makhluk mungil pembawa bencana.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

  • SEBELUM aku dan adikku menemukan makhluk kecil yang aneh di

    bawah tempat cuci piring, keluargaku termasuk keluarga normal yang

    bahagia. Malahan bisa dibilang kami sangat beruntung.

    Tapi keberuntungan kami segera berubah setelah kami menarik

    makhluk itu dari tempat persembunyiannya yang gelap.

    Kisah sedih yang mengerikan ini berawal pada hari kami pindah

    rumah.

    "Nah, ini dia, anak-anak." Dengan gembira Dad menekan klakson

    ketika kami membelok ke Maple Drive dan berhenti di depan rumah

    kami yang baru. "Sudah siap pindah kemari, Kitty Kat?"

    Dad satu-satunya orang yang kubiarkan memanggilku begitu. Namaku

    sebenarnya Katrina (ih!) Merton, tapi hanya para guru di sekolah yang

    memanggilku Katrina. Semua orang lain memanggilku Kat saja.

    "Tentu, Dad!" seruku. Kemudian aku melompat turun dari station

    wagon kami.

    "Guk! Guk!" Killer, anjing cocker spaniel kami, menggonggong

    seakan-akan mendukungku, lalu menyusul ke trotoar.

    Daniel, adikku yang konyol, yang menamai anjing kami. Nama itu

    sama sekali tidak cocok, sebab Killer takut terhadap apa saja. Satu-

    satunya benda yang berani dia gigit adalah bola karetnya!

  • Daniel dan aku sudah berkali-kali naik sepeda lewat di depan rumah

    kami yang baru. Jaraknya cuma tiga blok dari rumah kami yang dulu,

    di East Main.

    Tapi aku tetap belum bisa percaya bahwa kami akan tinggal di sini.

    Dari dulu aku menganggap rumah kami yang lama sudah cukup hebat.

    Tapi rumah yang baru ini benar-benar luar biasa!

    Rumahnya berlantai tiga dan terletak di atas bukit. Jendelanya paling

    tidak ada selusin, dan semuanya dilengkapi dengan kerai berwarna

    kuning mentega. Dan di sekeliling rumah ada teras lebar. Halaman

    depannya kira-kira seukuran lapangan sepak bola.

    Ini bukan rumah, tapi istana!

    Ehm, hampir seperti istana. Rumahnya memang besartapi tidak bisa

    dibilang mewah. Mom menyebutnya "rumah yang mirip sepatu tua

    yang nyaman".

    Hari ini rumahnya malah berkesan tua dan berantakan. Beberapa kerai

    sudah miring, rumputnya perlu dipotong, dan semuanya seakan-akan

    diselubungi debu setebal satu inci.

    Tapi Mom cuma berkomentar, "Tinggal dibersihkan, dicat, dan

    diketok-ketok dengan palu di sana-sini."

    Mom, Dad, dan Daniel turun dari mobil. Kami berdiri di pekarangan

    sambil mengamati rumah itu. Akhirnya aku akan melihatnya dari

    dalam!

  • Mom menunjuk ke lantai dua. "Kalian lihat balkon besar itu?" dia

    bertanya. "Itu kamar Dad dan Mom. Di sebelahnya kamar Daniel."

    Mom meraih tanganku dan meremasnya dengan lembut. "Balkon kecil

    di sebelah sanaitu di luar kamarmu, Kat," katanya dengan wajah

    berseri-seri.

    Wah, aku bakal dapat balkon sendiri! Aku berpaling dan memeluk

    Mom erat-erat. "Aku sudah tidak sabar pindah kemari," bisikku.

    Tentu saja Daniel langsung merengek-rengek. Umurnya sepuluh tahun

    sekarang, tapi dia terlalu sering bersikap seperti anak dua tahun.

    "Kenapa kamar Kat punya balkondan kamarku tidak? '"dia

    mengeluh. "Ini tidak adil! Aku juga minta balkon!"

    "Jangan rewel, Daniel," aku bergumam. "Mom, suruh dia diam. Sudah

    sepantasnya aku dapat lebih dari dia. Aku kan dua tahun lebih tua."

    hampir dua tahun lebih tua. Baru empat hari lagi aku berulang tahun.

    "Jangan bertengkar, anak-anak," Mom berkata dengan tegas. "Daniel,

    kau tidak dapat balkon. Tapi sebagai gantinya, Dad dan Mom punya

    kejutan untukmutempat tidur bertingkat. Jadi Carlo bisa menginap

    kapan saja kau mau."

    "Asyik!" seru Daniel. Carlo sahabat karib Daniel. Mereka selalu

    bersama-samadan selalu mengusik ketenanganku.

    Daniel sebenarnya baik-baik saja. Tapi sok tahunya minta ampun. Dad

    menjulukinya Tuan Tahu Segala.

  • Kadang-kadang Daniel juga disebut si Manusia Badai oleh Dad,

    karena dia selalu berlari ke sana kemari bagaikan angin puyuh, dan

    membuat semuanya jadi berantakan.

    Aku sendiri lebih mirip Dadkalem dan tenang. Ehm, biasanya sih

    begitu. Dan makanan kegemaran kami juga samalasagna, acar

    bawang yang benar-benar asam, dan es krim dengan mocha chips.

    Tampangku juga mirip Dad, jangkung, kurus, dengan rambut

    kemerahan dan bintik-bintik di wajah. Biasanya rambutku dikuncir.

    Rambut Dad terlalu sedikit untuk dibicarakan.

    Daniel lebih mirip Mom. Rambutnya lurus, berwarna cokelat muda,

    dan selalu jatuh menutupi matanya. Mom bilang dia berbadan "tegap".

    (Tapi sebenarnya itu berarti dia agak gendut.)

    Hari ini Daniel memang lagi kumat. Sepertinya dia ingin

    membuktikan bahwa julukan Manusia Badai memang cocok

    untuknya. Dia berlari ke halaman rumput yang luas, dan mulai

    berputar-putar. "Rumah besar," serunya. "Rumah raksasa. Rumah...

    rumah super!"

    Dia menjatuhkan diri di rumput. "Dan ini halaman super! Hei, Kat,

    lihat akuaku Super Daniel!"

    "Kau superkonyol," aku menyahut sambil mengacak-acak rambutnya

    dengan kedua tangan.

  • "Hei, sudah!" pekiknya. Kemudian dia mencabut pistol supersoaker-

    nya dan menyemprot bagian depan T-shirt-ku. "Kau kutangkap!"

    serunya. "Kau jadi tawananku!"

    "Kata siapa?" balasku, sambil berusaha merampas pistol airnya. "Ayo,

    serahkan pistolmu!" perintahku. Kemudian aku menarik lebih keras

    lagi. "Lepaskan!"

    "Oke," ujar Daniel sambil nyengir. Tiba-tiba saja dia melepaskan

    pistolnya, sehingga aku mundur terhuyung-huyungdan jatuh di

    trotoar.

    "Huh, dasar payah!" Daniel mencemooh.

    Tapi aku tahu cara tepat untuk membalas kelakuan minusnya.

    Langsung saja aku berlari ke teras. "Hei, Daniel!" seruku. "Lihat nih!

    Aku yang pertama masuk ke rumah baru!"

    "Enak saja!" sahutnya sambil berlari menyusulku. Dia melompat ke

    teras dan menangkap pergelangan "Aku duluan! Aku duluan!"

    Saat itulah Dad muncul sambil membawa kardus besar bertulisan

    DAPUR yang penuh barang-barang. Dia diikuti oleh dua laki-laki

    yang menggotong sofa kami yang besar dan berwarna biru.

    "Hei, jangan bercanda terus! Mom dan Dad butuh bantuan kalian hari

    ini. Karena itulah kalian diizinkan tidak masuk sekolah," seru Dad.

    "Daniel, ajak Killer jalan-jalandan jangan lupa beri dia makan dan

    minum. Kat, kau awasi Daniel.

  • "Dan, Kat, tolong bersihkan lemari-lemari di dapur, oke?" Dad

    menambahkan. "Mom ingin segera menyimpan piring-piring dan

    panci-panci."

    "Oke, Dad," jawabku. Aku melihat Daniel menggeledah sebuah

    kardus di rumput. Kardus itu bertulisan KARTU DAN KOMIK.

    "Hei, anjingnya mana?" aku berseru padanya. Dia angkat bahu.

    "Daniel!" Aku mengerutkan kening. "Killer tidak kelihatan. Di mana

    dia?"

    Daniel meletakkan setumpuk kartu bisbol. "Oke, oke, aku akan

    mencarinya," dia bergumam. Dia berdiri dan mulai memanggil-

    manggil Killer.

    Begitu ia menghilang di samping rumah, aku bergegas ke kardus

    bertulisan KARTU DAN KOMIK dan memeriksa isinya. Hah,

    ternyata adikku yang brengsek itu mencuri beberapa komikku.

    Semua komikku kuambil, kemudian aku pergi ke dapur untuk

    membersihkan lemari. Tapi begitu masuk dapur, aku langsung lemas.

    Ruangan yang besar dan terang itu dipenuhi lemari dan kabinet!

    Sambil menghela napas aku mengambil tisu dan sebotol cairan

    pembersih dari kardus bertulisan PERLENGKAPAN KEBERSIHAN,

    lalu mulai bekerja.

    Semprot, gosok, semprot, gosok. Ini bisa makan waktu berjam-jam!

  • Setelah selesai membersihkan kabinet pertama, aku mundur selangkah

    untuk mengagumi hasilnya. Kemudian aku berlutut di depan kabinet

    di bawah tempat cuci piring.

    Tapi sesuatusebuah bunyi berderit, seperti bunyi langkah di tangga

    kayu yang tuamembuatku tersentak kaget.

    Apa itu? aku bertanya-tanya. Jantungku langsung berdegup kencang.

    Perlahan-lahan kubuka kabinet itu, dan dengan hati-hati aku mencoba

    mengintip.

    Pintunya kubuka sedikit lagi.

    Sekali lagi aku mendengar bunyi itu.

    Hatiku berdebar-debar.

    Pintu kabinet kubuka lebih lebar.

    Dan sekonyong-konyong ada sesuatu yang mencengkeram tanganku.

    Sebuah cakar berbulu.

    Cakar itu tidak mau melepaskanku.

    Aku menjerit.

  • "DANIEL! Kau bikin aku kaget setengah mati!" teriakku. Dengan

    kesal kugebuk punggungnya.

    Sambil ketawa terpingkal-pingkal adikku membuka kostum tikusnya.

    "Coba kaubisa lihat tampangmu tadi!" serunya. "Mulai sekarang, lebih

    baik kau ganti nama jadi Kat si Penakut saja!"

    "Ha-ha. Lucu sekali," sahutku sambil geleng-geleng kepala. Apakah

    aku sudah bercerita bahwa Daniel juga rajanya lelucon konyol?

    Kemudian aku teringat apa yang seharusnya dikerjakan adikku itu.

    "Dad minta kau mencari Killer. Di mana dia?"

    "Dia tidak perlu dicari." Daniel terkekeh-kekeh. "Soalnya dia memang

    tidak hilang."

    "Apa maksudmu?"

    "Killer kumasukkan ke ruang bawah tanah," dia menjawab dengan

    bangga. "Waktu kau ada di teras, aku cepat-cepat masuk lewat pintu

    samping dan bersembunyi di bawah tempat cuci piring."

    "Kau memang brengsek!" seruku.

    Tiba-tiba aku mendengar bunyi "srek-srek" pada lantai. "Hei... suara

    apa itu?" tanyaku.

  • Daniel langsung melongo. ."Aduh, itu tikus benaran!" dia memekik.

    "Awas, Kat! Awas!"

    Tanpa berpikir panjang aku melompat ke kursi dapur... dan sedetik

    kemudian Killer masuk ke dapur.

    Daniel ketawa sampai terbungkuk-bungkuk. "Hahaha, kau ketipu

    lagi!" Sepertinya dia bangga sekali.

    Aku menerkam adikku dan mengambil ancang-ancang untuk

    menggelitiknya. "Bersiaplah untuk mati ketawa!" aku berseru.

    "Jangan! Tolong! Jangan!" dia menjerit-jerit. "Ampun, Kat! Ampun!

    Jangan gelitik aku. Aku... tidak... tahan!"

    "Menyerah?" tanyaku.

    Daniel mengangguk. "Ya," sahutnya sambil ketawa. Napasnya

    terengah-engah.

    "Oke," ujarku. "Kau boleh berdiri sekarang." "Thanks," katanya. "Hei,

    sedang apa Killer di sa na?"

    "Jangan cari gara-gara lagi. Aku tidak bakal ketipu untuk ketiga

    kalinya," balasku dengan sengit.

    Tapi waktu aku melirik, Killer kelihatannya memang sangat tertarik

    pada sesuatu di dalam kabinet tempat cuci piring yang masih terbuka

    dari tadi.

  • Dia menarik sesuatu keluar, lalu mulai mengendus-endus. Dia

    mendorong-dorongnya dengan hidung, kemudian menggeram sambil

    mendongak.

    Aneh, ujarku dalam hati. Killer tidak pernah menggeram.

    "Hei, apa itu?" aku berseru padanya.

    Killer tidak menggubrisku. Menengok pun tidak. Dengus, dengus,

    dengus... geram.

    Aku maju sedikit agar dapat melihat lebih jelas. "Ada apa sih, Kat?"

    tanya Daniel.

    "Bukan apa-apa," jawabku sambil lalu. "Kayaknya cuma spons

    bekas."

    Dengus, dengus, dengus... geram.

    Benda itu kelihatan biasa sajakecil, bulat, cokelat muda. Sedikit

    lebih besar daripada telur.

    Tapi spons itu membuat Killer kalang kabut dan gelisah. Dia terus

    melompat-lompat mengelilinginya sambil menyalak dan menggeram.

    Kuraih spons itu untuk kuamati. Dan anjingku yang manis berusaha

    menggigitku!

    "Killer!" seruku. "Anjing nakal!"

    Dia pergi ke sudut ruangan. Sambil merintih karena malu, dia

    berbaring dengan kepala menumpang di atas kedua kaki depan.

  • Kuamati spons itu dari dekat.

    Hei! Tunggu dulu!

    Tiba-tiba aku mengerti kenapa tingkah Killer begitu aneh.

    "Daniel... lihat ini!" seruku. "Wow! Ini benar-benar AJAIB!"

  • "Ada apa, Kat?" seru Daniel.

    Dengan mata terbelalak kutatap spons itu.

    Jangan-jangan aku cuma salah lihat," gumamku.

    "ini benar-benar tak masuk akal!"

    "Ayo dong, Kat," desak Daniel. "Ada apa sih?" Aku kembali

    mengamati spons itu. "Wow!" ujarku sambil terkagum-kagum.

    Ternyata aku tidak salah lihat.

    Spons itu bergerak-gerak di tanganku, pelan-pelan dan berirama,

    mengembang dan mengempis. Seolah-olah bernapas!

    Setahuku, spons tidak bernapas.

    Tapi yang ini

    Aku bahkan bisa mendengar bunyi napasnya: Ssss-ahhh, ssss-ahhh.

    "Daniel! Kayaknya ini bukan spons biasa," aku tergagap-gagap.

    Langsung saja kulempar lagi ke kabinet tempat cuci piring. Terus

    terang, aku agak ngeri.

    Adikku bertolak pinggang. "Huh, kaupikir kau bisa menipu aku, ya?"

    dia bertanya sambil mencibir.

  • "Tapi, Daniel..." aku berusaha meyakinkannya.

    "Kau tidak bisa menipuku, Kat. Itu cuma spons bekas," katanya

    sambil nyengir. "Spons bekas yang mungkin sudah seratus tahun ada

    di situ."

    "Terserah, kalau kau tidak percaya!" seruku. "Kalau aku sudah

    terkenal karena temuanku ini, kau takkan kuakui sebagai adikku."

    Mom muncul sambil membawa setumpuk mantel musim dingin. Aku

    yakin dia pasti percaya. "Mom!" seruku. "Spons itu hidup!"

    "Bagus sekali, Sayang," gumamnya. "Tinggal beberapa barang lagi

    yang harus dibawa masuk. Hmm, di mana kutaruh laci sendok tadi?"

    Sepertinya dia tidak mendengar apa yang kukatakan! "Mom," aku

    kembali berkata, kali ini lebih keras. "Spons itu! Di bawah tempat cuci

    piring! Spons itu bernapas!"

    Mom tidak menggubrisku dan terus saja berjalan melintasi dapur.

    Tanpa menengok dia keluar ke pekarangan lewat pintu belakang.

    Huh! Tak ada yang peduli pada temuanku yang mencengangkan.

    Kecuali Killer. Dia tampak tertarik sekali. Mungkin malah terlalu

    tertarik.

    Dia menundukkan kepala, mengintip ke bawah tempat cuci piring,

    menatap spons itudan menggeram dengan nada mengancam.

    Grrr. Grrr.

  • Kenapa dia menggeram terus?

    Killer menyenggol spons itu dengan hidungnya yang basah. Dia

    mendorong-dorongnya sambil mendengus-dengus. Akhirnya dia

    menoleh sejenak dan menatapku dengan bingung.

    Grrr, Grrr.

    Killer membuka mulut dn mengangkat spons itu dengan giginya.

    "Hei, jangan dimakan!" pekikku. Terburu-buru kusambar tali leher

    Killer dan kutarik dia dari bawah tempat cuci piring. "Ini mungkin

    temuan penting yang bakal membuatku terkenal."

    Aku berpaling kepada adikku.

    "Nah! Betul, kan, Daniel? Killer juga tahu spons ini hidup," aku

    berkeras. "Aku serius, ini bukan tipuan. Coba perhatikan baik-baik

    aku jamin kau bisa melihatnya bernapas."

    Daniel tersenyum mengejek, seakan-akan tidak percaya padaku. Tapi

    biarpun begitu, dia tetap mengintip ke bawah tempat cuci piring.

    wow! Kayaknya kau benar," dia mengakui.

    Dia merangkak mundur dan menoleh ke arahku.

    "Kelihatannya memang seperti hidup! Dan aku yang paling berhak

    mengambilnya."

    Sekonyong-konyong dia melompat maju untuk mengambil spons itu.

  • "Enak saja!" protesku. Kucengkeram punggung T-shirt-nya dan

    kutarik dia keluar. "Aku yang lebih dulu melihatnya. Spons ini

    milikku.

    Dia membebaskan diri dan kembali masuk ke bawah tempat cuci

    piring. "Siapa cepat, dia dapat!" serunya.

    Sekali lagi aku hendak menarik bajunya.

    Tapi sebelum aku sempat menyentuhnya, Daniel melontarkan jerit

    kesakitan yang membuat bulu kudukku berdiri!

  • AAAA!!!!!"

    Jeritan Daniel pasti terdengar oleh semua tetangga.

    Dan Mom langsung kalang kabut. Dia menyerbu masuk lewat pintu

    belakang.

    "Ada apa? Ada apa? Siapa yang menjerit? Ada apa?" tanyanya.

    Daniel mundur dari bawah tempat cuci piring. Dia memegang-megang

    kepala, lalu menatap kami sambil memicingkan mata. "Kepalaku

    terbentur tempat cuci piring," rengeknya. "Kat mendorongku !

    Mom berlutut dan mendekap Daniel. "Kasihan kau," katanya dengan

    nada menenangkan. Kepala adikku ditepuk-tepuknya dengan lembut.

    "Aku tidak mendorongnya," ujarku. "Aku sama sekali tidak

    menyentuhnya."

    Daniel mengerang dan menggosok-gosok pelipisnya. "Sakit sekali,"

    dia menggerutu. "Kepalaku pasti benjol."

    Dia menatapku sambil mendelik. "Kau sengaja mendorongku! Padahal

    itu bukan sponsmu. Spons itu ada di rumah ini. Jadi milik kita

    semua!"

    "Spons itu milikku!" aku berkeras. "Kenapa sih kau, Daniel? Kenapa

    kau selalu mau merebut barang-barangku?"

  • "Cukup!" seru Mom gusar. "Kenapa kalian mesti bertengkar cuma

    karena spons?"

    Mom berpaling padaku. "Kat, kau diberi tugas menjaga adikmu,

    bukan?" ujarnya. "Dan, Daniel, jangan mengambil barang yang bukan

    milikmu."

    Mom berbalik, hendak kembali ke pekarangan belakang. "Awas kalau

    aku dengar kalian bertengkar lagi soal spons!"

    Begitu Mom pergi, Daniel menjulurkan lidah padaku dan

    menjulingkan matanya. "Huh, dasar!" gerutunya. "Gara-gara kau aku

    jadi kena marah."

    Langsung saja dia pergi. Killer menyusulnya.

    Aku membungkuk dan mengambil spons itu dari bawah tempat cuci

    piring.

    "Semua orang marah-marah," bisikku. "Kau ini bikin masalah saja."

    Rasanya memang konyol berbicara dengan spons. Tapi benda itu tidak

    terasa seperti spons. Sama sekali tidak.

    Oh, ternyata hangat kalau dipegang, pikirku heran. Hangat dan

    lembap.

    "Kau hidup, ya?" tanyaku pada bola kecil itu.

    Aku menggenggamnya hati-hatidan sekonyong-konyong terjadi

    sesuatu yang benar-benar aneh. Spons itu mulai bergerak-gerak di

    tanganku.

  • Ehm, sebenarnya sih bukan bergerak.

    Lebih tepat kalau dibilang berdenyutperlahan-lahan.

    Dag-dug. Dag-dug.

    Jangan-jangan ini denyut jantungnya?

    Dengan heran kutatap benda itu. Kuraba-raba kerut-kerut yang

    menyelubunginya, dan kutekan-tekan permukaannya yang empuk dan

    lembap.

    Hei, seruku karena kaget. Tiba-tiba saja aku melihat sepasang mata

    hitam menatapku.

    A ku merinding. "Hiiihh!"

    Ternyata kau bukan spons, ujarku dalam hati. Spons tidak punya mata,

    kan? Kalau begitu, sebenarnya kau ini apa?

    Aku butuh jawaban atas pertanyaanku ini. Segera. siapa yang bisa

    kuajak bicara?

    Yang pasti bukan Mom. Dia tidak mau tahu soal Spons ini.

    "Dad! Dad! aku memanggil sambil berlari melintasi ruang duduk dan

    ruang makan. "Dad di mana?"

    "Mmmmpf," sahutnya. "Mmmmph."

    "Apa?" seruku sambil bergegas dari satu ruangan ke ruangan berikut.

    "Oh, di sini rupanya."

  • Dad sedang berdiri di puncak tangga lipat di ruang depan. Dia sedang

    memegang palu dan segulung pita perekat isolasi berwarna hitam.

    Dan sejumlah paku menyembul dari mulutnya. "Mmmmpf,"

    gumamnya.

    "Dad ngomong apa sih?" tanyaku.

    Dad membiarkan paku-paku itu jatuh ke lantai. "Sori," katanya. "Aku

    hendak membetulkan lampu ini. Kabel-kabelnya sudah tua."

    Dad memandang tumpukan peralatan di lantai. "Kat, coba ambilkan

    tang itu. Kalau belum bisa juga, aku terpaksa panggil tukang listrik."

    Dad hebat dalam mengurus bunga dan rumput. Tapi kalau

    menyangkut urusan tukang-menukang, dia selalu bikin kekacauan.

    Suatu hari dia pernah berusaha membetulkan fandan langsung saja

    aliran listrik di seluruh blok padam.

    "Ini, Dad." Aku menyerahkan tang yang dimintanya dan sekaligus

    menyodorkan spons yang masih kupegang.

    "Coba lihat ini," desakku. Aku sampai berjinjit biar Dad bisa

    melihatnya lebih jelas. "Aku menemukannya di bawah tempat cuci

    piring. Dia hangat, punya mata dan hidup. Aku tidak tahu binatang

    apa ini."

    Dad melirik. "Coba Dad lihat," katanya.

    Spons itu kuangkat tinggi-tinggi, supaya Dad bisa menjangkaunya.

  • Dad membungkuk untuk meraihnya.

    Aku tidak sadar bahwa tangganya goyah.

    Dan aku juga tidak sadar bahwa tangganya mulai miring.

    Aku cuma melihat perubahan ekspresi di wajah Dad. Matanya

    membelalak lebar. Dan mulutnya menganga sambil mengeluarkan

    teriakan kaget.

    Ketika mulai jatuh, dia berusaha meraih lampu di langit-langit untuk

    berpegangan.

    "O00000h!"

    Lampunya terlepas dan menimpa kepalanya. Dad terjun dari puncak

    tangga.

    Dia terempas ke lantai, dan tergeletak tak bergerak.

    "Mom! Mo-om! Mom!" pekikku. "Cepat! Dad jatuh!"

  • Mom, Daniel, dan aku berdiri mengelilingi Dad. Dia membuka mata.

    Lalu berkedip-kedip.

    "Hmm?" dia bergumam. "Apa yang terjadi?"

    Dad menggelengkan kepala dan mengangkat badan sambil bertopang

    pada sikunya. "Rasanya aku tidak apa-apa," katanya pelan-pelan.

    Dia mencoba berdiri. Tapi langsung ambruk lagi. "Mata kakiku.

    Jangan-jangan patah." Dia mengerang-erang kesakitan.

    Mom dan aku membopongnya ke sofa. "Oh, sakit sekali rasanya,"

    katanya sambil mengertakkan gigi. Dengan hati-hati dia menggosok-

    gosok mata kakinya.

    "Daniel, ambilkan es batu untuk Dad. Bungkus pakai handuk kecil,"

    Mom menyuruh adikku. "Kat, ambilkan minuman dingin."

    "Nah, Sayang," Mom berbisik sambil mengusap alis Papa, "coba

    ceritakan apa yang terjadi."

    Ketika aku kembali ke ruang duduk sambil membawa segelas air es,

    Mom dan Dad menatapku dengan pandangan aneh sekali.

    "Kat," Mom berkata dengan gusar, "kau mendorong Daddy, ya?"

    "Kenapa tangganya kau dorong?" Dad bertanya sambil menggosok-

    gosok mata kakinya.

  • "Hah? A-apa?" aku tergagap-gagap. "Aku tidak berbuat apa-apa!

    Mana mungkin aku berbuat begitu!"

    "Nanti kita bicara lagi soal ini, Non," ujar Mom tegas. "Sekarang

    Mom harus mengurus Daddy dulu."

    Mom membungkuk dan menempelkan handuk berisi es ke mata kaki

    Daddy yang membengkak.

    Wajahku terasa panas karena malu. Bagaimana mungkin Dad

    menyangka aku mendorongnya?

    Aku menundukkan kepala dan menyadari bahwa spons itu masih

    dalam genggamanku.

    Dan kemudian aku menyadari hal lain. Sesuatu yang ganjil dan

    menakutkan.

    Di tanganku, spons itu tak lagi berdenyut pelanmelainkan

    menyentak-nyentak. Keras sekali. Ba-boom. Ba-boom.

    Spons bergetar keraspersis seperti blender yang dihidupkan pada

    kecepatan paling tinggi.

    Aku duduk di lantai ruang depan. Seluruh badanku gemetaran.

    Ada apa ini? aku bertanya dalam hati. Pertama-tama Daniel menuduh

    aku mendorongnya. Dan sekarang dad juga bilang begitu.

    Mereka sama-sama mengira aku mendorong mereka. Kenapa bisa

    begitu?

  • Ba-boom. Ba-boom. Ba-boom. Spons itu masih terus menyentak-

    nyentak.

    Aku merinding ketakutan. Tiba-tiba spons itu terasa menakutkan. Aku

    tidak menginginkannya di dekatkuatau di dekat keluargaku.

    Langsung saja aku berlari keluar. Di dekat garasi ada tong sampah

    besar. Serta-merta kuangkat tutupnya. Kucampakkan spons itu ke

    dalamnya, lalu kupasang tutupnya rapat-rapat.

    Setelah kembali masuk, aku dipanggil Mom ke ruang duduk.

    "Sepertinya mata kaki Dad hanya terkilir," katanya. "Sekarang coba

    jelaskan apa yang terjadi."

    Hari Kamis aku duduk di meja belajar dan membuat daftar tamu yang

    akan kuundang untuk pesta ulang tahunku. Hari yang kunanti-nanti itu

    tinggal dua hari lagi.

    Daftarnya harus kuserahkan hari ini kepada Mom, supaya dia masih

    sempat berbelanja sebelum hari Sabtu.

    Aku mendengar Daniel bercerita kepada Carlo ketika keduanya

    menaiki tangga dengan gaduh.

    "Coba kaulihat nantibentuknya persis kayak spons bekas. Tapi

    spons ini hidup!" ujar Daniel. "Aku yakin dia sebenarnya makhluk

    purba, seperti dinosaurus atau sebangsanya."

    Aku langsung berdiri dan menghambur keluar dari kamarku.

  • "Hei!" aku menghardik Daniel. "Kenapa kaubawa spons itu lagi?"

    ujarku sambil menunjuk spons di tangannya. "Itu kan sudah kubuang."

    "Aku menemukannya di dalam tong sampah," balas Daniel. "Ini

    terlalu seru untuk dibuang. Ya, kan, Carlo?"

    Carlo angkat bahu, rambutnya yang hitam dan shaggy mengenai

    pundaknya. "Kenapa sih kalian mesti ribut-ribut soal spons bekas ini?"

    "Itu bukan spons bekas," sahutku.

    Kutarik sebuah buku besar dari rak buku yang baru. "Aku sudah cari

    keterangan soal spons di ensiklopedia," aku menjelaskan. "Seharusnya

    kau membiarkannya di tempat sampah, Daniel. Sungguh."

    "Apa kata ensiklopedia itu?" Daniel bertanya penuh semangat sambil

    menjatuhkan diri di tempat tidurku. Spons itu dipegangnya dengan.

    kedua tangan.

    "Di sini tertulis bahwa spons tidak punya mata," jawabku. "Dan

    mereka hanya hidup di air. Kalau dikeluarkan dari air untuk lebih dari

    tiga puluh menit, mereka akan mati."

    "Nah, Carlo? Ini bukan spons," ujar Daniel. "Makhluk kami ini punya

    mata. Dan dia di luar sejak kami menemukannya."

    "Hmm, matanya tidak kelihatan. Dan aku juga lidak melihat tanda-

    tanda kalau dia memang hidup," Carlo berkomentar ragu.

    Daniel turun dari tempat tidur dan menyodorkan spons itu kepada

    temannya. "Coba pegang. Nanti kau lihat sendiri."

  • Dengan hati-hati Carlo memegang spons itu. Matanya yang cokelat

    membelalak lebar. "Hei, badannya hangat! Dan... dan... dia bergerak.

    Dia bergerak! Dia hidup!"

    Carlo berpaling padaku. "Tapi kalau bukan spons... apa ini

    sebenarnya?"

    "Aku juga belum tahu," aku terpaksa mengakui.

    "Barangkali ini sejenis spons super," Daniel menduga-duga. "Spons

    yang begitu kuat sampai bisa hidup di darat."

    "Mungkin juga campuran antara spons dan binatang lain," Carlo

    menimpali sambil menatap benda bulat di tangannya. "Aku pinjam

    sehari, ya? Sandy pasti menjerit ketakutan kalau melihat ini."

    Sandy adalah baby-sitter Carlo. "Habis itu langsung kukembalikan

    lagi," Carlo berjanji.

    "Tidak boleh, Carlo," ujarku cepat-cepat. "Sebaiknya disimpan di sini

    saja sampai aku tahu persis apa ini sebenarnya. Nihtolong

    masukkan ke kandang marmut ini."

    "Ah, sehari saja," Carlo berusaha membujuk sambil menepuk-nepuk

    spons itu. "Lihat nih. Dia suka sama aku."

    "Jangan!" aku melarangnya. "Daniel, beritahu temanmu supaya jangan

    macam-macam."

    "Oke, oke," gumam Carlo. "Eh, ngomong-ngomong, si kecil ini

    makanannya apa sih?"

  • "Entahlah," sahutku. "Tapi sepertinya dia tetap sehat-sehat saja

    biarpun tidak makan apa-apa. Ayo, masukkan dia ke kandang."

    Carlo menjulurkan tangan ke dalam kandang marmut dan menaruh

    makhluk itu. Tiba-tiba saja dia meinbelalakkan mata karena ngeri.

    Aku melihat tangannya gemetaran.

    Kemudian dia menjerit, "Aduh! Tanganku! Tanganku dimakan!"

  • "ADUH!" aku memekik.

    Sambil meringis kesakitan, Carlo menarik tangannya dari kandang

    marmutdan menyodorkannya ke depan hidungku.

    "Oh!" ujarku.

    Carlo menggoyang-goyangkan tangannya dan mulai ketawa.

    Tangannya sama sekali tidak cedera.

    "Kau keterlaluan!" teriakku. "Ini sama sekali tidak lucu. Huh, dasar

    norak."

    Carlo dan Daniel terpingkal-pingkal.

    "Leluconmu bagus sekali!" kata Daniel sambil nyengir. "Hahaha."

    Dia dan Carlo langsung melakukan tos. "Ini baru ramai!" seru Daniel.

    Aku memelototi kedua anak brengsek itu.

    "Asal tahu saja, ini tidak lucu," ujarku serius. "Kita belum tahu

    makhluk aneh macam apa spons ini."

    "Kita juga belum tahu kau makhluk aneh macam apa!" balas Daniel

    sambil nyengir lebar.

    "Kalau aku makhluk aneh, berarti kau adiknya makhluk aneh!"

    balasku.

  • "Hei, aku punya ide," ujar Carlo sambil mengedipkan mata kepada

    Daniel. "Bagaimana kalau sponsnya kau ikat dan kauajak jalan-jalan?

    Dia pasti lapar kalau pulang nanti!" Dia ketawa sambil menepuk-

    nepuk paha.

    Dasar brengsek.

    "Tapi dia tidak punya kaki," Daniel menimpali. "Kalau begitu dia bisa

    disuruh menggelinding sepanjang Maple Lane!" kata Carlo.

    Ketawa lagi.

    "Oke, cukup! Ayo, keluar dari sini!" seruku. "Jangan gangu aku dan

    jangan otak-atik spons itu. Cepa t, keluar!"

    Daniel dan Carlo kembali melakukan tos, lalu berbalik dan pergi.

    Aku sudah tak sabar menunggu mereka keluar dari kamarku. Aku

    ingin sendirian sejenak. Aku perlu duduk dan berpikir tentang

    makhluk mungil itu.

    Tapi sebelum Daniel dan Carlo sampai ke pintu, aku dikagetkan oleh

    teriakan melengking.

    Aku menoleh dan melihat Carlo melompat-lompat dengan sebelah

    kaki.

    "Hah, jangan harap aku ketipu lagi," ujarku.

    Carlo meringis kesakitan dan menunjuk-nunjuk kakinya. Sambil

    mengerang dia menjatuhkan diri tempat tidur. Kemudian dia

    mencopot sepatunya.

  • Darah merah membasahi kaus kaki putihnya.

    Paku" katanya. "Aku menginjak paku!"

    Aku menatap sepatu kets yang tergeletak di lantai.

    Sebatang paku panjang telah menembus sol karetnya yang tebaldan

    menusuk kaki Carlo!

    Aneh, pikirku. Dari mana paku itu?

    "Hei, darahnya banyak sekali!" Carlo merengek. "Ayo, tolong aku

    dong!"

    Dengan kalang kabut aku mencari sesuatu yang bisa dipakai sebagai

    perban. Sambil mencari, aku menoleh ke arah kandang marmut.

    "Hei!" seruku.

    Spons di dalamnya tampak berdenyut-denyut hebat.

    Seluruh badannya bergetar seakan-akan kesenangan!

    Dan napasnyabunyi tarikan napasnya begitu keras, sehingga aku

    bisa mendengarnya dari seberang ruangan!

    Ssss-ahhh. Ssss-ahhh.'

    Dua pertanyaan muncul dalam benakku sementara aku membalut kaki

    Carlo dengan T-shirt lamaapa sebenarnya yang sedang terjadi di

    sini? Kenapa makhluk spons itu mendadak begitu bersemangat?

  • Baru keesokan harinya aku memperoleh jawaban untuk pertanyaan-

    pertanyaanku.

    Dan setelah itu aku baru paham kenapa terjadi begitu banyak

    kecelakaan di rumah baru kami.

    Dalam hati aku menyesal telah membuka kabinet di bawah tempat

    cuci piring, aku menyesal telah meraih ke dalamnya, dan menemukan

    makhluk aneh itu.

    Sebab kini sudah terlambat.

    Terlambat untuk kami semua.

  • "KAT, semuanya sudah siap," Mom menyapaku sambil tersenyum

    lebar ketika aku muncul di dapur untuk sarapan keesokan paginya.

    "Apanya yang sudah siap?" tanyaku terkantuk-kantuk.

    "Pesta ulang tahunmu besok!" sahut Mom sambil mendekapku erat-

    erat. Mom memang senang sekali main peluk-pelukan.

    "Masa sih kau lupa?" tanyanya heran. "Rencananya kan sudah kita

    susun sejak berminggu-minggu yang lalu!"

    "Pestaku!" Hatiku langsung berbunga-bunga. "Oh, aku sudah tidak

    sabar." Aku duduk di meja untuk menghabiskan sarapanku

    semangkuk cornflakes dan segelas jus jeruk.

    Ulang tahun selalu dirayakan besar-besaran di rumah keluarga

    Merton. Mom gelalu pesan kue ulang tahun yang besar. Dan dia

    membuat sendiri semua undangan dan dekorasi.

    Tahun ini aku membantunya membuat undangan. Kami menggunting-

    gunting karton manila berwarna ungu dan menggunakan spidol

    berwarna merah jambu untuk menulisnya.

    Aku biasa menyiapkan tema tertentu untuk setiap pestaku. Tahun lalu

    kupilih tema "Membuat pizza sendiri". Dan acaranya benar-benar

    sukses. Sampai berminggu-minggu kemudian teman-temanku masih

    asyik membahasnya.

  • Tapi sekarang aku berumur dua belas, dan rasanya aku sudah terlalu

    besar untuk pesta seperti itu. Jadi Mom dan Dad akan mengajak aku

    dan lima sahabatku ke WonderParksehari penuh.

    WonderPark benar-benar seru. Di sana ada dua kolam ombak, entah

    berapa luncuran, dan juga Monster Masherroller coaster paling

    asyik yang pernah kunaiki!

    Seberapa asyik? Hmm, musim panas tahun lalu Carlo sampai mabuk

    gara-gara naik Masher. Cukup asyik, kan?

    "Ini bakal jadi pesta ulang tahun paling ramai yang pernah kuadakan,"

    ujarku sambil tersenyum lebar ke arah Mom di seberang meja makan.

    Lalu aku berpaling kepada Daniel. "Sori, tapi kau tidak diundang.

    Acara ini khusus untuk anak dua belas tahun ke atas."

    "Tidak adil! Kenapa aku tak boleh ikut?" Dia merengek sambil

    membanting sendoknya ke dalam mangkuk, sehingga susunya

    bercipratan ke segala arah. "Aku janji takkan bicara dengan teman-

    teman Kat. Siapa yang mau bicara dengan mereka? Aku boleh ikut,

    ya?"

    Aku mulai merasa tidak enak. Aku mulai berubah pikiran.

    Tapi kemudian Daniel sendiri yang merusak kesempatannya.

    Sambil cemberut dia menyilangkan tangan di depan dada. "Kat selalu

    dapat perlakuan istimewa," dia mengomel. "Sponsnya saja tidak dia

    bagi-bagi sama aku."

  • "Spons bekas yang ditemukan Kat di bawah tempat cuci piring?"

    Mom bertanya heran. "Siapa sih yang mau barang seperti itu?"

    "Aku mau!" seru Daniel.

    "Hmm, aku yang menemukannya, berarti spons itu milikku," aku

    memberitahu Daniel. "Dan hari ini sponsku itu akan kubawa ke

    sekolah."

    "Untuk apa?" tanya Mom.

    "Aku mau menunjukkan kepada Mrs. Vanderhoff," aku menjelaskan.

    "Barangkali dia tahu apa itu sebenarnya. Sekarang aku tinggal cari

    tempat untuk membawa sponsku."

    Aku menggeledah lemari-lemari dapur. "Nah, cocok sekali!" seruku

    sambil mengeluarkan kotak plastik bertulisan DELI. Samar-samar

    masih tercium bau salad kentang.

    Dengan memakai gunting tua aku menusuk-nusuk tutup kotak itu

    untuk membuat lubang-lubang udara. Kemudian aku bergegas ke atas

    untuk mengarnbil spons itu.

    setelah kembali ke dapur, kotak yang sudah tertutup rapat itu kutaruh

    di lantai. Lalu aku membuka lemari es.

    "Mom," ujarku, "kotak makan siangku yang mana?"

    "Yang biru, Sayang," sahutnya.

  • Langsung saja kuambil kotak makan siangku dan pintu lemari es

    kututup lagi.

    Tahu-tahu kudengar bunyi mengendus-endus dari arah lantai.

    Langsung saja aku menoleh ke bawah.

    "Killer, sedang apa kau?" Kutatap anjingku yang berkuping panjang

    sambil tersenyum.

    Snrff. Snrff. Snrff.

    Dia mengendus-endus kotak plastik di lantai. Grrr. Grrr.

    Lantai dapur dicakar-cakarnya sambil menggeram-geram.

    Aduh, mulai lagi deh, ujarku dalam hati.

    Killer menarik kupingnya ke belakang. Dengan curiga dia

    mengelilingi kotak plastik itu.

    Kemudian dia mulai menyalak.

    Dan menyalak. Dan menyalak.

    "Killer! Mundur!" seruku.

    Tapi anjing itu tidak menggubris seruanku.

    "Mom, Daniel!" ujarku. "Bantu aku bawa Killer keluar dari sini dong.

    Kayaknya dia mau makan spons itu untuk sarapan."

    Mom meraih tali leher Killer dan menariknya mundur, menjauhi kotak

    plastik. Killer masih terus menggeram-geram. Mom membuka pintu

  • dan men dorong anjing itu ke luar, ke pekarangan belakang. "Ayo

    keluar. Keluar," katanya dengan lembut.

    Mom berpaling padaku. "Kenapa Killer tiba-tiba bertingkah aneh?

    Tidak biasanya dia begitu. Tapi cepat, berangkatlah. Nanti kalian

    terlambat ke sekolah."

    Aku segera menyandang ransel. Setelah mencium pipi Mom, aku

    menyusul Daniel yang sudah duluan meninggalkan dapur.

    "Hei, lihat ini!" Daniel berseru sambil berlari ke ring basket di

    pekarangan keluarga Johnson di seberang jalan.

    Daniel pura-pura menggiring dan mengoper bola, lalu berputar-putar

    seperti orang diuber tawon. "Kau pasti tidak bisa melompat setinggi

    ini," katanya, sambil berlagak menjaringkan bola.

    "Ayo dong, Daniel," sahutku, sambil bergegas menyusuri jalan. "Aku

    bisa dihukum sama Mrs. Vanderhoff kalau telat."

    Daniel berlari mengejarku. Tiba-tiba dia membelalak!

    "Kat! Awas!" teriaknya.

    Kreeek!

    Di atasku terdengar bunyi menakutkan. Bunyi berderak yang keras

    sekali.

    Aku mendongak dan melihat dahan pohon yang besar sekali jatuh dari

    atas.

  • Aku berdiri seperti patung.

    Aku tidak sanggup menjerit. Aku tak sanggup bergerak.

    Tak satu otot pun bisa kugerakkan.

    Sebentar lagi aku bakal remuk ditimpa dahan

    mati.

  • "OooooHHH." Aku mengerang karena ngeri.

    Aku merasa seseorang mendorongku dari belakang.

    Dorongan itu membuatku terjerembap di trotoar.

    Aku tergeletak di situ dan menyaksikan dahan besar itu menghantam

    tanah dan hancur berantakan.

    Dahan itu terempas beberapa meter di belakangku.

    Dengan susah payah aku berdiri lagi. Kotak plastik berisi spons

    terlepas dari tanganku, dan makhluk mungil di dalamnya

    menggelinding ke trotoar.

    "Aku menyelamatkan nyawamu!" seru Daniel. "Kau berutang budi

    padaku!"

    Aku nyaris tak mendengar apa yang dikatakannya.

    Spons itu. Pandanganku terpaku pada spons itu. ahhhh. Ssss-ahhh.

    napasnya lebih keras dan lebih cepat dan lebih dalam daripada yang

    pernah kudengar sebelumnya.

    Ssss-ahhh. Ssss-ahhh.

    Seluruh badannya berdenyut-denyut begitu keras, sehingga nyaris

    terangkat dari trotoar.

  • Ba-boom, ba-boom.

    Aneh sekali. Aku hampir tewas gara-gara dahan pohon tadi. Tapi

    spons itu tampaknya justru senang. Seakan-akan menikmati

    kecelakaanku. Seolah-olah kecelakaanku membuatnya gembira sekali.

    "Mrs. Vanderhoff!" aku berseru sambil bergegas memasuki ruang

    kelas. "Ada yang harus Anda lihat."

    Mrs. Vanderhoff bisa dibilang jenius. Dia tahu segala sesuatu

    mengenai apa saja.

    Dia pintar sekali. Dan dia sering mengajak kami sekelas ke tempat-

    tempat yang asyik. Waktu Halloween yang lalu, dia mengajak kami ke

    gedung teater seram, yang katanya dihuni roh-roh pemain sandiwara

    yang sudah meninggal.

    Tapi Mrs. Vanderhoff juga kaku sekali. Setiap anak yang tidak

    memperhatikan pelajaran atau mengobrol seenaknya pasti

    dihukumnya!

    Dan ada satu masalah lagi. Dia tidak punya rasa humor. Aku belum

    pernah melihatnya tersenyum.

    "Coba lihat ini, Mrs. Vanderhoff," aku berkata sambil menyodorkan

    sponsku ke depan hidungnya. "Saya menemukan ini di bawah tempat

    cuci piring di rumah kami yang baru. Waktu adik saya hendak

    mengambilnya, kepalanya malah terbentur. Dan ayah saya menyangka

    saya mendorongnya, dan...

  • Mrs. Vanderhoff menurunkan kacamatanya dan menatapku sambil

    mengerutkan kening. "Ssst, Kat," katanya dengan tegas. "Nah,

    sekarang mulai lagipelan-pelan saja."

    Aku menarik napas panjang dan mulai ceritaku dari awal; dari waktu

    kami pindah rumah sampai ke dahan pohon yang nyaris menimpaku

    tadi.

    "Dan benda ini berdenyut dan bernapas?" Mrs. Vanderhoff bertanya

    sambil menatapku tajam.

    "Ya!" seruku.

    "Coba saya lihat," ujar Mrs. Vanderhoff Aku menyerahkan kotak

    plastiknya.

    Dengan ragu dia mengambil spons yang ada di dalamnya.

    "Lho, kok?" Aku mengerutkan kening karena heran. Spons itu tampak

    kering dan mengerut.

    Dia tidak bernapas. Tidak berdenyut-denyut.

    Mrs. Vanderhoff menatapku sambil mendelik. "Kat, apa maksudnya

    ini?" dia bertanya ketus. "Ini spons dapur biasa."

    Dia meringis. "Spons dapur yang kotor."

    "Anda keliru!" kataku cepat-cepat. Aku ingin sekali dia percaya

    padaku. "Ini bukan sekadar spons. Dia hidup. Dia punya mata. Coba

    Anda lihat baik-baik."

  • Mrs. Vanderhoff memicingkan mata dan menggeleng-gelengkan

    kepala.

    "Oh, baiklah," ujarnya sambil menghela napas.

    Dia menundukkan kepala dan mengamati spons itu dari dekat. Jari-

    jemarinya meraba-raba permukaan spons yang berkerut-kerut.

    "Saya tidak tahu apa maksudmu," Mrs. Vanderhoff akhirnya berkata

    dengan gusar. Dia memberi isyarat agar aku kembali ke tempat

    dudukku. "Benda ini tidak bermata. Dan juga bukan makhluk hidup.

    Ini hanya spons bekas yang kotor dan sudah mengering."

    Mrs. Vanderhoff memelototiku. "Kalau kau menganggap ini sebagai

    lelucon, Katrina, saya tidak mengerti di mana lucunya. Saya sama

    sekali tidak mengerti."

    "Tapi..." Aku hendak membela diri.

    Mrs. Vanderhoff mengangkat sebelah tangan. "Cukup," katanya. Dia

    mengembalikan sponsku dan menjatuhkannya ke tanganku seperti

    sepotong sampah.

    Aku kecewa sekali.

    Tidak adakah yang bisa kukatakan untuk meyakinkan dia?

    Bunyi penggaris yang diketuk ke tepi meja membuyarkan lamunanku.

    "Saya akan mengembalikan kertas ulangan matematika minggu lalu,"

    Mrs. Vanderhoff mengumumkan.

  • Seisi kelas langsung mengerang-erang. Ulangan mendadak mengenai

    pembagian itu merupakan bencana bagi kami semua.

    "Tenang!" hardik Mrs. Vanderhoff.

    Dia meraih ke dalam laci untuk mengambil tumpukan kertas

    ulangandan tiba-tiba jarinya terjepit!

    Dia meraung kesakitan dan memekik, "Jari saya! Aduh... rasanya jari

    saya patah!"

    Aku masih berdiri di samping mejanya. Mrs. Vanderhoff berpaling

    padaku sambil memegangi kingannya. "Bantu saya, Kat. Antarkan

    saya ke ruang P3K!"

    Aku membukakan pintu ruang kelas untuk Mrs. Vanderhoff.

    Kemudian aku memapahnya menyusuri lorong sekolah.

    "Kenapa tangan Anda?" tanya Mrs. Twitchell, petugas P3K di

    sekolahku. Dia langsung berdiri dan menghampiri kami. Seragamnya

    yang putih dan diberi kanji berdesir-desir setiap kali dia melangkah.

    Dia membantu Mrs. Vanderhoff duduk di kursi nyaman.

    "Jari saya," Mrs. Vanderhoff mengerang sambil memegangi

    tangannya yang bengkak dan merah. Jari saya terjepit laci!"

    "Oke," sahut Mrs. Twitchell dengan nada menenangkan. "Tangan

    Anda akan saya kompres dengan es. Dan saya akan minta agar Kepala

    Sekolah menugaskan seseorang untuk mengawasi kelas Anda,"

  • "Terima kasih," balas Mrs. Vanderhoff sambil menahan sakit.

    "Katrina, kau boleh kembali ke ruang kelas sekarang. Kau sudah

    banyak membantu.

    Membantu?

    Sepertinya ke mana pun aku pergi, ujarku dalam hati, selalu saja ada

    orang celaka!

    Dengan galau aku kembali ke ruang kelas 6B.

    "Kat! Kat!" seseorang memanggil-manggil namaku.

    Daniel menghambur keluar dari perpustakaan, dan nyaris jatuh karena

    menginjak tali sepatunya yang terbuka simpulnya. Serta-merta dia

    menabrakku.

    "Aku menemukannya!" serunya sambil terengah-engah. "Aku

    menemukan makhluk spons itu! Di dalam buku! Aku sudah tahu

    makhluk apa dia sebenarnya!"

  • TANPA sadar kutarik kerah baju adikku. "Makhluk apa dia

    sebenarnya? Makhluk apa?" desakku. "Cepat dong! Jangan bikin aku

    tambah penasaran."

    "Hei, tenang saja." Daniel menepis tanganku. "Biar kutunjukkan

    padamu," katanya. "Di dalam sini ada gambarnya."

    "Di dalam mana?"

    Daniel memandang ke kiri-kanan. Tak seorang kelihatan.

    Dengan hati-hati dia mengeluarkan sebuah buku dari balik baju dan

    menyerahkannya padaku. Bukunya besar, bersampul hitam.

    Kulirik judulnya: Ensiklopedia Keanehan. "Gambarmu juga ada di

    sini?" aku menggodanya. Ha ha. Lucu sekali," sahutnya. Dia merebut

    buku dari tanganku. "Kau mau lihat atau tidak?"

    Jelas mau dong!"

    Daniel membalik-balik halaman buku sambil bergumam. "Grebles,

    Giffins, Grocks. Ah, ini dia!"

    Buku itu disodorkannya ke bawah hidungku.

    Baunya anehagak apak. Mungkin karena sudah lama sekali

    nongkrong di rak buku di perpustakaan.

  • Daniel menunjuk gambar pada halaman 89. Gambar itu segera

    kuamati.

    Kulit berkerut-kerut. Sepasang mata kecil.."Hmm, memang mirip

    sponsku," aku berkomentar.

    Aku mulai membaca keterangan di bawah gambar. "Ini seekor Grool."

    Seekor Grool? aku bertanya dalam hati. Apa itu? Aku kembali

    membaca,

    "Grool adalah makhluk dongeng yang hidup di masa lampau."

    "Makhluk dongeng?" seruku. "Berarti Grool hanya ada dalam

    khayalan! Tapi yang ini benar-benar ada!"

    "Baca lagi," Daniel mendesak.

    "Grool tidak perlu makan maupun minum untuk hidup. Dia

    memperoleh kekuatan dari nasib buruk."

    "Da-Daniel," aku tergagap-gagap. "Ini aneh. Benar-benar aneh." Dia

    mengangguk dan matanya membelalak lebar.

    "Grool sejak dulu dikenal sebagai pembawa sial. Dia hidup dari nasib

    buruk yang menimpa orang lain. Grool bertambah kuat setiap kali

    terjadi musibah di sekitarnya."

    "Ini tidak masuk akal," gumamku. Tapi aku terus membaca, "Pemilik

    Grool tak ada habisnya tertimpa sial. Grool tidak bisa disingkirkan

    dengan cara kekerasan. Dan dia juga tidak bisa diberikan kepada

    orang lain ataupun dibuang."

  • Kenapa tidak? aku bertanya dalam hati.

    Jawabannya kutemukan pada baris berikut, "Grool hanya bisa beralih

    tangan kalau pemilik sebelumnya meninggal. Barang siapa yang

    tnemberikan Grool kepada orang lain akan MATI dalam satu hari."

    "Ini benar-benar konyol!" seruku . "Konyol! Konyol! Konyol!"

    Aku berpaling kepada Daniel dan berkata pelan-pelan, "Mana ada

    makhluk yang hidup dari nasib sial."

    "Huh, jangan sok tahu!" balas Daniel.

    "Semua makhluk perlu makanan dan air," ujarku. "Paling tidak, semua

    makhluk hidup."

    "Entahlah," kata Daniel. "Siapa tahu buku ini memang benar."

    Gambar makhluk pada halaman lain menarik perhatianku. "Hei, apa

    ini?" tanyaku.

    Bentuknya menyerupai kentangbulat lonjong dan cokelat. Tapi

    mulutnya penuh gigi tajam dan runcing.

    Cepat-cepat kubaca keterangan di bawahnya, "Lanx adalah sepupu

    Grool. Tapi Lanx jauh lebih berbahaya."

    "lh," ujar Daniel sambil meringis.

    Aku terus membaca,

    "Begitu menempel pada seseorang, Lanx takkan lepas sampai selesai

    mengisap setiap tetes energi dari orang tersebut."

  • Langsung saja kututup ensiklopedia itu. "Nih, Daniel. Bawa buku

    konyol ini!" Serta-merta kusodorkan Ensiklopedia Keanehan itu ke

    tangan adikku. "Ini benar-benar sinting. Aku sama sekali tak percaya."

    "Tapi kau bilang ingin tahu lebih banyak tentang spons itu," kata

    Daniel.

    "Memang. Tapi bukan isapan jempol seperti ini!" sahutku.

    Aku tahu aku bersikap buruk terhadap Daniel. Aku tahu dia cuma

    ingin membantu.

    Tapi bagaimana lagi? Setelah segala kejadian yang kualami, aku

    memang agak stres.

    Beberapa hari terakhir ini penuh musibahDad jatuh dari tangga, dan

    jari Mrs. Vanderhoff terjepit laci meja tulisnya.

    Dan aku hampir mati tertimpa dahan jatuh!

    Aku menyusuri lorong ke arah ruang kelasku. "Buku konyol," aku

    mengomel sendiri.

    Namun ada satu pikiran yang terus saja menyelinap ke dalam

    benakku: Bagaimana kalau buku itu benar?

    Aku menatap Grool yang masih terkurung di dalam kotak plastik di

    sudut meja Mrs. Vanderhoff. Langsung saja aku menghampirinya.

    Dia basah lagi. Dan bernapas. Matanya yang hitam dan dingin

    membalas tatapanku.

  • "Makhluk dongeng itu tidak ada," aku berbisik pada spons itu. "Aku

    tak percaya yang dikatakan buku itu. Maaf saja!"

    Spons itu menatapku sambil menarik napas. Kotak plastik itu

    kuangkat, lalu aku mengguncang-guncangnya dengan kesal. "Kau ini

    sebenarnya apa?" seruku. "Apa?"

    Dalam perjalanan pulang Daniel menceritakan semuanya kepada

    Carlo. Aku berjalan di belakang mereka, dan berusaha mengalihkan

    pikiranku pada hal-hal lain. Apa saja, asal bukan makhluk itu.

    "Namanya Grool. Dia pembawa sial," Daniel menjelaskan dengan

    berapi-api"Ya, kan, Kat?"

    "Rasanya kau satu-satunya pembawa sial di sini," aku membentak.

    "Dan menurutku, cerita di buku itu cuma omong kosong."

    "oh, yeah?" serunya. Langsung saja dia merebut ranselku.

    Kau tidak butuh buku-buku ini, kan?" dia mengejek. "Kau sudah

    terlalu pintar. Kau tahu lebih lebih banyak daripada ensiklopedia."

    Ranselku dibawa kabur Daniel. Dia membelok ke Maple Lane. "Hei,

    Mom ada di luar!" serunya heran. Dia mulai berlari.

    Carlo dan aku bergegas agar tidak ketinggalan.

    Mom berdiri di pintu, menunggu kami.

    Daniel, Carlo, dan aku mengikuti Mom ke dapur.

  • Mom punya berita buruk untuk kalian," Mom mulai berkata dengan

    sedih.

  • "KILLER hilang," Mom memberitahu kami sambil menggigit bibir.

    "Hilang?" Daniel dan aku memekik berbarengan.

    "Dia kabur," Mom menjelaskan. "Mom sudah mencarinya ke mana-

    mana, tapi belum ketemu juga. Rupanya dia menyelinap keluar waktu

    Mama memindahkan beberapa barang ke garasi."

    "Tapi, Ma...," aku memprotes. "Killer tidak pernah kabur. Dia belum

    pernah lari dari rumah."

    "Ya," Daniel mendukungku. "Dia terlalu penakut untuk kabur."

    "Jangan kuatir," ujar Mom. "Kita pasti akan menemukannya. Mom

    sudah menelepon polisi, dan sekarang mereka sedang mencarinya."

    "Aku yang bakal menemukan Killer!" seru Daniel. "Kujamin aku

    lebih cepat daripada polisi. Ayo, Carlo!"

    Daniel mengambil segenggam biskuit anjing dan segera menghambur

    ke luar. Carlo menyusulnya. Aku mendengar mereka membanting

    pintu. Kasihan Killer, pikirku. Dia sendirian di luar sana. Mungkin dia

    tersesat. Dia pasti ketakutan.

    Rumah kami yang baru begitu dekat dengan jalan bebas hambatan

    begitu dekat dengan mobil-mobil yang berlalu lalang dengan kencang.

    Apa yang bakal terjadi dengan anjingku yang manis?

  • Tiba-tiba aku ingin menangis. Kusambar kotak plastik berikut spons

    di dalamnya dan berlari menaiki tangga.

    "Ini semua gara-gara kau," aku menuduh makhluk itu. "Rupanya kau

    memang Grool!"

    Sementara aku bicara, Grool itu berdenyut-denyut. Tubuhnya bergetar

    begitu hebat, sampai aku was-was kotak plastik itu bakal jebol.

    Ba-boom. Ba-boom.

    Tarikan napasnya cepat dan dalam.

    Ssss-ahhh. Ssss-ahhh.

    Kutarik Grool itu dari kotaknya. "Kami sudah terlalu banyak tertimpa

    sial!" aku membentaknya. "Barangkali ini akan membuatmu kapok!"

    Serta merta kubanting makhluk brengsek itu ke dinding.

    Grool itu membentur tembok dengan keras.

    Dan aku langsung memekik kesakitan.

  • Aku menoleh dan melihat cairan merah.

    Darah.

    Darah yang mengalir dari tangan kiriku.

    Ketika aku melemparkan Grool itu, tanganku menghantam meja

    tuliskudan tertusuk ujung gunting!

    "Ohhh!" aku mengerang sambil memeriksa tanganku. Lukanya cukup

    dalam.

    Cepat-cepat kubalut tanganku dengan beberapa lembar tisu untuk

    menghentikan perdarahan. Lalu aku menatap Grool yang tergeletak di

    lantai.

    Moga-moga mati, aku berharap.

    Aku membungkuk.

    "Iih!" aku menjerit. Grool itu ternyata tetap bernapas dan berdenyut

    lebih cepat dan lebih keras daripada yang sudah-sudah.

    Ssss-ahhh. Ssss-ahhh.

    Aku jongkok agar dapat melihatnya lebih jelas lagi.

    Heh, heh, heh.

    "Hei, apa itu?" gumamku .

  • Heh, heh, heh.

    Hmm, bunyi itu mirip suara tawa. Suara tawa kering dan bengis, yang

    lebih menyerupai suara orang batuk.

    kemudian, sementara aku mendengarkan tawa itu, Grool itu mulai

    berubah.

    Warnanya mendadak bertambah cerahdari cokelat kusam menjadi

    merah muda. Dan di depan mataku warnanya menjadi merah terang

    bagaikan tomat.

    Sama merahnya seperti darah yang mengalir dari tanganku.

    Tanganku! Aduh! Darah segar membasahi lapisan tisu dan menetes ke

    lantai.

    Aku butuh bantuan. Bantuan Mom.

    "Mom!" seruku sambil kembali berdiri. "Aku perlu Band-Aid. Yang

    besar!"

    Ketika aku bergegas menyusuri koridor, berbagai pertanyaan

    berkecamuk dalam benakku.

    Kenapa Grool itu berubah warna? aku bertanya-tanya. Dan tawa itu

    aku belum pernah mendengarnya. Apa artinya? Apakah suara itu

    memang suara tawa?

    Apakah aku menyakiti Grool itu waktu aku mencampakkannya ke

    dinding kamarku? Barangkali itu sebabnya dia menjadi merah?

  • Banyak sekali pertanyaan menakutkan....

    Aku menempelkan telinga ke pintu kamarku.

    suara-suara. Di dalam kamarku.

    Siapa itu?" seruku dengan waswas.

    Pintu segera terbuka.

    "Hantu si Grool," bisik Daniel dengan suara menyeramkan.

    "Huuuuhhhh."

    Daniel dan Carlo berdiri di depan kandang marmut. Keduanya ketawa

    cekikikan.

    "Kalian pikir aku takut?" ujarku. "Bagaimana, Killer sudah ketemu?"

    "Belum," sahut Daniel sedih. "Carlo dan aku sudah mencari-carinya di

    seluruh blok. Mom bilang polisi pasti akan menemukannya."

    Pandanganku beralih ke kandang marmut. "Kok Grool itu ada di situ?"

    "Aku menemukannya di lantai, jadi kumasukkan lagi ke kandangnya,"

    jawab Daniel. "Kenapa dia bisa sampai keluar?"

    "Entahlah." Aku angkat bahu. Aku sedang tidak berminat memberikan

    penjelasan panjang-lebar.

    Dari tadi Carlo terus mengamati Grool di dalam kandang. Kini dia

    menoleh ke arahku. "Hei, tanganmu kenapa?" dia bertanya sambil

    menunjuk plester di tanganku.

  • Aku enggan menceritakannya pada mereka.

    "Oh, ehm, tidak apa-apa," ujarku. "Cuma luka sedikit. Tapi kenapa

    kalian ada di kamarku?"

    "Carlo masih mau pinjam Grool ini," kata Daniel, sambil mengetuk-

    ngetuk pinggiran kandang untuk menarik perhatian makhluk itu. "Aku

    bilang tidak."

    Carlo berpaling padaku. "Boleh, ya?" dia memohon. "Aku janji akan

    hati-hati. Boleh, ya? Ya, ya, ya...?"

    Grool brengsek itu! "Oh, bawa saja. Dan tidak perlu dikembalikan

    lagi!" balasku ketus.

    "Asyik!" Mata Carlo langsung berbinar-binar. Penuh semangat dia

    meraih ke dalam kandang untuk mengeluarkan makhluk itu. .

    "Tunggu! seru Daniel. Cepat-cepat dia menarik lengan Carlo. "Kat,

    ingat apa yang ditulis di ensiklopedia Keanehan."

    Daniel mengulangi keterangan itu di luar kepala anmbil terus

    menatapku.

    "Grool tidak bisa diberikan kepada orang lain. Setiap orang yang

    memberikan Grool kepada orang lain akan MATI dalam satu hari."

    Perutku langsung terasa tidak enak.

    Tapi aku tidak mau percaya pada buku konyol itu.

  • Memmangnya di situ tertulis bahwa Grool bisa tertawa? Atau berubah

    warna?

    Tidak.

    Carlo dan Daniel menatapku. Keduanya menunggu keputusanku.

    Bolehkah aku memberikan makhluk itu kepada Carlo? Aku menatap

    Grool di dalam kandang.

    Jangan, Kat. Jangan," Daniel berusaha mencegahku "Jangan berikan

    kepada Carlo. Terlalu berbahaya."

    Aku terombang-ambing. Tapi ada satu hal yang kuketahui dengan

    pasti. Aku ingin secepat mungkin menyingkirkan Grool itu. Dan kalau

    Carlo memang begitu berminat, biarlah dia membawanya pulang!

    "Ambil saja, Carlo," ujarku. "Makhluk brengsek itu boleh kaubawa."

    Daniel mengeluarkan Grool itu dari kandang dan memegangnya erat-

    erat. "Jangan!" serunya. "Grool ini tidak boleh dibawa. Aku tak peduli

    kau bilang apa. Aku takkan membiarkan Carlo membawanya!"

    sebenarnya siapa yang penakut, hmm?" tanyaku sambil menyodok

    lengannya.

    "Aku cuma berusaha menyelamatkanmu!" seru Daniel. "Kenapa sih

    kau tak mau mengerti?"

    Kasihan si Daniel. Dia kelihatan begitu serius, begitu khawatir. Aku

    memutuskan untuk menuruti kemauannya.

  • "Ehm, oke. Sori, Carlo, tapi kelihatannya kau tak bisa membawa

    Grool ini," kataku.

    Daniel menarik napas lega.

    Carlo mengerutkan kening. Oke. Bye. Aku pergi dulu."

    "Tunggu, aku ikut," ujar Daniel. Grool itu dikembalikan ke dalam

    kandang. "Ayo, kita naik sepeda ke taman. Barangkali Killer ada di

    situ." Sambil bergegas meninggalkan kamarku, Daniel berpaling dan

    mengacungkan jempol.

    Setelah mereka pergi, aku menjatuhkan diri ke tempat tidur.

    Bagaimana habis ini? aku bertanya-tanya.

    Aku menoleh dan memelototi Grool di dalam kandang. Aku benar-

    benar benci pada makhluk kecil itu. Kalau sampai ada musibah lagi di

    sini, kau akan kukubur," aku berjanji. "Kau akan kukubur begitu

    dalam, sampai takkan ada orang yang bakal menemukan atau

    melihatmu lagi. Sampai kapan pun.

    Ternyata janji itu sudah harus kutepati dalam waktu yang tak terlalu

    lama.

  • ESOK paginya aku terbangun karena kaget.

    Tuut! Tuut! Daniel berdiri di ujung tempat tidurku dan meniup-niup

    trompet dari karton.

    "Sudah waktunya bangun, Kat!" soraknya.

    Aku berusaha merebut trompet yang berisik itu. "Huh, jangan ganggu

    aku!" aku menggerutu. Kemudian aku ingat.

    Hari ulang tahunku! Akhirnya! Hari yang harus dirayakan.

    Aku langsung turun dari tempat tidur. Aku harus bersiap-siap pergi ke

    Wonder Park!

    Aku ingin naik Seattle Log Flume dan Wild Wave Slide seharian!

    Aku berlari ke jendela dan memandang ke luar! "Oh," seruku dengan

    kecewa. "Oh! Jangan dong!"

    Hujan turun lebat. Petir menyambar-nyambar di langit. Geledeknya

    begitu keras, sehingga seluruh rumah terasa bergetar.

    Mana mungkin kami pergi ke WonderPark dengan cuaca separah ini?

    "Kat," Mom memanggil dari bawah. "Sarapan!"

    Cepat-cepat kukenakan celana ketat bergaris-garis ungu-pink dan T-

    shirt ungu, kemudian aku bergegas ke dapur. Pada hari ulang tahunku

  • Mom selalu membuatkan makanan kesukaankupanekuk dengan

    arbei dan gula halus.

    "Ah, ini dia. Selamat ulang tahun, Sayang." Mom segera memelukku.

    Dia tampak berseri-seri.

    "Aku sudah siap pesta," ujarku penuh harap ketika aku mengambil

    tempat di meja makan.

    "Oh, Sayang, kelihatannya pestamu terpaksa dibatalkan," Mom

    berkata dengan sedih. "Kita tak mungkin pergi ke WonderPark di

    tengah badai

    Batal? Dengan lesu kujumput-jumput panekuk di piringku.

    "Bagaimana kalau pestanya di sini saja di dalam?" aku memohon.

    "Kita bisa pesan pizza dan main komputer di ruang baca."

    "Kau kan tahu itu tak mungkin," ujar Mom. "Tukang cat akan bekerja

    di ruang tamu dan ruang makan. Teman-temanmu tak mungkin

    berkeliaran di antara tangga-tangga dan kaleng-kaleng cat."

    Dasar sial.

    "Tapi, Mom, ini kan hari ulang tahunku!" aku memprotes sambil

    membanting garpu. "Dan Mom janji aku boleh mengadakan pesta.

    Mom sudah janji."

    Mom menghela napas. "Mom tahu kau kecewa, Kat, Pestamu kita

    adakan hari lain saja. Mungkin akhir pekan depan."

  • Minggu depan hari ulang tahunku sudah lewat. "Semuanya jadi

    kacau!" jeritku. "Sejak kita pindah, semuanya jadi kacau!"

    Aku membenci rumah kami yang baru. Aku bahkan membenci hari

    ulang tahunku.

    Tapi yang paling kubenci adalah si Grool.

    Panekuk di piringku tak kusentuh lagi. Serta merta aku berlari ke

    kamarku. Kutarik Grool itu dari kandangnya dan kuguncang-

    guncangkan sekeras mungkin.

    "Kau sudah kuperingatkan," hardikku. "Kau merusak hari ulang

    tahunku! Sekarang rasakan akibatnya!"

    Grool itu berdenyut-denyut di tanganku, aku segera melemparkannya

    kembali ke kandang. "Aku benci kau!" jeritku. "Aku benar-benar

    benci! Dasar pembawa sial!"

    Aku duduk di depan meja belajarku dan memutar otak. Akhirnya

    kuputuskan aku harus mengambil tindakan. Tindakan tegas.

    Tidak ada pesta, berarti selamat tinggal, Grool. "Janjiku akan

    kutepati," aku memberitahu makhluk itu.

    Kukeluarkan buku notes dari laci meja belajar. Kemudian aku mulai

    menyusun rencana untuk menyingkirkan makhluk itu.

    "Daniel, hujan sudah berhenti," aku berbisik kepada adikku. "Ayo,

    sudah waktunya."

  • Si Grool berdenyut-denyut di dalam kotak plastik.

    Ba-boom.

    Daniel mengalihkan pandangan dari layar monitor kumputernya.

    "Sekarang?" dia bertanya. "Tunggu sebentar deh, Kat. Aku sudah

    sampai level sepuluh nih, tinggal satu troll lagi yang harus dibantai

    Sebelum aku bisa membuka peti harta karun."

    "Tapi ini penting. Benar-benar penting," aku mendesak

    Daniel menghela napas. "Kau yakin ini tidak berbahaya? Kau kan tahu

    apa yang tertulis di buku itu."

    "Aku tak punya pilihan!" seruku. "Jangan lupa, Killer kabur dari sini

    gara-gara Grool itu."

    Daniel kelihatan gelisah. Dan waswas.

    Tapi dengan patuh dia menekan tombol save untuk menghentikan

    permainan Troll Terror, lalu mengikutiku ke pekarangan belakang.

    Sepanjang hari hujan turun lebat. Tapi kini ada beberapa bintang yang

    berkerlap-kerlip di langit malam yang hitam pekat.

    "Nih. Tolong pegang Grool ini," bisikku. Makhluk itu kupindahkan ke

    tangan Daniel yang gemetaran.

    Aku bergegas ke garasi. Untuk pertama kali dalam beberapa hari ini

    aku merasa senang. "Grool ini akan kusingkirkan," aku bersenandung

    pelan.

  • Setelah mengambil sekop paling besar, aku kembali menghampiri

    Daniel. Kemudian aku mulai menggali.

    Lubangnya harus dalam, dalam sekali. Cukup dalam agar Grool ini

    tidak mungkin keluar lagi.

    Angin sejuk berembus pelan. Tapi menggali tanah keras bukanlah

    pekerjaan ringan. Butir-butir keringat membasahi punggung dan

    keningku.

    Aku sama sekali tidak takut. Aku harus melakukan sesuatu supaya

    hidupku kembali normal. Aku harus menghentikan rentetan nasib sial

    yang menimpaku.

    Dan kalau untuk itu aku harus mengubur spons hidup ini, akan

    kukerjakan. Pokoknya aku tak mau lagi melihat makhluk konyol ini.

    Aku mengintip ke dalam lubang yang telah kugali. Kelihatannya

    cukup dalam. Ujung jariku nyaris tak dapat meraba dasarnya ketika

    tanganku kumasukkan.

    "Nah, sudah selesai," aku berkata kepada adikku. Mana Grool itu?"

    Daniel menyerahkan makhluk itu sambil membisu.

    Ketika aku memegangnya di atas lubang yang dalam, spons itu tidak

    berdenyut-denyut. Dia tidak bernapas. Dia bahkan tidak terasa hangat.

    Kulitnya kering dan mati, persis seperti spons dapur biasa.

    Tapi aku tidak bisa ditipu.

  • Kujatuhkan Grool itu ke dalam lubang dan memperhatikannya

    merosot sampai ke dasar.

    Kemudian aku kembali meraih sekop dan mulai menimbunnya

    dengan tanah.

    Gali. Lempar. Gali. Lempar.

    Akhirnya lubang itu tertutup lagi. Kugunakan punggung sekop untuk

    memadatkan tanah lubang. "Nah," ujarku, "selain kita, tak ada yang

    tahu Grool itu dikubur di sini."

    Aku menatap tanah basah di depan kakiku. "Selamat tinggal, Grool!"

    seruku gembira. "Daniel, kurasa keberuntungan kita bakal berubah

    setelah ini.

    Daniel tidak menyahut.

    Aku berbalik. "Daniel? Daniel? Di mana kau?" Adikku telah lenyap.

  • ADUH, kenapa jadi begini?

    Sekop kubiarkan jatuh ke tanah. "Daniel!" jeritku. "Di mana kau?"

    Bagaimana kalau adikku menghilang gara-gara aku? Bagaimana kalau

    Daniel lenyap gara-gara aku mengubur Grool itu? .

    "Daniel? Daniel?" aku memanggil dengan suara bergetar.

    Samar-samar kudengar bunyi berdesir dari belakang garasi.

    Perlahan-lahan aku mendekati sumber suara itu. "Daniel," bisikku.

    "Itu kau, ya?"

    Tak ada jawaban.

    Aku mengintip ke belakang garasi.

    Daniel duduk sambil memeluk lutut. Ternyata dia tidak apa-apa.

    "Daniel!" aku berseru. Saking leganya, aku sampai mencubit dia.

    "Jangan macam-macam," katanya ketus. Kemudian dia segera berdiri.

    "Kenapa kau ada di sini? Aku kuatir sekali kupikir kau jadi korban si

    Grool."

    Daniel tidak menyahut. Dia malah menundukkan kepala.

    "Kenapa kau bersembunyi di sini?" tanyaku.

  • "Aku takut," dia bergumam. "Aku takut si Grool bakal meledak atau

    melawan atau sebangsanya."

    "Kau takut?" aku kembali bertanya. "Seharusnya kau menyahut

    waktu-kupanggil tadi!"

    "Aku pikir kau dikejar-kejar," Daniel mengakui. Wajahnya langsung

    merah padam.

    "Kau tak perlu takut, Daniel," ujarku. Dia benar-benar ketakutan. Dan

    juga malu karena dia sampai harus bersembunyi.

    Kutaruh kedua tanganku di pundaknya. "Grool itu sudah lenyap. Dia

    sudah terkubur jauh di dalam tanah."

    Daniel menelan ludah. "Tapi bagaimana kalau dia kembali lagi?

    Bagaimana kalau keterangan dalam buku itu memang benar?"

    "Grool itu tak bakal muncul lagi," kataku. "Dan jangan lupa

    bukunya juga bilang Grool sebenarnya tidak ada. Mereka cuma ada

    dalam dongeng."

    Daniel menghela napas. "Sebenarnya aku tidak mau ngomong begini,

    tapi kau benar, Kat," dia berkomentar. "Paling tidak kali ini."

    "Kali ini?" ujarku. "Dari dulu aku selalu benar." langsung saja

    kutonjok lengannya.

    "Aduh, sakitnya minta ampun!" Daniel mengejekku. "Rasanya aku

    mau pingsan." Dia menjatuhkan diri ke rumput basah dan berlagak

    tidak sadarkan diri.

  • "Ayo, kita masuk," aku mendesak. "Kau sudah basah kuyup. Dan aku

    berlepotan tanah."

    Daniel segera bangkit dan mendorongku ke samping. "Ayo, dulu-

    duluan!" dia berseru sambil berlari ke rumah.

    Aku melompati tangga dan masuk satu detik lebih cepat daripada dia.

    Kemudian aku menutup pintu kawat nyamuk dan menahannya dari

    dalam, biar Daniel tidak bisa masuk.

    "Aku menang!" sorakku.

    "Kau memang kubiarkan menang," balas Daniel. Dia menggedor-

    gedor pintu.

    "Kau mau masuk ke sini?" aku bertanya. Daniel mengangguk.

    "Kalau begitu kau harus bilang, 'Kat menang secara adil,'" aku

    menyuruhnya.

    "Tidak bisa!" sahutnya.

    "Kalau begitu silakan tunggu di luar sampai pagibersama si

    Groool!" kataku. Aku langsung mengeluarkan suara seram.

    "Oke, oke. Kat menang secara adil," Daniel menggerutu. "Tapi lain

    kali pasti aku yang menang!"

    Sebenarnya, aku tidak peduli kalau aku menang. Saking gembiranya

    karena aku berhasil mengubur si Grool, aku mau membiarkan Daniel

    menang sepuluh kali.

  • Ketika kami masuk ke ruang duduk, Mom dan Dad langsung

    mengalihkan pandangan dari koran yang sedang mereka baca. Seluruh

    rumah berbau cat basah.

    Dari mana kalian?" tanya Dad.

    Oh, kami cuma main-main di pekarangan,"sahutku.

    Tidak ada apa-apa, kan?" Mom bertanya dengan "Kalian kotor

    sekali!"

    Tidak ada apa-apa kok," jawabku. "Semuanya sudah beres."

    "Oke, kalau begitu kalian cuci tangan dulu," Mom menyuruh kami.

    "Habis itu kalian ke dapur." Daniel dan aku menyerbu ke kamar

    mandi, dan berdesak-desakan di tempat cuci tangan sambil saling

    mendorong dan menyikut.

    "Kau tahu sekarang waktunya apa?" tanya Mom ketika aku muncul di

    dapur.

    "Ya!" seruku dengan gembira. "Sekarang waktunya potong kue ulang

    tahun."

    Mom tampak berseri-seri. "Ayo, duduklah."

    Aku langsung duduk di kursi yang telah disediakannya untukku.

    Akhirnya segala sesuatu seperti seharusnya lagi, pikirku.

    Daniel mengambil tempat di sampingku. Dia menggamit lenganku.

    "Ini alamat buruk," bisiknya. Pasti bakal ada sesuatu yang gawat."

  • Aku takkan membiarkan siapa pun merusak suasana malam ini, aku

    berkata dalam hati.

    "Belum apa-apa kau sudah ngeri," jawabku, juga berbisik. "Tenang

    saja. Takkan terjadi apa-apa,"

    Mom membungkuk di atas kue ulang tahun di meja dan menyalakan

    tiga belas lilinsatu untuk setiap tahun usiaku dan satu lagi untuk

    keberuntungan.

    Kuenya keren sekali! Mom memesannya di toko kue di ujung jalan.

    Semua yang paling kusukai ada di kue itu: hiasan mawar berwarna

    pink, lapisan cokelat, dan selapis arbei. Di atasnya ada kincir air

    mungil yang terbuat dari cokelat.

    "Siap, Kat?" tanya Mom. Kueku dibawanya ke meja makan.

    Wajahnya tampak gembira sekali dalam cahaya lilin. Dad juga

    tersenyum lebar.

    Mereka semua mulai menyanyikan Happy Birthday.

    Daniel terus menatapku sambil bernyanyi.

    Begitu lagunya selesai, aku memejamkan mata dan mengucapkan

    keinginanku dalam hati.

    "Aku ingin agar Killer pulang lagi," aku berkata pada diriku sendiri.

    "Aku ingin agar si Grool takkan kembali lagi. Dan Daniel keliru

    takkan terjadi sesuatu yang gawat."

    Aku membungkuk, mendekati lilin-lilin, dan meniup keras-keras.

  • Dor!

    Suara keras dari dapur itu nyaris membuatku terjatuh ke kue ulang

    tahunku!

  • WAH, sumbat botol ini benar-benar keras," ujar Mum.

    Dia menaruh baki berisi gelas-gelas dan sebuah botol besar berwarna

    hijau. "Ini kesukaanmu, jus apel bersoda," katanya. "Mom tahu ini

    tidak seasyik berkunjung ke WonderPark, tapi..."

    oh, tidak apa-apa kok, Mom!" aku memotongnya. jantungku masih

    berdegup-degup. "Aku senang sekali."

    Aku benar-benar menikmati pesta ulang tahunku. Ada kue, jus apel,

    dan kado-kado-dua video game baru, discman dan beberapa CD,

    ransel ungu, serta sweter pink dan unguwarna-warna kesukaanku.

    Malam itu sebelum aku tidur, kumasukkan semua buku sekolah ke

    ransel baruku. Lalu aku menoleh ke kandang marmut. Kandangnya

    kosong dan bersihseakan-akan Grool tak pernah hadir dalam

    hidupku.

    Makhluk brengsek itu berhasil kusingkirkan, pikirku dengan gembira.

    Akhirnya.

    Mulai sekarang keluargaku akan terhindar dari nasib sial.

    Jam di ruang depan berdentang sepuluh kali. Sudah waktunya tidur.

    Aku berganti baju lalu naik ke tempat tidur.

  • Ketika wekerku berdering keesokan paginya, aku langsung turun dari

    tempat tidur dan bergegas ke jendela untuk melihat cuaca.

    "Oh, ya ampun!"

    Seluruh pekarangan belakang kelihatan seperti gurun!

    Dalam semalam saja seluruh rumputnya jadi kering. Semua begonia

    yang semula berwarna pink tampak merunduk dan berubah jadi

    cokelat. Bunga-bunga mawar kebanggaan Dad pun mengerut dan

    menghitam.

    Kasihan Dad, pikirku. Dia sudah bekerja begitu keras untuk

    memperindah pekarangan kami. Dan sekarang...

    Ketika aku menatap pekarangan yang tandus, aku berusaha menghalau

    pikiran yang berusaha menyusup ke dalam benakku. Tapi dalam hati

    aku tahu persis bagaimana ini bisa terjadi.

    Si Grool.

    Dia menggunakan kekuatan jahatnya terhadap pekarangan kami. Dan

    membunuh setiap tanaman, setiap bunga, setiap helai rumput yang

    ada!

    Apa yang harus kulakukan? aku bertanya-tanya dengan bingung.

    Sambil terbengong-bengong aku menatap pekarangan yang kering

    kerontang.

    Perlukah aku mengeluarkan si Grool dari kuburannya?

    Apakah ada pilihan lain?

  • Sepertinya tak ada.

    Cepat-cepat kukenakan celana jeans dan sweterku vang baru.

    Kemudian aku mengendap-endap ke bawah, menuju tempat si Grool

    terkubur.

    Lalu aku mulai menggali.

    Daun-daun kering jatuh ke kepalaku. Pundakku mulai pegal karena

    mengangkat tanah yang lembap dan berat. Perutku juga terasa tidak

    enak.

    lempar. Gali, lempar.

    Semakin dalam aku menggali, semakin tidak keruan perasaanku.

    Rasanya aku ingin mencampakkan sekop dan kabur dari tempat itu.

    Aku ingin membiarkan makhluk pembawa sial itu terkubur selama-

    lamanya.

    aku harus menghadapi kenyataan.

    kalau tetap terkubur, si Grool akan terus membalas dendam padaku.

    Pada seluruh keluargaku.

    Aku menggali sampai ke dasar lubang. Kemudian aku membungkuk

    dan menyingkirkan sisa-sisa tanah terakhir dengan kedua tangan.

    Perlahan-lahan si Grool mulai kelihatan. Dia tampak lebih hidup dan

    lebih bersemangat daripada yang sudah-sudah.

    'Mestinya kau kuremukkan dengan sekop ini!" Aku membentaknya.

  • Si Grool berdenyut-denyut kencang, seakan-akan gembira mendengar

    ucapanku.

    Ba-boom. Ba-boom. Bunyi napasnya terdengar jelas sekali.

    Dan sekali lagi dia berubah warna, dari cokelat ke pink, lalu ke merah

    tomat. Dan dia terus berubah-ubah warna seiring tarikan napasnya.

    Cokelat. Pink. Merah.

    Cokelat. Pink. Merah.

    Kutarik si Grool dari kuburannya. Dia berdenyut begitu keras

    sehingga terlepas dari tanganku dan jatuh ke tanah.

    "Diam kau!" teriakku sambil memungutnya.

    Si Grool menatapku. Matanya yang kecil dan bulat tampak merah

    membara.

    Aku menggigil.

    Sambil mengertakkan gigi kuselipkan si Grool ke kantong sweter

    baruku. Lalu aku kembali ke rumah. Aku masuk lewat pintu dapur,

    menuju ke arah tangga.

    Di kaki tangga aku mendengar bunyi. Sepertinya bunyi itu berasal dari

    kamar Mom dan Dad.

    Mereka sudah bangun, aku menyadari. Aku harus buru-buru, sebelum

    aku tepergok dan ditanyai macam-macam. Bisa tambah ramai lagi

    kalau begitu.

  • Tergesa-gesa aku menaiki tangga. Dengan setiap langkah aku

    melewati dua anak tangga sekaligus.

    GUBRAK! Aku terpeleset, lutut kananku membentur tangga. "Aduh!"

    jeritku.

    Aku merasa si Grool berguncang-guncang di dalam kantongku. Aku

    mendengar tawanya yang membuat bulu kuduk berdiri.

    heh, heh.

    Dia menertawakan aku!

    Langsung saja kutarik dia keluar dari kantong dan kuremas begitu

    keras sampai jari-jemariku terasa sakit. Lalu aku bergegas ke kamarku

    dan mencampakkannya ke dalam kandang marmut.

    "Aku akan menemukan cara untuk menghancurkanmu," aku

    mengancamnya. Sambil menggosok-gosok lututku yang masih terasa

    nyeri, aku memelototi makhluk brengsek itu. "Aku akan

    menghancurkanmu sebelum kau sempat membawa nasib sial lagi

    untuk keluargaku!" seruku.

    Tapi bagaimana? aku bertanya-tanya.

    Bagaimana?

  • "ANAK-ANAK, besok Bibi Louise akan datang," Mom memberitahu

    aku dan Daniel keesokan paginya. "Jadi Mom minta kalian berdua

    membereskan kamar masing-masing setelah pulang sekolah nanti."

    "Bibi Louise mau datang?" tanyaku. "Wah, asyik!"

    Bibi Louise kerabat yang paling kusukai. Biarpun dewasa, dia benar-

    benar menyenangkan.

    Dia selalu mengenakan gaun panjang bermotif bunga, dan ke mana-

    mana selalu menyetir mobil convertible-nya yang berwarna kuning.

    Dan dia jago meniup permen karet menjadi balon! Dan dia tahu

    banyak lelucon lucu.

    Mom bilang kepala Bibi Louise di awang-awang. Maksudnya

    mungkin dia suka berkhayal. Entah benar atau tidak, tapi yang jelas,

    dia tahu banyak tentang hal-hal seperti astrologi dan ramal-meramal

    dengan kartu.

    Dan barangkalijuga tentang Grool.

    Malam itu, setelah kubereskan kamarku dan sebelum aku tidur, aku

    memberi ucapan selamat malam yang istimewa kepada si Grool.

    "Besok bibiku mau datang, dan dia akan membantuku

    menyingkirkanmu selama-lamanya," aku berbisik.

  • Si Grool menatapku sambil bernapas dengan tenang.

    Seusai sekolah esok sorenya, Daniel dan aku membelok ke jalan

    tempat kami tinggal. Dari jauh mobil kuning kepunyaan Bibi Louise

    sudah kelihatan. Daniel dan aku langsung berlari sampai ke rumah.

    "Heiada apa nih?" Bibi Louise menyapa ketika kami menyerbu

    masuk. Rambutnya yang hitam dan ikal tertutup topi jerami lebar.

    Sebelum Daniel sempat menyahut, aku sudah memeluk Bibi Louise

    dan berbisik ke telinganya, "Bibi harus ikut aku ke atas. Sekarang. Ini

    super-penting."

    Bibiku mencopot topinya, menaruhnya di kepalaku, lalu mengamatiku

    sambil tersenyum. "Super-penting?" dia bertanya.

    "Ya," bisikku. Serta-merta aku meraih tangannya dan menariknya ke

    arah tangga.

    "Bibi pernah dengar tentang Grool?" tanyaku.

    "Grool? Hmmm. Bibi harus ingat-ingat dulu," sahutnya sambil

    mengerutkan kening. "Rasanya belum pernah. Apa itu, Grool?"

    "Begini," aku mulai menjelaskan. "Daniel menemukan fotonya di

    ensiklopedia. Dan di situ tertulis Grool makhluk khayalan yang hidup

    di zaman dulu...."

    "Hmm, kalau Grool itu makhluk khayalan, Sayang, berarti mereka

    sebenarnya tidak ada," Bibi Louise memotong.

  • "Tapi mereka benar-benar ada!" seruku. "Aku tahu karena aku punya

    satu. Dan dia selalu bikin masalah."

    Bibi Louise ikut ke kamarku.

    "Bibi pernah dengar tentang Lanx?" tanyaku. Dia menggelengkan

    kepala.

    "Itu makhluk lain lagi yang juga ada dalam ensiklopedia. Bentuknya

    seperti kentang, tapi dengan mulut penuh gigi tajam."

    "Ih, kedengarannya seram sekali!" seru Bibi Louise. "Tapi coba

    ceritakan tentang... Grool ini. Bagaimana rupanya?"

    "Ayo, kutunjukkan saja," kataku. Aku menariknya ke kamarku.

    Aku menunjuk ke kandang marmut. Si Grool lagi mendekam di pojok.

    Bibi Louise menghampiri kandangnya. "Jadi kau yang namanya

    Grool," katanya sambil membungkuk. Dia mengulurkan tangan untuk

    meraihnya.

    "Jangan!" seruku. "Sebaiknya jangan dipegang."

    Tapi aku terlambat.

  • BIBI LOUISE mengangkat si Grool dan menaruhnya di telapak

    tangannya. Lalu dia mengamatinya dengan saksama.

    Setelah itu dia berpaling padaku. "Kat, ini cuma spons yang sudah

    kering. Sebenarnya apa maksudmu?"

    "Tapi... tapi..." Aku tergagap-gagap.

    "Oh, sekarang Bibi mengerti!" ujarnya sambil ketawa. "Kali ini Bibi

    benar-benar tertipu! Bibi pikir kau serius." Dilemparkannya si Grool

    kepadaku.

    Aku hendak menangkapnya, tapi sekaligus enggan menyentuhnya.

    Akhirnya dia jatuh ke lantai.

    "Lucu sekali. Bibi Louise ketawa sendiri sambil berbalik. "Ternyata

    kau juga punya imajinasi hebat. Persis seperti bibimu."

    Aku memungut si Grool dan mengamatinya dari dekat.

    Badannya tidak hangat. Dia tidak bernapas.

    Dia tidak bergerak.

    Badannya kering dan keras.

    Seperti spons biasa.

    Bibi Louise pikir aku cuma bercanda. Padahal aku memang serius.

  • Lagi-lagi aku diperdaya si Grool!

    Kucampakkan makhluk itu ke dalam kandang marmut. Dia tergeletak

    seakan-akan tak bernyawa. "Moga-moga kau membusuk di situ!"

    seruku geram.

    Tiba-tiba saja spons yang sudah kering dan cokelat itu mulai

    mengembang lagi. Dalam beberapa detik saja dia sudah lebih gendut

    dan lembap.

    "Ohhh!" aku mengerang, sambil menyaksikannya berubah warna

    menjadi pink, lalu merah.

    Si Grool kembali bernapas. Ssss-ahhh. Ssss-ahhh. Matanya yang kecil

    tampak berbinar-binar ketika menatapku.

    Dia ketawa pelan-pelan.

    Kenapa dia begitu senang? aku bertanya-tanya. Kan tidak ada musibah

    apa-apa.

    Tapi, jangan-jangan...

    Aku teringat Dad jatuh dari tangga. Lalu dahan pohon yang nyaris

    menimpaku. Jari Mrs. Vanderhoff. Killer kabur dari rumah. Pesta

    ulang tahunku yang batal. Pekarangan belakang kami yang mendadak

    kering dan tandus.

    Ini sudah keterlaluan. Keterlaluan!

    Aku tak tahan lagi. Sambil menggerung kutarik makhluk jahat itu dari

    kandangnya. Kemudian kubanting keras-keras ke meja belajarku.

  • Dengan napas terengah-engah dan jantung berdegup-degup kuraih

    buku pelajaranku yang paling berat. Lalu aku memakainya untuk

    menghantam si Grool.

    "Mati kau!" teriakku. "Mati kau!"

    Buku itu kuangkat tinggi-tinggi. Lalu kuhajar si Grool.

    Berulang-ulang.

    Pukulanku cukup keras untuk membunuh apa pun juga.

    Akhirnya aku berhenti. Napasku tersengal-sengal. Tanganku terasa

    pegal. Kuamati hasil usahaku.

    Idih. Berantakan sekali.

    Serpihan-serpihan berwarna pink dan cokelat berserakan di mejaku.

    Aku berhasil menghancurkan si Grool.

    "Yes!" seruku gembira. "Yes!"

    Akhirnya! Akhirnya aku berhasil mengalahkan makhluk jahat itu.

    "Yes!" seruku sekali lagi.

    Tapi seruan itu seakan-akan tersangkut di tenggorokanku.

    Di depan mataku serpihan-serpihan pink dan cokelat itu mulai

    bergerak-gerak. Aku membelalakkan mata karena ngeridan seluruh

    tubuhku mulai gemetaran.

  • "MUSTAHIL," bisikku. "Tak mungkin!"

    Tapi nyatanya memang begitu. Serpihan-serpihan tubuh si Grool

    meluncur di permukaan meja. Menggelinding. Saling bergabung.

    Menyatu kembali.

    Membentuk bola cokelat. Membentuk spons.

    Prosesnya tidak makan waktu lama. Paling-paling satu menit.

    Dan kini si Grool kembali menatapku. Dia berdenyut-denyut begitu

    keras sampai meja belajarku ikut bergetar.

    Tawanya yang bengis memecahkan keheningan. Heh, heh, heh.

    "Diam! Diam!" aku membentaknya.

    Tapi tawanya malah bertambah keras.

    Dengan kalang kabut aku mengambil kaus kaki yang habis kupakai

    dari tempat pakaian kotor. Kaus kaki itu kugunakan untuk

    mengangkat si Grool. Dan kemudian aku melemparkannya ke dalam

    kandang.

    Heh, heh, heh.

    Sambil mendengus aku merebahkan diri di tempat tidur dan menutup

    telinga dengan bantalku. "Bagaimana kalau aku sial terus seumur

    hidup? Masa sama sekali tak ada yang bisa kulakukan?"

  • Aku begitu ketakutan. Begitu marah. Begitu bingung.

    Berpura-pura tampil ceria seperti biasa pun aku tak sanggup.

    Waktu Bibi Louise mengajak aku dan Daniel ke toko es krim, aku

    bahkan tak mampu menghabiskan butterscotch sundae porsi kecil.

    Padahal biasanya menghabiskan triple decker juga tak jadi masalah

    bagiku.

    Tapi bagaimana aku bisa ceria? Aku terikat dengan si Groolselama-

    lamanya.

    "Bangun, Kat! Bangun!" seseorang berbisik ke telingaku.

    Perlahan-lahan kuangkat kepalaku dari bantal. "Hah?"

    Daniel mengayun-ayunkan tas sekolahnya kira-kira satu inci dari

    kepalaku. "Singkirkan itu!" aku berseru sambil berusaha merebutnya.

    "Hei, aku cuma mau menolongmu," dia menyahut sambil menarik

    tasnya. "Kau bisa terlambat sekolah. Sebaiknya kau buru-buru!"

    Dia berlari keluar kamar.

    Aku langsung membuka selimut dan melompat dari tempat tidur.

    Cepat-cepat kukenakan baju bertulisan Save the Earth dan celana ketat

    ungu bermotif bunga. Lalu aku sadar.

    "Daniel, dasar brengsek kau!" seruku. "Hari ini kita libur! Soalnya ada

    rapat guru!"

    Dia menyembulkan kepala dari balik pintu. "Hahaha, ketipu!"

  • Aku melemparnya dengan bantal, dan lemparanku tepat mengenai

    wajahnya.

    "Hei, jangan marah dong," katanya sambil ketawa. "Habis sarapan

    Carlo mau ke sini. Kami mau main Mega Monster Warriors."

    Langsung saja kubanting pintu kamarku.

    Biasainya aku tidak terlalu memedulikan ulah adikku yang konyol.

    Dan hari libur selalu membuatku gembira.

    Tapi bagaimana aku bisa bersenang-senang? Aku terus bertanya-

    tanya, kesialan apa lagi yang bakal kualami.

    Musibah apa lagi yang bakal dibawa si Grool hari ini?

    Sehabis sarapan, aku duduk-duduk di teras belakang sambil membaca

    majalah. Aku berusaha tidak menggubris derai tawa dan teriakan-

    teriakan Daniel dan Carlo yang sedang bermain game di komputer.

    Aku benar-benar merindukan Killer. Biasanya dia duduk di

    sampingku ketika aku membaca.

    Setelah satu jam aku mulai bosan. Aku naik ke kamarku untuk

    mengerjakan tugas IPS yang harus kuselesaikan.

    Mrs. Vanderhoff menyuruh kami membuat karangan mengenai

    Keluargaku dan Apa Artinya Mereka Bagiku.

    Tapi aku terus teringat si Grool dan bagaimana dia menghancurkan

    keluargaku.

  • Sejauh ini aku baru menulis, Namaku Kat Merton, dan keluargaku

    sangat berarti bagiku. .

    Dengan modal seperti itu, jangan bermimpi dapat nilai bagus. Padahal

    besok tugas ini sudah harus diserahkan.

    Aku memutuskan untuk beristirahat sejenak. Aku turun ke dapur, lalu

    menuang segelas susu cokelat dan mengambil segenggam biskuit.

    Ketika hendak kembali naik, aku sempat mengintip ke ruang baca.

    Suasananya mendadak hening sekali.

    Carlo tidak kelihatan. Yang ada cuma Daniel, dia sedang bermain

    Underwater Adventure Quest.

    "Carlo mana?" tanyaku.

    "Hmm," sahut Daniel, tanpa melepaskan pandangannya dari kapal

    selam dan torpedo yang sedang melesat kian-kemari di layar monitor.

    "Pertanyaanku terlalu sulit, ya?" aku menyindirnya. "Oke, kali ini

    lebih pelan. Car... lo... ma... na?"

    "Pulang," adikku bergumam.

    "Dia kesal gara-gara kau menenggelamkan lebih banyak kapal selam

    musuh daripada dia?" aku berkelakar.

    Daniel diam saja.

    Aku naik ke kamarku. Kutaruh susu dan biskuitku di meja. Dan mau

    tak mau aku melirik ke kandang marmut.

  • Yang membuatku merinding karena ngeri bukanlah apa yang kulihat,

    tapi apa yang tidak kulihat. Kandangnya kosong.

    Si Grool lenyap. Kabur.

  • BAGAIMANA dia bisa kabur? Sebelum ini si Grool tak pernah

    berusaha keluar dari kandangnya.

    Malahan, spons konyol itu sepertinya sama sekali tak berminat

    meninggalkanku.

    Kenapa dia menghilang sekarang? Dan ke mana dia pergi?

    Dan musibah apa lagi yang sedang direncanakannya?

    Dia tak mungkin pergi jauh-jauh, ujarku dalam hati. Dia kan tidak

    punya kaki.

    Aku hendak memanggil Daniel. Tapi tenggorokanku seakan-akan

    tercekik karena ngeri.

    Dengan kalang kabut aku mulai mencari-cari si Grool. Aku tiarap di

    lantai dan mengintip ke kolong tempat tidur. Tapi dia tidak di situ.

    Kukeluarkan semua baju dari lemari pakaianku. Kubuka semua laci

    meja riasku. Tapi tetap belum ketemu.

    Aku memeriksa setiap jengkal di kamarku. Aku bahkan memanggil-

    manggilnya, "Sini, Grool. Sini, Grool."

    Sia-sia saja. Makhluk itu tetap lenyap.

    Aku teringat keterangan dalam Ensiklopedia Keanehan: Barang siapa

    memberikan Grool kepada orang lain akan MATI dalam satu hari.

  • "Daniel!" jeritku. "Daniel!" Aku berlari menuruni tangga dan

    menyerbu ke ruag TV. Saking kerasnya aku mengguncangkan dia,

    mouse komputer sampai terlepas dari tangannya.

    "Si Grool hilang!" aku berseru. "Dia kabur!" Daniel berpaling dari

    layar monitor. "Apa? Hilang?!"

    "Dia kabur! Kandangnya kosong!" kataku.

    Daniel mengerutkan kening, seakan-akan sedang berpikir keras. "Aku

    tahu di mana dia," ujarnya. "Pasti dibawa Carlo."

    "Hah?" seruku. "Aduh, kenapa kau membiarkan Carlo

    membawanya?"

    "Aku tidak tahu kalau Carlo mau membawanya," balas Daniel sengit.

    "Dia pasti mengambilnya waktu mau pulang tadi. Dia pikir ini cuma

    lelucon. Dia tidak percaya spons itu membawa nasib sial."

    "Dasar brengsek!" aku menggerutu. "Mungkin lebih baik Grool itu

    kita biarkan saja di tempat dia. Biar dia tahu rasa."

    "Jangan, Kat!" seru Daniel. "Carlo kan sahabatku. Si Grool harus kita

    ambil lagisebelum ada kejadian fatal!"

    Daniel dan aku menyambar jaket masing-masing dari gantungan di

    ruang depan. Kemudian kami berlari ke garasi. Kami melompat ke

    sepeda dan melaju sepanjang Maple Lane.

    "Kira-kira ke mana dia?" tanyaku.

  • "Coba ke lapangan di sekolah dulu," ujar Daniel. "Di sana selalu ada

    anak-anak."

    "Yeah, dan Carlo memang tukang pamer," aku berseru. "Dia pasti

    langsung ke sana untuk memamerkan si Grool."

    "Dia bukan tukang pamer!" Daniel memprotes.

    "Dia tukang pamer!" sahutku tegas. Lalu kugenjot sepedaku dengan

    kencang, mendului adikku.

    Dalam beberapa menit aku sudah sampai di Chestnut Street. "Tinggal