Materi Perselisihan Hubungan Industrial

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    1/34

    PELAKSANAAN PUTUSAN (EKSEKUSI) PERKARA PERSELISIHAN

    HUBUNGAN INDUSTRIAL DALAM PERSPEKTIF PEKERJA/

    BURUH (Studi Kasus Di Pengadilan Perselisihan

    Hubungan Industrial Palangkaraya)

    Yessiarie Silvanny Sibot1, A. Rachmad Budiono2, Rachmad Safaat3

    Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya,

    Malang

    Abstract

    Labor lawreformis characterized by significant changes in thesettlement of labor disputes. Beforethedisputesettlement through stateadministrativeagency switched to a special court in thegeneral courts, inaddition to settlement through mediation, conciliation and arbitration (out of court settlement). Asignificant changeis to givefreedomto theworkers and employers to choosetheir own way of resolvingthedisputebetween them, whether out of court or through Industiral Relations Court (IRC). Advances intechnology industry, has influenced a completely discord in the relationship between workers andemployers. Even therelationship between worker. Theissueis howthedisputewas resolved so as toprovidea just legal certainty for workers and employers. Especially if theproposition settlement throughlitigation and makedecisions that must to bein theexecution. Lookingat theactual implementation inthefield of lawrelatingto theenforcement (execution) cases of industrial disputes is very difficult to do,especially thoserelated to theexecution of theworker/ laborer. If thewinningsideis theworker/ laborer(who defeated Entrepreneurs), thedefeated party is not willingtocomply voluntarily content/ verdict.

    Keywords: Execution, Industrial Disputes, Workers Perspective/ labor

    Abstrak

    Reformasi di bidang hukum ketenagakerjaan ditandai dengan perubahan yang sangatsignifikan dalam penyelesaian perselisihan perburuhan. Penyelesaian perselisihan yangsebelumnya melalui badan administrasi negara beralih ke peradilan khusus dalamlingkungan peradilan umum, disamping penyelesaian melalui mediasi, konsiliasi, danarbitrase (penyelesaian di luar pengadilan). Perubahan yang signifikan tersebutmemberikan kebebasan kepada pekerja dan pengusaha untuk memilih sendiri carapenyelesaian perselisihan diantara mereka, apakah diluar pengadilan atau melaluiPengadilan Hubungan Industiral (PHI). Kemajuan teknologi industri, telahmempengaruhi kompleknya perselisihan dalam hubungan antara pekerja denganpengusaha. Bahkan dalam hubungan antar serikat pekerja. Persoalannya adalah

    1Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Angkatan 2011.2Pembimbing Utama dalam Penulisan Jurnal dan Penelitian Tesis.3Pembimbing Kedua dalam Penulisan Jurnal dan Penelitian Tesis

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    2/34

    bagaimana perselisihan itu diselesaikan sehingga dapat memberikan kepastian hukumyang berkeadilan bagi pekerja dan pengusaha. Terlebih jika penyelesaiannya dilakukanmelalui saranan litigasi dan menghasilkan putusan yang wajib untuk di eksekusi. Melihatpada penerapan hukum yang sebenarnya di lapangan terkait dengan pelaksanaan putusan(eksekusi) perkara perselisihan hubungan industrial sangat sulit dilakukan, terlebiheksekusi tersebut menyangkut kepentingan pekerja/ buruh. Jika pihak yang menangtersebut adalah pekerja/ buruh (yang dikalahkan Pengusaha), maka pihak yang dikalahkantidak bersedia secara sukarela memenuhi isi/ amar putusan.Kata Kunci: Eksekusi, Perselisihan Hubungan Industrial, Perspektif Pekerja/

    Buruh

    Latar Belakang

    Perselisihan atau perkara4 dimungkinkan terjadi dalam setiap hubungan antar

    manusia, bahkan mengingat subjek hukum-pun telah lama mengenal badanhukum,

    maka para pihak yang terlibat di dalamnya pun (perselisihan/perkara) semakin banyak.Dengan semakin kompleksnya corak kehidupan masyarakat, maka ruang lingkup

    kejadian atau peristiwa perselisihanpun meliputi ruang lingkup semakin luas,diantaranya

    yang sering mendapat sorotan adalah Perselisihan Hubungan Industrial(PHI). PHI

    biasanya terjadi antara pekerja/ buruh dan perusahaan atau antara organisasi buruh

    dengan organisasi perusahaan.

    Sebelum tahun 19515, perselisihan hubungan industrial yang terjadi diselesaikan

    oleh para pihak yang berselisih sendiri yaitu pekerja/ buruh dan pengusaha, campur

    4Perselisihan ataupun perkara disebut juga dengan istilah lain yaitu konflik atausengketa yang merupakan suatu situasi (keadaan) dimana terdapat dua pihak atau lebihyang melakukan hubungan hukum, dan pada kondisi tertentu pihak-pihak tersebutmemperjuangkan tujuan mereka sendiri-sendiri, yang tidak dapat dipersatukan dandimana salah satu pihak mencoba meyakinkan pihak lain mengenai kebenaran tujuannyasendiri yang berlawanan dengan tujuan pihak lainnya. Lihat Ronny Hanijito Soemitro,Masalah-Masalah Sosial Hukum, Penerbit Sinar Baru, Bandung, 1994, hlm. 181.

    5Setelah adanya pengakuan kedaulatan oleh pemerintah Belanda lewat KonferensiMeja Bundar, perhatian rakyat terutama pekerja/ buruh mulai beralih ke masalah sosial

    ekonomi. Hingga tahun 1951, dalam bidang ketenagakerjaan baru diundangkan satuundang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 yang bertitel Undang-Undang Kerja. Mengingat saat itu negara Republik Indonesia yang sekarang masihberbentuk negara serikat, maka undang-undang tersebut hanya berlaku untuk negaraRepublik Indonesia. Baru pada tahun 1951 dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun1951, Undang-Undang Kerja Tahun 1948 tersebut dinyatakan berlaku untuk seluruhIndonesia. Lihat Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Penerbit PradnyaParamita, Jakarta, 2007, hlm. 4.

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    3/34

    tangan dari pegawai Kementerian Perburuhan akan dilakukan bila dianggap perlu

    berdasarkan keputusan Menteri Tenaga Kerja (Menteri Perburuhan saat itu). Hal ini

    mengakibatkan banyak keresahan di kalangan pekerja/buruh karena pengusaha dengan

    kedudukan sosial ekonomi yang lebih tinggi selalu dapat memaksakan kehendaknyakepada pekerja/ buruh. Akibatnya pada akhir tahun 1950 banyak terjadi pemogokan

    pekerja/ buruh yang mengakibatkan terganggunya perekonomian dan keamanan nasional.

    Guna mengatasi keadaan ketenagakerjaan yang tidak kondusif tersebut, pemerintah

    pada tanggal 13 Februari 1951 mengeluarkan Peraturan Kekuasaan Militer Nomor 1

    Tahun 1951 yang membentuk Panitia Penyelesaian Pertikaian Perburuhan di Tingkat

    Pusat dan Daerah, walaupun keadaannya menjadi sedikit lebih baik ternyata peraturan

    kekuasaan militer tersebut belum begitu mampu mengatasi kesulitan-kesulitan yang

    timbul di bidang ketenagakerjaan. Oleh karena itu pada bulan September 1951

    pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 guna

    mengganti Peraturan Kekuasaan Militer Nomor 1 Tahun 1951. Undang-Undang Darurat

    tersebut memberikan aturan-aturan baru tentang penyelesaian perselisihan perburuhan

    dan memberikan tugas kepada pemerintah untuk membentuk Panitia Penyelesaian

    Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan

    Daerah (P4D).6

    Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tidak bersifat definitif melainkanhanya bersifat peralihan belaka guna mengatasi keadaan ketenagakerjaan saat itu. Dalam

    perjalanannya pun banyak keberatan yang dilakukan baik oleh pengusaha maupun

    pekerja/ buruh. Berdasarkan hal tersebut pemerintah pada tanggal 8 April 1957,

    mengesahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian

    Perselisihan Perburuhan yang menetapkan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan

    Pusat (P4P) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) tersebut

    sebagai organ yang berwenang menyelesaikan perselisihan perburuhan.

    Kondisi ketenagakerjaan saat itu yang mendasari terbentuknya P4P dan P4D

    banyak diwarnai perselisihan-perselisihan antara pengusaha dan pekerja/buruh. Apalagi

    pada saat tersebut banyak partai politik yang menggunakan isu-isu perburuhan untuk

    6Ibid, hlm. 5-6.

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    4/34

    mencapai tujuan politiknya. Mengingat asas yang dianut saat itu adalah demokrasi liberal

    maka para pihak yang berseteru saling memaksakan kehendaknya masing-masing lewat

    kekuatan yang dimiliki. Pekerja/buruh selalu menggunakan kekuatan mogok kerja untuk

    memaksakan kehendaknya sementara pengusaha selalu menggunakan keunggulan sosialekonomi dalam menekankan pekerja/buruh.7

    Guna mengatasi kondisi demikian, saat itu pemerintah mengambil langkah berupa

    kebijakan dengan mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan, diantaranya

    adalah:

    Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Perjanjian Perburuhan antaraSerikat Buruh dan Majikan (sekarang disebut Perjanjian Kerja Bersama) yangmemberikan kedudukan yang seimbang antara pekerja/buruh dengan pengusahadalam menyusun syarat-syarat kerja di perusahaan. Selain itu juga diundangkan

    Undang-Undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 Tentang Pencegahan Pemogokandan Penutupan (Lock-Out) di Perusahaan, Jawatan dan Badan yang vital, sertaUndang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja diPerusahaan Swasta yang melarang pengusaha memutuskan hubungan kerja denganpekerja/buruh tanpa izin dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah(P4D) atau Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P).8

    Seiring dengan berjalannya waktu dan bertepatan pada momentum reformasi di

    Indonesia, maka dibidang ketenagakerjaan-pun dilakukan reformasi yang mana

    pemerintah bersama DPR telah mengundangkan beberapa undang-undang yang

    berkaitan dengan ketenagakerjaan, Undang-Undang tersebut adalah:

    1.

    Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh;

    2.

    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan; dan

    3.

    Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan

    Industrial (UU PPHI).

    Berkaitan dengan diudangkannya UU PPHI memberikan mekanisme baru dalam

    penyelesaian hubungan industrial dengan mencabut dan mengganti mekanisme

    penyelesaian lewat P4D dan P4P yang dianggap sudah tidak efektif lagi. Undang-undang

    tersebut memberikan kebebasan kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan

    perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Penyelesaian

    7Ibid, hlm. 6.8Ibid, hlm. 7.

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    5/34

    lewat pengadilan dilakukan melalui Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial

    (selanjutnya disebut PPHI) pada Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung, sedangkan

    penyelesaian di luar pengadilan9dapat dilakukan melalui mediasi, konsiliasi dan arbitrase.

    Diundangkannya UU PPHI tersebut, sejalan dengan kebutuhan masyarakatIndonesia (pekerja/buruh-pengusaha) pada saat ini, baik di pusat maupun di daerah akan

    keberadaan sarana untuk menyelesaikan perselisihan di bidang ketenagakerjaan. Salah

    satu sasaran pokok yang akan dicapai dalam UU PPHI adalah sebagaimana yang terdapat

    dalam penjelasan UU tersebut, yaitu: Untuk menciptakan hubungan industrial yang

    harmonis antara pekerja dan pemberi kerja dalam memperjuangkan hak-haknya serta

    untuk mewujudkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara cepat, tepat, adil

    dan murah.

    Untuk mewujudkan sasaran tersebut, dibutuhkan sarana dan prasarana

    sebagaimana diamanatkan UU PPHI khususnya di Pasal 59 ayat (1) ........dibentuk PPHI

    pada setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota yang berada di setiap Ibukota Provinsi

    yang daerah hukumnya meliputi provinsi yang bersangkutan dan (2) ....terutama yang

    padat industri, dengan Keputusan Presiden harus segera dibentuk PPHI pada Pengadilan

    Negeri setempat, sehingga para pihak yang berperkara tidak terlalu jauh untuk

    menghadiri sidang-sidang yang diadakan oleh Hakim. Untuk menyediakan tempat ini

    tentunya memerlukan biaya ekstra yang harus disediakan oleh Pemerintah untukmenyewa tempat tersebut atau dipinjamkan dari Pemerintah Daerah. Dan biasanya akan

    menjadi persoalan ketika pergantian kepala pemerintahan yaitu izinnya dicabut atau

    dialih-fungsikan untuk tempat kegiatan yang lain.

    9Jalur non litigasi atau yang lebih dikenal dengan penyelesaian sengketa di luarpengadilan atau alternative penyelesaian sengketa (AlternativeDisputeResulotion). Pilihan

    penggunaan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan oleh para pihak yangbersengketa tentu didasari beberapa pertimbangan. Penyelesaian sengketa alternatif(Alternative Dispute Resolution) sebagai salah satu sistem penyelesaian sengketa, dimanaterdapat beberapa model alternatif penyelesaian sengketa seperti, negosiasi, mediasi,konsiliasi dan arbitrase.Alternative Dispute Resolution atau disingkat ADR merupakanmekanisme penyelesaian di luar pengadilan yang dianggap lebih efektif, efisien, cepat danbiaya murah serta menguntungkan kedua belah pihak (win-win solution) yang bersengketa.

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    6/34

    Oleh karena itu, sejak diberlakukannya UU PPHI ini, salah satu yang pertama kali

    dibuat oleh Pemerintah di pusat dan di daerah adalah membentuk PPHI. Tidak

    terkecuali Propinsi Kalimantan Tengah, juga dilakukan kegiatan yang sama yakni

    membentuk PPHI pada Pengadilan Negeri Palangkaraya. Atas dasar tersebut, maka diPengadilan Negeri Palangkaraya telah dibentuk PPHI pada bulan Januari 2006 dan mulai

    beroperasional pada 27 Maret 2006, bersamaan dengan dilantiknya para hakimAd Hoc.

    Pembentukan PPHI seharusnya dilakukan pada awal tahun 2005, akan tetapi ditunda

    berdasarkan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 2005 Tentang Penangguhan Mulai

    Berlakunya UU PPHI, untuk menambah waktu semua persiapan yang dibutuhkan oleh

    pemerintah dan institusi lain yang terkait.

    Sejak berdiri pada tahun 2006 hingga pada tahun 2010, PPHI pada Pengadilan

    Negeri Palangkaraya hanya menangani dua puluh empat perkara yang masuk dan telah

    diputus. Dari dua puluh empat perkara yang masuk tersebut terdapat empat perkara yang

    mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.10Demikian juga dalam pelaksanaannya, sejak

    diberlakukannya UU PPHI ini timbul permasalahan hukum yang mengakibatkan proses

    penyelesaian perselisihan industrial yang berlangsung lama dan ini berarti mahal.

    Permasalahan hukum ini salah satunya berkaitan dengan pelaksanaan eksekusi putusan

    perkara PHI khususnya dalam perspektif kepentingan pekerja/buruh terhadap hasil

    putusan PPHI.Bertitik tolak dari ketentuan Bab Kesepuluh Bagian Kelima HIR atau titel

    Keempat Rbg, pengertian eksekusi sama dengan tindakan menjalankan putusan (ten

    uitvoer legging van vonnissen). Menjalankan putusan pengadilan, tiada lain daripada

    melaksanakan isi putusan pengadilan, yakni melaksanakan secara paksa putusan

    pengadilan dengan bantuan kekuatan hukum apabila pihak yang kalah (tereksekusi atau

    pihak tergugat) tidak mau menjalankannya secara sukarela (vrijwilligvoluntary).

    Untuk melaksanakan putusan PPHI diperlukan biaya terutama dalam hal eksekusi

    pembayaran sejumlah uang diperlukan biaya panggilan, pemberitahuan putusan,

    pengumuman, teguran, sita eksekusi dan pelelangan. Dalam perkara nilai gugatannya

    dibawah Rp. 150 juta yang tidak dikenakan biaya pada hal biaya yang tersedia di

    10Data Jumlah Perkara yang Masuk ke PHI pada PN Palangkaraya Tahun 2006-2010, Sumber Bagian Register Perkara Pada Pengadilan Negeri Palangka Raya.

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    7/34

    Pengadilan Negeri tidak mencukupi. Untuk mengatasi kekurangan biaya tersebut harus

    ada jalan keluarnya agar pelaksanaan putusan (eksekusi) dapat direalisasikan.

    Berdasarkan uraian penjelasan di atas, merupakan ide dasar dilakukannya penelitian

    ini yakni menganalisis eksekusi putusan PPHI pada Pengadilan Negeri Palangka Raya.Analisis eksekusi putusan dimaksud berkaitan dengan keberadaan pekerja/ buruh yang

    mempunyai kepentingan terhadap putusan tesebut. Dengan kata lain, penulisan tesis ini

    mengkaji implementasi pelaksanaan putusan (eksekusi) pada PPHI baik itu menyangkut

    prosedur/ tahapan/ mekanismenya, kendala/ hambatan, siapa yang dirugikan, dan faktor

    mengapa pekerja/ buruh dirugikan. Selain itu, yang perlu dikaji berkaitan dengan

    pelaksanaan putusan (eksekusi) dimaksud ialah model eksekusi seperti apa yang tidak

    merugikan kepentingan para pihak, khususnya bagi pekerja/ buruh.

    Pembahasan

    1.

    Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI)

    Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang

    mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan

    pekerja/ buruh atau serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak,

    perselisihan kepentingan, perselisihan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat

    pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan. (Pasal 1 UU PPHI).

    Dengan demikian UU PPHI mengenal 4 jenis perselisihan yaitu;a.

    Perselisihan hak;

    Perselisihan hak timbul karena tidak dipenuhinya hak; di mana hal ini timbul

    karena perbedaan pelaksanaan atau perbedaan penafsiran terhadap ketentuan UU,

    PK, PP atau PKB.

    b.

    Perselisihan kepentingan;

    Perselisihan kepentingan timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat

    mengenai pembuatan dan atau perubahan syarat-syarat kerja dalam PK, PP atau

    PKB.

    c.

    Perselisihan PHK;

    Perselisihan PHK timbul apabila tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai

    pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak; dan

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    8/34

    d.

    Perselisihan antara Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam satu perusahaan.

    Perselisihan antara SP/ SB dalam satu perusahaan karena tidak adanya kesesuaian

    paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatan.

    Mekanisme yang harus ditempuh dalam setiap perselisihan adalah sebagaiberikut:

    a.

    Bipartit;

    b.

    Mediasi atau Konsiliasi dan atau Arbitrase;

    c.

    Pengadilan Hubungan Industrial.

    Semua jenis perselisihan ini harus diselesaikan terlebih dahulu melalui

    musyawarah secara Bipartit, apabila perundingan mencapai persetujuan atau

    kesepakatan, maka persetujuan bersama (PB) tersebut dicatatkan di Pengadilan

    Hubungan Industrial (PHI), namun apabila perundingan tidak mencapai kata sepakat,

    maka salah satu pihak mencatatkan perselisihannya ke instansi yang bertanggung

    jawab dibidang ketenagakerjaan pada Kabupaten/ Kota.

    Salah satu persyaratan yang mutlak dalam pencatatan tersebut adalah bukti atau

    risalah perundingan Bipartit (Pasal 3), apabila bukti perundingan tidak ada, maka

    pencatatannya ditolak selanjutnya diberi waktu 30 hari untuk melakukan perundingan

    Bipartit, jika perundingan menghasilkan kesepakatan (damai) maka akan dibuat

    Perjanjian Bersama (PB) yang akan dicatatkan ke PHI, jika tidak menemuikesepakatan dengan bukti/ risalah perundingan yang lengkap, maka kepada para pihak

    ditawarkan tenaga penyelesaian perselisihan apakah melalui Konsiliator atau Arbitrase,

    jika para pihak tidak memilih atau justru memilih mediasi maka perselisihan tersebut

    akan diselesaikan dalam forum mediasi.

    Mediator adalah PNS yang diangkat oleh Menteri untuk menangani dan

    menyelesaikan ke 4 jenis perselisihan dengan wilayah kewenangan pada

    Kabupaten/ Kota. Mediator dalam menjalankan tugasnya; selalu menggunakan

    penyelesaian perselisihan secara musyawarah, dan apabila Mediator tidak berhasil

    menyelesaikan perselisihan tersebut, maka Mediator wajib mengeluarkan Anjuran

    tertulis, dan apabila Anjuran Mediator diterima oleh para pihak maka dibuat

    Persetujuan Bersama (PB) yang selanjutnya dicatatkan di Pengadilan Hubungan

    Industrial, namun apabila Anjuran tersebut ditolak oleh salah satu pihak, maka pihak

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    9/34

    yang keberatanlah yang mencatatkan perselisihannya ke Pengadilan Hubungan

    Industrial.

    Dalam UU No. 22 tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan,

    dikenal adanya Pegawai Perantara yang diangkat oleh Menteri untuk menanganipenyelesaian perselisihan hubungan industrial. Mekanisme penyelesaian yang harus

    ditempuh dalam penyelesaian perselisihan ini adalah melalui Pegawai Perantara baik

    P4D untuk tingkat Daerah, dan P4P untuk tingkat Pusat dengan keputusan yang

    sifatnya final. Akan tetapi dengan lahirnya UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan

    Administrasi Negara, maka putusan P4P tersebut menjadi tidak final karena putusan

    P4P dianggap bukan putusan pengadilan melainkan putusan pejabat administrasi

    negara sehingga putusan P4P dapat dijadikan gugatan ke PTUN. Dengan lahirnya UU

    PPHI maka Pegawai Perantara, P4D, P4P dan PTUN tidak dikenal lagi untuk

    perselisihan perburuhan/ ketenagakerjaan.

    Konsiliator bukan PNS, tapi masyarakat yang telah mendapat legitimasi dan

    diangkat oleh Menteri, dan mempunyai kewenangan yang sama dengan Mediator,

    akan tetapi jenis perselisihan yang dapat ditanganinya hanya perselisihan Kepentingan,

    Perselisihan PHK, dan perselisihan antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam satu

    perusahaan, khusus perselisihan hak hanya boleh ditangani oleh Mediator. Dalam UU

    No. 22 tahun 1957, Konsiliator tidak dikenal Arbiter bukan PNS tetapi masyarakatyang telah mendapat legitimasi dan diangkat oleh Menteri, yang mempunyai wilayah

    kewenangan secara nasional, namun Arbiter tidak berhak menangani perselisihan Hak

    dan perselisihan PHK, tetapi berhak menangani perselisihan Kepentingan dan

    perselisihan antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

    Arbiter mengedepankan penyelesaian secara musyawarah, dan apabila dapat

    diselesaikan secara musyawarah maka dibuat Persetujuan Bersama (PB) dan

    selanjutnya PB tersebut didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial setempat,

    namun apabila tidak tercapai kesepakatan, maka Arbiter mengeluarkan putusan yang

    bersifat final, dan apabila putusan Arbiter tersebut ternyata melampaui

    kewenangannya, atau ada bukti-bukti baru, atau pemalsuan data, maka pihak yang

    dirugikan atau yang dikalahkan dapat mengajukan pemeriksaan kembali ke Mahkamah

    Agung. Arbiter dalam UU No. 22 Tahun 1957 ada dicantumkan, akan tetapi selama

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    10/34

    ini Arbiter tersebut belum diberdayakan, sehingga kurang dikenal dalam penyelesaian

    perselisihan.

    Pengadilan Hubungan Industrial, dibentuk berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004,

    dan berada pada setiap Kabupaten Kota (Pengadilan Negeri), sampai dengan tahun2008, Pengadilan Hubungan Industrial baru terbentuk di 33 ibu kota Provinsi. Ketua

    Pengadilan Hubungan Industrial adalah Ketua Pengadilan Negeri setempat, dengan

    Majelis Hakim terdiri dari: satu Ketua Majelis dari Hakim karier, dua anggota Hakim

    Ad-Hoc masing-masing dari unsur pengusaha dan unsur pekerja yang di angkat oleh

    Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.

    Pengadilan Hubungan Industrial berwenang menangani ke 4 jenis perselisihan,

    dengan ketentuan bahwa pada tingkat pertama dan terakhir untuk perselisihan

    kepentingan dan perselisihan antar Serikat Pekerja/ Serikat Buruh dalam satu

    perusahaan.

    Sedangkan tingkat pertama untuk jenis perselisihan hak, dan perselisihan PHK.

    Pada Mahkamah Agung telah diangkat Majelis Hakim Hubungan Industrial, yang

    diangkat oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. Ketua Majelis adalah

    Hakim Agung dan dua anggota Majelis terdiri dari Hakim Ad-Hoc masing-masing

    dari unsur pengusaha dan unsur pekerja, yang berwenang menangani perselisihan hak

    dan perselisihan pemutusan hubungan kerja.2.

    Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri

    Palangka Raya

    Pengadilan Negeri Palangkaraya merupakan salah satu pelaksana kekuasaan

    kehakiman di lingkungan peradilan umum yang berdasarkan UU Nomor 8 Tahun

    2004 berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota, dan daerah hukumnya meliputi

    wilayah Kabupaten/ Kota. Pengadilan Negeri Palangkaraya masuk dalam wilayah

    Pengadilan Tinggi Kalimantan Tengah dengan luas wilayah kurang lebih 2.678,51 km2

    yang terdiri dari empat belas wilayah yaitu:11

    a.

    Kabupaten Barito Selatan;

    b.

    Kabupaten Barito Timur;

    11 Wikipedia, Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Palangkaraya, diakses melaluiwww.wikipedia.org pada tanggal 3 Maret 2013 Pukul 12.00 WIB.

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    11/34

    c.

    Kabupaten Barito Utara;

    d.

    Kabupaten Gunung Mas;

    e.

    Kabupaten Kapuas;

    f.

    Kabupaten Katingan;g.

    Kabupaten Kotawaringin Barat;

    h.

    Kabupaten Kotawaringin Timur;

    i.

    Kabupaten Lamandau;

    j.

    Kabupaten Murung Raya;

    k.

    Kabupaten Pulang Pisau;

    l. Kabupaten Sukamara;

    m.

    Kabupaten Seruyan;

    n.Kota Palangkaraya.

    Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Palangkaraya dibentuk

    pada bulan Januari 2006 dan mulai ber operasional pada 27 Maret 2006, bersamaan

    dengan dilantiknya para hakim Ad Hoc. Pembentukan Pengadilan Hubungan

    Industrial seharusnya dilakukan pada awal tahun 2005, akan tetapi ditunda

    berdasarkan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 2005 tentang Penangguhan Mulai

    Berlakunya Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, untuk menambah waktu semua

    persiapan yang dibutuhkan oleh pemerintah dan institusi lain yang terkait. Untukwilayah Kalimantan Tengah sendiri, pada Januari 2006 berada satu wilayah kerja yang

    berdekatan dengan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi yaitu di Jalan Yos Sudarso,

    kemudian dikarenakan kantor tersebut tidak efektif maka pada Maret 2006 bergabung

    dengan Pengadilan Negeri Palangkaraya.12

    Sejak berdiri pada tahun 2006 hingga pada tahun 2010, Pengadilan Hubungan

    Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri Palangkaraya hanya menangani dua puluh

    empat perkara yang masuk dan telah diputus. Dari dua puluh empat perkara yang

    masuk tersebut terdapat empat perkara yang mengajukan kasasi ke Mahkamah

    Agung.13Dengan jumlah hakim yang berjumlah empat orang dan jumlah perkara yang

    12Ibid.13Data Jumlah Perkara yang Masuk ke PHI pada PN Palangkaraya Tahun 2006-

    2010 (Sumber Bagian Register Perkara Pada Pengadilan Negeri Palangka Raya).

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    12/34

    tidak begitu banyak, maka terdapat kesesuaian antara jumlah hakim yang ada dengan

    perkara yang ditangani, sehingga tidak terjadi penumpukan perkara. Di PHI pada

    Pengadilan Negeri Palangkaraya tersebut penyelesaian perkara tidak terlalu tergesa-

    gesa serta dapat terselesaikan dengan baik, terbukti dengan jangka waktu penyelesaianyang rata-rata kurang dari lima puluh hari.14

    Karakteristik dari PHI adalah pengadilan khusus dalam lingkup peradilan umum

    (Pengadilan Negeri), dimana objeknya adalah soal perselisihan hubungan industrial.

    Hakim yang terdiri dari Hakim Karir dan HakimAd Hoc(Hakim ahli) yang diusulkan

    oleh serikat buruh dan organisasi Pengusaha.

    Prosedur khususnya adalah:15

    a.

    Tidak adanya biaya perkara, untuk yang obyek sengketa nya di bawah Rp.

    150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

    b.

    Tidak ada banding untuk kasus tertentu yaitu untuk perselisihan

    kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh.

    c.

    Jadwal pemeriksaan kasus yang terbatas.

    Jabatan Struktural PHI pada Pengadilan Negeri terdiri atas:16

    a.

    Hakim;

    b.

    HakimAd Hoc;

    c.

    Panitera Muda;d.

    Panitera Pengganti; dan

    e.

    Juru Sita.

    Hakim (karier) PHI pada Pengadilan Negeri diangkat dan diberhentikan

    berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 61 UU No 2

    Tahun 2004. Sebelum yang bersangkutan diangkat sebagai Hakim PHI, hakim-hakim

    pada Pengadilan Negeri hams menempuh pendidikan khusus tentang keberadaan PHI

    14Hasil wawancara dengan Teki Prasedyanti, Tukas Y. Buntang dan AliasmanPurba selaku Hakim Ad-Hoc di PHI pada Pengadilan Negeri Palangkaraya pada tanggal1 Maret 2013.

    15Rita Olivia Tambunan,Pengadilan Hubungan Industrial di Indonesia Beberapa Catatan,diakses melalui www.docstoc.com, pada tanggal 3 Maret 2013, Pukul 12.00 WIB.

    16Lilik Mulyadi dan Agus Subroto,Penyelesaian Perkara Pengadilan Hubungan IndustrialdalamTeori dan Praktik, Penerbit Alumni, Bandung, 2011,hlm. 5.

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    13/34

    beserta Hukum Ketenagakerjaan dalam jangka waktu tertentu. Susunan majelis hakim

    PHI terdiri dari seorang hakim karier sebagai Hakim Ketua Majelis yang didampingi

    dua orang HakimAd Hocyang merupakan representasi atas perwakilan buruh/ pekerja

    dan perwakilan pengusaha.17

    HakimAd HocPHI pada Pengadilan Negeri Palangkaraya sering mengadakan

    pelatihan-pelatihan ke daerah-daerah di Kalimantan Tengah yang terdapat perusahaan.

    Para hakim tersebut memberikan informasi kepada para buruh/ pekerja mengenai

    hak-hak dan kewajiban pekerja yang telah diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003

    tentang Ketenagakerjaan. Selain memberikan informasi kepada buruh/pekerja

    mengenai hak dan kewajiban, juga memberikan pelatihan mengenai proses beracara di

    PHI, sehingga diharapkan nantinya apabila para buruh/ pekerja mengalami

    perselisihan dengan pengusaha yang mempekerjakannya, maka tidak perlu untuk

    meminta bantuan kepada advokat untuk beracara karena hal tersebut akan menambah

    beban bagi para buruh/pekerja.18

    Pengadilan Hubungan Industrial membawa perubahan pada struktur organisasi

    Pengadilan Negeri Palangkaraya, yaitu dengan diperkenalkannya Sub Kepaniteraan

    Pengadilan Hubungan Industrial yang dipimpin oleh seorang Panitera Muda dan

    dibantu oleh beberapa orang Panitera Pengganti. Panitera Muda Hubungan Industrial

    berada sejajar dengan Panitera Muda Pidana, Perdata dan Hukum yang ada diPengadilan Negeri. Selain itu, sebagaimana halnya dengan Pengadilan Niaga dan

    Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan

    Negeri Palangkaraya memiliki empat HakimAd Hocuntuk menjadi bagian dari CI

    Majelis yang memeriksa perkara.19HakimAd Hocdiajukan oleh Ketua Mahkamah

    Agung dari nama-nama yang diajukan oleh Menteri Tenaga Kerja atas usul Serikat

    Pekeria/ Serikat Buruh dan Organisasi Pengusaha. Pengangkatan Hakim Ad Hoc

    17 Ibid,him. 5.18Hasil wawancara dengan Teki Prasedyanti, Tukas Y. Buntang dan Aliasman

    Purba selaku hakim Ad-Hoc di PHI pada Pengadilan Negeri Palangkaraya pada tanggal 1Maret 2013.

    19 Hasil wawancara dengan Teki Prasedyanti, Tukas Y. Buntang dan AliasmanPurba selaku hakim Ad-Hoc di PHI pada Pengadilan Negeri Palangkaraya pada tanggal 1Maret 2013.

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    14/34

    tersebut ditetapkan oleh Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 2006 dan untuk masa

    tugas hakimAd Hocsesuai dengan Pasal 67 ayat (2) UU 2 Tahun 2004 adalah jangka

    waktunya 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan.

    3.

    Tahap Pelaksanaan Putusan Pengadilan (Eksekusi Putusan) di PengadilanPerselisihan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Palangka Raya

    Persoalan yang seringkali timbul setelah putusan pengadilan dibacakan adalah

    bagaimana agar putusan tersebut dapat dilaksanakan secara efektif. Masalah ini terjadi

    karena dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan pihak yang dikalahkan terhadap putusan

    pengadilan.

    Ada perbedaan pelaksanaan eksekusi terhadap perkara perselisihan hubungan

    industrial sebelum dan sesudah berlakunya UU PPHI. Sebelum berlakunya UU

    tersebut, yang berlaku adalah UU No. 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian

    Perselisihan Perburuhan di Perusahaan swasta. Menurut UU ini, tahap awal

    pelaksanaan eksekusi merupakan tanggungjawab bagian pengawasan Dinas Tenaga

    Kerja. Upaya eksekusi tersebut dilakukan dengan cara memanggil para pihak yang

    berselisih dan meminta mereka untuk melaksanakan isi putusan yang telah

    berkekuatan tetap. Setelah upaya bagian Pengawasaan gagal, permohonan eksekusi

    baru dapat dilakukan dengan cara melalui gugatan di Pengadilan Negeri.

    Setelah berlakunya UU PPHI, karena penyelesaian perselisihan hubunganindustrial telah dilaksanakan di Pengadilan Negeri, maka proses eksekusi tidak lagi di

    campur oleh bagian Pengawasan, melainkan langsung di bawah pengawasan

    Pengadilan Hubungan Industrial yang berada di Pengadilan Negeri.

    Perbedaan lain adalah, dalam UU PPHI tidak ada sanksi pidana yang dijatuhkan

    terhadap pihak yang tidak melaksanakan isi putusan Pengadilan Hubungan Industrial,

    sedangkan dalam UU No. 22 Tahun 1957 ada sanksi pidananya.

    Eksekusi Putusan PPHI Setelah beberapa tahun diberlakukannya UU PPHI,

    kenyataannya dalam hal pelaksanaan Putusan/ Eksekusi hampir sama saja ketika

    lembaga P4D atau P4P, ketika masih berada dibawah Institusi Departemen Tenaga

    Kerja. Apabila pihak yang dikalahkan tidak bersedia secara sukarela memenuhi

    isi/ amar putusan, maka pelaksanaan putusan/eksekusi sangat sulit dilakukan. Entah

    apa alasannya, yang jelas jika dilihat di bagian kepaniteraan PHI, sangat banyak sekali

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    15/34

    yang tidak dapat dilaksanakan, apalagi jika pihak yang menang tersebut adalah

    pekerja/buruh (yang dikalahkan Pengusaha).

    Oleh karena itu pada dasarnya peralihan permasalahan penyelesaian perselisihan

    Perburuhan/ Perselisihan hubungan Industrial dari Kementerian Tenaga Kerja keLembaga Peradilan, tidak ada perubahan yang signifikan. Sehingga kemenangan

    (khususnya pekerja/ buruh) hanya kemenangan di atas kertas saja (semu) dan tidak

    konkrit dapat dinikmati pihak pekerja/buruh.

    Putusan yang dapat dieksekusi

    Tidak semua putusan pengadilan dapat dilaksanakan (dieksekusi). Syarat

    pertama yang harus dipenuhi adalah putusan tersebut harus merupakan putusan yang

    telah berkekuatan hukum tetap (inkraht van gewijsde). Yang di maksud dengan putusan

    yang telah berkekuatan hukum tetap adalah putusan yang tidak dapat lagi diupayakan

    hukum (baik biasa melalui banding dan kasasi maupun upaya hukum luar biasa

    melalui peninjauan kembali).

    Syarat kedua adalah, pihak yang diperintahkan harus dengan kondisi tidak

    bersedia memenuhi putusan secara sukarela. Oleh karena itu sebelum eksekusi

    dijalankan, pengadilan harus terlebih dahulu memerintahkan pihak yang kalah untuk

    memenuhi isi putusan. Perintah untuk melaksanakan putusan oleh Ketua Pengadilan

    Negeri tersebut dengan teguran (Anmaining). Setelah aanmainingdiberikan secara patutdan yang diperintahkan langsung melaksanakan isi putusan, maka pelaksanaan isi

    putusan tidak diperlukan.

    Selain terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, ada beberapa

    putusan yang dapat dilaksanakan eksekusi sekalipun putusan tersebut belum

    berkekuatan hukum tetap. Dalam hal ini eksekusi bukanlah sebagai tindak lanjut dari

    pelaksanaan putusan, melainkan menjalankan eksekusi terhadap bentuk-bentuk

    hukum yang oleh undang-undang dipersamakan dengan putusan yang berkekuatan

    hukum tetap.

    Bentuk-bentuk putusan yang dijalankan/ dieksekusi sekalipun putusan tersebut

    belum berkekuatan hukum tetap yaitu:

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    16/34

    a.

    Putusan yang bersifat serta merta (unit voerbaar bji voorraad);

    Putusan ini adalah putusan Pengadilan Negeri yang amarnya memerintahkan

    bahwa putusan tersebut dapat dijalankan meskipun ada upaya hukum banding atau

    kasasi. Ketentuan mengenai putusan serta merta di atur dalam Pasal 180 (1) HIRatau Pasal 191 (1) RBG;

    b.

    Putusan Provisi;

    Yaitu putusan sementara yang diberikan oleh majelis hakim sebelum putusan

    terhadap pokok perkara diputuskan. Setelah putusan tersebut dikabulkan, maka

    putusan langsung dapat dieksekusi sekalipun persidangan terhadap perkara

    pokoknya sedang berjalan/belum di putus. Ketentuan mengenai putusan provisi

    diatur dalam Pasal 180 (1) HIR/191 (1) RBG;

    c.Akta Perdamaian;

    Yakni apabila selama persidangan berlangsung ternyata para pihak bersepakat

    untuk menyelesaikan perkara secara damai. Atas kesepakatan tersebut maka hakim

    membuat akta perdamain yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk

    memenuhi isi akta perdamaian. Akta perdamaian mempunyai kekuatan

    eksekutorial, sehingga apabila ada pihak yang melanggar, maka pihak yang

    dirugikan dapat memomonkan pelaksaan eksekusi ke pengadilan. Ketentuan

    tentang akta perdamaian di temukan dalam Pasal 130 HIR/ 154 RBG.Proses Eksekusi

    a.

    Pemberian Teguran (Aanmaining)

    Setelah putusan berkekuatan hukum tetap para pihak yang kalah tetap

    tidak bersedia memenuhi isi putusan, maka pihak yang merasa dirugikan dapat

    mengajukan surat permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri, sebagai pihak

    yang oleh undang-undang diberikan kewenangan untuk

    melaksanakan/ menjalankan putusan. Surat permohonan tersebut dikenal

    dengan permohonan teguran.

    Surat permohonan aanmainingmemuat identitas para pihak, amar putusan

    yang diminta di eksekusi, alasan mengajukan permohonan dan hal-hal yang

    diminta agar dilaksanakan oleh ketua pengadilan.

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    17/34

    Bersamaan dengan pengajuanaanmaining, permohonan harus melampirkan

    salinan/copy lengkap dari seluruh putusan yang pernah dilakukan terhadap

    perkara tersebut seperti anjuran lembaga mediasi, konsiliasi, arbitrase, hubungan

    industrial dan putusan kasasi, permohonan juga harus melampirkan relaspemberitahuan putusan dari Pengadilan Hubungan Industrial kepada para pihak

    dan sejumlah biaya apabila disyaratkan.

    Setelah persyaratan dipenuhi selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri akan

    mengirimkan surat Teguran/ aanmainingkepada pihak yang kalah, yang isinya

    memanggil yang bersangkutan menghadap Ketua Pengadilan untuk diberi

    peringatan agar memenuhi isi putusan dalam jangka waktu selambat-lambatnya

    8 (delapan) hari Pasal 196 HIR.

    Dalam prakteknya tenggang waktu delapan hari untuk memenuhi isi

    putusan bukanlah bersifat mutlak, karena setelah tenggang waktu tersebut lewat,

    pihak eksekutan (permohonan eksekusi) masih harus mengajukan permohonan

    untuk menempuh proses selanjutnya. Pelaksanaan aanmaining bisa memakan

    waktu sampai satu bulan. Kalau pemanggilan tidak langsung berhasil, misalnya

    karena termohon telah pindah alamat atau minta waktu beberapa minggu untuk

    memenuhi isi putusan secara sukarela akan tetapi pada akhirnya gagal, maka

    pada waktu pelaksanaanaanmainingbisa menjadi lebih lama.Pada saat termohon memenuhi aanmaining, Ketua Pengadilan di dampingi

    panitra mengadakan sidang untuk memberitahukan bahwa pemohon telah

    mengajukan permohonan eksekusi terhadap termohon. Oleh karena itu

    termohon diminta untuk memenuhi sendiri isi putusan dalam jangka waktu yang

    ditentukan (selama jangka waktu peringatan). Segala proses yang terjadi harus

    dicatat oleh panitra, karena berita acara tersebut merupakan bukti otentik

    terhadap sah atau tidaknya perintah eksekusi selanjutnya.

    b.

    Peletakan sita Eksekusi

    Setelah aamaining dilaksanakan dan teryata pihak termohon tetap tidak

    bersedia memenuhi isi putusan pengadilan, maka pihak pemohon dapat

    meminta Ketua Pengadilan melaksanakan sita eksekusi. Permohonan tersebut

    dilakukan secara tertulis melalui surat permohonan eksekusi.

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    18/34

    Secara umum, format surat permohonan peletakan sita eksekusi tidak jauh

    berbeda dengan format permohonan aanmaining, yaitu memuat perihal, identitas

    para pihak, isi putusan yang diminta dilaksanakan dan obyek yang dimintakan di

    letakan sita eksekusi, termasuk nama obyek, jenis, jumlah, alamat, identitas,nama pemilik dan spesifikasi lainya. Ini penting agar tidak terjadi kesalahan

    peletakan eksekusi.

    Permohonan peletakan sita eksekusi berbeda dengan permohonan sita

    jaminan. Permohonan sita jaminan dimaksudkan untuk menjamin hak

    pemohon/ orang yang berpiutang, yang biasanya dimohonkan kepada Ketua

    Pengadilan Negeri sebelum putusan pokok perkara diberikan atau sesudahnya,

    tetapi sifatnya masih belum dijalankan. Alasan peletakan sita jaminan adalah

    untuk menghindari usaha penggelapan atau penyingkiran aset-aset termohon

    dari pihak pemohon, sehingga ada jaminan pelunasan atas piutang pemohon.

    Sedangkan sita eksekusi dilakukan setelah putusan pokok perkara di putus dan

    telah berkekuatan hukum tetap, yang tujuannya bukan sekedar menjamin

    terpenuhinya tuntutan, melainkan lebih pada pemenuhan isi putusan pengadilan.

    Sita eksekusi dapat dilakukan terhadap barang tidak tetap (barang

    bergerak) dan apabila tidak ada atau tidak cukup, maka dapat juga dilakukan

    terhadap barang tidak bergerak. Penyitaan dapat dilakukan terhadap beberapaasset, baik bergerak maupun tidak, sampai mencapai jumlah yang harus dipenuhi

    dalam putusan serta seluruh biaya pelaksanaan putusan.

    Pelaksanaan sita terhadap barang yang dimohonkan harus sebanding

    dengan jumlah hak yang diperintahkan untuk dipenuhi dalam putusan. Jika

    jumlahnya tidak sebanding, misalnya jauh lebih besar dari nilai yang dituntut,

    maka sita tersebut dapat dikategorikan sebagai peletakan sita yang melampaui

    batas. Atas sita yang demikian maka termohon dapat meminta kepada Ketua

    Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung untuk menegur Ketua Pengadilan

    Negeri yang mengoreksi penetapan sita eksekusi yang dilakukan.

    Menurut Pasal 197 ayat (2) pelaksanaan penyitaan dilakukan oleh panitra

    Pengadilan Negeri atau oleh pejabat lainya yang ditunjuk/ diminta Ketua

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    19/34

    Pengadilan Negeri misalnya Pemerintah setempat, untuk melaksanakan

    penyitaan.

    Pelaksanaan sita oleh panitra atau pihak lain yang ditunjuk dilakukan

    dengan membuat berita acara peletakan yang memuat:1)

    Nama dan jenis barang yang disita;

    2)

    Alamat tempat barang yang disita;

    3)

    Tandatangan yang disita;

    4)

    Penegasan penjagaan barang yang disita oleh pihak yang menguasai objek

    yang disita;

    5)Penjelasan atas pelaksanaan sita;

    6)

    Tanggal, bulan, dan tahun peletakan sita;

    7)Saksi-saksi yang melihat pelaksanaan sita.

    Setelah barang, diletakan sita, maka siapapun yang menguasai barang

    tersebut harus menjaga dan memeliharanya dengan baik, barang-barang itu tidak

    dapat dipindahtangankan dengan cara apapun, karena apabila hal itu dilakukan,

    tindakan tersebut batal demi hukum

    Pelaksanaan Lelang

    a.

    Mengajukan Surat Permohonan Lelang

    Setelah sita eksekusi dijalankan, maka agar terhadap barang yang disitadapat dilaksanakan lelang, pihak pemohon eksekusi harus mengajukan surat

    permohonan lelang kepada Ketua Pengadilan Negeri. Tanpa pengajuan surat

    permohonan maka lelang tidak akan pernah dilaksanakan.

    Banyak pihak yang menganggap pengajuan berbagai macam surat

    permohonan, yaitu mulai dari permohonan aanmaining, eksekusi dan lelang,

    telalu bertele-tele dan birokratis. Orang sering bertanya, mengapa tidak cukup

    satu kali surat saja? Apakah tidak bertentangan dengan asas cepat dan biaya

    murah?

    Ini sama sekali tidak bertentangan, karena adakalanya setelah aanmaining

    atau sita eksekusi dilakukan, para pihak, melakukan perdamian di luar

    pengetahuan pengadilan. Sehingga apabila pengadilan melakukan eksekusi

    lelang, maka tindakan tersebut akan sia-sia karena adanya perdamaian.

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    20/34

    Berkaitan dengan surat permohonan lelang, bentuk surat tersebut tidak

    jauh berbeda dengan surat permohonan eksekusi, yakni memuat perihal, para

    pihak, alasan-alasan permohonan lelang dan hal yang dimintakan dilakukan.

    Perbedaan kedua surat tersebut hanya terletak pada isi surat.b.

    Pengumuman Lelang

    Setelah Ketua Pengadilan Negeri Menerima permohonan lelang pemohon,

    maka Ketua Pengadilan meminta batuan Kantor Lelang Negara yang meliputi

    wilayah Pengadilan tersebut untuk melaksanakan lelang. Dengan demikian pihak

    pelaksana lelang adalah Pengadilan dan bukan salah satu pihak yang

    bersengketa.

    Selanjutnya pejabat pelaksana lelang menentukan rencana penjualan

    barang yang disita. Menurut Pasal 200 ayat (3) HIR, rencana penjualan tersebut

    disampaikan kepada Ketua Pengadilan secara tertulis. Apabila ada pihak yang

    mengadakan lelang di depan umum maka rencana tersebut juga harus

    disampaikan kepada juru lelang, dengan menyebutkan hari/ tanggal pelaksanaan

    penjualan.

    Dalam surat permohonan lelang harus dilampirkan surat-surat atau

    dokumen-dokumen yang terdiri dari:

    1)

    Surat permintaan lelang;2)

    Surat putusan pengadilan;

    3)

    Salinan penetapan sita;

    4)

    Surat berita acara sita;

    5)

    Salinan penetapan lelang;

    6)

    Salinan surat pemberitahuan lelang kepada pihak yang berkepentingan;

    7)

    Perincian besarnya jumlah tagihan pokok ditambah biaya yang dibebankan

    kepada tereksekusi;

    8)

    Bukti kepemilikan (sertifikat) barang yang hendak dijual lelang atas barang

    yang tidak bergerak. Surat bukti kepemilikan yang belum mempunyai

    sertifikat dapat diganti, misalnya dengan surat keterangan dari kepala desa

    setempat;

    9)Syarat-syarat lelang yang ditentukan penjual lelang.

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    21/34

    Sebelum pelaksanaan pelelangan atas barang yang dapat disita, maka

    terlebih dahulu dilaksanakan pengumuman lelang di surat kabar. Pengumuman

    lelang tersebut biasanya dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan selang waktu 15

    (lima belas) hari. Yang menjadi persoalan dalam perkara perburuhan, siapakahyang harus menanggung biaya pengumuman lelang dari surat kabar apabila nilai

    perkara dari Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) karena menurut

    UU PPHI, terhadap perkara Hubungan Industrial yang nilainya sampai dengan

    Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) tidak dikenakan biaya. Karena

    UU PPHI tidak mengatur secara jelas, maka kemungkinan beban biaya tersebut

    akan dibebankan pada Negara.

    c.

    Pelaksanaan Lelang

    Setelah sampai pada hari yang ditentukan maka Pengadilan Negeri atas

    bantuan Kantor Lelang Negara melakukan pelelangan di depan umum atas

    barang-barang yang disita. Pelaksanaan pelelangan yang dilakukan di Pengadilan

    Negeri dan oleh Pejabat Kantor Lelang yang ditunjuk. Ketentuan mengenai

    pelelangan ini di atur dalam Peraturan Lelang Nomor 189 Tahun 1998.

    Tidak semua yang hadir berhak melakukan penawaran terhadap barang

    yang dilakukan. Dalam prakteknya hanya peserta yang telah membayar setoran

    panjar yang jumlahnya diperkirakan antara 10-20 % dari nilai objek yang disita,yang diperlukan melakukan penawaran. Jika peminat mengundurkan diri setelah

    pembayaran panjar, maka uang panjar tersebut menjadi milik negara.

    Setelah syarat setoran dipenuhi, maka peminat lelang mengajukan surat

    penawaran kepada panitia lelang. Dalam Pasal 9 Peraturan Lelang disebutkan

    bahwa penawar yang berminat harus mengajukan penawaran secara tertulis ke

    Kantor Lelang. Penawaran dibuat dalam bahasa Indonesia dengan huruf latin

    serta menyebutkan identitas peminat. Dalam prakteknya penawaran tidak selalu

    dilakukan secara tertulis, melainkan dapat juga dilakukan secara lisan.

    Setelah semua penawaran masuk, dan ternyata harga penawaran tidak

    mencapai harga terendah yang telah ditetapkan, maka pelelangan atas objek

    tersebut harus ditunda dan penjualan berikutnya harus diumumkan. Apabila

    dalam pelelangan lanjutan setelah penundaan ternyata harga dapat dilanjutkan

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    22/34

    dengan penawaran langsung secara tawaran meningkat atau tawaran menurun

    dan penentuan harga yang patut diserahkan kepada penjual. Penentuan harga

    terendah tersebut didasarkan pada harga yang patut dengan kondisi barang yang

    di lelang.Apabila hasil penjualan barang diperkirakan telah memenuhi jumlah

    tuntutan yang ditetapkan dalam putusan Pengadilan dan biaya pelaksanaan

    putusan maka penjualan barang harus dihentikan apabila masih ada sisa barang

    yang belum terjual, maka barang tersebut harus dikembalikan pada pemiliknya.

    Hasil lelang yang diperoleh akan dipergunakan untuk memenuhi seluruh

    hak pemohon sesuai dengan isi putusan Pengadilan. Setelah seluruh isi putusan

    serta biaya lelang dipenuhi namun teryata masih ada sisa dari hasil lelang, maka

    sisa tersebut harus dikembalikan kepada termohon. Dengan pemenuhan isi

    putusan tersebut maka perkara dianggap telah selesai.

    4.Model Tata Laksana Hukum yang Efektif dalam Pelaksanaan Putusan

    (Eksekusi) pada PHI yang Tidak Menghambat Kepentingan Hak-Hak

    Pekerja/Buruh

    Kritik atas UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan

    Hubungan Industrial

    Hukum sangat dibutuhkan dalam semua aspek kehidupan manusia, baik dalamkehidupan sosial, politik, budaya, pendidikan, dan dalam bidang ekonomi. Fungsi dan

    peranan hukum sangat penting dalam mengatur kegiatan perekonomian. Hukum

    berperan untuk melindungi, mengatur dan merencanakan kehidupan ekonomi

    sehingga dinamika kegiatan ekonomi dapat diarahkan kepada kemajuan dan

    kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.

    Pada tataran normatif, hukum secara tegas diletakkan sebagai pendorongan

    pembangunan, khususnya terhadap pertumbuhan ekonomi, namun ketika memasuki

    tataran implementasi-sosiologis, selain tampak dengan jelas berbagai hal yang

    menggembirakan, terlihat pula adanya peminggiran peran hukum dalam upaya

    mencapai kemajuan bangsa yang telah dicanangkan. Sejumlah fenomena di

    permukaan menunjukkan bahwa Indonesia masih jauh dari paradigma sebuah Negara

    hukum.

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    23/34

    Tidak banyak aturan hukum yang memihak kepada rakyat, karena masih banyak

    aturan hukum yang melindungi kepentingan penguasa dan pengusaha. Akibat dari

    politik pembangunan ada ketimpangan antara pembangunan ekonomi dan

    pembangunan hukum. Contoh satu paket kebijakan yang tidak berpihak kepadamasyarakat adalah UU PPHI. Secara normatif, tujuan dari undang-undang tersebut

    adalah untuk memberikan keadilan bagi semua pihak, baik pekerja maupun

    pengusaha, namun pada tataran implementasinya, undang-undang tersebut malah

    mempersulit pekerja untuk memperoleh rasa keadilan.

    Paket undang-undang dibidang ketenagakerjaan, seharusnya saling mendukung

    satu sama lain, namun pada implementasinya, kebijakan pemerintah untuk

    menyelesaikan permasalahan hubungan industrial melalui PHI tidak mendukung

    terciptanya keadilan bagi semua pihak, terutama pekerja/buruh.

    Meskipun pengaturan tentang perlindungan hak-hak pekerja telah diatur

    sedemikian rupa, pada pelaksanaannya masih saja ada perselisihan dan konflik yang

    muncul antara pengusaha dan pekerja/ buruh. Perselisihan dibidang hubungan

    industrial yang selama ini dikenal dapat terjadi mengenai hak yang telah ditetapkan,

    atau mengenai keadaan ketenagakerjaan yang belum ditetapkan baik dalam perjanjian

    kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama maupun peraturan perundang-

    undangan.Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh

    pengusaha dan pekerja/buruh secara musyawarah untuk mufakat. Dalam hal

    penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, maka pengusaha dan

    pekerja/buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui PHI

    sebagaimana telah diatur dalam UU PPHI.

    Lahirnya UU PPHI diharapkan dapat menjadi solusi penyelesaian perselisihan

    antara pengusaha dan buruh secara adil, namun pada kenyataannya ekspektasi buruh

    untuk mendapatkan keadilan lewat PHI tidak semudah yang dibayangkan, karena

    penerapan hukum acara perdata ternyata memberi masalah baru bagi serikat

    pekerja/ serikat buruh.

    Keberadaan PHI (PHI) sejak 2006 lalu, mendapat kritik dari para pencari

    keadilan. Kritik kalangan buruh terhadap PHI bukan saja mengenai kakunya

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    24/34

    penerapan hukum acara perdata, melainkan juga masalah mendasar tentang politik

    penyelesaian perselisihan perkara perburuhan.20Sementara pengusaha21 was-was

    dengan bertele-telenya proses berperkara di PHI.

    Ternyata, kritik terhadap PHI tidak hanya datang dari kalangan buruh danpengusaha. Kalangan orang dalam pengadilan juga sudah menyampaikan hal

    tersebut. Sebagaimana pendapat Bagir Manan, mantan Ketua Mahkamah Agung yang

    mengeluarkan kritikan tentang PHI. Dalam pidato sambutannya di dalam Rakernas

    MA 2007 di Makassar, Bagir Manan menyebut PHI sebagai anomaly pengadilan

    karena keberadaan hakimad hocyang tidak netral, sistem peradilan yang ternyata tidak

    cepat, dan pembebanan biaya perkara kepada negara.22Selain itu, para hakim ad hoc

    PHI se-Indonesia juga melakukan otokritik dan mengeluarkan uneg-uneg atas

    praktik di PHI.

    Secara umum, para hakim ad hoc itu tidak membantah tudingan para buruh.

    Mereka mengakui dalam praktiknya mereka juga seringkali terjebak dengan kekakuan

    hukum acara perdata. Bagaimana tidak, sistemnya sudah memposisikan seperti itu.

    Pasal 57 UU PPHI memang mewajibkan PHI memakai hukum acara perdata

    sepanjang belum diatur pengecualiannya. Kebiasaan hakim karir -selaku ketua majelis

    hakim PHI- memakai hukum acara perdata, makin membuat hakim ad hoctidak bisa

    berbuat banyak.23

    Salah satu kendala yang kerap dijumpai buruh akibat kekakuan penerapan

    hukum acara perdata terlihat pada saat pembuktian. Hakim PHI pada Pengadilan

    Negeri Palangka Raya, mengungkapkan bahwa:

    Pada praktiknya gugatan buruh sering terhadang pada saat acara pembuktian.Hukum acara perdata menyatakan, siapa yang mendalilkan, harus membuktikan.Padahal, lazim diketahui, buruh tidak punya kemampuan untuk mengaksesdokumen perusahaan semisal anggaran dasar perusahaan hingga data absensi

    20 Hasil wawancara dengan Rinald, selaku Mediator Perselisihan HubunganIndustrial di Palangka Raya pada tanggal 09 Maret 2013.

    21 Hasil wawancara dengan Sibot Rumbang, selaku Perwakilan Apindo di PalangkaRaya pada tanggal 09 Maret 2013.

    22 Officum Nobile,Kritik Atas UU No. 2 Tahun 2004 TentangPenyelesaian PerselisihanHubungan Industrial, http:/ / yudicare.wordpress.com, diakses tanggal 8 Maret 2013.

    23Ibid.

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    25/34

    pekerja. Karenanya, diharapkan agar beban pembuktian nantinya juga bisadibagi dengan pengusaha.24

    Masih seputar pembuktian di persidangan, hakim PHI pada Pengadilan Negeri

    Palangka Raya, juga urug rembug. Menurut para hakim, menjelaskan bahwa:Sepanjang PHI masih menerapkan hukum acara perdata, beban biaya yangmesti ditanggung buruh teramat besar. Untuk bukti tertulis, buruh mau tidakmau harus meleges dengan meterai setiap buktinya. Untuk keperluan itu, buruhsedikitnya harus mengeluarkan biaya sebesar Rp. 11.000 untuk tiap alatbuktinya. Bagaimana kalau alat buktinya puluhan?25

    Di satu sisi Pasal 58 UU PPHI menegaskan bahwa tiap perkara yang nilaigugatannya di bawah Rp150 juta, biaya perkaranya dibebankan kepada negara.Ini menjadi lucu. Harusnya negara yang menanggung biaya perkara. Tapidengan adanya biaya leges dan meterai itu, malah buruh yang memberi

    pemasukan kepada negara.26

    Permasalahan lain yang mengemuka dari otokritik hakim ad hoc PHI adalah

    mengenai eksekusi putusan PHI. Tidak jarang ditemui fakta dimana buruh hanya

    menang di atas kertas. Pengusaha dengan berbagai dalihnya tak kunjung

    melaksanakan putusan PHI. Belum lagi administrasi dan biaya eksekusi melalui

    Pengadilan Negeri yang amat membebani buruh.27

    Terkait masalah eksekusi itu, hakim PHI pada Pengadilan Negeri Palangka

    Raya, berharap agar lembaga paksa badan (gijzeling) bisa diterapkan di PHI. Tujuannyajelas: supaya tidak ada pengusaha yang tidak mau melaksanakan isi putusan

    pengadilan. Gijzelingyang pernah ditiadakan pada tahun 1964, dihidupkan kembali

    24Hasil wawancara dengan Teki Prasedyanti, Tukas Y. Buntang dan AliasmanPurba selaku hakim Ad-Hoc di PHI pada Pengadilan Negeri Palangka Raya pada tanggal08 Maret 2013.

    25

    Hasil wawancara dengan Teki Prasedyanti, Tukas Y. Buntang dan AliasmanPurba selaku hakim Ad-Hoc di PHI pada Pengadilan Negeri Palangka Raya pada tanggal08 Maret 2013.

    26Hasil wawancara dengan Teki Prasedyanti, Tukas Y. Buntang dan AliasmanPurba selaku hakim Ad-Hoc di PHI pada Pengadilan Negeri Palangka Raya pada tanggal08 Maret 2013.

    27 Hasil wawancara dengan Rio Demamore Dau, selaku Perwakilan SPSI diPalangka Raya pada tanggal 09 Maret 2013.

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    26/34

    oleh Mahkamah Agung melalui Perma No 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa

    Badan.28

    Terlepas dari semua otokritik dan saran yang dikemukakan oleh hakim ad hoc,

    ada masalah yang lebih fundamental, yaitu misalnya bagaimana pemerintah tidakmenghilangkan intervensinya dalam melindungi buruh atau bagaimana supaya tidak

    ada lagi upaya mengkompromiskan hak normatif buruh di dalam pengadilan.

    Pelaksanaan Hukum yang Efektif dalam Pelaksanaan Putusan (Eksekusi)

    Pada PHI yang Tidak Menghambat Kepentingan Hak Normaif

    Pekerja/Buruh

    a. Penerapan Lembaga Paksa Badan (Gijzeling) pada Penyelesaian Perkara

    Pengadilan Hubungan Industrial

    Penyanderaan (gijzeling) adalah memasukan kedalam penjara orang yang telah

    dihukum oleh putusan pengadilan untuk membayar sejumlah uang, tetapi tidak

    melaksanakan putusan tersebut dan tidak ada atau tidak cukup mempunyai barang

    yang dapat disita eksekusi. Penyanderaan dalam perkara perdata ini diatur dalam

    Pasal 209 s/ d Pasal 224 HIR/ Pasal 242 s/d Pasal 257 RBg.

    Karena penyanderaan itu dirasa tidak adil, maka Mahkamah Agung dengan

    Surat Edarann Nomor 2 Tahun 1964 tanggal 22 Januari 1964 mengintruksikan

    kepada semua Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri seluruh Indonesiauntuk tidak mempergunakanlagi peraturan-peraturan mengenai sandera (gijzeling).

    Kemudian dengan Surat Edaran Nomor 04 Tahun 1975 tanggal 1 Desember 1975

    Mahkamah Agung menegaskan kembali isi Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1964

    tanggal 22 Januari 1964 untuk tidak menggunakan lembaga gijzeling, mengingat

    Pasal 33 UU Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menghendaki pelaksanaan

    putusan dengan tidak meninggalkan peri kemanusiaan.

    Namun dengan pertimbangan sebagai mana diungkapkan Sudikno

    Mertokusumo,dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia mengemukakan:

    28Hasil wawancara dengan Teki Prasedyanti, Tukas Y. Buntang dan AliasmanPurba selaku hakim Ad-Hoc di PHI pada Pengadilan Negeri Palangka Raya pada tanggal08 Maret 2013.

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    27/34

    Didalam praktek tidak jarang terjadi, debitur yang dikalahkan atau akan

    dikalahkan dalam perkara dipengadilan, jauh sebelumnya telah mengalihkan harta

    kekayaannya kepada saudaranya atau orang lain dengan maksud untuk

    menghindarkan harta kekayaan tersebut dari penyitaan. Dengan demikian, sidibetur tampaknya sebagai orang yang miskin, tetapi sesungguhnya tidak. Mengigat

    hal semacam ini lembaga sandera kiranya masih perlu dipertahankan, namun

    penerapannya harus hati-hati.29

    Sejalan dengan pikiranSudikno Mertokusumo, tersebut Mahkamah Agung

    kemudian mengeluarkan Peraturan Nomor 1 tahun 2000 Tentang Lembaga Paksa

    Badan tanggal 30 Juni 2000 yang mencabut Surat Edaran Mahkamah Agung

    Nomor 2 Tahun 1964 dan Nomor 04 Tahun 1975. Berdasarkan Peraturan

    Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 ini, debitur (dan ahli waris yang telah

    menerima warisan dari debitur), menanggung, atau penjamin hutang yang mampu,

    tetapi tidak mau memenuhi kewajibannya untuk membayar hutang-hutangnya

    (minimal Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)) dapat dikenakan paksa badan.

    b.Analisis Terhadap Penerapan Lembaga Paksa BadandalamPenyelesaian

    Perkara Perselisihan Hubungan Industrial

    Sebagai perbandingan, selain terhadap debitur yang memiliki keengganan

    dalam melunasi hutangnya, ketentuan lembaga paksa badan nantinya juga akanditetapkan kepada orang yang telah dihukum oleh putusan pengadilan untuk

    membayar sejumlah uang, tetapi tidak melaksanakan putusan tersebut dan tidak

    ada atau tidak cukup mempunyai barang yang dapat disita eksekusi. Hal ini dapat

    juga diberlakukan dalam perkara perselisihan hubungan industrial dalam hal

    pelaksanaan eksekusi putusan yang tidak dilaksanakan pengusaha.

    Dalam prakteknya, sulit bagi pekerja/buruh yang memenangi gugatan untuk

    segera melakukan eksekusi terhadap putusan yang telah berkekuatan tetap dari

    pengadilan. Hal ini dikarenakan banyaknya pengusaha yang tidak patuh untuk

    melaksanakan putusan tersebut dengan sukarela. Hal demikian tentu merupakan

    29 Law File,Pelaksanaan Putusan Pengadilan, http:/ / lawfile.blogspot.com, diaksestanggal 8 Maret 2013.

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    28/34

    suatu tantangan tersendiri, sehingga perlu dicarikan solusi yang tentunya tidak

    merugikan kedua belah pihak, baik itu pengusaha maupun pekerja/ buruh.

    Sebagaimana ditawarkan oleh salah satu hakim adhoc PHI pada Pengadilan

    Negeri Palangka Raya agar pemerintah menciptakan suatu mekanisme yang dapatmemberikan sanksi bagi pengusaha yang tidak taat hukum. Salah satu mekanisme

    tersebut adalah gijzelingatau lembaga paksa badan, namun keberadaan lembaga ini

    masih kontroversial.

    Beberapa kalangan beranggapan, pemberlakuan lembaga paksa badan

    merupakan hal yang berlebihan. Di pihak lain muncul pula pendapat lembaga ini

    diperlukan untuk memberikan efek jera yang potensial dalam menghadapi

    pengusaha yang nakal. Hal ini tentu menjadi masukan bagi pemerintah untuk

    menciptakan suatu mekanisme yang dapat memberikan daya pemaksa bagi para

    pengusaha yang tidak memenuhi kewajibannya. Tujuannya jelas: supaya tidak ada

    pengusaha yang tidak mau melaksanakan isi putusan pengadilan serta adanya

    kepastian hukum bagi pekerja/buruh terhadap pelaksanaan isi putusan tersebut.

    c. Upaya Hukum yang Dapat Dilakukan Tenaga Kerja/ Buruh Terhadap

    Putusan PHI yangInkrachtSelain Permohonan Eksekusi

    Upaya hukum apakah yang dapat dilakukan terhadap putusan PHI yang

    inkracht, selain permohonan eksekusi? Ini untuk mengantisipasi pengusaha yangtetap tidak mau melaksanakan putusan PHI perihal pembayaran pesangon. Pasal

    57 UU PPHI telah merumuskan secara tegas bahwa hukum acara yang berlaku di

    PHI (PHI) adalah Hukum Acara Perdata, kecuali beberapa hal yang diatur secara

    khusus dalam UU PPHI ini.

    UU PPHI tidak mengatur khusus mengenai upaya hukum apa yang dapat

    dilakukan terhadap putusan PHI yang sudah inkracht. Dengan demikian, maka hal

    itu dilakukan dengan merujuk pada hukum acara yang berlaku, yaitu permohonan

    eksekusi yang diatur dalam Pasal 195 sampai Pasal 208 HIR.

    Pasal 195 ayat (1) HIR menyebutkan bahwa tidak ada yang dapat menunda

    suatu eksekusi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap untuk dilaksanakan,

    kecuali dengan jalan damai dan pelaksanaan putusan tersebut di bawah pimpinan

    Ketua Pengadilan Negeri yang pada tingkat pertama pemeriksaan perkara tersebut.

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    29/34

    Lebih jauh, Pasal 196 HIR mengatur tentang pelaksanaan putusan yang

    diakibatkan dari tindakan tergugat yang enggan secara suka rela melaksanakan isi

    putusan untuk membayar sejumlah uang, sehingga pihak penggugat sebagai pihak

    yang dimenangkan mengajukan permohonan secara lisan atau tertulis kepadaKetua Pengadilan Negeri agar putusan dapat dijalankan.

    d.

    Analisis Upaya Hukum Terhadap Putusan PHI yang Inkracht Selain

    Permohonan Eksekusi

    Jika permohonan eksekusi sudah dilakukan dan pengusaha tetap tak mau

    membayarkan pesangon, maka pekerja bisa memohonkan sita eksekutorial atas

    barang-barang milik pengusaha. Permohonan sita eksekutorial itu tetap diajukan

    kepada Ketua Pengadilan Negeri. Setelah semua barang-barang disita, kemudian

    akan dilelang dimana hasilnya akan digunakan untuk membayarkan kewajiban

    pengusaha kepada pekerja dan juga biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan

    pelaksanaan putusan tersebut.

    Selain mengajukan permohonan eksekusi dan sita eksekusi tersebut, dalam

    praktiknya ada beberapa hal yang bisa diajukan oleh pekerja atas tindakan

    pengusaha yang tidak mau membayarkan pesangon meski sudah ada putusan PHI

    yang sudah inkracht. Salah satunya adalah melaporkan pengusaha ke kepolisian,

    setidaknya atas dua tuduhan. Pertama, dugaan penggelapan uang pesangon.Sedangkan yang kedua adalah dugaan pelanggaran Pasal 216 KUHPidana di mana

    tindakan pengusaha yang tak mau menjalankan putusan PHI yang sudah inkracht

    dianggap sebagai tindakan yang menghalang-halangi perintah dari pejabat atau

    penguasa umum.

    Di samping itu, upaya lain yang bisa dilakukan terhadap pengusaha bandel

    itu adalah dengan mengajukan gugatan pailit ke Pengadilan Niaga. Sebagaimana

    diketahui bahwa salah satu pertimbangan dibentuknya pengadilan niaga adalah agar

    mekanisme penyelesaian perkara permohonan kepailitan dan penundaan kewajiban

    pembayaran utang, penyelesaiannya dapat dilakukan dengan cepat dan efektif.

    Keberadaan pengadilan niaga tidak menambah kuantitas lingkungan peradilan baru

    di Indonesia. Ini secara tegas disebutkan dalam Perpu. Artinya, pengadilan niaga

    hadir dan berada dalam lingkungan peradilan umum. Akan tetapi secara substansial

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    30/34

    kehadiran peradilan niaga jelas telah menggeserkan kompetensi absolut maupun

    relatif dari pengadilan negeri atas perkara-perkara permohonan kepailitan dan

    penundaan kewajiban membayar utang.

    Jumlah besaran pesangon yang sudah ditetapkan berdasarkan putusan PHIyang sudah inkrachtakan menjadi hutang pengusaha dan piutang pekerja. Di sini

    berarti kedudukan pekerja adalah kreditur, sementara pengusaha menjadi debitur.

    Ketika permohonoan eksekusi sudah diajukan dan sang pengusaha masih

    tidak melaksankannya, maka hutang si pengusaha menjadi dapat ditagih. Merujuk

    pada UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU, kreditur dapat

    menggugat pailit seorang debitur. Syaratnya, ada satu hutang yang sudah jatuh

    tempo dan dapat dibayar, debitur memiliki dua kreditur atau lebih, dan

    pembuktiannya sederhana.

    Kesimpulan

    1. Melihat pada penerapan hukum yang sebenarnya di lapangan terkait dengan

    pelaksanaan putusan (eksekusi) perkara perselisihan hubungan industrial sangat sulit

    dilakukan, terlebih eksekusi tersebut menyangkut kepentingan pekerja/buruh. Jika

    pihak yang menang tersebut adalah pekerja/buruh (yang dikalahkan Pengusaha), maka

    pihak yang dikalahkan tidak bersedia secara sukarela memenuhi isi/ amar putusan.

    Yang jelas jika dilihat di bagian kepaniteraan PHI, sangat banyak sekali yang tidakdapat dilaksanakan. Oleh karena itu pada dasarnya peralihan permasalahan

    penyelesaian perselisihan Perburuhan/ Perselisihan hubungan Industrial dari

    Kementerian Tenaga Kerja ke Lembaga Peradilan, tidak ada perubahan yang

    signifikan. Sehingga kemenangan (khususnya pekerja/buruh) hanya kemenangan di

    atas kertas saja (semu) dan tidak konkrit dapat dinikmati pihak buruh.

    2.

    Tahap pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi putusan), meliputi proses eksekusi

    yang diikuti dengan proses pemberian teguran (aanmaining), peletakan sita eksekusi.

    Proses selanjutnya adalah pelaksanaan lelang yang diikuti dengan proses mengajukan

    surat permohonan lelang, pengumuman lelang dan pelaksanaan lelang.

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    31/34

    Daftar Pustaka

    Abdul R. Budiono, 2009,HukumPerburuhan, Penerbit PT. Indeks, Jakarta.

    Lilik Mulyadi dan Agus Subroto, 2011,Penyelesaian Perkara Pengadilan Hubungan Industrial

    dalamTeori dan Praktik, Penerbit Alumni, Bandung.Maimun, 2007, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Penerbit Pradnya Paramita,

    Jakarta.

    M. Yahya Harahap,RuangLingkup Permasalahan Eksekusi BidangPerdata, Penerbit Sinar

    Grafika, Jakarta, 2005.

    Mochammad Djais, Pikiran Dasar Hukum Eksekusi, Fakultas Hukum Universitas

    Diponegoro, Semarang, 2000.

    Nurul Hakim,Efektivitas Pelaksanaan SistemArbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

    dalamHubungannya dengan Lembaga Peradilan, t.p, t.t.

    Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata,HukumAcara Perdata dalamTeori

    dan Praktek, Penerbit Mundur Maju, Bandung, 1989.

    Ronny Hanijito Soemitro, 1994,Masalah-Masalah Sosial Hukum, Penerbit Sinar Baru,

    Bandung.

    Sehat Damanik,HukumAcara Perburuhan, Penerbit DSS Publishing, Jakarta, 2007.

    Zaeni Asyhadie, 2009,Peradilan Hubungan Industrial, Penerbit Raja Grafindo Persada,

    Jakarta.Undang-Undang:

    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW);

    Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;

    Undang-Undang No 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan

    Industrial;

    Nara Sumber:

    Teki Prasedyanti, Tukas Y. Buntang dan Aliasman Purba selaku hakim Ad-Hoc di PHI

    pada Pengadilan Negeri Palangkaraya.

    Hasil wawancara dengan Rinald, selaku Mediator Perselisihan Hubungan Industrial di

    Palangka Raya pada tanggal 09 Maret 2013.

    Hasil wawancara dengan Sibot Rumbang, selaku Perwakilan Apindo di Palangka Raya

    pada tanggal 09 Maret 2013.

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    32/34

    Hasil wawancara dengan Rio Demamore Dau, selaku Perwakilan SPSI di Palangka Raya

    pada tanggal 09 Maret 2013.

    Website:

    Law File,Pelaksanaan Putusan Pengadilan, http:/ / lawfile.blogspot.com, diakses tanggal 8Maret 2013.

    Officum Nobile, Kritik Atas UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan

    Hubungan Industrial, http:/ / yudicare.wordpress.com, diakses tanggal 8 Maret 2013.

    Wikipedia, Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Palangkaraya, diakses melalui

    www.wikipedia.org pada tanggal 3 Maret 2013.

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    33/34

    PELAKSANAAN PUTUSAN (EKSEKUSI) PERKARA PERSELISIHAN

    HUBUNGAN INDUSTRIAL DALAM PERSPEKTIF PEKERJA/

    BURUH (Studi Kasus Di Pengadilan Perselisihan

    Hubungan Industrial Palangkaraya)

    JURNAL PENELITIAN

    Oleh :

    Yessiarie Silvanny Sibot

    PROGRAM PASCA SARJANAFAKULTAS HUKUM

    UNIVERSITAS BRAWIJAYAMALANG

    2013

  • 8/11/2019 Materi Perselisihan Hubungan Industrial

    34/34

    Lembar Persetujuan Jurnal

    Judul :

    PELAKSANAAN PUTUSAN (EKSEKUSI) PERKARA PERSELISIHAN

    HUBUNGAN INDUSTRIAL DALAM PERSPEKTIF PEKERJA/

    BURUH (Studi Kasus Di Pengadilan Perselisihan

    Hubungan Industrial Palangkaraya)

    Oleh :

    Yessiarie Silvanny Sibot

    Menyetujui :

    Pembimbing Utama Pembimbing Kedua

    Dr. A. Racmad Budiono, S.H., M.H Dr. Rachmad Safaat, S.H.,M.Si

    NIP. 19540925 198003 1002 NIP. 19611116 1986011001