26
T BANDUNG FE INSTITUTE research university on complexity in Indonesia WORKING PAPER WPL2003 Marketing Antara Teori & Praktik

Marketing Antara Teori n Praktek

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Marketing Antara Teori n Praktek

Citation preview

Page 1: Marketing Antara Teori n Praktek

T

BANDUNG FE INSTITUTE research university on complexity in Indonesia

WORKING PAPER WPL2003

Marketing Antara Teori & Praktik

Page 2: Marketing Antara Teori n Praktek

Marketing – antara teori dan praktik†

RENDRA SUROSO

Dept. Cognitive Science

Bandung Fe Institute

ABSTRAK

Marketing sudah menjadi tak terhindarkan lagi dalam dinamika sosial modern industrial. Tapi ada jurang yang luas antara teori dengan praktiknya. Tulisan ini berusaha menyelidiki ketidakterhindaran marketing, struktur teoretis di belakangnya, beberapa kritik terhadap model-model kontemporer, dan diakhiri dengan beberapa usulan untuk, paling tidak, membuat marketing sebagai sebuah sains menjadi lebih menyatu dalam teori dan praktik. Kata kunci: marketing, memetika, sistem dinamik, graf acak, preferensi kolektif

† Working Paper WPL2003 Bandung Fe Institute

Page 3: Marketing Antara Teori n Praktek

2

Marketing is not just the icing on the material world. It has become the recipe, the kitchen, and the cook[1].

Geoffrey Miller

I. INTRODUKSI Miller, dikenal dengan teori ‘perpasangan pikiran’ (mating mind) sebagai kelanjutan tradisi Darwinian dalam konstruksi budaya lewat seleksi seksual, dengan lantang menjawab, ‘Marketing!’, ketika disodori pertanyaan, penemuan manusia terdahsyat apa 2000 tahun belakangan ini.

Marketing, yang dia perluas tidak sebatas aktivitas periklanan, lebih berupa ‘usaha sistematis untuk memenuhi hasrat manusia dengan produksi barang dan jasa yang akan dibeli orang’. Ada usaha-usaha yang ‘sistematis’, dan ada ‘hasrat’ untuk membeli, dan muncullah sebuah bidang kognitif dalam tubuh manusia tempat beroperasinya strategi-strategi marketing yang lebih lanjut akan memberikan efek umpan-balik, positif atau negatif, terhadap tingkat penjualan suatu produk.

Miller mengedapankan insinuasi politis dari teoretisi generasi akhir tradisi Marxian sekaligus komentator posmodernistik[2] karena marketing berdiri di balik pembodohan atau pendangkalan massa. Miller juga berseberangan dengan idealisasi individual ajaran-ajaran Buddhisme sumber inspirasi versi teoretisi fuzziologi[3], yang senantiasa berusaha mengenyahkan ilusi-ilusi pemenuhan hasrat yang oleh konsep marketing, justru dipreservasi dengan sokongan dana jutaan dolar.

Gambar 1 Ekstensifikasi Marketing Pasca Revolusi Industri a) Pada Revolusi Industri, fungsi marketing untuk satu merek dari satu jenis produk hanyalah menginformasikan keberadaan suatu produk kepada satu jenis konsumen yang nyaris dianggap homogen fn: A à B (Henry Ford: “Orang hanya menginginkan mobil yang murah, kuat, dan hitam.” b) Setelah Revolusi Industri berkembang jauh, yang diintensifkan bukan lagi hanya keragaman merek, tapi juga melibatkan brand positioning f m

n : A à B yang sama halnya dengan memecah-mecah homogenitas pelanggan atau menggali hasrat-hasrat terdalam setiap individu yang sealnjutnya, teragregasikan dalam preferensi-preferensi kolektif lewat sebuah mekanisme sosio-psikologis tertentu. (Tony Kotler: “Riset pelanggan adalah landasan untuk semua panjualan dan usaha pemasaran yang dilaksanakan perusahaan.”

Page 4: Marketing Antara Teori n Praktek

3

Bagi Miller, marketing yang seperti demokrasi, adalah anti-arogansi, anti-kuasa, anti-idealisme, dan menuai sukses besar karena telah berhasil memberikan bentuk kekuasaan yang sebenarnya kepada khalayak. Marketing adalah sebuah revolusi lain pasca Revolusi Industri yang semula terfokus pada efisiensi produksi, bergeser ke kepuasan pelanggan individual. Marketing adalah resep, dapur, sekaligus koki yang tidak hanya bertugas memecah kue-kue sosial ke bagian-bagian yang berbeda, tapi lebih jauh, juga berkuasa membuat alat produksi manusia untuk tidak hanya mati-matian menggali sumber daya alam, tapi juga menggali hasrat-hasrat terdalam setiap pribadi manusia.

Namun terminologi ‘individualitas’ dalam tulisan ini, seperti pada abstraksi-abstraksi tentang sistem kompleks, merujuk ke ‘agen’. Selanjutnya, individualitas terbagi dalam dua domain, antara individualitas perusahaan (besar, menengah, atau kecil sesuai kapasitasnya dalam menggelar program-program marketing) dan individualitas target (konsumen sebagai end-user).

Deskripsi tentang program marketing sendiri sebagai sebuah sistem yang mempunyai kanal-kanal dan membentuk struktur organisasional (produsen – perantara) yang banyak melibatkan kerja-kerja kehumasan tidak akan dideskripsikan secara mendalam di tulisan ini.

II. INDIVIDUALITAS PERUSAHAAN

Individualitas yang muncul tidak semata dipunyai oleh target, tapi juga oleh perusahaan-perusahaan penghasil barang itu sendiri, meskipun pada akhirnya keduanya mempunyai karakter yang sangat berlainan. Yang satu adalah objek dengan fungsi-fungsi kognisi yang pelik, yang satu adalah objek dengan fungsi-fungsi ekonomis yang tidak kalah rumit.

Individualitas perusahaan disini merujuk pada sekuen-sekuen yang dijalani sebelum produk jatuh ke tangan konsumen, sehingga mencakup banyak pihak yang terlibat dalam aliran barang sekaligus.

Gambar 2 Individualitas Perusahaan

Individualitas yang dimaksud mungkin tidak mencakup keseluruhan kanal marketing karena kanal ini bisa jadi melibatkan banyak perusahaan berbeda pada proses distribusi suatu produk. Individualitas juga bisa dilekatkan pada manufacturer atau dealer dan tidak semata -mata pada supplier bila kanal marketing memang tersusun dari perusahaan-perusahaan yang berbeda kepemilikannya.

II.1 SEGREGASI Dengan menilik keberadaan perusahaan-perusahaan sebagai satuan individualitas, akan ditemukan sebuah kemungkinan optimalisasi fungsi ekonomis – untuk mendongkrak

Page 5: Marketing Antara Teori n Praktek

4

penjualan – yang rumit karena melibatkan interaksi antara perusahaan dan pelanggan, sekaligus perusahaan dengan perusahaan lainnya.

Mulai dengan interaksi perusahaan dengan pelanggan, eksplorasi Miller berujung ke satu kesimpulan, yaitu semakin kecil peran marketing untuk produk-produk yang menyentuh langsung pelanggan individual (consumer goods, barang elektronik, garmen, sistem operasi komputer), maka semakin kecil pula kemungkinan produk bisa menyentuh bidang kognitif individual yang lebih sering disebut ‘kesadaran’ konsumen terhadap brand tertentu. Menonjolnya individualitas di belakang kampanye-kampanya perusahaan raksasa seperti PNG atau GE, menurut Miller, sangat dipengaruhi oleh berbagai riset empiris: grup fokus, kuesioner, tes Beta, survei sosial, demografi.

Apakah metode ini secara praktis tidak dengan sendirinya problematis? Menyentuh pelanggan individual berarti mengalokasikan dana riset dan kampanye yang besar. Analog dengan dilema kemiskinan dan biaya pendidikan yang diperkenalkan oleh Stephen Durlauf[4], untuk kasus marketing, akan dijumpai kesejajaran antara populasi perusahaan besar dan perusahaan kecil dengan alokasi biaya marketing yang tak terbatas dan sangat terbatas. Interaksi antara perusahaan dan konsumennya secara tidak sengaja memunculkan segregasi diantara perusahaan-perusahaan sendiri. Perusahaan besar akan terus membesar, dan yang kecil tetap kecil.

Durlauf menegaskan bahwa segregasi dalam populasi ini muncul secara tidak disengaja. Awalnya hanya dipicu oleh perubahan yang bisa jadi sangat tidak signifikan bagi sebagian orang, yaitu naiknya biaya kuliah sedikit saja, tapi menjadi sangat berarti bagi sebagian yang lain. Bagi orang dengan pendapatan lima atau enam kali pendapatan standar, maka naiknya biaya kuliah sebesar 5% bukanlah hal penting. Tapi bagi orang dengan pendapatan satu atau mendekati satu kali pendapatan standar, naiknya biaya kuliah 5% bisa menghilangkan sama sekali kemungkinan untuk mengirim anaknya ke perguruan tinggi. Setelah satu generasi, ketika determinasi profesi ditentukan oleh sertifikasi pendidikan, maka anak keluarga miskin akan terkumpul di kantong-kantong profesi kelas bawah, sama halnya untuk anak-anak keluarga kaya yang cenderung terkonsentrasi di lingkup-lingkup profesi kelas atas. Segregasi muncul karena pergeseran parameter yang relatif sangat kecil, terlalu kecil hingga menurut sebagian besar orang bisa diabaikan.

Pengabaian pergeseran kuantitas yang kecil ini secara eksplisit dimanifestasikan dalam dilema kekaburan (vagueness dilemma) seperti yang disinggung Bertrand Russell pada abad yang lalu, yang secara definitif dinyatakan oleh Leon Felkins sebagai berikut:

Kapanpun sebuah peristiwa atau karakteristik kontinu dikonversikan ke fungsi diskrit, nilai yang dipilih sebagai titik acuan menjadi arbitrer dan tidak bisa dijustifikasi[5].

Page 6: Marketing Antara Teori n Praktek

5

Dilema ini jarang diperhatikan oleh pengambil keputusan untuk lingkup populasi yang sangat besar, misalnya pemerintah yang bertanggungjawab terhadap penentuan biaya kuliah secara nasional yang bisa mengakomodasi potensi seluruh populasi.

Untuk kasus marketing, tetap ada kampanye perusahaan-perusahaan kecil atau perseorangan yang bahkan tidak mampu menyewa biro iklan, atau perusahaan-perusahaan menengah yang tetap merasa berkeberatan untuk menyebar kuesioner yang melibatkan ribuan responden. Padahal, industri modern, sampai batas level deskripsi tertentu, cenderung mendekati bentuk-bentuk pasar bebas. Dalam ekonomi pasar bebas atau laissez faire atau George Soros suka menyebutnya ‘fundamentalisme pasar’, tidak ada yang sanggup menghentikan munculnya monopoli atau oligopoli ketika sistem ekonomi berada di luar campur tangan pemerintah[6]. Dengan demikian, segregasi populasi perusahaan-perusahaan dengan konsumen individual akan makin mungkin terjadi. II.2 PETA MEME Sebagai contoh, pendekatan kontemporer yang langsung menyentuh individu sebagai ‘end-user’ kampanye marketing adalah memakai memetika, sebuah konsep analogi antara gen sebagai unit hereditas kromosomal dan ‘meme’ sebagai unit kultural berbentuk partisi memori dalam otak[7]; keduanya mendiami wilayah keberlakuan hukum-hukum yang sama, berwujud struktur teknis dan tidak semata metaforis: epidemiologi dan/atau evolusi, mental dan/atau behavioral[8].

Gambar 3 Peta Meme Marsden Peta ini disusun secara algoritmis dengan pertama kali menyodorkan lima pilihan asosiasi pada responden, diteruskan ke responden sesudahnya sehingga muncul

Page 7: Marketing Antara Teori n Praktek

6

efek penguatan untuk keseluruhan populasi yang tampak pada angka-angka di dalam kurung pada tiap item asosiasi. Marsden memberi nama ‘meme dominan’ untuk 5 alternatif primer, dan ‘meme resesif’ untuk 3 cabang dari masing-masing alternatif primer yang mengindikasikan sebuah unsur laten yang secara implisit bisa mengidentifikasikan efek penguatan.

Contoh dari pendekatan ini adalah pemakaian peta meme oleh Paul Marsden yang secara konsisten terus mengembangkan memetika untuk teknik marketing.

Dari model Marsden[9], brand positioning sebuah produk diproyeksikan ke pikiran konsumen, sesuai meme komponen mereka, yang dijuluki Marsden ‘gen makna’ (genes of meaning). Teknik yang dipakai Marsden dalam memetika behavioralnya berupa pencarian kecenderungan penguatan (reinforcement) sesuai tradisi psikologi behavioral sejak karya John Watson dan Burrhus Skinner. Marsden memakai asosiasi tiap orang terhadap ungkapan tertentu, dengan pemberian skor terhadap pilihan yang diambil tiap orang. Setelah berkali-kali iterasi, tampaklah kecenderungan preferensi pemaknaan individual terhadap brand tertentu, mirip dengan metode asosiasi bebas Sigmund Freud, tapi dengan pilihan asosiasi yang dibatasi dan cara interpretasi asosiasi yang lebih ketat.

Kedua aliran psikologi terapeutik ini digabung dengan sebuah mekanisme seleksi evolusioner yang lazim dijumpai dalam simulasi pemrograman genetik. Kecenderungan penguatan lewat penangkapan (capturing) dan pengudaran (unpacking) makna dari konsep terhadap sebuah brand, setelah dicobakan terhadap suatu populasi tertentu, akan menghasilkan sebuah peta meme sebagai cerminan cara berpikir kolektif populasi.

Elaborasi teknis model memetik Marsden yang sesuai pernyataan Miller, dibangun lewat pendekatan yang sangat empiris ini, akan dibahas lebih lanjut di III.2. Sejauh ini, yang patut dicatat adalah, pada pelaksanaannya, model diatas dicobakan ke populasi lewat program penelitian peta meme Universitas Sussex yang diprakarsai sebuah lembaga konsultansi kreatif berbasis riset, Brand Genetics.

Untuk kasus tentang ‘apakah hidup sehat itu?’, konsumen-konsumen dewasa di Inggris dan Amerika Serikat diundang untuk berpartisipasi dalam sebuah permainan asosiasi kata sederhana lewat email berantai sepanjang Agustus 2000. Setelah dua minggu, 142 orang berhasil menyelesaikan permainan, dan peta meme berevolusi sebanyak 1278 kali iterasi, menghasilkan peta meme seperti pada Gambar 3 .

Pertanyaannya adalah, sejalan dengan temuan Durlauf, apakah mungkin pemodelan sedemikian rupa seperti yang dikonstruksikan oleh Marsden, dengan prakarsa lembaga seperti Brand Genetics, dan dukungan basis data digital untuk menyimpan hasil setiap iterasi peta meme, dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dengan kapasitas riset marketing terbatas? III.3 DESKRIPSI MIKRO -STRUKTUR Lain dengan ide awal Durlauf yang berakhir dengan segregasi, seandainya ketakterhindaran marketing dalam industri individual modern versi Miller memang tak bisa lagi ditawar-tawar, maka yang terjadi bisa lebih parah. Segregasi yang persisten tidak hanya berwujud pengelompokan (clustering) perusahaan kecil dan menengah dalam kelas-

Page 8: Marketing Antara Teori n Praktek

7

kelas kekuatan ekonomi. Segregasi kronis akan sampai ke titik dimana tidak ada lagi perusahaan-perusahaan kecil penghasil barang dan jasa konsumsi individual yang bisa bertahan, kapanpun ketika produk yang ditawarkan oleh perusahaan kecil diambil alih oleh perusahaan besar. Sektor industri yang meliputi banyak sekali komoditas ini akhirnya hanya dikuasai oleh perusahaan-perusahaan raksasa yang terus berkompetisi, berko-evolusi dan berko-adaptasi satu sama lain.

1997 1998 1999 2000 2001 pengusaha

kecil 39,704,661 36,761,689 37,859,509 39,121,350 40,137,773 pengusaha menengah 60,449 51,889 52,214 55,437 57,743 pengusaha

besar 2,097 1,831 1,885 2,005 2,095

Tabel 1 Populasi Pengusaha[10] Jumlah pengusaha kecil, menengah dan besar Indonesia, 1997-2001, untuk tahun 2001 dipakai angka proyeksi. Keterbatasan deskripsi ini adalah, meskipun koreksi dari jumlah populasi dari tahun ke tahun menunjukkan proporsi yang teratur, selang waktu yang dinyatakan data ini terlalu pendek untuk menggambarkan naik -turunnya aset perusahaan, dan tanpa ‘audit’ data, pergerakan perusahaan yang terpromosikan atau terdegradasikan dari satu kelas ke kelas lainnya tidak jelas.

Dari tabel tampak, perusahaan besar, menengah dan kecil ternyata memang

mendiami rentang populasi yang hampir statis. Kelemahan dari deskripsi statistik Tabel 1 diatas terletak pada ketiadaan informasi

yang memadai tentang mobilitas perusahaan dari kelas satu ke kelas lainnya. Maka, terlalu dini untuk menyebut kestabilan populasi masing-masing kelas sebagai segregasi yang membrojol. Masih diperlukan deskripsi kondisi aset perusahaan tertentu dari waktu ke waktu, yang sebenarnya, secara statis bisa dilakukan lewat pencatatan terhadap perkembangan aset perusahaan untuk selang waktu tertentu.

Lebih jauh lagi, akan terlalu terburu-buru dan tidak hati-hati untuk menyimpulkan bahwa kestabilan populasi kelas-kelas perusahaan adalah efek membrojol dari teknik marketing yang secara inheren memang harus berbeda untuk tiap-tiap kelas perusahaan.

Stuart Kauffman yang mengembangkan teori tentang asal-muasal makhluk hidup yang secara teoretis, berada diantara dua kondisi, order dan disorder, secara tegas menyatakan bahwa, kalau pada level deskripsi tertentu – yang menurut Stafford Beer, ditentukan oleh tujuan dari sistem yang diamati[11] sehingga level deskripsi tidak harus berarti ada yang lebih atas atau lebih bawah – sudah teramati sebuah brojolan, lalu mengapa harus repot-repot mencari dinamika internal suatu sistem[12]?

Masalahnya, tujuan dari pengamatan kita terletak pada keberadaan aktivitas praktis marketing di perusahaan-perusahaan yang, sesuai tesis Miller, sudah selayaknya inheren dalam dinamika sebuah perusahaan modern.

Seandainya memang ada efek-efek membrojol yang mengatur-diri pada level deskripsi yang lebih atas, kita kadang bahkan tidak tahu kalau pada level bawah terjadi kondisi yang lebih statik atau bahkan lebih chaotik. Perusahaan-perusahaan komersial tetap berjalan, berproduksi dan terus melaporkan pendapatannya, secara berkala membentuk pola

Page 9: Marketing Antara Teori n Praktek

8

tertentu. Tapi pengamatan terhadap sub-sistem-sub-sistem produksi yang mencakup marketing di dalamnya menjadi terabaikan.

Untuk menempatkan marketing sebagai bagian proses produksi yang lebih terintegrasi dan terlihat kondisi dinamiknya secara langsung, maka kerja selanjutnya terletak pada kausasi sosial (social causation), sebagai kebalikan dari brojolan yang muncul dalam pendekatan bottom-up. Kausasi sosial[13] disini diartikan sebagai efek balik dari brojolan, yaitu ketika sebuah brojolan bisa mempengaruhi perilaku agen-agen atau sub-sistem-sub-sistem secara umum.

Dalam hal marketing, kausasi berarti tindakan yang diambil oleh praktisi pemasaran setelah mengamati pola-pola konsumsi yang muncul di masyarakat, disesuaikan dengan pola kampanye tertentu. Praktisi pemasaran menangkap brojolan bottom-up, untuk kemudian diabstraksikan dalam teknik-teknik kampanye produk sehingga agen-agen bisa dipengaruhi atau dikontrol agar mengikuti pola tertentu, yaitu membeli sebuah produk dengan merek tertentu.

III. INDIVIDUALITAS TARGET Setelah ada individualitas perusahaan, di level deskripsi yang lebih bawah terdapat individualitas target, yaitu karakter-karakter spesifik yang dimiliki tiap-tiap konsumen akhir, tanpa melibatkan pihak-pihak perantara dalam kanal marketing.

Gambar 4 Individualitas Target

Target individual bisa mencakup konsumen perorangan (ritel, hotel dan restoran) maupun institusional (sistem operasi komputer, alat berat) meskipun keduanya mempunyai struktur bidang kognitif yang unik satu sama lain sehingga memunculkan pola preferensi yang berbeda. Tapi mereka juga saling berinteraksi satu sama lain sehingga memunculkan gejala makro-struktur yang bisa ditangkap oleh periset.

Mereka saling berinteraksi satu dengan lainnya, memunculkan brojolan-brojolan yang

berhubungan langsung dengan gejala makro-struktur tertentu, misalnya berbentuk penyikapan bersama terhadap suatu merek produk spesifik.

Dalam bagian ini, tinjauan definitif tentang marketing sebagai sebuah objek penelitian dalam domain psikologi sosial akan dijadikan pijakan awal untuk mengkonstruksi mekanisme deteksi awal terhadap gejala terbentuknya penyikapan bersama terhadap suatu merek, berwujud preferensi kolektif. Makna dari kolektivitas disini akan berhubungan langsung dengan kuantifikasi efektivitas sebuah program kampanye tertentu. Teknik

Page 10: Marketing Antara Teori n Praktek

9

kampanye yang benar-benar difokuskan ke individu adalah sebuah teknik yang membutuhkan implementasi yang rumit, bercabang-cabang, mahal, dan bahkan bisa menjadi kontra-produktif ketika individualitas target ternyata tidak hanya ditentukan oleh karakter unik target, tapi juga oleh interaksi antar-agen itu sendiri. Maka dari itu, pendekatan psikologis-sosial dan tidak semata-mata psikologis atau sosiologis akan menjadi dominan. III.1 MARKETING DAN PSIKOLOGI SOSIAL Dalam disiplin ilmu manajemen sendiri, dengan pendekatan behavioral yang kuat, konsep marketing salah satunya didefinisikan oleh Michael Rothschild sebagai berikut:

Marketing terdiri dari pertukaran sukarela antara dua pihak atau lebih, dimana tiap pihak mencoba mengedepankan kepentingannya sendiri sambil tetap mengamati kebutuhan untuk mengakomodasi kepentingan orang lain hingga tercapai suatu titik akhir[14].

Secara behavioral, Rothschild menggambarkan bahwa marketing berusaha memenej

perilaku dengan menawarkan insentif-insentif penguat dan/atau konsekuensi dalam satu lingkup yang mengundang pertukaran sukarela. Interaksi yang tercakup hanyalah antara praktisi marketing dengan target, atau dengan kata lain, target diperlakukan secara individual dan tidak mempunyai karakter kolektif seintrinsik apapun. Rothschild merentangkan definisinya seluas-luasnya sehingga marketing sosial seperti identifikasi gaya hidup sehat di masyarakat pada model Marsden diatas bisa ikut tercakup di dalamnya.

Konsep-konsep behavioral Rothschild dinyatakan dalam terminologi yang tegas: hukuman/hadiah, penguatan, langsung/tidak langsung, perilaku, ditambah kesukarelaan dan pertukaran. Penambahan konsep tentang kesukarelaan sebagai sebuah kualitas psikologis telah meninggalkan perpektif behavioral ortodoks ke ranah kognitif yang lebih luas. Sementara penambahan konsep tentang pertukaran membawa marketing ke lingkup non-individual, yaitu lingkup sosial. Untuk itu, Rothschild meneruskan pemikiran ‘begawan’ marketing kontemporer, Philip Kotler, untuk mendefinisikan pertukaran, yaitu satu pihak menyerahkan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lain dari pihak yang lain[15].

Sampai disini, marketing bukan lagi berada di domain psikologi yang semata menyelidiki aspek-aspek individual, sejalan dengan targetnya yang memang melibatkan banyak orang, terutama untuk konsumen individual. Marketing juga bukan melulu menjadi bahasan sosiologi karena manusia secara individual mempunyai karakteristik yang berbeda dengan kumpulan manusia sebagai sebuah masyarakat. Pembedaan ini, tanpa perlu dibahas lebih lanjut, sudah ditekankan sejak karya-karya Emile Durkheim tentang bunuh diri yang mengandaikan keberadaan sebuah social force yang sama sekali

Page 11: Marketing Antara Teori n Praktek

10

tidak teramati secara individual[16]. Ide Durkheim ini ditemukan lagi signifikansinya dan kembali populer lewat eksplorasi teoretisi-teoretisi sosiologi bottom-up[17].

Perluasan definisi Rothschild akan menjadi problematis ketika sebuah kampanye marketing diproyeksikan ke sebuah populasi besar. Karakter kolektif yang muncul dari sekelompok target (hasil kuesioner dari sebuah lingkup populasi tertentu yang mencakup interaksi antar individu) sangat riskan bila diterjemahkan secara langsung sebagai karakter individual (preferensi seseorang terhadap suatu produk). III.2 PREFERENSI KOLEKTIF Miller sejak awal menegaskan keberadaan konsumen individual dalam aktivitas marketing modern. Artinya, diperlukan sebuah struktur gejala individual tertentu yang berkorespondensi dengan konstruksi sosial tertentu setelah individu-individu dalam jumlah banyak berkumpul dan menghasilkan perilaku kolektif tertentu. Salah satu konsep untuk memecahkan masalah ini adalah pilihan kolektif dan struktur pengetahuan bersama dari Diana Richards[18] yang menggunakan sistem kompleks untuk menjelaskan membrojolnya pengetahuan bersama. III.2.1 Model Richards Richards mengonstruksi sebuah graf W (A, e) untuk satu agen, yaitu misalnya seorang pelanggan, yang diandaikan sebagai sebuah dunia ‘empiris’ yang diatur oleh sebentuk pengetahuan bersama. A adalah himpunan node (node, vertex) yang mewakili sekumpulan alternatif dalam satu kategori. A secara trivial melambangkan, misalnya, sekumpulan merk untuk dipilih seorang pelanggan untuk satu jenis produk, dan pada akhirnya semua pelanggan lewat sebuah aturan agregasi. Sedangkan e adalah tepi (edge, link) yang menghubungkan tiap-tiap node yang kemunculannya diatur lewat sebuah sekuen yang harus dipatuhi, misalnya ai lebih disukai dibanding aj, dilambangkan dengan ji aa f .

Richards menggambarkan konstruksi pengetahuan bersama sebagai sebuah sekuen yang tidak mengandung siklus, sehingga tidak akan muncul pengetahuan bersama dalam populasi jika ada sekuen seperti 121 aaaa n ffKff . Ide ini tidak konter-faktual jika diingat, sekuen yang non-sirkuler sama halnya dengan tidak adanya perdebatan tentang nilai yang dianut bersama dalam satu populasi, atau tentang produk apa yang lebih disukai dalam satu grup fokus.

Tapi pengetahuan bersama masih bisa muncul bila ada percabangan, misalnya ada kondisi ai = aj, yaitu ketika dua merek sama-sama disukai atau dibenci oleh keseluruhan populasi. Untuk menyelesaikan kondisi ketidakbisaan-diputuskan (undecidability) selanjutnya bisa diatasi dengan melihat level desripsi yang lebih mikro.

Artinya, munculnya sebuah produk yang dominan dalam satu populasi tidak mengijinkan terjadinya siklus apapun. Dalam teori graf, tidak adanya siklus akan menghasilkan topologi spesifik yang lazim disebut ranting (tree).

Page 12: Marketing Antara Teori n Praktek

11

III.2.2 Model Erdös-Rényi Formalisasi sekuen preferensial Richards dalam bentuk graf tanpa arah (undirected graph) misalnya bisa ditemukan pada model graf acak statis pada karya Paul Erdös dan Alfred Rényi[19] yang bahkan bisa mengakomodasi alternatif sampai N ∞→ , meskipun temuan ini diluar ketertarikan kita karena dalam sistem natural, tidak ada jumlah merek tak terbatas untuk satu jenis komoditas.

Graf acak klasik Erdös-Rényi menskalakan probabilitas munculnya node p dan populasi node N lewat sebuah parameter kontrol z yang untuk parameter z tertentu, muncul kondisi-kondisi membrojol, berupa perubahan struktur topologi yang drastis.

Gambar 5 Graf Acak Klasik Erdös-Rényi

Pertumbuhan probabilitas p diskalakan lewat hubungan p ~ Nz dengan z ∈(-8 ,0) adalah sebuah parameter kontrol. Bisa dilihat, pada z = -8 , tidak ditemukan munculnya tepi. Pada z = -3/2, sebuah ranting muncul, dan pada z = -1, siklus pertama kali muncul. Semakin besar nilai z, maka jejaring semakin mempunyai banyak node.

Dengan bertambahnya nilai z, node yang muncul juga semakin banyak dan semakin

potensial memunculkan banyak node. Kerja selanjutnya bisa difokuskan ke perluasan node yang tidak hanya mewakili produk-produk dalam satu kategori saja, tapi mencakup keseluruhan produk yang mungkin dikonsumsi seorang pelanggan, dinyatakan dengan nilai N yang makin besar, sehingga hubungan z ~ log p/log N bisa memunculkan karakter-karakter khusus graf yang secara signifikan mewakili preferensi pilihan tertentu, misalnya dinyatakan sebagai

( )

=≠

=∞→ i

iipNN zz

zzGP

10

lim ,

yaitu ketika probabilitas kemunculan sebuah struktur topologi graf Gi yang mewakili nilai N dan p tertentu ditentukan oleh nilai parameter spesifik z, dan Gi menggambarkan sebuah struktur i yang mewakili sebuah sistem kolektif tertentu.

Temuan ini sampai batas tertentu bersesuaian dengan perkembangan industri modern, ketika pilihan merek untuk satu jenis produk makin beragam, sehingga kemungkinan munculnya siklus makin besar. Artinya, dalam industri modern, kemungkinan munculnya sebuah merek dominan menjadi makin kecil, dengan atau tanpa marketing. Merek dominan disini berarti satu merek tertentu yang secara khusus benar-benar mendominasi yang lain, atau menurut model awal Richards berarti memunculkan pengetahuan bersama.

Page 13: Marketing Antara Teori n Praktek

12

Letak kelemahan model Erdös-Rényi (dan model Richards) adalah karakternya yang statis, meski pengembangan menuju struktur graf yang tidak stabil tapi robust[20] secara dinamik memang dikatakan oleh Richards, masih menjadi target pengembangan model selanjutnya. Jika agen diberi kemampuan untuk belajar dari pengalaman sebelumnya atau menyesuaikan diri dengan kecenderungan yang lebih umum, maka yang didapat adalah model yang menyerupai pendekatan empiris adaptif Marsden seperti pada II.2, dimana setiap agen m bisa mengubah bobot W = },,{ nww K1 dari waktu ke waktu dan

menghasilkan ai(t)=∑m

mi

mi twa )( ; m = {1,2,3,…} dengan M mewakili himpunan

populasi; dan n = {1,2,3,…}, i,j,k ∈N, dimana N mewakili himpunan alternatif. Dari paparan di atas, sesuai kesimpulan awal Richards, alternatif yang dimunculkan

pilihan kolektif tidak ‘mengambang dengan bebas’, tetapi sangat terstruktur satu dengan lainnya lewat sistem pengetahuan. Jika ada beberapa pilihan barang yang tersedia di pasar, dengan tiap pelanggan dianggap berperilaku tetap paling tidak untuk selang waktu tertentu, maka dengan sendirinya akan muncul pola-pola pengambilan alternatif yang stabil, dan jumlahnya terbatas. Pola-pola ini akan mengikuti topologi ranting untuk graf klasik Erdös-Rényi diantara topologi lain yang membentuk siklus atau subgraf lengkap yang mewakili ketiadaan preferensi kolektif[21]. III.2.3 Perbandingan dengan Model Marsden Seiring dengan tujuan marketing individual untuk target massal yang ditekankan oleh Miller, sebuah preferensi kolektif yang stabil bisa membrojol dengan sendirinya. Model Richards dan Erdös-Rényi secara umum bisa menggambarkannya tanpa perlu melekatkan konsep memetika, tanpa gen makna apapun.

Model memetik Marsden membatasi munculnya semua struktur topologis yang mungkin membrojol dan membentuk konfigurasi stabil. Secara formal, model Marsden untuk kasus graf acak bisa dibandingkan dengan algoritma Barabási untuk mengkonstruksi jejaring bebas-skala deterministik[22] yang mempunyai arsitektur dan solusi analitis, mengikuti distribusi power-law untuk N ∞→ , dalam sistem natural cenderung hanya dijumpai pada topologi graf untuk WWW atau pola penyebaran penyakit seksual, dan belum pernah dipakai untuk menerangkan terbentuknya preferensi kolektif.

Marsden memperkuat tesisnya dengan verifikasi untuk percobaan kedua dengan cara yang sama dan mendapatkan 78% dari 76 partisipan (dari 142 partisipan awal) tidak mengubah asosiasinya terhadap hidup sehat. Sampai batas tertentu, dengan verifikasi ini Marsden yakin bahwa pendekatan empirisnya masih efektif.

Signifikansi statistik dan embodied-nya konsep memetika dalam abstraksi Marsden tetap tersisa sebagai pertanyaan. Apakah model Marsden dengan verifikasi kuesionernya mewakili strategi paling jitu – dengan provokatif dia menyebut, ‘Brand Positioning, Meme’s the Word!’ – ?

Page 14: Marketing Antara Teori n Praktek

13

Validitas dan akurasi model Marsden dan begitu banyak model lainnya diamati secara khusus oleh profesor marketing seperti Scott Armstrong, secara spesifik dengan mengamati tingkat replikasi dan ekstensinya. Armstrong dan Raymond Hubbard mendefinisikan replikasi dengan ekstensi sebagai sebuah duplikasi dari proyek riset yang terbit sebelumnya demi menyelidiki keumuman temuan-temuan riset sebelumnya[23]. Yang terjadi, sesuai temuan Armstrong, dari 1.120 publikasi yang dimuat tiga jurnal marketing terbesar, tak satupun yang berupa replikasi.

Artinya, temuan-temuan riset sebelumnya tidak diselidiki lagi di waktu-waktu sesudahnya, sehingga konstruksi teori marketing yang dikandung di dalamnya tidak teruji sesuai berjalannya waktu, dan tingkat generalisasinya untuk kepentingan marketing secara praktis tetap menjadi pertanyaan.

IV. TEORI MARKETING

Menurut perspektif preferensi kolektif, struktur pengetahuan bersama, yang menjadi titik awal konstruksi teori marketing bila abstraksi marketing dianggap berurusan dengan sebuah gejala psiko-sosiologis, ternyata tidak sedemikian mengambang. Kesukaan publik terhadap satu produk tertentu akan membrojol dengan sendirinya bila sudah mencapai tahap peferensi kolektif yang stabil, tergambar lewat graf acak.

Tapi di sisi lain, sebagaimana akan dijelaskan, mengapa marketing sebagai konstruksi teori yang saintifik dianggap begitu terfragmentasi, dan bisa megnarah ke kondisi tak-terdefinisi-dengan-memadai atau tak-berperilaku-baik? Dan sebaliknya, meski perkembangan teori marketing terbaru itu sendiri masih juga problematis, mengapa marketing tetap menempati peranan penting dalam perkembangan industri modern?

Sejak Rothschild menarik definisi marketing menuju cakupan yang begitu luas, marketing telah berdiam dalam sebuah domain psikologi sosial yang lebih pelik, lebih kompleks dibanding sebelumnya diluar sepengatahuan Rothschild atau bahkan Kotler sendiri. Tapi kepelikan ini bukan berarti ketiadaan metodologi yang memadai hingga akhirnya keseluruhan praktik marketing diserahkan ke mekanisme trial-and-error yang riskan, atau begitu saja diserahkan ke common-sense sehingga, sebagaimana secara umum dijumpai, marketing sebagai sains memang tercampur dengan marketing sebagai cerita rakyat.

IV.1 SAINS ATAU FOLKLORE? Mengapa oleh teoretisi marketing sendiri, marketing sebagai sains telah dianggap begitu tercampur dengan marketing sebagai folklore[24]?

Folklore atau cerita rakyat atau aksi yang semata-mata ikut ‘seperti kerbau dicocok hidungnya’ pada suatu metode ini seperti yang disebut oleh Scott Armstrong, berupa teknik-teknik dan konsep-konsep yang diadopsi mana jer tanpa evaluasi formal dari efektivitasnya, semata karena orang lain menggunakannya. Lebih jauh, folklore kadang

Page 15: Marketing Antara Teori n Praktek

14

terbukti berguna, lebih sering tidak ada gunanya, dan kadang malah berbahaya. Folklore bisa bertahan lama, bahkan ketika sebenarnya tidak berguna atau justru berbahaya.

Folklore yang diselidiki Armstrong terbatas pada publikasi-publikasi ilmiah tentang marketing yang sedemikian lama menyebar, diikuti oleh banyak orang meski derajat replikasinya begitu rendah. Armstrong menyebut matriks BCG (Boston Consulting Group) untuk perencanaan portofolio yang sekian lama telah menjadi panduan umum bagi bayak orang, bahkan dianjurkan penggunaannya oleh berbagai buku teks marketing standar.

Gambar 6 Matriks BCG[25] Dog adalah produk-produk yang pertumbuhan pasar dan market share-nya rendah, tidak menghasilkan keuntungan tapi malah menyedot keuangan perusahaan. Produk ini harus dihilangkan. Cash cows adalah produk dengan pertumbuhan pasar yang lambat tapi dengan market share yang tinggi. Produk ini layak dipertahankan karena penghasilannya lebih banyak dibanding investasi yang dibutuhkan. Problem Children adalah produk dengan pertumbuhan pasar yang tinggi tapi market share-nya rendah, menyedot banyak sumberdaya tapi hanya menghasilkan sedikit. Semakin tinggi usaha memperluas market share, semakin tinggi pula biaya yang disedot. Star adalah produk sempurna, dengan pertumbuhan pasar dan market share yang sama-sama tinggi.

Sesuai Gambar 6, matriks yang sangat simplistik ini mempreskripsikan langkah-langkah strategis secara lugas: hilangkan dog dan investasi sebanyak mungkin ke star.

Dengan karakter simplistiknya inilah maka matriks BCG secara langsung berhadapan dengan berbagai kesulitan. Misalnya untuk kasus industri pertahanan, sebuah produk baru yang inovatif, lebih efisien dan lebih canggih dengan sendirinya akan memperoleh market share yang luas, dan pertumbuhan pasar yang fantastis karena industri pertahanan adalah sektor dengan produsen dan konsumen yang sangat terbatas. Tapi apakah produk dengan kategori star dalam industri pertahanan dengan sendirinya terhubung dengan tingkat profitabilitas tinggi mengingat biaya riset-dan-pengembangannya juga sangat tinggi?

Page 16: Marketing Antara Teori n Praktek

15

Anehnya, mengingat matriks ini digunakan begitu luas, Armstrong hanya menemukan dua publikasi ilmiah yang membahasnya dengan memakai uji-uji empiris, dengan hasil yang lebih mengejutkan. Perusahaan yang menggunakannya ternyata meraup untung lebih sedikit dibanding perusahaan yang menggunakan metode berbeda.

Folklore marketing dan bukan sains marketing memang ada dimana-mana, setidaknya menurut temuan Armstrong. Sedangkan untuk mencegah proliferasi folklore vis-à-vis sains, satu-satunya jalan yang diakui hanyalah mengkaji hasil-hasil riset metodologis. Karena tradisi metodologis melibatkan prosedur yang ketat dan memerlukan latar belakang referensial yang komprehensif, akhirnya pendekatan ini hanya mampu dilakukan para akademisi atau ilmuwan di bidangnya.

Ironisnya, orang-orang dengan kemampuan pembacaan seperti ini, selain sebagai akademisi, juga bernaung dalam lembaga-lembaga konsultan komersial seperti Kotler yang mempunyai Kotler Marketing Group. Bernaungnya teoretisi-teoretisi dalam lembaga komersial ini akan makin membatasi aksesibilitas publik yang heterogen untuk memperoleh metode-metode praktis yang bisa ditempuh oleh perusahaan manapun. Dugaan Durlauf perihal segregasi kembali menemukan relevansinya.

Tapi yang lebih mengganggu adalah, diluar lingkup akademis atau saintifik, apakah dalam praktik bisnis sehari-hari, bentuk-bentuk folklore ini juga ditemukan, tak peduli bahwa folklore itu tidak saja tanpa guna, tapi juga justru berbahaya? IV.2 TEORI AWAM Marketing, sesuai definisi atau redefinisi Rothschild diatas adalah sebuah topik bahasan yang cukup pelik dalam domain psikologi sosial. Peliknya tidak hanya karena marketing berada di tengah-tengah gejala individual dan sosial, tapi juga karena seperti temuan Armstrong, mengandung folklore yang tinggi, atau setiap publikasi ilmiahnya mengandung derajat replikasi yang rendah.

Untuk kalangan awam, dalam artian di luar lingkup saintifik, yang banyak ditemui bukanlah sains sama sekali. Terlihat dari lima besar buku terlaris yang dijual di toko buku maya terbesar, Amazon.com per 20 Juli 2003 sebagai berikut:

1. Positioning: the Battle for Your Mind: How to Be Seen and Heard in the Overcrowded Marketplace oleh Al Ries

2. Raving Fans: A Revolutionary Approach to Customer Service oleh Ken Blanchard dan Sheldon Bowles

3. Spin Selling Fieldbook oleh Neil Rackham

4. Moments of Truth: New Strategies for Today's Customer-driven Economy oleh Jan Carlzon

5. Get Clients Now!: A 28-day Marketing Program for Professionals and Consultants oleh C.J. Hayden

Judul-judul provokatif sejak awal sudah menjadi daya tarik yang membuat pembeli awam – yaitu pembeli yang berasal dari kelas perusahaan menengah atau kecil yang tidak

Page 17: Marketing Antara Teori n Praktek

16

mempunyai akses langsung terhadap jasa konsultasi marketing yang kredibel – dengan mudah terpengaruh. Alih-alih memberi sebuah paparan metodologis yang holistik, modul-modul marketing untuk umum cenderung disusun oleh paling tidak dua pola, yaitu panduan langkah-demi-langkah dan kisah-kisah sukses.

Panduan langkah-demi-langkah sangat membantu menyederhanakan perhitungan teknis yang panjang dan melibatkan banyak faktor. Bila perhitungan terlalu teknis, entah perhitungan ini valid atau tidak menurut metodologi tertentu, akan membuat pembaca kehilangan poin-poin praktis yang membuat modul itu bisa digunakan. Bahayanya adalah, panduan langkah-demi-langkah bisa berarti over-simplifikasi atau over-linearisasi[26] masalah dan bahkan penghilangan variabel-variabel dalam sistem yang cukup signifikan sehingga abstraksi yang didapat menjadi konter-faktual. Ketika diaplikasikan, yang terbentuk adalah strategi yang tidak berkelakuan baik.

Kisah-kisah sukses yang dikumpulkan dari latar belakang kehidupan pengusaha -pengusaha kaya atau tokoh-tokoh penting, sebagian besar hanya mencantumkan bagian-bagian khusus yang secara naratif memadai untuk menimbulkan ketertarikan pembaca. Pola ini beroperasi di wilayah emosional pembaca agar tetap terus membaca tanpa menemui titik yang meletihkan dan menjenuhkan. Begitu satu buku melekat dalam benak sebagian pembaca (entah sebagai rujukan teoretis atau sebagai bacaan motivator), terutama pembaca yang berperan sebagai strong tie dalam lingkup sosial, selanjutnya akan muncul efek epidemik[27]. Buku bisa menjadi best-seller tanpa memberikan kontribusi praktis yang memadai terhadap praktik marketing itu sendiri.

Teori yang bagus bukan berarti bisa dibuat mudah (supersimetri relatif terhadap mekanika kuantum untuk objek-objek mikroskopis bermassa besar), walau teori yang bagus kadang memang teori yang mudah (mekanika Newtonian relatif terhadap mekanika kuantum untuk objek-objek makroskopis). Panduan langkah-demi-langkah berarti membuat teori-teori psikologi sosial yang bahkan belum tentu bagus[28] menjadi teori yang mudah, dan muncullah, misalnya pemakaian matriks BCG secara luas.

Perkembangan marketing dan manajemen pada umumnya sepanjang kurang lebih satu abad sejarahnya, memang berkecenderungan bergerak dari manipulasi proses produksi ke manipulasi dinamika manajerial, dimulai dari optimasi produksi pada awal abad lalu, dan diakhiri dengan budaya kerja yang kondusif bagi para karyawan. Kecenderungan ini sering diartikan dengan cara lain, seperti dengan menggeser pertimbangan kuantitatif abad lalu ke perkembangan kualitatif abad ini yang membuat marketing makin lama makin termanifestasi menjadi pseudosains[29].

Kecuali bila praktik marketing secara luas memang diproyeksikan untuk industri lain yang mengejar produktivitasnya sendiri, mempunyai domain sendiri. Maka yang terjadi adalah ‘marketing teori marketing’. Seorang pakar marketing ‘laku’ di pasaran ketika sedang ‘menjual’ teorinya dalam format buku-buku atau seminar-seminar. Tapi begitu seorang praktisi ‘menjual’ komoditasnya sendiri sesuai dengan preskripsi teoretis, kondisi ‘laku’ tidak serta merta terjadi.

Page 18: Marketing Antara Teori n Praktek

17

IV.3 REPLIKASI Sebagaimana disebutkan di III.2.3, Armstrong dan Hubbard mendefinisikan ‘replikasi dengan ekstensi’ sebagai sebuah duplikasi dari proyek riset yang terbit sebelumnya demi menyelidiki keumuman temuan-temuan riset sebelumnya.

Untuk bagian tulisan ini, replikasi yang dimaksud mempunyai dua bentuk: hasil riset yang diterbitkan di jurnal-jurnal akademis untuk dikonsumsi oleh sesama teoretisi; dan yang disebarkan ke khalayak atau praktisi-praktisi marketing dan diaplikasikan secara praktis.

Sampai tingkat tertentu, pembedaan dua bentuk ini relevan dan valid untuk dijadikan titik acuan dengan alasan, di luar wewenang teoretisi, ‘ekstensi’ yang dimaksud Armstrong tidak mungkin terjadi. Artinya, ekstensi marketing sebagai sebuah sains hanya menjadi wewenang para teoretisi, karena bila ekstensi dilakukan oleh non-teoretisi, maka ekstensi ini dianggap improvisasi atau bagian dari folklore, dan bukan sebuah temuan akademis yang memenuhi kriteria-kriteria keilmiahan[30]. IV.3.1 Teori-ke-Teori Dengan memakai basis data yang disediakan riset-riset Arsmstrong, bagian tulisan ini akan mengomparasikan proliferasi dan diseminasi publikasi berbagai riset marketing dengan riset-riset di bidang lainnya.

Armstrong mengambarkan replikasi sebagai sebuah duplikasi dari temuan-temuan sebelumnya untuk menguji sampai sejauh mana temuan-temuan ini bisa digeneralisasi untuk lingkup spasio-temporal (populasi, produk, wilayah geografis) lainnya. Sedangkan ekstensi berfungsi untuk meredeterminasikan cakupan dan batasan temuan sehingga bisa digeser dari konteks aslinya.

Landasan fenomenologis yang benar-benar ketat dan tidak plastis[31] bisa diperoleh dari pengamatan terhadap kutipan-kutipan atau pencantuman referensi-referensi dalam sebuah publikasi ilmiah. Untuk disiplin ilmu lainnya, investigasi replikasi jurnal-jurnal ilmiah dengan pendekatan ini sudah lazim dilakukan[32] meskipun difokuskan ke penyelidikan struktur jejaring sosial dan mengarah ke coauthorship dan bukannya ke citation karena citation tidak dianggap sebagai bentuk jejaring sosial[33].

Meskipun pendekatan ini tidak dominan dalam metodologi Armstrong, tapi dia mengasumsikan bahwa gagalnya replikasi dari sebuah studi original akan diiringi dengan semakin rendahnya pengutipan terhadap studi itu karena hasil-hasilnya dipertanyakan.

Pendekatan Armstrong ini, setelah melibatkan sebuah klasifikasi ketat melalui suatu prosedur pengutipan dan penyebutan referensi tertentu yang bersumber dari Social Science Citation Index (SSCI, 1989-94), hanya menyisakan 18 sampel studi yang hampir semua dirilis pada tahun 1989 .[34] Sampel yang hanya 18 ini memang telah diseleksi oleh Armstrong terbatas untuk publikasi-publikasi dengan replikasi, baik studi original maupun studi replikasi dan ekstensinya. Dengan kata lain, 18 sampel ini adalah node dengan tepi terbanyak, atau publikasi yang paling sering dikutip oleh publikasi lain.

Page 19: Marketing Antara Teori n Praktek

18

Selanjutnya, riset Armstrong ini akan dikomparasikan dengan riset serupa untuk fisika (Physical Review D, 1975-94) oleh Redner[35] lewat eksplorasi ekstensif dengan teori jejaring.

Sayangnya, riset Armstrong menghasilkan deskripsi yang sangat terbatas, hanya menyelidiki publikasi yang mempunyai replikasi dan dinyatakan dalam besaran rata-rata pengutipan tiap tahun. Armstrong hanya menyatakan bahwa dari 18 publikasi yang disebut, pengutipan studi original rata-rata per tahun <k>* = 2,1 kali per tahun, dan 0,9 untuk studi ekstensi, keduanya untuk jangka waktu 5 tahun.

Berkebalikan dengan riset Armstrong dalam hal pengumpulan sampel, Redner menghasilkan eksplorasi yang sangat detail dan melibatkan ratusan ribu entry data (tepatnya 24.296 publikasi), sehingga harus diskalakan sedemikian rupa agar sejauh mungkin bisa dikomparasikan secara langsung dengan riset Armstrong. Riset Redner menemukan bahwa probabilitas dikutipnya sebuah publikasi ilmiah sebanyak l kali ternyata mengikuti distribusi power-law dengan eksponen ? ˜ 3 dengan lmax = 2.026. Dengan memakai prosedur yang sama, misalnya dengan mengambil 18 publikasi teraktif dari basis data Redner untuk membentuk ltop, akan didapat <ltop> ˜ 2.026. Maka untuk rentang waktu 19 tahun, pengutipan studi original rata-rata per tahun menjadi < ltop>* = 106,6.

Gambar 7 Jejaring dengan Fragmentasi dan Integrasi

a) Jejaring yang dibentuk sebuah graf acak dengan probabilitas keterhubungan antar-node yang kecil sehingga muncul fragmen-fragmen yang tidak saling berhubungan satu sama lain. Graf seperti inilah yang digambarkan riset Armstrong tentang replikasi marketing yang rendah karena antar-node hampir tidak saling mempengaruhi, seperti Strategi Generik Porter[36] yang dikembangkan tanpa menyebut-nyebut Jam Strategi Bowman[37] meski keduanya sama-sama menyelidiki posisi kompetitif suatu perusahaan.

b) Jejaring bebas-skala yang tersusun atas node-node yang secara hirarkis akhirnya terhubung ke sebuah ‘inti’, yang misalnya pada Physical Review D sesuai riset Redner, bisa jadi adalah karya-karya seminal seperti tulisan Einstein, Podolsky dan Rosen yang menelurkan paradoks EPR[38] di teori fisika kuantum dan terus diperdebatkan sampai sekarang.

Artinya, derajat replikasi publikasi marketing yang diukur Armstrong lewat tiga jurnal marketing terbesar ternyata jauh lebih rendah dibanding dengan publikasi fisika di Phys. Rev. D saja. Jadi alih-alih berperilaku sebagai sebuah jejaring citation yang membentuk

Page 20: Marketing Antara Teori n Praktek

19

topologi bebas-skala, ternyata jejaring citation untuk marketing, sesuai riset Armstrong, terfragmentasi menjadi bagian kecil-kecil yang tidak berhubungan satu sama lain.

Sayangya, berkesimpulan terlalu jauh tanpa data primer, hanya berbekal analisis pendek Armstrong, hanya akan berujung ke pernyataan yang tidak hati-hati. Tapi paling tidak, sampai batas tertentu, jika konstruksi suatu ilmu pengetahuan sebagai sebuah domain aktivitas saintifik yang menyelidiki objek-objek yang sama ternyata tersusun oleh fragmen-fragmen yang kecil dan tak berhubungan satu sama lain dan bahkan saling bertentangan, yang bisa tergambar adalah sebuah krisis integrasi asumsi-asumsi.

Celakanya, secara teoretis, bila krisis ini, secara sengaja atau tidak, disebarkan ke khalayak praktisi yang berkepentingan sebatas mencari preskripsi-preskripsi terhadap satu masalah tertentu, maka yang muncul adalah keterpecahan pengetahuan yang saling bertentangan satu sama lain.

Derajat replikasi yang rendah akan mengakibatkan disintegrasi teori yang tentunya dari sudut pandang ilmiah manapun, pasti menghasilkan efek yang tidak menguntungkan. IV.3.2 Teori-ke-Praktik Di atas sudah dijelaskan kondisi keterpecahan marketing yang seharusnya terbentuk sebagai sebuah konstruksi pengetahuan yang ketat, tapi pada kenyataannya, menurut riset Armstrong, berada pada kondisi terfragmentasi yang sedemikian parahnya, sesuai dengan penyelidikannya perihal rendahnya replikasi berikut ekstensinya.

Dengan pendekatan teori graf, merujuk ke III.2.2, maka fragmentasi yang sedemikian kecil-kecil ini bisa merepresentasikan alternatif-alternatif baru. Semakin banyak fragmentasi, semakin banyak alternatif yang muncul, semakin banyak pula kemungkinan munculnya struktur preferensi kolektif atau dalam hal ini, mutual knowledge yang tidak stabil.

Akhirnya, masyarakat sendiri, dan secara spesifik, praktisi marketing sebagai aparatus-aparatus dinamik yang mampu memunculkan bidang-bidang kognitif, telanjur manunggal (embodied/embedded) dengan mutual knowledge yang menekankan bahwa tidak ada atau nyaris tidak ada perdebatan teoretis mulai dari asumsi-asumsi awal dalam konstruksi teori marketing. Perdebatan-perdebatan ini sudah selayaknya muncul, mengingat sesuai IV.3.1, fragmentasi yang sampai ke bagian-bagian yang sedemikian kecilnya sama halnya dengan ketidakcocokan yang tidak bisa disatukan dalam meta-teori apapun.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah yang membuat marketing sebagai konstruksi pengetahuan yang sangat terfragmentasi ternyata tetap memegang peranan sentral dalam kehidupan industrial masyarakat? Lewat pola yang bagaimanakah teori marketing direplikasikan ke lingkup praktiknya?

Kemungkinan terbesarnya bisa tampak dengan cara masyarakat awam (yang mewakili perusahaan yang bukan perusahaan besar, tapi dengan konsumen individual, disesuaikan dengan tesis Miller tentang domain ketakterhindaran marketing) mempersepsi teori-teori marketing formal. Dengan kata lain, sebuah metode marketing akan diperlakukan oleh

Page 21: Marketing Antara Teori n Praktek

20

praktisi bukan dengan cara yang sama oleh teoretisi. Ada faktor-faktor ekstrinsik yang membuat sebuah metode marketing melekat di benak praktisi.

Dari medium replikasi teori (atau lebih sempit, metode) marketing, yang mungkin muncul hanyalah buku-buku marketing, seminar-seminar, dan tentu saja, penyebaran dari mulut ke mulut; atau bahkan, tidak ada replikasi sama sekali.

Buku-buku dan materi-materi seminar marketing, disusun dengan teknik pengemasan tertentu yang sangat mempengaruhi landasan teoretis yang ingin dipaparkan. Penekanan pada panduan langkah-demi-langkah atau kisah-kisah sukses, pada suatu titik akan sama sekali merubah penampakan konstruksi teoretis yang ingin disampaikan, itupun kalau memang ada konstruksi teoretis di belakangnya.

Gambar 8 Preferensi Kolektif Terhadap Fragmentasi Teori

Dari graf yang sama pada Gambar 7, yang dipersepsi oleh praktisi adalah efek-efek ekstrinsik dari teori yang dilambangkan dengan kesamaan warna dan dibatasi oleh area yang diarsir, dan bukan integrasi teori yang dilambangkan oleh keberadaan tepi-tepi yang pada graf ini sangat sedikit. Kesamaan ekstrinsik X = {(panduan langkah-demi-langkah),(kisah sukses),…} akhirnya dioleh oleh sistem kognitif praktisi dan setelah diagregasikan sesuai prosedur Richards, akan menghasilkan alternatif M. Perhatikan X4 yang merupakan sumber teori yang berasal dari luar teoretisi, misalnya folklore.

Dari Gambar 8, dimunculkan sebuah preferensi kolektif seperti pada model

Richards dalam III.2.1. Sebuah teori cenderung dipakai oleh praktisi karena preferensi ekstrinsik di luar domain teori itu sendiri, tapi lebih ditentukan oleh misalnya pengemasan buku yang mewah, atau murah, atau sesuai dengan IV.2, disusun berdasarkan panduan langkah-demi-langkah dan kisah-kisah sukses. Setelah masuk ke bidang kognitif praktisi, yang muncul adalah preferensi kolektif dan bukan pertimbangan saintifik. Yang lebih dramatis, sumber replikasi bukanlah konstruksi teoretis, tapi folklore.

Bila preferensi kolektif tidak muncul karena ada siklus dalam graf, maka tidak akan ada mutual knowledge tentang marketing diantara sesama praktisi, atau sesuai formulasi Richards, 121 MMMM n ffKff .

Page 22: Marketing Antara Teori n Praktek

21

Artinya, lewat sekuen tertentu, replikasi teori marketing melewati tahapan-tahapan yang menghasilkan pergeseran yang mencolok antara formalisasi teoretisnya dan aplikasi praktisnya. Lebih jauh, pemilihan metode marketing bisa terdeteksi sebagai preferensi kolektif yang menjadi bahasan psikologi sosial layaknya sebuah produk, dan bukan sebagai pilihan rasional sesuai tradisi saintifik. Tapi pada kenyataannya, di kalangan praktisi, aktivitas marketing tetap berjalan, mereka tetap melakukan business as usual, tak peduli bahwa marketing secara teoretis benar-benar terfragmentasi atau terintegrasi.

Sampai disini kita tiba pada pertanyaan yang sedikit bombastis: Bagi perusahaan kecil yang mempunyai konsumen individual, apakah teori marketing yang disusun secara saintifik mempunyai tingkat aplikasi yang berarti? Bila jawabannya tidak, maka segregasi Durlauf tidak hanya melahirkan kelas-kelas ekonomi, tapi juga kelas-kelas intelektualitas.

V. KERJA SELANJUTNYA

Tujuan awal dari tulisan ini adalah menunjukkan ketakterhindaran marketing sebagai konstruksi sosiologis atau sosiopsikologis dalam kehidupan manusia industrial. Selain itu, tujuan yang lain adalah menyelidiki sampai sejauh mana teori marketing yang ada sekarang mencukupi untuk dijadikan landasan berpikir yang teratur demi menggagas desain-desain program marketing secara praktis dan akurat.

Dari temuan-temuan yang ada sejauh ini, maka diperlukan sebuah kerja lanjutan yang difokuskan pada:

• penentuan prioritas-prioritas kebijakan tertentu untuk mencegah segregasi kelas ekonomi seperti pada II.1 muncul secara spontan, bila memang diinginkan oleh penentu kebijakan dan bila pembatasan-pembatasan terhadap ekonomi pasar bebas memang harus dilakukan sesuai perspektif pengambilan keputusan;

• abstraksi ketat terhadap pendekatan psiko-sosiologis yang lebih sistematis terhadap resiko-resiko ketidakakuratan deskripsi yang dimunculkan oleh keberadaan target marketing yang terletak diantara domain psikologis dan sosiologis seperti dinyatakan dalam III.1, lebih konkret berdasarkan gejala-gejala pembentukan preferensi kolektif pada III.2 sesuai perspektif konstruksi teoretis;

• reintegrasi ketercerai-beraian teori-teori marketing yang dipotret pada IV.3.1 sehingga terbentuk sebuah konstruksi saintifik yang rigid dan mempunyai derajat replikasi, generalisasi atau universalisasi yang memadai, bila memang memungkinkan dan diperlukan sesuai perspektif integrasi teoretis;

• revitalisasi teori marketing sebagai sebuah konstruksi saintifik dan bukan sebagai sebuah aktivitas produktif yang dilakukan seorang teoretisi yang bisa dihadapkan pada risiko-risiko negatif berbentuk kecurangan-kecurangan[39] akademis sesuai perspektif otoritas akademis.

Page 23: Marketing Antara Teori n Praktek

22

Selain itu, diluar jangkauan yang diberikan oleh deskripsi pada tulisan ini, kerja selanjutnya bisa terfokus pada pencarian batas-batas terluar dari domain teori marketing lewat pemandangan yang lebih makroskopis. Semua bermula ketika marketing sebagai sebuah aktivitas manajerial yang semata-mata diproyeksikan untuk peningkatan penjualan sangat dipengaruhi oleh lingkaran umpan-balik dari sistem manajemen perusahaan bersangkutan maupun sistem ekonomi yang lebih besar. Batas-batas terluar ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada kondisi estrem, misalnya ketika target pasar telah jenuh dan tidak mungkin lagi dikembangkan, tak peduli seintesif apapun program marketingnya.

PENGAKUAN

Terima kasih kepada rekan-rekan di Bandung Fe Institute atas ‘frantic climate’ yang diberikan berikut semangatnya yang tinggi dalam menjaga standar ketat dalam rilis publikasi refereed, dan dalam memerangi plagiasi. Terima kasih kepada Yun Haryadi dari Dept. Dyn. Sys. Mod. BANDUNG FE INSTITUTE dengan wawasan meta-matematikanya. Terimakasih pada Hokky Situngkir dari Dept. Comp. Soc. BANDUNG FE INSTITUTE atas wawasan teori jejaringnya. Terakhir, terima kasih pada Yohanes Surya atas dukungan teknis yang diberikan.

[1] Miller, G. F. (2000). ‘Marketing’ dalam J. Brockman (ed.), The greatest inventions of

the last 2,000 years.

[2] Jameson, Fredric. (1991). Postmodernism or, The Cultural Logic of Late Capitalism.

[3] Dimitrov, Vladimir. (2003). New Kind of Social Science , draft, akan diterbitkan dalam bahasa Indonesia.

[4] Durlauf, Stephen. (1997). ‘What Should Policymakers Know About Economic Complexity?’ dalam working paper Santa Fe Institute .

[5] Felkins, Leon. (2002). Dilemmas of Ambiguity and Vagueness, draft. [http://www.magnolia.net/~leonf/paradox/ambiguit.html]

[6] Kasus yang terjadi sekitar Juli 2003 adalah bergabungnya tiga biro iklan multinasional dalam semacam joint committee untuk menangani program-program khusus di Asia.

[7 ] Dawkins, Richard. (1976). The Selfish Gene .

[8] Aunger, Richard. (2000). Darwinizing Culture.

[9] Marsden, Paul. (2000). ‘Brand Positioning: Meme’s the Word.’ [www.viralculture.com]

[10] Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. (2001).

[11] Beer, Stafford. (1966). Decision and Control: The Meaning of Operational Researc h and Management Cybernetics.

[1 2] Kauffman, Stuart. (1995). At Home in the Universe: The Search for the Laws of Self-Organization and Complexity.

Page 24: Marketing Antara Teori n Praktek

23

[1 3] Sawyer, Keith. (2003). ‘Artificial Societies: Multiagent Systems and the Micro-Macro

Link in Sociological Theory’ dalam Sociological Methods and Research, vol. 31.

[14] Rothschild, Michael. (1999). ‘Carrots, Sticks, and Promises: A Conceptual Framework for the Management of Public Health and Social Issue Behaviors’ dalam Journal of Marketing, vol. 63 .

[15] Kotler, Philip dan Eduardo L. Roberto (1989), Social Marketing Strategies for Changing Public Behavior.

[16] Untuk pembahasan yang lebih detail perihal metodologi sosiologi Durkheim, lih. Giddens, Anthony. (1986). Kapitalisme dan teori sosial modern: suatu analisis terhadap karya tulis Marx, Durkheim dan Max Weber. terj. Soeheba Kramadibrata.

[17 ] Lih. mis. Lansing, J. Stephen. (2002). “‘Artificial Societies’ and the Social Sciences” dalam working paper Santa Fe Institute .

[18] Richards, Diana., Brendan McKay dan Whitman Richards . (1998). ‘Collective Choice and Mutual Knowledge Structure’ dalam Advances on Complex System 1 .

[19] Erdös, Paul dan Alfred Rényi. (1959) ‘On Random Graph’ dalam Publications Mathematicae 6.

[20] Untuk merinci perbedaan kondisi stabil dan robust dalam sistem dinamik, lih. Jen, Erica. (2003). ‘Stable Or Robust? What's The Difference?’ dalam working paper Santa Fe Institute.

[21 ] Albert, Réka dan Albert-Lasló Barabási. (2002). ‘Statistical mechanics of complex networks’ dalam Rev. Mod. Phys, 74.

[22] Barabási, Albert-Lasló, Erzsébet Ravasz dan Tamás Vicsek. (2002). Deterministic Scale-Free Networks. [cond-mat/0107419 v3]

[23] Hubbard, Raymond dan J. Scott Armstrong. (1994). ‘Replications and Extensions in Marketing: Rarely Published But Quite Contrary’ dalam International Journal of Research in Marketing, 11.

[24] Armstrong, J. Scott. (1996). ‘Management Folklore and Management Science: On Portfolio Planning, Escalation Bias, and Such’ dalam Interfaces , Juli-Agustus1996.

[25] [http://www.marketingteacher.com/Lessons/lesson_boston_matrix.htm]

[26] Contoh linearisasi masalah atau merekonstruksi masalah dengan asumsi-asumsi linear dan sama sekali menghilangkan efek umpan-balik atau efek mikro-struktur apapun bisa dilihat di Kasali, Rhenald. (1992). Manajemen Periklanan: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia , salah satu buku teks standar yang menuliskan:

“…promosi dengan menggunakan media massa masih dianggap lebih ekonomis. Kalau Anda memasang iklan di harian Kompas ukuran 3 kolom x 25 sentimeter (total 750 milimeter kolom), dengan biaya Rp 8000,00/mmk (tarif per Maret 1990), Anda harus membayar Rp 6 juta (di luar PPn). Dibandingkan dengan oplahnya yang berjumlah 600.000 eksemplar, maka Anda hanya membayar Rp 10,00 untuk menjangkau setiap rumah tangga. Jika setiap surat kabar dibaca oleh lima orang dalam satu rumah tangga, maka ongkos untuk menjangkau setiap orang menjadi hanya dua rupiah saja.”

Pernyataan ini secara eksplisit kontras dengan kalimat terakhir paragraf sebelumnya:

“…, belum adanya kebiasaan membaca menimbulkan kendala bagi peningkatan efisiensi iklan.”

[27 ] Gladwell, Malcolm. (2002). Tipping Point: Bagaimana Hal-hal Kecil Berhasil Membuat Perubahan Besar. terj. Alex Widodo.

[28] Bentuk sinisme seperti ini bahkan bukan lagi dugaan, tapi sudah menjadi topik riset yang sudah memunculkan hipotesis-hipotesis. Lih. Armstrong, J. Scott. (1995).

Page 25: Marketing Antara Teori n Praktek

24

Quality Control Versus Innovation in Research on Marketing dalam Journal of Marketing Management, 11 .

[29] Interpretasi pergeseran dengan cara seperti ini secara eksplisit bisa dilihat pada Raka, Gede. (2003). ‘Penggaris-bawahan Peran Idealisme, Karakter dan Komunitas dalam Transformasi Institusi’ dalam pidato ilmiah pada Sidang Terbuka Peringatan Dies Natalis ke -44 Institut Teknologi Bandung.

[30] Beberapa perkecualian ditemui pada figur-figur dengan latar belakang non-akademis yang akhirnya mempunyai track-record yang disejajarkan dengan aktivitas akademisi, terbukti dengan keberadaan, misalnya, proyek-proyek coauthorship tertentu atau chairmanship di asosiasi marketing internasional tertentu.

[31 ] Landasan fenomenologis yang dalam hal ini bertindak sebagai oposisi landasan substansial berkutat pada ‘faktor-faktor ekstrinsik’ dari suatu jurnal ilmiah, misalnya: judul publikasi, nama pengarang, tanggal, referensi. Landasan ini berlainan dengan landasan substansial yang menyangkut isi dari publikasi itu sendiri yang melibatkan konstruksi linguistik peka-konteks yang rawan inakurasi meski hanya dipakai sekedar untuk mengidentifikasi bahwa sebuah publikasi adalah replikasi dari publikasi lainnya.

[32] Lih. mis. Newman, Mark. (2001). ‘The structure of scientific collaboration networks’ dalam Proc. Natl. Acad. Sci. USA 98.

[33] Newman, Mark. (2000). ‘Who is the best connected scientist?: A study of scientific coauthorship networks’. [cond-mat/0011144]

[34] Hubbard, Raymond. op. cit.

[35] Redner, S. (1998). ‘How popular is your paper?: An empirical study of the citation distribution’ dalam Euro. Phys. Journ. B4. [cond-mat/9804163]

[36] Porter, Michael. (1980). The Competitive Advantage of Nations.

[37 ] Bowman, Cliff dan D. Faulkner. (1996). Competitive and Corporate Strategy.

[38] Pertama kali diterbitkan dalam Einstein, Albert., Boris Podolsky dan Nathan Rosen. (1935). ‘Can quantum-mechanical description of physical reality be considered complete?’ dalam Phys. Rev. 47 ., yang terus diperdebatkan dan dikutip sampai sekarang seperti dalam mis. Aharonov, Y. dan Albert, D. Z. (1981). ‘Can we make sense out of the measurement process in relativistic quantum mechanic s?’ dalam Phys. Rev. D 24.

[39] Armstrong, J Scott. (1983). ‘Cheating in Management Science’ dalam Interfaces, 13.

Page 26: Marketing Antara Teori n Praktek

PETUNJUK PENGGUNAAN DOKUMEN BFI 1. Tentang Dokumen Dokumen ini adalah hasil riset sebagai sikap umum dari Bandung Fe Institute (BFI). Dokumen ini telah melalui proses seleksi dan penjurian yang dilakukan oleh Board of Science BFI bersama dengan penulisnya dan beberapa narasumber terkait. Tanggung jawab terhadap kesalahan yang mungkin terdapat dalam isi dari masing-masing makalah berada di tangan penulisnya. 2. Tentang Ketersediaan & Penggunaan Dokumen

• Dokumen ini disediakan secara gratis dalam bentuk kopi elektronis yang dapat diakses melalui alamat web: http://www.bandungfe.scripterz. Siapapun yang berkeinginan untuk melihat dan memiliki kopi elektronis dari dokumen ini dapat memperolehnya secara gratis dengan men-download dari alamat tersebut.

• Dokumen yang di-download dapat diperbanyak, didistribusikan, ataupun dikutip untuk penggunaan non-komersil, pengayaan riset ilmiah, dan keperluan pendidikan tanpa perlu meminta izin tertulis dari BFI. Khusus untuk pengutipan, dapat dilakukan tanpa izin tertulis dari BFI namun harus menyebutkan dengan baik sumber kutipan, meliputi nama penulis, nomor seri dokumen, penerbit BFI Press, dan tahun penerbitan sesuai dengan standar penulisan bibliografi di mana kutipan dilakukan.

• Hard-Copy dari dokumen ini dapat diperoleh dengan permintaan tertulis kepada Kantor Administrasi BFI pada alamat di bawah. Hard-Copy dapat diperoleh dengan membayar uang pengganti cetak dokumen. Hard-Copy dapat diperbanyak, didistribusikan, ataupun dikutip untuk penggunaan non-komersil, pengayaan riset ilmiah, dan keperluan pendidikan tanpa perlu meminta izin tertulis dari BFI. Khusus untuk pengutipan, dapat dilakukan tanpa izin tertulis dari BFI namun harus menyebutkan dengan baik sumber kutipan, meliputi nama penulis, nomor seri dokumen, penerbit BFI Press, dan tahun penerbitan sesuai dengan standar penulisan bibliografi di mana kutipan dilakukan.

Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut di atas adalah pelanggaran hukum dan mendapat ancaman hukuman/sanksi sesuai peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia Hal-hal di luar petunjuk yang diatur di sini harus dikonsultasikan terlebih dahulu ke Kantor Administrasi BFI dengan alamat: BANDUNG FE INSTITUTE Jl. Cemara 63 Bandung 40161 JAWA BARAT – INDONESIA URL: http://www.bandungfe.scripterz.org Mail: [email protected] Ph. +62 22 2038628 Ponsel: +62 818438435 a.n. Rio Siagian