69
SOSIOLOGI POLITIK MEMIKIRKAN KEMBALI SISTEM PEMERINTAHAN Disusun Oleh Kelompok 6: Diah Perwitasari (4115133783) Gilang Ahmad (4115133801) Khoirun Nisa (4115133774) May Rinta Sari (4115133787) Muhammad Hanif (4115133781) Tyas Ayu Karyasih (4115137055) Yulia Najeges (4115137050) PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS ILMU SOSIAL

maurice duverger Memikirkan Kembali Sistem Pemerintahan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

mauricee duverger

Citation preview

SOSIOLOGI POLITIK

MEMIKIRKAN KEMBALI SISTEM PEMERINTAHAN

Disusun Oleh Kelompok 6:

Diah Perwitasari (4115133783)

Gilang Ahmad (4115133801)

Khoirun Nisa (4115133774)

May Rinta Sari (4115133787)

Muhammad Hanif (4115133781)

Tyas Ayu Karyasih (4115137055)

Yulia Najeges (4115137050)

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya kepada

penulis sehingga berhasil menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul

“Memikirkan Kembali Sistem Pemerintahan”. Penulisan makalah ini merupakan

salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah Sosioologi Poltik.

Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik pada

teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki.

Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi

penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan

makalah ini, khususnya kepada Dosen kami yang telah memberikan tugas dan

petunjuk kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini. Semoga

makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, Mei 2016

Tim Penulis

i

DAFTAR ISIKATA PENGANTAR.........................................................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah......................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...............................................................................................................1

C. Tujuan Penulisan.................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Teori-Teori Kontemporer Tentang Negara dan Masyarakat Sipil.......................................3

B. Peralihan Post-Modern........................................................................................................3

C. Konsep Konservatisme........................................................................................................5

D. Giddens: melampaui Kiri dan Kanan..................................................................................5

E. Beck : Masyarakat Risiko dan Penemuan Kembali Politik..................................................8

F. Penilaian Kritis terhadap Giddens dan Beck.....................................................................10

K. Memikirkan Kembali Kiri.............................................................................................12

L. Penilaian Kritis terhadap Miliband dan Wainwright.........................................................13

M. Pluralisme Radikal: Menuiu Konvergensi Teoretis.......................................................16

N. Pemerintahan Global.........................................................................................................21

O. Teori Hubungan dan Risiko Global...................................................................................22

P. Dilema Keamanan Baru....................................................................................................23

Q. Menuju Pemerintahan Global............................................................................................24

R. Rezim Rezim Internasional...............................................................................................25

S. Perserikatan Bangsa Bangsa..............................................................................................27

T. Masyarakat Sipil Global....................................................................................................31

BAB III KESIMPULAN..................................................................................................36

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................iii

ii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Para sosiologi kontemporer telah memahami hubungan antara negara dan

masyarakat sipil dan telah berusaha menangkap persoalan yang dimunculkan

oleh hubungan ini terhadap pemerintahan manusia dan juga telah bergulat

dengan masalah tentang bagaimana hubungan negara dan masyarakat sipil dapat

direformasi agar bisa secara efektif menghadapi perubahan sosial.

Fokus utama sosiologi politik adalah relasi kekuasaan yang saling tergantung

antara negara dan masyarakat sipil. Kesimpulan ini akan mencakup tinjauan

terhadap elemen-elemen utama argumen ini, sekaligus pembahasan singkat

tentang cara-cara yang bisa ditempuh sosiologi politik untuk menjawab

persoalan kontemporer dalam pemerintahan.

Pertanyaan yang harus selalu dijawab oleh sosiologi politik adalah:

bagaimanakah kekuasaan didistribusikan dan dilembagakan dalam masyarakat?

Jika kita hendak menjawab pertanyaan ini, maka teks ini berpenierian bahwa

sangatlah penting untuk mengakui sentralisasi negara. Hal ini karena negara-lah

yang merupakan institusi politik yang paling mampu memusatkan semua sumber

daya yang dibutuhkan untuk melaksanakan kekuasaan ekonomi, komunikasi,

dan militer. Namun, arti penting negara belum dapat diterima oleh semua

sosiologi politik.

B. Rumusan Masalah

Jika dilihat dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas maka

rumusan masalah yang dapat ditarik adalah bagaimana para ahli sosiologi

kontemporer telah memikirkan kembali sistem pemerintahan dalam sorotan

berbagai tantangan global.

1

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulis dalam menyusun makalah ini adalah agar dapat meningkatkan

pemahaman tentang pengaruh berbagai perubahan sosial saat ini terhadap

hubungan negara-masyarakat sipil, dan permasalahan sistem pemerintahan

kontemporer. Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat menjadi

pengetahuan bagi kita semua.

2

BAB II

PEMBAHASAN

A. Teori-Teori Kontemporer Tentang Negara dan Masyarakat Sipil

Proses perubahan sosial bukan hanya menunjukkan berlanjutnya kekuasaan

negara, namun juga memperlihatkan betapa probelematis dan kontradiktifnya

hubungan antara negara dan masyarakat sipil. Jika pemerintahan hendak

diperbaiki, kemampuan negara untuk memusatkan kekuasaan harus diakui dan

dilawan. Relevansi berbagai ideologi kaum modernis dalam membentuk sistem

pemerintahan masa depan. Bagi Giddens dan Beck, liberalisme dan sosialisme

telah kehabisan tenaga, ketika berbagai proyek pencerahan telah menemui

keterbatasannya. Miliband dan Mainwright mempertahankan esensi sosialisme

sebagai teori emansipatoris (pembebasan).

Teori-teori ini melalui adaptasi besar-besaran terhadap teoriteori klasik, telah

mengalami konvergensi (pengerucutan) menuju posisi pluralis radikal, dengan

int berupa demokratisasi negara dan masyarakat sipil. Teori demokrasi asosiatif

oleh Paul Hirst, teorinya merupakan contoh tepat mengenai pluralisme radikal

dan uoaya paling menarik untuk memikirkan kembali hubungan negara-

masyarakat sipil. Pada awal abad ke-20 ini paling tepat digambarkan sebagai

dunia post-modern, dan karenanya berada di luar kemampuan logika kaum

modernis untuk menerangkannya.

B. Peralihan Post-Modern

Post-modernisime melontarkan kritikan tajam terhadap semua proyek teoritis

−¿termasuk liberalisme dan sosialisme−¿yang menawarkan pandangan holistik

(menyeluruh) terhadap eksistensi manusia. Kaum post modernis terutama

mengkritik pedas berbagai media-naratif, yakni teori-teori yang mengklaim

mampu memetakan arah masa depan masyarakat melalui analisis terhadap

3

kondisi umat manusia pada masa lampau dan sekarang (Lyotard, 1984). Untuk

menggantikan individualisme statis dalam liberalisme, dan kolektivisme opresif

Marxisme, post-modernisme menekankan fragmentasi, reativisme, dan multi-

identitas−¿yang seringkali saling bertentangan. Mengistimewakan satu

identitas, satu fragmen, atau satu ‘kebenaran', berarti menindas posisi lain yang

sama-sama sahih.

Sebagaimana identitas, kekuasaan dipahami mempunyai aneka segi. Seperti

dinyatakan Foucault, kekuasaan hadir dalam ‘institusi sosial, ketimpangan

ekonomi, bahasa, pada tubuh kita masing-masing' (Foucaut, 1980). Setiap sistem

pengetahuan, yang oleh kaum post-modernis disebut wacana (diskursus),

niscaya melibatkan pendayagunaan kekuasaan. Oleh karena itu, sifat kekuasaan

yang selalu-hadirdalam hubungan manusia, maka usaha untuk menetapkan

sumber utama kekuasaan−¿misalnya pada negara, suatu kelas, atau kelompok

korporasi−¿akan sia-sia.

Post-modernisme memiliki kekuatan. Marxisme dan liberalisme di

permukaan terlihat emansipatoris, namun bertumpu pada konsep-konsep

keadilan, peramaan hak, dan persaudaraan yang jelas-jelas bernuansa gender.

Dalam menegaskan bahwa kekuasaan dijalankan d tingkat mikro selain juga

makro, karya para penulis seperti Foucault terkait erat denan gagasan kaum

feminis tentang ‘pribadi adalah juga politik'. Konsep wacana kekuasaan yang

beroperasi melalui bahasa juga bermanfaat dalam analisis terminologi seksis

yang demikian merata, dan membantu mengkondisikan interaksi anatra pria dan

wanita dalam kehidupan sehari-hari, namun kontribusinya dari segi perhatian

sentral sosiologi politik bersifat terbatas. Hal ini karena kaum post-modernis

sangat kuat dalam kritik (tentang gagasan universalitas dan keterbatasan meta-

naratif) tetapi tidak banyak menawarkan jalan alternatif yang konstruktif

terhadap pendapat kaum modernis yang mereka cela.

Persoalan dalam pendekatan post-modern terhdap institusi sosial dalam

kekuasaan, tidak pernah dipandang sebagai aribut yang berpotesi positif,

sebagaimana dalam gagasan pemberdayaan. Dalam setiap pemerintahan harus

dibuat pilihan sulit antara berbagai bentuk institusional. Pemikiran post-

4

modernis mengisyaratkan dua kemungkinan pendirian politik. Pertama, suatu

relativisme yang ekstrim dan nihilistik, yang kembali kepada fatalisme pra-

modern, atau mengarah pada perebutan kekuasaan a la Nietzsche, di mana yang

kuat yang berjaya atas yang lemah. Kedua, kritik post-modern terhadap

liberalisme ironisnya justru memberikan suatu perspektif libertarian yang

radikal, ketika satu-satunya yang penting adalah kebebasan untuk memilih,

bukannya hakikta atau akibat pilihan itu sendiri.

C. Konsep Konservatisme

Giddens (1994) dan Beck (1992, 1997) mengakui keterbatasan post-

moderisme dalam mengenali persoalan pemerintahan yang dihadapi oleh

masyarakat modern. Bagi Giddens (1994), post-modernsime berujung pada

‘pengakan tentang ketidakberdayaan dalam menghadapi kekuatan yang lebih

besar dibanding diri kita'. Beck lebih melihat potensi dalam post-modernisme,

namun Ia sependapat tentang gagasan kemodernan yang diskonstekstualkan

kembali bukannya sekadar asumsi kaum post-modernis bahwa perubahan sosial

yang mempengaruhi modernisasi lebih menandakan kematiannya dibandingkan

perubahannya enuju sebuah bentuk baru.

Kedua pemikir ini ingin memisahkan penyerupaan modernisasi semata-mata

dengan agasan industrialisme. Proses globalisasi dan tumbuhnya kesadaran

sosial berarti bahwa kemodernan mengandung benih-benih pembaruannya

sendiri, selain potensi penghancurannya. Seperti telah ditulis Beck (1977), ‘ada

banyak kemungkinan modernitas'. Kemiripan teori antara Giddens dan Beck

sangat mencolok.

D. Giddens: melampaui Kiri dan Kanan

Inti analisis Giddens dalam Beyond Left and Right (1994), tentang

‘modernisasi akhir’ adalah suatu pandangan radikal tentang globalisais.

Globalisasi terutama bukanlah suatu deskripsi tentang saling ketergantungan

5

ekonomi, melainkan menunjuk pada saling keterhubungan antara komunitas-

komunitas local dan proses global kemodernan. Produk-produk masyarakat

moderb, seperti telekomunikasi, mikrokomputer, dan satelit, telah

memungkinkan modernisasi menjadi sadar-diri, dan Giddens menggunakan

istilah refleksifitas sosial (social reflexivity)untuk menyebut proses ini.

Masalah pokok yang kita hadapi adalah ketidakpastian buatan (manufactured

uncertainty), yang berisi bahaya-bahaya yang kita buat sendiri, ‘pencapaian’

modernisasi dalam menciptakan teknologi pemusnahan dan komunikasi yang

semakin canggih, berarti bahwa kita dalam waktu bersamaan mengalami resiko

kepunahan yang lebih besar dan semakin sadar bahwa kemungkinan ini

memamng ada. Marxisme maupun liberalisme tidak dapat memberikan sebuah

program perubahan yang koheren, oleh karena itu diperlukan upaya melepaskan

diri dar dogma kiri an kanan. Sosialisme tidak menawarkan sebuah alternatif;

dengan runtuhnya komunisme, kaum kiri terdesak ke sikap ideologis defensif,

yang berpusat pada visi negara kesejahteraan yang ketinggalan jaman.

Persoalan yang ada pada ketidakpastian buatan adalah kebutuhan akan suatu

politik baru yang berpusat pada politik kehidupan, politik generatif, dan

demokrasi dialogis. Politik kehidupan menandai pergeseran dari suatu poitik

yang semata berurusan dengan ‘kesempatan hidup', yang dikaitkan dengan

menuju sebuah politik ‘gaya-hidup' dengan wawasan kesadaran tentang

bagaimana dampak pilihan hidup terhadap alam semesta. Keharusan untuk

menilai ulang hubungan kita dengan alam dan tradisi adalah inti dari

penggunaan Giddens atas filsafat konservatif, yang ‘memperoleh relevansi baru

bagi radikalisme politik sekarang ini'. Aspek-aspek konservatisme mempunyai

arti penting dalam sebuah dunia yang terkuras hingga ke batasnya, karena bagi

kalangan konservatif radikal, sebuah masa depan yang tak pasti memerlukan

penilaian kembali masa lalu. Giddens mengambil sejumlah tema yang

ditemukan dalam karya para teretisi konservatif seperti Burke dan Oakeshott.

Tema-tema konservatif ini mencakup skeptime terhadap kemajuan, etos

tanggung jawab individu dan kebutuhan untuk membangun solidaritas di tingkat

lokal, yang membantu menopang komunitas dan lingkingan yang lebih luas.

6

Peran politik generatif adalah mendirikan institusi yang menumbuhkan

otonomi pribadi maupun tanggung jawab individu kepada diri sendiri dan

kepada masyarakat yang lebih luas. Demokrasi yang dipahami bukan sebagai

pembelaan kepentingan golongan seperti dalam pendapat kaum pluralis klasik,

melainkan sebagai suatu proses yang mengedepankan ‘kepercayaan aktif',

toleransi dan keanekaragaman, melalui pembahasan masalah pemerintaan secara

kolektif. Demokasi seperti ini tidak dapat dibatasi sekadar pada institusi-institusi

demokrasi liberal (meskipun Giddens memandang semua ini tetap penting

artinya), tetapi juga meluas kepada gerakan sosial dan kelompok-kelompok

swadaya (delf help); ‘peleton-peleton kecil' ini (meminjam ungkapan Burke)

membantu membangun keercayaan-diri dan kesehatan mental yang menjadi inti

keberhasilan politik kehidupan.

Perkembangan solidaritas tidak dapat dipuouk dalam masyarakat sipil yang

direvitalisasi. Pertama, hak ini karena intensifikasi globalisasi berarti bahwa

tidaklah praktis merevitalisasi sebuah komsep yang terikat erat dengan negara

yang semakin ketinggalan zaman. Kedua, jika dimungkinkan untuk

meningkatkan otonomi masyarkat sipil, ia bisa menjadi dasar yang kuat bagi

penegasan kaum fundamentalis atas keanekaragaman bangsa dan etnis, yang

bertentangan dengan prinsip demokrasi dialogis.

Adanya ancaman ketidakadilan kekuasaan besar-besaran yang dihadapi

masyarakat modern. Namun, sistem kesejahteraan seperti yang dipertahankan

oleh sosialisme perlu diberi politik generatif dosis tinggi; ia tidak lagi memadai

untuk menghadapi masalah ketika timbul nanti. Sebaliknya, kesejahteraan harus

dipikirkan kembali sebagau pencegahan dan kehati-hatian. Hal ini

mengharuskan dekonstruksi terhadap kesejahteraan model statis, dan sebaliknya

melibatkan sebuah proses mendalam di antara berbagai penyedia kesejahteraan

dan penerima manfaat, untuk merancang bantuan tersebut guna memaksimalkan

otonomi pribadi.

Terdapat fakta bahwa ancaman ketidakpastian bantuan adalah suatu pondasi

untuk unviersalitas dan solidaritas. Melalui tumbuhnya refleksivitas sosial,

modernitas semakin tampak sebagai pedang bermata dua yang telah memberikan

7

kemakmuran dan peluang bagi banyak orang, sekaligus meningkatkan resiko

bagi kita semua. Hal ini menuntut kita untuk secara radikal meninjau kembali

pemahaman kita tentang pemerintahan, dan ironisnya memkasa kita untuk

menilai ulang kritik konservatif terhadap modernitas dan mengatur skeptisme

sehatnya untuk kondisi dunia saat ini.

E. Beck : Masyarakat Risiko dan Penemuan Kembali Politik

Beck memiliki kecemasan terhadap semakin menguatnya risiko dalam

moderenitas mutakhir. Oleh karena itu, pokok pertanyaanya politik dimasa

sekarang adalah “Bagaimana resiko dan bahaya yang secara sistematis

diproduksi sebagai bagian moderenisasi bisa dicegah, diminimalisir,

didramatisasi ataupun disalurkan?”

Efek samping industrilisasi dan sains telah menggantikan konflik kelas

sebvagai penggerak baru sejarah, menurut Back para penyokong ideologi

moderenisasi seperti orang buta yang sedang membahas warna”. Perjuangan atas

persamaan hak digantikan oleh pemeliharaan jaminan hidup. Seperti yang

diungkapkan Beck efek samping produksionis dan eksperimen para ilmuan yang

secara politik tidak dapat di pertanggungjawabkan memperlihatkan tidak adanya

rasa hormat terhadap batasan-batasan manusia, entah itu bersifat sosial ataupun

geografis. Bagi Beck negara telah kehilangan kredibelitasnya karena ia gagal

melindungi warganya dari resiko yang ia sendiri telah membantu

menciptakannya, tertib hukum tidak lagi memupuk kedamaian sosial karena

menenggang bahayanya berarti menyetujui dan melegitimasi kemunduran

masyarakat secara umum.

Dari analisis-analisis Beck juga mengambil aspek-aspek filsafa konservatif.

Sebuah tantangan terhadap penegasan kaum rasionalis atas kemoderenan dan

sains harus berada pada pusat politik baru dan dalamnya banyak bagian Risk

Society, kriik Beck terhadap rasionalitas ilmiah terdengar nyata konservatif ia

menulis bahwa “sins sepenuhnya tidak mampu bereaksi secara memadai

8

terhadap risiko-risiko peradaban, karena jelas terlibat dalam awal mula dan

berkembangnya semua resiko tadi.

Kaidah panduan bagin politik kontemporer haruslah berupa apa yang disebut

Beck sebagai “seni keraguan” optimisme solusi manusia untuk persoalan global

yang ditemukan dalam ideologi pencerahan liberalisme dan sosialisme harus

digantikan oleh skeptisme baru. Bahkan bagi Beck ‘Program politik untuk

kemoderenan yang teradikalisasi adalah skeptisme’. Skeptis disini pada

gilirannya harus diilhami oleh ide konservatif tentang harmoni umat manusia

dengan alam. Seperti ungkapan Beck, moderenitas refleksi melibatkan

‘berakhirnya anti-tesis antara alam dan masyarakat’. Etos moderenisasi tentang

menguasai alam harus memberi jalan bagi etika perawatan, perbaikan, dan

konservasi.

Menurut Beck, pembaharuan politik harus terjadi di tingkat yang disebut sub-

politic. Beck bukan hanya memaksudakan perlindungan institusi masyarakat

sipil yang telah mapan seperti media (yang memberi penyeimbang-yang sangat

dibutuhkan- terhadap negara), namun lebih besar lagi, Beck menyatakan bahwa

politik era moderenisasi mutakhir harus melibatkan etos kritik diri yang

menyebar luas ke seluruh badan publik dan swasta. Beck membuktikan bahwa

sebuah spirit baru demokrasi hadir dalam gerakan aksi-aksi sosial, dan juga

muncul dalam bisnis, dimana kebutuhan untuk merespon dengan semakin

fleksibel perubahan pasar menandakan adanya peluang untuk ‘perpaduan

reformasi demokrasi dengan rasionalisasi kapitalistik’. Semua ini mengandung

arti politisasi masyarakat sipil. Seperti ditulis Beck ‘politik terbongkar dan

meletus melampaui tanggung jawab dan hierarki formal’. Hal ini juga

melibatkan pergeseran dari negara otoriter menjadi negara yang bertindak

sebagai fasilitator perilaku politik dalam masyarakat sipil. Negara otoriter dan

paratai-partai politik yang terkait dengannya telah kehilantgan rasion d’etre

(alasan keberadaan) mereka dengan berakhirnya perang dingin, ancaman musuh

laternatif dan subversif dalam bentuk komunisme telah lenyap, sementara itu

partai politik berbasis kelas-kelas sia-sia saja mencari dukungannya kelas yang

9

telah menghilang. Akibatnya, sub-politik telah mengambil alih peran penting

dari politik dalam membentuk masyarakat.

Dengan berkembangnya masyarakat risiko, dan pendefinisian ulang politik

yang terkait dengannya, Beck menyatakan bahwa individu sedang dibebaskan

dari bentuk-bentuk sosial dalam masyarakat industri. NSMs sangat penting

dalam proses penghubungan antara aktualisasi diri individu dengan situasi risiko

baru. Dalam perlawananya terhadap negara dan intervensi perusahaan kedalam

ranah privat, NSMs (menurut Back), bisa menciptakan basis baru bagi

pemerintahan yang didirikan bukan diatas peran sosial yang telah tergariskan

namun muncul dari identitas diri yang dirancang secara dasar.

F. Penilaian Kritis terhadap Giddens dan Beck

Karya Giddens dan Beck memberikan analisis mendalam tentang persoalan

pemerintah ditengah apa yang diakui keduanya sebagai perubahan sosial yang

besar. Meskipun banyak sekali kesamaan dengan kritikan kaum post-modern

terhadap kemoderenan dan bentuk-bentuk politik yang terkait, namun kedua

pemikiran ini menghindari kesimpulan bahwa tak satupun yang yang bisa

dilakukan secara konstruktif untuk meredefinisi politik di tengah perubahan

keadaan yang mendasar. Hal yang inti bagi Gidens dan Beck adalah penekanan-

penekanan terhadap demokrasi sebagai sesuatu yang berkembang dan penuh

pertimbangan, bukannya bersifat defensif dan dogmatis. Dengan dibayangi

resiko-resiko buatan manusia, secara moral harus memperbaharui politik kita

dengan cara-cara yang melampaui politik kita dengan cara-cara yang melampaui

dorongan-dorongan destruktif dari produksionisme dan pemaksaan solusi

terpusat terhadap persoalan pemerintah. Namun ada sejumlah pertentangan yang

bisa diidentuifikasi dalam karya Giddens dan Beck, kebanyakan berakitan

dengan pertanyaan-pertanyaan sentral kita tenbtang hubungan negara-msyarakat

sipil.

10

Dalam penekanan mereka atas individualisasi kedua pemikiran ini,

mengabaikan alasan-alasan struktural yang menyebabkan ketidak adilan dan

masalah politik. Persoalan terus menerus dalam kapitalisme dan pembagian

kelas masyarakat sipil menjadi inti pendapat kaum sosialis seperti Miliband.

Namun selain kurang memperhitungkan dampak negatif kapitalisme, Giddens

dan Beck juga gagal memberi cukup perhatian terhadap masalah negara.

Giddens berakhir pada pandangan yang sangat liberal tentang hubungan negara

liberal menciptakan kondisi-kondisi umum legitimasi, namun suatu negara yang

menyandarkan legitimasi pada kekerasan itu sangat bermasalah. Bahan dalam

konteks lain Giddens mengakui bahwa ada kontradiksi antara kekerasan dan

legitimasi, karena legitimasi mengisyaratkan adanya komunikasi dan

persetujuan.

Giddens juga berasumsi bahwa sebagian besar aspek kehidupan harus benar-

benardijauhkan dari ranah publik, sebab jika tidak, negara akan cenderung

menjangkau mereka dan menjadi suatu otokrasi. Teori Giddens yang tersirat

leberal tentang negara menjadikan waspada terhadap masyarakat sipil yang

terlepas dari kemampuan mengatur seperti negara. Namun, hal ini bertentangan

dengan dukungannya terhadap politik generatif dan demokrasi deliberatif.

Kontradiksi ini muncul daloam teori Giddens, karena ia memahami masyarakat

sipil hanya dalam pengertian liberal, sebagai sisi lain dari negara. sehingga

ketika negara dihilangkan dari persamaan Giddens berasumsi bahwa ketegangan

laten, yang dimasa lalu diredakan oleh negara, akan diakibatkan pada

‘meningkatnya potensi kekerasan.

Sangat berbeda dengan Giddens, Beck berpendapat bahwa negara menjadi

semakin tidak terbedakan lagi dari bidang sub-politik. Bahkan logika yang

mendasari pendapat Beck adalah penyusutan negara liberal secara bertahap.

Namun yang menjanjikan, Beck mulai melihat adanya persoalan potensi negara

untuk mengandalkan kekerasan ketika ia menyatakan bahwa kaitan antara

kekerasan dan negara ‘sangatlah meragukan’.namun dalam hasratnya untuk

mengkritik penyelewengan fungsi sains ia kurang menyinggung relasi antara

11

antara teknologi, kapitalisme, dan negara. Namun dengan penolakan terhadap

kritik sosialis dan penegasanya tas individualisasi Beck agak nmengabaikan

konteks struktural yang menjadi inti dari kegagalan negara kapitalis liberal. Oleh

karena itu ia gagal membangun logika pendapatnya secara utuh.

G. Memikirkan Kembali Kiri

Bagi Miliband dalam Socialism for a sceptical Age (1994), dan Wainwright

dalam Argument for a new left (1994), ketimpangan kapitalisme lah yang

menjadikan sosialisme sebagai satu-satunya alernatif yang masih koheren dan

benar-benar radikalterhadap liberalisme. Bahkan ia menyatakan bahwa

sosialisme ini adalah suatu penolkan terhadap Marxisme klasik dan

menunjukan bahaya suatu hegemoni baru pengunduran diri di mana kita

berusaha hidup dengan sistem liberal yang sudah cacat sejak awal. Dalam

usaha merevitalisasi pemikiran sosialis klasik berkaitan dengan perubahan

sosial Miliband berusaha memberikan sebuah visi alternatif tentang

pemerintahan.

Millband mendefinisikan alternatif sosialis dalam istilah sederhana yakni

meliputi keberanjutan demokratisasi masyarakat, sebuah etika kesetaraan dn

sosialisasi ekonomi. Secara politik Millband mempertahankan banyak

mekanisme demokrasi liberal sebagai kebutuhan niscaya bagi setiap negara

demokratis. Ia menyerukan kedaulatan hukum, pemisahan kekuasan, dan

yudikatif yang di reformasi namun independen. Ui juga sangat menunjuk

pentingnya partai oposisi untu dapat memberikan kritikan yang bersifat

membangun kepada pemerintah yang disebut Millband sosialis. Namun ia

membayangkan membangun dan mengembangkan alat-alat demokrasi liberal

dengan mendesenbtralisasi kekuasan untuk mereduksi jurang antara wakil dan

warga negara. Menurut Millbend bukanlah moderenitas akan tetapi karena

hegomoni motif yang menomor duakan masyarakat dan lingkungan. Untuk itu

menurut ia sangat penting perubahan ekonomi diiringi dengan reformasi

ekonomi karena demokrasi politik tidak cocok dengan kontrol oligarki sarana

12

kekuasaan. Untuk itu millband lebih setuju jika unsur-unsur industri berada

dibawah pengawasan lembaga publik.

Winwirght salah satu yang menyokong solusi sosialis, ia menawarkan sebuah

visi pemerintahan yang lebih terpusat pad pergerakan sosial dan lebih sekeptis

terhadap peran negara dibanding teori Milband, dia berpendapat bahwa

pendekatan seperti itu khusunya relevan dengan konteks Eropa Timur, dimana

pengalaman komunisme yang negara sentris telah menggoda banyak orang

untuk beralih pada kritik neo liberal terhadap negara an meyokong pasar bebas

sebagai jalan keluar menuju kebebasannya.

Benang merah pendapat Wainwright adalah kritik terhadap teori pengetahuan

yang didukung oleh kaum neo-liberal. Menurut Wainwirght NSMs(gerkan

sosial baru) menegaskan produksi pengetahuan yang pada dasarnya bersifat

sosial. Melalui kampanye-kampanye lokal, struktur kekuasaan yang

terdesentraisasi dan tidak hierarkis serta pengambilan yang hati-hati, gerakan

bukan hanya membangun kepercayaan diri para anggotanya, melainkan juga

produksi bentuk pengethaun baru dan menciptakan cara berfikir baru tentang

persoaln pemerintah. Jalan maju bagi Wainwirght adalah desentralisasi

srtruktur kekuasaan untuk memungkikan lebih besarnya sewakelola politik

dalam ekonomi. Pengethuan inovatif NSMs juga harus terbangun di dalam

sistem perwakilan yang lebih luas.

H. Penilaian Kritis terhadap Miliband dan Wainwright

Berbeda dengan Beck dan Giddens, Miliband menawarkan suatu konteks

yang lebih terstruktur bagi persoalan modernitas mutakhir. Biang keladi

kesalahan adalah kapitalisme. Miliband jelas benar ketika menekankan aspek

dehumanisasi kapitalisme yang memandang individu, dan bahkan alam sebagai

komoditas yang bisa dibeli dan dijual di pasar. Namun. pendapatnya meski

hingga taraf tertentu mengakui pentingnya hubungan saling ketergantungan

antara negara dan masyarakat sipil ini mengesampingkan irasionalitns sistem

13

negara sebagai suatu faktor yang sangat penting dalam menciptakan jurang

pemisah, baik di dalam maupun antarnegara.

Khususnya, ada kecenderungan dalam pendapatannya bahwa Marxisme tidak

terkait dengan praktik negara komunis di Uni Soviet dan Eropa Timur. la

mengakui bahaya negara otoriter, model Soviet, namun gagal menjelaskan

mengapa negara seperti ini telah muncul di semua negara yang telah mengklaim

Marxisme sebagai cahaya pemandunya. Jika hal ini karena para individu yang

salah menggunakan atau salah menafsirkan Marx, maka siapa yang bisa

mengatakan hal ini tidak akan terjadi lagi? Pandangan seperti itu berarti

mengabaikan lemahnya pandangan Marx tentang politik dan metode transisi

komunisme Persoalan konsep negara dalam karya Miliband digambarkan dalam

pembicaraannya tentang Nazi Jerman dan Perang Dingin.

Meski mengakui bahwa rencana Nazi didasarkan pada banyak dorongan hati

yang berbeda-beda, Miliband berpendapat bahwa hubungan erat antara

Sosialisme Nasional dan bisnis 'bertahan hingga berakhirnya rezim Nazi'

(Miliband, 1994: 36). Namun, banyaknya catatan sejarah dalam periode tersebut

menunjukkan bahwa Miliband meremehkan ketegangan antara tujuan negara

Nazi dan kepentingan bisnis. Seperti ditulis Kershaw (1993: 49), “momentun

irasional rezim Nazi yang pada akhirnya menghancurkan diri sendiri

(menegasikan)....potensi sistem sosial-ekonomi untuk mereproduksi dirinya

sendiri”. Hubungan antara bisnis dan rezim negara adalah sangat kompleks dan

melibatkan pergeseran dinamika kekuasaan antarberbagai sayap partai Nazi dan

berbagai bidang bisnis sebelum dan selama perang. Namun, tahun-tahun terakhir

perang memperlihatkan 'semakin memuncaknya nihilisme Nazisme radikal di

atas kepentingan ekonomi “rasional” (Kershaw, 1993:58). Hal ini menunjukkan

bahwa Nazisme adalah sebuah fenomena yang terbatas pada masalah kekuasaan

negara alih-alih persoalan kapitalisme: isu-isu militerisme negara dan rasisme

negara adalah sentral dalam memahami fenomena Nazi.

Demikian juga, dalam pendapatnya bahwa Perang Dingin pada hakikamya

adalah pergulatan untuk mempertahankan “persaingan bebas”. Miliband

meremehkan persoalan keamanan kekuasaan yang menjadi perhatian para

14

pemain utama yang inheren dalam setiap sistem negara, entah ada pembagian

ideologis yang mendalam ataupun tidak (Millband, 1994:36-42). Dalam kasus

Perang Dingin, seperti dalam analisisnya tentang rezim Nazi, Miliband berada

dalam bahaya ekonomisme, yang ikut andil dalam tiadanya teori yang maju

tentang negara dan pemerintahan dalam Marxisme

Kenyataan bahwa ada kekosongan dalam Marxisme mengenai pemerintahan

dalam suatu masyarakat pasca kapitalis, diakui secara tersirat ketika Millband

menegaskan bahwa “penolakan atas pernisahan antara legislatif dan eksekutif”

oleh Marx dan Lenin adalah “tidak realistis” (Miliband, 1994:82). Jawaban

Miliband terhadap masalah ini adalah dipertahankannya mekanisme demokrasi

liberal (meskipun sangat direformasi). Harapan Miliband terhadap sosialisme

pada akhirnya bersandar pada pergeseran dalam masyarakat industri menuju

dukungan pemilih kepada partai sosialis. Miliband membahas kemungkinan

penciptaan mesin media yang bias dan penggunaan kekuasaan darurat jika

diperlukan, untuk mengakhiri resistensi yang tak sah, ketika sosialisme

berkuasa. Solusi statis Miliband terhadap berbagai persoalan ini tentunya untuk

mengucilkan banyak kelompok radikal di blok kiri yang diidentifikasi oleh

Wainwright sebagai mewakili potensi baru metode desentralisasi pemerintahan

sosialis. Salah satu alasan mengapa harapan Miliband untuk suatu pemerintah

sosialis radikal dan terpilih tampaknya mustahil adalah kegagalan partai sosialis

untuk memperhitungkan kebutuhan akan sebuah jenis baru politik “generatife”

yang diteorisasikan oleh Giddens dan didukung oleh penegasan Wainwright atas

sifat sosial pengetahuan manusia. Seperti dijelaskan oleh Wainwright, agen-agen

individulah yang harus menjalankan tanggung jawab penciptaan masyarakat

alternatif (Wainwright, 1994:122).

Kaum sosialis yang terus mengistimewakan negara, berarti menafikan

keterasingan yang dirasakan oleh rakyat biasa sehubungan pengalaman mereka

dengan pelayanan negara dalam hal kesejahteraan, kesehatan, dan pendidikan.

Namun, dalam dukungan antusiasnya terhadap pencapaian NSMs, Wainwright

berada dalam bahaya melebihlebihkan dampaknya. Misalnya, pendiriannya

bahwa gerakan perdamaian adalah unsur utama yang mengakhiri Perang Dingin

15

adalah pernyataan yang dilebih-lebihkan (Wainwright, 1994: 241). Kesulitan

ekonomi dan politik Uni Soviet dalam mempertahankan gudang persenjataan

militer yang banyak jauh melebihi tekanan apapun dari kelompok-kelompok

seperti Kampaye untuk Perlucutan Senjata Nuklir. Meski demikian, sosialisme

Wainwright adalah menarik dalam segi konvergensi atau pengerucutannya

menuju unsur-unsur pluralisme dan dalam penerimaan parsialnya terhadap kritik

atas negara yang dilontarkan oleh kalangan neo-liberal dan NSMs. Namun,

dilema NSMs, yang ingin mengadakan perubahan sosial radikal, dan sekaligus

berada di luar struktur politik tradisonal, menunjukkan pentingnya suatu metode

untuk mengkombinasikan struktur terdesentralisasi gerakan seperti itu dengan

sistem pemerintahan yang lebih tersentralisasi.

I. Pluralisme Radikal: Menuiu Konvergensi Teoretis

Argumen Wainwright tentang sosialisme secara tegas menyerukan kebutuhan

akan pertimbangan kembali hubungan antara liberalisme dan sosialisme, dan

antara negara dan masyarakat sipil. Dia menulis perlunya “suatu jenis kiri baru:

di mana suatu liberalisme yang telah bergerak melampaui individualisme

bekerja-sama dan bersaing dengan suatu bentuk sosialisme yang tidak lagi

bergantung pada negara bangsa” (Wainwright, 1994: 16). Argumen seperti ini

mewakili kecenderungan umum di antara banyak sosiolog politik yang menjadi

lebih beragam dalam pendekatan mereka terhadap persoalan hubungan negara

dengan masyarakat sipil. Kegagalan negara sosialisme, munculnya NSMs, post-

modernisme, dan neoliberalisme sebagai tantangan radikal terhadap statisme dan

diakuinya proses internasionalisasi, atau bahkan globalisasi, telah menjadi

sebagian alasan utama untuk konvergensi teoretis ini.

Marsh (1995; 270) telah menyatakan bahwa konvergensi ini telah mengarah

pada posisi elitis. Tentu saja, tidak banyak orang yang akan menyangkal bahwa

kaum elit memang mempertahankan kontrol terhadap negara, dan menggunakan

kekuasaan dengan kadar yang tinggi dalam institusi-institusi masyarakat sipil,

Asumsi-asumsi elitis masih mendasari praktik kewarganegaraan dan partisipasi

16

politik dalam demokrasi liberal. Sejumlah pengarang, terutama Etzioni-Halevy

(1993), bahkan telah membuat pembelaan kuat atas landasan normatif, dan juga

praktis, untuk melindungi otonomi elit, yang menurutnya telah menjadi basis

keberhasilan demokrasi liberal. Namun, semua teoretisi yang dikaji dalam bab

ini secara implisit maupun eksplisit menentang dipertahankannya kekuasaan elit,

Bahkan dalam karya Giddens dan Miliband, di mana konsep negara amat

problematis dalam argumen mereka, ada penerimaan atas kebutuhan untuk

pendekatan yang lebih bottom-up terhadap persoalan pemerintahan, di mana

individu memainkan peranan yang jauh lebih aktif dan bertanggung jawab.

Sebagian besar pemikir sekarang ini menerima bahwa keliru jika

mengidentifikasi kekuasaan sebagai terletak pada suatu bagian tunggal dalam

masya- rakat sipil, dan mereka menggunakan pendirian pluralis tentang

keanekaragaman, sebagai benteng pertahanan statisme otoritarian.

Sebagai akibat perubahan sosial yang sangat cepat, relasi yang tepat antara

negara dan masyarakat sipil telah menjadi sangat problematis. Hasilnya adalah

ketertarikan yang lebih besar kepada demokrasi, bukan hanya sekadar sarana

untuk meraih tujuan, namun sebagai suatu kebaikan itu sendiri. Misalnya,

Giddens dan Wainwright menekankan bagaimana perdebatan dan partisipasi

demokratis dapat membangun keyakinan dan kepercayaan antarindividu. Seperti

telah kita lihat, bahkan Miliband (dalam rekomendasi konstitusionalnya)

menerima potensi ketegangan antara Marxisme dan demokrasi. Jadi, sebagian

besar pemikir kontemporer mengecilkan demokrasi sebagai suatu pencarian

kebenaran tunggal, dan sebaliknya menekankan proses pertimbangan dan

pembangunan konsensus sebagai hal yang berharga. Semua pemikir yang telah

dikaji juga mendukung pendekatan pluralis terhadap ekonomi. Bahkan pengamat

Marxis sekarang ini cenderung menyokong suatu ekonomi campuran, atau

setidaknya yang sangat terdesentralisasi, dan sebagian besar telah menolak

pandangan deterministik sederhana tentang hubungan antara ekonomi dan jenis-

jenis kekuasaan yang lain.

Karya seorang neo-Marxis yang paling canggih, Bob Jessop, memberikan

contoh yang baik tentang konvergensi aspek-aspek pluralisme maupun

17

Marxisme saat ini. Jessop menyatakan bahwa yang dibutuhkan adalah analisis

tentang hubungan antara negara dan masyarakat, dimana tak satu pun dari

keduanya yang diberi signifikansi secara a priori. Jessop menyatakan bahwa

kekuasaan negara, “tidak bisa direduksi menjadi suatu realisasi sederhana dari

apa yang diakui sebagai kebutuhan atau kepentingan modal” (Jessop, 1990:

354). Dalam pendekatan “strategi rasionalnya”, Jessop dengan sadar berpindah

dari ekonomisme ke suatu pandangan pluralis radikal tentang dinamika negara-

masyarakat sipil. Baik negara maupun institusi masyarakat sipil memiliki

sumber daya independen yang menjadikan dominasi total satu terhadap yang

lainnya menjadi mustahil. Oleh karena itu, “negara membentuk masyarakat dan

kekuatan sosial membentuk negara” (Jessop, 1990:361-2).

Disebabkan kompleksitas hubungan ini, apapun strategi negara, yang

berusaha memerintah dengan cara baru, harus berusaha memperoleh dukungan

dari beberapa bagian masyarakat sipil. Terlebih lagi, peristiwa masa lalu,

konflik, krisis, kompromi dan perjuangan berarti bahwa sejurnlah projek

perubahan sosial cenderung lebih berhasil dibanding lainnya. Intinya adalah

bahwa karena kekuasaan sampai taraf tertentu selalu terfragmentasi, tidak ada

strategi apapun yang bisa sepenuhnya dominan: “kekuasaan negara berhadapan

dengan batasan dan perlawanan struktural, yang tak terelakkan membatasi

kemampuannya untuk menguasai formasi social” (Jessop, 1990:361-2). Oleh

karena itu, Jessop memberi perhatian besar terhadap tindakan dan kalkulasi

aktor-aktor politik dalam membentuk hakikat negara. Hal ini memungkinkan

lebih banyak variasi bentuk negara dibanding yang muncul dalam teori yang

lebih struktural dan deterministik yang terkait dengan Marxisrne klasik. Dengan

demikian, Jessop memandang negara dan masyarakat sipil berada dalam

hubungan yang tegang dan seringkali bertentangan. Pertentangan ini

mewujudkan bentuknya sendiri bukan hanya melalui konflik kelas, namun juga

dalam pergulatan berdasarkan gender, ras, generasi, dsb. “Paradoks pokok”

dinamika negara masyarakat sipil ini, seperti telah kita lihat sepanjang buku ini,

adalah hal yang inheren (melekat) dalam liberalisme, dan bagi kaum Marxis

merupakan sumber keterasingan dan penindasan.

18

Tugas yang dijalankan oleh pengamat pluralis radikal seperti Hirst (1994)

adalah berusaha mengatasi paradoks tadi dengan secara parsial melepaskan

hubungan antara negara dan masyarakat sipil. Dalam bukunya Associative

Democracy (1994), Hirst membuat satu usaha yang paling menarik untuk

mendamaikan negara dan masyarakat sipil melalui seruan perubahan

fundamental terhadap hubungan keduanya. Menurut Hirst, tantangannya adalah

membangun di atas dasar ide-ide liberal seperti otonomi individu, kebebasan,

dan keragaman dengan menjadikan nilai-nilai tersebut riil bagi seluruh anggota

masyarakat.

Khususnya, dampak destruktif kemiskinan dan ketidakberdayaan atas

kehidupan individu perlu disoroti. Namun, pada saat yang sama, Hirst mencatat

bahaya solusi sosialis yang berusaha menyelesaikan masalah tadi melalui

intervensi negara. Pendekatan penganut statis ini berarti “pemberlakuan aturan

dan standar pelayanan yang sama terhadap tujuan yang semakin beragam dan

pluralistik dari anggota masyarakat modern” (Hirst, 1994:6). Oleh karena itu,

Hirst setuju dengan Beck dan Giddens tentang perlunya mengakui eksistensi

penduduk refleksif dalam masyarakat industri, dan karenanya keniscayaan untuk

mengadopsi model politik generatif. Apa yang ditawarkan Hirst adalah usaha

untuk menyusun politik generatif melalui gagasan asosiasionalisme:

Asosiasionalisme memungkinkan lagi demokrasi representatif yang

bertanggung jawab, dengan membatasi jangkauan administrasi negara, tanpa

mengurangi pemberian bantuan sosial. Hal ini memungkinkan masyarakat

berbasis-pasar untuk mewujudkan tujuan sebenarnya yang dikehendaki oleh

warga negara, dengan melekatkan sistem pasar ke dalam jaringan sosial institusi-

institusi yang koordinatif dan teregulasi (Hirst, 1994: 12).

Hirst menyarankan bahwa jalan ke depan adalah merekonstruksi institusi

politik untuk memungkinkan kelompok-kelompok individu membangun

komunitas swakelola sendiri dalam masyarakat sipil (Hirst, 1994: 14).

Perkumpulan-perkumpulan dalam masyarakat sipil harus menjadi kendaraan

utama untuk keputusan demokratik dan penyedia pokok kesejahteraan. Hal ini

jelas membutuhkan suatu negara federal dan terdesentralisasi, yang

19

menyediakan dana publik untuk perkurnpulan-perkumpulan ini, Sejumlah tugas,

seperti pertahanan nasional, masih perlu beroperasi di tingkat negara. Namun,

pemerintahan akan semakin melibatkan warga negara dalam membuat

keputusan, dan negara menetapkan sebuah kerangka regulasi dan standar umum

(Hirst, 1994:24). Menurut Hirst, permasalahan dalam sistem politik representatif

bukanlah representasi itu sendiri, namun lebih pada jangkauannya.

Dalam perhitungan Hirst, desentralisasi demokrasi akan membantu mencegah

tirani mayoritas di tingkat negara. Hal ini juga akan meningkatkan komunikasi

antara berbagai tingkat pemerintahan, dan dengannya menggali pengetahuan

yang dihasilkan di tingkat lokal yang biasanya diabaikan atau dilangkahi dalam

sistem yang lebih terpusat. Perkumpulan sukarela, yang diberdayakan dengan

uang publik, bisa juga menjadi suatu cara yang lebih sesuai untuk meningkatkan

hubungan dengan kelompok serupa di negara lain. Oleh karena itu,

asosiasionalisme mungkin lebih siap dibanding negara antagonistik dalam

menghadapi tantangan dunia semakin saling-tergantung (Hirst, 1994: 71),

Asosiasi-asosiasi yang dipromosikan oleh Hirst akan sangat beraneka-ragam,

meliputi organisasi gereja, kelompok sukarela, dan NSM. Masing-masing akan

mampu mengorganisasi diri mereka sendiri dengan cara apapun yang mereka

pilih, asalkan mereka tidak melanggar hak-hak asasi individu, termasuk hak

untuk keluar dari kelompok.

Batu pondasi sistem Hirst adalah gagasan tentang jaminan penghasilan bagi

warga negara, yang sekali lagi didanai melalui pajak terpusat. Dengan satu

tindakan saja hal ini akan merealisasikan prinsip kesukarelaan, dengan

menghilangkan keharusan untuk mencari pekerjaan yang kurang layak dengan

gaji rendah sekadar untuk bertahan hidup, dan dengan membebaskan warga

negara dari ketergantungan terhadap negara kesejahteraan yang birokratis dan

arbitrer (Hirst, 1994:134). Kebijakan seperti itu, yang juga merefleksikan sifat

sosial dari produksi ekonomi, cenderung akan menghasilkan masyarakat sipil

yang lebih kaya dan leih beraneka ragam, ketika individu dibebaskan dari beban

keharusan untuk memperoleh nafkah dasar, dan sebaliknya dapat memilih

20

menekuni kegiatan budaya, melakukan kerja sukarela atau membangun

kerjasama yang inovatif.

Dipandang dari segi ekonomi, Hirst membayangkan demokratisasi

perusahaan-perusahaan yang akan didorong untuk menjadi asosiasi-asosiasi

yang memerintah diri sendiri (Hirst, 1994: 146). Hirst menyarankan berbagai

macam undang-undang pemberian dana dan insentif pajak yang akan

memberikan kontrol lebih besar oleh tenaga kerja terhadap perusahaan.

Keterbatasan ruang tidak memungkinkan saya untuk memerinci hal ini di sini,

tapi poin intinya adalah bahwa sebuah ekonomi asosiatif akan berupa ekonomi

di mana “doktrin pengelolaan ekonorni yang lebih terdesentralisasi dan

bergantung pada mekanisme politik yang mengupayakan koordinasi dan

pemenuhan regulasi melalui kerjasama aktor-aktor ekonomi” akan membantu

mengurangi ketegangan antara negara dan masyarakat sipil (Hirst, 1994:96).

Teori Hirst bukanlah tanpa persoalan. Khususnya, para kkritikus bisa

menunjuk pada kekuatan perlawanan terhadap serangan atas keistimewaan yang

muncul akibat perubahan oleh asosiasionalisme, yang mungkin telah diremehkan

oleh Hirst. Para elit tradisional akan cenderung berusaha menghalangi metode

pemerintahan yang lebih kooperatif dan egaliter, terutama terhadap undang-

undang radikal seperti jaminan penghasilan. Para penganut sosialis mungkin

juga ingin menyatakan bahwa ketidakadilan pada tingkat global hanya dapat

dilawan dengan komitmen pada sosialisasi struktur ekonomi yang lebih radikal

dibanding yang dipertimbangkan oleh Hirst.

Namun, bentuk asosiasionalisme yang diteorisasikan oleh Hirst memang

menyajikan versi pluralisme radikal yang paling menjanjikan. Pluralisme radikal

menghasilkan penekanan yang lebih besar terhadap keagenan manusia,

pengakuan terhadap persoalan negara, dan kebutuhan akan struktur ekonomi dan

politik yang mencerminkan keanekaragaman masyarakat sipil. Gagasan-gagasan

seperti itu menyiratkan adanya satu titik konvergensi teoretis bagi yang sosiolog

politik kontemporer.

J. Pemerintahan Global

21

Globalisasi menyebabkan terjadinya berbagai resiko, negara pun ikut

bertanggung jawab sepenuhnya dalam penciptaan berbagai risiko yang terjadi

akibat global misalnya melalui penguayaan persenjataan yang semakin modern,

dan penggalakan liberalisasi telah menimbulkan ketidakadilan global dan

semakin memburukya kondisi lingkungan, negara juga tetap sebagai actor poitik

yang paling cakap dalam melawan risiko-risiko tadi.

Beberapa kelemahan dalam teori hubungan internasional sebagai sebuah

disiplin akademis yang paling berurusan dengan politik global merupakan

eksplorasi sejauh mana institusi pemerintahan global telah mulai berkembang.

K. Teori Hubungan dan Risiko Global

Teori hubungan internasional berkenaan dengan kekuatan-kekuatan yang

membentuk politik diluar batas suatu negara. Periode pasca-perang, alur teoretis

yang dominan dalam disiplin ini adalah Realisme. Bagi kaum realis, negara

adalah actor utama dalam hubungan dunia. Bagi penganut realis klasik, seperti

Morgenthau konflik adalah ciri yang selalu hadir dalam sistem negara, karena ini

ciri sifat manusia yang selalu ada. Gambaran yang dilukiskan Morgenthau

tentang hubungan anarkis sistem internasional itu serupa dengan teori Hobbes

tentang watak negara, yang menggambarkan ketidakamanan masyarakat tanpa

negara. Bagi Hobbes, individu seperti halnya negara didorong oleh pencarian

kepentingan sendiri dan akrenanya selalu ada kemungkinan adanya apa yang

disebut Hobbes sebagai suatu “perang semua melawan semua”.

Keadaan ini hanya dapat dicegah jika individu membuat kontrak dengan

suatu kekuasaan yang lebih tinggi untuk melindungi mereka dari orang lain.

Namun, analogi tersebut bagi kaum realis dikatakan sebagai hal yang terbatas.

Pemerintah global adalah sebuah ilusi utopia yang menyangkal kenyataan

kedauatan negara yang tetap menjadi landasan hubungan internasional.

Kedaulatan kemudian menjadi konsep utama dalam realisme. Namun, struktur

internasional yang menciptakan ketegangan antarnegara dengan tidak adanya

otoritas yanglebih tinggi, negara bersaing satu sama lain untuk menjamin

keamanan masing-masing. Sedangkan kekuatan realisme adalah karena ia

22

menyoroti irasionalitas yang mendasari pondasi logika tentang satu dunia yang

terbagi menjadi negara-negara. Persoaan teori hubungan hubungan internasional

mainstream terutama terletak dalam pemahamannya tentang kedaulatan dan

keamanan negara.

Kedaulatan negara telah menjadi pondasi di antara sistem negara semenjak

Treaty of Westphalia. Gambaran kaum realis klasik tentang sistem negara itu

ibarat sejumlah bola bilyar yang terpisah dan keras, yang kadangkala

bertabrakan dan tidak mampu membangun kepentingan bersama. Gambaran bola

bilyar yang padat pun tersingkir digantikan oleh kiasan tentang negara ‘yang

berlubang-lubang’. Dan negara tidak boleh dipandang dalam segi atomistiknya,

yang mana proses globalisasi semakin menghubungkan persoalan masyarakat.

L. Dilema Keamanan Baru

Perlindungan atas keamanan masyarakat merupakan janji utama negara. Taraf

memenuhi janji negara tergantung variasi pada penguasaannya atas sumber daya

kekuasaan. Demokrasi liberal telah membanggakan diri atas perlindungan

mereka terhadap hak dan partisipasi warga secara internal, namun dalam area

internasional mereka mendukung negara yang mengingkari hak ini bagi

warganya dimana kebebasan tadi hanya khayalan semata. Konsep kedaulatan

telah memberikan kedok bagi diktator berupa legalitas internasional, yang

menyembunyikan hak asasi manusia.

Pandangan sempit tentang keamanan seperti itu telah menjadi usang, saat ini

sedang menghadapi krisis yang saling berkaitan dan tidak bisa diprediksi.

Sehingga menyebabkan dilema keamanan yaitu isu ketidakadilan global, isu

tersebut sangatlah mengejutkan dampaknya. Terjadinya ketimpangan antara

negara Barat dan Timur mengenai kemiskinan dan serta pertumbuhan media

massa menandakan bahwa kesadaran atas ketidakadilan ini semakin meningkat

dengan cepat. Krisis kelaparan yang terjadi di Sudan seringkali dipotret media

massa sebagai bencana alam. Hal tersebut menjadi kedok untuk

menyembunyikan bahwa manusialah penyebab ketidakadilan ini. Ketidakadilan

23

global memiliki banyak konsekuensi yang berdampak pada negara kaya maupun

miskin. Salah satu tragedy dramatis yaitu ledakan jumlah pengungsi untuk

mencari perlindungan. Kelemahan lain dalam konsepsi tradsional tentang

kedaulatan dan keamanan, yaitu kebanyakan orang menderita dan dalam

keadaan bahaya lebih disebabkan oleh pemerintah mereka sendiri daripada

pemerintah asing.

Perpindahan jutaan orang menjadi titik fokus kestabilan regional dan

peningkatan jumlah senjata nuklir mengandung arti konflik regional semakin

sulit diatasi. Hal tersebut menyebabkan isu-isu kejahatan global menjadi genre

baru ancaman keamanan nasional. Seperti halnya banyak dilemma baru,

ketidakadila global adalah akar dari banyak aktivitas kejahatan yang paling

merusak. Kemiskinan dan ketidakadilan juga meningkatkan kerusakan

lingkungan. Yang dibutuhkan untuk menangkal kerusakan lingkungan dan

keamana lain adalah pendekatan global terhadap pemerintahan.

M. Menuju Pemerintahan Global

Dalam bulan Mei 1998, G-8 bertemu di Birmingham Inggris untuk

membahas serangkaian persoalan global, yang banyak diantaranya

mencerminkan dilemma kemanan baru yang diulas di atas. Poin utama

pembicaraan meliputi implementasi persetujuan Kyoto tahun 1997 (yang

bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca) masalah penggangguran global,

pengenalan pembangunan berkelanjutan dan pengintegrasian negara negara

sedang berkembang ke edalam ekonomi dunia, keharusan untuk meregformasi

arsitektur financial global untuk menghadapi krisis seperti ambruknya mata uang

Asia yang dimulai tahun 1997, dan kutukan terhadap tes nuklir India baru baru

ini (Guardian 1998).

Watak global persoalan persoalan ini menggambarkan tumbuhnya kebutuhan

untuk respon internasional yang koheren. Namun dengan tanpa adanya

pemerintah global, keberhasilan pemerintahan terutama sekali bersandarkan

pada kerjasama antar negara. Namun, lembaga seperti G-8 itu sendiri

mencotohkan watak tak demokratis dan tak dapat dipertanggung jawabkan dari

24

banyak institusi pemerintahan internasional, yang hampir selalu dikuasai oleh

elite lit dari negara barat. Karena itu tidak mengherankan jika prinsip prinsip

yang mendorong pemerintahan global adalah neo liberalisme dan kedaulatan

negara.

Meskipun demikian, adlaah jelas, seperti dinyatakan Shaw (1994) bahwa

bahkan negar anegara kuat telah mulai menyadari keterbatasan kedaulatan

mereka, dan telah mengupayakan kerjasama yang lebih besar dengan negara

lain. Meski dalam satu segi para penganut realis benar ketika mengidentifikasi

tingginya kadar kepentingan pribadi dalam perkembangan ini, namun nyatanya,

seperti telah diindikasikan, dikotomi antara kepentingan pribadi dan morealitas

semakin tidak tepat. Semakin negara negara menyadari bahwa pendekatan

global bagi persoalan dunia paling besar kemungkinannya untuk memastikan

keterlibatan, dan bahwa ketertiban ini harus didasari oleh etika keadilan dan

tanggung jawab bersama; semakin kita cenderung melihat diversifikasi institusi

pemerintahan.

Proses ini sudah berjalan dan digambarkan oleh tumbuhnya organisasi

internasional dan munculnya embrio masyarakat sipil global. Namun kita tidak

dapat sekedar menarik garis lurus dari pemerintahan yang berpusat pada negara

menuju sebuah jenis baru pemerintahan pada tingkat global. Organisais dan

actor actor ini telah berkembang sebagian besar dengan cara ad hoc, penuh

kontradiksi serta sering tidak mempunyai visi pemerintahan di luar capaian

jangka pendek dan manajemen krisis.

N. Rezim Rezim Internasional

Organisasi organisasi internasional selalu menjadi cirri politik dunia. Contoh

dair masa lalu termasuk concert of Europe yang dibentuk setelah kekalahan

napoleon dan liga bangsa bangsa yang didirikan setelah Perang Dunia I. Namun

anggota organisasi semacam itu hampir selalu negara. Sebaliknya konsep

modern tentang suatu rezim internasional merupakan suatu bentuk pemerintahan

yang meski didominasi oleh negara tersusun dair multi actor dan melibatkan

25

peran konsultatif untuk masyarakat sipil global. Bagi kaum liberal, melalui

institusi pemerintahan yang meski didominasi oleh negara tersusun dari multi

actor dan melibatkan peran konsultatif untuk masyarakat sipil global. Bagi kaum

liberal melalui institusi pemerintahan seperti inilah persoalan dunia dapat diatur

tanpa mengambil jalan perubahan lebih radikan terhadap sistem internaisonal.

Rezim yang paling penting “mengatur” ekonomi dunia. Ada banyak

organisasi yang ada untuk mengaswasi dan memajukan perdagangan serta

stabilitas financial. G-8 telah disebutkan tadi namun ada juga Bank Dunia,

Internasional Monetary Fund, World Trade Organisation dan Organisation for

Ecomnomic Coperation and Development (OECD). Walaupun organisasi

organisasi ini mempunyai independensi tertentu dari engara negara dan

berinteraksi dengan actor non negara seperti MNC, namun negara yang paling

kuat sajalah yang menyediakan hubungan di antara mereka. Secara keseluruhan,

berbagai organisais ini membentuk suatu rezim manajemen ekonomi yang begitu

berpengaruh dalam membentuk ekonomi dunia sehingga salah saut komentator

telah menyebutnya pemerintahan dunia secara de facto. Permaslaahan berkaitan

EMR adalah ia didominasi oleh ideologi neo liberal yang menurut Chomsky

dirancang untuk melayani kepentingan TNC, bank bank dan perusahaan

inverstasi.

Tentunya EMR tampak didorong oleh syarat syarat kepentingan korporasi

dan negara Barat. Ia telah dengan gigih menjaga hak barat atas kekayaan

intelektual dengan cara demikian mempertahankan control negara meaju

terhadpa kemajuan teknologi. Di waktu yang sama ia telah menggembar

gemborkan liberalisasi perdagangan di kawan kawasan yang menguntungkan

bagi negara maju. Yang mendasari EMR dan memperkuat argument para

kritikus seperti Chomsky.

Pertama Wade (1998) menyatakan bahwa reaksi abrat terhadap krisis

financial Asia yang memperlihatkan kejatuhan tajam dalam nilai mata uang dan

saham di negara negara seperti Singapura, Indonesia, Korea Selatan serta Jepang

ssekitar tahun 1997-1998 adalah keluru dan cenderung mendominasi. Berbagai

krisis ini telah mengancam terperosoknya kawasan ini atau bahkan dunia ke

26

dalam resesi. Namun reaksi EMR adalah berusaha memaksa negara negara

seperti Korea Selatan melalui persyaratan keras yang disodorkan sebagia paket

paket penyelamatan financial untuk menggunakan sistem deregulasi financial a

la neo liberal, terlepas dari fakta bahwa tidak adanya regulasi yang efektif di

sector financial dan sector lain dalam ekonomi lah yang terutama menyebabkan

persoalan di banyak negara Asia. Bagi Wade dan Venerovo taktik taktit

semacam itu mencerminkan konflik terus menerus antar sistem ekonomi yang

salin bersaing dengan EMR berusaha mendirikan suatu rezim mobilitas modal

skala dunia untuk kepentingan Anglo Amerika yang mendominasi sistem

ekonomi neo liberal.

Kedua EMR telah berusaha meliberalisasi investasi asing dengan cara yang

paling dramatis melalui pengajuan multilateral agreement on investment. Hal ini

pertama kali dibicarakan oleh OECD pada 1995 namun macet tahun 1998

sebagian karena tekanan dari kelompok kelompok lingkungan dan kekhawatiran

beberapa negara sedang berkembang. MAIs telah disebut sebagai Bill of

RIghtsnya MNC. Mereka akan melucuti kekuasaan bangsa bangsa dalam

melindungi diri dari investasi asing yang tidak berkelanjutan dan memberikan

hak yang sangat luas kepada korporasi multinasional dan investor lain. Jika

diimplementasikan kesepakatan ini akan mengubah keseimbangan kekuasaan

antara negara sedang berkembang dan MNC dengna cenderung pad aperusahaan

multinasonal ini.

Negara negara akan tak mampu menghalangi perusahaan asing dann

karenanya MAIS bisa menghalangi perkembangan perusahaan local skala kecil

di negara yang lebih miskin yang bisa merupakan satu satunya langkah realistis

menuju perkembangan yang berkelanjutan. Di bawah MAIs dikhawatirkan juga

bahwa perusahaan asing akan dibebaskan dair ektentuan upah minimum dan

legislasi perlindungan konsumen. Berbagai gerakan sosial juga telah

mengungkapkan keprihatianna tentang melemahnya regulasi lingkungan dan

juga implikasi negatif MAIS terhadap demokrasi.

EMR adalah tipikal kegagalan engar anegara kuat untuk melihat melampaui

kepentingan mereka sendiri yang sempit da untuk mereformasi serta

27

memeanfaatkan rezim rezim tersebut secara efektif mengelola bumi ini.

Kuhsusnya dominasi ideologi neo liberal dalam kebijakan ekonomi telah

menghalangi keberhasilan manajemen atas banyak poin ketegangan di dalam

sistem global, seperti krisis utan, pengangguran dunia, ketidakstabilan sistem

financial dunia, dan kerusakan lingkungan. Watak elitis dan tak demokratis dari

rezim rezim seperti itu juga telah memunculkan pertanyaan tentang hak mereka

untuk mengatur aspek apapun dalam hubungan dunia.

O. Perserikatan Bangsa Bangsa

PBB menawarkan bahan mentah yang lebih menjanjikan untuk membangun

sebuah sistem pemerintahan global, dibandingkan rezim internasional lainnya.

Hal ini sebagian karena ia menjadi satu satunya abdna hukum internasional yang

mempunyai keanggotaan hampir universal dari negara negara di dunia. PBB

berbeda dengan kebanyakan organisasi internasional lainnya, juga memiliki

unsure partisipatoris yang signifikan. Sidang umum PBB beroperasi berdasarkan

prinsip satu negara satu suara dna semua anggota mempunyai kesempatan untuk

menyuarakan opininya tentang hubungan dunia. Namun PBB adalah sebuah

institusi kontradiktif yang semakin melangkan arah tak pasti dari pemerintahan

global.

Di satu sisis, piagam PBB memperkuat doktrin kedaulatan engara. Pasal 2

ayat 7 menegaskan PBB atas doktrin tanpa campur tangnan dalam urusan

domestic negara negara dan badan hukum paling penting di PBB, Dewan

Keamanan, didominasi oleh lima anggota permanennya: AS, China, Rusia,

Inggris, dan Perancis. Struktur negara sentrisnya mencerminkan tujuan awal dan

utama PBB yakni menyediakan sarana di mana agresi militer oleh satu negara

terhadap negara lainnya bisa diselesaikan secara kolektif. Namun di sisi lain

PBB berpotensi subversive terhadpa sistem negara melalui perannya sebagai

pengajur HAM, yang diabadikan dalam Universal Declaration of Human Rights

pada 1948.

28

Ketegangan antar aspek PBB yang saling bertentangan ini menjadi lebih

menonjol pada tahun 1990 an karena perubahan sifat politik dunia. Perang

dingin dengan efektik menempatkan PBB dalam kerangkeng karenana negara

kapitalis barat maupun kekuatan komunis akan menggunakan hak vetonya untuk

menentang resolusi lawannya. Deengan kejatuhan komunisme, penggunaan hak

veto oleh anggota permanen dewan keamanan sangat menurun dan terciptan

kesempatan bagi PBB untuk memainkan peran lebih proaktif dalam hubungan

dunia. Akhir akhir ini PBB telah meningkatkan operasinya di akwaasan yang

mengaburkan perbedaan antar apemajuan HAM olehnya dan penghormatannya

pada kedaulatan negara.

Sejak tahun 1990 PBB telah berspekulasi ke wilayah yang tidak secara jelas

tercakup dalam piagamnya. Kuhsusnya PBB telah mengembangkan peranan

baru dalam menjaga perdamaian di negara seperti Somalia dan Yugoslabia yang

telah terkoyak oleh perang saudara. Namun konsep menjaga perdamaian bahkan

tidak disebutkan dalam dokumen pendirian PBB. Doktrin baru tentang penjaga

perdamaian ini telah diperluas menjadi gerakan penciptaan lokasi perlindungan

di Utara Irak tahun 1991 untuk melindungi rakyat suku Kurdi yang telah

menderita penganiayaan di tangan pemerintahan Saddam Husain. Doktri

menjaga perdamaian mencerminkan realitas dileman keamanan baru yang

semakin melibatkan perkmbangan ancaman terhadap perdamaian dalam batas

batas negara. Namun PBB telah lumpuh dalam peran barunya karena sejimlah

keterbatasan. Khususnya PBB mengalami kekurangan legitimasi dan sumber

daya.

Masalah utama dalm konsep menjaga perdamaian adalah baw=hwa ia telah

diterapkan secar apilih kasih. Resolusi PBB yang mengutuk pelanggaran HAM

yang dilakukan Indonesia di Timor Timur dan Israel di Palestina tela secara

konsisten diveto oleh anggota Dewan Keamanan. Kecurigaan bahwa PBB hanya

akan bertindak bila ia melayani kepentingan negara adidaya, sangat mencolok

ketika negara negara seperti AS bertindak secara unilateral, seperti dalam

invasinya ke Panama tahun 1989 yang telah dikutuk oleh sidanng umum PBB

29

sebagai suatu pelanggaran mencolok terhadap hukum internasional dann

independensi kedaulatan serta integritas territorial negara.

Legitimasi PBB juga dipertanyakan berdasar komposisi dewan kemanan.

Dominasi Dewan oleh Barat harus dikurangni dengan menambah jumlah

anggota permanen, melalui masuknya wakil wakil dari negara sedang

berkembang : Nigeria, Brazil dan India sering disebut sebagai calon calonnya.

Namun yang lebih mendasar, PBB perlu menjawab perubahan sifat isu negara

anggota. isu keamanan dan menyusun kembali piiagamnya agar secara jelas

menentukan tujuan tujuannya. Menurut sejumlah pengamat proses pembentukan

PBB harus melibatkan peran yang lebih besar bagi masyarakat sipil global.

Bannyak yang menyarankan adnaya forum organisasi non pemerintah atua

bahkan sejenis majelis rakyat yang anggota anggotanya dipilih secara

demokratis untuk berkerja berdampingan dengna sidang umum: dewan terpilih

tersebut setidaknya mempunyai peran konsultatif tentang aktivitas PBB.

Pesatnya pertumbuhan aktivitas PBB belum diiringi peningkatan dana iuran

anggota. Nyatanya beberapa negara dan khususnya AS tidak membayar iurannya

pada PBB pada Agustus 1997 AS berhutan 1.4 Miliar dolar. Penunggakan ini

ternyata didasari alasan yang meragukan. Misalnya partai republiik yang

mendominasi senat AS telah menyebut bahwa dukungan PBB terhadap aborsi

yang dianjurkan dalam sejumlah keadaan sebagai bagian dari usaha PBB untuk

melawan ledakan pertumbuhan penduduk global sebagai alasan tak mau

membayar iuran ini.

PBB juga terus menerus kekurangan sumber daya manusia untuk

menjalankan aktifitas menjaga perdamaian. Setelah kegagalan operasi penjagaan

perdamaian di negar aseperti Somalia, berbagia negara enggan mengirim

tetearanya karena khawatir menjadi korban, yang bisa merusak popularitas

pemerintah di dalam negeri. Bahkan pada Mei 1994 Presiden Clinton

menyatakan bahwa AS hanya akan berpartisipasi dalam operasi operasi PBB

jika melibatkan kepentingan AS di dalamnya.

Jika penjagaan perdamaian PBB hendak terus dihidupkan, dibuthkan suatu

pasukan reaksi cepat independen yang terdiri dari sukarelawan dari negara

30

anggota. Hal ini akna sangat meningkatan kecepatan reaksi PBB terhadpa krisis

internasional yang selama ini cenderung lambat dan setengah hati pada 1994

misalnya: Dewan keamanan memutuskan dengan suara bulat bahwa dibutuhkan

5500 tentara untuk di kirim ke Rwanda namun diperllukan waktu 6 bulan bagi

negara anggota untuk mengirim pasukannya. Pasukan permanen tersebut juga

akna membantuk menyelesaikan masalah struktur komando dan pembuatan

keputusan strategis ketika pasukan PBB ditempatkan di lapangan. Di masa lalu

hal ini menjadi persoalan rumit karena keengganan di antara negara untuk

menempatkan pasukannya di bawah komandan langsung PBB.

PBB memang menawarkan sebuah titik focus penting bagi pemerintahan

global dan ia telah mempunyai beberapa catatan keberhasilan dalam

emmulihkan stabilitas di negara negara seperti kamboja dan angola pada tahun

1990 an. Reformasi terhadap piagam PBB dan rasionalisasi terhadpa

organisasinya tak diragukan lagi akan membantu meningkatkan kekukuhannya

dan mungkin mendrong beberapa negara untuk membayar tunggakan iuran yang

belum dilunasi.

Namun peran masa depan PBB akan ditentukan oleh kemauan negara negara,

dan khususnya persepsi AS terhadpa kemampuannya sendiri untuk menghadapi

dilemma kemanan baru yang diidentifikasi dalam bab ini. Meski mungkin benar

bahwa dalam berhubungan dengna negara lain, AS dengna ekonomi yang sangat

kuat dan begitu banyak perlengkapan senjata militer lebih kuat daripada yang

sudah sudah namun benar juga bahwa dalam bidang bidang keamanan yang

penting semua negara berada dalam posisi yang lemah dan karenanya perlu

mencari metode kerjasama yang lebih berhasil di masa depan.

P. Masyarakat Sipil Global

Para penganjur pemerintah global telah sering menggantungskan banyak

harapan mereka kepada perkembangan masyarakat sipil global, sebagaimana

harapan mereka pada pembentukan organisasi internasional. Institusi penting

dari masyarakat sipil global yang tengah mencuat antara lain adalah media

31

massa dan MNCs. Media masa telah membantu menjadikan opini public sebagai

factor sentral dalam membentuk tindakan Negara demokratis di panggung dunia,

seperti diperlihatkan oleh peran yang dimainkan dalam mendukung intervensi

kemanusiaan oleh Negara barat dalam krisis Somalia dan bosnia pada awal

1990-an. MNCs umumnya telah dipandang lebih negative.

Mereka sering dianalisis dalam segi konflik mereka dengan actor lain dalam

masyarakat sipil, dan sebagai symbol kebutuhan akan pemerintah global yang

lebih baik untuk mengatur efek samping kapitalisme tak terkontrol yang sering

kali berbahaya (Sklair, 1995). Jadi MNCs telah berada dalam konflik dengan

serikat kerja perihal pengangguran yang timbul akibat perpindahan produksi ke

wilayah yang lebih murah dan buruhnya kurang bersatu.

Namun organisasi non pemerintah (NGO-)lah yang menjadi focus banyak

pembicaraan mengenai masyarakat sipil. Dalam segi angka belaka, NGO telah

tumbuh menjamur dewasa ini. pada tahun 1909, ada sekitar 109 NGOs yang

beroperasi di sedikitnya tiga Negara; pada 1993 jumlahnya menjadi 28.900.

contoh-contoh NGO meliputi kelompok lingkungan seperti, World wildlife fund

dan greenpeace, keloompok HAM seperti Amnesty dan human right watch, serta

organisasi-organisasi yang peduli dengan ketertinggalan dan kemiskinan, seperti

Christian Aid dan Oxfan. NGO cenderung non profit dan menjaga jarak dengan

Negara. Bahkan telah dikatakan bahwa aktifis NGO merupakan tantangan yang

paling serius terhadap ketentuan-ketentuan Negara dibidang integritas teritoral,

keamanan, otonomi, dan penghasilan.

NGO memiliki kekuasaan komunikatif yang besar, dan telah memainkan

peran penting dalam memunculkan kesadaran terhadap ketidakadilan global,

krisis lingkungan, dan pelanggaran HAM di seluruh dunia. NGO juga

memainkan peran penting ekonomi dalam politik global, dan menerima semakin

banyak persentase bantuan puublik, dan juga pendapatan yang besar dari

sumbangan pribadi.

Uang ini telah digunakan untuk meringankan penderitaan dalam jangka

pendek, dan dalam jangka panjang, NGO telah bvertindak sebagai sumber kredit

dan investasi dalam pembangunan pedesaan dan perkotaan. NGO sering kali

32

didirikan oleh seorang figur karismatik dan akibatnya gagal membangun struktur

demokratis yang semestinya ada dalam organisasi mereka tersebut. hal ini

menjadikan mereka sangat birokratis dan tak tersentuh. Masalah ini ada pada

NGO barat yang memainkan peran pembangunan didaerah miskin di dunia.

Kesan yang timbul adalah NGO telah menampilkan hubungan paternalistic

dengan penerima bantuannya, dan lebih giat memberikan pelayanan dari pada

membangun partisipasi.

Hulme dan Edwards berpendapat bahwa alasan mengapa Negara semakin

banyak memanfaatkan NGO sejak tahun 1980-an adalah terkait dengan dominasi

pendekatan neo-luberal terhadap pemerintahan. Yang memprioritaskan solusi

suka rela dan pasar terhadap kemiskinan disbanding intervensi Negara.

Akibatnya NGO menjadi subkontraktor Negara dan pelaksana keputusan pihak

donor. Hal ini memungkinkan Negara untuk melepaskan diri dari kewajibanya

terhadap komunitas global. Namun, persoalannya adalah bahwa aksi NGO yang

tak terkoordinasi dan Ad hoc bukanlah pengganti aksi kolektif pemerintah untuk

meringankan akar penyebab ketidakadilan global.

Sifat aktifis NGO yang tak terkoordinasi ditambah lagi oleh fakta

ketergantungan mereka terhadap donor mendorong mereka bersaing satu sama

lain demi bantuan dana. Hal ini menuntut mereka hadir secara fisik ditempat

kekacauan diseluruh dunia. Agar para pemberi bantuan dapat melihat bahwa

uang mereka digunakan segera untuk mengatasi kelaparan atau bencana

lingkungan. Namun karena kompleksitas bantak persoalan global, respon

tergesa-gesa oleh NGOmalah memperburuk keadaan, bukannya menyelesaikan

krisis. NGO malah bersaing untuk dapat diberitakan di media dunia, untuk

menentramkan para donor bahwa mereka telah berbuat sesuatu adalah jelas

bukan pendekatan yang produktif untuk diambil.

NGO juga turut andil dalam memperpanjang krisis yang hendak mereka

hilangkan, seperti dalam dalam kasus pengungsi Rwanda. Tak diragukan lagi

NGO telah memainkan peran penting dalam meningkatkan kesadaran atas

ancaman global. Namun mereka tidak dapat menjadi actor utama dalam

pemecahannya. Maksud baik mereka tanpa disadari bisa memperpanjang resiko

33

global dan memperlemah peluang untuk mangatasi akar penyebab masalahnya.

Organisasi internasional yang ada menderita karena deficit demokrasi dan

dijalankan oleh kepentingan elit-elit dari Negara-negara kuat, sedangkan actor

non-negara dalam masyarakat global tidak mempunyai koherensi dan legitimasi

untuk berhasil melaksanakan pemerintahan oleh diri mereka sendiri. Terlebih

lagi, dominasi neo-liberalisme terhadap ekonomi dunia telah meningkatkan

ketidakadilan global, yang menjadi akar dari banyak permasalahan dunia.

Ambruknya kekaisaran soviet dan Yugoslavia, bangkitnya islam fundamentalis

ditimur tengah dan ketegangan mengenai perbatasan Negara pasca-kolonial di

afrika, semuannya telah ikut andil menjadikan perebutan penguasaan wiilayah

dan kebutuhan akan kenegaraan sebagai cirri pokok dunia kontemporer.

Hungtington menyatakan bahwa, bukannya menciptakan kepentingan

bersama dan manjadi basis pemerintahan global, globalisasi malah mempertegas

perbedaan kultural yang telah lama mapan, seperti antara Kristen dan islam.

Teori demokrasi cosmopolitan yang diusulkan oleh para penulis seperti Held dan

Linklater, ada lagi usaha yang paling penting untuk membangun sebuah teori

pemerintahan global. Teori ini sangat penting bagi sosiologi politik kontemporer

karena ia kembali menyoroti kontradiksi hubungan masyrakat sipil-negara, dan

berusaha mengeksplorasi bagaimana perubahan sosial kontemporer bisa

menciptakan peluang untuk mengatasinya.

Oleh karenanya pembahasan tentang demokrasi cosmopolitan akan

mengembalikan kita kepada akar pokok bagi para pemikirnya yang paling

penting. Bagaimana pembahasan demokrasi cosmopolitan dapat meningkatkan

pemahaman kita tentang relasi problematic dan pasar. Relasi antara Negara dan

masyarakat sipil adalah inti dari persoalan pemerintahan global.

Pertama, tujuan demokrasi cosmopolitan adalah membangun organisasi

internasional dan masyarakat sipil global, dan menemukan cara untuk merajut

unsur-unsur ini bersama-sama dalam sebuah sistem pemerintahan global yang

koheren. Berlawanan dengan Huntington, kuncinya adalah melihat perbedaan

budaya sebagai hal yang saling mengisi dan bukan saling bersaing. Dan mencari

34

cara agar pemerintah global oni bisa dijadikan inklusif melalui proses

demokratisasi.

Kedua, demokrasi cosmopolitan adalah sebuah teori pasca liberal. Ia

berusaha menggunakan konsep-konsep liberal seperti kewarganegaraan

demokratis dan mewujudkannya untuk semua orang, tanpa memandang

keanggotaan mereka pada Negara tertentu. Oleh karenanya disini diituntut agar

konsep tersebut tidak dilepaskan dari Negara yang telah menciptakan

identitasnya melalui praktik eksklusi dan meluas ke tingkat global. Hukum

cosmopolitan yang pada pokoknya mencakup hak-hak demokratis dan

kewarganegaraan harus berlaku untuk masyarakat universal. Hal ini telah

menyingkap kemunafikan Negara liberal yang telah menggembor-gemborkan

hak-hak didalam negeri, namun juga mempertahannkan pengguna kekuatan

diluar negeri. Ia juga menyoroti sifat relasional dari konsep kewarganegaraan

dan demokrasi, terkecuali hak yang terkait dengan gagasan ini diperluas secara

global, mereka selalu bersifat parsial dan oleh karenanya rentan.

Akhirnya demokrasi cosmopolitan menentang logika dualistic liberalism yang

menekankan bahwa politik hendak dibatasi pada Negara. Dan bahwa masyarakat

sipil harus didominasi oleh pasar harus mengalahkan kehendak demokratis.

Pengakuan fakta ini bukan berarti bahwa kita harus meninggalkan pasar secara

keseluruhan. Melainkan mengakui jika pasar adalah hamba yang baik namun

tuan yang jahat. Jika suattu pemerintahan global yang sejati hendak dibangun

berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, sistem pasar harus direkatkan pada

gugusan hak dan kewajiban hukum demokratis.

35

BAB III

KESIMPULAN

Pada bagian I, kebanyakan sosiologi politik pada periode pasca-perang di

dominasi oleh perspektif yang mengabaikan atau menyangkal negara, atau

memperlakukan negara sebagai suatu yang tanpa masalah atau kurang signifikan

dibanding institusi lainnya. Bagi penganut behavioralisme, negara adalah entitas

yang terlalu rumit dan abstrak untuk didefinisikan. Oleh karena itu, negara tidak

berguna untuk menjelaskan distribusi kekuasaan. Dalam teori elit, negara tidak

terlalu signifikan, hanya mempresentasikan satu institusi diantara banyak lainnya,

dimana para elit bisa menguasai massa. Menurut marxisme klasik, negara hanya

memiliki arti sekunder

Namun, pada tahun 1970an, negara menjadi pusat perhatian dalam sosiologi

politik. Hal ini terutama sekali karena fakta bahwa di dunia nyata, negara lebih

kuat dibandingkan sebelumnya. Yang sangat penting, para penulis seperti Giddens

(1985) dan Mann (1986:1993) mengingatkan kita perihal pentingnya definisi Max

Weber tentang negara, yang menekankan signifikansi dominan negara atas

kekuasaan koersif. Namun, dalam bagian I telah diperjelas bahwa negara harus

dipahami dalam relasinya dengan asosiasi-asosiasi masyarakat sipil dan dalam

konteks proses perubahan sosial yang terjadi di dalam dan di luar batas-batasnya.

Terlebih lagi, tidaklah cukup untuk sekedar mengakui kekuasaan negara. Yang

penting pula adalah menantang kekuasaan negara. Oleh karena itu, keinginan

Marx untuk melihat ke luar negara tetap relevan saat ini.

Negara liberal, untuk pertama kalinya dalam sejarah, mengklaim telah

melindungi ‘hak-hak universal’ warganya. Jadi, di dalam logikanya sendiri

tertebar benih kejatuhnya. Hal ini karena dalam realitas, ketidaksetaraan

masyarakat sipil (yang telah saya sebut sebagai struktur kekuasaan) memastikan

bahwa hak-hak liberal berupa hak hidup, kebebasan, dan hak milik hanyalah

dinikmati oleh suatu minoritas yang diistemawakan. Oleh karena itu, legitimasi

36

negara liberal niscaya ditentang oleh kelompok-kelompok yang tidak mampu

menentukan hak-hak yang dijanjikan oleh liberalisme. Dengan dibangun di atas

kritik Marx, saya telah menyatakan bahwa hubungan negara-masyarakat sipil

tidak dapat secara efektif memecahkan persoalan inheren manusia berupa

pemerintahan, yang saya definisikan sebagai manajemen persoalan abadi

mengenai tertib sosial dan distribusi sumber daya.

Sejak tahun 1980-an, bagi sejumlah pakar perubahan sosial yang sangat cepat

telah menggerogoti negara, sampai taraf bahwa sistem alternatif pemerintahan

yang lain saat ini akan lebih tepat. Teori-teori ekstrem tentang globalisasi telah

berlebihan dalam menilai perkembangan ekonomi dan budaya global sejati yang

tidak berakar serta tidak dibatasi oleh negara. Dalam realitas, globalisasi budaya

menegaskan perbedaaan antara masyarakat dan pada saat yang sama melampaui

perbedaan ini, sedangkan globalisasi ekonomi adalah hasil interaksi antara negara

dan asosiasi-asosiasi ekonomi masyarakat sipil. Inti utamanya, bahwa jika ada

kemauan politik negara dapat mengatur ekonomi dunia lebih efektif lagi. Yang

benar adalah, peraturan semacam itu sekarang ini tidak disukai oleh banyak

negara kuat.

Neoliberalisme telah menjadi sangat berpengaruh dalam membangun ekonomi

dunia, karena ia telah menekankan kebutuhan untuk memulangkan kembali

negara dan sebaliknya membiarkan hukum permintaan dan penawaran yang

menciptakan tertib sosial serta distribusi sumber daya.

Berbagai gerakan tersebut telah menjadi sangat penting dalam meningkatkan

partisipasi politik diantara unsur-unsur masyarakat yang kecewa dengan asumsi

statis partai politik dan kelompok penekan konvensional. Namun terlalu banyak

pendukungna, seperti tourine dan melucci, yang telah mendesak NSMs untuk

mengambil jarak dari negara. Bahwa sifat budaya poltik, kewarganegaraan, dan

partisipasi politik sedang ditransformasi oleh perubahan sosial dengan cara yang

mengisyaratkan perlunya evaluasi ulang sistem pemerintahan kita. Konsep ini

menengarai adanya perkembangan kesadaran yang lebih global, penduduk yang

krtis dan beraneka ragam, khususnya dalam demokerasi liberal.

37

Globalisasi mengandung manfaat, ini dibuktikan dalam konteks politik. Yakni,

globalisasi menunjuk pada semakin menyatunya persoalan global. Persoalan

keamanan baru ini membutuhkan solusi di tingkat global. Demokratisasi

pemerintahan bisa menjadi kunci untuk mencapai tertib sosial dan distribusi

sumber daya secara adil, karena demokrasi menandakan persetujuan, keadilan,

serta keunggulan politik diatas keuntungan ekonomi.

Meski demikian, demokratisasi hubungan negara masyarakat sipil dan

perluasan secara bertahap prinsip-prinsip demokrasi ditingkat global, merupakan

peluang terbaik yang dimiliki umat manusia untuk mengatur diri nya sendiri dan

bumi ini secara efektif. Buku ini telah membuktikan bahwa negara tetap memiliki

kekuasaan yang besar, yang mendapat menghalangi juga mendorong

perkembangan pemerintahan di masa depan. Menghadapi kemungkinan

pemusnahan massal satu sama lain, adalah tanggung jawab penganut demokerasi

dimana saja untuk membantu negara menuju kepentingan yang sejati. Seperti

dikatakan oleh Hoffman (1995:192), secara paradoks ini berarti bahwa negara

harus ‘bersedia bekerjasama mengatasi diri mereka sendiri’.

38

DAFTAR PUSTAKA

Faulks, Keith. 2012. Sosiologi Politik; Pengantar Kritis. Bandung: Nusa Media.

iii