Upload
lenhi
View
235
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
STULOS 17/1 (Januari-Juni 2019) 94-119
MENEROPONG KETIMPANGAN SOSIAL EKONOMI
MASYARAKAT YAHUDI PADA ZAMAN YESUS MELALUI
LENSA TEORI SOSIAL
Edi Purwanto Dosen Program Magister Manajemen, Universitas Bunda Mulia, Jakarta
Abstrak
Artikel ini ingin mengkaji faktor-faktor penyebab ketimpangan sosial ekonomi
masyarakat Yahudi pada zaman Yesus melalui pendekatan sosial-ilmiah (social-
scientific criticism). Adapun kajian dilakukan melalui pembacaan tulisan-tulisan
para teolog yang terpublikasi pada jurnal-jurnal internasional dan catatan Injil-Injil
Perjanjian Baru. Berdasarkan kajian ditemukan bahwa kemiskinan di Israel adalah
kemiskinan struktural yang ditandai dengan adanya distorsi politik, ekonomi, dan
sosial bagi kaum miskin. Faktor-faktor struktural yang menyebabkan kemiskinan dan
ketimpangan di antaranya ialah kolonialisme transnasional, kolonialisme internal,
kolaborasi kolonialisme transnasional-internal, perangkap subsistensi, perangkap
ketidakberdayaan, perangkap resiko tinggi, perangkap perbudakan hutang, dan
perangkap kriminalitas.
Kata kunci: ketimpangan, sosial-ekonomi, kemiskinan struktural, social-scienfitic
criticism
PENDAHULUAN
Injil menyingkapkan, bahwa ketimpangan sosial ekonomi yang sangat nyata
di antara masyarakat Yahudi. Sherwin-White menemukan bahwa dunia yang
digambarkan Injil mempresentasikan adanya dua kelas sosial pada zaman itu.
Pertama, kelas orang-orang yang sangat kaya adalah kelas atas yang
jumlahnya sangat sedikit, tidak lebih dari 5 persen dari jumlah populasi.
Bahkan ada yang memperkirakan jumlah elit perkotaan tersebut hanya sekitar
2 persen dari total penduduk. Dalam kategori ini terdiri dari: para birokrat
Roma, para imam aristokrat, para tuan tanah, dan para pemungut cukai yang
sukses. Sisanya, sekitar 95-98 persen penduduk adalah orang-orang yang
sangat miskin.1 Kemiskinan begitu umum dialami oleh rakyat, sehingga
1 A. N. Sherwin-White. Roman Society and Roman Law in the New Testament. (Grand
Rapids: Baker Pub. Group, 1992), 139, bandingkan dengan Richard L. Rohrbaugh, “The
STULOS: JURNAL TEOLOGI 95
Lukas menggambarkan ucapan syukur Maria, ketika Tuhan menyampaikan
berita Mesias yang akan dikandungnya, demikian “melimpahkan segala yang
baik kepada orang yang lapar” (Lukas 1:53).
Para pemimpin agama Yahudi, yang merupakan kelompok elit
masyarakat menilai bahwa kutukan dosalah yang menyebabkan masyarakat
dalam kemiskinan. Itu adalah doktrin lama yang selalu dicekokkan oleh para
pemimpin agama korup, yang mengasosiasikan kesucian dengan kesuksesan
dan dosa dengan kemiskinan. Dalam hal ini, Ted K. Bradshaw menilai,
doktrin agama yang menyamakan kekayaan dengan kemurahan Allah dan
orang-orang yang buta, lumpuh, atau cacat, dan miskin diyakini sebagai
akibat hukuman dari Tuhan bagi pendosa merupakan keyakinan lama.2
Doktrin ini dikonstruksi oleh para imam bersama Farisi untuk menciptakan
stratifikasi sosial, ekonomi, dan keagamaan dalam masyarakat Yahudi,
seperti dikatakan juga oleh Thobias A. Messakh sebagai “political purity”,
yang mana, para imam, ahli Taurat dan Farisi adalah kelompok suci,
sedangkan para petani, orang-orang miskin, cacat, sakit kusta adalah
kelompok najis atau berdosa.3 Termasuk orang-orang miskin dan sakit
distigmakan sebagai “pendosa” juga.
Stigma yang dibuat oleh para elit Yahudi justru menunjukkan bahwa
struktur sosial, ekonomi, dan politik yang tidak adil merupakan penyebab
sesungguhnya dari kemiskinan rakyat. Nampaknya masuk akal jika kehadiran
kolonialis Romawi dan para elit Yahudi sebagai para kapitalis lokal, diduga
sebagai pemicu munculnya struktur sosial, ekonomi, dan politik yang
timpang dalam masyarakat dan tidak adil bagi masyarakat proletar.
Berdasarkan apa yang dipaparkan di atas, maka tujuan riset ini adalah
untuk menjabarkan faktor-faktor penyebab tersebut secara analitis dan
menarik implimentasi masa kekiniannya.
PEMBACAAN SOSIAL PADA SITUASI DAN KONDISI ZAMAN YESUS
Social Location of the Marcan Audience”, Biblical Theology Bulletin: Journal of Bible and
Culture, Vol, 23, Issue 3, (August 1993): 117. 2 Ted K. Bradshaw, “Theories of Poverty and Anti-Poverty Programs in Community
Development, Community Development, Vol. 38, Issue, (Dec. 2007): 12. 3 Thobias A. Messakh, Konsep Keadilan dalam Pancasila. (Salatiga: Satya Wacana
Univeristy Press, 2007), 200.
96 MENEROPONG KETIMPANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT YAHUDI
1. Pendekatan Social-scientific Criticism
Apakah metode kajian sosial-ilmiah (social-scientific criticism) pada Alkitab
itu? Mark Sneed, profesor biblika pada Lubbock Christian University, Texas,
menjelaskan bahwa pendekatan sosial-ilmiah terhadap Alkitab telah menjadi
andalan di antara tipe-tipe studi biblical criticism.4 Gelombang pendekatan
sosial-ilmiah ini (sejak dari tahun 1970-an) disebabkan oleh karena status
tidak menguntungkan dari pendekatan kritik historis (historical critical
approach), karena secara ilmiah berorientasi dan memperlakukan Alkitab
tidak ada bedanya dengan karya sastra lainnya dan menolak hal-hal
supranatural di dalamnya serta mempertanyakan kesejarahan tulisan dalam
Alkitab. Misalnya, pendekatan kritik historis menghasilkan pandangan bahwa
bukan Musa yang menulis kitab Pentateukh, namun kitab ini merupakan
kumpulan dari sumber-sumber yang kemudian disatukan oleh seorang
editor.5
John H. Elliott, seorang professor Perjanjian Baru pada fakultas Teologi
University of Pretoria, mengatakan bahwa pendekatan social-scientific
criticism (SSC) merupakan salah satu subdisiplin dari eksegesis, yaitu
pendekatannya menggunakan teori sosial-ilmiah untuk memahami konteks
geografis, historis, ekonomi, sosial, politik dan budaya dan keagamaan pada
zaman Alkitab. Alat-alat analisis yang dipergunakan untuk penyelidikan ini
menggunakan kajian ilmu sosial, khususnya sosiologi dan antropologi
budaya. Perlunya pendekatan ilmu sosial dalam eksegesis ini dikarenakan
setiap tulisan dari Alkitab menggambarkan peristiwa-peristiwa yang bersifat
sosial mengenai: hubungan-hubungan, struktur-struktur, institusi-institusi,
peran-peran status dan berbagai drama dari kehidupan sehari-hari. Apalagi
setiap tulisan dari Alkitab tidak semata-mata merupakan suatu komposisi
sastra, namun juga merupakan produk kehidupan sosial. Penulisan kitab-kitab
tersebut juga memiliki tujuan sebagai alat komunikasi dan interaksi sosial
4 Mark Sneed, “Social Scientific Approach to the Hebrew Bible”, Religion Compass Vol.
2, No. 3, (April 2008): 287. 5 Ibid., 287-288.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 97
untuk mendorong aksi sosial dari para pembacanya; oleh sebab itu, eksegesis
membutuhkan dimensi sosial ilmiah juga.6
Mark Sneed memberikan beberapa karakteristik dari pendekatan ilmiah
sosiologi untuk memahami masyarakat pada zaman Alkitab seperti berikut
ini: pertama, comparative methodology adalah metode sosial-ilmiah ini,
secara sosiologis membandingkan masyarakat modern dengan masyarakat
Israel zaman Alkitab atau secara antropologis membandingkan masyarakat
Israel pada zaman Alkitab dengan masyarakat non-industrial sekarang,7
seperti pendekatan yang dilakukan oleh Thomas Overholt.8 Kedua,
interdisciplinary methodology adalah metode sosial-ilmiah interdisipliner
yang melibatkan penggabung dua bidang ilmu: ilmu sosial dan studi biblika.
Kombinasi ini merepresentasikan dua kemungkinan: 1) seorang ilmuwan
sosial yang berkonsultasi pada studi biblika dan berusaha untuk menjelaskan
perilaku sosial dengan melalui teropong teks biblika atau, 2) sebaliknya
seorang ahli studi biblika yang berkonsultasi dengan ilmu sosial untuk
memamahi beberapa aspek dari Alkitab. Max Weber adalah contoh ilmuwan
sosial yang mencoba menganalisis teks Alkitab untuk menjelaskan fenomena
sosial dan menghasilkan karya Ancient Judaism.9 Sedangkan Abraham
Malamat adalah contoh seorang sarjana biblika yang menggunakan ilmu
sosial untuk menjelaskan fenomena dalam teks biblika.”10
Mark Sneed mengatakan bahwa ada tiga dasar pendekatan sosiologi
biblika:11
tipe pertama, berfokus pada aspek-aspek sosial dari sebuah teks
atau masyarakat, misalnya kelas sosial, gender, etnisitas dll, tanpa
6 John H. Elliott, “Social-scientific criticism: Perspective, process and payoff. Evil eye
accusation at Galatia as illustration of the method”, HTS Teologiese Studies/Theological
Studies, Vol. 67, No. 1, (June 2011), 1. 7 Sneed, “Social Scientific Approach to the Hebrew Bible:” 288. 8Thomas Overholt, “Prophecy: The Problem of Cross-Cultural Comparison”, Community,
Identity, and Ideology: Social Science Approaches to the Hebrew Bible, C. E. Carter and C. L.
Meyers (eds.) (Winona Lake: Eisenbrauns, 1996), 423-447. 9 Mark Sneed, “Social Scientific Approach to the Hebrew Bible,” Religion Compass, 289;
Max Weber, Ancient Judaism, HH Gerth and D Martindale (trans.), Free, New York, NY,
1952. 10 Ibid., Lih juga Abraham Malamat, ‘Charismatic Leadership in the Book Judges’,
Community, Identity, and Ideology: Social Science Approaches to the Hebrew Bible, CE Carter and CL Meyers, eds., (Winona Lake: Eisenbrauns 1999), 293-310.
11Sneed, “Social Scientific Approach to the Hebrew Bible”, 289-290.
98 MENEROPONG KETIMPANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT YAHUDI
menggunakan teori sosial atau alat-alat analisis sosial-ilmiah lainya.12
Tipe
kedua dari pendekatan ini melibatkan penggunaan alat analisis yang telah
mapan dan diakui atau suatu konsep untuk menyelidiki teks biblika.13
Jenis
ketiga melibatkan karya seorang teoretisi tertentu14
yang menggunakan
gagasan doxa (kepercayaan) untuk mempertanyakan cara mendefinisikan
ideologi.
Karena tujuan pendekatan sosial-ilmiah ini adalah meneropong realita
sosial, ekonomi dan politik pada zaman Alkitab, maka pembaca tidak harus
membuat kesimpulan bahwa pendekatan ini akan menghilangkan makna
rohani atau teologis dari Alkitab yang adalah Firman Tuhan yang
diinspirasikan Tuhan dan tanpa salah. Sebagaimana salah satu prinsip
hermeneutika menyarankan penafsir untuk memperhatikan konteks historis,
budaya, sosial, ekonomi dan politik yang melatarbelakangi teks yang
ditafsirkan, maka tujuan pendekatan sosial-ilmiah ini adalah untuk
mengeksplorasi konteks historis, budaya, sosial, ekonomi dan politik melalui
lensa teori sosial modern.
2. Melihat Struktur Politik, Sosial dan Ekonomi di Bawah Romawi
Masyarakat Yahudi pada zaman Yesus sedang berada di bawah kolonialisasi
Romawi melalui kepanjangan tangan kekuasannya: para jendral atau petinggi
Romawi yang diangkat sebagai wali negeri dan kedua, adalah raja-raja
wilayah, mulai Herodes Agung dan putra-putranya setelah kerajaan terbagi.
Obery M Hendricks menyimpulkan bahwa dominasi kekuasaan penjajah
Romawi terefleksi dalam catatan Injil-injil.15
Lukas memulai catatannya
bahwa Yesus dilahirkan pada saat pemerintahan Kaisar Agustus. Ia
12 Michael V. Fox pernah menggunakan pendekatan ini dalam “The Social Location of
the Book of Proverbs”, Text, Temples, and Traditions: A Tribute to Menahem Haran, MV Fox, VA Hurowitz, A Hurvitz, ML Klein, BJ Schwarz and N Shupak, eds. (Winona Lake:
Eisenbrauns, 1996), 227–39. 13 Lihat Mark Sneed sendiri pernah menggunakan pendekatan ketika mendiskusikan
lokasi social Amsal, “The Class Culture of Proverbs: Eliminating Stereotypes” Scandinavian Journal of the Old Testament, Vol. 10, Issue 2 (July 1996): 296–308.
14 Jacques Berlinerblau, The Vow and the ‘Popular Religious Groups’ of Ancient Israel: A
Philological and Sociological Inquiry (Sheffield: Sheffield Academic Press, 1996). 15 Obery M. Hendricks, The Politics of Jesus: Rediscovering the True Revolutionary
Nature of Jesus’ Teachings and How They Have Been Corrupted. (Doubleday, New York:,
Three Leaves Press, 2006), 54-55.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 99
memerintahkan seluruh warga Israel untuk kembali ke kampungnya masing-
masing untuk didata atau disensus (Lukas 2:1) sebagai dasar wajib pajak.
Ajaran Yesus tentang mengalah atau berdamai dengan lawan (Matius 5:25),
yang mengacu pada hakim dan penjara Roma. Markus menjelaskan prajurit
Romawi memaksa Simon orang Kirene untuk memikul salib Yesus ke
Kalvari (Markus 15:21), adalah contoh tindakan semena-mena dari para
prajurit Roma terhadap rakyat Yahudi. Kemudian mencatat Yesus mengusir
roh jahat dari orang Gerasa dan roh jahat itu menyebut diri mereka “Legion”
(Markus 5:9) adalah istilah yang mengacu pada satu batalion militer Romawi.
Romawi melakukan tindakan-tindakan represif dan eksploitatif terhadap
bangsa yang dikolonialisasinya. Pemerintah Romawi merampas tanah yang
seharusnya dimanfaatkan untuk pertanian rakyat lalu dibagikan kepada para
penguasa, militer dan pegawai lokalnya, dan juga untuk membiayai
kepentingan pemerintahan lokal.16
Namun itu bukan satu-satunya bentuk
tindakan represifnya, sistem pajak Romawi merupakan bentuk tindakan
eksploitatif yang sangat menyengsarakan rakyat. Rakyat harus membayar
pajak kepada Roma dan pajak kepada Herodes (sebagai kepanjangan tangan
penguasa Romawi), sehingga tidak mungkin bagi rakyat memiliki sisa hasil
pertanian untuk rencana jangka panjang.17
Orang-orang miskin yang hanya
menggantungkan hidup mereka pada hasil pertanian subsisten di mana
kebanyakan tanah telah dirampas oleh pemerintah kolonial, ditambah beban
pajak yang tinggi dari hasil pertanian subsistennya. Sehingga tepat sekali apa
yang dikatakan oleh seorang sarjana Yahudi, Salo Wittmayer Baron,
“struktur perpajakan Roma yang diterapkan di Israel pada abad pertama
sesungguhnya yang menjadi penyebab utama kemiskinan.”18
Pertanyaan orang-orang Farisi kepada Yesus tentang masalah bolehkah
membayar pajak kepada Kaisar menunjukkan bahwa pajak adalah isu penting
pada zaman itu (Matius 22:17). Penilaian Baron, Roma memunggut pajak
sampai seperempat hasil panen setiap tahun, apalagi setelah Israel berada
16 Lih. dalam Thobias A. Messakh, Konsep Keadilan dalam Pancasila. (Salatiga: Satya
Wacana Univeristy Press, 2007), 198. 17 Hendricks, The Politics of Jesus., 61-2. 18 Salo Wittmayer Baron. A Social and Religious History of the Jews. (New York:
Columbia University Press, 1952), 279-280.
100 MENEROPONG KETIMPANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT YAHUDI
langsung di bawah kekuasaan Roma, masih banyak pungutan lain untuk
kebutuhan para pejabat dan tentara Roma.19
Para gubernur atau wali negeri Roma memandang wilayah-wilayah
kekuasaannya sebagai sapi perah mereka. Pada zaman Yesus, Israel berada di
bawah pemerintahan Valerius Gratus (memerintah dari tahun 15-26 M) dan
Pontius Pilatus (26-36 M) yang menarik upeti dari setiap rakyat. Selain pajak
yang harus dibayarkan kepada pemerintah sekular, rakyat juga harus
membayar pajak Bait Allah, persepuluhan dan bentuk-bentuk persembahan
lainnya. Bahkan menurut Baron diperkirakan total gabungan dari pajak
sekuler ditambah dengan berbagai pungutan keagamaan bisa mencapai 40
persen dari hasil pertanian subsisten mereka.20
Pajak-pajak tersebut dibayarkan dalam tiga bentuk: uang, persentasi dari
hasil panen atau ternak, atau kerja paksa. Selain pajak dari hasil panen,
pemerintah Herodes juga mengenakan “pajak kepala,” dimana setiap laki-laki
berusia empat belas tahun ke atas dan setiap wanita berusia di atas dua belas
tahun dikenai pajak satu dinar (sekitar upah harian buruh).21
Pajak tersebut
juga dibicarakan antara Yesus dengan orang-orang Farisi dalam Markus
12:17. Selain pajak langsung, Roma juga menarik berbagai pajak tidak
langsung, seperti pajak jalan dan bea pelabuhan. Militer Roma juga memiliki
hak legal untuk memaksa rakyat mengangkut barang-barang bawaannya
hingga satu mil sebagaimana terefleksi dalam pernyataan Yesus dalam
Matius 5:41.
Selain militer dan para pejabat Roma, Romawi juga memiliki
perwakilan pemerintahan di bawah raja wilayah yang ditunjuk oleh Roma.
Dinasti Herodes adalah raja yang berkuasa di Israel sebagai kepanjangan
tangan dari pemerintah Romawi. Dengan demikian, pemerintahan herodes
juga dapat dimasukkan dalam kelompok kolonialis transnasional. Herodes
Agung sendiri bukanlah seorang Yahudi. Herodes adalah seorang Idumea
19 Ibid, 279-280. 20 Obery M. Hendricks, The Politics of Jesus., 64. 21Lih Gary Dreier yang berpendapat bahwa sensus dalam Lukas 2:1 diadakan untuk
mendaftar setiap anggota keluarga untuk tujuan pajak tersebut, dalam “The Political and Religious Structure in Jesus’ Time,” Living in Christ Series (Winona: Saint Mary’s Press,
2010), 4-5.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 101
yang kemudian berkuasa menjadi raja atas bangsa Yahudi sebagai
kepanjangan tangan pemerintah Romawi.
Di bawah pemerintahan Herodes Agung rakyat dengan sangat kejam
dituntut untuk membayar pajak yang sangat membebani, demi kepentingan
dirinya, ia bersikap dan bertindak sangat kejam terhadap rakyat. Menurut
Yosefus motif dasar dari karakter Herodes Agung adalah ambisinya yang
tidak pernah terpuaskan dan gaya hidup mewahnya. Semua pengeluarannya
dibebankan pada pajak dan bahkan perampasan hak milik rakyat.22
Kemudian
putranya, Herodes Arkelaus memerintah Judea Edom dan Samaria, dengan
sama kejamnya dengan ayahnya; selama sepuluh tahun pemerintahannya,
berlaku tidak bermoral, lalim, mengumbar nafsu, dan sekehendak hati
mengganti imam besar. Semua perbuatannya mengundang kebencian dan
protes dari orang Yahudi dan menyebabkan sering terjadi kerusuhan.
Herodes Antipas yang memerintah wilayah Galilea dan Perea juga sama
kejamnya, yang membangun kota Tiberias sebagai pusat pemerintahannya
untuk mencari muka kepada Kaisar Tiberius dan yang menggambil istri dari
saudara tirinya, istri Filipus yang tinggal di Roma, yang bernama Herodias.
Yohanes Pembaptis pernah menegurnya dan dipenjarakan serta dipenggal
kepalanya (Matius 14:3-13). Yesus menyebutnya ‘si serigala itu’ (Lukas
13:31-32).23
Di bawah pemerintahannya, orang-orang Yahudi di wilayah
Galilea menderita sebagai akibat berbagai kebijakan eksploitatif yang kejam,
misalnya para nelayan tidak dapat menangkap ikan sekehendak hatinya,
namun mereka harus memiliki ijin kontrak dari para pemunggut cukai yang
ditunjuk oleh Raja. Pemungut cukai biasanya meminjamkan uang untuk
menyewakan perahu dan jala pada nelayan,sehingga nelayan harus berbagi
hasil tangkapannya.24
Peran Politik, Sosial dan Ekonomi Para Imam & Farisi
22 Joachim Jeremias, Jerusalem in the Time of Jesus: An Investigation into Economic and
Social Conditions during the New Testament Period. (Philadelphia: Fortress, 1969), 125. 23 Ibid., 157-158. 24 Dikutip oleh K. C. Hanson, “The Galilean Fishing Economy and the Jesus Tradition”,
Biblical Theology Bulletin, 27 (August 1997):100.
102 MENEROPONG KETIMPANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT YAHUDI
Pemerintah Romawi di Israel yang diwakili oleh wali negeri atau pun Raja
Herodes memanfaatkan para kapitalis lokal dengan tujuan untuk dapat
mengumpulkan berbagai macam pajak atas bangsanya sendiri atas nama
Romawi. Para kapitalis lokal tersebut di antaranya adalah para keluarga
pemungut cukai dan para pemuka agama. Romawi membutuhkan para
pemungut cukai untuk menarik pajak dan membutuhkan para pemuka agama
untuk menstabilkan pemerintahan. Dan karena para pemuka agama juga
harus memberikan upeti untuk mempertahankan hubungan patronase
tersebut, maka juga melakukan tindakan-tindakan eksploitatif atas nama
agama. Tidak heran kalau para pemuka agama tersebut sangat membenci para
pemungut cukai dan mengelompokkan nya sebagai orang-orang berdosa
(Matius 9:11, 11:19, Markus 2:16, Lukas 5:30, Lukas 19:7). Kelompok itu
saling bersaing dalam mengejar kehormatan dan kendali atas ekonomi dan
menguasai pajak.25
Pajak keagamaan dalam bentuk persepuluhan diwajibkan oleh para
pemimpin agama Yahudi, berarti 10 persen dari produk pekerja, termasuk 10
persen dari hasil panen dan ternak. Ada dua jenis persepuluhan, pertama
adalah persepuluhan yang disetor ke Yerusalem pada perayaan-perayaan
keagamaan dan kedua persepuluhan untuk mendukung kehidupan para imam
dan Lewi. Rakyat juga diwajibkan memberikan persembahan buah sulung
dari hasil panen atau ternak mereka, yang dibawa ke Bait Suci dalam bentuk
barang atau uang selama masa perayaan-perayaan keagamaan. Selain itu,
setiap pria dewasa Yahudi juga diwajibkan untuk membayar pajak Bait Suci
setiap tahun. Pengumpulan pajak itu digunakan untuk kebutuhan Bait Suci.
Pada zaman Yesus pajak Bait Suci itu adalah dua dirham yang harus ditukar
dengan setengah syikal, yang diperkirakan setara dengan upah kerja dua hari
(lihat Matius 17:24-27).26
Bahkan menurut Sanders setiap tahun para pejabat
keagamaan mendatangi rumah para petani dan meminta persembahan
persepuluhan kepada mereka.27
Jadi, jauh dari pandangan kaum awam yang mungkin beranggapan
bahwa para imam, ahli Taurat dan Farisi adalah para pemimpin agama yang
25 Ibid.,100. Kutipan langsung diterjemahkan penulis. 26 Dreier, “The Political and Religious Structure in Jesus’ Time,” 6. 27 E. P. Sanders, Judaism: Practice and Belief 63 BCE-66 CE. (London: Trinity Pr Intl.
1992), 149.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 103
hanya melayani urusan-urusan keagamaan. Sesungguhnya mereka adalah
kaum aristokrat. Hendricks menjelaskan bahwa para imam aristokrat Bait
Suci secara turun temurun memainkan peran politik yang sangat penting pada
zaman Yesus. Kelas ini terdiri dari Imam Besar dan sejumlah elit imam yang
secara bersama-sama bekerja mengelola Bait Suci. Para tua-tua (gerousia)
yang juga ikut ambil bagian dalam politik Bait Suci adalah para kepala
keluarga kaya di Yerusalem yang kekayaannya diperoleh dengan menjadi
anggota penuh mahkamah agama (Sanhedrin). Jadi orang-orang Saduki dan
Farisi serta kelompok non-imam yang menjadi anggota Sanhedrin termasuk
dalam kelompok imam aristokrat.28
Bahkan “Para pemimpin agama, atas
nama agama mengambil tanah-tanah rakyat untuk kepentingan pembiayaan
institusi dan kegiatan keagamaan”…”Para penguasa yang kaya, yang tinggal
di kota-kota, namun memiliki tanah di desa-desa yang digarap oleh para
petani.”29
Jadi, jelas bahwa mereka bukan semata-mata berperan sebagai
pemimpin agama, peran politik, dan pengendali ekonomi yang berkedok
agama.
Sekalipun Smallwood menentang asumsi adanya hubungan patronase
pemerintah Romawi dengan para pemimpin agama Yahudi,30
namun
kebanyakan ahli sejarah Yahudi maupun sarjana Alkitab menggambarkan
hubungan antara para Imam Besar Yahudi dengan Roma pada permulaan
penjajahan Roma di Israel adalah kolaborasi aristokrat. Richard A. Horsley
mengatakan bahwa analisis yang paling dekat atas catatan Yosefus dengan
jelas menunjukkan asumsi Smallwood tersebut salah. Sebagai para pemimpin
yang diikuti oleh orang-orang Yahudi, para Imam Besar diharapkan
bertanggung jawab untuk membimbing dan melindungi kepentingan rakyat
Yahudi secara menyeluruh. Namun sebagai para pemimpin aristokrasi,
diharapkan oleh Roma untuk mengontrol rakyat Yahudi demi kepentingan
pemerintahan imperial sekaligus bergantung pada kekuasaan Roma untuk
mempertahankan posisi kekuasaan mereka sendiri.31
Menurut Hanson fungsi
28 Hendricks, The Politics of Jesus., 56. 29 Thobias A. Messakh, Konsep Keadilan dalam Pancasila (Salatiga: Satya Wacana
Univeristy Press, 2007), 198. 30 E. Mary Smallwood. “High Priests and Politics in Roman Palestine,” The Journal of
Theological Studies, New Series, Vol. 13, No. 1, (April 1962), 14- 34. 31 Richard A. Horsley, “High priests and the Politics of Roman Palestine”, Journal of the
Study of Judaism, Vol. 17, No. 1, (Jan. 1986), 23.
104 MENEROPONG KETIMPANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT YAHUDI
utama keluarga aristokrat, yang mana para pemimpin agama ini merupakan
keluarga-keluarga aristokrat, adalah pengumpul pajak dan pedagang
perantara antara petani atau nelayan sebagai produsen dan Romawi sebagai
pihak yang membutuhkan sumber-sumber daya alam atau pertanian tersebut.
Kedua fungsi tersebut untuk kepentingan para elit perkotaan, dan kemudian
para elit tersebut bersaing untuk memperoleh kehormatan dan hak untuk
mengendalikan dan menguasai pajak dari para petani.”32
Jadi jelas bahwa
dapat dikatakan para imam, pemuka-pemuka agama dan kaum Farisi tidak
lebih dari para antek asing, yang bekerja untuk Romawi dan untuk
keuntungan diri sendiri dengan mengeksploitasi rakyat atas nama agama.
Selanjutnya Obery M. Hendricks menafsirkan, orang-orang Saduki
adalah kelompok yang paling berkuasa di Bait Suci. Orang-orang Saduki
kemudian sangat berkuasa karena pengaruh kekayaan, politik, dan sosial
mereka ketimbang agama. Jabatan Imam Besar mereka peroleh karena
membayar kepada penguasa Roma dan raja boneka Herodes.33
Nampak jelas
bahwa jabatan imam besar diperoleh melalui hubungan patronase dengan
Romawi atau Herodes, dan mereka memanfaatkan jabatan tersebut untuk
kepentingan politik, social, serta ekonomi. Pernyataan itu sekaligus
menguatkan keyakinan kebanyakan ahli bahwa Imam Besar sesungguhnya
adalah antek Romawi yang mengkhianati rakyat dan jabatan keagamaannya.
Berhubungan dengan imam besar, Injil menggambarkan rumah imam
besar yang sangat besar dan mewah, memiliki halaman yang luas, dengan
pintu gerbang yang megah, dan ruang pertemuan yang besar yang
memungkinkan sebagai tempat pertemuan tujuh puluh satu anggota
Sanhedrin, termasuk para hamba mereka dan para penjaga Bait Suci
(Yohanes 18:12-18). Para imam aristokrat juga memiliki sejumlah tanah di
luar Yerusalem, dan Yosefus mengatakan bahwa jumlah properti mereka
yang sangat banyak berasal dari persepuluhan selama menjabat menjadi
imam.34
Itu berarti jabatan keagamaan tidak dipakai sebagai kesempatan
untuk melayani umat, namun justru dimanfaatkan demi kepentingan
memperkaya keluarga serta kolega-koleganya. Alih-alih meringankan beban
32 K. C. Hanson, “The Galilean Fishing Economy and the Jesus Tradition,” Biblical
Theology Bulletin, 27, (August 1997): 100. 33 Obery M. Hendricks, The Politics of Jesus, 57. 34 Ibid., 58.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 105
rakyat yang sengsara akibat penjajahan, justru membuat beban kesengsaraan
rakyat bertambah dua kali lipat.
Demi mempertahankan pendirian akomodatif terhadap Roma dan
melindungi status ekonomi, para imam terus menerus mempertahankan
hubungan dekatnya dengan para penguasa. Mereka terus memberikan
korban-korban kepada kaisar untuk menunjukkan kesetiaan mereka kepada
kaisar. Bahkan di hadapan Pilatus dan di hadapan rakyat pada saat sidang
pengadilan Yesus, imam-imam kepala itu dengan lantang berseru, “Kami
tidak mempunyai raja selain daripada Kaisar!” (Yohanes 19:15). Hendricks
berkata bahwa “meskipun perlakuan Roma terhadap rakyat sangat keras,
namun memperlakukan para imam dengan istimewa. Timbal balik nya Roma
melindungi Bait Suci di Yerusalem, karena merupakan sumber utama dari
kekayaan para imam dan dengan brutal membantu untuk menyingkirkan
siapapun yang dianggap mengancam status dan kekuasaan mereka.35
Herodes Agung dengan terang-terangan mengendalikan imam besar dan
memiliki hak untuk menunjuk siapa yang menjadi imam besar. Kualifikasi
utama calon imam besar adalah yang memiliki kerelaan untuk memberikan
apa yang diminta oleh Herodes dan Roma. Antara tahun 35 sampai tahun 4
SM Herodes Agung sendiri telah menunjuk atau mengangkat tujuh imam
besar, dan salah satu di antara mereka adalah Yusuf bin Elim yang melayani
sebagai imam besar hanya dalam satu hari saja.36
Fakta ini menunjukkan
bahwa jabatan imam besar merupakan jabatan yang dibeli dari penguasa dan
harus dipertahankan melalui memberikan upeti dan berbagai hal demi
menyenangkan penguasa.
Kebergantungan imam besar pada perlindungan Roma adalah demi
mempertahankan status istimewa mereka, dan oleh karena itu raja-raja
penerus Herodes lainnya tetap mempertahankan budaya kolusi tersebut.
Mereka yang mengangkat atau memecat imam besar. 37
Yohanes menyindir
“Kayafas, Imam Besar pada tahun itu” (Yohanes 11:49) berimplikasi jabatan
imam bisa saja berganti setiap tahunnya, Hanas digantikan oleh menantunya
Kayafas karena “Hanas adalah mertua Kayafas, yang pada tahun itu menjadi
35 Ibid., 58. 36 Ibid., 59. 37 Ibid., 59.
106 MENEROPONG KETIMPANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT YAHUDI
Imam Besar.”(Yohanes 18:13). Sindiran tersebut menunjukkan bahwa
jabatan imam besar merupakan jabatan hasil kolusi dan nepotisme.
Kehidupan para imam dan keluarga mereka sangat rakus dan mewah.
Pada perayaaan-perayaan agama mereka harus diberikan makanan yang
mahal dan minuman dari anggur terpilih pada gelas kristal. Para wanita dari
keluarga imam minta untuk berjalan di atas karpet mulai dari rumahnya
menuju Bait Suci di Yerusalem pada Hari Pendamaian. Menurut Obery M.
Hendricks, ketika Pilatus mendirikan patung Kaisar di Yerusalem pada tahun
39 M dan menimbulkan protes besar-besaran dari rakyat, di sana tidak
disebut keterlibatan para imam dalam protes tersebut.38
Richard A. Horsley
mengatakan bahwa para imam aristokrat itu secara terus menerus berusaha
mempertahankan hubungan kerjasama yang baik dengan Roma atau wali
negeri Roma.39
Mereka jelas merupakan antek-antek penjajah dan demi
memperkaya diri sendiri “menghisap darah” bangsanya sendiri.
Kekuatan Politik, Sosial dan Ekonomi Para Pemungut Cukai
Selain para imam, pemuka agama, dan Farisi, para pemungut cukai juga
adalah kapitalis lokal yang berkolaborasi dengan para penguasa untuk
memeras rakyat miskin. Menurut Cecilia Wassen setelah reformasi di bawah
Julius Caesar para pemungut cukai adalah para pegawai negeri yang
dipekerjakan oleh negara, dan mereka sangat giat bekerja untuk Romawi dan
rela disamakan dengan orang kafir bagi bangsanya.40
Para pemungut cukai
memiliki tugas untuk memungut pajak pertanian, pajak distribusi, pajak
penangkapan ikan di danau Galilea, dan pajak-pajak kegiatan produktif
lainnya, karena pemerintah tidak menetapkan jumlah pajak yang jelas untuk
dibayarkan, hal tersebut membuka peluang untuk melakukan pemerasan.41
Hal itu diakui sendiri oleh Zakheus ketika masih menjadi kepala pemungut
38 Ibid., 60. 39 Richard A. Horsley, “High priests and the Politics of Roman Palestine”, Journal of the
Study of Judaism, Vol. 17, No. 1, (Jan. 1986), 31. 40 Cecilia Wassen, “Jesus’ Table Fellowship with “Toll Collectors and Sinners”:
Questioning the Alleged Purity Implications” Journal for the Study of the Historical Jesus,
Vol. 14 (Oct. 2016), 143-144. 41 Cecilia Wassen, “Jesus’ Table Fellowship with “Toll Collectors and Sinners”:
Questioning the Alleged Purity Implications” Journal for the Study of the Historical Jesus,
Vol. 14 (Oct. 2016): 144.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 107
cukai (Lukas 19:8). Ketika para pemungut cukai datang untuk memberi diri
dibaptis oleh Yohanes Pembaptis mereka bertanya, “Guru, apakah yang harus
kami perbuat?” Yohanes menjawab, “Jangan menagih lebih banyak dari pada
yang telah ditentukan bagimu” (Lukas 3:12-13). Jawaban Yohanes tersebut
mengindikasikan bahwa sudah diketahui oleh umum bahwa para pemungut
cukai menetapkan jumlah yang lebih besar dari yang seharusnya.
Di wilayah Galilea, Kaisar42
berpatronase dengan Herodes Antipas dan
memberikan upeti kepada Kaisar. Hubungan patronase tersebut memberikan
wewenang kepada Herodes Antipas untuk menarik pajak dalam bentuk uang
dan barang dan menunjuk para kepala pemungut cukai untuk menjalankan
pekerjaan tersebut. Herodes memberikan hak kepada para kepala pemungut
cukai untuk menarik pajak dalam bentuk uang dan barang. Semakin tinggi
jumlah yang disetor akan semakin membuat Herodes menjadi senang dan
akan mempertahankan hubungan yang saling menguntungkan tersebut.
K. C. Hanson membuat bagan cara kerja para pemungut cukai yang
beroperasi di danau Galilea,43
yang merupakan sumber keuntungan dan
pemasukan bagi pemerintahan Herodes Antipas dan patron Romawinya.
Pertama, di sana ada pemungut cukai yang bertindak sebagai broker yang
membayar kepada kepada kepala pemungut cukai untuk memiliki hak
monopoli penangkapan ikan. Para broker adalah para pengusaha yang
memiliki perahu beserta segala perlengkapan penangkap ikan untuk
disewakan. Jadi, selain memberikan pajak penangkapan ikan berupa uang
dan hasil tangkapan, nelayan juga harus membayar sewa perahu dan
perlengkapan kepada para broker tersebut. Kedua, selain para broker tersebut
nantinya ada juga pemungut cukai yang mendapat hak memungut pajak dari
kepala pemungut cukai untuk kegiatan pengepakan ikan sebelum
didistribusikan ke pasar. Para pemungut cukai yang memberikan izin usaha
pengepakan dan berhak juga menarik pajak, dan harus juga menyetor
sebagian hasil pungutannya kepada Kepala pemungut cukai, di atasnya.
Ketiga, ada juga pemungut cukai, toll collector yang menerima wewenang
dari Kepala pemungut cukai untuk memberikan ijin penggunaan jalan dan
42 Herodes Antipas memerintah pada masa pemerintahan Augustus, Tiberius dan
Caligula. 43 K. C. Hanson, “The Galilean Fishing Economy and the Jesus Tradition”, Biblical
Theology Bulletin, 27, (August 1997), 101.
108 MENEROPONG KETIMPANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT YAHUDI
pelabuhan untuk pendistribusian ikan-ikan yang sudah dikemas dan mereka
memiliki wewenang untuk menarik pajak jalan dan sebagian hasilnya akan
disetorkan kepada kepala pemungut cukai. Selain berhubungan dengan
kepala pemungut cukai, toll collector ini juga berhubungan langsung dengan
kekaisaran Romawi, karena jalan dan pelabuhan adalah fasilitas pemerintah
dan melibatkan para prajurit untuk memastikan keamanan dari para
perampok. Keempat, ada juga pemungut cukai yang mendapat wewenang
dari kepala pemungut cukai untuk menarik pajak jual/beli produksi perikanan
yang hasilnya akan disetor kepada kepala pemungut cukai. Kelima,
selanjutnya kepala pemungut cukai akan menyetor hasil pungutan pajak
tersebut kepada Herodes Antipas dan Herodes Antipas akan memberikan
upeti kepada Kaisar.
Gambaran sistem pajak tersebut membuat jelas untuk mengerti mengapa
rakyat menjadi begitu miskin. Beban pajak dari berbagai sisi begitu
membebani, dari pemerintah sekular maupun institusi keagamaan.
Situasi dan Kondisi Ketimpangan Sosial-Ekonomi
Akibat struktur politik, sosial dan ekonomi yang sangat eksploitatif, baik di
bawah pemerintahan langsung Romawi, Herodes dengan para pemungut
cukainya, dan pemimpin lembaga keagamaan muncul ketimpangan sosial
ekonomi yang sangat besar antara elit dan rakyat miskin. Ketika seorang
wanita mengurapi kaki Yesus dengan minyak narwastu, Yudas langsung
mengeluhkan tindakan tersebut dan mengatas-namakan orang miskin untuk
menyalahkan tindakan tersebut (Yohanes 12:4-5), ini menunjukkan bahwa
problem kemiskinan merupakan problem utama zaman itu. Memang Yohanes
mencatat bahwa Yudas yang “peduli” kepada orang-orang miskin, namun
dari perkataan menggambarkan bahwa kemiskinan adalah kondisi umum dari
masyarakat. Lukas menulis, “Ada seorang kaya yang selalu berpakaian jubah
ungu dan kain halus, dan setiap hari ia bersukaria dalam kemewahan. Dan
ada seorang pengemis bernama Lazarus, badannya penuh dengan borok,
berbaring dekat pintu rumah orang kaya itu, dan ingin menghilangkan
laparnya dengan apa yang jatuh dari meja orang kaya itu. Malahan anjing-
anjing datang dan menjilat boroknya” (Lukas 16:19-21). Apa yang dituliskan
STULOS: JURNAL TEOLOGI 109
Lukas tersebut menggambarkan perbedaan yang sangat jauh antara kondisi
orang kaya dan orang miskin.
Harapan dan penghiburan diberikan Yesus kepada orang-orang miskin
dengan berkata, “Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah
yang empunya Kerajaan Allah” (Lukas 6:20). Ini menggambarkan tentang
kondisi kebutuhan makanan sehari-hari yang sungguh sulit bagi orang-orang
miskin. Itulah sebabnya dalam doa yang Yesus ajarkan termasuk
menyebutkan, “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang
secukupnya” (Matius 6:11). Bruce J. Malina and Richard L. Rohrbaugh
mengatakan bahwa orang-orang pada zaman itu memandang bahwa setiap
orang kaya memperoleh kekayaan dengan cara-cara yang tidak benar atau
memperoleh warisan kekayaan yang diperoleh dari cara-cara yang tidak
benar. Orang kaya pada zaman itu disinonimkan dengan keserakahan dan
orang miskin tidak memiliki kemampuan untuk mempertahankan miliknya.
Para imam yang melayani di Bait Suci adalah orang-orang kaya, istilah orang
kaya yang disamakan dengan “keserakahan” dan “keji”.44
Masyarakat kalangan bawah bukan hanya terdiri dari beberapa
masyarakat yang memiliki tanah pertanian yang sempit, namun kebanyakan
dari antara mereka bahkan tidak memiliki tanah pertanian sama sekali.
Kebanyakan mereka adalah para petani penyewa, para buruh tani, dan para
budak yang mengerjakan tanah pertanian kaum elit perkotaan. 45
Kontrak
sewa tanah biasanya secara tertulis yang kemudian menjadi alat untuk
menjerat para penyewa miskin secara hukum. Beberapa penyewa membayar
sewa tetap dan ada juga yang menggunakan sistem bagi hasil. Biaya sewa
bisa setara dengan dua per tiga dari hasil panen. Banyak penyewa yang
memiliki banyak anak akhirnya tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga
dari produksi pertanian. Keluarga-keluarga yang demikian akhirnya terbelit
hutang. Bahkan menurut Richard L. Rohrbaugh terdapat kasus di mana
seluruh penduduk dari sebuah desa bekerja sebagai para penyewa untuk satu
tuan tanah. Pada umumnya adalah para petani yang telah kehilangan tanah
44 Bruce J. Malina and Richard L. Rohrbaugh, Social-Science Commentary on the
Synoptic Gospels. (Minneapolis: Fortress, 2003), 400-01. 45 Richard L. Rohrbaugh, “The Social Location of the Marcan Audience”, Biblical
Theology Bulletin: Journal of Bible and Culture, Vol, 23, Issue 3, (August 1993), 121.
110 MENEROPONG KETIMPANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT YAHUDI
mereka untuk membayar hutang atau anak-anak yang tidak mendapatkan
warisan tanah pertanian dan juga tidak memiliki uang untuk menyewa.46
K. C. Hanson menggambarkan ketimpangan sosial ekonomi dalam
struktur ekonomi politik seperti berikut ini: (1) fungsi utama yang dilakukan
oleh para keluarga bangsawan atau aristokrat adalah mengumpulkan pajak,
dan fungsi tersebut adalah untuk kepentingan elit perkotaan. (2) Sementara
sejumlah kecil elit bersaing untuk memperoleh kedudukan terhormat dan hak
untuk mengendalikan dan menarik pajak dari para keluarga petani. Para
keluarga petani tetap pada aras subsistens, diperkuat lagi dengan penerimaan
hirarki secara “alami”. (3) Sistem pemerintahan penjajah Roma yang
“eksploitatif” membuat para petani tidak dapat menolak untuk dikendalikan
oleh mereka dan harus membayar pajak. (4) Sebagian besar produktivitas
para keluarga petani mengalir kepada keluarga-keluarga bangsawan dalam
bentuk tenaga kerja, produksi, uang melalui instrumen-instrumen seperti
persepuluhan, pajak, bea, biaya sewa, upeti dan penyitaan. Kemudian (5)
perbaikan infrastruktur seperti jalan, saluran air, dan pelabuhan tidak
menguntungkan keluarga-keluarga miskin, namun justru menguntungkan
keluarga-keluarga bangsawan.47
Penjelasan tersebut menunjukkan betapa
menderitanya para petani dan nelayan miskin di Galilea dengan beban pajak
yang tinggi tersebut.
Yosefus pernah mengindikasikan pengumpulan upeti untuk Roma di
Yudea dikendalikan oleh para elit perkotaan (para imam dan tua-tua), dan
pengumpulan upeti di Galilea dilakukan oleh Herodes, sehingga para Kaisar
menjadi sangat kaya melalui patronase mereka dengan para klien penguasa
lokal seperti dinasti Herodes. Menurut nya, Herodes Antipas, penguasa
Galilea adalah seorang “pecinta kemewahan” dan untuk memenuhi gaya
hidup mewahnya ia harus mengekspolitasi sumber-sumber daya di Galilea.
Beban pajak dan upeti ditambah lagi dengan para pemungut cukai atau
pengumpul pajak yang seringkali memeras rakyat dengan cara menarik pajak
lebih daripada yang seharusnya.48
46 Ibid., 121. 47 K. C. Hanson, “The Galilean Fishing Economy and the Jesus Tradition”, Biblical
Theology Bulletin, 27, (August 1997): 100. 48 Ibid., 101-103.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 111
Richard L. Rohrbaugh menjelaskan bahwa orang-orang Galilea yang
memiliki tanah, tanah mereka pun tidak luas. Karena produktivitas dari tanah
yang tidak terlalu luas tersebut rendah dan tidak stabil, ditambah lagi dengan
keharusan untuk mendukung Bait Suci dan para imam, pajak dan upeti yang
harus diberikan kepada pemerintah raja wilayah Herodes dan kekaisaran
Roma. Total pajak yang harus mereka bayar untuk semua itu bisa mencapai
empat puluh persen, ditambah dengan berbagai kebutuhan lainnya
menyebabkan para petani meluncur ke dalam jurang kemiskinan.49
Faktor lain yang berkontribusi pada kemiskinan di Israel adalah hutang
yang ditanggung oleh orang-orang miskin. Hasil pertanian subsisten
menyebabkan tidak adanya kelebihan setelah dikonsumsi, sehingga sejumlah
besar petani meminjam uang dari orang-orang kaya untuk digunakan
membayar pajak kepada pemerintah Roma. Hasil pertanian berikutnya juga
belum tentu cukup, dan itu menyebabkan mereka semakin tercekik oleh
hutang. Akibat yang mengerikan dari gagal membayar hutang digambarkan
dalam Matius 18:25-35, dengan dua konsekuensi mengerikan: pertama, “ia
dijual menjadi budak beserta anak isterinya untuk membayar hutangnya”
(Matius 18:25), kedua, sebagian mungkin akan memutuskan untuk bunuh diri
demi menghindari perbudakan dan penyiksaan yang sering dialami oleh para
budak.50
Bruce J. Malina dan Richard L. Rohrbaugh menjelaskan bagaimana
proses para petani jatuh ke dalam perangkap hutang. Pertama, pertumbuhan
penduduk, karena semakin banyak mulut yang harus diberi makan, sementara
margin penghasilan menurun maka harus meminjam untuk kebutuhan hidup.
Kedua, curah hujan yang tidak menentu menyebabkan kemungkinan
membuat gagal panen. Dua peristiwa kelaparan pernah terjadi, yaitu pada
tahun 25 SM pada masa pemerintahan Herodes Agung dan tahun 46 M di
bawah pemerintahan Klaudius sebagaimana telah dinubuatkan oleh nabi
Agabus (band. Kisah Rasul 11:28). Ketiga, banyak tuntutan seprti:
persepuluhan, berbagai pajak, upeti dan berbagai korban lainnya. 30-40
persen dari total produksi pertanian biasanya diambil untuk membayar
berbagai macam pajak. Akibatnya para petani tidak mampu membayar
49 Rohrbaugh,” The Social Location of the Marcan Audience”, 120. 50 Obery M. Hendricks, The Politics of Jesus: Rediscovering the True Revolutionary
Nature of Jesus’ Teachings and How They Have Been Corrupted, 64
112 MENEROPONG KETIMPANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT YAHUDI
pinjaman untuk benih atau modal sewa tanah, bahkan kadang-kadang
menyewa tanahnya sendiri yang telah diambil pemberi pinjaman sebagai
jaminan hutang.51
Kemiskinan, kelaparan, kehilangan tempat tinggal, kehilangan
kepemilikan merupakan akibat dari hutang dan gagal membayar hutang di
kalangan masyarakat bawah, diikuti oleh faktor-faktor psiko-emosional yang
menyebabkan rasa takut, tidak aman, alienasi sosial dan kebencian terhadap
pendudukan penjajah mereka menyebabkan kejahatan atau kriminalitas yang
terus meningkat. Kejahatan merupakan gejala klasik dari rusaknya politik dan
ekonomi. Kejahatan di Israel pada abad pertama begitu umum sehingga
hukum Roma menyamakan darurat kejahatan dengan bencana alam seperti
badai, gempa bumi dan lain-lain.52
Latar belakang tingginya tingkat kejahatan dan perampokan tergambar
di balik latar belakang perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati
(Lukas 10:25-37). Markus 15:27 menggunakan kata lestais atau penyamun,
perampok, untuk dua orang yang disalibkan bersama dengan Yesus dan
mereka dipandang bukan hanya sekedar perampok, namun mereka juga
dipandang sebagai pemberontak Roma sehingga dieksekusi dengan cara
disalib. Barabas disebut juga lestais (Markus 15:7-15) dan Lukas menyebut
“Barabas ini dimasukkan ke dalam penjara berhubung dengan suatu
pemberontakan yang telah terjadi di dalam kota” (Lukas 23:19). Mengapa
rakyat Yahudi lebih memilih Barabas untuk dibebaskan? Hendricks
mengatakan karena di mata mereka Barabas dikenal oleh rakyat sebagai
nasionalis Yahudi yang memberontak melawan Roma dan kemungkinan
Pilatus melepaskan Barabas untuk menghindari kerusuhan. Malina dan
Rohrbaugh memperkirakan bahwa dua penyamun yang disalibkan bersama
dengan Yesus, dan juga Barabas yang dibebaskan sebagai ganti penyaliban
Yesus adalah para bandit sosial yang memiliki perjuangan untuk
membebaskan kemiskinan dan ketertindasan rakyat.53
Kata Yunani lestais yang digunakan dalam Matius 26:55, Markus 14:48,
Lukas 22:52 secara konsisten digunakan oleh Yosefus untuk
mendeskripsikan fenomena social banditry (perampok budiman) yang
51 Ibid., 349.
52 Hendricks, The Politics of Jesus, 66. 53 Malina and Rohrbaugh, Social-Science Commentary on the Synoptic Gospels, 402
STULOS: JURNAL TEOLOGI 113
memainkan peran yang sangat penting dalam penyebaran kekacauan sebelum
pemberontakan besar pada tahun 66 M. Bandit sosial adalah fenomena yang
hampir bersifat universal untuk masyarakat pedesaan, di mana para petani
dan para buruh yang tidak memiliki tanah dieksploitasi oleh elit yang
memerintah. Orang-orang terusir dari ladangnya sendiri karena tidak dapat
membayar hutang. Muncul banyak bandit yang merampok orang-orang kaya
untuk membantu orang-orang miskin. Para bandit seperti itu biasanya
didukung oleh para petani lokal. Secara historis bandit-bandit seperti itu akan
meningkat jumlahnya ketika: hutang, kelaparan, pajak, krisis ekonomi, dan
politik mendorong mereka terusir dari tanah mereka sendiri.54
Kata Yunani
lestais yang digunakan oleh Yesus ketika berkata, “Sangkamu Aku ini
penyamun (lestes), maka kamu datang lengkap dengan pedang dan pentung
untuk menangkap Aku?” Suatu cap yang dikenakan sebagai pengganggu
stabilitas keamanan dan pejuang anti-Roma (Matius 26:55, Lukas 22:52)..55
Apakah para bandit Galilea benar-benar adalah para “perampok
budiman” sebagaimana telah digali dalam karya Yosefus? Menurut Lincoln
Blumell, perampok budiman mungkin memiliki beberapa kemiripan dengan
gambaran para bandit Galilea, namun bandit Galilea tidak menyerupai
perampok budiman. Gambaran tentang bandit Galilea muncul sejak zaman
Herodes hingga pecahnya pemberontakan. Karakteristik mereka beragam dan
kompleks, namun para bandit Galilea yang digambarkan Yosefus tidak
menyerupai perampok budiman.56
Terlepas apakah para bandit Galilea adalah
perampok budiman atau bukan, tingkat kejahatan dan munculnya para bandit
disebabkan oleh karena kemiskinan dan penindasan rakyat kecil.
IMPLIKASI PADA KEPRIHATINAN KRISTEN
1. Perangkap Subsistensi
54 Ibid., 401. 55 Ibid., 402. 56 Lincoln Blumell, “Social Banditry? Galilean Banditry from Herod until the Outbreak of
the First Jewish Revolt,” Scripta Classica Israelica, Vol. 27, (2008): 43, 49.
114 MENEROPONG KETIMPANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT YAHUDI
Jika seseorang ingin meningkatkan kesejahteraan hidup, maka ia harus
memiliki kelebihan hasil produksi setelah dipotong biaya total (total cost)
produksi dan konsumsi. Namun jika total hasil produksi hanya setara dengan
biaya total dan konsumsi, maka keluarga tersebut terperangkap dalam apa
yang disebut «subsistence traps”. Terlebih lagi jika bukan hanya tidak ada
kelebihan hasil produksi, tetapi bahkan untuk kebutuhan konsumsi
keluargapun tidak mencukupi karena semua hasil produksi setara dengan
biaya total produksi, maka akibatnya keluarga tersebut bisa terperangkap
dalam uninsurable-risk traps dan debt bondage traps.
Pemaparan situasi dan kondisi struktur ekonomi di atas menunjukkan
bahwa para petani miskin Yahudi telah terperangkap dalam perangkap
subsistensi ini, dimana hanya menggantungkan hidup pada kegiatan-kegiatan
produksi subsisten, yang sisa hasil produksinya hanya cukup untuk
dikonsumsi. Bahkan kondisi yang lebih buruk bisa terjadi di mana sisa hasil
produksinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi karena
jumlah mulut yang harus diberi makan banyak. Jelas sekali bahwa perangkap
subsistensi merupakan faktor lain yang menyebabkan ketimpangan dan
kemiskinan rakyat sejak zaman Yesus.
2. Perangkap Ketidakberdayaan
Stephen C. Smith mengatakan bahwa perangkap kondisi tidak berdaya
(powerlessness traps) adalah perangkap kemiskinan yang sangat nyata.
Mengutip Mohammad Yunus dikatakan “bahwa orang miskin tetap dalam
kemiskinan bukan karena mereka mau, namun karena banyak penghalang
yang dibangun mengelilingi mereka oleh orang-orang yang mengambil
keuntungan dari kemiskinan mereka. Para tuan tanah, para rentenir, para
pejabat korup, justru melihat dunia akan menjadi menuntungkan bagi jika
kemiskinan terus berlangsung daripada diakhiri.57
Sejak zaman Yesus para
elit Yahudi mempertahankan situasi dan kondisi kemiskinan rakyat demi
peluang mereka untuk memperkaya diri. Elit agama pun mempertahankan
ketimpangan dan kemiskinan agar mereka terus dapat melakukan pemerasan
dan eksploitasi dan memperkaya diri mereka.
57 Smith, Stephen C., Ending Global Poverty: A Guide to What Works (New York:
Palgrave Macmillan, 2005), 17.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 115
3. Perangkap Resiko Tinggi
Apa yang dimaksud dengan perangkap resiko tinggi (uninsurable-risk traps)
ini? Stephen C. Smith menjelaskan bahwa orang-orang yang memiliki aset
paling sedikit akan menghadapi bahaya kerugian terbesar, bahkan mungkin
justru akan kehilangan aset-aset dasar mereka, misalnya tanah mereka,
sebagai akibat dari berbagai resiko yang tidak dapat mereka jamin. Mayoritas
orang yang paling miskin adalah para petani karena pada umumnya tidak
mampu memperoleh asuransi apapun, sehingga mereka harus berorientasi
sepenuhnya pada pertanian demi meminimkan resiko-resiko bencana
kekeringan atau goncangan lain yang membuat keluarganya menghadapi
kehancuran.58
Para petani miskin diperhadapkan pada perangkap yang tidak dapat
dijamin karena hanya mengandalkan hasil pertanian yang tidak menentu dan
tidak dapat dijamin keberhasilannya. Namun tetap harus berhutang untuk
menyewa tanah ataupun membeli benih, jika mengalami gagal panen maka
harus kehilangan segalanya untuk disita dan melunasi hutang-hutang
tersebut. Namun tidak memiliki pilihan lain selain menghadapi resiko tinggi
untuk hidup.
4. Perbudakan akibat Hutang
Uninsurable-risk traps juga dapat menciptakan apa yang Stephen C. Smith
sebut dengan istrilah debt bondage traps (perangkap perbudakan hutang).
Smith menjelaskan bahwa memperoleh pinjaman yang salah dari pemberi
pinjaman yang jahat dapat menjadi perangkap budak hutang, karena rentenir
yang memberikan pinjaman dalam jumlah yang besar dengan tingkat bunga
yang besar sebenarnya justru untuk memastikan agar debitur tidak akan
pernah dapat keluar dari perangkap hutang. Jika si miskin tidak mampu
membayar hutang maka properti dapat disita, Rentenir dapat memberi jalan
keluar dengan mengharuskan debitur untuk bekerja kepadanya sebagai
58 Ibid., 13.
116 MENEROPONG KETIMPANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT YAHUDI
pembayaran hutang-hutangnya; dan tetap produktif untuk tetap bekerja
kepadanya, sehingga berada dalam lingkaran hutang tanpa akhir.59
Belum lagi berbagai pungutan yang sangat eksploitatif yang memaksa
rakyat miskin lainnya berhutang untuk kebutuhan konsumsi. Keharusan
berhutang dengan tingkat bunga tertentu walaupun tidak dapat menjamin
bahwa hasil panen atau usahanya akan baik dan cukup baik untuk membayar
pajak, biaya konsumsi, dan membayar hutang beserta bunganya. Sekalipun
sudah demikian, karena tidak ada pilihan lain, mereka harus kembali
berhutang untuk menyewa tanah pertanian demi menghidupi keluarga.
Namun alih-alih dapat membayar hutang sewa tersebut, akhirnya mereka
harus menyerahkan diri dan anggota keluarganya untuk bekerja sebagai
budak. Ini menyebabkan kemiskinan struktural sejak dulu sampai sekarang.
5. Perangkap Kriminalitas
Stephen C. Smith menjelaskan bahwa anak-anak muda tanpa akses ke
pendidikan yang baik dan yang melihat suramnya masa depan akan ditarik ke
dalam budaya kriminalitas. Luka emosional dari pengalaman hidup di dunia
yang keras menyebabkan mereka suka berkelahi, mencuri, dan melakukan
aktivitas-aktivitas kriminal lainnya kemudian terperangkap dalam apa yang
disebut criminality traps dan banyak korban tidak bersalah dari tindakan
kejam mereka, kebanyakan justru adalah orang-orang miskin juga. Pada
gilirannya akan menarik lebih banyak orang miskin di sekitarnya terpaksa
masuk ke dalam kriminalitas. Itulah criminality traps .60
Jelas bahwa perangkap kriminalitas merupakan faktor lain dari
ketimpangan dan kemiskinan yang semakin memprihatinkan. Bahkan akibat
luka emosional kemiskinan telah menaikan tingkat kriminalitas yang tinggi di
Israel. Walaupun ada teori bandit sosial, namun ada juga kejahatan-kejahatan
di mana korbannya tidak lain selain orang-orang miskin juga.
KESIMPULAN
59 Ibid., 13. 60 Ibid., 16.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 117
Penggunaan teori sosial modern untuk meneropong fenomena pada zaman
Alkitab menyingkap karakteristik kemiskinan pada zaman Yesus. Bahkan
bersifat struktural terdistorsi secara politik, ekonomi, dan sosial yang terbukti
menjadi penyebab kemiskinan struktural di Israel. Di antaranya adalah
munculnya kolonialisme transnasional, kolonialisme internal, kolaborasi
kolonialisme transnasional-internal,
Ada pelajaran-pelajaran penting, khususnya bagi gereja dan orang
Kristen dalam menyikapi ketimpangan sosial-ekonomi yang mungkin sedang
terjadi di sekitarnya. Pertama, gereja harus berani menyebut sebagai tindakan
kejahatan jika pejabat publik bekerja untuk melayani diri sendiri ketimbang
melayani masyarakat, jika regulasi perpajakan mengutamakan kepentingan
orang kaya, jika para pekerja yang menghasilkan keuntungan melimpah
digaji secara tidak layak.
Kedua, seperti disepanjang pelayanan-Nya, Yesus memperdulikan
masyarakat dan kebutuhan mereka dengan menyembuhkan jasmani, psikis,
dan jiwa mereka. Demikian juga gereja tidak seharusnya hanya
memperdulikan kebutuhan jiwa dan menutup mata akan kebutuhan jasmani
dan psikis mereka. Gereja harus peka terhadap kemiskinan dan ketimpangan
di sekitarnya dengan tindakan yang lebih nyata ketimbang hanya sekedar
orasi. Seperti pepatah lama mengatakan bahwa tindakan terdengar lebih keras
ketimbang perkataan.
DAFTAR PUSTAKA
Baron, Salo Wittmayer. A Social and Religious History of the Jews. New
York: Columbia University Press, 1952.
Berlinerblau, Jacques. The Vow and the ‘Popular Religious Groups’ of
Ancient Israel: A Philological and Sociological Inquiry. Sheffield:
Sheffield Academic Press, 1996.
Blumell, Lincoln. “Social Banditry? Galilean Banditry from Herod until the
Outbreak of the First Jewish Revolt,” Scripta Classica Israelica, 27 (
2008).
Bradshaw, Ted K., “Theories of Poverty and Anti-Poverty Programs in
Community Development, Community Development, Vol. 38, (2007).
118 MENEROPONG KETIMPANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT YAHUDI
Calvert. “Internal colonisation, development and environment,” Third World
Quarterly, 22, Issue 1, 2001.
Dreier, Gary. The Political and Religious Structure in Jesus’ Time, Living in
Christ Series, Winona: Saint Mary’s Press, 2010.
Elliott, John H. “Social-scientific criticism: Perspective, process and payoff.
Evil eye accusation at Galatia as illustration of the method”, HTS
Teologiese Studies/Theological Studies, Vol. 67, No. 1, 2011.
Fox, Michael V., Victor Avigdor Hurowitz, Avi Hurvitz, Michael. L. Klein,
Baruch J. Schwarz and Nili Shupak. Eds. Temples, and Traditions: A
Tribute to Menahem Haran. Winona Lake: Eisenbrauns, 1996.
Hanson, K. C. The Galilean Fishing Economy and the Jesus Tradition,
Biblical Theology Bulletin, 27, 1997.
Hendricks, Obery M. The Politics of Jesus: Rediscovering the True
Revolutionary Nature of Jesus’ Teachings and How They Have Been
Corrupted. New York: Three Leaves Press, 2006.
Horsley, Richard A. “High priests and the Politics of Roman Palestine”,
Journal of the Study of Judaism, Vol. 17, No. 1, 1986.
Jeremias, Joachim. Jerusalem in the Time of Jesus: An Investigation into
Economic and Social Conditions during the New Testament Period.
Philadelphia: Fortress Press, 1969.
Lincoln, Lawrence R. “A Sosio-Historical Analysis of Jewish Banditry in
First Century Palestine: 6 to 70 AD”. M.Phil. Thesis.University of
Stellenbosch. 2005. scholar.sun.ac.za/bitstream10019.1/2695/1/ Linco.
pdf.
Carter, C. E. and C. L. Meyers, Eds. Community, Identity, and Ideology:
Social Science Approaches to the Hebrew Bible. Winona Lake:
Eisenbrauns, 1999.
Malina, Bruce J. and Richard L. Rohrbaugh, Social-Science Commentary on
the Synoptic Gospels. Minneapolis: Fortress Press, 2003.
Messakh, Thobias A. Konsep Keadilan dalam Pancasila. Salatiga: Satya
Wacana Univeristy Press, 2007.
Overholt, Thomas, “Prophecy: The Problem of Cross-Cultural Comparison”,
Community, Identity, and Ideology: Social Science Approaches to the
Hebrew Bible, C. E. Carter and C. L. Meyers. Eds. Winona Lake:
Eisenbrauns, 1996.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 119
Purwanto, Edi. Dinamika Persaingan Lokal & Global di Era Globalisasi.
Tangerang: Philadelphia Publishing, 2015.
Rohrbaugh, Richard L. “The Social Location of the Marcan Audience”.
Biblical Theology Bulletin: Journal of Bible and Culture, Vol, 23, Issue
3, 1993.
Sanders, E. P. Judaism: Practice and Belief 63 BCE-66 CE. London: Trinity
Pr. 1992.
Sherwin-White, A. N. Roman Society and Roman Law in the New Testament.
Grand Rapids: Baker, 1992.
Smallwood, E. Mary. High Priests and Politics in Roman Palestine”. The
Journal of Theological Studies, New Series, Vol. 13, No. 1, 1962.
Sneed, “Mark. The Class Culture of Proverbs: Eliminating Stereotypes”.
Scandinavian Journal of the Old Testament, vol. 10 (1996).
Sneed, Mark. “Social Scientific Approach to the Hebrew Bible” Religion
Compass Vol. 2, No. 3 (2008).
Smith, Stephen C., Ending Global Poverty: A Guide to What Works. New
York: Palgrave Macmillan, 2005.
Tjandra, Lukas. Latar Belakang Perjanjian Baru 3 Vol. Malang: Seminari
Alkitab Asia Tenggara, 1993.
Wassen, Cecilia, “Jesus’ Table Fellowship with “Toll Collectors and
Sinners”: Questioning the Alleged Purity Implications” Journal for the
Study of the Historical Jesus, Vol. 14, 2016.
Weber, Max. Ancient Judaism. H. H. Gerth and D. Martindale (trans.). New
York: Free, 1952.