Upload
dwimayangsari
View
144
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Geopolitik dan Strategi Keamanan: Pola Baru Pertahanan dan
Keamanan Irak Pasca Invasi Militer Amerika Serikat di Irak
Kelompok 5
Ahmad Rizky Sadali – 0706283052
Ari Setiyanto - 0706283071
Pradipa P. Rasidi - 0806468612
Siska Aprilia P - 0806463441
Ditujukan kepada: M. Salabi, S. Sos sebagai Makalah Pengantar Presentasi dalam Mata
Kuliah Geopolitik dan Strategi Keamanan
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
Depok, April 2010
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Pada tanggal 20 Maret 2003, Amerika Serikat dan Inggris melakukan penyerangan
militer terhadap Irak untuk menjatuhkan rezim Saddam Hussein. Secara kronologis,
penyerangan militer di Irak yang kedua ini, atau seringkali disebut sebagai The Iraq War, The
Second Gulf War atau The Occupation of Iraq, berada pada serangkaian peristiwa 9/11 di New
York dan Washington, penyerangan terhadap rezim Taliban di Afghanistan, dan mulainya
“perang global atas terrorisme” (global war on terror). Berdasarkan pernyataan dari George
Bush sendiri, dan kemudian Tony Blair, Perdana Mentri Inggris, invasi ke Irak bertujuan “untuk
melucuti senjata pemusnah massal, mengakhiri dukungan Saddam Hussein atas terorisme, dan
untuk membebaskan warga Irak”.1 Meskipun pada kenyataannya hanya ada sedikit bukti dari
adanya dukungan Saddam dengan Al-Qaeda2, sementara menurut dokumen CIA tidak ditemukan
adanya senjata pemusnah massal.3 Di antara yang diketahui, Saddam adalah seorang Ba’ath,
yang mendukung pan-Arabisme, sekularisme, dan sosialisme. Hal ini bertentangan dengan
pergerakan Islam militan Osama bin Laden.
Penyerangan atas Irak selanjutnya berlanjut dengan penempatan tentara A.S di Irak dan
penangkapan Presiden Saddam Hussein (13 Desember tahun 2003), yang pada akhirnya diadili
dalam pengadilan di Irak dan dieksekusi mati oleh pemerintahan yang baru (30 Desember tahun
2006). Meskipun Saddam Hussein telah ditangkap, namun Amerika Serikat tetap menempatkan
tentaranya di Irak. Alasan pemerintahan A.S atas okupasi adalah untuk menjaga ketertiban
selama terjadi vakum dalam pemerintahan, sekaligus mengawasi proses pembangunan yang
dilakukan di Iraq. Memang, setelah jatuhnya rezim Saddam Hussein (sekitar tahun 2004), mulai
terjadi anarki akibat adanya vakum dari pemerintahan yang otoriter yang tiba-tiba jatuh dari
1 The White House. (2003). President Discusses Beginning of Operation Iraqi Freedom. Washington DC: The White House. http://georgewbush-whitehouse.archives.gov/news/releases/2003/03/20030322.html, diakses pada 12 April 2010.2 Abdullah, T.A.J. (2006). Dictatorship, Imperialism & Chaos: Iraq since 1989. London: Zed Books, hal. viii3 CIA’s final report: No WMD found in Iraq - Conflict in Iraq (25 April 2005). MSNBC.com. http://www.msnbc.msn.com/id/7634313/, diakses pada 12 April 2010.
| H a l a m a n 1
kekuasaan.4 Tentara AS sendiri mengalami kesulitan untuk mengatur situasi yang menjadi
semakin kacau akibat penyerangan itu sendiri, sehingga pada akhirnya tercipta pemberontakan-
pemberontakan akibat adanya kekecewaan. Kekecewaan ini contohnya adalah dari kalangan
Sunni Arab, yang melihat bahwa dijatuhkannya pemerintahan Ba’ath dan cara dipilihnya
pemerintahan baru Iraq (Governing Council) adalah diskriminasi terhadap komunitas mereka.5
Selain itu, beberapa faksi lain juga merasa curiga terhadap niat jangka panjang dari pihak A.S di
Irak.6
Terdapat banyak kritik terhadap perang di Irak, baik secara internasional maupun pihak
dari dalam negeri A.S. sendiri yang pada akhirnya menimbulkan berbagai asumsi tentang tujuan
geopolitik A.S yang sebenarnya. Kritik yang sering dikemukakan antara lain adalah banyaknya
korban jiwa, baik dari pihak A.S sendiri maupun masyarakat sipil di Irak dan ketidakstabilan di
Timur Tengah karena penempatan tentara A.S dan kebijakan publik yang dibuat di Irak
menimbulkan friksi antara sekte-sekte yang ada. Diakibatkan karena kerugian-kerugian ini,
mulai banyak bermunculan asumsi seperti bahwa adanya imperialisme dari pihak Amerika dan
Inggris, dimana hal ini memang didukung oleh fakta bahwa memang ada hal yang sedemikian
pada masa Perang Dunia I, II dan Perang Dingin. Hal yang sering dikemukakan adalah bahwa
A.S. mengincar minyak di Irak dan di kawasan Teluk Persia khususnya. Berbagai asumsi ini
perlu dilihat secara lebih lanjut untuk memahami konteks geopolitik penyerangan A.S di Irak.
Selain itu pendudukan tentara A.S di Irak harus dilihat dampaknya secara empiris untuk
mengetahui bagaimana geopolitik di Irak sebaiknya ditangani.
I.2. Rumusan Permasalahan
Melihat dari latar belakang yang telah dijabarkan sebelumnya, dalam makalah ini
kemudian timbul dua pokok permasalahan yang ingin diangkat:
1. Secara geopolitik, mengapa terjadi invasi dan penempatan pasukan Amerika Serikat
beserta koalisinya di Irak?
2. Bagaimana invasi ke Irak membentuk pola baru dalam pertahanan dan keamanan Irak,
terkait dengan persoalan gerakan insurgensi Irak?
4 Abdullah T.A.J., op. cit., hal. 305 Ibid.6 Ibid.
| H a l a m a n 2
I.3. Kerangka Konseptual
Dalam membahas pergerakan awal Amerika Serikat dan koalisinya dalam invasi Irak,
serta pembentukan pola baru isu pertahanan dan kemanan Irak pasca-invasi militer tahun 2003,
diperlukan beberapa teori yang mampu menjelaskan persoalan tersebut.
I.3.1. Pendekatan Realism
Salah satu pendekatan geopolitik dasar yang dapat digunakan untuk melihat masalah
dalam makalah ini—dan juga dalam melihat perpolitikan dunia—adalah realism, di antara dua
pendekatan lainnya yaitu liberal institutionalism dan globalization.7 Pendekatan realism telah
banyak mempengaruhi pemikiran geopolitik tradisional (traditional geopolitics), sedangkan
pendekatan globalization banyak mempengaruhi pemikiran geopolitik kritis (critical
geopolitics).
Pendekatan ini, yang juga sering disebut sebagai model Westphalian, adalah pendekatan
yang paling sering digunakan dalam literatur hubungan internasional dan geopolitik. Realism
berasumsi bahwa dunia pada dasarnya tidak menyenangkan dan diisi oleh orang-orang yang
mempedulikan dirinya sendiri. Maka orang-orang hanya akan bergerak untuk memperbaiki
dirinya masing-masing, dan bukan kehidupan secara kolektif. Asumsi yang “mementingkan diri
sendiri” ini dipratekkan terhadap negara (nation-state), dimana negara dipandang sebagai
kekuatan politik yang paling utama di dunia. Analisis dari pendekatan realism melihat bahwa
pada akhirnya negara akan menggunakan kekuatan militer untuk mencapai apa yang
diinginkannya.
I.3.2. Popular Geopolitics (Geopolitik Populer)
Konsep geopolitik populer melihat kaitan antara geopolitik dengan media massa, baik
dari reportase di televisi dan koran-koran maupun dari hiburan dan budaya populer seperti film.8
Setiap orang memiliki media signature-nya masing-masing, yaitu persepsi yang dibentuk dari
akses dan interaksi dengan koran, radio, televisi, dan internet. Sejak abad ke-20 distribusi
informasi menjadi hal yang semakin wajar dan meluas, berbagai peristiwa kemudian dilihat
melalui bingkai yang dihadirkan oleh media.
7 Klaus Dodds. (1999). Geopolitics in a Changing World. Prentice Hall, hal. 318 Klaus Dodds. (2007). Geopolitics: A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press, hal. 147.
| H a l a m a n 3
Geopolitik populer melihat bagaimana persepsi setiap orang dibentuk mengenai
peristiwa-peristiwa yang diberikan melalui bingkai dari media. Meminjam istilah dari Edward
Said dalam bukunya Orientalism, geopolitik populer mengkaji pembentukan suatu imagined
geographies (geografi yang dibayangkan) akan peristiwa; yakni bagaimana suatu peristiwa yang
sama dapat dipandang secara berbeda. Pada kasus pengeboman Lebanon oleh Israel, misalnya,
seseorang bisa memandang hal itu sebagai suatu justifikasi yang wajar karena framing dari
media yang ia tahu menunjukkan bahwa insurgensi Lebanon yang mulai menyerang lebih dulu.
Sebagai suatu “tindakan terorisme”, sikap Israel untuk merespon serangan insurgensi Lebanon
dengan serangan balik dianggap sebagai hal yang wajar. Namun seorang yang lain—dari framing
yang berbeda—dapat melihat tindakan itu tidak adil karena kerusakan besar yang dihasilkan
institusi militer Israel pada populasi sipil.9
I.3.3. Perencanaan Strategis Model SWOT
Meminjam formulasi bijak dari Sun Tzu, “bila mengetahui lawanmu dan dirimu sendiri,
kau tidak akan kalah dalam seratus pertempuran,” perencanaan strategi yang baik tidak bisa
melepaskan diri dari pengukuran faktor kelebihan dna kekurangan dari pihak-pihak yang
bertempur. Menurut model SWOT, ada dua bidang yang melibatkan perencanaan strategi yang
baik: 1) pembuatan gambaran jelas mengenai arah yang dituju dan apa yang menjadi tujuan
adanya organisasi; 2) menambatkan organisasi pada dasar realitas lingkungan kerja.10 Strategi
harus merinci tujuan kunci untuk mengarahkan indikator-indikator yang dapat dinilai.
Model SWOT mempertimbangkan perencanaan strategis berdasarkan empat hal: strength
(kekuatan), weakness (kelemahan), opportunities (peluang), dan threat (ancaman).
BAB II9 Ibid., hal. 149.10 Peter Schroeder (2003). Strategi Politik, terj. Denise Joyce Matindas. Jakarta: Friedrich-Naumann-Stiftung, hal. 20.
| H a l a m a n 4
ISI
II.1. Pembahasan
II.1.1. Kronologi Penyerangan
Perang ini dimulai ketika Amerika Serikat bersama koalisinya, Inggris, Australia, dan
Polandia, menyerang Baghdad pada 20 Maret 2003. Justifikasi penyerangan ini adalah klaim
akan adanya senjata pemusnah massal, adanya hubungan rezim Saddam dengan terorisme (Al-
Qaeda), dan pelanggaran rezim Saddam atas hak-hak asasi manusia. Latar penyerangan ini
barangkali masih bisa dilacak dari Perang Teluk Pertama—yang sesungguhnya tidak pernah
benar-benar berakhir karena tidak adanya perjanjian atau gencatan senjata. Pada Perang Teluk
tahun 1990-1991 yang dipicu oleh invasi Irak ke Kuwait, Irak berada dalam pihaknya sendiri
sedangkan Amerika Serikat bekerjasama dengan koalisi beberapa negara seperti Inggris, Kuwait,
Perancis, dan Arab Saudi dalam perebutan ladang minyak yang berada dalam kawasan Kuwait.
Hasil dari Perang Teluk pertama ini membuat Irak menghancurkan beberapa senjata yang ia
pakai selama perang, seperti rudal balistik Scud. Irak juga diperingati untuk menghancurkan
senjata pemusnah massal yang ia miliki, walaupun tidak benar-benar dilakukan oleh rezim
Saddam. Pihak PBB juga menggelar ‘No Fly Zones’ di Irak Utara dan Selatan untuk dijadikan
sebagai perlindungan terhadap kelompok minoritas Irak yang merupakan oposisi dari
pemerintahan Saddam Hussein. Namun, pasca-perang, masih terdapat gempuran militer dari
kedua belah pihak. Baik pihak koalisi maupun Irak menyerang satu sama-lain; Irak melakukan
serangan udara pada koalisi sementara koalisi membombardir instalasi pertahanan dan radar Irak.
Pada tahun 1998, pengawas senjata dari PPB yang ditugaskan untuk mengawasi
persenjataan Irak pasca-Perang Teluk, akhirnya meninggalkan Irak. Persistensi Irak yang
menahan pihak PBB untuk melakukan pengecekan pada persenjataan militernya memaksa
Amerika Serikat dan Inggris untuk menekan Irak lebih keras, dan akhirnya Amerika Serikat
meluncurkan operasi yang disebut dengan operasi Desert Fox. Operasi ini bertujuan untuk
“melemahkan” persenjataan Irak dengan melakukan pengeboman pada fasilitas-fasilitas yang
dicurigai sebagai tempat penyimpanan atau produksi senjata pemusnah massal.
Pada awal 2003, pemerintah Amerika Serikat dan Inggris mengklaim bahea Irak tidak
dapat diajak bekerja sama dalam pemeriksaan senjata dari pihak PBB. Sehingga pada Senin, 17
Maret 2003, Presiden Bush mengeluarkan ultimatum bagi Saddam Hussein dan putra-putranya | H a l a m a n 5
untuk menyerahkan diri dalam waktu 48 jam, bila tidak maka Amerika mengancam untuk
melakukan tindakan secara militer. Menghadapi ultimatum itu Saddam menolak menyerahkan
diri, sehingga menyebabkan Perang Teluk II dimulai.
II.1.2. Uraian Singkat
Amerika Serikat kembali bertempur dengan Irak. Pada awal-awal perang, pertempuran
banyak diwarnai dengan tembakan darat dan udara. Koalisi Amerika Serikat pada awal perang
bertujuan utama untuk melucuti senjata Irak dan menggulingkan kekuasaan Saddam Hussein
serta kelompok partai Ba’ath-nya. Kekuatan militer Irak dilengkapi dengan sayap paramiliter
pribadi Saddam, Fedayeen Saddam, dan Al-Quds. Sementara, di sisi lain, kelompok militan
Islam Ansar Al-Islam (pendukung Islam) dan Komala Islami Kurdistan (Islamic Society of
Kurdistan) justru bekerjasama dengan kelompok koalisi Amerika Serikat.11 Tanggal 23 Maret
2003, pasukan koalisi Amerika Serikat berhasil menguasai kawasan Irak barat, sedangkan pada
saat yang sama pasukan Irak berhasil menyergap Pemeliharaan Perusahaan 507 Angkatan Darat
AS. Hingga kemudian tentara koalisi berhasil memasuki daerah pusat kota Baghdad, sementara
itu Irak juga semakin merangsek masuk ke Kuwait dan mengirimkan rudal dan membuat
kerusakan di Kuwait pada tanggal 29 Maret di tahun yang sama. Pada hari yang sama
pemboman bunuh diri pertama kali terhadap pasukan koalisi terjadi, menewaskan empat tentara
Amerika di Najaf.12
Presiden Bush mendeklarasikan berakhirnya invasi operasional ke Irak tanggal 1 Mei
2003, tapi penyerangan-penyerangan antara Irak dan pasukan koalisi terus berlanjut. Meskipun
tanggal 23 Mei 2003 institusi militer dan Kementrian Pertahanan Irak dibubarkan untuk
kemudian dibangun kembali oleh pasukan koalisi, bukan berarti Irak sudah memasuki masa
damai; justru saat itu gerakan-gerakan militer ireguler dari pasukan insurgensi mencuat. Irak
hingga kini belum benar-benar mencapai titik aman, meskipun pada tanggal 13 Desember 2004
Saddam Hussein berhasil ditangkap.13
II.2. Analisa Kasus
11 Roger A. Lee. (2010). The History Guy: The Third Persian Gulf War (The Iraq War). http://www.historyguy.com/GulfWar.html, diakses pada tanggal 11 April 2010.12 Ibid.13 Ibid.
| H a l a m a n 6
II.2.1. Mengapa Tentara Amerika Serikat Menduduki Irak?
Alasan resmi yang diutarakan oleh George Bush sebagai landasan untuk menginvasi Irak
adalah atas dasar senjata pemusnah massal, adanya keterkaitan Saddam Hussein dengan jaringan
terorisme, dan alasan demokratisasi. Namun orang-orang kemudian memberikan jawaban-
jawaban alternatif penyebab sesungguhnya mengapa Amerika Serikat ingin menginvasi Irak.
Beberapa di antara yang populer adalah alasan minyak dan imperialisme koalisi Amerika Serikat
atas Irak. Namun sebelum berlanjut ke hal tersebut, ada baiknya melihat bagaimana invasi
akhirnya tetap dilaksanakan walaupun menuai pro dan kontra.
II.2.2. Popularitas Pasca Peristiwa 11 September
Peristiwa 11 September pada tahun 2001 sedikit-banyak menanam persepsi pada
masyarakat awam mengenai isu yang diangkat betul oleh Amerika Serikat sebagai landasan
invasi Irak—meskipun di kemudian hari tidak terbukti. Survei nasional Pew Research Center
yang digelar di Amerika Serikat pada tahun 2003 tidak lama setelah invasi dilaksanakan,
menunjukkan 72% suara menganggap keputusan untuk melakukan tindakan militer terhadap Irak
sebagai keputusan yang tepat, sementara 22% lainnya menganggap itu tidak tepat.14 Meskipun
pada tahap-tahap selanjutnya opini ini berubah drastis dengan hanya 47% suara yang
menganggap invasi ini sebagai tindakan yang tepat pada tahun 2005, tapi kiranya polling ini
menggambarkan bagaimana Amerika Serikat menerapkan geopolitik populer yang efektif untuk
memengaruhi opini publik.
Penabrakan pesawat ke World Trade Center pada 11 September membentuk persepsi
awam masyarakat Amerika Serikat atas komunitas Islam dan Timur Tengah sebagai wujud
masyarakat yang tribal dan kejam, dengan perwujudannya melalui aksi-aksi teror yang dianggap
diarahkan ke masyarakat ”Barat”. Persepsi ini, meminjam istilah Edward Said, membentuk suatu
imagined geographies atas komunitas Islam dan Timur Tengah sebagai wujud radikalisme
agama yang mengancam kestabilan hak asasi manusia dan demokrasi. Geopolitik populer ini
tidak hanya terbentuk melalui media massa, namun juga bisa melalui dunia hiburan seperti film;
misalnya Collateral Damage (2002).15 Persepsi awam masyarakat yang terbentuk melalui media
pasca-11 September itu kemudian menanam persepsi bagaimana pentingnya gerakan-gerakan
14 Pew Research Center (2008). Public Attitudes Toward the War in Iraq: 2003-2008. http://pewresearch.org/pubs/770/iraq-war-five-year-anniversary, diakses pada 12 April 2010.15 Klaus Dodds, A Very Short Introduction, op. cit., hal. 145.
| H a l a m a n 7
terorisme ini menjadi lawan yang penting bagi Amerika Serikat—tidak hanya pemerintahan
Bush, namun juga warga Amerika Serikat secara umum.
Pemerintahan Bush juga mempopulerkan berbagai istilah yang digunakan untuk merujuk
pada hal-hal tertentu yang terkait dengan perihal ini; terutama yang paling gencar dipromosikan
adalah jargon ”global war on terror”. Selain jargon populer tersebut, dalam membentuk persepsi
awam publik pada Irak, ada pula jargon seperti mother of all bombs, yang digunakan untuk
merujuk pada kecurigaan akan adanya senjata pemusnah massal Saddam, coalition of the willing,
yang merujuk pada negara-negara pendukung invasi Irak, dan regime change yang merupakan
eufemisme untuk ”menjatuhkan pemerintahan Saddam”.
II.2.3. Kepentingan Amerika Serikat
Carl von Clausewitz, ahli militer Prussia, pernah menulis, ”perang adalah suatu politik
dengan cara lain”. Dikobarkannya suatu perang, menurut Clausewitz, tidak lepas dari
kepentingan politik yang ada di dalamnya. Perang dalam wujud ini tidaklah menjadi tujuan
akhir, namun hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan politik yang lebih besar lagi. Bila ada
perang, ada tujuan politik lain di dalamnya. Penyebab mengapa Amerika Serikat—beserta
koalisinya—memutuskan untuk menginvasi Irak bisa dilihat dari beberapa aspek; dalam makalah
ini akan disorot dari beberapa aspek militer dan geopolitiknya saja.
Salah satu16 argumen adalah invasi militer ke Irak merupakan salah satu cara untuk
menunjukkan kekuatan militer dan politik Amerika Serikat melalui penumbangan rezim Saddam
Hussein. Mengaitkan hal ini dengan adanya anggapan hubungan rezim di Irak dengan jaringan
terorisme Al-Qaida, juga dengan melihat persepsi populer mengenai terorisme serta komunitas
Timur Tengah dan Islam, membuat argumen ini menjadi alasan yang kelihatan cukup valid.
Amerika Serikat, untuk pertama kalinya sejak Perang Saudara tahun 1826, diserang oleh
kekuatan dari luar ketika terjadi peristiwa 11 September. Pada Perang Dunia II sebelumnya
memang terjadi pengeboman Pearl Harbor, tapi—terlepas dari kerugian yang ditimbulkan—efek
serangan Pearl Harbor tidak secara simbolik signifikan, karena ia berada jauh dari pusat Amerika
Serikat. Peristiwa 11 September, secara efektif mengurangi deterrence (daya tahan) Amerika
Serikat sebagai negara yang memiliki kekuatan pertahanan yang besar. Atas dasar
16 Jan Hallensberg dan Hakan Karlsson (2005). Iraq War: European Perspective on Politics, Strategy, and Operations. London: Routledge, hal. 18.
| H a l a m a n 8
mengembalikan deterrence yang ia miliki, Amerika Serikat harus menunjukannya dengan cara
lain. Penyerangan terhadap Afghanistan memang sudah dimulai pasca-11 September, namun
penyerangan negara yang diduga sebagai tempat persembunyian Osama bin Laden tersebut
kurang populer. Karena itu, Amerika Serikat membutuhkan Irak sebagai tempat manuvernya.
Sesungguhnya secara militer rezim Saddam saat itu tidak bisa dibilang kuat. Terbukti
pada saat invasi, kekuatan militer Saddam terpecah karena kurangnya perlengkapan dan
kemampuan militer Irak.17 Tapi Saddam tetap memiliki potensi untuk membuka peluang
ancaman bagi Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan sosok Saddam sebagai wujud yang cukup
populer dalam resistensi terhadap kekuatan ”Barat”, di antaranya Amerika Serikat. Pan-
Arabisme yang digalang Partai Ba’ath Saddam, serta sikapnya yang radikal dianggap dapat
menggerakkan masyarakat Arab. Sesaat sebelum invasi dimulai, misalnya, Saddam menggalang
600 orang imam untuk berkumpul di Kirkuk, menyuarakan semangat untuk melawan Amerika
Serikat. Penggalangan itu cukup berhasil membakar sentimen terhadap Amerika Serikat.18
Karena itu, alasan lain mengapa Amerika Serikat harus berada di Irak, adalah karena potensi
radikalitas Saddam yang bisa membawa perlawanan terhadap Amerika Serikat.
Seberapa penting kemudian faktor minyak menjadi pertimbangan invasi ini? Hallensberg
berargumen, minyak memang salah satu faktor penentu, namun bukan satu-satunya faktor
utama.19 Sementara Bush sendiri pada tahun 2005 mengklaim, “bila Zarqawi dan bin Laden
mengendalikan Irak, mereka akan membuat tempat pelatihan baru untuk serangan teroris di masa
depan. Mereka akan menguasai ladang minyak untuk membiayai kebutuhan mereka.”20 Pada
kaitannya dengan minyak, alasan demokratisasi yang dihembuskan oleh Bush barangkali masih
ada benarnya, meskipun tidak melulu hanya karena nilai luhur demokrasi. Diasumsikan, sebuah
pemerintahan yang demokratis akan lebih stabil dalam mengatur arus kendali minyak
dibandingkan pemerintahan otoriter yang tidak stabil seperti Saddam.21 Secara geopolitik,
keberadaan ladang minyak di Irak memang memiliki posisi penting karena peran strategis yang
17 Thomas G. Mahnken dan Thomas A. Keaney (2007). War in Iraq: Planning and Execution. New York: Routledge, hal. 24.18 Angel M. Rabasa, dkk. (2004). The Muslim World After 9/11. Santa Monica: RAND Corporation, hal. 125.19 Hallensberg dan Karlsson, op.cit., hal. 20.20 Bush’s Implicit Answer to Cindy Sheehan’s Question (9 April 2005). Media Beat. http://www.fair.org/index.php?page=2661, diakses pada 13 April 2010.21 Hallensberg dan Karlsson, op. cit., hal. 25.
| H a l a m a n 9
dimiliki oleh minyak dalam kemiliteran modern—hampir seluruh mekanisme senjata, dari
penembak artileri hingga kapal induk, membutuhkan minyak sebagai enerji.
II.3. Pola Baru Pertahanan dan Keamanan Irak
Pasca-invasi, “Perang Irak” yang sesungguhnya baru dimulai. Secara garis besar, dapat
ditarik garis yang memisahkan dua kekuatan berlawanan pada perang ini: pemerintah Irak dan
gerakan-gerakan insurgensi. Dua kekuatan tersebut, baik pemerintah Irak maupun insurgensi,
tidak tersusun atas landasan yang homogen.
Di pihak pemerintah Irak, terdapat Pasukan Keamanan Irak—institusi militer yang
dibentuk setelah kemiliteran Irak sebelumnya dibubarkan oleh koalisi Amerika Serikat—,
pasukan koalisi Amerika Serikat, dan private military contractors (kontraktor militer swasta)
yang merupakan perusahan-perusahaan penyedia jasa pertahanan dan keamanan yang disewa
oleh pemerintah Irak. Sementara itu, di pihak insurgensi juga terdapat berbagai kelompok yang
memiliki motivasi berbeda-beda. Terdapat nasionalis Irak yang sebagian merupakan bekas
anggota partai Ba’ath Saddam, kelompok Sunni Salafiyah, kelompok militan Syiah, dan
kelompok-kelompok yang datang dari luar Irak seperti Al-Qaeda.22 Evan Kohlman, penemu situs
GlobalTerrorAlert.com dan konsultan insurgensi Irak pada Kementrian Pertahanan Amerika
Serikat, Kementerian Peradilan, FBI, dan CIA, beranggapan bahwa insurgensi di Irak pasca
runtuhnya rezim Saddam disebabkan karena adanya pertarungan fundamentalisme, yaitu antara
fundamentalisme Sunni, fundamentalisme Syiah, dan fundamentalisme A.S.23
II.3.1. Kelompok-kelompok Insurgensi Irak
Karena tersusun atas kepentingan yang heterogen, kelompok-kelompok insurgensi Irak
tidak bisa digeneralisasi sebagai satu kekuatan solid yang sama24; walaupun sebagian besar dari
mereka memang sama-sama menentang keberadaan pasukan koalisi Amerika Serikat di Irak.
22 Iraqi Insurgency Groups. GlobalSecurity.org. http://www.globalsecurity.org/military/ops/iraq_insurgency.htm, diakses pada 14 April 2010.23 The Iraq insurgency for beginners (2 Maret 2007). Salon.com. http://www.salon.com/news/feature/2007/03/02/insurgency, diakses pada 14 April 201024 Mahnken dan Keaney, op. cit., hal. 151.
| H a l a m a n 10
Kohlman sendiri membagi kelompok Sunni menjadi tiga: nasionalis Sunni, Sunni moderat, dan
Sunni Salafiyah yang radikal. Namun secara garis besar, dapat ditarik empat golongan kelompok
insurgensi Irak.
Golongan pertama merupakan para nasionalis Irak. Sebagian dari mereka adalah bekas
anggota partai Ba’ath yang sudah dibubarkan, dan sebagian lainnya merupakan berbagai macam
kelompok Sunni dan Syiah yang tidak melandasi perlawanan mereka atas dasar agama seperti
kelompok Salafiyah atau para milisi Syiah, namun melandasi perlawanan mereka atas dasar
nasionalisme. Golongan pertama ini merupakan golongan yang memicu insurgensi tahap awal
selepas jatuhnya rezim Saddam. Kelompok nasionalis Sunni yang diklasifikasi oleh Kohlman
merupakan bagian dari golongan ini.
Golongan kedua adalah para Sunni Salafiyah. Golongan ini merupakan kelompok Sunni
radikal yang, meminjam bahasa Kohlman, ingin membangun rezim kekhalifahan Islam yang
ideal. Para Sunni Salafiyah menekankan perjuangan mereka dengan landasan agama Islam, dan
tercatat tidak jarang berseteru dengan kelompok Syiah, dan bahkan kelompok non-muslim lain
yang bukan termasuk dalam gerakan insurgensi.25 Kelompok Sunni Salafiyah klasifikasi
Kohlman merupakan bagian dari golongan ini.
Golongan ketiga adalah para milisi Syiah. Menurut Kohlman, kebanyakan serangan
milisi Syiah tidak ditujukan kepada koalisi A.S., namun kepada kelompok Sunni. Untuk
menganalisis hal ini, perlu diketahu dua kekuatan besar milisi Syiah yang ada di Irak. Pertama,
Organisasi Badar, adalah kelompok milisi yang melawan Saddam Hussein sebelum invasi A.S.
ke Irak. Kelompok milisi ini, pasca-invasi, sebagian bergabung ke Pasukan Keamanan Irak,
sementara sebagian lainnya lagi tetap bergerak sendiri untuk melawan gerakan-gerakan
insurgensi Sunni. Kelompok ini, meskipun tampak seperti mendukung pasukan koalisi dan
pemerintahan Irak, sesungguhnya berdiri sendiri.26 Kelompok milisi kedua adalah Tentara Mahdi
bentukan Muqtada Al-Sadr yang berdomisili di selatan Irak. Kelompok ini menentang
pemerintahan Irak pada tahun 2004 ketika pemerintah Irak melarang koran bentukan Al-Sadr, al-
Hawza. Tentara Mahdi juga membentuk pemerintahan bayangan di kawasan selatan Irak,
membuat seperangkat aturan keagamaannya sendiri bagi warga Irak di daerah Selatan. Tidak
25 Ibid., hal. 153.26 Ibid.
| H a l a m a n 11
seperti saingannya, Organisasi Badar, Tentara Mahdi tidak jarang berkonflik dengan pasukan
koalisi A.S. dan pemerintah Irak.
Golongan keempat adalah kelompok-kelompok yang datang dari luar Irak, seperti Al-
Qaeda. Sebagian besar perlawanan yang dating dari luar Irak ini tercatat berasal dari Arab.2728
Kelompok-kelompok luar ini, oleh Kohlman, dikategorikan sebagai “teroris”. Dari berbagai
macam taktik serangan yang digunakan oleh kelompok insurgensi, golongan ini merupakan yang
paling sering menggunakan bom bunuh diri.
Evan Kohlman menyebutkan sejak invasi A.S. ke Irak, jumlah anggota di Al-Qaeda yang
berada di Irak menjadi berkembang. Sebelum penyerangan, anggota Al-Qaeda yang “murni”
hanya merupakan 10 persen dari keseluruhan kelompok insurgensi. Sekarang jumlah anggota Al-
Qaeda telah bertambah menjadi 50 persen. Kohlman menyatakan bahwa Al-Qaeda pada
dasarnya berbeda dengan kelompok insurgensi (Sunni), yang menurutnya bermimpi akan Irak
yang damai dimana Syiah dan Sunni dapat hidup secara damai. Al-Qaeda lebih merupakan
kelompok terroris; membunuh masyakat sipil yang tidak terlibat tanpa alasan yang jelas.
Alasan mengapa Al-Qaeda justru berkembang setelah penyerangan oleh A.S dan
runtuhnya rezim A.S adalah karena orang-orang Irak yang termasuk dalam kelompok nasionalis
merasa kecewa melihat Irak menjadi semakin pecah. Al-Qaeda menawarkan semacam mimpi,
yaitu tentang masa depan Irak. Pernyataan Kohlman adalah sebagai berikut: “There wouldn't be
an al-Qaida in Iraq if the U.S. wasn't there. The story of al-Qaida in Iraq begins in 2003. We
handed al-Qaida exactly what it was looking for, a real war in the Middle East where it could
lead the way. Al-Qaida is like a virus. It goes for weak victims and it uses conflicts to breed. Iraq
gives al-Qaida a training ground, a place to put recruits in combat.”29
Di samping itu, terdapat pula tekanan dari Al-Qaeda untuk bergabung, dimana jika
menolak akan menjadi target. Kohlman menjelaskan bahwa bagi orang biasa di Irak terdapat
pandangan bahwa apabila berpihak dengan A.S atau pemerintah Irak, maka akan menjadi target
bagi Al-Qaeda, apabila memihak yang lain akan menjadi target bagi Syiah. Al-Qaeda menjadi
semakin kuat setelah terjadi peristiwa pemboman Mesjid Askariyah di Samarra, di mana mereka
menyatakan perang atas Syiah dan keinginan untuk membangun negara Islam di Irak. Melihat
27 Iraq insurgency for beginners, op. cit.28 Angel M. Rabasa, op. cit., hal. 129.29 Ibid
| H a l a m a n 12
hal ini, Kohlman pada akhirnya berkesimpulan bahwa ide demokrasi yang ditawarkan oleh A.S
tidak ditanggapi secara baik di Irak.
II.3.2. Peta Kekuatan Insurgensi Irak
Gambar 2.3.2.1. Persebaran Etnis dan Agama di Irak30
Kelompok milisi Syiah, terutama Tentara Mahdi, berada di daerah Selatan Irak, memiliki
peran tersendiri di kota-kota seperti Najaf dan Basra. Sementara itu, kelompok Syiah yang lebih
memihak pemerintah Irak tersebar lebih ke tengah. Di daerah Barat yang dekat ke tengah,
serangan-serangan insurgensi umumnya dipromotori oleh baik nasionalis Sunni, Islamis Sunni,
dan Al-Qaeda. Sementara itu, gerakan-gerakan para Salafiyah umumnya berada di bagian utara
Irak.31
Namun di antara semua itu, oposisi terbesar berada pada daerah “Segitiga Sunni” (diberi
warna merah pada peta). Pada masa pemerintahan Saddam, daerah “Segitiga Sunni” merupakan
pendukung kuat rezim Saddam; banyak pegawai-pegawai pemerintah dan pemimpin militer yang
berasal dari daerah tersebut. Saddam sendiri lahir di dekat Tikrit, yang berada di bagian selatan
30 FRONTLINE: the insurgency: map. http://www.pbs.org/wgbh/pages/frontline/insurgency/map/, diakses pada 14 April 2010.31 Angel M. Rabasa, op. cit., hal. 131.
| H a l a m a n 13
“Segitiga Sunni”. Pasca-invasi A.S. ke Irak, daerah “Segitiga Sunni” menjadi target oposisi
terbesar; diduga banyak dimotori gerakan Sunni nasionalis, Sunni Salafiyah, dan Al-Qaeda.
II.4. “Solusi” atas Permasalahan di Irak
Syarat untuk menghentikan gerakan insurgensi di Irak menurut Kohler adalah bahwa A.S
harus dapat memberi alasan yang tepat bagi masyarakat Irak untuk tidak ikut ke dalam Al-
Qaeda. Satu-satu cara untuk melakukan hal tersebut adalah dengan menghukum orang-orang
yang menyakiti mereka. Saat ini, Syiah masih mengontrol aparat negara seperti kepolisian
(Interior Ministry); A.S harus dapat mereformasi kekuatan kepolisian, dan membawa orang-
orang yang telah banyak melakukan kesalahan pada rezim Saddam ke pengadilan.
Kohlman menilai bahwa Bush tidak mengerti persoalan di Irak. Ia menilai bahwa tidak
ada rencana jangka panjang dan bahwa sebenarnya tidak ada bukti yang kuat antara Saddam dan
Al-Qaeda. Disebabkan karena banyaknya konflik di Irak sejak masa penyerangan A.S, Kohlman
kemudian mengucapkan hal sebagai berikut: “I know it's easy to say, but the best solution is not
to have invaded at all.”
Meskipun Kohlman mengucapkan bahwa A.S sebaiknya tidak menginvasi Irak sejak
awal, namun ia menyadari kondisi Irak pada tahun 2007 tidak memungkinkan A.S untuk keluar.
Apabila A.S lepas tangan, maka yang terjadi adalah akan terjadi perang perebutan Baghdad dan
apabila Baghdad telah jatuh, maka akan terjadi perang di seluruh Irak. Hal ini pada akhirnya
akan menunjukkan kegagalan A.S di mata dunia internasional. Maka geopolitik yang diawali
oleh “keamanan nasional” atau “war on terrorism” telah mengancam kepentingan nasional
A.S, dimana apabila A.S gagal menyelesaikan kasus insurgensi di Irak, maka A.S akan
kehilangan muka di dunia internasional.
| H a l a m a n 14
BAB III
KESIMPULAN
Terjadi invasi dan penempatan pasukan Amerika Serikat beserta koalisinya di Irak
terutama terdapat dua penyebab besar. Pertama, penabrakan pesawat ke World Trade Center
pada 11 September membentuk persepsi awam masyarakat Amerika Serikat atas komunitas
Islam dan Timur Tengah sebagai wujud masyarakat yang tribal dan kejam, dengan
perwujudannya melalui aksi-aksi teror yang dianggap diarahkan ke masyarakat ”Barat”. Kedua,
superioritas Amerika Serikat sebagai ’polisi dunia’ yang terkait dengan adanya anggapan
| H a l a m a n 15
hubungan rezim di Irak dengan jaringan terorisme Al-Qaeda, juga dengan melihat persepsi
populer mengenai terorisme serta komunitas Timur Tengah dan Islam.
Pola kemanan dan pertahanan Irak berubah dengan adanya insurgensi dari pihak-pihak
milisi sebagai perlawanan atas invasi Amerika Serikat kepada Irak. Pola pertahanan bukan lagi
seperti keadaan perang pada umumnya yaitu dengan militer suatu negara melawan negara yang
lain, namun adanya kekuatan milisi yang bertujuan untuk mempertahankan negara mereka dari
pihak asing.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdullah, T.A.J. (2006). Dictatorship, Imperialism & Chaos: Iraq since 1989. London:
Zed Books
Angel M. Rabasa, dkk. (2004). The Muslim World After 9/11. Santa Monica: RAND
Corporation, hal. 125.
Dodds, Klaus. (1999). Geopolitics in a Changing World. Prentice Hall
| H a l a m a n 16
___________, (2007). Geopolitics: A Very Short Introduction. New York: Oxford
University Press
Hallensberg, Jan dan Hakan Karlsson. (2005). Iraq War: European Perspective on
Politics, Strategy, and Operations. London: Routledge
Schroeder, Peter. (2003). Strategi Politik, terj. Denise Joyce Matindas. Jakarta: Friedrich-
Naumann-Stiftung
Thomas G. Mahnken dan Thomas A. Keaney (2007). War in Iraq: Planning and
Execution. New York: Routledge, hal. 24.
Internet
Bush’s Implicit Answer to Cindy Sheehan’s Question (9 April 2005). Media Beat.
http://www.fair.org/index.php?page=2661, diakses pada 13 April 2010
CIA’s final report: No WMD found in Iraq - Conflict in Iraq (25 April 2005). SNBC.com.
http://www.msnbc.msn.com/id/7634313/, diakses pada 12 April 2010
Defend America. (2003). U.S. Defense Secretary Donald H. Rumsfeld. New York:
Pentagon. http://www.defendamerica.mil/iraq/iraqifreedom.html, diakses 11 April Pukul 23.00
WIB
FRONTLINE: the insurgency: map.
http://www.pbs.org/wgbh/pages/frontline/insurgency/map/, diakses pada 14 April 2010
Encyclopædia Britannica. (2010). Iraq War.
http://www.britannica.com/EBchecked/topic/870845/Iraq-War, diakses 11 April
Iraqi Insurgency Groups. GlobalSecurity.org.
http://www.globalsecurity.org/military/ops/iraq_insurgency.htm, diakses pada 14 April 2010.
Pew Research Center (2008). Public Attitudes Toward the War in Iraq: 2003-2008.
http://pewresearch.org/pubs/770/iraq-war-five-year-anniversary, diakses pada 12 April 2010
Roger A. Lee. (2010). The History Guy: The Third Persian Gulf War (The Iraq War).
http://www.historyguy.com/GulfWar.html, diakses 11 April
| H a l a m a n 17
The Iraq insurgency for beginners (2 Maret 2007). Salon.com.
http://www.salon.com/news/feature/2007/03/02/insurgency, diakses pada 14 April 2010
The White House. (2003). President Discusses Beginning of Operation Iraqi Freedom.
Washington DC: The White House.
http://georgewbush-whitehouse.archives.gov/news/releases/2003/03/20030322.html, diakses
pada 12 April 2010.
| H a l a m a n 18