mmHg / 110/70 mmHg

Nadi : 92x/menit, regular, kuat angkat, isi cukup

Napas : 18x/menit, regular, kedalaman cukup

Suhu : 36,6oC

5

Page 6: Meningoensefalitis Toksoplasma

Berat badan : 60 kg

Tinggi badan : 160 cm

BMI : 23,4 kg/m2

Mata

- Inspeksi : alis mata cukup, enoftalmus (-)/(-), eksoftalmus (-)/(-),

nistagmus (-)/(-), ptosis (-)/(-), lagoftalmus (-)/(-), edema palpebra

(-)/(-),konjungtiva anemis(-)/(-), sklera ikterik (-)/(-), sekret (-)/(-),

tampak berair, pterigium (-)/(-), ulkus kornea (-)/(-), kekeruhan

lensa (-)

- Palpasi : tekanan bola mata secara manual normal

Telinga,Hidung,Tenggorokan

Hidung :

- Inspeksi : Deformitas (-), kavum nasi lapang, sekret (-)/(-), deviasi

septum (-)/(-), konka nasal hiperemis (-)/(-), edema (-)/(-), NCH (-)/(-)

- Palpasi : Nyeri tekan sinus (-), krepitasi (-)

Telinga :

- Inspeksi :

- Preaurikuler : hiperemis (-)/(-), abses (-)/(-), massa (-)/(-),

skar (-)/(-),

- Aurikuler : normotia, hiperemis (-)/(-), cauli flower (-)/(-),

pseudokista (-)/(-),

- Postaurikuler : hiperemis (-)/(-), abses (-)/(-), massa (-)/(-),

skar (-)/(-),

- Liang telinga : lapang, serumen (-)/(-), Ottorhea (-)/(-),

membran timpani intak

Tenggorokan dan Rongga mulut :

- Inspeksi :

- Bucal : warna normal, ulkus (-)

- Lidah : massa (-), ulkus (-), plak (-)

6

Page 7: Meningoensefalitis Toksoplasma

- Palatum : penonjolan (-)

- Tonsil : tidak valid dinilai

- Pursed lips breathing(-), karies gigi (+), kandidisasis

oral (+)

Leher

- Inspeksi : bentuk simetris, warna normal, penonjolan vena jugularis

(-), tumor (-), retraksi suprasternal (-), tidak tampak perbesaran

KGB

- Palpasi : pulsasi arteri carotis normal, perbesaran thyroid (-), posisi

trakea ditengah, KGB tidak teraba membesar

- Auskultasi : bruit (-),

- Tekanan vena jugularis tidak meningkat, 5+2

Thoraks Depan

- Inspeksi : Penggunaan otot bantuan nafas (-)/(-), retraksi

sela iga (-/-), bentuk dada normal, barrel chest (-), pectus carinatum

(-)/(-), pectus ekskavatum (-)/(-), pelebaran sela iga

(-)/(-), tumor (-)/(-), skar (-), emfisema subkutis (-)/(-),

spider naevi (-)/(-), pergerakan kedua paru simetris statis dan

dinamis, pola pernapasan normal

- Palpasi : massa (-)/(-), emfisema subkutis(-)/(-), ekspansi

dada simetris, vocal fremitus sama di kedua lapang paru,

pelebaran sela iga (-)/(-)

- Perkusi :

- Sonor di kedua lapang paru

- Batas paru hati : pada garis midklavikula kanan sela iga 6,

peranjakan hati sebesar 2 jari

- Batas paru lambung : pada garis aksilaris anterior kiri sela iga

8

- Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (+/+)

Thoraks Belakang7

Page 8: Meningoensefalitis Toksoplasma

- Inspeksi : Penggunaan otot bantuan nafas (-)/(-), Retraksi

sela iga (-/-), pelebaran sela iga (-)/(-), tumor (-)/(-),

emfisema subkutis (-)/(-), Pergerakan kedua paru simetris

statis dan dinamis, pola pernapasan normal, scar (-), luka

operasi (-), massa (-), gibus (-), kelainan tulang

belakang (-)

- Palpasi : massa (-)/(-), emfisema subkutis(-)/(-), ekspansi

dada simetris,vocal fremitus sama di kedua lapang paru

- Perkusi : Sonor dikedua lapang paru

- Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (+/+)

Jantung

- Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak terihat

- Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba 2 jari medial dari

linea midklavikulasinistra ICS V, thrill (-), heaving (-),

lifting (-), tapping (-)

- Perkusi : Batas jantung kananICS IV linea sternalis

dextra, batas jantung kiri ICS V 2 jari medial linea

midklavikulasinistra, Pinggang jantung ICS II linea

parasternalis sinistra

- Auskultasi : BJ I-II reguler normal, murmur (-), gallop(-)

Abdomen

- Inspeksi : simetris, datar, striae (-), skar (-), penonjolan (-), bekas

operasi (-), kaput medusa (-)

- Auskultasi : BU (+) normal, metalic sound (-), borborigmi (-), bruit

(-)

- Palpasi : supel, nyeri tekan epigastrium (+), massa (-)

- Hepar dan lien tidak teraba

- Ginjal : Ballotemen (-)/(-),

- Perkusi : timpani, shifting dullnes (-), undulasi (-), fenomena papan

catur (-), nyeri ketok CVA (-)/(-),

Ekstremitas

8

Page 9: Meningoensefalitis Toksoplasma

Akral teraba hangat, sianosis (-), CRT < 3 detik, edema (-)/(-), jari

tabuh (-), koilonikia (-), hiperemis (-), deformitas (-)

Status neurologis

GCS : E3M5V4

Tanda Rangsang Meningeal

Kaku kuduk : +

Lasegue : <700 /<700

Kernig : <1350 /<1350

Brudzinski I : - / -

Brudzinski II : - / -

Saraf-saraf Kranialis:

N.I (olfaktorius) : tidak valid dinilai

N.II (optikus)

Acies visus : tidak valid dinilai

Visus campus : tidak valid dinilai

Lihat warna : tidak valid dinilai

Funduskopi : tidak dilakukan

N.III, IV, VI (Occulomotorius, Trochlearis, Abducen)

Kedudukan bola mata : ortoposisi + / +

Pergerakan bola mata : kesan baik

Exopthalmus : - / -

Nystagmus : - / -

Palpebra : kesan baik

Pupil:

9

Page 10: Meningoensefalitis Toksoplasma

o Bentuk : bulat, isokor, Ø 3mm/4mm

o Refleks cahaya langsung : +/-

o Refleks cahaya tidak langsung : +/-

Kesan : parese N. III sinistra parsial

N.V (Trigeminus)

Cabang Motorik : tidak valid dinilai

Cabang sensorik :

o Ophtalmikus : tidak valid dinilai

o Maksilaris : tidak valid dinilai

o Mandibularis : tidak valid dinilai

N.VII (Fasialis)

Motorik orbitofrontalis : tidak valid dinilai

Motorik orbikularis orbita : tidak valid dinilai

Motorik orbikulari oris : plica nasolabialis kanan lebih datar dari kiri

Pengecapan lidah : tidak valid dinilai

Kesan: paresis N. VII dextra tipe sentral

N.VIII (Vestibulocochlearis)

Vestibular : Vertigo : -

Nistagmus : - / -

Koklearis : tidak valid dinilai

N.IX, X (Glossopharyngeus, Vagus)

Uvula : tidak valid dinilai

10

Page 11: Meningoensefalitis Toksoplasma

N.XI (Accesorius)

Mengangkat bahu : tidak valid dinilai

Menoleh : tidak valid dinilai

N.XII (Hypoglossus)

Posisi lidah : miring ke arah kiri

Pergerakkan lidah : tidak valid dinilai

Atrofi : -

Fasikulasi : -

Tremor : -

Sistem Motorik

Ekstremitas atas : kesan hemiparesis dekstra

Ekstremitas bawah : kesan hemiparesis dekstra

Gerakkan Involunter

Tremor : - / -

Chorea : - / -

Miokloni : -/ -

Tonus : baik

Sistem Sensorik

Propioseptif : tidak valid dinilai

Eksteroseptif : tidak valid dinilai

Fungsi Serebelar

Ataxia : tidak valid dinilai

Tes Romberg : tidak valid dinilai

Jari-jari : tidak valid dinilai

Jari-hidung : tidak valid dinilai

Tumit-lutut : tidak valid dinilai

11

Page 12: Meningoensefalitis Toksoplasma

Rebound phenomenon : tidak valid dinilai

Hipotoni : - / -

Fungsi Luhur

Astereognosia : tidak valid dinilai

Apraxia : tidak valid dinilai

Afasia : tidak ada kesan afasia

Fungsi Otonom

Miksi : on DC

Defekasi : baik

Sekresi keringat : baik

Refleks Fisiologis

Biceps : +3/+2

Triceps : +2/+2

Radius : +2/+2

Lutut : +3/+2

Tumit : +2/+2

Refleks Patologis

Hoffman Tromer : - / -

Babinsky : + / -

Chaddock : - / -

Oppenheim : + / -

Gordon : - / -

Gonda : - / -

Schaefer : - / -

Klonus lutut : - / -

Klonus tumit : - / -

Keadaan Psikis

Intelegensia : tidak valid dinilai

Tanda regresi : tidak valid dinilai

Demensia : tidak valid dinilai

12

Page 13: Meningoensefalitis Toksoplasma

II. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium (7 Agustus 2014)

Pemeriksaan Hasil Nilai normal

HEMATOLOGI

Hemoglobin

Hematokrit

Leukosit

Trombosit

Eritrosit

14,2

39

7,5

203

5,11

13,2-17,3

32-45

5.0-10,0

150-440

4,40-5,90

VER/HER/KHER/RDW

VER

HER

KHER

RDW

77,1

27,7

36,0

16,2

80,0-100,0

26,0-34,0

32,0-36,0

11,5-14,5

FUNGSI HATI

SGOT

SGPT

20

32

0-34

0-40

FUNGSI GINJAL

Ureum

Kreatinin

19

0,5

20-40

0,6-1,5

DIABETES

Glukosa Darah

Glukosa Darah Sewaktu 156 70-140

ELEKTROLIT DARAH

Natrium

Kalium

Klorida

124

3,79

86

135-147

3,1-5,1

95-106

Interpretasi hasil laboratorium:

- Hiponatremia

- Hipokloridemia

- Hiperglikemia

13

Page 14: Meningoensefalitis Toksoplasma

Pemeriksaan Radiologi

Foto toraks (23 Juli 2014)

Mediastinum superior tidak membesar

Cor: kesan tidak membesar, aorta dalam batas normal

Pulmo: hillus kanan dan kiri tidak menebal

Kedua sinus dan diafragma baik

Tampak scoliosis vertebra intratorakalis dengan konveksitas ke

kanan

Kesan: Cor dan Pulmo dalam batas normal

V. Resume

Tn.HB, 25 tahun, datang ke IGD RSUP Fatmawati dengan

keluhan penurunan kesadaran sejak 2 minggu SMRS. Penurunan

kesadaran berupa pingsan, kadang seperti mengantuk dan sulit

dibangunkan. Pasien sering tidak nyambung bila diajak berbicara.

Demam (+) hilang timbul, nyeri kepala (+), mual (+), dan muntah

(+) sejak 1 bulan SMRS. Pasien sering mengalami cegukan setelah

makan atau minum. Saat ini pasien sudah sadar, namun masih

14

Page 15: Meningoensefalitis Toksoplasma

sering tidak nyambung bila diajak berbicara. Pasien dirawat di

Puskesmas selama 2 hari pada awal Juli 2014 akibat typhoid selama

dua hari, kemudian tidak ada perbaikan dan pasien mulai tidak

nyambung bila diajak berkomunikasi. Dua hari kemudian, pasien

mendadak tidak sadarkan diri. Pasien segera dibawa oleh keluarga

ke RS Atang Sanjaya Bogor, dan dikatakan mengalami meningitis.

Setelah dirawat, pasien sadar dan membaik, namun keluarga

membawa pulang paksa karena akan lebaran. Empat hari kemudian,

pasien kembali mengalami penurunan kesadaran. Pasien dibawa ke

RSUP Fatmawati pada tanggal 7 Agustus 2014. Paman dan nenek

pasien mengalami darah tinggi. Pasien memiliki kebiasaan makan

makanan asin, berlemak, bersantan, dan minuman manis.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 110/70 mmHg,

frekuensi nadi 92x/menit, frekuensi napas 18x/menit, suhu36,6oC. Pada pemeriksaan

fisik didapatkan kandidiasis oral. Status generalis lain dalam batas normal. Status

neurologis didapatkan GCS E3M5V4, kaku kuduk (+), lasegue (<700 /<700), kernig

(<1350 /<1350), kesan hemiparese dextra, kesan parese N. III sinistra parsial, (pupil

bulat anisokor Ø 3mm/4mm, RCL (+/-),RCTL (+/-), kesan parese N. VII dextra tipe

sentral, dan kesan parese N. XII dextra. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan

GDS 156 mg/dl, Na 124 mmol/l, dan Cl 86 mmol/l. Foto toraks dalam batas normal.

VI. DIAGNOSIS

- Diagnosis kerja :

o Suspek meningoensefalitis toksoplasma DD/

meningoensefalitis TB

o Suspek AIDS

o Hiponatremia

o Hipokloridemia

- Diagnosis klinis :

o Penurunan kesadaran

o Secondary headache

o Tanda rangsang meningeal (+)

o Hemiparesis dextra

15

Page 16: Meningoensefalitis Toksoplasma

o Parese N. III sinistra parsial

o Parese N. VII dextra tipe sentral

o Parese N. XII dextra

- Diagnosis etiologi : infeksi Toxoplasma gondii

- Diagnosis topis : meningen, parenkim otak

VII. Rencana Tata Laksana

IVFD NaCl 0,9% 500cc/12 jam

Pirimetamin :

o Loading dose : 200 mg p.o.

o Lanjutan : 3 x 25 mg p.o.

Clindamycin 4 x 600 mg p.o.

Fluconazole 1 x 200 mg p.o.

Candistin 4 x gtt I

Dexamethasone 4 x 5 mg IV

Ranitidin 2 x 50 mg IV

Laxadyn syr 1 x IC p.o.

VII. Rencana Pemeriksaan

CT scan kepala

IgG dan IgG Toksoplasma

Analisis dan kultur LCS

HIV rapid test

BTA sputum

VIII. Rencana Konsultasi

Konsultasi penyakit dalam

IX.Prognosis

16

Page 17: Meningoensefalitis Toksoplasma

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad fungsionam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Anatomi dan Fisiologi

Otak dan medulla spinalis diselubungi oleh tiga lapisan

(meninges) yaitu duramater, arakhnoid dan pia mater yang berasal

dari mesodermal. Duramater disebut juga pachymenix (‘membran

yang kuat) sedangkan arakhnoid dan pia mater secara bersama-sama

dengan leptomeninges (membran yang rapuh dan tipis. Duramater

yang kuat terletak paling luar, diikuti oleh arakhnoid, dan terakhir, pia

mater. Pia mater terletak tepat pada permukaan otak dan medulla 17

Page 18: Meningoensefalitis Toksoplasma

spinalis. Di antara duramater dan arakhnoid terdapat ruang subdural,

antara arakhnoid dan pia mater terdapat ruang subarakhnoid. Ruang

subarakhnoid berisi cairan serebrospinal (LCS).

Gambar 1. Pelindung sistem saraf

Duramater terdiri dari 2 lapis yaitu lapisan endotel dan lapisan meninges. Lapisan

endosteal adalah periosteum yang menutupi permukaan dalam tulang tengkorak. Pada

foramen magnum, lapisan ini tidak bersambung dengan duramater medulla spinalis. Pada

sutura-sutura, lapisan endosteal berlanjut dengan ligamentum sutura.

Cabang-cabang nervus trigeminus, nervus vagus, tiga nervus cervicalis bagian

atas serta cabang-cabang trucus symphaticus berjalan menuju dura mater. Dura mater

memiliki banyak ujung-ujung saraf sensorik yang peka terhadap regangan yang

menimbulkan sensasi nyeri kepala. Stimulasi ujung-ujung sensorik nervus trigeminus di

atas tingkat tentorium cerebelli menimbulkan nyeri alih ke daerah kerah kulit kepala sisi

yang sama. Stimulasi ujung-ujung sensorik duramater di bawah tingkat tentorium

menimbulkan nyeri alih kedaerah tengkuk dan belakang kulit kepala disepanjang

persarafan nervus occipital nervus occipitalis major.

Bagian arteri yang memperdarahi dura mater yaitu arteri carotis interna, arteri

maxxilaris,, dan arteri pharyngea ascendens, arteri occipital, dan arteri vertebralis. Dari

sudut pandang klinis, arteri yang paling penting adalah arteri meninga media yang dapat

mengalami kerusakan akibat cedera kepala.

18

Page 19: Meningoensefalitis Toksoplasma

Membrane yang halus dan bersifat impermeable, yang menutupi otak dan terletak

di antara pia mater di bagian dalamnya dan duramater bagian luarnya. Arachnoidea mater

dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial yaitu ruang subdural yang terisi oleh

selapis cairan yang dipisahkan dari pia mater oleh ruang subarachnoid yang berisi cairan

serebrospinal. Permukaan luar dan dalam arachnoid dilapisi oleh sel-sel mesotilia yang

gepeng.

Arachnoid menonjol ke dalam sinus venosus untuk membentuk villi arachnoidea

yang paling banyak terdapat di sepanjang sinus sagitalis superior. Kumpulan vili

arachnoid disebut granulationes arachnoid yang berfungsi untuk tempat difusi cairan

serebrospinal ke dalam aliran darah.

Membrane vascular yang diliputi oleh sel-sel mesodial yang gepeng. Struktur ini

melekat erat pada otak, menutupi gyrus-gyrus, dan turun hingga mencapai bagian sulcus

yang paling dalam. Lapisan ini meluas keluar hingga mencapai saraf kranial dan menyatu

dengan epineuriumnya. Arteri cerebri masuk kedalam jaringan otak setelah dibungkus

oleh pia mater.

Cairan serebrospinalis dibentuk di pleksus khoroideus keempat ventrikel

serebri (ventrikel lateral kanan dan kiri, ventrikel ketiga, ventrikel

keempat). Cairan ini mengalir melalui sistem ventrikel (ruang LCS

internal) dan kemudian masuk keruang subarakhnoid yang

mengelilingi otak dan medulla spinalis (ruang LCS eksternal). Cairan ini

diresorpsi di granulasiones sinus sagitalis superior dan di selubung

perineural medulla spinalis.

Sifat cairan serebrospinal yang normal adalah jernih dan tidak

berwarna, mengandung hanya beberapa sel yaitu 4/μl dan relatif

mengandung sedikit protein dengan ratio albumin LCS dan albumin

serum = 6,5 ±1,9 x 10-3. Komposisinya juga berbeda dengan darah. Cairan

serebrospinal secara aktif diproduksi oleh pleksus khoroideus terutama dalam ventrikel

lateral. Darah di dalam kapiler pleksus khoroideus dipisahkan dari ruang subarakhnoid

melalui sawar-darah-LCS, yang mengandung endotelium vaskular, membran basalis, dan

epitelium pleksus. Sawar ini permeabel terhadap air, oksigen, dan karbon dioksida,

tetapi relatif tidak permeabel terhadap elektrolit dan sepenuhnya tidak permeabel

terhadap sel.

19

Page 20: Meningoensefalitis Toksoplasma

Gambar 2. Aliran liquor serebrospinal

Tabel 1. Kandungan Cairan serebrospinal

Cairan Cerebrospinal Serum Tekanan Volume Osmolaritas Elektrolit

Na K Ca Cl

pH Glukosa

CSF/serum glucose quotient

Laktat Total protein

Albumin IgG IgG indek

Leukosit Limfosit

5-18 cmH2O 100-160 ml 292-297 mosm/L

137-145 mmol/L 2,7-3,9 mmol/L 1-1,5 mmol/L 116-122 mmol/L 7,31-7,34 22-3,9 mmol/L > 0,5-0,6

1,0-2,0 mmol/L 0,2-0,5 g/L 56-75% 0,010-0,014 g/L < 0,65 < 4/µL 60-70%

285-295 mosm/L

136-145 mmol/L 3,5-5,0 mmol/L 2,2-2,6 mmol/L 98-106 mmol/L 7,38-7,44 4,2-6,4 mmol/L

0,6 -1,7 mmol/L 55-80 g/L 50-60% 8-15 g/L

Cairan serebrospinal berfungsi untuk transportasi hormone,

suatu medium cairan tempat otak mengapung didalamnya.

Mekanisme ini melindungi otak dari trauma secara efektif, serta

mengeluarkan produk sisa hasil aktivitas neuron.

Encephalon atau otak terletak di dalam cavum crania dan bersambung dengan

medulla spinalis melalui foramen magnum. Otak dibungkus oleh tiga meningens,: dura

20

Page 21: Meningoensefalitis Toksoplasma

mater, arachnoidea mater, dan pia mater. Ketiganya bersambung dengan meningens

medulla spinalis. Cairan serebrospinal mengelilingi otak di dalam ruang subarakhnoid.

Secara konvensional, otak dibagi menjadi tiga bagian utama. Bagian – bagian

tersebut secara berurutan dari medulla spinalis ke atas adalah rhombencephalon,

mesencephalon, dan prosencephalon. Rhombencephalon dibagi lagi menjadi medulla

oblongata, pons, dan cerebellum. Prosencephalon dapat dibagi menjadi diencephalon

(antar otak) yang merupakan bagian sentral prosencephalon dan cerebrum.

Gambar 3. Sistem Saraf Pusat

Medulla oblongata berbentuk conus, di superior berhubungan dengan pons dan di

bagian inferior berhubungan dengan medulla spinalis. Pada medulla oblongata, terdapat

banyak kumpulan neuron yang disebut nuclei dan berfungsi menyalurkan serabut –

serabut saraf ascendens dan descendens.

Pons terletak di permukaan anterior cerebellum, inferior dari mesencephalon, dan

superior dari medulla oblongata. Pons atau jembatan dinamakan dari banyaknya serabut

yang berjalan transversal pada permukaan anteriornya yang menghubungkan kedua

hemispherium cerebella. Pons juga mengandung banyak nuclei serta serabut – serabut

ascendens dan desendens.

Cerebellum terletak di fossa cranii posterior, posterior terhadap pons, dan medulla

oblongata. Bagian ini terdiri dari dua hemispherium yang dihubungkan oleh sebuah

bagian median, yaitu vermis. Cerebellum berhubungan dengan mesencephalon melalui 21

Page 22: Meningoensefalitis Toksoplasma

pedunculus cerebellaris superior, dengan pons melalui pedinculus cerebella media, dan

dengan medulla oblongata melalui pedunculus cerebellaris inferior.

Lapisan permukaan masing – masing hemispherium cerebelli disebut korteks dan

terdiri dari substansia grisea.Cortex cerebelli tersusun dalam lipatan – lipatan atau folia

yang dipisahkan oleh fissure – fissure tranversal yang tersusun rapat. Pada bagian ini

terdapat massa substansia grisea di dalam cerebellum yang tertanam di dalam substansia

alba. Yang paling besar disebut nucleus caudatus.

Medulla oblongata, pons, dan cerebellum mengelilingi sebuah rongga yang berisi

cairan serebrospinal, disebut ventriculus quartus. Di bagian superior, rongga ini

berhubungan dengan ventriculus tertius melalui aqueductus cerebri, dan dibagian inferior

menyambung dengan canalis centralis medulla spinalis.

Mesencephalon merupakan bagian sempit otak yang menghubungkan

prosencephalon dengan rhombencephalon. Rongga sempit di mesencephalon adalah

aqueductus cerebri yang menghubungkan ventriculus tertius dengan ventriculus quartus.

Mesencephalon terdiri dari banyak nuclei dan berkas serabut – serabut asendens dan

desendens.

Cerebrum merupakan bagian terbesar otak dan terletak di fossa crania anterior

dan medius serta menempati seluruh cekungan tempurung tengkorak. Cerebrum terbagi

menjadi dua bagian,: diencephalon yang membentuk inti sentral, dan telencephalon yang

membentuk hemispherium cerebri. Cerebrum terdiri dari dua hemisfer cerebri yang

dihubungkan oleh massa substansia alba yang disebut corpus callosum. Masing – masing

hemisfer terbentang dari os frontal eke os occipital, yaitu pada bagian superior fossa

crania anterior dan media. Di bagian posterior, cerebrum terletak diatas tentorium

cerebelli. Hemisfer dipisahkan oleh celah yang dalam, yaitu fissure longitudinalis yang

merupakan tempat masuknya falx cerebri.

Lapisan permukaan masing – masing hemisfer, korteks, terbentuk dari substansia

grisea. Cortex cerebri berlipat – lipat disebut gyri, yang dipisahkan oleh fissura atau

sulci. Dengan adanya lipatan – lipatan tersebut, daerah permukaan korteks menjadi lebih

luas. Beberapa sulcus yang besar digunakan untuk mebagi masing – masing permukaan

hemisfer menjadi lobus – lobus. Lobus – lobus diberi nama sesuai dengan tulang

tengkorak yang menutupinya.

Didalam hemisfer, terdapat pusat substansia alba yang mengandung massa

substansia grisea yang besar, yaitu nuclei basalis atau ganglia basalis. Kumpulan serabut

– serabut saraf berbentuk kipas disebut corona radiata melintasi substansia alba dari

cortex cerebri ke batang otak. Corona radiate berkonvergensi di ganglia basalis dan

22

Page 23: Meningoensefalitis Toksoplasma

melintas di antaranya sebagai capsula interna. Nucleus berekor yang terletak di sisi

medial capsula interna disebut nucleus caudatus dan nucleus yang berbentuk seperti lensa

di sisi lateral capsula interna disebut nucleus lentiformis.

Ruangan yang terdapat di dalam masing – masing hemisfer disebut ventriculus

lateralis. Ventriculus lateralis berhubungan dengan ventriculus tertius melalui foramen

interventriculare.

Selama proses perkembangan, cerebrum menjadi sangat besar dan menutupi

diencephalon, mesencephalon dan rhombencephalon.

Hemispherium cerebri merupakan bagian otak yang paling besar dan dipisahkan

oleh fissure sagittalis yang dalam di garis tengah disebut fissure longitudinalis cerebri.

Fissura berisi lipatan duramater yang berbentuk seperti bulan sabit – falx cerebri – dan

arteria cerebralis anterior. Dibagian fissura yang dalam, commissural yang besar – corpus

callosum – menghubungkan kedua hemispherium melalui garis tengah. Lipatan

horizontal duramater yang kedua memisahkan hemispherium cerebri dari cerebellum dan

disebut tentorium cerebella.

Sulcus centralis sangat penting karena gyrus yang terletak di sebelah anteriornya

mengandung sel – sel motorik yang menginisiasi gerakan – gerakan tubuh sisi

kontralateral. Di posterior terletak korteks sensorik umum yang menerima informasi

sensorik dari sisi tubuh kontralateral. Sulcus centralis membuat alur di pinggir medial

superior hemisphere sekitar 0.4 inci (1 cm) di belakang titik tengah. Sulcus ini berjalan

ke bawah dan depan di aspek lateral hemisphere, dan ujung bawahnya dipisahkan dari

ramus posterior sulcus lateralis oleh jembatan korteks yang sempit. Sulcus centralis

merupakan satu – satunya sulcus yang memanjang pada permukaan hemisphere yang

membuat alur di tepi superomedial dan terletak di antara dua gyrus yang sejajar.

Sulcus lateralis merupakan celah dalam yang terutama ditemukan di permukaan

inferior dan lateral hemisphere cerebri. Sulcus ini terdiri dari batang pendek yang terbagi

menjadi tiga ramus. Batang ini muncul di permukaan inferior. Ketika mencapai

permukaan lateral, terbagi menjadi ramus horizontalis anterior dan ramus ascendens

anterior, lalu berlanjut sebagai ramus posterior. Daerah korteks yang disebut insula

terletak di dasar sulcus lateralis yang dalam dan tidak dapat dilihat dari permukaan

kecuali lipatan sulcus disingkirkan.

Sulcus parieto-occipitalis dimulai dari tepi medial superior hemisphere sekitar 2

inci (5cm) di anterior polus occipitalis. Sulcus ini berjalan turun dan ke arah anterior

pada permukaan medial untuk bertemu dengan sulcus calcarina.

23

Page 24: Meningoensefalitis Toksoplasma

Sulcus calcarina terdapat pada medial hemisphere. Sulcus ini dimulai dari bawah

ujung posterior corpus callosum dan melengkung ke atas dan belakang untuk mencapai

polus occipitalis yang merupakan tempat berakhirnya sulcus tersebut. Sulcus calcarina

bergabung dengan membentuk sudut lancip dengan sulcus parieto-occipitalis kira – kira

di pertengahan jalan.

Gambar 4. Pandangan lateral hemispherium cerenri sinistra

Lobus frontalis menempati daerah di anterior sulcus centralis dan di superior

sulcus lateralis. Permukaan superolateral lobus frontalis dibagi oleh tiga sulcus menjadi

empat gyrus. Sulcus precentralis berjalan sejajar dengan sulcus centralis dan gyrus

precentralis terletak di antaranya. Sulcus frontalis superior dan frontalis inferior berjalan

ke arah anterior sulcus precentralis. Gyrus frontalis superior terletak di sebelah posterior

sulcus frontalis superior –gyrus frontalis medius terletak di antara sulcus frontalis

superior dan inferior – serta gyrus frontalis inferior terletak di inferior sulcus frontalis

inferior. Gyrus frontalis inferior dilalui oleh ramus anterior dan ascendens sulcus

lateralis.

Lobus parietalis terletak di daerah posterior sulcus centralis dan di superior sulcus

lateralis. Lobus ini meluas ke posterior sampai sejauh sulcus parieto-occipitalis.

Permukaan lateral lobus parietalis terbagi menjadi tiga gyrus oleh dua sulcus. Sulcus

postcentralis berjalan sejajar dengan sulcus centralis dan gyrus postcentralis terletak di 24

Page 25: Meningoensefalitis Toksoplasma

antaranya. Sulcus intraparietal berjalan ke posterior dari pertengahan sulcus postcentralis.

Di bagian superior sulcus intraparietalis terdapat lobules (gyrus) parietalis superior dan di

bagian inferiornya terdapat lobules (gyrus) parietalis inferior.

Lobus temporalis menempati daerah di inferior sulcus lateralis. Permukaan lateral

lobus temporalis terbagi menjadi tiga gyrus oleh dua sulcus. Sulcus temporalis superior

dan media berjalan sejajardengan ramus posterior sulcus lateralis, serta membagi lobus

temporalis menjadi gyrus temporalis superior, medius, dan inferior. Gyrus temporalis

inferior berlanjut ke permukaan inferior hemispherium.

Lobus occipitalis menempati daerah kecil di belakang sulcus parieto-

occipitalis.

Lobus – lobus hemispherium cerebri di permukaan medial dan inferior tidak

terbatas dengan jelas. Namun, ada banyak daerah yang penting dikenali. Corpus callosum

– merupakan commissural otak terbesar – membentuk gambaran yang mencolok pada

permukaan ini. Gyrus cinguli dimulai di bawah ujung anterior corpus callosum dan

berlanjut ke atas corpus callosum hingga mencapai ujung posteriornya. Gyrus ini

dipisahkan dari corpus callosum oleh sulcus callosus. Gyrus cingulidipisahkan dari gyrus

frontalis superior oleh sulcus cinguli.

Lobulus paracentralis adalah daerah cortex cerebri yang terletak di sekitar

lekukan yang dibuat oleh sulcus centralis pada tepi superior. Bagian antara lobules ini

merupakan lanjutan gyrus precentralis pada permukaan lateral superior, dan bagian

posterior lobules ini merupakan lanjutan gyrus postcentralis.

Precuneus adalah daerah korteks yang di sebelah anterior dibatasi oleh ujung

posterior sulcus cinguli yang berbalik ke atas dan di bagian posterior dibatasi oleh sulcus

parieto-occipitalis.

Cuneus merupakan daerah cortex cerebri yang berbentuk segitiga dan di bagian

superior dibatasi oleh sulcus parieto-occipitalis, di sebelah inferior oleh sulcus calcarina

dan dibagian posterior oleh pinggir medialis superior.

Sulcus collateralis terletak pada permukaan inferior hemispherium. Sulcus ini

berjalan ke anterior di bawah sulcus calcarina. Terdapat gyrus lingualis di antara sulcus

collateralis dan sulcus calcarina. Di anterior gyrus lingualis terdapat gyrus

parahippocampi; gyrus yang terakhir ini berakhir di depan uncus yang berbentuk seperti

kait. Gyrus occipitotemporalis medialis terbentang dari polus occipitalis sampai ke polus

temporalis. Di medial dibatasi oleh sulcus collateralis dan sulcus rhinalis, sedangkan di

lateral dibatasi oleh sulcus occipitotemporalis.

25

Page 26: Meningoensefalitis Toksoplasma

Hemispherium cerebri diliputi oleh selapis substansia grisea yang disebut cortex

cerebri. Di bagian dalam hemispherium cerebri terdapat ventriculus lateralis, massa

substansia grisea yang disebut nucleus basalis dan serabut – serabut saraf. Serabut –

serabut saraf tertanam di neuroglia dan membentuk substansia alba.

Terdapat dua ventriculus lateralis dan masing – masing terdapat pada satu

hemispherium cerebri. Masing – masing ventriculus merupakan rongga berbentuk seperti

huruf C dan dilapisi oleh ependyma serta berisi cairan serebrospinal. Ventriculus lateralis

dapat dibagi menjadi corpus yang menempati lobus parietalis. Dari corpus ini muncul

cornu anterior, posterior, dan inferior yang masing – masing akan membentang ke dalam

lobus frontalis, lobus occipitalis dan lobus temporalis.Ventriculus lateralis berhubungan

dengan rongga ventriculusketiga melalui foramen interventriculare.

Lobus oksipitalis yang terletak di sebelah posterior (di kepala belakang),

bertanggung jawab untuk pengolahan awal masukan penglihatan. Sensasi suara mula –

mula diterima oleh lobus temporalis yang terletak di sebelah lateral.

Lobus Parietalis. Lobus parietalis dan lobus frontalis yang terletak di puncak

kepala, dipisahkan oleh sebuah lipatan dalam, sulkus sentralis, yang berjalan ke bagian

tengah permukaan lateral tiap – tiap hemisfer. Lobus parietalis bertanggung jawab untuk

menerima dan mengolah masukan sensorik seperti sentuhanm tekanan, panas, dingin dan

nyeri dari permukaan tubuh. Sensasi – sensasi ini secara kolektif dikenal sebagai sensasi

somestetik. Lobus parietalis juga merasakan kesadaran mengenai posisi tubuh, suatu

fenomena yang disebut propioseptif. Korteks somatosensorik, tempat pengolahan

kortikal awal masukan somestetik dan propioseptif ini, terletak di bagian depan tiap –

tiap lobus parietalis tepat di belakang sulkus sentralis. Distribusi pengolahan sensorik

korteks ini disebut sebagai homonkulus sensorik. Tubuh digambarkan terbalik (dari

bawah ke atas) di korteks somatosensorik dan yang lebih penting lagi, bagian – bagian

tubuh yang berbeda tidak direpresentasikan setara. Ukuran tiap – tiap bagian tubuh pada

homonkulus ini mencerminkan proporsi relatif korteks somatosensorikyang diabdikan

untuk bagian tersebut. Ukuran yang berlebihn dari wajah, lidah, tangan dan genitalia

mencerminkan persepsi sensorik tingkat tinggi berkaitan dengan bagian – bagian

tersebut. Korteks somatosensorik tiap – tiap sisi otak sebagian besar menerima masukan

sensorik dari sisi tubuh yang berlawanan, karena sebagian besar jalur asendens membawa

informasi sensorik naik dari korda spinalis menyilang ke sisi yang berlawanan sebelum

akhirnya berakhir di korteks. Dengan demikian, kerusakan belahan kirikorteks

somatosensorik menghasilkan deficit sensorik pada sisi kanan tubuh, sementara

kehikangan sensorik pada sisi kiri berkaitan dengan kerusakan belahan kanan korteks.

26

Page 27: Meningoensefalitis Toksoplasma

Lobus frontalis yang terletak di bagian depan, bertanggung jawab terhadap tiga

fungsi utama,: aktivitas motorik volunteer, kemampuan berbicara, dan elaborasi pikiran.

Gambar 5. Area motorik dan sensorik korteks cerebrum

Tabel 1. Ringkasan Struktur dan Fungsi Komponen – Komponen Otak

KOMPONEN

OTAK

FUNGSI UTAMA

Korteks Cerebrum 1. Persepsi sensorik

2. Kontrol gerakan volunteer

3. Bahasa

4. Proses mental canggih, misalnya berfikir, mengingat,

membuat keputusan, kreativitas dan kesadaran diri

Nukleus Basal 1. Inhibisi tonus otot

2. Kordinasi gerakan yang lambat dan menetap

3. Penekanan pola – pola gerakan yang tidak berguna

Thalamus 1. Stasiun pemancar untuk semua masukan sinaps

2. Kesadaran kasar terhadap sensasi

3. Beberapa tingkat kesadaran

4. Berperan dalam kontrol motorik

Hipothalamus 1. Mengatur banyak fungsi homeostatic, misalnya control suhu,

rasa haus, pengeluaran urin dan asupan makanan

2. Penghubung penting antara system saraf dan endokrin

27

Page 28: Meningoensefalitis Toksoplasma

3. Sangat terlibat dalam emosi dan perilaku dasar

Cerebellum 1. Memelihara keseimbangan

2. Peningkatan tonus otot

3. Koordinasi dan perencanaan aktivitas otot volunteer yang

terlatih

Batang Otak

(Mesencephalon,

pons, medulla

oblongata)

1. Asal dari sebagian besar saraf kranialis perifer

2. Pusat pengaturan kardiovaskuler, respirasi dan pencernaan

3. Pengaturan reflex otot yang terlibat dalam keseimbangan dan

postur

4. Penerimaan dan integrasi semua masukan sinaps dari korda

spinalis; keadaan terjada dan pengaktifan korteks cerebrum

5. Pusat tidur

II.2. Meningoensefalitis Toxoplasma

II.2.1. Etiologi dan Patogenesis

Toxoplasma gondii hidup dalam 3 bentuk: thachyzoite, tissue cyst (yang

mengandung bradyzoites) dan oocyst ( yang mengandung sporozoites). Bentuk

akhir dari parasit diproduksi selama siklus seksual pada usus halus dari kucing.

Kucing merupakan pejamu definitif dari T gondii. Siklus hidup aseksual terjadi

pada pejamu perantara, (termasuk manusia ). Dimulai dengan tertelannya tissue

cyst atau oocyst diikuti oleh terinfeksinya sel epitel usus halus oleh bradyzoites

atau sporozoites secara berturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi tachyzoites,

organisme ini menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darah atau limfatik.

Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu mencapai jaringan perifer.

Bentuk ini dapat bertahan sepanjang hidup pejamu, dan berpredileksi untuk

menetap pada otak, myocardium, paru, otot skeletal dan retina. Tissue cyst ada

dalam daging, tapi dapat dirusak dengan pemanasan sampai 67oC, didinginkan

sampai –20oC atau oleh iradiasi gamma. Siklus seksual entero-epithelial dengan

bentuk oocyst hidup pada kucing yang akan menjadi infeksius setelah tertelan

daging yang mengandung tissue cyst. Ekskresi oocysts berakhir selama 7-20 hari

dan jarang berulang. Oocyst menjadi infeksius setelah diekskresikan dan terjadi

sporulasi. Lamanya proses ini tergantung dari kondisi lingkungan, tapi biasanya 2-

3 hari setelah diekskresi. Oocysts menjadi infeksius di lingkungan selama lebih

dari 1 tahun.28

Page 29: Meningoensefalitis Toksoplasma

Gambar 6. Siklus Hidup Toxoplasma gondii

Transmisi pada manusia terutama terjadi bila makan daging babi atau

domba yang mentah yang mengandung oocyst. Bisa juga dari sayur yang

terkontaminasi atau kontak langsung dengan feces kucing. Selain itu dapat terjadi

transmisi lewat transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut

pada individu yang imunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan

imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. yang akan

mengakibatkan timbulnya infeksi oportunistik dengan predileksi di otak. Tissue

cyst menjadi ruptur dan melepaskan invasive tropozoit (takizoit). Takisoit ini akan

menghancurkan sel dan menyebabkan focus nekrosis.

Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi

prediktor untuk validasi kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien

dengan CD4 < 200 sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat

tinggi. Oportunistik infeksi yang mungkin terjadi pada penderita dengan CD4 <

200 sel/mL adalah pneumocystis carinii, CD4 <100 sel/mL adalah toxoplasma

gondii, dan CD4 < 50 adalah M. avium Complex, sehingga diindikasikan untuk

pemberian profilaksis primer. M. tuberculosis dan candida species dapat

menyebabkan infeksi oportunistik pada CD4 > 200 sel/mL.

II.2.2. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis toxoplasmosis pada penderita AIDS dapat berupa

Toxoplasma ensefalitis, Toxoplasma pneumonitis dan toxoplasma chorioretinitis.

Dari ketiga manifestasi ini, ensefalitis lebih sering terjadi pada penderita AIDS.

29

Page 30: Meningoensefalitis Toksoplasma

Imunitas seluler yang diperantarai oleh sel T, makrofag dan aktivitas dari

sitokin tipe 1 (interleukin [IL]-12 dan interferon [IFN]-gamma) berperan penting

dalam infeksi T gondii kronis. Interleukin 12 diproduksi oleh antigen presenting

cells seperti sel dendrit dan makrofag. IL-12 akan menstimulasi produksi dari IFN-

gamma, suatu mediator mayor untuk proteksi pejamu melawan intraseluler

patogen. IFN-gamma kemudian akan menstimulasi anti aktivitas T-gondii, tidak

hanya dari makrofag tapi juga dari sel nonfagositosis. Produksi dari IL-12 dan

IFN-gamma distimulasi oleh CD-154 (juga dikenal sebagai ligand CD40) pada

infeksi T.gondii pada manusia. CD 154 (primer diekspresi pada aktivasi CD4 T

sel) bekerja dengan diperantarai oleh sel dendrit dan makrofag untuk mengsekresi

IL-12, yang akan kembali meningkatkan produksi dari IFN-gamma oleh sel T.

TNF-alfa adalah sitokin esensial lain untuk mengendalikan infeksi kronis T gondii.

Mekanisme bagaimana HIV menginduksi infeksi oportunistik seperti

toxoplasmosis sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4; kegagalan

produksi IL-2, IL-12, dan IFN-gamma; kegagalan aktivitas Limfosit T sitokin. Sel-

sel dari pasien yang terinfeksi HIV menunjukkan penurunan produksi IL-12 dan

IFN-gamma secara in vitro dan penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai respon

terhadap T gondii. Hal ini memainkan peranan yang penting dari perkembangan

toxoplasmosis dihubungkan dengan infeksi HIV.

Ensefalitis toxolasma biasanya terjadi pada penderita yang terinfeksi virus

HIV dengan CD4 T sel < 100/mL. Ensefalitis toxoplasma ditandai dengan onset

yang subakut. Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa defisit neurologis fokal

(69%), nyeri kepala (55%), bingung / kacau (52%), dan kejang (29%). Pada suatu

studi didapatkan adanya tanda ensefalitis global dengan perubahan status mental

pada 75 % kasus, adanya defisit neurologis pada 70% kasus, Nyeri kepala pada 50

% kasus, demam pada 45 % kasus dan kejang pada 30 % kasus. Defisit neurologis

yang biasanya terjadi adalah kelemahan motorik dan gangguan bicara. Bisa juga

terdapat abnormalitas saraf otak, gangguan penglihatan, gangguan sensorik,

disfungsi serebelum, meningismus, movement disorders dan menifestasi

neuropsikiatri.

II.2.3. Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan serologi, biopsy jaringan,

isolasi T gondii dari cairan tubuh atau darah dan pemeriksaan DNA parasit.

30

Page 31: Meningoensefalitis Toksoplasma

Pada pemeriksaan serologi didapatkan seropositif dari anti-T gondii IgG

dan IgM. Pemeriksaan yang sudah menjadi standar emas untuk mendeteksi titer

IgG dan IgM T gondii yang biasa dilakukan adalah dengan Sabin-Feldman dye

test, tapi pemeriksaan ini tidak tersedia di Indonesia. Deteksi antibodi juga dapat

dilakukan dengan indirect fluorescent antibody (IFA), agglutinasi, atau enzyme

linked immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2

bulan setelah infeksi kemudian bertahan seumur hidup. Anti bodi IgM hilang

dalam beberapa minggu setelah infeksi.

Pemeriksaan cairan serebrospinal pada penderita ensefalitis toxoplasma

menunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuclear predominan dan elevasi

protein.

Pemeriksaan Polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi DNA T

gondii dapat berguna untuk diagnosis toxoplasmosis. Sensitifitas PCR pada cairan

serebrospinal bervariasi dari 12-70% (biasanya 50-60%) dan spesifisitasnya

hampir 100%. PCR untuk T gondii dapat juga positif pada cairan bronkoalveolar

dan cairan vitreus atau aqueous humor dari penderita toxopasmosis yang terinfeksi

HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak berarti terdapat infeksi

aktif karena tissue cyst dapt bertahan lama berada di otak setelah infeksi akut. PCR

pada darah mempunyai sensitifitas yang rendah untukdiagnosis pada penderita

AIDS.

Toxoplasmosis juga dapat didiagnosis dengan isolasi T gondii dari kultur

cairan tubuh atau spesimen biopsy jaringan. Tapi diperlukan waktu lebih dari 6

minggu untuk mendapatkan hasil kultur. Diagnosis pasti dari ensefalitis

toxoplasma adalah dengan biopsi otak, tapi karena keterbatasan fasilitas, waktu

dan dana sering biosi otak ini tidak dilakukan.

II.2.4. Tatalaksana

AAN Quality Standards subcommittee (1998) merekomendasikan

penggunaan terapi empirik pada pasien yang diduga ensefalitis toxoplasma selama

2 minggu, kemudian dimonitor lagi setelah 2 minggu, bila ada perbaikan secara

klinis maupun radiologi, diagnosis adanya ensefalitis toxoplasma dapat ditegakkan

dan terapi ini dapat di teruskan. Lebih dari 90% pasien menunjukkan perbaikan

klinis dan radiologik setelah diberikan terapi inisial selama 10-14 hari. Jika tidak

ada perbaikan lesi setelah 2 minggu, diindikasikan untuk dilakukan biopsi otak.

31

Page 32: Meningoensefalitis Toksoplasma

Terapi ensefalitis toxoplasma yang direkomendasikan adalah kombinasi

pirimetamin 50-100 mg perhari yang dikombinasikan dengan sulfadiazin 1-2 g tiap

6 jam. Pada pasien yang alergi terhadap sulfa dapat diberikan kombinasi

pirimetamin 50-100 mg perhari dengan clindamicin 450-600 mg tiap 6 jam.

Disamping itu perlu pemberian asam folinic 5-10 mg perhari untuk mencegah

depresi sumsum tulang. Bila pasien alergi terhadap sulfa dan clindamicin, dapat

diganti dengan Azitromycin 1200 mg/hr, atau claritromicin 1 gram tiap 12 jam,

atau atova quone 750 mg tiap 6 jam. Terapi ini diberikan selam 4-6 minggu atau 3

minggu setelah perbaikan gejala klinis.

Pemeriksaan CT scan menunjukkan adanya lesi hipodens, multiple,

bilateral dan menyangat setelah pemberian kontras, seperti ringlike pattern pada

70-80% kasus. Lesi ini berpredileksi di ganglia basalis dan hemispheric

corticomedullary junction. Pemeriksaan MRI lebih sensitif dibanding CT Scan.

Ditemukannya lesi pada pemeriksaan CT Scan ataupun MRI tidak patognomonik

untuk ensefalitis toxoplasma. Lesi ini harus didiagnosis banding dengan limfoma

SSP dan criptococcus.

Terapi ensefalitis toxoplasma yang lazim diberikan di RS Cipto

Mangunkusumo Jakarta adalah (Sulfadoxin 500 mg + Pyrimethamin 25 mg) tiap 6

jam, Clindamicin 600 mg tiap 6 jam, dan asam folinic 10 mg perhari. Suatu uji

randomisasi oleh Danneman et al., menunjukkan kombinasi pirimetamin dengan

sulfadiazin sedikit lebih unggul dibanding kombinasi pirimetamin dengan

clindamisin. Sehingga diusulkan untuk menggunakan kombinasi pirimetamin

dengan sulfadiazin.

Dua minggu setelah pemberian terapi empirik dilakukan evaluasi ulang

CT Scan. Untuk menilai perbaikan secara radiologis, digunakan 2 parameter yaitu

ukuran lesi dan penyangatan lesi setelah pemberian kontras. Pada pasien ini,

evaluasi CT scan terdapat perbaikan, dimana ukuran lesi mengecil dan pada

pemberian kontras tidak tampak adanya penyangatan. Adanya perbaikan klinis dan

radiologis pada terapi empirik toxoplasmosis selama 2 minggu, maka diagnosis

definitive ensefalitis toxoplasma dapat ditegakkan.

Pada penelitian double blind, placebo-controlled trial di Tanzania (Fawzi et

al) terhadap 1078 wanita hamil terinfeksi HIV yang diberikan suplemen

multivitamin berupa vitamin A, beta karoten, B, C dan E menunjukkan adanya

peningkatan CD 4 secara bermakna dan penurunan viral load secara bermakna.

32

Page 33: Meningoensefalitis Toksoplasma

Sehingga pemberian multivitamin pada pasien yang terinfeksi HIV dapat

dipertimbangkan.

Ditemukan adanya movement disorder pada pasien ensefalitis toxoplasma

diduga berhubungan dengan letak lesi, yaitu pada ganglia basalis. Movement

disorder terjadi akibat disfungsi dari struktur ganglia basalis.

Terapi anti retro viral (ARV) diindikasikan pada penderita yang

terinfeksi HIV dengan CD4 kurang dari 200 sel/mL, dengan gejala (AIDS) atau

limfosit total kurang dari 1200.

II.3. Meningitis toxoplasma

II.3.1. Definisi

Meningitis adalah inflamasi pada selaput meningen yang menyebabkan

timbulnya gejala meningeal (seperti kaku kuduk, sakit kepala, fotofobia) dan

meningkatnya jumlah leukosit pada LCS.

II.3.2. Epidemiologi

Virus merupakan penyebab tersering meningitis aseptik

Mortalitas akibat meningitis bergantung kepada agen penyebabnya

- Mortalitas akibat meningitis viral (tanpa ensefalitis) <1%

- Mortalitas akibat meningitis bakterialis mencapai 25% (tertinggi

disebabkan oleh bakteri golongan pneumococcus)

Meningitis dapat mengenai semua ras

Meningitis dapat mengenai semua umur, namun induvidu yang sangat muda

(infant dan anak) dan orang tua >60 tahun memiliki risiko lebih tinggi untuk

terkena meningitis.

II.3.3. Klasifikasi

Berdasarkan durasi timbulnya gejala, meningitis dibagi menjadi meningitis

akut (gejala timbul dalam hitungan jam hingga hari) dan meningitis kronik (gejala

timbul dalam hitungan minggu hingga bulan). Meningitis dapat terjadi akibat agen

infeksiosa (contoh bakteri, virus, jamur, parasit) maupun agen non infeksiosa

(contoh NSAID, antibiotik, karsinomatosa). Beberapa klasifikasi meningitis:

a) Meningitis akut

1. Meningitis bakterial akut

Usia/Faktor predisposisi Bakteri patogen

33

Page 34: Meningoensefalitis Toksoplasma

Usia 0-4 minggu (neonatus)

S agalactiae (streptococci grup B)

E coli K1

L monocytogenes

Usia 4 minggu-3 bulan

S agalactiae

E coli

H influenzae

S pneumoniae

N meningitidis

Usia 3 bulan – 18 tahun

N meningitidis

S pneumoniae

H influenzae

Usia >18 tahun (dewasa)

S pneumoniae

N meningitidis

H influenzae

2. Meningitis aseptik

Merupakan sindrom infeksi mengenai pada SSP yang paling sering. Dapat

disebabkan oleh virus patogen, bakteri, jamur ataupun parasit.

3. Meningitis viral akut

- Enterovirus

Tersebar di seluruh dunia, infeksi tergantung musim, usia dan sosial

ekonomi. Penyebaran secara fekal-oral, dapat terjadi sepanjang tahun

pada Negara tropis, terutama selama musim panas dan musim gugur

pada negara dengan empat musim. Infeksi tertinggi mengenai anak <1

tahun.

- Herpes virus

HSV 1 terutama menyebabkan ensefalitis, HSV 2 lebih sering

menyebabkan meningitis.

34

Page 35: Meningoensefalitis Toksoplasma

b) Meningitis kronik : gejala dan tanda iritasi mening serta pleositosis LCS

berlangsung >4 minggu, dapat disebabkan oleh bakteri, jamur atau parasit.

1. Meningitis bakterial kronik

Disebabkan oleh spesies Brucella (coccobacilli gram negatif), transmisi

melalui kontak dengan binatang (ternak) yang terinfeksi, distribusi

terutama di Timur Tengah, India, Amerika Tengah dan Amerika Selatan

2. Meningitis tuberkulosa

Disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, transmisi melalui droplet

airborne. Harus selalu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding pada

pasien dengan meningitis aseptik dan sindrom meningitis kronik.

Keterlibatan SSP pada meningitis akibat TB biasanya disebabkan ruptur

tuberkel ke ruang subaraknoid. Dapat bermanifestasi akut, namun

presentasi yang klasik adalah sub akut, dengan adanya gejala prodromal

berupa demam, malaise, sakit kepala intermiten. Pasien dapat pula

mengalami kelumpuhan saraf kranial (N III, IV, V, VI, dan VII) yang

menunjukkan keterlibatan mening basilar. Dibagi menjadi tiga stadium

klinik (staging) berdasarkan status neurologis :

oStadium 1 tidak ada perubahan status mental, defisit neurologis,

hidrosefalus

oStadium 2 pasien menjadi confusion, ada defisit neurologis

oStadium 3 letargi dan stupor

3. Meningitis fungal : dapat disebabkan oleh C neoformans, C immitis, H

capsulatum, Candida albicans.

II.3.4. Patogenesis

Agen infeksiosa dapat mencapai sistem saraf pusat untuk kemudian

menimbulkan penyakit melalui beberapa jalur. Pada awalnya agen infeksiosa

membentuk satu kolonisasi (infeksi yang terlokalisasi) seperti di kulit, nasofaring,

traktus respiratorius, traktus gastrointestinal ataupun traktus genitourinaria. Dari

lokasi ini, organisme menginvasi sub mukosa dan akhirnya mencapai sistem saraf

pusat melalui darah/hematogen, neuronal retrograde (contoh: melalui nervus

olfaktorius, saraf perifer), atau penyebaran lansung (contoh: dari sinusitis, otitis

media, inokulasi langsung selama manipulasi intrakranial).

35

Page 36: Meningoensefalitis Toksoplasma

II.3.5. Diagnosis

Diagnosis meningitis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan imaging. Anamnesis yang baik

dapat membantu/ mengarahkan diagnosis meningitis akibat etiologi tertentu.

Contoh:

Waktu terjadinya infeksi merupakan variabel penting karena infeksi

oleh agen tertentu bersifat musiman (Infeksi enterovirus di negara

tropis dapat terjadi sepanjang tahun sementara di negara dengan empat

musim, infeksi terjadi pada akhir musim panas hingga awal musim

gugur. Sebaliknya, infeksi mumps, measles dan varicella zoster lebih

sering terjadi pada musim dingin dan musim semi)

Riwayat kontak dengan orang dengan penyakit serupa

Riwayat kontak seksual dan perilaku berisiko tinggi terkait dengan

meningitis HSV

Riwayat bepergian ke daerah tertentu

Konsumsi susu yang tidak mengalami pasteurisasi merupakan

predisposisi untuk infeksi brucellosis dan L monocytogenes

Riwayat kontak dengan binatang seperti rodent merupakan predisposisi

untuk terkena infeksi Leptospira dan LCM (lymphocytic

choriomeningitis virus)

Riwayat operasi kranial.

Pada pemeriksaan fisik pasien meningitis dapat ditemukan:

Presentasi klasik meningitis meliputi demam, sakit kepala, tanda

rangsang meningeal, fotofobia, nausea, muntah dan tanda disfungsi

serebral (letargi, delirium, koma)

Kelumpuhan saraf kranial akibat peningkatan tekanan intrakranial atau

akibat adanya eksudat yang menekan saraf

Gejala neurologis fokal dapat terjadi akibat inflamasi pembuluh darah

dan trombosis yang kemudian menyebabkan iskemia

Seizures dapat terjadi pada kurang lebih 30% pasien

Tanda-tanda peningkatan intrakranial seperti papil edem

36

Page 37: Meningoensefalitis Toksoplasma

Pemeriksaan LCS merupakan pemeriksaan laboratorium untuk

mendiagnosis meningitis. Secara umum, jika diagnosis meningitis sudah

dipertimbangkan, maka segera dilakukan pungsi lumbal. Pemeriksaan LCS rutin

meliputi warna, opening pressure, hitung jenis sel, kimia dan mikrobiologi.

Pemeriksaan khusus seperti serologi dan amplifikasi asam nukleat dilakukan

berdasarkan kecurigaan klinis tertentu.

AgenOpening

PressureWBC/uL

Glucosa

(mg/dL)

Protein

(mg/dL)Mikrobiologi

Meningitis

bakterialis

200-300 100-5000;

>80% PMN<40 >100

Patogen spesifik

terlihat pada 60%

Gram dan 80%

kultur

Meningitis

viral 90-200

10-300;

limfosit

MN>PMN

Normal,

pada mumps

Normal, dapat

pula sedikit ↑

Isolasi virus,

PCR

Meningitis

tuberkulosa 180-300

100-500;

limfosit

MN>PMN

, <40 ↑, >100BTA, kultur,

PCR

Meningitis

cryptococcal180-300

10-200;

limfosit 50-200

Tinta India,

antigen

cryptococcal,

kultur

Meningitis

aseptik 90-200

10-300;

limfosit Normal

Normal, dapat

pula sedikit ↑Negatif

Nilai normal 80-200 0-5;

limfosit 50-75 15-40 Negatif

37

Page 38: Meningoensefalitis Toksoplasma

CT scan dan MRI (neuroimaging) diindikasikan pada pasien dengan demam

berkepanjangan, tanda dan gejala defisit neurologis fokal, tanda dan gejala peningkatan TIK

dan suspek fraktur basilar. Imaging juga diindikasikan untuk evaluasi sinus paranasal.

Pemeriksaan ini bermanfaat untuk mendeteksi komplikasi meningitis pada SSP seperti

hidrosefalus, infark serebri, abses otak, empiema subdural dan trombosis sinus kevernosus.

II.4. HIV / AIDS

II.4.1. Definisi

Acquired Immune Deficiency Syndrom (AIDS) merupakan sindrom

kumpulan berbagai gejala dan infeksi akibat dari hilangnya sistem kekebalan

tubuh karena infeksi dari Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada manusia

yang ditandai dengan adanya penekanan system imun tubuh dengan beberapa

manifestasi klinis, seperti infeksi oportunistik, keganasan, dan menurunnya fungsi

sistem saraf pusat.

Penderita AIDS dimasyarakat digolongkan kedalam 2 kategori yaitu :

1. Penderita yang mengidap HIV dan telah menunjukkan gejala klinis (penderita

AIDS positif).

2. Penderita yang mengidap HIV, tetapi belum menunjukkan gejala klinis

(penderita AIDS negatif).

II.4.2. Etiologi

Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang

disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi

oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama

Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat

pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional

pada tahun 1986 nama firus dirubah menjadi HIV.

Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam

bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau

melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T,

karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel

Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap

hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam

tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan

38

Page 39: Meningoensefalitis Toksoplasma

dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut. Secara mortologis HIV terdiri

atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung (envelop). Bagian

inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim

reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian selubung terdiri atas lipid

dan glikoprotein, berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang rentan.

Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV

termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar

matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton,

alkohol, jodium hipoklorit dansebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi

dan sinar utraviolet. Virus HIV hidup dalam darah, savila, semen, air mata dan

mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag

dan sel glia jaringan otak.

II.4.3. Masa Inkubasi

Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar

virus HIV sampai dengan menunjukkan gejala-gejala AIDS. Waktu yang

dibutuhkan ratarata cukup lama dan dapat mencapai kurang lebih 12 tahun dan

semasa inkubasi penderita tidak menunjukkan gejala-gejala sakit. Selama masa

inkubasi ini penderita disebut penderita HIV. Pada fase ini terdapat masa dimana

virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3

bulan sejak tertular virus HIV yang dikenal dengan “masa wndow periode”.

Selama masa inkubasi penderita HIV sudah berpotensi untuk menularkan virus

HIV kepada orang lain dengan berbagai cara sesuai pola transmisi virus HIV.

Mengingat masa inkubasi yang relatif lama, dan penderita HIV tidak

menunjukkan gejala-gejala sakit, maka sangat besar kemungkinan penularan

terjadi pada fase inkubasi ini.

II.4.4. Epidemiologi

Sindroma AIDS pertama kali dilaporkan oleh Gottlieb dari Amerika pada

tahun 1981. Sejak saat itu jumlah negara yang melaporkan kasus-kasus AIDS

meningkat dengan cepat. Dewasa ini penyakit HIV/AIDS telah merupakan

pandemi, menyerang jutaan penduduk dunia, pria, wanita, bahkan anak-anak.

WHO memperkirakan bahwa sekitas 15 juta orang diantaranya 14 juta remaja dan

dewasa terinfeksi HIV. Setiap hari 5000 orang ketularan virus HIV. Menurut

etimasi WHO pada tahun 2000 sekitar 30-40 juta orang terinfeksi virus HIV, 12-

39

Page 40: Meningoensefalitis Toksoplasma

18 juta orang akan menunjukkan gejala-gejala AIDS dan setiap tahun sebanyak 1,8

juta orang akan meninggal karena AIDS. Pada saat ini laju infeksi (infection rate)

pada wanita jauh lebih cepat dari pada pria. Dari seluruh infeksi, 90% akan terjadi

di negara berkembang, terutama Asia.

II.4.5. Penularan

Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu

penyakit yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan,

tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (port’d entrée). Virus HIV sampai

saat ini terbukti hanya menyerang sel Lymfosit T dan sel otak sebagai organ

sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Sebagai

vehikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada

orang lain adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan

diantaranya semen, cairan vagina atau servik dan darah penderita.

Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga

kini cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui :

1. Transmisi Seksual

Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun

Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering

terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina

atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV

kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada

pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan

seks. Pada penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko seropositive

untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual

yang dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering

berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok

manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.

2. Transmisi Non Seksual

Transmisi Parentral

Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya

(alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah

gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang

tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi

melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa

40

Page 41: Meningoensefalitis Toksoplasma

disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi

parental ini kurang dari 1%.

Darah/Produk Darah, transmisi melalui transfusi atau produk

darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun 1985.

Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat

sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum

ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah

adalah lebih dari 90%.

Transmisi Transplasental

Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak

mempunyai resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi

sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan

melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.

II.4.6. Patogenesis

Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis limposit T

helper/induser yang mengandung marker CD 4 (sel T 4). Limfosit T 4 merupakan

pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam

menginduksi fungsi-fungsi imunologik. Menurun atau hilangnya sistem imunitas

seluler, terjadi karena HIV secara selektif menginfeksi sel yang berperan

membentuk zat antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel lymfosit T4.

Setelah HIV mengikat diri pada molekul CD 4, virus masuk kedalam target dan ia

melepas bungkusnya kemudian dengan enzym reverse transcryptae ia merubah

bentuk RNA agar dapat bergabung dengan DNA sel target. Selanjutnya sel yang

berkembang biak akan mengundang bahan genetik virus. Infeksi HIV dengan

demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup. Pada awal infeksi,

HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang di infeksinya tetapi terlebih

dahulu mengalami replikasi (penggandaan), sehingga ada kesempatan untuk

berkembang dalam tubuh penderita tersebut, yang lambat laun akan menghabiskan

atau merusak sampai jumlah tertentu dari sel lymfosit T4. setelah beberapa bulan

sampai beberapa tahun kemudian, barulah pada penderita akan terlihat gejala

klinis sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut. Masa antara terinfeksinya HIV

dengan timbulnya gejala-gejala penyakit (masa inkubasi) adalah 6 bulan sampai

41

Page 42: Meningoensefalitis Toksoplasma

lebih dari 10 tahun, rata-rata 21 bulan pada anak-anak dan 60 bulan pada orang

dewasa.

Infeksi oleh virus HIV menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak yang

mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau hilang, akibatnya mudah terkena

penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri,

protozoa, dan jamur dan juga mudah terkena penyakit kanker seperti sarcoma

kaposi. HIV mungkin juga secara langsung menginfeksi sel-sel syaraf,

menyebabkan kerusakan neurologis.

II.4.7. Manifestasi Klinis

Tanda-tanda gejala-gejala (symptom) secara klinis pada seseorang

penderita AIDS adalah diidentifikasi sulit karena symptomasi yang ditujukan pada

umumnya adalah bermula dari gejala-gejala umum yang lazim didapati pada

berbagai penderita penyakit lain, namun secara umum dapat kiranya dikemukakan

sebagai berikut :

• Rasa lelah dan lesu

• Berat badan menurun secara drastis

• Demam yang sering dan berkeringat diwaktu malam

• Mencret dan kurang nafsu makan

• Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut

• Pembengkakan leher dan lipatan paha

• Radang paru-paru

• Kanker kulit

Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2 hal antara lain

tumor dan infeksi oportunistik :

1. Manifestasi tumor, di antaranya :

Sarkoma kaposi ; kanker pada semua bagian kulit dan organ

tubuh. Frekuensi kejadiannya 36-50% biasanya terjadi pada

kelompok homoseksual, dan jarang terjadi pada heteroseksual

serta jarang menjadi sebab kematian primer.

Limfoma ganas ; terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang

syaraf, dan bertahan kurang lebih 1 tahun.

2. Manifestasi Oportunistik, di antaranya :

a. Manifestasi pada Paru-paru

42

Page 43: Meningoensefalitis Toksoplasma

Pneumonia Pneumocystis (PCP)

Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS

merupakan infeksi paru-paru PCP dengan gejala sesak nafas,

batuk kering, sakit bernafas dalam dan demam.

Cytomegalo Virus (CMV)

Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada

paru-paru tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV

merupakan penyebab kematian pada 30% penderita AIDS.

Mycobacterium Avilum

Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan

sulit disembuhkan.

Mycobacterium Tuberculosis

Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan

cepat menyebar ke organ lain diluar paru.

b. Manifestasi pada Gastroitestinal

Tidak ada nafsu makan, diare kronis, berat badan turun lebih 10%

perbulan.

c. Manifestasi Neurologis

Sekitar 10% kasus AIDS nenunjukkan manifestasi Neurologis,

yang biasanya timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan syaraf

yang umum adalah ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati dan

neuropari perifer.

Infeksi oportunistik dapat terjadi pada CD4 < 200 sel/µl maupun CD4 <

200 sel/µl. Pada umumnya kematian pada orang dengan HIV/ AIDS (ODHA)

disebabkan oleh infeksi oportunistik. Sebagian infeksi oportunistik dapat diobati.

Namun jika kekebalan tubuh tetap rendah, infeksi oportunistik mudah kambuh

kembali atau dapat juga timbul oportunistik yang lain. Dengan penggunaan ARV

peningkatan kekebalan tubuh (CD4) dapat dicapai sehingga risiko infeksi

oportunistik dapat dikurangi.

Pola infeksi oportunistik di Indonesia :

Infeksi oportunistik Frekuensi

Kandidiasis mulut-esofagus 80,8 %

Tuberkulosis 40,1%

43

Page 44: Meningoensefalitis Toksoplasma

CMV 28,8%

Ensefalitis toxoplasma 17,3%

Pneumonia Pneumocystis carinii (PCP) 13,4%

Herpes simplex 9,6%

Mycobacterium avium complex (MAC) 4,0%

Kriptosporodiosis 2,0%

Histoplasma paru 2,0%

II.4.8. Diagnosis

Human Immunodefeciency Virus dapat di isolasi dari cairan-cairan yang

berperan dalam penularan AIDS seperti darah, semen dan cairan serviks atau

vagina. Diagnosa adanya infeksi dengan HIV ditegakkan di laboratoruim dengan

ditemukannya antibodi yang khusus terhadap virus tersebut. Pemeriksaan untuk

menemukan adanya antibodi tersebut menggunakan metode Elisa (Enzyme Linked

Imunosorbent Assay). Bila hasil test Elisa positif maka dilakukan pengulangan

dan bila tetap positif setelah pengulangan maka harus dikonfirmasikan dengan test

yang lebih spesifik yaitu metode Western Blot.

Dasar dalam menegakkan diagnosa AIDS adalah :

1. Adanya HIV sebagai etiologi (melalui pemeriksaan laboratorium).

2. Adanya tanda-tanda Immunodeficiency.

3. Adanya gejala infeksi oportunistik.

Dalam prakteknya yang dipakai sebagai petunjuk adalah infeksi

oportunistik atau sarkoma kaposi pada usia muda kemudian dilakukan uji

serologis untuk mendeteksi zat anti HIV (Elisa, western Blot).

44

Page 45: Meningoensefalitis Toksoplasma

DAFTAR PUSTAKA

1. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi, Fisiologi, Tanda,

Gejala. Edisi 4. Jakarta: EGC, 2010. Hal: 358-370.

2. Lumbantombing, SM. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI, 2004

3. Mamidi A, DeSimone J, Pomerantz R. Central Nervous system infections in

individuals with HIV-1 infection. J NeuroVirol 2002; 8: 158-67.

4. Mansjoer, A. Meningitis Tuberkulosis. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran Edisi

ketiga. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : 2000.

5. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2004. hal 303-

20 & 374-75.

6. Martini, FH. Fundamentals of Anatomy and Physiology. 7 th Edition. USA: Pearson

Benjamin Cummings; 2005. P 1006.

7. Misbach J. Hamid AB, Mayza A. Standar Pelayanan Medis dan Standar Prosedur

Neurologi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia 2006.

8. Price Sylvia. Patofisiologi. Edisi 6. Volume 1. EGC: Jakarta. 2006. hal : 231-236 &

485-90.

9. Schossberg, D. Infections of the Nervous System. Springer Verlag. Philladelphia,

Pennsylvania. 2006.

10. Tsumoto, S. Guide to Meningoencephalitis Diagnosis. JSAI KKD Chalenge 2001.

11. Wood AJJ, Masur H. Prophylaxis against opportunistic infections in patients with

human immunodeficiency virus infection. N Engl J Med 2000; 342 : 1416-26.

12. Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z. Infeksi Oportunistik pada AIDS. Jakarta: FKUI;

2005.

45