28
Geopolitik dan Strategi Keamanan: Pola Baru Pertahanan dan Keamanan Irak Pasca Invasi Militer Amerika Serikat di Irak Kelompok 5 Ahmad Rizky Sadali – 0706283052 Ari Setiyanto - 0706283071 Pradipa P. Rasidi - 0806468612 Siska Aprilia P - 0806463441 Ditujukan kepada: M. Salabi, S. Sos sebagai Makalah Pengantar Presentasi dalam Mata Kuliah Geopolitik dan Strategi Keamanan

Makalah Geopolitik Irak

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Makalah Geopolitik Irak

Geopolitik dan Strategi Keamanan: Pola Baru Pertahanan dan

Keamanan Irak Pasca Invasi Militer Amerika Serikat di Irak

Kelompok 5

Ahmad Rizky Sadali – 0706283052

Ari Setiyanto - 0706283071

Pradipa P. Rasidi - 0806468612

Siska Aprilia P - 0806463441

Ditujukan kepada: M. Salabi, S. Sos sebagai Makalah Pengantar Presentasi dalam Mata

Kuliah Geopolitik dan Strategi Keamanan

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS INDONESIA

Depok, April 2010

Page 2: Makalah Geopolitik Irak

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Pada tanggal 20 Maret 2003, Amerika Serikat dan Inggris melakukan penyerangan

militer terhadap Irak untuk menjatuhkan rezim Saddam Hussein. Secara kronologis,

penyerangan militer di Irak yang kedua ini, atau seringkali disebut sebagai The Iraq War, The

Second Gulf War atau The Occupation of Iraq, berada pada serangkaian peristiwa 9/11 di New

York dan Washington, penyerangan terhadap rezim Taliban di Afghanistan, dan mulainya

“perang global atas terrorisme” (global war on terror). Berdasarkan pernyataan dari George

Bush sendiri, dan kemudian Tony Blair, Perdana Mentri Inggris, invasi ke Irak bertujuan “untuk

melucuti senjata pemusnah massal, mengakhiri dukungan Saddam Hussein atas terorisme, dan

untuk membebaskan warga Irak”.1 Meskipun pada kenyataannya hanya ada sedikit bukti dari

adanya dukungan Saddam dengan Al-Qaeda2, sementara menurut dokumen CIA tidak ditemukan

adanya senjata pemusnah massal.3 Di antara yang diketahui, Saddam adalah seorang Ba’ath,

yang mendukung pan-Arabisme, sekularisme, dan sosialisme. Hal ini bertentangan dengan

pergerakan Islam militan Osama bin Laden.

Penyerangan atas Irak selanjutnya berlanjut dengan penempatan tentara A.S di Irak dan

penangkapan Presiden Saddam Hussein (13 Desember tahun 2003), yang pada akhirnya diadili

dalam pengadilan di Irak dan dieksekusi mati oleh pemerintahan yang baru (30 Desember tahun

2006). Meskipun Saddam Hussein telah ditangkap, namun Amerika Serikat tetap menempatkan

tentaranya di Irak. Alasan pemerintahan A.S atas okupasi adalah untuk menjaga ketertiban

selama terjadi vakum dalam pemerintahan, sekaligus mengawasi proses pembangunan yang

dilakukan di Iraq. Memang, setelah jatuhnya rezim Saddam Hussein (sekitar tahun 2004), mulai

terjadi anarki akibat adanya vakum dari pemerintahan yang otoriter yang tiba-tiba jatuh dari

1 The White House. (2003). President Discusses Beginning of Operation Iraqi Freedom. Washington DC: The White House. http://georgewbush-whitehouse.archives.gov/news/releases/2003/03/20030322.html, diakses pada 12 April 2010.2 Abdullah, T.A.J. (2006). Dictatorship, Imperialism & Chaos: Iraq since 1989. London: Zed Books, hal. viii3 CIA’s final report: No WMD found in Iraq - Conflict in Iraq (25 April 2005). MSNBC.com. http://www.msnbc.msn.com/id/7634313/, diakses pada 12 April 2010.

| H a l a m a n 1

Page 3: Makalah Geopolitik Irak

kekuasaan.4 Tentara AS sendiri mengalami kesulitan untuk mengatur situasi yang menjadi

semakin kacau akibat penyerangan itu sendiri, sehingga pada akhirnya tercipta pemberontakan-

pemberontakan akibat adanya kekecewaan. Kekecewaan ini contohnya adalah dari kalangan

Sunni Arab, yang melihat bahwa dijatuhkannya pemerintahan Ba’ath dan cara dipilihnya

pemerintahan baru Iraq (Governing Council) adalah diskriminasi terhadap komunitas mereka.5

Selain itu, beberapa faksi lain juga merasa curiga terhadap niat jangka panjang dari pihak A.S di

Irak.6

Terdapat banyak kritik terhadap perang di Irak, baik secara internasional maupun pihak

dari dalam negeri A.S. sendiri yang pada akhirnya menimbulkan berbagai asumsi tentang tujuan

geopolitik A.S yang sebenarnya. Kritik yang sering dikemukakan antara lain adalah banyaknya

korban jiwa, baik dari pihak A.S sendiri maupun masyarakat sipil di Irak dan ketidakstabilan di

Timur Tengah karena penempatan tentara A.S dan kebijakan publik yang dibuat di Irak

menimbulkan friksi antara sekte-sekte yang ada. Diakibatkan karena kerugian-kerugian ini,

mulai banyak bermunculan asumsi seperti bahwa adanya imperialisme dari pihak Amerika dan

Inggris, dimana hal ini memang didukung oleh fakta bahwa memang ada hal yang sedemikian

pada masa Perang Dunia I, II dan Perang Dingin. Hal yang sering dikemukakan adalah bahwa

A.S. mengincar minyak di Irak dan di kawasan Teluk Persia khususnya. Berbagai asumsi ini

perlu dilihat secara lebih lanjut untuk memahami konteks geopolitik penyerangan A.S di Irak.

Selain itu pendudukan tentara A.S di Irak harus dilihat dampaknya secara empiris untuk

mengetahui bagaimana geopolitik di Irak sebaiknya ditangani.

I.2. Rumusan Permasalahan

Melihat dari latar belakang yang telah dijabarkan sebelumnya, dalam makalah ini

kemudian timbul dua pokok permasalahan yang ingin diangkat:

1. Secara geopolitik, mengapa terjadi invasi dan penempatan pasukan Amerika Serikat

beserta koalisinya di Irak?

2. Bagaimana invasi ke Irak membentuk pola baru dalam pertahanan dan keamanan Irak,

terkait dengan persoalan gerakan insurgensi Irak?

4 Abdullah T.A.J., op. cit., hal. 305 Ibid.6 Ibid.

| H a l a m a n 2

Page 4: Makalah Geopolitik Irak

I.3. Kerangka Konseptual

Dalam membahas pergerakan awal Amerika Serikat dan koalisinya dalam invasi Irak,

serta pembentukan pola baru isu pertahanan dan kemanan Irak pasca-invasi militer tahun 2003,

diperlukan beberapa teori yang mampu menjelaskan persoalan tersebut.

I.3.1. Pendekatan Realism

Salah satu pendekatan geopolitik dasar yang dapat digunakan untuk melihat masalah

dalam makalah ini—dan juga dalam melihat perpolitikan dunia—adalah realism, di antara dua

pendekatan lainnya yaitu liberal institutionalism dan globalization.7 Pendekatan realism telah

banyak mempengaruhi pemikiran geopolitik tradisional (traditional geopolitics), sedangkan

pendekatan globalization banyak mempengaruhi pemikiran geopolitik kritis (critical

geopolitics).

Pendekatan ini, yang juga sering disebut sebagai model Westphalian, adalah pendekatan

yang paling sering digunakan dalam literatur hubungan internasional dan geopolitik. Realism

berasumsi bahwa dunia pada dasarnya tidak menyenangkan dan diisi oleh orang-orang yang

mempedulikan dirinya sendiri. Maka orang-orang hanya akan bergerak untuk memperbaiki

dirinya masing-masing, dan bukan kehidupan secara kolektif. Asumsi yang “mementingkan diri

sendiri” ini dipratekkan terhadap negara (nation-state), dimana negara dipandang sebagai

kekuatan politik yang paling utama di dunia. Analisis dari pendekatan realism melihat bahwa

pada akhirnya negara akan menggunakan kekuatan militer untuk mencapai apa yang

diinginkannya.

I.3.2. Popular Geopolitics (Geopolitik Populer)

Konsep geopolitik populer melihat kaitan antara geopolitik dengan media massa, baik

dari reportase di televisi dan koran-koran maupun dari hiburan dan budaya populer seperti film.8

Setiap orang memiliki media signature-nya masing-masing, yaitu persepsi yang dibentuk dari

akses dan interaksi dengan koran, radio, televisi, dan internet. Sejak abad ke-20 distribusi

informasi menjadi hal yang semakin wajar dan meluas, berbagai peristiwa kemudian dilihat

melalui bingkai yang dihadirkan oleh media.

7 Klaus Dodds. (1999). Geopolitics in a Changing World. Prentice Hall, hal. 318 Klaus Dodds. (2007). Geopolitics: A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press, hal. 147.

| H a l a m a n 3

Page 5: Makalah Geopolitik Irak

Geopolitik populer melihat bagaimana persepsi setiap orang dibentuk mengenai

peristiwa-peristiwa yang diberikan melalui bingkai dari media. Meminjam istilah dari Edward

Said dalam bukunya Orientalism, geopolitik populer mengkaji pembentukan suatu imagined

geographies (geografi yang dibayangkan) akan peristiwa; yakni bagaimana suatu peristiwa yang

sama dapat dipandang secara berbeda. Pada kasus pengeboman Lebanon oleh Israel, misalnya,

seseorang bisa memandang hal itu sebagai suatu justifikasi yang wajar karena framing dari

media yang ia tahu menunjukkan bahwa insurgensi Lebanon yang mulai menyerang lebih dulu.

Sebagai suatu “tindakan terorisme”, sikap Israel untuk merespon serangan insurgensi Lebanon

dengan serangan balik dianggap sebagai hal yang wajar. Namun seorang yang lain—dari framing

yang berbeda—dapat melihat tindakan itu tidak adil karena kerusakan besar yang dihasilkan

institusi militer Israel pada populasi sipil.9

I.3.3. Perencanaan Strategis Model SWOT

Meminjam formulasi bijak dari Sun Tzu, “bila mengetahui lawanmu dan dirimu sendiri,

kau tidak akan kalah dalam seratus pertempuran,” perencanaan strategi yang baik tidak bisa

melepaskan diri dari pengukuran faktor kelebihan dna kekurangan dari pihak-pihak yang

bertempur. Menurut model SWOT, ada dua bidang yang melibatkan perencanaan strategi yang

baik: 1) pembuatan gambaran jelas mengenai arah yang dituju dan apa yang menjadi tujuan

adanya organisasi; 2) menambatkan organisasi pada dasar realitas lingkungan kerja.10 Strategi

harus merinci tujuan kunci untuk mengarahkan indikator-indikator yang dapat dinilai.

Model SWOT mempertimbangkan perencanaan strategis berdasarkan empat hal: strength

(kekuatan), weakness (kelemahan), opportunities (peluang), dan threat (ancaman).

BAB II9 Ibid., hal. 149.10 Peter Schroeder (2003). Strategi Politik, terj. Denise Joyce Matindas. Jakarta: Friedrich-Naumann-Stiftung, hal. 20.

| H a l a m a n 4

Page 6: Makalah Geopolitik Irak

ISI

II.1. Pembahasan

II.1.1. Kronologi Penyerangan

Perang ini dimulai ketika Amerika Serikat bersama koalisinya, Inggris, Australia, dan

Polandia, menyerang Baghdad pada 20 Maret 2003. Justifikasi penyerangan ini adalah klaim

akan adanya senjata pemusnah massal, adanya hubungan rezim Saddam dengan terorisme (Al-

Qaeda), dan pelanggaran rezim Saddam atas hak-hak asasi manusia. Latar penyerangan ini

barangkali masih bisa dilacak dari Perang Teluk Pertama—yang sesungguhnya tidak pernah

benar-benar berakhir karena tidak adanya perjanjian atau gencatan senjata. Pada Perang Teluk

tahun 1990-1991 yang dipicu oleh invasi Irak ke Kuwait, Irak berada dalam pihaknya sendiri

sedangkan Amerika Serikat bekerjasama dengan koalisi beberapa negara seperti Inggris, Kuwait,

Perancis, dan Arab Saudi dalam perebutan ladang minyak yang berada dalam kawasan Kuwait.

Hasil dari Perang Teluk pertama ini membuat Irak menghancurkan beberapa senjata yang ia

pakai selama perang, seperti rudal balistik Scud. Irak juga diperingati untuk menghancurkan

senjata pemusnah massal yang ia miliki, walaupun tidak benar-benar dilakukan oleh rezim

Saddam. Pihak PBB juga menggelar ‘No Fly Zones’ di Irak Utara dan Selatan untuk dijadikan

sebagai perlindungan terhadap kelompok minoritas Irak yang merupakan oposisi dari

pemerintahan Saddam Hussein. Namun, pasca-perang, masih terdapat gempuran militer dari

kedua belah pihak. Baik pihak koalisi maupun Irak menyerang satu sama-lain; Irak melakukan

serangan udara pada koalisi sementara koalisi membombardir instalasi pertahanan dan radar Irak.

Pada tahun 1998, pengawas senjata dari PPB yang ditugaskan untuk mengawasi

persenjataan Irak pasca-Perang Teluk, akhirnya meninggalkan Irak. Persistensi Irak yang

menahan pihak PBB untuk melakukan pengecekan pada persenjataan militernya memaksa

Amerika Serikat dan Inggris untuk menekan Irak lebih keras, dan akhirnya Amerika Serikat

meluncurkan operasi yang disebut dengan operasi Desert Fox. Operasi ini bertujuan untuk

“melemahkan” persenjataan Irak dengan melakukan pengeboman pada fasilitas-fasilitas yang

dicurigai sebagai tempat penyimpanan atau produksi senjata pemusnah massal.

Pada awal 2003, pemerintah Amerika Serikat dan Inggris mengklaim bahea Irak tidak

dapat diajak bekerja sama dalam pemeriksaan senjata dari pihak PBB. Sehingga pada Senin, 17

Maret 2003, Presiden Bush mengeluarkan ultimatum bagi Saddam Hussein dan putra-putranya | H a l a m a n 5

Page 7: Makalah Geopolitik Irak

untuk menyerahkan diri dalam waktu 48 jam, bila tidak maka Amerika mengancam untuk

melakukan tindakan secara militer. Menghadapi ultimatum itu Saddam menolak menyerahkan

diri, sehingga menyebabkan Perang Teluk II dimulai.

II.1.2. Uraian Singkat

Amerika Serikat kembali bertempur dengan Irak. Pada awal-awal perang, pertempuran

banyak diwarnai dengan tembakan darat dan udara. Koalisi Amerika Serikat pada awal perang

bertujuan utama untuk melucuti senjata Irak dan menggulingkan kekuasaan Saddam Hussein

serta kelompok partai Ba’ath-nya. Kekuatan militer Irak dilengkapi dengan sayap paramiliter

pribadi Saddam, Fedayeen Saddam, dan Al-Quds. Sementara, di sisi lain, kelompok militan

Islam Ansar Al-Islam (pendukung Islam) dan Komala Islami Kurdistan (Islamic Society of

Kurdistan) justru bekerjasama dengan kelompok koalisi Amerika Serikat.11 Tanggal 23 Maret

2003, pasukan koalisi Amerika Serikat berhasil menguasai kawasan Irak barat, sedangkan pada

saat yang sama pasukan Irak berhasil menyergap Pemeliharaan Perusahaan 507 Angkatan Darat

AS. Hingga kemudian tentara koalisi berhasil memasuki daerah pusat kota Baghdad, sementara

itu Irak juga semakin merangsek masuk ke Kuwait dan mengirimkan rudal dan membuat

kerusakan di Kuwait pada tanggal 29 Maret di tahun yang sama. Pada hari yang sama

pemboman bunuh diri pertama kali terhadap pasukan koalisi terjadi, menewaskan empat tentara

Amerika di Najaf.12

Presiden Bush mendeklarasikan berakhirnya invasi operasional ke Irak tanggal 1 Mei

2003, tapi penyerangan-penyerangan antara Irak dan pasukan koalisi terus berlanjut. Meskipun

tanggal 23 Mei 2003 institusi militer dan Kementrian Pertahanan Irak dibubarkan untuk

kemudian dibangun kembali oleh pasukan koalisi, bukan berarti Irak sudah memasuki masa

damai; justru saat itu gerakan-gerakan militer ireguler dari pasukan insurgensi mencuat. Irak

hingga kini belum benar-benar mencapai titik aman, meskipun pada tanggal 13 Desember 2004

Saddam Hussein berhasil ditangkap.13

II.2. Analisa Kasus

11 Roger A. Lee. (2010). The History Guy: The Third Persian Gulf War (The Iraq War). http://www.historyguy.com/GulfWar.html, diakses pada tanggal 11 April 2010.12 Ibid.13 Ibid.

| H a l a m a n 6

Page 8: Makalah Geopolitik Irak

II.2.1. Mengapa Tentara Amerika Serikat Menduduki Irak?

Alasan resmi yang diutarakan oleh George Bush sebagai landasan untuk menginvasi Irak

adalah atas dasar senjata pemusnah massal, adanya keterkaitan Saddam Hussein dengan jaringan

terorisme, dan alasan demokratisasi. Namun orang-orang kemudian memberikan jawaban-

jawaban alternatif penyebab sesungguhnya mengapa Amerika Serikat ingin menginvasi Irak.

Beberapa di antara yang populer adalah alasan minyak dan imperialisme koalisi Amerika Serikat

atas Irak. Namun sebelum berlanjut ke hal tersebut, ada baiknya melihat bagaimana invasi

akhirnya tetap dilaksanakan walaupun menuai pro dan kontra.

II.2.2. Popularitas Pasca Peristiwa 11 September

Peristiwa 11 September pada tahun 2001 sedikit-banyak menanam persepsi pada

masyarakat awam mengenai isu yang diangkat betul oleh Amerika Serikat sebagai landasan

invasi Irak—meskipun di kemudian hari tidak terbukti. Survei nasional Pew Research Center

yang digelar di Amerika Serikat pada tahun 2003 tidak lama setelah invasi dilaksanakan,

menunjukkan 72% suara menganggap keputusan untuk melakukan tindakan militer terhadap Irak

sebagai keputusan yang tepat, sementara 22% lainnya menganggap itu tidak tepat.14 Meskipun

pada tahap-tahap selanjutnya opini ini berubah drastis dengan hanya 47% suara yang

menganggap invasi ini sebagai tindakan yang tepat pada tahun 2005, tapi kiranya polling ini

menggambarkan bagaimana Amerika Serikat menerapkan geopolitik populer yang efektif untuk

memengaruhi opini publik.

Penabrakan pesawat ke World Trade Center pada 11 September membentuk persepsi

awam masyarakat Amerika Serikat atas komunitas Islam dan Timur Tengah sebagai wujud

masyarakat yang tribal dan kejam, dengan perwujudannya melalui aksi-aksi teror yang dianggap

diarahkan ke masyarakat ”Barat”. Persepsi ini, meminjam istilah Edward Said, membentuk suatu

imagined geographies atas komunitas Islam dan Timur Tengah sebagai wujud radikalisme

agama yang mengancam kestabilan hak asasi manusia dan demokrasi. Geopolitik populer ini

tidak hanya terbentuk melalui media massa, namun juga bisa melalui dunia hiburan seperti film;

misalnya Collateral Damage (2002).15 Persepsi awam masyarakat yang terbentuk melalui media

pasca-11 September itu kemudian menanam persepsi bagaimana pentingnya gerakan-gerakan

14 Pew Research Center (2008). Public Attitudes Toward the War in Iraq: 2003-2008. http://pewresearch.org/pubs/770/iraq-war-five-year-anniversary, diakses pada 12 April 2010.15 Klaus Dodds, A Very Short Introduction, op. cit., hal. 145.

| H a l a m a n 7

Page 9: Makalah Geopolitik Irak

terorisme ini menjadi lawan yang penting bagi Amerika Serikat—tidak hanya pemerintahan

Bush, namun juga warga Amerika Serikat secara umum.

Pemerintahan Bush juga mempopulerkan berbagai istilah yang digunakan untuk merujuk

pada hal-hal tertentu yang terkait dengan perihal ini; terutama yang paling gencar dipromosikan

adalah jargon ”global war on terror”. Selain jargon populer tersebut, dalam membentuk persepsi

awam publik pada Irak, ada pula jargon seperti mother of all bombs, yang digunakan untuk

merujuk pada kecurigaan akan adanya senjata pemusnah massal Saddam, coalition of the willing,

yang merujuk pada negara-negara pendukung invasi Irak, dan regime change yang merupakan

eufemisme untuk ”menjatuhkan pemerintahan Saddam”.

II.2.3. Kepentingan Amerika Serikat

Carl von Clausewitz, ahli militer Prussia, pernah menulis, ”perang adalah suatu politik

dengan cara lain”. Dikobarkannya suatu perang, menurut Clausewitz, tidak lepas dari

kepentingan politik yang ada di dalamnya. Perang dalam wujud ini tidaklah menjadi tujuan

akhir, namun hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan politik yang lebih besar lagi. Bila ada

perang, ada tujuan politik lain di dalamnya. Penyebab mengapa Amerika Serikat—beserta

koalisinya—memutuskan untuk menginvasi Irak bisa dilihat dari beberapa aspek; dalam makalah

ini akan disorot dari beberapa aspek militer dan geopolitiknya saja.

Salah satu16 argumen adalah invasi militer ke Irak merupakan salah satu cara untuk

menunjukkan kekuatan militer dan politik Amerika Serikat melalui penumbangan rezim Saddam

Hussein. Mengaitkan hal ini dengan adanya anggapan hubungan rezim di Irak dengan jaringan

terorisme Al-Qaida, juga dengan melihat persepsi populer mengenai terorisme serta komunitas

Timur Tengah dan Islam, membuat argumen ini menjadi alasan yang kelihatan cukup valid.

Amerika Serikat, untuk pertama kalinya sejak Perang Saudara tahun 1826, diserang oleh

kekuatan dari luar ketika terjadi peristiwa 11 September. Pada Perang Dunia II sebelumnya

memang terjadi pengeboman Pearl Harbor, tapi—terlepas dari kerugian yang ditimbulkan—efek

serangan Pearl Harbor tidak secara simbolik signifikan, karena ia berada jauh dari pusat Amerika

Serikat. Peristiwa 11 September, secara efektif mengurangi deterrence (daya tahan) Amerika

Serikat sebagai negara yang memiliki kekuatan pertahanan yang besar. Atas dasar

16 Jan Hallensberg dan Hakan Karlsson (2005). Iraq War: European Perspective on Politics, Strategy, and Operations. London: Routledge, hal. 18.

| H a l a m a n 8

Page 10: Makalah Geopolitik Irak

mengembalikan deterrence yang ia miliki, Amerika Serikat harus menunjukannya dengan cara

lain. Penyerangan terhadap Afghanistan memang sudah dimulai pasca-11 September, namun

penyerangan negara yang diduga sebagai tempat persembunyian Osama bin Laden tersebut

kurang populer. Karena itu, Amerika Serikat membutuhkan Irak sebagai tempat manuvernya.

Sesungguhnya secara militer rezim Saddam saat itu tidak bisa dibilang kuat. Terbukti

pada saat invasi, kekuatan militer Saddam terpecah karena kurangnya perlengkapan dan

kemampuan militer Irak.17 Tapi Saddam tetap memiliki potensi untuk membuka peluang

ancaman bagi Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan sosok Saddam sebagai wujud yang cukup

populer dalam resistensi terhadap kekuatan ”Barat”, di antaranya Amerika Serikat. Pan-

Arabisme yang digalang Partai Ba’ath Saddam, serta sikapnya yang radikal dianggap dapat

menggerakkan masyarakat Arab. Sesaat sebelum invasi dimulai, misalnya, Saddam menggalang

600 orang imam untuk berkumpul di Kirkuk, menyuarakan semangat untuk melawan Amerika

Serikat. Penggalangan itu cukup berhasil membakar sentimen terhadap Amerika Serikat.18

Karena itu, alasan lain mengapa Amerika Serikat harus berada di Irak, adalah karena potensi

radikalitas Saddam yang bisa membawa perlawanan terhadap Amerika Serikat.

Seberapa penting kemudian faktor minyak menjadi pertimbangan invasi ini? Hallensberg

berargumen, minyak memang salah satu faktor penentu, namun bukan satu-satunya faktor

utama.19 Sementara Bush sendiri pada tahun 2005 mengklaim, “bila Zarqawi dan bin Laden

mengendalikan Irak, mereka akan membuat tempat pelatihan baru untuk serangan teroris di masa

depan. Mereka akan menguasai ladang minyak untuk membiayai kebutuhan mereka.”20 Pada

kaitannya dengan minyak, alasan demokratisasi yang dihembuskan oleh Bush barangkali masih

ada benarnya, meskipun tidak melulu hanya karena nilai luhur demokrasi. Diasumsikan, sebuah

pemerintahan yang demokratis akan lebih stabil dalam mengatur arus kendali minyak

dibandingkan pemerintahan otoriter yang tidak stabil seperti Saddam.21 Secara geopolitik,

keberadaan ladang minyak di Irak memang memiliki posisi penting karena peran strategis yang

17 Thomas G. Mahnken dan Thomas A. Keaney (2007). War in Iraq: Planning and Execution. New York: Routledge, hal. 24.18 Angel M. Rabasa, dkk. (2004). The Muslim World After 9/11. Santa Monica: RAND Corporation, hal. 125.19 Hallensberg dan Karlsson, op.cit., hal. 20.20 Bush’s Implicit Answer to Cindy Sheehan’s Question (9 April 2005). Media Beat. http://www.fair.org/index.php?page=2661, diakses pada 13 April 2010.21 Hallensberg dan Karlsson, op. cit., hal. 25.

| H a l a m a n 9

Page 11: Makalah Geopolitik Irak

dimiliki oleh minyak dalam kemiliteran modern—hampir seluruh mekanisme senjata, dari

penembak artileri hingga kapal induk, membutuhkan minyak sebagai enerji.

II.3. Pola Baru Pertahanan dan Keamanan Irak

Pasca-invasi, “Perang Irak” yang sesungguhnya baru dimulai. Secara garis besar, dapat

ditarik garis yang memisahkan dua kekuatan berlawanan pada perang ini: pemerintah Irak dan

gerakan-gerakan insurgensi. Dua kekuatan tersebut, baik pemerintah Irak maupun insurgensi,

tidak tersusun atas landasan yang homogen.

Di pihak pemerintah Irak, terdapat Pasukan Keamanan Irak—institusi militer yang

dibentuk setelah kemiliteran Irak sebelumnya dibubarkan oleh koalisi Amerika Serikat—,

pasukan koalisi Amerika Serikat, dan private military contractors (kontraktor militer swasta)

yang merupakan perusahan-perusahaan penyedia jasa pertahanan dan keamanan yang disewa

oleh pemerintah Irak. Sementara itu, di pihak insurgensi juga terdapat berbagai kelompok yang

memiliki motivasi berbeda-beda. Terdapat nasionalis Irak yang sebagian merupakan bekas

anggota partai Ba’ath Saddam, kelompok Sunni Salafiyah, kelompok militan Syiah, dan

kelompok-kelompok yang datang dari luar Irak seperti Al-Qaeda.22 Evan Kohlman, penemu situs

GlobalTerrorAlert.com dan konsultan insurgensi Irak pada Kementrian Pertahanan Amerika

Serikat, Kementerian Peradilan, FBI, dan CIA, beranggapan bahwa insurgensi di Irak pasca

runtuhnya rezim Saddam disebabkan karena adanya pertarungan fundamentalisme, yaitu antara

fundamentalisme Sunni, fundamentalisme Syiah, dan fundamentalisme A.S.23

II.3.1. Kelompok-kelompok Insurgensi Irak

Karena tersusun atas kepentingan yang heterogen, kelompok-kelompok insurgensi Irak

tidak bisa digeneralisasi sebagai satu kekuatan solid yang sama24; walaupun sebagian besar dari

mereka memang sama-sama menentang keberadaan pasukan koalisi Amerika Serikat di Irak.

22 Iraqi Insurgency Groups. GlobalSecurity.org. http://www.globalsecurity.org/military/ops/iraq_insurgency.htm, diakses pada 14 April 2010.23 The Iraq insurgency for beginners (2 Maret 2007). Salon.com. http://www.salon.com/news/feature/2007/03/02/insurgency, diakses pada 14 April 201024 Mahnken dan Keaney, op. cit., hal. 151.

| H a l a m a n 10

Page 12: Makalah Geopolitik Irak

Kohlman sendiri membagi kelompok Sunni menjadi tiga: nasionalis Sunni, Sunni moderat, dan

Sunni Salafiyah yang radikal. Namun secara garis besar, dapat ditarik empat golongan kelompok

insurgensi Irak.

Golongan pertama merupakan para nasionalis Irak. Sebagian dari mereka adalah bekas

anggota partai Ba’ath yang sudah dibubarkan, dan sebagian lainnya merupakan berbagai macam

kelompok Sunni dan Syiah yang tidak melandasi perlawanan mereka atas dasar agama seperti

kelompok Salafiyah atau para milisi Syiah, namun melandasi perlawanan mereka atas dasar

nasionalisme. Golongan pertama ini merupakan golongan yang memicu insurgensi tahap awal

selepas jatuhnya rezim Saddam. Kelompok nasionalis Sunni yang diklasifikasi oleh Kohlman

merupakan bagian dari golongan ini.

Golongan kedua adalah para Sunni Salafiyah. Golongan ini merupakan kelompok Sunni

radikal yang, meminjam bahasa Kohlman, ingin membangun rezim kekhalifahan Islam yang

ideal. Para Sunni Salafiyah menekankan perjuangan mereka dengan landasan agama Islam, dan

tercatat tidak jarang berseteru dengan kelompok Syiah, dan bahkan kelompok non-muslim lain

yang bukan termasuk dalam gerakan insurgensi.25 Kelompok Sunni Salafiyah klasifikasi

Kohlman merupakan bagian dari golongan ini.

Golongan ketiga adalah para milisi Syiah. Menurut Kohlman, kebanyakan serangan

milisi Syiah tidak ditujukan kepada koalisi A.S., namun kepada kelompok Sunni. Untuk

menganalisis hal ini, perlu diketahu dua kekuatan besar milisi Syiah yang ada di Irak. Pertama,

Organisasi Badar, adalah kelompok milisi yang melawan Saddam Hussein sebelum invasi A.S.

ke Irak. Kelompok milisi ini, pasca-invasi, sebagian bergabung ke Pasukan Keamanan Irak,

sementara sebagian lainnya lagi tetap bergerak sendiri untuk melawan gerakan-gerakan

insurgensi Sunni. Kelompok ini, meskipun tampak seperti mendukung pasukan koalisi dan

pemerintahan Irak, sesungguhnya berdiri sendiri.26 Kelompok milisi kedua adalah Tentara Mahdi

bentukan Muqtada Al-Sadr yang berdomisili di selatan Irak. Kelompok ini menentang

pemerintahan Irak pada tahun 2004 ketika pemerintah Irak melarang koran bentukan Al-Sadr, al-

Hawza. Tentara Mahdi juga membentuk pemerintahan bayangan di kawasan selatan Irak,

membuat seperangkat aturan keagamaannya sendiri bagi warga Irak di daerah Selatan. Tidak

25 Ibid., hal. 153.26 Ibid.

| H a l a m a n 11

Page 13: Makalah Geopolitik Irak

seperti saingannya, Organisasi Badar, Tentara Mahdi tidak jarang berkonflik dengan pasukan

koalisi A.S. dan pemerintah Irak.

Golongan keempat adalah kelompok-kelompok yang datang dari luar Irak, seperti Al-

Qaeda. Sebagian besar perlawanan yang dating dari luar Irak ini tercatat berasal dari Arab.2728

Kelompok-kelompok luar ini, oleh Kohlman, dikategorikan sebagai “teroris”. Dari berbagai

macam taktik serangan yang digunakan oleh kelompok insurgensi, golongan ini merupakan yang

paling sering menggunakan bom bunuh diri.

Evan Kohlman menyebutkan sejak invasi A.S. ke Irak, jumlah anggota di Al-Qaeda yang

berada di Irak menjadi berkembang. Sebelum penyerangan, anggota Al-Qaeda yang “murni”

hanya merupakan 10 persen dari keseluruhan kelompok insurgensi. Sekarang jumlah anggota Al-

Qaeda telah bertambah menjadi 50 persen. Kohlman menyatakan bahwa Al-Qaeda pada

dasarnya berbeda dengan kelompok insurgensi (Sunni), yang menurutnya bermimpi akan Irak

yang damai dimana Syiah dan Sunni dapat hidup secara damai. Al-Qaeda lebih merupakan

kelompok terroris; membunuh masyakat sipil yang tidak terlibat tanpa alasan yang jelas.

Alasan mengapa Al-Qaeda justru berkembang setelah penyerangan oleh A.S dan

runtuhnya rezim A.S adalah karena orang-orang Irak yang termasuk dalam kelompok nasionalis

merasa kecewa melihat Irak menjadi semakin pecah. Al-Qaeda menawarkan semacam mimpi,

yaitu tentang masa depan Irak. Pernyataan Kohlman adalah sebagai berikut: “There wouldn't be

an al-Qaida in Iraq if the U.S. wasn't there. The story of al-Qaida in Iraq begins in 2003. We

handed al-Qaida exactly what it was looking for, a real war in the Middle East where it could

lead the way. Al-Qaida is like a virus. It goes for weak victims and it uses conflicts to breed. Iraq

gives al-Qaida a training ground, a place to put recruits in combat.”29

Di samping itu, terdapat pula tekanan dari Al-Qaeda untuk bergabung, dimana jika

menolak akan menjadi target. Kohlman menjelaskan bahwa bagi orang biasa di Irak terdapat

pandangan bahwa apabila berpihak dengan A.S atau pemerintah Irak, maka akan menjadi target

bagi Al-Qaeda, apabila memihak yang lain akan menjadi target bagi Syiah. Al-Qaeda menjadi

semakin kuat setelah terjadi peristiwa pemboman Mesjid Askariyah di Samarra, di mana mereka

menyatakan perang atas Syiah dan keinginan untuk membangun negara Islam di Irak. Melihat

27 Iraq insurgency for beginners, op. cit.28 Angel M. Rabasa, op. cit., hal. 129.29 Ibid

| H a l a m a n 12

Page 14: Makalah Geopolitik Irak

hal ini, Kohlman pada akhirnya berkesimpulan bahwa ide demokrasi yang ditawarkan oleh A.S

tidak ditanggapi secara baik di Irak.

II.3.2. Peta Kekuatan Insurgensi Irak

Gambar 2.3.2.1. Persebaran Etnis dan Agama di Irak30

Kelompok milisi Syiah, terutama Tentara Mahdi, berada di daerah Selatan Irak, memiliki

peran tersendiri di kota-kota seperti Najaf dan Basra. Sementara itu, kelompok Syiah yang lebih

memihak pemerintah Irak tersebar lebih ke tengah. Di daerah Barat yang dekat ke tengah,

serangan-serangan insurgensi umumnya dipromotori oleh baik nasionalis Sunni, Islamis Sunni,

dan Al-Qaeda. Sementara itu, gerakan-gerakan para Salafiyah umumnya berada di bagian utara

Irak.31

Namun di antara semua itu, oposisi terbesar berada pada daerah “Segitiga Sunni” (diberi

warna merah pada peta). Pada masa pemerintahan Saddam, daerah “Segitiga Sunni” merupakan

pendukung kuat rezim Saddam; banyak pegawai-pegawai pemerintah dan pemimpin militer yang

berasal dari daerah tersebut. Saddam sendiri lahir di dekat Tikrit, yang berada di bagian selatan

30 FRONTLINE: the insurgency: map. http://www.pbs.org/wgbh/pages/frontline/insurgency/map/, diakses pada 14 April 2010.31 Angel M. Rabasa, op. cit., hal. 131.

| H a l a m a n 13

Page 15: Makalah Geopolitik Irak

“Segitiga Sunni”. Pasca-invasi A.S. ke Irak, daerah “Segitiga Sunni” menjadi target oposisi

terbesar; diduga banyak dimotori gerakan Sunni nasionalis, Sunni Salafiyah, dan Al-Qaeda.

II.4. “Solusi” atas Permasalahan di Irak

Syarat untuk menghentikan gerakan insurgensi di Irak menurut Kohler adalah bahwa A.S

harus dapat memberi alasan yang tepat bagi masyarakat Irak untuk tidak ikut ke dalam Al-

Qaeda. Satu-satu cara untuk melakukan hal tersebut adalah dengan menghukum orang-orang

yang menyakiti mereka. Saat ini, Syiah masih mengontrol aparat negara seperti kepolisian

(Interior Ministry); A.S harus dapat mereformasi kekuatan kepolisian, dan membawa orang-

orang yang telah banyak melakukan kesalahan pada rezim Saddam ke pengadilan.

Kohlman menilai bahwa Bush tidak mengerti persoalan di Irak. Ia menilai bahwa tidak

ada rencana jangka panjang dan bahwa sebenarnya tidak ada bukti yang kuat antara Saddam dan

Al-Qaeda. Disebabkan karena banyaknya konflik di Irak sejak masa penyerangan A.S, Kohlman

kemudian mengucapkan hal sebagai berikut: “I know it's easy to say, but the best solution is not

to have invaded at all.”

Meskipun Kohlman mengucapkan bahwa A.S sebaiknya tidak menginvasi Irak sejak

awal, namun ia menyadari kondisi Irak pada tahun 2007 tidak memungkinkan A.S untuk keluar.

Apabila A.S lepas tangan, maka yang terjadi adalah akan terjadi perang perebutan Baghdad dan

apabila Baghdad telah jatuh, maka akan terjadi perang di seluruh Irak. Hal ini pada akhirnya

akan menunjukkan kegagalan A.S di mata dunia internasional. Maka geopolitik yang diawali

oleh “keamanan nasional” atau “war on terrorism” telah mengancam kepentingan nasional

A.S, dimana apabila A.S gagal menyelesaikan kasus insurgensi di Irak, maka A.S akan

kehilangan muka di dunia internasional.

| H a l a m a n 14

Page 16: Makalah Geopolitik Irak

BAB III

KESIMPULAN

Terjadi invasi dan penempatan pasukan Amerika Serikat beserta koalisinya di Irak

terutama terdapat dua penyebab besar. Pertama, penabrakan pesawat ke World Trade Center

pada 11 September membentuk persepsi awam masyarakat Amerika Serikat atas komunitas

Islam dan Timur Tengah sebagai wujud masyarakat yang tribal dan kejam, dengan

perwujudannya melalui aksi-aksi teror yang dianggap diarahkan ke masyarakat ”Barat”. Kedua,

superioritas Amerika Serikat sebagai ’polisi dunia’ yang terkait dengan adanya anggapan

| H a l a m a n 15

Page 17: Makalah Geopolitik Irak

hubungan rezim di Irak dengan jaringan terorisme Al-Qaeda, juga dengan melihat persepsi

populer mengenai terorisme serta komunitas Timur Tengah dan Islam.

Pola kemanan dan pertahanan Irak berubah dengan adanya insurgensi dari pihak-pihak

milisi sebagai perlawanan atas invasi Amerika Serikat kepada Irak. Pola pertahanan bukan lagi

seperti keadaan perang pada umumnya yaitu dengan militer suatu negara melawan negara yang

lain, namun adanya kekuatan milisi yang bertujuan untuk mempertahankan negara mereka dari

pihak asing.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdullah, T.A.J. (2006). Dictatorship, Imperialism & Chaos: Iraq since 1989. London:

Zed Books

Angel M. Rabasa, dkk. (2004). The Muslim World After 9/11. Santa Monica: RAND

Corporation, hal. 125.

Dodds, Klaus. (1999). Geopolitics in a Changing World. Prentice Hall

| H a l a m a n 16

Page 18: Makalah Geopolitik Irak

___________, (2007). Geopolitics: A Very Short Introduction. New York: Oxford

University Press

Hallensberg, Jan dan Hakan Karlsson. (2005). Iraq War: European Perspective on

Politics, Strategy, and Operations. London: Routledge

Schroeder, Peter. (2003). Strategi Politik, terj. Denise Joyce Matindas. Jakarta: Friedrich-

Naumann-Stiftung

Thomas G. Mahnken dan Thomas A. Keaney (2007). War in Iraq: Planning and

Execution. New York: Routledge, hal. 24.

Internet

Bush’s Implicit Answer to Cindy Sheehan’s Question (9 April 2005). Media Beat.

http://www.fair.org/index.php?page=2661, diakses pada 13 April 2010

CIA’s final report: No WMD found in Iraq - Conflict in Iraq (25 April 2005). SNBC.com.

http://www.msnbc.msn.com/id/7634313/, diakses pada 12 April 2010

Defend America. (2003). U.S. Defense Secretary Donald H. Rumsfeld. New York:

Pentagon. http://www.defendamerica.mil/iraq/iraqifreedom.html, diakses 11 April Pukul 23.00

WIB

FRONTLINE: the insurgency: map.

http://www.pbs.org/wgbh/pages/frontline/insurgency/map/, diakses pada 14 April 2010

Encyclopædia Britannica. (2010). Iraq War.

http://www.britannica.com/EBchecked/topic/870845/Iraq-War, diakses 11 April

Iraqi Insurgency Groups. GlobalSecurity.org.

http://www.globalsecurity.org/military/ops/iraq_insurgency.htm, diakses pada 14 April 2010.

Pew Research Center (2008). Public Attitudes Toward the War in Iraq: 2003-2008.

http://pewresearch.org/pubs/770/iraq-war-five-year-anniversary, diakses pada 12 April 2010

Roger A. Lee. (2010). The History Guy: The Third Persian Gulf War (The Iraq War).

http://www.historyguy.com/GulfWar.html, diakses 11 April

| H a l a m a n 17

Page 19: Makalah Geopolitik Irak

The Iraq insurgency for beginners (2 Maret 2007). Salon.com.

http://www.salon.com/news/feature/2007/03/02/insurgency, diakses pada 14 April 2010

The White House. (2003). President Discusses Beginning of Operation Iraqi Freedom.

Washington DC: The White House.

http://georgewbush-whitehouse.archives.gov/news/releases/2003/03/20030322.html, diakses

pada 12 April 2010.

| H a l a m a n 18