20
“Mengapa Kami Menolak Reklamasi Teluk Benoa” Latar Belakang Bali adalah sebuah pulau di sebelah timur pulau Jawa dan di sebelah barat pulau Lombok. Terdiri atas beberapa pulau, yaitu Pulau Bali, Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Ceningan, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa Serangan, dan Pulau Menjangan. Luas wilayah Pulau Bali secara keseluruhan 5.632,86 km2 dan jumlah penduduknya kurang lebih 3, 7 – 4 juta jiwa (Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, 2012). Bali adalah ikon pariwisata Indonesia di mata dunia. Bali merupakan pusat pariwisata di Indonesia dan juga sebagai salah satu daerah tujuan wisata terkemuka di dunia. Bali dikenal para wisatawan karena memiliki potensi alam yang amat indah antara lain, iklim yang tropis, hutan yang hijau, gunung, danau, sungai, sawah serta pantai indah dengan beragam pasir putih dan hitam. Selain itu, Bali lebih dikenal juga karena perpaduan alam dengan manusia serta adat kebudayaannya yang unik, yang berlandaskan pada konsep keserasian dan keselarasan yang telah mewujudkan suatu kondisi estetika yang ideal dan bermutu tinggi. Meskipun Bali sebuah pulau kecil yang luasnya hanya 0,29% dari luas Nusantara (5.632,86 km2), namun memiliki semua unsur lengkap di dalamnya, mulai dari empat buah danau, ratusan sungai, gunung dan kawasan hutan yang membentang di pesisir utara dari barat ke timur. Wisatawan mancanegara yang berulang kali menghabiskan liburan di Pulau "Seribu Pura" tidak pernah merasa

Mengapa Kami Menolak Reklamasi Teluk Benoa.doc

Embed Size (px)

Citation preview

Mengapa Kami Menolak Reklamasi Teluk BenoaLatar Belakang

Bali adalah sebuah pulau di sebelah timur pulau Jawa dan di sebelah barat pulau Lombok. Terdiri atas beberapa pulau, yaitu Pulau Bali, Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Ceningan, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa Serangan, dan Pulau Menjangan. Luas wilayah Pulau Bali secara keseluruhan 5.632,86 km2 dan jumlah penduduknya kurang lebih 3, 7 4 juta jiwa (Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, 2012).Bali adalah ikon pariwisata Indonesia di mata dunia. Bali merupakan pusat pariwisata di Indonesia dan juga sebagai salah satu daerah tujuan wisata terkemuka di dunia. Bali dikenal para wisatawan karena memiliki potensi alam yang amat indah antara lain, iklim yang tropis, hutan yang hijau, gunung, danau, sungai, sawah serta pantai indah dengan beragam pasir putih dan hitam. Selain itu, Bali lebih dikenal juga karena perpaduan alam dengan manusia serta adat kebudayaannya yang unik, yang berlandaskan pada konsep keserasian dan keselarasan yang telah mewujudkan suatu kondisi estetika yang ideal dan bermutu tinggi.Meskipun Bali sebuah pulau kecil yang luasnya hanya 0,29% dari luas Nusantara (5.632,86 km2), namun memiliki semua unsur lengkap di dalamnya, mulai dari empat buah danau, ratusan sungai, gunung dan kawasan hutan yang membentang di pesisir utara dari barat ke timur. Wisatawan mancanegara yang berulang kali menghabiskan liburan di Pulau "Seribu Pura" tidak pernah merasa bosan dan jenuh, karena selalu menemukan suasana baru serta atraksi yang unik dan menarik untuk dinikmati.Bali memang tiada hari tanpa alunan suara gamelan mengiringi olah gerak tari, sehingga menjadi denyut nadi. Puspa ragam ekspresi seni tari itu tersaji dalam ritual keagamaan, tampil dalam upacara adat, peristiwa sosial sekuler maupun sebagai tontonan wisatawan. Di Bali sendiri terdapat sekitar 1.400 desa adat dengan masyarakatnya yang terkenal ramah. Semua hal itu memberikan nilai lebih sehingga Bali kembali dinobatkan sebagai daerah tujuan (destinasi) wisata terbaik (Island Destination Of The Year) dalam ajang China Travel & Meeting Industry Awards 2013. Penghargaan ini dipandang sebagai salah satu wujud pengakuan masyarakat internasional terhadap Bali yang berhasil mengelola industri pariwisata dan Meetings, Incentives, Conference and Exhibition (MICE) kelas dunia (antaranews.com). Bali telah menerima puluhan penghargaan tingkat internasional dari berbagai lembaga publikasi dan negara lain. Sebagian besar penghargaan yang diterima oleh Bali adalah terutama dalam hal keunikan dan keindahan alam Bali yang tiada duanya di dunia.Melihat Kondisi Bali Saat IniPariwisata sudah menjadi nafas dan urat nadi bagi Bali. Ini terjadi karena pariwisata dijadikan sebagai tulang punggung ekonomi, akan tetapi pariwisata bagai pisau bermata dua. Pariwisata memang penuh paradoks dan ironi. Terlebih dengan pemanfaatan kebudayaan sebagai modal utama dalam pengembangan pariwisata. Seringkali dikatakan pariwisata sebagai senjata kapitalis untuk menghancurkan budaya itu sendiri namun tidak sedikit juga dikatakan sebagai wahana pelestari budaya.

Pariwisata di Bali adalah pariwisata budaya, yang mengekpos budaya Bali sebagai produk utama. Interaksi panjang antara orang Bali dan wisatawan telah menghasilkan akulturasi, membuat orang Bali hidup dalam dua dunia, dunia tradisional dan dunia pariwisata. Namun sejajar dengan pergeseran arti Pariwisata Budaya, kita juga menyaksikan pergeseran dalam urutan prioritas. Hal yang kini lebih diperhatikan pemangku kebijakan adalah bagaimana memanfaatkan budaya demi pariwisata, bukan lagi menilai dampak pariwisata terhadap kebudayaan mereka.

Banyaknya vila dan hotel yang melanggar sempadan pantai dan jalur hijau, menunjukkan bahwa para pemangku kebijakan belum memahami konsep pembangunan pariwisata yang sudah dibuat sejak pertengahan tahun 1970. Bali jika bercermin dari hasil penelitian dan pengkajian SCETO, konsultan pariwisata dari Prancis tahun 1975, di Pulau Bali maksimal dibangun 24.000 kamar hotel berbintang untuk menjaga daya dukung Bali. Namun kenyataannya di Bali kini telah dibangun 55.000 kamar hotel berbintang atau dua kali lipat daya dukung Bali (antaranews.com). Tahun 2012, jumlah kunjungan wisatawan ke Bali mencapai 2.893.074 orang (PHRI Bali, 2013). Kendati angka kunjungan cukup besar, namun tingkat hunian kamar (THK) hotel di Bali, bisa dikatakan fluktuatif. Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, Ketua BPD Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali, mengatakan kunjungan wisatawan tidak diikuti dengan meningkatnya tingkat hunian ini disebabkan menurunnya length of stay atau lama tinggal dan jumlah kamar yang meningkat sehingga supply dan demand tidak seimbang.Begitu pula halnya dengan pembangunan vila di tengah sawah yang ada di Bali. Tentu saja hal tersebut akan berdampak pada pemotongan jalur air. Air yang seharusnya untuk subak serta pertanian pada akhirnya habis untuk puluhan hingga ratusan vila di satu tempat. Namun yang terlihat dewasa ini bukanlah moratorium pembangunan vila dan hotel, melainkan eksploitasi pariwisata secara berlebihan sehingga bermuara pada alih fungsi lahan hijau.Filosofi Tri Hita Karana seakan tidak lagi menjadi pedoman utama dalam pembangunan pariwisata di Bali. Wisatawan mancanegara pada dasarnya datang berlibur ke Bali untuk melihat alam dan budaya masyarakat Bali yang tidak dapat dijumpai di negara asal mereka. Wisatawan datang untuk melihat sistem subak, sawah terasering, serta pemandangan alam yang begitu luar biasa. Di era otonomi daerah ini, para pemangku kebijakan di Bali seyogyanya tidak hanya memikirkan pendapatan asli daerah (PAD) semata, yang salah satunya diperoleh dari pemberian izin pembangunan hotel, vila dan rumah makan di lokasi-lokasi yang seharusnya tetap dibiarkan hijau.

Arya Dhyana, seorang ekonom alumnus UGM berpendapat bahwa kondisi Bali saat ini dapat diibaratkan dengan kapal layar yang terpaksa berlayar dengan kondisi penumpang penuh sesak, bahkan terdapat beberapa lubang di dasar kapalnya. Jika hal tersebut tidak cepat diperbaiki, tentu akan menyebabkan kapal tersebut tenggelam. Bali saat ini dengan kepadatan penduduk 690 jiwa/km2 (bps.go.id). Ini akibat Bali diserbu pendatang yang melihat peluang ekonomi lebih baik dibandingkan dengan daerah mereka. Dengan penduduk (penumpang) yang penuh sesak, ditambah pesatnya pembangunan yang dipicu dan dipacu oleh industri pariwisata, tentu saja menimbulkan beberapa permasalahan, ibarat lubang-lubang kecil di dasar "kapal" ini.Kini Bali dihadapkan pada proyek Reklamasi Teluk Benoa yang menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Desain reklamasi ini sendiri ternyata sudah dibuat pada tahun 2007 lalu. Pembuat desain reklamasi pulau ini, yakni Tilke Engineers & Architects, merupakan sebuah perusahaan kelas dunia asal Jerman yang didirikan tahun 1983. Perusahaan ini biasa menangani desain untuk berbagai proyek di berbagai belahan dunia seperti proyek hotel di Bahrain, di Shanghai Cina, dan berbagai proyek di belahan dunia lainnya (beritabali.com). Namun sejatinya, proyek reklamasi tentu akan berdampak pada lingkungan, ekonomi, sosial dan roh dari pariwisata Bali, yakni Pariwisata Budaya.Definisi ReklamasiReklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase (UU No 27 Thn 2007).Pengertian reklamasi lainnya adalah suatu pekerjaan/usaha memanfaatkan kawasan atau lahan yang relatif tidak berguna atau masih kosong dan berair menjadi lahan berguna dengan cara dikeringkan. Misalnya di kawasan pantai, daerah rawa-rawa, di lepas pantai/di laut, di tengah sungai yang lebar, ataupun di danau. Pada dasaranya reklamasi merupakan kegiatan merubah wilayah perairan pantai menjadi daratan. Reklamasi dimaksudkan upaya merubah permukaan tanah yang rendah (biasanya terpengaruh terhadap genangan air) menjadi lebih tinggi (biasanya tidak terpengaruh genangan air). (Wisnu Suharto dalam Maskur, 2008).Sesuai dengan definisinya, tujuan utama reklamasi adalah menjadikan kawasan berair yang rusak atau tak berguna menjadi lebih baik dan bermanfaat. Kawasan baru tersebut, biasanya dimanfaatkan untuk kawasan pemukiman, perindustrian, bisnis dan pertokoan, pertanian, serta objek wisata. Dalam perencanaan kota, reklamasi pantai merupakan salah satu langkah pemekaran kota. Reklamasi diamalkan oleh negara atau kotakota besar yang laju pertumbuhan dan kebutuhan lahannya meningkat demikian pesat tetapi mengalami kendala dengan semakin menyempitnya lahan daratan (keterbatasan lahan). Dengan kondisi tersebut, pemekaran kota ke arah daratan sudah tidak memungkinkan lagi, sehingga diperlukan daratan baru. (http//www.lautkita.org)Dalam konteks pengembangan wilayah, reklamasi kawasan pantai ini diharapkan akan dapat meningkatkan daya tampung dan daya dukungan lingkungan (environmental carrying capacity) secara keseluruhan bagi kawasan tersebut. Reklamasi dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat sumberdaya lahan yang ditinjau dari sudut lingkungan dan social ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase (UU 27, 2007). Hal ini umumnya terjadi karena semakin tingginya tingkat populasi manusia, khususnya di kawasan pesisir, sehingga perlu dicari solusinya. Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1990, Tujuan reklamasi yaitu untuk memperbaiki daerah atau areal yang tidak terpakai atau tidak berguna menjadi daerah yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan manusia antara lain untuk lahan pertanian, perumahan, tempat rekreasi dan industri.

Babak Baru Reklamasi Teluk Benoa

Lahirnya Perpres No. 51 tahun 2014 di akhir Mei tahun ini seolah menjadi babak baru dalam perjuangan menjaga Bali dari reklamasi. Bagaimana tidak, dalam Perpres ini wilayah Teluk Benoa yang dulunya merupakan zona L3 atau konservasi (Perpres No. 45 tahun 2011) ,kini masuk dalam zona P atau penyangga. Dalam zona ini terdapat kegiatan kegiatan yang di perbolehkan seperti kegiatan kelautan, perikanan, pariwisata, pengembangan ekonomi, pemukiman bahkan penyelenggaraan reklamasi.

Pada Intinya penerbitan Perpres No. 51 Tahun 2014 ini menghapuskan pasal-pasal yang menyatakan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi sebagaimana yang disebutkan di dalam pasal 55 ayat 5 Perpres No. 45 Tahun 2011. Serta mengubah kawasan konservasi perairan pesisir Teluk Benoa menjadi zona penyangga, yang secara tegas di muat dalam pasal 63A ayat (2) Perpres No. 51 tahun 2014 yang berakibat pada dapat di reklamasiya teluk benoa (pasal 101A Perpres No. 51 tahun 2014). Bahkan luas wilayah yang dapat di reklamasipun telah di tentukan, yakni maksimal seluas 700 hektar.Selain klausul yang mengijinkan kegiatan revitalisasi termasuk penyelenggaraan reklamasi, Perpres No. 51 tahun 2014 juga mengurangi luasan kawasan konservasi perairan dengan menambahkan frasa sebagian pada pasal 55 Perpres No. 51 tahun 2014. Lahirnya Perpres No. 51 tahun 2014 ini seolah menjadi jalan bebas hambatan untuk di langsungkanya reklamasi di Teluk Benoa.MENGAPA KAMI MENOLAK REKLAMASI?

1. TELUK BENOA ADALAH KAWASAN KONSERVASI, TIDAK UNTUK DI REKLAMASI : DAMPAKNYA TERHADAP EKOLOGI

Pada Pasal 55 ayat (5) Perpres No. 45 Tahun 2011 sebelum diubah menjadi Perpres No. 51 Tahun 2014 disebutkan bahwa salah satu kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yakni kawasan konservasi perairan di perairan kawasan Sanur, perairan kawasan Serangan, perairan kawasan Teluk Benoa yang sebagian di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar dan sebagian di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, perairan kawasan Nusa Dua Badung, dan perairan kawasan Kuta. Selanjutnya pada Pasal 2 ayat (3) Perpres No. 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyebutkan bahwa Reklamasi tidak dapat dilakukan pada kawasan konservasi dan alur laut. Selain itu, dalam Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Bali No. 16 Tahun 2009 soal sempadan pantai untuk laut diatur 100 meter. Jika kita selaku masyarakat Bali sudah menyepakati Perda RTRWP yang menyatakan sempadan pantai untuk laut yakni 100 meter untuk dapat melakukan aktifitas pembangunan, lalu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana dengan pembangunan jika dilakukan di tengah laut? Hal ini menjadi bukti bahwa terjadi inkonsistensi pemerintah baik pusat maupun daerah dalam mengambil kebjikan yang terkait dengan lingkungan.

Tentu sudah sangat jelas bahwa Teluk Benoa yang merupakan kawasan konservasi tidak layak untuk direklamasi. Namun perubahan Perpres No. 45 Tahun 2011 menjadi Perpres No. 51 Tahun 2014 mengubah Teluk Benoa untuk tidak lagi dinyatakan sebagai kawasan konservasi, melainkan sebagai zona P. Sesuai dengan pasal 63A ayat (1) Perpres No. 51 Tahun 2014 menyebutkan bahwa Zona P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 merupakan zona perairan pesisir dengan karakteristik kawasan teluk yang berhadapan dengan Zona L3, Zona B1, Zona B2, dan Zona B3 di Kawasan Teluk Benoa, yang menjaga fungsi Zona L3, Zona B1, Zona B2, dan Zona B3 sebagai kawasan Pemanfaatan umum yang potensial untuk kegiatan kelautan, perikanan, kepelabuhanan, transportasi, pariwisata, pengembangan ekonomi, permukiman, sosial budaya, dan agama. Pada pasal 63A ayat (2) Perpres No. 51 Tahun 2014 menyatakan Zona P sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan di perairan pesisir Teluk Benoa yang berada di sebagian Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar dan sebagian Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung.Upaya masyarakat Bali menolak reklamasi Teluk Benoa yang nantinya mendatangkan bencana ekologi bagi kawasan Bali khususnya di kawasan pantai timur, sepertinya akan menemui jalan yang terjal. Pihak pemerintah, khususnya pemerintah pusat tampaknya tetap akan berjalan dengan rencananya melakukan reklamasi untuk keperluan pembangunan infrastruktur ekonomi. Pemerintah pusat berdalih bahwa kondisi eksisting Kawasan Teluk Benoa sudah tidak seluruhnya memenuhi kriteria sebagai kawasan konservasi perairan, dimana secara faktual telah ada perubahan fisik antara lain jalan tol, jaringan pipa migas, maupun pelabuhan internasional Benoa. Selain itu, terjadinya pendangkalan, menjadi salah satu pertimbangan bahwa Kawasan Benoa tersebut tidak lagi tepat untuk dikatakan sebagai kawasan konservasi. Khusus keberadaan jalan tol layang diatas kawasan pantai, telah mengubah dinamika ekosistem pantai di Kawasan Teluk Benoa, sehingga diperlukan penyesuaian peruntukan ruang. Kawasan Teluk Benoa dinilai dapat dikembangkan sebagai kawasan pengembangan kegiatan ekonomi serta sosial budaya dan agama, dengan tetap mempertimbangkan kelestarian fungsi Taman Hutan Raya Ngurah Rai dan pelestarian ekosistem kawasan sekitarnya, termasuk tanaman bakau (mangrove), serta keberadaan prasarana dan sarana infrastruktur di Kawasan Teluk Benoa.Jika kita berpikir flashback terkait reklamasi Serangan sebagai acuan untuk merefleksi pikiran kita terhadap dampak reklamasi, yang dirasakan saat ini oleh warga Serangan yakni mereka tidak lagi sepenuhnya menggantungkan sumber penghidupan dari hasil laut karena ikan-ikan konsumsi sudah menghilang dari perairan Serangan. Begitu pula dengan predikat Pulau Serangan sebagai Pulau Penyu akan tinggal kenangan lantaran satwa penyu sudah sangat jarang mendarat di Serangan untuk bertelur. Pulau Serangan sudah menjadi satu daratan dengan pulau-pulau kecil sebelumnya, sehingga tidak ada lagi pantai yang landai, alami dan aman untuk habitat Penyu bertelur. Reklamasi tersebut tentu tidak memiliki tujuan yg jelas.Berdasarkan kajian pakar Hidrologi dari Universitas Udayana, I Nyoman Sunarta, reklamasi Teluk Benoa tentu akan menimbulkan bencana ekologis. Alasannya jika reklamasi tetap dilaksanakan, maka akan terjadi perubahan arus air laut di sekitar perairan tersebut. Dampak paling nyata yang dapat dirasakan adalah semakin memperparah terjadinya abrasi di sejumlah pantai di sekitar Teluk Benoa. Indonesia Maritime Institute (IMI) menegaskan, reklamasi di Teluk Benoa berpotensi merusak ekosistem terumbu karang yang selain sebagai penopang kehidupan jutaan biota laut, juga menjadi andalan wisata bahari di Pulau Bali, jika reklamasi dilakukan maka tentu sedimentasi yang ditimbulkan akan mematikan terumbu karang dan biota lainnya. Teluk Benoa dikelilingi oleh daratan Tanjung Benoa dan Pulau Serangan, kemudian bila latar belakang reklamasi yang diutarakan untuk menjaga Bali dari bahaya tsunami atau gelombang pasang, tentunya tidak beralasan karena yang akan lebih dahulu dihantam oleh tsunami (bila benar terjadi) adalah dua pulau tersebut yaitu daratan Tanjung Benoa dan Pulau Serangan. Selain itu, kawasan Teluk Benoa juga merupakan Green Nature Garden, yang berarti bahwa mangrove hanya dapat tumbuh di kawasan tersebut.Jadi, pelanggaran tata ruang Provinsi Bali yang memberikan ijin reklamasi kepada PT. Tirta Wahani Bali Internasional (PT. TWBI) seharusnya dituntaskan melalui penegakan hukum, bukanlah melalui revisi perpres. Pengakuan yang menyatakan kondisi Teluk Benoa oleh pemerintah pusat yang tidak lagi sesuai untuk kawasan konservasi seharusnya diikuti penyelamatan atau rehabilitasi ekosistem tanpa diikuti dengan pembangunan akomodasi pariwisata secara masif yang tentunya akan menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang lebih besar. Yang terjadi saat ini membuktikan bahwa pemerintah tidak lagi berkomitmen dalam menjaga kelestarian lingkungan. Jika Teluk Benoa tetap direklamasi, maka dapat dipastikan bahwa Bali akan semakin mengalami penurunan kualitas lingkungan.2. BALI TIDAK LAGI MENJADI PARIWISATA BUDAYA SEUTUHNYA

Daerah Tujuan Wisata (DTW) di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dan pengembangan yang cukup signifikan, namun harus diakui bahwa persebaran kegiatan pariwisata di Indonesia belum merata. Meningkatnya pariwisata di Bali, misalnya, tidaklah berarti bahwa seluruh desa di pulau Bali itu telah tersentuh dan dapat menikmati manfaat dari kegiatan pariwisata tersebut. Hal ini sangat terkait dengan potensi dan infrastruktur yang ada dan berkaitan langsung dengan pariwisata, seperti: akomodasi, jasa transportasi, pelayanan (service), seni dan atraksi, termasuk lingkungan sosiokulturalnya. Oleh karena itu, masyarakat dari desa-desa yang secara sosio-kultural berbeda cenderung menunjukkan keterlibatan yang berbeda pula dalam rangka kegiatan pariwisata.Landasan yuridis pengembangan pariwisata di daerah Bali adalah Perda Nomor 3 tahun 1974 juncto Perda Nomor 3 tahun 1991 yang menetapkan bahwa konsep pengembangan pariwisata di Bali adalah pariwisata budaya. Pariwisata budaya merupakan jenis kepariwisataan yang dalam pengembangannya menggunakan kebudayaan daerah (Bali) yang dijiwai oleh nilai-nilai agama Hindu sebagai potensi daerah yang paling dominan, yang di dalamnya menyiratkan satu cita-cita akan adanya hubungan timbal balik antara pariwisata dengan kebudayaan sehingga keduanya dapat meningkat secara serasi, selaras, dan seimbang.Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengklaim keberadaan pulau reklamasi akan menjadi destinasi wisata baru. Konsep pariwisata budaya mutlak diimplementasikan dalam membangun dan mengembangkan kawasan dan atraksi wisata di kawasan tersebut. Kejenuhan wisatawan asing atas atraksi dan obyek wisata yang ada saat ini, wajib diantisipasi untuk 5 sampai 10 tahun ke depan.Dalam sebuah teori public finance setiap kebijakan publik pasti akan menimbulkan dampak negatif yang disebut eksternalitas. Jika eksternalitas yang ditimbulkan terjadi pada budaya Bali, maka akan sulit untuk diukur, diidentifikasi serta diminimalisir. Perspektif reklamasi yang selama ini dikenal hanyalah dalam arti harfiah bahwa reklamasi adalah menguruk laut dengan tanah sehingga daratan menjadi lebih luas, namun sisi lain sebuah reklamasi juga berarti menguruk tatanan dan budaya sebuah masyarakat. Reklamasi ibarat katalis yang mempercepat reaksi pengeroposan sendi-sendi budaya Bali.

Reklamasi tentu berdampak terhadap kehidupan adat istiadat beragama di Bali khususnya di daerah Teluk Benoa. Salah satu contoh yang dapat diambil yakni rentetan upacara pemakaman di Bali untuk umat Hindu adalah mengembalikan jasad manusia ke lima unsur pembentuknya, salah satunya adalah air yang dilambangkan dengan membuang hasil pembakaran jenazah ke laut. Jika reklamasi ini benar dilaksanakan dapat dibayangkan penduduk lokal yang biasanya melaksanakan upacara ngaben harus mendapat ijin khusus dari pemilik hotel ataupun resort untuk menyelesaikan rentetan upacara itu akibat wilayah tersebut sudah diprivatisasi. Ataupun jika tidak, maka ada usaha lebih yang harus dilakukan untuk berpindah tempat ke pantai lain yang tentunya mobilisasi yang melibatkan banyak orang ini membutuhkan biaya lebih. Pada hakekatnya, Bali tidak memerlukan wisata artifisial atau buatan, tetapi yang lebih penting yakni pengembangan pariwisata budaya yang tentunya menjadi roh pariwisata yang ada di Bali. Bali memang tidak boleh menutup mata terhadap kemajuan yang dialami pariwisata negara-negara tetangga, seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura. Namun Pemerintah tidak seharusnya hanya menyerahkan kepada investor dalam perencanaan pengembangan pariwisata sehingga harus menempatkan investasinya di wilayah yang merugikan baik dari segi aspek lingkungan, budaya, sosial dan ekonomi bagi kelangsungan Bali ke depan. Pembangunan di Bali harus senantiasa berlandaskan konsep Tri Hita Karana sehingga mampu menjaga keharmonisan jangka panjang yang mampu dirasakan oleh generasi penerus Bali nantinya. Pengembangan pariwisata diharapkan dapat lahir langsung dari inisiatif Desa Pakraman maupun krama banjar melalui pengembangan desa wisata melalui dukungan penuh dari pihak pemerintah sehingga manfaatnya dapat menyentuh masyarakat secara langsung. Karena wisatawan datang ke Bali adalah untuk mencari otentisitas (keaslian) dari kebudayaan Bali itu sendiri.3. REKLAMASI TIDAK UNTUK MENSEJAHTERAKAN RAKYAT

Pemerintah pusat menyatakan bahwa perubahan Perpres Sarbagita dimaksudkan untuk menyesuaikan dinamika dan perubahan tujuan pembangunan perekonomian nasional, khususnya yang terkait dengan rencana percepatan pembangunan di Bali, yang merupakan bagian dari rencana Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembanguan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI). Dalam hal lapangan kerja, dibangunnya akomodasi pariwisata dan fasilitas umum akan memberikan peluang lapangan kerja bagi masyarakat Bali dalam 5 sampai 10 tahun mendatang. Diperkirakan sekitar 200.000 lapangan kerja baru akan tersedia serta akan terjadi peningkatan PAD Bali dari pajak hotel-hotel yang akan dibangun di kawasan tersebut yang ditegaskan oleh Gubernur Bali Made Mangku Pastika.Pada dasarnya pariwisata dengan segala aktivitasnya memang telah mampu memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi perubahan masyarakat baik secara ekonomi, sosial maupun budaya. Hal itu menuntut adanya perhatian yang lebih dari para pengambil kebijakan sektor pariwisata untuk mempertimbangkan kembali pola pengembangan kawasan wisata agar masyarakat sekitar lebih dapat merasakan manfaatnya. Sekaligus menjadi catatan, bahwa faktor kemanusiaan dan entitas budaya lokal tidak boleh diabaikan, artinya kehidupan masyarakat tidak boleh tercabut dari akar budayanya hanya karena adanya penekanan segi komersial dari tourism. Jangan sampai penekanan pada aspek ekonomi mengabaikan dimensi lain seperti dimensi ketahanan sosial budaya, karena perkembangan mutakhir dari dunia kepariwisataan adalah beralihnya minat wisatawan dari massive tourism ke etnic tourism, wisata-wisata unik yang sangat peduli pada karakter asli masyarakat setempat.Dr. Indah Widiastuti, ST, MT selaku dosen Program Studi Pembangunan ITB menyebutkan bahwa dalam etika pembangunan dan keadilan, pembangunan tidak hanya cukup mengandalkan indikator PAD, terdapat indikator lain seperti angka kematian dan harapan hidup. Jika azas keadilan tidak mendapat perhatian serius maka perekonomian tetap tidak dapat tumbuh seperti yang diharapkan. Prinsip keadilan yang mungkin sering diabaikan dapat menimbulkan permasalahan sosial yang serius berupa perubahan beberapa norma yang ada di masyarakat. Ketimpangan sosial semakin melebar merupakan dampak serius akibat kurangnya rasa keadilan di masyarakat. Oleh karena itu dalam melaksanakan pembangunan, 2 (dua) prinsip keadilan, yaitu setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas dan pengaturan ketimpangan sosial agar setiap orang merasa diuntungkan harus senantiasa diperhatikan.Jika hanya melihat dari perhitungan normatif terkait dengan keuntungan di bidang ekonomi, tindakan pemerintah untuk menyetujui reklamasi ini dirasa tidak tepat. Daerah Teluk Benoa yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi dalam Perpres No. 45 tahun 2011 sebelum diubah menjadi Perpres No. 51 tahun 2014 menjadi salah satu tempat mata pencaharian nelayan setempat. Daratan baru yang akan dibuat tentunya akan mengorbankan kehidupan para nelayan tersebut, tidak ada lagi daerah tangkapan ikan yang mudah dijangkau. Akibatnya jika terus dibiarkan, perubahan struktur masyarakat dengan profesi nelayan pun terjadi, dimana dengan tantangan yang begitu sulit untuk menangkap ikan, tidak menutup kemungkinan bahwa tidak ada lagi warga sekitar yang ingin melaut. Pasar-pasar ikan tradisional disekitar wilayah tersebut juga terancam punah. Tidak ada lagi ikan segar yang dapat diperjualbelikan. Tingginya harga jual ikan oleh nelayan di wilayah Benoa akibat peningkatan biaya untuk melaut mendorong terjadinya kebangkrutan nelayan setempat. Jika mereka yang terancam secara langsung akibat dampak dari reklamasi ini memiliki modal (keahlian khusus ataupun biaya) untuk ikut ambil bagian di bidang pariwisata, maka hal tersebut tentunya tidak akan menjadi beban bagi pemerintah daerah. Umpan balik negatif dengan meningkatnya pengangguran akibat nelayan berhenti melaut harus mendapat perhatian khusus dalam pengambilan keputusan mengenai reklamasi ini. Termasuk keturunan dari nelayan-nelayan tersebut yang belum tentu mampu mengenyam pendidikan seperti yang diharapkan pemerintah daerah sehingga dapat diserap oleh industri pariwisata sangat mungkin meningkatkan angka kemiskinan di daerah tersebut. Ancaman peningkatan pengganguran ini sudah tentu memicu terjadinya angka kriminalitas yang tinggi. Mereka yang semula berpenghasilan cukup untuk kebutuhan pangan harus bersaing keras baik oleh sesama ataupun kaum pendatang (dari luar pulau Bali) yang mencoba mengadu nasib di Pulau Dewata ini. Sehingga bisa jadi berwisata di Bali tidak seaman dan senyaman sebelumnya. Dalam era globalisasi ini, daerah manapun di dunia ini tidak akan pernah luput dari pembangunan, baik itu pembangunan infrastruktur negara maupun pembangunan di berbagai sektor kehidupan, namun yang menjadi catatan penting dalam perencanaan dan realisasi percepatan pembangunan ini hendaknya dilakukan dengan penyesuaian-penyesuaian adat dan istiadat yang ada di Bali. Pemerataan pembangunan di Bali adalah salah satu indikator untuk memberikan kontribusi dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan baru dan peningkatan pendapatan asli daerah di daerahnya masing-masing. Jangan sampai percepatan pembangunan hanya berfokus pada beberapa tempat khususnya Bali Selatan yang pada akhirnya akan semakin menambah kesenjangan antar masyarakat khususnya dari aspek ekonomi. Pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan harus dikedepankan sebagai embrio pembangunan ekonomi berkelanjutan sesuai dengan pasal 33 UUD 1945. 4. REKLAMASI BUKAN SOLUSI TERHADAP PERMASALAHAN ALIH FUNGSI LAHAN DAN KEPADATAN PENDUDUK

Sudah menjadi sejarah dalam proses pembangunan di Bali, bahwa laju pembangunan sarana kepariwisataan berbanding lurus dengan lajunya arus alih fungsi lahan sawah. Pada tahun 1980an, kasus yang sama pernah terjadi. Dalam era itu, pembangunan kepariwisataan sedang di-push. Tercatat laju alih fungsi lahan sawah pada saat itu seketika melompat menjadi lebih dari 1.000 ha/tahun. Sementara itu, dengan metode analisis spasial, tim Litbang Kompas (2013) mencatat bahwa, di mana ada pembangunan kawasan wisata, maka di kawasan itulah berkembang kawasan kumuh. Jadi, ada hubungan yang kuat antara pembangunan pariwisata dengan kawasan kumuh di Bali. Analogi inilah yang terjadi antara pembangunan kawasan wisata (reklamasi) dengan alih fungsi lahan sawah (Bali Express).Guru Besar Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Windia, MS menegaskan bahwa setiap pembangunan kawasan wisata akan mendorong orang untuk bekerja di sana, termasuk masuknya kaum migran. Kondisi ini akan mendorong pembangunan fisik lainnya, seperti pembangunan warung, toko, restoran, perumahan, hotel kecil, dan berbagai sarana prasarana lainnya. Pembangunan fisik sebagai akibat darimultiplier-efect pembangunan (reklamasi) inilah yang mendorong alih fungsi lahan sawah. Bahwa kehadiran migran di Bali sudah menjadi rahasia umum. Saat ini, pertumbuhan penduduk di Badung dan Denpasar naik sekitar 3-5 persen pertahun. Kenaikan itu, 50 persen disebabkan karena kedatangan migran. Kenapa migran datang ke Bali? Tentu saja karena di Bali ada pembangunan pariwisata. Kalau pembangunan pariwisata di Bali tidak dihentikan (sementara), maka migran akan semakinbanyak berdatangan. Migran yang beranak pinak akan memangsa lahan sawah di Bali. Itulah sebabnya, pembangunan pariwisata telah menjadi kanibal bagi sektor pertanian. Oleh karenanya, seperti tidak masuk akal kalau dikatakan bahwa penggunaan reklamasi yang akan dimanfaatkan sebagai sarana kepariwisataan, akan dapat menghentikan/mengendalikan alih fungsi lahan sawah di Bali. Justru sebaliknya yang akan terjadi.

Pemberian subsidi mutlak harus diberikan oleh pemerintah kepada para petani agar mampu mengolah lahannya untuk budidaya pertanian, bukan mengalihfungsikan lahannya pada bisnis yang dinilai lebih menguntungkan. Baik dalam bentuk peringanan pajak (PBB), subsidi harga gabah maupun menyangkut modal usaha tani untuk pembelian sarana produksi dan alat/mesin pertanian demi meningkatkan gairah dalam mengembangkan usaha tani serta memperoleh produktivitas yang lebih tinggi lagi. Petani sudah saatnya memiliki harapan yang membanggakan dalam aktivitasnya sebagai petani karena pada kenyataannya saat ini menunjukan bahwa profesi tani memang benar-benar mulai dikesampingkan oleh generasi muda. Tentu yang kita harapkan bersama yakni perkembangan pertumbuhan pariwisata yang sejajar (tanpa saling mengorbankan) dengan perkembangan pertanian dalam kawasan subak yang ada di Bali. Karena pada dasarnya, kedua hal tersebut dapat menjadi suatu simbiosis mutualisme dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bali tanpa mengusik sedikitpun nilai-nilai Budaya yang terkandung di dalamnya.