23
AQAD (Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 1 dan 2 serta Surat Ali Imran Ayat 76) Paper ditulis sebagai bahan diskusi pada mata kuliah Tafsir Ahkam Fil Muamalah Program studi Hukum Ekonomi Syariah Oleh: Riadhus Sholihin 2.215.11.018 PROGRAM PASCASARJANA (S2) UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2015 M./1436 H.

makalah tafsir ahkam muamalah.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

AQAD

(Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 1 dan 2 serta Surat Ali Imran Ayat 76)

Paper ditulis sebagai bahan diskusi pada mata kuliah Tafsir Ahkam Fil Muamalah

Program studi Hukum Ekonomi Syariah

Oleh:

Riadhus Sholihin

2.215.11.018

PROGRAM PASCASARJANA (S2)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

2015 M./1436 H.

(Surat Al-Maidah ayat 1)

يا اي اا اهوهف ي والنأهف يم ا ف و ا ف ذ ي او واي و ف ي والا والاف ام ي الذ راااه اغمهف ف و عمف

وا اوريدوا) و ورواينذالللذايف ا ف (١مويييالصذمفدياهفو

Terjemahannya: “Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji.

Hewan ternak dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu, dengan

tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah).

Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai yang Dia kehendaki. (Q.S Al-Maidah

Ayat 1)ا 1. Arti Mufradad

.adalah menunaikan sesuatu dengan sempurna, tanpa kurang الوفاء د العقو

Jamak dari kata عقد yang berarti mengikat yakni menghimpun ujung-ujung sesuatu

lalu mengikatnya. البهيمة adalah sesuatu yang tidak bisa bicara. االنعام adalah ternak

yaitu lembu, unta dan kambing. الحرم jamak dari haram maksudnya orang yang sedang

ihram.

2. Asbabun Nuzul

Imam Ahmad mengatakan, dari Asma’ binti Yazid, ia berkata: “pada saat aku

sedang memegang tali kekang unta Rasulullah, tiba-tiba turun kepada beliau surat Al-

Maidah secara keseluruhan. Karena beratnya surat Al-Maidah, sehingga berdetak

pangkal kaki depan unta tersebut. Sedangkan al_hakim mengatakan, Muhammad bin

Ya’qub menceritakan kepada kami, dari jubair bin Nufair, ia berkata: “Aku pernah

pergi haji, lalu masuk ke rumah Aisyah, maka ia berkata kepadaku: “Hai Jubir, apakah

kamu sudah membaca surat Al-Maidah? “sudah” jawabku. Kemudian Aisyah berkata:

“Sesungguhnya ia adalah surat terakhir kali turun. Apa saja yang kalian temukan dari

yang halal, maka halalkanlah. Dan apa saja yang kalian temukan dari yang haram maka

haramkanlah. Kemudian al-hakim mengatakan: “Hadits tersebut sahih sesuai syarat

Syaikban (Bukhari dan Muslim) tetapi keduanya tidak mengeluarkan hadits itu”1.

Pada suatu waktu ada seorang laki-laki datang kepada Ibnu Mas’ud seraya

berkata” ikatlah janji dengan ku!” sehubungan dengan itu Abdillah bin Mas’ud tidak

menjawab, yang kemudian dia menghadap kepada Rasulullah SAW menyampaikan apa

yang disampaikan laki-laki itu. Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan ayat

ke-1 sebagai ketegasan, agar orang-orang yang beriman menguatkan janji-janji mereka

dan memenuhinya. Disamping itu dihalalkan buat mereka binatang ternak yang

disembelih secara Islam serta berburu disaat melaukan ibadah haji adalah dilarang.

(HR. Ibnu Abi Hatim dari Nu’aim bin Hammad dari Abdillah bin Mubarrak dari Mas’ar

dari Auf). Hathim bin Hindun al-Bakri datang ke Madinah dengan membawa kafilah

(rombongan berkendaraan unta) yang penuh dengan berbagai macam bahan maanan

untuk diperdagangkan. Dia datang kepada Rasulullah SAW untuk menyatakan bai’at

(janji setia) serta menyatakan keislamannya. Sewaktu Hatim bin Hindun kembali

pulang, Rasullah bersabda kepada para sahabat yang berada di sisi beliau: “dia datang

kepada ku dengan muka seorang penjahat dan pergi dengan punggung seorang

pengkhianat”. Apa yang disabdakan Rasulullah pun menjadi kenyataan. Sewaktu dia

sampai ke Yamamah, maka kembali murtad dari ajaran Islam.2

1 Tafsir Ibnu Katsir Jilid III Hlm. 14 2 A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul Study Pendalaman Al Qur’an, (Rajawali Press, Jakarta: 2002),

hlm. 293

3. Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 1 Menurut Mufassirin

وايا( و ف ي والا والاف ام ي الذ )ياه

Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji

Kata al-uqud lebih khusus jika dibandingkan dengan kata al-ahdu karena setiap

al-ahdu akan melahirkan al-aqdu. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, bahwa yang

dimaksud dengan Uqud ialah perjanjian yang telah diadakan Allah terhadap hamba-

hambaNya. Yaitu apa saja yang telah diharamkan dan apa yang telah dihalalkan; apa-

apa yang telah diwajibkan dan apa-apa yang telah dibataskan dalam Al-quran

seluruhnya, bahwa semua itu tak boleh dilanggar. Ar-ragib berkata bahawa uqud itu

ada tiga macam: perjanjian antara Allah dengan hambaNya, perjanjian antara hamba

dengan dirinya sendiri, dan perjanjian antara dirinya sendiri dengan orang lain. Masing-

masing perjanjian tersebut ada yang diwajibkan menunaikannya oleh akal manusia

sendiri yang telah Allah anugerahkan padanya, yaitu perjanjian yang bisa diketahui oleh

akal dengan mudah daan dengan pemikiran yang sederhana sekalipun. Adapula

diantaranya yang diwajibkan menunaikannya oleh Syara’ yaitu perjanjian yang

ditunjukkan kepada kita dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulnya. Setiap mu’min

berkewajiban menunaikan apa yang telah dia janjikan dan diakadkan baik berupa

perkataan maupun perbuatan. Sebagaimana diperintahkan Allah, selagi yang dia

janjikan dan diakadkan itu tidak bersifat menghalakan barang haram atau

mengaharamkan barang yang halal. Seperti janji untuk memakan sesuatu dari harta

orang lain secara batil.3

Menurut Haqqi Al-Buruswi dalam tafsirnya Ruhul Bayan menjelaskan bahwa

Al-wafa’. Artinya melaksanakan tuntutan sedangkan Al-‘aqdu berarti janji yang di ikat,

yang diserupakan dengan ikatan tali dan sebagainya. Maksudnya adalah mencakup

segala perkara yang telah ditetapkan Allah SWT kepada hambanya berupa kewajban,

hukum-hukum agama serta ikatan diantara mereka berupa akad, amanat, muamalat dan

sebagainya yang wajib dipenuhi.4 Aqad (perjanjian) mencakup janji prasetia hamba

kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.

Syaikh As Sa'diy berkata, "Ini merupakan perintah Allah kepada hamba-hamba-

Nya yang mukmin untuk mengerjakan konsekwensi daripada iman, yaitu

memenuhi janji, yakni menyempurnakannya, melengkapinya, tidak membatalkan

dan tidak mengurangi. Hal ini mencakup akad (perjanjian) yang dilakukan antara

seorang hamba dengan Tuhannya berupa mengerjakan ibadah kepada-Nya,

mengerjakannya secara sempurna, tidak mengurangi di antara hak-hak itu.

Demikian juga mencakup antara seseorang dengan rasul-Nya, yaitu dengan

menaatinya dan mengikutinya, mencakup pula antara seseorang dengan kedua

orang tuanya dan kerabatnya, yakni dengan berbakti kepada mereka dan

menyambung tali silaturrahim dengan mereka dan tidak memutuskannya. Demikian

pula akad antara seseorang dengan kawan-kawannya berupa mengerjakan hak-hak

persahabatan di saat kaya dan miskin, lapang dan sempit. Termasuk pula akad

antara seseorang dengan yang lain dalam akad mu'amalah, seperti jual beli,

3 Tafsir Al-Maraghi Jilid 6 Hlm. 80 4 Tafsir Ruhul Bayan Juz VI hlm.115-116.

menyewa, dsb. Termasuk pula akad tabarru'at (kerelaan), seperti hibah dsb. bahkan

termasuk pula memenuhi hak kaum muslimin yang telah Allah akadkan hak itu

di antara mereka dalam firman-Nya, "Sesungguhnya kaum mukmin itu bersaudara."

(Terj. Al Hujurat: 10) dengan cara saling tolong-menolong di atas kebenaran,

membantunya, saling bersikap lembut dan tidak memutuskan hubungan. "Berdasarkan

ayat ini pula bahwa hukum asal dalam akad dan syarat adalah mubah, dan bahwa

hal itu dipandang sah dengan perkataan atau perbuatan yang menunjukkan demikian

karena kemutlakannya.5

Mengenai firman Allah tersebut, Ali bin Thalhah mengatakan dari Ibnu ‘Abbas,

(ia berkata): “yang dimaksud dengan perjanjian tersebut adalah segala yang dihalakan

dan diharamkan Allah, yang di fardhukan, dan apa yang ditetapkan Allah di dalam Al-

Quran secara keseluruhan, maka janganlah kalian mengkianati dan melanggarnya.

Kemudian Allah mempertegas lagi hal itu, Allah berfirman dalam surat Ar-Ra’d ayat

25 yang artinya “orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh

dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan-sampai dengan

firman-Nya-tempat kediaman yang buruk. Sebagain ulama yang berpendapat

bahwasanya tidak ada hak pilih dalam jual beli telah menjadikan ayat tersebut sebagai

dalil. Ibnu Abbas mengatakan, hal itu menunjukkan keharusan berpegang dan menapati

janji, dan hal itu menurut dihilangkannya hak pilih dalam jual beli. Demikianlah

mazhab Abu Hanifah dan Malik. Namun pendapat tersebut bertentangan dengan

pendapat imam Syafi’i, Ahmad dan Jumhur Ulama. Yang menjadi dalil dalam hal itu

adalah hadits yang ditegaskan dalam Ash-Shahibaini, dari Ibnu Umar, ia berkata,

Rasulullah bersabda yang artinya : “Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar (hak

memilih untuk jadi atau mebatalkan), selama mereka belum berpisah. Sedangkan hadits

5 Tafsir Hidayatul Insan Jilid 1 Hlm. 333-334

lain yang diriwayatkan oleh Bukhari : “Jika dua orang melakukan transaksi jula beli,

maka masing-masing dari keduanya mempunyai hak pilih selama keduanya belum

berpisah”. Hal ini jelas sekali dalam menetapkan adanya hak pilih dalam jual beli

sebagai kelanjutan bagi perjanjian jual beli. Dan hal ini tidak menafikan keharusan

berpegang teguh pada perjanjian, justru menurut syariat hal itu merupakan konsekuensi

dari perjanjian tersebut. Dengan demikian, berpegang teguh pada perjanjian merupakan

bagian dari kesempurnaan pemenuhan janji.6

فا(ا و اعمف ا اهوهف اي اذ ي هف والنأف يم وا ا ف ذ ي )و

Artinya: Hewan ternak dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan

kepadamu

Kemudian dalam ayat tersebut Allah menjelaskan hukum-hukum yang Allah

perintahkan penunaiannya. Maka dimulailah dengan perkara yang berkaitan dengan

kebutuhan pokok hidup manusia. Allah menghalakan bagi manusia untuk memakan

binatang ternak, yaitu delapan jenis binatang yang berpasangan, sebagaimana yang

telah dijelaskan dalam surat Al-An’am ayat 143-144 ditambah kijang, sapi hutan dan

lain-lain sejenisnya, selain yang telah diharamkan dalam surat al-maidah ayat 3.7 Kata

bahimah lebih umum dari pada kata al-an’am, karena binatang ternak itu hanya

menyangkut yang berkaki saja. Sebenarnya kijang, banteng dan sebagainya pun

berhak disebut al-an’am.8

6 Tafsir Ibnu Katsir Jilid III Hlm. 16. 7 Tafsir Al-Maraghi Jilid 6 Hlm. 81 8 Tafsir Ruhul Bayan Juz VI hlm.117

وروا( ا ف رامويييالصذمفدياو )غمهف

Artinya : Dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram

(haji atau umrah).

Dihalalkan binatang ternak tersebut dengan tetap tidak halalkan berburu bagi

orang yang pada saat telah diharamkan Allah yakni tetap tidak boleh menganggap

halal binatang itu dengan berburu atau memakannya ketika sedang dalam keadaan

ihram haji, umrah atau keduanya atau ketika memasuki ke tanah haram. Jadi berburu

itu tidak halal bagi orang yang berada di tanah haram sekalipun dia tidak dalam

keadaan ihram, dan juga tidak dibolehkan berburu bagi orang yang dalam keadaan

ihram haji maupun umrah, sekalipun ia berada diluar batas tanah haram yakni dikala

ia telah berniat memasuki ibadah ini, dan telah memulai pekerjannya, seperti talbiyah

dan memakai pakaian tanpa berjahit yang diselubungkan. Kesimpulannya binatang-

binatang ternak tersebut semuanya dihalakan selama tidak memburunya dan tidak

memakannya ketika sedang berihram.9

وا اوريدوا( و )ينذالللذايف

Artinya : Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai yang Dia kehendaki .

Allah SWT memberikan keputusan-keputusan terhadap makhluknya sesuai

dengan apa yang dikehendakinnya yaitu menghalakan apa yang dihalalkan dan

9 Tafsir Al-Maraghi Jilid 6 Hlm. 82

mengharamkan apa yang diharamkan, sesuai dengan masyiahNya, dan sesuai dengan

hikmah dan kemaslahatan yang diberlakukannya olehNya. karenaNya, tunaikanlah

ketentun dan janjinya, jangan mengkianati dan jangan merusak.10 Perintah-perintah

Allah tidak pernah berubah. Kehendaknya ialah rencana dasar yang sempurna. Segala

yang dikehendakinya didasarkan pada rencananya yang didalamnya sudah

memantulkan segala kebajikan dan kebaikan yang amat sempurna11

A. (Al-Maidah ayat 2)

يا االفا دف ا االلف رل راللف ف ئيرالللذيا االشذ والا ااتوي الاش ام ي الذ ئائيدا ااياه

فا صفطا فو يذلا ا النا فاريضف اريي ف هغواناضفئااي اهبهف رل اللف امينيالفبهمف ف و ذ فري لا اا و

والاع الفبييااشا ته لا فدو اته انف رلي دياللف سفجي الف ي اع ف كو اصد انف ا ا ااآنواقهاف ف لهذ

والالللذاينذالللذاشديدوا التهذ لني ودف الف والاع الإلثفي بلته ي (٢)ف

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-

syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan

(mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan

jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang

mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah

10 Tafsir Al-Maraghi Jilid 6 Hlm. 82 11 Tafsir Yususf Ali Hlm.241

menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali

kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari

Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-

menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-

menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada

Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.

1. Arti Mufradad

kata jamak dari شعائر .adalah tanda-tanda kebesaran Allah (شعائرهللا)

Sya’irah. اهلدي adalah ternak yang di bawa ke kabah untuk disembelih. القالئد jamak

dari qiladah, artinya kalung yang digantungkan pada leher. امني adalah orang-orang

yang berkunjung. فضل adalah laba atau keuntungan dalam berdagang. رضوان adalah

keridhaan Allah yang menyebabkan orang tidak dihukum di dunia. جيرمنكم dari

kata جرمه الشيئ yang berarti meneyebabkan dan menjadikan orang itu melakukan

sesuatu. الشنان adalah benci yang diiringi dengan rasa jijik terhadap yang dibenci.

2. Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 2 Menurut Mufassirin

ئيرالللذيا( والا ااتوي الاش ام ي الذ )ياه

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-

syi'ar Allah.

Hal-hal yang Allah hendak menjadikannya sebagai tanda-tanda petunjukNya

dengan itu dapat terhindar dari kesesatan seperti manasik haji dan seluruh han yang

wajib dipatuhi dalam agama baik perkara halal, haram maupun batas-batas yang telah

ditetapkan. Maksudnya adalah hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu

menganggap halal syiar-syiar agama Allah sehingga kamu melakukannya sesuka

hatimu. Tetapi lakukanlah sesuai dengan yang telah ditetapkan Allah kepadamu, dan

jangan lah kamu meremehkan kehormatannya. Jangan pula kamu menghalangi orng-

orang yang hendak menuanikannnya atau kamu halangi mereka yang hendak

melakukan haji pada bulan haji.12

Di sini safa dan marwah disebut lambang-lambang (sya’ir) Allah. Lambang-

lambang itu segala sesuatu yang berhubungan dengan ibadah haji yakni (1) tempat-

tempat seperti safa dan marwah, atau ka’bah, atau arafat dan lain-lain, (2) uapacara dan

tatacara yang sudah ditentukan, (3) larangan-larangan seperti berburu dan (4) waktu-

waktu dan musim-musim yang sudah ditentukan. Dalam semuanya itu terdapat

lambang rohani dan moral.13

12 Tafsir Al-Maraghi Jilid 6 Hlm. 82 13 Tafsir Yususf Ali Hlm. 242.

Syi'ar Allah adalah segala amalan yang dilakukan dalam rangka ibadah

haji dan tempat-tempat mengerjakannya. Syi'ar bisa juga diartikan rambu-rambu

agamanya. Ada pula yang mengartikan syi'ar-syi'ar di sini dengan "larangan-

larangan-Nya", yakni jangan dilanggar. Melanggar syi'ar-syi'ar kesucian Allah

misalnya mengerjakan larangan ihram, seperti berburu sewaktu ihram, demikian juga

mengerjakan larangan-larangan di tanah haram.14

ا االشذا(ا رل راللف ) ف

Artinya : Dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram.

Bulan-bulan haram yang dimaksud di sini adalah bulan Zulqaedah, Zulhijjah

dan muharram. Maksud ayat ini adalah janganlah kamu menganggap halal bulan haram

ketika kamu memerangi musuh-musuh mu dan orang-orang musyrik pada bulan

tersebut sebagai mana telah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan Qatadah.15 Bulan haram

adalah bulan haji, pada bulan tersebut dilarang untuk berperang dan membunuh.

Keempat bulan yang dilarang berperang adalah bulan Zulqa’idah, Zulhijah, Muharram

dan rajab. Memufradtkan kata syahru untuk menyatakn sejenis.16

Maksudnya antara lain bulan Haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram

dan Rajab), tanah Haram (Mekah) dan Ihram, yakni dilarang melakukan

peperangan di bulan-bulan itu. Jumhur ulama berpendapat bahwa larangan

berperang di bulan haram sudah mansukh (dihapus) berdasarkan ayat 5 surat At

Taubah, demikian juga berdasarkan ayat-ayat yang umum yang memerintahkan

14 Tafsir Hidayatul Insani Hlm. 334 15 Tafsir Al-Maraghi Jilid 6 Hlm. 83 16 Tafsir Ruhul Bayan Juz VI Hlm. 124

memerangi orang-orang kafir secara mutlak, di samping itu, Nabi Muhammad

shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri memerangi penduduk Tha'if di bulan Dzulqa'dah;

salah satu bulan haram. Sedangkan ulama yang lain berpendapat, bahwa larangan

berperang di bulan-bulan haram tidaklah mansukh berdasarkan ayat ini dan ayat yang

lain, mereka mena'wil yang mutlaknya kepada yang muqayyad. Mereka juga

merincikan, "Tidak boleh memulai peperangan di bulan haram, adapun melanjutkan

dan menyelesaikannya jika mulainya terjadi di bulan lain, maka boleh", mereka

juga mena'wil peperangan yang dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

terhadap penduduk Tha'if, bahwa peperangan tersebut di Hunain mulainya pada

bulan Syawwal. Ini semua jika bukan peperangan daf' (pembelaan diri), namun

jika peperangan daf', yakni orang-orang kafir yang memulainya, maka dibolehkan

bagi kaum muslimin membalasnya, baik di bulan haram maupun lainnya berdasarkan

ijma' para ulama.17

يا( دف ) االلف

Artinya : Jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya.

Dan jangan pula kamu menganggap halal binatang-binatang Hadyu yang dibawa ke

Ka’bah yakni binatang-binatang ternak yang dimaksudkan untuk dibagikan kepada

orang-orang yang beri’tikaf dan tinggal di sana dengan niat Taqarrub kepada Allah.

Menganggap halal maksudnya adalah dengan mencegah binatang hadyu itu sehingga

itu sehingga tidak sampai ke tempat penyembelihannya di sekitar ka’bah, karena kamu

17 Tafsir Hidayatul Insani Hlm. 334-335

curi umpannya, atau kamu sembelih di tengah jalan, atau kamu gasab atau kamu tahan

pada orang yang mengambilnya.18

Hadyu yaitu binatang (unta, lembu, kambing, biri-biri) yang dibawa ke

ka'bah untuk mendekatkan diri kepada Allah, disembelih ditanah Haram dan

dagingnya dihadiahkan kepada fakir miskin dalam rangka ibadah haji. Kita tidak boleh

mengganggunya, termasuk pula menghalangi dari sampai ke tempatnya, mencurinya

dsb.19

) االفئائيدا(

Artinya : Dan binatang-binatang qalaa-id Juga.

Jangan kamu anggap halal binatang hadyu yang memakai kalung, yaitu unta. Seoalah-

olah Allah berfirman : janganlah kamu menganggap halal binatang hadyu itu, baik

yang memakai kalung maupun tidak akan tetapi secara khusus disebutkan yang pakai

kalung karena binatang yang memakai kalung itulah yang paling baik dan paling

dihormati.20 Qalaid jamak dari qaladah berarti sesuatu yang diikatkan kepada leher

binatang, baik berupa sendal, kulit pohon dan sebagainya, supaya dengan kalung itu

diketahui bahwa binatang tersebut merupakan binatang persembahan sehingga tidak

boleh diganggu.21

18 Tafsir Al-Maraghi Jilid 6 Hlm. 83 19 Tafsir Hidayatul Insani Hlm. 335 20 Tafsir Al-Maraghi Jilid 6 Hlm. 83 21 Tafsir Ruhul Bayan Juz VI hlm. 124

ا( رل اللف ) اامينيالفبهمف

Artinya : Dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi

Baitullah.

Jangan pula kamu menganggap halal memerangi orang-orang yang berangkat

ziarah ke baitu haram atau kamu halangi mereka dengan cara apapun.22 Dengan haji,

umrah, thawaf, shalat dan ibadah lainnya. Yakni jangan menyakitinya,

menghinanya, bahkan muliakanlah dan hormatilah orang-orang yang berkunjung ke

rumah-Nya. Termasuk ke dalam hal ini adalah mengamankan jalan menuju

Baitullah, membuat tenang orang-orang yang pergi berkunjung ke Baitullah dan

membuat mereka bisa beristirahat, tanpa ada rasa takut dibunuh, dijambret hartanya

dan dibajak. Namun demikian, ayat ini ditakhshis dengan firman Allah Ta'ala di

surat At Taubah ayat 28, yang di sana disebutkan bahwa orang-orang musyrik tidak

boleh masuk ke tanah haram.23

الناا( اريضف ف ايارذيي هغواناضفئاا )هبهف

Artinya : Mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya.

Mereka yang berdagang mencari laba dan rida dari Allah, yang dapat

menghalangi mereka dari hukumNya di dunia, supaya mereka jangan ditimpa

sesuatu yang menimpa orang lain di dunia ini. Firman Allah ini berkaitn dengan

orang-orang musyrik, demikian sebagaimana diriwayatkan dari Qatadah, bahwa dia

22 Tafsir Al-Maraghi Jilid 6 Hlm. 84 23 Tafsir Ibnu Katsir Jilid III Hlm. 20

menerangkan “mereka adalah orang-orang musyrik yang mencari anugera Allah dan

keredaanNya demi kepentingan dunia mereka”. Dan menurut keterangan lain dari

Qatadah juga, “keridaan yang mereka cari ialah agar Allah memberi kebaikan

penghidupan mereka di dunia, dan tidak menyegerakan hukumanNya terhadap

mereka.24

ا صفطا( ف فو يذلا ل و (

Artinya : Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah

berburu.

Sesudah itu, Allah kemudian menjelaskan mafhum dari Firmannya “Gaira

Muhillis-saidi wa antum hurum” dengan firmannya dan apabila kamu sudah keluar

dari tanah haram, maka berburulah jika kalian ingin karena yang diharamkan atasmu

hanyalah berburu di tanah haram dan dalam keadaan ihram saja.25

ل( فدو اناته رلي دياللف سفجي الف ي اع ف كو اناصد اشآنواقهاف ف و ذ فري ) اا

Artinya : Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena

mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat

aniaya (kepada mereka).

Jangan sekali-kali kebencian dan permusuhan dari suatu kaum mendorong

kamu berbuat aniaya terhadap mereka, yang disebabkan mereka menghalangi

kamu dari Masjidil-Haram. Memang kaum musyrikin telah mengahalangi orang-

24 Tafsir Al-Maraghi Jilid 6 Hlm. 84 25 Tafsir Al-Maraghi Jilid 6 Hlm. 84

orang mu’min dari melakukan ‘umrah pada peristiwa Hudaibiyah. Namun begitu,

kaum mu’min tetap dilarang menyerang orang-orang musyrik.26 Dalam tahun ke

enam Hijri, terbawa oleh rasa benci dan hendak menganiaya kaum muslimin,

orang-orang musyrik melarang mereka memasuki masjidilharam. Tatkala

kemudian kaum muslimin menguasai Mekkah, ada diantara mereka yang ingin

mnegadakan pembalasan, mau melarang mereka masuk atau menganggu orang

pada waktu haji. Cara ini dilarang. Dengan menyimpulkan kejadian tersebut

sebagai dasar umum, berarti kita dilarang mengadakan balas dendam atau

membalas kejahatan dengan kejahatan. Kita tidak dibenarkan mengadakan

permusushan hanya karena kebencian kita terhadap kejahatan itu. Kita harus tolong

menolong atau dasar kebenaran dan ketakwaan, bukan malah meneruskan dendam

kebencian dan permusushan. Kita boleh melawan dan menumpas kejahatan, tetapi

bukan dengan semangat kejahatan pula atau dengan kebencian, sebaliknya harus

selalu dengan keadilan dan kebenaran.27

لنيا( ودف الف ثفي والاع الإلفي ا اا ااته ف والاع الفبييالهذ ته ا)

Artinya : Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan

takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.

Oleh karena serang menyerang antara satu dengan lainnya takkan terjadi kecuali

dengan adanya saling tolong menolong sesamanya, maka larangan menyerang itu

diikuti dengan perintah untuk tolong menolong. Perintah tolong menolong dalam

mengerjakan kebaikan dan takwa adalah termasuk pokok-pokok petunjuk sosial

26 Tafsir Al-Maraghi Jilid 6 Hlm. 85 27 Tafsir Yususf Ali Hlm. 242

dalam Al-quran. Karena diwajibkan kepada manusia agar saling tolong menolong

satu sama lain dalam mengerjakan apa saja yang bermanfaat bagi umat manusia,

baik pribadi maupun kelompok, baik dalam perkara agama maupun dunia, juga

dalam melakukan perbuatan takwa yang dengan itu mereka mencegah terjadinya

kerusakkan dan bahaya yang mengancam kehidupan mereka.

والالللذااينذالللذاشديا( بيالتهذ ي )دوالف

Artinya : Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat

siksa-Nya.

Bertakwa lah kamu kepada Allah dengan mengikuti sunnah-sunnah Allah yang

telah diternakkan di dalam Al-quran maupun dalam sistem yang berlaku pada

makhlukNya sehingga kamu tidak terkena hukuman Allah apabila kamu

melanggarnya. Karena siksa Allah sangatlah berat bagi orang-orang yang tidak

bertakwa kepadaNya dan juga tidak akan ada kasih sayang apabila hukuman Allah

telah tiba. Allah takkan memerintahkan sesuatu kecuali yang berguna dan tidak

melarang sesuatu kecuali yang berbahaya.28

28 Tafsir Al-Maraghi Jilid 6 Hlm. 87

B. (Surat Ali Imran ayat 76)

ذينيا و الف اإينذالللذايويب ديهيالتهذ ف ابي افف ف به ا

Terjemahan: “(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang

dibuat)nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang

bertakwa.

1. Tafsir Surat Ali Imran Ayat 76 Menurut Mufassirin.

Siapa diantara kalian, wahai ahli kitab yang menepati janji dan bertakwa

kepada Allah, yaitu janji-janji yang telah diambil oleh Allah dari kalian berupa

iman kepada muhammad jika beliau diutus, sebagaimana Allah telah mengambil

janji atas para nabi serta ummatnya, untuk itu bertakwalah yaitu menjaga diri dari

semua yang diharamkan dan mengikuti ketaatan serta syariatNya yang telah

dibawa oleh penutup dan pemimpin para rasul. Maka Allah menyukai orang-orang

yang bertakwa.29

Kita perhatikan di sini bahwa penunaian janji itu dikaitkan dengan ketakwaan.

Karena itu, tidak ada perbedaan kewajiban memenuhi janji dalam muamalah baik

dengan orang muslim maupun dengan orang non muslim. Ini bukan masalah

kepentingan akan tetapi masalah bermuamalah dengan Allah. Tanpa

memperhatikan siapa yang menjadi mitra dalam melakukan transaksi muamalah.

Demikianlah teori etika akhlak Islam secara umum di dalam memenuhi

kewajiban dalam perjanjian. Motivasi muamalah dalam Islam bukanlah sekedar

masalah kepentingan dan keuntungan, bukan tradisi masyrakat, bukan pula

29 Tafsir Ibnu Katsir Jilid II Hlm. 95

tuntutan lingkungannya akan tetapi ada norma dan ukuran yang tepat dan pasti

yang bersumber dari Allah.30

Ayat tersebut menunjukkan atas pentingnya perintah memenuhi janji, karena

taat pada perintah mencakupi dua hal, mementingkan perintah Allah dan berkasih

sayang dengan makhlukNya. Berarti dalam pemenuhan janji maka mencakup dua

hal tersebut, selain telah mementingkan atau melaksanakan perintah Allah juga

telah berkasih sayang dengan makhlukNya.31

C. Konsep Akad dalam Islam

1. Pengertian Akad

Istilah perjanjian dalam hukum Indonesia disebut “akad” dalam hukum

Islam. Kata akad berasal dari al-a’qd, yang berarti mengikat, menyambung

atau menghubungkan (ar-rabt). Sebagaimana menurut segi etimologi lain, akad

berarti: “ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan

secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi”.32 Sedangkan sebagai

suatu istilah hukum Islam, ada beberapa definisi yang diberikan untuk akad, di

antaranya adalah:33 (1) Menurut Pasal 262 Mursyd al-Hairan, akad merupakan

“pertemuan ijab yang diajukan oleh salah satu pihak dengan qabul dari pihak

lain yang menimbulkan akibat hukum pada objek akad”. (2) Adapun pengertian

30 Tafsir Fi Zhilalil Quran Juz III Hlm. 95 31Tafsir Ruhul Bayan juz III Hlm.469 32Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa-Adillatuhu Al-Juz Al-Rabi’,(terj. Akhir Haji Yaacob),

Selangor: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002.

33 Samsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah,Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007.

lain, akad adalah “pertemuan ijab dan qabul sebagai pernyataan kehendak dua

pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya”. Dengan

demikian, ijab-qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk

menunjukkan suatu keridaan dalam berakad diantara dua orang atau lebih,

sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’.

Oleh karena itu, dalam Islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian

dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan

pada keridaan dan syariat Islam. 34

2. Rukun Dan Syarat Akad

Untuk dapat terealisasinya tujuan akad, maka diperlukan unsur

pembentuk akad, hanya saja, dikalangan fuqaha terdapat perbedaan pandangan

berkenaan dengan unsur pembentuk akad tersebut (rukun dan syarat). Menurut

jumhur fuqaha, rukun akad terdiri atas:

al- Aqidaini, yakni para pihak yang terlibat langsung dengan

akad.

Mahallul ‘aqd, yakni obyek akad yang disebut juga dengan

“sesuatu yang hendak diakadkan”.

Shighatul ‘aqd, pernyataan kalimat akad yang lazimnya

dilaksanakan melalui pernyataan ijab dan qabul.

Sedangkan menurut fuqaha Hanafiyah, mempunyai pandangan yang

berbeda dengan jumhur fuqaha diatas. Bagi mereka, rukun akad adalah unsur-

34Samsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah,Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007.

unsur dari pokok pembentuk akad dan unsur tersebut hanya ada satu yaqin

sighat akad (ijab qabul). Al- Aqidani dan mahallul ‘aqd bukan merupakan rukun

akad melainkan lebih tepatnya untuk dimasukkan sebagai syarat akad. Pendirian

seperti ini didasarkan pada pengertian rukun sebagai sesuatu yang menjadi

tegaknya dan adanya sesuatu, sedangkan dia bersifat internal dari sesuatu yang

ditegakkannya.35

3. Obyek Akad

Dalam hukum perjanjian Islam obyek akad dimaksudkan sebagai suatu

hal yang karenanya akad dibuat dan berlaku akibat-akibat hukum akad. Obyek

akad dapat berupa benda, manfaat benda, jasa ataupekerjaan, atau sesuatu yang

lain yang tidak berkenaan dengan syariah. Benda meliputi benda bergerak dan

tidak bergerak maupun benda berbadan dan benda tidak berbadan. Misalnya

akad jual beli rumah obyeknya adalah benda, yaitu berupa rumah dan ruang

harga penjualannya yang jugamerupakan benda akad sewa menyewa obyeknya

adalah manfaat barang yang disewa, akad pengangkutan obyeknya adalah jasa

pengangkutan. Imbalannya, yang bisa berupa benda (termasuk uang), manfaat

atau jasa juga merupakan obyek akad. Jadi dalam akad jual beli rumah,

misalnya, menurut hukum Islam bukan rumahnya saja yang merupakan obyek

akad, tetapi imbalannya yang berupa uang atau berupa lainnya juga merupakan

obyek akad jual beli.

35 Mustafa Ahmad az-Zarqa, Al-Madkhal al-Fiqh al-‘Am. I, Hlm. 300

Daftar Pustaka

Tafsir Al-Maraghi ditulis oleh Ahmad Mustafa Al-Maraghi

Tafsir Ibnu Katsir ditulis oleh abdullah Bin Muhammad Bin Abdurahman

Tafsir Ruhul Bayan ditulis oleh Ismail Haqqi Al-Buruswi

Tafsir Hidayatul Insani Abu Yahya Marwan bin Musa

Tafsir Yusuf Ali ditulis oleh abdullah Yusuf Ali

Tafsir Fi Zhilalil Quran ditulis oleh Sayyid Quthb

A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul Study Pendalaman Al Qur’an, Rajawali

Press, Jakarta: 2002.

Mustafa Ahmad az-Zarqa, Al-Madkhal al-Fiqh al-‘Am. I

Samsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah,Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007.

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa-Adillatuhu Al-Juz Al-Rabi’,(terj. Akhir

Haji Yaacob), Selangor: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002.