29
LAPORAN DISKUSI KELOMPOK BLOK GROWTH AND DEVELOPMENT SYSTEM BORDETELLA PERTUSSIS Disusun oleh : Nama : Suci Intan Fatrisia NIM : 090100065 Kelompok : A3 Tutor : dr. T. Husniah Bahrioen

MAKALAH GDS

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MAKALAH GDS

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK

BLOK GROWTH AND DEVELOPMENT SYSTEM

BORDETELLA PERTUSSIS

Disusun oleh :

Nama : Suci Intan Fatrisia

NIM : 090100065

Kelompok : A3

Tutor : dr. T. Husniah Bahrioen

Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

2010

Page 2: MAKALAH GDS

DAFTAR ISI

Daftar isi i

Pendahuluan ii

Isi :

1. Nama blok 1

2. Tutor 1

3. Data pelaksanaan 1

4. Pemicu 1

5. More info 2

6. Tujuan pembelajaran 2

7. Pertanyaan yang muncul dalam curah pendapat 2

8. Jawaban atas pertanyaan 3

Ulasan 19

Kesimpulan 19

Daftar pustaka 20

Page 3: MAKALAH GDS

PENDAHULUAN

Pertusis adalah suatu penyakit akut saluran pernapasan yang banyak

menyerang anak balita dengan kematian yang tertinggi pada anak usia di bawah

satu tahun yang disebabkan infeksi Bordetella pertusis. Seperti halnya penyakit

infeksi saluran pernapasan akut lainnya, pertusis sangat mudah dan cepat

penularannya.Tindakan penanggulangan penyakit ini antara lain dilakukan

dengan pemberian imunisasi. WHO menyarankan sebaiknya anak pada usia satu

tahun telah mendapatkan imunisasi dasar DPT sebanyak 3 dosis dengan interval

sekurang-kurangnya 4 minggu dan booster diberikan pada usia 15 - 18 bulan

dan 4 - 6 tahun untuk mempertahankan nilai proteksinya. Di Nederland,

pemberian imunisasi dasar pada umur 3 - 6 bulan dan booster pada umur satu

tahun dengan cakupan imunisasi sebesar 90%, praktis penyakit ini tak tampak

lagi. Walaupun demikian banyak terjadi hambatan, antara lain anak tidak dapat

menerima vaksinasi sebanyak tiga kali dan juga jarak waktu vaksinasinya tidak

dapat tepat. Hal ini terutama banyak. didapat di negara-negara yang sedang

berkembang.

Di Indonesia, penyakit ini menempati urutan ke tiga penyebab kematian

pada anak balita. Secara konvensional pencegahan penyakit ini dilakukan

dengan pemberian imunisasi dasar pada bayi usia 3 bulan dengan selang waktu

di antara dosis satu bulan sebanyak 3 dosis. Booster diberikan pada anak usia 3

dan 5 tahun. Sejak tahun 1975, Indonesia telah mengikuti PPI dengan

pemberian imunisasi dasar DPT 3 dosis pada anak usia 3-14 bulan dengan

interval 1-3 bulan. Pada pelaksanaannya masih banyak hambatan, mengingat

secara geografis Indonesia beriklim tropis dan terdiri dari beribu-ribu pulau dan

fasilitas kesehatan yang kurang memadai, sedang syarat mutlak keberhasilan

program adalah tingginya persentase populasi target yang harus dicakup yaitu

sebesar 80% atau lebih, sehingga sirkulasi kuman patogen dapat diputuskan

Page 4: MAKALAH GDS

ISI LAPORAN

1. Nama atau tema blok

Growth and Development System

2. Fasilitator / Tutor

dr. T. Husniah Bahrioen

3. Data pelaksaanaan

A. Tanggal tutorial : 20 Oktober 2010 dan 23 Oktober 2010

B. Pemicu ke-1

C. Pukul : 10.30 – 13.00 WIB

D. Ruangan : Ruang diskusi Anatomi 3

4. Pemicu

Seorang anak laki-laki beusia 5 tahun, berat badan 15 kg, tinggi badan 107

cm, datang ke puskesmas dengan keluhan batuk tidak berdahak yang tidak

sembuh-sembuh selama satu bulan. Batuk terus menerus dan beruntun

diakhiri dengan muntah. Bibir membiru setelah habis batuk. Selama sakit

pasien tidak mau makan dan tidurnya terganggu karena batuk.

Pada awalnya pasien mengalami pilek, bersin dan meriang selama 2

minggu. Pilek kemudian berhenti dan muncul batuk. Sebelum ke

puskesmas pasien hanya diberi ibunya obat batuk dari warung. Pada

pemeriksaan fisik didapati pernapasan 16x/menit. Suhu tubuh 37,2 C.

Pemeriksaan rongga mulut, tenggorokan tidak ditemukan kelainan. Pada

pemeriksaan paru-paru juga tidak ditemukan kelainan. Riwayat imunisasi

pasien tidak diketahui karena ibu pasien mengatakan lupa riwayat

imunisasinya.

Apa yang terjadi pada anak ini?

Page 5: MAKALAH GDS

5. More Info

Pemeriksaan darah lengkap:

Hb 11 gr/dl, leukosit 20000 uL, trombosit 320000 uL, hematokrit 33 %,

eritrosit 4050000 uL

MCV : 85 fl

MCH : 35 pg

MCHC : 32 g/dl

% eos 3%, baso 0,4%, neut 51,7%, lymp 41,1, mono 3,8%

Bagaimana tatalaksana terhadap pasien ini?

Bagaimana terjadinya gangguan pertumbuhan pada pasien ini?

6. Tujuan pembelajaran

A. Memahami ciri-ciri, morfologi dan epidemiologi Bordetella pertussis

B. Memahami mekanisme patogenesis Bordetella pertussis

C. Memahami diagnosis dan manifestasi klinis dari Bordetella pertussis

D. Memahami tentang diagnosis banding dari Bordetella pertussis

E. Memahami komplikasi dari Bordetella pertussis

F. Memahami pencegahan dan penatalaksanaan dari Bordetella pertussis

G. Memahami imunisasi dasar pada anak

7. Pertanyaan yang muncul dalam curah pendapat

A. Bagaimanakah ciri-ciri, morfologi dan epidemiologi Bordetella

pertussis?

B. Bagaimanakah mekanisme patogenesis Bordetella pertussis?

C. Bagaimanakah diagnosis dan manifestasi klinis dari Bordetella

pertussis?

D. Bagaimanakah diagnosis banding dari Bordetella pertussis?

E. Bagaimanakah komplikasi dari Bordetella pertussis?

Page 6: MAKALAH GDS

F. Bagaimanakah pencegahan dan penatalaksanaan dari Bordetella

pertussis?

G. Bagaimanakah imunisasi dasar pada anak?

8. Jawaban atas pertanyaan

A. CIRI-CIRI, MORFOLOGI DAN EPIDEMIOLOGI BORDETELLA

PERTUSSIS

Bordetella pertussis itu adalah bakteri penyebab penyakit menular akut

yang menyerang pernafasan alias batuk rejan atau batuk seratus hari yang

mengandung beberapa komponen yaitu Peitusis Toxin (PT), Filamentous

Hemagglutinin (FHA), Aglutinogen, endotoksin, dan protein lainnya.

1. Ciri-ciri dan morfologi

Ciri organisme ini : pendek, gram negative, Cocco basil kecil, non motile,

non spora, manusia merupakan reservoir tunggal bagi B.pertussis dan

B.parapertussis, menyebar melalui droplet dan dengan pewarnaan toluidin biru

dapat terlihat granula bipolar metakromatik. Bakteri ini aerob murni dan

membentuk asam tapi tidak membentuk gas dari glukosa dan laktosa. Untuk

biakan isolasi primer B pertussis dapat digunakan Bordet Gengou 9agar

kentang-darah-gliserol) yang mengandung Penisilin 0,5 µg/mL.

Terdapat dua mekanisme bagi B pertussis untuk berganti menjadi bentuk

yang non hemolitik, dan bentuk tidak virulen yang tidak menghasilkan toksin.

Modulasi fenotipik yang reversible terjadi bila B pertussis tumbuh dalam

kondisi lingkungan tertentu. (misalnya suhu 280 C melawan suhu 370 C, adanya

MgSO4, dll.)

Page 7: MAKALAH GDS

gambar Bordetella pertussis

Batuk rejan merupakan penyakit yang disebabkan oleh B pertussis.

Penyakit ini biasanya berlangsung selama 6 miggu atau lebih, oleh karena itu

biasa disebut batuk seratus hari. Batuk pertussis ditandai dengan batuk hebat

yang khas dan biasanya diakhiri dengan suara pernafasan yang melengking.

Penyakit ini menular melalui udara, yaitu melalui percikan ludah dari

pasien yang terkena penyakit lalu dihirup orang yang sehat dan kekebalan

tubuhnya rendah. Gejala timbul dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi.

Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan saluran udara sehingga

pembentukan lendir semakin banyak. Pada awalnya lendir encer, tetapi

kemudian menjadi kental dan lengket.

Epidemiologi :

KELOMPOK RESIKO

- Anak yang tidak divaksinasi (terutama bayi)

- Remaja dengan kekebalan tubuh berkurang

- Dewasa dengan imunitas berkurang

FREKUENSI

United states

-Awal 1980 an- kasus meningkat dengan puncak terjadi

setiap 2-5 tahun.Penyakit berkurang setelah vaksinasi

Diperkenalkan dan tidak terukur selama 12 tahun.

-1980-2005- kasus meningkat di semua kelompok usia terutama pada

Page 8: MAKALAH GDS

remaja.Namun,kasus pada bayi kurang 1 tahun tetap tertinggi

Insiden seluruh dunia

48,5 juta kasus

Hampir 295.000 kematian setiap tahun

Bangsa

1977-2000 – (88% kulit putih,8% kulit hitam,2% asia/kepulauan pasifik dan 2%

American indian.

1998 – ( 79% kulit putih,10% hitam, 4% asia kepulauan pasifik dan 1%

American indian.

Umur

2001-2003 ( 23% < 1 tahun,12% 1-4 tahun,9% 5-9 tahun,33% 10-19 tahun dan

23% lebih dari 20 tahun)

B. PATOGENESIS DARI BORDETELLA PERTUSSIS

Sejumlah factor penyebab penyakit banyak dihasilkan oleh B pertussis.

Dalam hal ini pili berperan dalam pelekatan bakteri pada sel bersilia di seluruh

bagian atas manusia. Hemaglutin Filamentousa memudahkan pelekatan sel

epitel bersilia. Toksin pertussis menimbulkan limfositosi memiliki kemampuan

melekatkan bakteri pada epitel sel bersilia. Kedua zat ini banyak ditemukan di

luar sel B pertussis. B pertussis hanya dapat hidup dalam waktu singkat di luar

inang manusia dan tidak ada vector.

Organisme melekat dan berkembang biak dengan cepat di permukaan

epitel trakea dan bronkus dan menghambat kerja silia. Bakteri menghasilkan

toksin dan zat pengiritasi permukaan sel, serta menyebabkan limfositosis dan

batuk.

Mekanisme patogenesis infeksi Bordetella pertusis yaitu perlengketan,

perlawanan, pengerusakan local dan diakhiri dengan penyakit sistemik.

Perlengketan dipengaruhi oleh FHA ( filamentous Hemoglutinin), LPF

Page 9: MAKALAH GDS

(lymphositosis promoting factor), proten 69 kd yang berperan dalam

perlengketan  Bordetella pertusis pada silia yang menyebabkan Bordetella

pertusis dapat bermultipikasi dan menghasilkan toksin dan menimbulkan

whooping cough. Dimana LFD menghambat migrasi limfosit dan magrofag

didaerah infeksi.

Perlawanan karena sel target da limfosist menjadi lemah dan mati oleh karena

ADP (toxin mediated adenosine disphosphate) sehingga meningkatkan

pengeluaran histamine dan serotonin, blokir beta adrenergic, dan meningkatkan

aktivitas insulin. Sedang pengerusakan lokal terjadi karena toksin menyebabkan

peradangan ringan disertai hyperplasia jaringan limfoid peribronkial sehingga

meningkatkan jumlah mucus pada permukaan silia yang berakibat fungsi silia

sebagai pembersih akan terganggu akibatnya akan mudah terjadi infeksi

sekunder oleh sterptococos pneumonia, H influenzae, staphylococos aureus.

Penumpukan mucus akan menyebabkan plug  yang kemudian menjadi

obstruksi dan kolaps pada paru, sedang hipoksemia dan sianosis dapat terjadi

oleh karena gangguan pertukaran oksigen saat ventilasi dan menimbulkan apneu

saat batuk. Lendir yang terbentuk dapat menyumbat bronkus kecil sehingga

dapat menimbulkan emfisema dan atelektasis. Eksudasi dapat pula sampai ke

alveolus dan menimbulkan infeksi sekunder, kelaina paru itu dapat

menimbulkan bronkiektasis.

Page 10: MAKALAH GDS

C. DIAGNOSIS DAN MANIFESTASI KLINIS BORDETELLA

PERTUSSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan berikut:

- Pembiakan lendir hidung dan mulut

- Pembiakan apus tenggorokan

- Pemeriksaan darah lengkap (terjadi peningkatan jumlah sel darah putih

yang ditandai dengan sejumlah besar limfosit)

- Pemeriksaan serologis untuk Bordetella pertussis

- ELISA

Gejala klinis

Infeksi berlangsung selama 6 minggu, dan berkembang melalui 3 tahapan:

1. Tahap kataral ( mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari

setelah terinfeksi)

Gejalanya menyerupai flu ringan :

Page 11: MAKALAH GDS

a. bersin-bersin

b. mata berair

c. nafsu makan berkurang

d. lesu

e. batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi

sepanjang hari)

2. Tahap paroksismal (mulai timbul dalam waktu 10-14 hari setelah

timbulnya gejala awal) 5-15 kali batuk diikuti dengan menghirup nafas

dalam dengan nada tinggi. Batuk bisa disertai pengeluaran sejumlah besar

lendir yang biasanya ditelan oleh bayi/ anak-anak atau tampak sebagai

gelembung udara di hidungnya. Batuk atau lendir yang kental sering

merangsang terjadinya muntah. Serangan batuk bisa diakhiri oleh

penurunan kesadaran yang bersifat sementara.

3. Tahap Konvalesen (mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala

awal)

Batuk semakin berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa

lenih baik. Kadang batuk terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat

iritasi saluran pernafasan.

D. DIAGNOSIS BANDING BORDETELLA PERTUSSIS

Bordetella Parapertusis

Penyakitnya lebih ringan, kira- kira 5% dari penderita pertusis. Dapat

diidentifikasi secara khusus dengan tes aglutinasi.

Bordetella Bronchoseptica

Gejala penyakitnya sama dengan parapertusis, namun lebih sering

didapatkan pada binatang, dan mungkin ditemukan dalam saluran pernapasan

pada orang yang kontak dengan binatang tersebut.

Infeksi oleh Klamidia

Page 12: MAKALAH GDS

Penyebabnya biasanya klamidia trakomatis. Pada bayi menyebabkan

pneumonia, oleh karena terkena infeksi dari ibu. Infeksi saluran pernapasan

terjadi 2 – 12 minggu setelah lahir dengan gejala – gejala pernapasan cepat,

batuk paroksimal, tanpa demam ,eosinofilia. Pada thorak foto terlihat

konsolidasi paru dan hiperinflasi. Diagnosis dengan isolasi yaitu ditemukannya

klamidia dari cairan saluran pernapasan. Penyakit ini disebut juga Eosinophilic

Pertusoid Pneumonitis

E. KOMPLIKASI DARI BORDETELLA PERTUSSIS

Komplikasi

a) Pada saluran pernapasan

Bronkopneumonia merupakan komplikasi berat yang paling sering terjadi

dan menyebabkan kematian pada anak di bawah 3 tahun terutama bayi yang

lebih kecil dari 1 tahun. Gejala ditandai dengan batuk,sesak napas, panas. Pada

foto thoraks terlihat bercak-bercak infiltrate tersebar.

Otitis media

Karena batuk – batuk hebat, kuman masuk ke tuba eustachi kemudian masuk ke

telinga tengah sehingga menyebabkan otitis media.

Bronchitis

Batuk mula – mula kering, setelah beberapa hari timbul lendir jernih kemudian

menjadi purulen. Pada auskultasi terdengar suara pernapasan kasar atau ronki

kasar atau ronki kering.

Atelektasis

Timbul karena lendir kental yang dapat menyumbat bronkioli.

Emfisema pulmonum

Terjadi oleah karena batuk – batuk yang hebat sehingga alveoli pecah.

Bromkiektasi

Page 13: MAKALAH GDS

Terjadi karena pelebaran bronkus akibat tersumbat oleh lendir yang kental dan

dapat disertai

dengan infeksi sekunder.

Kolaps alveoli paru akibat baatk paroksimal yang lama pada anak – anak

sehingga dapat

menyebabkan hipoksia berat pada bayi dapat menyebabkan kematian yang tiba

– tiba1,2,3,4.

b) Pada Sistem Saraf Pusat

Terjadi kejang karena :

Hipoksi dan anoksia akibat apnue yang lama, perdarahan subarachnoid yang

massif, enselopati akibat atrofi kortikal yang difus, gangguan elektrolit karena

muntah.

c) Komplikasi – komplikasi yang lain

Hemoptisis akibat batuk yang hebat sehingga menyebabakan tekanan venous

meningkat dan kapiler pecah, epitaksis, hernia, prolaps rekti, malnutirsi

karena anoreksia dan infeksi sekunder.

F. PENCEGAHAN DAN PENATALAKSANAAN BORDETELLA

PERTUSSIS

Penatalaksanaan

Pemberian Eritromisin pada stadium kataral akan membantu pencegahan

dan pembasmian mikroorganisme. Sedangkan pengobatan pada stadium

paroksismal jarang mengubah gejala klinik. B pertussis peka terhadap obat

antimikroba in vitro. Jika penyakitnya berat, penderita biasanya dirawat di

Rumah Sakit dan ditempatkan di kamar yang tenang dan tidak terlalu terang.

Keributan juga bisa merangsang serangan batuk.

Eritromisin memiliki struktur umum dgn cincin makrolid serta gula

desosamin dan kladinosa dengan berat molekul 734. Sukar larut dalam air, larut

Page 14: MAKALAH GDS

dalam pelarut organik. Agak stabil pd 4ºC, hilang aktivitasnya pd 20ºC dan pd

pH asam. Efektif thd organisme gram (+) yang bersifat bakteriositik dan

bakteriosid

Eritromisin basa dirusak oleh as.lambung, absorbsi diperlambat oleh

adanya makanan dlm lambung. T ½ : 1,6 jam. Berdifusi baik ke berbagai organ

jaringan tubuh,kecuali ke otak dan cairan serebrospinal. Dapat menembus

plasenta dan mencapai janin.

Efek gastrointestinal : anoreksia, mual, muntah dan diare kdg2 menyertai pd

pemberian oral. Toksisitas hati : eritromisin, terutama estolat dapat

menimbulkan hepatitis kolestatik akut (demam, ikhterus, gangguan fungsi

hati)àreaksi hipersensitif.

• Kasus bayi & balita berat perlu MRS untuk perawatan pernafasan dengan

suksion, oksigen, IV (bahaya minum)

• Eritromicin (40mg/kg/hari, max: 2 gm, QID X 14 hari) dapat menolong

meringankan perkembangan batuknya asal dimulai pada stadium kataral. Pada

stadium Paroksismal antibiotika hanya menolong menghentikan infektiviti.

• Trimethoprim-sulfamethoxazole pada pasien yang tidak tahan eritromicin

tetapi manfaatnya belum dibuktikan

• Steroid dan Beta2 Agonis mungkin dapat menolong.

Dapat pula dilakukan pengisapan lendir dari tenggorokan. Pada kasus

yang berat, oksigen diberikan langsung ke paru-paru melalui selang yang

dimasukkan ke trakea. Diberikan cairan melalui infuse untuk menggantikan

cairan yang hilang karena muntah pada bayi dan karena biasanya tidak dapat

makan akibat batuk.

Gizi yang baik sangat penting, dan sebaiknya makanan diberikan dalam

porsi kecil tapi sering.

Pencegahan

Pemberian 3 suntikan vaksin pertussis ( biakan tidak murni) dalam

konsentrasi tepat pada bayi sangat perlu. Biasanya diberikan dengan kombinasi

Page 15: MAKALAH GDS

dengan toksoid difteria dan tetanus (DPT). Eritromisin profilaktik dapat

diberikan pada bayi yang belum divaksin atau orang dewasa yang kontak

dengan penyakit ini.

Prognosis

Bergantung kepada ada tidaknya komplikasi, terutama komplikasi paru

dan susunan saraf pusat yang sangat berbahaya khususnya pada bayi dan anak

kecil. Dimana frekuensi komplikasi terbanyak dilaporkan pada bayi kurang dari

6 bulan mempunyai mortalitas morbiditas yang tinggi.

G. IMUNISASI DASAR PADA ANAK

A. Pengertian

Imunisasi berasal dari kata Imun, kebal atau resistan. Anak di imunisasi,

berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal

atau resistan terhadap suatu penyakit, tetapi belum tentu kebal terhadap

penyakit yang lain.

B. Tujuan

Program imunisasi bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan

kematian dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Pada saat ini

penyakit-penyakit tersebut adalah disentri, tetanus, batuk rejan (pertusis),

campak (measles), polio dan tubercolusis.

Tujuan dari pemberian imunisasi adalah sebagai berikut :

a) Untuk mencegah terjadinya penyakit infeksi tertentu.

b) Apabila terjadi penyakit tidak akan terlalu parah dan dapat mencegah

gejala yang dapat menimbulkan cacat dan kematian

C. Jenis-Jenis Imunisasi

Pada dasarnya ada 2 (dua) jenis imunisasi :

a. Imunisasi pasif (passive immunization)

Imunisasi pasif ini adalah “Immunoglobulin” jenis imunisasi ini dapat

mencegah penyakit campak (measles pada anak-anak).

Page 16: MAKALAH GDS

b. Imunisasi aktif (active immunization)

Imunisasi yang diberikan pada anak adalah :

1. BCG, untuk mencegah penyakit TBC

2. DPT, untuk mencegah penyakit-penyakit diptheri, pertusis dan tetanus

3. Polio, untuk mencegah penyakit poliomilitis

4. Campak, untuk mencegah penyakit campak (measles)

5. Hepatitis B, untuk mencegah penyakit hepatitis B

D. Jadwal Pemberian Imunisasi

ULASAN

Page 17: MAKALAH GDS

Ada beberapa hal yang masih belum jelas dalam hal apa-apa yang terjadi pada

kasus ini karena keterbatasan pustaka dan kesulitan materi. Namun setelah

diskusi yang dilakukan dan penjelasan dari narasumber dalam pleno

disimpulkan bahwa :

1. Pada pleno dijelaskan bahwa, terdapat berbagai jenis dari Bordetella yaitu

Bordetella pertussis yang merupakan bakteri penyebab batuk rejan (pertussis)

atau disebut juga dengan “whooping”. Kemudian ada juga Bordetella

parapertussis yang menyebabkan batuk ringan dan struktur bakterinya mirip

dengan bakteri Bordetella pertussis. Ada juga yang disebut dengan bakteri

Bordetella bronchiseptica, bakteri ini tidak menyebabkan penyakit pada

manusia melainkan hanya pada hewan.

2. Pakar juga menjelaskan bagaimana perbedaan antara Bordetella pertussis

dengan Bordetella parapertussis. Biarpun strukturnya hampir mirip tetapi

terdapat perbedaannya, yaitu pada Bordetella pertussis koloninya lebih berkilau,

inkubasinya lama, dan berwarna seperti mutiara. Sedangkan pada Bordetella

parapertussis koloninya lebih buram, inkubasinya hanya 3-6 hari.

3. Dalam pleno juga dijelaskan bagaimana sitotoksin trakeaal dari Bordetella

pertussis menghambat gerakan dari silia pada epitel pernafasan sehingga

menyebabkan respon batuk. Gejala pertussis tampak pada 4 minggu pertama

setelah terinfeksi bakteri. Pada pemeriksaan laboratorium di object glass tetesan

antibodi yang berikatan dengan fluoresen akan memberi warna hijau pada

koloni bakteri. Kemudian pada Bordetella pertussis tidak menyebabkan

bakteremia karena sifatnya yang non invasif.

4. Pakar juga menjelaskan bagaimana perlunya mendapatkan antropometri anak

saat pemeriksaan fisik untuk melihat perjalanan penyakit apakah sudah akut

ataupun kronik. Kemudian pada pemeriksaan laboratorium juga diperlukan

darah rutin, feses rutin dan urin rutin.

Page 18: MAKALAH GDS

5. Pada pleno juga dijelaskan bagaimana batuk yang disertai dengan sianosis

tidak saja dikarenakan oleh infeksi tetapi dapat juga disebabkan oleh non-

infeksi. Sianosis yang terjadi biasanya pertama terlihat pada bagian ujung-ujung

tubuh, seperti pada bibir dan ujung jari. Muntah yang terjadi pada anak di dalam

kasus disebabkan karena batuk yang terus menerus kemudian diakhiri dengan

muntah. Tidak adanya dahak pada kasus disebabkan karena bakteri tidak

menginvasi sampai ke lapisan goblet.

6. Pakar juga menjelaskan bagaimana mendiagnosis suatu batuk yang mengarah

ke pertussis. Pertama melihat karakteristik dari batuk itu sendiri dan biasanya

jika ada gejala whooping merupakan manifestasi pertussis. Kemudian dilakukan

pemeriksaan lab, seperti pemeriksaan sputum, darah rutin, urin rutin, ataupun

feses rutin yang mendukung dari gejala sebelumnya. Setelah dapat diagnosis

pasti dari pertussis kemudian lihat kembali karakteristik, epidemiologi, dan

patogenitas dari pertussis lalu lakukan penatalaksanaan pada pertussis. Setelah

itu lihat komplikasi yang terjadi, apakah komplikasi itu menghambat

pertumbuhan anak.

7. Dalam pleno juga dijelaskan bagaimana pencegahannya dengan imunisasi

pada bayi dan anak untuk meningkatkan respon imun baik itu respon imun

humoral maupun respon imun selular. Kemudian ada juga vaksin yang harus

diberikan seperti vaksin BCG, polio, campak, dan hepatitis B.

Page 19: MAKALAH GDS

KESIMPULAN

Anak ini mengalami batuk rejan dikarenakan infeksi bordetella pertusis dan

dapat menganggu pertumbuhan dikarenakan malnutrisi dan gangguan sekresi

hormon pertumbuhan. Penatalaksanaannya dengan pemberian eritromisin dan

terapi suportif.

DAFTAR PUSTAKA

Adelberg, Jawetz, Melnick.1996.Mikrobiologi Kedokteran edisi 20.EGC:Jakarta

Nelson E Waldo , Behrman E Richard, Kliegman Robert, Arvin M Ann.2000. Nelson Textbook Of Pediatric. Edisi 15, volume 2.EGC: Jakarta.

Hassan Rusepno, Alatas Husein, et al. 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 7,volume 2, Cetakan XI. Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI: Jakarta.

Rampengan T.H , Laurents I.R. 1997. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Edisi 1, Cetakan III. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.

Irawan Hindra, Rezeki Sri, Anwar Zarkasih. 2008. Buku Ajar Infeksi Dan Pediatrik Tropis. Edisi 2, Cetakan I. Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI: Jakarta

Ranuh IGN., Suyitno H., Hadinegoro SRS., Kartasasmita CB., Ismoedijanto, Soedjatmiko (Ed.). 2008. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi Ketiga. Satgas Imunisasi – Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).

http://www.pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/115/5/1422

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15ResponterhadapAntigenProtektifVaksinPertusis126.pdf/15ResponterhadapAntigenProtektifVaksinPertusis126.html

http://fkuii.org/tiki index.php?page=Pertussis7

Page 20: MAKALAH GDS