makalah perselisihan

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Indonesia sebagai negara hukum telah mengatur Undang-Undang tentang Perkawinan yang tertuang dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974, dilengkapi dengan PeraturanPemerintah No.9 tahun 1975 yaitu tentang pelaksanaan Undang- Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Intruksi Presiden No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan peraturan lainya mengenai perkawinan. Diharapkan dengan adanya aturan hukum ini, persoalan perkawinan yang terjadi di Indonesia dapat diselesaikan dengan baik berdasarkan hukum positip juga berdasarkan hukum agama (terutama Islam sebagai penganut mayoritas yang ada di Indonesia). Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pengertian perkawinan, adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. penting dalam kehidupan setiap manusia yang akan menimbulkan akibat lahir maupun batin antara mereka, Pembinaan terhadap perkawinan merupakan konsekwensi logis dan sekaligus merupakan cita- cita bangsa Indonesia, agar memiliki peraturan hukum perkawinan yang bersifat nasional yang berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian timbul hukum perkawinan, yaitu hukum yang mengatur hubungan suami istri dalam suatu keluarga dan akibat-akibat yang Perkawinan merupakan peristiwa

ditimbulkannya, antara lain syarat perkawinan, pelaksanaanya dan lain-lain, yang diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dengan Peraturan Pelaksanaan Nomor 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berlaku secara

nasional. Penjelasan umum dari Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 menyebutkan, bahwa tujuan dari suatu perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, harmonis dan tidak bercerai berai, sehingga sebelum keduanya menikah ada perbedaan latar belakang serta pendapat yang harus disatukan, dan untuk dapat membangun sebuah perkawinan, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Ditinjau dari sudut pandang Islam, lembaga perkawinan merupakan suatu lembaga yang suci dan luhur, di mana kedua belah pihak dihubungkan sebagai suami istri dengan mempergunakan nama Allah SWT, sesuai dengan bunyi surat An-Nissa ayat 1 yang artinya : Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhan yang telah menciptakan kamu dan dari padanya ALLAH mengembangbikkan laki-laki fan perempuan

(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturahmi. Sesungguhnya ALLAH selalu menjaga dan mengawasi kamu. Berdasarkan berhubungan dengan perkawinan, haruslah berpedoman pada ketentuan Tuhan sebagamana diajarkan dalam agama. sementara itu menurut pandangan Negara, perkawinan mempunyai hubungan erat sekali dengan agama/kerohanian (sesuai dengan sila pertama Pancasila), sehingga perkawinan bukan saja mengandung unsur lahir atau jasmani saja, tetapi juga mengandung unsur batin/rohani. Salah satu Pasal yang mengatur tentang perkawinan itu adalah Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan dimana ditetapkan bahwa, perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan-peraturan yang berlaku. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut, bahwa perkawinan yang sah itu hanyalah dilakukan menurut agama dan ayat ini, maka pengaturan mengenai hal-hal yang

kepercayaannya dari para pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Selain itu juga harus dicatat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, sesuai dengan Pasal tersebut di atas, maka pelaksanaan menurut agama dan kepercayaan masing-masing merupakan syarat mutlak untuk menentukan sah tidaknya suatu perkawinan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak saja menempatkan pencatatan perkawinan sesuatu yang penting, tetapi juga menjelaskan mekanisme sebagaimana pencatatan perkawinan itu dilaksanakan. Di dalam Pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab IV Bagian ke tiga alenia 1 Pasal 34, 35, 36 Undang-Undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Adakalanya dalam sesuatu perkawinan timbul masalah, yaitu apabila suatu perkawinan telah berlangsung beberapa tahun lamanya, kemudian salah satu pihak atau keduanya pindah agama, misalnya dari agama Islam keagama non Islam, maka hal ini tentu dapat mengganggu ketentraman dan kerukunan hidup rumah tangga yang terbina dan bahkan dapat menimbulkan perceraian. Persoalan yang ingin diangkat penulis yaitu perceraian beda agama akibat salah satu pihaknya pindah agama (dari agama Islam ke agama non-Islam) pada masa perkawinan. Hal tersebut merupakan suatu persoalan yang sensitif karena terkait dengan perkawinan beda agama. Salah satu kasus yang diangkat yaitu perceraian beda agama yang diselesaikan di Pengadilan Agama Tanjung Karang yang berawal dari perkawinan seorang perempuan bernama Eni Silistia disingkat ES yang kemudian berkedudukan sebagai penggugat dengan seorang laki-laki bernama Hamid disingkat MD yang pada kasus ini berkedudukan sebagai Tergugat. Penggugat dengan tergugat telah melangsungkan pernikahan secara Islam. Sebelum menikah penggugat beragama Islam sedangkan tergugat beragama Hindu, namun untuk dapat melangsungkan perkawinan di Indonesia, tergugat meninggalkan agamanya dan memilih untuk memeluk agama Islam. Setelah perkawinan berlangsung beberapa tahun, tergugat kembali menjalankan ibadah

menurut agama Hindu.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

1. Apakah hubungan hukum pada kasus perceraian beda agama antara MD dan ES masuk ke dalam konteks hukum perselisihan? 2. Bagaimanakah pengaturan dalam pembagian harta bersama apabila salah satu pihak berbeda agama (non-muslim)?

C. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan yaitu yuridis normatif yang didasarkan pada asas hukum, prinsip, dan norma-norma yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta teori-teori hukum yang berkaitan dengan fakta yuridis yang relevan dengan masalah hukum.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. TITIK PERTAUTAN DALAM HUKUM PERSELISIHAN 1. Titik Taut Primer Titik pertautan Primer adalah factor-faktor dan atau keadaan keadaan yang menunjukkan bahwa suatu hubungan hukum merupakan hubungan hukum dalam konteks hukum perselisihan1. Indikator pada titik pertautan primer yaitu : Golongan rakyat Agama Adat atau hukum adat daerah asal Regio Kewarganegaraan

Indikator tersebut berlaku apabila terdapat perbedaan dari setiap indikator pada masing-masing subjek hukum dalam suatu peristiwa hukum

2. Titik Taut Sekunder Tugas menentukan hukum yang harus digunakan itulah yang dinamankan titik pertautan sekunder. Oleh sebab itu, titik pertautan yang kedua ini disebut juga dengan titik taut penentu. Sebagai penentu, maka disini tugasnya sudah lebih tegas yakni menunjuk pada

1

Eman Suparman, Hukum Perselisihan, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 52.

hukum yang mana atau hukum siapa yang akan digunakan pada hubungan hukum yang terjadi2. B. HUKUM PERSELISIHAN ANTAR AGAMA Hukum antar agama selalu dikaitkan dengan pribadi seseorang, sama halnya dengan hukum antar golongan. Persoalan-persoalan antar agama sesungguhnya baru akan muncul ke permukaan manakala objek dari suatu hubungan hukum secara spesifik berada dalam lingkup pengaturan kaidah-kaidah agama3. Oleh karena itu suatu perbuatan hukum dapat dikategorikan sebagai hukum antar agama apabila perbuatan hukum itu melibatkan dua subjek hukum atau lebih yang berlainan agama, serta akibat hukumnya dapat

memungkinkan dua agama yang berlainan tersebut memiliki peluang yang sama untuk mengatur persoalan tersebut. Mochtar

Kusumaatmadja menyebutnya sebagai bidang-bidang hukum yang sangat erat hubungannya dengan kehidupan budaya dan spiritual masyarakat.4 Mochtar Kusumaatmadja memandang hukum antar agama ini bersifat netral karena dilihat dari segi kultural. Oleh karena itu factor agama dari hubungan hukum bersifat netral dilihat dari segi kultural dan tidak melahirkan kompetensi hukum antar agama. Sehingga siapapun pelaku hubungan hukum serta atas agama akibat yang hukum yang tidak

ditanggungnya

berdasarkan

dianutnya

mempengaruhi kaidah-kaidah agama tersebut. Dalam bidang-bidang hukum kekeluargaan, perkawinan, warisan, dan perceraian bukan hanya perbedaan golongan rakyat yang menyebabkan perbedaan hukum yang berlaku, melainkan perbedaan agama juga menyebabkan adanya kompetensi hukum antar agama.2 3

Ibid, hlm. 55 Ibid, hlm. 41 4 Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Tata Hukum Indonesia, Airlangga, Bandung, 1989, hlm. 6

Artinya meskipun hubungan hukum itu dilakukan oleh dua orang yang berasal dari dua golongan rakyat yang sama tetapi agama yang dianutnya berbeda, maka dalam hal ini terdapat suatu masalah hukum yang harus diselesaikan dengan hukum antar agama.

C. PENGERTIAN DAN SAHNYA PERKAWINAN 1. Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Sebagaimana diuraikan dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami-istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari rumusan jelaslah tersebut perkawinan tidak hanya merupakan ikatan lahir atau ikatan batin saja.5 Sahnya suatu perkawinan menurut peraturan perundang-undangan diatur dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu. Jadi perkawinan yang sah menurut hukum perkawinan adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib agama Islam, Kristen/Katolik, Hindu/Budha. Kata hukum masing-masing bukan berarti hukum agamanya masing-masing yaitu hukum agama yang dianut oleh kedua mempelai atau keluarganya. Perkawinan sah terjadi jika perkawinan antar agama adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib salah satu agama, agama calon suami atau agama calon istri, bukan perkawinan yang5

Riduan Syahrani, Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 2010, hlm. 62

dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut calon suami-istri atau keluarganya. Apabila suatu perkawinan telah dilaksanakan menurut tata tertib agama Islam, maka perkawinan yang dilakukan setelahnya yang menggunakan tata tertib agama yang berbeda akibatnya perkawinan tersebut menjadi tidak sah6.

2. Menurut Kompilasi Hukum Islam Sejak berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 sahnya suatu perkawinan menurut agama di Indonesia merupakan suatu syarat yang mutlak. Apabila suatu perkawinan tidak dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing, dapat dikatakan perkawinan tersebut tidak sah walaupun perkawinan itu telah dilakukan di Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil. Berlaku juga pada perkawinan yang menggunakan adat-istiadat atau aliran kepercayaan yang bukan agama sebagai dasar pelaksanaan perkawinan.7 Menurut hukum Islam yang pada umumnya berlaku di Indonesia perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilaksanakan di tempat kediaman mempelai, masjid, atau Kantor Urusan Agama, dengan Ijab dan Kabul dalam bentuk akad nikah. Ucapan Ijab dan Kabul dari kedua belah pihak harus terdengar di hadapan majelis dan jelas didengar oleh dua orang yang bertugas sebagai saksi akad nikah. Mengenai syarat-syarat yang harus ada pada wali nikah dari mempelai wanita adalah : y y Beragama Islam Sudah dewasa (Baliq)

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm. 25 7 Ibid, hlm. 27

6

y

Berakal sehat dan berlaku adil

Menurut Imam Hanafi, wali bukan merupakan suatu syarat dalam perkawinan oleh karena wanita yang sudah dewas dan berakal sehat boleh mengawinkan dirinya tanpa adanya wali apabila perkawinannya dihadiri oleh dua orang saksi. Sedangkan menurut Imam SyafeI dan Imam Hambali, perkawinan yang dilakukan tanpa kehadiran wali adalah tidak sah. Sesuai dengan hadist yang dimana Nabi Muhammad Saw. mengatakan Janganlah wanita mengawinkan wanita yang lain dan jangan pula wanita itu mengawinkan dirinya sendiri, oleh karena wanita yang berzinah adalah mengawinkan dirinya sendiri.8 Selanjutnya mengenai syarat-syarat bagi dua orang saksi dalam akad nikah adalah : y y y y Beragama Islam Sudah dewasa (Baliq) Berakal sehat Dapat mendengar, melihat, dan memahami tentang akad nikah y Berlaku adil

Dalam kompilasi hukum Islam tidak dijelaskan secara signifikan mengenai syarat sahnya dua orang saksi dari keturunan sedarah, sehingga dimungkinkan untuk saudara dan kerabat mempelai wanita menjadi saksi dalam akad nikah. Tetapi dalam prakteknya jarang sekali ditemukan kedua saksi berasal dari kerabat atau pun saudara dari mempelai wanita.

8

Ibid, hlm. 29

D. PERCERAIAN 1. Menurut BW BW mengenal istilah perceraian sebagai pembubaran perkawinan. BW mengatur tentang pembubaran perkawinan ini dalam tiga bagian yaitu: y y Pembubaran perkawinan pada umumnya (pasal 199) Pembubaran perkawinan setelah pisah meja dan pisah ranjang (pasal 200-206b) y y Perceraian perkawinan (pasal 207-232a) Pisah meja dan ranjang (pasal 233-249); hukum adat dan hukum Islam maupun undang-undang perkawinan tidak mengatur mengenai hal ini Jika suami-istri pisah ranjang baik karena alasan-alasan yang tercantum dalam pasal 233 maupun atas permohonan kedua belah pihak dan perpisahan itu tetap berlangsung selama lima tahun penuh tanpa perdamaian maka masing-masing dari mereka dapat menghadapkan pihak lain ke muka pengadilan untuk memohon agar perkawinan mereka dibubarkan. Tetapi permohonan ini dapat ditolak apabila salah satu pihak melakukan perlawanan terhadap permohonan itu atau menyatakan bersedia untuk berdamai dengan pihak pemohon. 2. Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 dikatakan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan. Perceraian hanya dapat ditempuh di muka sidang pengadilan setelah pengadilan yang berwenang berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian kedua belah pihak harus mempunyai alasan bahwa kedua suami-istri tidak akan dapat kembali rukun. Tata cara perceraian diatur dalam pasal 29 ayat (1)-(3) dan gugatan perceraian

diajukan ke pengadilan. Mengenai tata cara pengajuan gugatan diatur di dalam pasal 40 ayat (1) dan (2). 3. Menurut Kompilasi Hukum Islam Menurut hukum Islam perkawinan dapat putus karena kematian, dan perceraian (Talak,khuluk, fasakh, akibat syiqaq dan pelanggaran talik talak). Talak yang dapat dijatuhkan suami kepada Istri yaitu talak satu, talak dua, talak tiga. Penjatuhan talak dapat dilakukan dengan cara lisan atau dengan tulisan bagi mereka yang tuna wicara. Menurut para Ulama talak tidak dapat diucapkan sembarangan karena sifat talak adalah sakral sehingga memiliki akibat langsung walaupun diucapkan tanpa keinginan yang sesungguhnya. Alasan bagi suami untuk dapat mengucapkan talak kepada istri adalah sebagai berikut : y y y y y Berbuat zina Nusyuz (keluar rumah secara mencurigakan) Mabuk Berjudi Berbuat sesuatu yang mengganggu ketentraman dalam berumah tangga y Serta sebab-sebab lain yang tidak memungkinkan untuk dapat membina rumah tangga yang rukun dan damai Dalam hukum Islam apabila suami telah menjatuhkan talak tiga dan mengakhiri perkawinan dengan istri maka suami mempunyai kewajiban sebagai berikut : y y Pemberian yang pantas berupa uang atau barang Memberi nafkah hidup, pakaian dan tempat kediaman bagi mantan istri y Melunasi mas kawin (apabila belum lunas)

y

Serta memberi belanja untuk mengurus anak dan pendidikan anak sampai anak tersebut dewasa dan mandiri

Hal-hal yang dikemukakan di atas adalah tata cara perceraian yang dilakukan suami terhadap istri, sebaliknya istri dapat pula mengajukan permintaan cerai pada suami melalui pengadilan agama, dengan alasanalasan sebagai berikut : y Suami telah melanggar talik talak atau perjanjian lain yang diucapkan dalam akad nikah y Khuluk, istri meminta cerai dengan membayar uang iwadl (talak ini sering disebut talak tebus) y Fasakh, istri mengajukan permintaan cerai karena alasan suami berpenyakit (gila, kusta, impoten, dll), suami miskin atau suami hilang y Syikak, Istri mengajukan perceraian karena antar suami istri selalu terjadi pertengkaran.

BAB III

OBJEK PEMBAHASAN

A. KASUS POSISI Pada tanggal 22 April 1986, Hamid disingkat MD dan Eni Silistia disingkat ES melangsungkan perkawinan. Sebelum perkawinan MD beragama Hindu Bali, tetapi meninggalkannya dan memilih untuk memeluk agama islam demi melangsungkan perkawinan dengan ES. Awalnya, perkawinan mereka

berlangsung dengan rukun, tenteram dan damai, sehingga telah dikaruniai tiga orang anak, yaitu: (1) Widya Anik, usia 20 tahun, (2) Ahmad Rizal, usia 14 tahun, (3) Kadek Kustanti, usia 5 tahun. Sekitar bulan Februari 2006 keharmonisan rumah tangga mereka mulai goyah dan sering terjadi pertengkaran yang disebabkan karena: (1) suaminya (MD) kembali menjalankan ibadah menurut agam Hindu Bali; (2) suami cemburu terhadap istrinya tanpa sebab yang jelas; (3) suami tidak mau, enggan, dan jarang bersilahturahmi dengan keluarga istrinya; (4) suami lebih mementingkan keluarganya, berbuat tidak adil atau berat sebelah dalam perhatian terhadap keluarga istrinya dan sering bertindak tanpa kompromi. ES sebagai istri, telah berusaha bersikap sabar terhadap perilaku suaminya guna mempertahankan keutuhan rumah tangga dengan harapan suatu saat suaminya akan mengubah sifat dan perilakunya. Namun ternyata tidak ada perubahan perilaku dan bahkan menyakiti hatinya, sehingga timbul pertengkaran yang memuncak pada tanggal 12 April 2006, ketika itu MD membawa pisau. Untuk menyelamatkan dirinya, ES pergi dan pindah ke rumah orang tuanya. Sejak pertengkaran itu, ES dan MD telah pisah ranjang atau hidup terpisah dan juga sudah tidak ada lagi hubungan lahir dan batin. Bahkan, MD tidak lagi memberi nafkah atau apa pun yang dapat digunakan sebagai pengganti nafkah. Sehubungan dengan hal itu, pada tanggal 4 Mei 2006, ES mengajukan gugat

cerai terhadap MD ke Kepaniteraan Pengadilan Agama Kelas IA Tanjung Karang. Penggugat dalam surat gugatan mengajukan (petitum) primair dan subsidair. Dalam tuntutan primair, dimohonkan agar hakim mengamnil keputusan sebagai berikut: Mengabulkan gugatan penggugat; Menyatakan perkawinan penggugat dan tergugat putus karena perceraian; Menetapkan hak pengasuhan dan pemeliharaan anak penggugat dan tergigat bernama KAR sekarang berumur 5 tahun, kepada penggugat sebagai ibu kandungnya sampai anak tersebut mumayyiz atau berumur sekurang-kurangnya 12 tahun; Membebankan biaya perkara kepada pengugat. Kemudian apabila majelis hakim berpendapat lain, penggugat dalam tuntutan subsidair memohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

B. FAKTA DI PERSIDANGAN Di persidangan penggugat mengajukan dua alat bukti surat dan didukung oleh dua orang saksi. Ada dua macam alat bukti surat yang diajukan oleh penggugat, yaitu: (1) Kartu Tanda Penduduk (KTP) atas nama penggugat (bukti Pg. 1); (2) Kutipan akta nikah (bukti Pg.2). Sebaliknya , tergugat tidak mengajukan alat bukti apapun di persidangan. Foto copy dari kedua surat itu sudah diperiksa keasliannya oleh majelis hakim. Berdasarkan kedua alat bukti surat itu dapat diketahui tentang identitas penggugat yang telah terikat perkawinan yang sah dengan tergugat sesuai dengan akta nikah yang diterbitkan pada tanggal 29 April 1986 (vide, bukti Pg.2). keterangan dari dua orang saksi yang diajukan saling bersesuaian dan mendukung dalil-dalil yang dikemukakan oleh penggugat dalam surat gugatan. Kedua orang saksi itu masih saudara kandung penggugat. Saksi pertama adalah kakak kandung penggugat dan saksi kedua adalah adik kandung penggugat.

Fakta yang diperoleh dari kedua orang saksi tersebut, antara lain yaitu:

Orang tua penggugat awalnya tidak menyetujui hubungan antara penggugat dan tergugat karena berbeda agama, namun setelah tergugat memeluk agama Islam akhirnya disetujui; Saksi mengetahui hubungan antara penggugat dan tergugat tidak harmonis ketika bertemu penggugat di rumah orang tuanya dan menerima laporan dari p-enggugat bahwa tergugat telah kembali memeluk agama Hindu Bali dan mempunyai tempat sembahyang agama Hindu Bali dirumahnya. Bahkan mempengaruhi penggugat agar mengikutinya dan juga melarang ketiga anaknya menjalankan ibadah agama Islam seperti sholat dan mengaji; Tergugat pernah datang ke rumah orang tua penggugat untuk didamaikan, tetapi tidak tercapai karena tergugat tetap akan memeluk agama Hindu Bali. Berkenaan dengan keterangan kedua orang saksi tersebut, baik penggugat maupun tergugat membenarkan dan tidak membantahnya. Selanjutnya dalam kesimpulan, penggugat tetap pada gugatannya untuk bercerai dari tergugat dan mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Demikian pula dengan tergugat dalam kesimpulan menyatakan bersedia bercerai dengan penggugat.

C. PERTIMBANGAN HUKUM Alasan-alasan yang dijadikan pertimbangan hukum bagi majelis hakim untuk mengambil keputusan adalah sebagai berikut: Bahwa berdasarkan bukti berupa Jurnal Yudisial Vol-I/No

03/Desember/2007 186 foto copy KTP (bukti Pg.1) atas nama penggugat, perkara ini termasuk bidang tugas dan wewenang Pengadilan Agama Kelas IA Tanjung karang; Bahwa berdasarkan bukti diatas dihubungkan dengan keterangan saksi terbukti penggugat dan tergugat terikat perkawinan sah yang menikah pada tanggal 22 April 1986 dan belum pernah bercerai; Bahwa telah ditemukan fakta-fakta di persidangan sebagai berikut:

(i)

rumah tangga penggugat dan tergugat telah tidak harmonis, sehingga sering terjadi pertengkaran dan perselisihan +- sejak bulan Februari 2006;

(ii)

penyebab ketidakharmonisan karena tergugat telah keluar dari agama Islam dan saat ini telah kembali ke agama Hindu Bali, bahkan Tergugat telah melarang anak-anaknya sholat dan belajar mengaji;

(iii)

penggugat dan tergugat telah berpisah selama kurang lebih 2 bulan, yaitu sejak bulan April 2006 sampai sekarang.

-

Bahwa usaha untuk mendamaikan penggugat dan tergugat telah dilakukan dengan sungguh-sungguh dan telah pula memberikan kesempatan kepada keduanya untuk melakukan upaya perdamaian di luar persidangan melalui upaya mediasi, akan tetapi usaha tersebut tidak berhasil;

-

Bahwa rumah tangga penggugat dan tergugat benar-benar telah pecah sedemikian rupa dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi, dan apabila perkawinan penggugat dan tergugat tersebut tetap dipertahankan dan tidak diceraikan niscaya tidak akan dapat terlaksana dengan baik, bahkan akan menambahkan semakin beratnya beban penderitaan, sehingga tujuan perkawinan yang diharapkan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah tidak akan dapat diwujudkan;

-

Bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 jo. Pasal 19 Huruf (f) PP No. 9 tahun 1975 dan Pasal 116 Huruf (f) dan Huruf (h) Kompilasi Hukum Islam Indonesia, alasan perceraian telah terbukti, karenanya gugatan patut dikabulkan dengan menfasakh perkawinan antara penggugat dan tergugat;

-

Bahwa terhadap gugatan penggugat pada petitum ketiga tentang hak pengasuhan anak telah dicabut olehnya sendiri dalam persidangan, maka gugatan penggugat tersebut harus dinyatakan selesai karena dicabut;

-

Bahwa perkara ini masuk dalam bidang perkawinan dan segala peraturan perundang-perundangan yang berlaku dan hukum islam yang

bersangkutan dengan perkara ini. Pertimbangan hukum di atas melandasi keputusan majelis hakim yang amarnya berbunyi sebagai berikut: (i) (ii) (iii) (iv) Mengabulkan gugatan penggugat; Memfasakh perkawinan penggugat dengan tergugat ; Menyatakan gugatan penggugat petitum 3 tentang hak asuh anak penggugat dan tergugat yang ke-3 selesai karena dicabut; Membebankan kepada penggugat untuk membayar biaya perkara.

BAB IV ANALISIS KASUS

A. HUBUNGAN HUKUM DALAM KONTEKS HUKUM PERSELISIHAN PADA KASUS PERCERAIAN BEDA AGAMA Untuk menentukan bahwa suatu peristiwa hukum termasuk hubungan hukum dalam konteks hukum perselisihan yaitu dengan menentukan titik taut primer. Indikator yang menentukan titik taut primer dalam kasus perceraian antara MD dan ES adalah perbedaan agama. Dengan terpenuhinya titik taut primer tersebut, maka peristiwa hukum yang terjadi pada kasus perceraian MD dan ES termasuk dalam hubungan hukum pada konteks hukum perselisihan. Agama merupakan unsur penting yang tidak dapat dipisahkan dari keberlangsungan suatu perkawinan. Peraturan perundang-undangan yang mengatur perkawinan di Indonesia adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketentuan dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 secara tegas menunjukkan kepada hukum agama sebagai syarat keabsahan suatu perkawinan, sebagaimana diatur dalam pasal 2 Ayat (1) UU No. 1/1974 yaitu : (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu." Oleh karena itu, keberadaan dan keberlakuan hukum Islam dalam mengatur perkawinan antar umat muslim, harus dijadikan pedoman dalam menyelesaikan kasus-kasus atau perkara perkawinan. Ketentuan hukum Islam yang mengatur perkawinan antara lain terdapat dalam kitab suci Al-Quran, Hadis Rasul, dan Kompilasi Hukum Islam

Indonesia. Perkawinan menurut hukum Islam dapat ditinjau dari aspek hukum, sosial, dan agama yaitu : Ditinjau dari aspek hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian. Ditinjau dari aspek agama, sebagaimana diatur dalam Al-Quran surat An Nisaa Ayat (3), berbunyi : .. jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka kawinlah sekarang saja. Perkawinan menurut agama Islam adalah lembaga yang suci yang melibatkan nama Allah dalam upacara perkawinan. Menurut Al-Quran surat An Nisaa, ayat (21), dinyatakan perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat, disebut dengan kata-kata miitsaaghan ghaliizhan. Ditinjau dari aspek sosial, perkawinan mengubah kedudukan dan status perempuan di masyarakat. Ketentuan-ketentuan dalam Al-Quran kemudian diatur lebih lanjut ke dalam Kompilasi Hukum Islam. Dalam pasal 2 KHI ditegaskan bahwa perkawinan menurut hukum Islam merupakan akad yang sangat kuat atau mitsagan Ghalisdzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Karena, perkawinan merupakan lembaga yang suci yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,

mawaddah, warahmah. Perkawinan dapat dilangsungkan apabila tidak ada halangan pada masing-masing mempelai. Halangan tersebut berupa larangan perkawinan. Dalam pasal 44 KHI dengan tegas ditentukan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam, sedangkan bagi pria Islam menurut Pasal 40 Huruf c KHI dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Dalam prakteknya, masyarakat menafsirkan ketentuan dalam Undangundang No.1 Tahun 1974 bahwa perkawinan yang sah harus dilakukan menurut hukum agama masing-masing dalam konteks perkawinan beda agama, yaitu dilakukan upacara perkawinan menurut masing-masing agama.

Ada perbedaan pendapat antara ulama tentang perkawinan beda agama. Sebagian besar ulama membolehkan pria muslim menikah dengan wanita dari kalangan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Tetapi pakar fikih dari madzhab Hanafi, SyafiI, dan sebagian ulama Malikiah berpendapat makruh hukumnya perkawinan antara pria muslim dan wanita ahli kitab. Pendapat yang lebih tegas dikemukakan secara formal oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam musyawarah Nasional II tanggal 26 Mei-1 Juni 1980 menetapkan fatwa yang intinya menyatakan haram suatu perkawinan antara wanita Islam dan pria non-Islam, begitu juga dengan pria Islam dan wanita non-Islam, atas dasar pertimbangan mashlahat. Demikian pula, pendapat dari organisasi massa (ormas) Islam di Indonesia. Keputusan dari Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama (BMNU) dalam muktamar NU tahun 1962 dan Muktamar Muktabarah tahun 1968

menetapkan bahwa perkawinan beda agama adalah tidak sah. Muhammadiyah dalam Muktamar Tajrih Muhammadiyah di Malang tanggal 11-16 Februari 1989 menetapkan bahwa perkawinan antara orang Islam dan orang yang bukan Islam adalah haram. Ketetapan itu didasarkan pada dua pertimbangan, yaitu pertimbangan akademik dan sosiologis. Menurut pertimbangan akademik adalah kalangan ahli kitab ialah Yahudi dan Nasrani sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Quran sudah tidak ada lagi setelah kerasulan Nabi Muhammad SAW. pertimbangan sosiologis ialah potensi terjadinya pemurtadan muslimah yang dilakukan oleh orang-orang non-Islam. Perkawinan beda agama merupakan hal yang prinsip dalam hukum Islam. Oleh karena itu, dapat dimungkinkan, sebelum perkawinan kedua mempelai beragama Islam, tetapi setelah menjalani perkawinan salah satu mempelai memeluk agama non-Islam. Berkenaan dengan hal itu, menurut Pasal 116 Huruf k KHI dengan tegas ditentukan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga sebagai penyebab atau alasan terjadinya perceraian.

Jika hal itu terjadi, maka akibat dari perceraian terhadap anak-anak, menurut Pasal 105 KHI ditentukan : Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak

pemeliharaannya Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. Berdasarkan uraian diatas, maka perkawinan antar umat Islam merupakan ketentuan yang mengikat, sehingga harus ditegakkan dengan konsekuen dan konsisten di dalam kasus-kasus hukum perkawinan yang terjadi di Pengadilan Agama Islam. Dalam hal ini, sudah menjadi ketentuan agar hakim-hakim di pengadilan agama untuk menggunakan ketentuanketentuan dalam KHI, sebagaimana telah dituangkan dalam instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991. Sementara itu, peraturan hukum yang mengatur tentang penegakkan hukum Islam. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang, dalam hal ini adalah hukum Islam yang bersumber dari Al-Quran, hadis Rasul, peraturan-peraturan hukum, yurisprudensi atau putusan hakim agama Islam, doktrin atau pendapat dari para Ulama. Asas-asas dalam hukum acara di atas bersifat khusus bagi peradilan agama yang menjadi pedoman dan pegangan bagi hakim-hakim peradilan agama dalam memeriksa dan memutus perkara. Berdasarkan asas-asas, peraturan hukum Islam, dan doktrin yang telah diuraikan di atas dapat digunakan sebagai pisau analisis terhadap putusan hakim Pengadilan Agama Kelas 1A Tanjung Karang Nomor. 159/Pdt.g/2006/PA.Tnk. sebagaimana akan diuaraikan di bawah ini. Putusan hakim untuk mengabulkan permohonan (petitum) penggugat untuk bercerai dengan tergugat sudah tepat, karena berdasarkan doktrin dan peraturan Hukum Islam yang dituangkan dalam KHI diterapkan, bahwa peralihan agama

atau murtad dapat menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga sehingga dapat menjadi penyebab atau alasan terjadinya perceraian. Kasus ini juga membuktikan kekhawatiran dari muhammadiyah tentang permurtadan terhadap muslimah terjadi dalam praktek di masyarakat. Suatu gugatan tidak dapat ditambah selama persidangan, namun dapat dikurangi atau dicabut. Dalam perkara ini, penggugat telah mencabut petitum ketiga, yaitu permintaan agar majelis hakim menetapkan hak pengasihan dan pemeliharaan anak bernama KAR yang masih berumur lima tahun kepada penggugat sebagi ibu kandungnya sampai anak tersebut mumayyiz atau sekurang-kurangnya 12 tahun. Hal ini dapat dibenarkan dari segi hukum acara perdata. Jika ditinjau dari segi hukum Islam pencabutan itu beresiko karena menurut KHI pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Jika ibunya diberikan hak mengasuh, maka diharapkan tidak terjadi permutadan. Apabila, ternyata ayahnya yang telah memeluk agama Hindu Bali telah melarang anaknya untuk sholat dan mengaji. Pencabutan atas petitum itu, terkesan bersifat kompromi antara penggugat dan tergugat, karena dari ketiga orang anak mereka, dua orang telah berusia diatas 12 tahun, sehingga menurut KHI dapat menentukan sendiri, apakah akan ikut dengan ayah atau ibunya, sedangkan yang berusia lima tahun tidak dimintakan, hal ini dapat diartikan seolah-olah ayahnya yang akan diberi hak pemeliharaan. Majelis hakim sesungguhnya dapat mengambil keputusan yang lebih sesuai dengan asas atau prinsip dan ketentuan hukum Islam, khususnya dalam hal pemeliharaan anak. Apalagi dalam gugatan itu penggugat secara tersurat memohon apabila majelis hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya. Permohonan semacam ini lazim disebut dengan ex aequo et bono yang berarti, majelis hakim diberi wewenang untuk memutus perkara secara adil, patut, dan wajar.

Menurut Sudargo Gautama, apabila ada pihak yang menghendaki penyelesaiaan sengketa secara ex aequo et bono, maka penyelesaiannya tidak berdasarkan ketentuan hukum, melainkan berdasarkan apa yang adil dan patut (alsgoede mannen naar bilijkheid). Dalam kasus atau perkara perceraian ini, penggugat mengharapkan majelis hakim dapat melakukan pilihan (optional), yaitu berpedoman pada ketentuan Undang-undang atau peraturan hukum Islam tentang perkawinan atau jika memiliki pendapat yang berbeda diharapkan dapat memutuskan berdasarkan keadilan, kepatutan, dan kewajaran. Oleh karena itu, opsi untuk memeriksa secara ex aequo et bono diajukan, tetapi sayangnya tidak digunakan. Pemeriksaan atas perkara ini sudah mengacu pada hukum acara peradilan agama. Majelis hakim telah mencoba untuk mendamaikan, namun karena peralihan agama atau permutadan menurut hukum Islam dalam KHI dan doktrin dari para ulama merupakan prinsip dan syarat yang berat untuk dilanggar. Pengenaan biaya peradilan agama sebagaimana diatur dalam pasal 89 UU 7/1989. Putusan hakim dalam perkara ini lebih bersifat kompromi. Khususnya berkenaan dengan status pemeliharaan anak yang belum mumayyiz. Memang betul, pihak penggugat permohonan atau tuntutannya yang menjadi hak penggugat. Oleh karena itu, menurut majelis hakim tidak perlu diberikan putusan. Dengan demikian, putusan dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Seolah-olah ada kompromi tidak hanya antara penggugat dan tergugat, tetapi juga dari pihak-pihak yang terkait dengan kepentingan terhadap hak pemeliharaan anak, karena pencabutan dilakukan ketika proses pemeriksaan sedang berlangsung. Akibat dari tindakan pencabutan petitum itu akan berdampak psikologis bagi anak tersebut. Secara tersirat, tergugat menginginkan agar anaknya yang bungsu, agar dapat dipengaruhi untuk ikut memeluk agama Hindu Bali. Posisi anak menjadi objek kepentingan dari orang tuanya. Anak itu dapat mengalami kebingungan dan kesesatan karena diberikan pemahaman agama yang berbeda-beda. Hal ini jelas bertentang dengan kepentingan yang terbaik bagi anak.

Ditinjau dari aspek hukum Islam, sejak awal para ulama telah mensinyalir unsur perpindahan agama dalam perkawinan digunakan sebagai factor permutadan. Dalam hal ini, para ulama telah memperkirakan tentang larangan perkawinan yang berbeda agama dan dampaknya terhadap anak. Oleh sebab itu jika terjadi perpindahan agama dalam perkawinan menjadi salah satu syarat terjadinya perceraian. Konsekuensi yuridisnya, hukum Islam menentukan hak pemeliharan anak mengikuti ibunya. Maksudnya, agar kepentingan anak tetap terpelihara oleh ibunya. Apalagi dalam perkara ini perpindahan agama oleh tergugat yang menjadi factor penyebabnya. Keadilan dalam perspektif Islam menurut Husein Muhammad,

merupakan gabungan antara nilai moral dan sosial yang menunjukkan kejujuran, keseimbangan, kesetaraan, kebajikan, dan kesederhanaan. Nilai moral ini menjadi inti visi agama yang harus direalisasikan manusia dalam kapasitasnya sebagai individu, keluarga, anggota komunitas, maupun penyelenggara Negara. Keadilan secaa umum didefenisikan sebagai menempatkan sesuatu secara proporsional dan memberikan hak kepada pemiliknya. B. PEMBAGIAN HARTA BERSAMA APABILA SALAH SATU PIHAK BERBEDA AGAMA (NON-MUSLIM) 1. Menurut BW Jika kita melihat kembali BW maka di situ dikatakan bahwa perkawinan itu bubar karena keputusan perceraian dan didaftarkan perceraian itu dalam register catatan sipil. Pendaftaran perceraian itu harus dilakukan di tempat di mana perkawinan itu didaftarkan dan atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu dari mereka. Pihak suami istri yang menang karena gugatannya diterima dikabulkan diperbolehkan menikmati segala keuntungan dari apa yang telah dijanjikan

dalam perkawinan itu oleh pihak orang yang lain, termasuk keuntungan yang dijanjikan kedua belah pihak secara timbal balik (Pasal 222). Dengan mulai berlakunya perceraian itu tidaklah langsung pihak yang menang dapat menikmati keuntungan itu kecuali pihak yang lain telah wafat (Pasal 224). Jika suaimi atau istri yang menang, tidak mempunyai penghasilan yang cukup untuk biaya hidupnya, maka pengadilan negara dapat menentukan sejumlah tunjangan untuk itu dari harta kekayaan pihak yang lain (Pasal 225). Kewajiban memberi tunjangan itu berakhir dengan meninggalnya suami atau istri (Pasal 227). Setelah keputusan perceraian berkekuatan pasti, Pengadilan menetapkan terhadap setiap anak siapa dari kedua orang tuanya yang harus melakukan perwalian atas anak-anak itu (Pasal 229).

2. Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Menurut UU No 1/1974 apabila putus perkawinan karena perceraian mempunyai akibat hukum terhadap anak, bekas suami/istri, dan harta bersama. Akibat hukum terhadap anak ialah, apabila terjadi perceraian, maka baik bapak atau ibut tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberikan keputusannya. Jadi bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak. Bilamana bapak kenyataannya tidak dapat memberikan kewajiban tersebut maka pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut. Akibat hukum terhadap bekas suami, pengadilan dapat mewajibkan kepadanya untuk memberikan biaya penghidupan atau juga menentukan suatu kewajiban kepada bekas istri (Pasal 41 abc). Akibat hukum terhadap harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, yaitu hukum agama, hukum adat atau hukum yang lain

(Pasal 37). Akibat hukum yang menyangkut harta bersama atau harta pencarian ini, undang-undang rupanya menyerahkan kepada para pihak yang bercerai tentang hukum mana dan hukum apa yang akan berlaku, dan jika tidak ada kesepakatan Hakim dapat mempertimbangkan menurut rasa keadilan yang sewajarnya. 3. Menurut Kompilasi Hukum Islam Apabila terjadi perceraian antara suami dan istri menurut hukum Islam maka akibat hukumnya yang jelas ialah dibebankannya kewajiban suami terhadap istri dan anak-anaknya, yaitu : Memberi mutah yang pantas berupa uang dan barang Memberi nafkah hidup, pakaian dan tempat kediaman selama bekas istri dalam masa idah Memberi nafkah untuk memelihara dan pendidikan anaknya sejak bayi sampai ia dewasa dan dapat mandiri Melunasi mas kawin, perjanjian talik talak dan perjanjian lain ketika perkawinan berlangsung dahulunya. Mutah adalah pemberian suami kepada istri yang dicerainya (Cerai talak) agar istri dapat terhibur. Pemberian itu dapat berupa uang atau barang pakaian perhiasaan menurut keadaan dan kemampuan suami. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran : kepada wanita-wanita yang diceraikan (agar suami memberi) mutah menurut cara yang maruf sebagai kewajiban orang-orang yang taqwa Selama bekas istri belum habis waktu tunggunya (idah) maka suami wajib memberi bekas istrinya biaya hidup, pakaian dan tempat kediaman, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran : dan berikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya).

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa selama bekas istri masi dalam masa idah bekas suami wajib memberinya biaya hidup berupa pakaian dan tempat kediaman. Selanjutnya bagi bekas istri yang mengurus anak sejak mengandung, melahirkan bayi dan sampai anakanak itu dewasa dan dapat mandiri, bekas suami wajib memberi biaya hidup dan pendidikannya. Kewajiban bekas suami tersebut tidak perlu dilakukannya sebagai kewajiban jika si anak mempunyai harta untuk bekal hidup dan pendidikannya. Selain kewajiban bekas suami tersebut, masih ada kewajiban lagi ialah membayar mas kawin jika belum dilunasi dan memenuhi semua janji yang dibuatnya dengan bekas istrinya ketika mereka dahulu

melangsungkanperkawinannya. Apabila hal-hal tersebut tidak dilaksakan suami, maka istri berhak mengajukan gugatan kepada pengadilan agama.

BAB V KESIMPULAN

Alasan perceraian disebabkan karena pindah agama (murtad) banyak terjadi di masyarakat. Pada akhirnya pasangan suami isteri yang memilih untuk membawa kasus ini kepengadilan dengan harapan status hukum terhadap perkawinan menjadi jelas. Majelis hakim berupaya agar para pihak berdamai, namun apabila tidak berhasil maka hakim akan meneruskan acara pada pemeriksaan perkara yang diakhiri dengan putusan hakim. Meski secara hukum Islam perkawinan mereka telah fasakh (batal). Hakim akan memberikan peertimbangan hukumnya berdasarkan pemeriksaan selama persidangan. Walaupun dalam pelaksaanan perbuatan murtad jarang dijadikan alsaan utama suatu perceraian, murtad lebih sering dijadikan alasan dari alasan lainnya yaitu timbulnya perselisihan. Maka dalil yang untuk memutuskan perkawinan adalah adanya perselisihan yang terus menerus dan sulit didamaikan. Perbuatan murtad itu sendiri jika dilakukan setelah perkawinan (perkawinan berlangsung lama dan menghasilkan keturunan), maka apabila telah terbukti di pengadilan bahwa salah satu pihak suami istri telah murtad maka hakim dapat menjatuhkan perceraian atau mengabulkan penjatuhan talak. Namun apabila murtad dilakukan sebelum dilangsungkan perkawinan maka hal tersebut dapat dibatalkan atau jika telah terjadi perkawinan tetapi belum dilakukan hubungan badan maka selama masa iddah jika yang melakukan perbuatan murtad tidak kembali ke agama Islam maka perkawinan tersebut dapat di fasakhkan. Majelis Hakim Pengadilan Agama Tanjung Karang telah mengadili dan memberi putusan atas semua bagian apa yang digugat/dituntut oleh penggugat, yang menjadi pertimbangan Hakim adalah bukti-bukti tertulis yang diajukan penggugat, keterangan saksi dari orang yang masih ada hubungan keluarga dengan penggugat serta keterangan dari penggugat dan tergugat sendiri.

Putusan

Hakim

Pengadilan

Agama

Tanjung

Karang

Nomor

159/Pdt.G/2006/PA.Tnk. telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 mengenai putusan perkara serta akibatnya jo Pasal dalam Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975. Pasal 39 ayat ( 2 ) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami istri. Hakim menjadikan penjelasan Pasal 39 ayat ( 2 ) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 jo Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 sebagai salah satu alasan perceraian yaitu : antara suami istri terus menerus terjadi peselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Siddik, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Tinta Mas Indonesia, 1994 Eman Suparman, Hukum Perselisihan, Refika Aditama, Bandung, 2005. Hasbullah Bakry, Kumpulan Lengkap UU dan Peraturan Perkawinan Di Indonesia, Jakarta : Djambatan, 1995. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2007. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut: Perundangan Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 2003 Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Tata Hukum Indonesia, Airlangga, Bandung, 1989. Riduan Syahrani, Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 2010, Wahyono Darmabrata, Hukum Perkawinan Dan Keluarga Di Indonesia, Jakarta: Rizkita, 2002