Upload
didit-ferigno
View
168
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Transfusi darah dapat menjadi suatu intervensi dalam menyelamatkan hidup. Serta
dapat juga menimbulkan suatu komplikasi akut atau kronik dan dapat membawa resiko pada
penularan infeksi.
Dengan memberikan transfusi darah, seringkali pendarahan dapat dihentikan segera.
Hal ini terjadi karena pasien mendapatkan semua faktor pembekuan darah yang terdapat
dalam darah transfusi. Keuntungan lain dari transfusi ialah perbaikan volume sirkulasi.
Produk darah adalah suatu istilah yang mengacu pada setiap zat terapetik yang dibuat dari
darah manusia.
Darah dapat dipisahkan menjadi berbagai komponen darah untuk berbagai indikasi
klinis. Namun, banyak negara tidak memiliki fasilitas untuk pemisahan komponen darah dan
darah lengkap (whole blood) menjadi produk darah yang paling banyak digunakan di
sebagian besar negara-negara berkembang. Penggunaan darah lengkap mungkin paling aman
dan cara yang paling sesuai pada suatu keadaan mendesak yang mengharuskan transfusi.
Meskipun, penggunaan darah lengkap memiliki keuntungan, namun penggunaan komponen
darah menawarkan keuntungan tertentu.
Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi pada perdarahan,
luka bakar, dehidrasi, muntah, diare, dan puasa preoperatif maupun perioperatif, dapat
menyebabkan gangguan fisiologis yang berat. Jika gangguan tersebut tidak dikoreksi secara
adekuat sebelum tindakan anestesi dan bedah, maka resiko penderita menjadi lebih besar.
Transfusi darah termasuk transplantasi jaringan dari donor kepada penerima, sehingga
menimbulkan resiko kepada penerima transfusi seperti penularan infeksi dan menimbulkan
reaksi imun pada sel asing atau protein plasma.
Sebaiknya menetapkan kebutuhan yang sesuai bila ada indikasi yang jelas dalam
melakukan transfusi. Penggunaan yang tepat, dapat menyelamatkan jiwa dan bila tidak tepat
penggunaannya dapat membahayakan hidup.
1
BAB II
PEMBAHASAN UMUM
2.1 Definisi Transfusi Darah
Transfusi Darah adalah pemindahan darah atau suatu komponen darah dari seseorang (donor)
kepada orang lain (resipien). Darah yang dipindahkan dapat berupa darah lengkap dan
komponen darah.
Transfusi darah telah menjadi faktor utama dalam memperbaiki dan mempertahankan
kualitas hidup bagi pasien-pasien penderita kanker, gangguan hematologi, dan cedera yang
berkaitan dengan trauma dan pasien-pasien yang menjalani bedah mayor.
Transfusi darah dapat menjadi bahaya karena komplikasi yang ditimbulkan meskipun
penting untuk mengembalikan hemeostasis.
2.2 Tujuan Transfusi Darah
Tujuan utama terapi cairan perioperatif adalah untuk mengganti defisit pra, selama dan pasca
bedah. Terapi dinilai berhasil apabila pada penderita tidak ditemukan tanda-tanda
hipovolemik dan hipoperfusi atau tanda-tanda kelebihan cairan.
Tujuan lain:
• meningkatkan kemampuan darah dalam mengangkut oksigen
• memperbaiki kekebalan
• memperbaiki masalah pembekuan
• Memelihara dan mempertahankan kesehatan donor.
• Memelihara keadaan biologis darah atau komponen – komponennya agar tetap
bermanfaat.
• Memelihara dan mempertahankan volume darah yang normal pada peredaran darah
(stabilitas peredaran darah).
• Mengganti kekurangan komponen seluler atau kimia darah.
• Meningkatkan oksigenasi jaringan.
• Memperbaiki fungsi Hemostatis.
• Tindakan terapi kasus tertentu.
2
2.3 Indikasi Transfusi Darah
Transfusi darah umumnya >50% diberikan pada saat perioperatif dengan tujuan untuk
menaikkan kapasitas pengangkutan oksigen dan volume intravaskular. Kenaikan volume
intravaskular saja cukup dengan koloid atau kristaloid.
Indikasi transfusi darah ialah:
- Perdarahan akut sampai Hb < 8gr% atau Ht <30%. Pada orang tua, kelaianan paru,
kelainan jantung Hb <10 gr/dl
- Bedah mayor kehilangan darah > 20% volume darah.
Faktor penentu untuk transfusi sel darah merah selain kadar Hb adalah kondisi pasien,
tanda dan gejala hipoksia, kehilangan darah, risiko anemia karena penyakit yang diderita oleh
pasien dan risiko transfusi.
Banyak transfusi sel darah merah dilakukan pada kehilangan darah ringan atau sedang,
walaupun kehilangan darah itu sendiri tidak menyebabkan peningkatan morbiditas dan
mortalitas perioperatif. Meniadakan transfusi tidak menyebabkan keluaran (outcome)
perioperatif yang lebih buruk.
Beberapa faktor spesifik yang perlu menjadi pertimbangan transfusi adalah:
Pasien dengan riwayat menderita penyakit kardiopulmonal perlu transfusi pada batas
kadar Hb yang lebih tinggi.
Volume darah yang hilang selama masa perioperatif baik pada operasi darurat
maupun elektif, dapat dinilai secara klinis dan dapat dikoreksi dengan penggantian
volume yang tepat.
Konsumsi oksigen, dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebab antara lain
adalah demam, anestesia dan menggigil. Jika kebutuhan oksigen meningkat maka
kebutuhan untuk transfusi sel darah merah juga meningkat.
Pasien yang mempunyai kadar Hb 7-10 g/dl yang akan menjalani operasi yang
menyebabkan banyak kehilangan darah serta adanya gejala dan tanda klinis dari
gangguan transportasi oksigen yang dapat diperberat oleh anemia.
Kehilangan darah akut sebanyak <25% volume darah total harus diatasi dengan
penggantian volume darah yang hilang. Hal ini lebih penting daripada menaikkan kadar Hb.
Pemberian cairan pengganti plasma (plasma subtitute) atau cairan pengembang plasma
(plasma expander) dapat mengembalikan volume sirkulasi sehingga mengurangi kebutuhan
transfusi, terutama bila perdarahan dapat diatasi.2
3
Pada perdarahan akut dan syok hipovolemik, selain kadar Hb, pemberian koloid atau
cairan pengganti lainnya dapat menentukan kebutuhan transfusi sel darah merah. Setelah
pasien mendapat koloid atau cairan pengganti lainnya, kadar Hb atau hematokrit dapat
digunakan sebagai indikator apakah transfusi sel darah merah dibutuhkan atau tidak.
Sel darah merah diperlukan bila terjadi ketidakseimbangan transportasi oksigen,
terutama bila volume darah yang hilang >25% dan perdarahan belum dapat diatasi.
Kehilangan volume darah >40% dapat menyebabkan kematian. Sebaiknya hindari
penggunaan darah yang disimpan lebih dari sepuluh hari untuk tujuan transfusi karena
tingginya potensi efek samping akibat penyimpanan. Darah yang disimpan lebih dari 7 hari
memiliki kadar kalium yang tinggi, pH rendah, debris sel tinggi, usia eritrosit pendek dan
kadar 2,3-diphosphoglycerate rendah.
Pertimbangan dalam memutuskan jumlah unit transfusi sel darah merah:
Menghitung berdasarkan rumus umum sampai target Hb yang disesuaikan dengan
penilaian kasus per kasus.
Menilai hasil/efek transfusi yang sudah diberikan kemudian menentukan kebutuhan
selanjutnya.
Pasien yang menjalani operasi dapat mengalami berbagai masalah yang menyebabkan :
1) peningkatan kebutuhan oksigen, seperti kenaikan katekolamin, kondisi yang tidak
stabil, nyeri;
2) penurunan penyediaan oksigen, seperti hipovolemia dan hipoksia.
Tanda dan gejala klasik anemia berat (dispnea, nyeri dada, letargi, hipotensi, pucat,
takikardia, penurunan kesadaran) sering timbul ketika Hb sangat rendah. Tanda dan gejala
anemia serta pengukuran transportasi oksigen ke jaringan merupakan alasan transfusi yang
lebih rasional.
Telah dilakukan beberapa penelitian yang menilai hubungan antara anemia perioperatif
dengan terjadinya iskemia miokard atau infark miokard. Satu penelitian observasional
terkontrol pada 27 pasien risiko tinggi yang akan menjalani operasi pintasan (bypass) arteri
infrainguinal menyatakan bahwa insidens iskemia miokard dan kejadian sakit jantung lainnya
lebih tinggi secara bermakna pada 14 pasien dengan hematokrit <28% daripada pasien
dengan hematokrit yang lebih tinggi. Ternyata kelompok yang anemia berusia lebih tua dan
menjalani operasi lebih lama daripada kelompok pembandingnya secara bermakna. Penelitian
tersebut tidak memperhatikan variabel perancu yang dapat meningkatkan risiko iskemia dan
tidak meneliti keefektifan transfusi sel darah merah. Penelitian yang dilakukan pada 30
4
pasien intensive care unit (ICU) pascabedah dengan kadar Hb <10g/dl melaporkan bahwa
transfusi sel darah merah hanya sedikit mempengaruhi konsumsi oksigen.
Pada tahun 1998 National Institute of Health Consensus Conference menyimpulkan
bahwa bukti ilmiah yang ada tidak mendukung penggunaan kriteria tunggal untuk melakukan
transfusi seperti kadar Hb <10g/dl, dan tidak terdapat bukti ilmiah yang menyatakan bahwa
anemia ringan sampai sedang berperan dalam meningkatkan morbiditas perioperatif.
Pada tahun 1992, ACP merekomendasikan bahwa dalam menentukan keperluan
transfusi darah pada pasien yang akan menjalani anestesia didasarkan pada kondisi tanda vital
(stabil atau tidak stabil). ACP menyimpulkan bahwa pasien dengan tanda vital stabil dan
tidak memiliki risiko iskemia miokard atau serebral tidak memerlukan transfusi sel darah
merah. Transfusi hanya dilakukan pada pasien dengan tanda vital tidak stabil yang memiliki
risiko iskemia miokard atau serebral. Hal ini tidak bergantung pada kadar Hb pasien.
ASA pada tahun 1996 menyimpulkan bahwa transfusi sangat jarang diindikasikan bila
kadar Hb >10 g/dl dan hampir selalu diindikasikan bila kadar Hb <6 g/dl, terutama pada
anemia akut. Risiko terjadinya komplikasi karena oksigenasi yang tidak adekuat bisa
menentukan apakah kadar Hb 6-9 g/dl membutuhkan transfusi sel darah merah atau tidak.
Penggunaan satu nilai Hb tertentu tanpa mempertimbangkan kepentingan fisiologis dan
faktor lain yang mungkin mempengaruhi oksigenasi tidak direkomendasikan.
NHMRC-ASBT pada tahun 2001 merekomendasikan bahwa keputusan untuk
melakukan transfusi sel darah merah harus berdasarkan pada penilaian klinis pasien, respons
pasien terhadap transfusi sebelumnya dan kadar Hb. Transfusi sel darah merah tidak
dilakukan bila kadar Hb >10 g/dl, kecuali jika ada indikasi tertentu. Jika transfusi dilakukan
pada kadar Hb ini maka alasan melakukan transfusi harus dicatat. NHMRC-ASBT juga
menyatakan bahwa transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada Hb 7-10 g/dl untuk
menghilangkan gejala dan tanda klinis serta untuk mencegah terjadinya morbiditas dan
mortalitas yang bermakna. Transfusi diperlukan bila kadar Hb <7 g/dl, kecuali pada pasien
asimptomatik dan/atau penyakit yang memiliki terapi spesifik.
Pada miokardium, ekstraksi oksigen sudah mencapai 90% dalam keadaan normal
sehingga tidak dapat mengkompensasi berkurangnya transportasi oksigen (misalnya pada
anemia) dengan menaikkan ekstraksi oksigen. Hal itu berarti transportasi oksigen ke
miokardium ditentukan oleh kandungan oksigen arterial dan jumlah aliran darah. Pasien
dengan penyempitan pembuluh darah hanya mempunyai sedikit kemampuan untuk
meningkatkan perfusi dengan meningkatkan aliran darah. Hal tersebut menandakan bahwa
5
pada pasien tersebut penting untuk mempertahankan kandungan oksigen pada tingkat aliran
darah optimal dan mempertahankan kebutuhan pada batas minimal.
Perdarahan antepartum dan postpartum merupakan penyebab utama kematian maternal
di Inggris. Angka lain menunjukkan bahwa perdarahan yang dapat mengancam nyawa terjadi
pada 1 di antara 1.000 persalinan.
Konsentrasi Hb turun selama kehamilan disebabkan volume plasma yang meningkat
dalam jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah sel darah merah.11
Perdarahan akut adalah penyebab utama kematian ibu. Perdarahan masif dapat berasal dari
plasenta, trauma saluran genital, atau keduanya, dan banyaknya paritas juga meningkatkan
insidens perdarahan obstetrik.1 Perdarahan obstetrik didefinisikan sebagai hilangnya darah
yang terjadi pada masa peripartum, yang dapat membahayakan nyawa. Pada usia kehamilan
cukup bulan, aliran darah ke plasenta mencapai ±700 ml/menit. Seluruh volume darah pasien
dapat berkurang dalam 5-10 menit, kecuali bila miometrium pada tempat implantasi plasenta
berkontraksi. Perdarahan obstetrik mungkin tidak terduga dan masif. Adanya perdarahan
obstetrik dapat dilihat dengan adanya gejala syok hipovolemik tetapi karena adanya
perubahan fisiologis yang ditimbulkan oleh kehamilan, maka hanya ada beberapa tanda
hipovolemia yang mungkin mengarah pada perdarahan. Tanda hipovolemia antara lain
takipnea, haus, hipotensi, takikardia, waktu pengisian kapiler meningkat, berkurangnya urin
dan penurunan kesadaran.
Keputusan melakukan transfusi pada pasien obstetrik adalah berdasarkan pada
kebutuhan klinis pasien, selain kadar Hb Faktor yang menjadi pertimbangan adalah usia
kehamilan, riwayat gagal jantung, adanya infeksi seperti pneumonia dan malaria, riwayat
obstetrik, cara persalinan dan tentu saja kadar Hb.
Penyebab perdarahan akut pada pasien obstetrik antara lain adalah abortus (abortus
inkomplit, abortus septik), kehamilan ektopik (tuba atau abdominal), perdarahan antepartum
(plasenta previa, plasenta abrupsi, ruptur uteri, vasa previa, perdarahan serviks atau vagina)
dan lesi traumatik (perdarahan postpartum primer, perdarahan postpartum sekunder,
koagulasi intravaskular diseminata (disseminated intravascular coagulation -DIC).
Salah satu kelompok pasien yang paling sering mendapat transfusi adalah neonatus
yang dirawat di ICU. Namun kelompok ini juga rentan terhadap efek samping jangka panjang
akibat transfusi darah. Sekiranya diperlukan transfusi, maka harus diberikan dalam jumlah
adekuat untuk mengurangi transfusi berulang dan paparan terhadap banyak donor. Namun
hanya terdapat sedikit data klinis yang berkualitas tentang transfusi pada neonatus. Transfusi
sel darah merah hanya diberikan untuk meningkatkan oksigenasi, mencegah hipoksia
6
jaringan atau mengganti kelihangan darah akut. Batas dasar kadar Hb yang
direkomendasikan untuk melakukan transfusi pada neonatus adalah kadar Hb=10,5 g/dl
dengan gejala atau Hb=13 g/dl jika terdapat penyakit jantung atau paru atau jika diberikan
terapi suplementasi O2. Pada anemia prematuritas dapat digunakan batas kadar Hb yang lebih
rendah yaitu Hb=7,0 g/dl. Indikasi transfusi pada neonatus sangat bervariasi disebabkan
adanya imaturitas fisiologis, volume darah yang kecil dan ketidakmampuan untuk
mentoleransi stress minimal. Keputusan untuk melakukan transfusi biasanya berdasarkan
berbagai parameter, termasuk volume darah yang hilang, kadar hemoglobin yang diinginkan
dan status klinis (dispnea, apnea, distress pernapasan).
2.4 Jenis-Jenis Sediaan Darah
1. Darah Lengkap ( whole blood )
Darah lengkap didapatkan dari donor darah manusia melalui venasection. Selama donasi
darah dikumpulkan dalam suatu wadah steril,sekali pakai dan terbuat dari plastik yang berisi
cairan antikoagulasi-pengawet1.
Seluruh darah harus dikumpulkan, diuji dan diproses dengan standar keamanan yang
tinggi.
Keuntungan
- Hanya membutuhkan satu wadah sederhana dan tidak mahal.
- Tidak membutukan alat khusus untuk pengolahan.
- Untuk pasieen dengan pendarahan, dapat terpenuhi sel darah merah, volume dan
faktor pembekuannya.
Kerugiannya
- Dapat beresiko kelebihan dalam sirkulasi, darah lengkap dapat mengandung
konsentrasi sel darah merah yang lebih tinggi.
Indikasi
Tranfusi darah umumnya >50% diberikan pada saat perioperaif dengan tujuan untuk
menaikkan kapasitas pengangkutan oksigen dan volume intravaskular. Kalau hanya
menaikkan volume intravaskular saja cukup dengan koloid atau kristaloid3.
Mengganti sel darah merah karena pendarahan akut disertai hipovolemi, pada keadaan
dimana harus dilakukan pertukaran transfusi, pada pasien yang membutuhkan transfusi sel
darah merah dimana konsentrat sel darah merah atau suspensinya tidak tersedia.
7
Beberapa faktor spesifik yang perlu menjadi pertimbangan transfusi adalah:
Pasien dengan riwayat menderita penyakit kardiopulmonal perlu transfusi pada
batas kadar Hb yang lebih tinggi.
Volume darah yang hilang selama masa perioperatif baik pada operasi darurat
maupun elektif, dapat dinilai secara klinis dan dapat dikoreksi dengan penggantian
volume yang tepat.
Konsumsi oksigen, dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebab antara lain
adalah demam, anestesia dan menggigil. Jika kebutuhan oksigen meningkat maka
kebutuhan untuk transfusi sel darah merah juga meningkat.
Kontra indikasi
Pada pasien-pasien yang beresiko terjadi volume berlebihan seperti pasien dengan
anemia kronikserta pasien dengan penyakit gagal jantung.
2. Plasma
Plasma dipisahkan dari seluruh darah dengan sentrifugasi atau dengan membiarkan sel
merah untuk mengendap di bawah gravitasi dalam lemari es bank darah. Hal ini juga dapat
dikumpulkan dari para donatur dengan plasmapheresis. Indikasi klinis utama adalah untuk
pengobatan pendarahan dengan gangguan koagulasi akibat menurunnya tingkat beberapa
faktor pembekuan. Untuk tujuan ini, plasma beku segar harus digunakan. Ini dipisahkan dari
darah lengkap dan beku pada -25 ° C atau lebih dingin dalam waktu 6-8 jam dari saat donasi
dalam rangka untuk menjaga faktor koagulasi (Faktor-faktor V dan VIII). Fresh frozen
plasma dapat disimpan minimal satu tahun atau lebih jika rendah suhu dapat dipertahankan.
Ketika plasma disimpan pada suhu 2 ° C-6 ° C, aktivitas pembekuan menjadi tidak stabil,
faktor V dan VIII akan menurun kemampuannya 10-20% dalam waktu 48 jam. Bila
tersedianya fasilitas , plasma dari darah yang disumbangkan harus difraksinasi untuk
memastikan keamanannya, plasma aman dari virus yang dilemahkan. Plasma tidak
dianjurkan sebagai cairan pengganti untuk memperbaiki hipovolemia karena:
- Plasma membawa risiko yang sama seperti darah lengkap menularkan HIV, hepatitis
virus B dan C dan infeksi menular transfusi-lain
- Ada sedikit bukti bahwa plasma menawarkan manfaat klinis tambahan apapun atas
cairan pengganti cairan kristaloid atau koloid dalam pengobatan hipovolemia
- Plasma mahal; pengganti cairan kristaloid yang murah dan tidak membawa risiko
transmisi infeksi.
8
3. Packed red cells (PRC) biasa dan cuci
PRC berasal dari darah lengkap yang disedimentasikan selama penyimpanan, atau dengan
sentrifugasi putaran tinggi kemudian sebagian besar dari plasma dibuang. Transfusi darah
harus diberikan dalam sediaan packed red cells (PRC), yang memungkinkan pemanfaatan
optimal sumber daya bank darah. PRC ideal untuk pasien yang memerlukan sel merah, tapi
tidak memerlukan penggantian volume misalnya pada kasus anemia pada gagal jantung
kongestif. Pasien bedah memerlukan penggantian volume serta sel-sel darah merah; maka
cairan kristaloid dapat diberikan secara bersamaan dengan PRC melalui jalur intravena kedua
untuk mengantikan cairan yang hilang sepanjang operasi.
Sepanjang melakukan transfusi intraoperatif, setiap unit darah harus dihangatkan
sehingga 37oC terutama jika lebih dari 2-3 unit yang akan ditransfusikan sepanjang operasi
karena kegagalan untuk melakukannya dapat mengakibatkan hipotermia.
Keuntungan transfusi PRC dibanding darah lengkap adalah 1) kemungkinan overload
sirkulasi menjadi minimal; 2) reaksi transfusi akibat komponen plasma menjadi minimal; 3)
reaksi transfusi akibat antibodi donor menjadi minimal; dan 4) efek samping akibat volume
antikoagulan yang berlebihan menjadi minimal.
Namun PRC juga mempunyai kekurangannya dimana cukup banyak plasma, lekosit, dan
trombosit yang tertinggal sehingga masih bisa terjadi sensitisasi yang dapat memicu
timbulnya pembentukan antibodi terhadap darah yang diterima dari donor. Sehingga akan
menimbulkam kesulitan pada pasien yang memerlukan transfusi berulang seperti pada pasien
talasemia. Oleh itu, untuk mengurangi efek samping yang ditimbulkan oleh komponen non-
eritrosit maka dibuat PRC yang dicuci (washed PRC). Dibuat dari darah utuh yang dicuci
dengan normal saline sebanyak tiga kali untuk menghilangkan antibodi. Washed PRC hanya
dapat disimpan selama 4 jam pada suhu 40oC, karena itu harus segera ditransfusikan.
PRC dikonversi menjadi produk darah yang dikenal sebagai washed red bood cell
(WRBC) dengan melalui proses pencucian intensif dengan larutan natrium klorida 0,9%
steril. WRBC mengandung jumlah plasma, trombosit, dan leukosit yang lebih sedikit
dibandingkan PRC yang tidak dicuci. Hal ini sangat menguntungkan pasien, karena dapat
mengurangi efek samping yang dapat ditimbulkan oleh komponen-komponen non eritrosit.
Namun, kerugiannya adalah: 1) biaya yang cukup besar ditambahkan kepada pasien; 2) shelf-
life setiap unit darah berkurang sampai 24 jam; dan 3) 10-20% hilangnya sel darah merah
ketika PRC dicuci dengan larutan natrium klorida.
9
Indikasi packed cells adalah pada perdarahan lambat, anemia atau pada kelainan jantung.
Satu unit packed cells terisi 240-340ml dengan hematokrit 75-80% dan hemoglobin 24g/dl.
Untuk menaikkan kadar Hb sebanyak 1 gr/dl diperlukan PRC 4 ml/kgBB atau 1 unit dapat
menaikkan kadar hematokrit 3-5 %.
4. Faktor pembekuan
Trombosit
Transfusi trombosit diberikan sebagai profilaksis pada pasien dengan hitung trombosit
kurang dari 10.000-20.000/uL, sedangkan untuk pasien dengan hitung trombosit >50.000/uL
transfusi trombosit tidak memberikan keuntungan. Transfusi trombosit juga diberikan pada
pasien dengan penurunan produksi trombosit dengan hitung trombosit <5000/uL. Selain itu,
pemberian profilaksis transfusi trombosit dianjurkan pada pasien dengan hitung trombosit
antara 5000-30.000/uL. Pada operasi besar dengan perdarahan yang mengancam nyawa,
transfusi trombosit dapat dilakukan pada hitung trombosit yang lebih tinggi untuk
mempertahankan hitung trombosit >50.000/uL.
ASA menyatakan bahwa transfusi trombosit diindikasikan pada pasien dengan jumlah
trombosit <50.000/uL. Penentuan apakah pasien yang memiliki jumlah trombosit 50.000-
100.000/uL membutuhkan transfusi adalah berdasarkan risiko terjadinya perdarahan. Pada
pasien dengan hitung trombosit 50.000-100.000/uL, pemberian transfusi trombosit
berdasarkan risiko perdarahan. Transfusi trombosit juga diindikasikan pada pasien dengan
hitung trombosit normal tetapi terdapat gangguan fungsi trombosit dan perdarahan
mikrovaskular.
Hitung trombosit harus dipertahankan dalam batas tertentu tergantung kondisi pasien
misalnya pada kasus perdarahan akut, hitung trombosit tidak boleh turun sampai <50.000/uL,
dan untuk pasien dengan trauma multipel dan cedera kepala, hitung trombosit harus
dipertahankan >100.000/uL. Pada pasien dengan DIC, transfusi trombosit diberikan untuk
mempertahankan hitung trombosit pada >50.000/uL seperti halnya pada pasien yang
mengalami perdarahan masif.
Selain itu, penggunaan trombosit diindikasikan untuk pencegahan dan penatalaksanaan
perdarahan pada pasien dengan trombositopenia atau kelainan fungsi trombosit. Hitung
trombosit merupakan faktor pemicu utama penggunaan trombosit, dengan faktor risiko terjadi
perdarahan dan banyaknya perdarahan akan mempengaruhi keputusan perlu tidaknya
transfusi.
10
Kriopresipitat
Kriopresipitat digunakan pada pengobatan pasien dengan defisiensi fibrinogen bawaan
atau kongenital, disfibrinogenemia, atau defisiensi faktor XIII. Selain itu, transfusi
kriopresipitat juga dilakukan pada pasien yang mendapat transfusi masif dengan perdarahan
mikrovasular bila kadar fibrinogen <80 mg/dl.
ASA merekomendasikan pertimbangan memberikan kriopresipitat sebagai profilaksis
pada pasien dengan defisiensi fibrinogen kongenital atau penyakit von Willebrand yang tidak
responsif terhadap pemberian desmopresin asetat yang akan menjalani operasi tetapi tidak
mengalami perdarahan; pasien dengan penyakit von Willebrand yang mengalami perdarahan;
koreksi pada pasien dengan perdarahan mikrovaskular karena transfusi masif dengan
konsentrasi fibrinogen <80-100 mg/dl.
Kriopresipitat mengandung beberapa protein hemostatik berasal dari darah yang
mengandung sekitar 100 IU Faktor VIII:C dan 150 250 mg fibrinogen dalam setiap 15 ml
plasma. Biasanya kriopresipitat yang kompatibel dengan jenis darah ABO disediakan, tapi
indikasinya hanya pada pasien neonatal. Rh tidak perlu dipertimbangkan.
Satu unit darah lengkap dapat meningkatkan fibrinogen sebanyak 5-10 mg/dL. Setelah
kriopresipitat dicairkan dan dikumpulkan, maka harus disimpan pada suhu kamar (20-24°C)
dan harus dipakai untuk transfusi darah dalam periode waktu empat hingga enam jam.
Rumus perhitungan pada pemberian kriopresipitat
Calculate blood volume (BV) : Body weight x 70 ml/Kg
Calculate plasma volume (PV) : BV x (1-HCT)
Calculate mg of Fibrinogen needed:
Desired increase in Fibrinogen (%) - Initial fibrinogen level (%) X PV
100
Calculate the number of bags of cryo needed:
mg of fibrinogen needed__
Amount of fibrinogen per bag
5. Komponen lain (buffycoat-granulocyte concentrate)
11
Granulosit dapat diberikan pada pasien yang mengalami neutropenia (neutrofil<500/ul) atau
dengan riwayat disfngsi neutrofil seperti pada penyakit granulomatosa kronis. Dosis
minimum pada setiap proses transfusi adalah sebanyak 1,0x1010 neutrofil per transfuse.
Untuk mendapat hasil terapeutik yang maksimal, maka transfusi ini harus diberikan setiap
hari selama beberapa hari. Kriteria pasien yang membutuhkan transfusi granulosit mencakup:
1) kerusakan sumsum tuang yang dapat dipulihkan; 2) jumlah neutrofil <500/ul (<3000/ul
pada Neonatus), atau 3) tidak responsif terhadap terapi antibiotik.
Granulosit mengandung sejumlah sel darah merah yang signifikan, oleh itu sediaan harus
kompatibel dengan jenis darah ABO dan harus cocok dengan darah pasien. Mereka disimpan
pada suhu kamar pada 20-24°C dan harus ditransfusikan secepat mungkin.
2.5 Prosedur Transfusi Darah
Untuk mencegah kemungkinan kontaminasi pada specimen darah, digunakan praprosedur
dan prosedur yang steril, terampil dan teliti. Berikut ini adalah tahapannya :
Praprosedur
1. Periksa kembali apakah pasien telah menandatangani inform consent.
2. Teliti apakah golongan darah pasien telah sesuai.
3. Lakukan konfirmasi bahwa transfusi darah memang telah diresepkan.
4. Jelaskan prosedur kepada pasien.
5. Saat menerima darah atau komponen darah:
a. Periksa ulang label dengan perawat lain untuk meyakinkan bahwa golongan
ABO dan RH nya sesuai dengan catatan.
b. Periksa adanya gelembung darah dan adanya warna yang abnormal dan
pengkabutan. Gelembung udara menunjukan adanya pertumbuhan bakteri.
Warna abnormal dan pengkabutan menunjukan hemolisis.
c. Periksa jumlah dan jenis darah donor sesuai dengan catatan resipien.
6. Periksa identitas pasien dengan menanyakan nama pasien dan memeriksa gelang
identitas.
7. Periksa ulang jumlah kebutuhan dan jenis resipien.
8. Periksa suhu, denyut nadi, respirasi dan tekanan darah pasien sebagai dasar
perbandingan tanda-tanda vital selanjutnya.
12
Prosedur
1.Pakai sarung tangan yang dianjurkan oleh universal precaution yang menyatakan bahwa
sarung tangan harus dikenakan saat prosedur yang memungkinkan kontak dengan darah atau
cairan tubuh lainnya.
2.Catatlah tanda vital sebelum memulai transfusi.
3.Jangan menambahkan obat kedalam darah atau produk lain.
4.Yakinkan bahwa darah sudah harus diberikan dalam 30menit setelah dikeluarkan dari
pendingin.
5.Bila darah harus dihangatkan, maka hangatkanlah dalam penghangat darah in-line
dengan sistem pemantauan darah tidak boleh dihangatkan dalam air atau oven microwave
6.Gunakan jarum ukuran 19 atau lebih pada vena.
7.Gunakan selang khusus yang memiliki filter darah untuk menyaring bekuan fibrin dan
bahan partikel lainnya.
8.Jangan melubangi kantung darah.
9.Untuk 15 menit pertama, berikan transfusi secara perlahan-tidak lebih dari 5 ml/menit.
10. Lakukan observasi pasien dengan cermat akan adanya efek samping.
11.Apabila tidak terjadi efek samping dalam 15 menit, naikkan kecepatan aliran kecuali jika
pasien beresiko tinggi mengalami kelebihan sirkulasi.
12. Observasi pasien sesering mungkin selama pemberian transfusi.
a.Lakukan pemantuan ketat selama 15-30 menit ntuk mendeteksi adanya tanda
reaksi atau kelebihan beban sirkulasi.
b.Lakukan pemantauan tanda vital dengan interval teratur
13.Perhatikan bahwa waktu pemberian tidak melebihi jam karena akan terjadi peningkatan
resiko poliferasi bakteri.
14. Siagalah terhadap adanya tanda reaksi samping :
a.Kelebihan beban sirkulasi.
b. Sepsis.
c. Reaksi alergi
d.Reaksi hemolitik akut.
13
2.6 Komplikasi Tranfusi Darah
a. Reaksi Tipe Cepat
Reaksi tipe cepat atau reaksi akut adalah reaksi yang terjadi selama transfusi atau dalam 24
jam setelah transfusi. Reaksi akut dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu ringan, sedang-
berat dan reaksi yang membahayakan nyawa. Reaksi ringan ditandai dengan timbulnya
pruritus, urtikaria dan rash. Reaksi ringan ini disebabkan oleh hipersensitivitas ringan. Reaksi
sedang-berat ditandai dengan adanya gejala gelisah, lemah, pruritus, palpitasi, dispnea ringan
dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya warna kemerahan di kulit,
urtikaria, demam, takikardia, kaku otot. Reaksi sedang-berat biasanya disebabkan oleh
hipersensitivitas sedang-berat, demam akibat reaksi transfusi non-hemolitik (antibodi
terhadap leukosit, protein, trombosit), kontaminasi pirogen dan/atau bakteri.
Pada reaksi yang membahayakan nyawa ditemukan gejala gelisah, nyeri dada, nyeri
di sekitar tempat masuknya infus, napas pendek, nyeri punggung, nyeri kepala, dan dispnea.
Terdapat pula tanda-tanda kaku otot, demam, lemah, hipotensi (turun ≥20% tekanan darah
sistolik), takikardia (naik ≥20%), hemoglobinuria dan perdarahan yang tidak jelas. Reaksi ini
disebabkan oleh hemolisis intravaskular akut, kontaminasi bakteri, syok septik, kelebihan
cairan, anafilaksis dan gagal paru akut akibat transfusi.
Hemolisis Intravaskular Akut
Terjadi karena transfusi sel darah merah yang tidak kompatibel, sehingga terjadi hemolisis.
Hemolisis tersebut disebabkan oleh antibodi yang terdapat di dalam plasma darah pasien. Hal
ini sering terjadi karena kesalahan penulisan formulir permintaan darah, pemberian label
yang salah pada tabung sampel yang dikirim ke bank darah, dan pengecekan darah yang
kurang memadai terhadap identitas pasien sebelum transfusi dimulai. Pasien thalassemia
memiliki risiko lebih besar untuk menerima darah yang salah jika sering berganti rumah
sakit.
Pada pasien yang sadar, tanda dan gejala biasanya muncul dalam beberapa menit
sesudah transfusi dimulai. Kadang-kadang tanda dan gejala tersebut timbul pada pemberian <
10 mL darah. Pada pasien yang tidak sadar, keadaan hipotensi dan perdarahan yang tidak
terkendali akibat Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) mungkin merupakan satu-
satunya tanda yang menunjukkan transfusi yang tidak kompatibel.
14
Kontaminasi Bakteri dan Syok Septik
Tanda-tandanya biasanya muncul dengan cepat sesudah transfusi dimulai, meskipun
kemunculannya bisa saja tertunda selama beberapa jam. Reaksi yang hebat dapat ditandai
dengan panas tinggi yang onsetnya mendadak, menggigil, dan hipotensi. Tindakan suportif
yang segera dan pemberian antibiotik dosis tinggi intravena sangat diperlukan.
Overload Cairan
Dapat menimbulkan gagal jantung dan edema paru. Overload cairan dapat terjadi karena
terlalu banyak cairan yang ditransfusikan, pemberian transfusi (infus) terlalu cepat, atau
fungsi ginjal terganggu. Keadaan ini terutama terjadi pada pasien dengan anemia kronis berat
atau pasien dengan penyakit kardiovaskular.
Reaksi Anafilaksis
Terjadi beberapa menit sesudah transfusi dimulai dan ditandai oleh kolaps kardiovaskular,
gawat nafas, dan tanpa febris. Risiko terjadinya reaksi anafilaksis akan meningkat pada
pemberian transfusi yang cepat, khususnya bila digunakan Fresh Frozen Plasma (FFP)
sebagai cairan penukar dalam terapi pertukaran plasma. Sitokin plasma dapat menjadi salah
satu penyebab bronkokonstriksi dan vasokonstriksi pada beberapa resipien tertentu.
Defisiensi IgA pada resipien merupakan kelainan langka yang dapat menyebabkan reaksi
anafilaksis yang sangat berat. Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh setiap produk darah.
Transfusion-Related Acute Lung Injury (TRALI)
Biasanya disebabkan oleh anti-netrofil spesifik atau anti-HLA antibodi dalam plasma donor.
Kegagalan faal paru yang terjadi dengan cepat biasanya muncul dalam waktu 1-4 jam
sesudah transfusi dimulai, terlihat gambaran opasitas yang difus pada rontgen toraks. Gejala
TRALI berupa dispnoe, takikardia, febris, dan hipotensi. Penatalaksanaannya meliputi
pemberian oksigen, kortikosteroid, diuretik, dan jika perlu digunakan ventilator.
Pedoman untuk penegakan diagnosis dan penatalaksanaan reaksi transfusi akut (tipe
cepat) dapat dilihat berikut ini.
a. Penegakan Diagnosis Reaksi Transfusi Tipe Cepat
KATEGORI I :
15
• REAKSI RINGAN
Tanda : Urtikaria, Ruam
Gejala : Pruritus
Kemungkinan Penyebab : Hipersensitifitas
KATEGORI II :
• REAKSI CUKUP BERAT
Tanda : Flushing, Urtikaria, Menggigil, Febris, Gelisah, Takikardia
Gejala : Kecemasan, Pruritus, Palpitasi, Dispnoe ringan, Sakit kepala
Kemungkinan Penyebab : Hipersensitifitas sedang-berat
KATEGORI III :
• REAKSI YANG MENGANCAM JIWA
Tanda: Menggigil, Febris, Gelisah, Hipotensi (TD ↓ 20%), Hemoglobinuria, DIC
Gejala: Kecemasan, Nyeri dada, Nyeri di tempat transfusi, Sesak nafas, Nyeri pinggang /
punggung, Sakit kepala, Dispnoe
Kemungkinan Penyebab : Hemolisis akut intravaskular, Kontaminasi bakteri / syok septik,
Overload cairan, Anafilaksis, TRALI
Reaksi transfusi febris nonhemolitik:
• Antibodi terhadap leukosit, trombosit
• Antibodi terhadap protein (IgA)
• Kemungkinan kontaminasi dgn bakteri
Penatalaksanaan Reaksi Transfusi Tipe Cepat
KATEGORI I :
• REAKSI RINGAN :
o Perlambat transfusi.
o Antihistamin IM (misalnya klorfeniramin 0.1 mg/kgBB).
Jika dalam 30 menit tidak tampak perbaikan klinis atau bila tanda/gejalanya memburuk,
lakukan penatalaksanaan kategori 2.
KATEGORI II :
• REAKSI CUKUP BERAT :
16
o Hentikan transfusi. Ganti set transfusi dan pertahankan jalur infus tetap terbuka dengan
pemberian salin normal.
o Antihistamin IM (misalnya klorfeniramin 0.1 mg/kgBB).
o Antipiretik oral/rektal (misalnya parasetamol 10 mg/kgBB). Hindari aspirin pada pasien
dengan trombositopenia.
o Kortikosteroid dan bronkodilator IV jika timbul gejala anafilaksis (misalnya stridor,
bronkospasme).
o Kumpulkan urin 24 jam untuk pemeriksaan hemolisis.
Jika terjadi perbaikan klinis, mulai lagi transfusi secara perlahan dengan unit darah yang
baru.
Jika dalam 15 menit tidak tampak perbaikan klinis atau bila tanda/gejalanya memburuk,
lakukan penatalaksanaan kategori 3.
KATEGORI III :
• REAKSI YANG MENGANCAM JIWA :
o Hentikan transfusi. Ganti set transfusi dan pertahankan jalur infus tetap terbuka dengan
pemberian salin normal.
o Infus salin normal (20-30 mL/kgBB) untuk mempertahankan TD sistolik. Jika ada
hipotensi, berikan infus tersebut selama 5 menit dan tinggikan kedua tungkai pasien.
o Pertahankan saluran nafas, beri oksigen aliran tinggi lewat masker oksigen.
o Adrenalin (larutan 1:1000) IM 0.01 mg/kgBB.
o Kortikosteroid dan bronkodilator IV jika timbul gejala anafilaksis (misalnya stridor,
bronkospasme).
o Diuretik IV (misalnya furosemid 1 mg/kgBB).
o Periksa urin untuk menemukan tanda hemoglobinuria.
o Kumpulkan urin 24 jam untuk memantau keseimbangan cairan.
o Perhatikan perdarahan/luka di tempat tusukan. Jika terdapat bukti klinis/laboratorium yang
menunjukkan adanya DIC, berikan:
* Konsentrat trombosit (dosis dewasa 5-6 unit), dan
* Kriopresipitat (dosis dewasa 12 unit) atau FFP (dosis dewasa 3 unit)
o Jika masih hipotensi, ulang pemberian infus salin normal (20-30 mL/kgBB) dalam 5 menit.
Berikan preparat inotropik jika tersedia.
o Jika terjadi gagal ginjal akut (K+, ureum, kreatinin ↑):
* Pertahankan keseimbangan cairan secara akurat.
17
* Ulangi suntikan diuretik.
* Berikan dopamin jika tersedia.
*Rujuk ke dokter spesialis jika diperlukan dialisis renal.
o Jika curiga bakteremia (menggigil, febris, kolaps tanda ada bukti reaksi hemolitik), berikan
antibiotik broad spectrum IV.
b. Reaksi Tipe Lambat
Delayed Haemolytic Transfusion Reactions
Gejala timbul 5-10 hari sesudah transfusi berupa febris, anemia, ikterus, dan kadang-kadang
hemoglobinuria. Biasanya tidak dilakukan terapi. Reaksi transfusi hemolitik lambat yang
berat disertai dengan gejala syok, gagal ginjal, serta DIC yang mengancam jiwa pasien
merupakan kejadian yang langka. Jika terjadi hipotensi dan oligouria, maka dilakukan terapi
seperti keadaan hemolisis intravaskular akut.
Purpura Pasca Transfusi
Komplikasi yang jarang terjadi, tetapi berakibat fatal pada tindakan transfusi sel darah merah
atau konsentrat trombosit.
Penyebabnya adalah adanya antibodi terhadap antigen spesifik-trombosit dalam darah
resipien. Paling banyak dijumpai pada pasien wanita. Gejala berupa adanya tanda perdarahan,
dan trombositopenia akut berat (< 100.000/mm3) yang terjadi 5-10 hari sesudah transfusi.
Penatalaksanaan
1. Kortikosteroid dosis tinggi.
2. Imunoglobulin intravena 2 gr/kgBB atau 0.4 gr/kgBB selama 5 hari.
3. Terapi pertukaran plasma.
4. Pantau jumlah trombosit resipien (N: 150.000-440.000/mm3).
5. Sebaiknya diberikan konsentrat trombosit dengan golongan ABO yang sama seperti
golongan darah pasien.
Berikanlah konsentrat trombosit yang tidak mengandung antigen spesifik-trombosit.
Pemulihan jumlah trombosit biasanya terjadi sesudah 2-4 minggu.
Graft vs Host Disease (GVHD)
18
Terjadi pada resipien cangkokan sumsum tulang yang mengalami imunodefisiensi, dan pada
pasien imunokompeten yang mendapat transfusi darah dari donor yang tipe jaringannya
kompatibel dengan pasien tersebut dan biasanya memiliki hubungan darah. Secara tipikal
terjadi 10-12 hari sesudah transfusi, ditandai dengan adanya febris, ruam dan deskuamasi
kulit, diare, hepatitis, serta pansitopenia. Terapi bersifat suportif dan tidak ada yang spesifik.
Sebagai pencegahan, dilakukan terapi sinar γ pada komponen sel darah untuk menghentikan
proliferasi limfosit.
c. Penularan Infeksi
Komplikasi lain dari transfusi adalah penularan infeksi seperti transmisi HIV, hepatitis,
parasit, serta berbagai bakteri. Penularan tidak hanya berasal dari pendonor, tetapi juga
berasal dari kontaminasi.
Kontaminasi bakteri mempengaruhi 0,4% konsentrat sel darah merah dan 1-2%
konsentrat trombosit. Kontaminasi bakteri pada darah donor dapat timbul sebagai hasil
paparan terhadap bakteri kulit pada saat pengambilan darah, kontaminasi alat dan manipulasi
darah oleh staf bank darah atau staf rumah sakit pada saat pelaksanaan transfusi atau
bakteremia pada donor saat pengambilan darah yang tidak diketahui. Jumlah kontaminasi
bakteri meningkat seiring dengan lamanya penyimpanan sel darah merah atau plasma
sebelum transfusi. Penyimpanan pada suhu kamar meningkatkan pertumbuhan hampir semua
bakteri. Beberapa organisme, seperti Pseudomonas tumbuh pada suhu 2-6°C dan dapat
bertahan hidup atau berproliferasi dalam sel darah merah yang disimpan, sedangkan Yersinia
dapat berproliferasi bila disimpan pada suhu 4°C. Stafilokok tumbuh dalam kondisi yang
lebih hangat dan berproliferasi dalam konsentrat trombosit pada suhu 20-40°C. Oleh karena
itu risiko meningkat sesuai dengan lamanya penyimpanan.
Kontaminasi parasit dapat timbul hanya jika donor menderita parasitemia pada saat
pengumpulan darah. Kriteria seleksi donor berdasarkan riwayat bepergian terakhir, tempat
tinggal terdahulu, dan daerah endemik, sangat mengurangi kemungkinan pengumpulan darah
dari orang yang mungkin menularkan malaria, penyakit Chagas atau leismaniasis.
d. Transfusi Darah Masif
Transfusi masif adalah penggantian sejumlah darah yang hilang atau lebih banyak dari total
volume darah pasien dalam waktu <24 jam (dewasa: 70 ml/kg, anak/bayi: 80-90 ml/kg).
Morbiditas dan mortalitas cenderung meningkat pada beberapa pasien, bukan disebabkan
oleh banyaknya volume darah yang ditransfusikan, tetapi karena trauma awal, kerusakan
19
jaringan dan organ akibat perdarahan dan hipovolemia. Seringkali penyebab dasar dan risiko
akibat perdarahan mayor yang menyebabkan komplikasi, dibandingkan dengan transfusi itu
sendiri. Namun, transfusi masif juga dapat meningkatkan risiko komplikasi.
Asidosis
Asidosis lebih disebabkan terapi hipovolemia yang tidak adekuat. Pada keadaan normal,
tubuh dengan mudah mampu menetralisir kelebihan asam dari transfusi. Pemakaian rutin
bikarbonat atau obat alkalinisasi lain tidak diperlukan.
Hiperkalemia
Penyimpanan darah menyebabkan konsentrasi kalium ekstraselular meningkat, dan akan
semakin meningkat bila semakin lama disimpan.
Keracunan sitrat dan hipokalsemia
Keracunan sitrat jarang terjadi, tetapi lebih sering terjadi pada transfusi darah lengkap masif.
Hipokalsemia terutama bila disertai dengan hipotermia dan asidosis dapat menyebabkan
penurunan curah jantung (cardiac output), bradikardia dan disritmia lainnya. Proses
metabolisme sitrat menjadi bikarbonat biasanya berlangsung cepat, oleh karena itu tidak perlu
menetralisir kelebihan asam.
Kekurangan fibrinogen dan faktor koagulasi
Plasma dapat kehilangan faktor koagulasi secara progresif selama penyimpanan, terutama
faktor V dan VIII, kecuali bila disimpan pada suhu -25°C atau lebih rendah. Pengenceran
(dilusi) faktor koagulasi dan trombosit terjadi pada transfusi masif.
Kekurangan trombosit
Fungsi trombosit cepat menurun selama penyimpanan darah lengkap dan trombosit tidak
berfungsi lagi setelah disimpan 24 jam.
DIC
DIC dapat terjadi selama transfusi masif, walaupun hal ini lebih disebabkan alasan dasar
dilakukannya transfusi (syok hipovolemik, trauma, komplikasi obstetrik). Terapi ditujukan
untuk penyebab dasarnya.
20
Hipotermia
Pemberian cepat transfusi masif yang langsung berasal dari pendingin menyebabkan
penurunan suhu tubuh yang bermakna. Bila terjadi hipotermia, berikan perawatan selama
berlangsungnya transfusi.
Mikroagregat
Sel darah putih dan trombosit dapat beragregasi dalam darah lengkap yang disimpan
membentuk mikroagregat. Selama transfusi, terutama transfusi masif, mikroagregat ini
menyebabkan embolus paru dan sindrom distress pernapasan. Penggunaan buffy coat-
depleted packed red cell akan menurunkan kejadian sindrom tersebut.
BAB III
21
KESIMPULAN
Transfusi Darah adalah pemindahan darah atau suatu komponen darah dari seseorang
(donor) kepada orang lain (resipien). Darah yang dipindahkan dapat berupa darah lengkap
dan komponen darah.
Transfusi darah telah menjadi faktor utama dalam memperbaiki dan mempertahankan
kualitas hidup bagi pasien-pasien penderita kanker, gangguan hematologi, dan cedera yang
berkaitan dengan trauma dan pasien-pasien yang menjalani bedah mayor.
Transfusi darah dapat menjadi bahaya karena komplikasi yang ditimbulkan meskipun
penting untuk mengembalikan hemeostasis.
Tujuan utama terapi cairan perioperatif termasuk trnasfusi darah adalah untuk
mengganti defisit pra, selama dan pasca bedah. Terapi dinilai berhasil apabila pada penderita
tidak ditemukan tanda-tanda hipovolemik dan hipoperfusi atau tanda-tanda kelebihan cairan.
Jenis-jenis sediaan darah yang digunakan untuk transfusi antara lain darah lengkap,
plasma, packed red cell, komponen pembekuan darah¸buffycoat-granulocyte. Masing-masing
sediaan memiliki indikasi, kontraindikasi, perhitungan, dan persiapannya.
Agar transfusi darah dapat berjalan aman¸ maka harus dilakukan sesuai prosedur,
termasuk melakukan skrining, memperhatikan universal precaution¸ dan tentu tidak
melupakan informed consent.
Tranfusi darah memiliki beberapa risiko komplikasi. Di dalamnya termasuk reaksi
transfusi tipe cepat, tipe lambat, dan penularan infeksi. Hal ini harus diketahui dan
dipersiapkan sejak sebelum dilakukan transfusi dan perlu dilakukan skrining lengkap agar
dapat meminimalkan risiko komplikasi. Bagaimana menangani reaksi trnasfusi juga harus
dipelajari dan dipersiapkan untuk mengatasi komplikasi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
22
1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua.
Transfusi Darah Pada Pembedahan 2001; 141-146
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Lange Clinical Anesthesiology, Fourth
Edition. Fluid Management and Transfusion.1996;680-700.
3. WHO. The clinical use of blood: handbook. Geneva, 2002. Didapat dari URL:
http://www.who.int/bct/Main_areas_of_work/Resource_Centre/CUB/English/
Handbook.pdf.
4. Bagian Farmakologi Klinik dan Terapeutik, Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran. Cairan dan Elektrolit Perioperatif. Indonesia 2007. Didapat dari URL:
http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/Cairan%20dan
%20Elektrolit%20Perioperatif2.pdf
5. Oklahoma Blood Institute. Transfusion Guideline for Blood Components. Didapat
dari URL:
http://www.obi.org/medicalprofessionals/transfusionmedicine/transfusionguidelines20
08.pdf
23