23
MEKANISME AKSI OBAT PADA TINGKAT RESEPTOR A. Teori Reseptor Reseptor merupakan komponen makromolekul sel (umumnya berupa protein) yang berinteraksi dengan senyawa kimia endogen pembawa pesan (hormon, neurotransmiter, mediator kimia dalam sistem imun, dan lain-lain) untuk menghasilkan respon seluler. a) Hormon; dihasilkan oleh kelenjar eksokrin dan disekresikan melalui peredaran darah menuju sel target yang jauh (insulin, testosterone) b) Autocrine/ paracrine factoes; hormon yang beraksi lokal (prostaglandin) c) Neoritransmitters; dilepaskan oleh ujung saraf sebagai respon dari depolarisasi (acetycholine, norepinephrine) d) Cytokines; ligan yang diproduksi oleh sel-sel pada sistem imunitas. Targetnya bisa jauh atau dekat (interferons, interleukins) e) Membrane-bound ligands; terdapat pada permukaa sel, mengikat pada reseptor komplementer sel yang lain yang menjembatani interaksi antarsel (integrins) f) Drug/chemicals; merupakan senyawa yang dipaparkan dari luar.

Mekanisme Aksi Obat Pada Tingkat Molekuler Reseptor

Embed Size (px)

DESCRIPTION

farmakologi

Citation preview

Page 1: Mekanisme Aksi Obat Pada Tingkat Molekuler Reseptor

MEKANISME AKSI OBAT PADA TINGKAT RESEPTOR

A. Teori Reseptor

Reseptor merupakan komponen makromolekul sel (umumnya berupa

protein) yang berinteraksi dengan senyawa kimia endogen pembawa pesan

(hormon, neurotransmiter, mediator kimia dalam sistem imun, dan lain-lain)

untuk menghasilkan respon seluler.

a) Hormon; dihasilkan oleh kelenjar eksokrin dan disekresikan melalui

peredaran darah menuju sel target yang jauh (insulin, testosterone)

b) Autocrine/ paracrine factoes; hormon yang beraksi lokal (prostaglandin)

c) Neoritransmitters; dilepaskan oleh ujung saraf sebagai respon dari

depolarisasi (acetycholine, norepinephrine)

d) Cytokines; ligan yang diproduksi oleh sel-sel pada sistem imunitas.

Targetnya bisa jauh atau dekat (interferons, interleukins)

e) Membrane-bound ligands; terdapat pada permukaa sel, mengikat pada

reseptor komplementer sel yang lain yang menjembatani interaksi antarsel

(integrins)

f) Drug/chemicals; merupakan senyawa yang dipaparkan dari luar.

Kebanyakan reseptor, berstruktur protein, ditemukan pada membran sel.

Obat-obat yang bekerja melalui reseptor, dengan berikatan dengan reseptor

maka akan menghasilkan (memulai) respon atau menghambat (mencegah)

respon. Aktivitas dari kebanyakan obat ditentukan oleh kemampuan obat untuk

berikatan dengan reseptor spesifik. Semakin baik suatu obat berikatan dengan

tempat reseptor, maka obat tersebut semakin aktif secara biologis.

Sebuah reseptor yang terdapat ditempat-tempat berbeda dalam tubuh

menghasilkan bermacam-macam respons fisiologis, tergantung dimana reseptor

itu berada. Reseptor-reseptor kolinergik terdapat dikandung kemih, jantung,

pembuluh darah, paru-paru, dan mata. Sebuah obat yang merangsang atau

menghambat reseptor-reseptor koligernik akan bekerja pada semua letak

anatomis, obat-obat yang bekerja pada berbagai tempat seperti itu dianggap

Page 2: Mekanisme Aksi Obat Pada Tingkat Molekuler Reseptor

sebagai nonspesifik atau memiliki nonspesifitas. Obat-obat yang menimbulkan

berbagai respons di seluruh tubuh ini memiliki respons yang nonspesifik. Obat-

obat juga dapat bekerja pada reseptor-reseptor yang berbeda. Obat-obat yang

mempengaruhi berbagai reseptor disebut nonselektif atau memiliki

nonselektifitas. Obat-obat yang menghasilkan respon tetapi tidak bekerja pada

reseptor dapat berfungsi dengan merangsang aktivitas enzim atau produksi

hormon.

Empat kategori dari kerja obat meliputi perangsangan atau penekanan,

penggantian, pencegahan atau membunuh organisme, dan iritasi. Kerja obat

yang merangsang akan meningkatkan kecepatan aktivitas sel atau meningkatkan

sekresi dari kelenjar. Obat-obat yang menekan akan menurunkan aktivitas sel

dan mengurangi fungsi organ tertentu. Obat-obat pengganti, seperti insulin,

menggantikan senyawa-senyawa tubuh yang esensial. Obat-obat yang

mencegah atau membunuh organisme menghambat pertumbuhan sel bakteri.

Penisilin mengadakan efek bakterisidanya dengan menghambat sintesis dinding

sel bakteri. Obat-obat juga dapat bekerja melalui mekanisme iritasi laksatif

dapat mengiritasi dinding kolon bagian dalam, sehingga meningkatkan

peristaltik dan defekasi. Kerja obat dapat berlangsung beberapa jam, hari,

minggu, atau bulan. Lama kerja tergantung dari waktu paruh obat, jadi waktu

paruh merupakan pedoman yang penting untuk menentukan pedoman yang

penting untuk menentukan interval dosis obat. Obat-obat dalam waktu paruh

pendek, seperti penisilin G (t1/2–nya 2 jam), diberikan beberapa kali sehari, obat-

obat dengan waktu paruh panjang, seperti digoksin (36 jam), diberikan sekali

sehari, jika sebuah obat dengan waktu paruh panjang diberikan dua kali atau

lebih dalam sehari, maka terjadi penimbunan obat di dalam tubuh dan mungkin

dapat menimbulkan toksitas obat, jika terjadi gangguan hati atau ginjal, maka

waktu paruh obat akan meningkat. Dalam hal ini, dosis obat yang tinggi atau

seringnya pemberian obat dapat menimbulkan toksisitas obat.

B. Mekanisme Agonis-Antagonisme

Obat yang beraksi pada reseptor harus punya afinitas tinggi pada reseptor

Page 3: Mekanisme Aksi Obat Pada Tingkat Molekuler Reseptor

(agar dapat berikatan dengan reseptor) dan mampu menimbulkan efek

setelah berikatan dengan reseptor. Kemampuan obat menimbulkan efek setelah

berikatan dengan reseptor berbeda antara obat satu dengan lainnya dan oleh

Arien disebut aktivitas intrinsik (α), diberi harga 0–1. Obat-obat yang

menghasilkan respons disebut agonis,dan obat-obat yang menghambat respons

disebut antagonis. Hampir semua obat, agonis dan antagonis, kurang

mempunyai efek spesifik dan selektif. Ini serupa dengan memasukkan kunci

yang tepat ke dalam lubang kunci.

Agonis adalah suatu ligand yang bila berinteraksi dapat menghasilkan

efek (efek maksimum). Agonisme dalam menghasilkan respon fisiologi

(seluler) melalui dua cara:

1. Agonisme langsung; respon berasal dari interaksi agonis dengan reseptornya

yang menyebabkan perubahan konformasi reseptor aktif dan menginisiasi

proses biokimiawi sel. Interaksi bisa berupa stimulasi atau penghambatan

respon seluler. Proses agonisme langsung merupakan hasil aktivasi reseptor

oleh obat yang mempunyai efikasi (aktivitas intrinsik). Contoh: aktivasi

adrenalin terhadap reseptor adrenergik yang berkontraksi dengan otot polos

vaskuler.

Proses agonis langsung terdiri dari dua tahap:

1) Pemberian sinyal dari agonis kepada reseptor untuk mengaktivasinya.

Dalam hal ini, obat atau agonis merupakan pembawa pesan pertama (first

mesenger).

2) Penerusan sinyal oleh reseptor teraktivasi ke dalam komponen seluler

Page 4: Mekanisme Aksi Obat Pada Tingkat Molekuler Reseptor

untuk menginduksi respon seluler yang diperantarai oleh second

mesenger.

2. Agonisme tidak langsung; senyawa obat yang memengaruhi senyawa

endogen dalam menjalankan fungsinya dan melibatkan proses modulasi atau

potensiasi efek senyawa endogen. Umumnya bersifat Alosterik. Contoh:

Benzodiazepin dan barbiturat pada reseptor GABAA, memperkuat aksi

GABA pada reseptor tersebut.

Antagonisme adalah peristiwa dimana suatu senyawa dapat menurunkan

aksi suatu agonis atau ligan dalam menghasilkan efek. Senyawa tersebut

dinamakan antagonis.

Berdasarkan mekanisme terhadap makromolekul resptor agonis, antagonisme

dibedakan menjadi 2 yaitu:

1. Antagonisme tanpa melibatkan makromolekul reseptor agonis

Mekanisme:

1) Antagonisme kimiawi

Antagonisme yang terjadi pada dua senyawa yang mengalami reaksi

kimia pada suatu larutan atau media sehingga mengakibatkan efek obat

berkurang. Contoh: tetrasiklin mengikat secara kelat logam-logam

bervalensi 2 dan 3 (Ca, Mg, Al).

2) Antagonisme farmakokinetika

Antagonisme ini terjadi jika suatu senyawa secara efektif menurunkan

konsentrasi obat dalam bentuk aktifnya pada sisi aktif reseptor. Contoh:

fenobarbital menginduksi enzim pemetabolisme warfarin menyebabkan

konsentrasi warfarin berkurang sehingga efeknya pun berkurang.

3) Antagonisme fungsional atau fisiologi

Antagonisme akibat dua agonis yang bekerja pada dua macam reseptor

yang berbeda dan menghasilkan efek saling berlawanan pada fungsi

fisiologik yang sama.

- Antagonisme fungsional; jika dua macam reseptor yang berbeda

tersebut berada dalam sistem sel yang sama. Contoh: antagonisme

antara senyawa histamin dengan obat α1- adrenergik (fenilefrin) pada

Page 5: Mekanisme Aksi Obat Pada Tingkat Molekuler Reseptor

pembuluh darah.

- Antagonisme fisioligi; jika dua macam reseptor tersebut berada pada

sistem yang berbeda. Contoh: antagonisme glikosida jantung (kenaikan

TD) dengan dihidralazin (penurunan TD).

2. Antagonisme melibatkan makromolekul reseptor agonis

Mekanisme:

1) Antagonis kompetitif

Antagonis kompetitif merupakan obat yang mempunyai efek melawan

atau menghambat stimulasi reseptor oleh agonisnya (endogen atau

eksogen) dengan memblok reseptor itu (berkompitisi dengan agonis).

Tipe antagonisme ini ada dua yaitu:

- Antagonis kompetitif terbalikkan (reversibel)

- Antagonis kompetitif tak-terbalikkan (irreversibel)

2) Antagonis non-kompetitif

Antagonis non-kompetitif melawan atau memghambat efek stimulasi

reseptor oleh agonisnya dengan cara selain berebut reseptor dengan

agonisnya. Contoh: aksi papaverin terhadap histamin pada reseptor

histamin-1 otot polos trakea.

C. Tipe Reseptor

Tipe reseptor (gambar 1) :

1. Reseptor terhubung kanal ion

2. Reseptor terhubung enzim

3. Reseptor terkopling protein G

4. Reseptor-reseptor nuklear

Page 6: Mekanisme Aksi Obat Pada Tingkat Molekuler Reseptor

Gambar 1. Jenis-jenis reseptor

Page 7: Mekanisme Aksi Obat Pada Tingkat Molekuler Reseptor

1. Reseptor terhubung kanal ion

Reseptor yang terkait dengan pengendalian ion channels dikenal sebagai

ionotrophic receptor, dan ion channel demikian disebut ligand gated ion

channels misalnya r-N yang terkait dengan ion channel Na+, reseptor GABA

yang terkait ion channel Cl-, reseptor serotonin (r-5HT3A, r-5HT3B dan r-

5HT3C) terkait ion channel Na+, reseptor glisin terkait dengan ion channel Cl-,

dan r-NMDA terkait dengan ion channel Na+ dan Ca2+. Sebagai ilustrasi, jika r-

N terstimulasi maka ion channel Na+ akan terbuka selama 0,2 detik dan setiap

detiknya masuk 10 juta Na+ sehingga menginisiasi aksi potensial dengan

segala rangkaian proses yang mengikutinya seperti penjalaran impuls atau

kontraksi otot rangka.

Reseptor Nikotinik Asetilkolin

Reseptor ini ditemukan di otot skeletal, ganglion sistem saraf simpatk

dan parasimpatik, neuron sistem saraf pusat, dan sel non neural. Mekanisme

kerja reseptor ini ditunjukkan pada gambar 3.

Gambar 2. Mekanisme kerja reseptor nikotinik (agonis:asetilkolin)

Reseptor ini terdiri dari 5 subunit (yaitu subunit α1, β1, γ atau ε, dan δ),

yang melintasi membran, membentuk kanal polar (gambar 2). Masing-masing

sub unit terdiri dari 4 segmen transmembran, segmen ke-2 (M2) membentuk

kanal ion. Domain N- terminal ekstraseluler masing-masing sub unit

mengandung 2 residu sistein yang dipisahkan oleh 13 asam amino

Page 8: Mekanisme Aksi Obat Pada Tingkat Molekuler Reseptor

membentuk ikatan disulfida yang membentuk loop, merupakan binding site

untuk agonis.

Gambar 3. Struktur reseptor nikotinik asetilkolin

2. Reseptor terhubung enzim

Reseptor terhubung enzim merupakan protein transmembran dengan

bagian besar ekstraseluler mengandung binding site untuk ligan (contoh: faktor

pertumbuhan, sitokin) dan bagian intraseluler mempunyai aktivitas enzim

(biasanya aktivitas tirosin kinase). Aktivasi menginisiasi jalur intraseluler yang

melibatkan tranduser sitosolik dan nuklear, bahkan transkripsi gen. Reseptor

sitokin mengaktifkan Jak kinase, yang pada gilirannya mengaktifkan faktor

transkripsi Stat, yang kemudian mengaktifkan transkripsi gen.

Stimulasi reseptor ini dapat mengaktivasi enzim kinase karena sisi

eksktraselular reseptor ini yang berikatan dengan ligand sedangkan sisi

intraselular merupakan enzim sitoplasmik (berupa protein tyrosine kinase).

Reseptor dengan mekanisme kerja melibatkan kinase seperti ini antara lain

reseptor insulin, EGF (epidermal growth factor), PDGF (platelet derived

growth factor), TGF-ß (transforming growth factor-ß), interferon dan beberapa

hormon tropik lainnya.

Page 9: Mekanisme Aksi Obat Pada Tingkat Molekuler Reseptor

Gambar 4. Mekanisme kerja reseptor faktor pertumbuhan

Reseptor faktor pertumbuhan terdiri dari 2 reseptor, masing-masing

dengan satu sisi pengikatan untuk ligan. Agonis berikatan pada 2 reseptor

menghasilkan kopling (dimerisasi). Tirosin kinase dalam masing-masing

reseptor saling memposforilasi satu sama lain. Protein penerima (adapter)

yang mengandung gugus –SH berikatan pada residu terposforilasi dan

mengaktifkan tiga jalur kinase. Kinase 3 memposforilasi berbagai faktor

transkripsi, kemudian mengaktifkan transkripsi gen untuk proliferasi dan

diferensiasi.

3. Reseptor terkopling protein G (GPCR)

GPCR disebut juga reseptor metabotropik, berada di sel membran dan

responnya terjadi dalam hitungan detik. GPCR mempunyai rantai polipeptida

tunggal dengan 7 heliks transmembran. Tranduksi sinyal terjadi dengan

aktivasi bagian protein G yang kemudian memodulasi/mengatur aktivitas

enzim atau fungsi kanal.

Reseptor tersebut jika terstimulasi akan menginisiasi proses biokimiawi

di dalam sel yang melibatkan protein-G dan reseptor ini dikenal sebagai

reseptor metabotropik (metabotrophic receptors). Ada lebih dari 100 jenis

reseptor dalam kelompok ini, antara lain r-α, r-ß, r-M, reseptor untuk glukagon,

purin, glutamat dan hormon. Sebagai contoh, stimulasi r-α akan mengaktivasi

fosfolipase yang mengkatalisasi reaksi biokimiawi yang menghasilkan IP3

Page 10: Mekanisme Aksi Obat Pada Tingkat Molekuler Reseptor

(inositol triphosphate). Akumulasi IP3 intraselular ini akan berakibat

dilepaskannya Ca2+ dari endoplasmic reticulum yang kemudian memicu

kontraksi otot polos terkait. Demikian juga jika r-M terstimulasi akan

mengaktivasi enzim adenilat siklase dalam sintesis cGMP (cyclic guanosine

monophosphate). Akumulasi cGMP berakibat pelepasan Ca2+ dari endoplasmic

reticulum yang akan memicu kontraksi otot atau sekresi kelanjar terkait.

Tabel 1. Contoh reseptor terkopling protein

Contoh reseptor Efek Agonis Antagonis

Histamin H1 Kontraksi otot polos

(IP3) Berbagai efek

karena posforilasi

Histamin Mepiramin

Adrenoreseptor β2 Relaksasi otot polos Adrenalin

Salbutamol

Propanolol

Muskarinik M2 Penurunan kekuatan

kontraksi jantung

Pelambatan Jantung

Asetilkolin Atropin

Struktur :

Gambar 5. Struktur reseptor terkopling protein G

Page 11: Mekanisme Aksi Obat Pada Tingkat Molekuler Reseptor

4. Reseptor terhubung transkripsi gen

Reseptor terhubung transkripsi gen disebut juga reseptor nuklear

(walaupun beberapa ada di sitosol, merupakan reseptor sitosolik yang

kemudian bermigrasi ke nukleus setelah berikatan dengan ligand, seperti

reseptor glukokortikoid). Contoh: reseptor kortikosteroid, reseptor estrogen

dan progestogen, reseptor vitamin D.

Sintesis semua protein disandi oleh DNA yang ditranskripsi ke RNA, dan

translasi RNA ke dalam protein dikendalikan oleh seperangkat molekul lain

yang dikenal sebagai regulator atau faktor transkripsi (transcription regulators

or factors). Hormon steroida adalah contoh zat atau obat yang mudah masuk ke

dalam sel yang kemudian menstimuli regulataor atau faktor transkripsi ini di

dalam sitoplasma atau nukleus. Dengan demikian zat atau obat ini dapat

menimbulkan efek pada sintesis protein tertentu yang sintesisnya disandi oleh

gena tertentu yang terkode di dalam DNA, misalnya efek anabolik dari steroida

tertentu seperti nandrolon.

Gambar 6. Mekanisme kerja reseptor glukokortikoid

Page 12: Mekanisme Aksi Obat Pada Tingkat Molekuler Reseptor

D. Mekanisme Aksi Obat

Obat menghasilkan kerja dengan mengubah cairan tubuh atau membran

sel atau dengan beinteraksi dengan tempat reseptor. Jel aluminium hidroksida

obat mengubah zat kimia suatu cairan tubuh (khususnya dengan menetralisasi

kadar asam lambung). Obat-obatan, misalnya gas anestsi mum, beinteraksi

dengan membran sel. Setelah sifat sel berubah, obat mengeluarkan

pengaruhnya. Mekanisme kerja obat yang paling umum ialah terikat pada

tempat reseptor sel. Reseptor melokalisasi efek obat. Tempat reseptor

berinteraksi dengan obat karena memiliki bentuk kimia yang sama. Obat dan

reseptor saling berikatan seperti gembok dan kuncinya. Ketika obat dan

reseptor saling berikatan, efek terapeutik dirasakan. Setiap jaringan atau sel

dalam tubuh  memiliki kelompok reseptor yang unik. Misalnya, reseptor pada

sel  jantung  berespons pada preparat digitalis. Suatu obat yang diminum per

oral akan melalui tiga fase: farmasetik (disolusi), farmakokinetik, dan

farmakodinamik, agar kerja obat dapat terjadi. Dalam fase farmasetik, obat

berubah menjadi larutan sehingga dapat menembus membrane biologis. Jika

obat diberikan melalui rute subkutan, intramuskular, atau intravena, maka tidak

terjadi fase farmaseutik. Fase kedua, yaitu farmakokinetik, terdiri dari empat

proses (subfase): absorpsi, distribusi, metabolisme (atau biotransformasi), dan

ekskresi. Dalam fase farmakodinamik, atau fase ketiga, terjadi respons biologis

atau fisiologis. 

Obat yang dalam menimbulkan efek bekerja pada molekul protein

spesifik berupa reseptor dapat menstimulasi atau menyekatnya (blokade). Obat

atau zat endogen yang mampu menstimulasi reseptor sehingga menimbulkan

serangkaian proses baik biokimiawi, biofisik maupun biomekanik di dalam sel

yang bermuara pada timbulnya efek disebut agonis, yang dapat berisifat

endogen atau eksogen. Agonis endogen berperan penting dalam berbagai

macam fungsi fisiologis seperti asetilkolin (r-M dan N), noradrenalin (r-α1),

dopamin (r-D dan r-ß1), adrenalin (r-α dan r-ß), serotonin (r-5HT), histamin (r-

H), GABA (gamma amino butyric acic) untuk r-GABA, endorfin (r-µ, κ dan δ)

dan leukotrien (r-LT). Agonis eksogen dapat berupa obat misalnya muscarin (r-

Page 13: Mekanisme Aksi Obat Pada Tingkat Molekuler Reseptor

M), nikotin (r-N), fenilefrin (r-α1), acebutolol (r-ß1), salbutamol (r- ß2), morfin

(r-µ, κ dan δ) atau alkaloida seperti pilokarpin (r-M). Di samping itu ada obat

atau zat lain yang jika berikatan dengan reseptor dapat menimbulkan tersekat

atau terblokadenya reseptor itu sehingga mencegah agonis (baik endogen

maupun eksogen) untuk menstimulasi reseptor itu. Obat demikian disebut

antagonis kompetitif misalnya atropin (r-M), tubokurarin (r-N), prazosin (r-α1),

acebutolol (r-ß1), idazoxan (r-ß2), ganiseron (r-5HT), difenhidramin (r-H1),

simetidin (r-H2), nalokson (r-µ, κ dan δ) dan zafirlukas (r-LTD4).

Page 14: Mekanisme Aksi Obat Pada Tingkat Molekuler Reseptor

MAKALAH FARMAKOLOGI MOLEKULER

MEKANISME AKSI OBAT PADA TINGKAT MOLEKULER RESEPTOR

OLEH

KELOMPOK IV

CATUR DWI PUTRI ARASANDY (F1F1 11 003)

WA ODE HASTRIANI FITRIH (F1F1 11 025)

MULIANI DIADI (F1F1 11 049)

DINO SUHARNO (F1F1 11 055)

SULISTIANA (F1F1 11 079)

YULIANI SAFAR (F1F1 11 105)

FAKULTAS FARMASI

JURUSAN FARMASI

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2014

Page 15: Mekanisme Aksi Obat Pada Tingkat Molekuler Reseptor

DAFTAR PUSTAKA

Anna. 2010. Autonomic Drugs. ELS. England.

Camille Georges Wermuth (Ed.), 2008. The Practice of Medicinal Chemistry, Elsevier: London.

Potter dan Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik. Jakarta: EGC.

Terry Kenakin. 1996. Molecular Pharmacology: A Short Course. Blackwell Sience Ltd: England.

Ulrik Gether & Brian K. Kobilka. Minireview: G Protein-coupled Receptors, J. Bio Chem Vol. 273. No. 29-1998.

Widodo, Gunawan Pamudji., Herowati, Rina. 2011. Reseptor. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Zullies Ikawati. 2008. Farmakologi Molekuler. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.