11
28 Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38 Razi Ageng Pratama 1 , Buyung Hartiyo Laksono 2 , Arie Zainul Fatoni 2 1 PPDS Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, FK Universitas Brawijaya / RSUD dr. Saiful Anwar, Malang, Indonesia 2 Konsultan Intensive Care Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, FK Universitas Brawijaya/ RSUD dr. Saiful Anwar, Malang, Indonesia PENDAHULUAN Nyeri akut pasca kraniotomi sering diasumsikan memiliki tingkat nyeri yang lebih rendah dibandingan tindakan operasi lainnya. Beberapa alasan yang mendasari yakni sedikitnya jumlah reseptor nyeri dalam dura, ketidakpekaan nyeri pada otak, berkurangnya densitas serat nyeri di sepanjang garis sayatan operasi, dan berkembangnya autoanalgesia. Oleh karena itu, nyeri pasca kraniotomi sering kali diabaikan. 1,2 Proses sayatan fisik, traksi dan hemostasis yang digunakan dalam kraniotomi merangsang penghentian saraf dan nosiseptor spesifik yang menyebabkan nyeri pasca operasi. Dilaporkan 60- 84% pasien yang menjalani kraniotomi mengalami nyeri bervariasi dari ringan hingga berat. 3 Lebih spesifik lagi, Tsaori tahun 2016 menjabarkan sekitar 60% pasien pasca kraniotomi yang mengalami nyeri sedang atau berat berada pada periode akut pasca SUMMARY A craniotomy is a standard neurosurgical procedure that involves drilling a sufficient hole in the skull (cranium) for optimal access to the intracranial. Post-craniotomy pain is a frequent complication of neurosurgical procedures and is difficult to manage. Pain management is essential to avoid chronic pain and complications such as hypertension and vomiting, increasing intracranial pressure or causing intracranial bleeding, unfavorable patient outcomes, and increasing the length of hospitalization. The selection of drugs in acute pain management for post-craniotomy patients is essential to determine patient morbidity and mortality. Keywords: craniotomy, pain management RANGKUMAN Kraniotomi adalah sebuah prosedur operasi umum divisi bedah saraf yang melibatkan pembuatan lubang yang cukup pada tempurung kepala atau tengkorak (cranium) untuk akses optimal ke intrakranial. Nyeri pasca kraniotomi adalah komplikasi berulang dari prosedur bedah saraf dan sulit untuk dikelola. Manajemen nyeri akut sangat penting untuk menghindari terjadinya nyeri kronik serta komplikasi seperti hipertensi dan muntah, yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial maupun perdarahan intrakranial, outcome pasien yang tidak baik, dan perpanjangan masa rawat inap. Pemilihan obat dalam manajemen nyeri akut pasien pasca kraniotomi merupakan hal yang sangat penting dikarenakan dapat menentukan morbiditas dan mortalitas pasien. Kata kunci: kraniotomi, manajemen nyeri Korespondensi: dr. Razi Ageng Pratama* PPDS Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, FKUB, Malang Indonesia e-mail: [email protected] Tinjauan Pustaka Journal of Anaesthesia and Pain, 2020, Volume: 1, No.3: 28-38 P-ISSN : 2722-3167 https://jap.ub.ac.id E-ISSN : 2722-3205 Manajemen Nyeri Akut Pasca-Kraniotomi Post-Craniotomy Acute Pain Management

Manajemen Nyeri Akut Pasca-Kraniotomi

  • Upload
    others

  • View
    23

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Manajemen Nyeri Akut Pasca-Kraniotomi

28

Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38

Razi Ageng Pratama1, Buyung Hartiyo Laksono2, Arie Zainul Fatoni2

1PPDS Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, FK Universitas Brawijaya / RSUD dr. Saiful Anwar, Malang, Indonesia

2Konsultan Intensive Care Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, FK Universitas Brawijaya/ RSUD dr. Saiful Anwar, Malang,

Indonesia

PENDAHULUAN

Nyeri akut pasca kraniotomi sering

diasumsikan memiliki tingkat nyeri yang lebih

rendah dibandingan tindakan operasi lainnya.

Beberapa alasan yang mendasari yakni sedikitnya

jumlah reseptor nyeri dalam dura, ketidakpekaan

nyeri pada otak, berkurangnya densitas serat nyeri

di sepanjang garis sayatan operasi, dan

berkembangnya autoanalgesia. Oleh karena itu,

nyeri pasca kraniotomi sering kali diabaikan.1,2

Proses sayatan fisik, traksi dan hemostasis yang

digunakan dalam kraniotomi merangsang

penghentian saraf dan nosiseptor spesifik yang

menyebabkan nyeri pasca operasi. Dilaporkan 60-

84% pasien yang menjalani kraniotomi mengalami

nyeri bervariasi dari ringan hingga berat.3 Lebih

spesifik lagi, Tsaori tahun 2016 menjabarkan sekitar

60% pasien pasca kraniotomi yang mengalami nyeri

sedang atau berat berada pada periode akut pasca

SUMMARY

A craniotomy is a standard neurosurgical procedure that involves drilling a sufficient hole in the skull

(cranium) for optimal access to the intracranial. Post-craniotomy pain is a frequent complication of

neurosurgical procedures and is difficult to manage. Pain management is essential to avoid chronic

pain and complications such as hypertension and vomiting, increasing intracranial pressure or causing

intracranial bleeding, unfavorable patient outcomes, and increasing the length of hospitalization. The

selection of drugs in acute pain management for post-craniotomy patients is essential to determine

patient morbidity and mortality.

Keywords: craniotomy, pain management

RANGKUMAN

Kraniotomi adalah sebuah prosedur operasi umum divisi bedah saraf yang melibatkan pembuatan

lubang yang cukup pada tempurung kepala atau tengkorak (cranium) untuk akses optimal ke

intrakranial. Nyeri pasca kraniotomi adalah komplikasi berulang dari prosedur bedah saraf dan sulit

untuk dikelola. Manajemen nyeri akut sangat penting untuk menghindari terjadinya nyeri kronik

serta komplikasi seperti hipertensi dan muntah, yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan

intrakranial maupun perdarahan intrakranial, outcome pasien yang tidak baik, dan perpanjangan

masa rawat inap. Pemilihan obat dalam manajemen nyeri akut pasien pasca kraniotomi merupakan

hal yang sangat penting dikarenakan dapat menentukan morbiditas dan mortalitas pasien.

Kata kunci: kraniotomi, manajemen nyeri

Korespondensi:

dr. Razi Ageng

Pratama*

PPDS Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, FKUB, Malang Indonesia

e-mail: [email protected]

Tinjauan Pustaka

Journal of Anaesthesia and Pain, 2020, Volume: 1, No.3: 28-38 P-ISSN : 2722-3167 https://jap.ub.ac.id E-ISSN : 2722-3205

Manajemen Nyeri Akut Pasca-Kraniotomi Post-Craniotomy Acute Pain Management

Page 2: Manajemen Nyeri Akut Pasca-Kraniotomi

29

Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38

operasi. Mordhorst tahun 2010 menunjukkan bahwa

dalam 24 jam pasca kraniotomi terdapat 87% pasien

yang melaporkan nyeri. Flexman tahun 2010

menjabarkan 80% pasien mengalami nyeri akut

pasca kraniotomi.2,4,5

Nyeri pasca kraniotomi merupakan

komplikasi berulang dari prosedur bedah saraf yang

sulit untuk ditangani. Perbedaan lokasi dan teknik

bedah dapat menyebabkan nyeri pasca kraniotomi

dengan intensitas yang berbeda.3,6 Manajemen nyeri

yang tidak adekuat mengakibatkan pasien

mengalami rasa sakit (seringkali parah) terus

menerus terutama pada jam pertama pasca operasi

yang dapat terjadi berkepanjangan hingga hari

pertama atau kedua pasca operasi. Selain itu,

beberapa komplikasi yang dapat terjadi seperti

agitasi, muntah, maupun hipertensi dapat

menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan

berpotensi mengakibatkan perdarahan intrakranial

sehingga outcome pasien menjadi tidak baik ,nyeri

kronik dan masa rawat inap yang lebih lama.1,5,6

Di sisi lain, upaya pengendalian nyeri

berlebihan dapat disertai dengan sedasi berlebihan

yang menyamarkan defisit neurologis onset baru

dan menghambat pemantauan respons neurologis.

Respirasi yang tertekan dapat menyebabkan

hiperkarbia yang meningkatkan volume darah otak

berakibat meningkatnya tekanan intrakranial (TIK).

Dengan tidak adanya pedoman berbasis bukti yang

kuat, manajemen nyeri pasca operasi yang tepat

pada kasus pasca kraniotomi sampai saat ini masih

sulit dilakukan. Sejumlah penelitian berbasis bukti

sering memberikan hasil kontradiktif sehingga

menyebabkan penggunaan tindakan terapeutik

tidak konsisten dan mengarah ke perawatan

suboptimal. Oleh karena itu, ulasan ini mencoba

untuk mengeksplorasi literatur yang relevan dan

berbagai pilihan terapeutik yang tersedia terkait

manajemen nyeri akut pasca kraniotomi.1,5

1. Definisi

1.1 Kraniotomi

Kraniotomi adalah sebuah prosedur operasi

umum divisi bedah saraf yang melibatkan

pembuatan lubang yang cukup pada tempurung

kepala atau tengkorak (cranium) untuk akses

optimal ke intrakranial. Kraniotomi dinamakan

sesuai dengan area tempurung kepala (cranium)

yang dibuka, dapat dilakukan secara intratentorial

maupun supratentorial, atau kombinasi dari

keduanya. Tindakan ini dilakukan sebagai terapi

pada tumor otak, hematoma, aneurisma, maupun

infeksi otak. Ukuran lebar kraniotomi bervariasi dari

beberapa milimeter (burr holes) sampai beberapa

sentimeter (keyhole), bergantung pada masalah dan

terapi yang dibutuhkan. Kraniotomi dilakukan

menggunakan pisau khusus, bagian cranium yang

telah dipotong (bone flap) dibuka agar pelindung

otak (dura) terlihat, dura kemudian juga dibuka

untuk mengekspos bagian otak. Di akhir prosedur,

bone flap diletakkan kembali dan ‘direkatkan’ pada

cranium menggunakan alat khusus.7

1.2 Nyeri akut pasca kraniotomi

Berdasarkan the International Headache

Society (IHS) nyeri pasca kraniotomi dibagi menjadi

acute postcraniotomy pain (ACP) dan chronic

postcraniotomy pain (CCP), tergantung durasi nyeri

yang dirasakan (lebih dari 3 bulan atau tidak). Acute

postcraniotomy pain / nyeri akut pasca kraniotomi

sebagian besar dirasakan terlokalisir pada area

insisi, sekitar regio oksipital dan leher, dan terutama

melibatkan otot perikranial serta jaringan lunak.

Intensitas waktu nyeri pasca kraniotomi paling berat

dirasakan dalam 48 jam pasca operasi.8,9 Adapun

kriteria nyeri akut pasca kraniotomi sesuai dengan

tabel 1.

Nyeri pasca kraniotomi biasanya berdenyut

atau pounding mirip dengan sakit kepala karena

tegang, terkadang bisa stabil dan berkelanjutan.

Kraniotomi infratentorial dikaitkan dengan penilaian

nyeri yang lebih tinggi dibandingkan pendekatan

supratentorial. Pada 25% kasus nyeri kepala pasca

kraniotomi berlanjut menjadi persisten dan biasanya

terletak di lokasi sayatan bedah (55%-79%),

meskipun beberapa menggambarkan nyeri bilateral

(36% -55%).1,9

Page 3: Manajemen Nyeri Akut Pasca-Kraniotomi

30

Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38

Tabel 1. Klasifikasi nyeri pasca kraniotomi (Iturri dkk.,

2020)

Sakit kepala akut disebabkan oleh kraniotomi: Sakit

kepala bertahan kurang dari 3 bulan disebabkan

operasi kraniotomi

Kriteria diagnostik

A. Semua sakit kepala yang memenuhi kriteria C

dan D

B. Telah dilakukan operasi kraniotomi

sebelumnya

C. Sakit kepala yang dilaporkan berkembang

dalam 7 hari setelah salah satu kejadian

berikut:

Kraniotomi

Kesadaran kembali setelah kraniotomi

Penghentian obat-obatan

mengganggu kemampuan untuk

merasakan atau membuat sakit kepala

yang dilaporkan setelah kraniotomi

D. Salah satu dari:

Sakit kepala sembuh dalam 3 bulan

setelah onset

Sakit kepala tidak membaik tapi belum

melewati 3 bulan setelah onset

E. Tercatat tidak lebih baik dari diagnosis lain

pada International classification of headeache

Disorder (ICHD-3)

2. Anatomi dan persarafan tempurung otak

(cranium)

Tengkorak terdiri dari kerangka wajah dan

calvarium. Dasar tengkorak terbuka setelah

calvarium diangkat. Bagian dalam tengkorak terdiri

dari selaput fibrosa dan endokranium, yang

menyusun bagian luar dura yang berkelanjutan

dengan periosteum di permukaan luar tengkorak

dan menjadi perikranium. Kulit kepala terdiri dari

lima lapisan: kulit, jaringan subkutan, epikranium,

jaringan subaponeurotik areolar dan perikranium

(Gambar 1). Persarafan kulit kepala dan dura

meliputi: saraf trigeminal termasuk ganglionnya,

tiga divisi utama, dan cabang-cabangnya; tiga saraf

cervical bagian atas; batang simpatis cervical;

cabang minor dari vagus; cabang minor dari

hipoglosus dan beberapa saraf wajah serta

glosofaring. Serabut saraf katekolaminergik terdapat

dalam duramater cranium. Bagian basal lebih kaya

saraf dibandingkan calvarial (bagian atas dari

cranium). Selain itu, serabut saraf jauh lebih banyak

pada zona dural perivaskular dibandingkan zona

intervaskuler. Oleh karena itu, serabut saraf

katekolaminergik diduga terlibat dalam sakit

kepala.3,10,11

Dalam bentuk akut, sekitar 73% kasus

berupa nyeri superfisial, sedangkan 14% kasus

berupa nyeri superfisial dan dalam. Nyeri yang

bersifat superfisial diduga karena kurangnya

reseptor nyeri pada parenkim otak. Sehingga nyeri

pasca kraniotomi pasti berasal dari struktur

superfisial yaitu jaringan lunak dan jaringan

muskuler perikranial. Teori ini dibuktikan secara kuat

bahwa bagian subtemporal dan suboccipital

berhubungan dengan insiden tertinggi dari nyeri,

karena tekanan diberikan pada splenius capitis,

temporal, dan jaringan otot cervicis selama operasi.

Nyeri pasca kraniotomi termasuk nyeri nosiseptif

dan diinduksi oleh insisi dan refleksi dari otot

perikranial.8,11,12

(Lutman dkk., 2018)

Gambar 1. (a) potongan melintang dari kepala

(lapisan kulit kepala); (b) persarafan kulit kepala; (c)

pembuluh darah kulit kepala.

Beberapa variasi nyeri pasca kraniotomi

dapat dimengerti dengan memahami struktur

anatomi yang berkaitan. Suplai saraf yang mengarah

ke kulit kepala berasal dari cabang saraf pleksus

Page 4: Manajemen Nyeri Akut Pasca-Kraniotomi

31

Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38

cervical dan nervus trigeminal. Pada supraorbital

dan supratrochlear saraf yang melewatinya adalah

dari nervus frontal (bagian dari saraf trigeminal)

yang menginervasi bagian anterior dari kulit kepala.

Pada zygomaticotemporal (bagian maxila dari

nervus trigeminal), saraf temporomandibular dan

saraf auriculotemporal (bagian mandibula dari saraf

trigeminal) mensuplai kulit kepala sisi temporal.

Cabang pleksus cervical, termasuk saraf auricular

yang lebih besar dan saraf yang lebih kecil, dan

lebih sedikit, dan sedikit bagian dari saraf oksipital

menginervasi kulit kepala oksipital. Percabangan

tersebut mendampingi arteri-arteri meningeal yang

menginervasi dura mater. Ujung saraf bebas dan

nosiseptor ini yang bertanggung jawab terhadap

nyeri. Nyeri pada kraniotomi adalah nyeri somatik

primer dan berasal dari kulit kepala, otot-otot

prekranial dan jaringan lunak. Manipulasi yang

dilakukan pada duramater selama proses operasi

mengaktivasi jalur nyeri. Stimulasi fisik yang

disebabkan oleh insisi dan traksi yang digunakan

dalam kraniotomi menstimulasi saraf terminal dan

nosiseptor spesifik mengakibatkan nyeri pasca

operasi. Nyeri pasca kraniotomi biasanya terkolalisir

pada tempat sayatan dan jaringan lunak di

sekitarnya, sedangkan yang bersifat generalisata

berasal dari dura.11,12

(Santos dkk., 2020)

Gambar 2. Manajemen nyeri akut pasca kraniotomi

Ya

Tidak

Perioperatif Pendekatan Intraoperatif Pendekatan Pascaoperasi

Pregabalin Box 1 Infiltrasi

intradermal scalp

dengan

bipuvacaine 0,5%

atau lidocaine 2%

Cryotherapy* Potensi

tromboemboli

atau hematoma

intracranial?

Gunakan Opioid

Gunakan NSAID

Moderate pain Severe pain

Codeine 30 – 60 mg

setiap 4-6 jam +

tramadol 50-100

mg setiap 4 – 6 jam

Morfin 10 mg

setiap 4 jam, dapat

disesuaikan dengan

intensitas nyeri

Mempertimbangka

n pemeriksaan

psikologi dan

rehabilitasi

fisioterapi

Acetaminophen dan

dipyrone (lihat box 2)

Tanpa perbaikan,

pertimbangkan box 1

Box 1

Pregabalin 150 mg tiap

hari,

atau 300 mg pada kasus

refraktori dan

pertimbangkan obat

kedua. Misalnya

gabapentin,

carbamazepine,

duloxetine

Box 2

PO Acetaminophen: 1 g tiap 6-8 jam

(maks. 4 g/hari)

IV acetaminophen: <50 kg , 15 mg/kg

tiap 6 jam dan ≥ 50 kg 1g tiap 6 jam

Atau

PO atau IV dipyrone: 500-1000 mg

tiap 6-8 jam

Page 5: Manajemen Nyeri Akut Pasca-Kraniotomi

32

Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38

3. Manajemen Nyeri Akut Pasca-Kraniotomi

Manajemen nyeri akut yang ideal pasca

tindakan bedah saraf harus mampu meredakan

nyeri, memiliki kemampuan anti-inflamasi, tidak

mempengaruhi fungsi sistem saraf pusat, tidak

menghambat kesadaran maupun penilaian

neurologis, tidak menyebabkan depresi jantung dan

pernafasan, tidak membuat ketagihan dan tidak

memiliki efek samping seperti muntah, mual,

epilepsi, atau perdarahan lokal. Sayangnya, tidak

ada obat yang sesuai dengan kategori ini. Dalam

sebuah studi dari Inggris ditemukan bahwa hanya

65% dari pusat bedah saraf yang memiliki protokol

analgesik dan selama beberapa dekade morfin

merupakan analgesik lini pertama yang digunakan,

diikuti oleh parasetamol (84%) dan nonsteroidal

anti-inflammatory drugs (NSAID) (52%).

Penggunaan kodein berkurang dari 90% menjadi

70% selama periode waktu yang sama.13 Santos

dalam publikasinya tahun 2020 menyajikan diagram

yang dapat dijadikan pertimbangan dalam

pemilihan tatalaksana nyeri akut pasca kraniotomi

(Gambar 2).3 Adapun tatalaksana nyeri akut pasca

kraniotomi dapat dibagi menjadi enam kelompok,

yakni:

1.1 Opioid

Opioid yang umum digunakan pada

manajemen nyeri pasca kraniotomi adalah morfin,

kodein, fentanil, dan tramadol. Mekanisme

farmakologis dimediasi melalui reseptor opioid

spesifik di sistem saraf pusat dan perifer. Efek

samping yang dapat terjadi yakni depresi

pernapasan, sedasi, hiperkarbia, peningkatan

tekanan intrakranial, dan penundaan penyapihan

dari ventilator. Meskipun demikian, opioid sistemik

seringkali dibutuhkan untuk meredakan nyeri secara

adekuat setelah kraniotomi. Pemberian opioid dapat

berupa parenteral maupun enteral. Adapun

beberapa penelitian pendahuluan yang menilai

penggunaan opioid sebagai manajemen nyeri akut

pasca kraniotomi dirangkum pada tabel 2.

Sementara panduan dosis opioid sebagai

manajemen nyeri pasca kraniotomi disajikan oleh

Roka tahun 2019 seperti pada tabel 3.1,3,7,13

1.1.1 Parenteral

a. Morfin

Morfin merupakan opioid yang memiliki efek

analgesik lebih baik dibanding opioid lainnya

dengan dosis lebih rendah. Morfin dapat diberikan

secara intravena (termasuk PCA (patient controlled

analgesia)) atau intramuskular. PCA memfasilitasi

pasien untuk mengontrol rasa sakit sendiri dan juga

mengurangi konsumsi opioid secara keseluruhan.

Penurunan penilaian nyeri, kepuasan pasien yang

lebih tinggi, dan tidak adanya efek samping

(pemberian bersamaan dengan antiemetik dan

observasi) adalah keuntungan yang diperoleh

dengan analgesia ini. Akan tetapi kebutuhan akan

sensorium dan kewaspadaan yang utuh adalah

batasan yang menghalangi aplikasi ekstensif

perangkat PCA. Dosis yang direkomendasikan

dalam 4 jam tidak melebihi 40 mg. Pemberian

morfin berupa intramuskular memiliki kekurangan

berupa onset yang lebih lambat, penyerapan

sistemik yang berbeda, dan nyeri di tempat

suntikan.1,3

b. Fentanil

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa

kontrol nyeri lebih baik ketika fentanil digunakan

melalui PCA baik sendiri atau digunakan bersamaan

dengan NSAID.1

c. Tramadol

Pemberian berulang tidak menyebabkan

ketergantungan maupun depresi pernapasan.

Penambahan tramadol bersama dengan narkotika

lain dalam rejimen analgesia pasca operasi telah

terbukti mengurangi nyeri pasca operasi dan

mengurangi efek samping opioid lain.1,3,13

1.1.2 Enteral

a. Codein

Tidak menyebabkan depresi pernapasan dan

tidak mengganggu evaluasi neurologis, tetapi

memberikan manajemen nyeri yang kurang

optimal.9

Page 6: Manajemen Nyeri Akut Pasca-Kraniotomi

33

Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38

1.2 Non-opioid

Golongan non-opioid yang umum digunakan pada

manajemen nyeri pasca kraniotomi yakni

parasetamol, nonsteroidal anti-inflammatory drugs

(NSAID), dan cyclooxygenase (COX). Adapun

beberapa penelitian pendahuluan yang

membandingkan efektivitas non-opioid sebagai

manajemen nyeri akut pasca kraniotomi ditampilkan

pada tabel 4, sedangkan panduan dosis pemberian

non-opioid pada nyeri pasca kraniotomi disajikan

oleh Roka tahun 2019 seperti pada tabel 3.13

a. Parasetamol

Mekanisme kerja parasetamol dengan

menghambat pusat sintesis prostaglandin. Bagian

dari aksi analgesiknya mungkin disebabkan oleh aksi

sentral lainnya, seperti penghambatan hiperalgesia

spinal yang disebabkan oleh aktivasi reseptor

NMDA; aktivasi jalur serotonergik yang

menghambat transmisi nyeri; atau aktivasi

mekanisme hipoalgesik yang dimediasi oleh oksida

nitrat. Parasetamol memiliki manfaat potensial yang

cukup besar dalam pengobatan nyeri pasca

kraniotomi, karena tidak menghasilkan sedasi atau

depresi pernapasan. Meskipun parasetamol dapat

mengurangi penggunaan opioid namun tidak efektif

bila digunakan tunggal sebagai pengendali nyeri.

Penggunaannya bersama dengan opioid dan NSAID

lain sangat mengurangi skor nyeri.1,3,9

Tabel 2. Penelitian pendahuluan tentang opioid pada manajemen nyeri pasca kraniotomi

Goldsack et al., 1996 Morfin dan

kodein

Double

blind trial

membandingkan penggunaan morfin intramuskular 10mg

dan kodein intramuskular 60mg : morfin lebih efektif

disbanding kodein dalam hal meredakan nyeri, dosis

morfin yang digunakan lebih rendah, dan tidak ada pasien

yang mengalami depresi napas, sedasi, konstriksi pupil

maupun efek cardiovascular yang tidak diinginkan14

.

Hassani et al., 2015 Fentanil,

Paracetamol

dan Morfin

RCT Satu kelompok diberikan infus sufentanil (0,0015 µg / kg /

menit), kelompok kedua diberikan infus parasetamol

intermiten (15 mg / kg setiap 6 jam), dan kelompok ketiga

diberikan 5 mg morfin subkutan. Temuan menunjukkan

bahwa sufentanil adalah agen yang tepat untuk mengatasi

manajemen nyeri pasca kraniotomi. Pasien dalam

kelompok yang diberikan parasetamol melaporkan skor

nyeri terbesar dari skala analog visual dan detak jantung

dengan kejadian mual dan muntah terendah.

Tingkat mual dan muntah tertinggi pada pasien kelompok

morfin. Dengan demikian, disimpulkan bahwa sufentanil

memberikan hasil yang lebih baik untuk mengurangi mual

dan muntah, pengendalian nyeri, dan stabilitas

emodinamik relatif terhadap morfin15

.

Rahimi et al., 2010 Tramadol dan

kodein

RCT Membandingkan penggunaan tramadol dan obat narkotik:

tramadol dapat menurunkan durasi rawat inap,

mengurangi nyeri (sesuai penilaian visual analog scale

(VAS)), dan kebutuhan terhadap morfin dibandingkan

kelompok yang tidak menggunakan tramadol (kelompok

kontrol: pada penelitian ini menggunakan narkotik dan

parasetamol)16

.

Sudheer et al., 2007 Morfin,

tramadol dan

kodein

Efek penghilang nyeri lebih baik pada kelompok yang

diberikan morfin dibanding kodein dan tramadol serta

tidak terdapat perbedaan bermakna terkait lama sedasi

maupun depresi pernapasan17

.

Page 7: Manajemen Nyeri Akut Pasca-Kraniotomi

34

Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38

b. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs

(NSAID).

Obat NSAID merupakan pilihan dalam

manajemen nyeri pasca kraniotomi karena

mengurangi nyeri dan penggunaan morfin hingga

25-50% dan mengurangi efek samping yang

diinduksi opioid. Penghambatan prostaglandin yang

disebabkan oleh agen ini mengurangi rasa sakit dan

peradangan. NSAID mengurangi agregasi trombosit

dan penggunaannya menimbulkan risiko hematoma

intrakranial pasca operasi. Dosis 100 mg Diklofenak

rektal dapat digunakan setiap 18 jam jika ada

masalah perdarahan atau insufisiensi ginjal.3

Tabel 3. Dosis obat non-opioid untuk nyeri pasca kraniotomi (Roka dkk., 2012)

Obat Dosis awal dan interval

<50 kg (mg/kg) > 50 kg dan dewasa (mg dosis tetap)

Ketorolac 0,5mg/kg IM/IV setiap 6jam maximal bisa mencapai 72

jam

15-30mg tiap 6 jam, tidak boleh melebihi

120mg/hari, maximal bisa mencapai 72jam

Ibuprofen 5-10mg/kg per oral, tidak boleh melebihi 40mg/hari 200-800mg per oral tiap 6jam

Acetaminofen Oral

Neonatus

Dosis : 10-15mg/kg Per oral setiap 6-8jam

Maksimal : 60mg/kg/hari

Bayi/anak

Dosis : 10-15mg/kg per oral setiap 6-8jam

Maksimal : 75mg/kg/hari sampai 1gr/4

jam atau 4gr/hari

>12tahun

Dosis : 325-650mg per oral setiap 4-6jam

Maksimal : 1gr/4jam dan 4gr/hari

IV

12,5mg/kg IV setiap 4jam

atau

15mg/kg IV setiap 6jam

tidak melebihi 750mg/dosis dan

80mg/kg/hari

Oral

325mg per oral setiap 4-6jam

atau

500mg per oral setiap 6-8jam

atau

625mg per oral setiap 8jam

tidak melebihi 4g/hari

IV

650mg IV setiap 4jam

atau

1000mg IV setiap 6jam tidak melebihi 4gr/hari

Clonidine Oral dan Transdermal

1µg/kg/dosis setiap 4jam per oral

Oral dan Transdermal

1µg/kg/dosis setiap 4jam per oral

Diazepam Oral

0,25-0,3mg/kg setiap 6-8jam

Oral

2-10mg/kg/hari setiap 6-8jam

IV

0,05-0,1mg/kg setiap 4-6jam

IV

2-10mg IV/IM setiap 3-4jam

tidak lebih dari 30mg setiap 8jam

Gabapentin 3-12tahun

10-15mg/kg/hari terbagi tiap 8jam

>12tahun

300mg per oral setiap 8jam ,bisa mencapai 600mg

per oral tiap 8jam

300mg per oral sebelum tidur, bertahan dan

yang biasa ditoleransi mencapai 300mg setiap

8jam

Amitriptyline Load

0,1mg/kg per oral sebelum tidur,

peningkatan dosis dapat ditoleransi sampai

2-3minggu

Load

75mg/hari per oral

Maintenance

0,5-2mg/kg per oral sebelum tidur

Maintenance

150-300mg/hari per oral dalam dosis tunggal

atau terbagi

Keamanan penggunaan obat NSAID seperti ketorolak dan ibuprofen pada anak dibawah usia 3-6 bulan belum dapat ditentukan

Page 8: Manajemen Nyeri Akut Pasca-Kraniotomi

35

Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38

Tabel 4. Penelitian pendahuluan tentang opioid pada manajemen nyeri pasca kraniotomi

Verchere et al., 2002 Paracetamol,

Tramadol

RCT Memberikan penilaian nyeri yang sama dengan

pemberian tramadol, namun kejadian mual muntah

pasca operasi lebih tinggi pada kelompok tramadol.18

Molnar et al., 2015 Diklofenak,

placebo

RCT Konsumsi diklofenak mengurangi skor nyeri dan

konsumsi opioid secara signifikan pada 5 hari

pertama pasca operasi. Pemberian diklofenak tidak

berbuhungan dengan komplikasi saluran cerna,

disfungsi ginjal, maupun perdarahan.19

Wiliam et al., 2011 Parecoxib dan

placebo

RCT Tidak ada perbedaan dalam intensitas nyeri, kejadian

mual muntah pasca operasi dan penggunaan

morfin.20

Dilmen et al., 2016 Morfin,

dexketoprofen,

metamizol

Double

blind

trial

Pemberian morfin mencegah nyeri berat pasca

kraniotomi supratentorial dibandingkan pemberian

dexketoprofen dan metamizol.21

c. Cyclooxygenase (COX)

Obat-obatan ini mampu mengurangi nyeri

kraniotomi pasca operasi tanpa peningkatan risiko

perdarahan pasca operasi. Cyclooxygenase-2

inhibitors (COXIB) efektif dalam analgesik

perioperatif untuk berbagai prosedur pembedahan

dan menimbulkan efek sparring morfin dari 30%

hingga 50%. Kekurangan penggunaan obat ini

terkait dengan peningkatan risiko penyakit

kardiovaskular akibat kejadian tromboemboli.3

3.3 Anestesi lokal

Anestesi lokal secara rutin digunakan untuk

infiltrasi kulit intraoperatif dan blokade kulit kepala.

Analgesia dapat dicapai dengan blokade enam

saraf: saraf supraorbital, saraf supratroklear, saraf

auriculotemporal, saraf zygomaticotemporal, saraf

oksipital mayor, dan saraf oksipital minor. Blok kulit

kepala dapat dilakukan sebelum operasi untuk

menumpulkan respon hemodinamik terhadap

rangsangan bedah, termasuk menjepit kepala dan

sayatan kulit, serta memberikan analgesia pasca

operasi tanpa risiko sedasi atau depresi pernapasan.

Komplikasi blok kulit kepala jarang terjadi; namun,

injeksi intravaskular dapat menyebabkan toksisitas

anestesi lokal, termasuk gejala neurologis, disritmia

jantung, atau henti jantung.7

Guilfolye tahun 2013 meneliti penggunaan

scalp block atau skin infiltration pada 302 pasien

yang menjalani kraniotomi, didapatkan skor nyeri

berkurang pada 1 jam pasca operasi dan konsumsi

opioid berkurang pada 24 jam pasca operasi.22

Hansen tahun 2011 menunjukkan bahwa infiltrasi

kulit kepala dapat menurunkan skor nyeri yang

signifikan, tetapi hanya segera setelah operasi

selesai. Meskipun infiltrasi kulit kepala tampaknya

tidak efektif untuk pengobatan nyeri pasca

kraniotomi akut setelah beberapa jam namun

bermanfaat untuk rehabilitasi pasien bedah saraf

dan meningkatkan kualitas hidup karena dapat

membatasi perkembangan nyeri menjadi persisten,

terutama nyeri neuropatik.23

3.4 Gabapentin

Merupakan antiepilepsi generasi baru yang

memiliki sifat antinosiseptif dan antihiperalgesik.

Penelitian dilakukan oleh Ture tahun 2009,

menunjukkan bahwa pemberian gabapentin

(3x400mg), 7 hari sebelum operasi memiliki hasil

pasca operasi yang menguntungkan dalam bentuk

penurunan skor nyeri, konsumsi opioid yang lebih

rendah, dan insiden mual dan muntah yang lebih

rendah. Namun pada sisi lain, memberikan efek

samping berupa tingkat sedasi yang lebih tinggi

dan ekstubasi trakea yang tertunda. Ada literatur

yang menunjukkan bahwa antiepilepsi memiliki sifat

antinosiseptif dan antihiperalgesik.1,24

Page 9: Manajemen Nyeri Akut Pasca-Kraniotomi

36 Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38

3.5 NMDA Receptor Antagonist

Reseptor n-methyl-d-aspartate (NMDA)

adalah saluran ion channel yang memungkinkan

masuk dan keluarnya kalsium, natrium, kalium ke

dalam sel. Reseptor ini terlibat dalam modulasi nyeri

di tingkat sumsum tulang belakang dan sensitisasi

nosiseptor. Antagonis reseptor NMDA memiliki sifat

analgesik intrinsik yang sedikit, namun efek

analgesiknya dimediasi melalui penghambatan

sensitisasi sentral. Tinjauan sebelumnya telah

menunjukkan penurunan nyeri pasca operasi dan

kebutuhan analgesik menggunakan

dekstrometorfan dan ketamin. Ketamin merupakan

antagonis reseptor NMDA yang memodulasi nyeri

tulang belakang dan sensitisasi nosiseptor, sehingga

mengurangi nyeri pasca operasi dan kebutuhan

opioid. Namun, memiliki kecenderungannya untuk

meningkatkan aliran darah otak dan tekanan

intrakranial, serta terkait dengan gangguan kognitif,

pengalaman negatif, dan gangguan penglihatan

(penglihatan kabur dan pusing), yang dapat

mengubah penilaian neurologis pasca operasi.

Meskipun ketamin secara tradisional diyakini dapat

meningkatkan tekanan intrakranial dan oleh karena

itu mengubah hemodinamik otak, penelitian terbaru

menunjukkan bahwa ketamin bahkan dapat

meningkatkan perfusi otak. Namun, karena

kontroversi ini dan ketersediaan analgesik lain yang

tidak mempengaruhi perfusi otak, ketamin tidak

dianjurkan dalam bedah saraf.1,10

3.6 𝛼-2 Adrenoreceptor Agonist

Dexmedetomidine merupakan atagonis

adrenoreseptor 𝛼-2 presinaptik kuat yang

memberikan sedasi tanpa mempengaruhi

pernapasan. Investigasi yang melibatkan

dexmedetomidine mengklaim pengurangan

konsumsi opioid pasca operasi sebanyak 60%.

Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan

efek menguntungkan obat tersebut pada nyeri akut

pasca kraniotomi dengan pengendalian nyeri yang

baik, pengurangan penggunaan morfin pasca

operasi meskipun waktu ekstubasi tidak berbeda.

Bradikardia merupakan efek samping signifikan dari

penggunaan obat ini.9,10

3.7 Cryotherapy

Metode terapi ini masih sangat baru,

dilakukan oleh Shin et al pada tahun 2009

menunjukkan bahwa cryotherapy berguna untuk

mengontrol nyeri pasca kraniotomi melalui

pemberian kantong es pada luka operasi dan

kantong gel dingin pada area periorbital, dimulai 3

jam setelah operasi, selama 3 hari, selama 20 menit

per jam. Studi ini memperhitungkan 97 pasien yang

menjalani kraniotomi supratentorial elektif,

dipisahkan dalam kelompok cryotherapy dan

kontrol. Tingkat nyeri (skor VAS) 3 jam setelah

kraniotomi sama pada kedua kelompok, tetapi

cryotherapy secara signifikan mengurangi nyeri 3

hari setelah operasi.3,25

KESIMPULAN

Nyeri akut pasca kraniotomi adalah masalah

yang yang sulit dikelola dan harus dimanajemen

dengan baik untuk mencegah morbiditas,

mortalitas, serta pemanjangan masa inap.

Berdasarkan beberapa literatur, tatalaksana nyeri

akut dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu

opioid, non-opioid, cyclooxygenase, anestesi lokal,

NMDA receptor antagonist, 𝛼-2 adrenoreceptor

agonist, dan cryotheraphy. Dengan pemberian terapi

dan dosis serta kombinasi yang tepat diharapkan

komplikasi dapat diminimalkan dan outcome pasca

operasi kraniotomi menjadi lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA 1. Haldar R, Kaushal A, Gupta D, Srivastava S, Singh PK. Pain following Craniotomy: Reassessment of the Available

Options. Biomed Res Int. 2015;2015. doi:10.1155/2015/509164

2. Tsaousi GG, Logan SW, Bilotta F. Postoperative Pain Control Following Craniotomy: A Systematic Review of

Recent Clinical Literature. Pain Pract. 2017;17(7):968-981. doi:10.1111/papr.12548

3. Santos CMT, Pereira CU, Chaves PHS, Tôrres PTR de L, Oliveira DM da P, Rabelo NN. Options to manage

postcraniotomy acute pain in neurosurgery: no protocol available. Br J Neurosurg. 2020;0(0):1-8.

Page 10: Manajemen Nyeri Akut Pasca-Kraniotomi

37 Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38

doi:10.1080/02688697.2020.1817852

4. Mordhorst C, Latz B, Kerz T, et al. Prospective assessment of postoperative pain after craniotomy. J Neurosurg

Anesthesiol. 2010;22(3):202-206. doi:10.1097/ANA.0b013e3181df0600

5. Flexman AM, Ng JL, Gelb AW. Acute and chronic pain following craniotomy. Curr Opin Anaesthesiol.

2010;23(5):551-557. doi:10.1097/ACO.0b013e32833e15b9

6. Shah A, Jung H. Management of post-operative pain after craniotomy. Acta Neurochir (Wien).

2015;157(12):2125-2126. doi:10.1007/s00701-015-2524-3

7. Dunn LK, Naik BI, Nemergut EC, Durieux ME. Post-Craniotomy Pain Management: Beyond Opioids. Curr Neurol

Neurosci Rep. 2016;16(10). doi:10.1007/s11910-016-0693-y

8. Giammalva GR, Iacopino DG, Graziano F, Gulì C, Pino MA, Maugeri R. Clinical and radiological features of

Forestier’s disease presenting with dysphagia. Surg Neurol Int. 2018;9(1). doi:10.4103/sni.sni

9. Iturri F, Valencia L, Honorato C, Martínez A, Valero R, Fàbregas N. Narrative review of acute post-craniotomy

pain. Concept and strategies for prevention and treatment of pain. Rev Española Anestesiol y Reanim (English

Ed. 2020;67(2):90-98. doi:10.1016/j.redare.2019.09.004

10. de Gray LC, Matta BF. Acute and chronic pain following craniotomy: A review. Anaesthesia. 2005;60(7):693-704.

doi:10.1111/j.1365-2044.2005.03997.x

11. Lutman B, Bloom J, Nussenblatt B, Romo V. A Contemporary Perspective on the Management of Post-

Craniotomy Headache and Pain. Curr Pain Headache Rep. 2018;22(10). doi:10.1007/s11916-018-0722-4

12. Chowdhury T, Garg R, Sheshadri V, et al. Perioperative factors contributing the post-craniotomy pain: A

synthesis of concepts. Front Med. 2017;4(MAR):1-5. doi:10.3389/fmed.2017.00023

13. Roka YB. Review in The Management of Post-Craniotomy Pain. Nepal J Neurosci. 2019;16(1):3-9.

doi:10.3126/njn.v16i1.24423

14. Goldsack C, Scuplak SM, Smith M. A double-blind comparison of codeine and morphine for postoperative

analgesia following intracranial surgery. Anaesthesia. 1996;51(11):1029-1032. doi:10.1111/j.1365-

2044.1996.tb14997.x

15. Sane S, Tolumehr A, Hassani E, Mahoori A. Comparison the effects of paracetamol with sufentanil infusion on

postoperative pain control after craniotomy in patients with brain tumor. Adv Biomed Res. 2015;4(1):64.

doi:10.4103/2277-9175.152610

16. Rahimi SY, Alleyne CH, Vernier E, Witcher MR, Vender JR. Postoperative pain management with tramadol after

craniotomy: Evaluation and cost analysis: Clinical article. J Neurosurg. 2010;112(2):268-272.

doi:10.3171/2008.9.17689

17. Sudheer PS, Logan SW, Terblanche C, Ateleanu B, Hall JE. Comparison of the analgesic efficacy and respiratory

effects of morphine, tramadol and codeine after craniotomy. Anaesthesia. 2007;62(6):555-560.

doi:10.1111/j.1365-2044.2007.05038.x

18. Verchère E, Grenier B, Mesli A, Siao D, Sesay M, Maurette P. Postoperative pain management after

supratentorial craniotomy. J Neurosurg Anesthesiol. 2002;14(2):96-101. doi:10.1097/00008506-200204000-

00002

19. Molnár C, Simon É, Kazup Á, et al. A single preoperative dose of diclofenac reduces the intensity of acute

postcraniotomy headache and decreases analgesic requirements over five postoperative days in adults: A single

center, randomized, blinded trial. J Neurol Sci. 2015;353(1-2):70-73. doi:10.1016/j.jns.2015.04.005

20. Williams DL, Pemberton E, Leslie K. Effect of intravenous parecoxib on post-craniotomy pain. Br J Anaesth.

2011;107(3):398-403. doi:10.1093/bja/aer223

21. Dilmen OK, Akcil EF, Tunali Y, et al. Postoperative analgesia for supratentorial craniotomy. Clin Neurol

Neurosurg. 2016;146:90-95. doi:10.1016/j.clineuro.2016.04.026

22. Guilfoyle MR, Helmy A, Duane D, Hutchinson PJA. Systematic Review and Meta-Analysis. 2013;116(5):1093-

1102. doi:10.1213/ANE.0b013e3182863c22

23. Hansen MS, Brennum J, Moltke FB, Dahl JB. Pain treatment after craniotomy: Where is the (procedure-specific)

evidence? A qualitative systematic review. Eur J Anaesthesiol. 2011;28(12):821-829.

doi:10.1097/EJA.0b013e32834a0255

24. Anesthesiology N, Tu H, Sayin M, Karlikaya G, Bingol CA, Aykac B. The Analgesic Effect of Gabapentin as a

Page 11: Manajemen Nyeri Akut Pasca-Kraniotomi

38 Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38

Prophylactic Anticonvulsant Drug on Postcraniotomy Pain : 2009;109(5):1625-1631.

doi:10.1213/ane.0b013e3181b0f18b

25. Shin YS, Lim NY, Yun SC, Park KO. A randomised controlled trial of the effects of cryotherapy on pain, eyelid

oedema and facial ecchymosis after craniotomy. J Clin Nurs. 2009;18(21):3029-3036. doi:10.1111/j.1365-

2702.2008.02652.x

Untuk menyitir artikel ini: Pratama, RA, BH Laksono, AZ Fatoni. Manajemen Nyeri Akut Pasca-Kraniotomi. Journal of

Anaesthesia and Pain. 2020;1(3):28-38. doi:10.21776/ub.jap.2020.001.03.04