41
BAHAN AJAR Manajemen Limbah Industri Perikanan A. Pendahuluan Industri pengolahan udang dan rajungan bekembang pesat di Indonesia karena merupakan salah satu komoditas ekspor utama perikanan dengan nilai ekonomi yang sangat tinggi. Volume produksi dan ekspor udang olahan Indonesia meningkat drastis dari tahun ke tahun karena makin tinggi permintaan konsumen internasional. Seiring dengan peningkatan jumlah produksi udang olahan, makin besar juga limbah cangkang hasil yang dihasilkan. Tanpa melalui cara penanganan dan pemanfaatan yang benar, limbah tersebut dapat menimbulkan pencemaran lingkungan air, lahan, dan udara (bau busuk) (Widodo dkk, 2005). Salah satu cara pemanfaatan yang benar adalah pengolahannya menjadi kitin-kitosan yang sangat bermanfaat di bidang industri. Kitosan adalah senyawa polimer alam turunan kitin hasil isolat limbah cangkang krustasea, seperti udang, rajungan dan kepiting, dengan kandungan kitin 42-62% (BPPT, 2004). Kitosan merupakan bahan kimia multiguna, berbentuk serat dan merupakan Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UGM Hal. 2-1 BAB-7. APLIKASI KITIN-KITOSAN LIMBAH CANGKANG RAJUNGAN & UDANG DALAM PEREDUKSI BEBAN PENCEMARAN LIMBAH CAIR INDUSTRI

Manajemen Limbah Industri Perikanan

Embed Size (px)

Citation preview

MAKALAH

PAGE BAHAN AJAR

Manajemen Limbah Industri Perikanan

A. Pendahuluan

Industri pengolahan udang dan rajungan bekembang pesat di Indonesia karena merupakan salah satu komoditas ekspor utama perikanan dengan nilai ekonomi yang sangat tinggi. Volume produksi dan ekspor udang olahan Indonesia meningkat drastis dari tahun ke tahun karena makin tinggi permintaan konsumen internasional. Seiring dengan peningkatan jumlah produksi udang olahan, makin besar juga limbah cangkang hasil yang dihasilkan. Tanpa melalui cara penanganan dan pemanfaatan yang benar, limbah tersebut dapat menimbulkan pencemaran lingkungan air, lahan, dan udara (bau busuk) (Widodo dkk, 2005). Salah satu cara pemanfaatan yang benar adalah pengolahannya menjadi kitin-kitosan yang sangat bermanfaat di bidang industri. Kitosan adalah senyawa polimer alam turunan kitin hasil isolat limbah cangkang krustasea, seperti udang, rajungan dan kepiting, dengan kandungan kitin 42-62% (BPPT, 2004). Kitosan merupakan bahan kimia multiguna, berbentuk serat dan merupakan kopolimer berbentuk lembaran tipis, berwarna putih atau kuning, dan tidak berbau. Kitosan adalah produk deasetilasi kitin melalui proses kimia, mikrobiologis, serta enzimatis menggunakan enzim chitin-deacetylase (Rismana, 2001).

Kitosan merupakan polimer kimia karbohidrat yang memiliki multifungsi karena mengandung tiga gugus fungsional, yaitu amina serta hidroksil primer dan sekunder. Adanya gugus fungsional menjadikan kitosan memiliki fungsi dan penggunaan secara luas pada industri, antara lain pada industri farmasi, kosmetik, pangan, pertanian, pengawetan produk, pengendalian pencemaran badan air (Sahubawa, 2005 dan 2006).

Dewasa ini pemanfaatan limbah cangkang krustasea (udang, rajungan, dan kepting) sebagai bahan baku utama kitin dan kitosan meningkat drastis karena makin banyak dipakai sebagai bahan baku industri. Kemampuan kitosan untuk digunakan dalam berbagai bidang industri, menjadikan produk ini semakin banyak dilirik oleh kalangan industri/pebisnis. Berbagai bidang industri yang menggunakan produk kitosan antara lain industri pertanian, pengolahan pangan, farmasi, kedokteran, fungisida, tekstil, boiteknologi, penanganan limbah, kosmetika, dan industri fotografi (Elsawati 1994 ; Krissetiana, 2004).

Sebagai produk yang relatif baru dikenal di Indonesia, kitosan masih diproduksi dalam jumlah terbatas. Kebutuhan kitosan dalam negeri sendiri saat ini masih banyak dipasok dari luar negeri (Korea, India, dan Jepang) (Widodo dkk, 2005). Kendala teknologi diperkirakan masih menjadi faktor penghambat utama proses produksi kitosan di Indonesia. Terkait dengan penanganan limbah cair, dilaporkan bahwa kitosan dapat dijadikan sebagai agen penjernih limbah cair organik maupun anorganik. Limbah cair organik selama ini banyak dihasilkan dari industri pengolahan pangan. Sedangkan limbah cair anorganik banyak dihasilkan oleh industri non pangan seperti industri tekstil, industri logam, industri manufactur, industri penyamakan kulit dan lain sebagainya. Limbah cair industri pangan khusunya industri pengolahan ikan, lebih banyak mengandung senyawa protein. Protein ini berasal dari proses pencucian yang banyak dilakukan selama proses penanganan dan pengolahan berlangsung. Sedangkan limbah cair industri tekstil dan penyamakan kulit diperkirakan banyak mengandung senyawa logam berat (tekstil: Ar, Cd, Cr, Pb, Cu, dan Zn) (Marganof, 2005).

Kitosan sebagai senyawa aktif multikationik mampu mengikat protein secara maksimal (Sahubawa, 2006). Selain itu, adanya gugus amina dan hidroksil pada kitosan, menjadikan kitosan mampu mengikat logam berat (Hirano, 1986 dalam Marganof, 2003). Berdasarkan sifat reaktif yang dimiliki, maka kitosan diharapkan dapat menjadi bahan alternatif penjernih limbah cair industri. B. Sumber Kitin-Kitosan

Banyak sumber bahan baku kitin-kitosan yang tersebar di alam, tetapi hanya cangkang krustasea (khusus udang, kepiting, dan rajungan) yang telah dimanfaatkan secara komersial (Knorr 1984). Bagian cangkang kepiting/ rajungan/udang yang mengandung banyak kitin adalah kaki, celiped, dan ujung capit (Executive Council Communications dan Consultation Government of Newfoundland and Labrador, 2001). Menurut No dkk. (1989) cit. Lee dan Tan (2002), pada limbah kulit udang dan kepiting/rajungan terdapat kitin, masing-masing sebesar: 14 - 27% dan 13 - 15% (db). Bough (1975), 20 - 30% kitin (db) didapatkan pada kulit udang dan kepiting/rajungan, serta 30 - 50% kitin (db) pada eksoskeleton kepiting dan lobster (Muzarelli 1973 cit. Muzi 1990). Estimasi sumber-sumber kitin potensial dunia pertahun seperti terlihat pada Tabel 7-1.

Tabel 7-1. Estimasi sumber-sumber kitin potensial

Sumber kitinJumlah yang dipanenBagian dari yang dipanenKandungan Kitin

Berat basahBahan

kering (%)Berat bahan keringPotensi kitin

Shellfish 4,51.70050 - 6046830 4626549

Krill f18.200403.6402280156

Clam/Oystere1.39065 - 8552190 9548222

Squid e g66020 - 409921211

Jamur h79010079020 2618232

Insect-21 56

Total22.740-51181640150

Sumber : Allan. et.al 1978 cit. Knorr 1984

Ket. :

1 = Estimasi berdasarkan angka rata-rata dan dalam satuan 103 ton.

2 = diasumsikan hanya setengah dari hasil panen yang diproses, kecuali untuk jamur.

3 = dihitung berdasarkan kandungan kitin

4 = shellfish termasuk kepiting, rajungan, udang, udang sungai, lobster dan crayfish5 = rata-rata lima tahun (1970-1974), 6 = proyek FAO

7 = dihitung berdasarkan asumsi bahwa panen mengandung 50% air

8 = hasil samping pabrik pengolahan asam sitrat dan antibiotik.

Sebagai material pelindung krustasea, kitin terdapat sebagai muko-polisakarida, berasosiasi dengan kalsium karbonat dan berikatan kovalen dengan protein (Austin 1988 cit. Muzi 1990). Selain ketiga komponen tersebut, terdapat pula lemak, pigmen dan logam dalam jumlah terbatas. Komposisi kitin, protein dan abu pada crustacea bervariasi menurut jenisnya (Tabel 7-2). Sedangkan komposisi kimia dan kualitas nutrisi limbah buangan dari pengolahan Crustacea seperti terlihat pada Tabel 7-3.

Tabel 7-2. Komposisi kimia cangkang beberapa jenis krustaseaBahanKomposisi Kimia (%)Referensi

KitinProteinAbu

1. Kepiting biru14,916,4tdAustin dkk., 1981

2. Kepiting batu18,115,4tdAustin dkk., 1981

3. Kepiting ladam26,473,4tdAustin dkk., 1981

4. Udang laut27,234,9tdAustin dkk., 1981

5. Udang Calif18,134,927,6Cosio dkk., 1982

6. Crayfish23,516,963,5No dkk., 1989

td = tidak disebutkan

(Sumber: Muzi, 1990)

Tabel 7-3. Komposisi kimia limbah cangkang krustasea

Komponen / KualitasKomposisi Limbah

Shrimps4Crabs5

1. Kadar air (%)72,10 ( 0,2042,50 ( 0,31

2. Protein kasar (%, dwb)144,12 ( 0,7919,08 ( 0,21

3. Lemak (%, dwb)8,39 ( 0,800,85 ( 0,06

4. Kadar abu (%, dwb)29,03 ( 0,4330,68 ( 0,31

5. Kitin (%, dwb, cangkang deproteinasi)40,40 ( 0,4829,60 39,102

6. Karotenoid ((g/g)147,70 ( 2,50139,90 ( 2,00

7. Flavorant (% protein)1,58 ( 0,111,40 ( 0,20

8. PER value32,79 2,882,30 2,42

(Sumber: Shahidi ed. Shahidi dan Botta, 1994)

1 = dwb, dalam satuan berat kering, 2 = tergantung dari bagian cangkang

3 = Protein Efficensi Ratio (estimasi kualitas protein kasar).

4 = sejenis udang-udangan, 5 = sejenis kepiting dan rajungan

C. Kitin dan Cara ProduksiKitin adalah polimer struktural dari eksoskeleton yang merupakan unit poli-N-asetil-glukosamin yang terikat ikatan ( 1-4-glikosidik menjadi polimer linier yang terdiri dari 2000 - 3000 unit (Bough, 1975). Nama kitin (chitin) berasal dari bahasa Yunani yang artinya jubah atau amplop. Kitin terbentuk dari molekul berantai panjang dengan berat molekul yang besar. Secara struktural, kitin menyerupai selulosa, kecuali gugus asetamida yang menggantikan gugus hidroksil C-2 pada selulosa (Gambar 7-1a, 7-1b).

Karaktersitik utama kitin dicirikan oleh sifatnya yang sangat sukar larut dalam air dan beberapa pelarut organik, rendahnya reaktivitas kimia dan sangat hidrofobik. Dengan ke-3 sifat tersebut, maka penggunaan kitin relatif lebih sedikit dibandingkan kitosan dan derivatnya. Aplikasi kitin yang utama adalah sebagai senyawa pengikat logam dalam instalasi pengolahan air bersih atau limbah, kosmetik, fungisida dan fungistatik penyembuh luka.

Gambar 7-1. Gambar struktur kimia kitin (a) dan selulosa (b)(Sumber : Lee dan Tan, 2002)

Kitin menyusun lebih dari separoh total bahan organik dalam bahan-bahan (struktur) berkitin. Konsentrasi yang lebih tinggi mencapai 85% terdapat dalam antropoda, cangkang (eksoskeleton) kepiting, udang, dan lobster. telah lama diketahui sebagai sumber bahan dasar untuk produksi kitin. Cangkang kering Arthropoda rata-rata mengandung 20%-50% kitin. Sekalipun dikenal sejumlah sumber kitin, hanya kulit crustacea khususnya udang dan kepiting/rajungan yang telah dimanfaatkan secara komersial (Knorr 1984). Kuantitas kitin dalam cangkang ditentukan oleh spesies, kesegaran cangkang, dan bagian cangkang yang digunakan. Umumnya cangkang yang mengandung garam kalsium tinggi, kandungan kitinnya rendah. Bagian cangkang yang mengandung banyak kitin adalah kaki, celiped, dan ujung capit (Executive Council Communications & Consultation Government of Newfoundland & Labrador 2001).

Pada tubuh hewan, kitin biasanya berikatan dengan protein, untuk bahan-bahan yang strukturnya keras protein itu tersamak oleh senyawa-senyawa turunan fenolik. Dalam dunia tanaman adanya khitin terbatas dalam fungi dan ganggang hijau, semua fungi dengan beberapa pengecualian mengandung khitin dalam dinding-dinding selnyaUntuk memproduksi kitin dan turunannya, banyak hal yang dapat mempengaruhi keberhasilannya antara lain: (1) jenis bahan baku, (2) proses ekstraksi kitin (deproteinasi dan demineralisasi), dan (3) proses ekstraksi kitosan (deasetilasi) (Knorr,1991). Muzzarelli (1985) berpendapat bahwa kitin dan turunannya merupakan biopolimer yang banyak ditemui di alam, dapat diisolasi dengan proses kimia yang cukup sederhana, dan juga juga secara enzimatis. Lebih lanjut dikatakan Addison (2000) bahwa metode ekstraksi kitin dengan asam/basa kuat pada suhu cukup tinggi merupakan metode kuno, dan kitin yang dihasilkan tidak sebaik ekstraksi dengan cara enzimatis.

Isolasi kitin dari kulit udang/rajungan/kepiting biasanya dilakukan dalam 3 (tiga) tahap. Tahap pertama: penghilangan mineral (demineralisasi), dilakukan dengan penambahan larutan asam klorida, tujuannya untuk menghilangkan mineral kulit udang (terutama kalsium). Ada beberapa peneliti yang menyebut tahap ini sebagai tahap dekalsifikasi. Tahap kedua: penghilangan protein (deproteinasi), biasanya dilakukan dengan penambahan larutan natrium hidroksida (NaOH), dan pemanasan pada temperatur cukup tinggi. Tahap ketiga: penghilangan warna menggunakan larutan oksidator (asam oksalat, kaporit, atau kalium permangkanat/KMnO4). Untuk tujuan tertentu, penghilangan warna cukup menggunakan alkohol atau aseton.

Setelah melalui ketiga tahap proses tersebut, barulah diperoleh produk kitin. Diperkirakan, dari 1 kg kulit udang, akan diperoleh rendemen kitin sebanyak 200 - 250 gram. Untuk mendapatkan kitosan, kitin yang telah diperoleh kemudian direaksikan dengan larutan NaOH pada pada temperatur >60oC.

D. Kitosan dan Cara ProduksiSecara kimia, kitosan adalah kitin yang telah mengalami deasetilasi atau kehilangan gugus asetil yang diganti gugus amina (NH2) (produk deasetilasi kitin) (Gambar 7-2). Kualitas dan nilai ekonomi kitin-kitosan ditentukan oleh besarnya derajat deasetilasi, dimana makin tingi derajat deasetilasi, makin tinggi kualitas serta harga jualnya. Adanya gugus amina menjadikan kitosan bermuatan parsial positif kuat. Hal ini mengakibatkan kitosan dapat larut dalam larutan yang bersifat asam sampai netral. Selain itu, muatan positif tersebut mengakibatkan kitosan dapat menarik senyawa-senyawa yang bermuatan parsial negatif (minyak, lemak, dan protein). Sifat inilah yang menjadikan kitosan memiliki banyak manfaat.

Gambar 7-2. Struktur kimia kitosanSifat biologi kitosan antara lain: (1) sebagai biokompatibel, artinya sebagai polimer alami yang tidak menimbulkan akibat samping, tidak beracun, tidak dapat dicerna, mudah diuraikan oleh mikroba (biodegradable); (2) dapat berikatan dengan sel mamalia dan mikroba secara agresif; (3) mampu meningkatkan pembentukan tulang; (4) bersifat hemostatik, fungistatik, spermisidal, antitumor, antikolesterol; serta (5) sebagai depresan pada sistem saraf pusat. Berdasarkan sifat-sifat tersebut, kitosan memiliki sifat fisik yang khas yaitu mudah dibentuk menjadi spons, larutan, gel, pasta, membran, dan serat yang sangat bermanfaat dalam dunia industri.

Kitin yang diproduksi dapat diolah menjadi kitosan melalui proses deastilasi kitin menggunakan NaOH 50% pada suhu 130 - 150(C (Bough, 1975). Sedangkan Hirano (1996) cit Walker (1999), mengatakan bahwa kitosan secara komersial diproduksi menggunakan metode kimia dengan melarutkan kitin dalam 40 - 45% larutan NaOH, dan presipitatnya dicuci dengan akuades. Teknis pelaksanaannya dapat diuraikan sebagai berikut (Gambar 7-3a, b, c, d).D. Pemanfaatan Kitin dan Kitosan

Secara kimiawi kitin merupakan polimer (1-4)-2-asetamido-2-deoksi-B-D- glukosamin yang dapat dicerna oleh mamalia, sedangkan kitosan merupakan kitin yang dihilangkan gugus asetilnya dengan menggunakan basa pekat sehingga bahan ini merupakan polimer dari D-glukosamin. Perbedaan antara keduanya berdasarkan kandungan nitrogennya. Bila nitrogen kurang dari 7%, maka polimer disebut kitin dan apabila kandungan total nitrogennya lebih dari 7% maka disebut kitosan. Proses pembuatan kitin dilakukan dengan cara pengeringan, pengecilan ukuran, pencucian, deproteinisasi dengan NaOH. Hasilya dapat langsung diolah menjadi kitosan melalui proses deasetilisasi, pencucian, pengeringan, dan penepungan hingga menjadi kitosan bubuk. Kitin dan Kitosan dapat diterapkan di bidang industri maupun bidang kesehatan.

Tahap 1. Analisis proksimat kitin kasar

> 35 mesh

Gambar 7-3a.

Analisis proksimat kitin kasar cangkang udang dan rajungan

Tahap 2: Isolasi dan preparasi kitin cangkang udang dan rajungan (pilihan sampel yang optimal).

Gambar 7-3b.Proses demineralisasi kitin cangkang udang dan rajungan

Tahap 3: Deproteinasi kitin cangkang udang dan rajungan (pilihan sampel yang optimal)

Gambar 7-3c.

Proses deproteinasi cangkang udang dan rajungan

Tahap 4: Deasetilasi kitin cangkang udang dan rajungan (sampel terbaik).

Gambar 7-3d.

Proses deasetilasi kitosan cangkang udang dan rajungan

1. Industri TekstilSerat tenun dapat dibuat dari kitin dengan cara membuat suspensi kitin dalam asam format, kemudian ditambahkan triklor asam asetat dan segera dibekukan pada suhu 20 derajat C selama 24 jam. Jika larutan ini dipintal dan dimasukkan dalam etil asetat maka akan terbentuk serat tenun yang potensial untuk industri tekstil. Pada kerajinan batik, pasta kitosan dapat menggantikan ''malam'' (wax) sebagai media pembatikan.

2. Bidang FotografiJika kitin dilarutkan dalam larutan dimetilasetamida LICI, maka dari larutan ini dapat dibuat film untuk berbagai kegunaan. Pada industri film untuk fotografi, penambahan tembaga kitosan dapat memperbaiki mutu film yaitu untuk meningkatkan fotosensitivitasnya.

3. Bidang Kedokteran/Kesehatan.

Kitin dan turunannya (karboksimetil-kitin, hidroksietil-kitin dan etil-kitin) dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan benang operasi. Benang operasi ini mempunyai keunggulan dapat diurai dan diserap dalam jaringan tubuh, tidak toksik, dapat disterilisasi dan dapat disimpan lama.

Kitin dan kitosan dapat digunakan sebagai bahan pemercepat penyembuhan luka bakar, lebih baik dari yang terbuat dari tulang rawan. Selain itu juga sebagai bahan pembuatan garam-garam glukosamin yang mempunyai banyak manfaat di bidang kedokteran. Misalnya untuk menyembuhkan influenza, radang usus dan sakit tulang.

Glukosamin terasetilasi merupakan bahan antitumor, sedangkan glukosamin sendiri bersifat toksik terhadap sel-sel tumor sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol darah dan kolesterol liver. Karena kitin tidak dapat dicerna dalam pencernaan, maka ia berfungsi sebagai dietary fiber yang berguna melancarkan pembuangan sisa-sisa pencernaan.

4. Industri FungisidaKitosan mempunyai sifat antimikrobia melawan jamur lebih kuat dari Kitin. Jika kitosan ditambahkan pada tanah, maka akan menstimulir pertumbuhan mikrobia mikrobia yang dapat mengurai jamur. Selain itu kitosan juga dapat disemprotkan langsung pada tanaman. Misalnya larutan 0,4% kitosan jika disemprotkan pada tanaman tomat dapat menghilangkan virus tobacco mozaik.

5. Industri KosmetikKini telah dikembangkan produk baru shampoo kering mengandung kitin yang disuspensi dalam alkohol. Termasuk pembuatan lotion dan shampoo cair yang mengandung 0,5 - 6,0 % garam kitosan. Shampoo ini mempunyai kelebihan dapat meningkatkan kekuatan dan berkilaunya rambut, karena adanya interaksi antara polimer tersebut dengan protein rambut.

6. Industri Pengolahan PanganKarena sifat kitin dan kitosan yang dapat mengikat air dan lemak, maka keduanya dapat digunakan sebagai media pewarnaan makanan. Mikrokristalin kitin jika ditambahkan pada adonan akan dapat meningkatkan pengembangan volume roti tawar yang dihasilkan. Selain itu juga sebagai pengental dan pembentuk emulsi lebih baik dari pada mikrokristalin sellulosa. Pada pemanasan tinggi kitin akan menghasilkan pyrazine yang potensial sebagai zat penambah cita rasa. Sifat kitosan dapat bereaksi dengan asam jenis polifenol, maka kitosan sangat cocok untuk menurunkan kadar asam pada buah-buahan, sayuran dan ekstrak kopi. Bahkan terakhir diketahui dapat menjernihkan jus apel lebih baik daripada penggunaan bentonite dan gelatin. Kitin dan kitosan tidak beracun sehingga baik untuk kesehatan manusia.

7. Penanganan LimbahKarena sifat polikationiknya, kitosan dapat dimanfaatkan sebagai agensia penggumpal dalam penanganan limbah terutama limbah berprotein yang kemudian dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Pada penanganan limbah cair, kitosan sebagai chelating agent yang dapat menyerap logam beracun seperti mercuri, timah, tembaga, pluranium dan uranium dalam perairan dan ntuk mengikat zat warna tekstil dalam air limbah.

Sifat kitosan sebagai polimer alami mempunyai sifat menghambat absorpsi lemak Sifat ini sangat potensial untuk dijadikan obat penurun lemak, penurun kolesterol, pelangsing tubuh atau pencegahan penyakit lainnya. Kitosan juga bersifat tidak dicernakan dan tidak diabsorpsi tubuh, sehingga lemak dan kolesterol makanan terikat menjadi bentuk non-absorpsi yang tak berkalori. Tidak seperti serat alam lain, kitosan mempunyai sifat unik karena memberikan daya pengikatan lemak yang sangat tinggi. Pada kondisi normal kitosan mampu menyerap 4 - 5 kali lemak dibandingkan serat lain. Kapasitas yang tinggi ini diakibatkan gugus kitosan yang relatif bersifat basa dengan adanya gugus amino. Sebagai contoh jumlah lemak yang dieksresi oleh kitosan sekitar 51% sedangkan oleh pektin dan selulosa hanya 5 7%.

Sifat khas kitosan yang lain adalah kemampuannya untuk menurunkan kandungan LDL kolesterol, sekaligus mendorong peningkatan HDL kolesterol dalam serum darah. Beberapa peneliti senior di negara sakura (Jepang) menjuluki kitosan sebagai suatu senyawa yang memiliki zat hipokolesterolmik yang sangat efektif dan reaktif. Dengan kata lain, kitosan memiliki kemampuan menurunkan kadar/tingkat kolesterol dalam serum darah dengan efektif, tanpa menimbulkan efek sampingan pada kesehatan manusia.E. Aplikasi Kitosan dalam Pereduksi beban Pencemaran Limbah Cair Industri1. Preparasi Sampel Kitosan dalam Asam Asetat (CH3COOH)

Uji reduksi beban pencemaran dilakukan terhadap limbah cair pengolahan ikan segar yang diambil dari Swalayan Indomaret Jl. Jend. Sudirman Yogyakarta. Jenis limbah ini diprediksi mengandung banyak bahan organik (terutama protein) terlarut dan tersuspensi, serta limbah cair penyamakan kulit dari Balai Besar Kulit, Karet dan Plastik (BBKKP) Yogyakarta.

Mekanisma preparasi sampel kitosan sebagai agen pereduksi (floculation agent) beban cemaran limbah cair dilakukan melalui langkah-langkah berikut.a. Siapkan limbah cair pengolahan ikan segar dan penyamakan kulit di gelas beker. Pengujian awal (pra perlakuan) turbidity, TSS, TDS, N-total, pH, Cr serta kecerahan.

b. Campurkan 250 ml larutan kitosan 1% dari sampel kitosan perlakuan terbaik (derajad deasetilasi tertinggi) ke dalam 500 ml air limbah. Sampel perlakuan terbaik dari kitosan cangkang udang putih adalah waktu deproteinasi 45 menit dan konsentrasi NaOH 3% serta sampel kitosan cangkang rajungan adalah waktu deproteinasi 45 menit dan konsentrasi NaOH 4% dengan nilai derajad deasetilasi tertingi.

c. Aduk larutan air limbah dengan magnetik stirrer, atur kecepatan putar 1200 rpm selama 10 menit. Hasil reaksi kitosan dalam pelarut asam asetat seperti terlihat pada Gambar 7-4.d. Diamkan larutan selama 60 menit untuk menunggu pemisahan/ pengendapan padatan.

e. Pengujian akhir (pasca perlakuan) turbidity (kekeruhan), TSS, TDS, N-total, pH, Cr, dan kecerahan.

f. Kalkulasi persentase tingat reduksi beban pencemaran setelah limbah cair diberikan perlakuan kitosan.

Hasil uji kualitas air limbah segar (pra perlakuan) dan air limbah setelah perlakuan kitosan, serta persentase pereduksi beban pencemaran dapat dilihat pada Tabel 7-3a, 7-3b serta Gambar 7-6a, 7-6b.

Kitosan merupakan polimer rantai panjang glukosamin, 2-amino-deoksiglukosa, memiliki gugus amino dengan muatan ion positif, yang dapat mengikat substansi kimia bermuatan negatif dalam larutan (salah satunya adalah protein). Kitosan tidak dapat larut dalam pelarut netral atau alkali serta asam kuat tetapi dapat larut dalam pelarut organik (asam encer). Oleh karena itu kitosan yang digunakan, sebelumnya harus dilarutkan (dicampur) dengan asam asetat (CH3COOH) encer 2%.

Gambar 7-4. Kitosan dilarutkan dalam asam asetat 2%

2. Tingkat Reduksi Beban Pencemaran Limbah Cair

Berdasarkan hasil uji kemampuan reduksi kitosan sebagai floculation agent terhadap beban pencemaran limbah cair pengolahan ikan segar dan limbah cair penyamakan kulit (Tabel 7-3a, 7-3b serta Gambar 7-5a, 7-5b), terlihat bahwa semua parameter beban pencemaran (turbidity, TSS, TDS, N-total, pH, Cr dan kecerahan) mengalami menurunan signifikan.

a. Limbah cair pengolahan ikan segar.

Kemampuan reduksi kitosan cangkang udang putih dan cangkang rajungan terhadap beban pencemaran limbah cair pengolahan ikan segar relatif bervariasi. Nilai turbidias (kekeruhan) limbah cair ikan segar dengan perlakuan kitosan cangkang udang putih mengalami perubahan 21,04%; DO = 330%; TSS = 7,27%; TDS 16,58%; N-total = 33,33%; pH = 19,72% (Tabel 7-3a) dengan tingkat kecerahan cukup tinggi (signifikan) dibandingkan limbah cair pra perlakuan (Gambar 7-6a). Sedangkan untuk limbah cair pengolahan ikan segar dengan perlakuan kitosan cangkang rajungan adalah: turbidity = 217,33%; oksigen terlarut (DO) = 300%; TSS = 7,27%; TDS = 21,39% ; N-total = 23,32%; pH = 19,72% (Tabel 7-3b) dengan tingkat kecerahan cukup tinggi (sangat keruh) dibandingkan limbah cair pra perlakuan kitosan.

Tabel 7-3a. Hasil uji reduksi beban pencemaran limbah cair pengolahan ikan segar dengan kitosan cangkang udang putih*

NoParameterPra PerlakuanPasca PerlakuanPersentase Pereduksi (%)

1Turbiditas (ppm)277,50219,1021,04

2DO (ppm)0,003,30330,00

3TSS (ppm)2,202,047,27

4TDS (ppm)7,906,5916,58

5N-total (%)0,300,2233,33

6pH7,105,7019,72

7Kecerahancoklat pekatkeruhmeningkat

Ketarangan: * = limbah hasil pengolahan ikan segar Indomaret Yogyakarta

Berdasarkan Tabel 7-3a dan 7-3b, terlihat bahwa pemberian kitosan sebagai floculation agent dapat mereduksi beban pencemaran limbah cair pengolahan ikan segar dan penyamakan kulit secara signifikan. Kemampuan pereduksi beban pencemaran dari kedua jenis kitosan ini relatif sama. Meskipun demikian, kitosan cangkang udang putih memiliki kemampuan pereduksi relatif lebih tinggi terhadap parameter turbiditas, DO, dan N-total, sedangkan kitosan cangkang rajungan hanya pada parameter TSS dan TDS.

Tabel 7-3b. Hasil uji reduksi beban pencemaran limbah cair pengolahan ikan segar dengan kitosan cangkang rajungan *

NoParameterPra PerlakuanPasca PerlakuanPersentase Pereduksi (%)

1Turbiditas (ppm)277,50229,4017,33

2DO (ppm)0,003,00300,00

3TSS (ppm)2,202,037,72

4TDS (ppm)7,906,2121,39

5N-total (%)0,300,2323,33

6pH7,105.7019,72

7Kecerahancoklat pekatkeruhmeningkat

Ketarangan: * = limbah hasil pengolahan ikan segar PT. Indomaret Yogyakarta

Gambar 7-5. Kecerahan limbah cair pengolahan ikan segar pra perlakuan (a), dan pasca perlakuan kitosan udang putih dan rajungan (b).b. Limbah cair penyamakan kulit

Kemampuan reduksi kitosan cangkang udang putih dan cangkang rajungan terhadap beban cemaran limbah cair penyamakan kulit relatif bervariasi, seperti halnya limbah cair pengolahan ikan segar. Nilai turbiditas/kekeruhan limbah cair dengan perlakuan kitosan cangkang udang putih mengalami penurunan 44,54%; DO = 100%; TSS = 51,87%; TDS 15,05%; N-total = 23,08%; pH = 10,61% ; Cr = 85,54% dengan nilai kecerahan cukup tinggi (jernih kehijauan) dibandingkan limbah cair pra perlakuan (Gambar 7-6b). Sedangkan dengan perlakuan kitosan cangkang rajungan, perubahan masing-masing adalah: turbidity = 32,34% ; DO = 100%; TSS = 33,69%; TDS = 33,80% ; N-total = 7,69%; pH = 12,12%, Cr = 70,98% dengan kecerahan cukup tinggi (jernih kehijauan) dibandingkan kondisi limbah cair pra perlakuan.

Berdasarkan Tabel 7-4a dan 7-4b, terlihat jelas bahwa pemberian kitosan sebagai floculation agent, juga dapat mereduksi beban pencemaran limbah cair pengolahan ikan segar dan penyamakan kulit secara signifikan. Kemampuan pereduksi beban pencemaran dari kedua jenis kitosan ini relatif sama, namun demikian kitosan cangkang udang putih memiliki kemampuan pereduksi relatif lebih besar. Hal ini seperti terlihat pada kemampuan pereduksi pada parameter turbiditas, DO, TSS, N-total, dan Cr, sedangkan kitosan cangkang rajungan hanya pada parameter TDS. Nilai kecerahan limbah cair industri penyamakan kulit setelah diberikan perlakuan kitosan cangkang udang putih dan rajungan, ternyata lebih tinggi dibandingkan kecerahan limbah cair industri pengolahan ikan segar (lihat Gambar 7-6a dan 7-6b). Hal ini dapat dibuktikan dengan besarnya reduksi beban pencemaran parameter TSS dan TDS sebagai indikator utama kekeruhan badan air. Semakin banyak partikel TSS dan TDS yang tereduksi, semakin tinggi tingkat kecerahan air limbah yang dihasilkan, dan berkorelasi positif dengan semakin banyak oksigen terlarut dalam badan air.

Tabel 7-4a. Hasil uji reduksi beban pencemaran limbah cair penyamakan kulit dengan kitosan cangkang udang putih*

NoParameterPra PerlakuanPasca PerlakuanPersentase Pereduksi (%)

1Turbiditas (ppm)343,5190.544,54

2DO (ppm)0,001,00100,00

3TSS (ppm)1,870,9051,87

4TDS (ppm)31,3026,5915,05

5N-total (%)0,130,1023,08

6pH6,605,9010,61

7Krom (Cr, ppm)82,3011,9085,54

8Kecerahancoklat pekatjernih kehijauanmeningkat

Keterangan * = limbah cair penyamakan kulit BBKKP Yogyakarta

Tabel 7-4b. Hasil uji reduksi beban pencemaran limbah cair penyamakan kulit dengan kitosan cangkang rajungan

NoParameterPra PerlakuanPasca PerlakuanPersentase Pereduksi (%)

1Turbiditas (ppm)343,5232,4032,34

2DO (ppm)0,001,00100,00

3TSS (ppm)1.871,2433,69

4TDS (ppm)31,3020,7233,80

5N-total (%)0,130,127,69

6pH6,605,8012,12

7Krom (Cr, ppm)82,3023,9070,96

8Kecerahancoklat pekat jernih kehijauanmeningkat

3. Mekanisme Pereduksi Beban Pencemaran Limbah Cair

Limbah cair hasil buangan proses produksi (aktivitas manusia dan industri) banyak mengandung nutrien (protein, lemak, karbohidrat) dan logam berat, yang sifatnya mudah terurai (biodegradable pollutan) maupun sukar terurai (non biodegradable pollutan). Polutan dalam limbah cair pada umumnya bersifat koloid dengan ukuran partikel sangat kecil dan sukar mengendap. Banyaknya partikel koloid ini menimbulkan kekeruhan badan air. Karakteristik limbah cair organik dan anorganik adalah menimbulkan bau tidak sedap, oksigen terlarut rendah, BOD tinggi, dengan nutrien/kesuburan tinggi (Sahubawa, 2005). Berdasarkan hasil analisis, persentase protein air limbah pengolahan ikan segar dan penyamakan kulit yang tereduksi masing-masing mencapai 23,33% dan 23,08%. Total Suspended Solid (TSS) tereduksi sampai 7,72% dan 51,87%, serta Total Disolve Solid (TDS) mencapai 21,39% dan 33,80%.

Gambar 7-6. Kecerahan limbah cair penyamakan kulit pra perlakuan (a), dan pasca perlakuan dengan kitosan udang putih dan rajungan (b).

Dalam limbah cair industri, partikel-partikel protein bersifat tersuspensi dan tidak dapat terendapkan akan menimbulkan kekeruhan. Partikel-partikel protein tersebut terlalu kecil untuk mengendap dalam suatu periode waktu tertentu dan terlalu kecil untuk dapat tersaring. Menurut Water Specialist Technologies LLC (2003), partikel-partikel protein bersifat stabil atau tetap melayang dalam air limbah karena sifat partikel yang saling tolak-menolak. Pada dasarnya proses reduksi beban pencemaran limbah cair melewati 3 (tiga) tahap, yaitu: (1) koagulasi/destabilisasi, (2) flokulasi, dan (3) sedimentasi. Tahap koagulasi/ destabilisasi partikel terjadi ketika kitosan sebagai koagulan bereaksi dengan partikel di dalam air limbah. Kitosan adalah senyawa yang memiliki gugus amina (NH2), bersifat elektrolit dan dapat mengikat partikel negatif, salah satunya adalah gugus fungsional protein. Sifat ini ditimbulkan oleh adanya gugus amina (NH2) pada rantai C nomor 2 yang mempunyai pasangan elektron bebas reaktif (Gambar 7-7). Dalam reaksi ini pasangan elektron bebas gugus amino pada unit glukosamin kitosan berperan sebagai penerima proton, sehingga gugus amino menjadi bermuatan positif (Winterowd and Standford, 1995). Adanya proton (H+) akan berikatan secara koordinasi dengan amina membentuk gugus amino (NH3+) yang bersifat ionik. Gugus NH3+ akan mengakibatkan polimer kitosan memiliki sifat reaktif terhadap senyawa yang bermuatan negatif. Semakin banyak gugus amino yang terbentuk, semakin besar kemapuan kitosan dalam mengikat partikel-partikel tersuspensi sehingga dapat menghasilkan limbah cair yang lebih jernih (lihat Gambar 7-6a dan 7-6b).

Gambar 7-7. Reaksi Koagulasi Protein oleh Kitosan

Mekanisme penjernihan ini disebabkan oleh adanya proses koagulasi dan flokulasi protein oleh senyawa koagulan (kitosan). Adapun proses koagulasi menurut Water Specialist Technologies LLC (2003) adalah proses destabilisasi partikel protein yang terlarut dalam air limbah oleh reaksi netralisasi dengan menambahkan kitosan (koagulan kationik). Kitosan memiliki muatan positif yang dapat mengikat muatan negatif yang dimiliki protein. Dalam proses ini terjadi pengikatan gugus fungsional protein dengan kitosan dalam limbah cair menjadi kumpulan partikel protein (flocs).

Dalam proses koagulasi, penambahan kitosan ke dalam limbah cair adalah untuk mengurangi muatan negatif pada partikel-partikel protein hingga mencapai suatu titik dimana partikel tersebut tidak saling tolak-menolak. Menurut Hammer (1986), faktor penentu keberhasilan poses ini adalah pengadukan secara cepat dan kontinu supaya dosis koagulan yang diberikan akan efektif dalam berikatan.

Pada proses flokulasi, faktor waktu sangat penting terhadap efisiensi pengendapan partikel protein. Dalam proses ini, partikel-pertikel protein diharapkan dapat beraglomerasi menjadi flocs partikel protein besar yang dapat mengendap. Pengadukan yang cukup cepat dapat membantu flocs saling berdekatan dan cepat bereaksi, sedangkan pengadukan yang terlalu cepat dan lama akan dapat memecah floc partikel menjadi lebih kecil dan akhirnya terdispersi kembali dalam air limbah.

Proses penggabungan antara floc-floc protein, akan membentuk masa partikel yang lebih besar dan mengendap di dasar perairan (aglomerasi). Proses pengadukan limbah cair mengunakan alat magnetik stirrer dengan kecepatan 1600 rpm selama 10 menit, dengan tujuan membantu kontak antar floc kecil protein untuk dapat beraglomerasi menjadi partikel yang lebih besar. Selanjutnya larutan air limbah didiamkan selama 60 menit, sehingga masa partikel protein tersebut akan mengendap.

Proses pengikatan protein oleh kitosan dalam limbah cair pada dasarnya sama dengan mekanisme koagulasi partikel koloid limbah cair yang menggunakan koagulan kimia (Gambar 7-8) (Hammer, 1986). Larutan protein dalam limbah cair membentuk sistem koloid, dimana partikel larutan berada pada fase zat terlarut yang terpisah dengan fase medium pelarutnya (Bird, 1987). Sifat koloidal larutan erat kaitannya dengan proses koagulasi dan flokulasi sebagai tahapan dalam proses penanganan limbah cair. Partikel-partikel koloid yang tidak dapat, akan menimbulkan kekeruhan badan air. Larutan protein dalam air limbah bersifat koloid yang memiliki karakter khusus yaitu tidak dapat mengendap dan tetap stabil dalam air.

Proses pengikatan protein oleh kitosan dikarenakan oleh perubahan stabilitas partikel protein dalam air limbah. Adanya gaya tolak-menolak antar partikel mengakibatkan partikel protein tetap stabil dalam air limbah (Gambar 7-9a). Menurut teori Derjaguin, Landau, Verwey dan Overbeek (DLVO), kestabilan partikel koloid dalam air terjadi karena perubahan energi yang berlangsung ketika dua partikel koloid saling berdekatan (Bird, 1987). Teori ini memperkirakan peranan gaya tarik-menarik (gaya Van Der Walls) dan tolak-menolak (tumpangtindih) lapisan ganda elektrik antara partikel.

Gambar 7-8. Gaya tarik dan tolak menolak antar partikel koloid dalam air limbah (a), destabilisasi partikel koloid dan flokukasi, (b) sedimentasi dan aglomerasi masa partikel koloid (c).

Penambahan kitosan (sifat koagulan) sebagai senyawa elektrolit akan memperbesar gaya tarik-menarik sehingga memperkecil jarak antarpartikel bermuatan. Peningkatan konsentrasi senyawa elektrolit akan memperkecil gaya tolak-menolak antarpartikel dan pada konsentrasi tertentu gaya ini akan hilang. Hilangnya gaya tolak-menolak menjadikan jarak antar partikel semakin dekat sehingga partikel saling menyatu (berikatan) (Gambar 7-9b). Partikel-partikel yang menyatu, selanjutnya membentuk kelompok partikel besar yang mengendap di dasar perairan membetuk aglomerasi (Hammer, 1986). Berdasarkan hasil analisis, kemampuan reduksi krom air limbah penyamakan kulit dengan kitosan cangkang udang putih mencapai 70,96%. Proses ini merupakan hasil pengikatan gugus amino-kitosan dengan logam berat (krom). Gugus amina (NH2) pada kitosan akan berikatan dengan logam berat Cr melalui ikatan koordinasi membentuk senyawa kompleks heksamin krom (III), dengan penggunaan bersama pasangan elektron bebas pada gugus amina (NH2) (Persamaan 7-1).

6 -NH2 + Cr 3+ [Cr (- NH2 )6 ] 3+

(7-1)Senyawa kompleks yang terbentuk terdiri dari ion krom (Cr3+) sebagai ion pusat dan molekul amina (-NH2). Senyawa yang terbentuk merupakan senyawa kompleks hasil kelasi yang mempunyai ukuran dan masa partikel lebih besar dari keadaan sebelumnya. Menurut Park dkk. (1984) dalam Sormin dkk. (2001), reaksi pengikatan logam berat oleh kitosan merupakan suatu proses kelasi (chelation), dimana kitosan memiliki sifat berbeda dibandingkan polisakarida lain dalam bereaksi dengan kation multivalen atau bivalen. Menurut Putriasih (2004), gugus amina pada kitosan memiliki pasangan elektron bebas sebagai basa lewis yang berfungsi sebagai donor elektron. Elektron bebas inilah yang digunakan untuk berikatan bersama logam membentuk senyawa kompleks. BAB-7. APLIKASI KITIN-KITOSAN LIMBAH CANGKANG RAJUNGAN & UDANG DALAM PEREDUKSI BEBAN PENCEMARAN LIMBAH CAIR INDUSTRI

a

EMBED Word.Picture.8

b

EMBED Word.Picture.8

Sampel

Dicuci bersih

Dikeringkan

Dihancurkan

Penghalusan

Tepung cangkang diayak

Pengeringan dibawah sinar matahari selama 2-3 hari, dilakukan pada jam 9.00 - 15.00

Penghalusan dilakukan dengan grinder, dilanjutkan dengan blender kering

Pengayakan tepung dengan ayakan 35 mesh

Analisisi:

Kadar abu

Kadar N-total

Kadar air

Kadar lemak

Kadar kitin kasar

Perebusan Cangkang Udang dan Rajungan

A

Pengering-anginan

Penyaringan

Analisis:

Kadar abu

Kadar air

Rendemen

Residu

CaCl2

Demineralisasi

Penyaringan

Pencucian

suhu kamar, HCl = 0,5N; 1N; 1,5N 1:5 (b/v), waktu = 2 jam; 4 jam; 6 jam; 8 jam.

Pencucian setelah demineralisasi I = 2 kali

Pencucian setelah demineralisasi II = 2 kali

Pencucian setelah demineralisasi III sampai netral

Sampel Tepung Kitin 20 gr

Residu

Penyaringan

Pencucian

Penyaringan

suhu mendidih, NaOH = 0,5N; 1N; 1,5N 1:5 (b/v), waktu = 4 jam; 6 jam; 8 jam; 10 jam.

Sambil ditambah aquadest untuk mempertahankan volume sistem

Analisis :

Kadar N total

Kadar air

Rendemen

Pengering-anginan

Pencucian setelah deproteinasi sampai netral

NaOH

Filtrat

Na-proteinat

Deproteinasi

20 gr sampel tepung kitin

A

Residu

Residu

Kitin

Deasetilasi

Penyaringan

Kitin

Pencucian

Penyaringan

Pengeringan 40 50(C, 8-12 jam

kondisi mendidih,

NaOH = 50% 1:10 (b/v), waktu = 3 jam; 4 jam; 5 jam; 6 jam; 7 jam.

Analisisi:

Derajat deasetilasi

Viscositas

Kitosan

Residu

Residu

pencucian setelah deasetilasi sampai netral

Pra Perlakuan Kitosan (a)

Pasca Perlakuan Kitosan (b)

Pasca Perlakuan Kitosan (b)

Pra Perlakuan (a)

a

b

c

Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UGM Hal. 2-18

_1176260416.bin

_1204630790.doc

_1203653687.doc

_1175851163.bin