Upload
maulina-sukma
View
243
Download
12
Embed Size (px)
Citation preview
Mengupas Filosofi dalam Penerapan Arsitektur Jawa Pada Bangunan
Pendhopo nDalem Mangkubumen Keraton Surakarta
I. PENDAHULUAN
Kota Surakarta adalah salah satu contoh kota budaya yang terletak di
Provinsi Jawa Tengah. Kota ini masih banyak menyimpan beranekaragam
kebudayaan Jawa Tengah. Keanekaragaman budaya yang ada di kota kecil ini
tidak hanya terletak pada kesenian daerah setempat, namun masih banyak
hal lain yang menjadikan kota ini menjadi salah satu kota budaya yang ada di
Jawa Tengah. Kekayaan akan budaya seperti tarian, alat musik tradisional,
makanan tradisional, bahasa, perilaku serta bangunan, menjadikan kota kecil
ini menjadi salah satu kota yang banyak digemari oleh pengunjung dalam
maupun luar negeri untuk melakukan wisata budaya.
Dari segi budaya tari, musik, kita bisa menilik pada tarian yang banyak
dihasilkan oleh kota kecil ini. Seperti merak, gambyong, dan lain lain. Untuk
musik tradisional yang dihadirkan oleh kota ini, masih banyak memiliki
kesamaan dengan Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu gamelan. Tidak hanya
kedua hal tersebut saja yang menjadikan kota ini menjadi kota budaya.
Makanan atau jajanan khas tradisional kota surakarta ini seperti serabi,
menjadi kudapan wajib bagi wisatawan asing maupun domestik ketika
berkunjung ke kota ini.
Selain budaya yang ditawarkan melalui makanan, tarian, musik, Kota
Surakarta juga masih menghadirkan wisata budaya yang lainnya, yaitu wisata
tentang bangunan-bangunan tradisional Jawa yang masih berdiri kokoh di
kota kecil ini. Bangunan-bangunan yang menjadi saksi kemajuan jaman di
kota ini, masih banyak kita dapati, karena memang pemeliharaan akan
bangunan cagar budaya/ bangunan tradisional di kota ini masih sangat dijaga
kekhasannya oleh pemerintah setempat. Bahkan untuk melestarikan budaya
khususnya dalam aspek bangunan tradisional, pemerintah Kota Surakarta itu
sendiri juga banyak membangun fasilitas-fasilitas, gedung-gedung
perkantoran, serta public space yang ada di Kota Surakarta ini syarat akan
nilai nilai dan aspek tradisional kebudayaan jawa.
1
II. PEMBAHASAN
Bangunan cagar budaya/ bangunan tradisional yang ada di Kota
Surakarta menjadi sebuah nilai budaya yang berbeda. Hal ini dikarenakan
bangunan bisa menjadi sebuah saksi perjalanan, pola pikir, pemikiran, seni
dan kreatifitas penduduk masa dahulu. Pola pikir, kreatifitas, kesenian yang
banyak tertuang di dalam aspek bangunan ini menjadikan sebuah hal yang
sangat menarik dan menantang untuk diulas serta dikaji lebih kompleks lagi.
Arsitektur tradisional Jawa banyak sekali memiliki unsur-unsur yang
kompleks di dalamnya. Unsur-unsur pembentuk dari arsitektur tradisional
ini tidak lain adalah hasil dari pemikiran para leluhur-leluhur yang menghuni
atau menempati Pulau Jawa terdahulu.
Unsur-unsur tradisional dari arsitektur jawa ini banyak tercermin dari
bentuk-bentuk yang ditonjolkan oleh bangunan tradisional Jawa. Hal- hal
yang tercermin itu seperti pada bentuk atap, pola peruangan, luasan
bangunan, dan lain sebagainya. Hal yang mudah diamati secara kasat mata
adalah mengenai bentuk atap dari rumah tradisional Jawa ini. Bentuk atap
tersebut ialah panggang-pe, kampung, limasan, serta joglo.
Selain terlihat dari segi arsitekturnya, bangunan tradisional jawa ini juga
mengedepankan unsur-unsur tradisional klasik jawa, seperti wayang,
gamelan, batik, serta ukir-ukiran.
Arsitektur tradisional Jawa terutama di wilayah Jawa Tengah lebih banyak
dikenal dengan bangunan Joglo. Joglo merupakan kerangka bangunan utama
dari rumah tradisional Jawa yang terdiri dari soko guru berupa empat tiang
utama penyangga struktur bangunan serta tumpang sari yang berupa
susunan balok yang disangga soko guru.
Rumah Joglo pada umumnya hanya dimiliki oleh orang-orang yang
berkemampuan materi lebih. Hal ini disebabkan dalam membangun rumah
Joglo dibutuhkan material yang banyak dan cukup mahal karena sebagian
besar material berasal dari kayu jati serta membutuhkan perawatan
tersendiri. Sedangkan dari segi sosial masyarakat, bentuk Joglo dianggap
hanya boleh dimiliki orang-orang terpandang terutama dari kalangan
2
bangsawan. Selain itu, pada bangunan Joglo terkandung filosofi yang sesuai
dengan kehidupan masyarakat Jawa.
Susunan ruangan pada Joglo umumnya dibagi menjadi tiga bagian yaitu
ruangan pertemuan yang disebut pendhapa, ruang tengah atau ruang yang
dipakai untuk mengadakan pertunjukan wayang kulit disebut pringgitan, dan
ruang belakang yang disebut dalem atau omah jero sebagai ruang keluarga.
Dalam ruang ini terdapat tiga buah senthong (kamar) yaitu senthong kiri,
senthong tengah dan senthong kanan.
Gambar 1 : Skema Denah Rumah Tradisional Jawa
Pendhapa adalah salah satu ruang yang terpenting dalam sebuah susunan
ruang pada Joglo. Hal ini dikarenakan pendhapa adalah bangunan yang
pertama kali dilihat dan bangunan yang berada di garis paling luar dalam
lingkup rumah Joglo.
Pendhopo dalam rumah Jawa, atau joglo adalah sebuah ruang terbuka
tanpa pembatas pada keempat sisinya. Pendhopo juga biasanya dibangun
lebih tinggi daripada halaman yang ada di sekitarnya. Hal ini dimaksudkan
3
untuk mempermudah penghuni dalam menerima tamu, bercakap-cakap,
duduk bersila, minum teh, dan lain sebagainya yang sesuai dengan tradisi
masyarakat Jawa Pada umumnya yang mencerminkan suasana yang akrab
dan rukun.
Pendhopo itu sendiri terletak di bagian depan dan memiliki sifat terbuka.
Keterbukaan yang dimiliki oleh pendhopo ini bertujuan untuk
mempermudah dalam penerimaan tamu serta tempat bertemunya/
berkumpulnya keluarga. Suasana yang ada dan tercerminkan dalam
bangunan ini sangatlah akrab dirasa. Selain hal tersebut keterbukaan dari
pendhopo itu sendiri juga melambangkan sikap pemilik rumah yang terbuka
terhadap siapa saja yang datang/ berkunjung ke rumah mereka. Letak
ruangan satu ini berdekatan dengan regol, serta regol ini dapat kita nikmati/
lihat dari luar. Ruang pendhapa yang terletak dibagian depan ini sering
dipergunakan dan dimanfaatkan oleh pemiliknya, sehingga tidak heran jika
banyak pendhopo yang kita temui memiliki desain yang mewah dan
sangatlah berwibawa.
Tentu saja hal ini tidak lepas dari alasan-alasan yang ada. Bentuk, hiasan
serta ukuran/ luasan pendhopo dapat untuk mencerminkan kedudukan,
pangkat, serta derajat pemiliknya. Selain dimanfaatkan untuk menerima
tamu, bersantai, bangunan satu ini juga banyak dimanfaatkan untuk
mempertontonkan pertunjukkan tari. Oleh sebab itu dalam ruang pendhopo
pasti kita akan menemui seperangkat gamelan/ musik tradisional dari Jawa
Tengah. Pendhopo juga banyak dihiasi akan ornamen serta lampu hias yang
sangatlah menarik. Pada bagian langit-langit (tumpangsari) kita juga akan
menemui kompleksnya ornamen yang tergambarkan di dalamnya. Hal ini
juga membuktikan akan seberapa penting peran kemewahan pendhopo pada
jaman dahulu kala.
Ditilik dari fungsi yang tertera sebelumnya bahwa pendhopo banyak
difungsikan untuk menerima tamu atau sebagai tempat berkumpul, di dalam
ruang pendhopo itu sendiri tidak terdapat meja maupun kursi untuk tempat
duduk dan menerima tamu. Pendhopo hanyalah ruang besar dengan tiang-
tiang yang tinggi yang material penyusun utamanya adalah kayu jati yang
kokoh, kuat, teratur, indah serta harmonis. Kelapangan dan keluasaan ruang
4
yang ada di dalamnya ini membuat suasan akrab muncul dengan sendirinya.
Hal lain yang menjadi alasan adalah agar tamu yang bertandang tidak merasa
sombong/ berlaku sombong.
Struktur bangunan pada pendhopo menggunakan umpak sebagai alas
soko, 4 buah soko guru ( 4 tiang utama di ruang tengah) sebagai symbol 4
arah mata angin. Bagian atas soko guru disebut sebagai mayangkara,
dhadhapeksi dan langit-langit (singub). Kemudian pendhopo juga ditopang
oleh 12 soko pananggap, dan 20 soko panitih. Kemudian tumpang sari
merupakan susunan balik yang disangga oleh soko guru. Umumnya tumpang
sari terdapat pada pendopo bangunan yang disusun bertingkat. Tingkatan-
tingkatan ini dapat pula diartikan sebagai tingkatan untuk menuju pada suatu
titik puncak, yang terdiri dari serengat, tarekat, hakekat, dan
makrifat. Menurut kepercayaan jawa, tingkatan-tingkatan ini akan menyatu
pada satu titik.
Pada bagian tumpang sari ini dijumpai ornamen yang mengandung makna
simbolik. Dengan desain yang seperti ini maka ruang yang ada di dalam
pendhopo, di antara 4 soko guru terasa lebih utama, penting dan sakral.
Berikut dipaparkan bagian-bagian penyusun dalam pendhopo.
a. Soko Guru
Soko guru dan pendhopo adalah dua hal yang tidak bisa saling
melepaskan diri. Karena antara satu dengan yang lain memiliki
kesatuan utuh dalam hal pengertiannya. Bangunan joglo (pendhopo)
akan lengkap dengan rangkaian dari soko guru, brujung, serta balok
tumpang sari. Soko guru adalah tiang yang berjumlah 4 buah yang
berfungsi sebagai penopang utama dalam sebuah pendhopo. Soko
guru itu sendiri bermakna mata angin.
5
Gambar 2: 4 Buah soko guru di nDalem Mangkubumen Keraton Surakarta
b. Tumpang sari
Tumpang sari merupakan susunan balik yang disangga oleh soko guru.
Umumnya tumpang sari terdapat pada pendopo bangunan yang
disusun bertingkat. Tingkatan-tingkatan ini dapat pula diartikan
sebagai tingkatan untuk menuju pada suatu titik puncak, yang terdiri
dari serengat, tarekat, hakekat, dan makrifat. Menurut kepercayaan
jawa, tingkatan-tingkatan ini akan menyatu pada satu titik.
Gambar 3 : Tumpang sri pada pendhopo nDalem Mangkunegaran Keraton Surakarta
6
c. Gebyok
Gebyok adalah sebuah media pemisah antara ruang satu dengan ruang
yang lainnya. Fungsi dari gebyok adalah sebagai daya tarik pada
ruang/ pendhopo.
Gambar 4 : Gebyok/ pemisah antar ruang dalam nDalem Mangkunegaran
d. Umpak
Umpak adalah alas dari soko guru. Biasanya ini juga berfungsi sebagai
penguat serta pemberi estetika tambahan dari soko guru tersebut.
Umpak terbuat dari bahan beton maupun kayu. Dalam pelaksanaanya
umpak banyak diberikan detai ornamen untuk memperindah tampilan
dari pedhopo khususnya soko gurunya.
Gambar 5 : Umpak pada soko guru
7
Nilai- nilai filosofi jawa pada arsitektur tradisional jawa (Pendhopo) adalah :
a. Kepercayaan : Pada ruang senthong tengah atau yang lebih
dikenal dengan krobogan atau ruang petanen ditata dan didisain sesakral
mungkin untuk menghormati Dewi Sri atau Dewi Padi. Keistimewaan ruang ini
selalu didisain lebih menarik daripada ruang-ruang yang lainnya. Ruang yang
biasanya dilengkapi dengan seperangkat tempat tidur lengkap dengan bantal
dan guling namun tidak pernah digunakan untuk tidur merupakan salah satu
keistimewaan dari ruang ini. Komposisi warna yang ada di dalam ruang ini
banyak didomninasi oleh warna krem. Hal ini memberikan kesan yang
sederhana namun tetap suci, agung, dan sakral.
b. Ikatan sosial : Pendhopo diletakkan dalam satu susunan rumah joglo
berada di paling depan. Selain tempat yang paling depan, pendhopo juga
menerapkan prinsip terbuka, tidak ada tembok pembatas, hanya ada tiang
penyangga strukturnya saja. Hal ini dikarenakan karena pemilik rumah ingin
menunjukkan sikap keterbukaan terhadap masyarakat sekitar. Keterbukaan
tersebut tercermin dari kelapangan pemilik rumah dalam menerima tamu.
Pemilik rumah ingin memberikan kesan akrab dan tidak tertutup dengan cara
membangun pendhopo tersebut terbuka, sehingga mudah terjadi interaksi sosial
antara satu warga dengan warga yang lainnya.
c. Ekpresi pribadi : Pendhopo dalam sebuah rumah joglo, sering dihiasi oleh
ukir-ukiran, ornamen, lampu hias mewah, luasan bangunan yang luas, material
kayu jati yang kokoh. Hal ini ditonjolkan oleh masyarakat Jawa pada jaman
dahulu yang berfungsi untuk menonjolkan atau memperlihatkan kemewahan
dari sebuah pendhopo. Semakin mewah sebuah pendhopo tersebut maka
semakin tinggilah kedudukan, kekuasaan, serta kemampuan hidup pemilik joglo,
dibandingkan dengan warga sekitarnya.
d. Makna : Umpak dalam pendhopo (penyokong saka guru) seringkali
berwarna hitam. Masyarakat jawa sendiri menafsirkan bahwa umpak yang
berwarna hitam adalah perlambangan dari Tuhan sebagai pencipta bumi dan
lautan sebagai tempat hidup manusia.
8
Mengupas Filosofi dalam Penerapan Arsitektur Jawa Pada Bangunan
Pendhopo nDalem Mangkubumen Keraton Surakarta
Oleh
Maulina Sukmawatie Budiharjo
I0211039
Prodi Arsitektur
Jurusan Arsitektur
Fakultas Teknik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
2013
9