43
PENDAHULUAN Peternakan kelinci dewasa ini sudah mulai berkembang meskipun masih dalam skala kecil. Hal ini bisa kita lihat dengan semakin banyaknya para penjual kelinci di pasar hewan dan ada juga yang di pinggir- pinggir jalan. Memelihara kelinci merupakan kesenangan tersendiri bagi sebagian orang. Selain karena hobi alasan yang paling utama adalah tingkat komersial kelinci yang cukup tinggi. Sehingga kelinci binatang istimewa saat ini. Selain dipelihara, kelinci juga dimanfaatkan untuk diambil daging dan bulunya. Bahkan ada yang sengaja diambil kotorannya untuk pupuk (Nugroho, 1982). Berbagai jenis ternak kelinci yang sudah dikembangkan di Indonesia seperti Lops, Fuzzy, Tan, Jersey Wooly, New Zealand White, Netherland Dwarf, Yamamoto, Silver Fox, Dwarf Hotot, Rex, Satin, Angora, Tris Mini Rex. Kelinci mampu melahirkan 10–11 kali per tahun dengan rataan 6–7 anak per kelahiran oleh sebab itu kelinci mudah berkembang biak dan tumbuh dengan cepat. Salah satu kendala yaitu penyakit. Penyakit yang menyerang kelinci di Indonesia yaitu Kudis, Koksidiosis, Pasteurellosis, Mukoid Enteritis, Penyakit 1

MakaLah KODIL nanik

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MakaLah KODIL nanik

PENDAHULUAN

Peternakan kelinci dewasa ini sudah mulai berkembang meskipun masih

dalam skala kecil. Hal ini bisa kita lihat dengan semakin banyaknya para penjual

kelinci di pasar hewan dan ada juga yang di pinggir-pinggir jalan. Memelihara

kelinci merupakan kesenangan tersendiri bagi sebagian orang. Selain karena hobi

alasan yang paling utama adalah tingkat komersial kelinci yang cukup tinggi.

Sehingga kelinci binatang istimewa saat ini. Selain dipelihara, kelinci juga

dimanfaatkan untuk diambil daging dan bulunya. Bahkan ada yang sengaja

diambil kotorannya untuk pupuk (Nugroho, 1982).

Berbagai jenis ternak kelinci yang sudah dikembangkan di Indonesia

seperti Lops, Fuzzy, Tan, Jersey Wooly, New Zealand White, Netherland Dwarf,

Yamamoto, Silver Fox, Dwarf Hotot, Rex, Satin, Angora, Tris Mini Rex. Kelinci

mampu melahirkan 10–11 kali per tahun dengan rataan 6–7 anak per kelahiran

oleh sebab itu kelinci mudah berkembang biak dan tumbuh dengan cepat. Salah

satu kendala yaitu penyakit. Penyakit yang menyerang kelinci di Indonesia yaitu

Kudis, Koksidiosis, Pasteurellosis, Mukoid Enteritis, Penyakit Tyzzer, Sifilis,

Ringworm, Cacingan, Mastitis, Radang mata (Iskandar1, 2005)

Kelinci lokal Indonesia yang kalau dilihat bulunya dan besar tubuhnya,

sebagian besar keturunan dari kelinci Belanda (Dutch) dan keturunan dari New

Zealand White. Kelinci lokal ini tubuhnya kecil, karena kelinci Dutch yang

berasal dari negeri Belanda tadi bukan termasuk jenis pedaging, melainkan

sebagai kelinci yang dipelihara untuk kesenangan ban beratnya hanya 1,5-2,5 kg

(Nugroho, 1982). Oryctolagus cuniculus yang telah didomestikasi dapat

ditemukan tersebar di seluruh dunia. Menurut taksonominya, kelinci lokal

termasuk dalam; Kingdom Animalia, Filum Chordata, Subfilum Vertebrata,

Kelas Mammalia, Ordo Lagomorpha, Famili Leporidae, Genus Oryctolagus dan

Spesies Oryctolagus cuniculus (Tislerics, 2008).

1

Page 2: MakaLah KODIL nanik

Kelinci mampu bertahan hidup di habitat yang berbeda, tetapi berkembang

biak paling baik di daerah beriklim sedang. Kelinci sangat peka terhadap suhu

lingkungan dan kelembapan yang tinggi. Suhu idealnya adalah 15°-20oC, jika

lebih dari 27oC akan mengalami penurunan produktivitas dan kemampuan

reproduksi. Suhu di atas 31°-32oC juga akan mengganggu kesehatan kelinci

(Mangkoewidjojo dan Smith, 1988). Untuk kelinci golongan kecil, dewasa

kelaminnya cepat, 4-6 bulan sudah bisa dikawinkan. Sedangkan golongan

medium dalam umur 7-8 bulan bisa dikawinkan. Golongan besar ato berat, lebih

lambat mencapai dewasa kelamin, biasanya umur 10-12 bulan baru dapat di

kawinkan (Nugroho, 1982).

Kelinci merupakan hewan yang aktif di sore dan malam hari, namun di

area yang tidak banyak aktifitas manusia, kelinci menjadi lebih aktif pada siang

hari (Anonim1, 2008). Oryctolagus cuniculus digolongkan sebagai herbivora,

pemakan bermacam-macam rerumputan, dedaunan, tunas dan akar. Meskipun

pakan mengandung nutrisi yang relatif rendah dan materi yang tidak mudah

tercerna tinggi, O. cuniculus merupakan salah satu spesies kelinci yang diketahui

memakan fesesnya sendiri (coprophagy) untuk mendapatkan nutrisi tambahan

dari pakan mereka. Spesies ini memiliki coecum yang besar, dimana terjadi

fermentasi bakteri terhadap materi yang tidak mudah tercerna (Tislerics, 2008).

Kelinci tidak sehat dan jelek mempunyai ciri-ciri: mulut basah, gigi seri

memanjang, mata setengah tertutup (ngantuk), kuku panjang, tidak digunting,

telinga berkeropeng dan rebah, paha tidak berotot, punggung bongkok, lutut jelek,

ekor menggantung basah, anus basah, kelinci tampak lesu, kurang bergairah,

nafsu makan turun, atau tiduran di pojok kandang, biasanya mencret atau bentuk

feses tidak seperti biasa misalnya mengandung darah, berlendir banyak dan

sebagainya (Nugroho, 1982).

Scabies pada kelinci umumnya disebabkan oleh tungau Psoroptes

cuniculi, Chorioptes cuniculi, Notoedres cati, dan Sarcoptes scabiei, juga kutu

Haemodipsus ventricosus. Dapat dibedakan berdasarkan lokasi, penyebab, dan

2

Page 3: MakaLah KODIL nanik

tanda-tanda klinis. Pada infestasi S. scabiei dan N. cati memperlihatkan gejala:

kelinci menggaruk-garuk terus sehingga bulu muka, kepala, pangkal telinga,

sekeliling mata dan kaki rontok. Pada infestasi berat, kulit di sekeliling telinga dan

hidung dapat berubah bentuk. Tungau ini cepat menyebar ke seluruh koloni

kelinci. S. scabiei dapat menginfestasi ke manusia karena bersifat zoonosis, jika

menyerang sudut mulut kelinci maka kelinci sulit makan sehingga menimbulkan

kematian (Iskandar1, 2005).

Koksidiosis merupakan salah satu penyakit parasitik yang paling sering

dan paling umum terjadi, ditandai dengan penurunan berat badan, diare intermiten

hingga diare hebat dengan feses mengandung mukus atau darah mengakibatkan

dehidrasi dan penurunan perkembangbiakan kelinci (Kulišić dkk, 2006). Tercatat

sebelas spesies koksidia usus, coecum maupun colon yang memiliki tingkat

patogenesitas bervariasi (Yakhchali dan Tehrani, 2007). Koksidiosis merupakan

infeksi protozoa yang menyebabkan gangguan pertumbuhan dan penggunaan

nutrisi, hal ini mengakibatkan mortalitas yang signifikan pada kelinci (Al-Mathal,

2008). Spesies koksidia yang paling penting pada kelinci yaitu Eimeria stidae,

yang menyerang dan berkembang di sel epitel duktus biliverus hepar kelinci

hingga dapat menyebabkan cholestasis dan chirrosis. Koksidiosis merupakan

masalah yang umum dan tersebar luas di peternakan komersial maupun penelitian.

Koksidiosis penting secara ekonomi dan merupakan penyakit pada kelinci muda,

terutama dalam masa pencapaian usia kawin dan tumbuh kembang apabila tingkat

sanitasi buruk (Yakhchali dan Tehrani, 2007).

3

Page 4: MakaLah KODIL nanik

TINJAUAN PUSTAKA

Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus biasa ditemukan hidup komensal pada kulit dan

membran mukosa, terutama pada saluran respirasi bagian atas, traktus digestivus

dan beberapa diantaranya dapat bersifat patogen oportunis menyebabkan infeksi

pyogenik. Staphylococcus adalah bakteri coccus gram positif, memiliki diameter

sekitar 1 μm, yang cenderung muncul bergerombol menyerupai seikat anggur.

Nama Staphylococcus berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata staphyle

dan kokkos, yang masing-masing berarti ’seikat anggur’ dan ’buah berry’ (Quinn

dkk, 2002).

Staphylococcus bersifat anaerobik fakultatif yang dapat tumbuh secara

aerobik maupun fermentasi yang menghasilkan asam laktat. Staphylococcus

aureus membentuk koloni berwarna kuning yang agak besar pada media yang

diperkaya dan bersifat hemolitik pada agar darah. S. aureus dapat tumbuh pada

temperatur antara 150–450C dan pada NaCl 15%, mampu memfermentasi

mannitol serta mampu memfermentasi glukosa menghasilkan asam laktat (Todar,

2005). Staphylococcus merupakan bakteri non motil, tidak membentuk spora,

serta menunjukkan hasil positif pada uji katalase dan oksidase negatif (Quinn dkk,

2002; Todar, 2005).

Uji katalase penting untuk membedakan Streptococcus (katalase negatif)

dengan Staphylococcus yang menghasilkan enzim katalase (katalase positif)

(Foster, 2004; Todar, 2005). Uji katalase dilakukan dengan menambahkan H2O2

3% ke dalam koloni pada plat agar atau agar miring. Pada kultur yang

menunjukkan katalase positif akan terbentuk O2 dan gelembung udara (Todar,

2005).

Staphylococcus aureus dan S. intermedius adalah koagulase positif,

sedangkan Staphylococcus yang lain merupakan koagulase negatif (Foster, 2004).

Dalam uji koagulase, suspensi Staphylococcus dicampur dengan plasma kelinci

4

Page 5: MakaLah KODIL nanik

baik pada slide maupun di dalam tabung. Fibrinogen pada plasma kelinci diubah

menjadi fibrin oleh koagulase. Uji slide mendeteksi adanya bound coagulase atau

clumping factor pada permukaan bakteri, reaksi positif ditandai dengan

penggumpalan oleh bakteri dalam 1 sampai 2 menit. Uji tabung untuk mendeteksi

adanya free coagulase atau staphylocoagulase yang disekresikan oleh bakteri ke

dalam plasma. Uji ini merupakan uji definitif terhadap produksi koagulase dan

reaksi positif ditandai dengan terbentuknya gumpalan di dalam tabung setelah

diinkubasi dalam suhu 370C selama 24 jam (Quinn dkk, 2002). Koagulase

merupakan protein ekstraseluler yang mengikat prothrombin hospes dan

membentuk komplek yang disebut staphylothrombin. Karakteristik aktifitas

protease pada thrombin diaktifasi dalam komplek tersebut, menghasilkan konversi

fibrinogen menjadi fibrin. Koagulase merupakan cara sederhana untuk

mengidentifikasi S. aureus di laboratorium klinis mikrobiologi (Todar, 2005).

Mannitol Salt Agar atau MSA umum digunakan sebagai media

pertumbuhan dalam mikrobiologi. MSA mengandung konsentrasi garam NaCl

yang tinggi (7,5%–10%), sehingga membuat MSA menjadi media selektif untuk

Micrococcaceae dan Staphylococcus karena tingkat NaCl yang tinggi

menghambat bakteri yang lain. MSA juga merupakan media differensial yang

mengandung mannitol dan indikator phenol red. Produksi asam sebagai hasil dari

fermentasi mannitol, yang merupakan ciri-ciri beberapa spesies seperti

Staphylococcus aureus, akan mengubah warna agar yang semula berwarna merah

menjadi kuning. Bakteri yang memfermentasi mannitol menghasilkan koloni

berwarna kuning sedangkan non fermentasi mannitol akan menghasilkan koloni

kemerahan atau ungu (Anonim, 2007).

S. aureus memiliki beberapa potensi faktor virulensi: protein permukaan

yang menyebabkan kolonisasi pada jaringan hospes; invasin yang mengakibatkan

bakteri menyebar dalam jaringan (leukocidin, kinase, hyaluronidase); faktor

permukaan yang menghambat proses fagositosis (kapsula, Protein A); materi

biokemis yang meningkatkan ketahanan bakteri terhadap fagositosis (karotenoid,

produksi katalase); penyamaran imunologi (Protein A, koagulase, clotting factor);

5

Page 6: MakaLah KODIL nanik

toksin perusak membran yang melisiskan membran sel eukariotik (hemolisin,

leukotoksin, leukocidin); eksotoksin yang merusak jaringan hospes atau

menimbulkan gejala penyakit (Superantigen Enterotoksin A-G, Toxic Shock

Syndrome Toxin, Exfoliatin Toxin); serta sifat ketahanan bawaan maupun

perolehan terhadap agen antimikrobial (Todar, 2005).

Staphylococcus aureus menyebabkan radang suppuratif pada kelinci

(Harcourt-Brown, 2002). Abdel-Gwad dkk (2004) menambahkan bentuk

septikemia akut sering terjadi pada anak kelinci yang baru lahir dan dapat

menimbulkan lesi yang beragam dari sedikit dan nonspesifik hingga suppuratif

dan multifokal pada berbagai organ, termasuk pulmo, ren, lien, cor dan hepar.

Organisme diisolasi dari bagian yang terinfeksi. Organisme ini juga dapat

menyebabkan septikemia fatal. Seperti P. multocida, kelinci sehat dapat

membawa S. aureus dalam cavum nasal, serta dapat diisolasi dari konjungtiva dan

kulit kelinci sehat. S. aureus dapat diisolasi dari kasus mastitis, ulserasi

pododermatitis, rhinitis, konjungtivitis, dacryocystitis, abses dan infeksi kulit.

Sering menjadi infeksi sekunder dalam kerusakan jaringan akibat trauma atau

faktor predisposisi lainnya. Tingkat keparahan penyakit tergantung pada

ketahanan tubuh hospes dan faktor virulensi bakteri (Delong dan Manning dalam

Harcourt-Brown, 2002).

Patogenesis Staphylococcosis pada kelinci telah digambarkan oleh

Richard dalam Abdel-Gwad (2004) yaitu Staphylococcus aureus mungkin tinggal

dalam sinus nasal atau pulmo dan dapat menyebar melalui kontak langsung atau

aerosol. Infeksi melalui luka pada kulit merupakan rute infeksi yang umum dan

menimbulkan radang suppuratif pada kulit dan subkutan. Septikemia juga dapat

ditimbulkan dari infeksi kulit, dan pada kasus septikemia akut mungkin akan

terjadi demam, anoreksia, depresi dan kematian. Septikemia dapat mengakibatkan

kematian perakut dengan lesi yang sedikit dan tidak spesifik, akan tetapi apabila

kelinci bertahan pada fase ini akan terbentuk abses di beberapa organ dalam

seperti cor, ginjal, pulmo, hepar, lien, testes dan persendian mengakibatkan

6

Page 7: MakaLah KODIL nanik

osteomylitis. Umumnya, infeksi bakteri Staphylococcus terjadi pada saat hewan

tersebut daya tahannya menurun (Carter and Wise, 2004).

Isolasi dan Identifikasi

Pada kondisi suppuratif yang kemungkinan karena infeksi staphylococccus

harus diperhatikan dan dikoleksi spesimen yang tepat berupa eksudat untuk

prosedur pemeriksaan laboratorik. Pengecatan Gram apus nanah atau spesimen

lain yang memungkinkan dapat mengungkap jenis kelompok staphylococcus.

Spesimen dikultur pada media agar darah kemudian diinkubasi secara aerobik

pada suhu 370C selama 24 sampai 48 jam. Kriteria untuk mengidentifikasi isolat

antara lain; karakteristik koloni, ada atau tidaknya kemampuan hemolisa, tidak

tumbuh pada agar MacConkey, memproduksi katalase dan koagulase serta profil

biokemisnya (Quinn dkk, 2002). Menurut Ajuwape dan Aregbesola (2001), isolat

dapat diuji biokemis sesuai metode standar dengan uji gula-gula seperti; glukosa,

mannitol, maltosa, laktosa, sukrosa, dulcitol, sorbitol, xylose dan trehalose.

Koksidiosis pada Kelinci

Koksidia pada kelinci terdapat tiga spesies yang bersifat patogenik

diantaranya E. Stiedae, E. Flafescens dan E. Intestinalis. Periode prepaten pada E.

Stiedae adalah 18 hari dan Eimeria lainnya sekitar 5-7 hari (Urquhart, 1987).

Parasit ini digolongkan dalam Filum Apicomplexa, Kelas Sporozoa, Subkelas

Coccidia, Ordo Eucoocidia, Subordo Eimerina, Genus Eimeria (Soulsby, 1982).

Hewan yang sudah sembuh dari penyakit ini sering menjadi karier. Kelinci muda

lebih sering terkena oleh koksidiosis dalam bentuk hati (Mangkoewidjojo dan

Smith, 1988).

Menurut Susetya dan Schiere (1982) pada kelinci terdapat dua bentuk

koksidiosis yaitu bentuk hati yang disebabkan oleh Eimeria stiedae dan bentuk

usus yang disebabkan oleh Eimeria magna, Eimeria media, Eimeria irresidua

atau Eimeria perforans. Eimeria mempunyai 2 fase perkembangan yaitu fase

7

Page 8: MakaLah KODIL nanik

internal (schizogoni dan gamogoni), dimana parasit bermultiplikasi dan

berkembang sampai oosista dieliminasi lewat feses dan fase eksternal

(sporogoterdapta pani) dimana oosista berada di luar tubuh dan akan berkembang

pada situasi yang mendukung seperti kelembaban dan oksigenasi yang cukup

(Jenkins, 2005). Eimeria ditandai dengan adanya 4 sporosista di dalam tiap-tiap

oosista dan 2 sporozoit di dalam tiap-tiap sporosista. Kebanyakan spesies dari

genus ini terutama berada didalam sel-sel intestinum vertebrata, tetapi juga

ditemukan didalam sel-sel epitel hati, saluran empedu dan organ lain (Noble dan

Noble, 1989).

Kelinci dapat terinfeksi karena menelan oosista bersporulasi, sporozoit

keluar dari oosista menembus mukosa usus, melalui limfonodus mesenterica dan

sistim porta hepatika sporozoit menuju ke hepar. Di hepar sporozoit masuk ke

epitel duktus biliverus dan sel parenkim hepar, berkembang menjadi schizont dan

menghasilkan merozoit (stadium aseksual). Merozoit sebagian ada yang menjadi

makrogamet dan yang lain menjadi mikrogamon yang menghasilkan mikrogamet.

Mikrogamet membuahi makrogamet lalu membentuk dinding oosista dan keluar

dari sel epitel masuk ke usus bersama-sama dengan empedu. Selanjutnya keluar

bersama feses 18 hari setelah infeksi (Flynn, 1973).

Gejala klinis yang ditimbulkan oleh koksidiosis intestinal bervariasi

tergantung umur kelinci, jenis Eimeria yang menyerang, tingkat infeksi dan

ketahanan kelinci (yang dipengaruhi oleh umur, stress, pola makan, dll). Gejala

klinis lebih banyak terlihat pada kelinci muda dengan sistem imun yang kurang.

Penurunan berat badan, diare ringan hingga berat dan dapat mengandung mukus

atau darah, serta diare merupakan tanda-tanda yang bisa terlihat. Koksidia bentuk

hepar akan menunjukkan gejala klinis diare, kondisi rambut dan otot menurun

serta ketahanan yang menurun terhadap penyakit lain. Pada waktu nekropsi dapat

dilihat nodul pada hepar (Jenkins, 2005).

Koksidiosis dapat dicegah dengan manajemen yang layak. Tempat-tempat

pakan dan air harus dirancang begitu rupa sehingga mereka tidak dapat

8

Page 9: MakaLah KODIL nanik

dikontaminasi dengan tinja dan harus dijaga agar bersih. Lantai-lantai kandang

kelinci sebaiknya dapat bersih dengan sendirinya atau sebaiknya sering

dibersihkan dan dijaga agar kering. Kotoran kandang sebaiknya sering dibuang.

Hewan-hewan sebaiknya ditangani sesedikit mungkin dan dijaga agar mereka

tidak mencemari dirinya sendiri atau pakan mereka, alat-alat atau

perlengkapannya. Tempat pemeliharaan kelinci sebaiknya dijaga agar sebebas

mungkin dari serangga, rodentia dan hama-hama lainnya (Levine, 1994).

Saat ini dikenal 26 spesies koksidia pada kelinci yaitu 1 spesies terdapat di

hepar (Eimeria stiedae) dan 25 lainnya di saluran gastrointestinal antara lain

Eimeria perforans, Eimeria coecicola, Eimeria exigua, Eimeria intestinalis,

Eimeria irresidua, Eimeria magna, Eimeria media, Eimeria piriformis, Eimeria

flavescens, Eimeria vejdovskyi (Soulsby, 1982). E. Piriformis biasanya

berpredileksi di usus besar termasuk kolon dan sekum. E. magna dan E. media

menginfeksi yeyenum dan ileum (Yakchali, 2007).

Diagnosa koksidiosis dilakukan dengan identifikasi oosista pada

pemeriksaan tinja atau dengan pemeriksaan histopatologi usus dan saluran

empedu. Pada Eimeria media kadang menyebabkan edema dan titik kelabu pada

intestinum. Lesi pada bentuk usus bervariasi, kasus baru jarang memperlihatkan

lesi, sedang kasus lama tampak usus menebal dan pucat (Mangkoewidjojo dan

Smith, 1988).

Eimeria perforans

Merupakan koksidia usus yang paling umum pada kelinci peliharaan. Ia

terdapat di seluruh usus halus dan juga pada sekum. Ookista berbentuk elips,

kadang-kadang berbentuk telur, halus, tanpa mikropil dan 24-30x14-20 mikron.

Di sini terdapatdua generasi aseksual. Meron dari kedua generasi tersebut terdapat

pada epitel sel-sel vili, seperti juga gamonnya. Periode prepaten 5-6 hari.

Patogenitas Eimeria perforans ringan hingga sedang (Levinne, 1978).

.

9

Page 10: MakaLah KODIL nanik

Sarcoptes scabiei

Sarcoptes scabiei merupakan tungau yang bersifat mikroskopik dan salah

satu penyebab penyakit skabies yang bersifat zoonosis (Hendrix, 1990). Sarcoptes

scabiei termasuk dalam subordo Sarcoptina dan genus Sarcoptes. Anggota

subordo Sarcoptina biasanya berkulit tipis, dengan trakea atau stigmata dan

mempunyai karunkula (alat penghisap) pada tarsusnya (Levine, 1994).

Tungau ini berkaki pendek, dimana kaki ketiga dan keempatnya tidak

keluar melewati pinggir badan. Karunkula Sarcoptes scabiei jantan terdapat pada

kaki ke 1, 2 dan 4, sedangkan untuk yang betina terdapat pada kaki ke 1 dan 2.

Sarcoptes scabiei betina berukuran 300-600 x 250-400 µm dan yang jantan 200-

240 x 150-200 µm (Levine, 1994). Anus terletak di bagian kaudal tubuh. Selain

itu Sarcoptes scabiei memiliki telur yang berbentuk oval (Hendrix, 1990).

Infeksi Sarcoptes scabiei pada hewan di mulai dari bagian tubuh yang

tidak memiliki atau sedikit memiliki rambut lalu menyebar keseluruh tubuh. Pada

umumnya siku dan bagian tepi dari telinga merupakan tempat infeksi awal dari

tungau ini. Lesi yang ditimbulkan oleh tungau ini dapat berupa papula folikuler,

daerah erythema, krusta yang berisi serum kering dan darah serta pruritis

(Bowman et all, 1999).

Sarcoptes scabiei betina bertelur 3-5 butir tiap hari, dan mampu

meletakkan telur dalam terowongan-terowongan kulit hingga 40-50 butir. Dalam

3-5 hari, telur tersebut akan menetas menjadi larva berkaki 6, yang beberapa akan

meninggalkan terowongan kemudian berlokasi di permukaan kulit, dan yang lain

tetap dalam terowongan atau kantung-kantung di sekitar terowongan. Selanjutnya

dalam kantung larva di stratum korneum atau dalam terowongan larva akan

menyilih menjadi nimfa stadium pertama yang berkaki 6 dan melanjut menjadi

nimfa stadium kedua yang berkaki 8. Nimfa tersebut kemudian akan menyilih

menjadi dewasa (Levine, 1994).

Sarcoptes scabiei membuat liang pada epidermis kulit dengan

melalui lapisan tanduk yang keras. Setelah mereka memakan jaringan, tungau ini

10

Page 11: MakaLah KODIL nanik

menumpukan kotorannya di liang tersebut yang mungkin dapat mengakibatkan

vesikula dan prurits hebat pada kulit. Ini di perparah dengan adanya suhu badan

yang hangat dan keringat pada area tersebut, sehingga menimbulkan rasa gatal

yang hebat pada kulit. Tungau betina akan membuat liang yang lebih dalam lagi

sampai pada lapisan korneum dan lucidum untuk meletakkan telurnya. Hal ini

dapat mengakibatkan terjadinya pendarahan serta masuknya bakteri oportunis

yang bisa mengakibatkan terjadinya infeksi sekunder. Lesi yang terbentuk berupa

papula, vesikula dan pustula yang multiple, kemudian terbentuk kerak kudis yang

berwarna coklat keabuan yang berbau anyir ((Hendrix, 1990)).

11

Page 12: MakaLah KODIL nanik

MATERI DAN METODE

Materi

Peralatan yang digunakan meliputi alat euthanasia dan nekropsi hewan

serta pemeriksaan mikroskopis laboratorium yang terdiri atas; gunting, scalpel,

pinset, pisau, dan gunting tulang, container sample, deck glass, eppendorf, sarung

tangan, masker, cawan petri, obyek glass, double obyek glass, nampan plastik,

beker glass, spuit, tabung reaksi, sentrifus, magnet stirer, mikroskop, pipet

leukosit, pipet eritrosit, pipet Hb, kamar hitung Neurbauer, mikrohematokrit,

refraktometer, spektrofotometer, penangas air, usa, dan lampu spritus.

Hewan yang digunakan adalah kelinci betina umur 1 tahun dengan nomor

protokol E-137. Bahan yang digunakan berupa EDTA, methanol, Giemza,

formalin 10%, NaCl jenuh, NaCl fisiologis, gula jenuh, kalium bikromat 2%,

aquades, minyak emersi, reagen Turk, plat agar darah, Manitol Salt Agar, plasma

kelinci, kaldu BHI, hidrogen peroksida 3%, gentian violet, lugol, alkohol 95%, air

fuchsin.

Metode

Metode yang digunakan meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik,

pengambilan sampel darah, yang dilakukan sebelum kelinci dieuthanasi.

Pengambilan darah dilakukan secara intracardial memakai spuit 3 ml. Darah

dimasukkan ke dalam tabung eppendorf yang telah diberi EDTA dan tidak diberi

EDTA untuk pemeriksaan di laboratorium patologi klinik, yang meliputi

penghitungan eritrosit, leukosit, hemoglobin, PCV, TPP dan fibrinogen.

Kemudian dibuat juga preparat apus darah tanpa EDTA. Setelah kering, preparat

apus difiksasi dengan methanol, kemudian dilakukan pengecatan Giemza dengan

perbandingan 1 bagian Giemza : 9 bagian buffer fosfat selama 30-45 menit, lalu

dicuci dengan aquades. Preparat apus ini digunakan untuk pemeriksaan diferensial

leukosit, morfologi eritrosit dan parasit darah. Selain itu, feses juga dikoleksi

untuk pemeriksaan parasitologi.

12

Page 13: MakaLah KODIL nanik

Euthanasi dilakukan dengan cara emboli yaitu memasukkan udara

intrakardial dengan bantuan spuit. Setelah kelinci mati dilakukan nekropsi dengan

cara membuka bagian abdomen dari umbilikus dengan gunting kemudian

diteruskan ke arah depan dan belakang. Setelah kulit terbuka, dilanjutkan dengan

pembukaan peritoneum secara hati-hati untuk mengamati perubahan

makroskopik, selanjutnya pemotongan jika terdapat cairan diambil dan diukur

untuk identifikasi, kemudian dilanjutkan ke daerah thorak. Pemeriksaan

Makroskopik dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi dan incisi pada organ.

Organ-organ dikeluarkan dan dipreparir menurut bagian-bagiannya, kemudian

diamati perubahan warna, konsistensi, ukuran, lesi yang tampak, abnormalitas

pada lapisan serosa dan mukosa, maupun penggantung pada organ pencernaan.

Organ yang tampak mengalami perubahan dipotong dan dimasukkan ke dalam

kontainer yang berisi formalin 10% untuk dibuat preparat histopatologi. Bagian

yang mengalami perubahan sebagian diambil dan dimasukkan ke dalam kantong

plastik steril secara terpisah untuk pemeriksaan mikrobiologi.

Pemeriksaan parasitologi dilakukan terhadap sampel feses, kerokan usus,

gerusan organ dan kerokan kulit. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi;

pemeriksaan feses secara natif dan sentrifus, penghitungan jumlah oosista dengan

metode Mc Master, pemeriksaan sporulasi oosista, pemeriksaan gerusan organ,

pemeriksaan saluran pencernaan dan kerokan kulit.

Pemeriksaan mikrobiologi menggunakan sampel lesi pada telinga. Lesi di

sterilkan dengan pisau spatel yang telah dipanaskan. Selanjutnya usa yang telah

disterilkan disentuhkan pada lesi tersebut dan selanjutnya di goreskan pada Plat

Agar Darah (PAD) dan diinkubasi 370C. Koloni yang tumbuh diamati bentuk,

warna, tepi dan ukuran koloni. Koloni yang terpilih dilakukan pengecatan gram

dan selanjutnya dimurnikan pada media PAD. Koloni yang telah murni

dilanjutkan uji katalase, BHI, koagulase, media gula-gula (glukosa, laktosa,

sukrosa dan maltosa), Manitol Salt Agar, air susu litmus dan media gelatin. Hasil

uji dibandingkan dengan referensi.

13

Page 14: MakaLah KODIL nanik

HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIK

A. Pemeriksaan Laboratorium Patologi

Berdasarkan pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik kelinci

dengan nomor protokol E-137mengalami dermatitis, atelektasis, emphysema,

pneumonia interstitial, hepatitis dan enteritis.

B. Pemeriksaan Laboratorium Parasitologi

Berdasarkan pemeriksaan di laboratorium parasitologi, kelinci dengan

nomor protokol E-137 menderita koksidiosis oleh Eimeria perforans dan

scabies oleh Sarcoptes scabiei.

C. Pemeriksaan laboratorium mikrobiologi

Berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi, dari lesi di telinga kelinci

dengan nomor protokol E-137 tidak teridentifikasi bakteri Staphylococcus sp.

D. Pemeriksaan laboratorium patologi klinik

Berdasarkan hasil pemeriksaan patologi klinik, kelinci dengan nomor

protokol E-137 mengalami anemia mikrositik normokromik, anemia

regenerative dengan anisositosis, anulocyte, neutofilia dan eosinofilia.

14

Page 15: MakaLah KODIL nanik

DISKUSI

Pada tanggal 30 November 2010 telah dilakukan euthanasi dan nekropsi

terhadap kelinci (Oryctolagus cuniculus) dengan nomor protokol E-137 kemudian

dilanjutkan dengan pemeriksaan di laboratorium patologi, parasitologi, patologi

klinik dan mikrobiologi. Pemeriksaan patologi dilakukan dengan mengamati

adanya perubahan pada organ baik secara makroskopik maupun mikroskopik

dengan mengamati preparat histopatologi organ. Pada pemeriksaan makroskopik

kulit terlihat adanya nodul dengan diameter ± 1 cm yang berisi massa mengkeju.

Pemeriksaan mikroskopik kulit menunjukkan adanya kerusakan jaringan ikat

longgar yang dikelilingi oleh infiltrasi sel rangang infiltrasi eosinofil dan limfosit

di lapisan hipodermis. Pemeriksaan makroskopik hepar terdapat noduli putih

dengan diameter 0,5 mm di terpi lobus sinister dengan konsistensi kenyal dan

bidang sayatan kering. Pada pemeriksaan mikroskopik hepar menunjukan adanya

eritrosit di luar pembuluh darah vena cana cabang vena porta dan infiltrasi

limposit di interlobularis hepar. Pemeriksaan makroskopik pulmo menunjukkan

pulmo terlihat putih pucat diseluruh lobus, konsistensi kenyal, bidang sayatan

kering dan uji apung terapung. Berdasarkan pemeriksaan mikroskopik pulmo,

diketahui bahwa pulmo mengalami penyempitan alveoli, penebalan septa

interalveoli oleh infiltrasi limfosit dan pada bronchus terdapat infiltrasi neutrofil

dan limposit. Penyempitan alveoli kemungkinan terjadi karena faktor fisiologis

yaitu hewan mengalami hipoksia setelah dilakukan euthanasia dengan cara

emboli, sehingga terjadi penyempitan alveoli. Pemeriksaan makroskopik ileum

terlihat hiperemi. Hasil pemeriksaan histopatologi duodenum menunjukkan

adanya peningkatan jumlah eritrosit, erosi epitel, terlihat stadium eimeria stadium

makrogamet di lamina propia. Pada jejenum terlihat adanya erosi epitel dan

infiltrasi eosinofil da lamina propia. Berdasarkan pemeriksaan patologi, kelinci

dengan nomor protokol E-137 mengalami mengalami dermatitis, atelektasis,

emphysema, pneumonia interstitial, hepatitis dan enteritis.

15

Page 16: MakaLah KODIL nanik

Pada pemeriksaan parasitologi dilakukan pemeriksaan terhadap feses,

gerusan hepar, kerokan usus dan kerokan kulit untuk ektoparasit. Pemeriksaan

feses dengan metode natif tidak ditemukan adanya parasit pada feses. Berdasarkan

pemeriksaan dengan metode sentrifuse ditemukan adanya oosista dan telur

tungau. Kemudian dilakukan penghitungan jumlah oosista per gram feses dengan

metode Mc Master dan didapatkan hasil 50 oosista per gram feses dan 150 telur

per gram feses. Pada pemeriksaan gerusan hepar dan kerokan usus tidak

ditemukan adanya oosista. Kemudian feses yang positif ditemukan oosista

tersebut dilakukan uji sporulasi dengan cara 1 gram feses ditambah dengan kalium

bikromat 2,5% sebanyak 20 ml dan diamati setiap hari. Namun pada uji sporulasi

tidak ditemukan adanya sporulasi oosista dan pada pemeriksaan kerokan kulit

ditemukan adanya Sarcoptes scabei.

Berdasarkan hasil pengamatan sporulasi oosista dalam feses, tidak

ditemukan adanya oosista yang telah bersporulasi. Hal ini disebabkan feses telah

mengalami pendinginan selama beberapa jam dengan disimpan di dalam kulkas

terlebih dahulu. Berdasarkan Levine (1995) untuk mensporulasikan ookista-

ookista koksidia adalah paling baik sebelum feses tersebut mengalami

pendinginan, hal tersebut dikarenakan pada beberapa spesies, pendinginan

ookista-ookista yang tidak bersporulasi mencegah sporulasi berikutnya walaupun

pendinginan seperti itu tidak merusak ookista-ookista yang telah bersporulasi.

Gambar 1. Eimeria sp. sebelum sporulasi

16

Page 17: MakaLah KODIL nanik

Berdasarkan hasil pengamatan morfologi oosista dimana oosista berbentuk

elips, ukuran 14,39x20,1, tidak berwarna, mikrophil tidak jelas maka kelinci E-

137 terinfestasi koksidia intestinal yang kemungkinan adalah Eimeria perforans.

Menurut Levine (1995), Eimeria perforans biasa ditemukan terutama dalam usus

halus. Oosista elipsoid. Ukuran 15-30 x 11-20 µm, mempunyai dinding licin,

tidak berwarna sampai kemerah-merahan, dinding berlapis dua, mikrophil kurang

jelas dan waktu sporulasi 1-2 hari. nanikSiklus hidup Eimeria media dimulai dari

perkembangan awalnya di sel epitel vili tetapi kemudian ditemukan di subepitel.

Generasi pertama schizont dewasa setelah 4 hari. Ada 2 bentuk schizon yaitu tipe

schizon A yang menghasilkan 2-10 merozoit dan tipe B yang lebih kecil daripada

yang pertama, menghasilkan 12-36 merozoit. Generasi kedua schizon muncul

setelah 6 hari infeksi dan kedua tipe schizon muncul lagi. Stadium gametosit

terjadi pada hari 5-6 setelah infeksi dan periode prepatennya 6-7 hari. Patogenesis

dari Eimeria media ini jika ada 50.000 oosista bisa menyebabkan sesuatu yang

fatal pada kelinci muda seperti enteritis ditandai adanya destruksi epitel usus

(Soulsby, 1982). Eimeria media merupakan koksidia yang bersifat patogenik

sedang, pada umumnya menyerang usus kecil. Eimeria media kadang-kadang

menyebabkan enteritis sedang dan diare (Flynn, 1973).

Pada pemeriksaan ektoparasit didapat infestasi Ctenocephalides felis.

Identifikasi ini berdasarkan morfologi dari pinjal Ctenocephalides felis yang

memiliki kening rendah, tidak memiliki sayap, memiliki ktenida, gena tidak rata

dari depan ke belakang, pada tergum segmen ke sembilan terdapat sinsilium yang

dilengkapi oleh rambut-rambut sensoris sehingga dapat diketahui bahwa parasit

tersebut merupakan Ctenocephalides felis (Levine, 1994).

17

Page 18: MakaLah KODIL nanik

Gambar 2. Ctenocephalides felis

Pinjal dewasa hidup beberapa minggu dan beberapa bulan. Yang dewasa

sering sekali menghisap darah. Mereka menghisap darah paling tidak sekali

sehari, tetapi karena mereka biasanya terganggu ketika menghisap, maka biasanya

menghisap beberapa kali. Mereka tetap menghisap darah walaupun kenyang dan

mengeluarkan darah yang tidak berubah dari anusnya. Mereka membutuhkan

darah untuk menghasilkan telur. Yang betina bertelur pada tubuh dan telur

tersebut kemudian jatuh ke sarang atau tanah, atau yang betina berkeliaran

meninggalkan tubuh untuk bertelur, tergantung dari individu atau jenisnya

(Levine, 1994).

Pada kasus ini, infestasi Ctenocephalides felis pada kelinci disebabkan

karena sanitasi kandang yang buruk, banyak kucing liar di daerah sekitar dan

manajemen pemeliharaan yang kurang baik. Pinjal secara normal tidak berinduk

semang spesifik, kebanyakan dari mereka dapat meloncat keluar dari induk

semangnya ke induk semang lain, baik induk semang yang jenisnya sama maupun

berbeda. Larva hidup di berbagai tempat sesuai dengan tempat induk semangnya

di sarang, celah-celah dan tempat persembunyian di lantai, pada debu dan

reruntuhan di gudang.

Pada pemeriksaan patologi klinik didapatkan hasil anemia pada kasus

koksidiosis ini terjadi akibat adanya perdarahan usus (enteritis) dan infestasi

parasit, defisiensi nutrisi (Fe dan vitamin B6), dan adanya kerusakan pada struktur

hepar yang salah satu fungsinya adalah sebagai tempat penimbunan faktor

pembentuk darah (Fe), akibatnya terjadi kekurangan elemen pembentukan atau

sintesis Hb, sehingga terjadi peningkatan jumah sel dengan diameter kecil dan

penurunan konsentrasi Hb. Menurut Coles (1986) anemia adalah penurunan

jumlah eritrosit, Hb atau kedua-duanya dalam sirkulasi darah, sedangkan menurut

Jain et al. (1975), anemia merupakan suatu gejala awal dari suatu penyakit yang

secara umum merupakan reflek sekunder dan menunjukkan derajat dari suatu

penyakit. Anemia mikrositik hipokromik merupakan salah satu dari

pengklasifikasian anemia berdasarkan morfologik dan etiologik. Anemia

18

Page 19: MakaLah KODIL nanik

mikrositik hipokromik dapat disebabkan defisiensi zat besi (Fe) akibat pendarahan

kronis atau diet, defek-defek dalam kebutuhan dan penyimpanan Fe dan defisiensi

vitamin B6.

Kondisi hiperproteinemia menunjukkan adanya keradangan pada kelinci.

Plasma protein merupakan kelompok senyawa kimia yang heterogen, yang

menduduki posisi utama dan dominan dalam metabolisme protein karena erat

kaitannya dengan proses metabolisme dalam organ hati dan interaksinya dengan

jaringan di seluruh tubuh. Protein plasma terdiri dari albumin, globulin, serta

fibrinogen. Adanya infeksi Staphylococcus aureus, infestasi Eimeria sp dan

infestasi Ctenocephalides felis pada kelinci dapat menyebabkan keradangan pada

organ tersebut, sehingga terjadi hiperproteinemia. Karena kasus ini menyebabkan

infeksi, maka jumlah leukosit dalam perifer meningkat, sebagai respon immune

dari tubuh yang mengalami infeksi. Meningkatnya netrofil menunjukkan adanya

keradangan pada organ atau jaringan.

Pada penghitungan jumlah leukosit meningkat (leukositosis), terjadi

peningkatan jumlah sel neutrofil (neutrofilia) dan peningkatan eosinofil

(eosinofilia). Leukositosis pada kasus ini berhubungan dengan adanya

keradangan. Keradangan kronis dalam waktu hari-minggu dapat menyebabkan

perubahan karakteristik sumsum tulang, termasuk perluasan dari proliferation

pool dan maturation and storage pool of neutrophyl untuk memenuhi kebutuhan

jaringan, yang memiliki karakteristik leukogram leukositosis dengan neutrofilia,

left shift tidak ditemukan pada kasus ini (Feldman et al., 2000). Leukositosis

merupakan peningkatan jumlah leukosit dari nilai normal per mikroliter.

Leukositosis dapat disebabkan oleh infeksi umum, infeksi lokal, trauma,

neoplasma, intoksikasi hasil metabolisme, bahan kimiawi, obat-obatan (Coles,

1986). Derajat koksidiosis bervariasi tergantung pada penyebab, resistensi dari

hewan, macam infeksi dan lokasi keradangan (Benjamin, 1978).

Neutrofilia dapat disebabkan peningkatan kebutuhan jaringan untuk fungsi

fagositik pada kasus radang yang disebabkan terutama oleh bakteri, dapat juga

karena virus, parasit, fungsi karena neutrofil merupakan jajaran pertama untuk

19

Page 20: MakaLah KODIL nanik

sistem pertahanan tubuh. Neutrofilia juga dapat disebabkan oleh stress yang

akhirnya memicu pembebasan kortikosteroid (Feldman et al., 2000). Derajat

neutrofilia karena radang dapat diketahui karena imbangan antara pelepasan sel

oleh sumsum tulang dengan emigrasi sel ke jaringan. Jika kecepatan pelepasan sel

oleh sumsum tulang lebih besar dari kecepatan emigrasi sel, maka terjadi

neutrofilia (Benjamin, 1978).

Eosinofilia adalah peningkatan jumlah eosinofil dalam darah dapat

disebabkan oleh interaksi antara antigen-antibodi dalam jaringan yang banyak

mengandung mast sel (kulit, pulmo, saluran gastrointestinal, saluran reproduksi

betina) dan infestasi parasit, dimana terjadi reaksi sensitisasi akibat kontak antara

jaringan hospes dan parasit dalam waktu yang lama. Menurut Coles (1974),

kondisi eosinofilia dapat terjadi sebagai proses respon hipersensitifitas karena

adanya infestasi parasit dan merupakan reaksi alergi, reaksi anaphilaktik yang

juga merupakan reaksi hipersensitifitas, terjadi insufisiensi adrenokortikal

walaupun terkadang tidak diikuti eosinofilia, tahap penyembuhan dari beberapa

infeksi akut, neoplasma ovarium.

Peningkatan eosinofil dapat disebabkan karena infestasi ektoparasit dan

koksidia yang terjadi pada kelinci ini. Eosinofil mempunyai parasiticidal

properties yaitu antibody dan mempunyai kemampuan fagositik dan bakterisidal

menyerupai neutrofil. Eosinofil akan memproduksi antihistamin untuk melawan

agen penyakit sehingga timbul adanya kegatalan. Eosinofil berperan dalam

membantu meningkatkan aktivitas motilitas usus untuk membantu mengeluarkan

parasit dari usus. Selain itu eosinofil berperan dalam menghasilkan mediator

kimia yang penting untuk meningkatkan aktivitas fagositosis. Selain itu kejadian

eosinofilia juga dapat ditemukan pada infeksi bakterial, yang menunjukkan reaksi

hipersensitivitas pada agen infeksius, misalnya Staphylococcus (Jain, 1975).

Pada pemeriksaan mikrobiologi dilakukan dengan mengisolasi bakteri dari

sampel berupa lesi pada kulit dan pulmo. Media primer yang digunakan berupa

Plat Agar darah (PAD). Dari beberapa macam koloni yang tumbuh dari pulmo,

dipilih koloni yang mengarah pada Staphylococcus aureus. Menurut Carter and

20

Page 21: MakaLah KODIL nanik

Wise (2004), Staphylococcus aureus memiliki koloni berbentuk bulat, licin,

berkilau dengan diameter mencapai 4 mm, berwarna putih hingga kekuningan

atau oranye (keemasan). Koloni dimurnikan lagi hingga diperoleh satu macam

koloni yang terpisah. Kemudian dilakukan pengecatan Gram dan didapatkan hasil

bakteri berbentuk coccus, tercat ungu dan bergerombol menyerupai anggur.

Sehingga diketahui bakteri tersebut merupakan bakteri coccus dan termasuk Gram

positif. Secara uji labolatorik uji ini dilakukan untuk membedakan Staphylococcus

dengan Streptococcus. Setelah itu dilakukan uji katalase dengan cara mencampur

biakan dengan tetesan hidrogen peroksida 3%. Staphylococcus menghasilkan

enzim katalase (katalase positif) (Foster, 2004; Todar, 2005). Pada kultur yang

menunjukkan katalase positif akan terbentuk O2 dan gelembung udara (Todar,

2005). Dari hasil uji katalase didapatkan hasil positif dengan terbentuknya

gelembung-gelembung, hal ini menandakan bahwa bakteri mampu menghasilkan

enzim katalase. Selanjutnya dilakukan uji koagulase untuk mengetahui produksi

dua macam enzim koagulase yaitu free coagulase dengan uji tabung dan bound

coagulase (clumping factor) dengan uji slide. Pada uji ini diperlukan plasma darah

kelinci sebagai bahannya. Plasma dibuat dengan mencampur darah kelinci sehat

dengan sitrat sebagai antikoagulan dengan perbandingan 1:5, kemudian

disentrifus selama 15 menit sehingga didapatkan cairan bening di bagian atas

sebagai plasma darah. Pada uji bound coagulase, didapatkan hasil positif yaitu

terlihat dari adanya presipitat granuler setelah dilakukan pencampuran biak cair

Staphylococcus aureus dengan plasma kelinci pada kaca benda. Clumping factor

yang terdeteksi pada uji ini terletak pada dinding sel bakteri. Sedangkan untuk uji

free coagulase dilakukan dengan menggunakan uji tabung. Hasil positif didapat

dari uji ini, yaitu dengan terbentuknya clot/gel di dasar tabung. Clot-clot plasma

dari kedua enzim ini mempengaruhi proses konversi prothrombin menjadi

thrombin, yakni dengan mengubah fibrinogen menjadi fibrin (ditandai dengan

adanya clot). Enzim ini berguna pada bakteri saat ia menginfeksi hospes yaitu

untuk menyelimuti permukaan sel bakteri dengan fibrin untuk melindunginya dari

proses fagositosis. Carter et, al., (2004) menyebutkan beberapa strain

Staphylococcus, misalnya S. aureus, S. intermedius dan S. hyicus memberikan

21

Page 22: MakaLah KODIL nanik

hasil positif untuk uji tabung, namun hanya Staphylococcus aureus yang

memberikan hasil positif pada uji slide. Dari kedua uji tersebut didapatkan hasil

positif, hal ini menunjukan bahwa bakteri memiliki bound coagulase (clumping

factor) pada permukaan bakteri dan mampu menghasilkan staphylocoagulase

(Quinn dkk, 2002). Setelah itu dilakukan penanaman pada media Mannitol Salt

Agar (MSA) dan didapatkan hasil bakteri mampu tumbuh dan memfermentasi

mannitol yang ditandai dengan warna koloni dan media berwarna kuning. Hal ini

menunjukan bahwa bakteri mampu menggunakan mannitol sebagai sumber nutrisi

dan dihasilkan asam sebagai produk akhirnya. Adanya asam yang dihasilkan dari

fermentasi mannitol tersebut menyebabkan indikator phenol red berubah menjadi

kuning (Anonim2, 2008).

Pada uji susu lithmus media yang semula berwarna putih berubah warna

menjadi putih kebiruan hal ini menunjukan terjadi alkalinisasi atau konversi

casein dalam susu membentuk ammonia yang ditandai dengan adanya cincin ungu

pada permukaan. Pada uji gula-gula dengan media glukosa, sukrosa, laktosa dan

maltosa, didapatkan hasil media berubah menjadi kekuningan. Hal ini

menunjukkan bahwa bakteri mampu memfermentasi gula-gula. Ajuwape dan

Aregbesola (2001) melaporkan bahwa isolat Staphylococcus aureus dari 108 ekor

kelinci tercatat 100% positif memfermentasi glukosa, mannitol dan sukrosa;

98,1% memfermentasi maltosa serta 89,8% memfermentasi laktosa. Berdasarkan

pemeriksaan Gram positif, berbentuk coccus, koloni bergerombol menyerupai

anggur, katalase positif dan koagulase positif serta mampu memfermentasi

mannitol juga gula-gula (glukosa, sukrosa, laktosa dan maltosa), bakteri tersebut

memiliki sifat karakteristik Staphylococcus aureus (Ajuwape dan Aregbesola,

2001; Foster, 2004; Todar, 2005). Maka dapat disimpulkan bahwa bakteri yang

terisolasi dari pulmo kelinci E 68 adalah Staphylococcus aureus.

Pada kasus ini, keberadaan Staphylococcus aureus dalam pulmo

menunjukkan adanya bakterimia dengan saluran respirasi bagian atas sebagai

jalan masuknya. Abdel-Gwad (2004) menambahkan bahwa secara normal

Staphylococcus aureus dapat diisolasi dari saluran respiratori bagian atas pada

22

Page 23: MakaLah KODIL nanik

kelinci sehat. Sanitasi kandang dan manajemen pemeliharaan yang kurang baik

menjadi faktor predisposisi terjadinya infeksi Staphylococcus aureus.

Penularannya melalui kontak langsung atau benda yang terkontaminasi bakteri.

Selain dapat menyebabkan intoksikasi, Staphylococcus aureus juga dapat

menyebabkan bermacam–macam infeksi seperti meningitis, osteomielitis,

pneumonia dan mastitis pada manusia dan hewan (Todar, 2005). Transmisi

Staphylococcus aureus dapat terjadi melalui kontak langsung melalui aerosol,

pada hewan karier membawa organisme di dalam saluran respirasi bagian atas dan

adanya luka pada kulit (Wilber, 1999). Infeksi bakteri ini kebanyakan bersifat

opportunis dan mengikuti suatu trauma, immunosupresi, infestasi parasit, infeksi

jamur, alergi, atau gangguan endokrin dan metabolik. Staphylococcus aureus

merupakan bakteri pyogenik, sehingga dapat menyebabkan lesi suppuratif pada

tempat infeksi (Quinn dkk, 2002).

23

Page 24: MakaLah KODIL nanik

PATOGENESIS

Patologi

- Dermatitis

- Atelektasis

- Emphysema

- Pneumonia interstitial

- Hepatitis

- Enteritis

Parasitologi

Koksidia (Eimeria media)

Pinjal (Ctenocephalides felis)

Mikrobiologi

Staphylococcus aureus

Patologi klinik

- Anemia mikrositik hipokromik

- Leukositosis- Neutrofilia- Eosinofilia- Anulositosis - Anisositosis

24

Oosista

KELINCI

Hewan stress imunitas menurun

Faktor Prediposisi : sanitasi kandang yang kurang baik,

kelembapan tinggi

Manifestasi klinik : nafsu makan menurun, lemah

Kandang terkontaminasi

Staphylococcus aureus

Pemeriksaan Laboratorik

oosista Eimeria spp infektif termakan

Infeksi sekunder

Infestasi Ctenocephalides felis

Page 25: MakaLah KODIL nanik

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pemeriksaan patologi, parasitologi, patologi klinik dan

mikrobiologi, kelinci dengan nomor protokol E-137 terdiagnosa menderita infeksi

Staphylococcus aureus, koksidiosis dan infestasi Ctenocephalides felis.

Saran

Pengobatan untuk koksidia dilakukan dengan pemberian sulfadimidine

(100-233 mg/L dalam air minum), sulfamerazine (100 mg/kg per oral atau 0,05-

0,15% dalam air minum), sulfamethazine 0,77 g/L dalam air minum atau 0,5-

1,0% dalam pakan) atau sulfaquinoksaline (0,1-0,15% dalam air minum).

Sedangkan untuk pencegahan dapat diberikan sulfaquinosaline 0,02-0,05% dalam

air minum (Carpenter, 2005).

Pengobatan terhadap infestasi pinjal dilakukan dengan pemberian frontline

(fipronil 10%) dan ivermectin 1%. Obat-obatan dapat berupa serbuk atau cairan

untuk disemprotkan atau dimandikan. Kucing dan kelinci yang terdapat banyak

pinjal diobati setiap minggu. Kucing dan kelinci yang sudah bebas perlu diobati

tiap 3 minggu. Obat yang diberikan fenchlorphos 200 mg/kg diberikan peros tiap

3–4 hari sampai populasi pinjal terkendali. Selain itu tergantung pada tingkat

infestasi dan tebalnya rambut. Bila perlu dicukur terlebih dahulu sebelum

dilakukan pengobatan. Lingkungan tempat hewan dipelihara harus dijaga

kebersihannya dan hindari hewan dari pinjal dan tidak membiarkan hewan lewat

ditempat yang terdapat pinjal. Pengobatan dengan menggunakan insektisida

terhadap semua celah atau tempat yang mingkin untuk persembunyian pinjal.

Pengobatan terhadap infeksi bakteri harus mempertimbangkan kepekaan

dan toksisitas terhadap antibiotik tertentu. Antibiotik yang biasa dipakai untuk

25

Page 26: MakaLah KODIL nanik

hewan lain dapat menimbulkan gangguan pada kelinci, misalnya gangguan

jantung, ginjal dan diabetes. Selain itu, mikroflora normal dalam usus kelinci

sangat peka dan rentan terhadap beberapa antibiotik tertentu. Antibiotik yang

aman digunakan adalah tetracycline, trimethropin sulfa, metronidazole,

enrofloxacin dan chloramphenicol. Penggunaan enrofloxacin 5-10 mg/kg per oral

(Carpenter, 2005).

Perbaikan pada manajemen pemeliharaan dan kebersihan kandang serta

memisahkan kelinci yang sakit dengan yang sehat untuk mencegah terjadinya

penularan.

26

Page 27: MakaLah KODIL nanik

DAFTAR PUSTAKA

Abdel-Gwad, A.M., Abdel-Rahman dan Ali. 2004. Significance of Staphylococcus aureus in Rabbits in Assiut Governorate. Ass. Univ. Bull. Environ. Res. Vol. 7 No. 1.

Ajuwape, A.T.P. dan E.A. Aregbesola. 2001. Biochemical Characterization of Staphylococci Isolated from Rabbits. Israel Journal of Veterinary Medicine Vol. 56 (2).

Anonim. 2007. Mannitol Salt Agar. http://encyclopedia. thefreedictionary.com/Mannitol+Salt+Agar. 15 Juni 2010

Anonim1. 2008. Oryctolagus cuniculus. http://www.arkive.org/rabbit/oryctolagus-cuniculus/biology.html. 15 Juni 2010

Anonim2. 2008. Identification of Gram Positive Cocci Staphylococcus.

Benjamin, M.M. 1978. Outline of Veterinary Clinical Pathology. Iowa State University Press. Iowa.

Carpenter, James W. 2005. Exotic Animal Formulary 3th Edition. Elsevier Saunders Inc. Missouri.

Carter, G.R., and D.J. Wise. 2004. Essentials of Veterinary Bacteriology and Mycology, 6th ed. Iowa State Press. Michigan.

Coles, E.H. 1974. Veterinary Clinical Pathology. W. B. Saunders company, Philadelpia, London.

Coles, E.h. 1986. Veterinary Clinical Pathology. Ninth edition. W. B. Saunders company. Philadelphia.

Curnin, D.M., and Bassert, J.M., 2002, Clinical Textbook for Veterinary Technicians. Saunders, Philadelphia.

Feldman, B.F., J.G. Zinkl dan N.C. Jain. 2000. Schalm’s Veterinary Hematology. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia.

Flynn, R.J, 1973, Parasitology Of Laboratory Animals, The IOWA State University Press.

Foster, T. J. 2004. Staphylococcus. http://www.cehs.siu.edu /fix/medmicro/staph.htm.15 Juni 2010

Harcourt-Brown, Frances. 2002. Textbook of Rabbit Medicine. Butterworth Heinemann. London.

27

Page 28: MakaLah KODIL nanik

Jain, N.C., Schalm, O. W., and Carrol, E.J. 1975. Veterinary Hematology. Third edition. Lea and Febiger, Philadelpia.

Jenkins, J. R. 2005. Coccidia in the intestines, liver, http://www.rabbit.org/chapters/san-diego/health/vet-talk/coccidi.html. 15 Juni 2010

Levine, N.D. 1994. Parasitologi Veteriner. Terjemahan dari Veterinary Parasitology. Cetakan I. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Levine, N.D. 1995. Protozoologi Veteriner. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.

Mangkoewidjojo, S. dan J.B. Smith. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. UI-Press. Jakarta.

Noble E. R., Noble, G.A, 1989. Parasitologi : Biologi Parasit Hewan Terjemahan dari Parasitology : The Biology of Animal Parasites oleh Wardiarto. Edisi kelima. GMU Press. Yogyakarta.

Quinn, P.J., B.K. Markey, M.E. Carter, W.J.C. Donnelly dan F.C. Leonard. 2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Science.

Soulsby, E.J.L. 1982. Helminths, Arthopods and Protozoa of Domesticated Animals. The English Language Book Society and Bailliere Tindall. London.

Tislerics, Ati. 2008. Oryctolagus cuniculus European Rabbit. http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Oryctolagus_cuniculus.html. 15 Juni 2010

Todar, K. 2005. Staphylococcus. Todar’s Oneline Textbook of Bacteriology. University of Wisconsin-Madison Departement of Microbiology. http://textbookofbacteriology.net/staph.html. 15 Juni 2010

Urquhart, G.M; Armour,J.;Duncan, J.L; Dunn, A M;Jennings, F. W, 1987. Veterinary Parasitology. English Language Book Sosiety. British.

Wilber, Jo Lynne. 1999. Pathology of The Rabbit. Washington D.C. Departement of Veterinary Pathology Armed Force Institute of Pathology.

Yakhchali, Mohammad ; Tehrani,liasghar, 2007. Eimeriidosis and Pathological Findings in New Zealand White Rabbits, Departement of Pathobology, Pathology Division, Faculty of Veterinarry Medicine Urmia University, Urmia, Iran. J. Biol. Sci., 7(8): 1488-1492.

28