37
MAKALAH TEORI LEGITIMASI KEKUASAAN/ TEORI KEDAULATAN DISUSUN OLEH: KELOMPOK 1 UNIVERSITAS HALUOLEO FAKULTAS HUKUM KENDARI 2015

MAKALAH TEORI LEGITIMASI KEKUASAAN.docx

Embed Size (px)

Citation preview

MAKALAH TEORI LEGITIMASI KEKUASAAN/

TEORI KEDAULATAN

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 1

UNIVERSITAS HALUOLEO

FAKULTAS HUKUM

KENDARI

2015

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Setiap negara haruslah mempunyai kekuasaan yang jelas. Sejak dulu teori-teori yang menggolongkan negara-negara berdasarkan legitimasi kekuasaannya sudah berkembang. Meskipun Indonesia telah menganut sistem pemerintahan yang demokratis, akan tetapi perlu juga dianalisa berdasarkan sejarah-sejarah dan teori-teori yang ada.

Mengenai kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaran negara, Istilah kedaulatan sendiri seringkali dijumpai atau ditemukan dalam berbagai macam pengertian, dan masing-masing memiliki perbedaan yang prinsipil. Misalnya pengertian kedaulatan apabila dimaknai dalam perspektif hukum Internasional lebih sering dipandang dalam konteks hubungan ekstern atau hubungan antar negara, sedangkan dalam perspektif hukum Tata Negara, pengertian dipandang dalam konteks hubungan intern yaitu hubungan negara ke dalam. Kedaulatan juga dipandang sebagai konsep mengenai kekuasan tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Pemaknaan kedaulatan seperti ini merupakan arti yang bersifat teknis ilmiah yaitu dengan mengidentikkannya dengan penyelanggaraan kegiatan bernegara. Ketika membicarakan mengenai kedaulatan dalam konteks penyelenggaraan negara maka muncullah suatu pertanyaan yaitu apa dan siapa yang memegang kekuasaan tertinggi dan membuat keputusan akhir dalam kegiatan kenegaraan atau dalam bentuk pertanyaan darimanakah kedaulatan itu berasal atau bersumber sehingga padanya melekat kekuasaan tertinggi tersebut. Dalam kajian ilmu hukum dan ilmu politik dikenal adanya lima teori kedaulatan, yaitu teori kedaulatan Tuhan, teori kedaulatan Raja, teori kedaulatan Rakyat, teori kedaulatan Negara, dan teori kedaulatan Hukum.

1.2. Rumusan Masalah

Makalah ini terfokuskan pada dua masalah yang akan dibahas,yaitu :1.2.1. Legitimasi Kekuasaan

Pengeritian Legitimasi Kekuasaan Teori Legitimasi Kekuasaan Sumber Kekuasaan Pembagian Kekuasaan Bentuk-Bentuk Legitimasi Kriteria Legitimasi Konsep-konsep legitimasi pemberian kekekuasaan dalam teori politik.

1.2.2. Teori Kedaulatan Pengertian Keadulatan Teori Kedaulatan

1.3. Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk menganalisa beberapa teori-teori yang ada dan juga

mengkategorikan Negara Indonesia kedalam salah satu teori yang ada

1.4. Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

1.2. Rumusan Masalah

1.3. Tujuan Penulisan

1.4. Daftar Isi

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Legitimasi Kekuasaan Pengeritian Legitimasi Kekuasaan Teori Legitimasi Kekuasaan Sumber Kekuasaan Pembagian Kekuasaan Bentuk-Bentuk Legitimasi Kriteria Legitimasi Konsep-konsep legitimasi pemberian kekekuasaan dalam teori politik.

2.2. Teori Kedaulatan Pengertian Keadulatan Teori Kedaulatan

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan

3.2. Saran dan Kritik

3.3. Daftar Pustaka

BAB II

PEMBAHASAN

1. Legitimasi Kekuasaan

• Pengeritian Legitimasi Kekuasaan

Sebelum kita membahas apa itu legitimasi kekuasaan, sebelumnya kita terlebih dahulu memahami apa yang dimaksud kekuasaan. Konsep kekuasaan menurut Max Weber dalam Frans Magnis-Suseno (1994:54) bahwa ”kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan dan apapun dasar kemampuan itu”. Tetapi kekuasaan yang dipersoalkan disini adalah kekuasaan negara. Adalah ciri khas negara bahwa kekuasaannya memiliki wewenang. Maka kekuasaan negara itu dapat disebut ”otoritas” atau ”wewenang”.

Menurut Miriam Budiardjo dalam Frans Magnis—Suseno (1994:54) otoritas atau wewenang adalah ”kekuasaan yang dilembagakan”, yaitu kekuasaan yang tidak hanya de facto menguasai, melainkan juga berhak untuk menguasai. Wewenang adalah kekuasaan yang berhak untuk menuntut ketaatan, jadi berhak untuk memberikan perintah.

Terhadap wewenang itu timbul pertanyaan tentang apa yang menjadi dasarnya. Itulah pertanyaan tentang legitimasi atau keabsahan kekuasaan. Terhadap setiap wewenang dapat dipersoalkan apakah wewenang itu absah atau tidak, apakah mempunyai dasar atau tidak.

Konsep legitimasi berkaitan dengan sikap masyarakat terhadap kewenangan. Artinya apakah masyarakat menerima dan mengakui hak moral pemimpin untuk membuat dan melaksanakan keputusan yang mengikat masyarakat ataukah tidak. Apabila masyarakat menerima dan mengakui hak moral pemimpin untuk membuat dan melaksanakan keputusan yang mengikat masyarakat maka kewenangan itu dikategorikan sebagai berlegitimasi. Maksudnya, legitimasi merupakan penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral pemimpin untuk memerintah, membuat dan melaksanakan keputusan politik.

Secara etimologi legitimasi berasal dari bahasa latin “lex” yang berarti hukum. Kata legitimasi identik dengan munculnya kata-kata seperti legalitas, legal dan legitim. Jadi secara sederhana legitimasi adalah kesesuaian suatu tindakan perbuatan dengan hukum yang berlaku, atau peraturan yang ada, baik peraturan hukum formal, etis, adat istiadat maupun hukum kemasyarakatan yang sudah lama tercipta secara sah.

• Teori Legitimasi Kekuasaan

Kekuasaan Negara adalah suatu organisasi kekuasaan dan organisasi itu merupakan tatakerja daripada alat-alat perlengkapan negara yang merupakan suatu keutuhan, tatakerja mana melukiskan hubungan serta pembagian tugas dan kewajiban antara masing-masing alat perlengkapan negara itu untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Suatu negara pasti dipimpin oleh pemegang kekuasaan.

Obyek dan Tipe Kekuasaan

Suatu sistem politik dapat lestari apabila sistem politik secara keseluruhan mendapatkan dukungan, seperti penerimaan dan pengakuan dari masyarakat. Dengan demikian, legitimasi diperlukan bukan hanya untuk pemerintah, tetapi juga untuk unsur-unsur sistem politik yang ada. Yang menjadi obyek legitimasi bukan hanya pemerintah, tetapi juga unsur-unsur lain dalam sistem politik. Jadi legitimasi dalam arti luas adalah dukungan masyarakat terhadap sistem politik sedangkan dalam arti sempit legitimasi merupakan dukungan masyarakat terhadap pemerintah yang berwenang.

Menurut Easton dalam Ramlan Subakti (Memahami Ilmu Politik, 1999:93), terdapat tiga objek dalam sistem politik yang memerlukan legitimasi agar suatu sistem politik tidak hanya berlangsung secara terus menerus, tetapi mampu pula mentransformasikan tuntutan menjadi kebijakan umum. Ketiga obyek legitimasi itu meliputi: komunitas politik, rezim dan pemerintahan.

Sementara Andrain menyebutkan lima objek dalam sistem politik yang memerlukan legitimasi agar suatu sistem politik tetap berlangsung dan fungsional. Kelima obyek legitimasi itu meliputi: masyarakat politik, hukum, lembaga politik, pemimpin politik dan kebijakan.

Menurut Zippelius dalam Franz Magnis—Suseno (Etika Politik, 1994:54) bentuk legitimasi dilihat dari segi obyek dapat dibagi atas dua bentuk yakni :

1. Legitimasi materi wewenang

Legitimasi materi wewenang mempertanyakan wewenang dari segi fungsinya: untuk tujuan apa wewenang dapat dipergunakan dengan sah? Wewenang tertinggi dalam dimensi politis kehidupan manusia menjelma dalam dua lembaga yang sekaligus merupakan dua dimensi hakiki kekuasaan politik: yakni dalam hukum sebagai lembaga penataan masyarakat yang normatif dan dalam kekuasaan (eksekutif) negara sebagai lembaga penataan efektif dalam arti mampu mengambil tindakan.

2. Legitimasi subyek kekuasaan

Legitimasi ini mempertanyakan apa yang menjadi dasar wewenang seseorang atau sekompok orang untuk membuat undang-undang dan peraturan bagi masyarakat dan untuk memegang kekuasaan negara. Pada prinsipnya terdapat tiga macam legitimasi subyek kekuasaan:

a. Legitimasi religius

Legitimasi yang mendasarkan hak untuk memerintah faktor-faktor yang adiduniawi, jadi bukan pada kehendak rakyat atau pada suatu kecakapan empiris khususnya penguasa.

b. Legitimasi eliter

Legitimasi yang mendasarkan hak untuk memerintah pada kecakapan khusus suatu golongan untuk memerintah. Paham legitimasi ini berdasarkan anggapan bahwa untuk memerintah masyarakat diperlukan kualifikasi khusus yang tidak dimiliki oleh seluruh rakyat. Legitimasi eliter dibagi menjadi empat macam yakni:

(1) legitimasi aristoktratis : secara tradisional satu golongan, kasta atau kelas dalam masyarakat dianggap lebih unggul dari masyarakat lain dalam kemampuan untuk memimpin, biasanya juga dalam kepandaian untuk berperang. Maka golongan itu dengan sendirinya dianggap berhak untuk memimpin rakyat secara politis.

(2) legtimasi ideologis modern : legitimasi ini mengandaikan adanya suatu idiologis negara yang mengikat seluruh masyarakat. Dengan demikian para pengembangan idiologi itu memiliki privilese kebenaran dan kekuasaan. Mereka tahu bagaimana seharusnya kehidupan masyarakat diatur dan berdasarkan monopoli pengetahuan itu mereka menganggap diri berhak untuk menentukkannya.

(3) legitimasi teknoratis atau pemerintahan oleh para ahli: berdasarkan argumentasi bahwa materi pemerintahan masyarakat dizaman modern ini sedemikian canggih dan kompleks sehingga hanya dapat dijalankan secara bertanggungjawab oleh mereka yang betul-betul ahli.

(4) legitimasi pragmatis: orang, golongan atau kelas yang de facto menganggap dirinya paling cocok untuk memegang kekuasaan dan sanggup untuk merebut serta untuk menanganinya inilah yang dianggap berhak untuk berkuasa. Calah satu contoh adalah pemerintahan militer yang pada umumnya berdasarkan argumen bahwa tidak ada pihak lain yang dapat menjaga kestabilan nasional dan kelanjutan pemerintahan segara secara teratur.

Menurut Andrain dalam Ramlan Subakti (Memahami Ilmu Politik, 1999:97) berdasarkan prinsip pengakuan dan dukungan masyarakat terhadap pemerintah maka legitimasi dikelompokkan menjadi lima tipe yaitu :

1. Legitimasi tradisional; masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemimpin pemerintahan karena pemimpin tersebut merupakan keturunan pemimpin ”berdarah biru” yang dipercaya harus memimpin masyarakat.

2. Legitimasi ideologi; masyarakat memberikan dukungan kepada pemimpin pemerintahan karena pemimpin tersebut dianggap sebagai penafsir dan pelaksana ideologi. Ideologi yang dimaksudkan tidak hanya yang doktriner seperti komunisme, tetapi juga yang pragmatis seperti liberalisme dan ideologi pancasila.

3. Legitimasi kualitas pribadi; masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemerintah karena pemimpin tersebut memiliki kualitas pribadi berupa kharismatik maupun penampilan pribadi dan prestasi cemerlang dalam bidang tertentu.

4. Legitimasi prosedural; masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemerintah karena pemimpin tersebut mendapat kewenangan menurut prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

5. Legitimasi instrumental; masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemerintah karena pemimpin tersebut menjanjikan atau menjamin kesejahteraan materiil (instrumental) kepada masyarakat.

• Sumber Kekuasaan

Ada beberapa cara mengapa seseorang atau sekelompok orang memiliki kekuasaan, yaitu : (Inu Kencana, 200:54)1. Legitimate PowerLegitimate berarti penangkatan, jadi legitimate power adalah perolehan kekuasaan melalui pengangkatan. 2. Coersive PowerPerolehan kekuasaan melalui kekerasan, bahkan mungkin bersifat perebutan atau perampasan bersenjata yang sudah tentu diluar jalur konstitusional atau biasa disebut dengan kudeta. 3. Expert PowerPerolehan kekuasaan melalui keahlian seseorang, maksudnya pihak yang mengambil kekuasaan memang memiliki keahlian untuk memangku jabatan tersebut.4. Reward PowerPerolehan kekuasaan melalui suatu pemberian atau karena karena berbagai pemberian. Sebagai contoh bagaimana orang-orang kaya dapat memerintah orang-orang miskin untuk bekerja dengan patuh. Orang-orang yang melakukan pekerjaan tersebut hanya karena mengharapkan dan butuh sejumlah uang pembayaran (gaji).5. Reverent Power

Perolehan kekuasaan melalui daya tarik seseorang. Walaupun daya tarik tidak menjadi faktor utama mengapa seseorang ditentukan menjadi kepala kemudian menguasai keadaan, namun daya tarik seperti postur tubuh, wajah, penampilan dan pakaian yang parlente dalam mementukan dalam mengambil perhatian orang lain, dalam usaha menjadi kepala. 6. Information PowerKekuasaan yang dipeorleh karena seseorang yang begitu bayak memiliki keteranga sehingga orang lain membutuhkan dirinya untuk bertanya, untuk itu yang bersangkutan membatasi keterangannnya agar terus menerus dibutuhkan. 7. Connetion Power Mereka yang mempunyai hubungan yang luas dan banyak akan memperoleh kekuasaan yang besar pula, baik dilapangan politik maupun perekonomian. Yang biasa disebut dengan ”relasi”. Atau kekuasaan seseorang memiliki hubungan keterkaitan dengan seseorang yang memang sedang berkuasa, hal ini biasanya disebut denga hubunga kekerabatan atau kekekeluargaan. Menurut beberapa ahli yang dikutip Muchtar Pakpahan (Ilmu Negara dan Politik,2006:68 , ada tiga teori sumber kekuasaan yakni: 1. Teori Teokrasi.Teori ini menyatakan bahwa kekuasaan itu datangnya dari tuhan. Tuhanlah yang mengangkat orang untuk mewakili tuhan mengatur pemerintahan. 2. Teori Hukum Alam.Teori ini menyatakan bahwa kekuasaan itu ada karena diperjanjikan oleh masyarakat. Selanjutnya masyarakat membuat perjanjian untuk mengangkat siapa yang memegang kekuasaan. 3. Teori Kekuatan.Teori ini menyatakan siapa yang kuat dari antara masyarakat itu, dialah yang muncuk sebagai pemegang kekuasaan.

• Pembagian KekuasaanInu Kencana (Ilmu Politik, 2000:60) mengutip pendapat para ahli pemerintah

mengusulkan pendapat untuk membagi atau memisahkan kekuasaan, walaupun pada prinsipnya tidak pernah secara keseluruhan diikuti oleh para birokrat. Pendapat-pendapat tersebut dapat digolongkan sebagai berikut : § Eka PrajaKekuasaan dipegang oleh satu badan. Bentuk ini sudah tentu diktator (authokrasi) karena tidak ada balance (tandingan) dalam era pemerintahan. Jadi yang ada hanya pihak eksekutif saja dan bisa muncul pada suatu kerajaan absolut dan pemerintahan fasisme. § Dwi Praja

Kekuasaan dipegang oleh dua badan. Bentuk ini oleh Frank J. Goodnow dan Wodrow Wilson dikategorikan sebagai lembaga administratif (unsur penyelenggara pemerintahan) dan lembaga politik (unsur pengatur undang-undang). § Tri PrajaKekuasaan dipegang tiga badan. Bentuk ini banyak diusulkan oleh para pakar yang menginginkan demokrasi murni, yaitu dengan pemisahan atas lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tokohnya, montesquieu dan John Locke. § Catur PrajaKekuasaan dipegang empat badan. Bentuk ini baik apabila benar-benar dijalankan dengan konsekuen, bila tidak akan tampak kemubaziran. Van Vollenhoven Mengkategorikan bentuk ini yakni : 1. Regeling (Kekuasaan membuat undang-undang)2. Bestuur (Kekuasaan pemerintah)3. Politie (Kekuasaan kepolisian)4. Rechtsspraak (kekuasaan mengadili) § Panca PrajaKekuasaan dipegang lima lembaga. Bentuk ini sekarang dianut Indonesia, karena walaupun dalam hitungan tampak ada enam badan yaitu konsultatif, eksekutif, legislatif, yudikatif, inspektif, dan legislatif, namun dalam kenyataannya konsultatif (MPR) anggota-anggotanya terdiri dari anggota legislatif. Inu Kencana (Ilmu Politik, 2000:61-63), dengan mengutip pendapat beberapa ahli mengatakan pemisahan tersebut secara lengkap adalah sebagai berikut: Menurut Gabriel Almond 1. Rule Making Function 2. Rule Application Function 3. Rule Adjudication Function Menurut Montesquieu (1689-1755)1. Kekuasaan Legislatif, yaitu pembuat undang-undang 2. Kekuasaan Eksekutif, yaitu pelaksana undang-undang3. Kekuasaan Yudikatif, yaitu yang mengadili (badan peradilan) Menurut John Locke (1632-1704)1. Kekuasaan Legislatif2. Kekuasaan Eksekutif 3. Kekuasaan Federatif (untuk memimpin perserikatan)

Menurut Lemaire 1. Wetgeving: Kewenaga membuat undang-undang 2. Bestuur : Kewenangan pemerintahan3. Politie: Kewenangan Penertiban 4. Rechtsspraak: Kewenangan peradilan 5. Bestuur Zorg : Kewenangan untuk mensejahterakan masyarakat.

• Bentuk-Bentuk LegitimasiPendobrakan legitimasi kekuasaan religious melahirkan etika politik. Ada dua

perkembangan dalam pengertian manusia yang secara terpisah. Yang pertama, kesadaran bahwa hanya ada satu Allah dan segala dimensi yang lain adalah ciptaan belaka. Yang kedua, lahir bersama dengan filsafat paham modern di Yunani. Kenegaraan merupakan sesuatu yang biasa bagi mereka dan kekuasaan nampak sebagaimana adanya. Dua perkembangan penduniawian bidang kekuasaan politik itu secara mendalam mempengaruhi dua lingkungan budaya dan agama besar di dunia ini. Pertama di dunia Kristen dan kedua didunia Islam.1. Paham Umum LegitimasiMenurut Max Weber ³kekuasaan adalah kemampuan untul, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawaanan, dan apa pun dasar kemampuan ini´. Setiap kekuasaan Negara memiliki otoritas dan wewenang. Otoritas adalah kekuasaan yang dilembagakan, yaitu kekuasaan yang tidak hanya de facto menguasai, melainkan juga berhak untuk menuntut ketaatan, jadi berhak untuk memberikan perintah. Wewenang memiliki keabsahan apabila sesuai dengan norma-norma yang ada. 2. Obyek LegitimasiAda dua pertanyaan legitimasia. Legitimasi materiWewenang mempertanyakan wewenang dari segi fungsi. Wewenang tertinggi dalam dimensi politis kehidupan manusia menjelma dalam dua lembaga yang sekaligus merupakan dua dimensi hakiki kekuasaan politik. Dalam hukum sebagai lembaga penataan masyarakat yang normatif, dan dalam kekuasaan negara sebagai lembaga penataan efektif. b. Legitimasi subyek kekuasaanMempertanyakan apa yang menjadi dasar wewenang seseorang. Ada 3 macam legitimasi subyek kekuasaan, yaitu legitimasi religius, legitimasieliter, legitimasi demokratis.a. Legitimasi religious

Mendasarkan hak untuk memerintah pada faktor-faktor yang diduniawi. Ada dua paham legitimasi religius, yaitu penguasadipandang sebagai manusia yang memiliki kekuatan-kekuatanadiduniawi dan wewenang penguasa pada penetapan oleh Allah. Perbedaan antara dua paham tersebut ialah bahwa paham gaib tidak memungkinkan tuntutan legitimasi moral, sedangkan paham penetepan oleh Allah Yang Esa malah mempertajam tuntutan itu. b. Legitimasi eliterMendasarkan hak untuk memerintah pada kecakapan khusus suatu golongan untuk memerintah. Untuk memerintah rakyat dibutuhkan kualifikasi khusus. Kita dapat membedakan antara sekurang-kurangnya empat macam legitimasi eliter. Yang tertua adalah legitimasi arsitokratis (suatu golongan dianggap lebih unggul dari masyarakat lain dalam kemampuan memimpin), legitimasi pragmatis (golongan yang de facto menganggap diri paling cocok untuk memegang kekuasaan dan sanggup untuk merebut serta untuk menangani), legitimasi ideologis (mengandaikan ada suatu ideology yang mengikat seluruh masyarakat), legitimasi teknokratis ( dizaman yang modern ini hanya mereka yang bertanggung jawab yang dapat menjalankan pemerintahan) c. Legitimasi demokratisBerdasarkan prinsip kedaulatan rakyat, yang akan merupakan salahsatu pokok pembahasan dalam buku ini. • Kriteria LegitimasiPada prinsipnya ada 3 kemungkinan kriteria legitimasi, yaitu :a. Legitimasi SosiologisLegitimasi sosiologis yaitu mempertanyakan mekanisme motivatif mana yang nyata-nyata memmbuat masyarakat mau menerimawewenang penguasa. Sejauh sosiologis membatasi diri pada penggambaran fungsi-fungsi yang terdapat dalam masyarakat, sosiologis mengajukan pertanyaan apakah, dan karena motivasi manakah, suatu tatanan kenegaraan diterima dan disetujui oleh masyarakat. Max Weber merumuskan tiga motivasi penerimaan kekuasaan klasik :· Legitimasi Tradisional Adalah keyakinan masyarakat tradisional, bahwa pihak yangmenurut tradisi lama memegang pemerintahan memang berhak untuk berkuasa (ex : bangsawan atau keluarga raja)· Legitimasi Karismatik Adalah rasa hormat, kagum atau cinta masyarakat kepada seorang pribadi sehingga dengan sendirinya bersedia untuk taatkepadanya (ex : seseorang yang dianggap memiliki kesaktian)· Legitimasi Rasional-Legal Adalah kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang melandasi kedudukan seorang pemimpin

b. Legalitas Kata “legal”berarti “sesuai dengan hukum”. Legalitas adalah kesesuaian dengan hukum yang berlaku. Legalitas adalah salah satu kemungkinan bagi keabsahan wewenang dan menuntut agar wewenang dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku. Adalah cukup jelas bahwa legalitas tidak mungkin merupakan tolak ukur paling fundamental bagikeabsahan wewenang politis, karena legalitas hanya dapat memperbandingkan suatu tindakan dengan hukum yang berlaku, maka selalu sudah diandaikan keabsahan hukum. Pendasaran wewenang politik pada legalitas akhirnya merupakan regressus ad infinitum (mundur tanpa akhir) karena hukum positif yang mendasari legalitas selalu harus berdasarkan suatu hukum positif lagi.Dengan kata lain, legitimasi paling fundamental tidak dapat didasarkan pada penetapan hukum positif. c. Legitimasi EtisMempersoalkan keabsahan wewenang kekuasaan politik dari seginorma-norma moral. Setiap tindakan negara (eksekutif atau legislatif) dapat harus dipertanyakan dari segi norma-norma moral. Legitimasietis yang menjadi pokok bahasan etika politik tidak menyangkut masing-masing kebijaksanaan dari kekuasaan politik, melainkan dasar kekuatan politis itu sendiri. d. Kekhasan Legitimasi Etisa.Legitimasi etis dan legalitasLegitimasi etis dimaksud pembenaran atau pengabsahan wewenang negara berdasarkan prinsip-prinsip moral, maka legalitas menyangkut fungsi-fungsi kekuasaan negara dan menuntut agar fungsi-fungsi itu diperoleh dan dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku. Namun legalitas semata-mata tidak dapat menjamin legitimasi etis. Dikarenakan,legalitas hanya memakai hukum yang berlaku sebagai kriteria keabsahan.

• Konsep-konsep legitimasi pemberian kekekuasaan dalam teori politik.

Dalam sistem demokrasi, kekuasaan yang dimiliki oleh seorang pemimpin berasal dari rakyat berdasarkan suatu perjanjian yang dibuat antara pemimpin dengan rakyat yang dinamakan dengan kontrak sosial. Menurut Hobbes, manusia sebelum adanya negara dalam keadaan anarkis, mementingkan diri sendiri, penuh dendam kesumat, bertindak ganas dan sewenang-wenang. Manusia digambarkan memiliki hak alamiah (natural right) tanpa batas. Kepemilikan hak tanpa batas ini mengakibatkan perselisihan tanpa kesudahan. Tegasnya manusia digambarkan bukan hanya pra sosial akan tetapi juga mengalami pra politik. Jika hal ini dibiarkan berkepanjangan akan mengakibatkan punahnya kehidupan manusia. oleh karena itu mereka bersepakat untuk menyerahkan segala hak mereka kepada individu atau lembaga tertentu yang dinamakan dengan sovereign body untuk mengatur mereka. Sovereign body tidak

membuat perjanjian apapun dengan masyarakat bahkan sebaliknya masyarakatlah yang mengakui dan menjustifikasi serta mengikat janji taat setia kepadanya.

Teori ini berkembang selangkah lagi dengan munculnya John Locke yang beranggapan bahwa manusia pra negara hanyalah manusia pra politik bukannya pra sosial sebagaimana digambarkan Hobbes. Walaupun tanpa institusi politik, manusia dikatakan hidup dibawah peraturan undang-undang alamiah (law of nature). Permasalahan muncul ketika tidak ada lembaga yang menafsirkan undang-undang tersebut, sehingga masing-masing individu menafsirkan sesuai dengan kehendak masing-masing. Keadaan kacaupun terjadi apabila kepentingan saling bertentangan. Berdasarkan hal ini, maka diperlukan suatu lembaga yang dapat menafsirkan dan mengimplimentasikan undang-undang yang dapat diterima oleh semua kalangan. Dengan demikian maka sebuah masyarakat sipil dirasakan perlu untuk diwujudkan.

Menurut Locke, perjanjian yang dibuat adalah penyerahan kekuasaan kepada masyarakat bukan kepada Negara sebagaimana pandangan Hobbes. Dengan demikian Negara ada demi kepentingan rakyat bukan sebaliknya. Rakyat masih memiliki kebebasan individu sebagaimana sebelum terwujudnya Negara karena yang diserahkan hanya hak untuk melaksanakan undang-undang. Negara hanya boleh memerintah atas persetujuan rakyat untuk memelihara dan menjaga kesejahteraan rakyat. Pada sisi lain pemerintah tidak memiliki hak untuk berbuat sewenang-wenang terhadap rakyat. Apabila tujuan yang disepakati-menjaga kesejahteraan rakyat- tidak tercapai maka hak rakyat untuk menentang tidak boleh dibelenggu. Teori Locke yang menyatakan pemerintahan ada dengan restu rakyat merupakan dasar sistem demokrasi perwakilan yang dianut sekarang.

Teori kontrak sosial berkembang lebih jauh dengan kehadiran pemikir politik Perancis Jean Jaques Rosseuau yang berpandangan bahwa manusia sebelum adanya Negara berada dalam keadaan tenteram dan aman. Bagaimanapun keadaan ini berubah dengan bertambah banyak jumlah masyarakat sehingga terjadi pergesekan yang mengakibatkan huru-hara dan pertumpahan darah akibat mempertahankan kepemilikan pribadi (private property). Persengketaan dalam mempertahankan hak peribadi dan konflik antara golongan kaya dengan miskin membuat manusia mencari jalan keluar dengan mengikat suatu perjanjian bersama. Dalam perjanjian tersebut semua hak individu diserahkan kepada masyarakat. Penyerahan ini membuat masyarakat berdaulat dan berkuasa, disinilah masyarakat sipil (civil Society) lahir.

Rosseuau memperkenalkan suatu konsep baru dalam kontrak sosial yang berbeda dengan konsep Hobbes dan Locke yang berupa konsep “kehendak umum” (general Will). Berasaskan konsep ini maka segala bentuk undang-undang yang dibuat harus sesuai dengan kehendak umum, dan pemimpin Negara hanya pelaksana keputusan rakyat. Dengan demikian Rosseuau dapat dikatakan cenderung menyokong sistem demokrasi langsung, dimana jika perlu

semua orang turut dilibatkan dalam mengamil keputusan sebelum dilaksanakan oleh kepala Negara.

Konsep yang dikemukakan oleh Rosseuau jelas menjadi penguat konsep demokrasi dan asas kedaulatan rakyat. Dengan demikian kehendak rakyat merupakan penentu dalam setiap apa yang dilakukan oleh kepala Negara, bukannya kekerasan. Penekanan kepada konsep kehendak umum memperlihatkan betapa Rosseuau mendukung ciri-ciri demokrasi langsung yang berupa pemilihan umum dan jajak pendapat (referendum) sebagai unsur penting dalam membuat keputusan. Besarnya kekuasaan yang dimiliki rakyat juga memberikan justifikasi kebolehan menentang pemerintahan yang sewenang-wenang.

Sungguhpun konsep perjanjian masyarakat tersusun dengan begitu rapi, namun pada hakikatnya konsep ini adalah bersifat andaian dan hipotetikal yang belum dapat dibuktikan secara nyata dalam tataran praktis. Sedangkan konsep bai’ah dalam perspektif Islam bukan hanya andaian dan angan-angan, akan tetapi telah dibuktikan dalam sejarah dan benar-benar berlaku secara nyata semenjak khalifah pertama dilantik oleh rakyat.

2. Teori Kedaulatan

• Pengertian Keadulatan

Menurut J.H.A. Logemann, Pengertian Kedaulatan Negara adalah kekuasaan mutlak atau kekuasaaan tertinggi atas penduduk dan wilayah bumi beserta isinya yang dipunyai oleh suatu sistem negara nasional yang berdaulat.

Pengertian Kedaulatan Negara dalam Arti kenegaraan adalah kekuasaan penuh dan tertinggi dalam suatu negara untuk mengatur seluruh wilayahnya tanpa campur tangan dari pemerintah negara lain.

Kedaulatan merupakan salah satu syarat beridirinya suatu negara. Salah satu unsur dari negara ialah pemerintah yang berkedaulatan. Pemerintah dalam suatu negara harus memiliki kewibawaan (authority) yang tertinggi (supreme) dan tidak terbatas.

Kedaulatan negara ini bersifat asli, tertinggi dan tidak terbagi-bagi.1. Asli, yang berarti bahwa bukan berdasarkan kekuasaan lain.2. Tertinggi, yang berarti bahwa tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi di atasnya.3. Tidak dapat dibagi-bagi, yang berarti bahwa ke dalam maupun ke luar negara itu merupakan kekuasaan sepenuhnya.

Adanya kewibawaan yang tertinggi dan tidak terbatas dapat dilihat pada kekuasaan negara yang dapat memaksa itu. Dengan demikian istilah "yang tertinggi (supreme)"

menimbulkan adanya pemerintahan yang mempunyai kekuasaan yang tertinggi dan tidak terbatas, kekuasaan negara yang mempunyai monopoli dalam menggunakan kekuasaan fisik.

• Teori Kedaulatan

Sejak awalnya, teori tentang kekuasaan negara tidak pernah terlepas kaitannya dengan pembahasan siapa yang memegang kekuasaan negara tersebut dan darimana kekuasaan tersebut diperoleh. Hal ini disebabkan negara bukanlah benda mati yang dapat bergerak sendiri, melainkan sebuah organisasi yang diselenggarakan oleh sekelompok orang atas masyarakat dengan tujuan tertentu. Pendapat tersebut juga dapat dipahami bahwa di dalam setiap negara terdapat kekuasaan yang dimiliki negara untuk memaksakan kehendak pada warga negaranya. Oleh karena itu, pembahasan tentang siapa yang menyelenggarakan negara dan dari mana kekuasaan tersebut harus dikaitkan dengan pembahasan teori kekuasaan negara, sehingga dapat memberikan jawaban apakah yang menjadi dasar adanya kekuasaan negara tersebut.

Pembahasan teori kekuasaan negara merupakan bagian dari teori negara karena teori kekuasaan negara merupakan turunan dari teori negara. Maka dari itu, didalam pembahasan teori kekuasaan negara pasti juga berbicara teori negara. Pemikiran tantang teori negara pun sudah dimulai sejak zaman romawi kuno sampai zaman moderen sekarang ini. Perkembangan ekonomi, budaya dan politik juga menyebabkan teori negara mengalami perkembangan yang signifikan. Hakekat negara secara sederhana dapat diartikan sebuah organisasi masyarakat, organisasi yang dibentuk karena adanya keinginan hidup besama di dalam pemenuhan kebutuhannya.

Aristoteles yang merupakan seorang ahli filsafat dari yunani mengatakan bahwa pada hakekatnya menusia merupakan mahluk sosial (zoon politikon).Oleh sebab itu, pada manusia terdapat suatu keinginana untuk hidup bersama yang pada akhirnya membentuk suatu negara yang bersifat totaliter. Negara menurut Aristoteles merupakan bentuk tertinggi dari kehidupan bermasyarakat, negara terbentuk secara alamiah. Dalam negara tersebut terdapat kekuasaan terhadap orang lain yang memiliki kewenangan membuat undang-undang. Plato mengidealkan yang memiliki kekuasaan atas negara tersebut adalah seorang filsuf karena hanya filsuf yang dapat melihat persoalan yang sebenarnya di dalam kehidupan dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Dasar pemikiran tersebut yang kemudian diadopsi oleh para kaum pemikir gereja yang melahirkan teori hukum kodrat. Menurut teori ini maka kekuasaan tertinggi pada hakekatnya berasal dari Tuhan. Sebagaimana dikatakan Thomas Aquinas, teori hukum kodrat adalah teori etis dan hukum kodrat apa yang disebut sebagai kewajiban moral. Thomas berpendapat bahwa monarchi adalah bentuk pemerintahan yang terbaik, yang dipimpin oleh seorang raja. Raja memperoleh kekuasaan dari Tuhan, dalam menjalankan pemerintahanya raja mengharapkan anugrah dari Tuhan dan ia selain sebagai penguasa rakyat ia juga merupakan hamba Tuhan.

Pada abad ke-17 dan ke-18, dasar pemikiran kekuasaan-kekuasaan raja mulai mengalami perubahan, dari yang bersifat ketuhanan menjadi bersifat duniawi. Dasar pemikiran

ini salah satunya dikemukakan oleh Thomas Hobbes. Thomas Hobbes menjelasakan bahwa di dalam keadaan alamiahnya manusia hidup didalam keadaan yang kacau balau. Thomas Hobbes menggambarkan keadaan ini bahwa manusia yang satu merupakan srigala bagi manusia yang lainnya (homo homini lupus). Jadi dalam keadaan alamiahnya manusia tidak ada ketentraman hidup, rasa takut menghantui lapisan masyarakat oleh karena itu manusia membuat perjanjian untuk membentuk negara. Pembentukan negara tersebut bertujuan melindungi kehidupan manusia tersebut.Ketika perjajian itu dilakukan semua hak-hak alamiah mereka diserahkan pada negara, sedangkan negara tidak dibebani kewajiban apapun termasuk untuk dapat dituntut oleh individu. Jadi negara bukanlah patner dalam perjajian itu, melainkan hasil buahnya.

Berbeda dengan Thomas Hobbes, Jhon Locke menjelaskan bahwa di dalam keadaan alamiah (state of nature), manusia memiliki hak yang sama untuk mempergunakan kemampuan mereka manusia secara alamiah dalam keadaan yang baik. Oleh karena itu, keadaan alamiah tampak sebagai “a state of peace, good will, mutual assistance, and preservation”.

Akan tetapi, kondisi tersebut menjadi berubah manusia mengenal uang. Dengan adanya uang ini, tidak ada lagi batas alamiah yang sanggup menghindari terjadinya akumulasi kekayaan oleh sedikit orang. Akumulasi kekayaan oleh sedikit orang ini kemudian menimbulkan keadaan perang (state of war). Dalam situasi yang dikuasai oleh ekonomi uang ini, masyarakat tidak dapat bertahan tanpa pembentukan negara yang menjamin milik pribadi

Dengan demikian, menurut Locke, negara itu didirikan untuk melindungi hak milik pribadi.Negara didirikan bukan untuk menciptakan kesamaan atau untuk mengotrol pertumbuhan milik pribadi yang tidak seimbang, tetapi justru untuk tetap menjamin keutuhan milik pribadi yang semakin berbeda-beda besarnya. Hak milik (property) yang dimaksud di sini tidak hanya berupa tanah milik (estates), tetapi juga kehidupan (lives) dan kebebasan (liberties). Locke menyebut hak-hak ini dengan istilah inalienable rights (hak-hak yang tidak asing) dan adanya negara justru didirikan justru untuk melindungi hak-hak asasi tersebut. Jadi segala kekuasaan yang dimiliki negara dimilikinya karena, dan sejauh, didelegasikan oleh para warga negaranya.

Terakhir, Jean Jacques Rousseau. Jean Jacques Rousseau menjelaskan di dalam kehidupan alamiahnya manusia hidup secara polos dan mencintai diri secara sepontan di mana manusia belum melakukan pertikaian melainkan keadaan aman dan bahagia. Pada keadaan ini manusia hidup hanya di dalam pemenuhan kebutuhan pribadinya. Tetapi pada akhirnya keadaan alamiah manusia tidak dapat dipertahankan kembali jika setiap manusia tidak dapat lagi mampu mengatasi keadaan dalam menjaga dirinya sendiri. Oleh karena itu, perlu perubahan pola kehidupannya, yakni membentuk suatu kesatuan dengan menghimpun diri bersama orang lain.

Manusia akan membentuk suatu negara untuk mempertahankan dan melindungi pribadi dan anggotanya, di dalam perkumpulan itu masing-masing menyatu dalam suatu kelompok tetapi manusia tetap bebas sebagai seorang individu. Hal ini dapat dikatakan bahwa setiap individu menyerahkan diri dan seluruh kekuasaannya untuk kepentingan bersama, di

bawah kepentingan tertinggi yaitu kehendak umum (volante generale) dan mereka menerima setiap anggotanya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan.Peyerahan kekuasaan ini dapat dikatakan sebagai kontrak sosial, tetapi jika kontrak sosial itu dilanggar maka masing-masing kembali kepada hak-hak alamiah mereka. Hal ini berarti Rousseau menginginkan adanya kedaulatan rakyat secara menyeluruh.

Berdasarkan pemikiran-pemikiran kekuasaan negara tersebut dapat disimpulkan bahwa pembahasan siapa yang memegang kekuasaan negara dan darimana kekuasaan diperoleh berkaitan dengan kedaulatan. Kedaulatan tersebut dapat dibedakan atas Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Raja, Kedaulan Negara, kedaulatan Hukum dan Kedaulatan Rakyat. Teori-teori kedaulatan tersebut pada dasarnya mempertanyakan hak moral apakah yang dijadikan legitimasi bagi setiap orang atau sekelompok orang atau bagian suatu pemerintahan atau kekuasaan yang dimilikinya, sehingga mempunyai hak untuk memegang dan mepergunakan kekuasaan serta menuntut kepatutan atas kekuasaan dan otoritas yang dimiliki.

Negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat (people souvereignty). Konsep kebebasan/persamaan dan konsep kedaulatan rakyat merupakan dasar dari demokrasi. Kedaulatan rakyat berarti pemilik kekuasaan tertinggi dalam negara adalah rakyat atau yang dikenal adanya selogan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kedaulatan rakyat Indonesia disalurkan dan diselenggarakan melalui prosedure konstitusional. Hal ini menunjukan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum yang Demokratis (democratische rectsstaat) dan Negara Demokrasi yang berdasar atas Hukum (constitusional democracy) yang tidak terpisah satu sama lain, sebagaimana menurut Jimly Asshiddiqie

Dalam sistem konstitusional Undang-Undang Dasar, pelaksanaan kedaulatan rakyat itu disalurkan dan diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi (constitutional democracy). Karena itu, prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dan kedaulatan hukum (nomocratie) hendaklah diselenggarakan secara beriringan sebagai dua sisi dari mata uang yang sama. Untuk itu, Undang-Undang Dasar negara kita menganut pengertian bahwa Negara Indonesia itu adalah Negara Hukum yang Demokratis (democratische rectsstaat) dan sekaligus adalah Negara Demokrasi yang berdasar atas Hukum (constitusional democracy) yang tidak terpisah satu sama lain.

Kedaulatan rakyat deselengarakan langsung dan melalui sistem perwakilan. Henry B. Mayo dalam buku Introductions to Democratic Theory mengatakan bahwa sistem politik yang demokrasi ialah dimana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Berdasarkan pendapat tersebut, diselenggarakan langsung dan sistem perwakilan (direct demokracy) diwujudkan melalui pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil rakyat.

Kata daulat dan kedaulatan berasal dari bahasa Arab, yakni daulah yang berarti kekuasaan. Kedaulatan dapat diartikan sebagai kekuasaan mutlak dan tertinggi yang berada dalam suatu negara. Prof. Soehino, mengartikan kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi, yakni kekuasaan yang dalam taraf terakhir dan tertinggi yang wewenang membuat keputusan.

Kedaulatan juga dapat bermakna teknis operasional, yaitu merupakan konsep mengenai kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaran negara, maksudnya adalah apa dan siapa yang membuat keputusan akhir dalam kegiatan bernegara. Dalam kajian ilmu hukum dan ilmu politik dikenal adanya lima teori kedaulatan, yaitu teori kedaulatan negara, teori kedaualatan Tuhan, teori kedaulatan Raja, teori kedaulatan Rakyat, dan teori kedaulatan Hukum.

Sementara Hamid S. Attamimi juga menyebutkan lima ajaran kedaualatan namun mengganti teori kedaulatan Tuhan dengan ajaran kedaulatan dalam lingkungan sendiri. Sedangkan Wirjono Prodjodikoro hanya menyebutkan empat ajaran kedaulatan saja, tanpa memasukkan ajaran kedaulatan Raja. Adapun beberapa macam teori kedaulatan tersebut diantaranya sebagai berikut :

a. Kedaulatan Tuhan

Teori ini dianggap sebagai teori kedaulatan yang pertama dalam sejarah. Teori ini mengajarkan bahwanegara dan pemerintah mendapatkan kekuasaan tertinggi dari Tuhan sebagai asal segalasesuatu (Causa Prima).1[1]

Menurut teori ini, kekuasaan berasal dari Tuhan yang diberikan kepada tokoh-tokoh negara terpilih, yang secara kodrati ditetapkan-Nya menjadi pemimpin negara dan berperan selaku wakil Tuhan di dunia. Teori ini umumnya dianut oleh raja-raja yang mengaku sebagai keturunan dewa, misalnya dalam sejarah para raja Mesir Kuno, Kaisar Jepang, Kaisar China, Raja Belanda ( Bidde Gratec Gods, kehendak Tuhan), Raja Ethiopia (Haile Selas, Singa penakluk dari suku Yuda pilihan Tuhan). Demikian pula dianut oleh para raja Jawa zaman Hindu yang menganggap diri mereka sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Ken Arok bahkan menganggap dirinya sebagai titisan Brahmana, Wisnu, dan Syiwa sekaligus. Pelopor teori kedaulatan Tuhan antara lain: Augustinus (354-430), Thomas Aquino (1215-1274), juga F. Hegel (1770-1831) dan F.J. Stahl (1802-1861). Karena berasal dari Tuhan, maka kedaulatan negara bersifat mutlak dan suci. Seluruh rakyat harus setia dan patuh kepada raja yang melaksanakan kekuasaan atas nama dan untuk kemuliaan Tuhan. Menurut Hegel, raja adalah manifestasi keberadaan Tuhan. Maka, raja/ pemerintah selalu benar, tidak mungkin salah.

b. Teori Kedaulatan Raja

Pada abad pertengahan teori kedaulatan Tuhan berkembang menjadi teori kedaulatan Raja. Teori ini menganggap bahwa pada dasarnya kedaulatan Tuhan dijelmakan dalam kekuasaan seorang raja maupun ratu yang berkuasa secara turun temurun, mereka menganggap bahwa legitimasi atas kekuasaannya merupakan perintah Tuhan yang mutlak. Akibatnya kekuasaan raaja atau ratu menjadi mutlak yang kemudian melahirkan pula ajaran tentang kedaulatan raja. Ia bahkan dianggap tidak perlu menaati hukum moral agama, bahkan kekuasaannya berada di atas konstitusi, karena status-nya sebagai representasi/ wakil Tuhan di dunia. Dalam konteks penerapan kedaulatan raja, kerena sifatnya yang sangat absolut, maka kekuasaan raja menjadi tirani bagi rakyatnya. Adapun peletak dasar teori ini adalah Niccolo Machiavelli (1467-1527) melalui karyanya, Il Principe. Ia mengajarkan bahwa negara harus

1

dipimpin oleh seorang raja yang berkekuasaan mutlak. Sedikit berbeda dengan Machavelli, Jean Bodin menyatakan bahwa meskpiun kedaulatan negara dipersonifikasikan dalam pribadi seorang raja, namun raja tetap harus menghormati hukum kodrat, hukum antar-bangsa, dan konstitusi kerajaan ( leges imperii). Di Inggris teori ini dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679) yang mengajarkan bahwa kekuasaan mutlak seorang raja justru diperlukan untuk mengatur negara dan menghindari homo homini lupus.

c. Teori Kedaulatan Rakyat.

Teori ini menyatakan bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat, karena pada dasarnya dalam menjalankan roda pemerintahan, pemerintah harus berpijak pada kehendak rakyat. Inti ajaran dari teori kedaulatan rakyat adalah pertama, kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat (teori ajaran demokrasi) dan kedua, adanya jaminan konstitusi terhadap hak asasi manusia. Teori ini juga memandang dan memaknai bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat, sehingga dalam melaksanakan tugasnya pemerintah harus berpegang pada kehendak rakyat yang lazimnya disebut dengan demokrasi. Rakyatlah penentu akhir penyelenggaraan kekuasaan dalam suatu negara.

Menurut Jimly teori kedaulatan rakyat inilah yang akan menderivasikan diri menjadi teori demokrasi , karena demokrasi merupakan praksis dari teori kedaulatan rakyat dalam suatu sistem politik , oleh karenanya kedua istilah (kedaulatab rakyat dan demokrasi) dapat disamakan. Teori ini juga menyebutkan bahwa kedaulatan rakyat diwujudkan dalam pernyataan rakyat untuk menyampaikan kehendaknya. Menurut teori ini negara memperoleh kekuasaan dari rakyatnya bukan dari Tuhan atan dari Raja. Rakyatlah yang menentukan corak dan cara pmerintahan diselenggarakan dak rakyat pulalah yang menentukan tujuan yang hendak dicapai oleh negara dalam pemerintahannya itu.

Ajaran kedaulatan rakyat lahir dari pemikiran J.J. Rousseau yang menyatakan bahwa kedaulatan tidak bisa lepas dari rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Johanes Althuisiss juga berpendapat bahwa setiap susunan pergaulan hidup manusia terjadi dari perjanjian masyarakat yang tunduk kepada kekuasaan, dan pemegang kekuasaan itu dipilih oleh rakyat. Pendapat ini didukukung John Locke yang menyatakan bahwa kekuasaan negara berasal dari rakyat, bukan dari raja. Menurut dia, perjanjian masyarakat menghasilkan penyerahan hak-hak rakyat kepada pemerintah dan pemerintah mengembalikan hak dan kewajiban asasi tersebut kepada rakyatnya, melalui peraturan perundang-undangan.

d. Teori Kedaulatan Negara

Kemunculan teori ini dianggap sebagai kelanjutan dari teori kedaulatan rakyat. Ajaran ini pertama kali muncul di Jerman. Kemunculan teori ini terkonsepsikan dalam rangka mempertahankan kedudukan raja yang pada saat itu mendapatkan dukungan dari tiga lapisan masyarakat yang cukup besar, baik dari golongan bangsawan (junkertum), golongan militer, maupun alat-alat pemerintah atau birokrasi. Pada saat itu sebenarnya ajaran kedaulatan rakyat sudah dikenal di Jerman, hanya saja ajaran ini dianggap berbahaya, karena melalui kedualatan yang dimiliki rakyatnya, rakyat dapat saja melakukan pemberontakan terhadap raja, maka atas alasan inilah raja membuat konsepsi ajaran baru untuk menandingi ajaran kedaulatan rakyat.

Konsepsi yang dibangun raja adalah bahwa sejatinya rakyat membentuk dirinya menjadi negara, oleh karenanya rakyat identik dengan negara. Jika rakyat berdaulat, maka negara juga berdaulat. Namun demikian karena entitas negara merupakan hal yang abstrak, maka timbul pertanyaan siapakah yang dapat memegang kekuasaan negara. Disinilah posisi raja sebagai wujud yang konkrit yang dianggap sebagai representasi dari sebuah negara, maka rajalah yang memegang kekuasaan negara. Peletak dasar teori ini antara lain: Jean Bodin (1530-1596), F. Hegel (1770-1831), G. Jellinek (1851-1911), Paul Laband (1879-1958).

Teori kedaulatan negara mengajarkan bahwa kekuasaan tertinggi terletak pada negara. Sumber kedaulatan adalah negara, yang merupakan lembaga tertinggi kehidupan suatu bangsa. Kedaulatan timbul bersamaan dengan berdirinya suatu negara. Demikian juga hukum dan konstitusi, juga merupakan kehendak negara, diperlukan negara, dan diabdikan kepada kepentingan negara. Menurut Jimly teori kedaualatan negara biasanya dibicarakan dalam konteks hukum internasional karena teori kedaulatan ini bisa dipandang sebagai konsep kekuasaan negara yang bersifat eksternal yaitu hubungan antar negara, sementara ajaran kedaulatan lainnya dipandang sebagai konsep kekuasaan yang besifat internal dan dianggap penting untuk dibahas dalam kajian Hukum Tata Negara. Dalam pengertian ini, Boer Mauna berpendapat bahwa kedaulatan negara diartikan sebagai kekuasaan tertinggi yang dimiliki suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai dengan kepentingannya, selama tidak bertentangan dengan hukum internasional.

e. Teori Kedaulatan Hukum

Kedaulatan hukum adalah sebuah teori kedaulatan yang diungkapkan oleh Krabbe sebagai bentuk penyangkalannya terhadap teori kedaulatan negara yang terutama diajarkan oleh mazhab Deutsche Publizisten. Teori kedaulatan hukum menunjukkan bahwa kekuasaan yang tertinggi tidak terletak di tangan raja dan bukan juga berada di tangan negara, melainkan berada ditangan hukum yang bersumber pada kesadaran hukum tiap-tiap orang sebagai anggota masyarakat. Teori ini menyatakan bahwa hukum merupakan pernyataan penilaian yang muncul atau bersumber pada kesadaran hukum manusia itu sendiri.

Kedaulatan hukum menunjukkan bahwa hukum merupakan sumber kedaulatan dimana kesadaran hukum seseorang akan membuatnya mampu membedakan mana sesuatu yang adil dan mana sesuatu yang tidak adil. Teori ini juga dapat dikaitkan dengan prinsip Rule of Law yang dikembangkan oleh seorang A.V. Dicey. Prinsip yang kemudian berkembang di Amerika Serikat juga menjadi jargon The Rule of Law and Not a Man yakni prinsip yang menganggap bukan orang yang menjadi pemimpin tetapi hukum sebagai pemimpin itu sendiri. Berdasarkan pemikiran teori ini, kekuasaan pemerintah berasal dari hukum yang berlaku. Hukumlah (tertulis maupun tidak tertulis) yang membimbing kekuasaan pemerintahan. Etika normatif negara yang menjadikan hukum sebagai “panglima” mewajibkan penegakan hukum dan penyelenggara negara dibatasi oleh hukum. Pelopor teori Kedaulatan Hukum antara lain: Hugo de Groot, Krabbe, Immanuel Kant dan Leon Duguit.

B. Teori Demokrasi

Gagasan dan praktik demokrasi pertama kali berkembang di Yunani. Demokratia Yunani kuno diberlakukan setelah diadakannya reformasi sistem pemerintahan di negara kota (city state) Athena oleh Kleisthenes pada tahun 508 SM. Kleisthenes memperoleh kekuasaan setelah tahun 510 SM. Pada saat itu, Hipias, salah seorang teman Kleisthenes yang lalim dalam kepemimpinannya digulingkan oleh sekelompok bangsawan atas bantuan sparta, yang kemudian setelah itu terjadi konflik antar fraksi. Sebagai seorang aristokrat yang cerdas, Klesithenes dengan bantuan rakyat dapat mengalahkan rival-rivalnya. Segera setelah berkuasa, ia meletakan dasar-dasar yang kokoh bagi demokrasi Athena. Konsep Kleisthenes ini kemudian menghasilkan lembaga penting yang bernama Majelis Lima Ratus yang keanggotaannya terbuka bagi warga negara baik laki-laki maupun perempuan dengan cara pemilihan menggunakan mekanisme undian. Majelis ini bertugas mengangkat dan memberhentikan para pemimpin, menolak dan menerima undang-undang, bahkan melembagakan cara pengasingan terhadap orang yang cenderung berambisi dictator.

Secara literal, demokrasi berarti kekuasaan oleh rakyat. Kata ini berasal dari bahasa Yunani “demos” (rakyat) yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat, dan “cratos” atau “cratein”” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi, “demos-cratein” atau “demos-cratos” (demokrasi) adalah kekuasaan atau kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan berasal dari rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.

Secara terminologis, demokrasi, menurut Joseph A. Schmeter, merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana indivudu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suatu rakyat. Menurut Sidney Hook, demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan pemerintah yang penting secara langsung maupun tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.

Sedangkan menurut Philippe C Schmitter dan Terry Lynn Karl, demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan di mana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama dari para wakil mereka yang terpilih.

Dalam pandangan Nurcholis Madjid, suatu negara disebut demokratis manakala negara menjamin hak asasi manusia (seperti kebebasan berkumpul, menyatakan pendapat, berserikat dan beragama), bagi kelompok minoritas sekalipun. Paham dan sistem politik demokrasi adalah sistem yang menolak diktatorianisme, feodalisme, dan totalitarianisme. Dalam demokrasi pola hubungan antara penguasa dan rakyat, termasuk didalamnya kaum minoritas, bukanlah pola hubungan kekuasaan, tetapi berdasarkan hukum yang menjunjung tinggi HAM. Sedangkan secara praktis demokrasi adalah cara untuk menetapkan otoritas dimana rakyat memilih pemimpin-pemimpin mereka. Jika dalam sistem politik lainnya, orang-orang tertentu dapat menjadi penguasa karena didasarkan pada keturunan, kekayaan, penunjukan, maupun paksaan dengan cara kekerasan. Didalam demokrasi ada dua kemungkinan yaitu :

1. penguasa dan rakyat identik, sebagaimana demokrasi yang berlangsung ala Yunani Kuno.

2. para penguasa dipilih oleh rakyat dengan memberikan suaranya.

Menurut Syukron Kamil negara bangsa modern dapat disebut mempunyai sistem politik yang demokratis, manakala para pembuat kebijakan yang paling berpengaruh ditentukan melalui pemilihan umum yang jujur dan adil, yang daiadakan secara berkala. Melalui mekanisme ini para kandidat secara bebas dapat bersaing untuk memperoleh dukungan suara terbanyak, dan praktis semua penduduk yang memenuhi syarat dapat menyatakan pilihannya.

Adanya pemilihan umum dalam, dalam pandangan Schumpeter merupakan esensi dari sebuah demokrasi. Pemelihan umum yang dimaksud adalah pemilihan umum yang jujur, adil dan kompetitif yang merupakan prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang didalamnya individu (yang terorganisir dalam bentuk partai) memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat. Secara sederhana Schumpeter menyimpulkan bahwa demokrasi baginya merupakan seuatu mekanisme pasar, dimana para pemilih adalah konsumen, sedangkan para politisinya (partai-partai) adalah wiraswastawan yang memburu laba (suara terbanyak). Mereka seperti pedagang yang berusaha menghasilkan produk-produk yang diyakinnya akan akan memberikan keuntungan tertinggi, sehingga mereka melakukan pengiklanan agar produknya dapat dibeli konsumen.

Wiliam Ebenstein mengemukakan beberapa kriteria dan dasar psikologis demokrasi, diantaranya ;

1. empirisme rasional, Konsep ini merujuk pada keyakinan bahwa akal sehat, akal budi (reason) atau nalar manusia sangat penting dijadikan dasar demokrasi.

2. kepentingan individu sangat diutamakan, ini merupakan kriteria terpenting. Kriteria inilah yang bisa dijadikan dasar untuk menentukan demokratis tidaknya suatu sistem pemerintahan.

3. teori instrumental tentang negara, menurut Ebenstein negara pada dasarnya bersifat instrumental. Negara, seperti yang dirumuskan Plato dan Aristoteles hingga Marx, tidak lebih dari sekedar alat politik untuk mencapai tujuan bersama manusia.

4. prinsip volunteerism atau prinsip kesukarelaan. Dalam sebuah negara demokratis, aksi-aksi atau kegiatan sosial politik haruslah didasarkan pada prinsip ini. Pada dasaranya negara demokrasi tidak mengenal mobilisasi paksa.

5. konsep hukum di balik hukum, hubungan antara negara dan masyarakat diatur oleh hukum dan kedudukannya lebih tinggi dari negara.

6. pementingan cara atau prosedur dalam kehidupan demokratis didasarkan pada kesadaran bahwa tujuan tidak dapat dipisahkan dari cara atau alat yang digunakan.

7. musyawarah dan mufakat, dan 8. persamaan hak asasi manusia.

Larry Diamond juga menggambarkan lebih rinci kriteria demokrasi dalam sistem pemerintahan yaitu :

1. adanya kompetisi antar-individu dan kelompok (terutama partai-partai politik) yang meluas dan bermakna serta tidak menggunakan daya paksa untuk memperebutkan jabatan-jabatan pemerintahan regular.

2. adanya partisipasi politik yang tinggi dalam memilih pemimpin dan kebijakan-kebijakan minimal melalui pemilihan yang fair dan berkala serta tidak ada kelompok tertentu yang dikucilkan atau dikecualikan.

3. adanya kebebasan sipil dan politik, antara lain: kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan kebebasan berserikat yang cukup menjamin integrasi kompetisi dan partisipasi politik.

Konsep demokrasi bukanlah konsep yang mudah dipahami, sebab konsep ini memiliki banyak konotasi makna yang bervariatif, evolutif dan dinamis. Demokrasi bermakna variatif, karena sangat bersifat interpretatif. Setiap penguasa negara berhak mengklaim negaranya sebagai demokratis, meskipun nilai yang dianut atau praktik politik kekuasaannya sebenarnya jauh dari prinsip-prinsip dasar demokrasi. Karena sifatnya yang interpretatif itu, kita mengenal berbagai tipologi demokrasi seperti demokrasi liberal, demokrasi rakyat, demokrasi proletar, demokrasi komunis, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, demokrasi parlementer dan lain-lain. Disamping demokrasi meletakan pemilu yang jujur, adil, dan kompetetif sebagai esensinya, demokrasi juga secara prosedural berjalan diatas prinsip mayoritas. Menurut Jhon Stuart Mill, prinsip ini didasarkan bahwa pendapat mayoritas sekalipun mungkin saja salah, namun lebih sering benarnya.

Menurut Peter Jhones, demokrasi bukanlah mayoritasisme, demokrasi menjunjung tinggi prinsip mayoritas yang didalamnya tercakup kompromi yang adil, yang tidak menganggu kepentingan kelompok minoritas yang paling fundamental. Oleh karenanya demokrasi adalah “majority rule and minority right.

Jadi prinsip demokrasi dalam pelaksanaannya, mesti diletakan diatas prinsip-prinsip moral yang menjunjung tinggi HAM sebagai kodrat yang diberikan Tuhan. Penghargaan dan penerapan kebebasan, persamaan, dan partisipasi politik (paling tidak melalui pemilu dan melalui perwakilan rakyat yang representatif. Demokrasi juga tidak hanya menolak mayoritasisme, tetapi juga elitisme. Dalam pengertian elitisme, demokrasi hanya menjadi alat dan menguntungkan kelompok elit tertentu, bukan untuk memajukan rakyat secara umum. Demokrasi yang diberlakukan haruslah demokrasi yang memberikan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia, dimana kekuasaan ditangan mayoritas diselenggarakan dalam suatu rangka legal pembatasan.

Hal yang perlu diingat dari konsep demokrasi adalah ia tidak bersifat statis; ia merupakan hasil dari power sharing yang mencerminkan tingkat keseimbangan antara dua pihak yang melakukan tarik-menarik, yakni rakyat dengan kesadaran partisipasi dan penguasa dengan kesadaran otoritasnya. Bagian tengah (moderasi) dari power sharing itulah letak di mana demokrasi berada. Apabila kesadaran peran-serta rakyat terlalu dominan, maka yang terjadi adalah anarki. Sebaliknya, apabila penguasa berada pada posisi dominan, maka yang terjadi adalah otoritarian. Demokrasi yang diiringi dengan destabilisasi anarki tak jarang akan

menimbulkan sikap brutal bahkan pembunuhan, atau jatuh bangunnya pemerintahan akibat mosi tidak percaya atau kudeta konstitusional.

Dari bebagai kerangka pemikiran diatas, maka dapat disimpulkan bahwa bahwa demokrasi merupakan seuatu pemerintahan mayoritas yang menerapkan sistem perwakilan yang mengakui hak-hak individu dan mayoritas, yang terikat dengan hukum dan mengakui konsep check and balances. Dari pengertian disebut, maka terdapat beberapa ukuran yang dapat diacu dalam menilai suatu negara, apakah negara tersebut dapat dikatakan demokratis atau tidak. Menurut Kongres Amerika pada tahun 1989 menentukan standar negara yang layak diberikan bantuan, dengan parameter negara demokratis yang mencakup :

a. didirikannya sistem poltik yang sepenuhnya demokratis dan representatif berdasarkan pemilihan umum yang bebas dan adil,

b. diakuinya secara efektif kebebasan-kebebasan fundamental dan kemerdekaan-kemerdekaan pribadi, termasuk kebebasan beragama, berbicara, dan berkumpul;

c. dihilangkannya semua peraturan perundang-undangan dan berbagai peraturan yang menghalangi berfungsinya pers yang bebas dan terbentuknya partai-partai politik;

d. diciptakannya suatu badan kehakiman yang bebas; (d) didirikannya kekuatan-kekuatan militer, keamanan, dan kepolisian yang tidak memihak.

Sementara parameter lain yang memilki kesamaan prinsip juga dikemukakan oleh Franz Magnis Suseno dan Afan Ghafar sebagaimana dikutip Syukoron Kamil. Ciri dari kondisi demokratis menurut Franz Maginis Suseno terangkum dalam lima gugus:

1. negara hukum2. pemrintahan yang berada dibawah kontrol masyarakat3. ada pemilihan umum berkala yang bebas4. prinsip mayoritas; dan5. adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis dasar.

Sementara Afan Ghafar, tidak menyebut tentang prinsip negara hukum. Ia lebih menitik beratkan pada pertanggungjawaban. Beberapa parameter demokrasi menurut Affan Ghafar diantaranya : Akuntabilitas (pertanggungjawaban), Rotasi kekuasaan tertaur dan damai, rekrutmen politik yang terbuka, pemilu yang luber dan jurdil, dan rakyat dapat menikmati hak-hak dasarnya.

Demokrasi begai paham yang dilahirkan dari prinsip kedaulatan rakyat, kini makin digandrungi. Hal tersebut disebabkan karena dengan demokrasi telah dihasilkan kebijakan yang bijak, suatu masyarakat yang adil, bebas, keputusan yang memajukan kepentingan bersama, pengakuan terhadap hak-hak individu. Dalam sistem demokrasi, masyarakat tidak dipaksa untu melakukan sesuatu yang dianggapnya tidak mesti dilakukan, termasuk kaum minoritas sekalipun, karena hak-hak mereka terlindungi. Hal tersebut terwujud mengingat

Demokrasi dengan prosedur dan kelembagaannya yang membatasi kekuasaan dapat mencegah kewenang-wenangan, sehingga menghasilkan pemerintahan yang bertanggung jawab.

BAB III

PENUTUP

3.4. Kesimpulan

Berdasarkan analisa teori-teori yang ada, kami menyimpulkan Negara Indonesia menganut teori kedaulatan rakyat, karena teori ini menggambarkan bahwa kekuasaan ada pada rakyat yang diwalkan oleh seseorang yang dipilih langsung oleh rakyat. Adapun struktur lembaga negara di Indonesia seperti DPR bersifat menampung setiap aspirasi dari masyarakat dan bertujuan untuk kebaikan masyarakat itu sendiri. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh J.J. Rousseau bahwa kedaulatan rakyat itu adalah cara atau sistem yang bagaimana pemecahan suatu soal memenuhi kehendak umum.

3.5. Saran dan Kritik

Makalah ini tersusun dari hasil kerja sama kelompok dan masih sangat memiliki banyak kekurangan baik dalam segi materi dan penyajiannya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan karya ini akan bermanfaat bagi penulis sendiri maupun kepada para pembaca. Kritik dan saran yang bersifat membangun juga sangat diharapkan demi terwujudnya kesempurnaan penyelesaiannya kelak.

3.6. Daftar Pustaka

Bdk. F. Budi Hardiman, 2007, ”Machiavelli dan Seni Berkuasa” dalam Filsafat Politik (diktat), Jakarta : STF Driyarkara, hlm. 26.

Budi Hardiman, F. Filsafat Modern:Dari Marchiavelli sampai Nietzsche. Gramedia:Jakarta, 2007. Hlm. 18-19.

Hardiman, F. Budi. Filsafat Fragmentaris. Yogyakarta: Kanisius. 2007.

Hardiman, F. Budi.. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta : Gramedia. 2007

Hardiman, F. Budi. Filsafat Politik (diktat). Jakarta: STF Driyarkara. 2007.

Hardiman, F. Budi. 2001. “’Politik’ dan ’Antipolitik’: Hannah Arendt Tentang Krisis Negara” dalam Atma nan Jaya, Tahun XV, No. 3. Jakarta : Lembaga Penelitian Atmajaya.

Hardiman, F. Budi. 2002. ”Membaca ’Teks Negatif’ Hannah Arendt” dalam

Rapar, J. H. Filsafat Politik:Plato, Aristoteles, Agustinus, Marchiavelli.Grafindo Persada: Jakarta, 2002.

Rapar, J.H. Filsafat Politik:Plato, Aristoteles, Agustinus, Marchiavelli. Op Cit. Hlm. 441.

Sularto, ST. Niccolo Machiavelli: Penguasa Arsitek Masyarakat. Jakarta: Kompas. 2003.

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2000. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Yang Menerbitkan PT Rineka Cipta : Jakarta.