11

Click here to load reader

MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAHal-muashirah.com/wp-content/uploads/2015/09/9MUHAMMAD-IRHAM.pdfmanusia sebagai hamba Allah, memberikan porsi kemuliaan dan keutamaan bagi manusia-manusia

  • Upload
    ledien

  • View
    212

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAHal-muashirah.com/wp-content/uploads/2015/09/9MUHAMMAD-IRHAM.pdfmanusia sebagai hamba Allah, memberikan porsi kemuliaan dan keutamaan bagi manusia-manusia

MUHAMMAD IRHAM: MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAH78

MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAH(Studi Ayat Fithrah, Hanif dan ‘Ubudiyah)

Mohammad IrhamPerguruan Tinggi Agama Islam Al-Hilal Sigli

Jl. Lingkar Keuniree, Sigli AcehEmail: [email protected]

ABSTRACTAl-Qur'an have depicted in detail about human being, good from side of

genesis of human being creation, characteristic and intention of human beingcreator. Characteristic intended in al-Quran is fithrah, hanif and 'ubudiyah. Thethree things is tendency or potency owned when human being created.Despitefully, human being is also mentioned as creature given free rein to want,this matter is to maximize the potency of human being as khalifah in the earth.

Kata Kunci: Manusia, Hamba Allah, al-Qur’an

PENDAHULUANAl-Qur’an menyebutkan bahwa Allah tidak menciptakan manusia atau

alam semesta ini sebagai permainan (QS. al-Mukminun: 115), Allah tidakmenciptakan langit, bumi dan segala sesuatu di antara keduanya dengan sia-sia(QS. Shad: 27), dan dalam QS. Ali Imran: 191 disebutkan pula bahwa tujuanpenciptaan tersebut adalah untuk sesuatu serius. Tujuan ini adalah agar manusiaberibadah atau melaksanakan perintah Allah, karena ibadah pada dasarnya adalahuntuk kepentingan manusia sendiri, bukan untuk kepentingan Allah, “Kebajikanyang dilakukan seseorang adalah untuk dirinya sendiri sedangkan kejahatan yangdilakukannya akan merugikan dirinya sendiri.” (QS. al-Baqarah: 286)

Dengan demikian, manusia harus berjuang untuk menaklukkan segalahambatan dan godaan yang merugikan dirinya sendiri. Manusia juga harusmelakukan usaha-usaha pembebasan diri, karena di antara ciptaan Allah iamemiliki posisi yang unik, karena manusia diberikan kebebasan berkehendak agardapat menyempurnakan misinya sebagai khalifah Allah di atas bumi. Misi inilah –perjuangan untuk menciptakan sebuah tata sosial yang bermoral di atas dunia –yang dikatakan al-Qur’an sebagai amanah. (QS. al-Ahzab: 72)

Dalam ayat tersebut, Allah telah menawarkan amanah ini kepada langitdan bumi, tetapi keduanya menolak karena takut menanggung beratnyatanggungjawab, lalu amanah ini diterima oleh manusia. Walaupun amanah iniberat bagi manusia dan perbuatannya itu terlampau “nekat” (zhalum dan jahul)karena manusia belum menyempurnakan perintah Tuhan yang paling sedia kala.1

_____________1 Sesungguhnya tidak ada manusia yang kebal dari godaan-godaan syaitan, demikian pula

dengan nabi-nabi (QS. al-Hajj: 52 dan QS. al-Isra: 53) dan Nabi Muhammad sendiri (QS. al-A’raf:200 dan QS. Fushilat: 36), tetapi setiap orang yang benar-benar beriman dan memiliki kemauan,apalagi para nabi, dapat mengatasi godaan-godaan tersebut (QS. al-Hijr: 11; QS. al-Isra: 65; QS.al-Nahl: 99) Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin (Bandung: Pustaka,1983), 27 dan 49.

Page 2: MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAHal-muashirah.com/wp-content/uploads/2015/09/9MUHAMMAD-IRHAM.pdfmanusia sebagai hamba Allah, memberikan porsi kemuliaan dan keutamaan bagi manusia-manusia

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 79

KEDUDUKAN MANUSIA SEBAGAI HAMBA ALLAHSalah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah Allah,

sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Dzariyat: 56, “Dan Aku tidak menciptakanjin dan manusia melainkan supaya menyembah kepada-Ku”. Dalam kapasitasmanusia sebagai hamba,2 tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hambaideal. Hamba ideal dalam al-Qur’an biasa diistilahkan dengan orang-orang yangbertakwa (muttaqun), dan untuk mencapai derajat muttaqun ini tidak dikenaladanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau jenis kelamin etnis tertentu.

Al-Qur’an menegaskan bahwa hamba yang paling ideal adalah paramuttaqun, sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Hujurat: 13;

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa danbersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yangpaling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang palingbertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagiMaha Mengenal”.Kekhususan-kekhususan yang diperuntukkan kepada laki-laki, seperti

seorang suami setingkat lebih tinggi di atas isteri (QS. al-Baqarah: 228), laki-lakipelindung bagi perempuan (QS. al-Nisa: 34), memperoleh bagian warisan lebihbanyak (QS. al-Nisa’: 11), menjadi saksi yang efektif (QS. al-Baqarah: 282), dandiperkenankan berpoligami bagi mereka yang memenuhi syarat (QS. al-Nisa: 3),tetapi ini semua tidak menyebabkan laki-laki menjadi hamba utama. Kelebihan-kelebihan tersebut diberikan kepada laki-laki dalam kapasitasnya sebagai anggotamasyarakat yang memiliki peran publik dan sosial lebih ketika ayat-ayat al-Qur’an diturunkan.

Dalam kapasitas sebagai hamba, laki-laki dan perempuan masing-masingakan mendapatkan penghargaan dari Allah sesuai dengan kadar pengabdiannya,sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Nahl: 97;

“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupunperempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kamiberikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kamiberi balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yangtelah mereka kerjakan”.Dari uraian ayat di atas, dapat dimengerti bahwa ajaran Islam tentang

manusia sebagai hamba Allah, memberikan porsi kemuliaan dan keutamaan bagimanusia-manusia yang beriman, bertakwa dan beramal saleh, baik dari kalanganlaki-laki maupun perempuan. Dengan kata lain, berbagai bentuk penghormatandan kemuliaan yang ada di dunia ini, dan penghormatan itu diberikan di luar

_____________2 Sebagaimana diketahui bahwa, al-Qur’an menegaskan kualitas dan nilai manusia

dengan menggunakan tiga macam istilah yang satu sama lain saling berhubungan, yakni al-insan,al-basyar, dan bani Adam. Manusia sering disebut al-insan karena sering menjadi pelupa sehinggadiperlukan teguran dan peringatan. Manusia disebut dengan al-basyar karena cenderung perasaandan emosional sehingga perlu disabarkan dan didamaikan. Manusia disebut sebagai Bani Adam,karena menunjukkan pada asal usul manusia yang bermula dari Nabi Adam sehingga bisa tahudan sadar akan jati dirinya. Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum dalam Al-Qur’an (Jakarta: Pena Madani, 2003), 106-107.

Page 3: MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAHal-muashirah.com/wp-content/uploads/2015/09/9MUHAMMAD-IRHAM.pdfmanusia sebagai hamba Allah, memberikan porsi kemuliaan dan keutamaan bagi manusia-manusia

MUHAMMAD IRHAM: MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAH80

bingkai iman, amal saleh dan takwa adalah tidak memiliki dasar dalam ajaranIslam.3

STUDI AYAT-AYAT FITHRAHDari segi bahasa, kata fithrah terambil dari akar kata al-fathr yang berarti

belahan, dan dari makna ini lahir makna-makna yang lain seperti “penciptaan”atau “kejadian”.4 Fithrah manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaansejak lahirnya.

Dalam al-Qur’an, kata ini dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 28kali, 14 di antaranya dalam konteks uraian tentang bumi atau langit. Sisanyatentang konteks penciptaan manusia baik dari sisi pengakuan bahwa penciptanyaadalah Allah, maupun dari segi uraian tentang fithrah manusia. Yang terakhir iniditemukan sekali pada QS. al-Rum: 30;

“Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama, (pilihan) fithrah Allah yangtelah menciptakan manusia atas fithrah itu. Tidak ada perubahan padafithrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidakmengetahuinya.”Dari kata fithrah di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia sejak

asal kejadiannya, membawa potensi agama yang lurus, dan dipahami oleh paraulama sebagai tauhid.5 Dalam konteks ayat ini, fithrah keagamaan akan melekatpada diri manusia untuk selama-lamanya, walaupun boleh jadi tidak diakui ataudiabaikannya. Fithrah manusia tidak hanya terbatas pada potensi keagamaansemata, ada juga ayat-ayat lain yang membicarakan tentang penciptaan potensimanusia, walaupun tidak menggunakan kata fithrah seperti QS. Ali Imran: 4;

“Telah dihiaskan kepada manusia kecenderungan hati kepada perempuan(atau lelaki), anak laki dan perempuan serta harta yang banyak berupaemas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang.”

_____________3 Hal ini dapat dicermati dalam beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskan ajaran

persamaan antarmanusia, lihat QS. al-Nisa: 1; QS. al-A’raf: 189; QS. al-Zumar: 6; QS. Fathir: 11;dan QS. al-Mu’min: 67. Ayat-ayat itu pada pokoknya menjelaskan bahwa dari segi hakikatpenciptaan, antara manusia yang satu dan manusia lainnya tidak ada perbedaan. Mereka semuasama dari asal kejadian yang sama, yaitu dari tanah, dari diri yang satu, yakni Adam yangdiciptakan dari tanah. Karena itu, tidak ada kelebihan seorang individu atas individu lainnya atausatu golongan atas golongan lainnya, atau satu ras atas ras lainnya. Karena asal-usul kejadianmanusia seluruhnya adalah sama, tidak layak seseorang atau satu golongan menyombongkan diriterhadap yang lain atau menghina yang lain. Muhammad Husain al-Thabathaba’i, al-Mizan fiTafsir al-Qur’an, Jilid. VI (Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1397 H.), 134-135.

4 Konon sahabat Nabi, Ibnu Abbas tidak tahu persis makna kata fathir pada ayat-ayatyang berbicara tentang penciptaan langit dan bumi sampai ia mendengar pertengkaran tentangkepemilikian satu sumur. Salah seorang berkata “Ana fathartuhu”. Ibnu Abbas memahami kalimatini dalam arti, “saya yang membuatnya pertama kali.” Dan dari situ Ibnu Abbas memahami bahwakata ini digunakan untuk penciptaan atau kejadian sejak awal. Lihat M. Quraish Shihab, WawasanAl-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 284.

5Konsep fithrah tidaklah identik dengan teori tabula rasa. Sama seperti halnya pandanganIslam tentang manusia tidaklah identik dengan aliran dualisme maupun covergency, sebab teoritabula rasa, sebagaimana dikemukakan oleh John Locke, memandang bahwa manusia itu putihbersih, ibarat kertas belum dicoret. Lingkungan dan pendidikanlah yang mencoret kertas yangputih bersih tadi. Jadi, teori tabula rasa memandang manusia terlahir dalam keadaan pasif.Sebaliknya, fithrah memandang manusia lebih dari sekadar kertas putih dan bersih, melainkandalam fithrah terdapat potensi yang terbawa oleh manusia, yakni daya atau kekuatan untukmenerima agama atau tauhid. Bedanya dengan teori tabula rasa, potensi ini bersifat dinamis.

Page 4: MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAHal-muashirah.com/wp-content/uploads/2015/09/9MUHAMMAD-IRHAM.pdfmanusia sebagai hamba Allah, memberikan porsi kemuliaan dan keutamaan bagi manusia-manusia

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 81

Manusia berjalan dengan kakinya adalah fithrah jasadiyah-nya, sementaramenarik kesimpulan melalui premis-premis adalah fithrah aqliyahnya. Senangmenerima nikmat dan sedih bila ditimpa musibah juga adalah fithrahnya. Karenaitu, menurut M. Quraish Shihab, adalah tepat kesimpulan Muhammad bin Asyurdalam tafsirnya tentang QS. al-Rum: 30, yang menyatakan bahwa fithrah adalahbentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Fithrah yangberkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yangberkaitan dengan jasmani dan akalnya (serta ruhnya).6

Al-Qur’an memandang manusia sebagaimana fithrahnya yang suci danmulia, bukan sebagai manusia yang kotor dan penuh dosa. Peristiwa yangmenimpa Nabi Adam sebagai cikal bakal manusia, di mana melakukan dosadengan melanggar larangan Allah, mengakibatkan Adam dan isterinya diturunkandari surga, tidak bisa dijadikan argumen bahwa manusia pada hakikatnya adalahpembawa dosa turunan.7

Islam dengan tegas menyatakan bahwa ada dua bentuk manusia, adamanusia yang fithrah – di mana setiap orang sejak awal penciptaannya disertaidengan sederetan potensi meraih nilai-nilai tinggi dan luhur. Kemudian, ketikaseorang manusia dilahirkan di dunia, ia telah memiliki potensi untuk menjadiseorang yang bermoral, menjadi potensi untuk menjadi seorang yang agamis,memiliki potensi untuk mencari kebenaran, memiliki potensi mencintai keindahan,dan memiliki potensi untuk hidup bebas dan merdeka. Manusia secara potensial,dalam dirinya telah terdapat nilai-nilai yang tinggi dan luhur yang dalam hal inipersis seperti sebatang tumbuhan yang agar dapat tumbuh serta berkembang perludiberi cahaya, air dan lain sebagainya, inilah manusia “fithrah”.8

Secara kebahasaan, fithrah mempunyai pengertian yang sama dengankhilqah, yaitu “ciptaan” atau “penciptaan”. Tetapi secara peristilahan fithrahkemudian berarti “penciptaan yang suci”. Dalam pengertian ini, semua segikehidupan seperti makan, minum, tidur, dan apa saja yang wajar, tanpa berlebihan,pada manusia dan kemanusiaan adalah fithrah. Semuanya itu bernilai kebaikandan kesucian, karena semuanya berasal dari design penciptaan oleh Tuhan.9

_____________6 Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an…, 285.7 Penggunaan istilah Bani Adam dalam al-Qur’an menunjukkan bahwa manusia bukanlah

merupakan hasil evolusi dari makhluk anthropus (sejenis kera), hal ini diperkuat lagi denganpanggilan-panggilan Adam dalam al-Qur’an oleh Allah dengan huruf nida’ (Ya, Adam!). Demikianpula kata ganti yang menunjukkan kepada Nabi Adam, Allah selalu menggunakan kata tunggal(anta) dan bukan jamak (antum), sebagaimana terdapat dalam QS. al-Baqarah: 35.

8 Di sinilah perbedaan pandangan yang amat mendasar antara Islam dan materialisberkaitan dengan faktor-faktor yang mewujudkan sejarah. Islam menyatakan bahwa manusia,species manusia, suatu wujud yang diciptakan berbentuk manusia adalah memiliki suatu naluri(fithrah). Suatu naluri yang memiliki hubungan erat dengan penciptaan manusia itu sendiri, danyang memajukan sejarahnya adalah nalurinya itu, dan kesempurnaan dirinya juga karena adanyanaluri itu juga. Islam mengatakan bahwa aktivitas manusia dilahirkan melalui nalurinya. Dankaum materialis mengatakan bahwa naluri manusia dilahirkan dari aktivitasnya. MurtadhaMuthahhari, Mengenal Epistemologi Sebuah Pembuktian Terhadap Rapuhnya Pemikiran Asingdan Kokohnya Pemikiran Islam, terj. M. Jawad Bafaqih (Jakarta: Lentera, 2001), 298.

9 Dari sudut pandang ini dapat dimengerti mengapa Islam tidak membenarkan usahamenempuh hidup suci dengan meninggalkan hal-hal yang wajar pada manusia seperti makan,minum, tidur, berumah tangga dan seterusnya. Berkenaan dengan ini Nabi pernah memberiperingatan keras kepada salah seorang sahabat, Utsman bin Mazh’um, yang ingin menempuhhidup suci dengan tindakan semacam pertapaan. Nabi juga dengan keras menolak pikiransementara sahabat beliau yang ingin menempuh hidup tanpa kawin. Semua tindakan meninggalkankewajaran hidup manusia adalah tindakan melawan fithrah, jadi juga tidak sejalan dengan sunnah.Ahmad Gaus AF, Dialog Ramadhan bersama Cak Nur (Jakarta: Paramadina, 2000), 128-129.

Page 5: MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAHal-muashirah.com/wp-content/uploads/2015/09/9MUHAMMAD-IRHAM.pdfmanusia sebagai hamba Allah, memberikan porsi kemuliaan dan keutamaan bagi manusia-manusia

MUHAMMAD IRHAM: MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAH82

Al-Qur’an justeru memuliakan manusia sebagai makhluk surgawi yangsedang dalam perjalanan menuju suatu kehidupan spiritual yang suci dan abadi dinegeri akhirat, meski harus melewati rintangan dan cobaan dengan beban dosasaat melakukan kesalahan di dalam hidupnya di dunia ini.10 Bahkan manusiadiisyaratkan sebagai makhluk spiritual yang sifat aslinya adalah berpembawaanbaik (positif – hanif).11

STUDI AYAT-AYAT HANIFKata hanif berasal dari kata kerja hanafa-yahnifu dan mashdarnya hanifan,

artinya condong atau cenderung dan kata bendanya kecenderungan. Tetapi dalamal-Qur’an, yang dimaksudkan adalah “kecenderungan kepada yang benar”, sepertidijelaskan oleh mufassir modern, Mawlana Muhammad Ali, dalam The HolyQur’an, yang merujuk kepada kamus Arab-Inggris Lane Lexicon dan Kamus al-Qur’an, al-Mufradat fi al-Gharib karangan al-Raghib al-Isfahani. Keterangan yanglebih lengkap tentang arti yang spesifik dari kata hanif ini diberikan The HolyQur’an karya Hadrat Mirza Nashir Ahmad yang merujuk kepada beberapasumber; (a) orang yang meninggalkan atau menjauhi kesalahan dan mengerahkandirinya kepada petunjuk, (b) orang yang secara terus-menerus mengikutikepercayaan yang benar tanpa keinginan untuk berpaling dari padanya; (c)seseorang yang cenderung menata perilakunya secara sempurna menurut Islamdan terus-menerus mempertahankannya secara teguh; (d) seseorang yangmengikuti agama Ibrahim; dan (e) yang percaya kepada seluruh nabi-nabi.12

Baik oleh Muhammad Ali maupun Nashir Ahmad, keterangan tersebut diatas ditujukan pada QS. al-Baqarah: 135;

“Dan mereka berkata: “Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudiatau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk,” Katakanlah: “Tidak.Kami mengikuti agama Ibrahim yang lurus (hanif). Bukanlah dia (Ibrahim)dari golongan musyrik (politeis).”Pada ayat di atas, kata hanif diterjemahkan dengan “lurus”. Tetapi kata

“lurus” dalam ayat tersebut agaknya memerlukan penjelasan. Hamka dalam Tafsiral-Azhar mengatakan bahwa agama Ibrahim adalah agama yang lurus. Demikianarti kata hanif. Kadang-kadang diartikan juga condong, sebab kalimat itu punmengandung arti condong. Maksudnya lurus menuju Tuhan atau condong hanyakepada Tuhan. Tidak membelok kepada yang lain, sebab di dalamnya terkandungjuga makna tauhid.

Keterangan lebih lanjut mengenai apa yang disebut sebagai hanifdijelaskan oleh ayat berikutnya QS. al-Baqarah: 136;

“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): “Kami beriman kepada Allah danapa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepadaIbrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikankepada Musa dan Isa, serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari

_____________10 Hal tersebut antara lain terdapat dalam QS. al-Anbiya’: 35, QS. al-An’am: 164, QS.

Yasin: 4, dan QS. al-Jatsiyah: 22.11 Terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 135; QS. Ali Imran: 67 dan 95; QS. al-Nisa’: 125;

QS. al-An’am: 69, 161; QS. al-Nahl: 122; dan QS. al-Rum: 30.12 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep

Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996), 62.

Page 6: MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAHal-muashirah.com/wp-content/uploads/2015/09/9MUHAMMAD-IRHAM.pdfmanusia sebagai hamba Allah, memberikan porsi kemuliaan dan keutamaan bagi manusia-manusia

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 83

Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antaramereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.”Ayat di atas memberikan perincian lebih lanjut tentang ciri -ciri

kepercayaan seseorang yang disebut hanif. Pada ayat sebelumnya diberikan cirinegatifnya, yaitu bukan mengikuti agama Yahudi dan Nasrani saja, bukan pulapenyembah berhala. Sedangkan ayat selanjutnya memberikan keterangan positif,yaitu “yang beriman kepada Allah,” sebagaimana yang diturunkan oleh Allahserta diajarkan oleh nabi-nabi lain, sejak Ibrahim hingga Musa dan Isa. BagiIslam, kesemuanya adalah orang-orang yang hanif atau muslim dan sebagai nabi,mereka mendapat wahyu dan mengajarkan kepercayaan kepada Allah, yaitutauhid kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kata hanif disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 14 kali dalam 9 surat.Menurut kronologi turunnya ayat, kata hanif pertama-tama disebut dalam al-Qur’an, surat Yunus: 105, yang berarti 9 surat Makkiyah, lebih persisnya, surat-surat yang diturunkan dalam periode empat tahun terakhir Nabi tinggal diMakkah. Soal ini perlu dikemukakan mengingat adanya analisa kaum orientalisyang mengatakan bahwa penyebutan istilah hanif dalam al-Qur’an yang dikaitkandengan Ibrahim adalah merupakan reaksi terhadap kritik intelektual yangdilakukan para pemuka agama Yahudi dan Nasrani di Madinah.

Surat Yunus yang Makkiyah itu menjelaskan dengan sendirinya hal yangbertentangan dengan kesimpulan dan pandangan kaum orientalis. Ini dapat dilihatdari segi kronologis, maupun sifat kalimatnya, seperti tampak dalam QS. Yunus:104, 105 dan 106;

Katakanlah: “Hai manusia, jika kamu ragu-ragu tentang agama-Ku, maka(ketahuilah) bahwa aku tidak menyembah yang kamu sembah selain Allah,tetapi aku menyembah Allah yang akan mematikanmu dan aku diperintahsupaya aku termasuk orang-orang yang beriman”. Dan (aku diperintahpula): “Hadapkanlah mukamu pada agama dengan tulus (hanif) danjanganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik. Dan janganlah kamumenyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula)memberi mudharat kepadamu selain Allah, sebab jika kamu berbuatdemikian, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang zalim.”13

Kata hanif kedua dalam kronologi surat adalah yang tercantum dalam QS.al-An’am: 79;

“Sesungguhnya aku menghadapkan wajah dengan lurus (hanif) kepadaDzat yang menciptakan langit dan bumi dan aku bukanlah termasuk dalamgolongan orang yang musyrik (menyekutukan-Nya).”Ayat di atas merupakan kesimpulan dari perjalanan pikir dan zikir yang

dilakukan oleh Ibrahim tatkala ia mencari Tuhan dengan mengamati bintang-bintang yang bertaburan di langit, bulan, dan matahari yang terbit secara_____________

13 Dalam surat-surat Makkiyah, pada umumnya, seruan Al-Qur’an ditujukan kepadamanusia seluruhnya dan bukan tertuju pada kaum yang sudah beriman atau pemeluk agama lain,khususnya Yahudi dan Nasrani. Ayat 105 di atas menegaskan hal tersebut, dalam ayat selanjutnya,kata hanif dipertentangkan dengan kata musyrik. Jadi yang dituju adalah kaum politeis Makkah.Pada ayat 106 dikatakan bahwa alternatif terhadap hanif adalah zhalim. Artinya, menyembahberhala berarti merendahkan derajat manusia sendiri. Betapa tidak, karena manusia menyembahsesuatu yang tidak bisa memberi manfaat dan mudharat. Pada ayat 100 dikatakan bahwa Allahmenimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya, sebagaimanahalnya kaum penyembah berhala.

Page 7: MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAHal-muashirah.com/wp-content/uploads/2015/09/9MUHAMMAD-IRHAM.pdfmanusia sebagai hamba Allah, memberikan porsi kemuliaan dan keutamaan bagi manusia-manusia

MUHAMMAD IRHAM: MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAH84

bergantian, tetapi semuanya lalu tenggelam bergantian pula. Ia lalu menarikkesimpulan bahwa itu semua bukan Tuhan, Tuhan yang sebenarnya adalah Dzatyang menciptakan langit dan bumi. Pada ayat 75 dijelaskan bahwa Allah telahmemperlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda dari sistem langit dan bumi, agar iamenjadi orang yang yakin. Kesimpulan yang diambil oleh Ibrahim tersebutberlawanan dengan keyakinan kaum Shabi`ah pada masa hidupnya menyembahbintang, bulan dan matahari. Oleh karena itu, Ibrahim disebut seorang yang hanif.

Keterangan lain, yang menjelaskan antara kepercayaan yang dibawa olehnabi dan agama Ibrahim dijelaskan dalam QS. al-Nahl: 120-123, yang di dalamnyaterdapat keterangan mengenai hanif:

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang pemimpin yang dapat dijadikanteladan (rujukan), karena sikapnya yang patuh kepada Allah dan bersikap hanif(berpegang kepada kebenaran dan tidak pernah meninggalkannya). Dan sekali-kali bukanlah ia termasuk orang-orang yang mempersekutukan-Nya. (Dan ia)adalah orang yang mensyukuri nikmat-nikmat yang diberikan Allah kepadanya.Allah telah memilihkan jalan dan menunjukkannya jalan yang lurus (shirath al-mustaqim). Dan Kami telah menganugerahkan kepadanya kebaikan di dunia. Dansesungguhnya dia di akhirat (akan berbahagia, karena di dunia ia) benar-benartermasuk di antara orang-orang yang saleh. Kemudian Kami wahyukan kepadamu(Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif.” Dan bukanlah iatermasuk orang-orang yang menyekutukan Allah.”14

Surat terakhir yang secara kronologis tergolong ke dalam surat Makkiyahdan mengandung kata hanif adalah QS. al-Rum: 30. Dalam ayat ini terdapatketerangan baru mengenai istilah hanif,

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus (hanif) kepada agama (Allah);(tetaplah atas) fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu.Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah itu. Itulah agama yang kuat dasarnya,tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

Dalam ayat ini, hanif mengandung arti cenderung kepada agama Allahyang merupakan sikap yang sesuai dengan fithrah manusia. Di sini dikaitkan pulabahwa beragama, yaitu beragama yang hanif merupakan kecenderungan dasarmanusia. Demikian pula kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Agamayang sesuai dengan fithrah manusia adalah Islam. Islam adalah agama yang kokohdasarnya, karena sesuai dengan fithrah manusia itu.

STUDI AYAT-AYAT ‘UBUDIYAHIstilah ibadah, yang pada mulanya mencakup segala perbuatan manusia

yang ditujukan sebagai pengabdian kepada Allah, baik aktif maupun pasif – seiringdengan perkembangan ilmu pengetahuan, acapkali mengalami pembidangan(sistematika ilmu), meskipun tidak dapat dihindari timbulnya fragmentasi(pemecahan) dan pembatasan – yang sering kali kurang menguntungkan.15

_____________14 Sebagaimana dikatakan pada surat al-An’am: 161, dalam al-Qur’an surat al-Nahl ayat

121, salah satu tanda dari seorang hanif itu adalah karena seseorang itu mengikuti jalan yang lurus(shirath al-mustaqim), sikap dan cara hidup yang saleh, yaitu hidup yang harmonis denganlingkungannya.

15Dalam ilmu Fikih, kata tersebut kemudian dipakai khusus dalam hal-hal tertentu, sepertibersuci (thaharah), puasa (shiyam), zakat dan haji. Dari segi sistematisasi, hal tersebut dapatditoleransi, tetapi ini bukan berarti bahwa ibadah hanya terbatas pada hal itu saja. Sayangnya,penggunaan istilah tersebut disalahtafsirkan oleh ahli-ahli hukum Islam (fuqaha’), sehinggamenimbulkan kesalahpahaman di kalangan masyarakat awam. Akibatnya, mereka menduga bahwaibadah terbatas pada hal-hal ritual saja. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung:Mizan, 1994), 383.

Page 8: MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAHal-muashirah.com/wp-content/uploads/2015/09/9MUHAMMAD-IRHAM.pdfmanusia sebagai hamba Allah, memberikan porsi kemuliaan dan keutamaan bagi manusia-manusia

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 85

Dari sudut kebahasaan, ibadah beasal dari bahasa Arab, ‘ibadah, danbentuk jamaknya ibadat, berarti pengabdian. Seakar dengan kata Arab ‘abd, yangberarti hamba atau budak, yakni pengabdian, dari kata ‘abdi, ‘abd ataupenghambaan diri kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, dalampengertiannya yang lebih luas, ibadah mencakup keseluruhan kegiatan manusiadalam hidup di dunia ini, termasuk kehidupan duniawi sehari-hari, jika kegiatanitu dilakukan dengan sikap batin serta niat pengabdian dan penghambaan dirikepada Tuhan, yakni sebagai tindakan bermoral. Inilah maksud firman Allahbahwa manusia (dan jin) tidaklah diciptakan Allah melainkan untuk mengabdikepada-Nya.16 Yakni, untuk menempuh hidup dengan kesabaran penuh bahwamakna dan tujuan keberadaan manusia ialah perkenan atau ridha Allah.17

Sebagai pernyataan pengabdian kepada Tuhan, ibadah yang juga berartipengagungan itu sesungguhnya adalah hal yang fitri. Yakni, hal yang secarainheren terdapat pada kecenderungan alami manusia dan kejadian asalnya sendiri.Dalam kenyataan hidup manusia hampir tidak ada individu yang bebas samasekali dari bentuk ekspresi pengagungan yang mempunyai nilai ‘ubudiyah.18

Maka, sama halnya dengan semua kecenderungan natural, kecenderungan manusiauntuk melakukan tindakan-tindakan ‘ubudiyah harus disalurkan secara benar. Dansalah satu batu penguji kebenaran suatu tindakan ‘ubudiyah ialah bahwa ia harusberdampak peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan individu yangbersangkutan.

Melalui ibadah, seorang hamba mengharap bahwa Allah akan menolongdan membimbing hidupnya menempuh jalan menuju kebenaran. Karena seorangindividu menyadari bahwa dalam menghadapi tantangan hidup bermoral yang takterhindarkan, ia memerlukan rahmat dan keutamaan (fadl) dari Allah, karenamanusia tidak mungkin mencari dan menemukan sendiri secara sempurna dantuntas jalan kebenaran itu tanpa bimbingan-Nya.19 Firman-Nya, “Orang-orangyang beriman dan tidak mengotori imannya itu dengan kejahatan, mereka itulahorang-orang yang (benar-benar) mendapatkan rasa aman (al-amn), karena merekaberpetunjuk.” (QS. al-An’am: 82). Oleh karena itu, diperintahkan agar memohonpertolongan Allah dengan sikap tabah dan sabar serta salat, seperti yang terteradalam QS. al-Baqarah: 153.

_____________16Firman Allah yang banyak dikutip, QS, al-Dzariyat: 56, dan QS, al-Fatihah: 4.17Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), 57.

Makna yang esensial dari kata ‘abd (hamba) adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan. Dalamkonteks ini, ketaatan, ketundukan dan kepatuhan manusia hanya layak diberikan kepada Allahyang dicerminkan dalam ketaatan, ketundukan dan kepatuhan pada kebenaran dan keadilan. Abd.Rahman Assegaf, Studi Islam Kontekstual (Yogyakarta: Gama Media, 2005), 69.

18 Jika seseorang tidak melakukan suatu tindakan ‘ubudiyah tertentu yang standar (sepertisalat dalam Islam, misalnya), tentu ia melakukan bentuk tindakan ‘ubudiyah yang lain (seperti,kecenderungan amat kuat pada kaum komunis untuk mengagungkan pemimpin mereka).

19Bahwa unsur kemurahan (fadl) dari Allah merupakan segi yang amat menentukanapakah seseorang bakal mampu menemukan dan kemudian mengikuti jalan hidup yang benarbanyak sekali dinyatakan dalam al-Qur’an, seperti QS, al-Nur: 21, “Wahai sekalian orang-orangyang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barang siapa mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya ia menganjurkan untuk perbuatan kotor dan keji. Seandainyatidak karena kemurahan (fadl) Allah serta kasih (rahmah)-Nya, maka tak seorang pun dari kamuyang dapat menjadi suci. Tetapi Allah mensucikan siapa pun yang dikehendaki-Nya. Allah MahaMendengar dan Maha Mengetahui.

Page 9: MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAHal-muashirah.com/wp-content/uploads/2015/09/9MUHAMMAD-IRHAM.pdfmanusia sebagai hamba Allah, memberikan porsi kemuliaan dan keutamaan bagi manusia-manusia

MUHAMMAD IRHAM: MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAH86

Al-Qur’an juga menggambarkan manusia sebagai makhluk pilihan Allah,yang menjadi khalifah-Nya di muka bumi, serta sebagai makhluk yang semi-samawi dan semi-duniawi, yang di dalam dirinya di tanamkan sifat mengakuiTuhan, bebas, terpercaya, rasa tanggung jawab terhadap dirinya maupun alamsemesta, serta karunia keunggulan atas alam semesta, langit dan bumi.20

Manusia sebagai hamba Allah, dianggap mampu dalam menjalankan fungsi‘ubudiyahnya, karena melekat di dalam dirinya kemuliaan Allah. Kemuliaanmanusia dibanding dengan makhluk lainnya adalah karena manusia dikaruniaiakal untuk berpikir dan menimbang baik-buruk, benar salah, juga terpuji-tercela,sedangkan makhluk lain semisal binatang, tumbuhan, mineral bahkan jin, tidaklahmemperoleh kelebihan seperti halnya yang diberikan kepada kepada manusiaberupa akal pikiran tersebut, hal ini dapat di lihat dalam QS. al-Tin: 4 dan QS. al-Isra’: 70.

Disamping kelebihan, manusia juga memiliki aspek kelemahan, misalnyakikir (QS. al-Isra’: 100), paling banyak membantah (QS. al-Kahfi: 54), penuhkeluh kesah (QS. al-Ma’arij: 19), melampaui batas (QS. al-Alaq: 6), tergesa-gesa(QS. al-Isra’: 11), memiliki hawa nafsu yang mengajak kepada kejahatan (QS.Yusuf: 53), mudah putus asa dan tidak berterima kasih (QS. Hud: 9), sertalainnya.

Sebagai khalifah Allah, pertama, manusia memikul tanggung jawabpribadi, orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain (QS. al-An’am:164) dan pada hari kiamat nanti mereka datang kepada Allah dengan sendiri-sendiri (QS. Maryam: 95). Ini membuktikan bahwa manusia sebagai hamba Allahitu memiliki kebebasan individual atas dirinya sendiri namun tetap bertanggungjawab atas segala perbuatannya. Kedua, tanggung jawab manusia sebagai khalifahAllah. Manusia sebagai khalifah fi al-ardl atau pemimpin, penguasa, pengganti,wakil dan pengelola di bumi, dalam arti lebih luas sebagai pemakmur alamsemesta. Allah telah mengangkat manusia sebagai khalifah, bahkan para malaikatdiperintahkan untuk sujud sebagai tanda penghormatan kepada manusia tersebut(QS. al-Baqarah: 34).21 Sebagai khalifah, manusia dimaksudkan tampil di bumi inidengan wajahnya yang ramah dan anggun untuk memimpin, mengelola danmemakmurkan bumi, bukan sebaliknya sebagai orang tertindas, dan terbelakangdari berbagai kemajuan.

_____________20 Manusia diangkat oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi dengan tugas menjadi

penguasa yang mengelola dan memakmurkan bumi beserta isinya dengan sebaik-baiknya (QS. al-Baqarah: 30 dan QS. Hud: 61). Diciptakannya segala sesuatu di muka bumi oleh Allah adalahuntuk kepentingan manusia (QS. al-Baqarah: 29). Manusia diberi beban untuk beragama (Islam)sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas kekhalifahannya. Karena manusia akan dimintapertanggung jawaban atas pelaksanaan tugasnya tersebut (QS. al-Qiyamah: 36).

21 Perintah sujud ini diulang dalam al-Qur’an hingga enam surat, yakni; al-Kahfi, al-A’raf, Thaha, Isra’, al-Hijr dan Shaad. Iblis yang menolak bersujud telah dikutuk dan dikeluarkandari surga. Sikap tidak mau sujud menghormat kepada khalifah ini merupakan pelanggaranterhadap perintah Allah, karena pada awalnya pengertian sujud adalah beribadah kepadanya.Dalam ayat lain, penyebutan khalifah ini tidak hanya dinisbatkan kepada Nabi Adam saja,melainkan juga beberapa nabi yang lain, seperti nabi Ibrahim dan nabi Nuh. Bahkan tidakdikhususkan kepada pihak lelaki semata. Lihat Assegaf, Studi Islam….., 71.

Page 10: MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAHal-muashirah.com/wp-content/uploads/2015/09/9MUHAMMAD-IRHAM.pdfmanusia sebagai hamba Allah, memberikan porsi kemuliaan dan keutamaan bagi manusia-manusia

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 87

KESIMPULANManusia dalam perspektif hamba Allah adalah manusia yang “fithrah”,

“hanif” dan “abid”. Pertama, Manusia disebut fithrah atau fithri karena kejadiandan penciptaannya sejak semula adalah suci. Dengan kata lain, kejadian asalmanusia telah di design Tuhan menjadi manusia yang suci yang sesuai denganeksistensinya sebagai hamba Allah dan dipercaya menjadi khalifah Allah fi al-ardl. Segala sesuatu yang dilakukan manusia dan itu bertentangan dengan fithrahkemanusiaannya akan menyebabkan manusia membinasakan dirinya sendiri.

Kedua, manusia disebut hanif karena di dalam dirinya juga diciptakanAllah potensi untuk condong atau berpihak kepada jalan yang lurus (shirath al-mustaqim) yaitu al-Islam, hanif juga merupakan kecenderungan hamba Allahkepada tauhid (pengesaan Allah) dan lawan dari musyrik – tuhan-tuhan palsu(politeisme). Karena fithrah kesucian yang bersemayam dalam hati nurani itulahmanusia bersifat hanif, artinya secara pembawaan alami cenderung merindukandan memihak kepada yang baik dan benar. Karena itu pula fithrah dan kehanifan(hanifiyah) merupakan lokus kesadaran kebenaran merupakan titik pusat ataukesediaan masing-masing manusia untuk menerima agama penyerahan diri danketaatan kepada Allah melalui tindakan hidup berakhlak.

Ketiga, manusia ‘ubudiyah atau ‘abdullah adalah manusia yang mengabdidan menyembah hanya kepada Allah semata, pengabdian kepada Allahmeninggikan derajat manusia itu sendiri, ketimbang pengabdian yang dilakukanterhadap sesama makhluk yang justeru merendahkan derajat kemuliaannya.Tindakan ‘ubudiah yang dilakukan hamba Allah adalah untuk mengelola danmemakmurkan bumi ciptaan Allah yang dihuninya. Tindakan-tindakan merusakseperti mengeksploitasi manusia dan alam untuk kepentingan-kepentingansemacam ekonomi dan politik yang sesat sangat bertentangan dengan citramanusia sebagai ‘abdullah yang merupakan puncak kreasi Tuhan.

Dapat disimpulkan bahwa, peran dan perjalanan manusia sebagai hambaAllah dalam kehidupan ini memiliki tiga karakter; fithrah, hanif dan ubudiah.Sejauhmana pemaknaan dan keyakinan manusia terhadap pengilmuan danpengamalan terhadap fithrah, hanif dan ubudiah, sejauh itu pula kearifan dankebaikan manusia seutuhnya dapat diperoleh sebagai makhluk puncak kreasiTuhan.

Page 11: MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAHal-muashirah.com/wp-content/uploads/2015/09/9MUHAMMAD-IRHAM.pdfmanusia sebagai hamba Allah, memberikan porsi kemuliaan dan keutamaan bagi manusia-manusia

MUHAMMAD IRHAM: MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAH88

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim.

Amal, Taufik Adnan, (peny.), Metode dan Alternatif Neomodernisme IslamFazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1987.

Assegaf, Abd. Rahman, Studi Islam Kontekstual, Yogyakarta: Gama Media, 2005.

Gaus AF, Ahmad, Dialog Ramadhan bersama Cak Nur, Jakarta: Paramadina,2000.

Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz I-XXX, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1981.

Madjid, Nurcholis, Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992.

Muthahhari, Murthadha, Mengenal Epistemologi Sebuah Pembuktian TerhadapRapuhnya Pemikiran Asing dan Kokohnya Pemikiran Islam, terj. M.Jawad Bafaqih, Jakarta: Lentera, 2001.

Al-Nawawi, Rif’at Syauqi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh KajianMasalah Akidah dan Ibadat, Jakarta: Paramadina, 2002.

Rahardjo, M. Dawam, Ensiklopedi Al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 1996.

Rahman, Fazlur Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka,1983.

Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1994.

-------------, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,Bandung: Mizan, 1996.

Shihab, Umar, Kontekstualitas Al-Qur’an Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukumdalam Al-Qur’an, Jakarta: Pena Madani, 2003.

Al-Thabathaba’i, Muhammad Husain, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Jilid. VITeheran: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1397 H.