Makalah Sistemik Lupus Eritematosus

Embed Size (px)

DESCRIPTION

enjoy it

Citation preview

Kata Pengantar

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karesna atas berkah dan penyertaan-Nyalah saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Dalam kesempatan ini, saya juga ingin menyampaiakn terima kasih

1. orang tua yang selalu mendukung, membantu baik moril maupun materil

2. dosen/ dokter yang mengarahkan serta membimbing saya

3. teman-teman sekalian serta semua pihak yang membantu saya dalam menuntaskan makalah ini.Saya menyadari sungguh bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu saya selaku penulis tidak menutup kemungkinan adanya kritik dan saran dari para pembaca demi perbaikan penulisan makalah-makalah berikutnya. Terima kasihPenulisIntan Arkas RefraDaftar IsiHalaman Judul..............................................................................................................iKata pengantar............................................................................................................1Daftar isi.....................................................................................................................2Bab I...........................................................................................................................3. Latar Belakang................................................................................................3 Tujuan penulisan.............................................................................................3Bab II Defenisi............................................................................................................4 Etiologi.............................................................................................................5 Epidemiologi.....................................................................................................6 Patogenesis........................................................................................................6 Gambaran klinis................................................................................................10 Diagnosis..........................................................................................................14 Different diagnosisi..........................................................................................15 Working diagnosis............................................................................................16 Pengobatan.........................................................................................................18 Prognosis...........................................................................................................20 Pencegahan....21Bab III Kesimpulan23

Daftar pustaka.......................24 BAB IPENDAHULUANa. Latar BelakangSLE (Sistemisc lupus erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalamtubuh.Penyakit lupus merupakan penyakit sistem daya tahan, atau penyakit auto imun, dimana tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.

SLE lebih banyak di jumpai pada wanita umur antara 13-40 th dengan perbandingan perempuan : laki 9:1 diduga ada kaitan faktor hormon dengan patogenensis. Dari berbagai laporan penelitian prevalensi masing masing suku berbeda di perkirakan 15-50 kasus per 100.000 penduduk. Pada suku2 di asia diperkirakan prevalensi paling tinggi terdapat pada suku cina jepang dan filipinab. Tujuan penulisanAdapun tujuan penulisan makalah ini adalah :1. sebagai salah satu tugas dalam proses pembelajaran Problem Based Leraning fakultas kedokteran ukrida.2. memahami tentang salah satu penyakit pada sistem imun yaitu SLE (Lupus Eritomatosus Sistemik).BAB IIPEMBAHASANDefinisiSistemik Lupus Eritematosus adalah sebuah penyakit autoimun yang menyerang berbagai jaringan dan organ tubuh. Istilah lupus eritematosus sistemik dapat diartikan secara bahasa sebagai gigitan serigala, mungkin istilah ini muncul dari adanya gejala klinis yaitu ruam pada wajah penderita SLE yang perjalanan penyakitnya sudah lama dan belum mendapat terapi. Secara istilah, SLE dapat didefinisikan sebagai suatu penyakit yang bersifat episodik, multisistem dan autoimun ditandai dengan adanya proses inflamasi yang meluas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, serta munculnya antinuklear-antibodi (ANA) pada pemeriksaan penunjang, terutama antibodi untuk double-stranded DNA (dsDNA). Karena beragamnya organ yang dapat terkena, dan karena sulitnya dalam menegakkan diagnosis, SLE seringkali disebut sebagai penyakit seribu wajah.

Gambar 1: butterfly rash (ruam pada wajah/seperti kupu-kupu)

Ada 3 jenis penyakit Lupus yang dikenal yaitu:1. Discoid Lupus, yang juga dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit Lupus yang menyerang kulit.

2. Systemics Lupus, penyakit Lupus yang menyerang kebanyakan system di dalam tubuh, seperti kulit, sendi, darah, paru-paru, ginjal, hati, otak, dan sistem saraf. Selanjutnya kita singkat dengan SLE (Systemics Lupus Erythematosus).3. Drug-Induced, penyakit Lupus yang timbul setelah penggunaan obat tertentu. Gejala-gejalanya biasanya menghilang setelah pemakaian obat dihentikan.1EtiologiEtiologi SLE belum diketahui secara pasti, namun ada faktor predisposisi secara genetik yang dapat menyebabkan penyakit ini. Diperkirakan SLE, layaknya penyakit autoimun lain, muncul pada seseorang yang secara genetis rentan terpapar satu atau beberapa faktor pencetus yang ada di lingkungan. SLE berhubungan dengan munculnya HLA-haplotype spesifik yang diwariskan: a) allel A1, B8, DR3, dan C4a muncul umumnya pada kulit putih. b) DR2 ditemukan pada penderita SLE yang afro-amerika. Antigen HLA A11, B8 dan B35 masing-masing memliki hubungan dengan SLE. Keluarga maupun sanak saudara memiliki peningkatan insidens terhadap penyakit yang berhubungan dengan disfungsi atau disregulasi sistem imun (misal: imunodefisiensi primer, dan keganasan limforetikuler), hipergammaglobulinemia, RF, ANA dan penyakit autoimun lainnya.Beberapa hal yang disepakati berperan pada SLE adalah: 1. Faktor genetik sebagai predisposisi, didukung oleh adanya beberapa fakta: - SLE ditemukan pada 70% kembar identik - Frekuensi penemuan genotipe HLA-DR3 dan DR2 meningkat - Frekuensi pasien SLE pada anggota keluarga yang lain juga meningkat 2. Faktor hormonal, didukung oleh fakta bahwa:- Pasien perempuan jauh lebih banyak, terutama pada masa pubertas dan pasca pubertas- Pada binatang percobaan, yaitu tikus NZB/W yang dibuat menderita SLE. Bila pada yang betina diberi hormon androgen, gejala lupus akan membaik. Sebaliknya pada tikus jantan akan menyebabkan gejala SLE bertambah jelek.3. Beberapa faktor pencetus yang dilaporkan menyebabkan kambuhnya SLE adalah, stress fisik maupun mental, infeksi, paparan ultraviolet dan obat-obatan. Banyak obat2 telah dilaporkan dapat memicu SLE. Namun, lebih dari 90% nya terjadi sebagai efek samping dari salah satu dari obat2 berikut: hydralazine (digunakan untuk hipertensi), quinidine dan procainamide (digunakan untuk irama jantung abnormal), fenitoin (digunakan untuk epilepsi), isoniazid (Nydrazid, Laniazid, digunakan untuk tuberculosis), d-penicillamine (digunakan untuk rheumatoid arthtritis). Obat-obatan ini diketahui menstimulasi sistem imun dan menyebabkan SLE. Untungnya, SLE yang dipicu obat-obatan jarang (kurang dari 5% dari seluruh pasien SLE) dan biasanya membaik jika obat-obat tersebut dihentikan4. Virus sebagai penyebab SLE pernah mendapat perhatian besar oleh karena ditemukan struktur retikular intrasitoplasma yang menyerupai agregat intrasel miksovirus. Tetapi ternyata kemudian dibantah dan sampai sekarang masih tetap dianggap tidak ada bukti nyata virus sebagai etiologi.EpidemiologiLupus adalah penyakit yang langka, namun tidak jarang. Kejadian lupus jarang pada anak usia sekolah, namun frekuensinya meningkat pada remaja. SLE terjadi pada 6 dari 1.000.000 orang dibawah umur 15 tahun, dengan 17% orang dengan SLE muncul gejala pada usia kurang dari 16 tahun dan 3,5% diantaranya mulai pada usia kurang dari 10 tahun. Pada individu dibawah 20 tahun, sekitar 73% didiagnosis SLE pada umur lebih dari 10 tahun. Ini membuat SLE dikelompokkan sebagai penyakit pada usia remaja. SLE dapat muncul pada pria maupun wanita, dari etnis manapun, berapapun usianya. Namun diagnosis SLE 4,3 kali lebih sering muncul pada anak perempuan dibandingkan laki-laki. Perbedaan ini tidak nyata sampai usia 9 tahun keatas, ketika beberapa penelitian menunjukkan perbandingan perempuan : laki-laki sebanyak 10:1 pada akhir usia remaja. Dalam hal etnis, lupus lebih sering muncul pada penduduk Afrika, penduduk asli Amerika, Hispanik dan Asia, dibandingkan dengan ras Kaukasia.2PatogenesisSLE adalah penyakit autoimun yang mengenai multipel organ. Kadang-kadang, yang menonjol hanya satu organ tubuh yang terkena, misalnya ginjal pada nefritis lupus, tetapi lambat laun organ-organ lain akan menyusul. Gambaran klinis yang ditemukan terjadi akibat terbentuknya autoantibodi terhadap berbagai macam antigen jaringan. Autoantibodi yang paling banyak ditemukan adalah terhadap inti sel, yaitu terhadap DNA tubuh sendiri berupa anti DNA double stranded (ds-DNA), juga anti DNA single stranded (ss-DNA).Gangguan imunitas pada SLE ditandai oleh persistensi limfosit B dan T yang bersifat autoreaktif. Autoantibodi yang terbentuk akan berikatan dengan autoantigen membentuk kompleks imun yang mengendap berupa depot dalam jaringan. Akibatnya akan terjadi aktivasi komplemen sehingga terjadi reaksi inflamasi yang menimbulkan lesi di tempat tersebut.Faktor keluarga yang kuat terutama pada keluarga dekat. Resiko meningkat 25-50% pada kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic, diduga menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Penyakit lupus disertai oleh petanda penyakit genetik seperti defisiensi herediter komplemen (seperti C1q, C1r, C1s, C4 dan C2) dan imunoglobulin (IgA), atau kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor imunopatogenik yang berperan dalam SLE bersifat multipel, kompleks dan interaktif. Jumlah sel B meningkat pada pasien dengan lupus yang aktif dan menghasilkan peningkatan kadar antibodi dan hipergamaglobulinemia. Jumlah sel B yang memproduksi IgG di darah perifer berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Aktivasi sel B poliklonal disebabkan oleh antigen eksogen, antigen yang merangsang proliferasi sel B atau abnormalitas intrinsik dari sel B. Antibodi IgG anti-dsDNA dengan afinitas tinggi juga merupakan karakteristik, yang disebabkan oleh hipermutasi somatik selama aktivasi sel B poliklonal yang diinduksi oleh faktor lingkungan seperti virus atau bakteri.Selain memproduksi autoantibodi, sel B juga mempengaruhi presentasi antigen dan respon diferensiasi sel Th. Gangguan pengaturan produksi autoantibodi disebabkan gangguan fungsi CD8+, natural killer cell dan inefisiensi jaringan idiotip-antiidiotip. Imunoglobulin mempunyai struktur tertentu pada bagian determinan antigenik yang disebut idiotip, yang mampu merangsang respons pembentukan antibodi antiidiotip. Sebagai respons tubuh terhadap peningkatan kadar idiotip maka akan dibentuk antiidiotip yang bersifat spesifik terhadap berbagai jenis struktur determin antigen sesuai dengan jenis idiotip yang ada. Secara teoritis mungkin saja salah satu dari antiidiotip mempunyai sifat spesifik antigen diri hingga dengan pembentukan berbagai antiidiotip dapat timbul aktivitas autoimun. Persistensi antigen dan antibodi dalam bentuk kompleks imun juga disebabkan oleh pembersihan yang kurang optimal dari sistem retikuloendotelial. Hal ini disebabkan antara lain oleh kapasitas sistem retikuloendotelial dalam membersihkan kompleks interaksi antara autoantibodi dan antigen yang terlalu banyak. Dengan adanya kadar autoantibodi yang tinggi, pengaturan produksi yang terganggu dan mekanisme pembersihan kompleks imun yang terganggu akan menyebabkan kerusakan jaringan oleh kompleks imun.Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling sering dijumpai pada penderita lupus adalah antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA, nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer anti-DNA mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit lupus. Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu bersifat sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah destruksi sel sebagai perantara bagi sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc imunoglobulin. Contoh klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia autoimun. Ada pula autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan karena dapat berinteraksi dengan substansi antikoagulasi, diantaranya antiprotrombinase (antibodi terhadap glikoprotein trombosit), sehingga dapat terjadi trombositopenia, dan trombosis disertai perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat berperan sebagai penyebab vaskulitis.Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis ataupun bernilai sebagai petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat ditemukan pada bukan penderita lupus, atau juga dalam darah bayi sehat dari seorang ibu penderita lupus. Selain itu diketahui pula bahwa penyakit lupus ternyata tak dapat ditularkan secara pasif dengan serum penderita lupus.Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis SLE didasarkan pada adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid) dan aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk aktivasi komplemen.Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan, beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen dengan afinitas tinggi, seperti dsDNA). Komponen C1q dapat terikat langsung pada dsDNA dan menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi.Kompleks imun menyebabkan lesi inflamasi melalui aktivasi kaskade komplemen. Akibatnya terdapat faktor kemotaktik (C3a, C5a), adanya granulosit dan makrofag sehingga terjadi inflamasi, seperti vaskulitis. Beberapa faktor terlibat dalam deposit kompleks imun pada SLE, antara lain banyaknya antigen, respon autoantibodi yang berlebih dan penurunan pembersihan kompleks imun karena inefisiensi atau kelelahan sistem retikuloendotelial. Penurunan fungsi ini dapat disebabkan oleh penurunan reseptor komplemen CR1 pada permukaan sel. Pada lupus nefritis, lesi ginjal mungkin terjadi karena mekanisme pertahanan di daerah membran basal glomerulus, yaitu ikatan langsung antara antibodi dengan membran basal glomerulus, tanpa intervensi kompleks imun.3Pasien dengan SLE aktif mempunyai limfositopenia T, khususnya bagian CD4+ yang mengaktivasi CD8+ (T-supressor) untuk menekan hiperaktif sel B. Terdapat perubahan (shift) fenotip sitokin dari sel Th0 ke sel Th2. Akibatnya sitokin cenderung untuk membantu aktivasi sel B melalui IL-10, IL-4, IL-5 dan IL-6.Autoantibodi yang terdapat pada SLE ditujukan pada antigen yang terkonsentrasi pada permukaan sel apoptosis. Oleh karena itu abnormalitas dalam pengaturan apoptosis mempunyai peranan penting dalam patogenesis SLE. Pada SLE terjadi peningkatan apoptosis dari limfosit. Selain itu, terjadi pula persistensi sel apoptosis akibat defek pembersihan (clearance). Kadar C1q yang rendah mencegah ambilan sel apoptosis oleh makrofag. Peningkatan ekspresi Bcl-2 pada sel T dan protein Fas pada CD8+ mengakibatkan peningkatan apoptosis dan limfositopenia.Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun mempunyai peranan penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit. Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara menars dan menopause, diikuti anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi oleh Cooper dkk menyatakan bahwa menars yang terlambat dan menopause dini juga dapat mendapat LES, yang menandakan bahwa pajanan estrogen yang lebih lama bukan risiko terbesar untuk mendapat LES.Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen merupakan karakteristik pada SLE. Anak-anak dengan SLE juga mempunyai kadar hormon FSH (Follicle-stimulating hormone), LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin yang meningkat. Pada perempuan dengan SLE, juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan estriol. Frekuensi SLE juga meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan postpartum. Pada hewan percobaan hormon androgen akan menghambat perkembangan penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan mempertinggi angka kematian penderita jantan.Fakta bahwa sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi genetiknya belum dapat diungkapkan secara jelas, menunjukkan faktor lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi respon imun spesifik berupa molecular mimicry yang mengacau regulasi sistem imun.1,2Gambaran klinisManifestasi klinis SLE sangat luas. Awalnya di tandai dengan gejala klinis yang tidak spesifik antara lain: lemah, lesu, panas mual nafsu makan turun dan berat badan menurun.Manifestasi sistem muskulo skeletal dapat berupa artalgia yang hampir di jumpai sekitar 70% atau atritis yang di tandai dengan sendi yang bengkok, kemerahan yang kadanga kadang disertai efusi, sendi sendi yang sering tekena antara lain sendi jari-jari tangan, siku, bahu, dan lutut. Artritis pada SLE kadang menyerupai artritis reumatoid, bedanya adalah artritis pada SLE sifatnya nonerosif

Sistem mukokutaneus1. Kutaneus lupus akut: malar rash (butterfly rash) merupakan tanda spesifik pada SLE, yaitu bentukan ruam pada kedua pipi yang tidak melebihi lipatan nasolabial dan di tandai dengan adanya ruam pada hidung yang menyambung dengan ruam yang ada di pipi. Bentuk akut kutaneus lain yaitu bentuk morbili, ruam makular, fotosensitif, papulodermatitis, bulosa, toksik epidermal nekrolitik. Pada umumnya ruam akut kutaneus ini bersifat fotosensitif

2. Kutaneus lupus subakut simetrikal eritema sentrifugum, anular eritema , psoriatik LE, pitiriasis dan makulo papulo fotosensitif. Manifestasi subakut lupus ini sangat erat hubungannya dengan antibody Ro lesi subakut umumnya sembuh tanpa meninggalkan scar.

3. Kutaneus lupus kronis. Bentuk yang klasik adalah lupus dikoid yang berupa bercak kemerahan denga kerak keratotik pada permukaannya. Bersifat kronik dan rekuren pada lesi yang kronik ditan dai dengan parut dan atropi pada daerah sentral dan hiperpigmentasi pada daerah tepinya. Lesi ini sering dijumpai pada kulit kepala yang sering menimbulkan kebotakan yang irreversible. Daun telinga leher , lengan dan wajah juga sering terkena panikulitis lupus atau lupus profundus di tandai dengan inflamasi pada lapisan bawah dari dermis dan jaringan subkutan. Gambaran klinisnyaberupa nodul yang sangat dalam dan sangat keras, dengan ukuran 1-3cm. Hanya di temukan sekitar 2 % pada penderita SLE

4. Nonspesifik kutaneus lupus ; vaskulitis cutaneus. Ditemuka hampir pada 70% pasien . manifestasi kutaneus nonspesifik lupus tergantung pada pembuluh darah yang terkena . bentuknya bermacam macam antara lain : Urtikaria

Ulkus

Purpura

Bulosa, bentuk ini akibat dari hilangnya integritas dari dermal dan epidermal junctionSplinter hemorrhage

Eritema periungual

Nailfold infar bentuk vaskulitis dari arteriol atau venul pada tangan

Eritema pada tenar dan hipotenar mungkin bisa dijumpai .pada umumnya biopsi pada tempat ini menunjukkan leukosistoklasik vaskulitisRaynould phenomenon. Gambaran khas dari raynouls phenomenon ini adanya vasospasme, yang di tandai dengan sianosis yang berubah menjadi bentuk kemerahan bila terkena panas. Kadanga disertai dengan nyeri. Raynould phenomenon ini sangat terkait dengan antibodi U1 RNP

Alopesia. Akibat kerontokan rambut yang bersifat sementara terkai dengan aktifitas penyakitbiasnya bersifat difus tanpa adanya jaringan parut. Kerontokan rambut biasanya di mulai pada garis rambut depan. Pada keadaan tertentu bisa menimbulkan alopecia yang menetap di sebabkan oleh diskoid lupus yang meninggalkan jaringan parut

Sklerodaktili. Di tandai dengan adanya sklerotik dan bengkak berwarna kepucatan pada tangan akibat dari perubahan tipe skleroderma. Hanya terjadi pada 7% pasien

Nodul rheumatoid. Ini dikaitkan dengan antibodi Ro yang positif dan adanya reumatoid like arthritisPerubahan pigmentasi. Bisa berupa hipo atau hiperpigmentasi pada daerah yang terpapar sinar matahariKuku. Manifestasinya bisa berupa nail bed atrofy atau telangektasi pada kutikula kuku15.Luka mulut (oral ulcer) luka pada mulut yang terdapat pada palatum molle atau durum mukosa pipi, gusi dan biasanya tidak nyeri

Gamabaran histopatologis kutaneus lupus yaitu didapatkannya kompleks imun yang berbentuk seperti pita pada daerah epidermal junction (lupus band)

Manifestasi pada paruDapat berupa pnemonitis, pleuritis, atau pun pulmonary haemorrhage, emboli paru, hipertensi pulmonal, pleuritis ditandai dengan nyeri dada atau efusi pleura, atau friction rub pada pemeriksaan fisik. Efusi pleura yang di jumpai biasanya jernih dengan kadar protein 0,5 g/hari Silinder selularEnsefalopati Kejang PsikosisPleuritis atau perikarditisKelainan hematologi Anemia hemolitik Leukopenia Limfopenia TrombositopeniaPemeriksaan imunoserologis positif Antibodi terhadap dsDNA

Antibodi terhadap Smith nuclear antigen

Antibodi antifosfolipid (+), berdasarkan:

Antibodi IgG atau IgM antikardiolipin

Lupus antikoagulan Positif palsu pada tes serologis untuk sifilis dalam waktu 6 bulanTes antinuklear antibodi (ANA) positifJika didapatkan 4 dari 11 kriteria diatas kapanpun dalam masa observasi penyakit, diagnosis SLE dapat dibuat dengan sensitivitas 96% dan spesifisitas 96%. Pemeriksaan Laboratorium pada SLE1. Urinalisis2. Darah tepi, termasuk LED3. Proteinuria kuantitatif 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu pemeriksaan fungsi ginjal- darah ureum dan kreatinin- klirens ureum dan kreatinin4. Kimia darah - albumin, globulin, kolesterol5. Pemeriksaan khusus- sel LE- komplemen darah (C3, C4, CH50)- C-reaktif protein (CRP)- Antibodi anti ds-DNA- Uji coombs- Uji serologi sifilis- Serum imunoglobulin, terutama IgG- krioglobulin6. Biopsi ginjal Bila memungkinkan dapat diperiksa anti Ro, anti Sm, dan anti kardiolipin (anti fosfolipid).4Differential Diagnoses1. Sindrom antifosfolipid2. Polyartritis nodosa3. Hepapatisis C4. Demam reumatik5. Infeksi endokarditis6. Reumatoid arthritis7. Penyakit lyme Diferensial DiagnosaWorking Diagnoses

Pada pasien dengan kecurigaan klinis tinggi atau titer ANA yang tinggi, pengujian tambahan ditunjukkan. Hal ini biasanya meliputi evaluasi antibodi terhadap dsDNA, dan ANA subtipe seperti Sm, SSA, SSB, dan ribonucleoprotein (RNP) (sering disebut panel ENA). Skrining penelitian laboratorium untuk mendiagnosa SLE mungkin harus termasuk jumlah CBC dengan diferensial, kreatinin serum, urine dengan mikroskop, ANA, dan, mungkin, penanda inflamasi dasar.

Berikut ini adalah tes autoantibody yang digunakan dalam diagnosis dari SLE:

1.ANA Skrining tes; sensitivitas 95%, bukan diagnostik tanpa fitur klinis.

2. Anti-dsDNA - spesifisitas Tinggi; sensitivitas hanya 70%, kadar variabel yang berdasarkan pada aktivitas penyakit.

3. Anti-Sm - Kebanyakan antibodi spesifik SLE; hanya 30-40% sensitivitas

4. Anti-SSA (Ro) atau Anti-SSB (La) - Hadir dalam 15% pasien dengan SLE dan jaringan ikat-penyakit seperti sindrom Sjgren; terkait dengan lupus neonatal

5. Anti-ribosom P - Jarang antibodi yang mungkin berkorelasi dengan cerebritis lupus

6. Anti-RNP - Termasuk dengan anti-Sm, SSA, dan SSB dalam profil ENA; mungkin menunjukkan campuran jaringan ikat-penyakit dengan tumpang tindih SLE, skleroderma, danmyositis

7. Anticardiolipin - IgG / IgM varian diukur dengan enzyme-linked immunoassay (ELISA) di antara antibodi antifosfolipid yang digunakan untuk menyaring sindrom antibodiantifosfolipid

8. Lupus antikoagulan - tes Multiple (misalnya, langsung Russell Viper Venom test) untuk layar untuk inhibitor dalam kaskade pembekuan dalam sindrom antibodi antifosfolipid

9. uji Coombs - anemia Coombs tes positif untuk menunjukkan antibodi di sel darah merah.

10. Anti-histone - Obat-induced lupus antibodi ANA sering jenis ini (misalnya, dengan procainamide atau hydralazine; perinuclear antineutrophil antibodi sitoplasma [p-Anca]-positif di minocycline-induced lupus obat-induced)

Tes laboratorium lain yang digunakan dalam diagnosis dari SLE adalah sebagai berikut:

penanda inflamasi: Tingkat penanda inflamasi, termasuk tingkat sedimentasi eritrosit (ESR) atau protein C-reaktif (CRP), mungkin meningkat dalam kondisi apapun inflamasi, termasuk SLE. Tingkat CRP berubah lebih akut, dan ESR tertinggal di belakang perubahanpenyakit

. 1. Level pelengkap: C3 dan C4 tingkat sering depresi pada pasien dengan SLE aktif karena konsumsi oleh peradangan kekebalan yang kompleks-induced. Selain itu, beberapa pasien memiliki kekurangan bawaan melengkapi yang predisposes mereka untuk SLE.

2. Sebuah hitungan CBC dapat membantu untuk menyaring leukopenia, limfopenia, anemia, dan trombositopenia, dan urine dan studi kreatinin mungkin berguna untuk skrining penyakit ginjal.

3. Hasil tes hati mungkin sedikit meningkat pada SLE akut atau sebagai respons terhadap terapi seperti azathioprine atau obat anti peradangan non-steroid (OAINS).

4. Kreatinin kinase tingkat mungkin meningkat dalam myositis atau tumpang tindih sindrom.

Prosedur Lumbar tusukan mungkin dilakukan untuk mengecualikan infeksi dengan gejala demam atau neurologis. nonspesifik peningkatan dalam jumlah sel dan tingkat protein dan penurunan kadar glukosa dapat ditemukan dalam cairan serebrospinal pasien dengan lupus CNS.

Biopsi ginjal digunakan untuk mengidentifikasi jenis spesifik glomerulonefritis,

untuk membantu dalam prognosis, dan untuk memandu pengobatan. Manfaat lain dari biopsi ginjal dalam membedakan lupus ginjal dari trombosis ginjal, yang dapat mempersulit sindrom antibodi antifosfolipid dan memerlukan antikoagulasi daripada terapi imunomodulator.

Biopsi kulit dapat membantu untuk mendiagnosa SLE ruam atau tidak biasa pada pasien dengan SLE. ruam yang berbeda mungkin Banyak pemberita SLE, membuat review oleh dermatopathologist penting.

Ruam kulit Lupus sering menunjukkan infiltrat inflamasi di persimpangan dermoepidermal dan perubahan vacuolar dalam sel kolumnar basal. lesi diskoid menunjukkan peradangan kulit yang lebih signifikan, dengan hiperkeratosis, penyumbatan folikular, edema, dan infiltrasi sel mononuklear di persimpangan dermoepidermal. Dalam ruam SLE banyak, noda immunofluorescent menunjukkan imunoglobulin dan melengkapi deposito pada membran basal dermoepiderma5

Pengobatan/ TherapiSaat ini mortlitas lupus pada dekade 5 tahun terakhir menunjukkan perbaikan. Five year survival ratenya saat ini hampir 90% sedangkan 15 year survival ratenya berkisar 63-79%. Kemajuan ini disebabkan pendekatan terapi yang lebih agresif dan kemajuan pengguanaan imunosupressan untuk menekan aktifitas penyakit. Prinsip pengobatan adalah untuk mencegah progresivitas dan memantau efek samping obat. Sampai saat ini steroid masih digunakan sebagai pilihan utama untuk mengendalikan aktifitas penyakit . steroid adalah hormon yang berfungsi sebagai anti inflamasi dan imunoregulator , yang secara normal di sekresi oleh kelenjar adrenal. Dosis yang dianjurkan 1mg/kg/bb/hari diberikan selama 4 minggu yang selanjutnya di tepering secara perlahan lahan bila lupus mengenai organ vital atau mengancam jiwa, maka di berikan steroid megadosis yaitu pulse intravena methyl prednisolon (500-1000 mg/hari) selama 3 hari. Pemekaian jangka panjang steroid menimbulkan berbagai efek samping, antara lain. Cushing sindrome , diabetes millitus, dislipiddemia, osteoporosis, osteonekrosis/avaskuler nekrosis, hipertensi, arterosklerosis, meningkatnya resiko infeksi, maka selama pemakaian steroid harus selalu di pantau efek sampingnya, glukokortikoid merupakan hormon steroid yang sangat kuat dengan efek mineralokortikoid yang ringan di banding kortison.

Efek steroid sebagai anti inflamasi

1. Penghamabat dilatasi dan permeabilitas pembuluh darah

2. Penghambat migrasi neutrofil ke perifer

3. penghambat sintesis mediator inflamasi

4. mengatur pemecahan enzim enzim

5. mengatur keseimbangan sitokin yang berperan dalam antiinflamasi

efek imunosupresif

1. limfopeni terhadap sel T

2. penghambat signal trandusi aktivasi sel T3. penghambat sintesis interleukin 2

4. mengatur permukaan molekul sel T

5. menghambat sel APC

6. merangsang sel T apoptosis

dosis glukokortikoid yang di gunakan untuk terapi SLE

1. pulse dengan dosis 15-30 mg/kg/bb/hari atau 1g/m2 diberikan IV selama 1-3 hari indikasi lupus manifestasi dengan organ yang mengancam jiwa: RPGN, myelopathy, kebingungan akut yang berat, perdarahan paru, vaskulitis, optik pleuritis. Yang perlu di perhatikan adalah dosis yang sangat besar untuk menimbulkan overload cairan hipertensi dan neuropsikiatrik

2. dosis sangat tinggi yaitu >1-2 mg/kg/bb di berikan IV atau per oral di gunakan untuk lupus dengan manifestasi organ yang mengancam jiwa. Hindari penggunaan lebih dari 1-2 minggu. Efek samping yaitu timbulnya infeksi yang berat.

3. Dosis tinggi 0,6-1mg/kg/BB di berikan IV atau peroral. Indikasinya anemi hemolitik, trombopeni, lupus pnemonitis akut

4. Dosis sedang 0,125-0,5 mg/hari di berikan secara oral untuk neusitisis, pleuritis yang berat, trombopeni

5. Dosis rendah < 0,125-