Materi Pemikiran Politik Indonesia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

materi uas ppi

Citation preview

LATAR BELAKANG LAHIRNYA PEMIKIRAN POLITIK INDONESIA

Lahirnya Pemikiran Politik (Indonesia) di latarbelakangi oleh bangkitnya nasionalisme modern abad XIX, seputar tahun 1900-an;

Diawali munculnya sekelompok kecil mahasiswa dan cendekiawan muda yang memandang dunia modern sebagai tantangan masyarakatnya;

Mahasiswa dan cendekiawan muda ini mengidentifikasi dirinya sebagai calon pemimpin masa depan. Sikap mengidentifikasi diri sebagai calon pemimpin masa depan dibentuk oleh situasi dan kondisi politik pada jamannya;

Dan latarbelakang pendidikan mereka (kebanyakan mahasiswa yang belajar diluar negeri). Serta pengaruh ideologi didalami (nasionalisme, sosialisme, komunisme, demokrasi, dan sebagainya)

Minat terhadap persoalan-persoalan politik menjadikan mereka intens mendiskusikannya.

Bahkan berkembang menjadi pemikiran-pemikiran kritis yang sistematis tentang nasib bangsa dan negaranya.

Tahap perkembangan pemikiran-pemikiran kritis yang sistematis ini menjadi pemikiran yang jelas dan tegas ( yakni tentang kemerdekaan Indonesia, serta cara terbaik untuk mencapainya.

Langkah kongkrit yang dilakukan adalah mencetuskan ikrar-ikrar (seperti Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928) kearah terwujudnya tujuan dan cita-cita dimaksud.

Dalam rangka mewujudkan pemikiran politik ideal tersebut ada kendala diantaranya sistem politik pemerintahan kolonial Belanda yang sangat represib dan memecah belah.

Akibatnya, operasionalisasi dari pemikiran politik tersebut menjadi terhambat dan tidak punya keleluasaan.

Konsekuensinya, timbul konflik politik ideologi diantara mereka.

Proklamasi kemerdekaan merupakan pengalaman konkrit. Setelah merdeka para tokoh gerakan nasionalis (tidak jarang mereka juga pemikir) menjadi tokoh-tokoh politik dan pemerintahan.

Dalam rangka mewujudkan pemikiran politiknya, kendala yang dihadapi al.sbb. :

a. Belum punya pengalaman dan tidak secara khusus mempersiapkan diri mengemudikan sistem politik. Mereka masih dalam rangka mencari model yang realistis. Misal, doktrin ideologi apa yang sesuai, serta siste politik apa yang cocok dengan kharakter bangsanya.

b. Akibatnya, cukup kesulitan dalam menghadapi pilihan-pilihan rasional serta implikasi kebijakan yang dipilihnya. Konflik ideologi sejak sebelum kemerdekaan menambah kompleksnya persoalan.

Oleh seba itu, dibutuhkan orang-orang yang memiliki pemikiran cermerlang tentang pilihan-pilihan mana serta implikasi-implikasi apa yang harus yang harus diambil oleh sistem politik.

Disinilah titik temu/benang merah antara dunia pemikiran dan kekuasaan (politik).

Jadi dalam gerakan nasionalis sebelum kemerdekaan maupun setelahnya, hubungan/ikatan antara para pemikir dan para pemegang kekuasaan sangat erat dan tidak bisa dipisahkan.

PANCASILA Pancasila yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 45: Sebagai dasar negara atau landasan ideal bangsa Indonesia, Juga berfungsi ( Sebagai pandangan hidup yang mempersatukan bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Untuk melahirkan kesepakatan politik (gentlement aggrement) tersebut ( melalui proses politik yang melelahkan. Tercermin dari intensitas konflik ideologis proses pembentukan: (1. Rancangan Dasar Negara, dan2. Rancangan UUD,

pada sidang PPKI tanggal 29 Mei s/d 1 Juni 1945.Ada 4 pokok pikiran di dalamnya: ( 1. pertama merupakan penjelasan dari sila Persatuan Indonesia; 2. kedua penjelasan dari sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; 3. ketiga penjelasan dari sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; 4. pokok pikiran keempat penjelasan dari sila Ketuhanan YME.KONSEP TTG NEGARA

Tercermin dalam tujuan nasional dan cita-cita bangsa Indonesia: Membentuk satu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. KONSEP TTG PEMERINTAHAN

Pasal-pasal UUD ( Merupakan pengejawantahan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukan UUD45, Oleh karena itu konsep Pemerintahan menurut Pancasila secara rinci dapat dilihat dalam Pasal-pasal dan Penjelasan UUD45 KONSEP TTG STRUKTUR MASYARAKAT Masyarakat Indonesia berjiwa dan berazas kekeluargaan, serta keagamaan (socialistic religious), bercirikan sbb.: ( Tidak membenarkan adanya kemiskinan, kemelaratan, keterbelakangan, perpecahan, pemerasan, kapitalisme, feodalisme, kolonialisme dan imperialisme; Menghayati hidupnya dengan kewajiban taqwa kepada Tuhan YME, cinta pada tanah air, kasih sayang pada sesama manusia, suka bekerja dan berkorban untuk kepentingan sesama. Masyarakat sosialistic religious bercita-cita mendapatkan kemakmuran dan keadilan sosial dengan selalu menghayati bimbingan Tuhan YME di segala bidang kehidupannya. KONSEP TTG EKONOMI

Demokrasi ekonomi menurut Pancasila berciri sbb.: Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar kekeluargaan, Cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, Bumi, air dan kekayaaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, Warganegara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan yang dikehendaki/pekerjaan dan penghidupan yang layak, Hak milik perorangan diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masarakat, Potensi inisiatif dan daya kreasi setiap warganegara dikembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum.KONSEP TTG KEMAKMURAN

Konsep kemakmuran berdasar Pancasila adalah kemakmuran yang merata diantara seluruh rakyat, bukan merata yang statis melainkan merata yang dinamis dan selalu meningkat. Seluruh kekayaan alam Indonesia, seluruh potensi bangsa diolah bersama-sama menurut kemampuan bidang masing-masing untuk kemudian dimanfaatkan bagi kebahagiaan yang sebesar-besarnya seluruh rakyat. HUB. AGAMA DAN NEGARA

Pancasila menjamin kebebasan beragama, Kebebasan agama adalah merupakan salah satu hak azasi yang paling azasi diantara hak-hak azasi manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan. KEDUDUKAN MANUSIA, MASYARAKAT, NEGARA

Manusia merupakan makhluk pribadi/perseorangan, ( juga makhluk sosial (social being). Oleh karenanya manusia merasa nyaman apabila hidup bersama didalam masyarakat (bangsa dan negara dalam arti luas). Manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa komunitasnya. NASIONALISME DAN INTERNASIONALISME Kecintaan terhadap tanah air, menghapus perasaan kesukuan yang sempit, mendorong usaha untuk menyebarkan dan memeratakan pembangunan bangsa. Semangat kebangsaan melahirkan prinsip menghormati kemerdekaan bangsa lain, anti penjajahan dan tidak ingin menjajah bangsa lain. Mau bekerjasama dengan bangsa-bangsa di dunia untuk mewujudkan dunia yang maju, sejahtera dan adil bagi semua umat manusia. ( menjadi landasan politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif.PEMIKIRAN POLITIK ISLAM:

(Tradisional vs Modern)

TRADISIONAL

Menurut data yang dapat dipercaya Islam masuk ke Indonesia abad 13, tatkala dunia Islam tidak lagi menjadi pusat segala macam ilmu pengetahuan, peradaban dan kebudayaan, seperti pernah dialami abad VII s/d X Masehi. Dalam kondisi seperti itulah Islam berkembang ke Indonesia. Kondisi demikian setidaknya mewarnai perkembangan Islam (sejak awalnya) di Indonesia.

Munculnya disintegrasi antar kekuatan Islam yang melibat- kan pusat-pusat pemerintahan Islam (Bagdad, Cordova, dll) yang di tandai dengan semakin lemahnya struktur kekuasaan Islam, mempermudah penguasaan kekuatan asing (barat/kristen). Dalam kondisi yang seperti itu umat Islam tidak lagi memiliki kesempatan dan kekuatan untuk mengembangkan, baik dibidang politik, pemerintahan (peradaban, kebudayaan) dan ilmu pengetahuan. Sebagai alternatif sekaligus untuk melupakan rasa kecewanya, mereka menenggelamkan diri dalam kehidupan mistikisme Islam, suatu kehidupan asketisme yang kurang memperhatikan kehidupan duniawi. Situasi demikian menimbulkan kemandegan tradisi pemikiran (rasional) dalam Islam. Bersamaan dengan itu bergema pula pintu ijtihad telah tertutup. Hal tersebut berakibat, umat Islam, membiasakan diri dalam kehidupan keagamaan yang besifat taqlid, suatu sikap meniru dan menerima pemahaman keagamaan secara buta, tanpa mengetahui dasar-dasar prinsip-prinsip yang benar.

Situasi perkembangan Islam yang kurang menggembirakan ini mau tidak mau ikut mempengaruhi/mewarnai corak Islam yang disebarkan pada waktu itu. Dengan kata lain proses Islamisasi di Indonesia bersejajaran dengan kemunduran Islam, sehingga demensi-demensi tersebut diatas mau tidak mau mewarnai proses Islamisasi di Indonesia. Terutama demensi asketisme. Oleh sebab itu sikap adoptik dan akomodatif Islam terhadap nilai-nilai tradisi setempat sesungguhnya bisa juga disebabkan adanya kesesuaian antara nilai-nilai yang diinginkan Islam dan nilai-nilai tradisi setempat : Di Indonesia terdapat Islam taat (santri) dan abangan.

MODERN

Gerakan pembaharuan Islam muncul setelah Islam sebagai agama maupun peradaban besar mulai berhadapan sengan berbagai budaya lokal, budaya non Islam dan aneka bentuk sistem politik, baik di dunia timur maupun barat. Gerakan pembaharuan Islam mulai tampak jelas sekitar abad XI tatkala dunia Islam tidak lagi menjadi pusat segala macam ilmu pengetahuan, peradaban dan kebudayaan, seperti pernah dialami abad VII sampai X Masehi.

Munculnya gerakan pembaharuan Islam dilatarbelakangi oleh beberapa hal diantarannya pertama, sebagai reaksi krisis keagamaan yang tengah melanda ummat Islam. Krisis keagamaan ditunjukkan semakin tumbuh suburnya sufisme, perbuatan syirik, bidah, khurafat dan berbagai bentuk penyimpangan dalam Islam. Penyimpangan-penyimpangan tersebut dipandang sangat bertentangan dengan kemurnian ajaran Islam yang menjadi salah satu prinsip gerakan pembaharuan.

Kedua, sebagai reaksi atas krisis sosial politik dimana pembaharuan Islam tersebut tengah berlangsung. Rapuhnya kekuatan ummat Islam akibat perpecahan, mempermudah negara-negara Islam dikuasai bangsa asing. Jatuhnya kekhalifahan Bagdad oleh bangsa Mongol; Mesir, India, Pakistan dan Malaysia (Malaka) oleh Inggris; negara-negara Afrika Utara oleh Perancis dan Spanyol; serta Indonesia oleh Belanda, akibat keadaan serupa. Krisis keagamaan dan politik yang diperburuk kedatangan bangsa Mongol abad XII melahirkan seorang mujjadid besar Ibnu Taimiyah. Krisis keagaman dan politik abad XVIII bersamaan datangnya bangsa Eropa, mampu melahirkan tokoh pembaharu seperti Muhammad bin Abdul Wahab di Saudi Arabia (1703-1787 M), Syech Waliullah di India (1703-1703 M), dan sebagainya. Ini berarti bahwa munculnya gerakan pembaharuan sebagai reaksi atas sistem politik yang cenderung memberikan pembenaran pada ketidak-adilan sosial, degenerasi moral, elitisme, nepotisme dan eksploitasi. Hal tersebut sangat bertentangan dengan sifat egaliterisme Islam yang juga menjadi salah satu prinsip gerakan pembaharuan.

Ketiga, sebagai reaksi atas kemunduran dan keterbelakangan ummat Islam akibat krisis ilmu pengetahuan. Terjadinya krisis ilmu pengetahuan disebabkan oleh krisis keagamaan dan krisis politik yang membelenggu kebebasan berfikir sebagian besar ummat Islam. Hal tersebut bertentangan dengan hakekat Islam yang sangat menghargai akal, pikiran dan nalar (reason) manusia. Bagi Islam penggunaan akal, pikiran, dan nalar akan mampu membongkar bingkai pemahaman tradisional yang tidak sesuai dengan tuntutan jaman.

Seperti halnya gerakan pembaharuan Islam yang dilancarkan Taimiyah, gerakan Abdul Wahab (Wahabiyah) di Saudi Arabia, gerakan Waliullah di India, muncul sebagai reaksi atas kondisi dan situasi ummat Islam pada jamannya. Pemikiran dan kritik Taimiyah terhadap sufisme dan berbagai bentuk penyimpangan dalam Islam telah menggugah semangat gerakan-gerakan pembaharuan berikutnya. Ini disebabkan pemikiran-pemikiran Taimiyah selalu diserta seruan agar ummat Islam kembali kepada Al Quran dan Hadits dengan landasan Ijtihad. Penggunaan akal, pikiran dan nalar dengan referensi utama Al Quran dan Hadits akan dapat memecahkan persoalan-persoalan ummat Islam.

Pengaruh pemikiran Taimiyah tampak jelas pada gerakan Wahab abad XVIII di Saudi Arabia yang berusaha mengembalikan kemurnian ajaran Islam dengan jalan memberantas bidah, khurafat, tahayul dan sufisme secara tegas. Seperti pernah dinyatakan Peacock:

The Wahhabis condemned the saint worship and mystic exercises of the Sufis, and the exhorted a return to the pure faith of the strict monotheism.

Berbeda dengan gerakan Wahab, gerakan Waliullah justru mengusahakan asimilasi antara ortodoksi dan sufisme untuk tujuan-tujuan pembaharuan sosial, politik dan ekonomi masyarakat Islam India. Perbedaan-perbedaan tersebut lebih terlihat sebagai strategi perjuangan dalam mengantisipasi kondisi dan situasi sosial politik. Perbedaan strategi perjuangan antara Waliullah dan Wahab semata-mata karena lingkungan spiritual yang tidak mendukung dan situasi politk yang sangat berlainan dengan Saudi Arabia.

Namun demikian dalam rangka pembaharuan pemikiran Islam kedua tokoh pembaharu memiliki kecenderungan radikalisme sama. Kecenderungan tersebut dapat dilihat dari keberanian Waliullah melontarkan kritik terhadap ketidak-adilan sosial, politik dan ekonomi masyarakat Islam India, maupun anjuran agar kaum muslimin mendirikan negara sendiri. Hal demikian dilakukan Wahab tatkala ia menyerukan prinsip-prinsip egaliterisme Islam di Saudi Arabia, hingga untuk ukuran jamannya gerakan yang dilakukan kedua tokoh pembaharu tersebut dapat dipandang sangat radikal.

Tidak kalah pentingnya adalah gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Mesir yang dipelopori Djamal al Din Al-Afghani (1939-1897 M). Latar belakang munculnya gerakan pembaharuan ini hampir tidak berbeda dengan gerakan-gerakan pembaharuan sebelumnya. Salah satu sebab utama adalah kondisi sosial politik ummat Islam memprihatinkan. Kondisi demikian menyebabkan perhatian Al-Afghani sangat besar. Perhatian yang kelewat besar terhadap masalah-masalah sosial politik mengakibatkan gerakanpembaharuan yang dilakukan lebih tampak sebagai gerakan politik. Ini dibuktikan oleh keberanian Al-Afghani menegakkan persatuan ummat Islam dunia dan kegigihannya menentang kekuasan bangsa asing yang senantiasa mencampuri urusan ummat Islam.

Salah satu pandangan dan pemikiran Al-Afghani paling menonjol adalah dalam membangkitkan semangat serta kesadaran sejarah dan politk dunia Islam. Pandangan dan pemikiran demikian setidak-tidaknya telah mengilhami gelombang pembebasan berbagai negara Islam dari penjajahan bangsa barat. Kepedulian terhadap kondisi sosial politik ummat Islam dunia menjadi ciri khas gerakannya. Ciri demikian tidak terdapat pada gerakan-gerakan pembaharuan Islam sebelumnya.

Meski demikian Al-Afghani tetap berusaha membersihkan ummat Islam dari kebodohan, keterbelakangan dan berbagai bentuk penyimpangan dengan menggunakan akal, pikiran dan nalar berlandaskan Al Quran dan Hadits. Ini menunjukkan bahwa semangat Ijtihad yang pernah digelorakan Taimiyah abad XII tidak pernah pudar mewarnai gerakan Al-Afghani maupun gerakan-gerakan pembaharuan sebelumnya.

Gerakan pembaharuan pemikiran Islam yang paling menonjol di abad modern adalah gerakan pembaharuan Muhammadi abduh (1849-1905 M) dan muridnya Rasyid Ridhla (1865-1935 M). Berbeda dengan Al-Afghani yang menganjurkan revolusi politik sebagai salah satu cara, Abduh justru menyusun teori aktualisasi dan realisasi ummat manusia. Upaya demikian ditempuh dengan cara menyadarkan kembali semangat, kemampuan dan kebebasan berfikir rasional manusia di kalangan ummat Islam melalui pendidikan. Menurut Abduh upaya penyadaran kembali semangat, kemampuan dan kebebasan berfikir rasional ummat Islam harus dilandasi kobaran semangat Ijtihad sebagaimana terobosan Taimiyah.

Bagi Abduh secara konkrit upaya pembaharuan keagamaan (Islam) akan berhasil jika didahului dengan memajukan ilmu pengatahuan, pendidikan dan pengajaran. keberhasilan pembaharuan keagamaan dengan sendirinya akan mampu melahirkan kemenangan ummat Islam bukan merebut kekuasan politik dan melakukan kontrol sosial terlebih dahulu seperti pernah dilakukan Al-Afghani. Sedangkan Ridhla mencoba mencari paduan dengan mempertemukan model gerakan Al-Afghani dan Abduh, satu sisi menekankan aspek pendidikan, pengajaran dan pemikiran rasional, sisi lain tetap memperhatikan upaya-upaya politik.

Baik gerakan Abduh maupun Ridhla sesungguhnya tertuju pada upaya penempatan Islam pada posisi yang tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern dan pemikiran rasional. Menurut kedua tokoh pembaharu tersebut ummat Islam semakin terbelakang tatkala prinsip-prinsip Islam tidak lagi diterapkan sepenuhnya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga akal, pikiran dan penalaran tidak sepenuhnya digunakan memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi ummat Islam.

Hampir semua gerakan pembaharuan diatas merupakan koreksi terhadap kondisi dan situasi ummat Islam pada jamannya (terutama yang terkait dengan masalah keagamaan dan sosial politiknya). Prinsip ideologis kembali kepada kemurnian ajaran Islam berdasarkan Al Quran dan Hadits dengan landasan Ijtihad, tidak pernah berubah sejak semula. Jikalau terjadi perubahan seringkali hanya pada strategi perjuangan masing-masing tokoh pembaharu. Perubahan strategi perjuangan tersebut merupakan cerminan mereka dalam mereaksi kondisi dan situasi politik pada suatu saat. Hal demikian menyebabkan model dan strategi perjuangan gerakan pembaharuan Islam sangat bervariasi. Variasi model dan strategi perjuangan yang dilakukan bersifat kondisional, dalam arti berkembang dan berubah sejalan dengan dinamika kehidupan politik dimana gerakan pembaharuan tersebut dilakukan.

ISLAM MODERN DI INDONESIA

Munculnya gerakan pembaharuan Islam di Indonesia bermula dari perkembangan-perkembangan Islam yang terjadi diluar negeri, seperti di Turki, Timur Tengah, India dan sebagainya. Pemberontakan Turki Muda terhadap kekaisaran Ottoman disusul jatuhnya Sultan dan Khalifah satu dasa warsa kemudian serta kekalahannya dalam Perang Dunia I menyebabkan pusat peradaban Islam di Eropa semakin kehilangan pamor. Kemunduran peradaban Islam menyebabkan perluasan dan konsolidasi kekuasaan bangsa barat tidak terbendung, terutama Perancis dan Inggris ke wilayah-wilayah dan pusat-pusat peradaban Islam di Timur Tengah seperti Mesir, Palestina, Syria serta Lebanon. Semakin memudarnya peradaban Islam di Timur Tengah pararel dengan munculnya gerakan-gerakan pembaharuan pemikiran Islam pada pergantian abad ini di Timur Tengah dan India. Ini ditunjukkan dengan munculnya gerakan Wahab di Saudi Arabia maupun gerakan Waliullah di India.

Kemenangan gerakan Wahab di Makkah Saudi Arabia menandakan adanya perubahan penting lainnya dipusat peradaban Islam itu sendiri maupun pusat-pusat Islam di India. Dibukanya terusan Suez memungkinkan peningkatan hubungan dan semakin dekatnya komunikasi antara Indonesia dan Timur Tengah, serta pusat-pusat Islam di India. Hal tersebut tercermin dari pengaruh pemikiran tokoh-tokoh pembaharu seperti Al-Afghani, Abduh, Rasyid Ridhla, Waliullah dan lain-lainnya terhadap tokoh-tokoh pembaharu di Indonesia. Pengaruh pembaharuan pemikiran Islam terebut datang dari Makkah dan Universitas Al-Azhar Kairo serta pusat-pusat Islam di India seperti Lahore, Qodian, dan Perguruan Tinggi Islam di Aligarh.

Perkembangan-perkembangan diatas setidak-tidaknya telah mempengaruhi munculnya gerakan pembaharuan Islam di Indonesia. Namun yang lebih penting bahwa gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia pertama-tama muncul ke permukaan justru sebagai reaksi dari kemandegan kondisi keagaman ummat Islam. Kemandegan bidang keagamaan tercermin dalam bentuk kemunduran, keterbelakangan dan tidak digunakannya akal pikiran serta penalaran dalam memahami ajaran Islam. Kondisi demikian diperburuk oleh bercampurnya ajaran Islam dengan sufisme, mistikisme dan tradisi masyarakat setempat.

Munculnya gerakan pembaharuan Islam di Indonesia sesungguhnya tidak luar biasa, sebab sudah menjadi postulasi sejarah bahwa sebagian besar ummat Islam Indonesia adalah sinkretis. Salah satu sebabnya Islam datang di Indonesia bukan dari Timur Tengah melainkan dari India dan tidak disebarkan para dai profesional melainkan oleh para pedagang amatir. Sebagai dai amatir para pedagang memperlihatkan sikap toleran terhadap nilai-nilai tradisi masyarakat setempat. Akibatnya Islam di Indonesia adalah Islam yang telah melalui pengalaman keagamaan di India, dipengaruhi oleh nilai-nilai Hidu-Budha, sufisme, mistikisme dan nilai-nilai tradisi masyarakat setempat terutama Jawa.

Proses pengenalan Islam (Islamisasi) di Indonesia yang lebih toleran dan adaptif terhadap nilai-nilai Hindhu-Budha dan tradisi masyarakat setempat menjadi salah satu sebab ketidak-murnian ajaran Islam. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Abduh :

Islam has in several fields been infused with elements of tradition, supersition, disputes and so that it is no longer pure as taught by Mohammad the last prophet sent by God. We have diverger from the original purity.

Di sebagian besar pulau Jawa secara empirik Islam telah dipaksa menyesuaikan diri dengan nilai-nilai Hindhu-Budha dan tradisi masyarakat setempat. Hanya di daerah-daerah yang sedikit sekali tersentuh nilai-nilai budaya Hindhu-Budha di abad-abad lampau (seperti Aceh, Minangkabau di Sumatra dan Banten di Jawa Barat) Islam memperlihatkan diri lebih murni. Kenyataan ini mengantarkan Benda pada kesimpulan bahwa Islam di Indonesia terutama di Jawa untuk jangka waktu yang panjang tetap lebih mandeg dan kurang murni dibanding daerah-daerah lain di Indonesia. Untuk jangka waktu yang lama pemenang sebenarnya adalah agama Jawa dan bukanya Islam; adat istiadat Jawa, bukanya hukum Quran; feodalisme Jawa, bukannya peradaban Islam yang bersifat urban.

Perkembangan Islam di Indonesia dari waktu ke waktu senantiasa menunjukkan upaya pembaharuan dan pemurnian terhadap ajaran Islam. Hasil penelitian Deliar Noer menunjukkan bahwa di Sumatra barat saja terdapat tidak kurang dari 11 perkumpulan yang dapat dikategorikan sebagai organisasi pembaharuan Islam, yang bergerak di bidang pendidikan. Tercatat tokoh-tokoh Syeikh Akhmad Khatib, Syeikh Thaher Djalaluddin, Syeikh Mohammad Djamil Djambek, Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), Syeikh Ibrahim Musa dan Zainuddin Labai Al-Junusi.

Hampir bersamaan waktunya dengan berlangsungnya gerakan pembaharuan Islam di Sumatra Barat, muncul beberapa organisasi serupa di Jawa. Organisasi tersebut adalah Djamiat Khair berdiri tahun 1905 beranggotakan mayoritas orang-orang Arab keturunan Sayid. Pada perkembangannya organisasi ini pecah dan lahirlah Al Irsyad. Gerakan pembaharuan berikutnya adalah Persyarikatan Ulama, didirikan tahun 1911 di Majalengka dan Muhammadiyah tahun 1912 di Yogyakarta. Tercatat tokoh-tokoh berpengaruh seperti Syeikh Akhmad Soorkati, Haji Abdul Halim dan KHA Dahlan.

MUHAMMADIYAH SEBAGAI SALAH SATU ISLAM MODERN DI INDONESIA

Berkembangnya gerakan-gerakan pembaharuan Islam di Indonesia terutama Muhammadiyah tidak terlepas dari perkembangan gagasan modernisme Islam yang berlangsung di Timur Tengah maupun pusat-pusat Islam India. Akan tetapi cukup sulit mengetahui secara pasti melalui saluran mana KHA Dahlan menemukan gagasan modernisme Islam. Hasil penelitian Deliar Noer menunjukkan bahwa Dahlan telah mengenal gagasan-gagasan tersebut setelah menunaikan ibadah haji pertama tahun 1890. Ini berarti bahwa pada pergeseran abad XIX dan XX sebelum secara resmi Muhammadiyah didirikan, Dahlan telah berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Taimiyah, Al-Ghazali, Wahab, Al-Afghani, Abduh, Ridhla dan lain-lainnya.

Ide pembaharuan amaliah Islam yang tumbuh dalam diri Dahlan mungkin sekali akibat pengaruh pemikiran-pemikiran diatas, terutama gagasan dan tafsiran Abduh tentang reformasi dan pembaharuan Islam. Pengaruh pemikiran Abduh menjadi lebih jelas tatkala Dahlan berusaha menginterpretasi dan Mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Ketajaman Abduh yang terkesan pada diri Dahlan adalah penafsiran Al Quran Surat Ali Imran ayat 104:

Wal takum-minkum um-matuy-yaduuna ilal khairi waya muruuna bil maruufi wa yanhauna anil munkar, wa ulaa-ika humul muflihuun. (Hendaklah ada diantara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung).

Bagi Abduh untuk membentuk ummah sebagai kelompok yang dibebani perintah bil marufi wa anil munkar memerlukan khuffadlul jaamiah wa siyyajul wahidah (pemeliharaan jamiah dan kesatuan pendirian). Konsep demikian disebut sebagai sesuatu golongan yang memiliki kesamaan kondisi, maksud dan tujuan diperlukan kerja sama, pembagian kerja yang jelas dan seperangkat tata aturan sebagai pedoman serta seorang pimpinan.

Pengaruh konsep dan pandangan demikian ditunjukkan oleh wawasan pembaharuan pemikiran dahlan dan kristalisasi pandangan agama yang pesat sesudah menunaikan ibadah haji kedua tahun 1905. keyakinan melaksanakan ide pembaharuan amaliah Islam inilah yang mendorong Dahlan mendirikan organisasi sebagai alat, yang diintrodusir dari Al Quran Surat Ali Imron ayat 104.

Sepintas tampak bahwa lahirnya Muhammadiyah sebagai perpanjangan ide Abduh. Anggapan demikian mungkin sekali didasarkan atas hubungan dua kutub pembaharuan Islam antara ide Abduh dan Dahlan yang saling memiliki kesamaan ideologis. Namun secara empirik sesungguhnya latar belakang timbulnya gerakan pembaharuan Islam masing-masing sangat berbeda. Jika Abduh berusaha mengembangkan etika transformatif, maka Dahlan lebih banyak mengembangkan nilai-nilai amaliah Islam. Munculnya etika transformatif di Mesir akibat usaha Abduh dan pelopor-pelopor pembaharuan lainnya dalam melakukan modernisme Islam. Usaha modernisme Islam didorong oleh motif eksternal, yakni usaha menterjemahkan motif-motif Eropa secara intelektual untuk reaktualisasi semangat ke-Islam-an dalam menanggapi ancaman dan invasi barat. Sedangkan Dahlan lebih melihat persoalan ethos Quran terhadap psikologis manusia dalam kebangkitan amal shaleh kemasyarakatan.

Terlepas apakah Muhammadiyah sebagai perpanjangan ide Abduh dan pelopor-pelopor pembaharuan Islam lainnya atau bukan, yang lebih penting bahwa: Pertama, Muhammadiyah lahir sebagai koreksi atas kondisi dan situasi masyarakatnya seperti diintrodusir Hamka maupun Solichin Salam. Peryataan tersebut didukung kesaksian Agoes Salim, bahwa berdirinya Muhammadiyah bukan semata-mata disebabkan pengaruh reformasi Mesir, melainkan lebih didorong upaya pengembangan aktivitas sebagai reaksi Zending Kristen dan Missi Katolik. namun bagi Pijper lahirnya Muhammadiyah lebih tampak sebagai reaksi terhadap politik pemerintah Hinda Belanda yang berusaha me-Nasrani-kan orang Indonesia. Keadaan demikian diperburuk oleh krisis keagamaan terutama aqidah dan syariah yang ditandai oleh semakin tumbuh suburnya perbuatan syirik, bidah dan khurafat. Islam pada waktu itu tidak lagi semurni yang pernah diajarkan Nabi Muhammad, akibat telah bercampur dengan nilai-nilai tradisi masyarakat setempat.

Kedua, akibat penjajahan pemerintah kolonial Belanda yang cukup lama. Sikap represetif penjajah dalam berbagai bidang kehidupan menciptakan krisis politik, ekonomi, sosial dan budaya ummat Islam Indonesia. Sebagaimana konstatasi Peacock yang menyatakan bahwa :

. the birth of Muhammadiyah was a response to the challenge thrown down to the Indonesian Muslim in particular. . Its birth was to free the Muslim community and Indonesian people from the snares of colonialism, conservatism, dogmatism, formalism, traditionalism and isolationism.

Secara tidak langsung Peacock membenarkan bahwa lahirnya Muhammadiyah merupakan reaksi bangsa Indonesia terutama ummat Islam, terhadap sikap pemerintah kolonial yang sangat represif. Tidak dapat dipungkiri bahwa lahirnya Muhammadiyah juga merupakan upaya pembebasan bangsa Indonesia dari cengkeraman kolonialisme, konservatisme, dogmatisme, formalisme, tradisionalisme dan isolasionisme.

Ketiga, akibat krisis ilmu pengetahuan. Krisis ilmu pengetahuan disebabkan oleh krisis keagamaan, politik, ekonomi, sosial dan budaya yang membelenggu kebebasan berfikir ummat Islam. Hal demikian mengakibatkan ummat Islam hidup dalam suasana kebodohan, keterbelakangan dan kebekuan alam pikiran.

Kenyataan diatas menjadi alasan Dahlan yang berfikiran modern melancarkan gerakan pembaharuan Islam dengan membersihkan ajaran Islam dari unsur-unsur menyimpang. Menurut pengamatan Dahlan unsur-unsur menyimpang yang tengah melanda ummat Islam Indonesia adalah perbuatan syirik, bidah dan khurafat. Dahlan berpendapat ajaran Islam harus dikembalikan pada keasliannya sesuai tuntunan Al-Quran dan Hadits. Lebih dari itu ummat Islam harus dibebaskan dari belenggu penjajahan yang sangat menyengsarakan serta kegiatan Zending Kristen dan Missi Khatolik yang merongrong kehidupan keagamaan ummat Islam. Kesemuanya akan terwujud jika didahului dengan memberantas kebodohan, keterbelakangan dan kebekuan alam pikiran ummat Islam melalui pendidikan serta pengajaran.

Dari strategi perjuangan pembaharuan pemikiran Islam yang dilakukan Dahlan tampak bahwa semangat Ijtihad yang pernah digelorakan Taimiyah maupun pembaharu-pembaharu sesudahnya tetap dipegang teguh. Ini dibuktikan oleh ide-ide Dahlan yang tetap mengutamakan akal, pikiran dan nalar dalam menelaah persoalan-persoalan ummat Islam. Hanya dengan jalan itulah ummat Islam dapat terbebas dari kebodohan dan keterbelakangan yang membelenggunya. Hal ini menjadi dorongan Dahlan untuk mendirikan persyarikatan (organisasi) Muhammadiyah pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 Nopember 1912 M. lebih dari itu sesungguhnya adalah sebagai upaya memenuhi dorongan panggilan wajib seorang muslim sebagaimana Al Quran Surat Ali Imran ayat 104. Sejak saat itu, bahkan jauh sebelumnya Dahlan terpanggil mengamanatkan dakwah Islamiyah amar maruf nahi munkar kepada seluruh ummat Islam, karena meras nasib ummat Islam menjadi kewajiban dan tanggung jawabnya.KESIMPULAN:

Ciri kuat yang membedakan dengan kelompok-tradisional adalah adanya kepercayaan bahwa pintu ijtihad senantiasa terbuka. Oleh karena itu praktek taqlid harus dihilangkan. Ajaran-ajaran Islam harus diterjemahkan secara rasional sehingga mampu membangun dan bersaing dengan peradaban modern. Berusaha menghadirkan Islam dalam bentuk yang sesuai dengan perkembangan jaman. Organisasi pendidikan Islam harus dikelola secara modern (profesional) sehingga dapat memenuhi kebutuhan jaman. Dengan demikian umat Islam akan dapat keluar dari keterbelakangan, kebodohan, kejumudan dan kolonialisme barat. Mereka mensosialisasikan pemikirannya tidak hanya dengan jalan lisan, melainkan juga melalui media cetak, sesuatu yang kurang mendapat perhatian di kalangan tradisional. Al Akhbar 1913, Al Islam 1916, Al Biyan 1916, Pedoman Masyarakat, Panji Islam 1930, dsb.

Jadi perbedaan antara tradisional dan modernisme Islam lebih mengangkat persoalan-persoalan metodologis dalam mendekati ajaran Islam. Sepanjang menyangkut perbedaan pemahaman doktrin, hal itu hanya melibatkan persoalan-persoalan furuiyyah artinya perbedaan tidak sampai menjangkau wilayah prinsipial.

DINAMIKA PEMIKIRAN ISLAM

Sepeninggal Nabi Muhammad, tidak lagi ada pihak yang berperan sebagai referensi keagamaan dengan kadar kebenaran yang mutlak sifatnya (seperti pada jaman Nabi). Dengan dasar-dasar ijtihad yang telah diberikan oleh nabi maka hal-hal yang belum jelas hukum-hukumnya dalam Quran dan Hadist, diusahakan untuk dapat dipahami melalui mekanisme kerja ijtihad dengan ketentuan dan persyaratan tertentu. Kerja ijtihad ini mengawali tumbuhnya dinamika pemikiran Islam (Teologi, Tasawuf, Fiqh, dsb).

Pada awalnya adalah perkembangan pemikiran (a) Teologi, disebabkan adanya konflik politik antara Ali dan Muawiyah pada akhirnya melahirkan pemikiran keagamaan tertentu, misal: Aliran Khawarij, Aliran Mutazilah, Asyariyah, Murjiah, Maturidiyah. Bidang pemikiran keagamaan Islam yang muncul di pertengahan abad kedua hijriah, lebih menonjolkan dimensi yurisprodensi Islam atau (b) Hukum Fiqh. Berkat kegiatan intelektual para sarjana hukum Islam terkemuka, lahirlah empat madzab/aliran Fiqh yang sama-sama sah, sbb.:

(1) Hanafi (Abu Hasan Hanafi, wafat 150 H / 767 M),

(2) Maliki (Anas Ibu Malik, wafat 179 H / 795 M),

(3) SyafiI (Muhammad ibn Idris Al SyafiI, wafat 204 H / 819 M,

(4) Hambali (Ahmad ibn Hambal, wafat 241 H / 855 M).

Pengakuan terhadap mazab-mazab tersebut sebagai sama-sama benar mengukuhkan kembali dasar Ahlu Sunnah Wal Jamaah yang mengenal relatifisme internal Islam, dan karena itu menyiapkan sikap-sikap lebih toleran dibandingkan dengan kelompok-kelompok Islam lainnya, terutama kaum syiah, khawarij dan bahkan kelompok mutazilah sekalipun. Diantara keempat madzab, madzab safii (syafiiyah) lah yang banyak mempengaruhi pola-pola kehidupan keagamaan umat Islam Indonesia.

Di Indonesia (pada waktu itu) sebagian besar masyarakat Islam adalah masyarakat petani yang tinggal di pedesaan, tidak memungkinkan Islam untuk berkembangan secara lebih rasional dan modern karenanya faham syafiiyah yang berkembang di Indonesia lebih menekankan aspek loyalitas terhadap pemuka agama (ulama, kyai dan pemuka agama lainnya) dari pada kepada substansi ajaran Islam yang bersifat rasionalistis. Sejalan dengan itu pula yang berkembang adalah sikap taqlid, hingga pada taraf-taraf tertentu menimbulkan sikap taat dan patuh kepada para ulama tanpa reserve. Sementara ajaran yang disampaikan oleh para ulama lebih banyak terpusatkan pada bidang-bidang Ritual dan disesuaikan dengan tradisi masyarakat Indonesia pada waktu itu. Hal inilah yang melatarbelakangi timbulnya kelompok tradisionalisme Islam Indonesia.

Secara garis besar kalangan tradisional mendasarkan pandangan (pemahaman) keagamaannya pada Pertama, dalam bidang hukum-hukum Islam mereka menganut salah satu dari keempat madzab (syafiI), sedang dalam prakteknya kelompok ini merupakan panganut kuat madzab syafiiah banyak dianut oleh orang-orang di Jazirah Arab, Mesir, India, Indonesia, dll. Kedua, dalam bidang Tauhid mereka menganut golongan Asyariyah, dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi pendiri golongan Maturidiyah yang menempatkan pada posisi tengah dalam menggunakan akal pikiran rasional ketika harus menterjemahkan ajaran-ajaran Islam. Karena itu mereka berbeda tujuan dengan golongan mutazilah yang menempatkan akal pikiran rasional pada posisi tertinggi. Dan berbeda pula dengan golongan murjiah, yang masa bodoh, ataupun khawarij dan syiah. Ketiga, dalam bidang tasawuf, mereka menganut dasar-dasar ajaran-ajaran Imam Abu Qosim Al Junaid Al Bagdadi.

PERDEBATAN TENTANG MANUSIA

Secara Idiologis, mempengaruhi seluruh tingkah laku keagamaan, politik dan kemasyarakatan mereka, adalah keterikatnya pada paham Ahli Sunnah Wal Jamaah yang dipahami secara khusus. Keterikatan yang semakin ketat pada gilirannya berfungsi sebagai ideologis tandingan terhadap perkembangan pemikiran golongan modernis. Ini juga berpengaruh terhadap perspektif mereka dalam melihat kehidupan politik kenegaraan. Kewajiban hidup bermasyarakat dan bernegara merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Keberadaan suatu negara mengharuskan adanya ketaatan kepada pemerintah sebagai sebuah mekanisme pengaturan hidup. Pandangan seperti ini yang kemudian melatarbelakangi kelompok tradisional Indonesia yang tergolong dalam wadah NU, untuk menolak gagasan berdirinya negara Islam (Kartosuwiryo) halaman 54 62.

POLA UMUM PEMIKIRAN (SOSIAL POLITIK MASYARAKAT) ISLAM PRA PASCA KEMERDEKAAN (MASA SOEKARNO)

Pola umum pemikiran (politik) Islam dapat dicermati dari posisi/kebudayaan Islam pada akhir pemerintahan Jepang di Indonesia. Antara lain:

(1) Tergambar jelas dari konflik antara golongan nasionalis Islami dan nasionalis sekuler dalam proses perumusan rancangan dasar negara dan rancangan undang-undang dasar pada sidang PPKI tanggal 29 Mei - 1 Juni 1945 dan sebelumnya (BPUPKI). Atau jika mengikuti Cliffort Gerrtz konflik antara santri, priyayi dan abangan.

(2) Implementasi dari pemikiran tersebut menunjukkan bahwa pada waktu itu belum menampakkan sosok politik yang jelas. Serikat Islam misalnya, meskipun dinilai sebagai organisasi politik Islam modern pertama di Indonesia pada dasarnya tidak concern terhadap Islam sebagai ideologi negara. Melainkan lebih mirip sebagai organisasi nasionalis Islam yang membangkitkan kesadaran anggotannya. Misalnya Tjokro Aminoto. Demikian juga NU dan Muhammadiyah lebih cenderung berfungsi sebagai organisasi sosial keagamaan yang seringkali terjebak dengan konflik furuiyyah.

Yang menarik adalah adanya kesediaan mereka baik kalangan tradisional maupun modern, untuk bersatu. Tercermin dalam pembentukan Masyumi di Yogyakarta tanggal 7 Nopember 1945 terbukti pengurusnya terdiri dari golongan tradisional dan modern. Issue penting pada waktu itu adalah adanya asumsi tentang persatuan dan perpecahan umat Islam dalam hubungannya dengan persoalan politik dan pemahaman keagamaan itu sendiri. Misal issue tentang perjuangan untuk mendirikan negara Islam, terbukti Islam bersatu untuk mewujudkan ide tersebut. Sebaliknya perkembangan partai politik Islam Masyumi yang berjalan dengan sistem alokasi peran dan kekuasaan yang tidak memuaskan sementara fihak, memicu perpecahan unsur-unsur didalamnya (PSII, NU, Muhammadiyah). PSII keluar dari Masyumi tahun 1947, NU tahun 1952 dan Muhammadiyah keluar tahun 1956.

PERUBAHAN POLA PEMIKIRAN (POLITIK) ISLAM MASA ORDE BARU

Perubahan dari orde lama ke orde baru merupakan persoalan penting. Salah satu hal yang relevan untuk dibicarakan adalah adanya perubahan pemikiran ekonomi dan sosial politik masyarakat. Hal tersebut mempengaruhi perkembangan pola pemikiran Islam.

Lahirnya orde baru membawa dampak psikologis (kaum menengah kota, umumnya kaum terdidik secara barat, umat Islam dan mahasiswa), yakin benar akan rasa optimisme yang meluap-luap tentang kebebasan dan demokrasi. Rasa optimisme ini melahirkan pemikiran-pemikiran tandingan terhadap pemikiran sebelumnya. Jika pada masa orde lama pemikiran sosial politik para elite lebih bersifat idiologis dan politis, (sementara persoalan-persoalan praktis tetapi secara langsung bisa mengatasi masalah-masalah kebutuhan dasar rakyat banyak) tidak di prioritaskan. Justru yang menjadi prioritas adalah bidang politik. Contoh: Politik sebagai panglima. Sebaliknya pada masa awal orde baru muncul ide pragmatisme, de-idiologisasi, dan deparpolisasi. Ide-ide positif yang lahir dari para pendukung orde baru adalah program oriented, pembangunan oriented. Ini semua dimaksudkan sebagai alat untuk membenarkan kehadiran situasi baru.

Dengan demikian telah terjadi perubahan-perubahan radikal pada masyarakat Indonesia, terutama berkembang di kalangan menengah kota, baik karena hak-hak demokrasinya tertekan di masa orde lama maupun karena kesadaran politiknya yang relatif lebih tinggi daripada masyarakat luas. Salah satu ide pokok yang mempengaruhi alam pemikiran kelompok muda kota kalangan Islam adalah ide Pembangunan dan Modernisme. PEMBANGUNAN suatu alternatif sistem kehidupan yang secara keseluruhan jauh lebih sempurna dibanding dengan apa yang dialami oleh masyarakat sebelumnya di masa orde lama.

Yang menarik dari perubahan orientasi pembicaraan ini adalah bahwa dengan Pembangunan proses westernisasi alam pemikiran berlangsung lebih deras. Erat hubungannya dengan gagasan pembangunan nasional adalah munculnya isu modernisme yang menjadi tema sentral. Sehubungan dengan isu modernisme, bagi umat Islam timbul persoalan: bagaimana melihat modernisme dari kacamata Islam/ajaran Islam. Apakah modernisme beserta kebijaksanaan pembangunan nasional yang berorientasi ke program dan bersifat lebih pragmatis untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi, tidak menimbulkan implikasi-implikasi negatif pada diri umat Islam? Bagaimana jika kemudian modernisme menimbulkan proses sekularisasi umat dan pemahaman keagamaan mereka?

Disisi lain, orde baru melahirkan harapan baru bagi pemimpin-pemimpin Islam (memimpin politik) untuk tampil di panggung politik. Contoh: kejayaan Masyumi. Akan tetapi kenyataannya pemerintah justru tidak memberi peluang, munculnya kembali kekuatan politik Islam. Bekas pemimpin Masyumi justru tidak diperbolehkan memimpin partai Islam baru (Parmusi), maka lahirnya reaksi dua persoalan pokok: Pertama, reaksi terhadap kebijakan pemerintah yang kurang memberi peluang bagi berkembangnya politik Islam. Kedua, reaksi terhadap munculnya gagasan modernisasi yang secara langsung berhubungan dengan dasar-dasar doktrinal Islam. Dilihat dari dimensi politik (kekuasaan) maupun pembangunan (modernisasi), umat Islam berada pada posisi marginal.

Ada 3 bahan pemikiran yang mendorong intelektual Islam (pasca orde baru) memberikan perspektif pemikiran baru, terutama yang menyangkut persoalan umat Islam dan politik: Pertama, fakta menunjukkan, situasi yang tidak menyenangkan itu telah menimbulkan konflik keagamaan dan politik yang menyudutkan posisi umat Islam. Umat Islam dianggap tidak mampu bersaing dengan kelompok lain dalam proses pembangunan. Kedua, sebagai kelompok intelektual mereka merasa punya beban moral untuk memberi penjelasan kepada umat sehingga makna dan implikasi modernisasi dalam rangka kepentingan Islam dan kepentingan bangsa. Ketiga, para intelektual Islam berpendapat bahwa umat Islam Indonesia memiliki hak yang sama dengan siapapun untuk ikut mengembangkan pikiran-pikirannya dalam proses pembangunan nasional.

UMAT ISLAM VS ISSUE MODERNISASI

Deliar Noer: Modernisme merupakan sesuatu yang harus diwujudkan oleh setiap muslim, dan tidak bertentangan dengan Islam pendapat sama disampaikan oleh Omar Hashem, Amin Rais, Nurcholis Madjid. Bagi seorang muslim Modernisme merupakan suatu keharusan mutlak.

Para intelektual Islam justru cenderung mempersiapkan lebih dahulu arti modernisasi dan implikasinya bagi kehidupan keagamaan. Oleh sebab itu persoalan modernisasi kemudian dirujukkan ke prinsip-prinsip ajaran Islam.

GERAKAN PEMIKIRAN BARU

Orientasi perkembangan kebijaksanaan politik pemerintahan orde baru. Sejak sepuluh tahun berkuasa, telah menempatkan Islam pada posisi kurang menguntungkan. Ada kesan, Islam itu tradisional, anti modernisasi, anti pembangunan dan bahkan anti Pancasila, menyebabkan umat Islam terkena marginalisasi dalam modernisasi dan pembangunan nasional. Kenyataan ini membawa konsekuensi psikologis dan bahkan dianggap sebagai beban bagi sebagian pemimpin Islam, terutama kalangan intelektual. Hal ini yang mendorong mereka melakukan suatu gerak perubahan yang diharapkan dapat mengubah citra negatif Islam dan umatnya menjadi positif.

Tahun 70-an merupakan perkembangan radikal dalam pemikiran politik keagamaan umat Islam pada jaman orde baru. Contoh: munculnya gerakan pemikiran baru Islam. Pemikiran baru ini mencoba melakukan terobosan-terobosan kultural maupun keagamaan untuk mengembalikan daya gerak psikologis umat Islam. Inti pembicaraan berkisar seputar posisi umat Islam, Tuhan, manusia dan berbagai persoalan kemasyarakatan (terutama yang berhubungan dengan persoalan umat Islam).

Gagasan ini dimulai dari Nurcholis Madjid seorang intelektual muda muslim yang berpikiran realistis, akomodasionis, sebagaimana Minteredja. Pemikiran-pemikirannya lebih bersifat mengelaborasi pikiran-pikiran Islam dalam hubungannya dengan masalah-masalah modernisasai, sosial-politik umat Islam Indonesia konteporer.

Pemikiran Nurcholis bersifat empirik berbeda dengan tokoh-tokoh sebelumnya seperti Natsir, HM Rosjidi, Deliar Noer, Zakiyah Darodjad, Maftuchah Jusuf. Nurcholis mengawali konstatasinya dengan peryataan bahwa umat Islam telah jatuh kembali dalam situasi stagnasi dan telah kehilangan daya gerak psikologis. Oleh sebab itu umat Islam dihadapkan pada dua pilihan (1) Keharusan pembaruan, atau (2) mempertahankan sikap tradisional dan konservatisme Islam (hal 124). Langkah/pilihan pertama membawa konsekuensi dapat menimbulkan kencenderungan perpecahan umat, sementara pikiran kedua berarti memperpenjang situasi kejumudan intelektual Islam.

Gerakan pemikian baru Nurcholis melibatkan persoalan-persoalan konteporer, oleh sebab itu sasaranya adalah kalangan intelektual atau kelompok terdidik, generasi muda terpelajar yang tergabung dalam aspirasi HMI, PII, Persami, dsb. Karena kalangan ini merupakan kelompok yang mempunyai potensi besar untuk menjabarkan pemikiran-pemikiran baru kedalam realitas kehidupan sehari-hari.

Langkah konkrit: perlu dirumuskan sikap dasar itu dalam diktum-diktum yang lebih operasional. Dimulai dari penumbuhan sikap liberal dalam menafsirkan ajaran-ajaran Islam, dengan kata lain liberalisasi pandangan terhadap ajaran-ajaran Islam. Sehingga konsekuensi logis dari sebuah prinsip meninggalkan bentuk-bentuk pikiran tradisionalisme dan konservatisme Islam yang telah menimbulkan kejumudan berpikir. Proses liberalisasi: mengangkat proses sekularisasi kebebasan berpikir, gagasan untuk maju, sikap keterbukaan, dsb.

PETA BARU PEMIKIRAN POLITIK ISLAM INDONESIA: (PUDARNYA POLA PEMIKIRAN TRADISIONAL VS MODERN)

1) Neo Modernisme: asumsi dasar bahwa Islam harus dilibatkan dalam pergulatan-pergulatan modernisasi jika mungkin menjadi leading-ism ajaran-ajaran yang memimpin di masa depan. Tokoh: Nurcholis Madjid; Abdurrachman Wahid

1) Sosialisme Demokrasi: pada dasarnya misi Islam yang terutama adalah misi ke-Islaman. Karena itu kehadiran Islam harus memberi makna pada manusia. Tokoh: Adi Sasono; Dawam rahardjo; Kuntowidjojo (Intelektual dan Akademis)

2) Internasionalisme atau Universalisme Islam: membingungkan, tetapi pada dasarnya Islam itu Universal; Tokoh : Jalaluddin Rahmad; M. Amien Rais; AM Saifuddin, Endang Saefudin Anshari.

3) Modernisme: menekankan aspek rasional dan pembaruan pemikiran Islam sesuai dengan kondidi modern. Tokoh: Ahmad Syafii Maarif; Djohan Efendi.

KOMUNISME

Paham Komunisme didasarkan atas teori: Historis Materialisme, Materialisme Dialektika, dan Nilai Lebih.

MATERIALISME

Ilustrasi: Bedakan antara yang nyata dan khayal. Menurut Marx: zat, benda atau materi adalah yang paling berharga dibanding ide, gagasan ataupun khayalan. Diantara zat, benda atau materi yang paling berharga di dunia adalah manusia, sedang yang khayal sama sekali tidak ada harganya. Yang khayal hanya mungkin ada jika ada zatnya/benda/ materinya. Pikiran, ide, gagasan adalah hasil daripada yang zat dan refleksi daripada yang zat, benda dan materi. Jadi buah fikiran, gagasan ataupun ide yang khayal itu adalah hasil dari benda-benda sehingga tidak ada buah fikiran yang berdiri sendiri tanpa ada zat, benda atau materinya. Begitu pula Tuhan, jiwa manusia menurut Marx, itupun tidak ada karena tidak ada benda zatnya. Tuhan adalah hasil rekaan manusia. (Catatan: bertolak belakang dengan paham religius).

Jadi dapat disimpulkan bahwa materi adalah penting/utama. Kesadaran manusia ditentukan oleh keadaan material. Paham historis-materialisme menyatakan bahwa dalam menentukan jalan-hukum-perkembangan sejarah, maka materi adalah yang utama daripada cita-cita atau idea. (Materi dimaksud adalah keadaan materiil manusia, atau keadaan sosial ekonominya, atau mans social being. Sedangkan cita-citanya, bentuk kesadarannya, mens thinking and mens consciousness). Menurut MARX, bukanlah kesadaran manusia yang menentukan keadaannya, melainkan sebaliknya, keadaan dalam masyarakat yang menentukan kesadarannya.

HISTORIS MATERIALISME

Masyarakat diandaikan dewa dalam arti ditempatkan pada posisi istimewa bahkan sebagai tujuan, namun toh tetap harus tunduk dan taat azas pada hukum-hukum zat yakni gerak dan perubahan. Masyarakat dalam sejarahnya senantiasa bergerak dan berubah. Gerak dan perubahan tersebut dapat terjadi atas dorongan proses dialektika. Kegiatan dialektika itu adalah produksi. Perkembangan produksi telah menjadikan masyarakat berkembang secara dinamik melalui tahapan sebagai berikut:

Mula-mula manusia hidup dalam suatu kelompok, golongan atau klas. Perbedaan tidak ada, kekayaan bumi ini menjadi milik bersama, atau semua menjadi milik semua. Oleh karena kesadaran hidup bersama belum tumbuh sempurna maka sesudah beberapa waktu, suatu kelompok tertentu mulai berusaha untuk berkuasa (these). --- Ilustrasi: Teori Thomas Hobbes ---Kelompok ini mendapat perlawanan dari kelompok lain yang juga ingin berkuasa atau bisa juga yang tidak ingin dikuasai kelompok lain. Akibatnya, berkobarlah perjuangan klas yang berlatar belakang milik pribadi (anti these). Karena perjuangan itu, maka kesadaran hidup bersama-pun mulai tumbuh. Akhirnya pertentangan-pertentangan klas lenyap dan manusia seluruhnya akan merupakan satu klas lagi, kerjasama dijadikan pedoman dan harta kekayaan bumi menjadi milik bersama lagi (synthese).

Menurut Marx masyarakat harus bergerak dan berubah kearah tujuan terakhir yakni hidup bersama tanpa perbedaan klas. Tujuan terakhir itu disebut sebagai masyarakat komunis, masyarakat yang sempurna sebagai masyarakat surga dunia. Masyarakat komunis seperti itu harus dipercepat pencapaiaannya dengan jalan membasmi pertentangan klas. Uraian sejarah seperti itulah oleh Marx disebut Materialisme Historik.

Sepanjang sejarah terdapat tiga tahapan masyarakat, sbb.:

(a)Masyarakat Perbudakan: Cara produksi masih sangat sederhana. Alat produksi sesunguhnya adalah manusia sendiri. Perbedaan antara manusia adalah seperti tuan-hamba. Hubungan produksi pada jaman ini adalah seperti tuan dengan budak.

(b)Masyarakat Feodal: Cara produksi sudah agak maju, menggunakan alat-alat tetapi masih dikendalikan oleh tangan manusia. Alat-alat produksi disini adalah tanah. Hubungan antar manusia adalah seperti tuan tanah terhadap petani terikat cara produksi.

Masyarakat Kapitalis: Cara produksi sudah lebih maju, menggunakan mesin serba otomatis. Alat produksi adalah tenaga kerja dan kapital. Hubungan antar manusia adalah seperti borjuis/majikan terhadap kaum pekerja/proletar. Jadi dalam masyarakat kapitalis terdapat tiga klas yakni (a) klas proletar yang hanya punya tenaga saja, dan hidupnya tergantung dari upah (b) klas borjuis atau kapitalis yang memiliki modal, hidupnya mengandalkan keuntungan yang didapat dan (c) klas tuan tanah yang hidupnya tergantung dari sewa tanah..

MATERIALISME DIALEKTIKA

Semua yang ada di dunia harus tunduk pada hukum zat, yakni gerak dan perubahan. Bahwa tidak ada sesuatu dalam alam ini yang berhenti, tidak ada sesuatu yang statis langgeng, kesemuannya bergerak, berjalan dan berobah. Bagaikan sebuah sungai yang tidak pernah diam, tetapi senantiasa bergerak, berjalan, berubah dan mengalir. Gerakan zat itu berlangsung terus menerus sepanjang masa. Bagi HEGEL gerakan itu berlangsung melalui tiga tingkatan, pertama these (gerakan), kedua anti these (gerakan melawan) dan secara dialektis melahirkan gerakan ketiga synthese (hasil gerakan). Begitu seterusnya, synthese tadi melahirkan these baru. Dialektika itu merupakan gerakan yang menyebabkan sesuatu pertumbuhan dari yang kurang sempurna menjadi lebih sempurna.

Logika MARX merupakan kebalikan dari logika HEGEL. Bagi MARX logika filsafat HEGEL (Dialektika Hegel) adalah dialektika idealisme, belum dialektika materialisme. Bagi HEGEL yang utama adalah idea/absolute idea Misal adanya staat/negara, merupakan pengejawantahan dari absolute idea, yang oleh MARX dipandang sebagai khayalan. Jadi Marxisme adalah penjungkirbalikan daripada Hegelianisme. Falsafah materialisme dialektika inilah yang mendasari teori materialisme histori.

PRODUKSI, MANUSIA, DAN MASYARAKAT

Bagi Marx yang penting dalam konteks semacam adalah manusia sebagai masyarakat bukan manusia sebagai individu, sebab masyarakatlah yang memungkinkan adanya produksi. Sedangkan manusia sebagai individu tidak akan dapat menghasilkan produksi secara maksimal sesuai kebutuhan masyarakat.

Dalam materialisme dialektika produksi adalah kegiatan dialektika paling penting. (Produksi adalah tiap perbuatan yang merubah benda-benda zat sedemikian rupa sehingga menjadi lebih berfaedah bagi manusia daripada sebelumnya). Jadi produksi merubah sesuatu yang kurang sempurna menjadi lebih sempurna dan dapat digunakan oleh masyarakat. Itulah sebabnya produksi merupakan kegiatan dialektika yang paling tinggi.

Masalahnya adalah bagaimana mungkin manusia seorang diri dapat menghasilkan sebanyak mungkin hasil produksi. Menurut Marx masyarakat lebih penting dan menjadi tujuan daripada individu, karena masyarakatlah yang memungkinkan orang dapat menghasilkan sesuai kebutuhan dengan cara yang tepat.

Kesimpulan:

a. Produksi dipandang sebagai kegiatan yang paling tinggi dibanding segala macam kegiatan lainnya. Produksi merupakan kunci keberhasilan dan kemajuan sehingga merupakan kegiatan dialektika yang paling penting.

b. Masyarakat dipandang paling penting, karena memungkinkan terjadinya produksi secara maksimal. Sehingga semuanya harus tunduk kepada kemauan masyarakat. Jadi masyarakatlah yang menjadi tujuan. (Kritik : Manusia kehilangan hak pribadinya karena menjadi budak produksi).

NILAI LEBIH (DASAR PRODUKSI SISTEM KAPITALIS)

Para usahawan membeli tenaga kerja sesuai dengan keperluan, bukan hasil kerjanya. Sedangkan sisanya menjadi keuntungan usahawan tersebut. Kesenjangan antara kaum buruh dan majikan yang mempekerjakan/ mengeksploitasi, dijelaskan Marx dengan teori nilai lebih.

Tiap barang mempunyai nilai pakai dan nilai tukar. Tetapi ada hal yang sama pada masing-masing barang yaitu kerja. Kerja itulah yang memberi nilai pada suatu barang sehingga barang tersebut dapat dipertukarkan dengan barang lain. Dan segala nilai tukar itu berdasarkan nilai kerja.

Dalam hubungan produksi modern, kerja diposisikan sebagai barang dagangan oleh si proletar/kaum buruh. Sedang bagi majikan kerja itu mempunyai nilai pakai. Untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya majikan memerlukan nilai tersebut. Untung yang besar itu dapat diperoleh majikan dengan jalan memalsukan nilai tukar kerja tersebut. Seharusnya nilai tukar kerja (jumlah pendapatan yang diterima buruh sebagai upah) sesuai dengan jumlah yang diperlukan untuk menghasilkan kerja tersebut (yaitu jumlah barang yang diperlukan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup layak: makan, minum, pakaian, perumahan, kesehatan, beserta keluargannya).

Contoh: seorang buruh bekerja selama 10 jam per-hari, menerima upah Rp. 10.000,- per-hari. Barang-barang yang diperlukan oleh buruh untuk hidup layak dapat dicapai hanya dengan bekerja selama 8 jam per-hari. Atau upah yang diterima buruh tersebut sesungguhnya dapat dicapai dengan 8 jam kerja. Padahal setiap hari diharuskan bekerja selama 10 jam. Maka kelebihan 2 jam itu disebut nilai lebih yang jatuh pada kaum majikan sebagai laba tambahan baginya. Di dalam proses produksi yang kapitalistis si majikan selalu berusaha memperbesar nilai lebih tersebut. Ini merupakan pemerasan terhadap kaum buruh.

TAHAPAN TERCAPAINYA MASYARAKAT KOMUNIS (MARX & ENGELS):

1. Teori Akumulasi: Jika teori nilai lebih tersebut dipraktekkan oleh kaum majikan maka terjadilah penimbunan kapital (akumulasi kapital) sehingga perusahaan-perusahaan tersebut makin lama-makin menjadi besar.

2. Teori konsentrasi: Persaingan akan hebat dan tajam antara perusahaan satu dengan lainnya dalam usaha mendapatkan keuntungan maksimal. Perusahaan kecil makin lama makin berkurang karena terpaksa gulung tikar dan makin bertambahlah pembentukan trust (monopoli, kartel dsb).

3. Teori Verelendung: Sebagai akibat keadaan diatas masyarakat akan jatuh sengsara. Disebabkan pesatnya mekanisasi maka makin murahlah tenaga kerja upah buruh makin menurun sehingga mengakibatkan daya beli juga menurun dan makin besarlah kesengsaraan buruh.

4. Teori Krisis: Karena jurang antara kaya dan miskin makin lebar maka akan terjadilah krisis yang hebat. Penawaran barang makin bertambah tetapi daya beli makin menurun, barang-barang tertumpuk dan tertimbun di pasar-pasar tetapi pembelian semakin merosot sehingga lalu lintas perekonomian menjadi terhambat. Akibat selanjutnya timbulah krisis yang silih berganti yang pada saatnya akan mengakibatkan runtuhnya sistem produksi ala kapitalistis tadi.

REFERENSI

1. Aidit, DN., A Semifeodal and Semocolonial Society, dalam Feith & Castles, Indonesian Political Thinking 1945 1965, Cornell University Press, 1970.

2. Feith & Castles, Indonesian Political Thinking 1945 1965, Cornell University Press, 1970. (Pemikiran Politik Indonesia 1945 1965, LP3ES, Jakarta 1988).

3. Frans Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1999.

4. Jahya Muhaimin, Militer dalam Politik di Indonesia, Penerbit Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1976.

5. Sjahrir, Sosialisme dan Marxisme: suatu kritik terhadap Marxisme, Penerbit Jambatan, Jakarta 1967.

6. Verkuyl, Komunisme, Kapitalisme dan Injil Kristus, Badan Penerbit Kristen, Jakarta 1966.

7. William Ebenstein, Todays Ism, Prentice Hall, inc, Englewood Cliffs, New Jersey 1961 (Isme-isme dewasa ini, swada, Jakarta, 1965).

PEMIKIRAN (POLITIK) TRADISIONALISME JAWA

1. Apakah Tradisionalisme Jawa merupakan pemikiran politik?

2. Mengapa Tradisionalisme Jawa (pada jamannya) dianggap sebagai salah satu pemikiran politik? Menurut Fieth dan Castles (Indonesian Political Thinking 1945-1965):

(a) Hampir separuh dari penduduk Indonesia berada di Jawa, dan

(b) Sebagian besar administrator pemerintahan dipegang oleh orang jawa

3. KONSEP TRADISIONALISME JAWA TENTANG:

(a) SISTEM POLITIK IDEAL: Integralistic state (manunggaling kawulo lan Gusti), tercermin dalam pidato Soepomo dalam sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945. Implementasinya: setiap negara punya kekhasan dan latarbelakang sejarah yang berbeda, sesuai dengan kultur masing-masing, sehingga tidak bisa diperbanding- kan antara negara satu dan lainnya. Seperti negara-negara barat yang mengagung- kan individualisme dan liberalisme. Sistem politik yang cocok adalah yang sesuai dan tidak bertentangan dengan kultur bangsa Indonesia, yakni kekeluargaan. (Demokrasi ala Indonesia). Contoh: Desa (pada waktu itu) sebagai model, hubungan antara rakyat dan pemimpin sangat akrab. Ada kesatuan antara mikro kosmos dan makro kosmos, antara jagad cilik dan jagad gede, antara dirinya sendiri dan masyarakat. Idialisasinya: toto titi tentrem kerto raharjo, gemah ripah low jinawi (tercermin dalam jejer wayang purwo). Oleh sebab itu tidak dikenal adanya konsep oposisi/kritik sosial, apalagi konsep kekuasaan tandingan (srengenge kembar), sama sekali tidak dibenarkan.

(b) KEKUASAAN: Benedict ROG Anderson, The Idea of Power in Javanese Culture, dalam Claire Holt, ed. Culture and Politic in Indonesia, Cornell UP, 1972. Bandingkan konsep kekuasaan Barat dan Jawa!

(c) KEPEMIMPINAN: (1) Astha Bratha. Wejangan Romo kepada Gunawan Wibisono pada saat dilantik menjadi Raja Alengka menggantikan Rahwana (lihat pidato Dies Natalis I, STIKEU Jakarta, Arifin Abdulrahman, Lembaga Administrasi Negara, Jakarta 1962); Astha = delapan, Bratha = laku. Artinya delapan sifat dewa yang harus dicerminkan dalam sikap dan perilaku pemimpin.

Bahwa Astha Bratha itu merupakan suatu keseluruhan dan tidak berdiri sendiri-sendiri, sehingga pemahaman tentang salah satu Bratha selalu terkait dengan Bratha-bratha yang lain. Seorang pemimpin yang menjalankan Asta Brata mempunyai kekuasaan dan kewibawaan yang sangat besar, sehingga dengan mudah dapat menggerakkan bawahannya bekerja melaksanakan tugas masing-masing. Pemimpin yang demikian memiliki kemampuan berani mengambil keputusan dan menanggung resiko atas akibat-akibat dari keputusan yang diambil. Mendapatkan kesetiaan dan ketaatan dari bawahan untuk menjalankan perintah-perintah dari pemimpin tersebut.

Pertama, Indra Bratha (dewa hujan): Seorang pemimpin harus dapat memberi kesenangan jasmaniah bawahannya (ini yang merupakan dasar dari human relations). Seperti dewa Indra memberi hujan dan air, sehingga menyebabkan hidup suburnya semua makhluk hidup didunia. Kebutuhan jasmaniah dianalogikan sebagai kebutuhan ekonomi, seperti gaji dan upah yang cukup. Kedua, Yama Bratha (dewa pencabut nyawa) menunjukkan adilnya seorang pemimpin (dalam memberikan sanksi); Ketiga, Surya Bratha (dewa matahari) dapat menggerakkan bawahan secara persuasif; Keempat, Caci/Candra Bratha (dewa bulan) dapat memberi kesenangan yang bersifat rokhaniah; Kelima, Bayu Bratha (dewa angin) menunjukkan keteguhan pendirian dan dapat merasakan kesulitan bawahan; Keenam, Dhanaba/Kuwera Bratha menjadi panutan dan dapat menunjukkan sikap yang patut dihormati; Ketujuh, Paca/Baruna Bratha dapat menunjukkan kelebihan, kepandaian, dalam ilmu pengetahuan; Kedelapan, Agni Bratha (dewa api) memberikan semangat (enthusiasm)(2) Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani (konsep Ki Hajar Dewantoro);

(3) Satriyo Pinandito (konsep Redi Tanoyo); Watak Ksatriya dan Pendeta

(4) Wulang Reh (Sri Paku Buwono IV). Contoh: Pertama, Gambuh (bait ke 3), terjemahannya sbb.: Ketidakjujuran yang terus menerus dikerjakan akan mengakibatkan kerugian dan ketidakbaikan. Oleh sebab itu kau harus mencari orang yang dapat memberi nasehat yang sesungguhnya. Ada ucapan adigang, adigung dan adiguno. Lambang adigang adalah kijang, artinya dia mengandalkan gesitnya padawaktu melompat. Lambang adigung adalah gajah, artinya dia mengandalkan kebesaran dan kehebatan tubuhnya. Lambang adiguno adalah ular, artinya dia mengandalkan kemujaraban bisa racunnya. Ketiga-tiganya mati bersama-sama. Semua itu sebagai lambang, seorang putra raja sebaiknya jangan memiliki ketiga sifat tersebut, sebab: (1) menyombongkan dirinya sebagai putra raja dan sambil menepuk dada mengatakan: siapa yang berani dengan saya, ha? Hal demikian akan berakibat tidak terhormat; (2) Menyombongkan kepandaiannya sambil menepuk dada dan mengatakan kepandaian siapa yang dapat menyamai kepandaian saya? Tapi sebenarnya dia sama sekali tidak punya kepandaian apa-apa; (3) Menyombongkan keberaniannya, akan tetapi setelah dihadapi sungguh-sungguh, ternyata dia tidak dapat berbuat apa-apa, bahkan menjadi bahan tertawaan. Oleh karenanya orang hidup di dunia harus bersikap rereh (sabar), ririh (perlahan, tidak tergesa-gesa), dan berhati-hati. Asmorodono; (bait ke XI Wulangreh), terjemahannya sbb.: Orang hidup di dunia, sedapat-dapatnya harus menjalankan rukun Islam sholat lima waktu, serta patuh pada peraturan agama. Barang siapa tidak menjalani rukun Islam bakal mendapat bala. Patuhlah pada sabda Tuhan melalui nabi Muhammad, sebagaimana disebut-sebut dalam hadist. Anak cucu, dalam hidup janganlah kalian terbuai oleh keindahan duniawi, ingatlah bahwa kelak kalian akan mati. Janganlah angkuh, bengis, lengus, lanas, langar, lancing, calak, ladak, sumlonong, ngepak, siyo-siyo, jail, poro-padu, poro wadulan...dst.

(d) ETIKA BERMASYARAKAT DAN BERNEGARA, SERTA BERAGAMA:Wedhatama (Mangkunegoro IV). SINOM (bait ke 15):

Bait ke 15: Nulada laku utama; tumrap ing wong tanah Jawi, wong agung ing Ngeksiganda, Panembahan Senapati, kapati amarsudi, sudaning hawa lan nafsu, pinesu tapa brata, tanapi ing siyang ratri, amamangun karyenak tyasing samama. (orang yang demikian itu antara lain mendiang Panembahan Senapati dari Mataram. Orang yang siang maupun malam selalu berusaha memadamkan berkobarnya hawa nafsu dan membangun watak cinta kasih diantara sesamanya). Dst.

Bait ke 29: Bronggan kang tan merlokake

(e) Kemiliteran: Tripomo (Mangkunegoro IV) Contoh: Sumantri, Kombokarno, dan Karno (Suryo Putro). Kesetiaan dan keteladanan seorang prajurit, dalam hubungannya dengan Sapta Marga.

M. Amien Rais, Cakrawala Islam : Antara Cita dan Fakta, Mizan, Bandung 1989, hal. 116-128.

Suatu metoda berkomunikasi dengan Tuhan yang bersifat esoteris (hanya dapat dipahami oleh yang bersangkutan).

M. Amien Rais, Op. Cit. , hal. 117.

Beberapa prinsip pemikiran dan pandangan Ibnu Taimiyah antara lain: a.Satu-satunya kunci memahami Islam adalah Al Quran dan Hadits; b.Ijtihad (sebagai upaya memahami Islam dari sumbernya langsung Al Quran dan Hadits) adalah merupakan proses yang tidak pernah selesai; c.Ummat Islam tidak harus dipimpin oleh hanya seorang khalifah; d.Usaha menemukan kebenaran mutlak hanya menggunakan kemampuan akal dan kecerdasan berfikir manusia semata, adalah sesuatu yang mustahil; e.Untuk memperoleh pemahaman tepat terhadap Al-Quran dan Hadits perlu pendekatan dan contoh seperti pernah dilakukan golongan salaf (sahabat dekat Nabi yang merupakan generasi pertama ummat Islam). Lihat Abdul Munir Mulkhan, Warisan Intelektual KH Ahmad Dahlan dan Amal Muhammadiyah, PT. Percetakan Persatuan, Yogyakarta 1990, hal. 37-38.

James L Peacock, Purifying The Faith : The Muhammadijah Movement In Indonesian Islam, The Benyamin/Cummings Publishing Company, Menlo Park, California 1978, page 5.

M. Amien Rais, Loc. Cit. , hal. 120.

Mustafa Kamal, Chusnan Yusuf, A Rosyad Sholeh, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, PT Percetakan Persatuan, Yogyakarta 1988, hal. 68. Lihat juga Abdul Munir Mulkhan, Op. Cit. , hal. 40.

Harry Julian Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam di Indonesia pada masa pendudukan Jepang, Pustaka Jaya, Jakarta 1980, hal. 68.

Persoalan sinkretisme di Indonesia dapat diartikan dua hal. Pertama, bercampurnya ajaran Islam dengan nilai-nilai tradisi dan adat-istiadat masyarakat Indonesia jauh sebelum datangnya Islam. Kedua, bercampurnya ajaran dengan nilai-nilai tradisi dan adat-istiadat masyarakat pembawa dan penyebar agama Islam; Lihat misalnya Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah jalan Baru Islam, Mizan, Bandung 1986, hal. 40-41; Lihat juga Noercholis madjid, Islam Kemodernan dan Ke-Indonesia-an, Mizan, Bandung 1987, hal. 75. Uraian tentang sinkretisme ini dapat pula dilihat pada Suherman Rosyidi, Islam In Indonesia, hal. 7-18; Arifin Bey, Thinking about Islam in Idonesia Which Special Emphasis on Modernist Movements, hal. 19-27, dalam Seiji Imanaga, The islam ic Society in Indonesia, Departement of Asian History, Hirosima University Press 1982. Lihat juga Deliar Noer, Partai-partai Islam di Pentas Nasional, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta 1987, hal. 2-3; Allen M Siever, The Mystical World os Indonesia : Cultur and Development and Conflict, John Hpkins University Press, Baltimore and London 1974, hal. 43-49; James L Peacock, Op. Cit.

Gavin W Jones, Agama-agama di Indonesia : Sejaran dan Perkembangannya, dalam Seri Prisma II, bahwa Islam yang masuk ke Jwa adalah lebih bersifat asimilatif daripada revolusioner, mereka datang melalui media perdagangan (terutama dengan kerajaan-kerajaan di daerah pesisir). Islam yang masuk ke Jawa berlangsung melalui Persia dan India, oleh karena itu islam yang pertama masuk ke Indonesia bersifat akomodatif terhadap kultur setempat; Lihar ROG Anderson, dalam Hilmy Mochtar, Dinamika Nahdlatul Ulama, Tesis S2, Fakultas Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta 1989, hal. 52-53.

Muhammad Abduh, dalam HMS Mintaredja, Islam and Politic, Islam and State in Indonesia, tp. , tt. , hal. 53-54; Lihat juga HMS Mintaredja, Renungan Pembaharuan Pemikiran Masyarakat islam dan Politik di Indonesia, Permata, Jakarta 1972, hal. 41.

Harry Julian Benda, Op. Cit. , hal. 31.

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia : 1900-1942, LP3ES, Jakarta 1985, hal. 37-113.

Syeikh Akhmad Khatib seorang ulama berfikiran luas, lahir tahun 1855 di Bukittinggi dan sejak tahun 1876 menjadi imam di Masjidil Haram dari madzhab Syafii. Sejak saat itu ia menetap disana sampai dengan meninggal dunia tahun 1916. Hubungan dan komunikasi dengan daerah asal senantiasa berjalan lancar melalui bekas-bekas muridnya. Pemikiran-pemikiran Khatib banyak mempengaruhi bekas-bekas muridnya yang kemudian menjadi pelopor-pelopor pembaharuan Islam di tanah air. Pelopor-pelopor pembaharuan islam yang pernah menjadi murid Khatib antara lain Syeikh Muhammad Djamil Djambek, haji Abdul karim Amrullah (Haji Rasul), haji Abdullah Akhmad, KHA Dahlan dan sebagainya.

Syeikh Taher Djalaluddin adalah seorang ulama pembaharu bijak, berpengalaman dan berpandangan luas. Lahir di Ampek Angkek Bukittinggi tahun 1869, karena pertimbangan-pertimbangan tertentu sejak kira-kira rahun 1900 menetap di Malaya (Malaysia). Ia pernah mendirikan sekolah Al-Iqbal al-Islamiyah di Singapura bersama Raja haji Ali bin Ahmad tahun 1908. Pemikiran-pemikiran Djalaluddin banyak dipengaruhi pemikiran Abduh maupun Perguruan Tinggi El-Azhar. Tercermin dari prinsip-prinsip pemikirannya yang senantias berupaya mendorong dan memajukan ummat Islam agar tidak kalah kompetisi dengan dunia barat.

Deliar Noer, Op. Cit. , halaman 85.

Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan : Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, LP3ES, Jakarta 1987, hal. 69. Lihat juga Junus Salam, Riwayat Hidup KHA Dahlan : Amal dan Perjuangannya, Depot Pengajaran Muhammadiyah, jakarta 1968, hal. 8; bandingkan dengan KHR Hadjid, KHA Dahlan dan 17 Ayat Al-Quran, IKMAMMM, Yogyakarta 1964, hal. 8-9.

Sarwoto, Dasar-dasar Organisasi dan Manajemen, Ghalia Indonesia, Jakarta 1981, hal. 13-15.

Lihat MT Arifin, Muhammadiyah Potret yang berubah, Institut Gelanggang Pemikiran Filsafat Sosial Budaya dan Kependudukan, Surakarta 1990, hal. 30.

Lahirnya Muhammadiyah didorong oleh beberapa hal diantaranya (a) masih dijumpainya kebodohan, keterbelakangan ummat Islam Indonesia didalam hampir semua bidang kehidupannya, (b) kemiskinan yang sangat parah diderita kehidupannya, (b) kemiskinan yang sangat parah diderita ummat Islam akibat penjajahan Belanda, dan (c) masih diterapkannya sistem pendidikan Islam kuno seperti terlihat dalam sistem pengajaran di pesantren-pesantren pada waktu itu. Lihat Hamka, KHA dahlan dalam Peringatan 40 tahun Muhammadiyah, tp. , jakarta 1952, hal. 31-32; lihat juga Ahmad SyafiI Maarif, Op. Cit. , hal. 66.

Lahirnya Muhammadiyah semata-mata sebagai reaksi atas kondisi dan situasi masyarakat Islam, yang dirinci sbb: a.Akibat perlakuan ummat Islam dalm mengapresiasikan Al-Quran da Hadits, perbuatan syirik, bidah dan khurafat tetap tumbuh subur. Sehingga Islam berada dalam keadaan bekeu dan tidak lagi memancarkan sinar kemurniannya; b.Ummat Islam sebagian besar masih terperangkap dalam alam fikiran fanatisme sempit, bertaqlib buta, dogmatisme, konservatisme, formalisme, tradisionalisme dan isolationisme; c.Sistem pendidikan islam yang masih kolot dan sikap menutup diri menyebabkan lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak mampu melahirkan kader-kader Islam yang mampu memenuhi tunutan jaman; d.Tidak tegaknya Ukhuwah Islamiyah dan tidak adanya organisasi Islam yang kuat menyebabkan tidak terc0iptanya perstuan dan kesatuan ummat Islam; e.Penjajahan yang cukup lama menyebabkan keadaan masyarakat islam baik sosial politk ekonomi maupun budaya sangat menyedihkan; f.Adanya kesdaran di kalangan ummat Islam akan bahaya pengaruhkegiatan Missi Katholik dan Zending Kristen terhadap kehidupan agama Islam; g.Adanya tantangan, sikap acuh tak acuh dan kebencian di kalangan inteligensia terhadap Islam.h.Semangat dan keinginan mewujudkan masyarakat yang benar-benar dituntun ajaran dan hukum Islam. Lihat Solichin Salam, KH Ahmad dahlan Reformer islam Indonesia, Jayamurni, Jakarta 1963; Lihat juga misalnya Rusli Karim, Muhammaidayh Pasca Muktamar ke 41 : Catatan Penutup, dalam Muhammadiyah Dalam Kritik dan Komentar, CV. Rajawali, Jakarta 1986, hal. 445-471; Bandingkan James L Peacock, Loc. Cit. , hal. 36.

Agoes Salim dalam MT Arifin, Op. Cit. , hal. 117.

Pijper dalam MT Arifin, Ibid.

H.Amura, Muhammadiyah Masa Lalu, Sekarang dan Masa Datang, dalam Rusli Karim, Op. Cit. , hal. 95-111.

James L Peacock. Loc. Cit. , hal. 36.

Dakwah Islamiyah, adalah mengajak/menrik masyarakat kepada ajaran Islam, yang dapat menggambarkan kebaikan, kelebihan dan keutaman Islam bagi kehidupan manusia dalam segala bidang kehidupannya; bidang Itikad, kebudayaan, pendidikan/pengajaran dan ilmu pengetahuan, serta bidang kemasyaraktan umunya. Amar maruf, menyuruh mengerjakan apa yang dianggap baik menurut ajaran isam dalam segala bidang kehidupan manusia. Sedang Nahi Munkar, mencegah dari apa yang diingkari menurut ajaran islam dalam segala bidang kehidupannya.

Fahry Ali dan Bahtiar Efendi, Op. Cit. halaman 46.

Ibidem, halaman 48.

Kata komunisme atau sosialisme muncul di Perancis sekitar tahun 1830. Dua kata ini semula sama artinya, tetapi segera komunisme dipakai untuk aliran sosialis yang lebih radikal yang menuntut penghapusan total hak milik pribadi dan kesamaan konsumsi serta mengharapkan keadaan komunis itu bukan dari kebaikan pemerintah melainkan semata-mata dari perjuangan kaum terhisap sendiri. Lihat Franz Magnis Suseno, 1999:19)