Makalah Isu Berkaitan Dengan Aspek Legal Dalam Kgd Dan Kritis

Embed Size (px)

Citation preview

ISSUE BERKAITAN ASPEK LEGAL PADA AREA KEPERAWATAN KRITIS DAN KEGAWAT DARURATAN

Mata Kuliah Konsep Dasar Keperawatan Kritis

Disusun Oleh :

YOSI OKTARINA

(220120120024)

FAKULTAS KEPERAWATAN

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya sehingga makalah yang berjudul Isu Berkaitan dengan Aspek Legal dalam Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Pada ranah keperawatan kritis maupun kegawat daruratan, banyak sekali isu-isu yang terkait dengan aspek legal terkait tindakan upaya penyelamatan hidup maupun kelalaian-kelalaian yang dilakukan. Oleh karena itu, penting bagi seorang perawat kritis untuk memiliki pengetahuan dan memahami isu-isu tersebut. Sehingga, hal-hal yang tidak diinginkan seperti tuntutan hukum dapat dihindari.Namun, makalah ini tentu saja jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi tercapainya perbaikan tersebut. Atas segala kekurangan yang ada, penulis memohon maaf. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaar bagi kita semua. Aminn

Bandung, Mei 2013

Penyusun

DAFTAR ISI

Halaman Judul

i

Kata Pengantar

iiDaftar Isi

iiiBAB I PENDAHULUAN

1A. Latar Belakang

1B. Tujuan Penulisan

2C. Metode Penulisan

2BAB II PEMBAHASAN

3

A. Tinjauan Terhadap Area Utama Hukum

3B. Kelalaian Keperawatan dalam Keperawatan Kritis

5Kewajiban

6 Pelanggaran Kewajiban

8Penyebab

8 Cedera

9

Standar Praktek Keperawatan Akut & Kritis

9

Malpraktek

9

Informed Consent

11

Wrongful Death

12

Liability Pengganti

13

C. Isu yang Melibatkan Bantuan Hidup

14

Hak untuk Menolak Perawatan Medis

14

Penahanan atau Penghentian Terapi

15

Advance Direct : Living Will & Powerful of Attorney

15

Instruksi Jangan Meresusitasi

16

Kematian Otak

17

Donasi Organ

17BAB III KESIMPULAN

18DAFTAR PUSTAKA

iv

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia, karena tanpa kesehatan yang baik manusia akan sulit untuk melakukan semua aktivitasnya sehari-hari. Dewasa ini kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan semakin meningkat. Dengan semakin meningkatknya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya kesehatan, maka semakin meningkat pula kesadaran masyarakat terhadap hak-haknya dalam pelayanan kesehatan dan tindakan legal, maka isu legal dan etik muncul ketika perawatan menjadi sesuatu hal yang bisa ditawar. Kemudian pada akhirnya menyebabkan seorang pemberi kesehatan berada dalam pengawasan yang semakin ketat (Potter & Perry, 2005). Oleh karena itu, perawat harus senantiasa memberikan pelayanan kesehatan yang maksimal, efektif, efiisen, dan juga aman. Jika hal tersebut diabaikan, maka tidak menutup kemungkinan, masyarakat akan mengambil langkah hukum untuk menghadapinya.Berdasarkan survey yang dilakukan di dua belas RS di Afrika Selatan kepada 171 orang perawat kritis dengan cara menyebarkan kuesioner untuk mengukur pengetahuan perawat kritis terkait isu legal didapatkan hasil rata-rata persentase pengetahuan perawat kritis sebesar 38,45% dimana indikator/standar kompetensi tersebut adalah 60%. Hal ini menunjukkan bahwa level pengetahuan perawat kritis terkait isu legal liability di lingkungan keperawatan kritis masih di bawah standar (Hyde, 2006)

Menurut Morton & Fontaine (2009), kepekaan dan kesadaran hukum masyarakat yang telah semakin meningkat saat ini dibanding sebelumnya menjadikan isu legal yang melibatkan perawatan kritis merupakan masalah yang semakin banyak muncul. Seseorang klien memiliki hak legal dalam menerima pelayanan kesehatan yang aman dan kompeten.. Hak legal adalah segala hak seseorang yang diakui secara hukum . Pada saat ini jumlah tuntutan malpraktik yang menyebut dan melibatkan perawat semakin banyak terjadi. B. TUJUAN PENULISAN

Penulisan makalah ini bertujuan memenuhi tugas konsep dasar keperawatan kritis mengenai isu berkaitan dengan aspek legal dalam keperawatan gawat darurat dan kritisC. METODE PENULISAN

Metode penulisan makalah ini dengan mengumpulkan data dari buku, jurnal-jurnal elektronik, dan literatur lainnya. Data yang dikumpulkan merupakan penjelasan mengenai isu berkaitan dengan aspek legal dalam keperawatan gawat darurat dan kritis serta berdasarkan Evidence Based PracticeBAB II

ISIA. Tinjauan Terhadap Area Utama Hukum

Menurut Morton & Fontaine (2009) terdapat tiga area hukum yang mempengaruhi praktik perawat perawatan kritis, yaitu hukum adminstrasi, hukum sipil, dan hukum pidana. a. Hukum AdminstrasiHukum adminstrasi merupakan suatu konsekuensi hukum dan regulasi negara bagian dan federal yang terkait dengan praktik perawat. Di negara bagian terdapat suatu badan legislasi yang berfungsi untuk mengukuhkan akta praktek perawat. Dalam tiap akta tersebut, praktik keperawatan didefinisikan, dan kekuasaannya didelegasikan pada lembaga negara bagian biasanya disebut dengan State Board of Nursing. Lembaga ini berfungsi menyusun regulasi yang mengatur mengenai bagaimana penafsiran dan implementasi dari akta praktek perawat seharusnya.b. Hukum Sipil

Hukum sipil merupakan area kedua hukum yang mempengaruhi praktik keperawatan. Salah satu area khusus hukum sipil, hukum kerugian, membentuk landasan dari sebagian besar kasus sipil yang melibatkan perawat.c. Hukum Pidana

Area ketiga hukum yang relevan dengan praktik keperawatan adalah hukum pidana. Berbeda dengan hukum sipil, dimana individu yang satteru menuntut individu yang lain, hukum pidana terdiri atas kasus tuntutan hukum yang diajukan oleh negara bagian, pemerintah federal atau setempat terhadap perawat. Dalam hal ini yang termasuk kasus pidana adalah penyerangan dan pemukulan, pembunuhan akibat kelalaian, dan pembunuhan murni.Di Indonesia pengaturan sanksi pidana secara umum diatur dalam beberapa pasal pada KUH Pidana dan pengaturan secara khusus dapat dijumpai pada pasal 190-200 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Oleh sebab itu, undang-undang kesehatan memungkinkan diajukannya tuntutan kepada tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian ketika menjalankan tugas pelayanan kesehatan. Tuntutan itu dapat berupa gugatan untuk membayar ganti rugi kepada korban atau keluarganya. Adapun dasar peraturan yang terdapat dalam Undang-Undang tentang kesehatan yaitu Pasal 58 ayat (1) yang berbunyi. Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang tenaga kesehatan dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.Menurut Hendrik (2011) Pemberian hak atau ganti rugi merupakan suatu upaya untuk memberikan perlindungan bagi setiap orang atas suatu akibat yang timbul, baik fisik maupun nonfisik kalau kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan. Selain tuntutan ganti kerugian dalam perkara perdata dimungkinkan pula diajukan tuntutan dalam perkara pidana apabila diduga tenaga kesehatan melakukan malpraktik.Untuk lebih jelasnya dapat dilihat beberapa contoh praktik medis pada masing-masing bidang hukum di Indonesia :

A. Hukum pidana

a. Menipu pasien (pasal 378 KUHP)

b. Melakukan kealpaan sehingga menyebabkan kematian/luka (pasal 359, 360, 361 KUHP)

c. Pelanggaran kesopanan (Pasal 299, 348, 349, 350 KUHP)

d. Pengguguran ( pasal 299, 348, 349, 350 KUHP)

e. Rahasia jabatan bocor (pasal 322 KUHP)

f. Sengaja membiarkan penderita tak tertolong (pasal 340 KUHP)

g. Tidak memberi pertolongan kepada orang yang berada dalam bahaya maut (pasl 531 KUHP)

B. Hukum Perdata

a. Melakukan wanprestasi (pasal 1239 KUH Perdata)

b. Melakukan perbuatan melanggar hukum (pasal 1365 KUH Perdata)

c. Melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian (pasal 1366 KUH Perdata)

d. Melalaikan pekerjaan sebagai penanggung jawab (pasal 1367 (3) KUH Perdata)C. Hukum Adminstratif

a. Praktik tanpa izinB. Kelalaian Keperawatan dalam Keperawatan KritisKasus kelalaian dapat terjadi di berbagai tatanan dalam praktek keperawatan,. Kasus-kasus seperti ini berkembang dengan pesat seiring dengan perkembangan ilmu maupun kemajuan teknologi dalam bidang kesehatan, termasuk di dalamnya dalam ranah praktek keperawatan kritis.

Menurut Vestel KW (1995) dalam Ake (2003), menyampaikan bahwa suatu perbuatan atau sikap tenaga kesehatan dianggap lalai, bila memenuhi empat (4) unsur, yaitu:a. Duty atau kewajiban tenaga kesehatan untuk melakukan tindakan atau untuk tidak melakukan tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi tertentu.

b. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban

c. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan yang diberikan oleh pemberi pelayanan.

d. Direct cause relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata, dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya menurunkan Proximate causeKewajiban (Duty)

Menurut Morton& Fontaine (2009), kewajiban adalah hubungan legal antara dua pihak atau lebih. Kewajiban ini dapat timbul dari berbagai macam situasi. Pada ranah keperawatan sendiri, kewajiban timbul akibat adanya hubungan kontrak antara pasien dan fasilitas perawatan kesehatan. Dimana pasien sepakat untuk membayar layanan perawatan kesehatan, sedangkan perawat wajib memberikan perawatan pada pasien sebagaimana mestinya.

Seorang perawat perawatan kritis bertanggung jawab secara legal dalam merawat pasien dalam kondisi apapun. Jika perawat tersebut gagal memberikan perawatan sebagaimana mestinya sesuai dengan kondisi pasien, perawat tersebut dianggap melakukan pelanggaran pada kewajibannya.

Menurut Urden (2010), jika seorang perawat gagal memperhatikan setiap bagian dari proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi maka perawat tersebut dapat dianggap tidak kompeten dan melakukan suatu kelalaian.

Dibawah ini merupakan beberapa contoh kasus kelalaian yang dilakukan oleh seorang perawat kritis :a. Assessment FailureAdapun yang termasuk dalam assessment failure adalah kegagalan dalam mengkaji maupun menganalisis data ataupun informasi mengenai pasien seperti tanda-tanda vital, pemeriksaan laboratorium, maupun keluhan utama pasien.Contoh Kasus :

Seorang pasien yang dirawat di ICU dan baru saja dilakukan pemasangan chest tube pada shift malam. Pada saat itu perawat lalai dalam melakukan monitoring pasien dari pukul 23.00 sampai pukul 03.00, ketika dilakukan pengecekan kembali pada pukul 03.00 didapatkan keadaan pasien memburuk, pasien mengalami penurunan kesadaran, oksimetri buruk, dan tanda-tanda vital dalam keadaan jelek. Kemudian klien mengalami henti nafas dan henti jantung, dan kemudian segera dilakukan resusitasi pada pasien. Namun, ternyata pasien tetap tidak terselamatkanb. Planning FailureAdapun yang termasuk dalam planning failure adalah kegagalan dalam menentukan perencanaan keperawatan yang yang berkaitan juga kegagalan dalam menentukan diagnosa yang tepat.

c. Implementation Failure

Termasuk di dalamnya adalah kegagalan untuk berkomunikasi dengan pihak lain yang terkait terkait kondisi pasien, kegagalan dalam melakukan tindakan yang tepat terhadap pasien, kegagalan dalam melakukan pendokumentaian terhadap hasil-hasil pengkajian, intervensi, maupun respon pasien terhadap intervensi yang diberikan, serta kegagalan untuk menjaga privasi pasien.Contoh kasus :

Kegagalan dalam Melakukan Tindakan yang Tepat :Seorang wanita mengalami kejang di rumahnya, kemudian oleh suaminya segera di bawa ke rumah sakit. Sesampainya di UGD pasien diberikan penanganan pertama seperti memberikan obat anti kejang dan memastikan jalan nafas bersih, kemudian sang perawat meninggalkan pasien tanpa memasang side rail. Tiba-tiba pasien mengalami kejang berulang, suaminya berusaha untuk menolong dengan memeganginya, namun pasien tetap terjatuh dari tempat tidur yang mengakibatkan fraktur pada tulang bagian wajahnya.d. Evaluation Failure

Adapun yang termasuk dalam evaluation failure mencakup kegagalan dalam melaksanakan fungsi dan peran perawat sebagai advokat. Saat pasien masuk dan dirawat hingga pasien pulang, perawat memiliki peran sebagai seorang advokat. Perawat bertanggung jawab untuk mengevaluasi perawatan yang diberikan kepada pasien.Pelanggaran Kewajiban (Breach of Duty)

Pelanggaran kewajiban merupakan kegagalan untuk bertindak secara konsisten sesuai standar perawatan (Urden, 2010). Menurut Morton & Fontaine (2009), kelalaian terbukti benar atau salah dengan membandingkan perilaku perawat dengan standar perawatan. Pada umumnya, kelalaian dapat berupa kelalaian biasa atau kelalaian berat. Kelalaian biasa menunjukkan kecerobohan profesional, sedangkan kelalaian berat menunjukkan bahwa perawat tersebut secara sengaja dan sadar mengabaikan resiko bahaya yang telah diketahui pasien.Penyebab (Cause)Menurut Morton & Fontaine (2012), hukum malpraktik juga mencantumkan keharusan adanya hubungan kausal antara perilaku perawat perawatan kritis dan cedera yang terjadi pada pasien. Cedera yang diderita pasien tersebut semestinya harus dapat dicegah.Cedera (Damage)Elemen keempat dalam kelalaian adalah cedera. Cedera adalah luka atau sesuatu yang membahayakan yang didapatkan pasien kritis saat menjalani perawatan dan biasannya cedera yang didapatkan ini, dihitung sebagai kerugian material. Pasien harus membuktikan bahwa tindakan yang dilakukan oleh perawat tidak sesuai dengan standar perawatan sehingga menimbulkan luka atau bahaya pada pasien. Oleh karena itu, pasien berhak menerima kompensasi yang sesuai.Standar Praktek Keperawatan Akut dan Kritis

Adapun standar praktik keperawatan akut dan kritis menurut ANA (2004), yaitu :a. Pengkajian

b. Diagnosa

c. Identifikasi Hasil

d. Perencanaan

e. Implementasi

f. EvaluasiMalpraktek

Menurut Guwandi (2004) malpraktik mempunyai arti lebih luas dibandingkan dengan kelalaian, karena dalam melpraktik selain tindakan yang termasuk dalam kelalaian juga ada tindakan-tindakan yang termasuk dalam kategori kesengajaan dan melanggar undang-undang. Malpraktik yang dilakukan dengan sengaja merupakan bentuk malpraktik murni yang termasuk dalam criminal malpractice.

Guwandi (2004) juga mengemukakan perbedaan antara malpraktik dan kelalaian dapat dilihat dari motif atau tujuan dilakukannya perbuatan tersebut, yaitu :

a. Pada malpraktik (dalam arti sempit) tindakan yang dilakukannya secara sadar, dengan tujuan yang sudah mengarah kepada akibat yang ditimbulkan atau petindak tidak peduli kepada akibat dari tindakannya yang telah diketahuinya melanggar undang-undang.

b. Pada kelalaian - petindak tidak menduga terhadap timbulnya akibat dari tindakannya. Akibat yang terjadi adalah diluar kehendak dari petindak dan tidak ada motif dari petindak untuk menimbulkan akibat tersebut.Secara garis besar, tenaga kesehatan yang melakukan malpraktik medik dapat didakwakan pasal-pasal tertentu dalam KUH Pidana yang relevan dengan unsur tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian tindakan malpraktik tenaga kesehatan dapat dikenakan selain sanksi adminstratif seperti pencabutan izin dan sanksi perdata, dapat pula dikenakan sanksi pidana.Namun, ketika perawat digugat untuk suatu kelalaian dikarenakan dianggap mencederai pasien pada saat melaksanakan tugasnya, penggugat/pasien tidak bisa dengan serta merta meminta ganti rugi terkait injury tersebut terkecuali jika perawat memang mengakui bahwa ia melakukan malpraktik yang menyebabkan pasien cedera.Menurut Ashley (2003), elemen-elemen dari kelalaian harus dibuktikan oleh penggugat/pasien. Dengan kata lain, penggugat memiliki kewajiban untuk membuktikan bahawa pernyataannya adalah benar. Adapun elemen-elemen yang harus dibuktikan oleh penggugat/pasien yaitu :1. Penggugat harus menunjukkan bahwa perawat memiliki kewajiban terhadap penggugat

2. Jika penggugat mampu menunjukkan kewajiban dari perawat tersebut, penggugat harus mampu menggambarkan standar perawatan

3. Jika penggugat mampu menggambarkan standar perawatan, penggugat harus mampu menunjukkan bahwa terjadi pelanggaran dari standar perawatan tersebut

4. Meskipun pelanggaran mampu ditunjukkanm penggugat harus mampu membuktikan bahwa pelanggaran ini menyebabkan cedera pada penggugat

5. Ketika penggugat membuktikan bahwa pelanggaran menyebabkan cedera, penggugat harus mampu membuktikan bahwa timbul berbagai macam kerugian dikarenakan pelanggaran dari kewajiban tersebut.Jika pengugat tidak mampu membuktikan setiap elemen satu persatu, maka ini akan menjadi hal yang sulit bagi penggugat untuk membuktikan kebenaran kasusnya.Informed Consent (Persetujuan Tindakan)

Informed consent merupakan suatu persetujuan tindakan medis terhadap suatu hal yang dapat dilakukan pada dirinya. Informed consent dinyatakan valid jika memenuhi tiga elemen yaitu : pasien harus kompeten atau sadar untuk menyetujui, pasien harus diberikan informasi yang adekuat sehingga mampu mengambil keputusan, dan pasien pada saat pengambilan keputusan harus bebas dari ancaman atau paksaan (Khan, Haneef, 2010).

Menurut Kepmenkes Nomor 290 Tahun 2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran, pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami penyakit menyal sehingga mampu membuat keputusan secara bebas.

Namun, pada beberapa keadaan, persetujuan tindakan tersebut tidak diperlukan. Sebagai contoh keadaan darurat yang tidak membutuhkan persetujuan tindakan dan pasien dapat melepaskan haknya untuk memberikan persetujuan tindakan dengan menyatakan ia tidak menginginkan informasi mengenai rencana terapi atau prosedur (Morton, 2009).

Menurut Iwanowsky (2007), pengkajian dari kompetensi pasien untuk memberikan informed consent merupakan isu yang terpisah. Sebuah hasil survei yang cukup unik dilakukan pada Swedish Acute Coronary Trialist mengenai pendapat tentang kompetensi pasien gawat darurat, bahwa sebanyak 86% dari mereka berpikir bahwa pasien SKA tidak akan mampu menerima informasi dengan baik terkait penjelasan tentang informed consent itu sendiri. Namun, 68% dari mereka berpikir bahwa jumlah informasi yang biasanya mereka berikan kepada pasien sudah cukup banyak. Hasil ini sepertinya menunjukkan apa yang banyak dipikirkan dan dirasakan oleh physicians lainnya diluaran sana khususnya dalam memberikan informed consent : seperti halnya pasien yang berkurang kompetensinya, bahkan yang lebih parah lagi kebanyakan dari mereka tidak membacakan lembar informed consent ini. Jadi poin yang terpenting dari hasil penelitian ini adalah bahwa defisit dari kompetensi seorang pasien tidak mudah untuk dideteksi dengan pemeriksaan medis rutin.

Biasanya, memperoleh persetujuan tindakan dari pasien atau keluarga adalah tanggung jawab dokter, namun perawat sering diminta untuk menyaksikan penandatanganan formulir persetujuan tersebut. Pada kasus ini perawat bersaksi bahwa tanda tangan pada formulir persetujuan tersebut adalah tanda tangan pasien atau keluarga. ketika perawat menyaksikan seluruh penjelasan dokter mengenai sifat terapi yang direncanakan, resiko, manfaat, dan kemungkin akibat perawat dapat memberikan catatan pada formulir persetujuan tersebut atau pada catatan perawat yang menyebutkan prosedur disaksikan (Morton, 2009).Wrongful Death

Menurut Urden (2010), wrongful death merupakan kematian pasien yang disebabkan oleh kelalaian dari petugas kesehatan profesional ataupun dari organisasi rumah sakit tersebut.Contoh Kasus :Tn. B, 67 tahun, datang ke rumah sakit dengan COPD stadium akhir, hipoksemia, dan retensi karbondioksida dan memakai bantuan oksigen menggunakan nasal kanul. Keadaan Umum Tn.B sudah sangat buruk. Perawat M datang dan kemudian langsung melepaskan oksigen pasien dan mulai memindahkan pasien ke ruangan sebelah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari ruangannya yang sekarang. Keluarga meminta agar oksigen tetap dipasang, tapi Perawat M mengatakan bahwa ruangannya sangat dekat. Setelah pasien dipindahkan ke bed di ruangan yang baru tersebut, pasien didapati berhenti bernapas.

Dari kasus diatas menunjukkan kelalaian perawat karena melakukan pemindahan pasien tanpa memasang oksigen dimana perawat tersebut tampak mengabaikan keadaan umum pasien dan hal yang sangat mendasar dari kebutuhan dasar manusia yaitu oksigenasi.

Oleh karena itu, untuk menghindari liabilitas wrongful death, penting sekali bagi perawat untuk memperhatikan keadaaan akut dan kritis dari pasien, mengenali tanda dan gejala dari komplikasi ataupun sesuatu yang membahayakan pasien, dan kewenangan untuk melindungi pasien (Urden, 2010).Liabilitas Pengganti

Menurut Morton & Fontaine (2009), pada beberapa kasus seseorang atau lembaga dapat dianggap bertanggung jawab terhadap tuduhan orang lain atau lembaga lain. Hal ini disebut sebagai liabilitas pengganti. Dibawah ini merupakan berbagai tipe liabilitas :

1. Respondeat SuperiorDoktrin ini merupakan teori legal utama yang menyatakan bahwa rumah sakit bertanggung jawab terhadap kelalaiannya, hal ini berdasarkan filosofi dikarenakan rumah sakit biasanya mendapatkan keuntungan dari pasien yang mencari perawatan, apabila terjadi kelalaian rumah sakit harus membayar beberapa kerugian yang ditimbulkan oleh pegawai tersebut.

2. Liabilitas Perusahaan

Liabilitas perusahaan berlaku pada saat rumah sakit dianggap bertanggung jawab terhadap tindakan yang tidak semestinya. Sebagai contoh, apabila ditemukan sebuah unit sangat tidak memadai keadaan stafnya sehingga menimbulkan pasien cedera, rumah sakit dianggap bertanggung jawab. Liabilitas perusahaan dapat juga terjadi pada situasi yang mengambang, seorang perawat yang bekerja di tatanan perawatan kritis harus memiliki kompetensi untuk melakukan penilaian segera dan bertindak pada keputusan tersebut. Apabila ada seorang perawat yang tidak mempunyai pengetahuan dan pengalaman di ruang perawatan kritis dengan baik, maka biasanya akan dilakukan rotasi.3. Kelalaian Pengawasa

Kelalaian pengawasan diklaim saat seorang penyelia gagal mengawasi bawahannya. Sebagai contoh, jika ada seorang perawat yang baru di rotasi ke ruang perawatan kritis dan oleh kepala ruangan diperintah untuk melakukan tindakan keperawatan dan pada akhirnya menimbulkan cedera pada pasien. Maka yang bertanggung jawab disini adalah kepala ruangan tersebut karena kelalaian pengawasan.

4. Doktrin Nahkoda

Pada suatu waktu dokter dianggap sebagai nahkoda. Jadi perawat cenderung mengikuti instruksi dari dokter. Namun, konsep ini telah diganti dengan konsep legal yang disbut aturan liability personal, yaitu dilandasi dengan pendidikan, pengalaman, dan latihan diharapkan perawat dapat mengambil keputusan yang baik. Jadi, ketika mereka tidak yakin dengan kebenaran instruksi dokter, perawat dapat melakukan klarifikasi pada dokter tersebut.C. Isu Yang Melibatkan Tindakan Bantuan Hidup

Hak untuk Menolak Perawatan Medis

Menurut Urden (2010), hak untuk menyetujui dan informed consent didalamnya mencakup penolakan treatement. Pada banyak kasus, keputusan seseorang yang dianggap kompetern untuk menolak perawatan sekalipun perawatan ini ditujukan untuk penyelamatan jiwa, namun hal ini tetap dihargai. Hak untuk menolak perawatan tidak diterima pada beberapa situasi, mencakup di dalamnya adalah :

1. Perawatan berhubungan dengan penyakit menular yang dapat mengancam kesehatan publik2. Penolakan untuk melanggar standar etik

3. Treatement harus diberikan, untuk mencegah pasien bunuh diri dan mempertahankan kehidupan.Pada saat pasien menolak suatu perawatan, masalah etik, legal, dan praktik menjadi meningkat. Oleh karena itu, rumah sakit harus memiliki kebijakan spesifik terkait permasalahan tersebut.

Penahanan atau Pengakhiran Terapi (Withholding and Withdrawing Treatement)

Seperti penjelasan sebelumnya, telah disampaikan bahwa orang dewasa memiliki hak untuk menolak perawatan, meskipun tujuan dari perawatan tersebut untuk mempertahankan kehidupan. Namun, hal ini akan menjadi masalah jika pasien tersebut kehilangan kompetensi/kemampuan untuk mengambil keputusan yang bisa disebabkan karena semakin memburuknya keadaan pasien.

Namun, dewasa ini rekomendasi penghentian terapi dapat diberikan oleh petugas kesehatan pada kasus-kasus tertentu, yang menjadi permasalahan adalah ketika keluarga tidak menyetujui dan tetap ingin melanjutkan terapi. Pemberi perawatan kesehatan juga tidak mempunyai jalan legal untuk melawan keluarga yang menolak mencabut bantuan hidup kecuali sebelumnya pasien sudah meninggalkan petunjuk tertulis pada saat pasien masih kompeten (Morton & Fontaine, 2009).Advance Directives : Living Will and Power of Attorney

Menurut (Richard, 2011) advances directive merupakan instruksi spesifik yang dipersiapkan pada penyakit serius yang sudah lanjut. Dimaksudkan untuk menuntun pelayan kesehatan berdasarkan keinginan pasien jika suatu saat pasien tidak kompeten/mampu lagi untuk menyatakan pilihan atau mengambil keputusan terkait perawatan kesehatannya. Adapun keputusan tersebut seperti hal nya sebagai berikut :

1. Penggunaan cairan intravena dan pemberian nutrisi secara parenteral

2. Resusitasi kardiopulmonal

3. Penggunaan untuk upaya penyelamatan hidup ketika kemampuan pasien mengalami gangguan. Misal : kerusakan otak, demensia, ataupun stroke

4. Prosedur spesifik, contoh : transfusi darah

Advances directives diantaranya meliputi living will dan power of attorney. Menurut Morton (2012), living will merupakan bentuk arahan tertulis dari seorang pasien yang kompeten pada keluarga dan anggota tim perawatan kesehatan mengenai keinginan pasien apabila pasien tidak lagi dapat menyatakan keinginannya. Sedangkan Power of Attorney, merupakan dokumen legal dimana pasien menunjuk orang yang diberi tanggung jawab dan diberi kekuatan untuk membuat keputsan mengenai pelayanan kesehatan jika pasien sudah tidak dapat lagi membuat keputusan dan tidak dapat berkomunikasi lagi.

Perawat kritis harus mampu menjelaskan sebaik-baiknya kepada pasien dan keluarga terkait living will maupun power of attorney dan dalam hal ini perawat dapat berperan sebagai advokat klien.Instruksi Jangan Meresusitasi (DNR)

Menurut Morton & Fontaine (2009), angka keberhasilan RJP pada pasien rawat inap sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh lingkungan pasien dan faktor resusitatif. Akan tetapi, RJP tidak selalu tepat untuk dilakukan ke semua pasien, karena sifatnya yang invasif dan dapat bermakna sebagai suatu pelanggaran hak individu untuk meninggal secara bermartabat. Oleh karena itu, RJP bisa tidak diindikasikan pada pasien-pasien yang mengalami kasus ireversibel ,penyakit yang terminal, dan saat pasien tidak mendapat manfaat apapun dari tindakan ini,

Oleh karena itu, setiap rumah sakit perlu memiliki aturan yang jelas mengenai tindakan DNR tersebut. Menurut Urden (2011) , aturan mengenai DNR tersebut, harus diatur dalam suatu kebijakan tertulis yang mencakup hal-hal dibawah ini :

Perintah DNR harus terdokumentasi dengan baik oleh dokter yang bertanggung jawab

Perintah DNR harus dilengkapi dengan second opinion dari dokter yang lain

Kebijakan DNR harus ditinjau ulang secara berkala

Pasien yang masih memiliki kemampuan harus memberikan informed consent Pada pasien yang tidak memiliki kemampuan, dapat diwakilkan oleh keluarganyaKematian Otak Menurut Morton & Fontaine (2012), pasien yang mengalami kematian otak secara legal telah meninggal, dan tidak ada kewajiban legal untuk memberikan terapi pada pasien tersebut. Tidak diperlukan persetujuan hukum untuk menghentikan bantuan hidup pada seorang pasien yang mengalami kematian otak. Selanjutnya, meskipun lebih diharapkan mendapatkan izin keluarga untuk menghentikan terapi pada pasien yang mengalami kematian otak, namun tidak ada keharusan.

Di Indonesia sendiri kematian otak diatur dalam UU Kesehatan No 36 Tahun 2009 yang berbunyi Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi sistem jantung-sirkulasi dan sistem pernapasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila kematian batang otak telah dibuktikan.

Donasi Organ

Menurut Dewi (2008), hukum memandang transplantasi adalah suatu usaha yang baik dan mulia di dalam upaya menyehatkan dan menyejahterakan manusia, walaupun jika dilihat dari tindakannya adalah tindakan melawan hukum berupa penganiayaan.

Donasi organ di Indonesia diatur dalam UU Kesehatan No .36 Tahun 2009. Dalam UU ini dijelaskan bahwa tubuh yang telah mengalami mati batang otak dapat dilakukan tindakan pemanfaatan organ untuk kepentingan transplantasi organ. Tindakan transplantasi organ dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan.

Ketentuan UU ini juga diperkuat oleh PP No.18 Tahun 1981 tentang bedah mayat klinis, bedah mayat anatomis, dan transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia. Didalam PP tersebut dijelaskan bahwa untuk melakukan transplantasi organ sebelumnya harus ada informed consent, baik pendonor dan penerima telah diberitahukan resiko dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi, selain itu donasi organ dilakukan tidak dengan tujuan komersil serta tidak boleh menerima atau mengirim organ tubuh dari dan ke luar negeri.

KESIMPULAN

Dewasa ini kesadaran masyarakat mengenai hak.-haknya dalam pelayanan kesehatan dan tindakan legal semakin meningkat. hal ini berarti pengawasan kepada perawat selaku pemberi pelayanan kesehatan akan semakin meningkat.

Banyak sekali isu-isu yang terkait dengan aspek legal khususnya dalam keperawatan kritis dan gawat darurat. Isu-isu tersebut terdiri dari isu yang berkaitan dengan kelalaian perawat maupun isu yang terkait bantuan hidup pada pasien.

Oleh karena itu, penting sekali bagi seorang perawat kritis untuk selalu menjalankan peran serta fungsinya dan melakukan tindakan sesuai dengan standar keperawatan dan lebih memahami ataupun meningkatkan pengetahuannya terkait isu yang berkaitan dengan aspek legal khususnya pada ranah keperawatan kritis maupun keperawatan gawat darurat sehingga perawat kritis dapat menghindari timbulnya permasalahan hukum yang rentan sekali terjadi di dunia kesehatan ini.DAFTAR PUSTAKAAke, J (2003). Malpraktek dalam Keperawatan. Jakarta : EGC

Ashley, Ruth C. (2003). Understanding Negligence. The Journal for high acuty, progressive, and critical care nursing Vol.23 pp : 72-73Guwandi. (2004). Hukum Medik (Medical Law). Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas IndonesiaHendrik. (2011). Etika & Hukum Kesehatan. Jakarta : EGCHyde, Elizabeth, Maria. (2006). The Knowledge of Critical Care Nurses Regarding Legal Liabilty Issues. Disertation. Department of Nursing Science University of Pretoria diakses melalui http://upetd.up.ac.za/thesis/available/etd-10152007 123802/unrestricted/dissertation.pdf pada tanggal 16 Mei 2013.

Iwanowski, Piotr S. (2007). Informed Consent Procedure For Clinical Trials in Emergency Settings : The Polish Perspective. Science English Ethics Vol 13 pp : 333-336

Keputusan Menteri Kesehatan No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran

Khan,M.Kaleem, Hanif, Shaukat A. (2010). Self Autonomy and Informed Consent In Clinical Setup. Indian Journal of Medical Science Vol 64 No. 8

Morton, Fontaine. (2009). Critical Care Nursing : A Holistic Approach. LippincotWilliams & Wilkins.

Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 1981 tentang bedah mayat klinis, bedah mayat anatomis, dan transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia

Potter & Perry. (2005). Fundamental Keperawatan : Konsep, proses, dan praktik Ed.4. Jakarta : EGCRichard. (2011). Advances Directives (Living wills). Diakses dari http://www.patient.co.uk/doctor/advances-directives-living-wills pada tanggal 15 Mei 2013.

Undang-Undang Kesehatan No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Urden et al. (2010). Critical Care Nursing : Diagnosis and Management. St.Louis : Mosby EMBED Unknown