16
1 PRENIALISME DALAM PEMBELAJARAN FISIKA (Artikulasi Kearifan Lokal sebagai Salah Satu Alternatif Penyelesaian Konflik Horizontal) M. Agus Martawijaya [email protected] Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Makassar Abstrak: Permasalahan serius yang terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini adalah merosotnya karakter bangsa, yang berdampak pada terjadinya konflik horizontal. Oleh karena itu pembelajaran fisika sebagai salah satu bagian dari proses pendidikan di Indonesia harus mampu berperan serta dalam upaya mengatasi permasalahan tersebut, khususnya dalam upaya peningkatan karakter kejujuran selain dari ketuntasan belajar peserta didik. Untuk mewujudkan peran tersebut, maka pembelajaran fisika hendaknya dilaksanakan dengan berbasis pada aliran filsafat perenialisme. Hal ini mensyaratkan bahwa perencanaan, proses, dan penilaian pembelajaran fisika hendaknya dapat dilaksanakan dengan berbasis pada artikulasi kearifan lokal sebagai manifestasi dari aliran filsafat perenialisme. Kata kunci: Perenialisme, Kearifan Lokal, Konflik Horizontal, Pembelajaran Fisika. Abstract: The problems that arise in the sphere of education in Indonesia is a deterioration in the character of the people of Indonesia, especially the younger generation. This problem requires all

MAKALAH SEMINAR NASIONAL.doc

Embed Size (px)

Citation preview

PRENIALISME DALAM PEMBELAJARAN FISIKA

1

PRENIALISME DALAM PEMBELAJARAN FISIKA

(Artikulasi Kearifan Lokal sebagai Salah Satu Alternatif Penyelesaian Konflik Horizontal)

M. Agus Martawijaya

[email protected]

Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan AlamUniversitas Negeri Makassar

Abstrak: Permasalahan serius yang terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini adalah merosotnya karakter bangsa, yang berdampak pada terjadinya konflik horizontal. Oleh karena itu pembelajaran fisika sebagai salah satu bagian dari proses pendidikan di Indonesia harus mampu berperan serta dalam upaya mengatasi permasalahan tersebut, khususnya dalam upaya peningkatan karakter kejujuran selain dari ketuntasan belajar peserta didik. Untuk mewujudkan peran tersebut, maka pembelajaran fisika hendaknya dilaksanakan dengan berbasis pada aliran filsafat perenialisme. Hal ini mensyaratkan bahwa perencanaan, proses, dan penilaian pembelajaran fisika hendaknya dapat dilaksanakan dengan berbasis pada artikulasi kearifan lokal sebagai manifestasi dari aliran filsafat perenialisme.Kata kunci: Perenialisme, Kearifan Lokal, Konflik Horizontal, Pembelajaran Fisika.Abstract: The problems that arise in the sphere of education in Indonesia is a deterioration in the character of the people of Indonesia, especially the younger generation. This problem requires all stakeholders to think and act so that this problem can be solved. Understand perennial philosophy has provided a way out which has proven toughness can solve various problems of life as it is today. Local knowledge as a source of understanding perennial philosophy can be used as a basis for improvement of the nation's moral crisis or the current character through the implementation of education in the form of learning in general, especially in learning physics. Based on the results of the implementation, the values of local wisdom, honesty can improve the character of learners in the learning of physics as well as other characters that can degrade both horizontal conflict in society.Key words: horizontal conflict, local wisdom, physics learning, perennial philosophy. PENDAHULUAN

Berbicara mengenai pembinaan sumber daya manusia, berarti berbicara mengenai kualitas pendidikan. Pertanyaannya adalah "bagaimana dengan kualitas pendidikan Indonesia pada akhir-akhir ini?" Jawaban yang memungkinkan adalah pelaksanaan pendidikan masih mengindikasikan adanya penyimpangan dari roh pendidikan itu sendiri. Roh pendidikan yang dimaksudkan dapat disimak bersama dalam arti pendidikan yang dikemukan oleh Jalaluddin dan Idi (2009: 22), yakni sebagai berikut.

Pendidikan diartikan sebagai suatu proses usaha dari manusia dewasa yang telah sadar akan kemanusiaannya dalam membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan nilai-nilai dan dasar-dasar pendangan hidup kepada generasi muda, agar nantinya menjadi manusia yang sadar akan tugas-tugas hidupnya sebagai manusia, sesuai dengan sifat hakiki dan ciri-ciri kemanusiaannya.

Jika mencermati dengan saksama arti pendidikan di atas, maka cukup beralasan apabila dikatakan bahwa makna pendidikan yang tercantum di dalam Undang-Undang Republik Indonesia (RI) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan makna dari pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara tercakup di dalamnya. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan, bertumbuhnya budi pekerti, pikiran dan tubuh anak, sehingga terbentuknya kesempurnaan hidup yang selaras dan serasi dengan dunianya (Raharjo, 2010: 97). Dengan demikian, pendidikan yang ditanamkan oleh Ki Hajar Dewantara memberikan penekanan pada aspek humanisme, dalam bahasa Bugis sipakatau.Meskipun pihak penentu kebijakan dan praktisi pendidikan di Indonesia telah dan sedang melaksanakan pelbagai upaya untuk mencapai tujuan pendidikan nasional Indonesia, tetapi muncul pelbagai permasalahan yang mengindikasikan terjadinya kemerosotan karakter bagi bangsa Indonesia. Heryawan dalam Harian Republika, 28 Agustus 2010 mengungkapkan bentuk keprihatinan pada kenyataan bahwa bangsa Indonesia sedang menghadapi persoalan serius, yaitu lemahnya karakter yang merupakan salah satu penyebab utama dari pelbagai penyakit kronis dalam lingkungan masyarakat maupun pendidikan. Polling yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada 10-12 Agustus 2011 terhadap responden (siswa dan mahasiswa) yang berdomisili di 12 kota besar Indonesia menunjukkan: 80,7% responden menyatakan bahwa sopan santun di kalangan anak muda kini semakin rendah(Kompas, 23 Agustus 2011). Di dalam Policy Brief (2011) terungkap beberapa permasalahan Bangsa dan Negara Indonesia, yaitu: (1) disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila; (2) keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila; (3) bergesernya sejumlah etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; (4) memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa; (5) ancaman disintegrasi bangsa; dan (6) melemahnya kemandirian bangsa.Fakta-fakta tersebut di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya setiap saat terjadi konflik horisontal di Indonesia, meskipun dalam skala kecil. Konflik horisontal dapat dipandang sebagai perwujudann dari krisis moral. Sehubungan dengan itu, Zubaedi (2007) mengemukakan bahwa terjadinya krisis moral seperti sekarang sebagian besar bersumber dari kesalahan lembaga pendidikan nasional yang dianggap belum optimal dalam membentuk kepribadian peserta didik. Rujukan lain yang dapat dijadikan dasar untuk menjawab permasalahan mengenai terjadinya konflik horizontal di Indonesia adalah, hasil pengamatan Sudarmanto (2011) menyatakan bahwa permasalahan paling serius bagi bangsa Indonesia adalah tingginya intensitas ketidakjujuran dan adanya saling mencurigai serta membenci diantara sesamanya. Hasil pengamatan ini sejalan dengan pernyataan Lubis (2008) yang menyatakan bahwa sikap saling menyalahkan, tidak bisa dipegang kata-kata dan janjinya, suka mengelak dari tanggung jawab, saling hujat, dan tidak menyatunya antara kata dan perbuatan banyak terjadi di kalangan bangsa Indonesia. Dalam dunia pendidikan, khususnya di kalangan peserta didik, Baswedan (2014) mengungkapkan sejumlah penyimpangan karakter bangsa Indonesia yang terjadi baik dalam lingkungan sekolah maupun di luar sekolah, yakni sebagai berikut.

Gambar 1. Kekerasan Fisik di Dalam Lingkungan Pendidikan

Gambar 2. Kekerasan Fisik yang terjadi Antar Pelajar

Gambar 3. Kekerasan Seksual di Luar Sekolah

Gambar 4. Kekerasan Seksual di Dalam SekolahKalimat yang dapat penulis jadikan tesis dari fakta-fakta di atas adalah ketidakjujuran sebagai penyebab utama terjadinya konflik horisontal bagi bangsa Indonesia. Bukan berarti bahwa kejujuran bagi bangsa Indonesia sudah tidak ada sama sema sekali, termasuk bagi peserta didik. Oleh karena itu, kejujuran bagi peserta didik masih dapat ditingkatkan seiring dengan ketuntasan belajarnya dalam ranah kognitif dan psikomotor dalam setiap pembelajaran, termasuk dalam pembelajaran fisika. Pertanyaannya adalah bagaimana pembelajaran fisika dapat meningkatkan kejujuran peserta didik? Jawaban adalah perencanaan, proses, dan penilian pembelajaran fisika dilaksanakan dengan berbasis pada aliran filsafat perenialisme dengan mengutamakan artikulasi kearifan lokal.

PEMBAHASAN

Perenialisme adalah salah satu aliran filsafat dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Filsafat perenialisme berasal dari kata kata latin, yaitu philosophia perennis yang berarti filsafat abadi. Kesejatiannya dapat diwariskan kepada generasi ke generasi serta dapat melampaui kecenderungan corak filsafat yang silih berganti (Charles B. Schmitt dalam Studia Philosophia et Theologia, vol 7 No. 1, 2007).

Para penganut filsafat perenialisme berpandangan bahwa situasi di dunia ini penuh kekacauan, ketidakpastian dan ketidak teraturan, terutama pada kehidupan moral, intelektual, dan sosio kultural sehingga perlu ada upaya yang dapat dilakukan untuk mengamankannya (http:/andikamandum.files.wordpress. com/2012/06/perenialisme-dan-esensialisme.pdf). Upaya yang dimaksudkan itu adalah mundur ke belakang, dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kuat dan kokoh pada masa lampau. Dalam arti berpegang teguh pada nilai-nilai/norma-norma yang bersifat kekal atau abadi (http://www.fisafatpendidikan.com/wp_content/uploads/2011/ 12/essensialisme-dan-perenialisme.pdf).Manifestasi filsafat perenialisme, salah satu diantaranya adalah "kearifan lokal". Di dalam buku yang berjudul Bunga Rampai Kearifan Lokal di tengah-tengah Modernisasi, Kartawinata mengemukakan pengertian kearifan lokal yang ditinjau dari pengertian kebahasaan dan antropologi (Nasruddin, dkk., 2011: ix). Kearifan lokal menurut arti bahasa adalah kearifan setempat (local wisdom) yaitu gagasan-gagasan lokal yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, memiliki nilai yang tertanam dan diikuti oleh warga masyarakat setempat. Dalam konteks ilmu antropologi, kearifan lokal memiliki makna suatu pengetahuan setempat (indergenous or local knowledge), atau sautu kecerdasan setempat (local genius) yang menjadi dasar identitas kebudayaan (cultutral identity). Menurut Sartini (2004: 113) bahwa kearifan lokal merupakan gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus menerus dalam kesadaran masyarakat dalam mengatur kehidupannya dari yang sifatnya sakral sampai sifatnya profan. Sejalan dengan itu, Hamid (2012: 6) mengemukakan bahwa secara konseptual kearifan lokal dapat dirumuskan sebagai pengetahuan, nilai-nilai, pandangan hidup, dan cara-cara individu dan komunitas dalam memenuhi kebutuhannya serta mengatasi masalah yang dihadapi.

Kearifan lokal memiliki 3 (tiga) makna dalam artikulasinya, yaitu: (1) kearifan lokal sebagai penanaman/peningkatan karakter; (2) kearifan lokal sebagai basis untuk menegakkan kohesi sosial; dan (3) kearifan lokal sebagai teknik penyelesaian konflik (Agustang, 2014). Ketiga artikulasi kearifan lokal ini hendaknya menjadi basis pembelajaran fisika sehingga kejujuran peserta didik meningkat seiring dengan meningkatnya ketuntasan belajar mereka dalam ranah kognitif dan psikomotor. Tanpa mengesampingkan kearifan lokal dari etnis lain, dapat diyakini bahwa ketiga artikulasi kearifan lokal tersebut di atas berada dalam bingkai kearifan lokal masyarakat Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat yang terkenal, yaitu siri' na pacce (bahasa Makassar) atau siri' na pesse (bahasa Bugis). Hal ini cukup beralasan, karena menurut Mannahao (2010) bahwa spektrum siri' na pesse terdiri atas 4 (empat) unsur, yaitu: (1) lempu atau jujur (honest); (2) acca atau cendekia (smart); (3) warani atau berani (courage); dan (4) mappesona ri dewataE atau berserah diri kepada Allah SWT (resignation).

Meskipun keempat unsur spektrum siri' na pesse tidak dapat dipisahkan oleh manusia dalam menjalani kehidupannya sebagai pribadi dan sebagai mahluk sosial, tetapi bagaimana pembelajaran fisika dapat meningkatkan kejujuran peserta didik selain ketuntasan belajarnya? Jawaban yang paling mungkin adalah melalui model pembelajaran berbasis aliran filsafat perenialisme. Bagi masyarakat Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, model pembelajaran yang dimaksudkan berbasis pada falsafah hidup siri' na pesse.Model pembelajaran adalah pola yang berfungsi mengarahkan pendidik dalam merencanakan pembelajaran, mengelola pembelajaran, dan menilai hasil pembelajaran. Suatu model pembelajaran harus jelas unsur-unsurnya, yaitu: (1) rasional dan teori pendukung; (2) sintaks; (3) sistem sosial; (4) sistem pendukung; (5) prinsip reaksi; dan (6) dampak pembelajaran dan dampak pengiring. Pemaknaan terhadap unsur-unsur dari suatu model pembelajaran akan membantu dan memudahkan pendidik, termasuk pendidik mata pelajaran fisika dalam menetapkan pendekatan, strategi, metode, teknik, dan taktik pembelajaran yang akan diterapkan. Model pembelajaran berbasis pada falsafah hidup siri' na pesse menerapkan pendekatan a'bulo sibatang (bahasa Makassar) atau ma'bulo sipeppa (bahasa Bugis), strategi samaturu, metode mappenessa, teknik mappesabbi, dan taktik sipakatau. Model pembelajaran ini dibangun di pulau Barrang Lompo dengan berdasar pada rasionalitas bahwa masyarakat pulau Barrang Lompo berkeinginan untuk selalu hidup tenteram dan damai tanpa ada konflik horisontal, sebagaimana ungkapan bernuansa kearifan lokal yang mereka bangun, yaitu Maeki A'bulo Sibatang Nakibajiki Pa'rasanganta (mari bersatu bagaikan sebatang bambu untuk memperbaiki kampung halaman kita).Dalam pelaksanaan model ini, salah satu ungkapan leluhur masyarakat Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat yang secara langsung diimplementasi oleh pendidik adalah assama iyyako mua'bulo sipeppa, mupenrekengnga inanre manasu (Moein, 1994). Ungkapan ini dapat dimaknai bahwa berkerjasamalah bagaikan sebatang bambu, kemudian berikan padaku hasil yang benar-benar matang. Oleh karena itu, pendidik lebih banyak menjalankan fungsinya sebagai fasilitator sehingga pembelajaran berpusat kepada peserta didik dalam bentuk kerja kelompok ma'bulo sipeppa atau a'bulo sibatang.Hasil pelaksanaan model ini. Khusus pada peserta didik SMP di pulau Barrang Lompo adalah sebagai berikut.

1. Kevalidan Model PembelajaranModel pembelajaran yang dibangun terdiri atas: (1) Buku Model; (2) Buku Fisika Pendidik; (3) Buku Fisika Peserta Didik; (4) Lembar Kerja Fisika Peserta Didik; (5) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran; dan (6) Instrumen. Hasil validasi dari 3 (tiga) orang pakar menunjukkan bahwa semuanya berada pada kategori sangat valid.2. Kepraktisan Model Pembelajaran

Kepraktisan model pembelajaran dilihat dari 3 (tiga) aspek, yaitu: (1) keterlaksanaan pembelajaran; (2) kemampuan pendidik mengelola pembelajaran; dan (3) aktivitas peserta didik dalam pembelajaran. Hasil dari 3 (tiga) orang pengamat menunjukkan: (1) Model pembelajaran terlaksana seluruhnya; (2) kemampuan pendidik mengelola pembelajaran berada pada kategori sangat tinggi; dan (3) aktivitas peserta didik memenuhi kriteria batas toleransi pencapaian waktu ideal yang digunakan selama pembelajaran.3. Keefektifan Model Pembelajaran

Keefektifan model pembelajaran dilihat dari peningkatan karakter dan ketuntasan belajar fisika peserta didik. Hasil penilaian menujukkan bahwa karakter kejujuran dan keingintahuan peserta didik mengalami peningkatan pada setiap pembelajaran. Demikian pula halnya dengan ketuntasan belajar peserta didik, juga mengalami peningkatan dari semester sebelumnya.Karakter kejujuran yang menjadi obyek penelitian ini meliputi: (1) kejujuran dalam melaporkan data pengukuran (mappalettu suke'); (2) kejujuran dalam menyelesaikan tugas menurut kepantasan dirinya (mappasitinaja ale); dan (3) kejujuran dalam menepati janji (mappapole janci). Karakter keingintahuan yang menjadi obyek penelitian ini meliputi: (1) mengajukan pertanyaan (mappangolo pakkutana); dan (2) merencanakan penyelidikan (mamminasa pappenessa). Ketuntasan belajar fisika yang menjadi obyek penelitian ini meliputi: (1) ketuntasan belajar dalam ranah kognitif; dan (2) ketuntasan belajar dalam ranah psikomotor. PENUTUP

Pada bagian penutup makalah ini dikemukakan beberapa rekomendasi, yakni sebagai berikut.

1. Untuk dapat meningkatkan karakter kejujuran dan keingintahuan peserta didik, serta ketuntasan belajarnya, baik pada mata pelajaran rumpun ilmu pengetahuan alam maupun mata pelajaran lainnya sebaiknya menggunakan model pembelajaran ini baik secara langsung maupun setelah dimodifikasi atau diadaptasi.

2. Untuk dapat menerapkan model pembelajaran ini secara bermakna, maka dibutuhkan kemampuan pendidik membuat perangkat pembelajaran yang sesuai dengan kearifan lokal masyarakat setempat.

3. Model pembelajaran ini dapat dimodifikasi atau diadaptasi untuk dapat meningkatkan karakter-karakter yang lain, baik pada mata pelajaran rumpun ilmu pengetahuan alam maupun mata pelajaran lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Agustang, A. 2014. Tatanan Sosial Semakin Kacau. Cakrawala. 17 Mei 2014.

Baswedan, Anis R. 2014. Gawat Darurat Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Hamid, M. 2012. Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal. Makalah, Makassar: Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar.

Jalaluddin & Idi, A. 2009. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz MediaKompas. Anak Muda Makin Tidak Sopan. Selasa 23 Agustus 2011.

Lubis, M. 2008. Evaluasi Pendidikan Nilai. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mannahao, I. M. 2010. The Secret of Siri Na Pesse. Makassar: Pustaka RefleksiMartawijaya, M. Agus. 2014. Model Pembelajaran Fisika Berbasis Kearifan Local Untuk Meningkatkan Karakter dan Ketuntasan Belajar Peserta Didik SMP di Pulau Barrang Lompo. Disertasi, PPs UNM.

Moein. A. MG. 1994. Sirik Na Pacce. Ujung Pandang: Yayasan Makassar Press.

Nasruddin, dkk. 2011. Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.

Policy Brief. 2011. Pendidikan Karakter untuk Membangun Karakter Bangsa. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar.

Rahardjo, S. 2010. Ki Hajar Dewantara: Biografi Singkat 1889-1959. Jogjakarta: Garasi House of Book

Sartini. 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafati, Jurnal Filsafat. Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2, hlm. 111-120.

Sudarmanto. 2011. Pengembangan Kewirausahaan dan Daya saing Bangsa melalui Pendidikan Karakter. Orasi Ilmiah, Bandar Lampung: FKIP Universitas Lampung.

Wora, Emanuel. 2006. Perenialisme, Kritik atas Modernisme dan Postmodernisme. Yogyakata: Kanisius.

Zubaedi. 2007. Pendidikan Berbasis Masyarakat: Upaya Menawarkan Solusi terhadap Berbagai Problem Sosial. Yogyakarta: Pustaka Belajar.