41
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum waris erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian mengakibatkan masalah bagaimana penyelesaian hak-hak dan kewajiban . Sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) buku kedua tentang kebendaan dan juga dalam hukum waris Islam, dan juga hukum waris adat. Pada prinsipnya kewarisan adalah langkah-langkah penerusan dan pengoperaan harta peninggalan baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari seorang pewaris kepada ahli warisnya. maksudnya dari pewaris ke ahli warisnya. Akan tetapi di dalam kenyataannya proses serta langkah-langkah pengalihan tersebut bervariasi, dalam hal ini baik dalam hal hibah, hadiah dan hibah wasiat. ataupun permasalahn lainnya . B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan kewarisan ? 1 | Page

Makalah Waris Menurut Islam Dan Adat Jawa

  • Upload
    niam-ul

  • View
    123

  • Download
    21

Embed Size (px)

DESCRIPTION

waris

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum waris erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian mengakibatkan masalah bagaimana penyelesaian hak-hak dan kewajiban . Sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) buku kedua tentang kebendaan dan juga dalam hukum waris Islam, dan juga hukum waris adat.

Pada prinsipnya kewarisan adalah langkah-langkah penerusan dan pengoperaan harta peninggalan baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari seorang pewaris kepada ahli warisnya. maksudnya dari pewaris ke ahli warisnya. Akan tetapi di dalam kenyataannya proses serta langkah-langkah pengalihan tersebut bervariasi, dalam hal ini baik dalam hal hibah, hadiah dan hibah wasiat. ataupun permasalahn lainnya .

B. Rumusan Masalah1. Apa yang dimaksud dengan kewarisan ?2. Bagaimana Perbandingan pengaturan Kewarisan menurut Hukum Islam, Adat Jawa ?C. Tujuan

1. Memahami tentang kewarisan.2. Mengetahui pengaturan bagaimana pengaturan kewarisan menurut hukum Islam dan Hukum waris Adat Jawa.

3. Mengetahui dan menganalisis pengaturan kewarisan menurut hukum Islam, dan adat jawa.

BAB II PEMBAHASAN

Kewarisan

1.1 Pengertian Waris

Hukum waris yaitu seperangkat norma atau aturan yang mengatur mengenai berpindahnya atau beralihnya hak dan kewajiban ( harta kekayaan ) dari orang yang meninggal dunia ( pewaris ) kepada orang yang masih hidup ( ahli waris) yang berhak menerimanya. Atau dengan kata lain, hukum waris yaitu peraturan yang mengatur perpindahan harta kekayaan orang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain.

Menurut Mr. A. Pitlo, hukum waris yaitu suatu rangkaian ketentuan ketentuan, di mana, berhubung dengan meninggalnya seorang, akibat- akibatnya di dalam bidang kebendaan, diatur, yaitu : akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal, kepada ahli waris, baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri, maupun dengan pihak ketiga. I.2 UNSUR UNSUR PEWARISAN

Di dalam membicarakan hukum waris maka ada 3 hal yang perlu mendapat perhatian, di mana ketiga hal ini merupakan unsur unsur pewarisan :

1. Orang yang meninggal dunia / PewarisPewaris ialah orang yang meninggal dunia dengan meningalkan hak dan kewajiban kepada orang lain yang berhak menerimanya. 2. Ahli waris yang berhak menerima harta kekayaan itu .Ahli waris yaitu orang yang masih hidup yang oleh hukum diberi hak untuk menerima hak dan kewajiban yang ditinggal oleh pewaris

Ahli waris terdiri dari :

Ahli waris menurut undang undang

Ahli waris ini didasarkan atas hubungan darah dengan si pewaris atau para keluarga sedarah. Ahli waris ini terdiri atas 4 golongan. Golongan I, terdiri dari anak anak, suami ( duda ) dan istri ( janda ) si pewaris; Golongan II, terdiri dari bapak, ibu ( orang tua ), saudara saudara si pewaris; Golongan III, terdiri dari keluarga sedarah bapak atau ibu lurus ke atas ( seperti, kakek, nenek baik garis atau pancer bapak atau ibu ) si pewaris; Golongan IV, terdiri dari sanak keluarga dari pancer samping ( seperti, paman , bibi ).

Ahli waris menurut wasiat

Ahli waris ini didasarkan atas wasiat yaitu, setiap orang yang diberi wasiat secara sah oleh pewaris wasiat, terdiri atas, ahli waris yang mendapat wasiat yang berisi suatu penunjukkan satu atau beberapa ahli waris untuk mendapat seluruh atau sebagian harta peninggalan ; ahli waris karena mendapat wasiat yang isinya menunjuk seseorang untuk mendapat berapa hak atas satu atau beberapa macam harta waris, hak atas seluruh dari satu macam benda tertentu, hak untuk memungut hasil dari seluruh atau sebagian dari harta waris.

Jadi, dengan demikian ada tiga dasar untuk menjadi ahli waris, yaitu, ahli waris atas dasar hubungan darah dengan si pewaris, ahli waris hubungan perkawianan dengan si pewaris, ahli waris atas dasar wasiat.

3. Harta Waris

Hal hal yang dapat diwarisi dari si pewaris, pada prinsipnya yang dapat diwarisi hanyalah hak hak dan kewajiban dalam lapangan harta kekayaan. Hak dan kewajiban tersebut berupa, Aktiva ( sejumlah benda yang nyata ada dan atau berupa tagihan atau piutang kepada pihak ketiga, selain itu juga dapat berupa hak imateriil, seperti, hak cipta ); Passiva ( sejumlah hutang pewaris yang harus dilunasi pada pihak ketiga maupun kewajiban lainnya ). Dengan demikian, hak dan kewajiban yang timbul dari hukum keluarga tidak dapat diwariskan.I.3 HAK DAN KEWAJIBAN PEWARIS

1. Hak Pewaris

Pewaris sebelum meninggal dunia berhak menyatakan kehendaknya dalam testament atau wasiat yang isinya dapat berupa, wasiat pengangkatan ahli waris ( suatu penunjukkan satu atau beberapa orang menjadi ahli waris untuk mendapatkan seluruh atau sebagian harta peninggalan, wasiat pengangkatan ahli wari ini terjadi apabila pewaris tidak mempunyai keturunanatau ahli waris ); hibah wasiat ( pemberian hak kepada seseorang atas dasar wasiat yang khusus berupa hak atas satu atau beberapa benda tertentu, hak atas seluruh benda bergerak tertentu, hak pakai atau memungut hasil dari seluruh atau sebagian harta warisan ).2. Kewajiban Pewaris

Pewaris wajib mengindahkan atau memperhatikan suatu bagian tertentu dari harta peningalan yang tidak dapat dihapuskan atau dikurangi dengan wasiat atau pemberian lainnya oleh orang yang meninggalkan warisan . Jadi, pada dasarnya pewaris tidak dapat mewasiatkan seluruh hartanya, akan tetapi apabila pewaris tidak mempunyai keturunan , maka warisan dapat diberikan seluruhnya pada penerima wasiat.I.4 HAK DAN KEWAJIBAN AHLI WARIS

1. Hak Ahli Waris

Setelah terbukanya warisan ahli waris mempunyai hak atau diberi hak untuk menentukan sikapnya, antara lain, menerima warisan secara penuh, menerima dengan hak untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan atau menerima dengan bersyarat, dan hak untuk menolak warisan.2. Kewajiban Ahli Waris

Adapun kewajiban dari seorang ahli waris, antara lain, memelihara keutuhan harta peninggalan sebelum harta peninggalan itu dibagi, mencari cara pembagian sesuai ketentuan, melunasi hutang hutang pewaris jika pewaris meninggalkan hutang, dan melaksanakan wasiat jika pewarismeninggalkan wasiat.I.5 PEMBAGIAN WARIS

1. Golongan I, Merupakan ahli waris dalam garis lurus ke bawah dari pewaris, yaitu anak, suami / duda, istri / janda dari si pewaris. Ahli waris golongan pertama mendapatkan hak mewaris menyampingkan ahli waris golongan kedua, maksudnya, sepanjang ahli waris golongan pertama masih ada, maka, ahli waris golongan kedua tidak bisa tampil.

Anak adopsi memiliki kedudukan yang sama seperti anak yang lahir di dalam perkawinannya sendiri .

Berbicara mengenai anak, maka, kita dapat menggolongkannya sebagai berikut :

Anak sah, yaitu anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan dengan tidak mempermasalahkan kapan anak itu dibangkitkan oleh kedua suami istri atau orang tuanya. Anak sah mewaris secara bersama sama dengan tidak mempermasalahkan apakah ia lahir lebih dahulu atau kemudian atau apakah ia laki laki atau perempuan.

Anak luar perkawinan, yaitu anak yang telah dilahirkan sebelum kedua suami istri itu menikah atau anak yang diperoleh salah seorang dari suami atau istri dengan orang lain sebelum mereka menikah. Anak luar perkawinan ini terbagi atas :

Anak yang disahkan, yaitu anak yang dibuahkan atau dibenihkan di luar perkawinan, dengan kemudian menikahnya bapak dan ibunya akan menjadi sah, dengan pengakuan menurut undang undang oleh kedua orang tuanya itu sebelum pernikahan atau atau dengan pengakuan dalam akte perkawinannya sendiri.

Anak yang diakui, yaitu dengan pengakuan terhadap seorang anak di luar kawin, timbullah hubungan perdata antara si anak dan bapak atau ibunya tau dengan kata lain, yaitu anak yang diakui baik ibunya saja atau bapaknya saja atau kedua duanya akan memperoleh hubungan kekeluargaan dengan bapak atau ibu yang mengakuinya. Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat dilakukan dalam akte kelahiran anak atau pada saat perkawinan berlangsung atau dengan akta autentik atau dengan akta yang dibuat oleh catatan sipil.

Hak waris anak yang diakui; 1/3 bagian sekiranya ia sebagai anak sah, jika ia mewaris bersama sama dengan ahli waris golongan pertama, dari harta waris jika ia mewaris bersama sama dengan golongan kedua, dari harta waris jika ia mewaris bersama dengan sanak saudara dalam yang lebih jauh atau jika mewaris dengan ahli waris golongan ketiga dan keempat, mendapat seluruh harta waris jika si pewaris tidak meninggalkan ahli wari yang sah.

Jika anak diakui ini meninggal terlebih dahulu, maka anak dan keturunannya yang sah berhak menuntut bagian yang diberikan pada merka. Anak yang tidak dapat diakui, terdiri atas; anak zina ( anak yang lahir dari orang laki laki dan perempuan, sedangkan salah satu dari mereka itu atau kedua duanya berada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain ), anak sumbang ( anak yang lahir dari orang laki laki dan perempuan, sedangkan diantara mereka terdapat larangan kawin atau tidak boleh kawin karena masih ada hubungan kekerabatan yang dekat. Untuk kedua anak ini tidak mendapatkan hak waris, mereka hanya mendapatkan nafkah seperlunya.

Bagian seorang isteri / suami , kalau ada anak dari perkawinannya dengan yang meninggal dunia, adalah sama dengan bagiannya seorang anak. Jika perkawinan itu bukan perkawinan yang pertama, dan dari perkawinan yang dahulu ada juga anak anak, maka bagian dari janda / duda itu tidak boleh lebih dari bagian terkecil dari anak anak yang meninggal dunia. Bagaimanapun juga seorang janda / duda tidak boleh mendapat lebih dari dari harta warisan. Di atas disebut bahwa jika ada anak dari perkawinan yang dahulu, maka bagian dari seorang janda / duda tidak boleh lebih dari bagian terkecil dari anak anak peninggal warisan.

2. Golongan II

Merupakan, ahli waris dalam garis lurus ke atas dari pewaris, yaitu, bapak, ibu dan saudara saudara si pewaris. Ahli waris ini baru tampil mewaris jika ahli waris golongan pertama tidak ada sama sekali dengan menyampingkan ahli waris golongan ketiga dan keempat.

Dalam hal tidak ada saudara tiri :

Jika golongan I tidak ada, maka yang berhak mewaris ialah : bapak, ibu, dan saudara. Ayah dan ibu dapat : 1/3 bagian, kalau hanya ada 1 saudara; bagian, kalau ada lebihh dari saudara. Bagian dari saudara adalah apa yang terdapat setelah dikurangi dengan bagian dari orang tua.

Jika yang masih hidup hanya seorang bapak atau seorang ibu, maka bagiannya ialah : kalau ada 1 saudara; 1/3 kalau ada 2 saudara; kalau ada lebih dari 2 orang saudara. Sisa dari warisan, menjadi bagiannya saudara ( saudara saudara )

Kalau bapak dan ibu telah tidak ada, maka seluruh warisan menjadi bagian saudara saudara.

Pembagian antara saudara saudara adalah sama, kalau mereka itu mempunyai bapak dan ibu yang sama.

Dalam hal ada saudara tiri :

Sebelum harta waris dibagikan kepada saudara saudaranya, maka harus dikeluarkan lebih dulu untuk orang tua si pewaris, jika masih hidup. Kemudian sisanya baru dibagi menjadi dua bagian yang sama. Bagian yang ke satu adalah bagian bagi garis bapak dan bagian yang kedua adalah sebagai bagian bagi garis ibu. Saudara saudara yang mempunyai bapak dan ibu yang sama mendapat bagian dari bagian bagi gariss bapak dan bagian bagi garis ibu. Saudara saudara yang hanya sebapak atau seibu dapat bagian dari bagian bagi garis bapak atau bagi garis ibu saja.

3. Golongan III

Merupakan, keluarga sedarah si bapak atau ibu pewaris, yaitu kakek, nenek baik pancer bapak atau ibu dari si pewaris. Dalam hal ini, ahli waris golongan ketiga baru mempunyai hak mewaris, jika ahli waris golongan pertama dan kedua tidak ada sama sekali dengan menyampingkan ahli waris golongan keempat.

Jika waris golongan 1 dan garis golongan 2 tidak ada, maka warisan dibelah menjadi dua bagian yang sama.

Yang satu bagian diperuntukkan bagi keluarga sedarah dalam garis bapak lurus ke atas; yang lain bagian bagi keluarga sedarah dalam garis ibu lurus ke atas. Waris yang terdekat derajatnya dalam garis lurus ke atas. Waris yang terdekat derajatnya dalam garis lurus ke atas mendapat setengah warisan yang jatuh pada garisnya ( pancernya ). Kalau derajatnya sama, maka waris itu pada tiap garis pancer mendapat bagian yang sama ( kepala demi kepala ). Kalau di dalam satu garis ( pancer ) ada keluarga yang terdekat derajatnya, maka orang itu menyampingkan keluarga dengan derajat yang lebih jauh.

Pasal ini menguraikan keadaan jika anak ( dan keturunannya ), isteri orang tua, dan saudara tidak ada. Maka di dalam hal ini warisan jatuh pada kakek dan nenek. Karena tiap orang itu mempunyai bapak dan ibu, dan bapak dan ibu itu mempunyai bapak dan ibu juga, maka tiap orang mempunyai 2 kakek dan 2 nenek.

1 kakek dan 1 nenek dari pancer bapak dan 1 kakek dan 1 nenek dari pancer ibu. Dengan telah meninggalnya bapak dan ibu maka adalah wajar jika warisan itu jatuh pada orang orang yang menurunkan bapak dan ibu. Di dalam hal ini maka warisan dibelah menjadi dua. Satu bagian diberikan kepada kakek dan nenek yang menurunkan bapak dan bagian lain kepada kakek dan nenek yang menurunkan ibu. Jika kakek dan nenek tidak ada maka warisan jatuh kepada orang tuanya kakek dan nenek. Jika yang tidak ada itu hanya kakek atau nenek maka bagian jatuh pada garisnya, menjadi bagian yang masih hidup.

4. Golongan IV

Merupakan, sanak keluarga dalamgaris ke samping dari si pewaris, yaitu paman, bibi.

Kalau waris golongan 3 tidak ada maka bagian yang jatuh pada tiap garis sebagai tersebut, warisan jatuh pada seorang waris yang terdekat pada tiap garis. Kalau ada beberapa orang yang derajatnya sama maka warisan ini dibagi bagi berdasarkan bagian yang sama.

Di dalam garis menyimpang keluarga yang pertalian kekeluargaannya berada dalam suatu derajat yang lebih tinggi dari derajat ke 6 tidak mewaris.

Kalau hal ini terjadi pada salah satu garis, maka bagian yang jatuh pada garis itu,menjadi haknya keluarga yang ada di dalam garis yang lain, kalau orang ini mempunyai hak kekeluargaan dalam derajat yang tidk melebihi derajat ke 6.

Kalau semua orang yang berhak mewaris tidak ada lagi maka seluruh warisan dapat dituntut oleh anak di luar kawin yang diakui.

Kalau semua waris seperti disebut di atas tidak ada lagi, maka seluruh warisan jatuh pada Negara.

5. Ahli Waris berdasarkan Penggantian Tempat / Ahli Waris Pengganti

Adapun syarat syarat untuk menjadi ahli waris pengganti adalah sebagai berikut :

Orang yang digantikan tempatnya itu harus telah meninggal dunia terlebih dahulu dari si pewaris.

Orang yang sudah meninggal dunia itu meninggalkan keturunan .

Orang yang digantikan tempat itu tidak menolak warisan.

WARIS WASIAT

Suatu wasiat atau testament ialah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelahnya ia meninggal.

Surat wasiat adalah suatu akta yang berisi pernyataan sesorang tentang apa yang akan terjadi setelah ia meninggal, dan yang olehnya dapat ditarikkembali.

SYARAT SYARAT WASIAT

1. Syarat Syarat Pewasiat

Pembuat surat wasiat harus mempunyai budi akalnya, artinya yang tidak boleh membuat ialah orang sakit ingatan dan orang yang sakitnya begitu berat, sehingga ia tidak dapat berpikir secara teratur.

Orang yang belum dewasa dan yang belum berusia 18 tahun tidak dapat membuat surat wasiat. 2. Syarat Syarat Isi Wasiat

Jika surat wasiat memuat syarat syarat yang tidak dapat dimengerti atau tidak mungkin dapat dilaksanakan atau bertentangan dengan kesusilaan, maka hal yang demikian itu harus dianggap tak tertulis.

Jika di dalam surat wasiat disebut sebab yang palsu, dan isi dari wasiat itu menunjukkan bahwa pewaris tidak akan membuat ketentuan itu jika ia tahu akan kepalsuannya maka surat wasiat tidaklah sah.

Suatu surat wasiat adalah batal, jika dibuat karena paksa, tipu atau muslihat. Selain larangan larangan tersebut di atas yang bersifat umum di dalam hukum waris terdapat banyak sekali larangan larangan yang tidak boleh dimuat dalam surat wasiat. Di antara larangan itu, yang paling penting ialah larangan membuat suatu ketentuan sehingga bagian mutlak para ahli waris menjadi kurang dari semestinya.

JENIS JENIS WASIAT

1. Jenis Wasiat menurut Isinya

Menurut isinya, maka ada 2 jenis wasiat :

Wasiat yang berisi pengangkatan waris. Wasiat pengangkatan waris, adalah wasiat dengan mana orang yang mewasiatkan, memberikan kepada seorang atau lebih dari seorang, seluruh atau sebagian ( setengah, sepertiga ) dari harta kekayaannya, kalau ia meninggal dunia. Orang orang yang mendapat harta kekayaan menurut pasal itu adalah waris di bawah titel umum.

Wasiat yang berisi hibah ( hibah wasiat ). Hibah wasiat adalah suatu penetapan yang khusus di dalam suatu surat wasiat, dengan mana yang mewasiatkan memberikan kepada seorang atau beberapa orang; beberapa barang tertentu, barang barang dari satu jenis tertentu, hak pakai hasil dari seluruh atau sebagian dari harta peninggalannya. Orang orang yang mendapat harta kekayaan ini disebut waris di bawah titel khusus.

2. Jenis Wasiat menurut Bentuknya

Selain pembagian menurut isi, masih ada lagi beberapa jenis wasiat dibagi menurut bentuknya. Wasiat ologafis, atau wasiat yang ditulis sendiriWasiat ini harus ditulis dengan tangan orang yang akan meninggalkan warisan itu sendiri, harus diserahkan sendiri kepada seorang notaris untuk disimpan, penyerahan harus dihadiri oleh dua orang saksi.

Wasiat umum Dibuat oleh seorang notaris, orang yang akan meninggalkan warisan menghadap para notaris dan menyatakan kehendaknya. Notaris ini membuat suatu akta dengan dihadiri oleh 2 orang saksi.

Wasiat rahasia atau wasiat tertutupDibuat sendiri oleh orang yang akan meninggalkan warisan, tetapi tidak diharuskan menuliskan dengan tangannya sendiri, surat wasiat ini harus selalu tertutup dan disegel. Penyerahannya kepada notaris harus disaksikan 4 orang saksi.

PENCABUTAN DAN WASIAT

Di antara pencabutan dan gugurnya wasiat ada perbedaan; pencabutan ialah di dalam hal ini ada suatu tindakan dari pewaris yang meniadakan suatu wasiat, sedangkan, gugur ialah tidak ada tindakan dari pewaris tapi wasiat tidak dapat dilaksanakan, karena ada hal hal di luar kemauan pewaris.

1. Tentang Pencabutan Suatu Wasiat

Mengenai pencabutan wasiat secara tegas ada ketentuan ketentuan seperti berikut :

Suatu surat wasiat dapat dicabut dengan ; surat wasiat baru dan akta notaris khusus. Arti kata khusus di dalam hal ini ialah bahwa isi dari akta itu harus hanya penarikan kembali itu saja.

2. Tentang Gugurnya Suatu Wasiat

Jika suatu wasiat memuat suatu ketetapan yang bergantung kepada suatu peristiwa yang tak tentu : maka jika si waris atau legaltaris meninggal dunia, sebelum peristiwa itu terjadi, wasiat itu gugur.

Jika yang ditangguhkan itu hanya pelaksanaannya saja, maka wasiat itu tetap berlaku, kecuali ahli waris yang menerima keuntungan dari wasiat itu.

1. Hukum Islam tentang KewarisanPelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia Melaksanakan hukum kewarisan dalam sistem hukum Islam merupakan ibadah muamalah artinya ibadah yang berhubungan dengan sesama manusia yang dilaksanakan semata-mata mendapatkan keridhaan kepada Allah. Dalam ajaran Islam manusia apabila benar-benar mengharapkan keridhoan Allah SWT dalam ibadah harus sesuai dengan ketentuan dan pedoman pada Al-Quran dan Hadist Rasulullah SAW. Al-Quran dan hadist Ras ulullah SAW merupakan asas, prinsip dan nilai dari Allah yang menjadi sumber hukum Islam, di dalamnya hukum kewarisan Islam bersifat statis, tidak boleh berubah, sedangkan pelaksanaannya bersifat dinamis dan difikirkan dengan ijtihad dengan dipengaruhi oleh pengalaman, ilmu pengetahuan, suasana dan keadaan, 25 yang sifatnya sementara, berbeda dengan tujuan hidup manusia yang sebenarnya memperhamba diri kepada Allah SWT, (Q.S.51:56).Dengan demikian ijtihad itu bukan mengubah norma, tetapi cara pelaksanaan norma, seperti berwudlu dengan air 2 kulah, tetapi menurut ijtihad ilmiah air yang dikatakan bersih ialah bebas dari kuman, atau zakat ditunaikan dengan kurma dan gandum. Hasil ijtihad di Indonesia memutuskan dengan beras atau uang. Zaman Nabi

Muhammad SAW, memutuskan awal bulan puasa atau sawal dengan rukyat, sekarang banyak dengan hisab. Dahulu naik haji dengan unta sekarang dengan mobil atau pesawat. Jadi yang menjadi lapangan ijtihad bukan normanya, tetapi pelaksanaan norma. Norma ditetapkan oleh naqal, cara pelaksanaannya diputuskan oleh akal. Demikian juga dalam pelaksanaan atau penerapan hukum kewarisan dalam normanya sebagimana yang telah ditetapkan oleh Al-quran, (naqal), tetapi dalam penerapannya dapat diputuskan dengan ijtihad, (akal). Kemudian norma yang berhubungan dengan hukum kewarisan yang telah ditetapkan dalam Al-Quran. a. An-nisa ayat 4, terjemahannya sebagai berikut :

Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya dan bagi perempuan ada (pula) hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. b. An Nisa ayat 11, terjemahannya :Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian kewarisan untuk) anak-anakmu yaitu : Bagian seorang anak laki-laki saman dengan bagian dua orang anak perempuan, dan jika semua anak itu perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, jika anak peremopuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh saja. Dan untuk kedua orang ibu bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mepunyai anak. Dan jika yang meninggal itu tidak mempunyai anak dan diwarisi kedua ibu bapaknya (saja), maka ibunya sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara. Maka ibunya mendapat seperenam (pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat setelah dibuatnya atau (dan setelah di bayar) hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih banyak menfaatnya bagimu . Ini adalah ketetapan Allah Maha Mengetahui Maha Bijaksana. c. An-Nisa ayat 12 terjemahannya :

Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) mempunyai anak , maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tingalkan, jika kamu tidak mepunyai anak, jika kamu mepunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) hutang-hutangnya. Jika seorang meninggal dunia baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja) maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau setelah dibayar hutangnya dengan tidak memberi madharat (kepada ahli waris) Allah menetapkan yang demikian itu sebagai syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyayang.d. An-Nisa ayat 176 terjemahannya :

Mereka meminta fatwa keapadamu (tentang kalalah). Katakanlah Allah memberi fatwa kepada tentang kalalah (yaitu) : Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya , dan saudara yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak, tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanuya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal dunia.Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri ) saudara-saudara laki-laki dan perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. d. Al Nisa ayat 33 Terjemahannya

Dan tiap-tiap harta peninggalan dari (harta) yang untuk masing-masing ahli waris meninggalkan (pengganti) pewaris-pewarisnya dan (jika ada) orang-orang yang teah kamu bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepadamereka bagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.Surat An-Nisa ayat 11, 12, 33 dan 176 sebagaimana disebutkan di atas, dalam penerapan atau pelaksanaam hukum kewarisan Islam sebagai norma (naqal) hukum Islam yang harus dijadikan dasar yang bersifat statis tidak bisa dirubah. Akan tetapi ketentuan bagian-bagian harta kewarisan sebagaimana dalam ketetapan al-furudhul al-muqaddarah seperti telah dijelaskan dalam bab di atas, namun ketetapan tersebut dapat diterapkan secara fleksibel, apabila para ahli waris dapat mencari alternative lain yang mengandung keadilan dan kedamaian diantara para ahli waris dalam hubungan keluarga. Al-Quran memberikan kebebasan kepada ahli waris-ahli waris untuk mencari kesepakata-kesepakatan perdamaian dengan cara musyawarah diantara mereka. Dalam penerapan atau pelasanaan hukum kewarisan terdapat dua pendekatan teori yaitu pertama pendekatan teori perdamaian, dan yang kedua dengan pendekatan teori ibra atau teori pembebasan. 1. Pendekatan teori perdamaian atau islah

Dalam hukum Islam perdamaian pada umumnya adalah untuk menyelesaiakan masalah, baik yang belum terjadi perselisihan maupun telah terjadi perselisihan. Perdamaian para ahli waris untuk menyelesaikan pembagian harta warisan mempunyai tujuan agar tidak terjadi perselisihan dikemudian hari diantara ahli waris sebagai anak-anak maupun para keluarga dekat pewaris. Bahkan penyelesaian dengan perdamaian ini para ahli waris tidak memerlupan alat-alat bukti dan para ahli waris memperoleh kebebasan mencari jalan keluar yang disepakati agar dapat menyelesaikan pembagian harta warisannya. Perdamaian tersebut dalam istilaih hukum Islam disebut Al-Shulh, bahkan dalam hukum Islam al-shluh atau perdamian ini telah mnejadi kaidah ushul fiqh, yang disebut Al-suhulh sayyidul al-ahkam, artinya perdamian itu merupakan puncak dari segala hukum, Menurut Syahrizal Abbas28 bahwa memilih perdamaian itu berdasarkan pertimbangan (1). Dapat memuskan para pohak, dan tidak ada yang merasa dirugikan dan meresa menang atau kalah dalam penyelesaiannya, (2). Dengan perdamian ini dapat menghantarkan kepada ketentraman hati dan kepuasan serta mempererat silaturahmi, dan (3). Dilakukan dengan sukarela, tidak ada paksaan, dan para ahli waris membuat kesepakatan-kesepakatan untuk mewujudkan perdamaian. Penyelesaian dengan perdamaiaan diajurkan oleh Allah SWT, sebagimana dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 128, bahwa perdamaian itu suatu perbuatan yang baik. Bahkan Abu Hurairah meriwayatkan hadits Rasulullah SAW bersabda bahwa perdamaian di atara kaum muslimin itu boleh, kecuali perdamaiaan yang mengharamkaan sesuatu yanh halal, atau menghalakan sesuatu yang haram.Selanjutnya Muhammad Rawwas Qalahji perdamaian tentang harta tersebut ada dua macam yaitu pertama perdamaian ingkar yaitu sepertinya adanya pengakuan seorang sebagai pihak pertama, tentang pemilikan harta yang dikuasahi oleh pihak ketiga, sedangkan pihak kedua tidak mengetahui adanya hak itu. Kemudian terjadi perdamaian yang isinya bahwa pihak kedua menyerahkan harta yang diakui pihak pertama tersebut. Sedangkan yang kedua perdamaian pengakuan, perjanjian ini seperti adanyaa pengakuan bahwa harta yang dikuasahinya ternyata milik orang lain, dan dia tidak mau mengembalikan, kemudian diadakan perjanjian perdamaian bahwa ia bersedia mengembalikan sebagaian dari harta milik orang lain tersebut.Dalam hukum Islam terdapat tiga macam unsur atau rukun perdamaian yang harus dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai masalah, unsur pertama ialah lafazd ialah ucapan atau perbuatan dari kedua belah pihak yang mengadakan perdamian tersebut. Lafazd terdiri dari ijab dan qobul. Ijab artinya pernyataan dari salah satu pihak yang mengadakan perdamaian, seperti kami berdamai dengan kamu dengan saya membayar hutang sebesar seribu rupia, sedangakn Kabul adalah pernyataan menerima atau persetujaun perdamian, baik melalu lisan maupun dengan perbuatan untuk melakukan perdamaian.Dengan lahirnya perjanjian perdamaian itu lahir pula ikatan hukum diantara pelaku perdamaian, yang masing-masing pihak berkewajiban untuk melaksanakan perdamaian yang disepakatinya, dan masing-masing pihak tidak bisa membatalkan secara sepihak, bia terjadi pembatalan harus kedua belah pihak. Menurut Sayyaid Sabiq perdamaian itu ada tiga syarat yaitu pertama subyek atau orang yang melaksanakan perdamian itu harus faham hukum, kedua obyek dari perdamian itu sendiri berbentuk benda yang berwujud dan tidak berwujud seperti hak intelektual. Sedangkan yang ketiga adalah persoalan yang boleh diperdamaikan, artinya masalah-masalah harta benda yang menjadi hak hamba atau hak manusia. sedangkan hak Allah tidak bisa menjadi obyek perdamaian.

Dalam memahami pelaksanaan pembagian harta kewarisan menurut Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya Ushul Fiqh yang dikutp Satria Effendi beliau mengatakan bahwa hak warisan termasuk hak hamba dan mensejajarkan dengan hak menagih hutang, kerena kedua-duanya berhubungan dengan harta. Bahkan beliau selanjutnya mengatakan bahwa hak hamba adalah sebuah kedholiman kecuali dimaafkan hak semacam ini demi kepentingan kemaslahatan perorangan dan dapat digugurkan oleh pemiliknya.Demikian juga pendapat Sidi Gazalba nash Al-Quran dan As-Sunah tidak bisa dinterprestasikan, tetapi pelaksanaannya dapat diinterprestasikan. Dengan demikian pelaksanaan pembagian harta kewarisan merupakan interprestasi dengan perdamian yang hasilnya mungkin sesuai ketentuan-ketentuan Al-Quran, dan kemungkinan tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan Al-Quran dan As-Sunah Rasulullah SAW. Cara pembagiaan harta kewarisan dengan perdamian tersebut ada yang mengatakan bahwa pembagian harta kewarisan ini sebagai praktik mendua, disatu sisi menyelesaian dengan perdamaian tidak dengan ketentuan Al-Quran, tetapi dalam kenyataan mereka membagi dengan perdamaian, bahkan banyak juga yang membagi harta kewarisan dengan hibah ketika pewaris masih hidup.

Ahmad rafiq berpendapat bahwa cara membagi harta kewarisan dengan perdamaian yang hasilnya tidak sesuai dengan nas syarI tidak sikab mendua karena perdamaian merupakan term Al-Quran sebagaimana dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 128 .. Dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu tabiatnya kikir, dan Surat Al-Hujuraat ayat 9 .. Jika golongan itu (telah kembali kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlakulah adil dan ayat 10 yaitu Sesungguhnya orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah keapad Allah supaya kamu mendapat rahmad. Dalam praktik cara perdamaian itu sangat efektif untuk meredam terjadinya perselisihan diantara keluarga (ahli waris) akibat pembagian harta kewarisan tersebut.

Hal ini sejalan dengan nasehat Khalifat Umar ibnu Khatab kepada kaum muslimin agar diantara pihak yang mempunyai urusan dapat memilah cara perdamaian Umar ibnu Khatab berkata : Boleh mengadakan perdamaian yang bertujuan menghalalkan yang haram Bahkan Umar ibnu Khatab selanjutnya memerintahkan : Kembalikanlah penyelesaian perkara diantara sanak keluarga, sehingga mereka dapat mengadakan perdamaian, karena sesungguhnya penyelesaian pengadilan itu menimbulkan rasa tidak enak. Bahkan menurut Muhammad Abu Nimer meyakini bahwa Islam sebagai agama telah meletakan prisnip-prinsip nilai-nilai perdamaian dalam Al-Quran.

Sedangkan bagi praktisi Al-Quran sebagai kerangka untuk kerja menyelesaikan masalah-masalah baik setelah maupun sebelum terjadi timbul berbagai perselisihaan dalam permasalahan lapangan keluarga, ekonomi, hukum, soasial, maupun politik. Al-Quran dan Nabi Muhammad SAW telah mengajurkan perdamaian sebagai sarana penyelesaaian akan timbulnya perselisihan atau setelah terjadinya perselisihan yang akan atau yang sedang berlangsung. Bahkan dalam Kitab Majalah Al-Ahkam Al-Adiyah, bahwa suatu proses perdamaian telah diselesaikan tidak satupun dari kedua belah pihak berhak mempermasalahkannya lagi.

2. Pendekatan teori Ibra Penyelesaian pembagian harta kewaris dan dengan cara perdamaian selain menyelesaian masalah yang terjadi diantara keluarga ahli waris, juga merupakan bentuk tolong menolong atau taawun diantara ahli waris Ahli wearis yang mampu akan meringankan beban atau penderitaan ahli warisn yang tidak mampu. Dalam hukum Islam cara seperti ini disebut teori ibra: atau pembebasan hak miliknya yang merupakan harta kewarisan, baik sebagian maupun seluruhnya, kemudian hak milik harta kewarisan itu menjadi hak milik ahli waris lainnya. Dalam hukum Islam istilah ibra masdar dari kata abraa yang artinya membebaskan. Kata ibra ini dalam hukum Islam mempunyai dua pengertian isqot dan tamlik . Kata isqad masdar dari kata asqatha yang artinya menggugurkan, melepaskan dan membebaskan. Dengan demikian isqot adalah menggugurkan hak miliknya dari bagian harta warisannya. Sedangkan kata tamlik masdar dari mallaka yang artinya menyediakan miliknyua juga dapat diartikan menyerahkan atau memberikan hak kepada seseorang. Sehingga tamlik adalah menyerahkan bagian harta warisannya.

Apalagi para ahli warisn itu merupakan hubungan keluarga dekat, baik dalam sistem keluargaan parental atau bilateral, kekeluargaan matrilineal maupun kekeluargaan patrilineal. Dengan demikian perdamaian merupakan intrumen yang paling baik dalam menyelesaikan perselisihan dan perseteruan, permusuhan keluarga dalam menjaga keutuhan keluarga atau kekerabatan serta kerukunan dalam masyarakat.

Dalam hukum Islam tentang pengertian ibra para Ulama berbeda pendapat, Ulama Madzhab Hanafi menyatakan bahwa ibra dalam arti isqot lebih tepat dengan makna pengguguran, meskipun makan pemilikan tetap ada, Sedangkan Ulama Maliki disamping tujuan ibra juga dapat menggugurkan hak milik seseorang jika ingin digugurkannya terhadap suatu benda oleh pemiliknya maka kedudukannya sama dengan hibah. Kemudian sebagian Ulama SyafiI berpendapat bahwa ibra mengandung pengertian pemilikan hutang untuk orang yang berpiutang, dan kedua belah pihak harus mengetahui pengalihan milik tersebut, Sebagian Ulama lainnya mengartikan pengguguran seperti mazdhab Hanafi demikian dikalangan mazdhab Hambali. Berdasarkan kedua teori tersebut di atas, bahwa dalam melaksanakan atau menerapkan hukum kewarisan Islam dengan perdamaian, secara tidak langsung penerapan dengan teori ibra dan teori damai (shulh) tersebut, satu sama lain saling berkaitan. Karena secara tidak langsung dengan ibra baik secara isqat (menggugurkan) hak miliknya maupun dengan tamlik (menyerahkan) hak miliknya dari hak kewarisannya itu umumnya dilakukan dengan perdamaian. Bahkan dalam Islam menyerahkan atau menggugurkan hak miliknya (harta kewarisan), yang selanjutnya dinikmati orang lain itu merupakan bentuk amal ibadah, meskipun penyerahan atau pengguguran tersebut tidak sampaikan secara formal , tetapi Allah SWT Maha Mengetahui apa yang diperbuat oleh umatnya.

2. Hukum Adat Jawa tentang KewarisanMelihat adat budaya Jawa dalam soal pembagian harta waris memiliki seperangkat aturan yang mengatur seluruh mekanisme yang berkaitan dengan asas pewarisan yang dalam prosesnya berbeda dengan ketentuan-ketetuan yang dianut oleh masyarakat diluar masyarakat Jawa tentang adat yang mengatur ahli waris. Memahami hal mengenai kewarisan maka sistim kekerabatan menjadi hal yang penting untuk dimengerti hal itu lebih dikarenakan pembagian warisan dalam masyarakat adat sangat bergantung pada sistim kekerabatan. Pada masyarakat jawa sistim masyarakat jawa yang dianut adalah parental atau bilateral. Sistim ini ditarik dari dua garis keturunan bapak dan ibu. Sehingga memberikan implikasi bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hal waris adalah seimbang dan sama. Sistim ini kemudian mengharuskan setiap ahli waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan memiliki haknya masing-masing.Sistem kekerabatan parental adalah sistem kekerabatan yang didasarkan atas garis keturunan bapak dan ibu. Dalam sistem kekerabatan ini, antara anak laki-laki dan anak perempuan tidak dibedakan dalam pewarisan. Sistem ini dipergunakan di daerah Aceh, Sumatera Selatan, Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan lain- lain.

Perkawinan yang terjadi dalam sistem parental ini, pada umumnya berlaku adat perkawinan mentas, yang setelah perkawinan suami isteri hidup bersama secara mandiri. Suami istri bebas memilih akan menetap di tempat suami atau di tempat isteri atau membangun kehidupan baru lepas dari pengaruh kerabat isteri maupun suami, Bahwa mengenai kedudukan isteri atau suami dalam masyarakat yang bersifat kekeluargaan parental, pada hakekatnya tidak ada perbedaan dalam keluarga masing-masing. Malahan dengan terjadinya perkawinan baik isteri maupun suami keluarganya bertambah, sebab selain tetap dalam keluarga semula juga dianggap masuk menjadi keluarga pihak suami atau pihak isteri.

B. Perbandingan Pengaturan Waris menurut Hukum Islam dan Hukum Waris Adat Jawa.No.PersamaanHukum IslamAdat Jawa

1Pengertian pewarisanSama-sama mengartikan bahwa pewarisan adalah proses penerusan, pengoperan, peralihan harta kekayaan materiil dan immateriil dari satu generasi ke generasi berikutnya.

2Tujuan PewarisanSama-sama untuk menyelesaikan perikatan yang dibuat pewaris semasa hidupnya dan mempertahankan eksistensi masyarakat genealogis.

3Unsur-unsur pewarisanPewaris, Harta Warisan dan Ahli Waris.

4Sifat kumulatifberkait dengan konsep peristiwa hukum waris, dan apabila salah satu saja dari unsur-unsur pewarisan tidak ada maka tidak akan terjadi peristiwa pewarisan.

5Konsep Hartanilai ekonomis, sosial dan magis, materiil dan immateriil, kepemilikan komunal dan individual, dapat dibagi dan tidak dapat dibagi

6Sistim pewarisan/ pembagian Semasa hidup pewaris (inisiatif ada pada pewaris, hak ahli waris belum terbuka)(teknisnya: sebagian atau seluruhnya, diikuti peralihan yuridis atau tidak diikuti peralihan yuridis (penunjukan, digarap)( bentuknya: hibah atau hibah wasiat.

Setelah pewaris meninggal (inisiatif ada pada para ahli waris, sebab hak para ahli waris sudah terbuka)( teknisnya: pembagian warisan tanpa sengketa atau dengan musyawarah dan pembagian warisan dengan sengketa ( sengketa diartikan sudah menjadi perkara di pengadilan.

NoPerbedaanHukum IslamAdat Jawa

1Konsep keluarga /sistim kekerabatanPatrilioneal-BilateralParental

2Sistim PewarisanIndividualIndividual

3Konsep harta keluargaBukan persatuanBukan persatuan

4Jenis harta keluarga

Harta masing-masing suami isteri dan harta bersamaHarta pencaharian (harta bersama)

5Keadaan harta warisanBersih dari hutang

Dapat dibagi-bagi

Harta materiil

Harta peninggalan

Aktiva & pasivaBersih dari hutang

Dapat dibagi-bagi

Harta materiil Harta peninggalan dan harta pemberian dari si pewaris semasa hidupnya kepada ahli warisAktiva

6Ahli warisGenealogis (nasab) dan karena perkawinan

Garis kebawah

Garis keatas

Garis menyamping

Dikenal penggolongan ahli waris

Dikenal konsep penghalang menerima warisanJalur bapak dan ibu serta perbuatan hukum (anak angkat)

Garis kebawah dan muncul janda

Dikenal penggolongan ahli waris

Dikenal konsep penghalang menerima warisan

7Penggantian tempat ahli warisTidak dikenal lembaga ini, penyelesaiannya dengan wasiat wajibahDikenal lembaga ini

8Hal ahli warisHak dan bagian sama dalam pembagian individualHak dan bagian tidak sama antara laki-laki dan perempuan

9Bagian ahli warisDitentukan dengan menetapkan besar bagian yang akan diterima oleh ahli waris sesuai penggolongannyaDitentukan seimbang

10Hak menolak warisanTidak mengenal lembaga ini

Tidak mengenal lembaga ini

11Perhitungan harta warisan oleh ahli warisPrinsipnya harta warisan adalah harta peninggalan

Terdapat asas harta warisan merupakan kesatuan bagi para ahli warisnya

12Anak angkatTidak mengenal anak angkat bila ada diselesaikan dengan wasiatMengenal anak angkat hanya hak warisnya terbatas pada harta bersama

13Pencabutan hak mawarisSetelah meninggalnya pewaris dengan wasiatSemasa hidup pewaris dan setelah meninggalnya pewaris

14Hibah/ sohenkingTidak diperhitungkan dalam pembagian warisanDiperhitungkan dalam pewarisan

15Wasiat/testamenSebagai hak pewarisan yang harus didahulukanWasiat kepada ahli waris, sebagai penetapan warisan wasiat kepada bukan ahli waris tidak boleh merugikan ahli waris

16Pencabutan hak warisPerbudakan ,Pembunuhan, berlainan agama berlainan negaraPembunuhan

17Dasar hukumKHIKebiasaan, Kesepakatan

18Hak pewarisMenerima warisanMenerima warisan

19Pengaruh pengaturan warisDi pengaruhi oleh adanya pluralisme ajaran, seperti ajaran kewarisan Ahlus Sunah wal jamaah, ajaran Sjiah, ajaran hazairin.

Yang paling dianut adalah Ahlus Sunnah wal jamaah (syafii, Hannafi, Hambali, dan maliki) di Indonesia paling dianut adalah Syafii disamping ajaran Hazairin yang mulai berpengaruh sejak tahun 1950, sebagai bentuk ijtihad untuk mengurangi hukum islam dalam Al-Quran secara bila teral.Pengaruh bentuk etnis

1) bilateral di jawa

20Proses pewarisanSetelah ada kematianBisa dilakukan ketika pewaris masih hidup

BAB III PENUTUPA. Kesimpulan

Hukum waris itu mengandung tiga unsur yaitu adanya harta peninggalan harta warisan, adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan dan adanya ahli waris atau waris yang akan meneruskan pengurusannya atau yang akan menerima bagiannya.Pada umumnya pengaturan pewarisan dalam hukum islam dan adat jawa memiliki banyak persamaan, hanya perbedaanya didalam hukum islam tidak mengenal anak angkat kecuali anak angkat tersebut tercantum bagiannya di dalam isi surat wasiat, sedangkan menurut adat jawa ada hak waris untuk anak angkat, hanya saja hak warisnya terbatas pada harta bersama.

Di dalam hukum islam seorang istri yang sudah dicerai nasabnya terputus, tetapi di dalam adat jawa dalam garis keturunan masih terdapat keterangan janda atau istri yang sudah dicerai. Seorang janda (cerai) bisa mendapatkan hak waris hanya saja terbatas pada harta yang dikumpulkan bersama sewaktu masih suami istri.B. Saran

Untuk masalah waris di serahkan sepenuhnya pada hukum masing-masing golongan, diharapkan dalam pembagian waris ini harus adil, meskipun adil itu berbeda-beda pemahamannya.

Untuk anggota keluarga yang bukan ahli waris seperti anak angkat, dan kerabat yang lain diharapkan tetap mendapatkan warisan seperti dalam pengaturan dalam KHI yaitu wasiat wajibah.DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Afandi, Ali. 2004. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Rineka Cipta : Jakarta.

Amanat, Anisitus. 2001. Membagi Warisan Berdasarkan Pasal Pasal Hukum Perdata Bw ( Edisi Revisi ). Semarang.

Hilman Hadikusuma, 1995. Hukum Perkawinan Adat, Cet.5, Bandung, PT Citra Aditya Bakti.

Ismuha, 1978. Penggantian Tempat Dalam Hukum Waris Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Hukum Adat dan Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, Undang-undang :Subekti, dan R. Tjitrosudibio. 1992. Kitab Undang Undang Hukum Perdata dengan tambahan Undang Undang Pokok Agraria dan Undang Undang Perkawinan. : Jakarta.

Subekti. 1987. Pokok Pokok Hukum Perdata. PT. Intermasa : Jakarta.

Internet :

Sidi Gazalba, Islam & Perubahan Sosiobudaya, Suatu kajian Islam tentang Perubahan Masyarakat, Jakarta : Al-Husna, 1981, hlm 195

Muhammad Salam Madkur, Al-Qadhai Al-Isllami, Mesir : dar Al-Nahdah Al-Arabiyah, tt, hlm 44

Muhammad Abu Nimer, Noviolence and Peace Building in Islam, Theory and Practice, Florida : University Press of florida, 2003, hlm. 48

H.A. Djazuli, Al Majalah AlAhkam Al Adliyah, Kitan Undang-Undang Hukum Perdata Islam, Bandung : KIblat Press, 2002, hlm 370.

Al-Munawir, Kamus Al-Munawir ASrab Indonresia Terlengkap, Surabaya : Progressif, 2002, hlm 67.

Ibid hlm.641

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Cet.5, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1995, hlm 24.

Ismuha, Penggantian Tempat Dalam Hukum Waris Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Hukum Adat dan Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1978, hal. 36

2 | Page