Click here to load reader
Upload
duongnhan
View
277
Download
11
Embed Size (px)
MAKALAH PENGANTAR HUKUM INDONESIA
TENTANG
HUKUM DAGANG, HUKUM AGRARIA
HUKUM ADAT DAN KEBIASAAN
SERTA HUKUM PAJAK
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Pengantar Hukum Indonesia
dari Hj. Tuti Rastuti, S. H., M. H
Disusun oleh:
MUHAMMAD NUR JAMALUDDIN
NPM. 151000126
UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG
FAKULTAS HUKUM
Jalan Lengkong Besar No. 68, No. Telepon (022) 4262194, Bandung,
Jawa Barat 40261
TAHUN 2015
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
hidayah yang dikaruniakanNya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul Hukum Dagang, Hukum Agraria, Hukum Adat dan Kebiasaan Serta Hukum Pajak.
Sesuai dengan namanya, sebuah makalah memang tidak dimaksudkan sebagai buku materi
atau buku panduan, melainkan didalamnya terdapat pembahasan dan rincian-rincian mengenai
hasil dari beberapa sumber yang telah penulis dapatkan.
Penyusunan makalah ini penulis mendapatkan berbagai kesulitan, baik dalam
penyusunan, pengumpulan data dan dalam hal yang lainnya. Akan tetapi, berkat
pertolonganNyalah akhirnya makalah ini dapat penulis selesaikan sesuai yang diharapkan.
Adapun penyusunan makalah ini berdasarkan pada rincian-rincian data yang telah penulis
dapatkan dari berbagai sumber.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Hj. Tuti Rastuti, S. H., M. H., sebagai dosen matakuliah Pengantar Hukum Indonesia
yang telah memberikan tugas ini kepada penulis.
2. Orangtua penulis yang telah memberikan dukungan, dorongan, bantuan, serta
memberikan doa restunya sehingga terselesaikannya makalah ini.
3. Saudara-saudara dan rekan-rekan penulis, yang senantiasa memberikan support
semangatnya kepada penulis untuk menyelesaikan makalah ini.
Penulis memahami dan menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Namun,
penulis telah berusaha menyusun makalah dengan usaha terbaik yang penulis miliki.
Akhirnya penulis menyampaikan terima kasih kepada segenap yang telah mendukung
terselesaikannya makalah ini. Mudah-mudahan makalah ini sesuai dengan yang diharapkan.
Amiin Ya Allah Ya Rabbal Alamiin Ya Mujibas Sailin.
Bandung, 20 Desember 2015
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 3
C. Tujuan Penulisan .............................................................................. 4
D. Manfaat Penulisan ............................................................................ 5
E. Metodologi Penulisan ....................................................................... 5
F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 6
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 7
A. Hukum Dagang ................................................................................. 7
1. Definisi Hukum Dagang ............................................................. 7
2. Sumber Hukum Dagang ............................................................. 8
3. Tugas Perdagangan ..................................................................... 9
4. Jenis-jenis Perdagangan .............................................................. 9
5. Perkumpulan-perkumpulan Dagang ........................................... 10
6. Hubungan Hukum Perdata dengan Hukum Dagang ................... 11
7. Berlakunya Hukum Dagang ....................................................... 14
8. Perkembangan Hukum Dagang di Indonesia ............................. 14
B. Hukum Agraria ................................................................................. 17
1. Sejarah Hukum Agraria .............................................................. 17
2. Definisi Hukum Agraria ............................................................. 18
3. Sumber Hukum Agraria .............................................................. 20
4. Asas-asas Hukum Agraria .......................................................... 20
5. Subjek Hak Milik Atas Tanah .................................................... 23
6. Kedudukan Hak Atas Tanah ....................................................... 24
7. Hak Asasi Manusia dan Hak Atas Tanah ................................... 25
8. Hak-hak Tanah Bagi Warga Negara Asing ................................ 28
iii
C. Hukum Adat dan Kebiasaan ............................................................. 29
1. Proses Lahirnya Hukum Adat dan Kebiasaan ............................ 29
2. Definisi Hukum Adat dan Kebiasaan ........................................ 30
3. Ciri-ciri Hukum Adat dan Kebiasaan ......................................... 35
4. Wilayah Hukum Adat dan Kebiasaan ........................................ 36
5. Hukum Adat dan Kebiasaan Dalam Masyarakat ........................ 38
6. Sistem Pengendalian Sosial dalam Hukum Adat
dan Kebiasaan ............................................................................. 39
D. Hukum Pajak .................................................................................... 43
1. Definisi Hukum Pajak ................................................................. 43
2. Jenis-jenis Pajak .......................................................................... 45
3. Fungsi Hukum Pajak ................................................................... 47
4. Tujuan Hukum Pajak .................................................................. 47
5. Hukum Pajak ............................................................................... 48
6. Hak dan Kewajiban Pajak ........................................................... 49
7. Penetapan Tarif Pajak ................................................................. 51
8. Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia ...................................... 52
9. Asas-asas Pemungutan Pajak ...................................................... 54
10. Faktor Yang Menghambat Pemungutan Pajak di Indonesia ....... 55
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 57
A. Kesimpulan ....................................................................................... 57
B. Saran ................................................................................................. 58
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 59
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam rangka menciptakan keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran bangsa,
Pemerintah Indonesia berusaha menerapkan hukum dalam berbagai aspek kerakyatan yang
ada di negeri ini. Namun, tugas negara tidak hanya sekedar itu, bahkan teramat luas
daripadanya. Pembangunan yang ada di dalam negeri ini tidak dapat terpisahkan daripada
intervensi pemerintah, misalnya saja pembangunan dalam bidang ekonomi, baik yang
bergerak di sektor mikro maupun makro. Inti permasalahan dari keterlibatan negara dalam
aktivitas ekonomi bersumber pada politik perekonomian suatu negara. Munculnya corak
sosial ekonomi dalam konsep kedaulatan berkaitan dengan munculnya hukum yang mengatur
transaksi di dalamnya. Dalam kaitan dengan cabang-cabang hukum yang beragam maka
negara membuat hukum yang mengatur urusan tersebut.
Kemudian tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi
manusia, baik dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan (pendukung mata
pencaharian) di berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan,
industri, maupun yang dipergunakan sebagai tempat untuk bermukim dengan didirikannya
perumahan sebagai tempat tinggal.
Ketentuan yuridis yang mengatur mengenai eksistensi tanah yaitu terdapat dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(selanjutnya disebut UUPA), yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3)
Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Adapun pengejawantahan lebih lanjut mengenai hukum tanah banyak
tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya seperti Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas
Tanah, Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999
tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas
Tanah, dan lain-lain.
2
Selanjutnya di era yang serba canggih sekarang ini terkadang kita lupa akan latar
belakang lahirnya hukum yang kita kenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan
negara-negara asia asia lainnya seperti jepang sebagai negara yang hampir sama dalam latar
ideologi yaitu adanya sumber peraturan-peraturan hukum yang tidak tertulis dan tumbuh dan
berkembang dan dipertahankan dengan adat dan kebiasaan yang dianut oleh masyarakat
tersebut dijadikan sebagai acuan dan pedoman dalam langkah.
Hukum adat dan kebiasaan di Indonesia adalah suatu kompleks norma-norma yang
bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan-
peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian
besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai akibat
hukum (sanksi).
Setalah itu pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan
peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban
perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-
undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan
hak dari setiap warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap
pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran
pajak, sebagai pencerminan kewajiban kenegaraan di bidang perpajakan berada pada anggota
masyarakat sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut. Hal tersebut sesuai dengan
sistem self assessment yang dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia.
Eksistensi pajak merupakan sumber pendapatan utama sebuah negara, karena itu
merupakan isu strategis yang selalu menjadi pantauan masyarakat. Urgensi pajak bagi
kelangsungan pembangunan tak lagi disangsikan. Karena itu wajar jika pemerintah terus
berupaya menggali berbagai potensi tax coverage (lingkup/cakupan pajak) sekaligus
menekankan tax compliance (kepatuhan pajak) dari masyarakat. Namun demikian, kepatuhan
pajak yang bersumber dari kesadaran masyarakat terhadap penunaian kewajiban membayar
pajak itu tentu bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Berbagai persoalan perpajakan yang kerap
muncul, baik yang bersumber dari wajib pajak (masyarakat), aparatur pajak (fiskus), maupun
yang bersumber dari sistem perpajakan itu sendiri menunjukkan bahwa persoalan pajak
merupakan hal yang kompleks. Oleh karena itu, penanganannya perlu diupayakan secara
sinergis dan komprehensif.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis menyusun makalah ini dengan judul Hukum
Dagang, Hukum Agraria, Hukum Adat dan Kebiasaan Serta Hukum Pajak.
3
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah makalah ini, yaitu:
1. Apa definisi hukum dagang?
2. Apa sumber hukum dagang?
3. Apa tugas perdagangan?
4. Apa jenis-jenis perdagangan?
5. Apa perkumpulan-perkumpulan dagang?
6. Bagaimana hubungan hukum perdata dengan hukum dagang?
7. Bagaimana berlakunya hukum dagang?
8. Bagaimana perkembangan hukum dagang di Indonesia?
9. Bagaimana sejarah hukum agraria?
10. Apa definisi hukum agraria?
11. Apa sumber hukum agraria?
12. Apa asas-asas hukum agraria?
13. Apa subjek hak milik atas tanah?
14. Bagaimana kedudukan hak atas tanah?
15. Bagaimana hak asasi manusia dan hak atas tanah?
16. Bagaimana hak-hak tanah bagi warga negara asing?
17. Bagaimana proses lahirnya hukum adat dan kebiasaan?
18. Apa definisi hukum adat dan kebiasaan?
19. Apa ciri-ciri hukum adat dan kebiasaan?
20. Bagaimana wilayah hukum adat dan kebiasaan?
21. Bagaimana hukum adat dan kebiasaan dalam masyarakat?
22. Bagaimana sistem pengendalian sosial dalam hukum adat dan kebiasaan?
23. Apa definisi hukum pajak?
24. Apa jenis-jenis pajak?
25. Apa fungsi hukum pajak?
26. Apa tujuan hukum pajak?
27. Apa hukum pajak?
28. Apa hak dan kewajiban pajak?
29. Bagaimana penetapan tarif pajak?
30. Bagaimana sistem pemungutan pajak di Indonesia?
31. Apa asas-asas pemungutan pajak?
32. Apa faktor yang menghambat pemungutan pajak di Indonesia?
4
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini, yaitu:
1. Mengetahui definisi hukum dagang.
2. Mengetahui sumber hukum dagang.
3. Mengetahui tugas perdagangan.
4. Mengetahui jenis perdagangan.
5. Mengetahui perkumpulan-perkumpulan dagang.
6. Mengetahui hubungan hukum perdata dengan hukum dagang.
7. Mengetahui berlakunya hukum dagang.
8. Mengetahui perkembangan hukum dagang di Indonesia.
9. Mengetahui sejarah hukum agraria.
10. Mengetahui definisi hukum agraria.
11. Mengetahui sumber hukum agraria.
12. Mengetahui asas-asas hukum agraria.
13. Mengetahui subjek hak milik atas tanah.
14. Mengetahui kedudukan hak atas tanah.
15. Mengetahui hak asasi manusia dan hak atas tanah.
16. Mengetahui hak-hak tanah bagi warga negara asing.
17. Mengetahui proses lahirnya hukum adat dan kebiasaan.
18. Mengetahui definisi hukum adat dan kebiasaan.
19. Mengetahui ciri-ciri hukum adat dan kebiasaan.
20. Mengetahui wilayah hukum adat dan kebiasaan.
21. Mengetahui hukum adat dan kebiasaan dalam masyarakat.
22. Mengetahui sistem pengendalian sosial dalam hukum adat dan kebiasaan.
23. Mengetahui definisi hukum pajak.
24. Mengetahui jenis-jenis pajak.
25. Mengetahui fungsi hukum pajak.
26. Mengetahui tujuan hukum pajak.
27. Mengetahui hukum pajak.
28. Mengetahui hak dan kewajiban pajak.
29. Mengetahui penetapan tarif pajak.
30. Mengetahui sistem pemungutan pajak di Indonesia.
31. Mengetahui asas-asas pemungutan pajak.
32. Mengetahui faktor yang menghambat pemungutan pajak di Indonesia.
5
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini, yaitu:
1. Menyebarluaskan informasi tentang hukum dagang, hukum agraria, hukum adat dan
kebiasaan serta hukum pajak kepada pembaca.
2. Mempermudah pembaca untuk mengatahui informasi tentang hukum dagang, hukum
agraria, hukum adat dan kebiasaan serta hukum pajak kepada pembaca.
E. Metodologi Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan beberapa metodologi yang
bertujuan untuk memudahkan penelitian yang sedang dikaji diantaranya, yaitu:
1. Seraching ialah memperoleh sumber materi dengan cara mencari dari internet melalui
google.
2. Diskusi kelompok yaitu memperoleh data dengan cara mendiskusikan materi yang
telah ada hasil pencarian dari google.
3. Studi literatur yaitu mempelajari dan mengambil data dari buku-buku yang
berhubungan dengan pokok permasalahan yang akan dijadikan dasar dalam
penyusunan makalah ini.
6
F. Sistematika Penulisan
Sebagai gambaran mengenai isi dari penulisan makalah ini, secara singkat dapat
diuraikan pembahasan sebagai berikut:
1. BAB I Pendahuluan
Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penulisan, metodologi penulisan, dan sistematika penulisan.
2. BAB II Pembahasan
Bab ini membahas mengenai hukum dagang, hukum agraria, hukum adat dan
kebiasaan serta hukum pajak.
3. BAB III Penutup
Bab ini membahas tentang kesimpulan dan saran yang diperoleh dari keseluruhan
pembahasan pada bab-bab sebelumnya.
7
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Dagang
1. Definisi Hukum Dagang
Hukum dagang adalah hukum perikatan yang timbul dari lapangan perusahaan.
Istilah perdagangan memiliki akar kata dagang. Dalam kamus besar bahasa Indonesia
(KBBI) istilah dagang diartikan sebagai pekerjaan yang berhubungan dengan menjual
dan membeli barang untuk memperoleh keuntungan. Istilah dagang dipadankan
dengan jual beli atau niaga. Sebagai suatu konsep, dagang secara sederhana dapat
diartikan sebagai perbuatan untuk membeli barang dari suatu tempat untuk
menjualnya kembali di tempat lain atau membeli barang pada suatu saat dan kemudian
menjualnya kembali pada saat lain dengan maksud untuk memperoleh keuntungan.
Perdagangan berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan dagang (perihal dagang)
atau jual beli atau perniagaan (daden van koophandel) sebagai pekerjaan sehari-hari.
Pada zaman yang modern ini perdagangan adalah pemberian perantaraan
antara produsen dan konsumen untuk membelikan dan menjualkan barang-barang
yang memudahkan dan memajukan pembelian serta penjualan.
Ada beberapa macam pemberian perantaraan kepada produsen dan konsumen,
yaitu:
a. Pekerjaan orang-orang perantara sebagai makelar, komisioner, pedagang
keliling dan sebagainya.
b. Pembentukan badan-badan usaha (asosiasi), seperti perseroan terbatas (PT),
perseroan firma (VOF=Fa), Perseroan Komanditer, dan sebagainya yang
tujuannya guna memajukan perdagangan.
c. Pengangkutan untuk kepentingan lalu lintas niaga baik di darat, laut maupun
udara.
d. Pertanggungan (asuransi) yang berhubungan dengan pengangkutan, supaya
pedagang dapat menutup resiko pengangkutan dengan asuransi.
e. Perantaraan bankir untuk membelanjakan perdagangan.
f. Mempergunakan surat perniagaan (wesel/cek) untuk melakukan pembayaran
dengan cara yang mudah dan untuk memperoleh kredit.
8
Adapun beberapa pengertian hukum dagang menurut para ahli, yaitu:
a. Ahmad Ihsan
Hukum dagang merupakan pengaturan masalah perdagangan yang timbul
diakibatkan tingkah laku manusia dalam perdagang.
b. Purwo Sucipto
Hukum dagang ialah perikatan yang timbul dalam lapangan perusahaan.
c. C.S.T. Kansil
Hukum dagang merupakan seperangkat aturan yang mengatur tingkah laku
manusia yang ikut andil dalam melakukan perdagangan dalam usaha
pencapaian laba.
d. Sunaryati Hartono
Hukum dagang ialah keseluruhan keputusan yang mengatur kegiatan
perekonomian.
e. Munir Fuadi
Hukum dagang merupakan segala perangkat aturan tata cara pelaksanaan
kegiatan perdagangan, industri, atau kuangan yang dihubugkan dngan produksi
atau kegiatan tukar menukar barang.
f. Prof. Subekti S. H
Hukum dagang ialah hukum yang mengatur hubungan privat (istimewa) antara
orang-orang sebagai anggota masyarakat dengan suatu badan hukum,
diantaranya pemerintahnya sebagai badan hukum.
2. Sumber Hukum Dagang
Hukum Dagang di Indonesia bersumber pada:
a. Hukum tertulis yang dikodifikasikan, meliputi:
1) KUHD
2) KUHS
b. Hukum tertulis yang belum dikodifikasikan yaitu peraturan perundang-
undangan khusus yang mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan
perdagangan.
c. Tidak tertulis yaitu kebiasaan.
9
KUHD mulai berlaku di Indonesia pada tanggal 1 Mei 1848 berdasarkan asas
konkordansi. Menurut Prof. Subekti S. H, adanya KUHD disamping KUHS sekarang
ini tidak pada tempatnya, karena KUHD tidak lain adalah KUHPerdata. Kemudian
perkataan dagang bukan suatu pengertian hukum melainkan suatu pengertian
perekonomian.
3. Tugas Perdagangan
Pada pokoknya perdagangan mempunyai tugas untuk:
a. Membawa atau memindahkan barang-barang dari tempat yang berlebihan
(surplus) ke tempat yang berkekurangan (minus).
b. Memindahkan barang-barang dari produsen ke konsumen.
c. Menimbun dan menyimpan barang-barang itu dalam masa yang berlebihan
sampai mengancam bahaya kekurangan.
4. Jenis-jenis Perdagangan
Pembagian jenis perdagangan, yaitu:
a. Menurut pekerjaan yang dilakukan pedagang, meliputi:
1) Perdagangan mengumpulkan barang dengan urutan dari produsen kepada
tengkulak, kemudian kepada pedagang besar, selanjutnya kepada eksportir.
2) Perdagangan menyebarluaskan dari importir kepada pedagang besar,
kemudian kepada pedagang menengah, selanjutnya konsumen).
b. Menurut jenis barang yang diperdagangkan, meliputi:
1) Perdagangan barang, yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan jasmani
manusia contohnya hasil pertanian, pertambangan, pabrik, dan lain-lain.
2) Perdagangan buku, misalnya musik dan kesenian.
3) Perdagangan uang dan kertas-kertas berharga atau dikenal dengan istilah
bursa efek.
c. Menurut daerah, tempat perdagangan dilakukan, meliputi:
1) Perdagangan dalam negeri.
2) Perdagangan luar negeri atau perdagangan internasional, meliputi:
1) perdagangan ekspor;
2) perdagangan impor.
3) Perdagangan meneruskan atau perdagangan transito.
10
5. Perkumpulan-perkumpulan Dagang
Dalam sistem dagang terdapat beberapa perkumpulan, yaitu:
a. Persekutuan (maatschap) merupakan suatu bentuk kerjasama dan diatur dalam
KUHS tiap anggota persekutuan hanya dapat mengikatkan dirinya sendiri
kepada orang-orang lain. Dengan lain perkataan ia tidak dapat bertindak
dengan mengatas namakan persekutuan kecuali jika ia diberi kuasa. Oleh sebab
itu persekutuan bukan suatu pribadi hukum atau badan hukum.
b. Perseraoan firma adalah suatu bentuk perkumpulan dagang yang peraturannya
terdapat dalam KUHD pasal 16 yang merupakan suatu perusahaan dengan
memakai nama bersama. Dalam perseroan firma tiap persero (firma) berhak
melakukan pengurusan dan bertindak keluar atas nama perseroan.
c. Perseroan Komanditer sesuai dengan pasal 19 KUHD merupakan suatu bentuk
perusahaan dimana ada sebagian persero yang duduk dalam pimpinan selaku
pengurus dan ada sebagian persero yang tidak turut campur dalam
kepengurusan (komanditaris/berdiri di belakang layar).
d. Perseroan terbatas sesuai dengan pasal 36 KUHD adalah perusahaan yang
modalnya terbagi atas suatu jumlah surat saham atau sero yang lazimnya
disediakan untuk orang yang hendak turut. Adapun penjelasan lebih lanjut
tentang perseroan terbatas, yaitu:
1) Arti kata terbatas ditujukan pada tanggung jawab/resiko para pesero/
pemegang saham, yang hanya terbatas pada harga surat sero yang mereka
ambil.
2) PT harus didirikan dngan suatu akte notaris.
3) PT bertindak keluar dengan perantaraan pengurusnya, yang terdiri dari
seorang atau beberapa orang direktur yang diangkat oleh rapat pemegang
saham.
4) PT adalah suatu badan hukum yang mempunyai kekayaan tersendiri,
terlepas dari kekayaan pada pesero atau pengurusnya.
5) Suatu PT oleh undang-undang dinyatakan dalam keadaan likwidasi jika
para pemegang saham setuju untuk tidak memperpanjang waktu
pendiriannya dan dinyatakan hapus jika PT tesebut menderita rugi melebihi
75% dari jumlah modalnya.
11
e. Koperasi merupakan suatu bentuk kerjasama yang dapat dipakai dalam
lapangan perdagangan dan diatur diluar KUHD dalam berbagai peraturan.
Adapun peraturan yang mengatur koperasi, yaitu:
1) Dalam Staatblaad 1933/108 yang berlaku untuk semua golongan
penduduk.
2) Dalam Staatblaad 1927/91 yang berlaku khusus untuk bangsa Indonesia.
3) Dalam undang-undang nomor 79 tahun 1958 tentang perkumpulan
koperasi yang berisi:
a) Keanggotaan koperasi bersifat sangat pribadi, jadi tidak dapat diganti/
diambil alih oleh orang lain.
b) Berasaskan gotong royong.
c) Merupakan badan hukum.
d) Didirikan dengan suatu akte dan harus mendapat izin dari menteri
koperasi.
e) Badan-badan Usaha Milik Negara (UU Nomor 9/ 1969)
f. Berbentuk persero tunduk pada KUHD (Staatblaad 1847/ 237 Jo PP Nomor
12/1969).
g. Berbentuk perjan tunduk pada KUHS/BW (Staatblaad 1927/419).
h. Berbentuk perum tunduk pada undang-undang nomor 19 (Perpu tahun 1960).
6. Hubungan Hukum Perdata dengan Hukum Dagang
Hukum perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan
antara individu-individu dalam masyarakat. Berikut beberapa pengartian dari hukum
perdata, yaitu:
a. Hukum perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur
hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain dengan
menitik beratkan pada kepentingan perseorangan.
b. Hukum perdata adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi
tingkah laku manusia dalam memenuhi kepentingannya.
c. Hukum Perdata adalah ketentuan dan peraturan yang mengatur dan membatasi
kehidupan manusia atau seseorang dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan
atau kepentingan hidupnya.
12
Di bawah ini adalah beberapa pengertian tentang hukum dagang, yaitu:
a. Hukum dagang merupakan hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang
turut melakukan perdagangan untuk memperoleh keuntungan atau hukum yang
mengatur hubungan hukum antara manusia dan badan-badan hukum satu sama
lainnya dalam lapangan perdagangan.
b. Hukum dagang adalah aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan orang
yang satu dan lainnya dalam bidang perniagaan.
c. Hukum dagang adalah hukum perdata khusus, KUH Perdata merupakan lex
generalis (hukum umum), sedangkan KUHD merupakan lex specialis (hukum
khusus).
Dalam hubungannya dengan hal tersebut berlaku adagium lex specialis
derogate lex generalis artinya hukum khusus mengesampingkan hukum umum/
Khusus untuk bidang perdagangan, kitab undang-undang hukum dagang (KUHD)
dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPerdata, khususnya buku
III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPerdata. Sifat hukum
dagang yang merupakan perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian.
Pada awalnya hukum dagang berinduk pada hukum perdata. Namun, seiring
berjalannya waktu hukum dagang mengkodifikasi (mengumpulkan) aturan-aturan
hukumnya sehingga terciptalah kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) yang
sekarang telah berdiri sendiri atau terpisah dari kitab undang-undang hukum perdata
(KUHPerdata). Antara KUHPerdata dengan KUHDagang mempunyai hubungan yang
erat.
Hal ini dapat dilihat dari isi Pasal 1 KUHDagang, yang isinya bahwa mengenai
hubungan tersebut adalah special derogate legi generali artinya hukum yang khusus
ialah KUHDagang mengesampingkan hukum yang umum dari KUHPerdata.
Prof. Subekti berpendapat bahwa terdapatnya KUHD disamping KUHS
sekarang ini dianggap tidak pada tempatnya. Hali ini dikarenakan hukum dagang
relatif sama dengan hukum perdata. Selain itu dagang bukanlah suatu pengertian
dalam hukum melainkan suatu pengertian perekonomian. Pembagian hukum sipil ke
dalam KUHD hanyalah berdasarkan sejarah saja, yaitu karena dalam hukum romawi
belum terkenal peraturan-peraturan seperti yang sekarang termuat dalah KUHD, sebab
perdagangan antar negara baru berkembang dalam abad pertengahan.
13
KUHD lahir bersama KUHPerdata yaitu tahun 1847 di negara Belanda,
berdasarkan asas konkordansi juga diberlakukan di Hindia Belanda. Setelah Indonesia
merdeka berdasarkan ketentuan pasal II aturan peralihan undang-undang dasar 1945
kedua kitab tersebut berlaku di Indonesia. KUHD terdiri atas dua buku, buku I
berjudul perdagangan pada umumnya, kemudian buku II berjudul hak dan kewajiban
yang timbul karena perhubungan kapal.
Materi-materi hukum dagang dalam beberapa bagian telah diatur dalam
KUHPerdata yaitu tentang perikatan, seperti jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-
meminjam. Secara khusus materi hukum dagang yang belum atau tidak diatur dalam
KUHD dan KUHPerdata, ternyata dapat ditemukan dalam berbagai peraturan khusus
yang belum dikodifikasi seperti tentang koperasi, perusahaan negara, hak cipta, dan
lain-lain.
Hubungan antara KUHD dengan KUHPerdata adalah sangat erat, hal ini dapat
dimengerti karena memang semula kedua hukum tersebut terdapat dalam satu
kodifikasi. Pemisahan keduanya hanyalah karena perkembangan hukum dagang itu
sendiri dalam mengatur pergaulan internasional dalam hal perniagaan.
Hukum dagang merupakan bagian dari hukum perdata, atau dengan kata lain
hukum dagang merupakan perluasan dari hukum perdata. Untuk itu berlangsung asas
lex specialis dan lex generalis, yang artinya ketentuan atau hukum khusus dapat
mengesampingkan ketentuan atau hukum umum. KUHPerdata (KUHS) dapat juga
dipergunakan dalam hal yang daitur dalam KUHDagang sepanjang KUHD tidak
mengaturnya secara khusus.
14
7. Berlakunya Hukum Dagang
Perkembangan hukum dagang sebenarnya telah di mulai sejak abad
pertengahan Eropa (1000 M/1500 M) yang terjadi di negara dan kota-kota di Eropa.
Pada zaman itu di Italia dan Perancis Selatan telah lahir kota-kota sebagai pusat
perdagangan yaitu Genoa, Florence, Vennetia, Marseille, Barcelona, dan negara-
negara lainnya. Namun pada saat itu hukum romawi (corpus lurus civilis) tidak dapat
menyelsaikan perkara-perkara dalam perdagangan, maka dibuatlah hukum baru di
samping hukum romawi yang berdiri sendiri pada abad ke-16 & ke-17 yang berlaku
bagi golongan yang disebut hukum pedagang (koopmansrecht) khususnya mengatur
perkara di bidang perdagangan (peradilan perdagangan) dan hukum pedagang ini
bersifat unifikasi.
Karena bertambah pesatnya hubungan dagang maka pada abad ke-17 diadakan
kodifikasi dalam hukum dagang oleh mentri keuangan dari raja Louis XIV (1613-
1715) yaitu Corbert dengan peraturan (Ordonnance Du Commerce) 1673. Akhirnya
pada tahun 1681 disusun Ordonnance De La Marine yang mengatur tentang
kedaulatan.
8. Perkembangan Hukum Dagang di Indonesia
KUHPerdata dan kitab undang-undang hukum dagang diberlakukan di Hindia
Belanda (Indonesia) berdasarkan asas konkordansi. Asas Konkordansi menyatakan
bahwa hukum yang berlaku di Belanda, berlaku juga di Hindia Belanda atas dasar
asas unifikasi. Wetbook van Koophandel disahkan oleh pemerintah Belanda dan mulai
berlaku pada tanggal 1 Oktober 1838. Berdasarkan asas konkordansi, diberlakukan di
Hindia Belanda berdasarkan Staatblaad 1847 Nomor 23 yang mulai berlaku pada
tanggal 1 Mei 1848.
Wetbook van Koophandel atau kitab undang-undang hukum dagang (Hindia
Belanda) merupakan turunan dari Code du Commerce, Perancis pada tahun 1808.
Namun tidak semua isi dari Code du Commerce diambil alih oleh pemerintah Belanda.
Misalnya tentang peradilan khusus yang mengadili perselisihan dalam lapangan
perniagaan, yang dalam Code du Commerce ditangani oleh lembaga peradilan khusus
(speciale handelrechtbanken), tetapi di Belanda perselisihan ini ditangani dan menjadi
jurisdiksi peradilan biasa.
15
Sementara itu, di Perancis sendiri Code du Commerce 1908 merupakan
kodifikasi hasil penggabungan dari dua kodifikasi hukum yang pernah ada dan berlaku
sebelumnya, yaitu Ordonance du Commerce 1963 dan Ordonance de la Marine 1681.
Kodifikasi Perancis yang pertama ini terjadi atas perintah Ra Lodewijk.
Kitab undang-undang hukum dagang masih berlaku di Indonesia berdasarkan
Pasal 1 aturan peralihan undang-undang dasar 1945 yang pada pokoknya mengatur
bahwa peraturan yang ada masih tetap berlaku sampai pemerintah Indonesia
memberlakukan aturan penggantinya. Di negeri Belanda sendiri Wetbook van
Koophandel telah mengalami perubahan, namun di Indonesia kitab undang-undang
hukum dagang tidak mengalami perubahan yang komprehensif sebagai suatu
kodifikasi hukum. Namun demikian kondisi ini tidak berarti bahwa sejak Indonesia
merdeka, tidak ada pengembangan peraturan terhadap permasalahan perniagaan.
Perubahan pengaturan terjadi, namun tidak tersistematisasi dalam kodifikasi kitab
undang-undang hukum dagang. Strategi perubahan pengaturan terhadap masalah
perniagaan di Indonesia dilakukan secara parsial (terhadap substansi kitab undang-
undang hukum dagang) dan membuat peraturan baru terhadap substansi yang tidak
diatur dalam kitab undang-undang hukum dagang.
Kitab undang-undang hukum dagang pada dasarnya memuat dua substansi
besar, yaitu tentang dagang pada umumnya dan tentang hak-hak dan kewajiban-
kewajiban yang terbit dari pelayaran. Bursa yang diaitur dalam kitab undang-undang
hukum dagang telah mengalami perkembangan yang sangat pesat melalui lembaga
pasar modal sebagaimana diatur dalam undang-undang nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal dan Bursa Komoditi Berjangka yang diatur dalam undang-undang nomor
32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi.
Terhadap ketentuan wesel, cek, promes, sekalipun belum diubah tetapi
lembaga surat berharga telah dilengkapi dengan berbagai peraturan yang tingkatnya
dibawah undang-undang, khusus untuk surat utang negara (SUN), yang termasuk
dalam kategori surat berharga, diatur dalam undang-undang nomor 24 Tahun 2002.
Sementara tentang pertanggungan (asuransi) telah berkembang menjadi industri yang
sangat besar. Pengaturan terhadap pertanggungan telah mengalami perkembangan
yang cukup mendasar, khususnya dengan diberlakukannya undang-undang nomor 2
Tahun 1992 tentang Perasuransian.
Kemudian kodifikasi hukum Perancis tersebut tahun 1807 dinyatakan berlaku
juga di Nederland sampai tahun 1838. Pada saat itu pemerintah Nederland
menginginkan adanya hukum dagang sendiri. Dalam usul KUHD Belanda dari tahun
16
1819 direncanakan sebuah KUHD yang terdiri atas tiga Kitab, tetapi di dalamnya tidak
mengakui lagi pengadilan istimewa yang menyelesaikan perkara-perkara yang timbul
di bidang perdagangan.
Perkara-perkara dagang diselesaikan di muka pengadilan biasa. Usul KUHD
Belanda inilah yang kemudian disahkan menjadi KUHD Belanda tahun 1838.
Akhirnya berdasarkan asas konkordansi pula, KUHD Nederland 1838 ini kemudian
menjadi contoh bagi pembuatan KUHD di Indonesia. Pada tahun 1893 undang-undang
kepailitan dirancang untuk menggantikan Buku III dari KUHD Nederland dan undang-
undang kepailitan mulai berlaku pada tahun 1896.
KUHD Indonesia diumumkan dengan publikasi tanggal 30 April 1847, yang
mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848. KUHD Indonesia itu hanya turunan dari
Wetboek van Koophandel yang dibuat atas dasar asas konkordansi. Wetboek van
Koophandel Belanda itu berlaku mulai tanggal 1 Oktober 1838 dan 1 Januari di
Limburg. Selanjutnya Wetboek van Koophandel Belanda itu juga mangambil dari
Code du Commerce Perancis tahun 1808, tetapi anehnya tidak semua lembaga hukum
yang diatur dalam Code du Commerce Perancis itu diambil alih oleh Wetboek van
Koophandel Belanda. Ada beberapa hal yang tidak diambil, misalnya mengenai
peradilan khusus tentang perselisihan-perselisihan dalam lapangan perniagaan
(speciale handelsrechtbanken).
Pada tahun 1906 Kitab III KUHD Indonesia diganti dengan Peraturan
Kepailitan yang berdiri sendiri di luar KUHD. Sehingga sejak tahun 1906 Indonesia
hanya memiliki 2 Kitab KUHD saja, yaitu Kitab I dan Kitab II. Berdasarkan asas
konkordansi juga maka pada 1 Mei 1948 di Indonesia diadakan KUHS. Adapun
KUHS Indonesia ini berasal dari KUHS Nederland yang dikodifikasikan pada 5 Juli
1830 dan mulai berlaku di Nederland pada 31 Desember 1830. KUHS Belanda ini
berasal dari KUHD Perancis (Code Civil) dan Code Civil ini bersumber pula pada
kodifikasi Hukum Romawi Corpus Iuris Civilis dari Kaisar Justinianus (527 M-565
M).
17
B. Hukum Agraria
1. Sejarah Hukum Agraria
Purnadi Purbacaraka dalam bukunya yang berjudul Sendi-sendi Hukum
Agraria, membagi kronologi sejarah hukum agraria menjadi lima tahap, yaitu:
a. Tahap I, manusia dalam kehidupan yang dikatakan primitif baru mengenal
meramu sebagai sumber penghidupannya yang pertama kali dan satu-satunya
pula.
b. Tahap II, manusia telah menemukan mata pencahariaan baru yakni berburu
yang dilakukan secara nomaden, yakni mengembara dari hutan ke hutan
mengikuti hewan buruan yang ada.
c. Tahap III, manusia telah menemukan mata pencaharian yang baru lagi, yakni
beternak meskipun sistem pelaksanaannya pun masih sangat primitif dan
secara nomaden pula.
d. Tahap IV, merupakan perkembangan lebih lanjut dari pola hidup menetap
barulah manusia mulai bercocok tanam sebagai mata pencahariannya. Dalam
tahap inilah manusia mulai memikirkan dan mempersoalkan keadaan tanah
mengingat kepentingannya sehubungan dengan mata pencahariannya yang
baru itu. Kemudian pengetahuan manusia tentang hal pertanahan pada masa itu
sangat sederhana dan sempit, terbatas hanya pada hal-hal yang berkenaan
dengan keperluan atau masalah yang tengah dihadapinya saja.
Tahap IV, manusia mulai hidup berkelompok. Dalam tahap ini manusia
manusia talah mengenal mata pencaharian berdagang barter tetapi masih dalam
taraf, pola dan sistim yang sangat sederhana, yakni tukar-menukar barang.
Bersamaan dengan berkembangnya perdagangan ini, maka berkembang pula
mata pencaharian bercocok tanam dan perhatian serta pengetahuan orang terhadap
bidang pertanahan kian berkembang pula. Dalam tahap inilah hukum agrarian mulai
lahir meskipun baik secara formal maupun material dapat dikatakan masih sangat
primitif, masih sangat jauh dari memadai.
Melalui perkembangan zaman, hukum agraria tersebut menjadi kian
berkembang mengalami berbagai penyempurnaan dan pembaharuan setahap demi
setahap hingga sekarang ini.
18
Bila dipandang menurut sejarahnya di Indonesia, maka hukum agraria dapat
diklasifikasikan menjadi dua fase, yaitu:
a. Fase Pertama
Hukum agraria sebelum berlakunya UUPA, yang terbagi pula atas dua kutub
hukum, yakni:
1) Hukum agraria adat, yang mengenal hak atas tanah seperti hak milik, hak
pakai, dan hak ulayat.
2) Hukum agraria barat (Hukum Perdata Barat), yang melahirkan hak atas
tanah seperti hak eigendom (hak milik), hak opsal (hak guna pakai), hak
erfpacht (hak guna usaha), hak gebruik (hak guna bangunan) dan
sebagainya.
b. Fase Kedua
Hukum agraria sesudah berlakunya UUPA (mulai tanggal 24 September 1960),
yang melahirkan hak atas tanah seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan, hak pakai, hak sewa, untuk bangunan dan hak atas tanah yang
bersifat sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan
sebagainya.
2. Definisi Hukum Agraria
Hukum agraria ialah suatu hukum yang mengatur prihal tanah beserta segala
seluk-beluknya yang ada hubungannya dengan pertanahan, misalkan hal perairan,
perikanan, perkebunan, pertambangan dan sebagainya.
Adapun yang termasuk dalam ruang lingkup hal pertanahan beserta segala
beluk-beluknya tersebut, menurut undang-undang nomor 5 Tahun 1960 tentang
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) secara terperinci dapat dijabarkan sebagai
berikut:
a. seluruh bumi, dalam arti disamping permukaan bumi (yang disebut tanah),
termasuk pada tubuh bumi di bawahnya serta bagian bumi yang berada di
bawah air;
b. seluruh air, dalam arti perairan, baik perairan pedalaman maupun laut wilayah
Republik Indonesia;
c. seluruh ruang angkasa, dalam arti ruang yang ada di atas bumi;
d. sumber-sumber kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi, yang disebut
bahan-bahan galian atau sumber-seumber galian yang pada daasarnya
merupakan objek dari usaha-usaha industri, pertambangan dan sejenisnya;
19
e. sumber-sumber kekayaan alam yang terkandung di dalam air, baik perairan
pedalaman maupun perairan laut wilayah Republik Indonesia misalkan ikan
dan sebangsanya, berbagai bangsa binatang laut lainnya, garam, mutiara, dan
sebagainya.
Dalam hal ini, hukum agraria merupakan salah satu sarana jawabaan cita-cita
nasional Indonesia, melalui hakikat dan fungsinya yakni sebagai hukum yang:
a. menjaga keserasian antara alam dan manusia serta mempertahankan keserasian
kehidupan segala makhluk pengisi alam ini dalam kehidupan alamiahnya yang
lestari;
b. mengatur dan menjamin seluruh rakyat untuk sedapat dan semerata mungkin
memperoleh manfaat atas tanah-tanah yang ada di seluruh wilayah negara;
c. mengatur hak rakyat/pribadi hukum tantra maupun perdata untuk
memanfaatkan sumber kekayaan alam yang ada berdasarkan kepentingan dan
kedudukan pribadi masing-masing;
d. mengatur segala kewajiban (rakyat/pribadi hukum tersebut) selaras dengan
segala hak mereka yang berkenaan dengan tanah dan penggunaannya;
e. memberikan batasan yang jelas mengenai tingkat keadaan tanah yang ada
berikut tingkatan hak dan kewajiban beserta segala persyaratan dan harus
diperhatikan oleh para pemegang dan para calon pemegang hak dan kewajiban
atas tanah yang bersangkutan;
f. menggariskan hak maksimal dan kewajiban minimal yang harus dipenuhi oleh
yang menggunakan tanah itu secara konsekuen dalam arti tegas merata dan
seimbang, demi tegaknya keadilan dalam bidang pertanahan di seluruh negeri.
20
3. Sumber Hukum Agraria
Adapun sumber atau bahan yang dijadikan rujukan oleh hukum agraria, yaitu:
a. Perundang-undangan
1) Undang-undang dasar 1945.
2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria.
3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 56 Tahun 1960
Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
4) Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan
Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.
5) Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1964 Tentang Perubahan dan
Tambahan Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 Tentang
Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian
b. Hukum Kebiasaan
Hukum Adat dan Yurisprudensi sebagai “rechters gewoonterecht”.
4. Asas-asas Hukum Agraria
Adapun asas-asal dalam hukum agraria, yaitu:
a. Asas Ketuhanan Yang Maha Esa
Pasal 1 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa seluruh bumi, air dan ruang
angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dalam
wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi
bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
b. Asas Persatuan Indonesia
Pasal 9 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa hanya warga negara Indonesia
dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang
angkasa. Catatan warga negara asing hanya dapat memperoleh hak pakai.
21
c. Asas Demokrasi dan Kerakyatan
Pasal 9 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara, baik laki-
laki maupun wanita, mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh
sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi
diri sendiri maupun orang lain. Catatan dalam penguasaan tanah tidak diadakan
perbedaan lagi antara warga negara pribumi dan non-pribumi dan antara laki-
laki dan perempuan.
d. Asas Musyawarah
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
dilakukan melalui musyawarah. Proses atau kegiatan saling mendengar dengan
sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas
kesukarelaan antara pihak pemegang hak atas tanah dan pihak yang
memerlukan tanah, untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan
besarnya ganti kerugian.
e. Asas Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
Pasal 10 UUPA menyatakan bahwa kewajiban untuk mengerjakan dan
mengusahakan sendiri secara aktif tanah pertanian yang dipunyai seseorang
atau badan hukum harus dilakukan dengan mencegah cara-cara pemerasan.
Penjelasan Umum II Angka 7 menyatakan bahwa mengingat akan susunan
masyarakat pertanian Indonesia, untuk sementara waktu kiranya masih
dimungkinkan adanya penggunaan tanah pertanian oleh orang-orang yang
bukan pemiliknya, misalnya melalui sewa-beli, bagi-hasil, gadai dan
sebagainya. Namun demikian segala sesuatunya harus diselenggarakan dengan
mencegah hubungan-hubungan hukum yang bersifat penindasan yang lemah
oleh yang kuat, tidak boleh diadakan perjanjian atau kesepakatan atas dasar
free-fight, harus dicegah cara-cara pemerasan.
f. Asas Keadilan Sosial
Pasal 11, 13, 15, dan pasal-pasal yang mengatur landreform (Pasal 7, 10, 17,
53) UUPA. Penjelasan pasal 11 menyatakan bahwa harus diperhatikan adanya
perbedaan keadaan masyarakat dan keperluan golongan rakyat, tetapi dengan
menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah.
Golongan ekonomis lemah tersebut, bisa warga negara asli maupun keturunan
asing. Demikian pula sebaliknya.
g. Sifat Komunalistik Religius
22
Pasal 6 UUPA menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual dengan hak-
hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung kebersamaan,
jangan mengabaikan, melainkan harus mengindahkan unsur-unsur yang
bersandar pada hukum agama. Kemudian pasal 7 menyatakan bahwa ntuk
tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah
yang melampaui batas tidak diperkenankan.
h. Asas Pemisahan Horizontal
Hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan
tanaman yang ada di atasnya. Perbuatan hukum mengenai tanah tidak dengan
sendirinya meliputi bangunan dan tanaman yang ada di atasnya. Namun dalam
praktik dimungkinkan suatu perbuatan hukum mengenai tanah meliputi juga
bangunan dan tanaman yang ada di atasnya, aasalkan bangunan dan tanaman
tersebut secara fisik merupakan satu kesatuan dengan tanah yang
bersangkutan, artinya bangunan yang berpondasi dan tanaman merupakan
tanaman keras, bangunan dan tanaman keduanya milik si empunya tanah;
maksud demikian secara tegas disebutkan dalam akta yang membuktikan
dilakukannya perbuatan hukum yang bersangkutan.
i. Asas Spesialitas
Bahwa tanah yang didaftarkan harus jelas-jelas diketahui dan nyata ada di
lokasi tanahnya.
j. Asas Publitas
Bahwa setiap orang dapat mengetahui sesuatu bidang tanah itu milik siapa,
seberapa luasnya, dan apakah ada beban di atasnya.
k. Asas Negatif
Bahwa pemilikan suatu bidang tanah yang terdaftar atas nama seseorang tidak
berarti mutlak adanya, sebab dapat saja dipersoalkan siapa pemiliknya melalui
pengadilan.
23
5. Subjek Hak Milik Atas Tanah
Pada asasnya hak milik hanya dapat dipunyai oleh orang-orang (het natuurlijke
persoon), baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Badan hukum tidak
dapat mempunyai tanah dengan hak milik, kecuali badan hukum yang ditetapkan oleh
pemerintah dan telah dipenuhi syarat-syaratnya. Demikian pasal 21 ayat (1) dan (2)
UUPA.
Menurut hukum agraria yang lama setiap orang boleh mempunyai dengan hak
eigendom, baik warga negara maupun warga asing, baik bukan Indonesia asli maupun
bukan Indonesia asli. Bahkan badan hukum pun berhak mempunyai hak eigendom,
baik badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing.
Sesuai dengan pasal 9 ayat (1) UUPA, menurut pasal 21 ayat (1) UUPA hanya
warga negara Indonesia saja dapat mempunyai hak milik, sebagaimana telah
dijelaskan, bahwa larangan tidak diadakan perbedaan antara orang-orang Indonesia
asli dan keturunan asing. Meskipun, menurut pasal 9 ayat (2) UUPA, tidak diadakan
perbedaan antara sesama warga negara dalam hal pemilikan tanah diadakan perbedaan
antara mereka yang berkewarganegaraan tunggal dan rangkap.
Berkewarganeragaan rangkap artinya, bahwa disamping kewarganegaraan
Indonesia dipunyai pula kewarganegaraan lain. Pasal 24 ayat (4) UUPA menentukan,
bahwa selama seseorang disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai
kewarganegaraan asing tidak dapat mempunyai tanah dengan hak tanah. Ini berarti,
bahwa selama itu dalam hubungannya dengan soal pemilikan tanah dipersamakan
dengan orang asing.
Di dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan, bahwa sudah selayaknya orang-
orang yang membiarkan diri disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai
kewarganegaraan lain dalam hal pemilikan tanah dibedakan dari warga negara
Indonesia lainnya. Dengan demikian, maka yang boleh mempunyai tanah dengan hak
milik itu hanyalah warga negara Indonesia tunggal saja. Sekarang kedudukan anak
tetap mengikuti kewarganegaraan orang tuanya, juga setelah menjadi dewasa.
Kalau orang tuanya telah melepaskan kewarganegaraan Indonesia, anaknya
tetap berkewarganegaraan Indonesia. Untuk menjadi warga negara Indonesia, harus
ditempuh cara pewarganegaraan, atau naturalisasi. Perlu diketahui bahwa selain syarat
kewarganegaraan Indonesia tunggal, khusus untuk pemilikan tanah pertanian masih
diperlukan syarat-syarat lain.
24
Syarat-syarat itu berkaitan dengan ketentuan mengenai maksimum luas tanah
pertanian yang boleh dimiliki dan dikuasai seseorang (Pasal 1 jo. 6 undang-undang
nomor 56 (Perpu tahun 1960) mengenai pemilikan bersama tanah pertanian yang
luasnya kurang dari dua hektar (Pasal 9 ayat 2 dan 33 UUPA).
Undang-undang nomor 56 (Perpu) tahun 1960, dan mengenai larangan
pemilikan tanah pertanian secara absentee atau guntai (Pasal 3 PP Nomor 224 tahun
1961 jo. PP Nomor 41 tahun 1964). Kalau syarat yang disebutkan pada pasal 21 ayat 1
jo. ayat 4 UUPA disebut syarat umum bagi perorangan untuk mempunyai tanah
dengan hak milik, artinya syarat tersebut wajib dipenuhi oleh setiap pemilik. Oleh
sebab itu, hal yang ditentukan oleh peraturan-peraturan landreform merupakan syarat-
syarat khusus, artinya khusus untuk pemilikan tanah pertanian. Bagi tanah pertanian,
tidak di syaratkan bahwa pemiliknya harus seorang petani.
6. Kedudukan Hak Atas Tanah
Kepemilikan hak atas tanah merupakan hak dasar yang juga merupakan bagian
dari hak asasi manusia. Pencabutan kepemilikan hak atas tanah oleh presiden
dilakukan untuk kepentingan umum. Perlindungan subjek hak atas dalam menghadapi
pencabutan hak didasarkan kepada pemahaman pengertian kepentingan umum.
Kepentingan umum merupakan suatu yang abstrak, mudah dipahami secara teoritis,
tetapi menjadi sangat kompleks ketika diimplementasikan.
Kebijakan publik telah ditetapkan oleh pemerintah mengenai kewenangan
pemerintah untuk melakukan pencabutan hak atas tanah demi kepentingan umum
dengan telah dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang
pengadaan tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (untuk
selanjutnya ditulis Perpres Nomor Tahun 2005). Menurut catatan Kompas, ketentuan
pencabutan hak atas tanah ini ternyata tidak jauh beda dengan Keputusan Presiden
Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan
untuk Keoentingan Umum, yang pernah dikeluarkan oleh Presiden Soeharto. Baik
Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 maupun Perpres Nomor 36 Tahun 2001,
sama-sama merujuk pada Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan
Hak-hak atas Tanah dan Benda yang ada diatasnya. (Kompas, 8 Mei 2005).
25
Selanjutnya dikatakan pada masa reformasi saat ini harus ada revisi terhadap
ketentuan yang mengatur tentang hak atas tanah dengan memberikan jaminan terhadap
kepemilikan tanah. Dengan revisi tersebut, bukan berarti hak milik atas tanah tidak
bisa dicabut, tetapi prosesnya tidak semudah di zaman orde baru, karena harus
melewati aturan yang ketat. (Kompas, 9 Mei 2005).
Dalam masa refomasi ini banyak masyarakat layak terkejut dengan
dikeluarkannya kebijakan publik yang dituangkan dalam Perpres Nomor 36 Tahun
2005. Keterkejutan itu beralasan, karena kita semua tidak mengira bila pemerintah
mengeluarkan peraturan di tengah harapan berjalannya proses demokrasi dan
penguatan hak-hak rakyat sipil. Lahirnya Perpres Nomor 36 Tahun 2005,
mengingatkan orang pada praktik-praktik pemerintahan orde baru dalam mengambil
paksa tanah-tanah rakyat baik yang di kota maupun di desa dengan mengatasnamakan
pembangunan, sehingga menimbulkan penggusuran dan konflik agraria.
7. Hak Asasi Manusia dan Hak Atas Tanah
Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu
kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.
(Rahardjo, 2000: 53).
Dengan demikian, hak itu merupakan suatu kepentingan yang dilindungi oleh
hukum, sehingga memungkinkan seseorang menunaikan kepentingan tersebut. Seperti
dinyatakan oleh Allen bahwa The legally guarenteds power to realisean interst. Oleh
sebab itu implikasi dari definisi tentang hak tersebut antara lain:
a. Hak adalah suatu kekuasaan, yaitu suatu kemampuan untuk memodifikasi
keadaan.
b. Hak merupakan jaminan yang diberikan oleh hukum.
c. Penggunaan hak menghasilkan suatu keadaan yang berkaitan langsung dengan
kepentingan pemilik hak. (Ali, 1996:242)
26
Dalam kepustakaan ilmu hukum dikenal teori atau ajaran untuk menjelaskan
keberadaan hak, antara lain:
a. Belangen Theorie (teori kepentingan) menyatakan bahwa hak adalah
kepentingan yang terlindungi. Salah satu penganutnya adalah Rudolf von
Jhering, yang berpendapat bahwa hak itu suatu kepentinagn yang penting bagi
seseorang yang dilindungi oleh hukum, atau suatu kepentingan yang
terlindungi.
b. Wilmacht Theorie (teori kehendak), yaitu adalah kehendak yang dilengkapi
oleh kehendak. Salah satu penganutnya adalah Bernhard Winscheid, yang
menyatakan bahwa hak itu suatu kehendak yang dilengkapi dengan kekuatan
dan diberi oleh tata tertib hukum kepada seseorang. Berdasarkan kehendak
seseorang dapat mempunayai rumah, mobil, tanah dan sebagainya.
c. Teori fungsi sosial yang dikemukakan oleh Leon Duguit, yang menyatakan
bahwa tidak ada seseorang manusiapun yang mempunyai hak. Sebaliknya, di
dalam masyarakat, bagi manusia hanya ada satu tugas sosial. Tata tertib hukum
tidak didasarkan atas hak kebebasan manusia, tetapi atas tugas sosial yang
harus dijalankan oleh anggota masyarakat. (Mas, 2004: 32-33).
Berdasarkan sudut kewenangan, maka pengertian hak berintikan kebebasan
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu berkenaan dengan sesuatu atau
terhadap subjek hukum tertentu atau semua subjek hukum tanpa halangan atau
gangguan dari pihak manapun, dan kebebasan tersebut memiliki kewenang-wenangan
untuk melakukan perbuatan tertentu, termasuk menuntut sesuatu. (Kusumaatmadja
dan Sidharta, 2000: 90).
Kurang atau minimnya bukti kepemilikan atas tanah menjadi salah satu
penyebab dari minimnya proses pendaftaran hak atas tanah. Hal lain yang menjadi
penyebab yakni juga minimnya pengetahuan masyarakat akan arti pentingnya bukti
kepemilikan hak atas tanah. Untuk proses pembuatan sertipikat maka mereka harus
memiliki surat-surat kelengkapan untuk tanah yang mereka miliki, akan tetapi pada
kenyataannya tanah-tanah yang dimiliki masyarakat pedesaan atau masyarakat adat itu
dimiliki secara turun temurun dari nenek moyang mereka, sehingga surat kepemilikan
tanah yang mereka miliki sangat minim bahkan ada yang tidak memiliki sama sekali.
27
Mereka menempati dan menggarap tanah tersebut sudah berpuluh-puluh tahun
sehingga masyarakat pun mengetahui bahwa tanah tersebut adalah milik si A atau si B
tanpa perlu mengetahui surat-surat kepemilikan atas tanah tersebut.
Saat ini dengan adanya Undang-Undang Pokok Agraria yang ditindak lanjuti
dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang kemudian diganti
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tidak mungkin lagi diterbitkan
hak-hak yang tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ataupun yang
akan tunduk kepada hukum adat setempat kecuali menerangkan bahwa hak-hak
tersebut merupakan hak adat. Mengingat pentingnya pendaftaran hak milik atas tanah
adat sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah secara sah sesuai dengan pasal 23, pasal
32, dan Pasal 38 Undang-Undang Pokok Agraria, maka diberikan suatu kewajiban
untuk mendaftarkan tanah adat khususnya hak milik adat.
Sertifikat hak atas tanah memberikan kepastian hukum atas kepemilikan tanah
bagi pihak yang namanya tercantum dalam sertipikat. Oleh sebab itu penerbitan
sertipikat dapat mencegah sengketa tanah. Kepemilikan sertifikat akan memberikan
perasaan tenang dan tentram karena dilindungi dari tindakan sewenang-wenang yang
dilakukan oleh siapapun. Dengan kepemilikan sertifikat hak atas tanah, pemilik tanah
dapat melakukan perbuatan hukum apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Selain itu, sertifikat tanah memiliki
nilai ekonomis seperti disewakan, jaminan hutang, atau sebagai saham.
Pemberian sertifikat hak atas tanah dimaksudkan untuk mencegah pemilikan
tanah dengan luas berlebihan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
28
8. Hak-hak Tanah Bagi Warga Negara Asing
Meskipun pada asasnya hanya orang-orang warga negara Indonesia tunggal
saja yang dapat memiliki tanah, dalam hal-hal tertentu selama dalam waktu yang
terbatas UUPA masih memungkinkan orang-orang asing dan warga negara Indonesia
yang berkewarganegaraan rangkap untuk mempunyai tanah dengan hak milik.
Diberikannya kemungkinan itu adalah atas dasar pertimbangan peri kemanusiaan.
Pasal 21 ayat 3 UUPA menentukan, bahwa orang asing yang sesudah tanggal
24 september 1960 memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau
percampuran harta karena perkawinan, wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu
satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut. Ketentuan itu berlaku juga terhadap
seorang warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah tanggal 24
september 1960 kehilangan kewarganegaraannya.
Jangka waktu satu tahun tersebut dihitung sejak hilangnya kewarganegaraan
Indonesia itu. Pasal 21 ayat 3 UUPA berlaku juga terhadap mereka berdasarkan
ketentuan pasal 21 ayat 4 UUPA.
Cara-cara yang disebutkan dalam ayat 3 diatas adalah cara memperoleh hak
tanpa melakukan sesuatu tindakan positif yang sengaja ditujukan pada terjadinya
peralihan hak yang bersangkutan. Demikian penjelasan pasal 21 ayat 3 UUPA
tersebut. Cara-cara lain tidak diperbolehkan karena dilarang oleh pasal 26 ayat 2
UUPA, juga beli, tukar menukar, hibah, dan pemberian dengan wasiat (legat).
Memperoleh hak milik dengan kedua cara tersebut diatas masih dimungkinkan
bagi orang-orang asing dan warga negara Indonesia yang berkewarganegaraan
rangkap, tetapi dalam waktu satu tahun pemilikan itu harus diakhiri.
Dikatakan dalam ayat tersebut, bahwa di dalam waktu satu tahun hak miliknya
itu harus dilepaskan. Kalau hak miliknya itu tidak dilepaskan, hak tersebut menjadi
hapus dan tanahnya menjadi tanah negara, yaitu tanah yang dikuasai langsung oleh
negara. Maksudnya, setelah itu bekas pemilik diberi kesempatan untuk meminta
kembali tanah yang bersangkutan dengan hak dapat dipunyainya, yaitu bagi orang
asing hak pakai dan bagi orang Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap, HGU,
HGB, atau hak pakai.
29
C. Hukum Adat dan Kebiasaan
1. Proses Lahirnya Hukum Adat dan Kebiasaan
Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan
sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India dan
Tiongkok. Hukum adat juga merupakan hukum asli bangsa Indonesia. Sumbernya
adalah peraturan-peraturaran hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan
dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Oleh sebab itu peraturan-
peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki
kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum
adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar
keturunan.
Ada dua pendapat mengenai asal kata adat ini. Disatu pihak ada yang
menyatakan bahwa adat diambil dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan.
Menurut Prof. Amura, istilah ini berasal dari bahasa sanskerta karena menurutnya
istilah ini telah dipergunakan oleh orang Minangkabau kurang lebih 2000 tahun yang
lalu. Menurutnya adat berasal dari dua kata, a dan dato. A berarti tidak dan dato berarti
sesuatu yang bersifat kebendaan.
Hukum adat dikemukakan pertama kali oleh Prof. Snouck Hurgrounje seorang
ahli sastra timur dari Belanda pada tahun 1894. Sebelum istilah hukum adat
berkembang, dulu dikenal dengan istilah adat recht. Prof. Snouk Hurgrounje dalam
bukunya yang berjudul De Atjehers (Aceh) pada tahun 1893-1894 menyatakan bahwa
hukum masyarakat Indonesia tidak dikodifikasi adalah de atjehres atau hukum adat.
Kemudian istilah ini dipergunakan pula oleh Prof. Mr. Cornelis van
Vollenhoven, seorang sarjana sastra yang juga sarjana hukum yang pula menjabat
sebagai guru besar pada Universitas Leiden di Belanda. Ia memuat istilah adat
recht dalam bukunya yang berjudul Adat Recht van Nederlandsch Indie (Hukum Adat
Hindia Belanda) pada tahun 1901-1933.
Perundang-undangan di Hindia Belanda secara resmi mempergunakan istilah
ini pada tahun 1929 dalam Indische Staatsregeling (Peraturan Hukum
Negeri Belanda), semacam Undang Undang Dasar Hindia Belanda, pada pasal 134
ayat (2) yang berlaku pada tahun 1929.
30
Dalam masyarakat Indonesia, istilah hukum adat tidak dikenal adanya. Hilman
Hadikusuma mengatakan bahwa istilah tersebut hanyalah istilah teknis
saja. Dikatakan demikian karena istilah tersebut hanya tumbuh dan dikembangkan
oleh para ahli hukum dalam rangka mengkaji hukum yang berlaku dalam masyarakat
Indonesia yang kemudian dikembangkan ke dalam suatu sistem keilmuan.
Dalam bahasa Inggris dikenal juga istilah Adat Law, namun perkembangan
yang ada di Indonesia sendiri hanya dikenal istilah adat atau kebiasaan saja, untuk
menyebutkan sebuah sistem hukum yang dalam dunia ilmiah dikatakan hukum adat
dan kebiasaan.
Pendapat ini diperkuat dengan pendapat dari Muhammad Rasyid Maggis Dato
Radjoe Penghoeloe sebagaimana dikutif oleh Prof. Amura sebagai lanjutan
kesempuranaan hidup selama kemakmuran berlebih-lebihan karena penduduk sedikit
bimbang dengan kekayaan alam yang berlimpah ruah, sampailah manusia kepada adat.
Sedangkan pendapat Prof. Nasroe menyatakan bahwa adat Minangkabau telah dimiliki
oleh mereka sebelum bangsa Hindu datang keIndonesia dalam abad ke satu tahun
masehi.
Prof. Dr. Mohammad Koesnoe, S.H. di dalam bukunya mengatakan bahwa
istilah hukum adat dan kebiasaan telah dipergunakan seorang UlamaAceh yang
bernama Syekh Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin Tursani (Aceh Besar)
pada tahun 1630. Prof. A. Hasymi menyatakan bahwa buku tersebut (karangan Syekh
Jalaluddin) merupakan buku yang mempunyai suatu nilai tinggi dalam bidang hukum
yang baik yaitu membahas mengenai hukum adat dan kebiasaan.
2. Definisi Hukum Adat dan Kebiasaan
Hukum adalah seperangkat norma dan aturan adat atau kebiasaan yang berlaku
di suatu wilayah. Istilah kebiasaan adalah terjemahan dari bahasa
Belanda gewoonte, sedangkan istilah adat berasal dari istilah Arab yaitu adah yang
berarti juga kebiasaan. Jadi istilah kebiasaan dan istilah adat mempunyai arti yang
sama yaitu kebiasaan.
Menurut ilmu hukum, kebiasaan dan adat itu dapat dibedakan pengertiannya.
Perbedaan itu dapat dilihat dari segi pemakaiannya sebagai perilaku atau tingkah laku
manusia atau dilihat dari segi sejarah pemakaian istilahnya dalam hukum di Indonesia.
Sebagai perilaku manusia istilah biasa berarti apa yang selalu terjadi atau apa
yang lazim terjadi, sehingga kebiasaan berarti kelaziman. Adat juga bisa diartikan
sebagai kebiasaan pribadi yang diterima dan dilakukan oleh masyarakat.
31
Sejarah perundang-undangan di Indonesia membedakan pemakaian
istilah kebiasaan dan adat, yaitu adat kebiasaan di luar perundangan dan adat
kebiasaan yang diakui oleh perundangan. Sehingga menyebabkan munculnya istilah
hukum adat dan kebiasaan yang merupakan hukum tidak tertulis dan hukum yang
tertulis. Di negara Belanda tidak membedakan istilah adat dan kebiasaan. Jika kedua-
duanya bersifat hukum, maka disebut hukum kebiasaan (gewoonterecht) yang
berhadapan dengan hukum perundangan (wettenrecht).
Istilah hukum adat sendiri berasal dari istilah Arab yaitu huk’m dan adah. Kata
jama dari huk’m yaitu ahakam yang mengandung arti perintah atau suruhan,
sedangkan kata adah berarti kebiasaan. Jadi, hukum adat adalah aturan kebiasaan.
Di Indonesia hukum adat diartikan sebagai hukum Indonesia asli yang tidak
tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang di sana-sini
mengandung unsur agama. Terminologi adat dan hukum adat dan kebiasaan seringkali
dicampur aduk dalam memberikan suatu pengertian padahal sesungguhnya keduanya
adalah dua lembaga yang berlainan.
Adat sering dipandang sebagai sebuah tradisi sehingga terkesan sangat lokal,
ketinggalan jaman, tidak sesuai dengan ajaran agama dan lain-lainnya. Hal ini dapat
dimaklumi karena adatadalah suatu aturan tanpa adanya sanksi riil (hukuman) di
masyarakat kecuali menyangkut soal dosa adat yang erat berkaitan dengan soal-soal
pantangan untuk dilakukan (tabu dan kualat). Terlebih lagi muncul istilah-istilah adat
budaya, adat istiadat, dan lain-lain.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adat adalah aturan (perbuatan
dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala, atau cara
(kelakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan, atau wujud gagasan
kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu
dng lainnya berkaitan menjadi suatu sistem. Oleh sebab itu istilah adat yang telah
diserap kedalam bahasa Indonesia menjadi kebiasaan maka istilah hukum adat dapat
disamakan dengan hukum kebiasaan.
32
Namun menurut Van Dijk, kurang tepat bila hukum adat diartikan
sebagai hukum kebiasaan. Menurutnya hukum kebiasaan adalah kompleks peraturan
hukum yang timbul karena kebiasaan berarti demikian lamanya orang bisa bertingkah
laku menurut suatu cara tertentu sehingga lahir suatu peraturan yang diterima dan juga
diinginkan oleh masyarakat. Jadi, menurut Van Dijk hukum adat dan hukum
kebiasaan itu memiliki perbedaan.
Menurut Soejono Soekanto, hukum adat hakikatnya merupakan hukum
kebiasaan, namun kebiasaan yang mempunyai akhibat hukum (das sein das
sollen). Berbeda dengan kebiasaan (dalam arti biasa), kebiasaan yang merupakan
penerapan dari hukum adat adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan berulang-
ulang dalam bentuk yang sama menuju kepada Rechtsvaardige Ordening Der
Semenleving.
Menurut Ter Haar yang terkenal dengan teorinya Beslissingenleer (teori
keputusan) mengungkapkan bahwa hukum adat mencakup seluruh peraturan-peraturan
yang menjelma di dalam keputusan-keputusan para pejabat hukum yang mempunyai
kewibawaan dan pengaruh, serta didalam pelaksanaannya berlaku secara serta merta
dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan tersebut.
Keputusan tersebut dapat berupa sebuah persengketaan, akan tetapi juga diambil
berdasarkan kerukunan dan musyawarah. Dalam tulisannya Ter Haar juga menyatakan
bahwa hukum adat dapat timbul dari keputusan warga masyarakat.
Syekh Jalaluddin menjelaskan bahwa hukum adat pertama-tama merupakan
persambungan tali antara dulu dengan kemudian, pada pihak adanya atau tiadanya
yang dilihat dari hal yang dilakukan berulang-ulang. Hukum adat tidak terletak pada
peristiwa tersebut melainkan pada apa yang tidak tertulis dibelakang peristiwa
tersebut, sedang yang tidak tertulis itu adalah ketentuan keharusan yang berada
dibelakang fakta-fakta yang menuntuk bertautnya suatu peristiwa dengan peristiwa
lain.
33
Ter Haar membuat dua perumusan yang menunjukkan perubahan pendapatnya
tentang hal yang dinamakan hukum adat, yaitu:
a. Hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga masyarakat
hukum adat, terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat
(kepala adat) yang membantu pelaksanaan-pelaksanaan perbuatan-perbuatan
hukum, atau dalam hal pertentangan kepentingan keputusan para hakim yang
bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan tersebut karena
kesewenangan atau kurang pengertian tidak bertentangan dengan keyakinan
hukum rakyat, melainkan senapas dan seirama dengan kesadaran tersebut,
diterima, diakui atau setidaknya tidak-tidaknya ditoleransi.
b. Hukum adat yang berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan dilihat dalam
bentuk keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (kekuasaan tidak
terbatas pada dua kekuasaan saja, eksekutif dan yudikatif) tersebut. Keputusan
tersebut tidah hanya keputusan mengenai suatu sengketa yang resmi tetapi juga
diluar itu didasarkan pada musyawarah (kerukunan). Keputusan ini diambil
berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup
kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan tersebut.
Hukum adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai
budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi
suatu sistem dan memiliki sanksi riil yang sangat kuat. Menurut pakar hukum bahwa
hukum adat, yaitu:
a. Prof. Mr. B. Terhaar Bzn
Hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-
keputusan dari kepala-kepala adat dan berlaku secara spontan dalam
masyarakat. Terhaar terkenal dengan teori keputusan artinya bahwa untuk
melihat apakah sesuatu adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka
perlu melihat dari sikap penguasa masyarakat hukum terhadap sipelanggar
peraturan adat-istiadat. Apabila penguasa menjatuhkan putusan hukuman
terhadap pelanggar maka adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat.
b. Prof. Mr. Cornelis van Vollen Hoven
Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku masyarakat yang berlaku
dan mempunyai sanksi dan belum dikodifikasikan.
34
c. Dr. Sukanto, S. H.
Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang pada umumnya tidak dikitabkan,
tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai
akibat hukum.
d. Mr. J.H.P. Bellefroit
Hukum adat sebagai peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak
diundangkan oleh penguasa, tetapi tetap dihormati dan ditaati oleh rakyat
dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.
e. Prof. M.M. Djojodigoeno, S. H.
Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan.
f. Prof. Dr. Hazairin
Hukum adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat yaitu kaidah-kaidah
kesusialaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam
masyarakat itu.
g. Soeroyo Wignyodipuro, S. H.
Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada
perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan
peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam
masyarakat, sebagaian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh
rakyat karena mempunyai akibat hukum (sanksi).
h. Prof. Dr. Soepomo, S. H.
Hukum adat adalah hukum tidak tertulis didalam peraturan tidak tertulis,
meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang
berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan
bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
35
Dari batasan-batasan yang dikemukakan di atas, maka terlihat unsur-unsur dari
pada hukum adat, yaitu:
a. Adanya tingkah laku yang terus menerus dilakukan oleh masyarakat.
b. Tingkah laku tersebut teratur dan sistematis.
c. Tingkah laku tersebut mempunyai nilai sakral.
d. Adanya keputusan kepala adat.
e. Adanya sanksi atau akibat hukum.
f. Tidak tertulis.
g. Ada dalam masyarakat dan ditaati oleh masyarakat demi tertibnya kehidupan.
3. Ciri-ciri Hukum Adat dan Kebiasaan
Adapun yang menjadi ciri-ciri hukum adat dan kebiasaan, yaitu:
a. Bercorak Relegiues Magis
Menurut kepercayaan tradisionil Indonesia, tiap-tiap masyarakat diliputi oleh
kekuatan gaib yang harus dipelihara agar masyarakat itu tetap aman tentram
bahagia dan lain-lain. Tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia gaib
serta tidak ada pemisahan antara berbagai macam lapangan kehidupan, seperti
kehidupan manusia, alam, arwah-arwah nenek moyang dan kehidupan makluk-
makluk lainnya.
Adanya pemujaan-pemujaan khususnya terhadap arwah-arwah darp pada
nenek moyang sebagai pelindung adat-istiadat yang diperlukan bagi
kebahagiaan masyarakat. Setiap kegiatan atau perbuatan-perbuatan bersama
seperti membuka tanah, membangun rumah, menanam dan peristiwa-peristiwa
penting lainnya selalu diadakan upacara-upacara relegius yang bertujuan agar
maksud dan tujuan mendapat berkah serta tidak ada halangan dan selalu
berhasil dengan baik.
b. Bercorak Komunal atau Kemasyarakatan
Artinya bahwa kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok,
sebagai satu kesatuan yang utuh. Individu satu dengan yang lainnya tidak dapat
hidup sendiri, manusia adalah makluk sosial, manusia selalu hidup
bermasyarakat, kepentingan bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan
perseorangan.
36
c. Bercorak Demokrasi
Bahwa segala sesuatu selalu diselesaikan dengan rasa kebersamaan,
kepentingan bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan-kepentingan
pribadi sesuai dengan asas permusyawaratan dan perwakilan sebagai sistem
pemerintahan. Adanya musyawarah di balai desa, setiap tindakan pamong desa
berdasarkan hasil musyawarah dan lain sebagainya.
d. Bercorak Kontan
Pemindahan atau peralihan hak dan kewajiban harus dilakukan pada saat yang
bersamaan yaitu peristiwa penyerahan dan penerimaan harus dilakukan secara
serentak, ini dimaksudkan agar menjaga keseimbangan didalam pergaulan
bermasyarakat.
e. Bercorak Konkret
Artinya adanya tanda yang kelihatan yaitu tiap-tiap perbuatan atau keinginan
dalam setiap hubungan-hubungan hukum tertentu harus dinyatakan dengan
benda-benda yang berwujud. Tidak ada janji yang dibayar dengan janji,
semuanya harus disertai tindakan nyata, tidak ada saling mencurigai satu
dengan yang lainnya.
4. Wilayah Hukum Adat dan Kebiasaan
Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven membagi Indonesia menjadi 19
lingkungan hukum adat (rechtsringen). Satu daerah yang garis-garis besar, corak dan
sifat hukum adatnya seragam disebutnya sebagai rechtskring. Setiap lingkungan
hukum adat tersebut dibagi lagi dalam beberapa bagian yang disebut kukuban
hukum (rechtsgouw). Lingkungan hukum adat tersebut, yaitu:
a. Aceh meliputi Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, dan Semeuleu.
b. Tanah Gayo, Alas dan Batak, juga meliput:
1) Tanah Gayo (Gayo Lueus).
2) Tanah Alas.
3) Tanah Batak (Tapanuli).
4) Tapanuli Utara meliputi Batak Pakpak (Barus), Batak karo, Batak
Simelungun, dan Batak Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Lumbun Julu)
5) Tapanuli Selatan meliputi Padang Lawas (Tano Sepanjang), Angkola, dan
Mandailing (Sayurmatinggi).
6) Nias (Nias Selatan).
37
7) Tanah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, Tanah
Kampar, dan Kerinci).
c. Mentawai (Orang Pagai).
d. Sumatera Selatan, meliputi:
1) Bengkulu (Renjang).
2) Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedingtataan, dan Tulang
Bawang).
3) Palembang (Anak lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, dan Semendo)
e. Jambi (Orang Rimba, Batin, dan Penghulu)
f. Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumatera Timur, dan Orang Banjar).
g. Bangka dan Belitung.
h. Kalimantan meliputi Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak,
Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tayan, Dayak Lawangan,
Lepo Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Dayat Maanyan, Dayak Maanyan Siung,
Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, dan Dayak Penyambung Punan.
i. Gorontalo meliputi Bolaang Mongondow dan Boalemo.
j. Tanah Toraja meliputi Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat,
Sigi, Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, dan Kepulauan
Banggai.
k. Sulawesi Selatan meliputi Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar,
Makasar, Selayar, dan Muna.
l. Kepulauan Ternate meliputi Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, dan
Kepulauan Sula.
m. Maluku Ambon meliputi Ambon, Hitu, Banda, Kepulauan Uliasar, Saparua,
Buru, Seram, Kepulauan Kei, Kepulauan Aru, dan Kisar.
n. Irian.
o. Kepulauan Timor meliputi Kepulauan Timor-timor, Timor Tengah, Mollo,
Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, dan Sayu
Bima.
p. Bali dan Lombok meliputi Bali Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karrang
Asem, Buleleng, Jembrana, Lombok, dan Sumbawa.
q. Jawa Pusat, Jawa Timur serta Madura meliputi Jawa Pusat, Kedu, Purworejo,
Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, dan Madura.
r. Daerah Kerajaan meliputi Surakarta dan Yogyakarta.
s. Jawa Barat meliputi Priangan, Sunda, Jakarta, dan Banten.
38
5. Hukum Adat dan Kebiasaan Dalam Masyarakat
Hukum mempunyai peranan sangat besar dalam pergaulan hidup di tengah-
tengah masyarakat. Hal ini dapat di lihat dari ketertiban, ketentraman dan tidak
terjadinya ketegangan di dalam masyarakat, karena hukum mengatur menentukan hak
dan kewajiban serta mengatur, kemudian menentukan hak dan kewajiban serta
melindungi kepentingan individu dan kepentingan sosisal.
Menurut J.F. Glastra Van Loon peran hukum adat dan kebiasaan dalam
masyarakat, yaitu:
a. Menertibkan masyarakat dan pengaturan pergaulan hidup.
b. Menyelesaikan pertikaian.
c. Memelihara dan mempertahankan tata tertib dan aturan-aturan jika perlu
dengan kekerasan.
d. Memelihara dan mempertahankan hak tersebut.
e. Mengubah tata tertib dan aturan-aturan dalam rangka penyesuaian dengan
kebutuhan masyarakat.
f. Memenuhi tuntutan keadilan dan kepastian hukum dengan cara merealisasi
fungsi-fungsi di atas.
Masyarakat hukum adat suatu kelompok masyarakat atau komunitas tertentu
yang hidup bersama dalam suatu wilayah atau kawasan tertentu yang terikat pada
hukum tertentu, yang ditaati, dilaksanakan dan hukum tersebut dipelihara, yang
didalamnya terdapat sanksi sebagai alat pemaksa. Dengan demikian bukanlah sebuah
masyarakat hukum adat apabila tidak memiliki dan terikat pada hukum tertentu.
Hukum yang demikian mempunyai sifat kumulatif, yaitu:
a. mengatur;
b. memaksa;
c. dilaksanakan atau ditaati, dan
d. dipelihara secara berkelanjutan.
Dengan sifat hukum yang demikian masyarakat hukum dapat mengklaim
adanya wilayah berlaku atas anggota masyarakat hukum adatnya dan wilayah teritorial
yang selanjutnya diberi nama yuridis hak ulayat. Hak ulayat itu bukan saja diakui
secara de jure menurut hukum adat dan kebiasaan mereka, tetapi juga dalam interaksi
dengan masyarakat hukum adat dan kebiasaan yang bertetangaan secara de facto
mengakui hak ulayat tersebut.
39
Hal itulah yang menjadi dasar yuridis mengapa negara harus mengakui
keberadaan hak ulayat. Dari sudut anatomi norma ideal dalam kerangka historis
konstitusi Indonesia terkandung pengakuan terhadap keberadaan institusi
kemasyarakatan dari masyarakat hukum adat.
Pada posisi ini, negara secara konstitusional haru mengakui keberadaannya.
Implementasi kelembagaan dari hukum adatnya distrukturalisasi institusi
kemasyarakatannya dengan pengakuan adanya:
a. masyarakat tertentu;
b. hukum adat dengan sifat kumulatifnya;
c. lembaga adat yang secara seremonial dapat terlihat dengan jelas tatkala
berlangsung upacara adat;
d. kepala adat atau kepada suku sebagai antara lain yang berwenang menghukum,
dan
e. hak ulayat.
6. Sistem Pengendalian Sosial dalam Hukum Adat dan Kebiasaan
Dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang semua anggota masyarakat bersedia
menaati aturan yang berlaku, hampir bisa dipastikan kehidupan bermasyarakat akan
bisa berlangsung dengan lancar dan tertib. Kemudian berharap semua anggota
masyarakat bisa berperilaku selalu taat, tentu merupakan hal yang mahal. Di dalam
kenyataan, tentu tidak semua orang akan selalu bersedia dan bisa memenuhi ketentuan
atau aturan yang berlaku dan bahkan tidak jarang ada orang-orang tertentu yang
sengaja melanggar aturan yang berlaku untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Secara rinci, beberapa faktor yang menyebabkan warga masyarakat berperilaku
menyimpang dari norma-norma yang berlaku adalah sebagai berikut:
a. Kaidah-kaidah yang ada tidak memuaskan bagi pihak tertentu atau karena
tidak memenuhi kebutuhan dasarnya.
b. Kaidah yang ada kurang jelas perumusannya sehingga menimbulkan aneka
penafsiran dan penerapan.
c. Kaidah di dalam masyarakat terjadi konflik antara peranan-peranan yang
dipegang warga masyarakat, dan
d. Kaidah memang tidak mungkin untuk mengatur semua kepentingan warga
masyarakat secara merata.
40
Pada situasi tertentu orang memperhitungkan bahwa dengan melanggar atau
menyimpangi sesuatu norma malahan akan bisa memperoleh sesuatu reward atau
sesuatu keuntungan lain yang lebih besar, maka di dalam hal demikianlah enforcement
demi tegaknya norma lalu terpaksa harus dijalankan dengan sarana suatu kekuatan dari
luar. Norma tidak lagi self-enforcing (norma-norma sosial tidak lagi dapat terlaksana
atas kekuatannya sendiri), dan akan gantinya harus dipertahankan oleh petugas-
petugas kontrol sosial dengan cara mengancam atau membebankan sanksi-sanksi
kepada mereka-mereka yang terbukti melanggar atau menyimpangi norma.
Apabila ternyata norma-norma tidak lagi self-enforcement dan proses
sosialisasi tidak cukup memberikan efek-efek yang positif, maka masyarakat atas
dasar kekuatan otoritasnya mulai bergerak melaksanakan kontrol sosial.
Menurut Soerjono Soekanto, pengendalian sosial adalah suatu proses baik
yang direncanakan atau tidak direncanakan, yang bertujuan untuk mengajak,
membimbing atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan
kaidah-kaidah yang berlaku.
Objek (sasaran) pengawasan sosial, adalah perilaku masyarakat itu sendiri.
Tujuan pengawasan adalah supaya kehidupan masyarakat berlangsung menurut pola-
pola dan kidah-kaidah yang telah disepakati bersama. Dengan demikian, pengendalian
sosial meliputi proses sosial yang direncanakan maupun tidak direncanakan (spontan)
untuk mengarahkan seseorang. Juga pengendalian sosial dalam hukum adat dan
kebiasaan pada dasarnya merupakan sistem dan proses yang mendidik, mengajak dan
bahkan memaksa warga masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma
sosial. Adapun penjelasan lebih lanjut tentang hal tersebut, yaitu:
a. Sistem mendidik dimaksudkan agar dalam diri seseorang terdapat perubahan
sikap dan tingkah laku untuk bertindak sesuai dengan norma-norma.
b. Sistem mengajak bertujuan mengarahkan agar perbuatan seseorang didasarkan
pada norma-norma, dan tidak menurut kemauan individu-individu.
c. Sistem memaksa bertujuan untuk mempengaruhi secara tegas agar seseorang
bertindak sesuai dengan norma-norma. Bila ia tidak mau menaati kaiah atau
norma, maka ia akan dikenakan sanksi.
Dalam pengendalian sosial dalam hukum adat dan kebiasaan kita bisa melihat
pengendalian sosial tersebut berproses pada tiga pola yakni:
a. Pengendalian kelompok terhadap kelompok.
b. Pengendalian kelompok terhadap anggota-anggotanya.
c. Pengendalian pribadi terhadap pribadi lainnya.
41
Pengendalian sosial dalam hukum adat dan kebiasaam dimaksudkan agar
anggota masyarkat mematuhi norma-norma sosial sehingga tercipta keselarasan dalam
kehidupan sosial. Untuk maksud tersebut, dikenal beberapa jenis pengendalian.
Penggolongan ini dibuat menurut sudut pandang dari mana seseorang melihat
pengawasan tersebut.
Adapun penjelasan lebih lanjut tentang hal tersebut, yaitu:
a. Pengendalian preventif merupakan kontrol sosial yang dilakukan sebelum
terjadinya pelanggaran atau dalam versi mengancam sanksi atau usaha
pencegahan terhadap terjadinya penyimpangan terhadap norma dan nilai. Jadi,
usaha pengendalian sosial yang bersifat preventif dilakukan sebelum terjadi
penyimpangan.
b. Pengendalian represif adalah kontrol sosial yang dilakukan setelah terjadi
pelanggaran dengan maksud hendak memulihkan keadaan agar bisa berjalan
seperti semula dengan dijalankan di dalam versi menjatuhkan atau
membebankan sanksi. Pengendalian ini berfungsi untuk mengembalikan
keserasian yang terganggu akibat adanya pelanggaran norma atau perilaku
meyimpang. Untuk mengembalikan keadaan seperti semula, perlu diadakan
pemulihan. Jadi, pengendalian disini bertujuan untuk menyadarkan pihak yang
berperilaku menyimpang tentang akibat dari penyimpangan tersebut, sekaligus
agar dia mematuhi norma-norma sosial.
c. Pengendalian sosial gabungan merupakan usaha yang bertujuan untuk
mencegah terjadinya penyimpangan (preventif) sekaligus mengembalikan
penyimpangan yang tidak sesuai dengan norma-norma sosial (represif). Usaha
pengendalian dengan memadukan ciri preventif dan represif ini dimaksudkan
agar suatu perilaku tidak sampai menyimpang dari norma-norma dan kalaupun
terjadi penyimpangan itu tidak sampai merugikan yang bersangkutan maupun
orang lain.
d. Pengendalian resmi (formal) ialah pengawasan yang didasarkan atas
penugasan oleh badan-badan resmi, misalnya negara maupun agama.
e. Pengawasan tidak resmi (informal) dilaksanakan demi terpeliharanya
peraturan-peraturan yang tidak resmi milik masyarakat. Dikatakan tidak resmi
karena peraturan itu sendiri tidak dirumuskan dengan jelas, tidak ditemukan
dalam hukum tertulis, tetapi hanya diingatkan oleh warga masyarakat.
42
f. Pengendalian institusional ialah pengaruh yang datang dari suatu pola
kebudayaan yang dimiliki lembaga (institusi) tertentu. Pola-pola kelakuan dan
kiadah-kaidah lembaga itu tidak saja mengontrol para anggota lembaga, tetapi
juga warga masyarakat yang berada di luar lembaga tersebut.
g. Pengendalian berpribadi ialah pengaruh baik atau buruk yang datang dari
orang tertentu. Artinya, tokoh yang berpengaruh itu dapat dikenal. Bahkan
silsilah dan riwayat hidupnya.
43
D. Hukum Pajak
1. Definisi Hukum Pajak
Hukum pajak merupakan hukum yang telah disusun dalam undang-undang
yang memiliki tujuan dan fungsi sebagaimana telah dirancang dalam undang-undang
itu sendiri. Adapun hukum pajak terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Hukum pajak materiil memuat norma-norma yang menerangkan antara lain
keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenal pajak (objek pajak), siapa
yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif),
segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum
antara pemerintah dan wajib pajak. Contoh: UU PPh.
b. Hukum pajak formil memuat bentuk/tata cara untuk mewujudkan hukum
materiil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materiil). Hukum
ini memuat antara lain:
1) tata cara penyelenggaraan (prosedur) penetapan hutang pajak;
2) hak-hak fislus untuk mengadakan pengawasan terhadap para wajib pajak
mengenai keadaan, perbuatan, dan peristiwa yang menimbulkan hutang
pajak;
3) kewjaiban wajib pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan
dan hak-hak wajib pajak misalnya mengajukan keberatan dan banding.
Contohnya ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
Menurut beberapa ahli, pengertian pajak dapat diartikan sebagai berikut:
a. Menurut Sommerfeld
Pajak adalah suatu pengalihan sumber-sumber yang wajib dilakukan dari
sektor swasta kepada sektor pemerintah berdasarkan peraturan tanpa mendapat
suatu imabalan kemabali yang langsung dan seimbang, agar pemerintah dapat
melaksanakan tugas tugasnya dalam pemerintahan.
b. Menurut Prof. DR. Rochmat Soemitro
Pajak adalah pengalihan kekayaan dari pihak rakyat kepada negara untuk
membiayai pengeluaran rutin dan digunakan untuk public saving yang
merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
44
Dari pengertian itu dapat disimpulkan unsur-unsur yang terdapat dalam pajak
ialah pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksananya,
yaitu:
1) Sifatnya dapat dipaksakan, hal ini berarti bahwa pelanggaran atas iuran
perpajakan dapat dikenakan sanksi.
2) Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun daerah.
3) Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila
dari pemasukannya masih surplus, dipergunakan untuk membiayai public
investment.
c. Menurut Prof. DR. M.J.H. Smeets
Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma
umum, dan yang dapat dipaksakan tanpa ada kontra prestasi yang dapat
ditunjukkan dalam hal individual, maksudnya adalah untuk membiayai
pengeluaran pemerintah.
d. Menurut Prof. Dr .P. J. A Adriani
Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang
terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan undang-udang
dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan
yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang
berhubungan dengan tugas negara dan pemerintahan.
45
2. Jenis-jenis Pajak
Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi pajak
pusat dan pajak daerah. Pajak pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh pemerintah
pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak Departemen
Keuangan. Kemudian pajak daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah
Daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Beberapa jenis pajak dapat
dibagi menjadi:
a. Pajak Penghasilan (PPh)
Pph adalah pajak langsung dari pemerintah pusat yang dipungut atas
penghasilan dari semua orang yang berada di wilayah Republik Indonesia.
b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang kena pajak atau jasa
kena pajak di dalam daerah pabean. Orang pribadi, perusahaan, maupun
pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN.
c. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM)
Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong
mewah, juga dikenakan PPn BM. Yang dimaksud dengan barang kena pajak
yang tergolong mewah adalah:
1) Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok
2) Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu.
Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan
tinggi. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status sosial.
d. Bea meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, dengan
menggunakan benda materai atau benda lainya contohnya dengan
menggunakan mesin teraan, pemeteraian, dan surat setoran pajak.
e. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
PBB adalah atas harta tak bergerak yang terdiri atas tanah dan
bangunan (property tax).
46
f. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ( BPHTB )
BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah
Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada
Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Selain pajak-pajak yang dikelola pemerintah pusat juga terdapat pajak yang
dipungut oleh pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota antara
lain:
a. Pajak provinsi, meliputi:
1) pajak kendaraan bermotor dan kendaraan diatas air;
2) bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan diatas air;
3) pajak bahan bakar kendaraan bermotor;
4) pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.
b. Pajak kabupaten/kota, meliputi:
a. pajak hotel;
b. pajak restoran;
c. pajak hiburan;
d. pajak reklame/iklan;
e. pajak penerangan jalan;
f. pajak pengambilan bahan galian golongan C;
g. pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.
47
3. Fungsi Hukum Pajak
Selain memiliki tujuan keadilan, hukum pajak juga memiliki berbagai fungsi
yang berdasar pada asas-asas yang bertujuan utama menyejahterakan penduduknya.
Fungsi yang pertama dalam hukum pajak yaitu sebagai acuan dalam menciptakan
sistem pemungutan pajak yang harus memenuhi syarat keadilan, efisien, dan
sederhana sejelas-jelasnya dalam undang-undang hukum pajak itu sendiri.
Fungsi selanjutnya adalah sebagai sumber yang menerangkan tentang mana
dan siapa subjek maupun objek yang perlu dan tidak perlu dijadikan sumber
pemungutan pajak yang berfungsi untuk meningkatkan potensi pajak di negara ini..
Fungsi lain yang terkandung dalam hukum pajak yaitu untuk menghindari
timbulnya hambatan-hambatan atau perlawanan dari pembayar pajak yang dapat
merugikan negara (pemerintah).
Fungsi lain dari hukum pajak adalah sebagai sumber bahan pertimbangan
dalam menerapkan kebijakan-kebijakan pajak yang dapat digunakan seagai alat
pengatur keadaan sosial maupun ekonomi serta untuk mencapai tujuan berlainan.
4. Tujuan Hukum Pajak
Tujuan utama dari sebuah hukum pajak adalah menegakkan keadilan yang
terdiri dari keadilan dalam pembuatan peraturan-peraturan yang telah tertuang di
dalam undang-undang maupun dari segi peraturan yang digunakan dalam pelaksanaan
pemungutan pajak itu sendiri.
Hukum pajak pun bertujuan atas dasar keadilan pajak yang terletak pada
hubungan penduduk dengan negaranya. Dasar keadilan selanjutnya adalah keadilan
yang terletak pada akibat yang muncul dari pemungutan pajak, yang berarti memungut
pajak akan menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga
negara.
Selanjutnya negara akan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam
bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai subsidi serta jasa dan
barang yang bertujuan untuk melayani masyarakat umum. Dengan demikian
kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan.
48
Tujuan hukum pajak selanjutnya yaitu memberikan jaminan dalam bentuk
perlindungan keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyat yang lainnya. Selain
itu, untuk mendidik dan mendewasakan wajib pajak serta meningkatkan kesadaran
wajib pajak untuk memahami pentingnya pajak bagi negara maupun bagi masyarakat/
penduduk itu sendiri. Maka hukum pajak pun memiliki peran penting dalam aspek
sosial.
5. Hukum Pajak
Adapun hukum pajak berfungsi sebagai acuan dalam pembagian beban pajak
kepada rakyat yang didasarkan pada kepentingan masing-masing orang.
Lebih lanjut hukum pajak pun memiliki fungsi sebagai penjelas tentang
penggunaan/pemanfaatan dari hasil pemungutan pajak, baik dalam memenuhi
anggaran APBN serta APBD maupun memenuhi target perolehan pajak yang akan
digunakan untuk kepentingan sosial dan kesejahteraan umum. Selanjutnya, hukum
pajak juga memiliki fungsi dalam menetapkan kepastian yang berupa sanksi
administrasi ataupun sanksi tata usaha, maupun sanksi pidana berupa penjara ataupun
kurungan. Adapun sanksi administrasi berupa:
a. Denda
Sanksi administrasi yang dikenakan terhadap pelanggaran yang berkaitan
dengan kewajiban pelaporan berupa denda berupa uang (harta) yang telah
ditetapkan dalam undang-undang.
b. Bunga
Sanksi administrasi yang dikenakan terhadap pelanggaran yang berkaitan
dengan kewajiban pembayaran/penyetoran pajak, yang terdiri dari bunga
pembayaran, bunga ketetapan, dan bunga penagihan.
c. Kenaikan
Sanksi administrasi yang berupa kenaikan jumlah pajak yang harus dibayar,
terhadap pelanggaran berkaitan dengan kewajiban yang diatur dalam ketentuan
material.
49
6. Hak dan Kewajiban Pajak
Penetapan hak dan kewajiban bagi seorang fiskus maupun wajib pajak juga
menjadi salah satu fungsi dari hukum pajak. Hak dan kewajiban wajib pajak, yaitu:
a. Kewajiban wajib pajak, meliputi:
1) Mendaftarkan diri menjadi wajib pajak dan pengusaha kena pajak.
2) Mengambil surat pemberitahuan sendiri ke kantor pajak atau tenpat-tempat
lain yang telah ditentukan oleh Dirjen Pajak.
3) Mengisi surat pemberitahuandengan benar, lengkap, dan jelas serta
menandatanganinya dan melaporkannya.
4) Membayar pajak yang terhutang yang telah dihitung sendiri tanpa
menunggu adanya surat ketetapan pajak atau tagihan pajak.
5) Menyelenggarakan pembukuan dan memperlihatkan pembukuan serta
memberikan keterangan apabila dilakukan pemeriksaan.
6) Menyimpan dokumen-dokumen sebagai dasar perhitungan pajak.
b. Hak-hak wajib pajak, meliputi:
1) Menghitung pajak sendiri.
2) Mengajukan perpanjangan jangka waktu penyampaian surat pemberitahuan
tahunan.
3) Melakukan pembetulan surat pemberitahuan.
4) Mengajukan permohonan restitusi atas kelebihan pembayaran pajak atau
kelebihan karena dipotong oleh pihak ketiga.
5) Mengajukan permohonan untuk mengansur pembayaran pajak.
6) Mengajukan permohonan penghapusan sanksi administrasi, bunga atau
kenaikan yang dikenakan.
7) Mengajukan pembetulan atas kesalahan SKP, STP, Surat Keberatan, SK
Pengurangan au Penghapusan sanksi administrasi dan sebagainya.
8) Mengajukan keberatan apabila ditetapkan pajaknya lebih tinggi.
9) Mengajukan banding atas keputusan keberatan kepada badan peradilan
pajak.
50
Sedangkan fiskus mempunyai hak dan kewajiban sebagai berikut:
a. Kewajiban fiskus, meliputi:
1) Melayani pendaftaran wajib pajak untuk meminta nomor pokok wajib
pajak.
2) Melayani wajib pajak dalam pemberian formulir-formulir yang dibutuhkan
untuk laporan-laporan.
3) Melayani untuk menerima laporan dari wajib pajak baik SPT Masa atau
SPT Tahunan.
4) Memberikan persetujuan perpanjangan jangka waktu peyampaian SPT.
5) Memberikan persetujuan penundaan atau angsuran pmbayaran pajak yang
diminta oleh wajib pajak.
6) Membetulkan SKP, STP, Surat Keberatan, SKP Pengurangan atau
Penghapusan, sanksi administrasi apabila terjadi kesalahan.
7) Menerima keberatan wajib pajak termasuk yang mengajukan banding.
b. Hak-hak fiskus, meliputi:
1) Menerbitkan NPWP dan NPPKP baik diminta oleh wajib pajak atau tidak
(secara jabatan).
2) Menerbitkan SKP atau STP.
3) Melakukan penagihan pajak.
4) Menerbitkan surat paksa dalam hal wajib pajak tidak membayar pajak
sebagaimana dimaksud dalam SKP atau STP.
5) Melakukan pemeriksaan.
6) Meminjam dokumen-dokumen pembukuan wajib pajak yang menjadi
dasar perhitungan besranya pajak yang dibayar.
7) Melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu.
8) Melakukan penyidikan pajak
51
7. Penetapan Tarif Pajak
Penetapan tarif pajak pun mengambil acuan dari hukum pajak.Tarif pajak itu
sendiri terbagi dalam 4 macam, yaitu:
a. Tarif Sebanding/Proposional
Tarif berupa presentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah ang dikenal
pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya
nilai yang dikenai pajak. Contohnya untuk penyerahan Barang Kena Pajak di
dalam daerah pabean akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%.
b. Tarif Tetap
Tarif berupa jumlah yang tetap terhadap jumlah berapapun jumlah yang
dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap. Contohnya
besarnya tarif bea materai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai nominal
berapapun adalah Rp 1.000,00.
c. Tarif Progresif
Presentase tarif yang digunakan semakin besar apabila jumlah yang dikenal
pajak semakin besar. Contohnya lapisan penghasilan kena pajak bagi wajib
Pajak Badan dan BUT.
Adapun tarifnya, yaitu:
1) Sampai dengan Rp50.000.000,00 = 10%
2) Di atas Rp50.000.000,00 s.d Rp100.000.000,00 = 15%
3) Di atas Rp100.000.000,00 = 30%
Menurut kenaikan prosentase tarifnya, tarif progresif dibagi:
1) Tarif progresif progresif: kenaikan persentase semakin besar.
2) Tarif progresif tetap: kenaikan persentase tetap.
3) Tarif progresif degresif:kenaikan persentase semakin kecil.
Dengan demikian, tarif pajak menurut pasal 17 UU PPh tersebut di atas
termasuk tarif progresif progresif.
d. Tarif Degresif
Persentase tarif yang digunakan semakin kecil jika jumlah yang dikenai pajak
semakin besar.
52
8. Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia
Di Indonesia, ada bermacam-macam jenis pengenaan pajak. Pajak yang digali
pemerintah antara lain adalah Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak
Bumi dan Bangunan. Sistem pemungutan pajak yang digunakan saat ini adalah self
assessment system dimana wajib pajak diberi kesempatan untuk melaporkan,
menghitung, dan melaksanakan pembayaran pajak yang terutang sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan pajak dengan sistem
pemungutan semi self assesment dimana pihak fiskus yang lebih proaktif dan
kooperatif melakukan penghitungan, penetapan pajak terutang dan mendistribusikan
kepada pemerintah daerah melalui dinas pendapatan daerah berdasarkan surat
pemberitahuan objek pajak (SPOP) yang diisi oleh wajib pajak atau verifikasi pihak
fiskus di lapangan. Pemerintah daerah melaui kelurahan/desa bahkan mendistribusikan
surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT) sampai ketangan wajib pajak dan juga
menerima pembayaran PBB.
Penyetoran pajak terutang selain melaui petugas pemungut kelurahan/desa,
juga dapat dilakukan di bank/kantor pos yang telah ditunjuk dalam SPPT dan juga
melalui e-payment, transaksi pembayaran melaui perangkat elektronik perbankan,
yaitu melalui anjungan tunai mandiri (ATM), Internet Banking ataupun Teller
Bank yang online di seluruh Indonesia. Kebijakan-kebijakan diatas diberlakukan oleh
pemerintah melalui Direktorat Jendral Pajak sebagai instansi yang berwenang
mengurus masalah pajak dengan tujuan mempermudah wajib pajak PBB
melaksanakan kewajibannya dibidang perpajakan sehingga kepatuhan dan kesadaran
wajib pajak yang selama ini belum sepenuhnya berjalan dengan baik dapat
diminimalisir dengan segala kemudahan yang diberikan. Sehingga target penerimaan
negara yang berasal dari pajak, khususnya Pajak Bumi dan Bangunan tercapai dengan
maksimal.
53
Adapun sistem pemungutan pajak di Indonesia, yaitu :
a. Official Assessment System
Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya
pajak yang terutang oleh wajib pajak dan menagihnya. Dalam sistem ini
kedudukan fiscus (aparat pajak) sangat dominan.
Sistem ini juga memiliki beberapa kekurangan yang pertama adalah kurang
mendidik atau kurang mendewasakan wajiib pajak dan juga memungkinkan
timbulnya kesewenang-wenangan dari pihak fiscus.
Ciri-ciri dari system official assessment adalah sebagai berikut:
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada fiscus.
2) Wajib pajak (pembayar) bersifat pasif.
3) Hutang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiscus.
b. Self Assessment System
Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang
terutang. Cirri-ciri dari system self assessment adalah sebagai berikut:
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib
pajak sendiri.
2) Wajib pajak aktif mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan
sendiri pajak yang terutang.
3) Fiscus tidak ikut campur dan hanya mengawai.
c. With Holding System
With Holding System adalah suatu system pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus ataupun wajib pajak) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-ciri dari
sistem ini ialah wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada
pihak ketiga, pihak selain fiscus dan wajib pajak.
54
9. Asas-asas Pemungutan Pajak
Adapun kebijakan-kebijakan tersebut meliputi asas pemungutan pajak yang
terbagi dalam:
a. Asas Domisili (Asas Tempat Tinggal)
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan wajib pajak yang
bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam
maupun dari luar negeri. Asas ini berlaku untuk wajib pajak dalam negeri.
b. Asas Sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di
wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak.
c. Asas Kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Misalnya
pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang yang bukan
berkebangsan Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia. Asas ini berlaku
untuk wajib pajak luar negeri.
Kebijakan-kebijakan lainnya juga meliputi timbul dan hapusnya utang pajak.
Ada dua ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak:
1) Ajaran formil
Utang pajak timbul karena dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh
fiskus. Ajaran ini ditetapkan pada official asesment system.
2) Ajaran materiil
Utang pajak timbul karena belakunya undang-undang. Seseorang dikenai
pajak karena suatu keadaan dan perbuatan. Ajaran ini ditetapkan pada self
assesment sistem. Dihapusnya utang pajak dapat disebabkan beberapa hal:
a) pembayaran;
b) kompensasi;
c) daluwarsa;
d) pembebasan dan penghapusan.
55
10. Faktor Yang Menghambat Pemungutan Pajak di Indonesia
Dalam penerapannya banyak sekali kendala-kendala yang dialami oleh badan
perpajakan dalam memungut pajak dari setiap wajib pajak. Selain karena semakin
hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pajak karena maraknya kasus-
kasus korupsi yang menjerat pegawai pajak. Tidak hanya itu masih banyak faktor-
faktor lain yang menghambat jalannya pemungutan pajak di Indonesia antara lain:
a. Kurangnya Atau Tidak Adanya Kesadaran Masyarakat
Dalam pemungutan pajak dituntut kesadaran setiap warga negara yang menjadi
wajib pajak untuk memenuhi kewajiban kenegaraannya. Kurangnya atau tidak
adanya kesadaran masyarakat sebagai wajib pajak untuk membayar pajak ke
negara mengakibatkan timbulnya penolakan dan perlawanan terhadap pajak
yang merupakan kendala dalam pemungutan pajak sehingga mengakibatkan
berkurangnya penerimaan kas negara.
b. Adanya perlawanan terhadap pajak tersebut yang terdiri atas perlawanan aktif
dan perlawanan pasif. Adapun penjelas lebih lanjut tentang hal tersebut, yaitu:
1) Perlawanan Pasif
Perlawanan yang inisiatifnya bukan dari wajib pajak itu sendiri tetapi
terjadi karena keadaan yang ada di sekitar wajib pajak itu. Perlawanan
pasif terdiri dari hambatan-hambatan yang mempersulit pemungutan pajak
dan yang erat hubungannya dengan struktur ekonomi suatu negara,
perkembangan intelektual dan moral penduduk, dan dengan teknik
pemungutan pajak itu sendiri.
2) Perlawanan aktif
Perlawanan aktif adalah perlawanan yang inisiatifnya berasal dari wajib
pajak itu sendiri. Hal ini merupakan usaha dan perbuatan yang secara
langsung ditujukan terhadap fiscus dan bertujuan untuk menghindari pajak
atau mengurangi kewajiban pajak yang seharusnya dibayar.
c. Struktur Ekonomi
Struktur ekonomi suatu negara mempengaruhi pemungutan pajak di negara
tersebut. Hal ini terkait dengan penghitungan pendapatan netto oleh wajib
pajak sesuai dengan norma perhitungannya.
56
d. Perkembangan Moral dan Intelektual Penduduk
Disebabkan ketidaktahuan masyarakat mengenai pentingnya pajak bagi
pembangunan Negara, dan kurangnya sosialisai dari pemerintah tentang wajib
pajak.
e. Cara Atau Gaya Hidup Masyarakat
Gaya hidup masyarakat di suatu negara mempengaruhi besar kecilnya
penghasilan yang mereka peroleh dan besar kecilnya penghasilan tersebut
mempengaruhi besar kecilnya penerimaan kas negara.
f. Mekanisme Pemungutan Pajak Yang Rumit
Perhitungan pajak yang rumit dan memerlukan pengisian formulir yang rumit
menyebabkan adanya penghindaran pajak, prosedur yang berbelit-belit yang
menyulitkan pembayar pajak dan membuka celah untuk negosiasi antara
petugas dan pembayar pajak juga dapat mengakibatkan adanya penghindaran
pajak, maka perlu diadakan penyuluhan pajak untuk menghindari adanya
perlawanan pasif terhadap pajak.
57
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini, yaitu:
1. Hukum dagang merupakan segala perangkat aturan tata cara pelaksanaan kegiatan
perdagangan, industri, atau kuangan yang dihubugkan dngan produksi atau kegiatan
tukar menukar barang. Hukum dagang bersumber pada KUHD dan KUHPerdata atau
KUHS yang didalamnya membahas tugas perdagangan, jenis perdagangan,
perkumpulan perdagangan, berlakunya hukum dagang, dan perkembangan hukum
dagang di Indonesia.
2. Hukum agraria ialah suatu hukum yang mengatur prihal tanah beserta segala seluk-
beluknya yang ada hubungannya dengan pertanahan, misalkan hal perairan, perikanan,
perkebunan, pertambangan dan sebagainya. Hukum agraria berseumber pada Undang-
undang dasar 1945 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria yang membahas asas-asas hukum agraria, subjek hak
milik atas tanah, kedudukan hak atas tanah, hak asasi manusia dan hak atas tanah, dan
hak-hak tanah bagi warga negara asing.
3. Hukum adat dan kebiasaan adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada
perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan peraturan
tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagaian besar
tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat karena mempunyai akibat
hukum (sanksi).
4. Hukum pajak adalah norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan,
peristiwa hukum yang dikenal pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak
(subjek), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan
hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak.
58
B. Saran
Adapun saran dari penulis mengenai makalah ini, yaitu:
1. Bagi para pedagang dan perusahaan alangkah baiknya dapat memahami hukum
dagang dengan tujuan mengimplementasikan hukum tersebut secara baik, benar dan
tepat.
2. Sebagai warga negara dan warga negara asing sudah semestinya mengetahui hukum
agraria agar senantiasa hal pokok dalam hukum tersebut terwujud sesuai dengan
tujuan yang tercantum dalam undang-undang tersebut.
3. Negara Indonesia yang merupakan sebagai masyarakat hukum sekaligus masyarakat
yang beradat dan mempunyai kebiasaan sudah seiyanya melaksanakan adat dan
kebiasaan tersebut dengan penuh kesungguhan, bukan sebaliknya agar senantiasa
tertib dalam pergaulan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
4. Sebagai rakyat Indonesia yang bertanggung jawab sudah semestinya rakyat dan para
pejabat atau pemerintahan dapat melaksanakan hukum pajak dengan penuh tanggung
jawab agar senantiasa tercapainya kesejahteraan dalam kehidupan bernegara.
59
DAFTAR PUSTAKA
Neltje F. Katuuk, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Universitas Gunadarma, Cetakan 1, 1994.
Ridwan Khairandy dkk, S.H., M.H., Pengantar Hukum Dagang Indonesia, Yogyakarta: Gama
Media, 1999
Drs. C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1989
http://sigit-bayu.blogspot.com/2013/05/hukum-dagang-kuhd.html
Kitab Undang-undang Hukum Dagang
Harsono, Boedi. 2004. Hukum Agraria Indonesia. Djambatan.
Koeswahyono, Imam. 2007. Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah. Refika
Aditama.
Muljadi, Kartini. 2005. Hak-hak Atas Tanah. Jakarta: Prenada Media.
Parlindungan, A.P. 1990. Pendaftaran Tanah di Indonesia. Mandar Maju.
Parlindungan, A.P. 1987. Beberapa Masalah Dalam UUPA. Bandung; Alumni.
Soimin, Soedharyo. 2008. Status Hak dan Pembahasan Tanah. Jakarta: Sinar Grafika.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria
Mustari, Suriyaman. 2009. Hukum Adat kini dulu dan akan datang. Makassar: Pelita Pustaka.
http://www.kabarpajak.com/2013/07/makalah-pajak-fungsi-dan-tujuan-hukum.html
Brotodiharjo, Santoso, 2008, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: Refika Aditama
Undang-undang No. 6 tahun 1983 tentang pajak
Undang-undang No. 28 tahun 2007 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah
Dikutip dari berbagai sumber internet:
http://ilmu27.blogspot.com/2012/08/hukum-pajak.html.
http:// id.wikipedia.org/wiki/pajak
http://4iral0tus.blogspot.com/2010/04/hukum-pajak-permasalahan-pajak.html
http://dodzjr.woedpress.com/2012/05/30/makalah-tentang-hukum-pajak/
www.kajianpustaka.com/2012/10/definisi-pajak-dan-jenis-jenis-pajak.html