32
MENGUBAH KOTORAN TERNAK MENJADI HARTA KARUN MEI - JUNI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 89 MENGUBAH KOTORAN TERNAK MENJADI HARTA KARUN Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Pemerataan Pelayanan Kesehatan Dukungan Pemerintah Australia melalui Program AIPHSS Menggali Praktik Cerdas Untuk PAPUA SEHAT “Kam Bisa, Torang Juga Bisa Sehat" Merajut Masa Depan Yang Lebih Cerah Bagi Kaum Kaum Miskin Perempuan Cerita Perubahan Aspuk Taman Laut Olele, Menuju Destinasi Wisata Berkelas Dunia

MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA · MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 89 Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Pemerataan Pelayanan Kesehatan Dukungan Pemerintah Australia

  • Upload
    others

  • View
    13

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

MENGUBAH KOTORAN TERNAK MENJADI HARTA KARUN

MEI - JUNI 2013

MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA

www. bakt i .or . id

EDISI 89

MENGUBAH KOTORAN TERNAK MENJADI HARTA KARUN

Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Pemerataan Pelayanan KesehatanDukungan Pemerintah Australia melalui Program AIPHSS

Menggali Praktik Cerdas Untuk PAPUA SEHAT “Kam Bisa, Torang Juga Bisa Sehat"

Merajut Masa Depan Yang Lebih Cerah Bagi Kaum Kaum Miskin Perempuan

Cerita Perubahan Aspuk

Taman Laut Olele,Menuju Destinasi Wisata Berkelas Dunia

BaKTINews adalah media pertukaran pengetahuan tentang pembangunan di Kawasan Timur lndonesia. Tujuan BaKTINews adalah mempromosikan praktik cerdas pembangunan dari berbagai daerah di Kawasan Timur Indonesia agar dapat diketahui oleh khalayak luas dan menginspirasi pelaku pembangunan di berbagai daerah dalam upaya menjawab berbagai tantangan pembangunan. BaKTINews terbit setiap bulan dalam dua bahasa, Indonesia dan lnggris, untuk memudahkan pembaca dalam mendapatkan informasi pembangunan dari Kawasan Timur Indonesia.

BaKTINews disirkulasi melalui pos kepada pembaca dengan target utama adalah para pelaku pembangunan yang berdomisili di daerah kepulauan dan daerah terpencil. Tidak dikenakan biaya apapun untuk berlangganan BaKTINews agar lebih banyak masyarakat yang dapat mengakses informasi pembangunan melalui majalah ini. Selain dalam bentuk cetak, BaKTINews juga dapat diakses di website BaKTI: www.bakti.or.id dan dikirimkan melalui email kepada pelanggan yang dapat mengakses internet.

BaKTINews dikelola oleh Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI). Seluruh artikel BaKTINews adalah kontribusi sukarela para pelaku pembangunan dari berbagai kalangan dan daerah yang ingin berbagi pengetahuan dengan khalayak luas.

BaKTINews is a knowledge exchange media platform for development issues in eastern Indonesia. BaKTINews aims to promote development smart practices from different regions in eastern Indonesia so that the practices become known to a wider audience and inspire development stakeholders in other regions in their efforts to answer development challenges. BaKTINews is published monthly in two languages, Indonesian and English, to facilitate readers who don't understand indonesian to gain a better understanding of development in eastern Indonesia.

BaKTINews is sent by post to readers and rhe main target is development stakeholders living in isolated regions and island regions. BaKTINews is provided free of charge so the development community can access relevant development information easily. BaKTINews is also provided in an electronic version that can be accessed on www.bakti.or.id and can be sent electronically to subscribers with internet access.

BaKTINews is managed by the Eastern Indonesia Knowledge Exchange (BaKTI). All articles are contributed voluntarily by development stakeholders from different areas in eastern Indonesia who wish to share their information with a wider audience.

Daftar Isi

BaKTINEWS DITERBITKAN OLEH YAYASAN BaKTI DENGAN DUKUNGAN PEMERINTAH AUSTRALIA /

PANDANGAN YANG DIKEMUKAKAN TAK SEPENUHNYA MENCERMINKAN PANDANGAN YAYASAN BaKTI MAUPUN PEMERINTAH AUSTRALIA. /

BaKTINEWS IS PUBLISHED BY THE BaKTI FOUNDATION WITH SUPPORT OF THE GOVERNMENT OF AUSTRALIA.

THE VIEWS EXPRESSED DO NOT NECESSARILY REFLECT THE VIEWS OF YAYASAN BaKTI

AND THE GOVERNMENT OF AUSTRALIA.

Editor MILA SHWAIKOVICTORIA NGANTUNG

Forum KTI ZUSANNA GOSALITA MASITA IBNU

Events at BaKTI SHERLY HEUMASSESmart Practices

Info Book & SUMARNI ARIANTODesign Visual

& Layout FRANS GOSALI

Jl. H.A. Mappanyukki No. 32Makassar 90125Sulawesi Selatan - Indonesia T. +62 411 832228, 833383 F. +62 411 852146E. [email protected]

Redaksi

PERTANYAAN DAN TANGGAPAN

www.bakti.or.id

SMS BaKTINews 085255776165E-mail: [email protected]

Anda juga bisa menjadi penggemar BaKTINews di Facebook :

www.facebook.com/yayasanbakti

BERKONTRIBUSI UNTUK BaKTINews

BaKTINews menerima artikel tentang kemajuan pembangunan, pembelajaran dari suatu kegiatan, praktik cerdas pembangunan, hasil-hasil penelitian yang dapat diaplikasikan, dan teknologi tepat guna dari berbagai daerah di Kawasan Timur Indonesia (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua).

Panjang artikel adalah 1.000 - 1.100 kata,menggunakan Bahasa Indonesia maupun lnggris, ditulis dengan gaya populer. Foto-foto penunjang artikel sangat dibutuhkan. Tim editor BaKTINews akan melakukan edit terhadap setiap artikel yang akan dimuat untuk kesesuaian tempat dan gaya bahasa. Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.

BaKTINews accepts articles about development programs, lessons learnt from an activity, development smart practices, research results that can be applied, and applied technology from different stakeholders and regions in eastern Indonesia (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, and Papua). Articles should be 1,000-1, 100 words, in either Indonesian or English, and written in a popular style.

Articles should also be sent with photos that illustrate the article. The editors of BaKTINews will edit every article for reasons of space and style. BaKTINews does not provide payment to writers for articles.

MENJADI PELANGGAN BaKTINews Subscribing to BaKTINews

Untuk berlangganan BaKTINews, silakan mengirimkan data diri anda (organisasi, posisi, nomor HP, alamat email) lengkap dengan alamat lengkap yang disertai dengan kode pos melalui email [email protected] atau SMS 085255776165.

Bagi yang berdomisili di Makassar, Anda dapat mengambil BaKTINews di Display Corner Gedung BaKTI pada setiap hari kerja.

To subscribe to BaKTINews please send us your full contacts details (including organization. position, HP number and email address) with full postal address to [email protected] or SMS to 085255776165.

For those living in Makassar, please stop by the BaKTI office and pick up your copy from the display corner from Monday to Friday.

1 MEI - JUNI 2013News Edisi 89

30 Kegiatan di BaKTI

31 Info BukuWebsite Of The Month22

3 Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Pemerataan Pelayanan KesehatanDukungan Pemerintah Australia melalui Program AIPHSS

PROGRAM AIPHSS

26 Artikel Kinerja USAID

Mengubah Kotoran TernakMenjadi Harta Karun

Suara Forum KTI NTB23

27 Data Besar Dan Paham Kemanusiaan5 Hal Yang Perlu Anda Ketahui

United Nation OCHA

24 Taman Laut Olele,Menuju Destinasi WisataBerkelas Dunia

Suara Forum KTI Gorontalo

15 Gizi Ibu Dan AnakUNICEF Indonesia

5Pemberdayaan Masyarakat: Konsepsi dan Penerapannya

7Menggali Praktik Cerdas Untuk Papua Sehat“Kam Bisa, Torang Juga Bisa Sehat"

9Google Earth sebagai Alat untuk memberikan informasi kepada Pengambil kebijakan dalam perbaikan Kebutuhan SPM

12ACCESSCerita Perubahan AspukMerajut Masa Depan Yang Lebih Cerah Bagi Kaum Kaum Miskin Perempuan

19 Maternal And Child NutritionUNICEF Indonesia

25 Kegiatan Saresehan Motivator KB Pria

Suara Forum KTI SULUT

29Evaluasi Eksternal terhadap BaKTINewsProgram Pertukaran Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia

BaKTINews adalah media pertukaran pengetahuan tentang pembangunan di Kawasan Timur lndonesia. Tujuan BaKTINews adalah mempromosikan praktik cerdas pembangunan dari berbagai daerah di Kawasan Timur Indonesia agar dapat diketahui oleh khalayak luas dan menginspirasi pelaku pembangunan di berbagai daerah dalam upaya menjawab berbagai tantangan pembangunan. BaKTINews terbit setiap bulan dalam dua bahasa, Indonesia dan lnggris, untuk memudahkan pembaca dalam mendapatkan informasi pembangunan dari Kawasan Timur Indonesia.

BaKTINews disirkulasi melalui pos kepada pembaca dengan target utama adalah para pelaku pembangunan yang berdomisili di daerah kepulauan dan daerah terpencil. Tidak dikenakan biaya apapun untuk berlangganan BaKTINews agar lebih banyak masyarakat yang dapat mengakses informasi pembangunan melalui majalah ini. Selain dalam bentuk cetak, BaKTINews juga dapat diakses di website BaKTI: www.bakti.or.id dan dikirimkan melalui email kepada pelanggan yang dapat mengakses internet.

BaKTINews dikelola oleh Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI). Seluruh artikel BaKTINews adalah kontribusi sukarela para pelaku pembangunan dari berbagai kalangan dan daerah yang ingin berbagi pengetahuan dengan khalayak luas.

BaKTINews is a knowledge exchange media platform for development issues in eastern Indonesia. BaKTINews aims to promote development smart practices from different regions in eastern Indonesia so that the practices become known to a wider audience and inspire development stakeholders in other regions in their efforts to answer development challenges. BaKTINews is published monthly in two languages, Indonesian and English, to facilitate readers who don't understand indonesian to gain a better understanding of development in eastern Indonesia.

BaKTINews is sent by post to readers and rhe main target is development stakeholders living in isolated regions and island regions. BaKTINews is provided free of charge so the development community can access relevant development information easily. BaKTINews is also provided in an electronic version that can be accessed on www.bakti.or.id and can be sent electronically to subscribers with internet access.

BaKTINews is managed by the Eastern Indonesia Knowledge Exchange (BaKTI). All articles are contributed voluntarily by development stakeholders from different areas in eastern Indonesia who wish to share their information with a wider audience.

Daftar Isi

BaKTINEWS DITERBITKAN OLEH YAYASAN BaKTI DENGAN DUKUNGAN PEMERINTAH AUSTRALIA /

PANDANGAN YANG DIKEMUKAKAN TAK SEPENUHNYA MENCERMINKAN PANDANGAN YAYASAN BaKTI MAUPUN PEMERINTAH AUSTRALIA. /

BaKTINEWS IS PUBLISHED BY THE BaKTI FOUNDATION WITH SUPPORT OF THE GOVERNMENT OF AUSTRALIA.

THE VIEWS EXPRESSED DO NOT NECESSARILY REFLECT THE VIEWS OF YAYASAN BaKTI

AND THE GOVERNMENT OF AUSTRALIA.

Editor MILA SHWAIKOVICTORIA NGANTUNG

Forum KTI ZUSANNA GOSALITA MASITA IBNU

Events at BaKTI SHERLY HEUMASSESmart Practices

Info Book & SUMARNI ARIANTODesign Visual

& Layout FRANS GOSALI

Jl. H.A. Mappanyukki No. 32Makassar 90125Sulawesi Selatan - Indonesia T. +62 411 832228, 833383 F. +62 411 852146E. [email protected]

Redaksi

PERTANYAAN DAN TANGGAPAN

www.bakti.or.id

SMS BaKTINews 085255776165E-mail: [email protected]

Anda juga bisa menjadi penggemar BaKTINews di Facebook :

www.facebook.com/yayasanbakti

BERKONTRIBUSI UNTUK BaKTINews

BaKTINews menerima artikel tentang kemajuan pembangunan, pembelajaran dari suatu kegiatan, praktik cerdas pembangunan, hasil-hasil penelitian yang dapat diaplikasikan, dan teknologi tepat guna dari berbagai daerah di Kawasan Timur Indonesia (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua).

Panjang artikel adalah 1.000 - 1.100 kata,menggunakan Bahasa Indonesia maupun lnggris, ditulis dengan gaya populer. Foto-foto penunjang artikel sangat dibutuhkan. Tim editor BaKTINews akan melakukan edit terhadap setiap artikel yang akan dimuat untuk kesesuaian tempat dan gaya bahasa. Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.

BaKTINews accepts articles about development programs, lessons learnt from an activity, development smart practices, research results that can be applied, and applied technology from different stakeholders and regions in eastern Indonesia (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, and Papua). Articles should be 1,000-1, 100 words, in either Indonesian or English, and written in a popular style.

Articles should also be sent with photos that illustrate the article. The editors of BaKTINews will edit every article for reasons of space and style. BaKTINews does not provide payment to writers for articles.

MENJADI PELANGGAN BaKTINews Subscribing to BaKTINews

Untuk berlangganan BaKTINews, silakan mengirimkan data diri anda (organisasi, posisi, nomor HP, alamat email) lengkap dengan alamat lengkap yang disertai dengan kode pos melalui email [email protected] atau SMS 085255776165.

Bagi yang berdomisili di Makassar, Anda dapat mengambil BaKTINews di Display Corner Gedung BaKTI pada setiap hari kerja.

To subscribe to BaKTINews please send us your full contacts details (including organization. position, HP number and email address) with full postal address to [email protected] or SMS to 085255776165.

For those living in Makassar, please stop by the BaKTI office and pick up your copy from the display corner from Monday to Friday.

1 MEI - JUNI 2013News Edisi 89

30 Kegiatan di BaKTI

31 Info BukuWebsite Of The Month22

3 Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Pemerataan Pelayanan KesehatanDukungan Pemerintah Australia melalui Program AIPHSS

PROGRAM AIPHSS

26 Artikel Kinerja USAID

Mengubah Kotoran TernakMenjadi Harta Karun

Suara Forum KTI NTB23

27 Data Besar Dan Paham Kemanusiaan5 Hal Yang Perlu Anda Ketahui

United Nation OCHA

24 Taman Laut Olele,Menuju Destinasi WisataBerkelas Dunia

Suara Forum KTI Gorontalo

15 Gizi Ibu Dan AnakUNICEF Indonesia

5Pemberdayaan Masyarakat: Konsepsi dan Penerapannya

7Menggali Praktik Cerdas Untuk Papua Sehat“Kam Bisa, Torang Juga Bisa Sehat"

9Google Earth sebagai Alat untuk memberikan informasi kepada Pengambil kebijakan dalam perbaikan Kebutuhan SPM

12ACCESSCerita Perubahan AspukMerajut Masa Depan Yang Lebih Cerah Bagi Kaum Kaum Miskin Perempuan

19 Maternal And Child NutritionUNICEF Indonesia

25 Kegiatan Saresehan Motivator KB Pria

Suara Forum KTI SULUT

29Evaluasi Eksternal terhadap BaKTINewsProgram Pertukaran Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia

3 MEI - JUNI 2013News Edisi 89 4 MEI - JUNI 2013News Edisi 89

he implementation of Law no. 40/ 2004 regarding the National Social Security System (SJSN) and Law no. 24/ 2011 Ton the Social Security Providers (BPJS) requires collaboration

between different sectoral plans undertaken by the Ministry of Health, National Social Security Council, PT Askes, PT Jamsostek and inputs from various stakeholders. The partnership which aims to strengthen health systems includes support to the preparation and implementation of Health Insurance through strengthening of planning, health financing and primary health care systems.

The Government of Indonesia is working together with the Government of Australia through the Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). The program has completed its work plan in two provinces and four districts in the respective province. They are East Nusa Tenggara province (Flores Timur, Timur Tengah Utara, Sumba Barat Daya and Ngada Districts) and East Java province (Bangkalan, Bondowoso, Sampang and Situbondo Districts).

Strengthening of planning system AIPHSS works together with Bureau of Planning and

budgeting of MoH. The support includes the strengthening of planning system through Insertion of Health Systems Strengthening and preparation of province/districts to prepare SJSN (national social security system) in designing Strategic Plans for Provincial Health Development 2015-2019 and strengthening of Provincial and District Planning and Budgeting to prepare for the implementation of SJSN in 2014. The strengthening of planning will be done through training /refresher course on the integrated system and budgeting for staff of provincial and district health offices, facilitating supervision and assistance in strengthening planning and budgeting system in district health offices at AIPHSS program locations and development of related e-Monev.

Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Pemerataan Pelayanan KesehatanDukungan Pemerintah Australia melalui Program AIPHSS

ntuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-UUndang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) diperlukan sinergi dari berbagai rencana sektoral yang sudah dan sedang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional, PT. Askes, PT. Jamsostek dan masukan dari berbagai pemangku kepentingan.

Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan pemerintah Australia melalui program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS) telah merampungkan rencana kerja di dua provinsi dan empat kabupaten di masing-masing provinsi. Yakni Provinsi Nusa Tenggara Timur (Kabupaten Flores Timur, Timur Tengah Utara, Sumba Barat Daya dan Ngada) dan provinsi Jawa Timur (Kabupaten Bangkalan, Bondowoso, Sampang dan Situbondo).

Bentuk kerjasama kedua negara untuk penguatan sistem k e s e h a t a n i n i t e r m a s u k d i d a l a m n y a d u k u n g a n terhadappersiapan dan pelaksanaan Jaminan Kesehatan-SJSN (JK-SJSN) melalui penguatan sistem perencanaan, penguatan sistem pembiayaan kesehatan dan penguatan sistem pelayanan kesehatan dasar.

Penguatan sistem perencanaanBekerjasama dengan Biro Rencana Anggaran (ROREN).

Dukungan dimaksud mencakup penguatan sistem perencanaan melalui insersi penguatan sistem kesehatan dan penyiapan daerah menghadapi SJSN dalam penyusunan Rencana Strategis Pembangunan Kesehatan Provinsi 2015-2019 serta Penguatan Perencanaan dan Penganggaran Provinsi dan Kabupaten dalam mempersiapkan Penerapan SJSN tahun 2014. Penguatan perencanaan dimaksud dilakukan melalui

OLEH SYALOMI NATALIA

pelatihan/penyegaran sistem dan penganggaran terintegrasi untuk staf dinas kesehatan provinsi dan kabupaten, supervisi fasilitatif dan pendampingan dalam penguatan sistem perencanaan dan penganggaran di dinas kesehatan kabupaten lokasi AIPHSS serta pengembangan e-Monev terkait.

Penguatan sistem pembiayaan kesehatanSelain itu, bersama Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan

(PPJK) dan Dinas Kesehatan dimasing-masing Provinsi dan Kabupaten, AIPHSS mendanai kegiatan pengkajian situasi sistem pembiayaan kesehatan tingkat provinsi dalam menghadapi SJSN, workshop hasil pengkajian sistemik situasi pembiayaan kesehatan tingkat provinsi, sosialisasi konsep jaminan kesehatan dalam SJSN di lingkungan pemerintah daerah provinsi Jawa Timur serta di empat kabupaten sasaran AIPHSS yakni kabupaten Situbondo, Bondowoso, Sampang dan Bangkalan. Sementara di provinsi Nusa Tenggara Timur(NTT), persiapan pelaksanaan SJSN akan didukung melalui sosialisasi transformasi Jamkesmas/Jamkesda dalam persiapan Jaminan KesehatanSJSN di empat kabupaten AIPHSS yaitu TTU, Ngada, Sumba Barat Daya, dan Flores Timur.

Penguatan sistem pelayanan kesehatan dasarPenguatan sistem pelayanan kesehatan dasar terkait

penyusunan sistem rujukan menghadapi SJSN juga dilakukan ditingkat provinsi dan kabupaten bekerjasama dengan Direktorat Jendral Bina Upaya Kesehatan Dasar(Dit. BUKD) dan Dinkes Provinsi Jatim dan NTT serta semua kabupaten AIPHSS. Beberapa kegiatan terkait antara lain: Penyusunan standar prosedur operasional rujukan antisipasi Jaminan Kesehatan-SJSN, penataan dan sosialisasi sistem rujukan terstruktur dan bejenjang bidang KIA, serta monitoring dan evaluasi sistem rujukan dari Puskesmas dan Rumas sakit (antisipasi JK SJSN) dan monev penataan sistem rujukan terstruktur dan berjenjang bidang KIA. Peran Puskesmas dalam persiapan JK SJSN sangat krusial, untuk itu AIPHSS bersama Dit.BUKD juga mendukung uji coba instrument akreditasi puskesmas khususnya di delapan kabupaten AIPHSS di Jawa Timur. Di Nusa Tenggara Timur, direncanakan kegiatan terkait pembuatan regulasi tentang prototype/akreditasi puskesmas dan pelatihan peningkatan manajemen pengelolaan laboratorium puskesmas bagi tenaga pengelola laboratorium puskesmas kabupaten.

Strengthening of health financing system AIPHSS, along with the Centre for Health Financing and

Insurance (PPJK) and Provincial/ District Health Offices, funds the studies on health financing situations in provinces to prepare for SJSN, socialisation activities on the concept of health insurance in SJSN among the East Java provincial government and in four districts of AIPHSS program locations. Meanwhile in East Nusa Tenggara (NTT), preparation of SJSN is supported through socialisation of Jamkesmas/Jamkesda transformation to prepare for SJSN in four districts of AIPHSS program locations: TTU, Ngada, Sumba Barat Daya, and Flores Timur.

Strengthening of primary health care system The strengthening of primary health care system is related to

the development of the Referral System to prepare for SJSN. The referral system is conducted in provinces and districts, in cooperation with the Directorate of Primary Health Care, Provincial Health Offices of East Java and NTT, and all districts of AIPHSS program locations. Some of the activities are: development of the standard operating procedures (SOP) for referral system in anticipating health insurance of SJSN, arrangement and socialisation of the structured and a tiered referral system in mother and child health, as well as monitoring and evaluation of the referral system from Puskesmas to hospitals (anticipating JK-SJSN), and monitoring & evaluation of the arrangements for a structured and tiered referral system for mother and child health.

The role of Puskesmas in preparing JK SJSN is very crucial. Therefore, AIPHSS with the Directorate of Primary Health Care (Dit. BUKD) will also support the trial of accreditation instruments for Puskesmas, especially in the districts of AIPHSS program in East Java. In East Nusa Tenggara (NTT), there will be activities related to the development of regulations on prototype/ accreditation of Puskesmas, and training on Puskesmas laboratory management for Puskesmas laboratory personnel in districts.

National Health Security System and support of Australian Government through AIPHSSINFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Mengenai program AIPHSS, Anda dapat menghubungi Syalomi Natalia, AIPHSS Communication Officer melalui email [email protected]

PROGRAM AIPHSS

3 MEI - JUNI 2013News Edisi 89 4 MEI - JUNI 2013News Edisi 89

he implementation of Law no. 40/ 2004 regarding the National Social Security System (SJSN) and Law no. 24/ 2011 Ton the Social Security Providers (BPJS) requires collaboration

between different sectoral plans undertaken by the Ministry of Health, National Social Security Council, PT Askes, PT Jamsostek and inputs from various stakeholders. The partnership which aims to strengthen health systems includes support to the preparation and implementation of Health Insurance through strengthening of planning, health financing and primary health care systems.

The Government of Indonesia is working together with the Government of Australia through the Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS). The program has completed its work plan in two provinces and four districts in the respective province. They are East Nusa Tenggara province (Flores Timur, Timur Tengah Utara, Sumba Barat Daya and Ngada Districts) and East Java province (Bangkalan, Bondowoso, Sampang and Situbondo Districts).

Strengthening of planning system AIPHSS works together with Bureau of Planning and

budgeting of MoH. The support includes the strengthening of planning system through Insertion of Health Systems Strengthening and preparation of province/districts to prepare SJSN (national social security system) in designing Strategic Plans for Provincial Health Development 2015-2019 and strengthening of Provincial and District Planning and Budgeting to prepare for the implementation of SJSN in 2014. The strengthening of planning will be done through training /refresher course on the integrated system and budgeting for staff of provincial and district health offices, facilitating supervision and assistance in strengthening planning and budgeting system in district health offices at AIPHSS program locations and development of related e-Monev.

Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Pemerataan Pelayanan KesehatanDukungan Pemerintah Australia melalui Program AIPHSS

ntuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-UUndang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) diperlukan sinergi dari berbagai rencana sektoral yang sudah dan sedang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional, PT. Askes, PT. Jamsostek dan masukan dari berbagai pemangku kepentingan.

Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan pemerintah Australia melalui program Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS) telah merampungkan rencana kerja di dua provinsi dan empat kabupaten di masing-masing provinsi. Yakni Provinsi Nusa Tenggara Timur (Kabupaten Flores Timur, Timur Tengah Utara, Sumba Barat Daya dan Ngada) dan provinsi Jawa Timur (Kabupaten Bangkalan, Bondowoso, Sampang dan Situbondo).

Bentuk kerjasama kedua negara untuk penguatan sistem k e s e h a t a n i n i t e r m a s u k d i d a l a m n y a d u k u n g a n terhadappersiapan dan pelaksanaan Jaminan Kesehatan-SJSN (JK-SJSN) melalui penguatan sistem perencanaan, penguatan sistem pembiayaan kesehatan dan penguatan sistem pelayanan kesehatan dasar.

Penguatan sistem perencanaanBekerjasama dengan Biro Rencana Anggaran (ROREN).

Dukungan dimaksud mencakup penguatan sistem perencanaan melalui insersi penguatan sistem kesehatan dan penyiapan daerah menghadapi SJSN dalam penyusunan Rencana Strategis Pembangunan Kesehatan Provinsi 2015-2019 serta Penguatan Perencanaan dan Penganggaran Provinsi dan Kabupaten dalam mempersiapkan Penerapan SJSN tahun 2014. Penguatan perencanaan dimaksud dilakukan melalui

OLEH SYALOMI NATALIA

pelatihan/penyegaran sistem dan penganggaran terintegrasi untuk staf dinas kesehatan provinsi dan kabupaten, supervisi fasilitatif dan pendampingan dalam penguatan sistem perencanaan dan penganggaran di dinas kesehatan kabupaten lokasi AIPHSS serta pengembangan e-Monev terkait.

Penguatan sistem pembiayaan kesehatanSelain itu, bersama Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan

(PPJK) dan Dinas Kesehatan dimasing-masing Provinsi dan Kabupaten, AIPHSS mendanai kegiatan pengkajian situasi sistem pembiayaan kesehatan tingkat provinsi dalam menghadapi SJSN, workshop hasil pengkajian sistemik situasi pembiayaan kesehatan tingkat provinsi, sosialisasi konsep jaminan kesehatan dalam SJSN di lingkungan pemerintah daerah provinsi Jawa Timur serta di empat kabupaten sasaran AIPHSS yakni kabupaten Situbondo, Bondowoso, Sampang dan Bangkalan. Sementara di provinsi Nusa Tenggara Timur(NTT), persiapan pelaksanaan SJSN akan didukung melalui sosialisasi transformasi Jamkesmas/Jamkesda dalam persiapan Jaminan KesehatanSJSN di empat kabupaten AIPHSS yaitu TTU, Ngada, Sumba Barat Daya, dan Flores Timur.

Penguatan sistem pelayanan kesehatan dasarPenguatan sistem pelayanan kesehatan dasar terkait

penyusunan sistem rujukan menghadapi SJSN juga dilakukan ditingkat provinsi dan kabupaten bekerjasama dengan Direktorat Jendral Bina Upaya Kesehatan Dasar(Dit. BUKD) dan Dinkes Provinsi Jatim dan NTT serta semua kabupaten AIPHSS. Beberapa kegiatan terkait antara lain: Penyusunan standar prosedur operasional rujukan antisipasi Jaminan Kesehatan-SJSN, penataan dan sosialisasi sistem rujukan terstruktur dan bejenjang bidang KIA, serta monitoring dan evaluasi sistem rujukan dari Puskesmas dan Rumas sakit (antisipasi JK SJSN) dan monev penataan sistem rujukan terstruktur dan berjenjang bidang KIA. Peran Puskesmas dalam persiapan JK SJSN sangat krusial, untuk itu AIPHSS bersama Dit.BUKD juga mendukung uji coba instrument akreditasi puskesmas khususnya di delapan kabupaten AIPHSS di Jawa Timur. Di Nusa Tenggara Timur, direncanakan kegiatan terkait pembuatan regulasi tentang prototype/akreditasi puskesmas dan pelatihan peningkatan manajemen pengelolaan laboratorium puskesmas bagi tenaga pengelola laboratorium puskesmas kabupaten.

Strengthening of health financing system AIPHSS, along with the Centre for Health Financing and

Insurance (PPJK) and Provincial/ District Health Offices, funds the studies on health financing situations in provinces to prepare for SJSN, socialisation activities on the concept of health insurance in SJSN among the East Java provincial government and in four districts of AIPHSS program locations. Meanwhile in East Nusa Tenggara (NTT), preparation of SJSN is supported through socialisation of Jamkesmas/Jamkesda transformation to prepare for SJSN in four districts of AIPHSS program locations: TTU, Ngada, Sumba Barat Daya, and Flores Timur.

Strengthening of primary health care system The strengthening of primary health care system is related to

the development of the Referral System to prepare for SJSN. The referral system is conducted in provinces and districts, in cooperation with the Directorate of Primary Health Care, Provincial Health Offices of East Java and NTT, and all districts of AIPHSS program locations. Some of the activities are: development of the standard operating procedures (SOP) for referral system in anticipating health insurance of SJSN, arrangement and socialisation of the structured and a tiered referral system in mother and child health, as well as monitoring and evaluation of the referral system from Puskesmas to hospitals (anticipating JK-SJSN), and monitoring & evaluation of the arrangements for a structured and tiered referral system for mother and child health.

The role of Puskesmas in preparing JK SJSN is very crucial. Therefore, AIPHSS with the Directorate of Primary Health Care (Dit. BUKD) will also support the trial of accreditation instruments for Puskesmas, especially in the districts of AIPHSS program in East Java. In East Nusa Tenggara (NTT), there will be activities related to the development of regulations on prototype/ accreditation of Puskesmas, and training on Puskesmas laboratory management for Puskesmas laboratory personnel in districts.

National Health Security System and support of Australian Government through AIPHSSINFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Mengenai program AIPHSS, Anda dapat menghubungi Syalomi Natalia, AIPHSS Communication Officer melalui email [email protected]

PROGRAM AIPHSS

5 MEI - JUNI 2013News Edisi 89 6 MEI - JUNI 2013News Edisi 89

emberdayaan Masyarakat sebagai suatu strategi, sekarang telah banyak diterima, bahkan telah Pberkembang di dunia dan di Indonesia. Namun upaya

mewujudkannya dalam penerapan pembangunan tidak selalu berjalan mulus. Pemberdayaan adalah kata kunci yang menjadi jembatan pembangunan ekonomi Makro dan pembangunan ekonomi Mikro.

Pembangunan ekonomi Makro diartikan sebagai pembangunan yang diarahkan kepada kegiatan yang berskala besar, seperti industri-industri, penanam modal untuk investasi dan peran-peran pasar dalam alokasi sumber daya. Dengan anggapan bahwa kebijakan pembangunan ekonomi Makro yang tepat dan menguntungkan semua lapisan masyarakat.

Kenyataannya kebijakan ini tidak menghasilkan jawaban yang memuaskan untuk masyarakat banyak karena penyerapan tenaga terbatas disebabkan industri-industri, pabrik-pabrik lebih banyak menggunakan peralatan mesin dari pada tenaga manusia. Bila membutuhkan tenaga kerja, lebih banyak menerima tenaga terdidik dan trampil. Rakyat setempat belum dipersiapkan menjadi tenaga terdidik dan terlatih, sesuai dengan jenis kualifikasi pendidikan dan keterampilan yang dibutuhkan perusahaan dimaksud. Dengan demikian penduduk menjadi penonton, tenaga kerja lebih banyak didatangkan dari luar daerah.

Kehadiran suatu perusahaan khususnya industri pasti membawa perubahan. Perubahan dimaksud adalah pertumbuhan ekonomi pasar yang berlangsung lebih baik dibanding dengan sebelumnya, tetapi seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang terjadi juga membawa dampak sosial yang menggangu suasana ketentraman dan ketertiban di lingkungan perusahaan tersebut yang perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah Daerah dan Pihak Keamanan.

Kewajiban perusahaan membayar pajak kepada negara, sebagai imbalan jasa melakukan kegiatan usaha dalam suatu daerah tertentu. Dana tersebut dihimpun oleh Pemerintah Pusat, kemudian akan disalurkan atau dibagikan berdasarkan ukuran yang telah ditetapkan, seperti Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Pajak dan Non Pajak, dan Dana-dana lainnya. Dalam jumlah yang wajar dan adil diterimakan oleh setiap Kabupaten/ Kota dan Provinsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masing-masing daerah.

Dana tersebut dalam ketentuannya tidak diterima langsung kepada setiap warga penduduk, tetapi melalui program dan kegiatan dalam APBD Kabupaten / Kota, maupun Provinsi setiap tahun, yang pelaksanaannya oleh Pemerintah Daerah dalam hal ini Satuan Kerja Perangkat Daerah. Jika dana tersebut tidak berpihak kepada masyarakat dalam artian persentase pembagian lebih besar harus dinikmati rakyat, tetapi bila sebaliknya maka akan memperlebar kesenjangan sosial dalam kehidupan masyarakat.

Atas dasar pemahaman ini , mak a kebi jak an penyelenggaraan pemerintahan diarahkan kepada rakyat yang berada di kampung-kampung dimulai dari apa yang dimiliki dan yang telah ditekuni sebagai sumber kehidupan seperti: kelapa, kakao, kopi, pala, ikan, kepiting dan udang yang selama ini dikerjakan di kelola sebagai mata pencaharian. Potensi ini agar mempunyai nilai tambah perlu digali dan ditingkatkan oleh masyarakat, sekalipun pendapatannya kecil tetapi ada kepastian akan hidup, karena secara bertahap dan berlanjut potensi ini akan dikembangkan terus menerus oleh warga penduduk sebagai sumber kehidupan.

Pendapatan yang diterima dari potensi sumber daya alam, sekalipun kecil tetapi merupakan pendapatan yang diterima langsung oleh masyarakat dari hasil jerih lelah atau kerjanya sendiri. Ini merupakan kebanggaan dan akan mendorong dan memberi kekuatan untuk mengelola potensi ini dengan baik bagi kelangsungan hidupnya. Untuk lebih ditingkatkn pendapatannya, maka perlu ada perhatian dari Pemerintah Daerah dalam bentuk Program, Kegiatan dan Dana.

Bantuan tersebut diarahkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, inilah yang disebut pembangunan Mikro Ekonomi yaitu pembangunan yang diarahkan kepada kegiatan yang berskala kecil seperti pembangunan pertanian rakyat. Dari uraian tersebut di atas maka benar konsep pemberdayaan merupakan jembatan pembangunan ekonomi makro dan pembangunan ekonomi mikro.

Menurut Webster dalam Oxford English Dictionary kata “empower” mengandung dua arti. To give power or authority to, dan pengertian kedua berarti to give ability to or enable. Dalam pengertian pertama diartikan sebagai memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan, atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain. Sedangkan dalam pengertian kedua diartikan sebagai upaya untuk memberi kemampuan atau keberdayaan. Pengertian yang kedua yang dipergunakan dalam artikel ini.

Pemberdayaan adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Dalam kerangka pikiran itu, upaya memberdayakan masyarakat haruslah pertama-tama dimulai dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat berkembang, artinya tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena kalau demikian akan punah.

Dalam upaya itu, strategi pembangunan harus ditujukan kepada dua arah, yakni dengan menyadari bahwa ada masalah struktural dalam perekonomian dan juga dalam tatanan sosial yang memisahkan lapisan masyarakat yang maju dan berada di sektor modern, serta yang tertinggal dan berada di sektor tradisional. Strategi pembangunan untuk dua sektor ini tidak bisa disamakan.

Strategi pertama memberi peluang agar sektor modern dapat maju, karena kemajuannya dibutuhkan untuk pembangunan bangsa secara keseluruhan. Disini termasuk peningkatan efisiensi produktifitas dan pengembangan serta penguasaan teknologi yang diperlukan untuk memperkuat daya saing. Dibidang ekonomi dan administrasi, kepada sektor ini diberikan keleluasaan tanpa terlalu banyak campur tangan pemerintah dalam arti bila masyarakat modern ini telah mampu pemerintah mundur.

Tugas pemerintah adalah menjaga bahwa keleluasaan dalam bergerak yang menjadi tujuan deregulasi tak mematikan yang lemah, mengakibatkan eksploitasi sumber daya alam yang melampui batas daya dukungnya, sehingga mengancam keberlanjutan pembangunan. Dengan harapan sektor modern tidak menghisap sumber daya secara berlebihan dengan demikian sektor tradisional menjadi terdesak dan kehabisan atau kurang kesempatan untuk memanfaatkan sumber daya alam yang sudah amat dibutuhkan untuk perkembangan.

Strategi kedua Memberdayakan Sektor Ekonomi Tradisional. Membantu masyarakat agar lebih berdaya sehingga tidak hanya dapat meningkatkan kapasitas dan kemampuannya dengan memanfaatkan potensi yang dimilikinya tetapi juga sekaligus meningkatkan kemampuan ekonomi nasional.

Kedua strategi ini saling berhubungan tidak terlepas satu dengan yang lain. Pola hubungan tersebut harus ditata agar menghasilkan suatu struktur ekonomi masyarakat yang sinergis menuju ke arah pembangunan ekonomi yang berkembang merata dan tumbuh di atas landasan yang kokoh.

Untuk berhasilnya ekonomi masyarakat terutama masyarakat yang ada di kampung-kampung maka pemimpin pemerintah Bupati atau Walikota harus mempunyai kepekaan, kepedulian dan kemampuan untuk mengendalikan dan menata kehidupan ekonomi masyarakat di daerah. Lebih banyak waktu berada ditengah masyarakat untuk mendengar, melihat dan mengamati apa yang menjadi kebutuhan masyarakat sehingga bila ada masalah atau kesulitan segera dijawab oleh pemimpinnya. Ini akan membuat rakyat merasa bahwa ia diperhatikan dan dilindungi oleh pemimpinnya, sehingga ia terus semangat bekerja memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pemberdayaan Masyarakat:

Konsepsi dan Penerapannya

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Penulis adalah Wakil Kepala UP4B, anda dapat menghubungi Kantor UP4B melalui email [email protected] atau berkunjung ke www.up4b.go.id

OLEH E. FONATABA

LAPORAN UTAMA

Pendapatan yang diterima

dari potensi sumber daya

alam, sekalipun kecil tetapi

merupakan pendapatan yang

d i t e r i m a l a n g s u n g o l e h

masyarakat dari hasil jerih

lelah atau kerjanya sendiri.

5 MEI - JUNI 2013News Edisi 89 6 MEI - JUNI 2013News Edisi 89

emberdayaan Masyarakat sebagai suatu strategi, sekarang telah banyak diterima, bahkan telah Pberkembang di dunia dan di Indonesia. Namun upaya

mewujudkannya dalam penerapan pembangunan tidak selalu berjalan mulus. Pemberdayaan adalah kata kunci yang menjadi jembatan pembangunan ekonomi Makro dan pembangunan ekonomi Mikro.

Pembangunan ekonomi Makro diartikan sebagai pembangunan yang diarahkan kepada kegiatan yang berskala besar, seperti industri-industri, penanam modal untuk investasi dan peran-peran pasar dalam alokasi sumber daya. Dengan anggapan bahwa kebijakan pembangunan ekonomi Makro yang tepat dan menguntungkan semua lapisan masyarakat.

Kenyataannya kebijakan ini tidak menghasilkan jawaban yang memuaskan untuk masyarakat banyak karena penyerapan tenaga terbatas disebabkan industri-industri, pabrik-pabrik lebih banyak menggunakan peralatan mesin dari pada tenaga manusia. Bila membutuhkan tenaga kerja, lebih banyak menerima tenaga terdidik dan trampil. Rakyat setempat belum dipersiapkan menjadi tenaga terdidik dan terlatih, sesuai dengan jenis kualifikasi pendidikan dan keterampilan yang dibutuhkan perusahaan dimaksud. Dengan demikian penduduk menjadi penonton, tenaga kerja lebih banyak didatangkan dari luar daerah.

Kehadiran suatu perusahaan khususnya industri pasti membawa perubahan. Perubahan dimaksud adalah pertumbuhan ekonomi pasar yang berlangsung lebih baik dibanding dengan sebelumnya, tetapi seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang terjadi juga membawa dampak sosial yang menggangu suasana ketentraman dan ketertiban di lingkungan perusahaan tersebut yang perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah Daerah dan Pihak Keamanan.

Kewajiban perusahaan membayar pajak kepada negara, sebagai imbalan jasa melakukan kegiatan usaha dalam suatu daerah tertentu. Dana tersebut dihimpun oleh Pemerintah Pusat, kemudian akan disalurkan atau dibagikan berdasarkan ukuran yang telah ditetapkan, seperti Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Pajak dan Non Pajak, dan Dana-dana lainnya. Dalam jumlah yang wajar dan adil diterimakan oleh setiap Kabupaten/ Kota dan Provinsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masing-masing daerah.

Dana tersebut dalam ketentuannya tidak diterima langsung kepada setiap warga penduduk, tetapi melalui program dan kegiatan dalam APBD Kabupaten / Kota, maupun Provinsi setiap tahun, yang pelaksanaannya oleh Pemerintah Daerah dalam hal ini Satuan Kerja Perangkat Daerah. Jika dana tersebut tidak berpihak kepada masyarakat dalam artian persentase pembagian lebih besar harus dinikmati rakyat, tetapi bila sebaliknya maka akan memperlebar kesenjangan sosial dalam kehidupan masyarakat.

Atas dasar pemahaman ini , mak a kebi jak an penyelenggaraan pemerintahan diarahkan kepada rakyat yang berada di kampung-kampung dimulai dari apa yang dimiliki dan yang telah ditekuni sebagai sumber kehidupan seperti: kelapa, kakao, kopi, pala, ikan, kepiting dan udang yang selama ini dikerjakan di kelola sebagai mata pencaharian. Potensi ini agar mempunyai nilai tambah perlu digali dan ditingkatkan oleh masyarakat, sekalipun pendapatannya kecil tetapi ada kepastian akan hidup, karena secara bertahap dan berlanjut potensi ini akan dikembangkan terus menerus oleh warga penduduk sebagai sumber kehidupan.

Pendapatan yang diterima dari potensi sumber daya alam, sekalipun kecil tetapi merupakan pendapatan yang diterima langsung oleh masyarakat dari hasil jerih lelah atau kerjanya sendiri. Ini merupakan kebanggaan dan akan mendorong dan memberi kekuatan untuk mengelola potensi ini dengan baik bagi kelangsungan hidupnya. Untuk lebih ditingkatkn pendapatannya, maka perlu ada perhatian dari Pemerintah Daerah dalam bentuk Program, Kegiatan dan Dana.

Bantuan tersebut diarahkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, inilah yang disebut pembangunan Mikro Ekonomi yaitu pembangunan yang diarahkan kepada kegiatan yang berskala kecil seperti pembangunan pertanian rakyat. Dari uraian tersebut di atas maka benar konsep pemberdayaan merupakan jembatan pembangunan ekonomi makro dan pembangunan ekonomi mikro.

Menurut Webster dalam Oxford English Dictionary kata “empower” mengandung dua arti. To give power or authority to, dan pengertian kedua berarti to give ability to or enable. Dalam pengertian pertama diartikan sebagai memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan, atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain. Sedangkan dalam pengertian kedua diartikan sebagai upaya untuk memberi kemampuan atau keberdayaan. Pengertian yang kedua yang dipergunakan dalam artikel ini.

Pemberdayaan adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Dalam kerangka pikiran itu, upaya memberdayakan masyarakat haruslah pertama-tama dimulai dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat berkembang, artinya tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena kalau demikian akan punah.

Dalam upaya itu, strategi pembangunan harus ditujukan kepada dua arah, yakni dengan menyadari bahwa ada masalah struktural dalam perekonomian dan juga dalam tatanan sosial yang memisahkan lapisan masyarakat yang maju dan berada di sektor modern, serta yang tertinggal dan berada di sektor tradisional. Strategi pembangunan untuk dua sektor ini tidak bisa disamakan.

Strategi pertama memberi peluang agar sektor modern dapat maju, karena kemajuannya dibutuhkan untuk pembangunan bangsa secara keseluruhan. Disini termasuk peningkatan efisiensi produktifitas dan pengembangan serta penguasaan teknologi yang diperlukan untuk memperkuat daya saing. Dibidang ekonomi dan administrasi, kepada sektor ini diberikan keleluasaan tanpa terlalu banyak campur tangan pemerintah dalam arti bila masyarakat modern ini telah mampu pemerintah mundur.

Tugas pemerintah adalah menjaga bahwa keleluasaan dalam bergerak yang menjadi tujuan deregulasi tak mematikan yang lemah, mengakibatkan eksploitasi sumber daya alam yang melampui batas daya dukungnya, sehingga mengancam keberlanjutan pembangunan. Dengan harapan sektor modern tidak menghisap sumber daya secara berlebihan dengan demikian sektor tradisional menjadi terdesak dan kehabisan atau kurang kesempatan untuk memanfaatkan sumber daya alam yang sudah amat dibutuhkan untuk perkembangan.

Strategi kedua Memberdayakan Sektor Ekonomi Tradisional. Membantu masyarakat agar lebih berdaya sehingga tidak hanya dapat meningkatkan kapasitas dan kemampuannya dengan memanfaatkan potensi yang dimilikinya tetapi juga sekaligus meningkatkan kemampuan ekonomi nasional.

Kedua strategi ini saling berhubungan tidak terlepas satu dengan yang lain. Pola hubungan tersebut harus ditata agar menghasilkan suatu struktur ekonomi masyarakat yang sinergis menuju ke arah pembangunan ekonomi yang berkembang merata dan tumbuh di atas landasan yang kokoh.

Untuk berhasilnya ekonomi masyarakat terutama masyarakat yang ada di kampung-kampung maka pemimpin pemerintah Bupati atau Walikota harus mempunyai kepekaan, kepedulian dan kemampuan untuk mengendalikan dan menata kehidupan ekonomi masyarakat di daerah. Lebih banyak waktu berada ditengah masyarakat untuk mendengar, melihat dan mengamati apa yang menjadi kebutuhan masyarakat sehingga bila ada masalah atau kesulitan segera dijawab oleh pemimpinnya. Ini akan membuat rakyat merasa bahwa ia diperhatikan dan dilindungi oleh pemimpinnya, sehingga ia terus semangat bekerja memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pemberdayaan Masyarakat:

Konsepsi dan Penerapannya

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Penulis adalah Wakil Kepala UP4B, anda dapat menghubungi Kantor UP4B melalui email [email protected] atau berkunjung ke www.up4b.go.id

OLEH E. FONATABA

LAPORAN UTAMA

Pendapatan yang diterima

dari potensi sumber daya

alam, sekalipun kecil tetapi

merupakan pendapatan yang

d i t e r i m a l a n g s u n g o l e h

masyarakat dari hasil jerih

lelah atau kerjanya sendiri.

PRAKTIK CERDAS

7 MEI - JUNI 2013News Edisi 89 8 MEI - JUNI 2013News Edisi 89

MENGGALI PRAKTIK CERDAS

UNTUK PAPUA SEHAT

“Kam Bisa, Torang Juga Bisa Sehat"

Narasumber: Joseph Rinta, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua; Kairul Lie, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura; Hana Hikoyabi, Kepala Bappeda Kabupaten Jayapura; Theo Litay dan Martin Ndoen, Peneliti Praktik Cerdas Jaringan Peniliti KTI (JiKTI); Moderator: Yuzak Reba

Overview Kondisi Pelayanan Publik Kesehatan di Papua dan Hasil Kajian Praktik Cerdas

Resolusi yang dihasilkan oleh peserta seminar dan untuk mendapatkan komitmen replikasi pimpinan daerah

Narasumber: Khairul Lie, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura; Dr. Dollarina, Kepala Dinas Kesehatan Kota Jayapura; Agus Rumbiak, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya; Ibrahim Iba, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Mimika dan Elke Rapp, Chief of Party KINERJA.Moderator: Yuzak Reba

Akses Layanan Kesehatan, Presentasi 'Manajemen Sarana Transportasi untuk Pelayanan Kesehatan di NTT'

Metode yang digunakan untuk menggali praktik cerdas dalam diskusi kelompok adalah Pembuatan Peta Kerja.

Masyarakat sebagai mitra layanan kesehatan. Presentasi Praktik Cerdas 'Rumah Tunggu: Kehamilan dan Kelahiran yang Lebih Aman di Maluku Tenggara Barat'

Papua Sehat, Kuat dan Berkualitas pada tahun 2018

Setiap peserta menuangkan ide mereka ke dalam 'Majalah Dinding - Mading' terkait kegiatan yang telah dilakukan, apa tantangan dan solusinya.

Inspirasi 'Program 2H2' dari Kabupaten Flores, NTT oleh Bidan Joria Parmin.

Pembacaan Resolusi Menggali Praktik Cerdas untuk Papua Sehat “Kam Bisa, Torang Juga Bisa Sehat"

Presentasi Praktik Cerdas & Inspirasiemerintah Provinsi Papua dengan dukungan dari KINERJA-USAID mengadakan forum seminar yang Pm e m p e r t e m u k a n p i h a k - p i h a k t e r k a i t u n t u k

mendiskusikan bagaimana mengatasi berbagai tantangan dan meningkatkan pelayanan kesehatan di Papua dengan mencontoh Praktik Cerdas yang ada.

Seminar mencakup presentasi praktik cerdas terkait pelayanan publik bidang kesehatan dari pelaku pembangunan. Dari 25 Praktik Cerdas yang pernah dipresentasikan di Pertemuan Forum KTI, BaKTI memilih 4 Praktik Cerdas yang setelah ditelaah, memiliki peluang replikasi yang besar di Papua.

Seminar Menggali Praktik Cerdas untuk Papua Sehat

bertujuan sebagai berikut.1. Mendapatkan pemahaman yang kaya dan mendalam

mengenai hambatan terhadap pelayanan kesehatan di Papua.

2. Mendokumentasikan dan berbagi praktik cerdas untuk mengatasi hambatan pelayanan kesehatan di Papua.

3. Membangun analisis bersama untuk perencanaan dan implementasi pelayanan kesehatan dalam konteks lokal Papua yang beragam.

4. Menguatkan kolaborasi antara pemerintah dan mitra pembangunan

Seminar dihadiri oleh lebih dari seratus peserta yang berasal dari berbagai sektor dan institusi yakni Pemerintah Provinsi Papua, BAPPEDA Provinsi Papua, Dinas Kesehatan Provinsi Papua, DPRP, Perwakilan Ormas provinsi Papua, Bappeda dan Dinas Kesehatan dari Kabupaten Kabupaten Jayapura, Jayawijaya, Mimika dan Kota Jayapura, Perwakilan Ormas dari Kabupaten / Kota target program, Praktisi Praktik Cerdas, Inspirator, Perwakilan Lembaga International yang base di Jayapura, staff project USAID, staff PMPK UGM, serta staff KINERJA Jakarta dan Jayapura.

Pelayanan Kesehatan yang minim dan belum menjangk au k elompok m a s y a r a k a t m i s k i n Perkotaan dan pedalaman di Papua masih menjadi suatu masalah yang perlu untuk ditangani secara serius.

Sebab-sebab kematian ibu dan anak di Papua meliputi: penyakit malaria, infeksi saluran pernapasan akut, dan rendahnya tingkat pendidikan. Selain tiga hal tersebut, penyebab lain kematian ibu dan anak lantaran tidak mendapat p e l a y a n a n k e s e h a t a n dengan baik.

Sebanyak 1.000 anak meninggal dunia sebelum mencapai usia satu tahun. Sedikitnya 1 dari 12 anak yang baru lahir setiap tahunnya tidak mencapai usia satu tahun.

Tantangan Sektor Kesehatan di Papua

1. Perlu keberpihakan kepada orang Papua dalam meningkatkan kualitas layanan kesehatan.

2. Malaria tinggal kenangan, setiap puskesmas punya ambulans, pelayanan kesehatan semakin baik, fasilitas k e s e h a t a n y a n g m o d e r n , p e l ay a n a n k e s e h a t a n menggunakan sistem komputer, puskesmas rawat jalan menjadi rawat inap, harus ada Rumah Tunggu, infrastruktur harus baik, posyandu adat, dokter yang selalu siaga, fasilitas kesehatan lebih baik, perilaku hidup bersih dan sehat serta sanitasi yang semakin baik.

3. Papua yang sehat, Ibu dan anak sehat, semua ibu yang hamil harus selamat, dan semua kampong memiliki bidan.

4. Penyusunan Renstra Kesehatan yang baik, Visi dan Misi penanggulangan kesehatan yang sesuai kearifan lokal, kesehatan dibangun dari kecamatan, peran stakeholder kesehatan.

5. Akses layanan kesehatan yang baik, angka harapan hidup yang tinggi, memperbanyak tenaga medis, tidak ada lagi Ibu dan anak yang meninggal, peningkatan dana kesehatan, membangun kemitraan dengan lembaga donor, dan pengalokasian 15 persen dana dari APBD untuk kesehatan.

6. Dunia kesehatan di Papua harus bangkit dalam hal sarana, prasarana, dan Sumber Daya Manusianya serta kerjasama antar stakeholder.

7. Papua Bangkit untuk kesehatan, dan Kerjasama dalam pembangunan kesehatan.

8. Pelayanan puskesmas dan Pustu semakin baik, perencanaan penganggaran di Puskesmas semakin baik, kemitraan masyarakat dan pemerintah, akses layanan kesehatan yang lebih baik di semua kampung.

PRAKTIK CERDAS

7 MEI - JUNI 2013News Edisi 89 8 MEI - JUNI 2013News Edisi 89

MENGGALI PRAKTIK CERDAS

UNTUK PAPUA SEHAT

“Kam Bisa, Torang Juga Bisa Sehat"

Narasumber: Joseph Rinta, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua; Kairul Lie, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura; Hana Hikoyabi, Kepala Bappeda Kabupaten Jayapura; Theo Litay dan Martin Ndoen, Peneliti Praktik Cerdas Jaringan Peniliti KTI (JiKTI); Moderator: Yuzak Reba

Overview Kondisi Pelayanan Publik Kesehatan di Papua dan Hasil Kajian Praktik Cerdas

Resolusi yang dihasilkan oleh peserta seminar dan untuk mendapatkan komitmen replikasi pimpinan daerah

Narasumber: Khairul Lie, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura; Dr. Dollarina, Kepala Dinas Kesehatan Kota Jayapura; Agus Rumbiak, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya; Ibrahim Iba, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Mimika dan Elke Rapp, Chief of Party KINERJA.Moderator: Yuzak Reba

Akses Layanan Kesehatan, Presentasi 'Manajemen Sarana Transportasi untuk Pelayanan Kesehatan di NTT'

Metode yang digunakan untuk menggali praktik cerdas dalam diskusi kelompok adalah Pembuatan Peta Kerja.

Masyarakat sebagai mitra layanan kesehatan. Presentasi Praktik Cerdas 'Rumah Tunggu: Kehamilan dan Kelahiran yang Lebih Aman di Maluku Tenggara Barat'

Papua Sehat, Kuat dan Berkualitas pada tahun 2018

Setiap peserta menuangkan ide mereka ke dalam 'Majalah Dinding - Mading' terkait kegiatan yang telah dilakukan, apa tantangan dan solusinya.

Inspirasi 'Program 2H2' dari Kabupaten Flores, NTT oleh Bidan Joria Parmin.

Pembacaan Resolusi Menggali Praktik Cerdas untuk Papua Sehat “Kam Bisa, Torang Juga Bisa Sehat"

Presentasi Praktik Cerdas & Inspirasiemerintah Provinsi Papua dengan dukungan dari KINERJA-USAID mengadakan forum seminar yang Pm e m p e r t e m u k a n p i h a k - p i h a k t e r k a i t u n t u k

mendiskusikan bagaimana mengatasi berbagai tantangan dan meningkatkan pelayanan kesehatan di Papua dengan mencontoh Praktik Cerdas yang ada.

Seminar mencakup presentasi praktik cerdas terkait pelayanan publik bidang kesehatan dari pelaku pembangunan. Dari 25 Praktik Cerdas yang pernah dipresentasikan di Pertemuan Forum KTI, BaKTI memilih 4 Praktik Cerdas yang setelah ditelaah, memiliki peluang replikasi yang besar di Papua.

Seminar Menggali Praktik Cerdas untuk Papua Sehat

bertujuan sebagai berikut.1. Mendapatkan pemahaman yang kaya dan mendalam

mengenai hambatan terhadap pelayanan kesehatan di Papua.

2. Mendokumentasikan dan berbagi praktik cerdas untuk mengatasi hambatan pelayanan kesehatan di Papua.

3. Membangun analisis bersama untuk perencanaan dan implementasi pelayanan kesehatan dalam konteks lokal Papua yang beragam.

4. Menguatkan kolaborasi antara pemerintah dan mitra pembangunan

Seminar dihadiri oleh lebih dari seratus peserta yang berasal dari berbagai sektor dan institusi yakni Pemerintah Provinsi Papua, BAPPEDA Provinsi Papua, Dinas Kesehatan Provinsi Papua, DPRP, Perwakilan Ormas provinsi Papua, Bappeda dan Dinas Kesehatan dari Kabupaten Kabupaten Jayapura, Jayawijaya, Mimika dan Kota Jayapura, Perwakilan Ormas dari Kabupaten / Kota target program, Praktisi Praktik Cerdas, Inspirator, Perwakilan Lembaga International yang base di Jayapura, staff project USAID, staff PMPK UGM, serta staff KINERJA Jakarta dan Jayapura.

Pelayanan Kesehatan yang minim dan belum menjangk au k elompok m a s y a r a k a t m i s k i n Perkotaan dan pedalaman di Papua masih menjadi suatu masalah yang perlu untuk ditangani secara serius.

Sebab-sebab kematian ibu dan anak di Papua meliputi: penyakit malaria, infeksi saluran pernapasan akut, dan rendahnya tingkat pendidikan. Selain tiga hal tersebut, penyebab lain kematian ibu dan anak lantaran tidak mendapat p e l a y a n a n k e s e h a t a n dengan baik.

Sebanyak 1.000 anak meninggal dunia sebelum mencapai usia satu tahun. Sedikitnya 1 dari 12 anak yang baru lahir setiap tahunnya tidak mencapai usia satu tahun.

Tantangan Sektor Kesehatan di Papua

1. Perlu keberpihakan kepada orang Papua dalam meningkatkan kualitas layanan kesehatan.

2. Malaria tinggal kenangan, setiap puskesmas punya ambulans, pelayanan kesehatan semakin baik, fasilitas k e s e h a t a n y a n g m o d e r n , p e l ay a n a n k e s e h a t a n menggunakan sistem komputer, puskesmas rawat jalan menjadi rawat inap, harus ada Rumah Tunggu, infrastruktur harus baik, posyandu adat, dokter yang selalu siaga, fasilitas kesehatan lebih baik, perilaku hidup bersih dan sehat serta sanitasi yang semakin baik.

3. Papua yang sehat, Ibu dan anak sehat, semua ibu yang hamil harus selamat, dan semua kampong memiliki bidan.

4. Penyusunan Renstra Kesehatan yang baik, Visi dan Misi penanggulangan kesehatan yang sesuai kearifan lokal, kesehatan dibangun dari kecamatan, peran stakeholder kesehatan.

5. Akses layanan kesehatan yang baik, angka harapan hidup yang tinggi, memperbanyak tenaga medis, tidak ada lagi Ibu dan anak yang meninggal, peningkatan dana kesehatan, membangun kemitraan dengan lembaga donor, dan pengalokasian 15 persen dana dari APBD untuk kesehatan.

6. Dunia kesehatan di Papua harus bangkit dalam hal sarana, prasarana, dan Sumber Daya Manusianya serta kerjasama antar stakeholder.

7. Papua Bangkit untuk kesehatan, dan Kerjasama dalam pembangunan kesehatan.

8. Pelayanan puskesmas dan Pustu semakin baik, perencanaan penganggaran di Puskesmas semakin baik, kemitraan masyarakat dan pemerintah, akses layanan kesehatan yang lebih baik di semua kampung.

9 MEI - JUNI 2013News Edisi 89 10 MEI - JUNI 2013News Edisi 89

PRAKTIK CERDAS

Wacana Utamaengambil keputusan (Eksekutif Senior, Legislatif, Bupati) membutuhkan informasi yang jelas, jernih dan mudah Pdipahami untuk membuat keputusan. Keterbatasan

waktu untuk penyajiaan dan analisis informasi untuk pengambil keputusan. Tabel data yang ada di Bidang Pendidikan, Kesehatan, dan lainnya yang menceritakan status MSS masing-masing sektor.

Tabel in i (Prof i l Pendidik an, Prof i l Kesehatan) dikelompokkan dalam 30 - 60 tabel yang mempunyai informasi yang berbeda. Ta b e l i n f o r m a s i i n i diringkas untuk dapat memberikan informasi berharga yang ak an membantu para pengambil keputusan mengalokasikan dana dalam APBD, khusus untuk daerah pelayanan ( S P M ) y a n g p a l i n g membutuhkan dana. Jika d i s a j i k a n d e n g a n penjelasan lisan atau tertulis yang rumit, tabel angka, atau grafik, maka akan ada risiko untuk pengambilan informasi minim oleh pengambil keputusan.

Representasi spasial dari data adalah metode yang terbukti efektif dan cepat untuk menyampaikan konsep kepada para pengambil keputusan. GIS dan Google Earth sekarang menjadi alat yang dapat menampilkan informasi ini dengan cepat dan ringkas dalam 3 dimensi oleh operator dengan sedikit atau tidak ada pelatihan sebelumnya.

Beberapa TantanganOperator Data di kabupaten dan kota lebih terampil

mengumpulkan dan merekam data dibandingkan menganalisanya. Data sering salah atau belum diverifikasi di kabupaten dan kantor Puskesmas atau sekolah yang tergantung pada pengumpulan data, di mana sumber daya manusia (SDM) terbatas sehingga pengumpulan data sering dilakukan oleh relawan tanpa pengawasan.

Google Earth biasanya membutuhkan akses ke internet untuk berfungsi. Akses internet sering tidak tersedia, terlalu lambat atau terlalu rumit untuk digunakan di banyak kabupaten dan kota.

Presentasi GIS memerlukan orang yang terlatih dalam program-program seperti ArcGIS. Program-program yang rumit, mahal dan memerlukan pelatihan yang luas untuk melakukannya.

Kualitas data raster (gambar di atas permukaan tanah) yang rinci di Amerika Utara atau Eropa, tetapi sering dari resolusi rendah atau berawan di daerah yang kurang penduduknya di Indonesia.

Banyak daerah tidak memiliki Koordinat spasial sekolah atau unit kesehatan.

What is the Issue ecision makers (Senior E x e c u t i v e , L e g i s l a t i v e , DBupati) need clear, lucid

a n d e a s i l y c o m p r e h e n s i b l e information to makedecisions.

Time is often limited to present analysed information to decision makers. Tables of data exist in Education, Health and other sectors that tell the MSS status of their respective sector.

These tables (Profil Pendidikan, Profil Kesehatan) are multi-clustered into 30 – 60 different tables. Summarized information from these tables can provide valuable information that will help

decision makers allocate funds in the APBD, specifically to the service areas (MSS) most in need of funds.

If presented with complicated verbal or written explanations, tables of figures, or charts, there is a risk of partial to minimum uptake of the information by these decision makers.

Spatial representation of data is a proven effective method of quickly conveying concepts to decision makers. GIS and Google Earth is now a tool that can display this information quickly and simply in 3 dimensional presentations by operators with little to no prior training.

Some Challenges Data operators in the districts and cities are more skilled at

collecting and recording data than analyzing it. Data is often incorrect or unverified in the districts and these sub-district offices (Puskesmas or schools) depend on the collection of this data, where human resources (SDM) are limited resulting in data collection often being done by unsupervised volunteers. Google Earth normally requires access to the internet to function. Internet access is often not available, too slow or too cumbersome to use in many districts and cities.

GIS representation requires a trained person in programs like ArcGIS. These programs are complicated, costly and require extensive training to use. The quality of the raster data (the images of the ground) are detailed in North America or Europe, but often of poor resolution or cloud covered in the less populated areas of Indonesian.

Many areas do not have the Spatial Coordinates of their schools or health units.

Langkah AksiBASICS telah bekerja dengan BAPPEDA, Dinas Kesehatan

dan Dinas Pendidikan, dan menunjukkan pentingnya informasi dari database tersebut untuk meningkatkan metode pengumpulan data, khususnya untuk penyediaan layanan.

Hal ini dilakukan melalui pelatihan ekstensif untuk operator data (orang yang menangani data), termasuk ratusan kader kesehatan yang tidak digaji, pada program untuk merekam data.

Dengan menunjukkan penggunaan data yang baik dalam peningkatan penyediaanpelayanan, kader bertanggung jawab atas hal tersebut, dan ternyata sangat efektif dalam meyakinkan mereka akan pentingnya validasi data.

BASICS mengontrak Penyedia Layanan GIS dan Google Earth untuk mengkompilasi raster (file gambar) untuk kabupaten dan kota terpilih (kemudian diperluas untuk mencakup seluruh kabupaten dan kota dampingan BASICS) menggunakan citra satelit beberapa tahun dengan Program Google Earth Pro yang mempunyai fungsi yang berbeda dengan google earth biasa. Fungsi Tambahan untuk Google earth Pro adalah data GIS dapat ditampilkan langsung dalam Google Earth Pro dan kita bisa membuat film serta masih banyak lagi kelebihan lainnya.

F i l e - f i l e r a s t e r y a n g disimpan dalam 'file cache' yang khusus yang disebut C a c h e G o o g l e E a r t h . Penggunaan cache komputer adalah normal prosedur Google Earth dan dalam proses standar menggunakan Google Earth, cache ini akan dihapus atau diubah menjadi cache file dari daerah scan bumi akhir dan data yang lama akan hilang.

F i l e c a c h e s e t e l a h dikumpulkan akan disediakan oleh 'Google Earth Pro' dan disimpan pada sebuah file terpisah. Setelah itu disimpan pada program download yang disebut 'Cache for Google Earth'. Cache ini dapat dipanggil/dibuka dengan komputer saat tidak terhubung ke internet dan Google Earth kemudian akan berjalan pada cache tersebut tanpa terhubung ke internet.

“Power Point Show” sederhana diciptakan untuk mengarahkan pengguna untuk file cache yang diperlukan dan mulai Google Earth. Layer GIS terbuat dari fitur standar untuk masing-masing kabupaten/kota seperti jalan, titik-titik koordinat sekolah atau fasilitas kesehatan (termasuk batas yang mengelilingi sekolah-sekolah dan fasilitas kesehatan).

Layer ini disiapkan di ArcGIS dan dikonversi ke file Google Earth dalam bentuk file 'KML'.

Jika koordinat sekolah dan fasilitas kesehatan tidak tersedia, BAPPEDA, Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan Kab./Kota menunjukkan bagaimana cara untuk mengumpulkan data ini.

Kepala Sekolah dan Pegawai kesehatan dapat dengan mudah mengidentifikasi koordinat langsung dari Google Earth. Yang lain bisa mengumpulkan koordinat cukup dengan menggunakan Google Maps atau mereka dapat mencatat koordinat langsung dari handphone mereka. Koordinat ini dimasukkan dalam Program GIS dan kemudian dibuatkan file 'KML' dan disimpan di Google Earth.

Staf Kesehatan dan Pendidikan didorong dan didampingi dalam beberapa hal dalam menganalisis data mereka. Analisis secara langsung difokuskan pada data yang ditampilkan status layanan yang ada seperti kematian ibu, bayi dan anak. Analisis juga dilakukan pada parameter seperti sumber daya yang tersedia dari bidan terhadap sepeda motor. Ini spasial disiapkan dalam GIS dan dikonversi ke file 'KML' dalam di

Action TakenBASICS has worked with, and demonstrated the information

potential of these databases with the BAPPEDA, Health, and The Education departments to improve their data collection methods, specifically for service provision.

This was done through extensive training of data handlers (including hundreds of unpaid health cadre) on programs to record the data. By demonstrating the use of good data in the improvement of the service provision which the cadres were responsible for, turned out to be very effective in convincing them of the importance of validated data.

BASICS contracted a GIS and Google Earth Service Provider to compile the raster (image files) for selected districts and cities (later expanded to include all BASICS districts and cities) by purchasing the program Google Earth Pro. Google Earth Pro has additional functions than the standard google earth program. One of the additional functions of Google Earth Pro is that it can display GIS data directly. it can also be used to make a movie.

The raster files were saved in a special 'cache file' called 'Cache for Google Earth'. The use of a computer cache is a normal

Google Earth procedure and in the standard process of using Google Earth, this cache gets deleted or changed overtime where cache files of scanned areas of the earth are eventually lost.

The cache files, once collected by 'Google Earth' were saved under a separate file. It was then placed in the downloadable program called 'Cache for Google Earth'. This cache can be called up into the computer while off-line and Google Earth will then run on this cache without being connected to the internet.

A simple 'Power-point Show' file was created to direct

the user to the necessary cache files and start Google Earth. GIS layers were made of standard features for each district/city such as roads, coordinates of schools or health facilities (including buffers around these schools and health facilities).

These layers were prepared in ArcGIS and converted to a Google Earth readable file called 'KML' and then placed into Google Earth. were not available, the district/city BAPPEDA, education departments and heal the departments were shown how to collect this data. School inspectors and Health officials can easily identify the coordinates directly from the computer's Google Earth raster file.

Others can collect these coordinates simply using Google Maps or they can record coordinates directly from their handphones. These coordinates were put in the GIS

program and then converted to a 'KML' file and placed on Google Earth Health and Education staff were encouraged and assisted in some cases in the analysis of their data. The analysis was directly focused on data that displayed service delivery status like maternal, infant and child mortality. Analyses was also done on parameters like theresources available from midwives to motorcycles. This was spatially prepared in GIS and converted to a 'KML' file and placed in Google Earth.

The Google Earth presentation sequence was then recorded into a video for unassisted presentation.

Although BASICS is still in early stages of development, Google Earth, run off-line and started from the 'Power-Point Show' menu, is becoming a popular program to use byexecutive and OMS. It is expected, after more exposure, to quickly be adopted by the media as well.

A single presentation of it continues to result in numerous

Google Earth sebagai Alat untuk memberikan informasi kepada Pengambil kebijakan dalam perbaikan Kebutuhan SPM

Google Earth As Tool To Inform Decision Makers Of MSS Improvements Needed

9 MEI - JUNI 2013News Edisi 89 10 MEI - JUNI 2013News Edisi 89

PRAKTIK CERDAS

Wacana Utamaengambil keputusan (Eksekutif Senior, Legislatif, Bupati) membutuhkan informasi yang jelas, jernih dan mudah Pdipahami untuk membuat keputusan. Keterbatasan

waktu untuk penyajiaan dan analisis informasi untuk pengambil keputusan. Tabel data yang ada di Bidang Pendidikan, Kesehatan, dan lainnya yang menceritakan status MSS masing-masing sektor.

Tabel in i (Prof i l Pendidik an, Prof i l Kesehatan) dikelompokkan dalam 30 - 60 tabel yang mempunyai informasi yang berbeda. Ta b e l i n f o r m a s i i n i diringkas untuk dapat memberikan informasi berharga yang ak an membantu para pengambil keputusan mengalokasikan dana dalam APBD, khusus untuk daerah pelayanan ( S P M ) y a n g p a l i n g membutuhkan dana. Jika d i s a j i k a n d e n g a n penjelasan lisan atau tertulis yang rumit, tabel angka, atau grafik, maka akan ada risiko untuk pengambilan informasi minim oleh pengambil keputusan.

Representasi spasial dari data adalah metode yang terbukti efektif dan cepat untuk menyampaikan konsep kepada para pengambil keputusan. GIS dan Google Earth sekarang menjadi alat yang dapat menampilkan informasi ini dengan cepat dan ringkas dalam 3 dimensi oleh operator dengan sedikit atau tidak ada pelatihan sebelumnya.

Beberapa TantanganOperator Data di kabupaten dan kota lebih terampil

mengumpulkan dan merekam data dibandingkan menganalisanya. Data sering salah atau belum diverifikasi di kabupaten dan kantor Puskesmas atau sekolah yang tergantung pada pengumpulan data, di mana sumber daya manusia (SDM) terbatas sehingga pengumpulan data sering dilakukan oleh relawan tanpa pengawasan.

Google Earth biasanya membutuhkan akses ke internet untuk berfungsi. Akses internet sering tidak tersedia, terlalu lambat atau terlalu rumit untuk digunakan di banyak kabupaten dan kota.

Presentasi GIS memerlukan orang yang terlatih dalam program-program seperti ArcGIS. Program-program yang rumit, mahal dan memerlukan pelatihan yang luas untuk melakukannya.

Kualitas data raster (gambar di atas permukaan tanah) yang rinci di Amerika Utara atau Eropa, tetapi sering dari resolusi rendah atau berawan di daerah yang kurang penduduknya di Indonesia.

Banyak daerah tidak memiliki Koordinat spasial sekolah atau unit kesehatan.

What is the Issue ecision makers (Senior E x e c u t i v e , L e g i s l a t i v e , DBupati) need clear, lucid

a n d e a s i l y c o m p r e h e n s i b l e information to makedecisions.

Time is often limited to present analysed information to decision makers. Tables of data exist in Education, Health and other sectors that tell the MSS status of their respective sector.

These tables (Profil Pendidikan, Profil Kesehatan) are multi-clustered into 30 – 60 different tables. Summarized information from these tables can provide valuable information that will help

decision makers allocate funds in the APBD, specifically to the service areas (MSS) most in need of funds.

If presented with complicated verbal or written explanations, tables of figures, or charts, there is a risk of partial to minimum uptake of the information by these decision makers.

Spatial representation of data is a proven effective method of quickly conveying concepts to decision makers. GIS and Google Earth is now a tool that can display this information quickly and simply in 3 dimensional presentations by operators with little to no prior training.

Some Challenges Data operators in the districts and cities are more skilled at

collecting and recording data than analyzing it. Data is often incorrect or unverified in the districts and these sub-district offices (Puskesmas or schools) depend on the collection of this data, where human resources (SDM) are limited resulting in data collection often being done by unsupervised volunteers. Google Earth normally requires access to the internet to function. Internet access is often not available, too slow or too cumbersome to use in many districts and cities.

GIS representation requires a trained person in programs like ArcGIS. These programs are complicated, costly and require extensive training to use. The quality of the raster data (the images of the ground) are detailed in North America or Europe, but often of poor resolution or cloud covered in the less populated areas of Indonesian.

Many areas do not have the Spatial Coordinates of their schools or health units.

Langkah AksiBASICS telah bekerja dengan BAPPEDA, Dinas Kesehatan

dan Dinas Pendidikan, dan menunjukkan pentingnya informasi dari database tersebut untuk meningkatkan metode pengumpulan data, khususnya untuk penyediaan layanan.

Hal ini dilakukan melalui pelatihan ekstensif untuk operator data (orang yang menangani data), termasuk ratusan kader kesehatan yang tidak digaji, pada program untuk merekam data.

Dengan menunjukkan penggunaan data yang baik dalam peningkatan penyediaanpelayanan, kader bertanggung jawab atas hal tersebut, dan ternyata sangat efektif dalam meyakinkan mereka akan pentingnya validasi data.

BASICS mengontrak Penyedia Layanan GIS dan Google Earth untuk mengkompilasi raster (file gambar) untuk kabupaten dan kota terpilih (kemudian diperluas untuk mencakup seluruh kabupaten dan kota dampingan BASICS) menggunakan citra satelit beberapa tahun dengan Program Google Earth Pro yang mempunyai fungsi yang berbeda dengan google earth biasa. Fungsi Tambahan untuk Google earth Pro adalah data GIS dapat ditampilkan langsung dalam Google Earth Pro dan kita bisa membuat film serta masih banyak lagi kelebihan lainnya.

F i l e - f i l e r a s t e r y a n g disimpan dalam 'file cache' yang khusus yang disebut C a c h e G o o g l e E a r t h . Penggunaan cache komputer adalah normal prosedur Google Earth dan dalam proses standar menggunakan Google Earth, cache ini akan dihapus atau diubah menjadi cache file dari daerah scan bumi akhir dan data yang lama akan hilang.

F i l e c a c h e s e t e l a h dikumpulkan akan disediakan oleh 'Google Earth Pro' dan disimpan pada sebuah file terpisah. Setelah itu disimpan pada program download yang disebut 'Cache for Google Earth'. Cache ini dapat dipanggil/dibuka dengan komputer saat tidak terhubung ke internet dan Google Earth kemudian akan berjalan pada cache tersebut tanpa terhubung ke internet.

“Power Point Show” sederhana diciptakan untuk mengarahkan pengguna untuk file cache yang diperlukan dan mulai Google Earth. Layer GIS terbuat dari fitur standar untuk masing-masing kabupaten/kota seperti jalan, titik-titik koordinat sekolah atau fasilitas kesehatan (termasuk batas yang mengelilingi sekolah-sekolah dan fasilitas kesehatan).

Layer ini disiapkan di ArcGIS dan dikonversi ke file Google Earth dalam bentuk file 'KML'.

Jika koordinat sekolah dan fasilitas kesehatan tidak tersedia, BAPPEDA, Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan Kab./Kota menunjukkan bagaimana cara untuk mengumpulkan data ini.

Kepala Sekolah dan Pegawai kesehatan dapat dengan mudah mengidentifikasi koordinat langsung dari Google Earth. Yang lain bisa mengumpulkan koordinat cukup dengan menggunakan Google Maps atau mereka dapat mencatat koordinat langsung dari handphone mereka. Koordinat ini dimasukkan dalam Program GIS dan kemudian dibuatkan file 'KML' dan disimpan di Google Earth.

Staf Kesehatan dan Pendidikan didorong dan didampingi dalam beberapa hal dalam menganalisis data mereka. Analisis secara langsung difokuskan pada data yang ditampilkan status layanan yang ada seperti kematian ibu, bayi dan anak. Analisis juga dilakukan pada parameter seperti sumber daya yang tersedia dari bidan terhadap sepeda motor. Ini spasial disiapkan dalam GIS dan dikonversi ke file 'KML' dalam di

Action TakenBASICS has worked with, and demonstrated the information

potential of these databases with the BAPPEDA, Health, and The Education departments to improve their data collection methods, specifically for service provision.

This was done through extensive training of data handlers (including hundreds of unpaid health cadre) on programs to record the data. By demonstrating the use of good data in the improvement of the service provision which the cadres were responsible for, turned out to be very effective in convincing them of the importance of validated data.

BASICS contracted a GIS and Google Earth Service Provider to compile the raster (image files) for selected districts and cities (later expanded to include all BASICS districts and cities) by purchasing the program Google Earth Pro. Google Earth Pro has additional functions than the standard google earth program. One of the additional functions of Google Earth Pro is that it can display GIS data directly. it can also be used to make a movie.

The raster files were saved in a special 'cache file' called 'Cache for Google Earth'. The use of a computer cache is a normal

Google Earth procedure and in the standard process of using Google Earth, this cache gets deleted or changed overtime where cache files of scanned areas of the earth are eventually lost.

The cache files, once collected by 'Google Earth' were saved under a separate file. It was then placed in the downloadable program called 'Cache for Google Earth'. This cache can be called up into the computer while off-line and Google Earth will then run on this cache without being connected to the internet.

A simple 'Power-point Show' file was created to direct

the user to the necessary cache files and start Google Earth. GIS layers were made of standard features for each district/city such as roads, coordinates of schools or health facilities (including buffers around these schools and health facilities).

These layers were prepared in ArcGIS and converted to a Google Earth readable file called 'KML' and then placed into Google Earth. were not available, the district/city BAPPEDA, education departments and heal the departments were shown how to collect this data. School inspectors and Health officials can easily identify the coordinates directly from the computer's Google Earth raster file.

Others can collect these coordinates simply using Google Maps or they can record coordinates directly from their handphones. These coordinates were put in the GIS

program and then converted to a 'KML' file and placed on Google Earth Health and Education staff were encouraged and assisted in some cases in the analysis of their data. The analysis was directly focused on data that displayed service delivery status like maternal, infant and child mortality. Analyses was also done on parameters like theresources available from midwives to motorcycles. This was spatially prepared in GIS and converted to a 'KML' file and placed in Google Earth.

The Google Earth presentation sequence was then recorded into a video for unassisted presentation.

Although BASICS is still in early stages of development, Google Earth, run off-line and started from the 'Power-Point Show' menu, is becoming a popular program to use byexecutive and OMS. It is expected, after more exposure, to quickly be adopted by the media as well.

A single presentation of it continues to result in numerous

Google Earth sebagai Alat untuk memberikan informasi kepada Pengambil kebijakan dalam perbaikan Kebutuhan SPM

Google Earth As Tool To Inform Decision Makers Of MSS Improvements Needed

11 MEI - JUNI 2013News Edisi 89 12 MEI - JUNI 2013News Edisi 89

Google Earth. Presentasi Google Earth kemudian direkam ke dalam video untuk presentasi tanpa bantuan.

Meskipun BASICS masih dalam tahap awal pengembangan, Google Earth, tanpa hubungan internet dan mulai dari menu 'Power-Point Show', menjadi program yang populer digunakan oleh eksekutif dan OMS. Diharapkan, setelah lebih terekspos, dengan cepat dapat diadopsi melalui media juga. Sebuah presentasi tunggal terus menghasilkan banyak permintaan untuk file. Setiap orang dapat menjalankannya, bebas dan off-line, tanpa ada pelatihan, tampaknya memiliki serapan tinggi di kabupaten dan kota.

Hal ini juga populer di Pemerintah Provinsi dengan seringnya permintaan untuk salinan. Konversi file ke video juga telah terbukti efektif untuk para pengambil keputusan dalam mengulas pesan SPM setiap saat, di mana saja saat menggunakan laptop atau tablet mereka (Google Earth berjalan pada Windows, apple dan tablet android).

Didemonstrasikan kepada staf LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan) di Kendari, para staf telah menerapkannya. Mereka telah menggunakan sumber daya keuangan mereka sendiri untuk mengikuti satu minggu pelatihan GIS di Universitas Hasanuddin, Fakultas Kehutanan tentang penggunaan GIS dengan Google Earth. Mereka juga memperoleh dan mulai menggunakan cache Google Earth. Pada 2012, mereka mempresentasikan ini ke pertemuan nasional tentang pendidikan dan diterima dengan baik.

Kerjasama Staf BASICS dengan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin telah bekerja dengan baik. Pembentukan hubungan seperti ini dengan Unhas atau penyedia layanan lainnya oleh SKPD Kesehatan, Pendidikan atau BAPPEDA belum dieksplorasi (dengan pengecualian LPMP Kendari). Hal ini, kami berharap akan diuji kepada SKPD lain yang tertarik pada tahun 2013.

Demikian pula OMS telah menunjukkan minat dalam menggunakan alat ini. Pemanfaatan penuh oleh mereka ini sangat dianjurkan. BASICS memprakarsai multipihak untuk menganalisis anggaran APBD dengan terus melibatkan OMS membuat presentasi kepada legislatif dan eksekutif. Mereka sekarang mengenali dampak yang efektif untuk membuat kasus mereka dengan menggunakan presentasi Google Earth.

Media sering menghadiri acara multipihak, dan, diharapkan, juga dengan mudah menyalin file-file grafis untuk digunakan dalam laporan mereka. Serapan OMS dan Media diperkirakan akan meningkat pada tahun 2013. BASICS akan melaporkan serapan lanjut / dampak dalam laporan tahunan 2013.

BAPPEDA Sulawesi Utara, khususnya Kepala BAPPEDA dalam proses pembangunan kembali kapasitas perencanaan spasial kantornya 'sebagai konsekuensi dari melihat dan menggunakan alat ini (Google Earth). Dukungan kuat datang dari BAPPEDA untuk lebih menyebarkan alat ini ('Google Earth').

PembelajaranPenyajian data spasial SPM dengan menggunakan Google

Earth mempunyai kemungkinan besar untuk menyampaikan informasi dan status SPM yang jelas dan efektif.

Peningkatkan teknologi dalam perencanaan tata ruang secara digital, mempunyai banyak keuntungan yang diperoleh untuk digunakan oleh PNS, OMS atau media.

Contoh GIS dengan menggunakan Google Earth untuk menyajikan dengan baik tentang keterlibatan publik (melalui media dan OMS) dalam partisipasi peningkatan layanan yang mereka disediakan.

Alat ini juga memberikan informasi yang berharga bagi para pengambil keputusan yang secara langsung dapat memusatkan perhatian mereka pada kesenjangan kekurangan dana dalam penyampaian layanan. Hal ini pada gilirannya membantu kabupaten dan kota meningkatkan SPM dan MDGs mereka.

requests for the file. As anyone can run it, free and off-line without any training, it appears to have high uptake in the districts and cities. It is also popular in the Provincial Governments with frequent requests for copies.

The conversion of the file to video has also proven effective for the decision makers to review the MSS message at anytime, anywhere using their own laptops or tablets (Google Earth runs on windows, apple and android tablets).

Demonstrated to staff from LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan) in Kendari, the staff have adopted the tool. They have, using their own financial resources, attended a week of GIS training at Hasanuddin University, Forestry Faculty on the use of GIS with Google Earth. They also acquired and started using cached Google Earth files. In 2012, they presented this to a national conference on education where it was favorably received.

Arrangements for BASICS staff with the Forestry Dept. of Hasanuddin University has worked out well. The establishment of relationships like this with Unhas or other service providers by the departements of Health, Education or BAPPEDA has not yet been explored (with the exception of LPMP Kendari). This, we expect, will be tested by other interested Departement in 2013.

Similarly OMS have shown interest in using the tool. Full uptake by them is highly encouraged. The BASICS initiated multipihak APBD budget analysis continues to involve OMS making branches. They now recognize the effective impact of making their case with Google Earth presentations.

Media often attend these multipihak events, and, it is expected, will also want to simply copy the graphics in these files to use in their reporting. Both OMS and Media uptake is expected to increase in 2013. BASICS will be reporting on further uptake/impact in the 2013 annual report.

The North Sulawesi BAPPEDA and specifically the Kepala BAPPEDA is in the process of rebuilding his offices spatial planning capacity as a consequence of seeing and using this Google Earth tool. Strong support is forthcoming from this BAPPEDA to further disseminate this 'Google Earth' tool .

Lessons Learned Spatial presentation of MSS data using Google Earth has a

high likelihood of conveying information and MSS status clearly and effectively.

As technology improves in digital spatial planning, more opportunities are created for it to be used by civil servants (PNS), OMS or media. This example of a GIS tool using Google Earth presents a good opportunity for the involvement of the public (through the media and OMS) in participating in the improvement of the services that they are provided.

“Satu motivasi bagi pemberdayaan perempuan merupakan keadilan dan kesusilaan yang bersifat dasar. Gadis muda seharusnya memiliki kesempatan yang sama persis yang didapat oleh laki-laki untuk memimpin kehidupan secara penuh dan produktif. Tetapi kedua, pemberdayaan perempuan adalah ekonomi yang pintar. Kenyataannya studi menunjukkan bahwa investasi

1didalam perempuan menghasilkan laba ekonomi dan sosial yang besar.”

“ One motivation for women's empowerment is basic fairness and decency. Young girls should have the exact same opportunities that boys do to lead full and productive lives. But second, the empowerment of women is smart economics. (…) In fact studies show that investments in women yield large social and

4economic returns.”

erempuan merupakan kekuatan utama di kegiatan sosio-ekonomi di Indonesia dan didalam pengurangan Pkemiskinan. Sebuah pembelajaran penting selama krisis

keuangan 1997/1998 adalah, peran yang penting yang dimainkan oleh usaha kecil dan mikro perempuan didalam melindungi keluarga dan masyarakat dari kejutan ekonomi.

Pemerintah menginginkan untuk meningkatkan kapasitas usaha mikro, kecil dan medium (MSME) yang menyumbang

2hingga 58 persen GDP sebagai bagian dari pengentasan kemiskinan. Perempuan di Indonesia memiliki sekitar 39% usaha mikro dan kecil, sebagian besar ditingkat mikro sehingga mereka bisa mendapatkan untung dan mengurus rumahnya. Sejak kehidupan pribadi dan publik perempuan berkaitan satu dengan yang lain, upaya-upaya untuk meningkatkan usaha mereka harus mempertimbangkan peran rumah tangga dan perlu untuk mengembangkan rasa percaya diri, kapasitas dan jaringan mereka sehingga mereka dapat menciptakan dan mendapat manfaat dari kesempatan usaha.

ACC E S S

MERAJUT MASA DEPAN YANG LEBIH CERAH BAGI KAUM KAUM MISKIN PEREMPUAN

omen are a major force in Indonesia's socio-economic activities and in poverty reduction. An important lesson Wfor Indonesia during the 1997/1998 financial crisis was

the significant role played by women's micro and small businesses in protecting families and communities from economic shocks.

The Government wants to improve the capacity of micro, small and medium enterprises (MSMEs) which contribute close to 58 percent of GDP (Bappenas 2010) as part of poverty reduction. Women in Indonesia own around 39% of micro and small businesses, mostly at the micro level so they can earn money and also take care of the home. Since women's public and private lives are inextricably linked, efforts to improve their enterprises have to take into account their domestic roles and the need to build their confidence, capacity and networks so they can create and take advantage of business opportunities.

Civil society organizations and governments are already helping women increase their access to credit, training and markets which could be strengthened if private finance institutions and training providers created products tailored to the needs of

Cerita Perubahan Aspuk Cerita Perubahan Aspuk

Aspuk Change Story Weaving A Brighter Future For Poor Women

Aspuk Change Story Weaving A Brighter Future For Poor Women

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Kunjungi website program BASICS di www.basicsproject.or.id atau email [email protected]

11 MEI - JUNI 2013News Edisi 89 12 MEI - JUNI 2013News Edisi 89

Google Earth. Presentasi Google Earth kemudian direkam ke dalam video untuk presentasi tanpa bantuan.

Meskipun BASICS masih dalam tahap awal pengembangan, Google Earth, tanpa hubungan internet dan mulai dari menu 'Power-Point Show', menjadi program yang populer digunakan oleh eksekutif dan OMS. Diharapkan, setelah lebih terekspos, dengan cepat dapat diadopsi melalui media juga. Sebuah presentasi tunggal terus menghasilkan banyak permintaan untuk file. Setiap orang dapat menjalankannya, bebas dan off-line, tanpa ada pelatihan, tampaknya memiliki serapan tinggi di kabupaten dan kota.

Hal ini juga populer di Pemerintah Provinsi dengan seringnya permintaan untuk salinan. Konversi file ke video juga telah terbukti efektif untuk para pengambil keputusan dalam mengulas pesan SPM setiap saat, di mana saja saat menggunakan laptop atau tablet mereka (Google Earth berjalan pada Windows, apple dan tablet android).

Didemonstrasikan kepada staf LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan) di Kendari, para staf telah menerapkannya. Mereka telah menggunakan sumber daya keuangan mereka sendiri untuk mengikuti satu minggu pelatihan GIS di Universitas Hasanuddin, Fakultas Kehutanan tentang penggunaan GIS dengan Google Earth. Mereka juga memperoleh dan mulai menggunakan cache Google Earth. Pada 2012, mereka mempresentasikan ini ke pertemuan nasional tentang pendidikan dan diterima dengan baik.

Kerjasama Staf BASICS dengan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin telah bekerja dengan baik. Pembentukan hubungan seperti ini dengan Unhas atau penyedia layanan lainnya oleh SKPD Kesehatan, Pendidikan atau BAPPEDA belum dieksplorasi (dengan pengecualian LPMP Kendari). Hal ini, kami berharap akan diuji kepada SKPD lain yang tertarik pada tahun 2013.

Demikian pula OMS telah menunjukkan minat dalam menggunakan alat ini. Pemanfaatan penuh oleh mereka ini sangat dianjurkan. BASICS memprakarsai multipihak untuk menganalisis anggaran APBD dengan terus melibatkan OMS membuat presentasi kepada legislatif dan eksekutif. Mereka sekarang mengenali dampak yang efektif untuk membuat kasus mereka dengan menggunakan presentasi Google Earth.

Media sering menghadiri acara multipihak, dan, diharapkan, juga dengan mudah menyalin file-file grafis untuk digunakan dalam laporan mereka. Serapan OMS dan Media diperkirakan akan meningkat pada tahun 2013. BASICS akan melaporkan serapan lanjut / dampak dalam laporan tahunan 2013.

BAPPEDA Sulawesi Utara, khususnya Kepala BAPPEDA dalam proses pembangunan kembali kapasitas perencanaan spasial kantornya 'sebagai konsekuensi dari melihat dan menggunakan alat ini (Google Earth). Dukungan kuat datang dari BAPPEDA untuk lebih menyebarkan alat ini ('Google Earth').

PembelajaranPenyajian data spasial SPM dengan menggunakan Google

Earth mempunyai kemungkinan besar untuk menyampaikan informasi dan status SPM yang jelas dan efektif.

Peningkatkan teknologi dalam perencanaan tata ruang secara digital, mempunyai banyak keuntungan yang diperoleh untuk digunakan oleh PNS, OMS atau media.

Contoh GIS dengan menggunakan Google Earth untuk menyajikan dengan baik tentang keterlibatan publik (melalui media dan OMS) dalam partisipasi peningkatan layanan yang mereka disediakan.

Alat ini juga memberikan informasi yang berharga bagi para pengambil keputusan yang secara langsung dapat memusatkan perhatian mereka pada kesenjangan kekurangan dana dalam penyampaian layanan. Hal ini pada gilirannya membantu kabupaten dan kota meningkatkan SPM dan MDGs mereka.

requests for the file. As anyone can run it, free and off-line without any training, it appears to have high uptake in the districts and cities. It is also popular in the Provincial Governments with frequent requests for copies.

The conversion of the file to video has also proven effective for the decision makers to review the MSS message at anytime, anywhere using their own laptops or tablets (Google Earth runs on windows, apple and android tablets).

Demonstrated to staff from LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan) in Kendari, the staff have adopted the tool. They have, using their own financial resources, attended a week of GIS training at Hasanuddin University, Forestry Faculty on the use of GIS with Google Earth. They also acquired and started using cached Google Earth files. In 2012, they presented this to a national conference on education where it was favorably received.

Arrangements for BASICS staff with the Forestry Dept. of Hasanuddin University has worked out well. The establishment of relationships like this with Unhas or other service providers by the departements of Health, Education or BAPPEDA has not yet been explored (with the exception of LPMP Kendari). This, we expect, will be tested by other interested Departement in 2013.

Similarly OMS have shown interest in using the tool. Full uptake by them is highly encouraged. The BASICS initiated multipihak APBD budget analysis continues to involve OMS making branches. They now recognize the effective impact of making their case with Google Earth presentations.

Media often attend these multipihak events, and, it is expected, will also want to simply copy the graphics in these files to use in their reporting. Both OMS and Media uptake is expected to increase in 2013. BASICS will be reporting on further uptake/impact in the 2013 annual report.

The North Sulawesi BAPPEDA and specifically the Kepala BAPPEDA is in the process of rebuilding his offices spatial planning capacity as a consequence of seeing and using this Google Earth tool. Strong support is forthcoming from this BAPPEDA to further disseminate this 'Google Earth' tool .

Lessons Learned Spatial presentation of MSS data using Google Earth has a

high likelihood of conveying information and MSS status clearly and effectively.

As technology improves in digital spatial planning, more opportunities are created for it to be used by civil servants (PNS), OMS or media. This example of a GIS tool using Google Earth presents a good opportunity for the involvement of the public (through the media and OMS) in participating in the improvement of the services that they are provided.

“Satu motivasi bagi pemberdayaan perempuan merupakan keadilan dan kesusilaan yang bersifat dasar. Gadis muda seharusnya memiliki kesempatan yang sama persis yang didapat oleh laki-laki untuk memimpin kehidupan secara penuh dan produktif. Tetapi kedua, pemberdayaan perempuan adalah ekonomi yang pintar. Kenyataannya studi menunjukkan bahwa investasi

1didalam perempuan menghasilkan laba ekonomi dan sosial yang besar.”

“ One motivation for women's empowerment is basic fairness and decency. Young girls should have the exact same opportunities that boys do to lead full and productive lives. But second, the empowerment of women is smart economics. (…) In fact studies show that investments in women yield large social and

4economic returns.”

erempuan merupakan kekuatan utama di kegiatan sosio-ekonomi di Indonesia dan didalam pengurangan Pkemiskinan. Sebuah pembelajaran penting selama krisis

keuangan 1997/1998 adalah, peran yang penting yang dimainkan oleh usaha kecil dan mikro perempuan didalam melindungi keluarga dan masyarakat dari kejutan ekonomi.

Pemerintah menginginkan untuk meningkatkan kapasitas usaha mikro, kecil dan medium (MSME) yang menyumbang

2hingga 58 persen GDP sebagai bagian dari pengentasan kemiskinan. Perempuan di Indonesia memiliki sekitar 39% usaha mikro dan kecil, sebagian besar ditingkat mikro sehingga mereka bisa mendapatkan untung dan mengurus rumahnya. Sejak kehidupan pribadi dan publik perempuan berkaitan satu dengan yang lain, upaya-upaya untuk meningkatkan usaha mereka harus mempertimbangkan peran rumah tangga dan perlu untuk mengembangkan rasa percaya diri, kapasitas dan jaringan mereka sehingga mereka dapat menciptakan dan mendapat manfaat dari kesempatan usaha.

ACC E S S

MERAJUT MASA DEPAN YANG LEBIH CERAH BAGI KAUM KAUM MISKIN PEREMPUAN

omen are a major force in Indonesia's socio-economic activities and in poverty reduction. An important lesson Wfor Indonesia during the 1997/1998 financial crisis was

the significant role played by women's micro and small businesses in protecting families and communities from economic shocks.

The Government wants to improve the capacity of micro, small and medium enterprises (MSMEs) which contribute close to 58 percent of GDP (Bappenas 2010) as part of poverty reduction. Women in Indonesia own around 39% of micro and small businesses, mostly at the micro level so they can earn money and also take care of the home. Since women's public and private lives are inextricably linked, efforts to improve their enterprises have to take into account their domestic roles and the need to build their confidence, capacity and networks so they can create and take advantage of business opportunities.

Civil society organizations and governments are already helping women increase their access to credit, training and markets which could be strengthened if private finance institutions and training providers created products tailored to the needs of

Cerita Perubahan Aspuk Cerita Perubahan Aspuk

Aspuk Change Story Weaving A Brighter Future For Poor Women

Aspuk Change Story Weaving A Brighter Future For Poor Women

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Kunjungi website program BASICS di www.basicsproject.or.id atau email [email protected]

Organisasi Masyarakat sipil dan pemerintah telah membantu perempuan meningkatkan akses mereka terhadap kredit, pelatihan dan pasar yang dapat dikuatkan bila lembaga keuangan swasta dan penyedia layanan menciptakan produk yang dirancang khusus bagi kebutuhan usaha mikro perempuan yang seringkali berada pada batasan usaha.

ASPUK-NT (Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil Wilayah-NT) dan Jaringan Perempuan Usaha Kecil (JARPUK) merupakan satu organisasi masyarakat sipil yang menguatkan potensi usaha perempuan. Mereka membantu usaha mikro membentuk Kelompok Perempuan Usuha Kecil (KPUK) dengan 10-15 anggota yang secara rutin bertemu untuk berbagi informasi dan sumber daya untuk meningkatkan potensi pendapatan mereka. KPUK mendorong perempuan untuk menggunakan aset-aset mereka secara lebih efektif lagi dan untuk menghasilkan keuangan mikro mereka sendiri.

Mereka memberikan sebuah mekanisme kredit alternatif yang berbiaya rendah, beresiko rendah kepada bank dan lembaga kredit yang membantu perempuan miskin untuk melancarkan konsumsi mereka, mengelola resiko secara lebih baik lagi, mengembangkan aset mereka secara bertahap, mengembangkan usaha mikro mereka dan menikmati peningkatan kualitas hidup mereka, Mereka juga belajar mengenai hak-hak mereka untuk berpartisipasi didalam pembuatan keputusan masyarakat dan memiliki akses terhadap usaha, pelayanan kesehatan dan pendidikan.

Pada Oktober 2009, ASPUK NT dan JARPUK memulai sebuah kemitraan dengan ACCESS Tahap II, sebuah program penguatan masyarakat sipil pemerintah Australia-Indonesia, untuk memperluas pembentukan pengusaha mikro perempuan di Lombok Tengah, NTB. Melalui sebuah 'pendekatan yang mengalir' 250 perempuan dilatih dan pada akhirnya mereka mempengaruhi dan mendorong 5 lainnya untuk mendirikan sebuah kelompok mandiri. Ketika program dimulai, terdapat 162 perempuan yang terlibat dengan jaringan

3dan hari ini terdapat 1,306 anggota di 120 kelompok. KPUK Harapan merupakan salah satu kelompok di desa

Batu Jai di kecamatan Praya Barat di kabupaten Lombok Tengah. Batu Jai memiliki populasi sebanyak 11,583 orang yang tinggal di 13 dusun dengan mayoritas orang yang bekerja sebagai petani sawah dan buruh tani, sementara perempuan juga seorang penenun. KPUK Harapan mulai pada Februari 2010 dan telah memiliki lima belas anggota yang sebagian besar miskin dengan sepertiganya tidak menikah atau janda.

Kelompok memutuskan bagaimana mereka seharusnya beroperasi, termasuk mendirikan sebuah program simpan pinjam. Bagi banyak orang hal ini merupakan pengalaman pertama mereka terlibat didalam pembuatan keputusan publik dan tata kepemerintahan.

KPUK Harapan mengkhususkan kegiatannya dalam menenun antang, seringkali digunakan perempuan untuk dililitkan di perut mereka setelah melahirkan anak. Dua bulan setelah mereka terbentuk, kemlompok tersebut mulai mengumpulkan uang dengan cara menabung lima ribu rupiah setiap orangnya – saat ini mereka menyumbang seribu rupiah setiap minggunya.

Anggota dapat meminjam hingga 150 ribu rupiah dimana akan mereka pakai untuk membeli bahan tenun atau membayar sekolah, kesehatan atau makanan. Sebagian besar pinjaman beragam dari 30 – 50 ribu rupiah tanpa bunga kecuali mereka memerlukan waktu lebih lama untuk mengembalikannya maka akan dikenakan bunga sebanyak 1-2 percent. Hal ini berarti, perempuan tidak lagi harus meminjam uang dari tetangga, dengan resiko dieksploitasi, dan merasa tertekan karena memiliki hutang. Seorang anggota, Inaq Saeful, menyukai

kenyataan bahwa dia tidak harus meminjam uang dalam jumlah yang banyak. Dia pernah dalam sebuah kelompok sepuluh perempuan yang meminjam satu juta rupiah dari bank, tetapi mereka gagal membayar dikarenakan sebagian dari mereka tidak sanggup mengembalikan uang sebanyak itu.

Sebagian besar perempuan menenun secara paruh waktu untuk menambah pendapatannya dari bekerja di sawah. Pendapatan mereka telah meningkat, rata-rata 33 persen, dari 90 ribu hingga 120 ribu rupiah per bulannya.

Pendapatan dari seorang perempuan yang menenun secara full time meningkat lebih dari 100 percent dari 105 ribu hingga 240 ribu rupiah. Peningkatan itu berasal dari penjualan secara kolektif daripada perorangan. Setiap perempuan menjual kainnya kepada KPUK seharga 75 ribu rupiah per potong, dimana dijual di pasar oleh seorang perempuan dan dijual seharga 80 ribu rupiah dan keuntungannya masuk kedalam kas. Ini tidak hanya mengurangi biaya transportasi tetapi menghemat waktu yang berharga. Perubahan tersebut juga meningkat karena saat ini mereka juga bepergian lebih jauh lagi sehingga mereka dapat menjualnya di lebih banyak pasar. Dikarenakan hal ini sebagian perempuan yang lebih tua mengajukan permohonan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Mereka menjelaskan dengan bangga,“Dulu kami tidak pergi kemanapun sehingga kami tidak membutuhkan KTP. Sekarang kami ingin bepergian, jadi kami membutuhkan KTP”.

Dengan rata-rata pengeluaran sehari-hari sebanyak 14 ribu rupiah per hari, tambahan pendapatan meningkatkan anggaran rumah tangga untuk makanan dan biaya pendididkan dan kesehatan. Juga memberikan modal tambahan untuk membeli bahan material untuk tenun. Bagi mereka yang mampu juga bisa menabung uang melalui arisan (kelompok simpan pinjam) untuk menginvestasikan didalam aset-aset seperti halnya hewan atau emas.

Perempuan mencari cara untuk memperluas usaha mereka. Satu kesempatan adalah untuk mendapat manfaat dari pasar turis akibat adanya bandara yang baru yang akan dibuka tahun depan dekat desa. Untuk hal ini, mereka harus belajar bahasa Indonaesia dan meningkatkan kemampuan baca-tulis dan komputer. Baca-tulis khususnya penting bagi anggota yang sudah tua, seperti yang dijelaskan oleh salah seorang perempuan, “bila kami bisa membaca dan menulis, maka kami tidak dapat dibohongi oleh orang dari luar”.

Kelompok yang telah bergabung di jaringan desa kelompok artisan perempuan (penenun dan penjahit) di Batu Jai yang disebut Alliansi yang dengan sukses mendapatkan dana melalui program PNPM Mandiri pemerintah untuk membangun sebuah Pasar Seni di desa untuk menjual kerajinan tangan. Mereka mungkin segera menjualnya melalui Galeri SMESCO bersama Jarpuk yang akhir-akhir ini menandatangani sebuah perjanjian untuk memasarkan produk dari NTB. Dan pula, mereka berharap untuk dimasukkan dalam keputusan pemerintah kabupaten yang mensyaratkan semua pekerja publik dan anak sekolah untuk memakai kain tenun tradisional. Kelompok tersebut sangat ingin untuk meningkatkan kemampuan dan manajemen dan perencanaan usaha mereka, akses terhadap kredit berbiaya rendah lainnya dan tehnologi sehingga mereka dapat meluaskan hasilnya.

Meskipun demikian, peningkatan pendapatan bukan satu-satunya manfaat. Perempuan khususnya menikmati berkumpul bersama untuk berdiskusi setelah beribadah malam. Perempuan yang lebih tua khususnya bersifat apresiatif, setelah sekian lama merasa terisolasi di rumah mereka dengan akses yang sangat kecil terhadap informasi. Bagi mereka mendapatkan pengetahuan yang baru merupakan manfaat yang paling besar dan seperti yang mereka bilang “kami lebih

women's micro enterprises which are often on the business margin.ASPUK-NT (Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil

Wilayah-NT) and the Jaringan Perempuan Usaha Kecil (JARPUK local network of Women's Small Businesses) is one civil society organisation that strengthen's women's business potential. They help micro entrepreneurs set up Kelompok Perempuan Usuha Kecil (KPUK) with 10-15 members who regularly meet to share information and resources to improve their earning potential. KPUK encourages women to use their assets more effectively and to generate their own micro finance.

They provide an alternative low cost, low risk alternative credit mechanism to banks and credit unions which help poor women to smooth their consumption, manage risks better, build their assets gradually, develop their micro-enterprises and enjoy an improved quality of life. They also learn about their rights to participate in community decision making and have access to business, health and education services.

In October 2009, ASPUK NT and JARPUK began a partnership with ACCESS Phase II, an Australia-Indonesian government civil society strengthening program, to scale up the establishment of women micro-entrepreneurs in Central Lombok, NTB. Through a 'cascade approach', 250 women are being trained and in turn they influence and encourage 5 others to set up self help groups. When the program started, there were 162 women involved with the network and today there are 1306 members in 120 groups.

KPUK Harapan (KPUK Hope) is one such group in Batu Jai village in sub district Praya Barat in Lombok Tengah district. Batu Jai has a population of 11,583 living in 13 hamlets with the majority of people working as rice farmers and farm labourers, while women are also weavers. KPUK Harapan began in February 2010 and has fifteen members, mostly poor, with a third unmarried or widowed.

The group decided how they should operate, including setting up a savings and loan scheme. For many this was their first experience of being involved in public decision making and governance.

KPUK Harapan specializes in weaving antang, commonly used by women for binding their abdomens after giving birth. Two months after they set up, the group started a savings pool by investing 5,000 rupiah each - now they contribute 1,000 rupiah every week.

Members can borrow up to 150 thousand rupiah with which they buy materials for weaving or pay for schooling, health and food. Most loans range from 30 -50 thousand rupiah without interest unless they need extra time in which case the interest is 1-2 percent. This means women no longer have to borrow money from neighbours, with the risk of exploitation, and feel less stress of being in debt. One member, Inaq Saeful, likes the fact that she does not have to borrow large amounts. She was once in a group of ten women that borrowed one million rupiah from the bank, but they had to default because some of them could not pay back such a large amount.

Most of the women weave part time to supplement their incomes from working in rice paddies. Their incomes have already increased, on average around 33 percent, from 90-120 thousand rupiah per month.

The income of one woman who weaves full time increased more than 100 percent from 105 thousand to 240 thousand rupiah. The increase comes mostly from selling collectively rather than individually. Each woman sells her cloth to the KPUK for 75 thousand rupiah apiece which is then taken to market by one woman and sold for 80 thousand rupiah and the profits go into the savings pool. This not only reduces transport costs but saves precious time. Turnover has also increased as they now travel further so they can sell in more markets. Because of this, some of the older women have applied for a KTP. They explained with pride: “Before we didn't go anywhere so we didn't need a KTP. Now we want to travel, we need one”.

With an average daily expenditure of around 14 thousand rupiah per day, the additional income boosts the household budget for food and education or health costs. It also provides additional

capital to buy more materials for weaving. Those who can afford it also save money through arisan groups to invest in assets such as animals or gold.

The women are looking for ways to expand their business. One such opportunity is to benefit from the tourist market as a result of the new airport due to open next year near the village. For this, they want to learn Indonesian and improve their literacy and computing skills. Literacy is particularly important to the older members, for as one woman explained, “if we can read and write, then we can't be lied to by outside people”.

The group has joined the village network of women's artisan groups (weavers and tailors) in Batu Jai called Alliansi that successfully got funds through the government's PNPM Mandiri program to construct a Pasar Seni in the village to sell handicrafts. They may soon be selling through the Jakarta SMESCO Galley with Jarpuk recently signing an agreement to market traditional weaving products from NTB. In addition, they hope to capitalise from a district government decision requiring all public workers and school children to wear traditional woven cloth. The group is very keen to improve their business planning and management skills, access to other low cost credit and technologies so they can expand their production.

However, increased incomes is not the only benefit. The women particularly enjoy getting together for discussions after evening prayers. The older women are particularly appreciative, having been isolated in their homes for years with little access to information. For them, getting new knowledge is the biggest benefit and as they say “we would rather have training than money”. Some women have been trained as office bearers and in negotiating, organizational leadership, advocacy and book keeping as well as gender based budgeting analysis skills. They in turn pass on their skills and knowledge to other KPUK members.

They are also learning about their rights as citizens. Having learnt that PNPM and Musrenbang were open meetings, they decided to send a delegation of three women to the Musrenbang Desa to put forward their priorities. Two women from the village later attended the Musrenbang at sub district and district without being invited. Eighty per cent of the proposals from Batu Jai have been funded by SKPD including for training to improve productive skills including weaving quality, expanding motifs, tailoring, home industries and cooking, a village salon and capital for micro enterprises and cooperatives.

The women in KPUK Harapan are beginning to appreciate that they have a role in influencing decisions about their communities and in tackling local problems. Many are starting to recognise how how gender relations are limiting their freedom and opportunities and seeing the value of networking to empower themselves through sharing experiences and challenges, getting new information and expressing their ideas about how they can improve their lives and livelihoods.

In working collectively, being accountable to one another and thinking more critically about their situations, the women are also developing a sense of personal and collective power, social solidarity and autonomy. They are proud of their group and value the opportunities to pursue their dreams of a better life.

13 MEI - JUNI 2013News Edisi 89 14 MEI - JUNI 2013News Edisi 89

1 “Para Menteri, Bank President, Pemberdayaan Perempuan Tout sebagai Tujuan Pengembangan Utama,” Pemberitaan World Bank, 12 April 2009.

2 Bappenas 20103 Ditulis tahun 20114 “Ministers, Bank President, Tout Women's Empowerment as Key Development Goal,”

The World Bank News Release, April 12, 2009.

Organisasi Masyarakat sipil dan pemerintah telah membantu perempuan meningkatkan akses mereka terhadap kredit, pelatihan dan pasar yang dapat dikuatkan bila lembaga keuangan swasta dan penyedia layanan menciptakan produk yang dirancang khusus bagi kebutuhan usaha mikro perempuan yang seringkali berada pada batasan usaha.

ASPUK-NT (Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil Wilayah-NT) dan Jaringan Perempuan Usaha Kecil (JARPUK) merupakan satu organisasi masyarakat sipil yang menguatkan potensi usaha perempuan. Mereka membantu usaha mikro membentuk Kelompok Perempuan Usuha Kecil (KPUK) dengan 10-15 anggota yang secara rutin bertemu untuk berbagi informasi dan sumber daya untuk meningkatkan potensi pendapatan mereka. KPUK mendorong perempuan untuk menggunakan aset-aset mereka secara lebih efektif lagi dan untuk menghasilkan keuangan mikro mereka sendiri.

Mereka memberikan sebuah mekanisme kredit alternatif yang berbiaya rendah, beresiko rendah kepada bank dan lembaga kredit yang membantu perempuan miskin untuk melancarkan konsumsi mereka, mengelola resiko secara lebih baik lagi, mengembangkan aset mereka secara bertahap, mengembangkan usaha mikro mereka dan menikmati peningkatan kualitas hidup mereka, Mereka juga belajar mengenai hak-hak mereka untuk berpartisipasi didalam pembuatan keputusan masyarakat dan memiliki akses terhadap usaha, pelayanan kesehatan dan pendidikan.

Pada Oktober 2009, ASPUK NT dan JARPUK memulai sebuah kemitraan dengan ACCESS Tahap II, sebuah program penguatan masyarakat sipil pemerintah Australia-Indonesia, untuk memperluas pembentukan pengusaha mikro perempuan di Lombok Tengah, NTB. Melalui sebuah 'pendekatan yang mengalir' 250 perempuan dilatih dan pada akhirnya mereka mempengaruhi dan mendorong 5 lainnya untuk mendirikan sebuah kelompok mandiri. Ketika program dimulai, terdapat 162 perempuan yang terlibat dengan jaringan

3dan hari ini terdapat 1,306 anggota di 120 kelompok. KPUK Harapan merupakan salah satu kelompok di desa

Batu Jai di kecamatan Praya Barat di kabupaten Lombok Tengah. Batu Jai memiliki populasi sebanyak 11,583 orang yang tinggal di 13 dusun dengan mayoritas orang yang bekerja sebagai petani sawah dan buruh tani, sementara perempuan juga seorang penenun. KPUK Harapan mulai pada Februari 2010 dan telah memiliki lima belas anggota yang sebagian besar miskin dengan sepertiganya tidak menikah atau janda.

Kelompok memutuskan bagaimana mereka seharusnya beroperasi, termasuk mendirikan sebuah program simpan pinjam. Bagi banyak orang hal ini merupakan pengalaman pertama mereka terlibat didalam pembuatan keputusan publik dan tata kepemerintahan.

KPUK Harapan mengkhususkan kegiatannya dalam menenun antang, seringkali digunakan perempuan untuk dililitkan di perut mereka setelah melahirkan anak. Dua bulan setelah mereka terbentuk, kemlompok tersebut mulai mengumpulkan uang dengan cara menabung lima ribu rupiah setiap orangnya – saat ini mereka menyumbang seribu rupiah setiap minggunya.

Anggota dapat meminjam hingga 150 ribu rupiah dimana akan mereka pakai untuk membeli bahan tenun atau membayar sekolah, kesehatan atau makanan. Sebagian besar pinjaman beragam dari 30 – 50 ribu rupiah tanpa bunga kecuali mereka memerlukan waktu lebih lama untuk mengembalikannya maka akan dikenakan bunga sebanyak 1-2 percent. Hal ini berarti, perempuan tidak lagi harus meminjam uang dari tetangga, dengan resiko dieksploitasi, dan merasa tertekan karena memiliki hutang. Seorang anggota, Inaq Saeful, menyukai

kenyataan bahwa dia tidak harus meminjam uang dalam jumlah yang banyak. Dia pernah dalam sebuah kelompok sepuluh perempuan yang meminjam satu juta rupiah dari bank, tetapi mereka gagal membayar dikarenakan sebagian dari mereka tidak sanggup mengembalikan uang sebanyak itu.

Sebagian besar perempuan menenun secara paruh waktu untuk menambah pendapatannya dari bekerja di sawah. Pendapatan mereka telah meningkat, rata-rata 33 persen, dari 90 ribu hingga 120 ribu rupiah per bulannya.

Pendapatan dari seorang perempuan yang menenun secara full time meningkat lebih dari 100 percent dari 105 ribu hingga 240 ribu rupiah. Peningkatan itu berasal dari penjualan secara kolektif daripada perorangan. Setiap perempuan menjual kainnya kepada KPUK seharga 75 ribu rupiah per potong, dimana dijual di pasar oleh seorang perempuan dan dijual seharga 80 ribu rupiah dan keuntungannya masuk kedalam kas. Ini tidak hanya mengurangi biaya transportasi tetapi menghemat waktu yang berharga. Perubahan tersebut juga meningkat karena saat ini mereka juga bepergian lebih jauh lagi sehingga mereka dapat menjualnya di lebih banyak pasar. Dikarenakan hal ini sebagian perempuan yang lebih tua mengajukan permohonan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Mereka menjelaskan dengan bangga,“Dulu kami tidak pergi kemanapun sehingga kami tidak membutuhkan KTP. Sekarang kami ingin bepergian, jadi kami membutuhkan KTP”.

Dengan rata-rata pengeluaran sehari-hari sebanyak 14 ribu rupiah per hari, tambahan pendapatan meningkatkan anggaran rumah tangga untuk makanan dan biaya pendididkan dan kesehatan. Juga memberikan modal tambahan untuk membeli bahan material untuk tenun. Bagi mereka yang mampu juga bisa menabung uang melalui arisan (kelompok simpan pinjam) untuk menginvestasikan didalam aset-aset seperti halnya hewan atau emas.

Perempuan mencari cara untuk memperluas usaha mereka. Satu kesempatan adalah untuk mendapat manfaat dari pasar turis akibat adanya bandara yang baru yang akan dibuka tahun depan dekat desa. Untuk hal ini, mereka harus belajar bahasa Indonaesia dan meningkatkan kemampuan baca-tulis dan komputer. Baca-tulis khususnya penting bagi anggota yang sudah tua, seperti yang dijelaskan oleh salah seorang perempuan, “bila kami bisa membaca dan menulis, maka kami tidak dapat dibohongi oleh orang dari luar”.

Kelompok yang telah bergabung di jaringan desa kelompok artisan perempuan (penenun dan penjahit) di Batu Jai yang disebut Alliansi yang dengan sukses mendapatkan dana melalui program PNPM Mandiri pemerintah untuk membangun sebuah Pasar Seni di desa untuk menjual kerajinan tangan. Mereka mungkin segera menjualnya melalui Galeri SMESCO bersama Jarpuk yang akhir-akhir ini menandatangani sebuah perjanjian untuk memasarkan produk dari NTB. Dan pula, mereka berharap untuk dimasukkan dalam keputusan pemerintah kabupaten yang mensyaratkan semua pekerja publik dan anak sekolah untuk memakai kain tenun tradisional. Kelompok tersebut sangat ingin untuk meningkatkan kemampuan dan manajemen dan perencanaan usaha mereka, akses terhadap kredit berbiaya rendah lainnya dan tehnologi sehingga mereka dapat meluaskan hasilnya.

Meskipun demikian, peningkatan pendapatan bukan satu-satunya manfaat. Perempuan khususnya menikmati berkumpul bersama untuk berdiskusi setelah beribadah malam. Perempuan yang lebih tua khususnya bersifat apresiatif, setelah sekian lama merasa terisolasi di rumah mereka dengan akses yang sangat kecil terhadap informasi. Bagi mereka mendapatkan pengetahuan yang baru merupakan manfaat yang paling besar dan seperti yang mereka bilang “kami lebih

women's micro enterprises which are often on the business margin.ASPUK-NT (Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil

Wilayah-NT) and the Jaringan Perempuan Usaha Kecil (JARPUK local network of Women's Small Businesses) is one civil society organisation that strengthen's women's business potential. They help micro entrepreneurs set up Kelompok Perempuan Usuha Kecil (KPUK) with 10-15 members who regularly meet to share information and resources to improve their earning potential. KPUK encourages women to use their assets more effectively and to generate their own micro finance.

They provide an alternative low cost, low risk alternative credit mechanism to banks and credit unions which help poor women to smooth their consumption, manage risks better, build their assets gradually, develop their micro-enterprises and enjoy an improved quality of life. They also learn about their rights to participate in community decision making and have access to business, health and education services.

In October 2009, ASPUK NT and JARPUK began a partnership with ACCESS Phase II, an Australia-Indonesian government civil society strengthening program, to scale up the establishment of women micro-entrepreneurs in Central Lombok, NTB. Through a 'cascade approach', 250 women are being trained and in turn they influence and encourage 5 others to set up self help groups. When the program started, there were 162 women involved with the network and today there are 1306 members in 120 groups.

KPUK Harapan (KPUK Hope) is one such group in Batu Jai village in sub district Praya Barat in Lombok Tengah district. Batu Jai has a population of 11,583 living in 13 hamlets with the majority of people working as rice farmers and farm labourers, while women are also weavers. KPUK Harapan began in February 2010 and has fifteen members, mostly poor, with a third unmarried or widowed.

The group decided how they should operate, including setting up a savings and loan scheme. For many this was their first experience of being involved in public decision making and governance.

KPUK Harapan specializes in weaving antang, commonly used by women for binding their abdomens after giving birth. Two months after they set up, the group started a savings pool by investing 5,000 rupiah each - now they contribute 1,000 rupiah every week.

Members can borrow up to 150 thousand rupiah with which they buy materials for weaving or pay for schooling, health and food. Most loans range from 30 -50 thousand rupiah without interest unless they need extra time in which case the interest is 1-2 percent. This means women no longer have to borrow money from neighbours, with the risk of exploitation, and feel less stress of being in debt. One member, Inaq Saeful, likes the fact that she does not have to borrow large amounts. She was once in a group of ten women that borrowed one million rupiah from the bank, but they had to default because some of them could not pay back such a large amount.

Most of the women weave part time to supplement their incomes from working in rice paddies. Their incomes have already increased, on average around 33 percent, from 90-120 thousand rupiah per month.

The income of one woman who weaves full time increased more than 100 percent from 105 thousand to 240 thousand rupiah. The increase comes mostly from selling collectively rather than individually. Each woman sells her cloth to the KPUK for 75 thousand rupiah apiece which is then taken to market by one woman and sold for 80 thousand rupiah and the profits go into the savings pool. This not only reduces transport costs but saves precious time. Turnover has also increased as they now travel further so they can sell in more markets. Because of this, some of the older women have applied for a KTP. They explained with pride: “Before we didn't go anywhere so we didn't need a KTP. Now we want to travel, we need one”.

With an average daily expenditure of around 14 thousand rupiah per day, the additional income boosts the household budget for food and education or health costs. It also provides additional

capital to buy more materials for weaving. Those who can afford it also save money through arisan groups to invest in assets such as animals or gold.

The women are looking for ways to expand their business. One such opportunity is to benefit from the tourist market as a result of the new airport due to open next year near the village. For this, they want to learn Indonesian and improve their literacy and computing skills. Literacy is particularly important to the older members, for as one woman explained, “if we can read and write, then we can't be lied to by outside people”.

The group has joined the village network of women's artisan groups (weavers and tailors) in Batu Jai called Alliansi that successfully got funds through the government's PNPM Mandiri program to construct a Pasar Seni in the village to sell handicrafts. They may soon be selling through the Jakarta SMESCO Galley with Jarpuk recently signing an agreement to market traditional weaving products from NTB. In addition, they hope to capitalise from a district government decision requiring all public workers and school children to wear traditional woven cloth. The group is very keen to improve their business planning and management skills, access to other low cost credit and technologies so they can expand their production.

However, increased incomes is not the only benefit. The women particularly enjoy getting together for discussions after evening prayers. The older women are particularly appreciative, having been isolated in their homes for years with little access to information. For them, getting new knowledge is the biggest benefit and as they say “we would rather have training than money”. Some women have been trained as office bearers and in negotiating, organizational leadership, advocacy and book keeping as well as gender based budgeting analysis skills. They in turn pass on their skills and knowledge to other KPUK members.

They are also learning about their rights as citizens. Having learnt that PNPM and Musrenbang were open meetings, they decided to send a delegation of three women to the Musrenbang Desa to put forward their priorities. Two women from the village later attended the Musrenbang at sub district and district without being invited. Eighty per cent of the proposals from Batu Jai have been funded by SKPD including for training to improve productive skills including weaving quality, expanding motifs, tailoring, home industries and cooking, a village salon and capital for micro enterprises and cooperatives.

The women in KPUK Harapan are beginning to appreciate that they have a role in influencing decisions about their communities and in tackling local problems. Many are starting to recognise how how gender relations are limiting their freedom and opportunities and seeing the value of networking to empower themselves through sharing experiences and challenges, getting new information and expressing their ideas about how they can improve their lives and livelihoods.

In working collectively, being accountable to one another and thinking more critically about their situations, the women are also developing a sense of personal and collective power, social solidarity and autonomy. They are proud of their group and value the opportunities to pursue their dreams of a better life.

13 MEI - JUNI 2013News Edisi 89 14 MEI - JUNI 2013News Edisi 89

1 “Para Menteri, Bank President, Pemberdayaan Perempuan Tout sebagai Tujuan Pengembangan Utama,” Pemberitaan World Bank, 12 April 2009.

2 Bappenas 20103 Ditulis tahun 20114 “Ministers, Bank President, Tout Women's Empowerment as Key Development Goal,”

The World Bank News Release, April 12, 2009.

memilih pelatihan daripada uang”. Sebagian perempuan telah dilatih sebagai penjaga kantor dan dalam bernegosiasi, kepemimpinan keorganisasian, advokasi, pembukuan serta kemampuan analisa anggaran yang berbasis gender. Mereka pada akhirnya menularkan kemampuan dan pengetahuannya kepada anggota KPUK lainnya.

Mereka juga belajar mengenai hak-hak mereka sebagai warga. Setelah belajar tentang PNPM dan Musrenbang yang merupakan pertemuan perencanaan yang terbuka, mereka memutuskan untuk mengirimkan utusan tiga orang perempuan ke Musrenbang Desa untuk memperjuangkan prioritas mereka. Dua orang perempuan dari desa akhirnya menghadiri Musrenbang ditingkat kecamatan dan kabupaten tanpa menunggu untuk diundang. Delapan puluh persen dari proposal yang berasal dari Batu Jai telah didanai oleh unit tehnis (SKPD) termasuk untuk pelatihan guna meningkatkan kemampuan mereka didalam menenun dengan kualitas yang baik, menjahit, memperluas motif, industri rumah tangga dan memasak, salon desa dan modal bagi koperasi dan usaha mikro.

Perempuan dalam KPUK Harapan mulai menghargai bahwa mereka memiliki peran didalam mempengaruhi keputusan mengenai masyarakatnya dan didalam mengatasi permasalahan lokal. Banyak dari mereka mulai mengakui bagaimana hubungan gender membatasi kebebasan mereka dan melihat nilai berjejaring untuk memberdayakan diri mereka sendiri melalui berbagi pengalaman dan tantangan, mendapatkan informasi baru dan menyampaikan ide-ide mereka tentang bagaimana dapat meningkatkan pendapatan dan kehidupan mereka.

Dalam bekerja secara kolektif, menjadi terbuka satu dengan yang lainnya, dan berpikir secara lebih kritis mengenai situasi mereka, perempuan juga mengembangkan rasa pribadi dan kekuatan bersama, solidaritas sosial dan otonomi. Mereka bangga terhadap kelompoknya dan nilai kesempatan untuk menggapai mimpi kehidupan yang lebih baik.

15 MEI - JUNI 2013News Edisi 89 16 MEI - JUNI 2013News Edisi 89

asalah gizi, khususnya anak pendek, menghambat perkembangan anak muda, dengan dampak Mnegatif yang akan berlangsung dalam kehidupan

selanjutnya. Studi menunjukkan bahwa anak pendek sangat berhubungan dengan prestasi pendidikan yang buruk, lama pendidikan yang menurun dan pendapatan yang rendah sebagai orang dewasa. Anak-anak pendek menghadapi kemungkinan yang lebih besar untuk tumbuh menjadi orang dewasa yang kurang berpendidikan, miskin, kurang sehat dan lebih rentan terhadap penyakit tidak menular. Oleh karena itu, anak pendek merupakan prediktor buruknya kualitas sumber daya manusia yang diterima secara luas, yang selanjutnya menurunkan kemampuan produktif suatu bangsa di masa yang akan datang.

Intervensi untuk menurunkan anak pendek harus dimulai secara tepat sebelum kelahiran, dengan pelayanan pranatal dan gizi ibu, dan berlanjut hingga usia dua tahun. Proses untuk menjadi seorang anak bertubuh pendek – yang disebut kegagalan pertumbuhan (growth faltering) - dimulai dalam dalam rahim, hingga usia dua tahun. Pada saat anak melewati usia dua tahun, sudah terlambat untuk memperbaiki kerusakan pada tahun-tahun awal. Oleh karena itu, status kesehatan dan gizi ibu merupakan penentu penting tubuh pendek pada anak-anak.

Untuk mengatasi masalah gizi, khususnya anak pendek, diperlukan aksi lintas sektoral. Asupan makanan yang tidak memadai dan penyakit - yang merupakan penyebab langsung masalah gizi ibu dan anak - adalah karena praktek

pemberian makan bayi dan anak yang tidak tepat dan, penyakit dan infeksi yang berulang terjadi, perilaku kebersihan dan pengasuhan yang buruk. Pada gilirannya, semua ini disebabkan oleh faktor-faktor seperti kurangnya pendidikan dan pengetahuan pengasuh anak, penggunaan air yang tidak bersih, lingkungan yang tidak sehat, keterbatasan akses ke pangan dan pendapatan yang rendah.

Anak-anak merupakan penerima manfaat terbesar ketika intervensi gizi merupakan bagian dari program terpadu pengembangan anak usia dini. Misalnya, penambahkan zat gizi mikro pada makanan anak-anak atau pemberian makanan yang diperkaya dengan vitamin dan mineral, dan pemberian konseling kepada ibu dan bapak tentang praktek pemberian makan harus berjalan seiring dengan pengajaran orang tua tentang perilaku kesehatan dan kebersihan secara optimal, kegiatan untuk meningkatkan keterampilan orangtua, dan intervensi psikososial untuk mempromosikan perkembangan psikologis anak. Manfaat program pengembangan anak usia dini bagi masyarakat melebihi biaya tersebut sebesar lima sampai tujuh kali.

Meskipun Indonesia telah menunjukkan penurunan kemiskinan secara tetap, tetapi masalah gizi pada anak-anak menunjukkan sedikit perbaikan. Dari tahun 2007 sampai 2011, proporsi penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan sebesar 16,6 - 12,5 persen, tetapi masalah gizi tidak menunjukkan penurunan secara signifikan (Gambar 1). Prevalensi anak pendek sangat tinggi, mempengaruhi satu dari tiga anak balita, yang merupakan proporsi yang menjadi

Gizi Ibu & Anak Isu-isu penting

RINGKASAN KAJIAN

Gambar 1. Prosentase anak balita yang terkena dampak gizi kurang moderat & parah. Indonesia, 2007-2010. Warna lebih gelap menunjukkan tingkat wasting, berat badan kurang & stunting parah. RISKESDAS, Kementerian Kesehatan, Indonesia Perlunya tindakan segeramasalah kesehatan masyarakat menurut kriteria Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Anak pendek mempengaruhi jauh lebih banyak anak miskin. Proporsi anak pendek dalam kuintil penduduk termiskin hampir dua kali lipat proporsi anak dalam kuintil kekayaan tertinggi. Daerah perdesaan memiliki proporsi yang lebih besar untuk anak pendek (40 persen) dibandingkan dengan daerah perkotaan (33 persen). Prevalensi anak pendek yang tinggal di rumah tangga dengan kepala rumah tangga yang tidak berpendidikan adalah 1,7 kali lebih tinggi daripada prevalensi di antara anak-anak yang tinggal di rumah tangga dengan kepala rumah tangga yang berpendidikan tinggi.

Data geografis menunjukkan keseriusan dan ruang lingkup masalah gizi kurang dan perlunya tindakan segera. Klasifikasi WHO (1995) digunakan untuk menilai tingkat keparahan masalah gizi dengan tingkat prevalensi (rendah, sedang, tinggi, sangat tinggi) untuk setiap indikator.

Anak pendek berbeda-beda di seluruh Indonesia dari prevalensi menengah sampai sangat tinggi. Bahkan di Yogyakarta, provinsi dengan prevalensi terendah, anak pendek mempengaruhi 23 persen anak balita. Tujuh provinsi memiliki prevalensi sangat tinggi (40 persen atau lebih), sedangkan 17 provinsi memiliki prevalensi tinggi (30-39 persen). Lebih dari setengah anak (58 persen) di Nusa Tenggara Timur adalah anak pendek, proporsi yang kira-kira 2,5 kali prevalensi di Yogyakarta (Gambar 2). Angka anak kurus adalah tinggi. Secara nasional, enam persen anak sangat kurus, sehingga menempatkan mereka pada resiko kematian yang tinggi, situasi yang menunjukkan tidak adanya peningkatan antara tahun 2007 dan 2010. Sembilan provinsi memiliki prevalensi anak kurus yang sangat tinggi, sebesar 15 persen atau lebih. Enam belas provinsi menunjukkan prevalensi berat badan kurang, yang mempengaruhi 20 persen atau lebih anak-anak. Prevalensi berat badan kurang sangat tinggi di Nusa Tenggara Barat, melebihi 30 persen.

Anak pendek sangat menantang karena skala permasalahan, sifat desentralisasi Indonesia dan kapasitas pemerintah daerah yang terbatas. Perkiraan kasar pada tahun 2007 menunjukkan bahwa kira-kira 81 persen kabupaten di Indonesia memiliki prevalensi anak pendek yang sangat tinggi.

Data nasional tentang gizi ibu sangat tidak tersedia, tetapi berat lahir rendah dan anemia memberikan sebuah indikasi. Berat anak saat lahir merupakan akibat langsung dari status kesehatan dan gizi ibu sebelum dan selama kehamilan. Secara nasional, proporsi anak dengan berat lahir rendah pada tahun 2010

(11 persen dengan berat badan kurang dari 2.500 gram) tidak menunjukkan perubahan signifikan sejak tahun 2007. Di 14 provinsi, prevalensi berat lahir rendah meningkat dari tahun 2007 sampai 2010. Anemia merupakan masalah, yang mempengaruhi sekitar seperempat peremuan hamil pada tahun 2007.

Lebih dari sepertiga perempuan usia subur di Indonesia tidak memenuhi persyaratan nasional untuk asupan makanan yang mengandung energi atau protein. Di lebih dari sepertiga seluruh provinsi, proporsi ini meningkat menjadi lebih dari 40 persen perempuan usia subur.

Ada tiga hambatan utama terhadap peningkatan gizi dan perkembangan anak di Indonesia.

Pertama, masalah anak pendek dan gizi ibu tidak mudah dilihat. Pada umumnya, orang tidak tahu bahwa masalah gizi merupakan sebuah masalah, kecuali gizi kurang tersebut berbentuk anak yang sangat kurus. Oleh karena itu, upaya-upaya diarahkan secara tidak tepat untuk menangani anak yang sangat kurus, bukan diarahkan pada sistem dan intervensi untuk menanggulangi gizi kurang pada ibu dan anak anak.

Kedua, banyak pihak menghubungkan gizi kurang dengan kurangnya pangan dan percaya bahwa penyediaan pangan merupakan jawabannya. Ketersediaan pangan bukan penyebab utama gizi kurang di Indonesia, meskipun kurangnya akses ke pangan karena kemiskinan merupakan salah satu penyebab. Bahkan anak-anak dari dua kuintil kekayaan tertinggi menunjukkan anak pendek dari menengah sampai tinggi, sehingga penyediaan pangan saja bukan merupakan solusi.

Ketiga, pengetahuan yang tidak memadai dan praktek-praktek yang tidak tepat merupakan hambatan signifikan terhadap peningkatan gizi. Pada umumnya, orang tidak menyadari pentingnya gizi selama kehamilan dan dua tahun pertama kehidupan. Secara lebih khusus:

Perempuan tidak menyadari pentingnya gizi mereka sendiri. Misalnya, 81 persen perempuan hamil menerima atau membeli tablet besi-folat pada tahun 2010, tetapi hanya 18 persen yang mengkonsumsi tablet sebagaimana direkomendasikan minimal selama 90 hari selama masa kehamilan. Perbedaan antara provinsi dengan kinerja terbaik (Yogyakarta) dan provinsi terburuk (Sulawesi Barat) adalah 65 persen. Masyarakat dan petugas kesehatan perlu memahami pentingnya ASI eksklusif dan praktek-praktek pemberian makan bayi dan anak yang tepat, dan memberikan dukungan kepada para ibu. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007 menunjukkan bahwa kurang dari satu dari tiga bayi di bawah usia enam bulan diberi ASI eksklusif dan hanya 41 persen anak usia 6-23 bulan menerima makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang sesuai dengan praktek-praktek yang direkomendasikan tentang pengaturan waktu, frekuensi dan kualitas. Keluarga seringkali tidak memiliki pengetahuan tentang gizi dan perilaku kesehatan. Berdasarkan Riskesdas 2010, sebagian besar rumah tangga di Indonesia masih menggunakan air yang tidak bersih (45 persen) dan sarana pembuangan kotoran yang tidak aman (49 persen). Minimal satu dari setiap empat rumah tangga dalam dua kuintil termiskin masih melakukan buang air besar di tempat terbuka. Perilaku tersebut berhubungan dengan penyakit diare, yang selanjutnya berkontribusi terhadap gizi kurang. Pada tahun 2007, diare merupakan penyebab dari 31 persen

Hambatan

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

mengenai program ACCESS Tahap II, Anda dapat menghubungi Widya P Setyanto (RYAN) | Media & Communication Officer | ACCESSJl. Bet Ngandang I, No.1 xx, Sanur Bali | Indonesia | Tel (+62) 361 288428 | Fax (62) 361 287509 | MP (+62) 811 380 8925 E: [email protected] W: www.access-indo.or.id

INDONESIA

memilih pelatihan daripada uang”. Sebagian perempuan telah dilatih sebagai penjaga kantor dan dalam bernegosiasi, kepemimpinan keorganisasian, advokasi, pembukuan serta kemampuan analisa anggaran yang berbasis gender. Mereka pada akhirnya menularkan kemampuan dan pengetahuannya kepada anggota KPUK lainnya.

Mereka juga belajar mengenai hak-hak mereka sebagai warga. Setelah belajar tentang PNPM dan Musrenbang yang merupakan pertemuan perencanaan yang terbuka, mereka memutuskan untuk mengirimkan utusan tiga orang perempuan ke Musrenbang Desa untuk memperjuangkan prioritas mereka. Dua orang perempuan dari desa akhirnya menghadiri Musrenbang ditingkat kecamatan dan kabupaten tanpa menunggu untuk diundang. Delapan puluh persen dari proposal yang berasal dari Batu Jai telah didanai oleh unit tehnis (SKPD) termasuk untuk pelatihan guna meningkatkan kemampuan mereka didalam menenun dengan kualitas yang baik, menjahit, memperluas motif, industri rumah tangga dan memasak, salon desa dan modal bagi koperasi dan usaha mikro.

Perempuan dalam KPUK Harapan mulai menghargai bahwa mereka memiliki peran didalam mempengaruhi keputusan mengenai masyarakatnya dan didalam mengatasi permasalahan lokal. Banyak dari mereka mulai mengakui bagaimana hubungan gender membatasi kebebasan mereka dan melihat nilai berjejaring untuk memberdayakan diri mereka sendiri melalui berbagi pengalaman dan tantangan, mendapatkan informasi baru dan menyampaikan ide-ide mereka tentang bagaimana dapat meningkatkan pendapatan dan kehidupan mereka.

Dalam bekerja secara kolektif, menjadi terbuka satu dengan yang lainnya, dan berpikir secara lebih kritis mengenai situasi mereka, perempuan juga mengembangkan rasa pribadi dan kekuatan bersama, solidaritas sosial dan otonomi. Mereka bangga terhadap kelompoknya dan nilai kesempatan untuk menggapai mimpi kehidupan yang lebih baik.

15 MEI - JUNI 2013News Edisi 89 16 MEI - JUNI 2013News Edisi 89

asalah gizi, khususnya anak pendek, menghambat perkembangan anak muda, dengan dampak Mnegatif yang akan berlangsung dalam kehidupan

selanjutnya. Studi menunjukkan bahwa anak pendek sangat berhubungan dengan prestasi pendidikan yang buruk, lama pendidikan yang menurun dan pendapatan yang rendah sebagai orang dewasa. Anak-anak pendek menghadapi kemungkinan yang lebih besar untuk tumbuh menjadi orang dewasa yang kurang berpendidikan, miskin, kurang sehat dan lebih rentan terhadap penyakit tidak menular. Oleh karena itu, anak pendek merupakan prediktor buruknya kualitas sumber daya manusia yang diterima secara luas, yang selanjutnya menurunkan kemampuan produktif suatu bangsa di masa yang akan datang.

Intervensi untuk menurunkan anak pendek harus dimulai secara tepat sebelum kelahiran, dengan pelayanan pranatal dan gizi ibu, dan berlanjut hingga usia dua tahun. Proses untuk menjadi seorang anak bertubuh pendek – yang disebut kegagalan pertumbuhan (growth faltering) - dimulai dalam dalam rahim, hingga usia dua tahun. Pada saat anak melewati usia dua tahun, sudah terlambat untuk memperbaiki kerusakan pada tahun-tahun awal. Oleh karena itu, status kesehatan dan gizi ibu merupakan penentu penting tubuh pendek pada anak-anak.

Untuk mengatasi masalah gizi, khususnya anak pendek, diperlukan aksi lintas sektoral. Asupan makanan yang tidak memadai dan penyakit - yang merupakan penyebab langsung masalah gizi ibu dan anak - adalah karena praktek

pemberian makan bayi dan anak yang tidak tepat dan, penyakit dan infeksi yang berulang terjadi, perilaku kebersihan dan pengasuhan yang buruk. Pada gilirannya, semua ini disebabkan oleh faktor-faktor seperti kurangnya pendidikan dan pengetahuan pengasuh anak, penggunaan air yang tidak bersih, lingkungan yang tidak sehat, keterbatasan akses ke pangan dan pendapatan yang rendah.

Anak-anak merupakan penerima manfaat terbesar ketika intervensi gizi merupakan bagian dari program terpadu pengembangan anak usia dini. Misalnya, penambahkan zat gizi mikro pada makanan anak-anak atau pemberian makanan yang diperkaya dengan vitamin dan mineral, dan pemberian konseling kepada ibu dan bapak tentang praktek pemberian makan harus berjalan seiring dengan pengajaran orang tua tentang perilaku kesehatan dan kebersihan secara optimal, kegiatan untuk meningkatkan keterampilan orangtua, dan intervensi psikososial untuk mempromosikan perkembangan psikologis anak. Manfaat program pengembangan anak usia dini bagi masyarakat melebihi biaya tersebut sebesar lima sampai tujuh kali.

Meskipun Indonesia telah menunjukkan penurunan kemiskinan secara tetap, tetapi masalah gizi pada anak-anak menunjukkan sedikit perbaikan. Dari tahun 2007 sampai 2011, proporsi penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan sebesar 16,6 - 12,5 persen, tetapi masalah gizi tidak menunjukkan penurunan secara signifikan (Gambar 1). Prevalensi anak pendek sangat tinggi, mempengaruhi satu dari tiga anak balita, yang merupakan proporsi yang menjadi

Gizi Ibu & Anak Isu-isu penting

RINGKASAN KAJIAN

Gambar 1. Prosentase anak balita yang terkena dampak gizi kurang moderat & parah. Indonesia, 2007-2010. Warna lebih gelap menunjukkan tingkat wasting, berat badan kurang & stunting parah. RISKESDAS, Kementerian Kesehatan, Indonesia Perlunya tindakan segeramasalah kesehatan masyarakat menurut kriteria Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Anak pendek mempengaruhi jauh lebih banyak anak miskin. Proporsi anak pendek dalam kuintil penduduk termiskin hampir dua kali lipat proporsi anak dalam kuintil kekayaan tertinggi. Daerah perdesaan memiliki proporsi yang lebih besar untuk anak pendek (40 persen) dibandingkan dengan daerah perkotaan (33 persen). Prevalensi anak pendek yang tinggal di rumah tangga dengan kepala rumah tangga yang tidak berpendidikan adalah 1,7 kali lebih tinggi daripada prevalensi di antara anak-anak yang tinggal di rumah tangga dengan kepala rumah tangga yang berpendidikan tinggi.

Data geografis menunjukkan keseriusan dan ruang lingkup masalah gizi kurang dan perlunya tindakan segera. Klasifikasi WHO (1995) digunakan untuk menilai tingkat keparahan masalah gizi dengan tingkat prevalensi (rendah, sedang, tinggi, sangat tinggi) untuk setiap indikator.

Anak pendek berbeda-beda di seluruh Indonesia dari prevalensi menengah sampai sangat tinggi. Bahkan di Yogyakarta, provinsi dengan prevalensi terendah, anak pendek mempengaruhi 23 persen anak balita. Tujuh provinsi memiliki prevalensi sangat tinggi (40 persen atau lebih), sedangkan 17 provinsi memiliki prevalensi tinggi (30-39 persen). Lebih dari setengah anak (58 persen) di Nusa Tenggara Timur adalah anak pendek, proporsi yang kira-kira 2,5 kali prevalensi di Yogyakarta (Gambar 2). Angka anak kurus adalah tinggi. Secara nasional, enam persen anak sangat kurus, sehingga menempatkan mereka pada resiko kematian yang tinggi, situasi yang menunjukkan tidak adanya peningkatan antara tahun 2007 dan 2010. Sembilan provinsi memiliki prevalensi anak kurus yang sangat tinggi, sebesar 15 persen atau lebih. Enam belas provinsi menunjukkan prevalensi berat badan kurang, yang mempengaruhi 20 persen atau lebih anak-anak. Prevalensi berat badan kurang sangat tinggi di Nusa Tenggara Barat, melebihi 30 persen.

Anak pendek sangat menantang karena skala permasalahan, sifat desentralisasi Indonesia dan kapasitas pemerintah daerah yang terbatas. Perkiraan kasar pada tahun 2007 menunjukkan bahwa kira-kira 81 persen kabupaten di Indonesia memiliki prevalensi anak pendek yang sangat tinggi.

Data nasional tentang gizi ibu sangat tidak tersedia, tetapi berat lahir rendah dan anemia memberikan sebuah indikasi. Berat anak saat lahir merupakan akibat langsung dari status kesehatan dan gizi ibu sebelum dan selama kehamilan. Secara nasional, proporsi anak dengan berat lahir rendah pada tahun 2010

(11 persen dengan berat badan kurang dari 2.500 gram) tidak menunjukkan perubahan signifikan sejak tahun 2007. Di 14 provinsi, prevalensi berat lahir rendah meningkat dari tahun 2007 sampai 2010. Anemia merupakan masalah, yang mempengaruhi sekitar seperempat peremuan hamil pada tahun 2007.

Lebih dari sepertiga perempuan usia subur di Indonesia tidak memenuhi persyaratan nasional untuk asupan makanan yang mengandung energi atau protein. Di lebih dari sepertiga seluruh provinsi, proporsi ini meningkat menjadi lebih dari 40 persen perempuan usia subur.

Ada tiga hambatan utama terhadap peningkatan gizi dan perkembangan anak di Indonesia.

Pertama, masalah anak pendek dan gizi ibu tidak mudah dilihat. Pada umumnya, orang tidak tahu bahwa masalah gizi merupakan sebuah masalah, kecuali gizi kurang tersebut berbentuk anak yang sangat kurus. Oleh karena itu, upaya-upaya diarahkan secara tidak tepat untuk menangani anak yang sangat kurus, bukan diarahkan pada sistem dan intervensi untuk menanggulangi gizi kurang pada ibu dan anak anak.

Kedua, banyak pihak menghubungkan gizi kurang dengan kurangnya pangan dan percaya bahwa penyediaan pangan merupakan jawabannya. Ketersediaan pangan bukan penyebab utama gizi kurang di Indonesia, meskipun kurangnya akses ke pangan karena kemiskinan merupakan salah satu penyebab. Bahkan anak-anak dari dua kuintil kekayaan tertinggi menunjukkan anak pendek dari menengah sampai tinggi, sehingga penyediaan pangan saja bukan merupakan solusi.

Ketiga, pengetahuan yang tidak memadai dan praktek-praktek yang tidak tepat merupakan hambatan signifikan terhadap peningkatan gizi. Pada umumnya, orang tidak menyadari pentingnya gizi selama kehamilan dan dua tahun pertama kehidupan. Secara lebih khusus:

Perempuan tidak menyadari pentingnya gizi mereka sendiri. Misalnya, 81 persen perempuan hamil menerima atau membeli tablet besi-folat pada tahun 2010, tetapi hanya 18 persen yang mengkonsumsi tablet sebagaimana direkomendasikan minimal selama 90 hari selama masa kehamilan. Perbedaan antara provinsi dengan kinerja terbaik (Yogyakarta) dan provinsi terburuk (Sulawesi Barat) adalah 65 persen. Masyarakat dan petugas kesehatan perlu memahami pentingnya ASI eksklusif dan praktek-praktek pemberian makan bayi dan anak yang tepat, dan memberikan dukungan kepada para ibu. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007 menunjukkan bahwa kurang dari satu dari tiga bayi di bawah usia enam bulan diberi ASI eksklusif dan hanya 41 persen anak usia 6-23 bulan menerima makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang sesuai dengan praktek-praktek yang direkomendasikan tentang pengaturan waktu, frekuensi dan kualitas. Keluarga seringkali tidak memiliki pengetahuan tentang gizi dan perilaku kesehatan. Berdasarkan Riskesdas 2010, sebagian besar rumah tangga di Indonesia masih menggunakan air yang tidak bersih (45 persen) dan sarana pembuangan kotoran yang tidak aman (49 persen). Minimal satu dari setiap empat rumah tangga dalam dua kuintil termiskin masih melakukan buang air besar di tempat terbuka. Perilaku tersebut berhubungan dengan penyakit diare, yang selanjutnya berkontribusi terhadap gizi kurang. Pada tahun 2007, diare merupakan penyebab dari 31 persen

Hambatan

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

mengenai program ACCESS Tahap II, Anda dapat menghubungi Widya P Setyanto (RYAN) | Media & Communication Officer | ACCESSJl. Bet Ngandang I, No.1 xx, Sanur Bali | Indonesia | Tel (+62) 361 288428 | Fax (62) 361 287509 | MP (+62) 811 380 8925 E: [email protected] W: www.access-indo.or.id

INDONESIA

17 MEI - JUNI 2013News Edisi 89 18 MEI - JUNI 2013News Edisi 89

kematian pada anak-anak di Indonesia antara usia 1 sampai 11 bulan, dan 25 persen kematian pada anak-anak antara usia satu sampai empat tahun.

Penyedia layanan kesehatan dan petugas masyarakat tidak memberikan konseling gizi yang memadai. Tanpa konseling yang efektif, pemantauan pertumbuhan tidak akan efektif dalam menurunkan gizi kurang. Pengambil keputusan lokal seringkali tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan untuk meningkatkan gizi. Ini berarti sumber daya terbuang, misalnya, tentang program pemberian makanan prasekolah, yang tidak efektif dalam menurunkan gizi kurang pada anak-anak, meskipun program tersebut dapat memberikan manfaat pendidikan. Kurangnya kesadaran juga berarti tidak adanya tindakan tentang langkah-langkah penting yang harus dilakukan oleh para pengambil keputusan kabupaten, misalnya, pengeluaran dan pelaksanaan peraturan daerah (Perda) tentang iodisasi garam universal atau tentang pemberian ASI. Pada tahun 2007, hanya 62 persen rumah tangga di seluruh Indonesia yang dapat mengkonsumsi garam beryodium secara memadai, sebuah indikator yang belum menunjukkan banyak peningkatan selama beberapa tahun terakhir.

Intervensi yang terkait dengan praktek- praktek pemberian makanan anak dan gizi ibu merupakan kunci untuk menangani gizi kurang pada anak-anak.

Untuk menangani gizi kurang, intervensi gizi perlu ditingkatkan yang dinyatakan dengan bukti ilmiah. Intervensi ini merupakan paket Intervensi Gizi Efektif (IGE), yang memberikan sebuah rangkaian layanan sejak pra-kehamilan sampai usia dua tahun - yang mencakup "1.000 hari" kehidupan. Konseling gizi bagi para perempuan hamil dan ibu untuk mempromosikan praktek-praktek yang baik merupakan bagian penting dari paket terpadu ini (lihat Kotak).

Peluang untuk melakukan tindakan

Aksi di tingkat nasional diperlukan untuk memperkuat kerangka kebijakan dan legislatif, mekanisme kelembagaan dan pengembangan sumber daya manusia. Perhatian khusus harus diberikan pada:

Penciptaan dan penguatan mekanisme koordinasi nasional dan daerah untuk mengimplementasikan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi, dan untuk melakukan koordinasi dengan sektor-sektor non-gizi; Pengembangan, pemantauan dan penegakan peraturan nasional untuk mengawasi pemasaran produk pengganti ASI; Revisi standar minimal pelayanan kesehatan untuk mencakup aksi-aksi dan sasaran gizi, seperti aksi-aksi yang berhubungan dengan konseling gizi, makanan pendamping ASI dan gizi ibu; Penguatan sistem informasi kesehatan untuk meningkatkan keandalan data, promosi pengawasan suportif terhadap program kesehatan dan gizi, dan promosi penggunaan data oleh petugas kesehatan secara terus-menerus untuk meningkatkan dampak program;Penguatan program fortifikasi pangan nasional dengan memperbarui standar for tifikasi untuk terigu, pengharusan fortifikasi minyak, dan peningkatan penegakan legislasi yang ada; tentang iodisasi garam; Implementasi langkah-langkah untuk merekrut, mengembangkan dan mempertahankan ahli gizi yang memenuhi syarat, termasuk insentif bagi mereka yang bekerja di daerah-daerah yang kurang terlayani.

Untuk mengimplementasikan intervensi gizi efektif di tingkat kabupaten, diperlukan komitmen dari para pemimpin di tingkat kabupaten serta dukungan dari tingkat pusat dan provinsi untuk melakukan berbagai aksi:

Mengembangkan dan mengimplementasikan rencana dan anggaran gizi kabupaten untuk intervensi gizi efektif, dengan tugas dan tanggung jawab yang ditentukan dengan jelas pada setiap tingkat, khususnya

ibagi para ahli gizi di Puskesmas. Bagian-bagian dari paket intervensi gizi efektif berada di luar sektor kesehatan dan melibatkan para pemangku kepentingan lain, sehingga meningkatkan kemungkinan terpecahnya upaya-upaya yang dilakukan. Oleh karena itu, pengambil keputusan kabupaten perlu memastikan koordinasi yang efektif, serta kesesuaian rencana dengan target nasional. Selain itu juga diperlukan koordinasi dengan program bantuan tunai,

ii seperti PKH, untuk memastikan bahwa pelayanan yang digunakan oleh penerima manfaat tersedia dengan kualitas yang tinggi. Meningkatkan motivasi petugas kesehatan dan gizi dengan insentif yang memadai. Imbalan dapat meliputi pengakuan profesi, tanggung jawab yang lebih besar dan komponen berbasis kinerja untuk gaji, dengan kinerja yang dinilai terhadap indikator cakupan dan hasil program. Data dari Sistem Kewaspadaan Pangan Dan Gizi harus digunakan secara lebih efektif bagi pengambilan keputusan dan penetapan target daerah. Sesi masukan, pemantauan dan pengawasan secara terus-menerus memainkan peran penting dalam memotivasi tim, yang semuanya memerlukan sumber daya yang memadai dari kabupaten. Memberikan prioritas pada konseling gizi. Penyedia layanan kesehatan di kabupaten dan masyarakat perlu mendapatkan pendidikan tentang pentingnya dan efektivitas konseling, Intervensi gizi efektif dan rangkaian konsep layanan. Kampanye komunikasi di kabupaten harus menggunakan argumen tentang kinerja pendidikan serta argumen kesehatan. Mendorong revitalisasi Posyandu dengan menggunakan konseling gizi dan PAUD sebagai kegiatan utama.

iii Jaringan Posyandu yang luas di Indonesia merupakan satu-satunya struktur yang memberikan kemungkinan untuk konseling gizi sampai ke tingkat masyarakat. Dari tahun 2000 hingga 2006, jumlah Posyandu mengalami peningkatan sebesar 15 persen, sedangkan jumlah jenis Posyandu yang berfungsi lebih baik dan lebih berkesinambungan (Purnama dan Mandiri) meningkat sebesar 60 persen, sebuah tren yang layak mendapatkan dukungan. Pengalaman selama dekade terakhir dengan model-model seperti Taman Posyandu menunjukkan bahwa dukungan masyarakat bagi Posyandu lebih berkesinambungan ketika keluarga termotivasi oleh alasan pendidikan dan sosial - khususnya PAUD dan kinerja sekolah yang lebih baik – daripada oleh alasan kesehatan atau gizi saja. Mengembangkan cara-cara untuk memotivasi agen masyarakat dan orang tua. Kabupaten perlu

ivmerevitalisasi dan memotivasi para relawan PKK yang memberikan layanan di Posyandu. Di beberapa kabupaten, pelatihan bagi relawan tentang kegiatan yang menghasi lk an pendapatan yang digabungkan dengan dukungan pemerintah kabupaten untuk mekanisme kredit memberikan insentif kepada relawan yang ter l ibat dalam kegiatan promosi pengembangan anak usia dini. Di kabupaten-kabupaten lainnya, kesempatan untuk pelatihan itu sendiri (misalnya, konseling gizi) atau kompetisi yang baik di antara Posyandu dapat dijadikan sebagai insentif.

Apa yang seharusnya dimasukkan dalam Paket Intervensi Gizi Efektif?

Bappenas (National Development Planning Agency) & Ministry of Health (2010): The Landscape Analysis: Indonesia Country Assessment. Final Report, 6 September 2010. Available from:http://www.mediafire.com/?iz88bx6eazx8cz6 Accessed 5 August 2012

Barnett, S.W. (1985). 'Benefit-cost analysis of the Perry Preschool Program and its policy implications.' Educational evaluation and policy analysis. 7: 333-342

Barnett, S.W. (1995). 'Long-term effects of early childhood programs on cognitive school outcomes' The future of children. 5: 25-50.

Bhutta, Z., Ahmed, T., Black, R.E., Cousens, S., Dewey, K., Giugliani, E., Haider, B.A., Kirkwood, B., Morris, S.S., Sachdev, H.P.S. and Shekar, M. (2009): 'What works? Interventions for maternal and child undernutrition and survival.' Maternal and Child Undernutrition 3: Lancet 371:417–440.

BPS-Statistics Indonesia and Macro International (2008): Indonesia Demographic and Health Survey (IDHS 2007). Calverton, Maryland, USA: Macro International and Jakarta: BPS. Kramer, M. (1987): 'Determinants of low birth weight: methodological assessment and meta-analysis.' Bulletin of the World Health Organization 65: 663-737

Ministry of Health (2008a): Laporan Nasional: Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, Jakarta: National Institute of Health Research and Development

Ministry of Health (2008b): Revitalizing Primary Health Care. Country Experience: Indonesia. WHO-SEARO Regional Conference on Revitalizing Primary Health Care, 6-8 August. Jakarta: World Health Organization

Ministry of Health (2011): Laporan Nasional: Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, Jakarta: Ministry of Health, National Institute of Health Research and Development.

Pelto, G., Dickin, K. and Engle, P. (1999). A critical link: Interventions for physical growth and psychological development. Geneva: World Health Organization

Shrimpton, R., Victora, C.G., de Onis, M., Lima, R.C., Blössner, M. and Clugston, G. (2001): 'Worldwide timing of growth faltering: implications for nutritional interventions.' Pediatrics 107: E75

Victora, C.G., Adair, L., Fall, C., Hallal, P.C., Martorell, R., Richter, L. and Sachdev, H.S. (2008): 'Maternal and child undernutrition: consequences for adult health and human capital.' Maternal and Child Undernutrition 2, Lancet 371: 340-357

World Health Organization (1995): 'Physical Status: Uses and Interpretation of Anthropometry.' WHO Technical Report Series, Report No. 854. Geneva, Switzerland: World Health Organization

Konseling gizi bagi ibu hamil dan ibu anak-anak mudaPraktek pemberian makan bayi dan anak yang tepat: inisiasi pemberian ASI dalam jam pertama kelahiran, pemberian ASI eksklusif kepada bayi usia kurang dari enam bulan, dan pengenalan makanan pendamping ASI sesuai dengan praktek-praktek yang direkomendasikan pada usia 6 bulan, dilanjutkan dengan pemberian ASI sampai usia minimal dua tahun Gizi mikro bagi perempuan hamil dan bagi anak yang meliputi: Besi dan asam folat atau suplementasi gizi mikro ganda bagi perempuan hamilGaram beryodium yang memadai bagi semua rumah tangga Suplementasi Vitamin A bagi anak-anak usia 6-59 bulanSuplementasi seng untuk diare pada anak-anak di atas usia 6 bulanPerilaku kebersihan yang baik dalam kehamilan, masa bayi and usia dini Pemberantasan penyakit cacingan bagi ibu dan anak-anak usia 1-5 tahunPengobatan anak yang sangat kurus, dengan menggunakan makanan terapetik siap pakaiPemberian makanan tambahan bagi ibu hamil yang kekurangan energi dan protein bagi ibu hamil kurang makan Calcium supplementation for pregnant womenInsecticide-treated bed nets for pregnant

Sumber

i Puskesmas: Pusat Kesehatan Masyarakat (tingkat kecamatan) ii PKH: Program Keluarga Harapan, program bantuan tunai bersyaratiii Posyandu: Pos Pelayanan Terpadu (tingkat desa) iv PKK: Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga, sebuah jejaring relawan yang luas

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Ini adalah salah satu dari serangkaian Ringkasan Kajian yang dikembangkan oleh UNICEF Indonesia.Hubungi [email protected] atau klik www.unicef.or.id

17 MEI - JUNI 2013News Edisi 89 18 MEI - JUNI 2013News Edisi 89

kematian pada anak-anak di Indonesia antara usia 1 sampai 11 bulan, dan 25 persen kematian pada anak-anak antara usia satu sampai empat tahun.

Penyedia layanan kesehatan dan petugas masyarakat tidak memberikan konseling gizi yang memadai. Tanpa konseling yang efektif, pemantauan pertumbuhan tidak akan efektif dalam menurunkan gizi kurang. Pengambil keputusan lokal seringkali tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan untuk meningkatkan gizi. Ini berarti sumber daya terbuang, misalnya, tentang program pemberian makanan prasekolah, yang tidak efektif dalam menurunkan gizi kurang pada anak-anak, meskipun program tersebut dapat memberikan manfaat pendidikan. Kurangnya kesadaran juga berarti tidak adanya tindakan tentang langkah-langkah penting yang harus dilakukan oleh para pengambil keputusan kabupaten, misalnya, pengeluaran dan pelaksanaan peraturan daerah (Perda) tentang iodisasi garam universal atau tentang pemberian ASI. Pada tahun 2007, hanya 62 persen rumah tangga di seluruh Indonesia yang dapat mengkonsumsi garam beryodium secara memadai, sebuah indikator yang belum menunjukkan banyak peningkatan selama beberapa tahun terakhir.

Intervensi yang terkait dengan praktek- praktek pemberian makanan anak dan gizi ibu merupakan kunci untuk menangani gizi kurang pada anak-anak.

Untuk menangani gizi kurang, intervensi gizi perlu ditingkatkan yang dinyatakan dengan bukti ilmiah. Intervensi ini merupakan paket Intervensi Gizi Efektif (IGE), yang memberikan sebuah rangkaian layanan sejak pra-kehamilan sampai usia dua tahun - yang mencakup "1.000 hari" kehidupan. Konseling gizi bagi para perempuan hamil dan ibu untuk mempromosikan praktek-praktek yang baik merupakan bagian penting dari paket terpadu ini (lihat Kotak).

Peluang untuk melakukan tindakan

Aksi di tingkat nasional diperlukan untuk memperkuat kerangka kebijakan dan legislatif, mekanisme kelembagaan dan pengembangan sumber daya manusia. Perhatian khusus harus diberikan pada:

Penciptaan dan penguatan mekanisme koordinasi nasional dan daerah untuk mengimplementasikan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi, dan untuk melakukan koordinasi dengan sektor-sektor non-gizi; Pengembangan, pemantauan dan penegakan peraturan nasional untuk mengawasi pemasaran produk pengganti ASI; Revisi standar minimal pelayanan kesehatan untuk mencakup aksi-aksi dan sasaran gizi, seperti aksi-aksi yang berhubungan dengan konseling gizi, makanan pendamping ASI dan gizi ibu; Penguatan sistem informasi kesehatan untuk meningkatkan keandalan data, promosi pengawasan suportif terhadap program kesehatan dan gizi, dan promosi penggunaan data oleh petugas kesehatan secara terus-menerus untuk meningkatkan dampak program;Penguatan program fortifikasi pangan nasional dengan memperbarui standar for tifikasi untuk terigu, pengharusan fortifikasi minyak, dan peningkatan penegakan legislasi yang ada; tentang iodisasi garam; Implementasi langkah-langkah untuk merekrut, mengembangkan dan mempertahankan ahli gizi yang memenuhi syarat, termasuk insentif bagi mereka yang bekerja di daerah-daerah yang kurang terlayani.

Untuk mengimplementasikan intervensi gizi efektif di tingkat kabupaten, diperlukan komitmen dari para pemimpin di tingkat kabupaten serta dukungan dari tingkat pusat dan provinsi untuk melakukan berbagai aksi:

Mengembangkan dan mengimplementasikan rencana dan anggaran gizi kabupaten untuk intervensi gizi efektif, dengan tugas dan tanggung jawab yang ditentukan dengan jelas pada setiap tingkat, khususnya

ibagi para ahli gizi di Puskesmas. Bagian-bagian dari paket intervensi gizi efektif berada di luar sektor kesehatan dan melibatkan para pemangku kepentingan lain, sehingga meningkatkan kemungkinan terpecahnya upaya-upaya yang dilakukan. Oleh karena itu, pengambil keputusan kabupaten perlu memastikan koordinasi yang efektif, serta kesesuaian rencana dengan target nasional. Selain itu juga diperlukan koordinasi dengan program bantuan tunai,

ii seperti PKH, untuk memastikan bahwa pelayanan yang digunakan oleh penerima manfaat tersedia dengan kualitas yang tinggi. Meningkatkan motivasi petugas kesehatan dan gizi dengan insentif yang memadai. Imbalan dapat meliputi pengakuan profesi, tanggung jawab yang lebih besar dan komponen berbasis kinerja untuk gaji, dengan kinerja yang dinilai terhadap indikator cakupan dan hasil program. Data dari Sistem Kewaspadaan Pangan Dan Gizi harus digunakan secara lebih efektif bagi pengambilan keputusan dan penetapan target daerah. Sesi masukan, pemantauan dan pengawasan secara terus-menerus memainkan peran penting dalam memotivasi tim, yang semuanya memerlukan sumber daya yang memadai dari kabupaten. Memberikan prioritas pada konseling gizi. Penyedia layanan kesehatan di kabupaten dan masyarakat perlu mendapatkan pendidikan tentang pentingnya dan efektivitas konseling, Intervensi gizi efektif dan rangkaian konsep layanan. Kampanye komunikasi di kabupaten harus menggunakan argumen tentang kinerja pendidikan serta argumen kesehatan. Mendorong revitalisasi Posyandu dengan menggunakan konseling gizi dan PAUD sebagai kegiatan utama.

iii Jaringan Posyandu yang luas di Indonesia merupakan satu-satunya struktur yang memberikan kemungkinan untuk konseling gizi sampai ke tingkat masyarakat. Dari tahun 2000 hingga 2006, jumlah Posyandu mengalami peningkatan sebesar 15 persen, sedangkan jumlah jenis Posyandu yang berfungsi lebih baik dan lebih berkesinambungan (Purnama dan Mandiri) meningkat sebesar 60 persen, sebuah tren yang layak mendapatkan dukungan. Pengalaman selama dekade terakhir dengan model-model seperti Taman Posyandu menunjukkan bahwa dukungan masyarakat bagi Posyandu lebih berkesinambungan ketika keluarga termotivasi oleh alasan pendidikan dan sosial - khususnya PAUD dan kinerja sekolah yang lebih baik – daripada oleh alasan kesehatan atau gizi saja. Mengembangkan cara-cara untuk memotivasi agen masyarakat dan orang tua. Kabupaten perlu

ivmerevitalisasi dan memotivasi para relawan PKK yang memberikan layanan di Posyandu. Di beberapa kabupaten, pelatihan bagi relawan tentang kegiatan yang menghasi lk an pendapatan yang digabungkan dengan dukungan pemerintah kabupaten untuk mekanisme kredit memberikan insentif kepada relawan yang terl ibat dalam kegiatan promosi pengembangan anak usia dini. Di kabupaten-kabupaten lainnya, kesempatan untuk pelatihan itu sendiri (misalnya, konseling gizi) atau kompetisi yang baik di antara Posyandu dapat dijadikan sebagai insentif.

Apa yang seharusnya dimasukkan dalam Paket Intervensi Gizi Efektif?

Bappenas (National Development Planning Agency) & Ministry of Health (2010): The Landscape Analysis: Indonesia Country Assessment. Final Report, 6 September 2010. Available from:http://www.mediafire.com/?iz88bx6eazx8cz6 Accessed 5 August 2012

Barnett, S.W. (1985). 'Benefit-cost analysis of the Perry Preschool Program and its policy implications.' Educational evaluation and policy analysis. 7: 333-342

Barnett, S.W. (1995). 'Long-term effects of early childhood programs on cognitive school outcomes' The future of children. 5: 25-50.

Bhutta, Z., Ahmed, T., Black, R.E., Cousens, S., Dewey, K., Giugliani, E., Haider, B.A., Kirkwood, B., Morris, S.S., Sachdev, H.P.S. and Shekar, M. (2009): 'What works? Interventions for maternal and child undernutrition and survival.' Maternal and Child Undernutrition 3: Lancet 371:417–440.

BPS-Statistics Indonesia and Macro International (2008): Indonesia Demographic and Health Survey (IDHS 2007). Calverton, Maryland, USA: Macro International and Jakarta: BPS. Kramer, M. (1987): 'Determinants of low birth weight: methodological assessment and meta-analysis.' Bulletin of the World Health Organization 65: 663-737

Ministry of Health (2008a): Laporan Nasional: Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, Jakarta: National Institute of Health Research and Development

Ministry of Health (2008b): Revitalizing Primary Health Care. Country Experience: Indonesia. WHO-SEARO Regional Conference on Revitalizing Primary Health Care, 6-8 August. Jakarta: World Health Organization

Ministry of Health (2011): Laporan Nasional: Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, Jakarta: Ministry of Health, National Institute of Health Research and Development.

Pelto, G., Dickin, K. and Engle, P. (1999). A critical link: Interventions for physical growth and psychological development. Geneva: World Health Organization

Shrimpton, R., Victora, C.G., de Onis, M., Lima, R.C., Blössner, M. and Clugston, G. (2001): 'Worldwide timing of growth faltering: implications for nutritional interventions.' Pediatrics 107: E75

Victora, C.G., Adair, L., Fall, C., Hallal, P.C., Martorell, R., Richter, L. and Sachdev, H.S. (2008): 'Maternal and child undernutrition: consequences for adult health and human capital.' Maternal and Child Undernutrition 2, Lancet 371: 340-357

World Health Organization (1995): 'Physical Status: Uses and Interpretation of Anthropometry.' WHO Technical Report Series, Report No. 854. Geneva, Switzerland: World Health Organization

Konseling gizi bagi ibu hamil dan ibu anak-anak mudaPraktek pemberian makan bayi dan anak yang tepat: inisiasi pemberian ASI dalam jam pertama kelahiran, pemberian ASI eksklusif kepada bayi usia kurang dari enam bulan, dan pengenalan makanan pendamping ASI sesuai dengan praktek-praktek yang direkomendasikan pada usia 6 bulan, dilanjutkan dengan pemberian ASI sampai usia minimal dua tahun Gizi mikro bagi perempuan hamil dan bagi anak yang meliputi: Besi dan asam folat atau suplementasi gizi mikro ganda bagi perempuan hamilGaram beryodium yang memadai bagi semua rumah tangga Suplementasi Vitamin A bagi anak-anak usia 6-59 bulanSuplementasi seng untuk diare pada anak-anak di atas usia 6 bulanPerilaku kebersihan yang baik dalam kehamilan, masa bayi and usia dini Pemberantasan penyakit cacingan bagi ibu dan anak-anak usia 1-5 tahunPengobatan anak yang sangat kurus, dengan menggunakan makanan terapetik siap pakaiPemberian makanan tambahan bagi ibu hamil yang kekurangan energi dan protein bagi ibu hamil kurang makan Calcium supplementation for pregnant womenInsecticide-treated bed nets for pregnant

Sumber

i Puskesmas: Pusat Kesehatan Masyarakat (tingkat kecamatan) ii PKH: Program Keluarga Harapan, program bantuan tunai bersyaratiii Posyandu: Pos Pelayanan Terpadu (tingkat desa) iv PKK: Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga, sebuah jejaring relawan yang luas

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Ini adalah salah satu dari serangkaian Ringkasan Kajian yang dikembangkan oleh UNICEF Indonesia.Hubungi [email protected] atau klik www.unicef.or.id

Maternal and Child Nutrition

ISSUE BRIEFS INDONESIA

19 MEI - JUNI 2013News Edisi 89 20 MEI - JUNI 2013News Edisi 89

alnutrition, especially stunting, is damaging to a young child's development, with negative effects that Mpersist into later life. Studies show that stunting in

young children is closely associated with poor educational performance, reduced years of schooling and lower incomes as adults. Children who are stunted are more likely to grow into adults who are less educated, poorer, less healthy and more prone to non-communicable diseases. Stunting is, therefore, a widely accepted predictor of the poor quality of human capital, which in turn diminishes the future earning capability of a nation.

Interventions to reduce stunting should start well before birth, with the mother's prenatal care and nutrition, and continue up to the age of two years. The process of becoming a stunted child –called length growth faltering – begins in utero, up to two years of age. By the time the child is past two years of age, it is too late to undo the damage of the early years. The mother's health and nutrition status is, therefore, a crucial determinant of stunting in children.

Addressing malnutrition, in particular stunting, requires action in more than one sector. Inadequate dietary intake and disease – which are the immediate causes of maternal and child malnutrition – are due to inappropriate or inadequate infant and young child feeding practices, frequent illnesses and infections, poor hygiene and care practices. In turn, these are caused by factors such as the caregiver's lack of education and knowledge, the use of unsafe water, an insanitary environment, limited access to food and income poverty.

Children receive the greatest benefits when nutrition interventions form part of an integrated early childhood development (ECD) programme. For example, adding micronutrient powders to young children's food or providing fortified foods, and counselling mothers and fathers on feeding practices should go hand-in-hand with teaching parents about optimal health and hygiene practices, activities to improve parenting skills, and psychosocial interventions to promote the child's psychological development. The benefits to society of ECD programmes outweigh the costs by five to seven times.

Whilst Indonesia has shown a steady decline in poverty, child

malnutrition has shown little improvement. From 2007 to 2011, the proportion of poor people in Indonesia declined from 16.6 to 12.5 per cent but malnutrition showed no significant reduction (Figure 1). The prevalence of stunting is especially high, affecting one out of every three children under five years of age, which is a proportion that constitutes a public health problem according to the criteria of the World Health Organization (WHO).

Stunting affects poor children much more. The proportion of children suffering from stunting in the poorest quintile of the population is nearly twice that of children in the highest wealth quintile. Rural areas have a greater proportion of stunted children (40 per cent) than do urban areas (33 per cent). The prevalence of stunting amongst children living in households headed by an uneducated person is 1.7 times higher than that

amongst children living in households headed by a person with tertiary education.

Geographic data show the depth and scope of the malnutrition problem and the need for urgent action. The WHO (1995) classification is used for assessing the severity of malnutrition by prevalence range (low, medium, high, very high) for each indicator.

Stunting varies across Indonesia from medium to very high prevalence. Even in Yogyakarta, the province with the lowest prevalence, stunting affects 23 per cent of children under five years of age. Seven provinces have very high prevalence (40 per cent or more), whilst 17 provinces have high prevalence (30-39 per cent). More than half the children (58 per cent) in East Nusa Tenggara are stunted, a proportion that is some 2.5 times the prevalence in Yogyakarta (Figure 2). Wasting rates are high. Nationally, six per cent of children show severe wasting, which puts them at high risk of death, a situation that has shown no improvement between 2007 and 2010. Nine provinces have very high prevalence of wasting, at 15 per cent or more. Sixteen provinces have high underweight prevalence, affecting 20 per cent or more of children. Underweight prevalence is very high in West Nusa Tenggara, exceeding 30 per cent.

Stunting is particularly challenging because of the scale of the problem, the country's decentralized nature and the limited capacities of local governments. Rough estimates in 2007 indicated that some 81 per cent of districts in Indonesia had high to very high prevalence of child stunting.

National data on maternal nutrition are generally lacking, but low birth weight and anaemia provide an indication. The weight of the child at birth is the direct outcome of the mother's

Critical issues

The need for urgent action

Underweight

Figure 1. Percentage of children under 5 years old affected by moderate & severe malnutrition, Indonesia, 2007-2010.Darker colours indicate levels of severe wasting, underweight & stunting. Source: RISKESDAS, Ministry of Health, Indonesia

health and nutrition status before and during pregnancy. Nationally, the proportion of children with low birth weight in 2010 (11 per cent weighing less than 2,500 grams) did not change significantly from that in 2007. In 14 provinces, the prevalence of low birth weight increased from 2007 to 2010. Anaemia seems to be a problem, affecting around one-quarter of pregnant women in 2007.

More than one-third of all reproductive aged women in Indonesia are not meeting the national requirements for energy or protein dietary intake. In more than one-third of all provinces, this proportion rises to over 40 per cent of reproductive-aged women.

There are three main barriers to improving nutrition and child development in Indonesia.

First, stunting and maternal nutrition are not easily visible. People are generally not aware that malnutrition is a problem, unless it takes the form of severe wasting. Efforts are therefore misdirected at tackling severe wasting, rather than directed at systems and interventions to prevent maternal and child under-nutrition.Second, people associate malnutrition with a lack of food and believe that providing food is the answer. Food availability is not a major cause of malnutrition in Indonesia, although lack of access to food due to poverty may be one of the causes. Even children from the two highest wealth quintiles show medium to high stunting, so food provision alone is not the solution.Third, inadequate knowledge and inappropriate practices are significant barriers to improving nutrition. In general, people do not realize the importance of nutrition during pregnancy and the first two years of life. More specifically:

Women do not realize the importance of their own nutrition. For example, 81 per cent of pregnant women received or bought iron tablets in 2010, but only 18 per cent consumed the tablets as recommended for at least 90 days. The difference between Yogyakarta and West Sulawesi, respectively the best- and worst-performing province in this regard, is 65 percentage points.

Communities and health workers need to understand the importance of exclusive breastfeeding and appropriate infant and young child feeding practices, and provide support to mothers accordingly. The 2007 Indonesia Demographic and Health Survey showed that less than one in three infants below the age of six months were breastfed exclusively and that only 41 per cent of children aged 6-23 months received complementary feeding that was in line with recommended practices on timing, frequency and quality. Families often lack knowledge on nutrition and hygiene practices. According to Riskesdas 2010, a significant proportion of households in Indonesia still use unsafe water (45 per cent) and unsafe means of excreta disposal (49 per cent). At least one in every four households in the poorest two quintiles still practice open defecation. Such practices are linked to diarrhoeal disease, which in turn contributes to malnutrition. In 2007, diarrhoea was the cause of 31 per cent of deaths amongst children in Indonesia between the ages of 1 to 11 months, and 25 per cent of deaths amongst children between the ages of one to four years old. Service providers and community workers do not provide adequate nutrition counselling. Without effective counselling, growth monitoring is ineffective in reducing malnutrition. Local decision makers often do not have sufficient knowledge of what works and what does not work for nutrition. This translates into wasted resources, for example, on preschool feeding programmes, which are not effective in reducing child malnutrition, although they may provide educational benefits. The lack of awareness also translates into inaction on important measures that district decision- makers should implement, for example, the issuance and enforcement of local legislation (Perda) on universal salt iodization or on breastfeeding. In 2007, only 62 per cent of households across Indonesia were able to consume adequately iodized salt, an indicator that has not shown much improvement over recent years.

Interventions related to young child feeding practices and maternal nutrition are key to addressing child malnutrition.

Addressing malnutrition will require scaling up nutrition interventions proven by scientific evidence to work. This is the package of Effective Nutrition Interventions (ENI), which provides a continuum of care from pre-conception to two years of age – covering the "1,000 days" of opportunity. Nutrition counselling of pregnant women and mothers to promote good practices is an essential part of this integrated package (see Box).

National level action is required to strengthen policy and legislative frameworks, institutional mechanisms and human resource development. Special attention should be given to:

Establishing and strengthening a national and subnational coordination mechanism for the implementation of the National Food and Nutrition Action Plan, and for coordination with non-nutrition sectors; Developing, monitoring and enforcing national regulations to control the marketing of breastmilk substitutes; Revising the minimum health services standards to include nutrition actions and targets, such as those related to nutrition counselling, complementary feeding and maternal nutrition; Strengthening the health information system to improve data reliability, promoting supportive supervision of health and nutrition programmes, and promoting the continual use of data by health staff to improve programme impact;

Barriers

Opportunities for action

Maternal and Child Nutrition

ISSUE BRIEFS INDONESIA

19 MEI - JUNI 2013News Edisi 89 20 MEI - JUNI 2013News Edisi 89

alnutrition, especially stunting, is damaging to a young child's development, with negative effects that Mpersist into later life. Studies show that stunting in

young children is closely associated with poor educational performance, reduced years of schooling and lower incomes as adults. Children who are stunted are more likely to grow into adults who are less educated, poorer, less healthy and more prone to non-communicable diseases. Stunting is, therefore, a widely accepted predictor of the poor quality of human capital, which in turn diminishes the future earning capability of a nation.

Interventions to reduce stunting should start well before birth, with the mother's prenatal care and nutrition, and continue up to the age of two years. The process of becoming a stunted child –called length growth faltering – begins in utero, up to two years of age. By the time the child is past two years of age, it is too late to undo the damage of the early years. The mother's health and nutrition status is, therefore, a crucial determinant of stunting in children.

Addressing malnutrition, in particular stunting, requires action in more than one sector. Inadequate dietary intake and disease – which are the immediate causes of maternal and child malnutrition – are due to inappropriate or inadequate infant and young child feeding practices, frequent illnesses and infections, poor hygiene and care practices. In turn, these are caused by factors such as the caregiver's lack of education and knowledge, the use of unsafe water, an insanitary environment, limited access to food and income poverty.

Children receive the greatest benefits when nutrition interventions form part of an integrated early childhood development (ECD) programme. For example, adding micronutrient powders to young children's food or providing fortified foods, and counselling mothers and fathers on feeding practices should go hand-in-hand with teaching parents about optimal health and hygiene practices, activities to improve parenting skills, and psychosocial interventions to promote the child's psychological development. The benefits to society of ECD programmes outweigh the costs by five to seven times.

Whilst Indonesia has shown a steady decline in poverty, child

malnutrition has shown little improvement. From 2007 to 2011, the proportion of poor people in Indonesia declined from 16.6 to 12.5 per cent but malnutrition showed no significant reduction (Figure 1). The prevalence of stunting is especially high, affecting one out of every three children under five years of age, which is a proportion that constitutes a public health problem according to the criteria of the World Health Organization (WHO).

Stunting affects poor children much more. The proportion of children suffering from stunting in the poorest quintile of the population is nearly twice that of children in the highest wealth quintile. Rural areas have a greater proportion of stunted children (40 per cent) than do urban areas (33 per cent). The prevalence of stunting amongst children living in households headed by an uneducated person is 1.7 times higher than that

amongst children living in households headed by a person with tertiary education.

Geographic data show the depth and scope of the malnutrition problem and the need for urgent action. The WHO (1995) classification is used for assessing the severity of malnutrition by prevalence range (low, medium, high, very high) for each indicator.

Stunting varies across Indonesia from medium to very high prevalence. Even in Yogyakarta, the province with the lowest prevalence, stunting affects 23 per cent of children under five years of age. Seven provinces have very high prevalence (40 per cent or more), whilst 17 provinces have high prevalence (30-39 per cent). More than half the children (58 per cent) in East Nusa Tenggara are stunted, a proportion that is some 2.5 times the prevalence in Yogyakarta (Figure 2). Wasting rates are high. Nationally, six per cent of children show severe wasting, which puts them at high risk of death, a situation that has shown no improvement between 2007 and 2010. Nine provinces have very high prevalence of wasting, at 15 per cent or more. Sixteen provinces have high underweight prevalence, affecting 20 per cent or more of children. Underweight prevalence is very high in West Nusa Tenggara, exceeding 30 per cent.

Stunting is particularly challenging because of the scale of the problem, the country's decentralized nature and the limited capacities of local governments. Rough estimates in 2007 indicated that some 81 per cent of districts in Indonesia had high to very high prevalence of child stunting.

National data on maternal nutrition are generally lacking, but low birth weight and anaemia provide an indication. The weight of the child at birth is the direct outcome of the mother's

Critical issues

The need for urgent action

Underweight

Figure 1. Percentage of children under 5 years old affected by moderate & severe malnutrition, Indonesia, 2007-2010.Darker colours indicate levels of severe wasting, underweight & stunting. Source: RISKESDAS, Ministry of Health, Indonesia

health and nutrition status before and during pregnancy. Nationally, the proportion of children with low birth weight in 2010 (11 per cent weighing less than 2,500 grams) did not change significantly from that in 2007. In 14 provinces, the prevalence of low birth weight increased from 2007 to 2010. Anaemia seems to be a problem, affecting around one-quarter of pregnant women in 2007.

More than one-third of all reproductive aged women in Indonesia are not meeting the national requirements for energy or protein dietary intake. In more than one-third of all provinces, this proportion rises to over 40 per cent of reproductive-aged women.

There are three main barriers to improving nutrition and child development in Indonesia.

First, stunting and maternal nutrition are not easily visible. People are generally not aware that malnutrition is a problem, unless it takes the form of severe wasting. Efforts are therefore misdirected at tackling severe wasting, rather than directed at systems and interventions to prevent maternal and child under-nutrition.Second, people associate malnutrition with a lack of food and believe that providing food is the answer. Food availability is not a major cause of malnutrition in Indonesia, although lack of access to food due to poverty may be one of the causes. Even children from the two highest wealth quintiles show medium to high stunting, so food provision alone is not the solution.Third, inadequate knowledge and inappropriate practices are significant barriers to improving nutrition. In general, people do not realize the importance of nutrition during pregnancy and the first two years of life. More specifically:

Women do not realize the importance of their own nutrition. For example, 81 per cent of pregnant women received or bought iron tablets in 2010, but only 18 per cent consumed the tablets as recommended for at least 90 days. The difference between Yogyakarta and West Sulawesi, respectively the best- and worst-performing province in this regard, is 65 percentage points.

Communities and health workers need to understand the importance of exclusive breastfeeding and appropriate infant and young child feeding practices, and provide support to mothers accordingly. The 2007 Indonesia Demographic and Health Survey showed that less than one in three infants below the age of six months were breastfed exclusively and that only 41 per cent of children aged 6-23 months received complementary feeding that was in line with recommended practices on timing, frequency and quality. Families often lack knowledge on nutrition and hygiene practices. According to Riskesdas 2010, a significant proportion of households in Indonesia still use unsafe water (45 per cent) and unsafe means of excreta disposal (49 per cent). At least one in every four households in the poorest two quintiles still practice open defecation. Such practices are linked to diarrhoeal disease, which in turn contributes to malnutrition. In 2007, diarrhoea was the cause of 31 per cent of deaths amongst children in Indonesia between the ages of 1 to 11 months, and 25 per cent of deaths amongst children between the ages of one to four years old. Service providers and community workers do not provide adequate nutrition counselling. Without effective counselling, growth monitoring is ineffective in reducing malnutrition. Local decision makers often do not have sufficient knowledge of what works and what does not work for nutrition. This translates into wasted resources, for example, on preschool feeding programmes, which are not effective in reducing child malnutrition, although they may provide educational benefits. The lack of awareness also translates into inaction on important measures that district decision- makers should implement, for example, the issuance and enforcement of local legislation (Perda) on universal salt iodization or on breastfeeding. In 2007, only 62 per cent of households across Indonesia were able to consume adequately iodized salt, an indicator that has not shown much improvement over recent years.

Interventions related to young child feeding practices and maternal nutrition are key to addressing child malnutrition.

Addressing malnutrition will require scaling up nutrition interventions proven by scientific evidence to work. This is the package of Effective Nutrition Interventions (ENI), which provides a continuum of care from pre-conception to two years of age – covering the "1,000 days" of opportunity. Nutrition counselling of pregnant women and mothers to promote good practices is an essential part of this integrated package (see Box).

National level action is required to strengthen policy and legislative frameworks, institutional mechanisms and human resource development. Special attention should be given to:

Establishing and strengthening a national and subnational coordination mechanism for the implementation of the National Food and Nutrition Action Plan, and for coordination with non-nutrition sectors; Developing, monitoring and enforcing national regulations to control the marketing of breastmilk substitutes; Revising the minimum health services standards to include nutrition actions and targets, such as those related to nutrition counselling, complementary feeding and maternal nutrition; Strengthening the health information system to improve data reliability, promoting supportive supervision of health and nutrition programmes, and promoting the continual use of data by health staff to improve programme impact;

Barriers

Opportunities for action

21 MEI - JUNI 2013News Edisi 89 22 MEI - JUNI 2013News Edisi 89

Strengthening national food fortification programmes by updating fortification standards for wheat, making oil fortification mandatory, and improving the enforcement of the existing legislation on salt iodization; Implementing measures to recruit, develop and retain qualified nutritionists, including incentives for those working in under-served areas.

Implementing ENI at district level will require the commitment of district leaders as well as support from national and provincial levels for a range of actions:

Develop and implement district nutrition plans and budgets for ENI, with clearly defined roles and responsibilities at each

1level, especially for nutritionists at Puskesmas Parts of the ENI package lie outside the health sector and involve many other stakeholders, raising the possibility of fragmented efforts. District decision makers will therefore need to ensure effective coordination, as well as the consistency of the plans with national targets. Coordination with cash transfer

2programmes, such as PKH, is also necessary, to make sure that the services used by beneficiaries are available at high quality.Foster motivation amongst health and nutrition staff with appropriate incentives. Rewards could include professional recognition, increased responsibilities and a performance-based component to salaries, with performance judged against indicators on programme coverage and results. The data from the current food and nutrition surveillance system (Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi) need to be used more effectively for local decision making and targeting. Continual feedback, monitoring and supervisory sessions play important roles in motivating teams, all requiring adequate resources from the district. Prioritize nutrition counselling. District and community health providers need to be educated on the importance and effectiveness of counselling, ENI and the continuum of care

concept. District communication campaigns need to use arguments on education performance as well as health arguments. Encourage the revitalization of Posyandu using nutrition counselling and ECD as central activities. Indonesia's vast

3network of Posyandu is the only structure that offers possibilities for nutrition counselling down to the community level. From 2000 to 2006, the number of Posyandu increased by 15 per cent, whilst the number of better functioning and more sustainable Posyandu types (Purnama and Mandiri) increased by 60 per cent, a trend that merits encouragement. Experience over the past decade with models such as Taman Posyandu shows that community support to Posyandu is more sustained when families are motivated by education and social reasons – notably ECD and better school performance – than by health or nutrition alone.Develop ways to motivate community agents and parents.

4Districts need to revitalize and motivate the PKK volunteers serving in Posyandu. In some districts, training for volunteers in income generating activities combined with district government support for credit mechanisms provide incentives for volunteers involved in activities promoting early childhood development. In others, the opportunity for training itself for instance, on nutrition counselling) or friendly competition amongst Posyandu could act as incentives.

What should the ENI Package include?Nutrition counselling of pregnant women and mothers of young childrenGood infant and young child feeding practices: initiation of breastfeeding within the first hour of birth, exclusive breastfeeding of infants less than six months of age, and introduction of complementary feeding in line with recommended practices at 6 months, with continued breastfeeding up to at least two years of age Micronutrients for pregnant women and for young children including:

Iron and folic acid or multiple micronutrient supplementation for pregnant women Adequately iodized salt for all households Vitamin A supplementation for children aged 6-59 months Zinc supplementation for diarrhoea management amongst children older than 6 months

Good hygiene practices in pregnancy, infancy and early childhoodDeworming for pregnant mothers and children aged 1-5 years Treatment of severe wasting, using ready-to-use therapeutic foodsEnergy and protein supplements for undernourished pregnant womenCalcium supplementation for pregnant women

1 Puskesmas: Community Health Centre (sub-district level)2 PKH: Program Keluarga Harapan, a conditional cash transfer programme3 Posyandu: Integrated Services Post (village level)4 PKK: Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (Family Welfare Empowerment), an

extensive network of volunteers

ResourcesBappenas (National Development Planning Agency) & Ministry of Health (2010): The Landscape Analysis: Indonesia Country Assessment. Final Report, 6 September 2010. Available from: http://www.mediafire.com/?iz88bx6eazx8cz6 Accessed 5 August 2012

Barnett, S.W. (1985). 'Benefit-cost analysis of the Perry Preschool Program and its policy implications.' Educational evaluation and policy analysis. 7: 333-342

Barnett, S.W. (1995). 'Long-term effects of early childhood programs on cognitive school outcomes' The future of children. 5: 25-50.

Bhutta, Z., Ahmed, T., Black, R.E., Cousens, S., Dewey, K., Giugliani, E., Haider, B.A., Kirkwood, B., Morris, S.S., Sachdev, H.P.S. and Shekar, M. (2009): 'What works? Interventions for maternal and child undernutrition and survival.' Maternal and Child Undernutrition 3: Lancet 371:417–440.

BPS-Statistics Indonesia and Macro International (2008): Indonesia Demographic and Health Survey (IDHS 2007). Calverton, Maryland, USA: Macro International and Jakarta: BPS.

Kramer, M. (1987): 'Determinants of low birth weight: methodological assessment and meta-analysis.' Bulletin of the World Health Organization 65: 663-737

Ministry of Health (2008a): Laporan Nasional: Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, Jakarta: National Institute of Health Research and Development

Ministry of Health (2008b): Revitalizing Primary Health Care. Country Experience: Indonesia.

WHO-SEARO Regional Conference on Revitalizing Primary Health Care, 6-8 August. Jakarta: World Health Organization

Ministry of Health (2011): Laporan Nasional: Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, Jakarta: Ministry of Health, National Institute of Health Research and Development.

Pelto, G., Dickin, K. and Engle, P. (1999). A critical link: Interventions for physical growth and psychological development. Geneva: World Health Organization

Shrimpton, R., Victora, C.G., de Onis, M., Lima, R.C., Blössner, M. and Clugston, G. (2001): 'Worldwide timing of growth faltering: implications for nutritional interventions.' Pediatrics 107: E75

Victora, C.G., Adair, L., Fall, C., Hallal, P.C., Martorell, R., Richter, L. and Sachdev, H.S. (2008): 'Maternal and child undernutrition: consequences for adult health and human capital.' Maternal and Child Undernutrition 2, Lancet 371: 340-357

World Health Organization (1995): 'Physical Status: Uses and Interpretation of Anthropometry.' WHO Technical Report Series, Report No. 854. Geneva, Switzerland: World Health Organization.

FOR MORE INFORMATION

This is one of a series of Issue Briefs developed by UNICEF Indonesia. Contact [email protected] or go to www.unicef.or.id

Website of The Month

Pesatnya peningkatan angka golongan kelas menengah (hingga atas) di Indonesia, tidak diikuti dengan mengecilnya angka kesenjangan dengan masyarakat berpenghasilan rendah. Idealnya, kelas menengah ke atas dapat semakin giat memberdayakan masyarakat berpenghasilan rendah agar bangkit dan berdaya.

S a y a n g n y a , p e m b e r d a y a a n i n i s e r i n g t e r g a n j a l ketidakpercayaan antar individu atau golongan. Maka itu, perlu di lakuk an berbagai kegiatan untuk meningk atk an pemberdayaan; antara lain membuka akses agar usaha kecil semakin berkembang, memperkuat komunitas, serta pelayanan informasi kesehatan mumpuni.

Hal ini menjadi latar belakang inisiatif gerakan Dayakan Indonesia; sebagai ruang inspirasi dan kolaborasi publik untuk berbagi dan menghubungkan peluang serta informasi dalam memberdayakan masyarakat berpenghasilan rendah dan usaha kecil agar lebih sejahtera, dan mewujudkan Indonesia yang lebih kuat.

Dayakan Indonesiahttp://dayakanindonesia.com/

TECA adalah sebuah platform dimana Anda dapat menemukan informasi praktis tentang teknologi dan praktik pertanian untuk membantu para produser skala kecil di lapangan. Sebagai tambahan, Anda jugad apat berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan yang sama dan mendiskusikan solusi-solusi berkelanjutan bagi kerja Anda dalam forum-forum online di sini – atau dalam Exchange Groups. Temukan beragak teknologi dan praktik dalam produksi tanaman pangan, kehutanan, peternakan, perikanan, pemasaran, dan banyak lagi! Beberapa di antaranya juga sangat membantu dalam adaptasi terhadap perubahan iklim. Teknologi-teknologi TECA telah teruji dan.atau diadopsi oleh produser skala kecil, mudah direplikasi, diahrapkan dapat meningkatkan produksi dengan cara-cara lestari.

TECAhttp://teca.fao.org/home

21 MEI - JUNI 2013News Edisi 89 22 MEI - JUNI 2013News Edisi 89

Strengthening national food fortification programmes by updating fortification standards for wheat, making oil fortification mandatory, and improving the enforcement of the existing legislation on salt iodization; Implementing measures to recruit, develop and retain qualified nutritionists, including incentives for those working in under-served areas.

Implementing ENI at district level will require the commitment of district leaders as well as support from national and provincial levels for a range of actions:

Develop and implement district nutrition plans and budgets for ENI, with clearly defined roles and responsibilities at each

1level, especially for nutritionists at Puskesmas Parts of the ENI package lie outside the health sector and involve many other stakeholders, raising the possibility of fragmented efforts. District decision makers will therefore need to ensure effective coordination, as well as the consistency of the plans with national targets. Coordination with cash transfer

2programmes, such as PKH, is also necessary, to make sure that the services used by beneficiaries are available at high quality.Foster motivation amongst health and nutrition staff with appropriate incentives. Rewards could include professional recognition, increased responsibilities and a performance-based component to salaries, with performance judged against indicators on programme coverage and results. The data from the current food and nutrition surveillance system (Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi) need to be used more effectively for local decision making and targeting. Continual feedback, monitoring and supervisory sessions play important roles in motivating teams, all requiring adequate resources from the district. Prioritize nutrition counselling. District and community health providers need to be educated on the importance and effectiveness of counselling, ENI and the continuum of care

concept. District communication campaigns need to use arguments on education performance as well as health arguments. Encourage the revitalization of Posyandu using nutrition counselling and ECD as central activities. Indonesia's vast

3network of Posyandu is the only structure that offers possibilities for nutrition counselling down to the community level. From 2000 to 2006, the number of Posyandu increased by 15 per cent, whilst the number of better functioning and more sustainable Posyandu types (Purnama and Mandiri) increased by 60 per cent, a trend that merits encouragement. Experience over the past decade with models such as Taman Posyandu shows that community support to Posyandu is more sustained when families are motivated by education and social reasons – notably ECD and better school performance – than by health or nutrition alone.Develop ways to motivate community agents and parents.

4Districts need to revitalize and motivate the PKK volunteers serving in Posyandu. In some districts, training for volunteers in income generating activities combined with district government support for credit mechanisms provide incentives for volunteers involved in activities promoting early childhood development. In others, the opportunity for training itself for instance, on nutrition counselling) or friendly competition amongst Posyandu could act as incentives.

What should the ENI Package include?Nutrition counselling of pregnant women and mothers of young childrenGood infant and young child feeding practices: initiation of breastfeeding within the first hour of birth, exclusive breastfeeding of infants less than six months of age, and introduction of complementary feeding in line with recommended practices at 6 months, with continued breastfeeding up to at least two years of age Micronutrients for pregnant women and for young children including:

Iron and folic acid or multiple micronutrient supplementation for pregnant women Adequately iodized salt for all households Vitamin A supplementation for children aged 6-59 months Zinc supplementation for diarrhoea management amongst children older than 6 months

Good hygiene practices in pregnancy, infancy and early childhoodDeworming for pregnant mothers and children aged 1-5 years Treatment of severe wasting, using ready-to-use therapeutic foodsEnergy and protein supplements for undernourished pregnant womenCalcium supplementation for pregnant women

1 Puskesmas: Community Health Centre (sub-district level)2 PKH: Program Keluarga Harapan, a conditional cash transfer programme3 Posyandu: Integrated Services Post (village level)4 PKK: Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (Family Welfare Empowerment), an

extensive network of volunteers

ResourcesBappenas (National Development Planning Agency) & Ministry of Health (2010): The Landscape Analysis: Indonesia Country Assessment. Final Report, 6 September 2010. Available from: http://www.mediafire.com/?iz88bx6eazx8cz6 Accessed 5 August 2012

Barnett, S.W. (1985). 'Benefit-cost analysis of the Perry Preschool Program and its policy implications.' Educational evaluation and policy analysis. 7: 333-342

Barnett, S.W. (1995). 'Long-term effects of early childhood programs on cognitive school outcomes' The future of children. 5: 25-50.

Bhutta, Z., Ahmed, T., Black, R.E., Cousens, S., Dewey, K., Giugliani, E., Haider, B.A., Kirkwood, B., Morris, S.S., Sachdev, H.P.S. and Shekar, M. (2009): 'What works? Interventions for maternal and child undernutrition and survival.' Maternal and Child Undernutrition 3: Lancet 371:417–440.

BPS-Statistics Indonesia and Macro International (2008): Indonesia Demographic and Health Survey (IDHS 2007). Calverton, Maryland, USA: Macro International and Jakarta: BPS.

Kramer, M. (1987): 'Determinants of low birth weight: methodological assessment and meta-analysis.' Bulletin of the World Health Organization 65: 663-737

Ministry of Health (2008a): Laporan Nasional: Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, Jakarta: National Institute of Health Research and Development

Ministry of Health (2008b): Revitalizing Primary Health Care. Country Experience: Indonesia.

WHO-SEARO Regional Conference on Revitalizing Primary Health Care, 6-8 August. Jakarta: World Health Organization

Ministry of Health (2011): Laporan Nasional: Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, Jakarta: Ministry of Health, National Institute of Health Research and Development.

Pelto, G., Dickin, K. and Engle, P. (1999). A critical link: Interventions for physical growth and psychological development. Geneva: World Health Organization

Shrimpton, R., Victora, C.G., de Onis, M., Lima, R.C., Blössner, M. and Clugston, G. (2001): 'Worldwide timing of growth faltering: implications for nutritional interventions.' Pediatrics 107: E75

Victora, C.G., Adair, L., Fall, C., Hallal, P.C., Martorell, R., Richter, L. and Sachdev, H.S. (2008): 'Maternal and child undernutrition: consequences for adult health and human capital.' Maternal and Child Undernutrition 2, Lancet 371: 340-357

World Health Organization (1995): 'Physical Status: Uses and Interpretation of Anthropometry.' WHO Technical Report Series, Report No. 854. Geneva, Switzerland: World Health Organization.

FOR MORE INFORMATION

This is one of a series of Issue Briefs developed by UNICEF Indonesia. Contact [email protected] or go to www.unicef.or.id

Website of The Month

Pesatnya peningkatan angka golongan kelas menengah (hingga atas) di Indonesia, tidak diikuti dengan mengecilnya angka kesenjangan dengan masyarakat berpenghasilan rendah. Idealnya, kelas menengah ke atas dapat semakin giat memberdayakan masyarakat berpenghasilan rendah agar bangkit dan berdaya.

S a y a n g n y a , p e m b e r d a y a a n i n i s e r i n g t e r g a n j a l ketidakpercayaan antar individu atau golongan. Maka itu, perlu di lakuk an berbagai kegiatan untuk meningk atk an pemberdayaan; antara lain membuka akses agar usaha kecil semakin berkembang, memperkuat komunitas, serta pelayanan informasi kesehatan mumpuni.

Hal ini menjadi latar belakang inisiatif gerakan Dayakan Indonesia; sebagai ruang inspirasi dan kolaborasi publik untuk berbagi dan menghubungkan peluang serta informasi dalam memberdayakan masyarakat berpenghasilan rendah dan usaha kecil agar lebih sejahtera, dan mewujudkan Indonesia yang lebih kuat.

Dayakan Indonesiahttp://dayakanindonesia.com/

TECA adalah sebuah platform dimana Anda dapat menemukan informasi praktis tentang teknologi dan praktik pertanian untuk membantu para produser skala kecil di lapangan. Sebagai tambahan, Anda jugad apat berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan yang sama dan mendiskusikan solusi-solusi berkelanjutan bagi kerja Anda dalam forum-forum online di sini – atau dalam Exchange Groups. Temukan beragak teknologi dan praktik dalam produksi tanaman pangan, kehutanan, peternakan, perikanan, pemasaran, dan banyak lagi! Beberapa di antaranya juga sangat membantu dalam adaptasi terhadap perubahan iklim. Teknologi-teknologi TECA telah teruji dan.atau diadopsi oleh produser skala kecil, mudah direplikasi, diahrapkan dapat meningkatkan produksi dengan cara-cara lestari.

TECAhttp://teca.fao.org/home

ebagai sebuah cerita, Taman Laut Olele telah menarik perhatian banyak orang. Cerita tentang Olele tidak hanya Smenjadi konsumsi di daerah ini, namun juga menjadi

bahan pembicaraan di luar Gorontalo bahkan telah tembus sampai mancanegara. Sayangnya hal ini belum didukung kenyataan yang ada.

Hari ini Olele masih tetap menjadi the hidden paradise yang masih membutuhkan konsep pengembangan dan tangan terampil mengelolanya. Konsep pengembangan Olele menuju destinasi wisata berkelas dunia menganut pendekatan berbasis masyarakat. Menggunakan pendekatan ini, masyarakat desa dapat terlibat langsung dan menikmati hasil pengelolaannya.

Dalam RIPPDA Provinsi Gorontalo, Taman Laut Olele berada di Zona Timur pengembangan pariwisata Gorontalo yakni tiga segitiga perjalanan wisata jarak pendek antara Olele-Kota dan Desa Bongo. Taman laut yang juga sudah ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) ini adalah pintu gerbang buat pecinta selam yang ingin menyelam di Gorontalo. Keunikan Taman Laut Olele adalah kecantikan terumbu karangnya yang sebagian besar terdapat tebing-tebing karang selain gua-gua yang menyimpan eksotisme tersendiri. Keberadaan sponge yang berbentuk seperti lukisan salvador dali melengkapi keindahan ekosistim terumbu karang di tempat ini.

Untuk mengembangkan Olele menjadi sebuah destinasi wisata berkelas dunia maka perlu diperhatikan beberapa hal-hal berikut. Pertama, Olele harus dapat diakses dengan baik dari berbagai penjuru. Saat ini akses darat menuju Olele diwarnai dengan kondisi jalan yang relatif sempit dan berkelok-kelok serta sangat bergelombang sehingga tidak cukup menjamin kenyamanan para pengunjung. Jalan masuk desa bahkan sangat sempit dan tidak dapat dilebarkan lagi kaena berbatasan dengan tebing jurang kecil di kiri kanannya. Untuk itu pengembangan jalur laut menjadi alternatif yang baik karena sekaligus untuk melayani rute ke lokasi-lokasi wisata yang berada disepanjang kawasan pantai selatan (perairan Teluk Tomini). Akses laut ini akan semakin baik apabila didukung oleh pembuatan dermaga sandar kapal-kapal wisata.

Perbaikan permukiman di desa perlu menjadi perhatian utama. Perumahan penduduk relatif sudah tertata baik walaupun beberapa rumah terkesan kurang terawat. Banyak rumah penduduk yang berada di pesisir pantai tidak cukup memiliki halaman dan langsung berbatasan dengan jalan desa. Perumahan penduduk ini dapat dikembangkan menjadi penginapan bagi para turis atau dengan sistim homestay. Pemerintah Daerah dapat melakukan intervensi penataan kamar-kamar di rumah penduduk sebagai sarana homestay bagi pengunjung yang ingin menginap di desa.

Secara umum, kelembagaan masyarakat untuk pengembangan pariwisata belum memadai. Walaupun demikian, lingkungan sosial desa sangat terbuka bagi

pengunjung untuk berinteraksi. Penerapan Sapta pesona masih sangat rendah. Sebagian masyarakat masih membuang sampah sembarangan. Hewan-hewan ternak masih berkeliaran di jalan dan melepas kotoran di sepanjang jalan desa menuju pantai. Sebagian lagi masih tertutup dan belum terbiasa berinteraksi dengan pengunjung. Umumnya mata pencaharian penduduk desa adalah nelayan dan berkebun. Belum tampak aktivitas ekonomi masyarakat berbasis pengembangan kerajinan tangan. Kedepan, Pemerintah perlu mengoptimalkan kelompok sadar wisata dan penerapan Sapta Pesona kepada masyarakat. Penyuluhan kepariwisataan bagi penduduk perlu diefektifkan melalui saluran-saluran informal seperti mesjid, arisan dan lain-lain. Kelembagaan sosial dan ekonomi penduduk dapat ditingkatkan dengan penumbuhan skill pembuatan kerajinan dan souvenir terutama bagi para ibu-ibu dan pemuda.

Potensi para pemuda desa untuk menjadi guide para penyelam juga perlu dikembangkan. Saat ini para pemuda tersebut bekerja pada sektor perikanan dan perkebunan atau menjadi pekerja pada pekerjaan konstruksi. Sebagian dari para pemuda dimaksud menjadi “pengawas” bagi kegiatan di perairan Desa Olele. Kedepan, potensi pemuda ini dapat dikembangkan sebagai Kader Wisata di desa. Untuk itu, Pemerintah perlu memberi penguatan keahlian menyelam melalui kursus-kursus selam. Pembekalan pengetahuan mengenai ekosistim laut dan potensi taman wisata laut penting bagi para pemuda selain pelatihan mengenai manajemen usaha penyewaan perahu katamaran dan alat-alat selam.

Kekuatan besar Olele sebagai destinasi wisata di masa datang terletak pada Taman Lautnya dan pemukiman penduduk di desa. Dalam jangka panjang, kita perlu bersama mengkondisikan potensi usia dini untuk mengambil alih isu pariwisata di desa Olele kelak. Anak-anak yang sebagian besar bersekolah pada Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama yang ada di desa itu akan menjadi asset penerus pengelolaan Taman Laut Olele. Pendidikan usia dini tentang pariwisata pada umumnya dan potensi obyek wisata Desa Olele pada khususnya akan membantu internalisasi nilai dan budaya dalam rangka pengembangan kepariwisataan. Selain itu, pemahaman dan penerapan Sapta Pesona akan lebih terasa dampaknya jika sejak dini diperkenalkan. Komitmen dan konsistensi dari semua pihak yang dilakukan secara terus menerus pada gilirannya nanti akan mengangkat citra Taman Laut Olele menjadi destinasi unggulan yang berkelas dunia.

SUARA FORUM KTI GORONTALO

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Penulis adalah Kasubdin Pariwisata Dinas Perhubungan dan Pariwisata Provinsi Gorontalo / Koordinator F-KTI Provinsi Gorontalo. Email: [email protected]

Taman Laut Olele,Menuju Destinasi Wisata Berkelas Dunia

OLEH IR. ARYANTO HUSAIN, MMP

FO

TO :

ww

w.f

oru

mse

lam

.co

m

24 MEI - JUNI 2013News Edisi 89

SUARA FORUM KTI NTB

ompak adalah kelompok anak muda yang memiliki tujuan yang sama yakni memanfaatkan waktu muda agar lebih Lmermanfaat. Dimulai pertengahan tahun 2012 yang lalu,

dua orang anak muda dari Desa Darma Sari dilibatkan dalam pelatihan pembuatan pupuk organik yang bertempat di Kecamatan Terara kerjasama LSM Transform dan PT. Sampoerna.Seusai mengikuti pelatihan tersebut, Fauzal Bahri yang kebetulan saat ini dipercaya menjadi Kepala Dusun di desa itu, mencoba mengumpulkan beberapa pemuda untuk mau dibagi pengalaman atau ilmu hasil pelatihannya. Pada awalnya pemuda-pemuda tersebut sulit untuk percaya dan mau berkelompok. Namun dengan perjuangan yang cukup panjang dan setelah diberi pemahaman tentang peluang dan pengembangan ke depan, akhirnya beberapa pemuda mau diajak untuk membentuk kelompok sehingga lahirlah kelompok pemuda kreatif (LOMPAK).Dimulai dengan 16 anggota, LOMPAK mulai mengembangkan usaha nutrisi makanan ternak dan pupuk organik atau kompos dari bahan dasar kotoran ternak. Dengan bantuan LSM Transform, anggota-anggota LOMPAK kemudian mengasah lagi keterampilannya. Pada waktu itu, Transform memberikan bantuan bahan-bahan untuk campuran nutrisi ternak.

Melalui promosi dari mulut ke mulut, kini permintaan nutrisi makanan ternak terus meningkat. “Kami mulai kewalahan menerima pesanan, bahkan untuk pupuk saja kami terpaksa menolak karena keterbatasan peralatan. Sampai saat ini kami hanya bisa memproduksi 100 ton pupuk dan 3 kwintal nutrisi makanan ternak”, ungkap ketua LOMPAK.Selain itu, dengan semakin banyaknya permintaan, masyarakat pun sudah mulai mendukung dan mengarahkan anak-anaknya untuk menjadi anggota. Pemuda-pemuda yang menjadi anggota sudah mulai melupakan kebiasaan-kebiasaan nongkrong dan kegiatan yang bersifat negatif lainnya. ”Yang diharapkan kedepannya adalah kami bisa memiliki peralatan dan mesin pengolahan pupuknya supaya produksi semakin banyak dan cepat, ” ungkap anggota yang lain.

”Saat ini, masyarakat sekitar desa malah sangat bersyukur dengan adanya kegiatan yang kami lakukan”, ungkap Heri. Dengan kondisi geografis desa kami yang berbukit, kami kewalahan untuk membuat kompos di yang terpusat di satu tempat. Sehingga untuk mengatasi hal tersebut kami langsung membuat kompos di kandang-kandang ternak langsung. Melihat hal itu, kami malah dibantu untuk mengumpulkan kotoran-kotoran ternak itu oleh peternaknya sendiri. Alasannya dengan dibuatnya kompos menggunakan kotoran ternak yang ada akan membuat kandang mereka bersih. Padahal sebelumnya kotoran ternak ini merupakan limbah yang sangat mengganggu bagi peternak.Setelah komposnya jadi, baru dilakukan pengepakan dan diangkut untuk kemudian disimpan satu tempat agar lebih mudah pengontrolan dan pemasarannya. Karena keterbatasan

tenaga dan peralatan ada beberapa pesanan yang kami tolak seperti bulan kemarin pemesanan 200 ton dari kecamatan Sembalun kami tolak karena kami masih belum sanggup. Mudah-mudahan kedepannya kami bisa memiliki peralatan yang labih canggih untuk lebih meningkatkan produksi, itu merupakan harapan semua anggota ungkap pak Heri.

Kami merasa bangga dengan lompatan yang dilakukan oleh teman-teman LOMPAK, ungkap Ibu Anik salah satu fasilitator Transform. Walaupun keberadaannya masih baru, namun mampu menunjukkan capaian kinerja yang terukur. Untuk nutrisi makanan ternak yang diproduksinya mampu menembus pasar sampai pulau Sumbawa. Dan hasil percobaan peternak yang di Lombok Utara, dengan memberikan nutrisi makanan ternak yang dibuat oleh LOMPAK mampu memberikan peningkatan bobot berat sapi 6-10 kg per bulannya. Dan keberadaan Lompak merupakan suatu kebanggaan, untuk selanjutnya kami memiliki rencana bagaimana agar kegiatan yang dilakukan ini yang masih manual dapat diterapkan teknologi yang lebih canggih.

Di masa mendatang, LOMPAK juga akan melakukan pembinaan dan pelatihan pembuatan kompos di beberap tempat binaan Transform. Namun untuk tutornya kami tidak lagi kerjasama dengan pihak Universitas Mataram, karena kami akan memberdayakan teman-teman LOMPAK untuk menjadi tutornya. Karena kami sudah menganggap teman-teman LOMPAK sudah mampu untuk itu dan rencananya akan dilaksanakan di bulan Juni 2013.

Untuk saat ini karena kami masih baru dan muda, kami sangat membutuhkan pembinaan. Harapan kami adalah ada perhatian untuk Sumber Daya yang kami miliki saat ini karena kami rasakan masih kurang. Perlu pembinaan karakter anggota karena anggota yang masih muda dan labil sehingga dibutuhkan pelatihan menejemen kelompok dan lembaga. Ungkap pak Usman bendahara LOMPAK. Untuk kompos, kami juga sudah melakukan uji laboraturium untuk melihat kandungan usur yang ada di dalamnya, mudahan dalam waktu dekat akan ada hasil Laboraturiumnya.

Dari hasil diskusi praktik cerdas yang dilakukan di sekretariat LOMPAK bulan Mei lalu, semua anggota berharap supaya LOMPAK kedepannya semakin maju lagi. Artinya manfaat yang dihasilkan tidak hanya untuk anggota kelompok saja, namun lebih luas lagi bagi masyarakat secara umum. Semoga semakin banyak inovasi baru yang muncul di dalam kelompok keren ini.

MENGUBAH KOTORAN TERNAK MENJADI HARTA KARUN

”Diaduk sekali lagi tumpukan komposnya, agar lebih merata” ungkap pak Heri kepada tiga orang anak muda anggota Kelompok Pemuda Kreatif yang pagi itu sedang mengaduk tumpukan kotoran ternak dan campuran abu sekam yang akan dibuat menjadi kompos atau pupuk organik.

23 MEI - JUNI 2013News Edisi 89

OLEH MAHARANI

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Penulis adalah Koordinator Forum KTI Wilayah Nusa Tenggara Barat dan aktif juga di Pusat Pengembangan Sumberdaya Regional dan Pemberdayaan Masyarakat. Penulis dapat dihubungi melalui email [email protected]

ebagai sebuah cerita, Taman Laut Olele telah menarik perhatian banyak orang. Cerita tentang Olele tidak hanya Smenjadi konsumsi di daerah ini, namun juga menjadi

bahan pembicaraan di luar Gorontalo bahkan telah tembus sampai mancanegara. Sayangnya hal ini belum didukung kenyataan yang ada.

Hari ini Olele masih tetap menjadi the hidden paradise yang masih membutuhkan konsep pengembangan dan tangan terampil mengelolanya. Konsep pengembangan Olele menuju destinasi wisata berkelas dunia menganut pendekatan berbasis masyarakat. Menggunakan pendekatan ini, masyarakat desa dapat terlibat langsung dan menikmati hasil pengelolaannya.

Dalam RIPPDA Provinsi Gorontalo, Taman Laut Olele berada di Zona Timur pengembangan pariwisata Gorontalo yakni tiga segitiga perjalanan wisata jarak pendek antara Olele-Kota dan Desa Bongo. Taman laut yang juga sudah ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) ini adalah pintu gerbang buat pecinta selam yang ingin menyelam di Gorontalo. Keunikan Taman Laut Olele adalah kecantikan terumbu karangnya yang sebagian besar terdapat tebing-tebing karang selain gua-gua yang menyimpan eksotisme tersendiri. Keberadaan sponge yang berbentuk seperti lukisan salvador dali melengkapi keindahan ekosistim terumbu karang di tempat ini.

Untuk mengembangkan Olele menjadi sebuah destinasi wisata berkelas dunia maka perlu diperhatikan beberapa hal-hal berikut. Pertama, Olele harus dapat diakses dengan baik dari berbagai penjuru. Saat ini akses darat menuju Olele diwarnai dengan kondisi jalan yang relatif sempit dan berkelok-kelok serta sangat bergelombang sehingga tidak cukup menjamin kenyamanan para pengunjung. Jalan masuk desa bahkan sangat sempit dan tidak dapat dilebarkan lagi kaena berbatasan dengan tebing jurang kecil di kiri kanannya. Untuk itu pengembangan jalur laut menjadi alternatif yang baik karena sekaligus untuk melayani rute ke lokasi-lokasi wisata yang berada disepanjang kawasan pantai selatan (perairan Teluk Tomini). Akses laut ini akan semakin baik apabila didukung oleh pembuatan dermaga sandar kapal-kapal wisata.

Perbaikan permukiman di desa perlu menjadi perhatian utama. Perumahan penduduk relatif sudah tertata baik walaupun beberapa rumah terkesan kurang terawat. Banyak rumah penduduk yang berada di pesisir pantai tidak cukup memiliki halaman dan langsung berbatasan dengan jalan desa. Perumahan penduduk ini dapat dikembangkan menjadi penginapan bagi para turis atau dengan sistim homestay. Pemerintah Daerah dapat melakukan intervensi penataan kamar-kamar di rumah penduduk sebagai sarana homestay bagi pengunjung yang ingin menginap di desa.

Secara umum, kelembagaan masyarakat untuk pengembangan pariwisata belum memadai. Walaupun demikian, lingkungan sosial desa sangat terbuka bagi

pengunjung untuk berinteraksi. Penerapan Sapta pesona masih sangat rendah. Sebagian masyarakat masih membuang sampah sembarangan. Hewan-hewan ternak masih berkeliaran di jalan dan melepas kotoran di sepanjang jalan desa menuju pantai. Sebagian lagi masih tertutup dan belum terbiasa berinteraksi dengan pengunjung. Umumnya mata pencaharian penduduk desa adalah nelayan dan berkebun. Belum tampak aktivitas ekonomi masyarakat berbasis pengembangan kerajinan tangan. Kedepan, Pemerintah perlu mengoptimalkan kelompok sadar wisata dan penerapan Sapta Pesona kepada masyarakat. Penyuluhan kepariwisataan bagi penduduk perlu diefektifkan melalui saluran-saluran informal seperti mesjid, arisan dan lain-lain. Kelembagaan sosial dan ekonomi penduduk dapat ditingkatkan dengan penumbuhan skill pembuatan kerajinan dan souvenir terutama bagi para ibu-ibu dan pemuda.

Potensi para pemuda desa untuk menjadi guide para penyelam juga perlu dikembangkan. Saat ini para pemuda tersebut bekerja pada sektor perikanan dan perkebunan atau menjadi pekerja pada pekerjaan konstruksi. Sebagian dari para pemuda dimaksud menjadi “pengawas” bagi kegiatan di perairan Desa Olele. Kedepan, potensi pemuda ini dapat dikembangkan sebagai Kader Wisata di desa. Untuk itu, Pemerintah perlu memberi penguatan keahlian menyelam melalui kursus-kursus selam. Pembekalan pengetahuan mengenai ekosistim laut dan potensi taman wisata laut penting bagi para pemuda selain pelatihan mengenai manajemen usaha penyewaan perahu katamaran dan alat-alat selam.

Kekuatan besar Olele sebagai destinasi wisata di masa datang terletak pada Taman Lautnya dan pemukiman penduduk di desa. Dalam jangka panjang, kita perlu bersama mengkondisikan potensi usia dini untuk mengambil alih isu pariwisata di desa Olele kelak. Anak-anak yang sebagian besar bersekolah pada Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama yang ada di desa itu akan menjadi asset penerus pengelolaan Taman Laut Olele. Pendidikan usia dini tentang pariwisata pada umumnya dan potensi obyek wisata Desa Olele pada khususnya akan membantu internalisasi nilai dan budaya dalam rangka pengembangan kepariwisataan. Selain itu, pemahaman dan penerapan Sapta Pesona akan lebih terasa dampaknya jika sejak dini diperkenalkan. Komitmen dan konsistensi dari semua pihak yang dilakukan secara terus menerus pada gilirannya nanti akan mengangkat citra Taman Laut Olele menjadi destinasi unggulan yang berkelas dunia.

SUARA FORUM KTI GORONTALO

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Penulis adalah Kasubdin Pariwisata Dinas Perhubungan dan Pariwisata Provinsi Gorontalo / Koordinator F-KTI Provinsi Gorontalo. Email: [email protected]

Taman Laut Olele,Menuju Destinasi Wisata Berkelas Dunia

OLEH IR. ARYANTO HUSAIN, MMP

FO

TO :

ww

w.f

oru

mse

lam

.co

m

24 MEI - JUNI 2013News Edisi 89

SUARA FORUM KTI NTB

ompak adalah kelompok anak muda yang memiliki tujuan yang sama yakni memanfaatkan waktu muda agar lebih Lmermanfaat. Dimulai pertengahan tahun 2012 yang lalu,

dua orang anak muda dari Desa Darma Sari dilibatkan dalam pelatihan pembuatan pupuk organik yang bertempat di Kecamatan Terara kerjasama LSM Transform dan PT. Sampoerna.Seusai mengikuti pelatihan tersebut, Fauzal Bahri yang kebetulan saat ini dipercaya menjadi Kepala Dusun di desa itu, mencoba mengumpulkan beberapa pemuda untuk mau dibagi pengalaman atau ilmu hasil pelatihannya. Pada awalnya pemuda-pemuda tersebut sulit untuk percaya dan mau berkelompok. Namun dengan perjuangan yang cukup panjang dan setelah diberi pemahaman tentang peluang dan pengembangan ke depan, akhirnya beberapa pemuda mau diajak untuk membentuk kelompok sehingga lahirlah kelompok pemuda kreatif (LOMPAK).Dimulai dengan 16 anggota, LOMPAK mulai mengembangkan usaha nutrisi makanan ternak dan pupuk organik atau kompos dari bahan dasar kotoran ternak. Dengan bantuan LSM Transform, anggota-anggota LOMPAK kemudian mengasah lagi keterampilannya. Pada waktu itu, Transform memberikan bantuan bahan-bahan untuk campuran nutrisi ternak.

Melalui promosi dari mulut ke mulut, kini permintaan nutrisi makanan ternak terus meningkat. “Kami mulai kewalahan menerima pesanan, bahkan untuk pupuk saja kami terpaksa menolak karena keterbatasan peralatan. Sampai saat ini kami hanya bisa memproduksi 100 ton pupuk dan 3 kwintal nutrisi makanan ternak”, ungkap ketua LOMPAK.Selain itu, dengan semakin banyaknya permintaan, masyarakat pun sudah mulai mendukung dan mengarahkan anak-anaknya untuk menjadi anggota. Pemuda-pemuda yang menjadi anggota sudah mulai melupakan kebiasaan-kebiasaan nongkrong dan kegiatan yang bersifat negatif lainnya. ”Yang diharapkan kedepannya adalah kami bisa memiliki peralatan dan mesin pengolahan pupuknya supaya produksi semakin banyak dan cepat, ” ungkap anggota yang lain.

”Saat ini, masyarakat sekitar desa malah sangat bersyukur dengan adanya kegiatan yang kami lakukan”, ungkap Heri. Dengan kondisi geografis desa kami yang berbukit, kami kewalahan untuk membuat kompos di yang terpusat di satu tempat. Sehingga untuk mengatasi hal tersebut kami langsung membuat kompos di kandang-kandang ternak langsung. Melihat hal itu, kami malah dibantu untuk mengumpulkan kotoran-kotoran ternak itu oleh peternaknya sendiri. Alasannya dengan dibuatnya kompos menggunakan kotoran ternak yang ada akan membuat kandang mereka bersih. Padahal sebelumnya kotoran ternak ini merupakan limbah yang sangat mengganggu bagi peternak.Setelah komposnya jadi, baru dilakukan pengepakan dan diangkut untuk kemudian disimpan satu tempat agar lebih mudah pengontrolan dan pemasarannya. Karena keterbatasan

tenaga dan peralatan ada beberapa pesanan yang kami tolak seperti bulan kemarin pemesanan 200 ton dari kecamatan Sembalun kami tolak karena kami masih belum sanggup. Mudah-mudahan kedepannya kami bisa memiliki peralatan yang labih canggih untuk lebih meningkatkan produksi, itu merupakan harapan semua anggota ungkap pak Heri.

Kami merasa bangga dengan lompatan yang dilakukan oleh teman-teman LOMPAK, ungkap Ibu Anik salah satu fasilitator Transform. Walaupun keberadaannya masih baru, namun mampu menunjukkan capaian kinerja yang terukur. Untuk nutrisi makanan ternak yang diproduksinya mampu menembus pasar sampai pulau Sumbawa. Dan hasil percobaan peternak yang di Lombok Utara, dengan memberikan nutrisi makanan ternak yang dibuat oleh LOMPAK mampu memberikan peningkatan bobot berat sapi 6-10 kg per bulannya. Dan keberadaan Lompak merupakan suatu kebanggaan, untuk selanjutnya kami memiliki rencana bagaimana agar kegiatan yang dilakukan ini yang masih manual dapat diterapkan teknologi yang lebih canggih.

Di masa mendatang, LOMPAK juga akan melakukan pembinaan dan pelatihan pembuatan kompos di beberap tempat binaan Transform. Namun untuk tutornya kami tidak lagi kerjasama dengan pihak Universitas Mataram, karena kami akan memberdayakan teman-teman LOMPAK untuk menjadi tutornya. Karena kami sudah menganggap teman-teman LOMPAK sudah mampu untuk itu dan rencananya akan dilaksanakan di bulan Juni 2013.

Untuk saat ini karena kami masih baru dan muda, kami sangat membutuhkan pembinaan. Harapan kami adalah ada perhatian untuk Sumber Daya yang kami miliki saat ini karena kami rasakan masih kurang. Perlu pembinaan karakter anggota karena anggota yang masih muda dan labil sehingga dibutuhkan pelatihan menejemen kelompok dan lembaga. Ungkap pak Usman bendahara LOMPAK. Untuk kompos, kami juga sudah melakukan uji laboraturium untuk melihat kandungan usur yang ada di dalamnya, mudahan dalam waktu dekat akan ada hasil Laboraturiumnya.

Dari hasil diskusi praktik cerdas yang dilakukan di sekretariat LOMPAK bulan Mei lalu, semua anggota berharap supaya LOMPAK kedepannya semakin maju lagi. Artinya manfaat yang dihasilkan tidak hanya untuk anggota kelompok saja, namun lebih luas lagi bagi masyarakat secara umum. Semoga semakin banyak inovasi baru yang muncul di dalam kelompok keren ini.

MENGUBAH KOTORAN TERNAK MENJADI HARTA KARUN

”Diaduk sekali lagi tumpukan komposnya, agar lebih merata” ungkap pak Heri kepada tiga orang anak muda anggota Kelompok Pemuda Kreatif yang pagi itu sedang mengaduk tumpukan kotoran ternak dan campuran abu sekam yang akan dibuat menjadi kompos atau pupuk organik.

23 MEI - JUNI 2013News Edisi 89

OLEH MAHARANI

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Penulis adalah Koordinator Forum KTI Wilayah Nusa Tenggara Barat dan aktif juga di Pusat Pengembangan Sumberdaya Regional dan Pemberdayaan Masyarakat. Penulis dapat dihubungi melalui email [email protected]

25 MEI - JUNI 2013News Edisi 89 26 MEI - JUNI 2013News Edisi 89

asil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan jumlah penduduk Indonesia sebesar 237,9 juta jiwa, sehingga Hsudah dapat dipastikan bahwa jumlah penduduk

Indonesia telah melebihi proyeksi semestinya hanya berjumlah 234 juta jiwa pada tahun 2010. Hal ini menunjukkan bahwa program pengendalian penduduk yang dilakukan pada tahun 2000 hingga saat ini belum mampu menahan laju pertumbuhan penduduk. Hal tersebut ditunjukkan dengan peningkatan kesertaan ber-KB (Keluarga Berencana) yang relatif stagnan selama 5 tahun terakhir (Survei Demografi Kesehatan Indonesia atau SDKI 2007- 60,3%, dan SDKI 2012- 61,9%). Serta Total Fertility Rate (TFR) yang stagnan di 2,6%. Adapun tingkat partisipasi KB Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP), khususnya KB Pria, juga stagnan yaitu 2 %, dari target RPJMN 2014 yaitu 5% (SDKI 2012- KB Pria 2 % dengan Kondom 1,8% dan Vasektomi 0,2%).

Dalam rangka meningkatkan kesertaan KB MKJP khususnya KB Pria, Direktorat Bina Kesertaan KB Jalur Wilayah dan Sasaran Khusus BKKBN berusaha untuk lebih memberdayakan dan memberi motivasi kepada para motivator KB Pria Vasektomi yang ada, untuk lebih giat dalam mencari akseptor, melalui kegiatan Saresehan Motivator KB Pria.

Saresehan adalah pertemuan yg diselenggarakan untuk mendengarkan pendapat (prasaran) para ahli mengenai suatu masalah dl bidang tertentu. Sedangkan motivator adalah orang yang memiliki profesi atau pencaharian dari memberikan motivasi kepada orang lain. Pemberian motivasi ini biasanya melalui pelatihan (training), namun bisa juga melalui mentoring, coaching atau konseling.

Oleh karena itu perlu dilaksanakan kegiatan saresehan motivator KB Pria untuk meningkatkan pengetahuan, kapasitas, kualitas dan kompetensi para motivator KB Pria di lapangan. Selain itu juga dapat digunakan untuk saling bertukar pengalaman dan pengetahuan dalam rangka mempengaruhi dan mengajak masyarakat khususnya para suami agar mau ber KB. Untuk itu, Direktorat Bina Kesertaan KB Jalur Wilayah dan Sasaran Khusus, BKKBN mengadakan Sarasehan Motivator KB Pria serta Pertemuan Medis Teknis Pemantapan Kesertaan KB Pasca Melahiran dan Keguguran pada bulan Mei lalu di Yogyakarta. Pesertanya terdiri dari motivator KB Pria dari 33 provinsi se-Indonesia, serta petugas medik dari berbagai provinsi di wilayah Indonesia Tengah. Digabungkannya dua kegiatan ini, sebagai upaya antisipasi menangani sasaran penggarapan yang belum tercapai karena partisipasi pria sebagai akseptor masih jauh dari harapan.

Angka vasektomi baru 0,2 persen, menempati urutan ke-10 dari distribusi pemakaian alat kontrasepsi yang lain. Sedang untuk kondom, angkanya lebih tinggi, tetapi sulit pemantauannya. Demikian juga wanita pasca-melahirkan atau keguguran yang menjadi sasaran penggarapan untuk menjadi akseptor, persentase pencapaiannya juga masih rendah. Deputi KB/KR BKKBN Pusat, Dr dr Yulianto Wicaksono, SpOG, dalam sambutannya ssaat sebelum membuka per temuan menegaskan hasil program KB 10 tahun terakhir ini masih jauh dari memuaskan. Angka kematian ibu melahirkan masih memprihatinkan. Jauh di atas target pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) 2015 yang tinggal dua tahun lagi.

Dalam forum ini perlu dibahas bagaimana mengajak kaum pria menjadi akseptor KB, juga bagaimana para motivator ini bisa melahirkan motivator-motivator KB Pria baru sehingga jangkauan penggarapannya semakin luas. “Jadi kita, kaum pria, kalah dengan wanita. Perlu membangkitkan emansipasi pria dalam hal kesertaan KB,” kata Dr dr Yulianto. Dia menyadari penggarapan di lapangan memang masih banyak ditemui kendala, termasuk upaya menurunkan angka kematian ibu melahirkan, yang masih jauh lebih tinggi dibanding dengan beberapa negara tetangga. Dia berharap ke depan dengan upaya mengajak sebanyak-banyaknya pasangan usia subur ikut progam KB bisa tercapai. Termasuk ibu-ibu pasca-melahirkan maupun pasca keguguran. Semakin muda ibu-ibu ikut KB, maka semakin terbuka kesempatan wanita untuk mengikuti pendidikan. Juga kesehatan lebih terjaga, serta bisa ikut mencari nafkah demi kesejahteraan keluarga, karena waktunya tidak habis untuk mengasuh anak, sekaligus menekan angka kematian ibu melahirkan (karena terlindungi dari kehamilan).

Hadir pula sebagai narasumber adalah Bapak Ismail Husen, Motivator KB Pria yang dipromosikan oleh Forum Kawasan Timur Indonesia pada tahun 2009 sebagai inisiator Praktek Cerdas tentang Partisipasi Pria Ber-KB Vasektomi pada Pertemuan Forum Kawasan Timur Indonesia di Makasar dan pada tahun 2012 mendapat Penghargaan Motivator dan Kelompok KB Pria Anuke Simemon terbaik Tingkat Nasional. Pak Ismail pada Tahun 2012 juga menjadi narasumber di program Kick Andy untuk Inspirasi dari Timur tentang pria ber-KB vasektomi, ditayangkan oleh Metro TV. Tahun 2013, Pak Ismail diberi penghargaan dalam penganugerahan Kick Andy Heroes kategori Kesehatan Reproduksi. Narasumber yang lainnya termasuk Bapak Darwin Nai Bahu; Bapak H. Syaifullah,SE.MSi, Kepala SKPD KB Kab.Situbondo, tentang Strategi Penggarapan KB-Pria; Ibu Dra Yayi Suryo P.MSi,PhD, tentang Strategi Komunikasi untuk meningkatan penerima terhadap KB vasektomi; dan Bapak Dr.dr.Julianto W.SpOG, Deputi KB-KR BKKBN RI. Hasil yang disepakati dalam acara sarasehan KB Pria adalah : 1. Untuk Pencapaian MDGs, menurunkan angka kematian Ibu

melahirkan, menurunkan angka kematian bayi baru lahir dan kesetaraan gender perlu di tingkatkan metode kontrasepsi vasektomi.

2. Setiap daerah harus ada motivator yang bisa diandalkan3. Terbentuknya Asosiasi Motivator KB Pria di tingkat nasional4. Harus ada follow-up untuk pertemuan Asosiasi Motivator KB

Pria di tingkat nasional setiap tahun5. Di daerah masing-masing harus replikasi praktik cerdas

tentang KB Pria

SUARA FORUM KTI SULUT

MOTIVATOR KB PRIAKEGIATAN SARESEHAN

OLEH ISMAIL HUSEN

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Penulis adalah aktivis gender di provinsi Sulawesi Utara dan dapat dihubungi diemail : [email protected]

ingginya tingkat partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan di Puskesmas menuntut hadirnya sebuah unit pengaduan. Dengan dasar inilah kemudian Puskesma Batua di Kelurahan Batua, Kecamatan Manggala, kota TMakassar, Sulawesi Selatan, membentuk sebuah unit pengaduan masyarakat.

”Unit pengaduan di Puskesmas Batua dibentuk pada awal tahun 2011 dan bertujuan untuk mendapatkan informasi dari masyarakat tentang mutu layanan kesehatan”, ungkap Kepala Puskesmas Batua, Syamsiah Densi, di Makassar, Senin (25/2).

Menurut Syamsiah, informasi masyarakat sangat penting karena masyarakat merupakan pengguna sarana kesehatan yang lebih tau tentang layanan yang perlu perbaikan atau penambahan.

”Sejak mulai diterapkan respon masyarakat memberi masukan sangat positif, banyak kekurangan yang sudah mulai dibenahi seperti ruang tunggu pasien diperlus, sarana media hiburan di ruang tunggu disiapkan, antrian di lokate mulai teratur, sikap petugas juga sudah mulai berubah sesuai janji layanan yaitu melayani dengan hati,”lanjut Syamsiah.

artini Ismail (43 tahun), memang tidak sempat mendapatkan pendidikan tinggi. Keterbatasan ekonomi Kkeluarganya membuat ia hanya mampu mengenyam

bangku pendidikan hingga kelas 3 SMA. Meski begitu, pengalaman yang telah didapatkannya tidak kalah dengan lulusan perguruan tinggi.

Setelah 20 tahun menjadi kader posyandi, ibu 4 anak ini mengaku mendapatkan banyak pengalaman hidup yang tak pernah didapatkannya di bangku sekolah. Sebagai seorang kader posyandi, Kartini mendapat tugas penting. Ia harus membujuk warga yang berada di wilayah binaannya untuk akrab dengan posyandu. Seklias ini tugas yang sangat sepele. Namun tidak demikian bagi Kartini.

Saya harus membujuk agar mereka mau ke posyandu”, katanya.

Meskipun posyandu telah tersedia di setiap kelurahan di Makassar, namun tantangan terbesar bagi petugas kesehatan adalah mengajak masyarakat bekunjung ke posyandu untuk mendapatkan fasilitas dan pertolongan kesehatan.

antor Pelayanan Administrasi Perizinan (KPAP) dan Penanaman Modal (KP3M) Kabupaten Barru akan segera Kmemberlakukan layanan sms gateway. Keberadaan

layanan SMS gateway ini merupakan salah satu bagian dari implementasi progra, Kinerja USAID di Kota Makassar dan Kabupaten Barru, khususnya di sektor perizinan. Hal ini terungkap dalam kegiatan Lokakarya Penyusunan Sistem Pelayanan SMS Gateway yang diselenggarakan oleh Jurnal Celebes – Kinerja USAID di Hotel Al Badar, Makassar 16-19 Maret 2013.

Menurut fasilitator Jurnal Celebes, Hazairin, dengan adanya program sms gateway ini maka diharapkan pelayanan di KP3M akan bisa lebih cepat, mudah, dan efektif, sehingga warga pengguna layanan bisa menikmati pelayanan tanpa harus melalui birokrasi yang rumit.

”Kita berharap dengan adanya sms gateway ini pengguna layanan bisa mengetahui informasi layanan perizinan kapanpun dengan hanya menggunakan layanan SMS”, ujar Hazairin, Sabtu (16/3).

Menurut Hazairin, dukungan Jurnal Celebes-Kinerja USAID dalam pengadaan fasiltias sms gateway ini hanya sebatas pendampingan dan dukungan teknis, sementara untuk pengadaan infrastruktur disediakan oleh KPAP Makassar dan KP3M Barru.

Kegiatan lokakarya ini sendiri bertujuan untuk merumuskan desain sms gateway yang akan digunakan, serta membahas dukungan regulasi terhadap keberadaan pelayanan ini.

Turut menjadi narasumber dalam kegiatan ini antar alain Ketua Jurusan Administrasi Negara FISIP UNHAS, Prof. Sangkala, pakar pelayanan publik dari Universitas 45 Arief Wicaksono, dan Direktur Yayasan Adil Sejahtera (YAS) Sulsel, Ismu Iskandar.

Lokakarya ini diikuti oleh SKPD terkait seperti dinas infokom, jurnalis, LSM, BAPPEDA, dan dari KPAP dan KP3M sendiri. Kegiatan ini dilaksanakan dalam dua sesi. Sesi pertama pada 16 dan 17 Maret untuk Kabupaten Barru. Sementara sesi kedua untuk Kota Makassar dilaksanakan pada 18-19 Maret.

KINERJA USAID

Artikel ini diambil dari Tabloid Suara Warga yang diproduksi oleh Program Kinerja USAID di Sulawesi Selatan

Perizinan Barru Dan Makassar Akan Segera Berlakukan SMS GatewayOLEH MUH. ISWANDHI – Jurnalis Warga, Makassar

Unit Pengaduan Tingkatkan Mutu Layanan KesehatanOLEH RAMLUDDIN RAM – Puskesmas Batua

Di sinilah Kartini berperan selaku kader posyandu. Diakuinya, kaum wanita di Makassar terutama yang tinggal di daerah pinggiran, sudah terbiasa hidup tanpa aktivitas. Dan hal ini juga membuat mereka malas mengunjungi posyandu.

Menjadi seorang kader posyandu memberi kesempatan luas bagi Kartini untuk bergabung di organisasi lain. Ia mengeku, pengalamannya di bidang organisasi membuat ia bisa diterima dalam setiap perkumpulan. Aktivitasnya ini pula yang membuat ia berbeda dengan ibu-ibu lainnya dan menjadikan ia kebanggan keluarganya, terutama bagi anak-anak dan suaminya.

”Anak-anak saya merasa bangga memiliki seorang ibu yang aktif dalam lingkungan sosial”, katanya.

Tak sekedar menjalankan tugasnya sebagai kader posyandu, Kartini juga memotivasi para perempuan untuk menjadi perempuan kuat. Bagi Kartini, setiap perempuan harus mandiri dan tidak hanya bergantung kepada suami. Karena itulah, ia mengumpulkan ibu-ibu yang tinggal di sekitar tempat tinggalnya dan mengajak mereka membuat usaha kecil-kecilan.

20 Tahun Jadi Kader PosyanduOLEH RAMLUDDIN RAM – Puskesmas Batua

25 MEI - JUNI 2013News Edisi 89 26 MEI - JUNI 2013News Edisi 89

asil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan jumlah penduduk Indonesia sebesar 237,9 juta jiwa, sehingga Hsudah dapat dipastikan bahwa jumlah penduduk

Indonesia telah melebihi proyeksi semestinya hanya berjumlah 234 juta jiwa pada tahun 2010. Hal ini menunjukkan bahwa program pengendalian penduduk yang dilakukan pada tahun 2000 hingga saat ini belum mampu menahan laju pertumbuhan penduduk. Hal tersebut ditunjukkan dengan peningkatan kesertaan ber-KB (Keluarga Berencana) yang relatif stagnan selama 5 tahun terakhir (Survei Demografi Kesehatan Indonesia atau SDKI 2007- 60,3%, dan SDKI 2012- 61,9%). Serta Total Fertility Rate (TFR) yang stagnan di 2,6%. Adapun tingkat partisipasi KB Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP), khususnya KB Pria, juga stagnan yaitu 2 %, dari target RPJMN 2014 yaitu 5% (SDKI 2012- KB Pria 2 % dengan Kondom 1,8% dan Vasektomi 0,2%).

Dalam rangka meningkatkan kesertaan KB MKJP khususnya KB Pria, Direktorat Bina Kesertaan KB Jalur Wilayah dan Sasaran Khusus BKKBN berusaha untuk lebih memberdayakan dan memberi motivasi kepada para motivator KB Pria Vasektomi yang ada, untuk lebih giat dalam mencari akseptor, melalui kegiatan Saresehan Motivator KB Pria.

Saresehan adalah pertemuan yg diselenggarakan untuk mendengarkan pendapat (prasaran) para ahli mengenai suatu masalah dl bidang tertentu. Sedangkan motivator adalah orang yang memiliki profesi atau pencaharian dari memberikan motivasi kepada orang lain. Pemberian motivasi ini biasanya melalui pelatihan (training), namun bisa juga melalui mentoring, coaching atau konseling.

Oleh karena itu perlu dilaksanakan kegiatan saresehan motivator KB Pria untuk meningkatkan pengetahuan, kapasitas, kualitas dan kompetensi para motivator KB Pria di lapangan. Selain itu juga dapat digunakan untuk saling bertukar pengalaman dan pengetahuan dalam rangka mempengaruhi dan mengajak masyarakat khususnya para suami agar mau ber KB. Untuk itu, Direktorat Bina Kesertaan KB Jalur Wilayah dan Sasaran Khusus, BKKBN mengadakan Sarasehan Motivator KB Pria serta Pertemuan Medis Teknis Pemantapan Kesertaan KB Pasca Melahiran dan Keguguran pada bulan Mei lalu di Yogyakarta. Pesertanya terdiri dari motivator KB Pria dari 33 provinsi se-Indonesia, serta petugas medik dari berbagai provinsi di wilayah Indonesia Tengah. Digabungkannya dua kegiatan ini, sebagai upaya antisipasi menangani sasaran penggarapan yang belum tercapai karena partisipasi pria sebagai akseptor masih jauh dari harapan.

Angka vasektomi baru 0,2 persen, menempati urutan ke-10 dari distribusi pemakaian alat kontrasepsi yang lain. Sedang untuk kondom, angkanya lebih tinggi, tetapi sulit pemantauannya. Demikian juga wanita pasca-melahirkan atau keguguran yang menjadi sasaran penggarapan untuk menjadi akseptor, persentase pencapaiannya juga masih rendah. Deputi KB/KR BKKBN Pusat, Dr dr Yulianto Wicaksono, SpOG, dalam sambutannya ssaat sebelum membuka per temuan menegaskan hasil program KB 10 tahun terakhir ini masih jauh dari memuaskan. Angka kematian ibu melahirkan masih memprihatinkan. Jauh di atas target pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) 2015 yang tinggal dua tahun lagi.

Dalam forum ini perlu dibahas bagaimana mengajak kaum pria menjadi akseptor KB, juga bagaimana para motivator ini bisa melahirkan motivator-motivator KB Pria baru sehingga jangkauan penggarapannya semakin luas. “Jadi kita, kaum pria, kalah dengan wanita. Perlu membangkitkan emansipasi pria dalam hal kesertaan KB,” kata Dr dr Yulianto. Dia menyadari penggarapan di lapangan memang masih banyak ditemui kendala, termasuk upaya menurunkan angka kematian ibu melahirkan, yang masih jauh lebih tinggi dibanding dengan beberapa negara tetangga. Dia berharap ke depan dengan upaya mengajak sebanyak-banyaknya pasangan usia subur ikut progam KB bisa tercapai. Termasuk ibu-ibu pasca-melahirkan maupun pasca keguguran. Semakin muda ibu-ibu ikut KB, maka semakin terbuka kesempatan wanita untuk mengikuti pendidikan. Juga kesehatan lebih terjaga, serta bisa ikut mencari nafkah demi kesejahteraan keluarga, karena waktunya tidak habis untuk mengasuh anak, sekaligus menekan angka kematian ibu melahirkan (karena terlindungi dari kehamilan).

Hadir pula sebagai narasumber adalah Bapak Ismail Husen, Motivator KB Pria yang dipromosikan oleh Forum Kawasan Timur Indonesia pada tahun 2009 sebagai inisiator Praktek Cerdas tentang Partisipasi Pria Ber-KB Vasektomi pada Pertemuan Forum Kawasan Timur Indonesia di Makasar dan pada tahun 2012 mendapat Penghargaan Motivator dan Kelompok KB Pria Anuke Simemon terbaik Tingkat Nasional. Pak Ismail pada Tahun 2012 juga menjadi narasumber di program Kick Andy untuk Inspirasi dari Timur tentang pria ber-KB vasektomi, ditayangkan oleh Metro TV. Tahun 2013, Pak Ismail diberi penghargaan dalam penganugerahan Kick Andy Heroes kategori Kesehatan Reproduksi. Narasumber yang lainnya termasuk Bapak Darwin Nai Bahu; Bapak H. Syaifullah,SE.MSi, Kepala SKPD KB Kab.Situbondo, tentang Strategi Penggarapan KB-Pria; Ibu Dra Yayi Suryo P.MSi,PhD, tentang Strategi Komunikasi untuk meningkatan penerima terhadap KB vasektomi; dan Bapak Dr.dr.Julianto W.SpOG, Deputi KB-KR BKKBN RI. Hasil yang disepakati dalam acara sarasehan KB Pria adalah : 1. Untuk Pencapaian MDGs, menurunkan angka kematian Ibu

melahirkan, menurunkan angka kematian bayi baru lahir dan kesetaraan gender perlu di tingkatkan metode kontrasepsi vasektomi.

2. Setiap daerah harus ada motivator yang bisa diandalkan3. Terbentuknya Asosiasi Motivator KB Pria di tingkat nasional4. Harus ada follow-up untuk pertemuan Asosiasi Motivator KB

Pria di tingkat nasional setiap tahun5. Di daerah masing-masing harus replikasi praktik cerdas

tentang KB Pria

SUARA FORUM KTI SULUT

MOTIVATOR KB PRIAKEGIATAN SARESEHAN

OLEH ISMAIL HUSEN

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Penulis adalah aktivis gender di provinsi Sulawesi Utara dan dapat dihubungi diemail : [email protected]

ingginya tingkat partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan di Puskesmas menuntut hadirnya sebuah unit pengaduan. Dengan dasar inilah kemudian Puskesma Batua di Kelurahan Batua, Kecamatan Manggala, kota TMakassar, Sulawesi Selatan, membentuk sebuah unit pengaduan masyarakat.

”Unit pengaduan di Puskesmas Batua dibentuk pada awal tahun 2011 dan bertujuan untuk mendapatkan informasi dari masyarakat tentang mutu layanan kesehatan”, ungkap Kepala Puskesmas Batua, Syamsiah Densi, di Makassar, Senin (25/2).

Menurut Syamsiah, informasi masyarakat sangat penting karena masyarakat merupakan pengguna sarana kesehatan yang lebih tau tentang layanan yang perlu perbaikan atau penambahan.

”Sejak mulai diterapkan respon masyarakat memberi masukan sangat positif, banyak kekurangan yang sudah mulai dibenahi seperti ruang tunggu pasien diperlus, sarana media hiburan di ruang tunggu disiapkan, antrian di lokate mulai teratur, sikap petugas juga sudah mulai berubah sesuai janji layanan yaitu melayani dengan hati,”lanjut Syamsiah.

artini Ismail (43 tahun), memang tidak sempat mendapatkan pendidikan tinggi. Keterbatasan ekonomi Kkeluarganya membuat ia hanya mampu mengenyam

bangku pendidikan hingga kelas 3 SMA. Meski begitu, pengalaman yang telah didapatkannya tidak kalah dengan lulusan perguruan tinggi.

Setelah 20 tahun menjadi kader posyandi, ibu 4 anak ini mengaku mendapatkan banyak pengalaman hidup yang tak pernah didapatkannya di bangku sekolah. Sebagai seorang kader posyandi, Kartini mendapat tugas penting. Ia harus membujuk warga yang berada di wilayah binaannya untuk akrab dengan posyandu. Seklias ini tugas yang sangat sepele. Namun tidak demikian bagi Kartini.

Saya harus membujuk agar mereka mau ke posyandu”, katanya.

Meskipun posyandu telah tersedia di setiap kelurahan di Makassar, namun tantangan terbesar bagi petugas kesehatan adalah mengajak masyarakat bekunjung ke posyandu untuk mendapatkan fasilitas dan pertolongan kesehatan.

antor Pelayanan Administrasi Perizinan (KPAP) dan Penanaman Modal (KP3M) Kabupaten Barru akan segera Kmemberlakukan layanan sms gateway. Keberadaan

layanan SMS gateway ini merupakan salah satu bagian dari implementasi progra, Kinerja USAID di Kota Makassar dan Kabupaten Barru, khususnya di sektor perizinan. Hal ini terungkap dalam kegiatan Lokakarya Penyusunan Sistem Pelayanan SMS Gateway yang diselenggarakan oleh Jurnal Celebes – Kinerja USAID di Hotel Al Badar, Makassar 16-19 Maret 2013.

Menurut fasilitator Jurnal Celebes, Hazairin, dengan adanya program sms gateway ini maka diharapkan pelayanan di KP3M akan bisa lebih cepat, mudah, dan efektif, sehingga warga pengguna layanan bisa menikmati pelayanan tanpa harus melalui birokrasi yang rumit.

”Kita berharap dengan adanya sms gateway ini pengguna layanan bisa mengetahui informasi layanan perizinan kapanpun dengan hanya menggunakan layanan SMS”, ujar Hazairin, Sabtu (16/3).

Menurut Hazairin, dukungan Jurnal Celebes-Kinerja USAID dalam pengadaan fasiltias sms gateway ini hanya sebatas pendampingan dan dukungan teknis, sementara untuk pengadaan infrastruktur disediakan oleh KPAP Makassar dan KP3M Barru.

Kegiatan lokakarya ini sendiri bertujuan untuk merumuskan desain sms gateway yang akan digunakan, serta membahas dukungan regulasi terhadap keberadaan pelayanan ini.

Turut menjadi narasumber dalam kegiatan ini antar alain Ketua Jurusan Administrasi Negara FISIP UNHAS, Prof. Sangkala, pakar pelayanan publik dari Universitas 45 Arief Wicaksono, dan Direktur Yayasan Adil Sejahtera (YAS) Sulsel, Ismu Iskandar.

Lokakarya ini diikuti oleh SKPD terkait seperti dinas infokom, jurnalis, LSM, BAPPEDA, dan dari KPAP dan KP3M sendiri. Kegiatan ini dilaksanakan dalam dua sesi. Sesi pertama pada 16 dan 17 Maret untuk Kabupaten Barru. Sementara sesi kedua untuk Kota Makassar dilaksanakan pada 18-19 Maret.

KINERJA USAID

Artikel ini diambil dari Tabloid Suara Warga yang diproduksi oleh Program Kinerja USAID di Sulawesi Selatan

Perizinan Barru Dan Makassar Akan Segera Berlakukan SMS GatewayOLEH MUH. ISWANDHI – Jurnalis Warga, Makassar

Unit Pengaduan Tingkatkan Mutu Layanan KesehatanOLEH RAMLUDDIN RAM – Puskesmas Batua

Di sinilah Kartini berperan selaku kader posyandu. Diakuinya, kaum wanita di Makassar terutama yang tinggal di daerah pinggiran, sudah terbiasa hidup tanpa aktivitas. Dan hal ini juga membuat mereka malas mengunjungi posyandu.

Menjadi seorang kader posyandu memberi kesempatan luas bagi Kartini untuk bergabung di organisasi lain. Ia mengeku, pengalamannya di bidang organisasi membuat ia bisa diterima dalam setiap perkumpulan. Aktivitasnya ini pula yang membuat ia berbeda dengan ibu-ibu lainnya dan menjadikan ia kebanggan keluarganya, terutama bagi anak-anak dan suaminya.

”Anak-anak saya merasa bangga memiliki seorang ibu yang aktif dalam lingkungan sosial”, katanya.

Tak sekedar menjalankan tugasnya sebagai kader posyandu, Kartini juga memotivasi para perempuan untuk menjadi perempuan kuat. Bagi Kartini, setiap perempuan harus mandiri dan tidak hanya bergantung kepada suami. Karena itulah, ia mengumpulkan ibu-ibu yang tinggal di sekitar tempat tinggalnya dan mengajak mereka membuat usaha kecil-kecilan.

20 Tahun Jadi Kader PosyanduOLEH RAMLUDDIN RAM – Puskesmas Batua

adan bantuan mengekploitasi teknologi-teknologi baru untuk mengumpulkan informasi yang mendekati real-Btime untuk bersiap, merespon, dan pulih dari berbagai

macam bencana. Credit: QCRI/UNDP. Coba pertimbangkan ini: terdapat banyak lebih data yang

diproduksi tahun 2011 dibandingkan sejarah sebelumnya. Setiap saat kita menelepon, membeli sesuatu atau menggunakan media sosial, kita menciptakan data baru. Informasi yang luar biasa besar ini, jika dianalisa dengan tepat, dapat digunakan untuk menjawab berbagai pertanyaan. Volume data yang masif diciptakan dan disimpan oleh pemerintah-pemerinth, perusahaan swasta (misalnya yang bergerak di bidang telekomunikasi atau provider internet) dan individual dikenal sebagai Data Besar.

Organisasi-organisasi kemanusiaan tengah mencoba untuk mengelola bagaimana lautan informasi ini dapat membantu meningkatkan pelayanan terhadap komunitas-komunitas rentan. Berikut lima hal yang perlu Anda ketahui mengenai Data Besar dan paham kemanusiaan.

1. “Menemukan berbagai cara untuk membuat big data itu bermanfaat bagi para pengambil kebijakan kemanusiaan adalah satu dari tantangan yang besar, dan peluang, di era jaringan ini”, demikian dalam Laporan Paham Kemanusiaan dalam Era Jejaring yang dikeluarkan OCHA. Akses untuk informasi yang mendekati real-time dapat membantu organisasi-organisasi kemanusiaan menyediakan bantuan yang tepat dan menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan yang berkembang. Ini juga ahkan membantu komunitas kemanusiaan mengantisipasi krisis, atau memberi respon yang lebih cepat. Misalnya, studi tahun 2012 menunjukkan monitornig real-time ydari pesan-pesan Twitter di Haiti dapat memprediksi pecahnya wabah kolera thaun 2010 dua minggu sebelum terdeteksi. Kematian akibat kolera, sebagaimana dikatakan dalam Laporan HINA, ”dapat dicegah dan penularannya lebih mudah ditekan pada tahap awal.” Informasi ini bila berada di tangan yang tepat dapat menyelamatkan banyak nyawa.

2. Pekerja kemanusiaan dapat terinspirasi dari mitra pembangunannya. Terdapat banyak sekali kerja yang dapat ditangani dengan mudah oleh para pekerja kemanusiaan. Rober Kikpatrick adalah Direktur UN Global Pulse. ”Global Pulse adalah sebuah inisiatif yang muncul dari krisis finansial global,” ia menjelaskan. ”Ada kesadaran bahwa sekarang ktia hidup dalam dunia yang sangat-terhubung dimana informasi bergerak dengan kecepatan cahaya dan sebuah krisis dapat terjadi di seluruh dunia sangat, sangat cepat,” ungkapnya. ”Namun kami masih menggunakan data statistik dua atau tiga tahun lampau untuk memutuskan banyak kebijakan”. Awal tahun ini Global Pulse menyelenggarakan sebuah kompetisi dimana mereka membuat data dari sebuah provider telepon genggam di Pantai Gading dapat diakses gratis, dan menantang para peneliti untuk menemukan penggunaan inovatif dari data tersebut. Pemenang kompetisi ini menggunakan data untuk memetakan kelompok etnik, dan mengembangkan sebuah model bagaimana sebuah penyakit mewabah.

3. Mendapatkan akses untuk data tidak selalu harus langsung. Dalam kasus Haiti dan Pantai Gading, organisasi-organisasi perlu bernegosiasi dengan perusahaan provider telekomunikasi swasta untuk mengakses data mereka. Masalah kepemilikan dan privasi membuat banyak perusahaan enggan untuk berbagi cadangan data besar mereka. Demikian pula, banyak pemerintah tidak mau membuat data mereka dapat diakses oleh siapa saja (meskipun pada 2011, pemerintah Kenya mulai membuat semua data nasional tersedia secara online).Sosial media merupakan salah satu sumber data yang besar dan

id agencies are exploiting new technologies to gather near real-time information to prepare for, respond to, and Arecover from disasters. Credit: QCRI/UNDP.

Consider this: There was more data produced in 2011 than in all the rest of human history combined. Every time we make a phone call, buy something or use social media, we are creating new data. This huge amount of information can, if analysed correctly, be used to answer any number of questions. This massive volume of data created and stored by governments, the private sector (for example telecoms or internet providers) and individuals is known as Big Data.

Humanitarian organizations are trying to come to terms with how this ocean of information can help them deliver better services to vulnerable communities. Here are five things you need to know about big data and humanitarianism.

1. “Finding ways to make big data useful to humanitarian decision makers is one of the great challenges, and o p p o r t u n i t i e s , o f t h e n e t w o r k a g e ,” s a y s O C H A ' s

Report. Access to near real-time information can help humanitarian organizations provide more targeted assistance and become more responsive to needs as they evolve.It could even help the humanitarian community pre-empt crises, or respond to them more quickly. For example, a 2012 study demonstrated that real-time monitoring of Twitter messages in Haiti could have predicted the 2010 cholera outbreak two weeks earlier than it was eventually detected. Cholera deaths, as the HINA Report points out, “are preventable and outbreaks are more easily dealt with in their early stages.” This information in the right hands could have saved lives.

2. Humanitarians can draw inspiration from their development partners. There is already a lot of work being done that humanitarians could easily capitalize on. Robert Kikpatrick is the Director of “Global Pulse is an initiative that came out of the global financial crisis,” he explains. “There was a recognition that we now live in this hyper-connected world where information moves at the speed of light and a crisis can be all around the world very, very quickly,”

“But we're still using two- to three-year-old statistics to make most policy decisions.”Earlier this year Global Pulse in which they made data from a mobile phone provider in Côte d'Ivoire freely available, and challenged researches to find innovative uses for it. The winning entries included using the data to map divisions between ethnic groups, and developing a model of how diseases spread.

Humanitarianism in the Network Age

UN Global Pulse.

he said.

ran a competition

lebih mudah diakses karena banyak informasi yang sudah umum. Sebagai hasil, ini telah banyak mendorong lahirnya penelitian inovasi dan penelitian data besar terkait kemanusiaan. Sebagai contoh, dalam 24 jam angin topan Bopha menyerang Filipina pada akhir tahun 2012, the Digital Humanitarian Network langsung dapat mengkategorisasi 20.000 pesan media sosial untuk membuat peta dampak dari badai tersebut.

4. Data Besar harus melengkapi sumber-sumber informasi yang telah ada, bukan menggantikannya. Patrick Meier dari Qatar Computing Research Institute mengingatkan bahwa kita seharusnya tidak melihat data besar sebagai obat dari berbagai penyakit komunikasi kita. ”Situasinya adalah bukan juga/atau, tetapi keduanya/dan.” tulisnya. ”Data (Krisis) Besar dari media sosial dapat salig melengkapi ketimbang menggantikan sumber-sumber informasi dan metode tradisional.”Data besar, khususnya bila dihasilkan dari media sosial, memiliki keterbatasannya sendiri. Ada pertimbangan yang besar terkait bias; dalam mengembangkan konteks dimana akses internet terbatas, data diambil dari Twitter kemungkinan lebih dari mewakili elit-elit perkotaan. Namun bias data bukanlah hal yang baru, dan terdapat beragam metode untuk menyeimbangkan atau memperbaikinya.Pertimbangan tentang akurasi informasi yang diperoleh dari media sosial juga terkadang berlebihan. Misalnya, harian Guardian di Inggris melansir akun Twitter yang menarik tentang bagaimana mengoreksi informasi yang keliru selama Kerusuhan London 2011.

5. Kita tidak bisa mengasumsikan data yang lebih baik akan mengarah pada pengambilan keputusan yang lebih baik. Data Besar, demikian argumentasinya, harus mengarahkan pada pengambilan keputusan yang lebih baik dan lebih terinformasi. Namun sayangnya, keputusan-keputusan tidak selalu didorong oleh bukti. Ambil contoh kelaparan di Tanduk Afrik tahun 2011. Pada awal 2010, banyak organisasi PBB dan organisasi kemanusiaan lainnya mengingatkan adanya krisis pangan besar. Setahun sebelumnya, kelaparan mulai terjadi di Somalia, badan yang memonitor FEWSNET mengeluarkan elbih dari 70 buletin peringatan dini dan lusinan briefing ke pemerintah dan donor. Namun peringatan-peringatan dini tersebut tidak ditanggapi, dan dukungan yang luar biasa besar yang diperlukan baru dimobilisasi setelah krisisnya semakin besar. Sepuluh ribu orang dinyatakan meninggal.

3. Getting access to data is not necessarily straightforward. In the case of both Haiti and Côte d'Ivoire, organizations needed to negotiate with private telecommunication providers to access their data. Proprietary and privacy concerns mean that many corporations are reluctant to share their massive data reserves. Similarly, many governments are unwilling to make their data accessible to anyone (although in 2011, the Kenyan government started making all of its national data available online).Social media is one source of big data in which access is easier because much of the information is already public. As a result, it has driven much of the early humanitarian-related big data research and innovation. For example, within 24 hours of Typhoon Bopha hitting the Philippines at the end of 2012, the

4. Big data should complement existing sources of information, not replace them. of the Qatar Computing Research Institute warns that we should not see big data as a cure for all of our information ills. “The situation is not either/or, but rather a both/and,” he writes. “Big (Crisis) Data from social media can complement rather than replace traditional information sources and methods.”Big data, especially when generated by social media, has its limitations. There are obvious concerns about bias; in developing contexts where internet access is limited, data drawn from Twitter probably over-represents urban elites. But bias in data is not new, and there are methods of balancing or correcting it.Concerns about the accuracy of information drawn from social media may also be overstated. For example, the UK's Guardian newspaper produced of how Twitter corrected misinformation during the 2011 London Riots.

5. We cannot assume that better data will necessarily lead to better decision-making. Big Data, the argument goes, should lead to better and more informed decision-making. But unfortunately, decisions are not always driven by evidence. Take the 2011 famine in the Horn of Africa. As early as 2010, many UN and humanitarian organizations were warning about the looming food crisis.In the year before the famine took its grip on Somalia, the monitoring agency issued more than 70 early warning bulletins and delivered dozens of briefings to donor governments. But these early warnings were not acted on, and the huge amount of support that was needed was only mobilized when the crisis had taken grip. Tens of thousands of people died.

Digital Humanitarian Network was able to categorize 20,000 social media messages 'to create a map of the storms impact.

Patrick Meier

a compelling account

FEWSNET

Data Besar Dan Paham Kemanusiaan :

Big Data And Humanitarianism:

5 THINGS YOU NEED TO KNOW

5 HAL YANG PERLU ANDA KETAHUI

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Tulisan ini juga dapat dibaca pada website United Nation Office for the Coordination of Humanitarians Affairs di link berikut http://www.unocha.org/top-stories/all-stories/five-things-big-data-and-humanitarianism

UNITED NATION OCHA

27 MEI - JUNI 2013News Edisi 89 28 MEI - JUNI 2013News Edisi 89

adan bantuan mengekploitasi teknologi-teknologi baru untuk mengumpulkan informasi yang mendekati real-Btime untuk bersiap, merespon, dan pulih dari berbagai

macam bencana. Credit: QCRI/UNDP. Coba pertimbangkan ini: terdapat banyak lebih data yang

diproduksi tahun 2011 dibandingkan sejarah sebelumnya. Setiap saat kita menelepon, membeli sesuatu atau menggunakan media sosial, kita menciptakan data baru. Informasi yang luar biasa besar ini, jika dianalisa dengan tepat, dapat digunakan untuk menjawab berbagai pertanyaan. Volume data yang masif diciptakan dan disimpan oleh pemerintah-pemerinth, perusahaan swasta (misalnya yang bergerak di bidang telekomunikasi atau provider internet) dan individual dikenal sebagai Data Besar.

Organisasi-organisasi kemanusiaan tengah mencoba untuk mengelola bagaimana lautan informasi ini dapat membantu meningkatkan pelayanan terhadap komunitas-komunitas rentan. Berikut lima hal yang perlu Anda ketahui mengenai Data Besar dan paham kemanusiaan.

1. “Menemukan berbagai cara untuk membuat big data itu bermanfaat bagi para pengambil kebijakan kemanusiaan adalah satu dari tantangan yang besar, dan peluang, di era jaringan ini”, demikian dalam Laporan Paham Kemanusiaan dalam Era Jejaring yang dikeluarkan OCHA. Akses untuk informasi yang mendekati real-time dapat membantu organisasi-organisasi kemanusiaan menyediakan bantuan yang tepat dan menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan yang berkembang. Ini juga ahkan membantu komunitas kemanusiaan mengantisipasi krisis, atau memberi respon yang lebih cepat. Misalnya, studi tahun 2012 menunjukkan monitornig real-time ydari pesan-pesan Twitter di Haiti dapat memprediksi pecahnya wabah kolera thaun 2010 dua minggu sebelum terdeteksi. Kematian akibat kolera, sebagaimana dikatakan dalam Laporan HINA, ”dapat dicegah dan penularannya lebih mudah ditekan pada tahap awal.” Informasi ini bila berada di tangan yang tepat dapat menyelamatkan banyak nyawa.

2. Pekerja kemanusiaan dapat terinspirasi dari mitra pembangunannya. Terdapat banyak sekali kerja yang dapat ditangani dengan mudah oleh para pekerja kemanusiaan. Rober Kikpatrick adalah Direktur UN Global Pulse. ”Global Pulse adalah sebuah inisiatif yang muncul dari krisis finansial global,” ia menjelaskan. ”Ada kesadaran bahwa sekarang ktia hidup dalam dunia yang sangat-terhubung dimana informasi bergerak dengan kecepatan cahaya dan sebuah krisis dapat terjadi di seluruh dunia sangat, sangat cepat,” ungkapnya. ”Namun kami masih menggunakan data statistik dua atau tiga tahun lampau untuk memutuskan banyak kebijakan”. Awal tahun ini Global Pulse menyelenggarakan sebuah kompetisi dimana mereka membuat data dari sebuah provider telepon genggam di Pantai Gading dapat diakses gratis, dan menantang para peneliti untuk menemukan penggunaan inovatif dari data tersebut. Pemenang kompetisi ini menggunakan data untuk memetakan kelompok etnik, dan mengembangkan sebuah model bagaimana sebuah penyakit mewabah.

3. Mendapatkan akses untuk data tidak selalu harus langsung. Dalam kasus Haiti dan Pantai Gading, organisasi-organisasi perlu bernegosiasi dengan perusahaan provider telekomunikasi swasta untuk mengakses data mereka. Masalah kepemilikan dan privasi membuat banyak perusahaan enggan untuk berbagi cadangan data besar mereka. Demikian pula, banyak pemerintah tidak mau membuat data mereka dapat diakses oleh siapa saja (meskipun pada 2011, pemerintah Kenya mulai membuat semua data nasional tersedia secara online).Sosial media merupakan salah satu sumber data yang besar dan

id agencies are exploiting new technologies to gather near real-time information to prepare for, respond to, and Arecover from disasters. Credit: QCRI/UNDP.

Consider this: There was more data produced in 2011 than in all the rest of human history combined. Every time we make a phone call, buy something or use social media, we are creating new data. This huge amount of information can, if analysed correctly, be used to answer any number of questions. This massive volume of data created and stored by governments, the private sector (for example telecoms or internet providers) and individuals is known as Big Data.

Humanitarian organizations are trying to come to terms with how this ocean of information can help them deliver better services to vulnerable communities. Here are five things you need to know about big data and humanitarianism.

1. “Finding ways to make big data useful to humanitarian decision makers is one of the great challenges, and o p p o r t u n i t i e s , o f t h e n e t w o r k a g e ,” s a y s O C H A ' s

Report. Access to near real-time information can help humanitarian organizations provide more targeted assistance and become more responsive to needs as they evolve.It could even help the humanitarian community pre-empt crises, or respond to them more quickly. For example, a 2012 study demonstrated that real-time monitoring of Twitter messages in Haiti could have predicted the 2010 cholera outbreak two weeks earlier than it was eventually detected. Cholera deaths, as the HINA Report points out, “are preventable and outbreaks are more easily dealt with in their early stages.” This information in the right hands could have saved lives.

2. Humanitarians can draw inspiration from their development partners. There is already a lot of work being done that humanitarians could easily capitalize on. Robert Kikpatrick is the Director of “Global Pulse is an initiative that came out of the global financial crisis,” he explains. “There was a recognition that we now live in this hyper-connected world where information moves at the speed of light and a crisis can be all around the world very, very quickly,”

“But we're still using two- to three-year-old statistics to make most policy decisions.”Earlier this year Global Pulse in which they made data from a mobile phone provider in Côte d'Ivoire freely available, and challenged researches to find innovative uses for it. The winning entries included using the data to map divisions between ethnic groups, and developing a model of how diseases spread.

Humanitarianism in the Network Age

UN Global Pulse.

he said.

ran a competition

lebih mudah diakses karena banyak informasi yang sudah umum. Sebagai hasil, ini telah banyak mendorong lahirnya penelitian inovasi dan penelitian data besar terkait kemanusiaan. Sebagai contoh, dalam 24 jam angin topan Bopha menyerang Filipina pada akhir tahun 2012, the Digital Humanitarian Network langsung dapat mengkategorisasi 20.000 pesan media sosial untuk membuat peta dampak dari badai tersebut.

4. Data Besar harus melengkapi sumber-sumber informasi yang telah ada, bukan menggantikannya. Patrick Meier dari Qatar Computing Research Institute mengingatkan bahwa kita seharusnya tidak melihat data besar sebagai obat dari berbagai penyakit komunikasi kita. ”Situasinya adalah bukan juga/atau, tetapi keduanya/dan.” tulisnya. ”Data (Krisis) Besar dari media sosial dapat salig melengkapi ketimbang menggantikan sumber-sumber informasi dan metode tradisional.”Data besar, khususnya bila dihasilkan dari media sosial, memiliki keterbatasannya sendiri. Ada pertimbangan yang besar terkait bias; dalam mengembangkan konteks dimana akses internet terbatas, data diambil dari Twitter kemungkinan lebih dari mewakili elit-elit perkotaan. Namun bias data bukanlah hal yang baru, dan terdapat beragam metode untuk menyeimbangkan atau memperbaikinya.Pertimbangan tentang akurasi informasi yang diperoleh dari media sosial juga terkadang berlebihan. Misalnya, harian Guardian di Inggris melansir akun Twitter yang menarik tentang bagaimana mengoreksi informasi yang keliru selama Kerusuhan London 2011.

5. Kita tidak bisa mengasumsikan data yang lebih baik akan mengarah pada pengambilan keputusan yang lebih baik. Data Besar, demikian argumentasinya, harus mengarahkan pada pengambilan keputusan yang lebih baik dan lebih terinformasi. Namun sayangnya, keputusan-keputusan tidak selalu didorong oleh bukti. Ambil contoh kelaparan di Tanduk Afrik tahun 2011. Pada awal 2010, banyak organisasi PBB dan organisasi kemanusiaan lainnya mengingatkan adanya krisis pangan besar. Setahun sebelumnya, kelaparan mulai terjadi di Somalia, badan yang memonitor FEWSNET mengeluarkan elbih dari 70 buletin peringatan dini dan lusinan briefing ke pemerintah dan donor. Namun peringatan-peringatan dini tersebut tidak ditanggapi, dan dukungan yang luar biasa besar yang diperlukan baru dimobilisasi setelah krisisnya semakin besar. Sepuluh ribu orang dinyatakan meninggal.

3. Getting access to data is not necessarily straightforward. In the case of both Haiti and Côte d'Ivoire, organizations needed to negotiate with private telecommunication providers to access their data. Proprietary and privacy concerns mean that many corporations are reluctant to share their massive data reserves. Similarly, many governments are unwilling to make their data accessible to anyone (although in 2011, the Kenyan government started making all of its national data available online).Social media is one source of big data in which access is easier because much of the information is already public. As a result, it has driven much of the early humanitarian-related big data research and innovation. For example, within 24 hours of Typhoon Bopha hitting the Philippines at the end of 2012, the

4. Big data should complement existing sources of information, not replace them. of the Qatar Computing Research Institute warns that we should not see big data as a cure for all of our information ills. “The situation is not either/or, but rather a both/and,” he writes. “Big (Crisis) Data from social media can complement rather than replace traditional information sources and methods.”Big data, especially when generated by social media, has its limitations. There are obvious concerns about bias; in developing contexts where internet access is limited, data drawn from Twitter probably over-represents urban elites. But bias in data is not new, and there are methods of balancing or correcting it.Concerns about the accuracy of information drawn from social media may also be overstated. For example, the UK's Guardian newspaper produced of how Twitter corrected misinformation during the 2011 London Riots.

5. We cannot assume that better data will necessarily lead to better decision-making. Big Data, the argument goes, should lead to better and more informed decision-making. But unfortunately, decisions are not always driven by evidence. Take the 2011 famine in the Horn of Africa. As early as 2010, many UN and humanitarian organizations were warning about the looming food crisis.In the year before the famine took its grip on Somalia, the monitoring agency issued more than 70 early warning bulletins and delivered dozens of briefings to donor governments. But these early warnings were not acted on, and the huge amount of support that was needed was only mobilized when the crisis had taken grip. Tens of thousands of people died.

Digital Humanitarian Network was able to categorize 20,000 social media messages 'to create a map of the storms impact.

Patrick Meier

a compelling account

FEWSNET

Data Besar Dan Paham Kemanusiaan :

Big Data And Humanitarianism:

5 THINGS YOU NEED TO KNOW

5 HAL YANG PERLU ANDA KETAHUI

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Tulisan ini juga dapat dibaca pada website United Nation Office for the Coordination of Humanitarians Affairs di link berikut http://www.unocha.org/top-stories/all-stories/five-things-big-data-and-humanitarianism

UNITED NATION OCHA

27 MEI - JUNI 2013News Edisi 89 28 MEI - JUNI 2013News Edisi 89

29 30 MEI - JUNI 2013News Edisi 89 MEI - JUNI 2013News Edisi 89

UNICEF Indonesia bekerja sama dengan BaKTI melaksanakan Diseminasi Issue Brief UNICEF yang berjudul “Mengefektifkan Desentralisasi bagi Anak-anak di Indonesia”. Hadir sebagai narasumber Niloufar Pourzand, PhD (Chief, Social Policy & Monitoring UNICEF Indonesia) dan Roshni Basu (Knowledge Management Specialist UNICEF Indonesia. Diskusi ini juga menghadirkan Dr. Agussalim (P3KM UNHAS dan Focal Point JiKTI Sulawesi Selatan) sebagai penanggap dan dihadiri kurang lebih 47 orang yang terdiri dari pemerintah daerah, akademisi, LSM, kelompok masyarakat dan media. Diskusi ini mencatat bahwa pembangunan kita selama ini berbasis sektoral. Konsep pembangunan lebih bicara tentang pendidikan, kesehatan, pertanian, infrastruktur, dan tidak bicara mengenai aktor-aktor di balik itu. Sector-based lebih menonjol daripada actor-based. Apa yang terjadi adalah banyak sektor yang berkembang pesat namun pelaku di balik itu malah memburuk penghidupannya. Seringkali sektor pendidikan menunjukkan kinerja yang baik, tetapi kondisi anak-anak tidak semakin baik. Anak seharusnya menjadi subyek dari pembangunan, bukan menjadi obyek.

KEGIATAN di BaKTI

27 Mei 2013 DISEMINASI ISSUE BRIEF UNICEF “Mengefektifkan Desentralisasi bagi Anak-anak di Indonesia”

khir tahun 2012, Yayasan BaKTI yang didukung oleh Australia Indonesia Partnership for Decentralization A(AIPD) mengevaluasi kualitas jangkauan, cakupan dan

intensitas, serta dampak dari lima produk kunci bagi para pelaku pembangunan. BaKTINews adalah satu dari kelima produk kunci yang dievaluasi.

Kegiatan evaluasi dilaksanakan di duabelas provinsi di kawasan timur Indonesia yang menjadi target wilayah kerja Yayasan BaKTI. Pengumpulan data dilakukan melalui proses review dokumen program, wawancara staf program, wawancara informan kunci, dan Focus Group Discussion. Responden dipilih secara purposif dan merujuk pada database Yayasan BaKTI dengan mempertimbangkan representasi wilayah serta target kelompok stakeholder program.

BaKTINews adalah media pertukaran informasi yang diterbitkan sekali sebulan yang berisi artikel‐artikel dan informasi pembangunan dari para pelaku pembangunan di seluruh Kawasan Timur Indonesia. BaKTINews merupakan alat dan teknologi dalam siklus Knowledge Management BaKTI terutama pada proses kedua, yaitu “Knowledge Sharing and Dissemination”.

Kehadiran produk ini juga merupakan bagian dari usaha untuk mencapai Objective 2 Yayasan BaKTI yaitu “Mendorong para pelaku pembangunan untuk saling belajar dan berbagi pengetahuan untuk meningkatkan kualitas program pembangunan.”

Perkembangan BaKTINews sebagai flagship media pertukaran pengetahuan Yayasan BaKTI sangat pesat, sejak pertama kali terbit pada tahun 2005 dengan delapan halaman dan menjangkau 200 pembaca hingga saat ini BaKTINews terbit dengan tigapuluhdua halaman dan dikirimkan dalam bentuk hardcopy ke 2,200 penerima serta dalam bentuk elektronik ke 1,000 penerima.

Hampir semua responden yang diwawancarai pernah membaca produk (95%) yang mereka terima terutama melalui Pos. Survey yang dilakukan pada tahun 2012 menunjukkan bahwa 93.88% responden menyatakan mereka menerima BaKTINews melalui jasa Pos, meningkat dari 66,2% pada survey 2011.

Informasi dari BaKTINews yang menarik bagi para responden adalah Praktik Cerdas, isu lingkungan dan pendidikan, berita ekonomi, praktik anggaran dan praktik jender, teknologi tepat guna, dan informasi-informasi yang terkait dengan otonomi daerah. Hal ini konsisten dengan survey yang pernah dilakukan BaKTI pada tahun 2011 di mana 52.1% reponden menyebut Praktik Cerdas sebagai informasi yang paling diminati.

Sampai saat ini, belum banyak responden yang diwawancarai yang memanfaatkan produk ini untuk membagikan pengetahuan mereka melalui tulisan untuk dimuat dalam BaKTINews. Baru sekitar 16% responden yang pernah mengirimkan tulisan mengenai pemberdayaan perempuan, pemberdayaan masyarakat, perubahan iklim, Praktik Cerdas, dan ketahanan pangan. Tulisan yang mereka kirimkan berkaitan dengan aksesibilitas pendidikan, pengelolaan keuangan, pengolahan air bersih, dan masalah bencana alam.

Sekilas tentang BaKTINews

Temuan Evaluasi

Evaluasi Eksternal terhadap BaKTINewsProgram Pertukaran Pengetahuan

Kawasan Timur Indonesia

BaKTI NEWS

BaKTI bekerjasama dengan Warungkopi pemda, sebuah komunitas yang beranggotakan pegawai negeri sipil pada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/BPKP Sulawesi Selatan melaksanakan Bedah Buku dan bincang-bincang santai dengan tema "Kiat dan Trik Pengelolaan Aset Daerah". Rendahnya jumlah pemerintah daerah yang belum mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK sebagian besar disebabkan oleh permasalahan penanganan aset tetap daerah. Buku Aset Tetap Daerah yang diterbitkan oleh Warungkopi pemda merupakan sebuah buku yang diharapkan dapat memberikan masukan dan dapat dijadikan sebagai referensi bagi para praktisi dalam menangani masalah aset tetap daerah mulai dari penganggaran hingga pelaporan. Hadirnya buku aset tetap daerah yang mencoba menggali permasalahan aset tetap secara filosofis dan praktis diharapkan dapat memberi arahan dan pemahaman yang mendalam kepada para praktisi untuk secara mandiri dapat mengatasi tantangan yang selama ini terjadi. Hadir dalam diskusi ini pegawai negeri sipil dari BPKP, pemerintah daerah, akademisi, LSM, dan media.

Memperluas sirkulasi BaKTINews ke semua wilayah IndonesiaMemperdalam ulasan dan menambah jumlah halamanInformasi mengenai Praktik Cerdas diperbanyak dan diperdalamMemuat informasi tantangan pembangunan daerah-daerah terpencilMemuat kajian mengenai pariwisataMemperbanyak informasi mengenai lingkungan dan pemberdayaan perempuanMenambah informasi kajian isu anakCakupan berita merata untuk semua kawasan timur Indonesia Gambar dikurangi dan perbanyak hasil risetMemperdalam kajian mengenai kemiskinanSetiap ulasan dibahas sampai tuntasTambahkan informasi mengenai Praktik Cerdas pencegahan korupsi

REKOMENDASI

Sebanyak 92% dan seluruh peserta diskusi kelompok terarah mengemukakan bahwa informasi yang disampaikan dalam BaKTINews relevan dengan kebutuhan pembangunan di wilayah mereka. Terjadi perubahan yang signifikan mengenai pandangan responden terhadap relevansi BaKTINews dimana pada tahun 2011, persentase responden yang menyatakan BaKTINews relevan dengan kebutuhan mereka adalah 76.9% dan meningkat pada survey tahun 2012 yaitu 99%.

Sebanyak 93% responden dan hampir semua peserta diskusi kelompok terarah mengakui bahwa BaKTINews adalah media yang untuk menyebarkan informasi mengenai pembangunan di Kawasan Timur Indonesia.

Secara umum, baik para responden maupun peserta FGD menilai kemasan BaKTINews menarik dan isinya mudah dimengerti. Sedikit perbaikan yang mereka usulkan berkaitan dengan kemasan ini adalah memastikan gambar atau foto dan berita atau ulasan disajikan secara proporsional. Selain foto, karikatur juga menjadi alternatif untuk memberikan visualisasi terhadap berita yang disajikan.

Dampak BaKTINews ditanggapi beragam oleh para responden yang diwawancarai. Sebanyak 92% responden menganggap bahwa BaKTINews sudah memberikan dampak yang besar terhadap pembangunan di Kawasan Timur Indonesia, namun responden lain menilai bahwa informasi yang disajikan masih terbatas sebagai bahan inspirasi, informasi, atau referensi.

Dampak BaKTINews pada Pelaku Pembangunan

Dampak BaKTINews terhadap Pembangunan KTI Dampak positifnya luar biasa, dengan begitu banyak menggali

potensi-potensi yang ada di Kawasan Timur Indonesia, tentunya merupakan referensi bagi daerah-daerah lain yang kemudian dapat dikembangkan oleh daerah lain juga yang tentunya sesuai dengan kebutuhan.

16 Mei 2013 INSPIRASI BaKTI : “Inovasi dari Mamuju: BaKTI Tour Sehari di Kecamatan (BAUR SDK)

dan Unit Layanan Pengadaan Secara Elektronik”

Bupati Mamuju, Drs.H. SUHARDI DUKA,MM berbagi cerita dalam kegiatan Inspirasi BaKTI mengenai inovasi dalam pelayanan

publik secara terpadu yang mudah, cepat, murah, transparan dan akuntabel dengan jangkauan yang luas dan merata. Layanan terpadu

yang disediakan adalah layanan perizinan dan akta, KTP, Kartu Keluarga, layanan kesehatan, KB, pemberian bantuan, kegiatan sosialisasi,

penyuluhan, pemeliharaan dan perbaikan jalan serta kegiatan lainnya seperti acara hiburan bagi masyarakat, pemutaran film

penyuluhan dan pentas seni. Kegiatan ini melibatkan seluruh SKPD dengan sistim layanan langsung di tiap Kecamatan selama sehari

penuh yang dilaksanakan secara bergilir setiap bulannya, dengan nama ”Program Bakti Tour Sehari Di Kecamatan (BAUR – SDK)”. Selain

itu, beliau juga berbagi cerita mengenai Unit Layanan Pengadaan Secara Elektronik (ULPSE) yang berhasil menghemat pengeluaran

keuangan negara yang bersumber dari APBD Kab. Mamuju sebesar Rp 3 Milyar lebih dan Kab. Mamuju terpilih sebagai salah satu dari 30

kabupaten percontohan seluruh Indonesia untuk ULPSE.

31 Mei 2013BEDAH BUKU DAN TALKSHOW "Kiat dan Trik Pengelolaan Aset Daerah"

BaKTI menyediakan fasilitas Ruang Pertemuan bagi para pelaku pembangunan untuk melaksanakan seminar, lokakarya, rapat, dan diskusi. Reservasi ruangan dapat dilakukan melalui email dengan menghubungi [email protected] atau telepon +62 411 832228 / fax +62 411 852146 atau berkunjung langsung ke Kantor BaKTI, Jl. H. A. Mappanyukki No. 32 Makassar."

29 30 MEI - JUNI 2013News Edisi 89 MEI - JUNI 2013News Edisi 89

UNICEF Indonesia bekerja sama dengan BaKTI melaksanakan Diseminasi Issue Brief UNICEF yang berjudul “Mengefektifkan Desentralisasi bagi Anak-anak di Indonesia”. Hadir sebagai narasumber Niloufar Pourzand, PhD (Chief, Social Policy & Monitoring UNICEF Indonesia) dan Roshni Basu (Knowledge Management Specialist UNICEF Indonesia. Diskusi ini juga menghadirkan Dr. Agussalim (P3KM UNHAS dan Focal Point JiKTI Sulawesi Selatan) sebagai penanggap dan dihadiri kurang lebih 47 orang yang terdiri dari pemerintah daerah, akademisi, LSM, kelompok masyarakat dan media. Diskusi ini mencatat bahwa pembangunan kita selama ini berbasis sektoral. Konsep pembangunan lebih bicara tentang pendidikan, kesehatan, pertanian, infrastruktur, dan tidak bicara mengenai aktor-aktor di balik itu. Sector-based lebih menonjol daripada actor-based. Apa yang terjadi adalah banyak sektor yang berkembang pesat namun pelaku di balik itu malah memburuk penghidupannya. Seringkali sektor pendidikan menunjukkan kinerja yang baik, tetapi kondisi anak-anak tidak semakin baik. Anak seharusnya menjadi subyek dari pembangunan, bukan menjadi obyek.

KEGIATAN di BaKTI

27 Mei 2013 DISEMINASI ISSUE BRIEF UNICEF “Mengefektifkan Desentralisasi bagi Anak-anak di Indonesia”

khir tahun 2012, Yayasan BaKTI yang didukung oleh Australia Indonesia Partnership for Decentralization A(AIPD) mengevaluasi kualitas jangkauan, cakupan dan

intensitas, serta dampak dari lima produk kunci bagi para pelaku pembangunan. BaKTINews adalah satu dari kelima produk kunci yang dievaluasi.

Kegiatan evaluasi dilaksanakan di duabelas provinsi di kawasan timur Indonesia yang menjadi target wilayah kerja Yayasan BaKTI. Pengumpulan data dilakukan melalui proses review dokumen program, wawancara staf program, wawancara informan kunci, dan Focus Group Discussion. Responden dipilih secara purposif dan merujuk pada database Yayasan BaKTI dengan mempertimbangkan representasi wilayah serta target kelompok stakeholder program.

BaKTINews adalah media pertukaran informasi yang diterbitkan sekali sebulan yang berisi artikel‐artikel dan informasi pembangunan dari para pelaku pembangunan di seluruh Kawasan Timur Indonesia. BaKTINews merupakan alat dan teknologi dalam siklus Knowledge Management BaKTI terutama pada proses kedua, yaitu “Knowledge Sharing and Dissemination”.

Kehadiran produk ini juga merupakan bagian dari usaha untuk mencapai Objective 2 Yayasan BaKTI yaitu “Mendorong para pelaku pembangunan untuk saling belajar dan berbagi pengetahuan untuk meningkatkan kualitas program pembangunan.”

Perkembangan BaKTINews sebagai flagship media pertukaran pengetahuan Yayasan BaKTI sangat pesat, sejak pertama kali terbit pada tahun 2005 dengan delapan halaman dan menjangkau 200 pembaca hingga saat ini BaKTINews terbit dengan tigapuluhdua halaman dan dikirimkan dalam bentuk hardcopy ke 2,200 penerima serta dalam bentuk elektronik ke 1,000 penerima.

Hampir semua responden yang diwawancarai pernah membaca produk (95%) yang mereka terima terutama melalui Pos. Survey yang dilakukan pada tahun 2012 menunjukkan bahwa 93.88% responden menyatakan mereka menerima BaKTINews melalui jasa Pos, meningkat dari 66,2% pada survey 2011.

Informasi dari BaKTINews yang menarik bagi para responden adalah Praktik Cerdas, isu lingkungan dan pendidikan, berita ekonomi, praktik anggaran dan praktik jender, teknologi tepat guna, dan informasi-informasi yang terkait dengan otonomi daerah. Hal ini konsisten dengan survey yang pernah dilakukan BaKTI pada tahun 2011 di mana 52.1% reponden menyebut Praktik Cerdas sebagai informasi yang paling diminati.

Sampai saat ini, belum banyak responden yang diwawancarai yang memanfaatkan produk ini untuk membagikan pengetahuan mereka melalui tulisan untuk dimuat dalam BaKTINews. Baru sekitar 16% responden yang pernah mengirimkan tulisan mengenai pemberdayaan perempuan, pemberdayaan masyarakat, perubahan iklim, Praktik Cerdas, dan ketahanan pangan. Tulisan yang mereka kirimkan berkaitan dengan aksesibilitas pendidikan, pengelolaan keuangan, pengolahan air bersih, dan masalah bencana alam.

Sekilas tentang BaKTINews

Temuan Evaluasi

Evaluasi Eksternal terhadap BaKTINewsProgram Pertukaran Pengetahuan

Kawasan Timur Indonesia

BaKTI NEWS

BaKTI bekerjasama dengan Warungkopi pemda, sebuah komunitas yang beranggotakan pegawai negeri sipil pada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/BPKP Sulawesi Selatan melaksanakan Bedah Buku dan bincang-bincang santai dengan tema "Kiat dan Trik Pengelolaan Aset Daerah". Rendahnya jumlah pemerintah daerah yang belum mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK sebagian besar disebabkan oleh permasalahan penanganan aset tetap daerah. Buku Aset Tetap Daerah yang diterbitkan oleh Warungkopi pemda merupakan sebuah buku yang diharapkan dapat memberikan masukan dan dapat dijadikan sebagai referensi bagi para praktisi dalam menangani masalah aset tetap daerah mulai dari penganggaran hingga pelaporan. Hadirnya buku aset tetap daerah yang mencoba menggali permasalahan aset tetap secara filosofis dan praktis diharapkan dapat memberi arahan dan pemahaman yang mendalam kepada para praktisi untuk secara mandiri dapat mengatasi tantangan yang selama ini terjadi. Hadir dalam diskusi ini pegawai negeri sipil dari BPKP, pemerintah daerah, akademisi, LSM, dan media.

Memperluas sirkulasi BaKTINews ke semua wilayah IndonesiaMemperdalam ulasan dan menambah jumlah halamanInformasi mengenai Praktik Cerdas diperbanyak dan diperdalamMemuat informasi tantangan pembangunan daerah-daerah terpencilMemuat kajian mengenai pariwisataMemperbanyak informasi mengenai lingkungan dan pemberdayaan perempuanMenambah informasi kajian isu anakCakupan berita merata untuk semua kawasan timur Indonesia Gambar dikurangi dan perbanyak hasil risetMemperdalam kajian mengenai kemiskinanSetiap ulasan dibahas sampai tuntasTambahkan informasi mengenai Praktik Cerdas pencegahan korupsi

REKOMENDASI

Sebanyak 92% dan seluruh peserta diskusi kelompok terarah mengemukakan bahwa informasi yang disampaikan dalam BaKTINews relevan dengan kebutuhan pembangunan di wilayah mereka. Terjadi perubahan yang signifikan mengenai pandangan responden terhadap relevansi BaKTINews dimana pada tahun 2011, persentase responden yang menyatakan BaKTINews relevan dengan kebutuhan mereka adalah 76.9% dan meningkat pada survey tahun 2012 yaitu 99%.

Sebanyak 93% responden dan hampir semua peserta diskusi kelompok terarah mengakui bahwa BaKTINews adalah media yang untuk menyebarkan informasi mengenai pembangunan di Kawasan Timur Indonesia.

Secara umum, baik para responden maupun peserta FGD menilai kemasan BaKTINews menarik dan isinya mudah dimengerti. Sedikit perbaikan yang mereka usulkan berkaitan dengan kemasan ini adalah memastikan gambar atau foto dan berita atau ulasan disajikan secara proporsional. Selain foto, karikatur juga menjadi alternatif untuk memberikan visualisasi terhadap berita yang disajikan.

Dampak BaKTINews ditanggapi beragam oleh para responden yang diwawancarai. Sebanyak 92% responden menganggap bahwa BaKTINews sudah memberikan dampak yang besar terhadap pembangunan di Kawasan Timur Indonesia, namun responden lain menilai bahwa informasi yang disajikan masih terbatas sebagai bahan inspirasi, informasi, atau referensi.

Dampak BaKTINews pada Pelaku Pembangunan

Dampak BaKTINews terhadap Pembangunan KTI Dampak positifnya luar biasa, dengan begitu banyak menggali

potensi-potensi yang ada di Kawasan Timur Indonesia, tentunya merupakan referensi bagi daerah-daerah lain yang kemudian dapat dikembangkan oleh daerah lain juga yang tentunya sesuai dengan kebutuhan.

16 Mei 2013 INSPIRASI BaKTI : “Inovasi dari Mamuju: BaKTI Tour Sehari di Kecamatan (BAUR SDK)

dan Unit Layanan Pengadaan Secara Elektronik”

Bupati Mamuju, Drs.H. SUHARDI DUKA,MM berbagi cerita dalam kegiatan Inspirasi BaKTI mengenai inovasi dalam pelayanan

publik secara terpadu yang mudah, cepat, murah, transparan dan akuntabel dengan jangkauan yang luas dan merata. Layanan terpadu

yang disediakan adalah layanan perizinan dan akta, KTP, Kartu Keluarga, layanan kesehatan, KB, pemberian bantuan, kegiatan sosialisasi,

penyuluhan, pemeliharaan dan perbaikan jalan serta kegiatan lainnya seperti acara hiburan bagi masyarakat, pemutaran film

penyuluhan dan pentas seni. Kegiatan ini melibatkan seluruh SKPD dengan sistim layanan langsung di tiap Kecamatan selama sehari

penuh yang dilaksanakan secara bergilir setiap bulannya, dengan nama ”Program Bakti Tour Sehari Di Kecamatan (BAUR – SDK)”. Selain

itu, beliau juga berbagi cerita mengenai Unit Layanan Pengadaan Secara Elektronik (ULPSE) yang berhasil menghemat pengeluaran

keuangan negara yang bersumber dari APBD Kab. Mamuju sebesar Rp 3 Milyar lebih dan Kab. Mamuju terpilih sebagai salah satu dari 30

kabupaten percontohan seluruh Indonesia untuk ULPSE.

31 Mei 2013BEDAH BUKU DAN TALKSHOW "Kiat dan Trik Pengelolaan Aset Daerah"

BaKTI menyediakan fasilitas Ruang Pertemuan bagi para pelaku pembangunan untuk melaksanakan seminar, lokakarya, rapat, dan diskusi. Reservasi ruangan dapat dilakukan melalui email dengan menghubungi [email protected] atau telepon +62 411 832228 / fax +62 411 852146 atau berkunjung langsung ke Kantor BaKTI, Jl. H. A. Mappanyukki No. 32 Makassar."

Selusur Kebijakan [Minus] Perlindungan Buruh Migran Indonesia

Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah

Potret Keterpilihan Perempuan di Legislatif pada Pemilu 2009

Jejak-jejak kebijakan yang dibuat oleh bangsa Indonesia mengenai penempatan tenaga kerja sejak bangsa ini masih di jajah, ketika merdeka, era Soekarno, Orde baru, reformasi hingga saat ini merupakan hasil penelusuran yang dituangkan dalam buku ini. Penelusuran ini bertujuan untuk membuat blue print tentang migrasi Indonesia.

Penyempurnaan atas pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisi fiscal selama lebih dari sepuluh tahun masih perlu dilakukan. Buku ini berisi hasil kajian atas pemungutan BPHTB ke daerah terhadap kondisi fiskal daerah kerjasama Kementrian Keuangan Republik Indonesia dan AIPD, dimana hasil kajian tersebut diharapkan mampu menjadi dasar penyempurnaan kebijakan. Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui permasalahan, hambatan dan dampak dari pengalihan tersebut.

Gambaran keterwakilan politik perempuan di Indonesia hasil pemilu 2009 tergambar dalam buku ini. Informasi tentang jumlah kursi perempuan dan jumlah partai politik peraih kursi di provinsi dan kabupaten/kota seluruh Indonesia terlampir didalamnya sebagai hasil sebuah riset yang dilakukan oleh Puskapol Fisip UI.

Penerbit

Puskapol Fisip UI

Profil Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Perempuan Anak dan KB Provinsi Sulawesi Selatan 2012

Profil Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Perempuan Anak dan KB Provinsi Sulawesi secara holistic berusaha menggambarkan dan mendeskripsikan kondisi serta kehidupan perempuan dan anak melalui berbagai indicator. Deskripsi yang dimaksud adalah penggambaran mengenai upaya yang telah dilakukan pihak lembaga yang meliputi produk hukum, upaya sosialisasi serta pencegahan dan penyelesaian kasus-kasus.

Terima kasih kepada AIPD, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Provinsi Sulawesi Selatan dan Bapak Wahyu Susilo atas sumbangan buku-bukunya untuk perpustakaan BaKTI. Buku-buku tersebut diatas tersedia di Perpustakaan BaKTI.Perpustakaan BaKTI berada di Kantor BaKTI Jl. H.A. Mappanyukki No. 32, Makassar Fasilitas ini terbuka untuk umum setiap hari kerja mulai dari jam 08:00 – 17:00.

Penulis/Peneliti

Anis Hidayah, Wahyu Susilo dan Mulyadiri

Prof. Candra Fajri Ananda, Prof. Eddy Suratman & Dr. Hamid Paddu

ISBN

978-979-19103-2-3

Penerbit

Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Provinsi Sulawesi Selatan

Penulis

xvi + 75 Hal, 14.8 x 21 cm

ISBN

978-979-19089-4-8

INFO BUKU

Deskripsi fisik

xii + 301 Hal, 15.5 x 22.7 cm

Penerbit

Kementrian Keuangan Republik Indonesia dan AIPD

Deskripsi fisik

ix + 63 Hal, 17.5 x 24.5 cmDeskripsi fisik

vii+116 Hal; 18 x 23,5 cmDeskripsi fisik