66
MAKALAH CASE 1 KESEHATAN MATRA LAUT TUTORIAL A2 Isabella Silaen 206.311.165

MAKALAH KASUS 1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

makalah kasus

Citation preview

Page 1: MAKALAH KASUS 1

MAKALAH CASE 1KESEHATAN MATRA LAUT

TUTORIAL A2

Isabella Silaen206.311.165

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

2010

Page 2: MAKALAH KASUS 1

Page 1

Anda adalah seorang dokter lulusan FK UPN Veteran Jakarta yang sedang

bertugas diruang Gadar RSUD Tanjung Pinang, kepulauan Riau. Pada hari itu datang

dengan tergopoh-gopoh dan panik masuk sejumlah orang dengan membawa 5 orang

korban kapal motor cepat ”Sally” (speed boat) yang terbalik akibat diterjang ombak besar

yang secara tiba-tiba. Anda segera mengadakan triage, ternyata 3 orang sudah dalam

keaadaan meninggal, satu orang dalam kondisi sadar tetapi masih dalam keadaan”

shock” dan satu pasien lagi dalam keadaan tidak sadar, lemas, kulit dingin, dan nadi

sangat lemah, dari TKP bernama Tn.Nizul Umur :42 th.

Page 2

Dalam pertolongan yang cepat dan tepat Tn. Nizul dapat sadar kembali.

Pemeriksaan fisik selanjutnya :

Keadaan umum masih lemas, pucat, tensi 90/60 mmHg.Nadi 70x/menit, RR 30x/menit.

Setelah kondisi stabil pasien dipindah keruang perawatan.

Pada hari kedua masa perawatan ternyata Tn.Nizul mengalami batuk, sesak napas

dan suhu badan panas.

Anamnesa : nafas terasa sesak, sakit kepala, sakit pada punggung, dada dan perut.

Pemeriksaan umum : KU masih lemah, batuk berdahak, kulit teraba panas. Suhu

badan : 40 C, nadi :102 /menit, tensi 110/70 mmHg.

Kepala, leher, dan THT, tak ada kelainan. Dada :jantung dalam batas normal, paru-paru

terdengar ronchi kresipitasi dibasis paru kanan kiri,

Pemeriksaan laboratorium : Hb, HCT,LED dan elektrolitdarah masih dalam batas normal.

Leucosit : 17.000/mm3, hitung jenis PMN meningkat dan bergeser kekiri.

Rontgent photo thoraks : jantung dalam batas normal dan vaskularmarking paru

meningkat.

Page 3: MAKALAH KASUS 1

Page 3

Epilog

Dengan diagnosa yang tepat dan penatalaksanaan yang legelartis maka pasien dapat

sembuh dan dapat melaksanakan Rawat Jalan setelah 1 minggu menjalani rawat inap.

Page 4: MAKALAH KASUS 1

FISIOLOGI

Bernafas diperlukan untuk mensuplai darah ke semua jaringan tubuh

dengan oksigen (O2) dan mengeluarkan karbondioksida (CO2) yang dihasilkan

oleh jaringan dari darah melalui paru-paru. Udara masuk ke paru-paru melalui

suatu pipa yang menyempit (bronchi dan bronchioles) yang bercabang di kedua

belah sisi paru. Waktu menarik nafas (inspirasi) dinding dada secara aktif tertarik

keluar oleh pengerutan otot-otot dinding dada, dan sekat rongga dada

(diagfragma) tertarik ke bawah. Berkurangnya tekanan di dalam menyebabkan

udara mengalir ke dalam paru-paru. Dengan upaya maksimal pengurangan

tekanan ini dapat mencapai 60-100 mmHg di bawah tekanan atmosfer.

Pada orang dewasa yang sehat ini harus melebihi 75% dari FVC tetapi

biasanya mengurang pada penyakit-penyakit seperti asthma, bronchitis,

emphysema, dll, dimana gerakan udara melalui saluran-saluran udara melemah

karena menyempitnya saluran udara atau kekenyalan dari paru-paru yang

mengurang disebabkan oleh goresan, pengerasan, dll. Ukuran penting ini diteliti

dengan cermat selama pemeriksaan penyelaman secara medis. Ini membantu

menemukan beberapa penyakit yang disebut di atas, dan membantu untuk

menghindari mereka akan penyakit Pulmonary Barotrauma (brust lung).

Parameter-parameter mekanis ini penting untuk memahami fisiologis pernafasan

karena secara relative akan dapat memungkinkan ramalan tentang :

1. Resiko barotraumas paru waktu naik.

2. Kecepatan dimana penyediaan udara tekan akan terpakai habis.

3. Kedalaman maksimal untuk penggunaan pipa udara (snorkel) yang sama.

4. Terjadinya kelelahan nafas dikarenakan alat-alat pernafasan dari peralatan

penyelaman yang kurang lengkap dan kurang berdaya guna.

5. Terjadinya kekurangan oksigen (hypoxia) dikarenakan ventilasi paru-paru

yang tak cukup dan banyak hal-hal lain.

Oleh karena tekanan partial dari oksigen yang relative rendah pada tekanan 1

ATA, hanya sekali oksigen yang terbawa di dalam darah yang terlarut secara

Page 5: MAKALAH KASUS 1

fisik. Hanya 0,3 ml oksigen terlarut di dalam 100 ml darah selama menghirup

udara pada 1 ATA (yaitu bila tekanan partial dari oksigen 0,2 ATA atau 152

mmHg).

Untuk mempertahankan kadar oksigen dan karbon dioksida, volume

pernafasan semenit (adanya ventilasi dari paru-paru) harus seimbang dengan

pemakaian oksigen dan kecepatannya menghasilkan karbondioksida.

Pernafasan diatur oleeh pusat pernafasan terutama dalam hal terjadinya

perubahan kadar CO2 darah, tetapi sedikit dipengaruhi oleh sensor didalam aorta

dan arteri karotis yang mengamati perubahan-perubahan kadar CO2 di dalam

darah. Hal ini menerangkan mengapa ketidaksasaran dapat terjadi ketika

melakukan hiperventilasi sebelum penyelaman tahan nafas.

Pusat pernafasan tidak dirangsang oleh kadar CO2 yang telah berkurang

oleh hiperventilasi dan gagal untuk bereaksi dengan baik terhadap bahaya

kekurangan kadar O2 selama penyelaman dan sewaktu naik ke permukaan. \

Selain sistem pernafasan dan peredaran darah, sinus dan telinga juga

merupakan organ tubuh yang mudah dipengaruhi oleh perubahan tekanan udara.

Semua sinus berhubungan dengan nasopharing melalui saluran udara yang

biasanya terbuka agar udara masuk dan keluar dan untuk mengeluarkan genangan

cairan yang mungkin terdapat. Apabila saluran normal ke dalam rongga sinus

tersumbat, maka udara pernafasan dari hidung dan tenggorokan tidak akan dapat

masuk ke dalam rongga ini untuk mengimbangi tekanan jaringan. Akan terjadi

pembengkakan dan pendarahan dari jaringan, sehingga menempati sebagian dari

rongga udara untuk menyamakan tekanan.

Telinga luar dan tengah terdiri dari rongga udara yang dibatasi oleh

jaringan dan dikelilingi oleh tulang-tulang yang dapat menahan tekanan udara.

Gendang telinga adalah selaput yang lentur dan peka yang memisahkan kedua

bagian ini. Perbedaan tekanan pada kedua ruang tersebut mengakibatkan tekanan

pada gendang telinga yang menimbulkan rasa nyeri.

Page 6: MAKALAH KASUS 1

TRIAGE

Triage berasal dari bahasa Prancis “trier” yang artinya memilah.

Tujuan dari Triase adalah:

1.      Identifikasi cepat korban yang memerlukan stabilisasi segera (perawatan di

lapangan)

2.      Identifikasi korban yang hanya dapat diselamatkan dengan pembedahan (life-

saving surgery)

Triase dilakukan berdasarkan observasi terhadap tiga hal, yaitu:

1.      Pernapasan (respiratory)

2.      Sirkulasi (perfusion); dan

3.      Status mental (mental state)

Triage didasarkan atas hal-hal sebagai berikut:

1. Keparahan luka

2. Jumlah yang terluka

3. Sumber daya yang tersedia

4. Kesempatan untuk menyelamatkan korban

Jenis-jenis triage ada 3, yaitu:

1. Triage Pasien Tunggal / Single Triage (SIT)

o Digunakan untuk kegawatdaruratan sehari-hari, ex: kecelakaan kendaraan

bermotor.

o Prinsip: merawat pasien-pasien yang mungkin meninggal jika tidak dirawat

langsung.

Page 7: MAKALAH KASUS 1

o Kategori dibagi menjadi:

a. Gawat (Emergent): mendapat prioritas pertama. Pasien harus diperiksa

dan mendapatkan penanganan yang tepat secara langsung. Pengobatan

harus dimulai pada saat pasien tersebut tiba di ruang bahkan sebelum tiba

di ruangan dalam setting pra rumah sakit. Ex: trauma mayor, myocard

infarct, obstruksi jalan napas, shock anafilaksis.

b. Penting (Urgent): terdiri dari pasien-pasien yang harus dirawat dalam

jangka waktu beberapa jam. Hal ini meliputi pasien-pasien yang secara

fisiologis stabil pada saat tiba tetapi berisiko mengalami penurunan jika

tidak dirawat dalam beberapa jam. Ex: spinal injury, stroke, trauma

cerebrovaskular, appendicitis akut, cholecyctisis.

c. Tidak penting (Non-Urgent): prioritas terakhir diberikan kepada pasien

dengan kondisi yang tidak begitu penting, pasien-pasien yang datang

dengan fungsi hemodinamik yang stabil tapi menderita luka yang jelas.

Ex: skin laceration, contusion, abrasion dan luka-luka lain, fraktur dan

dislokasi tertentu, demam, dll.

o Golden Hour: mengacu pada jumlah jam dari saat luka sampai perawatan

definitive yang disediakan untuk memaksimalkan keselamatan dari luka

traumatis. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa jika perawatan sudah

diberikan dalam jam-jam pertama luka, maka morbiditas dan mortalitas dapat

ditekan.

2. START membagi korban menjadi empat kelompok. Ada yang memulai membagi

dari korban yang memiliki cedera paling ringan, tapi ada juga yang membagi dari

korban yang telah meninggal. Sistem ini sangat sederhana untuk dipelajari dan

sangat berguna pada keadaan dimana sumber daya medis yang ada kurang sampai

datangnya bantuan tambahan. Triase akan lebih baik jika penolong memiliki

triage tag, jika tidak ada dapat digunakan marker, spidol atau lipstick yang ditulis

di dahi korban berupa ‘D’ untuk deceased, ‘I’ untuk immediate, ‘DEL’ untuk

delayed atau ‘M’ untuk minor.

Page 8: MAKALAH KASUS 1

Triage Sederhana dan Perawatan Cepat / Simple Triage and Rapid Treatment

(START)

o Jika terjadi insiden dimana korban beragam tapi RS masih bisa menampung

jumlah korban.

o Rencana START ini memungkinkan petugas untuk melakukan triage dalam

waktu 60 detik atau kurang.

o Tujuan: menangani penyelamatan utama terhadap jiwa, sumbatan jalan napas

dan perdarahan arteri yang parah.

o Yang dinilai: Respirasi, Perfusi dan Tingkat Kesadaran. Langkah-langkahnya

yaitu sebagai berikut:

Triase 1

Dengan jelas dan keras, perintahkan para korban yang terlihat sadar untuk bangun dan

berjalan ke tempat yang lebih aman dimana tim medis berada dan dimana mereka akan

mendapat pertolongan lebih lanjut. Seseorang yang dapat berjalan, dianggap tidak

memerlukan pertolongan segera walaupun mengalami cedera, walaupun begitu

kategori/kriteria mereka dapat berubah. Orang-orang ini biasa disebut ‘walking

wounded’, merekalah yang dapat diberdayakan untuk membantu tim medis dalam

mengevakuasi ataupun merawat korban yang lebih berat. Orang-orang ini biasa diberi

green tag atau diberi tanda ‘M’. Korban yang termasuk dalam kategori ini adalah korban

dengan luka ringan, fraktur ringan atau luka bakar minor.

Page 9: MAKALAH KASUS 1

Triase 2

Pada korban yang tersisa, periksa keadaan, secara berturut-turut, respirasi, perfusi dan

status mental.

Respiratory Assessment

Jika terdapat seorang korban yang tidak bernapas, perbaiki posisi kepala dan bebaskan

jalan napas. Jika pernapasan spontan tidak juga muncul beri korban tanda black tag atau

tanda ‘D’. Jangan coba untuk melakukan RKP, karena banyak pasien yang mungkin

meninggal sementara kita menolong korban ini.

 Perfusion Assessment

Jika korban bernapas, periksa frekuensinya, apabila lebih dari 30 kali/menit, dengan

ujung kaki dan tangan dingin, basah dan pucat, kemungkinan kotban akan mengalami

syok. Beri tanda red tag atau tanda ‘I’, kemudian baringkan korban, tinggikan tungkai

bawah (posisi syok) dan selimuti dengan jaket, selimut atau pakaian yang kering.

Jika korban yang didapatkan bernapas dengan frekuensi kurang dari 30 kali/menit,

periksa perfusinya (sirkulasi darah) dengan menekan dan lalu melepas ujung kuku, jika

ujung kuku kembali merah muda dalam waktu lebih dari dua detik, beri korban red tag

atau tanda ‘I’. Kontrol perdarahan yang signifikan dengan melakukan direct pressure

dapat dilakukan pada tahap ini. 

Mental State Assessment

Jika korban bernapas kurang dari 30 kali/menit, dengan capillary refill kurang dari dua

detik, kemudian periksa status mentalnya. Tanyakan nama dan apa yang telah terjadi.

Jika korban tidak dapat menjawab, atau menjawab dengan tidak jelas (meracau),

tanyakan lagi, katakan bahwa Anda bertanya untuk memastikan apakah status mental

korban baik. Jika korban bingung, itu mungkin pertanda dari kerusakan/cedera pada otak,

Page 10: MAKALAH KASUS 1

beri red tag atau tanda ‘I’. Korban yang termasuk dalam kategori ini yaitu korban trauma

capitis dengan pupil anisokor, gangguan pernapasan, atau korban dengan perdarahan

eksternal massif. Jika korban dapat menjawab dengan baik dan memiliki orientasi yang

baik beri tanda ‘DEL’ atau beri yellow tag yang menandakan bahwa korban cukup stabil

dan dapat mentoleransi penundaan ke rumah sakit. Korban yang termasuk dalam kategori

ini yaitu korban dengan resiko syok, korban dengan fraktur multipel, korban dengan

fraktur femur/pelvis, korban dengan luka bakar luas, korban dengan gangguan kesadaran

serta korban dengan status tidak jelas.

Triase 3

Lakukan evaluasi pada korban dengan red tag untuk memberikan pertolongan pertama.

Beri pertolongan pertama pada korban, jika jumlah paramedis tidak memadai, latih

dengan cepat korban dengan minor injuries ataupun orang di sekitar tempat kejadian

untuk melakukan tindakan resusitasi/pertolongan pertama pada korban.

Page 11: MAKALAH KASUS 1

Triase 4

Lakukan evaluasi pada korban dengan yellow tag untuk memberikan pertolongan. Beri

pertolongan kepada korban dengan memberdayakan korban dengan minor injuries, orang

di sekitar tempat kejadian ataupun korban sendiri untuk melakukan tindakan pengobatan

dengan mengajarkan kepada mereka apa yang harus dilakukan.

Triase 5

Tempatkan beberapa orang paramedis, jika paramedis kurang, latih beberapa korban

minor injuries untuk mengawasi korban ringan lain dari tanda-tanda syok. Jika waktu

memungkinkan, periksa semua korban untuk tanda-tanda syok. Periksa akan adanya

pernapasan yang cepat, wajah pucat dengan ujung kaki dan tangan dingin yang

merupakan tanda awal syok. Usahakan agar semua korban berada dalam keadaan hangat

dan kering untuk menghindari kemungkinan terjadinya syok karena hipotermia.

Hasil dibagi menjadi 4 kategori:

a. Hijau (minor / “walking wounded”)

b. Merah (immediate) : prioritas utama

c. Kuning (delayed)

d. Hitam (meninggal)

Page 12: MAKALAH KASUS 1

3. Secondary Assessment of Victim Enpoint (SAVE)

o Jika terjadi insiden dengan korban missal yang berlebihan dengan sumber

tenaga medis yang sangat terbatas. Ex: bencana alam.

o Biasanya SAVE diterapkan bersama dengan sistem START.

o Kategori:

a. Korban yang akan mati tanpa melihat jumlah perawatan yang diterimanya.

b. Korban yang akan selamat tanpa melihat langkah perawatan apa yang

diberikan.

c. Korban yang akan sangat beruntung dari intervensi di lapangan yang

sangat terbatas.

o Perlu diingat bahwa jika pasien mengalami perubahan status medis, maka

kategorinya juga berubah.

o Sistem kode: dengan menggunakan label yang bisa diletakkan dimana saja

pada tubuh, tapi lebih tepat dipasang di pergelangan tangan kanan bagi yang

bisa berjalan atau pergelangan kaki kanan pada pasien yang tidak bisa

berjalan.

PRIMARY SURVEY

Deteksi cepat dan koreksi segera terhadap kondisi yang mengancam. Tujuan :

Untuk mengetahui kondisi pasien yang mengancam jiwa dan kemudian dilakukan

tindakan life saving. Cara pelaksanaan (harus berurutan dan simultan) :

Jalan nafas (airway)

Lihat, dengar, raba (Look, Listen, Feel)

Buka jalan nafas, yakinkan adekuat

Bebaskan jalan nafas dengan proteksi tulang cervical dengan menggunakan teknik

Head Tilt/Chin Lift/Jaw Trust, hati-hati pada korban trauma

Cross finger untuk mendeteksi sumbatan pada daerah mulut

Page 13: MAKALAH KASUS 1

Finger sweep untuk membersihkan sumbatan di daerah mulut

Suctioning bila perlu

Pernafasan (breathing)

Lihat, dengar, rasakan udara yang keluar dari hidung/mulut, apakah ada

pertukaran hawa panas yang adekuat, frekuensi nafas, kualitas nafas, keteraturan

nafas atau tidak

Perdarahan (circulation)

Lihat adanya perdarahan eksterna/interna

Hentikan perdarahan eksterna dengan Rest, Ice, Compress, Elevation (istirahatkan

lokasi luka, kompres es, tekan/bebat, tinggikan)

Perhatikan tanda-tanda syok/ gangguan sirkulasi : capillary refill time, nadi,

sianosis, pulsus arteri distal

Susunan Saraf Pusat (disability)

cek kesadaran

Adakah cedera kepala?

Adakah cedera leher?

perhatikan cedera pada tulang belakang

Kontrol Lingkungan (Exposure/ environmental )

Buka baju penderita lihat kemungkinan cedera yang timbul tetapi cegah

hipotermi/kedinginan

SECONDARY SURVEY

Page 14: MAKALAH KASUS 1

Mencari perubahan-perubahan yang dapat berkembang menjadi lebih gawat dan

mengancam jiwa apabila tidak segera diatasi dengan pemeriksaan dari kepala sampai

kaki (head to toe)dilakukan sterlah primary survey. Ada pun tujuan dari secondary survey

adalah untuk mendeteksi penyakit atau trauma yang diderita pasien sehingga dapat

ditangani lebih lanjut. Prosedur yang digunakan yaitu :

A. Anamnesis

Riwayat “AMPLE” yang harus diingat yaitu :

A : Alergi

M : Medikasi (obat yang diminum sebelumnya)

P : Past illness (penyakit sebelumnya)/Pregnancy (hamil)

L : Last meal

E : Event/environment (lingkungan yang berhubungan dengan kegawatan)

B. Pemeriksaan Fisik

1. Pemeriksaan kondisi umum menyeluruh

a. Posisi saat ditemukan

b. Tingkat kesadaran

c. Sikap umum, keluhan

d. Trauma, kelainan dan Keadaan kulit

2. Kepala

Diperiksa seluruh kulit kepala dan kepala harus diperiksa akan adanya luka,

kontusio, atau fraktur. Mata juga harus diperika akan adanya :

Page 15: MAKALAH KASUS 1

a. Acies visusdengan membaca gambar snellen, atau membaca huruf pada botol

infus atau bungkus perban.

b. Ukuran pupil

c. Perdarahan konjungtiva

d. Luka tembus pada mata

e. Lensa konta (ambil sebelum terjadi edema)

f. Dislocatio lentis

g. Jepitan otot bola mata

3. Maksilo-fasial

Trauma maksilofasial tanpa gangguan airway atauu perdarahan hebat, baru

dikerjakan setelah penderita stabil sepenuhnya dan pengelolaan definitf dapat dilakuakn

dengan aman. Pada fraktur tulang wajah mungkin juga ada fraktur lamina cribosa

kateter lambung melalui jalan oral.

4. Vertebra sevikalis dan leher

Penderita dengan trauma kapitis atau maksilofasial dianggap fraktur servikal atau

kerusakan ligamnetosa servikal; pada leher kemudian dilakukan imobilisasi sampai

vertebra servikal telah diperiksa dengan teliti. Tidak adanya kelainan neurologis tidak

menyingkirkan kemungkinan fraktur servikal, dan tidak adanya fraktur servikal hanya

ditegakkan setelah ada foto servikal, dan foto ini telah diperiksa dokter yang

berpengalaman.

Pemeriksaan :

1. Inspeksi

2. Palpasi

Page 16: MAKALAH KASUS 1

3. Auskultasi

Adanya jejas pada daerah a. carotis harus dicatat karena kemungkinan adanya

perlukaan Angiografi atau Doppler Sonografi.

4. Toraks

1. Inspeksiflail chest atau open pneumothorax.

2. Palpasi harus dilakukan pada setiap iga klavikula.

Pada fraktur sternum atau ada costochondrial separationnyeri tekan

pada sternum. Kelainan pada toraks akan disertasi nyeri dan/ atau dispnoe.

3. Auskultasi harus dilakukan di kondisi apapun. Bunyi jantung yang lemah

disertai tekanan nadi yang kecil tamponade jantung. Bising nafas diperiksa

untuk mengetahui adanya pneumothoraks. Tamponade jantung atau

pneumothoraks dapat terlihat adanya distensi v.jugularis.

4. Evaluasi dilakukan dengan pemeriksaan fisik disusul foto thoraks.

5. Abdomen

Pada trauma abdomen, pasien yang baru datang mungkin menunjukkan

pemeriksaan yang normal dan ini harus diperiksa ulang dan observasi ketat serta

konsultasikan dengan ahli bedah. Penderita dengan hipotensi yang tidak dapat

diterangkan, kelainan neurologis, gangguan kesadaran karena lakohol dan/ atau obat

dan pemeriksaan abdomen yang meragukan harus dipertimbangkan DPL (Diagnosis

Peritoneal Lavage), USG abdomen, atau bila keadaan umum memungkinkan

pemeriksaan CT Scan abdomen dengan kontras. Foto pelvis (AP) diperiksa untuk

kemungkinan fraktur pelvis.

6. Perineum/ rektum/ vagina

Page 17: MAKALAH KASUS 1

Perineum diperiksakontusio, hematoma, laserasi, perdarahan uretra. Teliti juga

kemungkinan adanya darah dari lumen rektum, prostat letak tinggi, fraktur pelvis, utuh

tidaknya dinding rektum dan tonus m. Sfinkter ani. Pada wanita usia subur juga harus

diperiksa kehamilan.

7. Muskuloskeletal

Ekstremitas luka atai deformitas. Fraktur yang kurang jelas dapat ditegakkan

dengan adanya nyeri, krepitasi, gerakan abnormal.

Fraktur pelvis jejas pada daerah ala ossis ilii, pubis, labia atau skrotum, nyeri pada

kompresi SIAS, mobilitas pelvis dan simfisis osis pubis.

Periksa juga kemungkinan gangguan vaskular dengan penilaian pulsasi, gangguan

sensasi/ hilangnya kemampuan kontraksi otot (karena kerusakan saraf perifer, iskemia,

sindrom kompartemen). Periksa juga punggung penderita.

8. Neurologis

Periksa : tingkat kesadaran, ukuran reaksi pupil, px. Motorik dan sensorik.

Paralisis atau parese kerusakan kolumna vertebralis atau saraf perifer. Mobilisasi

penderita dengan long spine board, kolar servikal, dan alat imobilisasi lain dilakukan

sampai terbukti tidak adanya fraktur servikal.

TENGGELAM

Tenggelam (drowning) adalah suatu suffocation dimana jalan napas terhalang

oleh air / cairan sehinggavterhisap masuk ke jalan napas sampai alveoli paru-paru.

Ada 2 jenis mati tenggelam (drowning) berdasarkan posisi mayat, yaitu :

1. Submerse drowning : mati tenggelam dengan posisi sebagian tubuh mayat masuk ke

dalam air

2. Immerse drowning : mati tenggelam dengan posisi seluruh tubuh mayat masuk ke

dalam air

Ada 2 jenis mati tenggelam (drowning) berdasarkan penyebabnya, yaitu :

1. Dry drowning

2. Wet drowning

Page 18: MAKALAH KASUS 1

Dry drowning adalah mati tenggelam dengan inhalasi sedikit air

Wet drowning adalah mati tenggelam dengan inhalasi banyak air

Ada 2 penyebab kematian pada kasus dry drowning, yaitu :

1. Spasme laring (menimbulkan asfiksia).

2. Vagal reflex / cardiac arrest / kolaps sirkulasi.

Ada 3 penyebab kematian pada kasus wet drowning, yaitu :

1. Asfiksia.

2. Fibrilasi ventrikel pada kasus tenggelam dalam air tawar.

3. Edema paru pada kasus tenggelam dalam air asin (laut).

Ada 4 cara kematian pada kasus tenggelam (drowning), yaitu :

1. Kecelakaan (paling sering) kapal tenggelam dan serangan asma saat sedang

berenang

2. Undeterminated sulit diketahui cara kematian karena mayat sudah

membusuk dalam air

3. Pembunuhan

4. Bunuh diri.

Ada 7 tanda penting yang memperkuat diagnosis mati tenggelam (drowning), yaitu :

1. Kulit tubuh mayat terasa basah, dingin, pucat dan pakaian basah.

2. Lebam mayat biasanya sianotik kecuali mati tenggelam di air dingin berwarna

merah muda.

3. Kulit telapak tangan/ telapak kaki mayat pucat (bleached) dan keriput (washer

woman's hands /feet).

4. Kadang-kadang terdapat cutis anserine / goose skin pada lengan, paha dan bahu

mayat.

5. Terdapat buih putih halus di hidung/ mulut mayat (scheumfilz froth) bersifat

melekat.

6. Bila mayat kita miringkan, cairan akan keluar dari mulut / hidung.

7. Bila terdapat cadaveric spasme maka kotoran air / bahan setempat berada

dalam genggaman tangan mayat.

Ada 5 tanda penting yang yang memperkuat diagnosis mati tenggelam (drowning) pada

pemeriksaan dalam otopsi, yaitu :

Page 19: MAKALAH KASUS 1

1. Paru-paru mayat membesar dan mengalami kongesti.

2. Saluran napas mayat berisi buih. Kadang-kadang berisi lumpur, pasir, atau

rumput air.

3. Lambung mayat berisi banyak cairan.

4. Benda asing dalam saluran napas masuk sampai ke alveoli.

5. Organ dalam mayat mengalami kongesti.

Perbedaan Tempat Tenggelam Mayat

Air Laut Air Tawar

Paru-paru besar dan berat Paru-paru besar dan ringan

Basah Relatif kering

Bentuk besar dan kadang-kadang

overlapping

Bentuk biasa

Ungu biru & permukaan licin Merah pucat & emphysematous

Krepitasi tidak ada Krepitasi ada

Busa sedikit & cairan banyak Busa banyak

Mati dalam 5-10 menit, 20 ml/kgbb Mati dalam 5 menit, 40 ml/kgbb

Darah :

:) BJ 1,0595 - 1,0600

:) Hipertonik

:) Hemokonsentrasi & edema paru

:) Hipovolemia

:) Hipokalemia

:) Hipernatremia

:) Hiperklorida

Darah :

:) BJ 1,055

:) Hipotonik

:) Hemodilusi / hemolisis

:) Hipervolemia

:) Hiperkalemia

:) Hiponatremia

:) Hipoklorida

Resusitasi lebih mudah Resusitasi aktif

Transfusi dengan plasma Transfusi dengan packed red cell

Ada 7 tanda intravitalitas mati tenggelam (drowning), yaitu :

1. Cadaveric spasme.

2. Perdarahan pada liang telinga tengah mayat.

Page 20: MAKALAH KASUS 1

3. Benda air (rumput, lumpur, dan sebagainya) dapat kita temukan dalam saluran

pencernaan dan

saluran pernapasan mayat.

4. Ada bercak Paltauf di permukaan paru-paru mayat.

5. Berat jenis darah pada jantung kanan berbeda dengan jantung kiri.

6. Ada diatome pada paru-paru atau sumsum tulang mayat.

7. Tanda asfiksia tidak jelas, mungkin ada Tardieu's spot di pleura mayat.

Mekanisme Tenggelam

Korban terbenam oleh gaya gravitasi

BJ tubuh < BJ air, korban akan timbul

reaksi awal terjadi usaha bernapas air akan masuk tertelan/ terinhalasi

BJ tubuh > BJ air

korban tenggelam

Ada 4 macam pemeriksaan khusus pada kasus mati tenggelam (drowning), yaitu :

1. Percobaan getah paru (lonset proef).

2. Pemeriksaan diatome (destruction test).

3. Penentuan berat jenis (BD) plasma.

4. Pemeriksaan kimia darah (gettler test).

TENGGELAM DI AIR TAWAR

Pada pemeriksaan korban tenggelam di air

tawar didapatkan :

Paru besar/ ringan, relatif kering, bentukbiasa, merah pucat / emfisematous, Krepitasi

ada, Busa banyak, Bila dikeluarkan dari toraks tidak kempis. Mati dalam 5 menit (40 ml/

kgBB)

Page 21: MAKALAH KASUS 1

Biasanya mati dalam 5 menit

Terjadi hyperkaliemi fibrilasi ventrikel

Dapat dibarengi oedem paru

Paru

* Relatif kering

* Warna lebih pucat

* Bentuk biasa

* Busa banyak

* Krepitasi (+)

Hemodilusi / BJ menurun Tenggelam di air tawar

TENGGELAM DI AIR ASIN

Pada pemeriksaan korban tenggelam di air asin didapatkan seperti paru besar dan

berat, relatif basah, biasanya overlapping, berwarna ungu biru / permukaan licin, krepitasi

tidak ada, busa sedikit, dan cairan banyak, Bila dikeluarkan dari toraks akan mendatar /

bila ditekan maka permukaan paru menjadi cekung, korban akan mengalami kematian

dalam 5 -10 menit.

Hemokonsentrasi ( BJ meningkat)

Oedem paru

Mati dalam 5 – 10 menit

Paru

* Tampak basah/ berat

* Besar

* Banyak air, kurang busa

BJ darah : 1.0595 – 1.060, perbedaan 0.005 sudah bermakna

Kecelakaan

Bunuh diri (sering badan diikat pada suatu beban)

Pembunuhan (dapat dijumpai korban terikat demikian rupa yang tak mungkin

dilakukan korban sendiri).

KEGAWATDARURATAN KORBAN TENGGELAM

Page 22: MAKALAH KASUS 1

Khusus kasus tenggelam, terkait masalah jalan napas dan napas, dalam hal terjadi

obstruksi napas total akibat tenggelam, toleransi waktu untuk penyelamatan jiwa sangat

pendek (<5 menit). Pertolongan penyelamatan jiwa harus segera dimulai di tempat

kejadian.

Sistim Pelayanan Gawat Darurat Terpadu – Bencana korban tenggelam :

1. Masalah pokok :

- jumlah korban jauh di atas jumlah penolong dan fasilitas tersedia

- waktu adalah nyawa

2. Prinsip problem solving

- aktivasi dan mobilisasi sistim pertolongan, koordinasi baik intra sektor

kesehatan maupun lintas sektor

3. Pola dasar pertolongan

- pos lapangan : triage-resusitasi/stabilisasi-evakuasi

- pos depan : triage lanjutan-resusitasi/stabilisasi lanjutan-dx/tx definitif-

evakuasi

- pos belakang : triage lanjutan-resusitasi/stabilisasi lanjutan-dx/tx definitif

- pos cadangan : triage lanjutan-resusitasi/stabilisasi lanjutan-dx/tx definitif

4. Tahapan pertolongan

- siaga :

Berita kemungkinan ada bencana, seluruh team terkait siaga di

tempat

- analisa situasi :

Pastikan benar ada tidaknya bencana

Evaluasi besaran bencana (sebab, korabn, lokasi, masalah medik)

Evaluasi potensi medik siap pakai serta kelengkapan pendukung

tersedia saat itu

- rencana operasi :

Sesuai masalah medik yang timbul akibat bencana dan potensi

penolong tersedia saat itu direncanakan tindakan pertolongan awal,

Page 23: MAKALAH KASUS 1

mobilisasi bantuan, koordinasi dan pengendalian serta koordinasi

lintas sektor

- operasi pertolongan :

Penyelamatan dan pertolongan korban

Pos lapangan-pos depan-pos belakang-pos cadangan

Koordinator dan pengendali kegiatan aktif

Onitoring dan penyesuaian sesuai kebutuhan upaya pertolongan

- evaluasi :

Evaluasi kecukupan, kecepatan, kecepatan pertolongan

Rekomendasi penyempurnaan

Kesiagaan

1. Pra Kejadian

- peta daerah yang berpotensi terjadi kecelakaan dan analisa keparahan

korban

- disaster plan di tingkat Puskesmas dan RS

- kerjasama intra dan lintas sektor

- pola operasi pertolongan dan tahap operasi

- komunikasi dan transportasi

- koordinasi dan pengendalian

- kesiapan dana operasional

2. Saat Kejadian

- aktivasi-mobilisasi

- kerjasama antar RS

- pola operasi dilaksanakan sesuai tahapan

- kordinasi intra dan lintas sektor

- penyesuaian sesuai kebutuhan

Pelaksanaan Lapangan

1. Tempat Kejadian

- Tujuan utama mencegah kematian dan kecacatan

Page 24: MAKALAH KASUS 1

- Pelaksana orang terdekat dengan korban

- Tugas orang terdekat dengan korban : pertolongan awal sambil memanggil

bantuan dari fasilitas kesehatan terdekat

- Selanjutnya transportasi ke fasilitas terdekat

2. Puskesmas

- Peran utama : lanjutan pencegahan kecacatan / kematian (resusitasi-

stabilisasi), diagnostik dan pengobatan definitif kasus ringan

- Bial perlu transportasi rujukan rumah sakit

- Kemampuan minimal yang diharapkan : peningkatan kemampuan sisi

prevensi masyarakat sekitar, kemampuan pertolongan hidup dasar dan

lanjut, kemampuan mengenali penyulit koban tenggelam, kemampuan

penetapan saat rujukan yang tepat, kemampuan melakukan rujukan korban

gawat akibat tenggelam, kemampuan koordinasi lintas sektor sesuai

keperluan

3. Rumah sakit

- ditambah dengan kemampuan diagnostik dan pengobatan definitif korban

tenggelam

- bantuan pada musibah massal / bencana tenggelam

- rujukan ke tingkat yang lebih tinggi sesuai masalah bila diperlukan

- pedoman rehabilitasi pasca penyulit pada kasus dengan kecacatan menetap

PERTOLONGAN PERTAMA PADA KASUS TENGGELAM

Kasus tenggelam merupakan kasus yang sering terjadi pada wilayah perairan seperti di

Indonesia, terutama daerah sungai atau pantai. Perlu diketahui adanya perbedaan media air

sebagai sumber persoalan; air asin atau air tawar. Tetapi pada prinsipnya dalam P3K kasus

tenggelam adalah sesegera mungkin mengangkat korban tenggelam ke permukaan air atau

daratan. Hal ini tentu akan dilakukan oleh orang yang sangat terlatih dalam hal berenang,

sehingga penolongpun tidak menjadi korban berikutnya. Setelah korban tenggelam ini dapat di

keluarkan dari air maka mengusahakan untuk membebaskan fungsi pernapasan; dan

mengeluarkan air yang sudah terminum dengan cara merangsang terjadinya refleks muntah (bagi

Page 25: MAKALAH KASUS 1

pasien sadar), sedangkan bagi korban tak sadar/ koma kita harus menghindari terjadinya

aspirasi( masuknya air dalam saluran napas) serta sesegera mungkin dibawa ke fasilitas kesehatan

yang memadai. Kegawatan pada korban tenggelam adalah terjadinya kegagalan fungsi

pernapasan akibat masuknya cairan(air tawar/ asin) ke dalam jaringan paru yang dapat

menyebabkan gangguan fungsi respirasi. Semakin cepat diketahui/ ditolong korban tenggelam

maka semakin lebih baik dan mudah untuk penanganan selanjutnya.

Pedoman pertolongan

Keamanan lokasi dan penolong.

Kondisi penderita

Apakah penderita ada respon dan dapat membantu.

Apakah ada cedera pada penderita.

Apakah penderita berada di permukaan atau tenggelam ?

Kondisi air

Jarak pandang dalam air.

Suhu air.

Arus.

Kedalaman air.

Bahaya lainnya.

Sumber daya yang ada

Prinsip pertolongan di air

1. Raih ( dengan atau tanpa alat ).

2. Lempar ( alat apung ).

3. Dayung     ( atau menggunakan perahu mendekati penderita ).

4. Renang ( upaya terakhir harus terlatih dan menggunakan alat apung ).

Urutan tersebut di atas adalah urutan tindakan jangan mencoba cara berikutnya jika cara

sebelumnya masih memungkinkan.

Page 26: MAKALAH KASUS 1

Penanganan Korban

1. Pindahkan penderita secepat mungkin dari air dengan cara teraman.

2. Bila ada kecurigaan cedera spinal satu penolong mempertahankan posisi kepala,

leher dan tulang punggung dalam satu garis lurus. Pertimbangkan untuk

menggunakan papan spinal dalam air, atau bila tidak memungkinkan pasanglah

sebelum menaikan penderita ke darat.

3. Buka jalan nafas penderita, periksa nafas. Bila tidak ada maka upayakan untuk

memberikan nafas awal secepat mungkin dan berikan bantuan nafas sepanjang

perjalanan.

4. Upayakan wajah penderita menghadap ke atas.

5. Sampai di darat atau perahu lakukan penilaian dini dan RJP bila perlu.

6. Berikan oksigen bila ada sesuai protokol.

7. Jagalah kehangatan tubuh penderita, ganti pakaian basah dan selimuti.

8. Lakukan pemeriksaan fisik, rawat cedera yang ada.

9. Segera bawa ke fasilitas kesehatan.

TINDAKAN MEDIS UMUM

Resusitasi ( semua tindakan untuk mengembalikan fungsi vital guna menyelamatkan jiwa

korban)

Ada 2 macam resusitasi

- Resusitasi paru ( memberikan pernafsan buatan utk mengembalikan fungsi paru )

- Resusitasi jantung ( pemijitan jantung untuk mengembalikan denyut jantung )

- Resusitasi jantung dan paru

Resusitasi paru

1. Teknik pemberian nafas buatan mulut ke mulut di darat.

- Miringkan kepala korban,ambil ( bersihkan ) benda2 asing dari mulut/hidung.

Page 27: MAKALAH KASUS 1

- Tengadahkan kepala utk membuka sal.nafas dg: tangan kiri mengangkat leher &

tangan kanan mendorong kening ke arah bahu.

- Dengan ibu jari dan telunjuk tangan kanan,pijitlah hidung korban sambil

mempertahankan posisi kepala ( tetap tengadah )

- Buka mulut anda,hisaplah nafas sedalam-dalamnya,tempelkan mulut anda ke

mulut korban ( mouth to mouth ),tiupkan udara ke paru2.

- Setelah selesai meniuplihat dada korban adakah gerakan dada naik turun

terdengarkan suara korban menghembuskan napas.

- Jika tak ada gerakan naik,mungkin kesalah teknis misalnya : hidung lupa/tdk di

tutup,masih ada benda asing,keluarkan,ulangi dengan teknik yang benar.

- Jika udara tetap blm bisa masuk keparu,miringkan tubuh penderita,tepuk kuat2

diantara kedua tulang belikat agar sumbatan jalan napas dapat terbuka

2. Teknik pernafasan buatan di permukaan air

Pada perinsipnya cara pemberian napas buatan dipermukaan air adalah sama

dengan didarat

Pemijatan jantung bersama pernafasan paru-paru ( RJP )

• Terdapat 3 tahap :

1. Airways membuka jalan napas

Tindakan :

a. Bersihkan mulut & hidung korban utk mengelurakan benda asing dari saluran

napas

b. Tengadahkan kepala korban agar sal.napas terbuka

2. Breathing lakukan pernapasan buatan

Pernapasan buatan dilakukan 12x permenit utk org dewasa,20-30x utk anak-anak

Page 28: MAKALAH KASUS 1

3. Circulation

Pemijatan jantung tergantung jumlah penolong

1 org penolong : 30x penekanan diselingi 2x pernapasan buatan

2 org penolongn: 30x pemijatan jantung diselingi 2x pernafasan

NYARIS TENGGELAM (NEAR DROWNING)

Nyaris tenggelam atau near drowning ialah keadaan nyaris terganggunya

pernafasan selagi tenggelam yang berhasil diselamatkan nyawanya dengan resusitasi dan

tindakan media lainnya. Korban nyaris tenggelam dapat berakhir dengan kematian.

Akibat perubahan sekunder sewaktu episode akut.

Terdapat juga pengertian yang lain mengenai nyaris tenggelam adalah kondisi

bertahan hidup dari peristiwa tenggelam hingga menyebabkan ketidaksadaran atau paru-

paru terisi air yang bisa mengakibatkan komplikasi sekunder yang serius, termasuk

kematian setelah terjadinya insiden. Kasus hampir tenggelam umumnya ditangani oleh

profesional di bidang kedokteran.

Di banyak negara, tenggelam merupakan salah satu penyebab kematian bagi

anak-anak di bawah 14 tahun. Di Amerika Serikat, tenggelam adalah penyebab kematian

nomor dua di kalangan anak-anak berusia 14 tahun dan ke bawah (penyebab kematian

nomor satu adalah kecelakaan kendaraan bermotor). Tenggelam atau nyaris tenggelam

bisa terjadi di setiap genangan air yang bisa mengakibatkan mulut dan hidung anak

terendam air, termasuk di kubangan, toilet, bak mandi, akuarium, atau ember besar.

Di seluruh dunia, tingkat kematian akibat tenggelam berbeda-beda menurut

aksesibilitas terhadap air, iklim, dan budaya berenang di tempat tersebut. Sebagai contoh,

di Britania Raya terdapat 450 korban mati tenggelam per tahun (1 : 150.000), sementara

di Amerika Serikat terdapat 6.500 korban mati tenggelam per tahun (1 : 50.000). Cedera

akibat tenggelam menempati peringkat ke-5 dalam penyebab kematian akibat kecelakaan

Page 29: MAKALAH KASUS 1

di Amerika Serikat. Angka total korban nyaris tenggelam tidak diketahui. Korban lebih

cenderung berjenis kelamin laki-laki, remaja, atau dewasa.

Sebagian besar kasus tenggelam terjadi di air, 90% di air tawar (sungai, danau,

dan kolam renang) dan 10% di air laut. Kasus tenggelam akibat cairan yang bukan air

sering terjadi dalam kecelakaan industri.

Kondisi umum dan faktor risiko yang mengakibatkan tenggelam di antaranya termasuk:

Pria cenderung lebih banyak tenggelam daripada wanita, terutama pria berusia 18-

24 tahun

Tidak memakai pelampung ketika menjadi penumpang angkutan air

Kurangnya pengawasan terhadap anak (terutama anak berusia 5 tahun ke bawah)]

Kondisi air melebihi kemampuan perenang, arus kuat, air yang sangat dalam,

terperosok sewaktu berjalan di atas es, ombak besar, dan pusaran air

Terperangkap misalnya setelah peristiwa kapal karam, kecelakaan mobil yang

mengakibatkan mobil tenggelam, serta tubuh yang terbelenggu pakaian atau

perlengkapan

Terganggunya kemampuan fisik akibat pengaruh obat-obatan dan minuman

beralkohol

Ketidakmampuan akibat hipotermia, syok, cedera, atau kelelahan

Ketidakmampuan akibat penyakit akut ketika berenang, termasuk di antaranya:

infark miokard, epilepsi, atau strok.

Ditenggelamkan dengan paksa oleh orang lain dengan tujuan membunuh, kekerasan

antaranak sebaya, atau permainan di luar batas kewajaran.

Terdapat 2 macam nyaris tenggelam (NT) :

1. Nyaris tenggelam tanpa aspirasi akibat reflex layngo spasm.

2. Nyaris tengelam dengan aspirasi air laut atau air tawar.

Gejala

- Distensi abdominal

Page 30: MAKALAH KASUS 1

- Kulit muka kebiruan terutama di sekitar bibir

- Nyeri dada

- Kulit dingin dan penampakan pucat

- Pusing

- Batuk disertai sputum berbusa

- Iritabilitas

- Lethargy

- Tidak/ sulit bernafas

- Lemah

- Tidak sadar / kesadaran menurun

- Muntah

Pencegahan

- Orang tua harus mengawasi anaknya bermain di kolam berenang

- Di kolam renang harus ada yang bisa melakukan CPR

- Mematuhi perturan yang ada di klam renang

- Bagi seseorang yang suka mengalami kejang sebaiknya ditemani

- Hindari konsumsi drugs dan alcohol saat bermain di lingkungan air

- Sedia pelampung

Patofisiologi

Seseorang yang terbenam dengan spontan akan berusaha menyelamatkan diri

secara panik disertai berhentinya pernapasan (breath holding). Sepuluh sampai 12%

korban tenggelam dapat langsung meninggal, dikenal sebagai dry drowing karena tidak

dijumpai aspirasi air di dalam paru.

Mereka meninggal akibat asphiksia waktu tenggelam yang disebabkan spase

larings. Menurut Giammona (dikutip dari Hassan R.), spasme laring tersebut akan diikuti

asphiksia and penurunan kesadaran serta secara pasif air masuk ke jalan napas dan paru.

Akibatnya, terjadilah henti jantung dan kematian yang disertai aspirasi cairan dan dikenal

Page 31: MAKALAH KASUS 1

sebagai wet drowning. Kasus seperti ini lebih banyak terjadi, yakni 80-90%. Perubahan

patofisiologi yang diakibatkan oleh tenggelam, tergantung pada jumlah dan sifat cairan

yang terhisap serta lamanya hipoksemia terjadi. Setiap jaringan pada tubuh mempunyai

respons yang berbeda-beda terhadap hipoksemia dan kepekaan jaringan otak merupakan

organ yang dominan mengalami disfungsii sistem organ pada tubuh terhadap hipoksia.

Terhadap air laut atau air tawar akan mengurangi perkembangan paru, karena air laut

bersifat hipertonik sehingga cairan akan bergeser dari plasma ke alveoli. Tetapi, alveoli

yang dipenuhi cairan masih bisa menjalankan fungsi perfusinya sehingga menyebabkan

shunt intra pulmonary yang luas.

Sedangkan air tawar bersifat hipotonik sehingga dengan cepat diserap ke dalam

sirkulasi dan segera didistribusikan. Air tawar juga bisa mengubah tekanan permukaan

surfaktan paru sehingga ventilasi alveoli menjadi buruk sementara perfusi tetap berjalan.

Ini menyebabkan shunt intrapulmonary dan meningkatkan hipoksia. Di samping itu,

aspirasi air tawar atau air laut juga menyebabkan oedem paru yang berpengaruh terhadap

atelektasis, bronchospasme, dan infeksi paru.

Perubahan kardiovaskuler yang terjadi pada korban hampir tenggelam terutama

akibat dari perubahan tekanan parsial (PaO2) dan keseimbangan asam basa. Sedangkan

faktor lain yang juga berpengaruh adalah perubahan volume darah dan konsentrasi

elektrolit serum. Korban hampir tenggelam kadang-kadang telah mengalami bradikardi

dan vasokonstriksi perifer yang intensif sebelumnya. Oleh sebab itu, sulit memastikan

pada waktu kejadian apakah aktivitas mekanik jantung terjadi. Bradikardi bisa timbul

akibat refleks diving fisiologis pada air dingin, sedangkan vasokonstriksi perifer bisa juga

terjadi akibat hipotermi atau peninggian kadar katekolamin.

Hipoksia dan iskemia selama tenggelam akan terus berlanjut sampai ventilasi,

oksigenasi, dan perfusi diperbaiki. Sedangkan iskemia yang berlangsung lama bisa

menimbulkan trauma sekunder meskipun telah dilakukan resusitasi jantung paru yang

adekuat. Edema cerebri yang difus sering terjadi akibat trauma sitotoksik yang

disebabkan oleh anoksia dan iskemia susunan syaraf pusat yang menyeluruh. Kesadaran

yang hilang bervariasi waktunya, biasanya setelah 2 sampai 3 menit terjadi apnoe dan

Page 32: MAKALAH KASUS 1

hipoksia. Kerusakan otak yang irreversible mulai terjadi setelah 4 sampai 10 menit

anoksia. Ini memberikan gambaran bahwa hipoksia mulai terjadi dalam beberapa detik

setelah orang tenggelam, diikuti oleh berhentinya perfusi dalam 2 sampai 6 menit. Otak

dalam suhu normal tidak akan kembali berfungsi setelah 8 sampai 10 menit anoksia

walaupun telah dilakukan tindakan resusitasi. Anoksia dan iskemia serebri yang berat

akan mengurangi aktivitas metabolik akibat peninggian tekanan intrakranial serta perfusi

serebri yang memburuk. Ini dipercayai menjadi trauma susunan saraf pusat sekunder.

Hampir sebagian besar korban tenggelam memiliki konsentrasi elektrolit serum

normal atau mendekati normal ketika masuk rumah sakit. Hiperkalemia bisa terjadi

karena kerusakan jaringan akibat hipoksemia yang menyeluruh. Pasien hampir tenggelam

setelah dilakukan resusitasi biasanya fungsi ginjal seperti albuminuria, Hb uria, oliguria,

dan anuria kemudian bisa menjadi nekrosis tubuli.

Gambaran Klinik

Gambaran klinik korban tenggelam sangat bervariasi berhubungan dengan

lamanya tenggelam. Conn dan Barker mengembangkan suatu klasifikasi (dikutip oleh

Aoky By) yang dianggap bermanfaat untuk pedoman penilaian dan pengobatan pasien

tenggelam. Klasifikasi ini berdasarkan status neurologis dan sangat berguna bila

digunakan dalam 10 menit pertama.

Page 33: MAKALAH KASUS 1

Pada hipoksia berat (G3, C4) mengalami kegagalan organ multisistem dan gambaran

laboratorium yang abnormal seperti gangguan kardiovaskuler (shock, dysritmia),

gangguan metabolik (Bic-Net, kalium, glukosa, calcium), diseminated intravaskuler

coagulation, gagal ginjal, dan gangguan gastrointestinal (perdarahan, pengelupasan

mukosa).

Penanganan

Banyak usaha yang dilakukan dalam mengembangkan protokol yang dapat

memperbaharui hasil penatalaksanaan pasien-pasien tenggelam. Namun, belum ada

pengobatan klinis yang lebih unggul dari penanganan supportif yang konvensional.

Belum ada pengobatan klinis yang unggul pada keadaan hipoksia selain tindakan

pencegahan dan resusitasi segera.

Page 34: MAKALAH KASUS 1

Resusitasi awal di rumah sakit ataupun di luar rumah sakit korban tenggelam

harus difokuskan kepada menjamin oksigenasi, ventilasi, sirkulasi yang adekuat, tekanan

gas darah arteri, keadaan asam basa, serta saluran napas harus bebas dari bahan muntah

dan benda asing yang dapat mengakibatkan abstruksi dan aspirasi. Penekanan perut tidak

boleh dilakukan secara rutin untuk mengeluarkan cairan di paru apabila tidak terbukti

effektif karena bisa meningkatkan risiko regurgitasi, aspirasi, dan kehilangan kontrol

akan memperberat trauma spinal. Kecepatan dan efektivitas dalam melaksanakan

resusitasi ini sangat menentukan kelangsungan hidup neuron-neuron korteks, khususnya

pada pasien-pasien yang sangat kritis. Transfer oksigen yang tidak efektif akibat fungsi

paru yang memburuk bisa mengakibatkan hipoksia yang lebih berat dan berlanjut karena

kerusakan organ yang multipel.

Otak adalah organ yang dituju dalam pengobatan. Pencegahan trauma otak pada

korban dilakukan dengan mengangkat korban dari air secepatnya dan resusitasi jantung

paru dasar harus dilakukan. Ini perlu segera dilakukan karena hipoksia dengan cepat

berkembang dalam beberapa detik ke keadaan apnoe. Oleh karena itu, apabila tidak

mungkin mengangkat korban dari air, secepatnya ventilasi mulut ke mulut harus

dilakukan segera setelah penolong menarik korban.

Kemudian harus segera diberikan oksigen inspirsi yang tinggi. Dukungan oksigen

harus diberikan tanpa memandang keadaan pasien. Apabila korban dicurigai mengalami

trauma leher maka harus dibuat posisi netral dan melindunginya dengan gips cervical

(cervical colar).

Penanganan Rumah Sakit

Pengobatan dilakukan sesuai dengan kategori klinis. Korban pada pasien kategori

A dan B biasanya hanya membutuhkan perawatan medis supportif, sedangkan pasien

kategori C membutuhkan tindakan untuk mempertahankan kehidupan dan perawatan

intensif. Penolong juga harus mencari dan menangani trauma yang timbul seperti trauma

kepala dan leher serta mengatasi masalah yang melatarbelakanginya seperti masalah

kejang.

Page 35: MAKALAH KASUS 1

Kategori A

Pertolongan dimulai dengan memberikan oksigen, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan PaO2 arteri, PaCO2, pH, jumlah sel darah, elektrolit, serta rontgen thorax.

Pada asidosis metabolik yang belum terkompensasi, dapat diberikan O2, pemanasan, dan

pemberian Bik-Nat. Infiltrat kecil pada paru tidak memerlukan pengobatan apabila cairan

yang terhisap tidak terkontaminasi. Sebagian korban yang tidak mempunyai masalah

dapat dipulangkan sedangkan sebagian lagi yang bermasalah dapat diobservasi dan diberi

pengobatan simptomatik di ruang perawatan sampai baik. Biasanya korban dirawat

selama 12 sampai 24 jam

Kategori B

Korban ini membutuhkan perawatan dan monitoring ketat terhadap sistem saraf

dan pernapasan. Masalah pernapasan biasanya lebih menonjol sehingga selain pemberian

oksigen perlu diberikan: Bik-Nat untuk asidosis metabolik yang tidak terkompensasi;

Furosemid untuk oedem paru; Aerosol B simptometik untuk bronchospasme; serta

Antibiotik untuk kasus teraspirasi air yang terkontaminasi.

Pasien yang awalnya diintubasi setelah menampakkan fungsi pernapasan dan

neurologi yang baik dapat dilakukan ekstubasi. Di sini steroid tidak diindikasikan.

Sebagian kecil korban tenggelam mengalami kegagalan pernapasan. Biasanya terjadi

setelah aspirasi masif atau teraspirasi zat kimia yang mengiritasi sehingga korban ini

membutuhkan ventilasi mekanis. Pemberian infus sering diberikan untuk meningkatkan

fungsi hemodinamik. Cairan yang biasanya digunakan adalah cairan isotonik (Ringer

lactat, NaCl fisiologis) dan cairan yang dipakai harus cukup panas (40-43ºC) untuk

pasien hipotermi. Bila cairannya seperti suhu kamar (21ºC) bisa memancing timbulnya

hipotermi. NGT harus dipasang sejak pertama pasien ditolong, yang berguna untuk

mengosongkan lambung dari air yang terhisap. Status neurologis biasanya membaik bila

oksigenasi jaringan terjamin. Perawatan biasanya memakan waktu beberapa hari dan

sangat ditentukan oleh status paru.

Page 36: MAKALAH KASUS 1

Kategori C

Tindakan yang paling penting untuk kategori ini adalah intubasi dan ventilasi.

Vetilasi mekanis direkomendasikan paling tidak 24 sampai 48 jam pertama, termasuk

mereka yang usaha bernapasnya baik setelah resusitasi untuk mencegah kerusakan

susunan saraf pusat akibat hipoksia dari pernapasan yang tidak efektif. Pedoman ventilasi

awal FiO2 1,0 digunakan selama fase stabilisasi dan transfer. Kecepatan ventilasi awal

1,5 sampai 2 kali kecepatan pernapasan normal sesuai dengan usia korban, tekanan

espirasi 4 sampai 6 Cm H2O. Penyesuaian ini harus dilakukan untuk mendapatkan nilai

gas darah arteri sebagai berikut: PaO2 100 mmHg atau 20--30 mmHg. Bic-Nat,

bronchodilator, diuretik, dan antibiotik diberikan apabila korban tenggelam. Penelitian

membuktikan bahwa mortalitas setelah 5 hari pengobatan menurun dari 50% menjadi

25% sampai 35%. Surfactan yang sering digunakan adalah surfactan sintetik (Exosurf)

dengan dosis 5 ml/kgBB diberikan melalui nebulizer terus-menerus selama priode

pengobatan.

Disfungsi kardiovaskular harus dikoreksi dengan cepat untuk menjamin tranfer

oksigen yang adekuat ke jaringan. Resusitasi jantung paru perlu dilanjutkan pada korban

yang mengalami hipotensi dan syok setelah membaiknya ventilasi dan denyut nadi harus

diberikan bolus cairan kristaloid 20 ml/kgBB. Tindakan ini harus diulangi bila tidak

memberikan respons yang memuaskan1,5. Apabila tekanan darah tetap rendah, obat

inotropik IV harus diberikan. Dopamin dan Dobutamin harus digunakan pada pasien

yang mengalami takikardi sedangkan epinefrin diberikan pada pasien bradikardi. Pasien

dengan suhu tubuh < 30oC harus segera dipanaskan untuk menjamin fungsi jantung.

Kejang diatasi secara konvensinal: pada awal diberikan benzodiazepin diikuti dengan

pemberian phenobarbital seperti Vecuronium atau Pancuronium 0,1--0,2 mg/kgBB IV

bisa digunakan untuk pasien yang gelisah agar pemberian ventilasi lebih efisien,

mengurangi kebutuhan metabolik, serta bisa menekan risiko atau ekstubasi yang tak

terencana akibat trauma jalan napas. Bila pasien tetap gelisah, diberikan morfin sulfat 0,1

mg/kgBB IV atau Benzodiazepin 0,1 mg/kgBB IB diberikan setiap 1--2 jam untuk sedasi.

Page 37: MAKALAH KASUS 1

Pasien kategori C3 dan C4 harus mendapat pengawasan dan tindakan untuk

mempertahankan sistem metabolik, ginjal, hematologi, gastrointestinal, dan neurologis

serta dievaluasi dengan ketat setelah pengobatan dimulai5.

Prognosis

Dengan kemajuan teknologi sekarang ini, banyak penderita hampir tenggelam

berat berhasil diselamatkan, ± 80% anak korban meninggal dapat bertahan hidup, dan

92% di antaranya sembuh sempurna. Tetapi, mereka yang memerlukan perawatan di ICU

± 30% meninggal dan 10--30% yang bertahan hidup mengalami kerusakan otak yang

berat. Hal ini erat hubungannya dengan lama hipoksia yang terjadi dan usaha kita

menanggulanginya. Di samping itu, faktor lain yang dapat memperberat prognosa adalah

usia ≤ 3 tahun, lama tenggelam diperkirakan maksimal ≥ 10 menit, tidak ada restitusi

jantung paru dalam 10 menit setelah ditolong, koma ketika masuk ke ruang gawat

darurat, dan pH < 7,11 (sesuai dengan kriteris Orlowsky). Penderita yang tenggelam di

air dingin mempunyai prognosa jauh lebih baik. Untuk mencegah terjadinya gejala sisa

pada korban hampir tenggelam maka peranan pertolongan resusitasi jantung paru pada

saat kejadian memegang peranan yang sangat penting.

KELAINAN DAN PENYAKIT PADA PENYELAMAN

1. Barotrauma

Definisi kerusakan jaringan dan sequelenya akibat ketidakseimbangan antara

tekanan udara rongga udara fisiologis dalam tubuh dengan tekanan disekitarnya.

Berdasarkan patogenesenya barotrauma dibedakan menjadi :

a. Barotrauma waktu turun (descent)

Barotrauma waktu turun lebih sering terjadi dari pada waktu naik. Waktu

penyelam turun, tubuhnya mendapat tekanan dari luar. Penambahan

tekanan ini normalnya tidak akan menimbulkan barotrauma selama proses

equalisasi antara rongga – rongga fisiologis tubuh dengan tekanan sekitar

berlangsung lancar.

Page 38: MAKALAH KASUS 1

Bilamana oleh karena suatu hal terjadi kegagalan equalisasi, maka tekanan

udara dalam rongga – rongga fisiologis akan menjadi “Relatif negatif”

terhadap tekanan sekelilingnya waktu seorang penyelam turun. Tekanan

relatif negatif akan menimbulkan distorsi ataupun kerusakan pada jaringan

lunak dalam rongga. Dapat terjadi kongesti vaskuler, oedema mukosa

disertai transudasi cairan tubuh dan bahkan perdarahan ke dalam rongga –

rongga fisiologis tubuh.

Peristiwa barotrauma akibat turun ini dikenal juga sebagai “squeeze”.

b. Barotrauma waktu naik ( Ascent )

Sebaliknya waktu naik ke permukaan, seseorang penyelam akan

mendapatkankan penurunan tekanan sekelilingnya. Sesuai hukum boyle

penurunan tekanan akan mengakibatkan pengembangan ( expasion ) dari

udara dalam rongga – rongga fisiologis tubuh. Udara yang mengembang

volumenya ini normalnya dapat disalurkan ke luar lewat saluran rongga –

rongga fisiologis tubuh, sehingga tetap terjadi tekanan yang seimbang

antara rongga – rongga tubuh tadi dengan tekanan sekelilingnya.

Namun jika ada obstruksi, udara yang mengembang tadi akan

terperangkap dan meningkatkan tekanan dalam rongga – rongga fisiologis

tubuh. Barotrauma semacam ini menimbulkan nyeri mendadak akibat

kenaikkan tekanan dalam rongga dan ada bahaya emboli vena. Barotrauma

ini juga menimbulkan peregangan yang berlebihan pada jaringan paru

( Over expansion of the lungs ).

Barotrauma Telinga

Barotrauma telinga merupakan barotrauma yang paling sering terjadi

dalam kegiatan penyelaman.

Dikenal 2 bentuk barotrauma telinga :

a. Barotrauma telinga waktu turun ( descent )

b. Barotrauma telinga waktu naik ( ascent )

Barotrauma telinga waktu turun dibagi lagi menurut anatomi telinga :

a. Barotrauma telinga luar (barotrauma auris externa)

Page 39: MAKALAH KASUS 1

b. Barotrauma telinga tengah (barotrauma auris media)

c. Barotrauma telinga dalam (barotrauma auris internal)

Barotrauma Sinus Paranasalis

Sinus – sinus tersebut adalah :

Sinus frontalis

Sinus maxillaris

Sinus ethmoidalis

Sinus sphenoidalis

Masalah barotrauma sinus paranasalis akan timbul bilamana ada sumbatan pada

saluran atau ostium sinus.

Sumbatan bisa karena :

Sinusitis dengan hipertrofi mukosa

Rhinitis

Polip nasi

Infeksi virus pada saluran nafas atas disertai merokok, dan lain – lain

Insiden barotrauma sinus paranasalis waktu turun (descent) kira – kira dua kali

lebih banyak dari pada waktu naik (ascent).

Gejala yang paling menonjol adalah timbulnya rasa nyeri. Gejala umum yang

kedua adalah epistaxis.

Barotrauma Gigi

Pada akar gigi yang infeksi atau disekelilingi tambalan dari gigi yang berlubang

dapat terjadi ruangan berisi udara. Waktu menyelam, ruangan ini terisi jaringan

lemak dari gusi atau darah. Dapat timbul rasa nyeri pada gigi yang bersangkutan.

Pada waktu ascent, udara yang terjebak akan menggembung lagi, tetapi dibatasi

oleh darah yang terjadi, maka akan muncul rasa nyeri hebat.

Bentuk yang lain ialah bila terjadi rongga dalam gigi akibat adanya caries dengan

lapisan cement yang tipis. Bila tekanan bertambah dinding yang tipis tertekan dan

dapat pecah, atau sebaliknya bila timbul udara yang terperangkap mengembang

dan gigi dapat pecah.

Page 40: MAKALAH KASUS 1

Barotrauma Wajah

Kegunaan masker adalah untuk alat penolong penglihatan bila menyelam. Tetapi

dengan memakai masker maka terbentuk rongga berisi udara di wajah kita. Bila

tidak dapat menyamakan tekanan waktu menyelam lewat udara dari hidung, maka

wajah akan tertarik ke dalam rongga tersebut. Gejala kliinik, pembengkakan

jaringan facial, khususnya di bawah matra, haemorhagi conjungtiva, bisa disertai

protusi mata.

Barotrauma Kulit

Barotrauma ini terjadi akibat dry sulit atau wet suit yang tidak cocok. Terjadi

rongga udara antara kuliut dan pakaian. Pada saat turun tekanan udara dalam

rongga udara tadi jadi relatif negatif terhadap tekanan di sekelilingnya. Akibatnya

kulit akan terhisap pada rongga udara tersebut, dan menimbulkan garis – garis

hiperaemis sesuai lipatan pakaian yang membentuk rongga udara.

Barotrauma Kepala dan Badan

Bila menyelam, tetapi udara tidak bertambah didalam helmet maka sesuai hukum

Boyle penyelam akan terhisap kedalam helmet dan akan menimbulkan kecelakaan

yang serius dan bisa menimbulkan kematian.

Barotrauma Intesetinal

Pada waktu naik terjadi pengembangan gas yang mengakibatkan kembung, flatus

serta timbul kolik. Peristiwa ini biasanya terjadi pada penyelam pemula dimana

cenderung adanya aerophagia, serta pada waktu melakukan valsava, disertai

menelan udara. Selain itu juga karena sebelum menyelam minum – minuman

yang mengandung carbonat ( soft drink ).

Barotrauma Paru

a. Barotrauma Paru Waktu Turun ( Descent )

Page 41: MAKALAH KASUS 1

Barotrauma jenis ini jarang terjadi baik pada “Breath hold diving” maupun pada

penyelaman dengan alat selam. Namun Breath Hold Diving ( selam tanpa alat )

tetap mempunyai resiko untuk mengalami barotrauma paru waktu turun (descent),

karena penyelam tidak mempunyai suplai udara untuk dapat mengequalisasikan

tekanan intrapulmonal dengan tekanan sekeliling.

1. Barotrauma Paru Waktu Naik ( Ascent )

Pada waktu naik kepermukaan terjadi penurunan tekanan sekeliling dan sesuai

hukum Boyle udara dalam paru ikut mengembang volumenya. Masalahnya

apabila ekshalasi terhambat waktu naik ( ascent ), udara yang mengembang dalam

paru tadi akan terperangkap (retensi) dan akan menimbulkan pengembangan

volume paru (overdistension of the lungs) yang nantinya diikiuti juga dengan

kenaikan intrapulmonal.

Barotrauma paru waktu naik kepermukaan pada dasarnya disebabkan oleh

peristiwa naik ke permukaan terlalu cepat disertai ekshalasi yang inadekuat.

Ekshalasi yang inadekuat bisa terjadi akibat :

Panik ( lupa ekshalasi )

Menghisap air secara tak sengaja yang menimbulkan broncho spasme

( water inhalation )

Penyakit – penyakit yang bisa menimbulkan obstruksi pada saluran nafas

misalnya asthma, kista, tumor, fibrosis dari sistem pernafasan.

2. Penyakit Dekompresi

Definisi

Penyakit dekompresi adalah suatu penyakit atau kelainan – kelainan yang

disebabkan oleh pelepasan dan mengembangnya gelembung – gelembung gas dari

fase larut dalam darah atau jaringan akibat penurunan tekanan disekitarnya.

Gejala – gejala yang ditimbulkan bisa berupa rasa nyeri seluruh tubuh, kelelahan,

nyeri periartikuler, gejala neurologis, gejala gangguan pernafasan, maupun

gangguan jantung setelah menyelam.

Page 42: MAKALAH KASUS 1

Gambaran Klinis

Bentuk akut

Kelainan neurologis ( 68 % )

Kelainan osteoartikuler ( Bends 29 % )

Kelainan bentuk lain, seperti gangguan pernafasan ( chokes ), gangguan

koroner, dsb ( 3 % )

Bentuk Kronis

Berupa dysbaric osteonecrosis ( aseptic osteonecrosis )

Penyakit dekompresi dapat dibagi menjadi dua tipe berdasarkan gejala – gejala

klinisnya :

a. Tipe I

Dapat memberikan gejala – gejala lain seperti :

Kelelahan yang berlebihan setelah menyelam

Mengantuk atau pusing ringan

Gatal – gatal pada kulit ( Skin bends )

b. Tipe II

Dapat memberikan gejala klinis sbb :

Gejala neurologis lesi pada otak, lesi pada cerebellum, lesi

Medulla spinalis, lesi pada organ vestibuler

Gejala – gejala dari paru dan jantung

Gejala – gejala gastrointestinal

Bends shock

Pengobatan

a. Oksigenasi dan rekompresi

Oksigenasi mempunyai keuntungan :

Melawan hipoksia jaringan

Mengurangi tekanan nitrogen yang terlarut dalam plasma atau jaringan

(mempercepat larutnya kembali gelembung – gelembung gas nitrogen)

Page 43: MAKALAH KASUS 1

Tujuan pengobatan rekompresi adalah :

Memperkecil besranya gelembung gas

Melarutkan lagi gelembung – gelembung gas nitrogen ke dalam darah atau

jaringan

b. Terapi Medikamentosa

Tujuan terapi medikamentosa ditujukan terutama untuk menanggulangi

perubahan – perubahan sekunder atau kerusakan yang ditimbulkan akibat

hadirnya gelembung gas nitrogen dalam pembuluh darah dan jaringan – jaringan

tubuh.

Cairan dan elektrolit

Anti platelet agregation

Steroid

Glycerol

Digitalis

Faktor – faktor yang mempengaruhi respons terhadap terapi :

Berat ringannya proses patologis dan target organ yang terkena

Interval waktu antara mulai timbulnya gejala dan mulainya terapi

rekompresi

Baik atau tidaknya perawatan selama transport ke ruang rekompresi

Ketepatan terapi rekompresi yang diberikan, dan perawatan intensif

sesudahnya.

Pencegahan

Menghindari faktor – faktor predisposisi :

Latihan berat selama atau sesudah menyelam

Menggigil selama atau sesudah menyelam

Kurang tidur

Habis minum – minum alkohol

Kegemukan

Page 44: MAKALAH KASUS 1

Usia di atas 40 tahun

Dehidrasi

Udara yang dihirup banyak mengandung C2

Riwayat pernah bends

Riwayat cedera yang baru terjadi

Mekanisme kasus

Page 45: MAKALAH KASUS 1

tenggelam

Kecelakaan speedboat yang terbalik : 5 oarang korban TRIAGE

Nyaris tenggelam

- 3 orang meninggal Hitam START

- 1 orang sadar tapi dalam keadaan ”shock” Hijau

- 1 orang tidak sadar, lemas, kulit dingin, nadi lemah Merah

Bernama Tn. Nizul, laki-laki 42 thn.

Primary Survey

Pertolongan cepat dan tepat,dapat sadar kembali Resusitasi

Pemeriksaan fisik: secondary survey

KU: lemah, pucat peningkatan kerja otot

V.S : BP: 90/60 mmHg

PR: 70x/ mnt perubahan fisiologis pada kasus tenggelam syok

RR: 30x/mnt

Kondisi stabil

Hari ke2 : keluhan batuk, sesak napas dan suhu badan meningkat, sakit kepala,

punggung dada, dan perut akibat aspirasi air laut

Pemeriksaan fisik :

Keluhan Utama: batuk berdahak sulit bernapas

Vital Sign:

T: 40⁰ C

PR: 102x/ mnt infeksi saluran napas

BP: 110/70mmHg

Kepala, leher, dan THT tidak terdapat trauma servikal dan tidak terjadi barotaruma

telinga.

Page 46: MAKALAH KASUS 1

Dada : jantung N (-) komplikasi paru rhonki cresipitasi dibasis paru kanan

dan kiri cairan dalam paru et causa aspirasi air laut

Pemeriksaan lab

Hb, Ht, LED N (-) anemia

Elektrolit N (-) gg. Elektrolit

Leukosit memperkuat infeksi et causa aspirasi air laut

Hitung jenis PMN bergeser kekiri infeksi akut

RO : paru vaskularmarking vasodilatasi

Pnemonia aspirasi

Management Pertolongan pertama pre hospital dan hospital

Sembuh

DAFTAR PUSTAKA

Page 47: MAKALAH KASUS 1

1. Samsyu R. Near Drowning. Available from:

http://www.tempo.co.id/medika/arsip/062001/pus-2.htm

2. Soeprijoto. Ilmu kedokteran penyelaman dan Hiperbarik Edisi ke 4. Jakarta. 2006.

3. Survey Secondary. 2009. Available from

http://dokter-medis.blogspot.com/2009/06/survei-sekunder-secondary-survey.html

4. Lukman H B. Triage A Life Saving System. Available from :

http://narcissus02.multiply.com/journal/item/2/Triase-A_Life_Saving_System

5. Primary Survey. 2009. Available from

http://dokter-medis.blogspot.com/2009/06/survei-primer-primary-survey.html