Upload
resiseptiani
View
24
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
meningtis tb
Citation preview
1
Meningitis Tuberkulosis
Rosalia Annamasbit Juliyanti P.K (102010312), Cristomi Thenager (102011449), Prizilia
Saimima (102012061), Adnan Firdaus (102012105), Melisa Andriana (102012170), Ega Farhatu
Jannah (102012277), Steven Leonardo (102012326), Nyimas Amelia Pebrina (102012406),
Muhammad Zulhusni Ngali (102012495), Putri Primastuti Handayani (102013477)
B7
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJalan Terusan Arjuna No. 6 Kebon Jeruk Jakarta Barat - Indonesia
Email: adnan.2012FK105 @civitas.ukrida.ac.id/[email protected]
Pendahuluan
Penyakit infeksi sistem saraf pusat (SSP) mencangkup seluruh struktur yang terdapat di
SSP, seperti ensefalitis, meningitis, abses otak, maupun vaskulitis. Tanda-tanda umum infeksi
SSP ialah demam, nyeri kepala, penurunan kesadaran, atau terdapat gejala neurologi fokal yang
bersifat progresif.1
Meningitis merupakan salah satu infeksi pada susunan saraf pusat yang mengenai selaput
otak dan selaput medulla spinalis yang juga disebut sebagai meningens. Meningitis dapat
disebabkan oleh berbagai jenis mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur dan parasit.
Meningitis Tuberkulosis tergolong ke dalam meningitis yang disebabkan oleh bakteri yaitu
Mycobacterium Tuberculosa. Bakteri tersebut menyebar ke otak dari bagian tubuh yang lain.
Meningitis Tuberkulosa adalah bentuk umum dari infeksi tuberkulosis pada sistem saraf pusat
dan memiliki tingkat kecacatan dan kematian yang tinggi.2
Diagnosis meningitis tuberkulosis (MTB) didasarkan pada isolasi Mycobacterium
tuberculosis dan cairan serebrospinal. Namun, pemeriksaan ini membutuhkan waktu yang lama
dan tidak sensitif. Pemeriksaan pewarnaan Ziehl-Neelsen untuk basil tahan asam merupakan
pilihan pemeriksaan yang cepat namun tidak sensitif.3
Fakultas Kedokteran Ukrida
2
Skenario Kasus
Seorang laki-laki usia 68 tahun datang ke rumah sakit diantar keluarganya dengan
keluhan sakit kepala yang semakin berat dan demam sejak 2 minggu yang lalu. Keluarga pasien
juga mengeluh pasien menjadi sering mengantuk dan tidak nafsu makan. Pasien mempunyai
riwayat batuk selama 3 bulan dan tidak rutin minum obat. Hasil pemeriksaan fisik adalah,
tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 90 x/menit, pernapasan 20 x/menit, suhu 37,4oC. GCS 12 (E3,
M6, V3), kaku kuduk positif, pemeriksaan penunjang tidak ada.
Anamnesis
1. Keluhan Utama3
a. Apakah pasien mengalami sakit kepala?? Jika ya, kapan mulai merasakannya?? Nyeri
seperti apa?? Apakah mulainya mendadak atau bertahap??
b. Adakah gejala penyerta seperti fotofobia, kaku leher, mual, muntah, demam, mengantuk,
atau bingung??
c. Pernakah pasien mengalami nyeri kepala sebelumnya??
d. Adakah tanda-tanda neurologis seperti diplopia, kelemahan fokal, atau gejala sensoris??
e. Gejala sistemik lain seperti mual, muntah, demam, atau menggigil??
2. Riwayat Penyakit Dahulu3
a. Adakah riwayat meningitis, kebocoran atau pirau LCS, trauma kepala berat yang baru
terjadi, infeksi telinga yang baru terjadi, atau sinusitis??
b. Apakah pasien mengalami imunosupresi??
c. Adakah riwayat vaksinasi??
3. Riwayat Keluarga dan Sosial3
a. Adakah riwayat meningitis dalam keluarga atau kontak dengan pasien yang diduga
meningitis??
b. Apakah baru-baru ini pasien berpergian ke luar negeri??
4. Riwayat Obat3
a. Apakah baru-baru ini pasien mendapat terapi antibiotika??
b. Apakah pasien memiliki alergi antibiotik??
Fakultas Kedokteran Ukrida
3
Pemeriksaan Fisik3
1. Apakah pasien sakit ringan atau sakit berat?? Apakah pasien waspada, mengantuk, atau
tidak sadar??
2. Berapa suhu pasien??
3. Periksa denyut nadi, tekanan darah, dan laju pernapasan??
4. Adakah ruam, khususnya akibat septikimia meningokokal, kaku leher, atau fotofobia??
5. Adakah tanda kernig??
6. Adakah kelainan pada pemeriksaan fisik neurologis??
7. Periksa tenggorokan, hidung, telinga, atau mulut.
8. Lakukan pemeriksaan fisik umum secara lengkap terutama untuk mencari tanda fokus septik
lain.
Pemeriksaan Rangsangan Meningeal4,5
1. Pemeriksaan Kaku Kuduk. Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif
berupa fleksi dan rotasi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan
tahanan pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot. Dagu tidak dapat
disentuhkan ke dada dan juga didapatkan tahanan pada hiperekstensi dan rotasi kepala.
2. Pemeriksaan Tanda Kernig. Pasien berbaring terlentang, tangan diangkat dan dilakukan
fleksi pada sendi panggul kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin
tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135°
(kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa
nyeri.
3. Pemeriksaan Tanda Brudzinski I ( Brudzinski Leher). Pasien berbaring terlentang dan
pemeriksa meletakkan tangan kirinya dibawah kepala dan tangan kanan diatas dada pasien
kemudian dilakukan fleksi kepala dengan cepat kearah dada sejauh mungkin. Tanda
Brudzinski I positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada leher.
4. Pemeriksaan Tanda Brudzinski II ( Brudzinski Kontra Lateral Tungkai). Pasien
berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi panggul (seperti pada
pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi
involunter pada sendi panggul dan lutut kontralateral.1
Fakultas Kedokteran Ukrida
4
Pemeriksaan Penunjang1,4
1. Pemeriksaan darah lengkap
Anemia ringan. Peningkatan laju endap darah.
2. Lumbal pungsi
Gambaran LCS pada meningitis TB :
• Warna jernih (khas), bila dibiarkan mengendap akan membentuk batang-batang.
Dapat juga berwarna xanhtochrom bila penyakitnya telah berlangsung lama dan
ada hambatan di medulla spinalis
• Jumlah Sel meningkat MN > PMN
Jumlah sel 100 – 500 sel / μl. Mula-mula, sel polimorfonuklear dan limfosit sama
banyak jumlahnya, atau kadang-kadang sel polimorfonuklear lebih banyak
(pleositosis mononuklear). Kadang-kadang, jumlah sel pada fase akut dapat
mencapai 1000 / mm3.
• Limfositer
• Protein meningkat (dapat lebih dari 200 mg / mm3). Hal ini menyebabkan liquor
cerebrospinalis dapat berwarna xanthochrom dan pada permukaan dapat tampak
sarang laba-laba ataupun bekuan yang menunjukkan tingginya kadar fibrinogen.
• Glukosa menurun <50 % kadar glukosa darah
Kadar glukosa: biasanya menurun (<>liquor cerebrospinalis dikenal sebagai
hipoglikorazia. Adapun kadar glukosa normal pada liquor cerebrospinalis adalah
±60% dari kadar glukosa darah. Kadar klorida normal pada stadium awal,
kemudian menurun.
Pemeriksaan tambahan lainnya :
• Tes Tuberkulin
• Ziehl-Neelsen ( ZN )
• PCR ( Polymerase Chain Reaction )
3. Rontgen thorax
• TB apex paru
• TB milier
4. CT scan otak
Fakultas Kedokteran Ukrida
5
• Penyengatan kontras ( enhancement ) di sisterna basalis
• Tuberkuloma : massa nodular, massa ring-enhanced
• Komplikasi : hidrosefalus
5. MRI
Diagnosis dapat ditegakkan secara cepat dengan PCR, ELISA dan aglutinasi Latex.
Baku emas diagnosis meningitis TB adalah menemukan M. tb dalam kultur CSS. Namun
pemeriksaan kultur CSS ini membutuhkan waktu yang lama dan memberikan hasil positif
hanya pada kira-kira setengah dari penderita.
Diagnosis
Working Diagnosis: Meningitis Tuberkulosis.
Diffrential Diagnosis: Meningitis Bakterilialis, Meningitis Virus, Meningitis Fungal.
Tabel 1. Diagnosa Banding1,8,9
Meningitis Bakteri Meningitis Virus Meningitis Fungal
Penyebab
Streptococcus pneumoniae,
Neisseria meningitidis,
Streptococcus grup B, Listeria
monocytogenes, H. Influenzae,
Treponema pallidum.
Enterovirus:
coxsackievirus, echovirus,
human anteroviruses. Virus
herpes simpleks 2,
Arthropod-borne viruses.
Cryptococcus
neoformans
Tanda & Gejala Demam, nyeri kepala, kaku
kuduk, penurunan kesadaran,
mual, muntah, fotofobia, kejang,
Nyeri kepala, demam, tanda
iritasi meningens, fotofobia,
lemas, mialgia, anoreksia,
mual muntah, nyeri perut,
diare.
Sakit kepala, vertigo,
diplopia, strabismus,
muntah.
TatalaksanaGol. Sefalosporin generasi 3,
antiemetik, antikonvulsan,
kortikosteroid.
Cairan IV, asiklovir,
gansiklovir, antiemetik,
istirahat.
Flukonazol 200-400 mg,
amfoterisin B 0,5-1
mg/KgBB, flusitosin
100 mg/hari.
Penunjang Lumbal punksi, CT-Scan, MRI,
kultur.
Usap hidung, CSS,
serologi, PCR.
Sputum, bilasan
bronkus, CSS, urin,
darah, serologi.
Fakultas Kedokteran Ukrida
6
Epidemiologi
TB adalah penyebab utama kematian nomor tujuh dan kecacatan di seluruh dunia. Pada
tahun 1997, MTB adalah bentuk paling umum kelima TB paru. MTB menyumbang 5,2% (186)
dari semua kasus penyakit paru eksklusif dan 0,7% dari semua kasus yang dilaporkan TB.5
Menurut data statistik Amerika Serikat antara 1969 sampai 1973, MTB menyumbang
sekitar 4,5% dari total morbiditas TB paru di Amerika Serikat. Antara tahun 1975 sampai 1990,
3,083 kasus MTB dilaporkan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), rata-rata
193 kasus per tahun, terhitung 4,7% dari total kasus TB paru selama 16 tahun. Pada tahun 1990,
284 kasus MTB, merupakan 6,2% dari morbiditas yang dikaitkan dengan TB paru. Peningkatan
MTB kemungkinan besar karena meningkatnya CNS TB di antara pasien dengan HIV/AIDS dan
meningkatnya insiden TB pada bayi, anak-anak, dan orang dewasa muda pada populasi
minoritas.5
WHO (2003) memperkirakan bahwa sepertiga dari populasi dunia terinfeksi oleh M.
Tuberkulosis. Laporan menyatakan bahwa 8 juta kasus baru TB dilaporkan setiap tahun dan 2
juta kematian terjadi setiap tahun. Diperkirakan 8,8 juta kasus TB baru tercatat pada tahun 2005
di seluruh dunia, 7,4 juta di Asia dan sub Sahara Afrika. Sebanyak 1,6 juta orang meninggal
akibat TB, termasuk 195.000 pasien yang terinfeksi HIV. Pada tahun 2005, tingkat kejadian TB
stabil atau menurun di seluruh wilayah 6. Namun, jumlah kasus TB baru masih meningkat
perlahan, kasus-beban terus berkembang di Afrika, Mediterania timur, dan wilayah Asia
Tenggara. Di banyak daerah di Afrika dan Asia, kejadian tahunan infeksi TB untuk segala usia
sekitar 2%, yang akan menghasilkan sekitar 200 kasus TB per 10.000 penduduk per tahun.
Sekitar 15-20% dari kasus-kasus ini terjadi pada anak yang lebih muda dari 15 tahun.5
Di negara berkembang memiliki 1,3 juta kasus TB dan 40.000 kematian terkait TB
setiap tahun di antara anak muda dari usia 15 tahun. Di negara berkembang, 10-20% orang yang
meninggal karena TB adalah anak-anak. MTB mempersulit sekitar 1 dari setiap 300 infeksi TB
primer yang tidak diobati.5
Sebelum munculnya HIV, penentu paling penting bagi pengembangan MTB adalah usia.
Data yang diterbitkan pada tahun 2000 mengungkapkan bahwa risiko meningkat dengan usia di
kelompok ras dan etnis. Dalam populasi dengan prevalensi rendah TB, sebagian besar kasus
MTB terjadi pada orang dewasa. Di Amerika Serikat pada tahun 1996, tingkat kasus yang rendah
Fakultas Kedokteran Ukrida
7
pada masa bayi dan menurun sedikit pada anak usia dini. Setelah usia pubertas, mereka
menunjukkan peningkatan yang stabil dengan usia.5
Secara umum, MTB lebih sering terjadi pada anak-anak daripada pada orang dewasa,
terutama dalam 5 tahun pertama kehidupan. Bahkan, anak-anak usia 0-5 tahun yang rentan lebih
sering terserang MTB daripada kelompok usia lainnya. TBM jarang pada anak pada usia 6 bulan
dan hampir tidak pernah terdengar pada bayi berusia kurang dari 3 bulan, karena urutan patologis
penyebab memakan waktu setidaknya 3 bulan untuk berkembang.5
Pada orang yang lebih muda dari 20 tahun, tingkat infeksi TB yang sama untuk kedua
jenis kelamin; tingkat terendah yang diamati pada anak usia 5-14 tahun. Selama masa dewasa,
tingkat infeksi TB secara konsisten lebih tinggi untuk laki-laki daripada perempuan; pria-wanita
rasio adalah sekitar 2:1.5
Pada tahun 2000, sekitar 75% dari semua kasus TB yang dilaporkan terjadi di ras dan
etnis minoritas, termasuk 32% pada orang kulit hitam non-Hispanik, 23% di Hispanik, 21% di
Asia dan Kepulauan Pasifik, dan 1% di penduduk asli Amerika dan Alaska Pribumi. Sekitar 22%
dari semua kasus yang dilaporkan terjadi di kulit putih non-Hispanik.5
Meningitis tuberkulosis biasanya terjadi sekunder dari infeksi tuberkulosis di tempat lain
di dalam tubuh, terutama dari paru-paru. Menurut Dye (1999) Indonesia menduduki peringkat
ketiga dari 22 negara dengan insidensi kasus tuberkulosis tertinggi di dunia.6
Di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung angka kejadian meningitis tuberkulosis dari
tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 1991 terdapat 40 pasien meningitis tuberkulosis dari
total 141 pasien infeksi SSP dan saraf tepi, tahun 1993 terdapat 45 pasien dari total 167 pasien.
Tampak bahwa meningitis tuberkulosis menduduki tempat utama dibandingkan dengan seluruh
infeksi SSP.6
Definisi
Meningitis ialah inflamasi pada selaput araknoid, piamater, maupun yang melibatkan
cairan serebrospinal. Meningitis dapat disebabkan oleh infeksi (bakteri, virus, jamur, atau
parasit) maupun proses non infeksi (penyakit sistemik, keganasan, atau reaksi hipersensitivitas).1
Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan
otak, yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Pada meningitis serosa cairan otak
berwarna jernih sampai xantokrom, sedangkan pada meningitis purulenta cairan otak berwarna
Fakultas Kedokteran Ukrida
8
opalesen sampai keruh. Meningitis serosa dibagi menjadi 2 yaitu meningitis serosa viral yang
disebabkan oleh infeksi virus dan meningitis serosa tuberkulosis yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis.
Meningitis serosa tuberkulosis atau meningitis tuberkulosis merupakan satu dari sekian
jenis meningitis yang paling sering dan paling berbahaya karena berbeda dengan meningitis
lainnya dari perjalanan penyakitnya yang lambat dan progresif. Meningitis tuberkulosis terjadi
sebagai akibat komplikasi dari penyebaran tuberkulosis primer, biasanya dari paru.1
Etiologi
Tabel 1. Penyebab Lazim Bakteri
Sumber: Jawetz, Melnick & Adelberg. Medical Microbiology 23th Ed. 2008.7
Organisme Kelompok Usia Keterangan
Streptokokus serogrup B
(Streprococcus
agalactiae)
Neonatus sampai usia 3
bulan
Sebanyak 25% ibu pembawa (di vagina)
Streptokokus serogrup B. Profilaksis ampisilin
selama persalinan perempuan yang berisiko tinggi
(ruptur membran yang lama, demam, dll) atau
carrier yang diketahui, menurunkan insidens
infeksi pada bayi
Escherichia coli Neonatus Sering mempunyai antigen K1
Haemophilus influenzaeAnak-anak 6 bulan
sampai 3 tahun
Penggunaan vaksin yang luas sangat menurunkan
insiden meningitis H. influenzae pada anak-anak
Neisseria meningitidisBayi sampai 5 tahun dan
dewasa muda
Vaksin polisakarida terhadap serogrup A, C,Y,
dan W135 digunakan di daerah epidemi dan
berhubungan dengan wabah
Streptococcus
pneumoniae
Semua kelompok usia;
insiden paling tinggi
pada orang tua
Sering terjadi dengan pneumonia, juga dengan
mastoiditis, sinusitis, dan fraktur basis cranii
Cryptococcus
neoformansPasien AIDS
Sering menyebabkan meningitis pada penderita
AIDS
Fakultas Kedokteran Ukrida
9
Tabel 2. Jenis Meningitis Infektif beserta Etiologi dan Faktor Risikonya
Sumber: Liwang F, Estiasari. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 4. 2014.1
Spesies Faktor Risiko
Meningitis Purulenta
Streptococcus pneumoniae (50%)
Infeksi pneumonia pneumokokus
Infeksi pneumokokus lainnya (sinusitis, otitis media
Alkoholisme
Diabetes
Splenektomi
Hipogammaglobulinemia
Trauma kepala dengan fraktur basis cranii dan rinorhea CSF
Neisseria meningitidis (25%) Tidak vaksinasi meningitis
Streptococcus grup B (15%) Otitis, mastoiditis, atau sinusitis akibat streptococcus sp.
Listeria monocytogenes (10%)
Usia neonatus (<1 bulan)
Perempuan hamil
Dewasa usia >60 tahun
Individu dengan imunokompromais
H. influenzae Usia anak-anak
Meningitis Subakut
Meningitis fungal: C. neoformansTerdapat infeksi jamur pada paru sebelumnya, penularan spora jamur
melalui udara
Mycobacterium tuberculosis Penyebaran hematogen dari infeksi TB primer
Treponema pallidum Terdapat infeksi menular seksual sifilis
Meningitis Viral
Enterovirus: coxsackievirus, echovirus, human anteroviruses
Virus herpes simpleks 2
Arthropod-borne viruses
Patofisiologi & Patogenesis
Invasi bakteri pada meningen, seperti S. pneumonia dan N. meningitidis , awalnya
bermula dari kolonisasi pada epitel nasofaringeal. Koloni bakteri kemudian masuk ke peredaran
darah hingga mencapai pleksus koroid intraventrikular dan cairan serebrospinal (CSS). Bakteri
dapat bermulitiplikasi pada CSS karena tidak adanya pertahanan imun yang efektif di CSS. CSS
Fakultas Kedokteran Ukrida
10
normal hanya mengandung sedikit leukosit, serta relative sedikit protein komplemen dan
imunoglobulin.1
Secara garis besar, patofisologi meningitis bakteri merupakan akibat langsung dari
peningkatan sitokin dan kemokin pada CSS. Koloni bakteri akan melepaskan komponen dinding
sel (endotoksin, asam teikoat) yang memicu pelepasan berbagai sitokin inflamasi. Berbagai
mediator tersebut kemudian menyebabkan perubahan permeabilitas sawar darah otak, rekruitmen
dan migrasi leukosit ke kapiler endotel, mengubah aliran darah otak, serta memproduksi asam
amino dan radikal bebas. Mekanisme itulah yang mendasari terjadinya edema otak (vasogenik
atau sitotoksik), stroke, kejang, peningkatan tekanan intrakranial, hingga koma pada pasien
meningitis bakterialis akut.1
Meningitis tuberkulosis terjadi akibat penyebaran tuberkel miliar ke SSP sewaktu infeksi
primer. Tuberkel akan membesar dan membentuk sel kaseosa hingga mencapai ruang
subarachnoid dan menyebabkan meningitis. Infeksi meningitis bisa terjadi di sekitar basis otak
sehingga terjadi gangguan saraf kranial. Peningkatan tekanan intracranial dan hidrosefalus sering
terjadi pada meningitis TB. Proses inflamasi yang terjadi dapat melibatkan pembuluh darah otak
dan mengakibatkan vaskulitis dan berakhir dengan proses iskemik/infark.1
Manifestasi Klinis
Ditemukannya tanda-tanda meningitis subakut seperti demam, letargi, nyeri kepala, kaku
kuduk selama beberapa hari sampai minggu. Dapat pula ditemukan kelainan saraf kranial, gejala
keringat malam, serta syndrom of inappropriate secretion of antidiuretic hormone (SIADH).
Sindrom sekresi hormon antidiuretik yang tidak tepat (SIADH) terjadi pada kebanyakan
penderita meningitis, menimbulkan hiponatremia dan penurunan osmolalitas serum pada 30-
50%. Ini dapat memperburuk edema serebral atau secara tidak tergantung menimbulkan kejang-
kejang hiponatremia. Kemudian dalam perjalanan terapi, diabetes insipidus sentral dapat terjadi
sebagai akibat dari disfungsi hipotalamus dan pituitari.1
Namun yang lebih umum terjadi, gejala dan tanda berkembang perlahan selama beberapa
minggu dan dibagi menjadi 3 stadium, yaitu:5-7
1. Stadium I (inisial/ prodromal). Stadium ini berlangsung selama 1-2 minggu, ditandai dengan
gejala-gejala non spesifik seperti demam, sakit kepala, iritabilitas, mengantuk (drowsiness),
dan malaise. Tidak terdapat kelainan neurologis fokal, tapi infants dapat mengalami stagnasi
Fakultas Kedokteran Ukrida
11
pertumbuhan dan gangguan perkembangan. Predominan gejala gastrointestinal tanpa
manifestasi kelainan neurologis. Pasien tampak apatis dan iritabel, disertai nyeri kepala
intermitten.
2. Stadium II (transisi). Stadium kedua biasanya mulai dengan lebih mendadak. Tanda yang
paling umum adalah letargi, kaku kuduk, kejang, tanda Brudzinski atau Kerniq positif,
hipertoni, muntah, gangguan saraf kranial, dan tanda-tanda kelainan neurologis fokal yang
lain. Perburukan penyakit secara klinis biasanya sejalan dengan perkembangan hidrosefalus,
peningkatan tekanan intrakranial, dan vaskulitis. Pada beberapa anak tidak terdapat adanya
tanda rangsang meningeal namun bisa terdapat tanda-tanda ensefalitis, seperti hiperpireksia,
kejang, penurunan kesadaran atau disorientasi, defisit neurologis dan gerakan involunter.
Pasien tampak mengantuk, disorientasi disertai tanda rangsang meningeal. Refleks tendon
meningkat, refleks abdomen menghilang, disertai klonus patela dan pergelangan kaki.
3. Stadium III (terminal). Stadium ketiga ditandai dengan koma, hemiplegia atau paraplegia,
hipertensi, postur deserebrasi, deteriorasi tanda vital dan pada akhirnya kematian. Pasien
koma, pupil terfiksasi, spasme klonik, pernafasan ireguler disertai peningkatan suhu tubuh.
Hidrosefalus terdapat pada dua pertiga kasus dengan lama sakit 3 minggu.
Derajat
British Medical Research Council (1948) mengembangkan metode untuk pemetaan
tingkat keparahan penyakit, sebagai berikut:2
1. Derajat I, pasien sadar dan orientasinya baik tanpa adanya defisit neurologis fokal.
2. Derajat II, pasien dengan GCS 10-14, dengan atau tanpa defisit neurologis fokal.
3. Derajat III, GCS kurang dari 10 dengan atau tanpa defisit neurologis fokal.
Penatalaksaan
1. The British Thoracic Society (BTS) merekomendasikan pengobatan MTB mengikuti model
kemoterapi TB paru fase intensif dengan pemberian 4 obat diikuti dengan 2 obat pada fase
lanjutan. Jika diagnosis MTB meragukan, dapat diberikan antibiotik spektrum luas misalnya
seftriakson 2x2 gram. Regimen obat antituberkulosis (OAT) 2RHZE/7-12RH. Dapat
ditambahkan piridoksin (Vitamin B6) 25-50 mg/Kg/hari untuk mencegah efek samping
Fakultas Kedokteran Ukrida
12
neuritis primer. Untuk kasus putus obat bisa digunakan OAT kategori II (2RHZES/7-
12RH).1,2
2. Penggunaan steroid masih kontroversial namun beberapa penelitian terakhir menunjukkan
peranan yang positif. Pemberian deksametason pada MTB derajat 2 dan 3 tanpa infeksi HIV
mengurangi risiko kematian namun tidak mengurangi disabilitas berat pada pasien yang
masih bertahan hidup. Cara pemberian deksametason adalah: Minggu I (0,4 mg/Kg/hari),
Minggu II (0,3 mg/Kg/hari), Minggu III (0,2 mg/Kg/hari), Minggu IV (0,1 mg/Kg/hari).
Dilanjutkan dengan terapi deksametason oral selama 4 minggu, dimulai dengan dosis 4
mg/hari dan kemudian diturunkan 1 mg/minggu.2
Tabel 3. Panduan Terapi Meningitis Tuberkulosa
Sumber: British Thoracic Society Guidelines. 1998.2
ObatDosis Harian
Lama PemberianAnak Dewasa
Isoniazid 5 mg/kg 300 mg 9-12 bulan
Rifampisin 20 mg/kg450 mg (<50 kg)
600 mg (>50 kg)9-12 bulan
Pirazinamid 35 mg/kg1500 mg (<50 kg)
2000 mg (>50 kg)2 bulan
Etambutol 15 mg/kg 15 mg/kg 2 bulan
Streptomisin 15 mg/kg15 mg/kg
(maksimal 1 gram)2 bulan
Komplikasi
Dapat terjadi akibat pengobatan yang tidak sempurna atau pengobatan yang terlambat.
Dapat terjadi cacat neurologis berupa paresis, paralisis sampai deserebrasi, hidrosefalus akibat
sumbatan, resorbsi berkurang atau produk berlebihan dari cairan otak. Anak juga dapat menjadi
buta atau tuli dan kadang timbul retardasi mental.9
87% pasien disertai satu atau lebih komplikasi neurologis selama perawatan di rumah
sakit yaitu: gangguan mental, hemiplegi, paraplegi, gerakan involunter atau kelumpuhan saraf
otak. 32 % pasien yang bertahan hidup disertai gejala sisa gangguan neurologis.6
Fakultas Kedokteran Ukrida
13
Pencegahan
Upaya pendidikan kesehatan harus diarahkan pada pasien untuk membuat mereka lebih
tepat dan menyadari semua aspek dari penyakit dan pengobatannya. Pasien harus diberitahu
tentang aturan dasar untuk mencegah penyebaran infeksi kepada orang lain dalam keluarga atau
masyarakat. Sedangkan salah satu tujuannya agar pendidikan diarahkan pada perilaku yang
berhubungan dengan kesehatan masyarakat umum, yang lainnya harus diarahkan untuk
mendapatkan dukungan dari orang-orang yang mempunyai kebijakan kesehatan dan dana dari
pemerintah atau lembaga. Untuk mencapai hal ini, informasi, pendidikan, dan komunikasi (KIE)
kampanye harus dirancang sebagai bentuk pelaksanaan. Strategi ini mencakup pemasaran sosial,
promosi kesehatan, mobilisasi sosial, dan program advokasi.5,10
Prognosis
Prognosis pasien meningitis tuberkulosis yang disertai dengan penyakit penyerta adalah
tanpa penyakit penyerta 10% meninggal, dengan satu penyakit penyerta 12% meninggal, dengan
dua penyakit penyerta 26% meninggal dan dengan lebih dari dua penyerta meninggal 34%
meninggal.11
Kesimpulan
Meningitis tuberkulosis terjadi akibat penyebaran tuberkel miliar ke SSP sewaktu infeksi
primer. PCR merupakan teknik yang cepat, spesifik, dan sensitif untuk mendeteksi meningitis
tuberkulosa. Prognosis pasien meningitis tuberkulosis bergantung disertai dengan penyakit
penyerta atau tidak.
Daftar Pustaka
1. Liwang F, Estiasari. Infeksi sistem saraf pusat. Dalam: Tanto C, Liwang F, Hanifati S,
Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Media Aesculapius; 2014. hal.
993-4.
2. Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et al. Harrison’s
Principals of Internal Medicine 18th edition. USA: The McGraw-Hill Inc. 2008. hal. 5862-4.
3. Dewanto G dkk. Panduan praktis diagnosis & tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: EGC;
2009. Hal.65-9.
Fakultas Kedokteran Ukrida
14
4. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: EGC; 2010.h. 1-7.
5. Gillespie SH, Bamford KB. At a glance mikrobilogi medis dan infeksi. Ed ke-3. Jakarta:
Penerbit Erlangga; 2009.h.362-4.
6. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Annisa R, penerjemah. Jakarta:
Penerbit Erlangga; 2007. hal. 78.
7. Ramachandran TS, Singh NN, Kark PR, Talavera F, Thomas FP, Vincent FM. Tuberculous
meningitis. 11 Desember 2014. Diunduh 15/01/2015 Pukul 10.18 WIB.
http://emedicine.medscape.com/article/1166190-overview#a0156.
8. Gamayani U. Pengaruh penyakit penyerta pada pasien meningitis tuberkulosis.
9. Brook GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi kedokteran jawetz, melnick, & adelberg. Edisi
23. Huriawati H, penerjemah. Jakarta: EGC; 2008. hal. 750.
10. Wahyuningsih R, Mulyati, Susilo J. Kriptokokois. Dalam: Susanto I, Ismid IS, Sjarifuddin
PK, Sungkar S. Buku ajar parasitologi kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
2013. hal. 363-4.
11. Mandal A. Meningitis diagnosis. 14 Oktober 2012. Diunduh 21/01/15 Pukul 15.53 WIB.
http://www.news-medical-net/health/Meningitis-Diagnosis-(indonesian).aspx.
Fakultas Kedokteran Ukrida