44
Tugas kelompok TEKA TEKI SILANG BIOKIMIA OLEH : A.RESKIANTIWARDANI.S 60500110001 ABDUL RAHMAN ARIEF JURUSAN KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

MAKALAH FIKIH IBADAH

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MAKALAH FIKIH IBADAH

Tugas kelompok

TEKA TEKI SILANG

BIOKIMIA

OLEH :

A.RESKIANTIWARDANI.S

60500110001

ABDUL RAHMAN ARIEF

JURUSAN KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

Page 2: MAKALAH FIKIH IBADAH

2011

A. Pengertian Shalat

Sebelum terlalu jauh membahas mengenai shalat, maka

kita akan membahas mengenai pengertian dari sholat itu sendiri.

Secara etimologi sholat berasal dari kata “ ash-sholaah “ yang

berarti doa, sedangkan menurut terminologi sholat adalah suatu

amal ibadah yang terdiri dari perkataan-perkataan dan

perbuatan-perbuatan yang di mulai dengan takbir dan di akhiri

dengan salam dengan syarat- syarat dan rukun-rukun yang yang

telah di tentukan.

          Karena itu sholat merupakan kewajiban yang pertama

harus dilakukan  oleh seorang hamba, dan sekaligus merupakan

ibadah yang paling utama.  Bahkan menurut Nabi Muhammad

saw. bahwa kelak di akhirat,  amal seseorang yang akan dimintai

pertanggungjawaban untuk  pertama kali adalah sholat.  Sabda

Beliau yang sangat terkenal ialah:

 

العبد به يحاسب ما الصالة   أول القيامة سائر  يوم له صلح صلحت فإن

عمله سائر فسد فسدت وإن [13] عمله

Pertama kalinya hal yang akan diperhitungkan dari seorang

hamba di hari kiamat nanti ialah sholat.  Kalau sholat seseorang

itu baik maka akan baik pula seluruh perbuatannya dan apabila

Page 3: MAKALAH FIKIH IBADAH

sholat seseorang tersebut jelek maka menjadi jeleklah seluhruh

amalnya

B. Hukum Sholat

Melaksanakan sholat adalah wajib 'aini bagi setiap orang

yang sudah mukallaf (terbebani kewajiban syari'ah), baligh (telah

dewasa/dengan ciri telah bermimpi), dan 'aqil (berakal).

 Allah berfirman:

"Dan tidaklah mereka diperintah kecuali agar mereka hanya

beribadah/menyembah kepada Allah sahaja, mengikhlaskan

keta'atan pada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan hanif

(lurus), agar mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat,

demikian itulah agama yang lurus". (Surat Al-Bayyinah:5).

 C. Kedudukan Sholat

Sholat merupakan salah satu rukun Islam setelah

syahadatain. Dan amal yang paling utama setelah syahadatain.

Barangsiapa menolak kewajibannya karena bodoh maka dia

harus dipahamkan tentang wajibnya sholat tersebut,

barangsiapa tidak meyakini tentang wajibnya sholat

(menentang) maka dia telah kafir. Barangsiapa yang

meninggalkan sholat karena menggampang-gampangkan atau

malas, maka wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah.

Bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:

Page 4: MAKALAH FIKIH IBADAH

"Pemisah di antara kita dan mereka (orang kafir) adalah sholat.

Barangsiapa meninggalkannya maka sungguh dia telah kafir."

(HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah).

Sholat dalam Islam mempunyai kedudukan yang tidak

disamai oleh ibadah-ibadah lainnya. Ia merupakan tiangnya

agama ini. Yang tentunya tidaklah akan berdiri tegak kecuali

dengan adanya tiang tersebut.

Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menegaskan:

"Pondasi (segala) urusan adalah Islam, dan tiangnya (Islam)

adalah sholat, sedangkan yang meninggikan martabatnya adalah

jihad fi sabilillah."

(HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad. Dishahihkan oleh Syaikh

Al-Albani)

Sholat merupakan kewajiban mutlak yang tidak pernah berhenti

kewajiban melaksanakannya sekalipun dalam keadaan takut.

Sebagaimana firman Allah Ta'ala menunjukkan:

"Peliharalah segala sholat(mu), dan (peliharalah) sholat wustha.

Jika kamu dalam keadaan takut (akan bahaya), maka sholatlah

sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu

telah aman, maka sebutlah Allah (sholatlah) sebagaimana Allah

telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui."

(QS. AL-baqarah : 238 - 239).

Sholat adalah ibadah yang pertama kali diwajibkan Allah

dan nantinya akan menjadi amalan pertama yang dihisab di

antara amalan-amalan manusia serta merupakan akhir wasiat

Page 5: MAKALAH FIKIH IBADAH

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sebagaimana disebutkan

dalam sabdanya:

"Sholat, sholat dan budak-budak yang kamu miliki."

(HR. Ibnu Majah dan Ahmad. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Sholat yang nantinya akan menjadi amalan terakhir yang

hilang dari agama ini. Jika sholat telah hilang, berarti hilanglah

agama secara keseluruhan. Untuk itu Rasulullah shallallahu

'alaihi wa sallam mengingatkan dengan sabdanya:

"Tali-tali (penguat) Islam sungguh akan musnah seikat demi

segera berpegang dengan ikatan berikutnya (yang lain). Ikatan

yang pertama kali binasa adalah hukum, dan yang terakhir

kalinya adalah sholat."

(HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Al-Hakim. Dishahihkan oleh Syaikh

Al-Albani).

D.Perspektif Fiqh Mengenai Sholat

Beberapa  waktu  yang lalu dan bahkan sampai sekarang,

pelaksanaan sholat dengan menggunakan dua bahasa, yakni

bahasa arab dan bahasa Indonesia masih menyisakan persoalan

yang cukup memprihatinkan.  Di satu sisi,  Majlis ulama’ telah

memberikan vonis keharaman terhadap praktek sholat semacam

itu, baik  MUI ditingkat kabupaten  Malang, maupun sekarang

telah dikuatkan oleh MUI pusat.  Beberapa tokoh muslim

terkemuka juga  telah ikut memberikan vonis haram, seperti

yang dikemukakan oleh ketua PB Nahdlatul ulama’ Prof. Dr. H.

Said Agil Siradj, dan juga oleh ahli tafsir Prof. Dr. H. Quraisy

Syihab, M.A., yang menyatakan bahwa sholat dengan

menggunakan dua bahasa seperti yang dilakukan oleh Yusman

Page 6: MAKALAH FIKIH IBADAH

Roy menyalahi fiqh. LDII juga mengamini apa yang diputuskan

oleh MUI dan pendapat dari Quraisy Syihab. Bahkan MUI juga 

menganggap bahwa sholat dengan dua bahasa tersebut 

meresahakan dan memicu kontroversi. Akan tetapi di sisi lain

tokoh terkemuka di negeri ini malah berpendapat lain, seperti KH

Abd. Rahman Wahid, yang mengatakan bahwa sholat dengan

menggunakan dua bahasa secara fiqh merupakan masalah

khilafiyah; ada yang melarang dan ada yang memperbolehkan

atau dengan bahasa lain tidak menyalahi fiqh.

          Sementara itu dengan alasan bahwa pelaksanaan sholat

dengaan menggunakan dua bahasa sebagaimana dilakukan oleh

Yusman Roy, pengasuh Pondok I`tikaf Jamaah ngaji Lelaku

Lawang Malang itu dapat meresahkan masyarakat, maka Polri

akhirnya  menahan yang bersangkutan dan menjadikannya

sebagai tersangka.[4]  Kenyataan ini sesungguhnya 

mengundang pertanyaan yang cukup besar bagi kehidupan

keberagamaan di Indonesia  tercinta ini.  Sebab ditinjau dari

aspek-aspek apapun, asalkan  dengan didasari oleh  keikhlasan,

kiranya tidak akan ada yang  diusik atau dengan bahasa lain

tidak akan menimbulkan keresahan.  Bagaimana mungkin orang

melaksanakan ibadah, sebagai manifestasi ketaatannya kepada

sang Pencipta dan sebagai wahana untuk taqarrub kepada ilahi,

dianggap bersalah dan berakhir dengan penahanan.  Sementara

kemaksiatan dengan berbagai variasinya setiap saat leluasa dan

berlalu lalang dapan mata, terlewatkan begitu saja dan tidak

mendapatkan perhatian yang seimbang.

          Lepas dari persoalan riil yang telah terjadi di malang Jawa

Timur, namun persoalan sholat dengan menggunakan dua

bahasa, yakni bahasa Arab dan bahasa non Arab atau mungkin

Page 7: MAKALAH FIKIH IBADAH

malah dapat diperluas menjadi pelaksanaan sholat dengan

menggunakan bahasa `ajam atau bahasa selain selain Arab, ini

sangat urgen untuk dicari solusinya, dengan harapan agar pada

saat yang akan datang tidak lagi terjadi penghakiman terhadap

orang yang melaksanakan ibadah kepada Tuhannya.

          Sesungguhnya persoalan ini  merupakan persoalan fiqh,

dan masuk ke dalam bagian masalah yang diperselisihkan oleh

para ulama’ atau masalah khilafiyah, sebagaimana masalah

khilafiyah lainnya.  Hal ini mengingat bahwa sholat itu sendiri

sesungguhnya merupakan doa dan permohonan kepada sang

Khaliq.  Secara terminology fuqaha’, sholat diartikan sebagai

sejumlah af`al (perbuatan yang berupa gerakan-gerakan

tertentu, seperti ruku’, sujud, julus, berdiri, dan lainnya) dan

aqwal (bacaan-bacaan tertentu, seperti taujih, qiraat, takbir,

tasbih, tahmid, istighfar, tahiyyat/tasyahhud, dan lainnya) yang

dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Masalah

seperti ini dalam perspektif fiqh merupakan masalah yang wajar

mengingat para mujtahid yang menggali hukum dan kemudian

menentukan hukum tersebut  berbeda, baik berbeda tempat dan

kondisi sosio kulturalnya, maupun berbeda dalam menggunakan

metodologi penggaliannya.  Masalah khilafiyah yang sampai

sekarang terus terpelihara antara lain tentang melaksanakan doa

qunut pada sholat subuh, jumlah rakaat pada saat sholat

tarawih, dan lannya.

          Oleh karena itu sepatutnya masalah ini juga diberlakukan

sebagaimana  masalah khilafiyah yang lainnya.  Dan  agar

persoalan ini menjadi jelas  dan  dapat dijadikan pegangan umat,

maka perlu dilakukan kajian yang mendalam dan akurat tentang

hukum melaksanakan sholat dengan dua bahasa, yakni bahasa

Page 8: MAKALAH FIKIH IBADAH

arab dan bahasa non Arab, dan bahkan hukum melaksanakan

sholat dengan menggunakan bahasa selain bahasa Arab.

E. Bahasa Arab Bahasa Islam

Bahasa Arab adalah bahasa Islam. Dalilnya: Pertama, Allah

SWT mengutus Nabi Muhammad saw. untuk seluruh manusia (QS

al-A’raf [7]: 158) dan al-Quran merupakan seruan bagi seluruh

manusia (QS al-Isra’ [17]: 89; ar-Rum [30]: 58).

Allah SWT menurunkan Al-Quran dengan bahasa Arab dan

menjadikannya berbahasa Arab. Allah SWT berfirman:

lا nن qاهo إ sن ل qزs qن uا أ آن sرoا قx nي ب qرqع sمo lك qعqل oونq ل qعsقnل ت

Sesungguhnya Kami menurunkan al-Quran sebagai bacaan

dengan berbahasa Arab agar kalian memahaminya (QS Yusuf

[12]: 2).

Juga firman-Nya:

ان| qسnلn nي{ ب ب qرqين| عn مoب

…dengan bahasa Arab yang jelas (QS asy-Syu’ara [26]: 195).

Dengan demikian, bahasa Arab merupakan satu-satunya

bahasa Islam karena bahasa Arab adalah satu-satunya bahasa al-

Quran. Karena itu, jika bukan bahasa Arab maka tidak disebut

dengan al-Quran (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 37).

Kedua, membaca ungkapan (bacaan) al-Quran merupakan

ibadah, bahkan shalat tidak sah tanpa membaca al-Qur’an. Allah

SWT berfirman:

Page 9: MAKALAH FIKIH IBADAH

ءoوا qرsاقqا فqم qر lسq qي آنn مnنq ت sرoقs ال

Karena itu, bacalah apa yang mudah bagi kalian dari al-Quran itu

(QS al-Muzammil [73]: 20).

Nabi saw. juga bersabda:

q qةq ال nمqنs صqال qمs ل s ل أ qرsقq ةn ي qحn nفqات qابn ب nت sك ال

Tidak ada shalat bagi orang yang (di setiap rakaat) tidak

membaca surat al-Fatihah (HR al-Bukhari).

Perintah “membaca al-Quran” dalam kedua nas di atas,

artinya adalah membaca kalimat-kalimat dan hal ini tidak bisa

diartikan dengan membaca terjemahannya atau tafsirnya. Ini

merupakan dalil yang tegas tentang ketidakbolehan membaca

surat al-Fatihah di dalam shalat dengan selain bahasa Arab,

sekalipun ia belum bisa—mengucapkan dengan baik ungkapan—

bahasa Arab. Dengan demikian, bahasa Arab merupakan perkara

esensial dalam Islam (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm.

37-38). Bahkan keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari Islam

(Abdullah, Dirâsât fî al-Fikri al-Islâmiy, hlm. 95).

Oleh karena itu, sejak awal abad ke-7 Hijriah, ketika

kekuatan bahasa Arab dipisahkan dari kekuatan Islam, maka

Dunia Islam pun mengalami kemunduran. Sebab, Islam dan

bahasa Arab itu merupakan satu kesatuan yang tidak

terpisahkan. Pasalnya, ijtihad yang kedudukannya amat penting

bagi umat dalam menghantarkan pada sebuah kemajuan tidak

mungkin dilaksanakan tanpa terpenuhinya salah satu syarat

mendasarnya, yaitu bahasa Arab (An-Nabhani, Mafâhîm Hizb

atTahrîr, hlm. 3-4).

Page 10: MAKALAH FIKIH IBADAH

F. Hukum Sholat Dengan Dua Bahasa

          Pandangan fiqh terhadap segala sesuatu sesungguhnya 

dapat menghasilkan lima pandangan hukum sekaligus.  Lima

pandangan hukum tersebut meliputi wajib,  sunnah, mubah,

makruh, dan haram. Dalam pandangan fiqah, illat atau alasan

dan pertimbangan hukum sangat menentukan status hukum. 

Karena itu dalam pandangan fiqh, sesuatu hal dapat saja

mempunyai status hukum yang berbeda, manakala

pertimbangan dan alasan yang digunakan  menetapkan dan

menentukan hukum tersebut berbeda.  Dalam masalah ini,

sesuatu tersebut dapat dianggap sebagai hal yang harus dan

wajib, tetapi sekaligus dalam pandangan dan sisi yang lain dapat

dianggap hanya sebagai sunnah saja, bahkan pada sisi yang lain

pula dapat dianggap hanya sebagai hal yang mubah.  Dan kalau

pada sisi pandangan yang ternyata ditemukan illat yang lain

pula, maka sesuatu itu  dapat dikatakan sebagai hal yang

mahruh, dan bahkan dapat berstatus haram.

          Itulah pandangan fiqh yang memang memungkinkan untuk

berbeda, asalkan  dilandasi dengan  argumentasi yang dapat

dipertanggungjawabkan.  Oleh karena itu kalau ada klaim secara

umum bahwa sesuatu itu menyalahi fiqh tanpa melihat

pertimbangan dan alasan hukumnya, tentu tidak dapat

dibenarkan.

          Secara umum fiqh memandang bahwa  pelaksanaan shalat

merupakan kewajiban bagi seluruh umat Islam, baik laki-laki

maupun perempuan. Kewajiban tersebut tidak dapat diwakilkan

ataupun diganti dengan perbuatan lain.  Setiap individu muslim

harus melaksanakannya sebanyak lima kali/waktu dalam setiap

Page 11: MAKALAH FIKIH IBADAH

harinya; baik ia dalam kondisi sehat maupun sakit, asalkan

pikirannya tetap sehat.  Pelaksanaan shalat sebagaimana yang

dimaksud tersebut harus mengikuti kepada petunjuk Nabi,

sepanjang petunjuk tersebut ada dan diyakini kebenarannya. 

Dalam salah sebuah hadis, Nabi Muhammad saw. pernah

mengatakan:

كما أصل  رأيتمونى   صلوا

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian semua melihat aku

melakukan shalat.”

Perintah mengikuti  sebagaimana yang tertuang di dalam hadis

tersebut hanyalah berkisar sesuatu yang dapat dilihat, karena

kata Nabi  sebagaimana kalian melihat aku melaksanakan shalat,

tidak mungkin diperuntukkan bagi sesuatu yang tidak dapat

dilihat.  Jadi mengenai jumlah rakaat, waktu pelaksanaannya,

gerakan-gerakan dalam shalat, dan lain-lain hal yang dapat

disaksikan itulah yang memang harus dicontoh dari Nabi saw.. 

Sementara itu mengenai bacaan dalam shalat; apakah

membacara surat al-Ikhlas, al-Thin,  al-Insyirah, al-`Alaq,

ataupun  surat-surat lain, secara spesifik tidak diperintahkan oleh

Nabi, termasuk juga kiranya do’a-do’a yang dibaca di dalam

shalat.  Demikian juga apakah bacaan-bacaan tersebut harus

dilakukan dengan menggunakan bahasa Arab ataupun bahasa

`ajam (selain bahasa Arab) Nabi tidak menentukannya.  Memang

pada saat itu tidak atau belum dibayangkan  mengenai bahasa

selain bahasa Arab,  karena itu Nabi Muhammad saw., para

sahabat, dan seluruh umat Islam melaksanakannya dengan

memakai bahasa Arab.

Page 12: MAKALAH FIKIH IBADAH

          Namun setelah waktu berlalu bersamaan dengan

berkembangnya Islam ke wilayah-wilayah yang jauh dari Arab,

ada sebagian warga muslim yang kesulitan menggunakan

bahasa Arab untuk komunikasi, dan sekaligus memahami agama

Islam dengan menggunakan bahasa aslinya, yaikni Arab, tentu

hal ini harus disikapi secara arif, agar Islam dapat dipahami dan

dirasakan rahmatnya bagi seluruh umat manusia.  Muncullah

kemudian persoalan mengenai berdo’a dengan menggunakan

bahasa selain bahasa Arab, dan bahkan melaksanakan shalat

dengan menggunakan bahasa lokal non Arab.  Tentu

persoalannya bukan sekedar apakah Tuhan mendengar

permohonan yang dilakukan dengan bahasa selain bahasa Arab

saja,  tetapi lebih dari itu  ada persoalan lain yang dipandang

lebih krusial, yakni tentang posisi bahasa Arab yang digunakan

oleh Nabi Muhammad saw dan lebih-lebih sebagai bahasa Tuhan

(al-Qur’an).

            Memang hampir seluruh ulama tidak ada yang

mengajarkan shalat dengan memakai bahasa selain bahasa

Arab, kecuali di kalangan madzhab Hanafi yang

memperbolehkan  melaksanakan shalat dengan memakai

bahasa non Arab atau bahasa Turki.  Sementara di kalangan

madzhab lainnya, terutama  madzhab Syafi`i, pelaksanaan shalat

harus memakai bahasa Arab, baik ia paham terhadap bacaan

yang dibaca dalam shalat maupun tidak, karena  hal itu dianggap

sebagai hal yang tauqifi datang dari Nabi saw. dan harus

dilakukan sebagaimana adanya.

          Namun sesungguhnya apabila dikaji secara cermat,

sebenarnya shalat itu meskipun termasuk ibadah yang khusus,

akan tetapi hakekatnya adalah merupakan  sarana komunikasi

Page 13: MAKALAH FIKIH IBADAH

antara hamba dengan  al-Khaliq.  Menurut bahasa, shalat itu

berarti doa atau permohonan, karena memang di dalam shalat

itu bacaan-bacaannya merupakan doa.  Doa  adalah permohonan

yang sampaikan oleh  seorang hamba kepada Tuhannya.  Jadi

shalat akan sangat berarti manakala sang hamba yang

memohon tersebut dapat memahami, meresapi, dan

menghayati  apa yang dimohonkannya.  Memang Nabi

Muhammad saw. tidak pernah mengajarkan shalat dengan

memakai bahasa non Arab, karena memang Nabi saw. berada di

Arab dan masyarakat dan umatnya pun (waktu itu) hanya terdiri

dari orang-orang Arab.  Namun Nabi saw. juga tidak pernah

mengeluarkan larangan untuk melaksanakan shalat dengan

bahasa selain bahasa Arab.  Nabi saw. hanya  menyuruh

umatnya untuk  melakukan shalat sebagaimana pelaksanaan

shalat yang dilakukan oleh Nabi saw. dan dapat dilihat oleh

umatnya.

          Disamping itu memang terdapat hadis yang menyatakan:

الصالة هذه فيها   إن يصلح هو  ال إنما الناس كالم من شيء

القرآن وقراءة والتكبير التسبيح

Sesungguhnya shalat ini, di dalamnya tidak patut dimasuki 

perkataan manusia, sebab  yang patut di dalam shalat itu

hanyalah tasbih, takbir dan bacaan al-Qur’an.

Hadis ini menunjukkan bahwa  perkataan-perkataan yang sama

sekali tidak ada hubungannya dengan shalat, seperti menjawab

pertanyaan orang yang  tidak shalat, memberitahu orang lain

tentang hal-hal  di luar shalat, dan lainnya tidak diperbolehkan,

Page 14: MAKALAH FIKIH IBADAH

dan kalau sampai dilakukan pada saat melaksanakan shalat,

maka hukumnya tidak sah alias shalatnya tidak sah atau batal.

          Memang ada  sementara orang yang beranggapan bahwa

hadis ini menjelaskan tidak bolehnya melaksanakan shalat

dengan menggunakan dua bahasa, apalagi hanya dengan satu

bahasa non Arab saja.  Anggapan ini terlalu berlebihan dan tidak

tepat, karena kalau shalat itu dilaksanakan dengan

menggunakan dua bahasa, yaitu dengan bahasa Arab dan

bahasa local, maka bahasa yang non Arab digunakan  hanyalah

merupakan terjemahan dan bukan perkataan lain yang tidak ada

hubungannya dengan shalat.  Terjemahan tersebut masih terkait

dengan bacaan shalat dan itu tidak termasuk ke dalam  maksud

hadis di atas.  Kalaupun shalat itu dilaksanakan dengan hanya

menggunakan satu bahasa non Arab, itupun  hanya terjemahan

juga yang nyatanya masih terkait dengan shalat dan bukan 

merupakan perkataan yang tidak berhubungan dengan shalat

sebagaimana dimaksud hadis tersebut.  Jadi menggunakan dasar

hadis tersebut untuk melarang melaksanakan shalat dengan

menggunakan dua bahasa dan atau dengan menggunakan

bahasa non Arab adalah tidak tepat.

          Alasan yang sering mengemuka dalam rangka  melarang

pelaksanaan shalat dengan dua bahasa ataupun dengan hanya

satu bahasa terjemahan saja ialah sabda Nabi Muhammad saw.

كما أصلى  رأيتمونى   صلوا

Salatlah kalian sebagaimana aku melaksanakannya

sebagimana  tersebut di atas.  Alasan inipun kurang tepat

dengan alasan bahwa yang diperintahkan oleh Nabi saw. adalah

Page 15: MAKALAH FIKIH IBADAH

mengikuti apa yang dilihat ketika Nabi saw. melaksanakan

shalat, dan bukan apa yang didengar, sebagimana  telah

dijelaskan di atas.

          Disamping itu  sebagai perbandingan dapat dikemukakan

bahwa pada saat yang lalu pernah ada larangan khutbah jumat

dengan menggunakan dua bahasa, yakni bahasa Arab dan

bahasa terjemahannya, dengan alasan karena khutbah

merupakan rangkaian ibadah jumat yang  pelaksanaannya juga

menggunakan bahasa Arab sejak zaman Nabi hingga para

sahabat dan seterusnya.  Sang khatib pun juga  diharuskan suci

dari hadas, suci pakaian, serta harus menutup auratnya.  Namun

karena alasan untuk memahamkan pesan khutbah sang khatib

kepada mustamiin, maka  kemudian dibolehkan  melakukan

khutbah jumat dengan menggunakan dua bahasa atau bahkan

hanya dengan menggunakan  bahasa selain Arab asalkan 

bacaan al-Qur’annya  dibacara dengan bahasa aslinya, yakni

bahasa Arab.  Tentu perbandingan ini bukan dimaksudkan untuk

menyamakan antara shalat dengan khutbah jumat, akan tetapi

hanya sebagai gambaran bahwa  meskipun  ajaran Nabi saw.

mengenai khuthbah  selalu menggunakan  bahasa Arab,  akan

tetapi dengan pertimbangan untuk memahamkan mustamiin,

akhirnya  dibolehkan dilakukan dengan menggunakan dua

bahasa, yakni bahasa Arab dan non Arab.

          Sama halnya dengan pelaksanaan shalat dengan

menggunakan dua bahasa,  meskipun Nabi saw. dan para

sahabatnya selalu melaksanakannya dengan menggunakan

bahasa Arab, akan tetapi dengan tujuan agar bacaan shalat

tersebut dapat dipahami dan diresapi oleh yang melaksanakan

shalat, maka  ketika melaksanakan shalat dengan menggunakan

Page 16: MAKALAH FIKIH IBADAH

dua bahasa dalam melaksanakan shalat juga  tidak dilarang. 

Tentu ini  khususnya diperuntukkan bagi  mereka yang tidak

dapat memahami bahasa Arab, sebagaimana mayoritas bangsa

Indonesia.

          Sebagaimana diketahui bahwa  melaksanakan shalat yang

lima waktu itu disamping memang  merupakan perintah dari

Allah swt. sesungguhnya juga  merupakan sarana komunikasi

yang sangat efektif bagi seorang hamba kepada Tuhannya,

manakala  ia dapat melaksanakannya dengan  benar.  Tujuannya

jelas untuk mendekat diri kepada  al-Khaliq, berdzikir atau selalu

ingat kepada-Nya dan yang tidak kalah penting adalah agar 

dapat menghindarkan diri dari perbuatan yang keji dan mungkar,

sebagaimana  disebutkan dalam al-Qur’an.  Karena itu bacaan-

bacaan shalat yang diajarkan oleh Nabi saw. terdiri atas

beberapa doa yang sangat  bagus untuk memberihkan  diri

seorang hamba  dari berbagai hal  negatif dan sekaligus 

mendapatkan berbagai karunia dan ampunan dari Tuahnnya. 

Namun sekali lagi bahwa tujuan yang sangat mulia tersebut tidak

akan bisa dicapai kalau apa yang dibaca dan diucapkan tersebut

tidak dipahami, dimengerti,  dan dihayati.  Tidak mungkin akan

ada atsar di dalam diri seorang hamba yang melaksanakan

shalat tetapi dirinya tidak  mengetahui apa yang sesungguhnya

di dialogkan dengan dan dimohonkan kepada Tuhannya.  Tidak

mungkin akan ada perubahan pada diri seorang hamba yang 

melakukan shalat, tetapi ia sendiri tidak  mengerti apa yang

diucapkannya.  Tidak mungkin ada komitmen untuk  menjadi

orang sebagaimana  yang diucapkannya di dalam shalat, yang

antara lain menyatakan bahwa  shalatnya, ibadahnya, matiu, dan

hidupnya hanya semata untuk Allah swt., kalau  dia tidak

mengetahui yang diucapkannya.  Juga tidak akan mungkin terjadi

Page 17: MAKALAH FIKIH IBADAH

perubahan kearah yang positif, kalau dalam pelaksanaan

shalatnya dia sendiri tidak menyadari bahwa dirinya  telah

memohon kepada Tuhannya untuk menjadi  seorang hamba

yang diampuni, dan dijauhkan dari perbuatan keji dan mungkar

serta perbuatan tidak terpuji lainnya.  Justru yang terjadi adalah

sebaliknya.  Artinya meskipun ia melaksanakan seribu kali shalat,

yang secara formal memang telah menggugurkan kewajibannya

sebagai seorang muslim, tetapi  sama sekali tidak ada

perubahan yang mengarah kepada hal yang positif, bahkan 

mungkin bisa jadi ia tetap melakukan perbuatan-perbuatan keji

dan mungkar setiap saatnya.

          Persoalan memahami bacaan dalam shalat, meskipun

tidak ada kewajiban, namun dalam rangka untuk mewujudkan

tujuan shalat dan agar  orang yang melaksanakan shalat

tersebut benar-benar  dapat merasakan hubungan komunikasi

dengan Tuhannya maka sangatlah dianjurkan untuk mengetahui

bacaan yang diucapkan dalam shalat.

          Walaupun tentang ayat:

ما تعلموا حتى سكارى وأنتم الصالة التقربوا منوا ا الذين أيها يا

43النساء :  تقولون

Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian medekati

shalat sedangkan kalian dalam keadaan mabuk hinmgga kalian

mengetahui apa yang kalian ucapkan.(Q.Surat al-Nisa’: 43)

tersebut tidak secara khusus membicaraakan masalah ini,

namun secara umum bahwa memahami bacaan yang diucapkan

di dalam shalat itu lebih utama dan lebih baik ketimbang tidak

memahaminya.

Page 18: MAKALAH FIKIH IBADAH

          Ayat ini memang diturunkan dalam rangkaian

pengharaman khamr secara bertahap, dan kejadiannya pun

berkenaan dengan peristiwa  ketika Abdur Rahman bin `Auf

mengundang makan kepada Ali dan kawan-kawannya yang di

dalam jamuan makan tersebut dihidangkan khamr sehingga

terganggulah pikiran mereka,  dan ketika waktu shalat tiba 

kemudian mereka meminta Ali untuk memimpin shalat bagi

mereka dan ketika  melaksanakan shalat tersebut Ali membaca

surat al-Kafirun dan bacaannya terbalik-balik menjadi:

تعبدون ما أعبد ال فرون الكا أيها يا تعبدون  قل ما نعبد ونحن

Katakanlah (wahai Muhammadsaw.) wahai orang-orang kafir

saya tidak akan menyembah apa yang kalian sembah, dan kami 

akan menyembah apa yang kalian sembah

Berdasarkan perintiwa inilah kemudian Allah swt. menurunkan

ayat 43 surat al-Nisa’ tersebut.

          Namun secara umum sebagaimana disampaikan di atas

bahwa ayat ini juga menganjurkan  agar orang yang

melaksanakan shalat itu untuk memahmi yang diucapkannya. 

Karena itu secara umum pula dapat disimpulkan bahwa memahi

bacaan yang diucapkan di dalam shalat akan lebih baik dan akan

lebih membuat seseorang khusuk daripada sama sekali tidak

memahami bacaan yang diucapkannya.  Bacaan yang diucapkan

dan tidak dipahami apa maksudnya tidak akan membuat

seseorang konsentrasi dan fokus terhadap apa yang sedang

dilakukannya.  Sebaliknya ucapan yang dipahami dan bahkan

diresapi dan dihayati, akan membuat seseorang terfokus dan

konsentrasi terhadap apa yang sedang dilakukannya.

Page 19: MAKALAH FIKIH IBADAH

          Seseorang yang melaksankaan shalat dengan tidak

memahami dan meresapi apa yang dibaca dan dipohonkan

kepada Tuhan, tentu tidak akan ada atsar yang membekas

dalam dirinya.  Lebih jauh dari itu shalat yang dilaksanakannya

tidak akan memberikan  dampak yang diharapkan, yakni dapat

mencegah dan menjauhkan diri dari perbuatan yang keji dan

mungkar.  Sedangkan shalat yang dilaksanakan dengan

memahami bacaan yang diucapkan dan meresapi serta penuh

konsentrasi dan harapan kepada Allah, tentu akan membantu

pencapaian tujuan yang diharapkan tersebut.

          Bagi orang yang dapat menguasai bahasa Arab, tentu

tidak akan ada persoalan kalau harus melaksanakan shalat

dengan menggunakan bahasa Arab, tetapi bagi orang yang tidak

dapat menguasai bahasa Arab, sebagaimana kebanyakan 

masyarakat muslim Indonesia, tentu ketika harus melaksanakan

shalat dengan bahasa Arab akan  mendapatkan kesulitan

pemahaman dan  peresapan serta konsentrasi yang

menyebabkan seseorang tersebut kesulitan atau terjauhkan dari

dampak positif yang diharapkan.  Karena itu penerjemahan

bacaan dengan menggunakan bahasa lokal  atau bahasa

Indonesia  adalah merupakan salah satu jalan untuk memahami

dan meresapi apa yang diucapkan sehingga akan dapat

membantu konsentrasi di dalam  munajatnya kepada Allah.  Dan

dengan demikian akan lebih mendorong untuk  terwujudnya 

atsar atau dampak positif yang diharapkan.

          Tentu saja dalam masalah ini juga harus diingat bahwa

dalam hal bacaan al-Qur’an, seluruh ulama sepakat untuk tetap

harus dibaca dalam bahasa aslinya, yakni bahasa Arab, karena

memang al-Qur’an itu merupakan kalam Allah swt. yang tidak

Page 20: MAKALAH FIKIH IBADAH

dapat dipahami oleh manusia secara menyeluruh dan pasti. 

Boleh jadi suatu ayat dipahami oleh seseorang dengan

pengertian dan pemahaman tertentu, tetapi pada saat yang

sama akan dipahami orang lain dengan pengertian dan

pemahaman yang lain pula. Karena  itu untuk menghindari hal-

hal yang justru akan merugikan perkembangan Islam secara

keseluruhan, maka untuk al-Qur’an itu harus dibaca dalam

bahasa aslinya.

          Meskipun demikian bukan berarti tidak boleh

diterjemahkan ke dalam bahasa lokal atau bahasa Indonesia. 

Penerjemahan terhadap al-Qur’an di sini dimaksudkan juga untuk

memahami dan meresapi bacaan al-Qur’an yang diucapkan.  Dan

ini tidak menyalahi pendapat umum para ulama, yang

mengharuskan  bacaan al-Qur’an dibaca dalam bahasa Arab. 

Sebab pada kenyataannya al-Qur’an masih tetap dibaca dalam

bahasa Arab, tetapi kemudian ditambah dengan pemahamannya

dengan menggunakan bahasa lokal, yaitu bahasa Indonesia.

          Jalan keluar dan kesimpulan sebagaimana disebutkan di

atas tersebut juga didasarkan kepada alasan-alasan yang dapat

dipertanggungjawabkan, antara lain teori ushul fiqh yang

menyatakan:

التيسير تجلب المشقة

Masyaqqat atau kesulitan itu menarik/mendatangkan

kemudahan.

Bahwa kesulitan itu harus dihilangkan dalam rangka

menjalankan perintah dan sekaligus mencapai tujuan yang

diinginkan.  Ketika seseorang kesulitan  memahami bahasa Arab,

Page 21: MAKALAH FIKIH IBADAH

yang setiap saat selalu diucapkannya dalam shalat, padahal

tujuan shalat salah satunya ialah dalam rangka menjauhan diri

dari perbuatan keji dan mungkar, maka sudah barang tentu

dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan tersebut,

seseorang harus mencari jalan agar ia paham dan meresapi apa

yang diucapkannya dalam shalat tersebut.  Salah satu jalan yang

diupayakan tentu belajar memahmi bahasa Arab yang

diucapkannya,  tetapi kalau ini juga menjadi sulit baginya, maka

jalan yang dilakukannya ialah dengan menerjemahkannya ke

dalam bahasa lokal.

Bahwa Islam itu merupakan agama yang hanif dan

cenderung kepada kemaslahatan keseluruhan umat manusia. 

Karena itu perintah-perintah yang ada di dalamnya dimaksudkan

agar dapat  dilaksanakan oleh umatnya dan  bukan dalam

rangka menyengsarakan.  Artinya tidak ada  maksud sedikitpun

dari syari’at ini untuk  mempersulit umatnya dalam rangka

menjalankan kewajiban-kewajiban yang dibebankan.  Salah satu

bukti dalam masalah ini antara lain dalam menjalankan shalat

misalnya ada dispensasi yang diberikan kepada  umat Islam

yang kesulitan berdiri untuk melaksanakannya  dengan duduk. 

Padahal berdiri merupakan sesuatu yang mutlak dilakukan oleh

orang yang menjalankan shalat.

Perlu ditambahkan di sini bahwa  pada dasarnya dalam

segala hal, Allah itu menghendaki kemudahan dan tidak

menghendaki kesulitan, sebagaimana yang terungkap dalam

ayat:

العسر بكم يريد وال اليسر بكم الله (185البقرة ) :  يريد

Page 22: MAKALAH FIKIH IBADAH

Allah itu menghendaku kemudiahan dan tidak menghendaki

kesulitan  (Q. Surat al-Baqarah: 185)

Karena itu secara umum pula bahwa dalam masalah ini

kalau seorang hamba dalam pengabdiannya melalui shalat yang

memang merupakan kewajibannya, dan dalam menjalankan

perintah tersebut menemui kesulitan dalam penggunaan bahasa,

maka kiranya Allah swt. juga tidak akan mempersulitnya untuk

tetap memaksakan bahasa yang tidak  dapat dikuasainya

tersebut.  Dalam masalah ini tentu seorang hamba tersebut

diijinkan untuk menggunakan bahasa yang dikuasainya untuk

berkomunikasi dan bermunajat kepada Tuannya  melalui shalat

tersebut.  Mengenai  hal ini, yakni pada prinsipnya Allah swt.

menghendaki kemudahan dan tidak menginginkan kesulitan

terhadap hambanya dalam semua hal, juga telah diungkapkan

oleh para ulama, karena memang  telah ditunjuki oleh ayat

sebagaimana di sebutkan di atas.

Berdasarkan kenyataan ini sekali lagi bahwa teori tersebut

memberikan peluang bagi orang-orang yang mendapatkan

kesulitan dalam memahami bahasa Arab, dapat mengguankan

bahasa yang dikuasai untuk mendapatkan kemudahan dan

menghilangkan kesutitan tersebut.  Karena semua itu dilakukan

dalam rangka mencapai tujuan, yakni ingat, dzikir, munajat, dan

komunikasi dengan Allah swt. dalam wujud pelaksanaan shalat. 

Dan muara dari semua itu ialah terjauhkannya seseorang dari

perbuatan keji dan mungkar yang memang  harus dijauhi.

Salah satu teori ushul fiqh yang juga dapat dijadikan

sanadaran dalam masalah ini ialah:

صدها- بمقا االمور

Page 23: MAKALAH FIKIH IBADAH

Segala sesuatu itu  sesuai dengan maksud dan tujuannya.

Semua urusan, termasuk di dalamnya masalah ibadah itu

harus diarahkan sesuai dengan maksud dan tujuannya.  Hal ini

sangat penting untuk diungkapkan, karena memang tujuan dari

pelaksanaan syari`at Islam itu tidak semata-mata pembebanan

kepada seorang hamba, tetapi lebih dari itu mempunyai tujuan 

agar hamba yang melaksanakan  perintah tersebut menjadi

orang-orang pilihan dan teladan. Keterpilihan dan  keteladana

tersebut dapat diperoleh oleh mereka yang dalam

melaksanakan  ibadah tidak semata-mata melaksanakan

kewajiban dan perintah agama, tetapi juga dapat 

mengaplikasikan apa yang terkandung di dalam pelaksanaan 

ibadah tersebut.

Dalam masalah shalat, keteladanan dan keterpilihan

tersebut bukan didasarkan kepada pelaksnaannya semata, tetapi

yang lebih penting adalah justru dapat mengimplementasikan

apa yang diucapkannya  dalam shalat pada kehidupan di luar

shalat.  Kalau di dalam shalat seseorang berjanji untuk

menyerahkan segala urusannya kepada Allah swt.  semata,

misalnya, maka ketika telah selesai menjalankan shalat

seharusnya komitmen yang di ungkapkan dalam shalat tersebut 

juga diwujudkan dalam kenyataan di luar shalat.  Itu semua

dapat dilakukan manakala  orang yang melaksanakan shalat

tersebut memahami dan mengerti apa yang diucapkan.  Kalau

apa yang ucapkan dalam shalat tersebut tidak dimengerti, sudah

pasti tidak mungkin semua ini akan terwujud.

Berdasarkan kenyataan  ini, tentu penerjemahan ucapan-

ucapan di dalam shalat ke dalam bahasa lokal yang dimengerti

Page 24: MAKALAH FIKIH IBADAH

oleh orang yang melaksanakannya, tentu menjadi penting, dan

karenanya tidak dilarang.  Tujuan shalat sebagaimana

diungkapkan di atas akan dapat diwujudkan hanya dengan

pemahaman dan peresapan  arti dan makna  bacaan-bacaan

yang ada.

Disamping itu dapat ditambahkan bahwa muara

keseluruhan dari syari`at ialah dalam rangka kemaslahatan umat

secara menyeluruh.  Hukum Islam, dalam hal ini fiqh yang dapat

memberikan status hukum yang lima sebagaimana disebutkan di

atas,  juga didasarkan kepada pertimbangan maslahat ini. Tidak

ada satupun hukum fiqh yang ditetapkan dan diberlakukan bagi

segenap umat dengan tidak mempetimbangkan kemaslahatan

ini.

Karena itu dalam masalah bacaan shalat yang disamping

diucapkan dengan bahasa aslinya, yakni bahasa Arab, juga

diberikan terjemahannya  dengan tujuan agar apa yang ucapkan

tersebut dapat dimengerti dan diresapi, sehingga akan terjadi

komunikasi yang hidup antara hamba yang sedang

melaksanakan shalat dengan Tuhannya, secara fiqh tidak

dilarang.  Bahkan kalau dalam hal seorang hamba kesulitan

menggunakan bahasa Arab, maka diperbolehkan

mengucapkannya hanya dengan bahasa lokal dengan catatan

bacaan al-Qur’annya harus tetap dibaca dalam bahas aslinya. 

Hal ini  sebagaimana  disebutkan di atas, dikarenakan al-Qur’an

itu merupakan kalam Allah swt.  yang  oleh para ulama

disepakati tidak boleh diganti dengan bahasa apapun.  Namun 

sebagaimana dijelaskan di atas pula bahwa kalau hanya sekedar

ucapan terjemahan al-Qur’an  yang diungkapkan  setelah bacaan

al-Qur’an  dengan menggunakan bahasa aslinya, tidak dilarang.

Page 25: MAKALAH FIKIH IBADAH

Sebagai kesimpulan dapat disampaikan bahwa 

melaksanakan shalat dengan  menggunakan bahasa lokal, dalam

hal ini bahasa Indonesia secara fiqh tidak dilarang, asalkan

bacaan al-Qur’an, baik al-fatihah maupun  surat atau ayat

lainnya tetap dibaca dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa Arab. 

Demikian pula  pelasanaan shalat dengan menggunakan dua

bahasa sekaligus, yakni bahasa Arab dengan bahasa lokal, dalam

hal ini bahasa Indonesia sebagai terjemahannya, secara fiqh juga

tidak dilarang.  Bahkan kalau tujuan penggunaan bahasa lokal

tersebut  dengan tujuan untuk dapat memahami dan meresapi

apa yang diucapkan dalam shalat, agar dapat mencapai tujuan

menjauhkan diri dari perbuatan keji dan mungkar serta dapat

selalu dzikir dan ingat kepada Allah swt., maka  sesungguhnya

hal itu justru dapat dianggap lebih baik.  Tetapi kalaupun orang

yang melaksanakan shalat tidak memahami bacaan yang

diucapkannya, dan  tetap melaksanakan shalat dengan hanya

bahasa Arab saja, juga tidak menyalahi fiqh, hanya ditinjau dari 

maqasid al-syari`ah hal ini justru kurang tepat.

G. PendapaT Para Ulama

Pada kenyataannya, para ulama ternyata berbeda dalam

menilai dan menentukan hukum bagi shalat dengan memakai

dua bahasa dan menggunakan bahasa selain bahasa Arab.  Di

kalangan ulama’ Syafi’iyyah secara umum memandang bahwa 

penggunaan bahasa selain bahasa Arab tidak diperbolehkan. 

Pandangan ini didasarkan kepada prinsip tauqifi,  Artinya bahwa

shalat itu harus mengikuti petunjuk sebagaimana yang

diperintahkan oleh Syari` dan dipraktekkan oleh Nabi

Page 26: MAKALAH FIKIH IBADAH

Muhammad saw.. Kalau pada saat itu Rasul mempraktekkan

shalat hanya dengan menggunakan bahasa Arab, maka  sampai

hari kiamatpun harus tetap demikian. Sementara itu di kalangan

ulama’ Hanafiyah, secara umum membolehkan penggunaan

bahasa selain bahasa Arab.  Persoalan yang diperselisihkan

diantara para muridnya ialah tentang bacaan al-Qur’an dalam

shalat.  Artinya ketika seseorang mampu membacanya (dalam

bahasa Arab) dengan baik, maka tidak diperbolehkan

membacanya dengan bahasa lain.  Tetapi kalau tidak bisa, maka

dibolehkan denngan bahasa lain.  Sedangkan untuk bacaan

lainnya, seprti tasbih, takbir, doa dan lainnya disepakati boleh

tidak memakai bahasa Arab. Pandangan tersebut didasarkan

kepada  kenyataan bahwa  dengan perkembangan Islam yang

meluas kesegala penjuru, kemudian banyak umat Islam yang

kesulitan atau tidak bisa berbahasa Arab dan memahaminya.

Padahal sebagaimana diketahi bahwa shalat merupakan salah

satu komunikasi hamba dengan Tuhannya, serta merupakan doa

yang tujuannya agar Tuhan  mengabulkan permohonan tersebut

dan menjauhkan diri dari perbuatan keji dan mungkar.

Dalam khazanah fiqih klasik. Memang nyaris tidak ada

fuqaha yang memperbolehkan shalat selain dengan bahasa Arab,

terutama dalam membaca surat al-fatihah, kecuali Imam Abu

Hanifah (w. 150 H). Kalau toh ada sebagian kecil ulama yang

memperbolehkan mengganti bacaan shalat selain Bahasa Arab,

namun hal itu tidak berlaku untuk surat al-fatîhah. Surat al-

fatîhah adalah ‘harga mati’ yang tidak boleh diganti dengan

bahasa apapun.

Namun demikian, Imam Abu Hanifah memperbolehkan

membaca al-fatihah dalam shalat dengan bahasa Parsi bagi yang

Page 27: MAKALAH FIKIH IBADAH

tidak mampu berbahasa Arab. Bahkan, dia berpendapat,

membaca al-fatihah dengan bahasa Parsi –atau bahasa-bahasa

lain tentunya- tidak menghalangi sahnya salat meskipun orang

tersebut mampu berbahasa Arab. Hal yang terakhir ini (bagi

orang yang mampu berbahasa Arab) memang hukumnya makruh

menurut Imam Abu Hanifah. (Abu Zahra, Abû Hanîfah: Hayâtuhu

wa ‘Ashruhu wa arâ`uhu wa Fiqhuhu, [Dâr al-Fikr al-‘Arabî, 1977],

hlm. 34-35).

Memang pendapat Imam Abu Hanifah tersebut bagaikan

“suara lirih” di tengah kuatnya arus pendapat yang tidak

memperbolehkan shalat selain Bahasa Arab. Imam Syafi’i (w. 204

H) adalah tokoh yang paling keras menyuarakan hal ini. Bagi

Imam Syafi’i tidak ada pilihan kecuali harus menggunakan

Bahasa Arab dalam Shalat, baik orang yang tahu Bahasa Arab

maupun tidak. Imam Syafi’i memang dikenal sebagai seorang

tokoh yang mempunyai pembelaan gigih terhadap Bahasa Arab,

terutama Bahasa Arab versi suku Quraisy. Dia, misalnya,

menolak pendapat yang mengatakan bahwa di dalam al-Qur’an

ada serapan dari Bahasa non-Arab. Pendapat Imam Syafi’i

tersebut bertumpu pada pemahaman mengenai esensi al-Qur’an.

Menurutnya, esensi al-Qur’an bukan semata-mata makna tapi

makna yang dibungkus dengan kata-kata. Dengan demikian,

Bahasa Arab (al-Qur’an) -dengan segenap ideologinya- adalah

bagian substansial dari struktur teks (al-talâzum bain al-lafdzi wa

al-ma’nâ)..

Nasr Hamid Abu Zayd mempunyai penilaian yang menarik

mengenai hal ini. Menurutnya, sikap Imam Syafi’i yang begitu

keras membela Bahasa Arab (Quraisy) karena dia memang

seorang Arab (Quraisy) yang begitu fanatik dengan ke-Arab-

Page 28: MAKALAH FIKIH IBADAH

annya. Hal ini berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang non-

Arab, Persia , sehingga ia tidak mensakralkan Bahasa Arab. (Nasr

Hâmid Abu Zayd, al-Imâm al-Syâfi’î wa ta`tsîts al-Idiolojiyat al-

Wasathiyah, [Kairo: Maktabah Madbûlî, 1996], cet. II, hlm. 66).

Jumhur ulama’ diantaranya adalah Imam Syafi’i, Malik,

Ahmad, Dawud, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan Asy Syaibani

dan lainnya mengatakan bahwa tidak sah sholat menggunakan

bahasa selain bahasa arab, bahkan tidak sah sholat meskipun

mengunakan bahasa arab tapi bukan Al Qur’an yang dibaca

melainkan tafsirnya. Misalkan kalau seseorang membaca :

بينهما وما األرض و السموات رب الرحمن على الثناء

“Segala puji bagi Alloh yang maha Rohman pencipta dan

pengatur langit dan bumi serta yang ada diantara keduanya.”

Meskipun lafadl ini bahasa arab dan semakna dengan firman

Alloh:

لمين العا رب لله الحمد

Segala puji bagi Alloh Robb sekalian alam.”

(Lihat Al Mughni Imam Ibnu Qudamah 2/158, Al Bayan Fi

madzhab Imam Syafi’i syarah Al Muhadzab oleh Imam Al Imroni

2/195, Al Majmu Syarah Muihadzab Imam Nawawi 3/341 )

Dalil mereka adalah :

Hadits Malik bin Huwairits

Page 29: MAKALAH FIKIH IBADAH

: قال الحويرث بن مالك عن الله رسول قال

: سلم و عليه الله صلى رأيتموني كما صلوا

أصلي

Dari Malik bin Huwairits berkata : Rosululloh bersabda :

“Sholatlah sebagaimana kalian melihatku mengerjakan

solat.”

(HR. Bukhori : 631, Muslim : 674)

Dan Rosululloh tidak pernah sholat menggunakan bahasa

selain bahasa arab.

Firman Alloh Ta’ala :

“Maka bacalah yang mudah bagimu dari Al Qur’an.”

(QS. Al Muzzammil : 20)

Sabda Rosululloh, Dari Ubadah bin Shomit berkata :

Rosululloh bersabda : “Tidak sah sholat seseorang bagi

yang tidak membaca surat Al Fatihah.”

(HR. Bukhori 756, Muslim 394)

Sisi pengambilan dalil adalah bahwasannya Alloh

Ta’ala menyuruh dalam sholat untuk membaca Al Qur’an

dan Rosululloh menyuruh untuk membaca Al Fatihah. Maka

kalau membaca terjemahannya maka itu bukan membaca

Al Qur’an dan Al Fatihah tapi membaca terjemahannya.

Page 30: MAKALAH FIKIH IBADAH

Karena Al Qur’an itu lafadl dan maknanya merupakan

mu’jizat dari Alloh, maka apabila dirubah menjadi bentuk

lain atau bahasa lain niscaya akan hilanglah kemu’jizatnya

serta tidak dinamakan Al Qur’an lagi dengan kesepakatan

kaum muslimin (Lihat Al Majmu’ Syarah Muhadzab 3/342)

Rosululloh melarang seseorang dalam sholat untuk

membaca selain bacaan sholat Dari Mu’awiyah bin Hakam

As Sulami berkata :

“Tatkala saya sholat bersama Rosululloh tiba-tiba ada

seseorang diantara jamaah sholat yang bersin.” Maka saya

berkata : “Semoga Aloh merohmatimu.” Namun para

jamaah lainnya memandang kepada saya dengan

pandangan sinis mengingkari. Lalu saya katakan pada

mereka : “Celakalah saya, kenapa kalian memandangku

begitu ?.” namun mereka malah memukulkan tangan

mereka kepada paha mereka agar saya diam, lalu saya

pun diam saat melihat mereka diam sehingga selesai

sholat. Berkata Mu’awiyah kepada Rosululloh : “Bapak dan

ibuku sebagai tebusannya. Saya tidak pernah mengetahui

seorang pendidik yang lebih bagus cara mendidiknya dari

pada beliau, tidak sebelum dan tidak sesudahnya, demi

Alloh dia tidak menghardik aku, tidak memukul dan tidak

mencelaku.”

Rosululloh bersabda :

“Sesungguhnya sholat ini tidak layak untuk ucapan

manusia, sholat ini hanya untuk bertasbih, takbir dan

membaca Al Qur’an.”

(HR. Muslim)

Page 31: MAKALAH FIKIH IBADAH

Adapun Imam Abu Hanifah berkata : “Boleh bagi seseorang

untuk sholat dengan selain bahasa arab secara mutlak.”

Namun sebagian ulama’ hanafiyah lainnya menyatakan

bahwa hal itu hanya diperbolehkan bagi yang tidak mampu

berbahasa arab.”

Mereka berdalil dengan firman Alloh Ta’ala :

“Dan telah diwahyukan Al Qur’an ini kepadaku supaya

dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada

orang-orang yang sampai Al Qur’an kepadanya.”

(QS. Al An’am : 19)

Mereka mengatakan bahwa tidak mungkin bisa memperingatkan

seseorang kecuali dengan bahasanya sendiri. Dari sini, ada

sebuah isyarat bahwa terjemahan Al Qur’an itupun dinamakan

dengan Al Qur’an, dan kalau memang terjemahan Al Qur’an itu Al

Qur’an juga maka boleh membacanya dalam sholat. Mereka juga

berdalil dengan beberapa kias, namun sebuah kias yang sangat

lemah, oleh karena itu tidak perlu disebutkan disini.

Yang rajih dari kedua pendapat ini adalah madzhab jumhur

ulama’ yang tidak memperbolehkan sholat dengan selain bahasa

arab secara mutlak, berdasarkan dalil-dalil yang mereka

kemukakan.

Adapun dalil yang digunakan oleh madzhab Imam Abu

Hanifah dan sebagian orang yang mengikutinya, maka bukan pas

kalau dilarikan kedalam sholat menggunakan bahasa daerah

karena beberapa hal, yaitu:

Page 32: MAKALAH FIKIH IBADAH

Ayat tersebut hubungannya dengan pemberian peringatan,

dan kalau sebuah ayat ditafsirkan untuk memberi

peringatan maka sebenarnya yang dijadikan peringatan itu

adalah ayat tersebut dan bukan penafsirannya. (Lihat Al

Mughni Imam Ibnu Qudamah 2/158)

Atau kita katakan bahwa penafsiran itu hanyalah sebagai

pelengkap sebuah peringatan dengan cara menyampaikan

makna atau terjemahan ayat Al Qur’an. (Lihat Al Majmu’

3/342)

Dan anggaplah bahwa ayat ini bisa dibawa pada

pengertian bahwa yang dijadikan peringatan itu adalah

tafsirnya maka ayat tersebut berlaku umum sedangkat

sholat adalah sesuatu yang khusus, sedangkan Rosululloh

tidak pernah sholat menggunakan bahasa Indonesia atau

mengajarkanya kepada para sahabat, padahal beliau

bersabda : “Sholatlah sebagaimana kalian melihatku

mengerjakan sholat.”

Syaikh Muhammad Rosyid Ridlo menyebutkan bahwa para

ulama’ Hanafiyah telah menukil bahwa Imam Abu Hanifah

telah mencabut kembali pendapatnya yang membolehkan

sholat dengan selain bahasa arab.

Syaikh Muhammad Rosyid Ridlo juga berkata : “Dan telah

berlangsung kesepakatan ummat islam untuk membaca Al

Qur’an dengan bahasa arab baik didalam sholat maupun

diluar sholat, dan menganggap binasa orang-orang yang

menyerukan untuk menerjemahkan Al Qur’an dalam proses

dzikir dan ibadah, serta mensifati mereka sebagai orang-

orang yang murtad.” (Lihat catatan kaki Al Mughni, tahqiq

DR. Abdulloh bin Abdul Muhsin At Turki, cetakan Hajr

2/158)

Page 33: MAKALAH FIKIH IBADAH

Oleh karena itu Lajnah Daimah tatkala ditanya apakah

boleh sholat dengan menggunakan selain bahasa arab ? maka

mereka menjawab :

Tidak boleh sholat dengan selain bahasa arab kalau dia mampu

berbahasa arab, wajib bagi setiap muslim untuk belajar bahasa

arab untuk ibadah yang tidak mungkin menggunakan bahasa

lainnya, diantaranya surat Al Fatihah, Tasyahud, bacaan tasmi’,

tahmid dan tasbih dalam ruku dan sujud juga bacaan antara dua

sujud dan salam. Adapun bagi seseorang yang tidak mampu

berbahasa arab maka boleh baginya untuk membacanya dengan

bahasanya kecuali surat Al Fatihah, karena bacaan surat ini tidak

sah kecuali dengan bahasa arab demikian juga bacaan Al Qur’an

lainnya. Kalau tetap tidak mampu juga maka bisa dia ganti

dengan bacaan tasbih, tahmid, tahlil dan takbir.

Berdasarkan hadits Abdulloh bin Abi Aufa berkata :

“Ada seseorang yang datang kepada Rosululloh lalu berkata :

“Sesungguhnya saya belum mampu untuk menghafal satupun

ayat Al Qur’an, maka ajarkanlah kepadaku sesuatu yang bisa

membuat sholatku sah ?”

maka Rosululloh menjawab :

“Katakalah : “

ال و أكبر الله و الله إال إله ال و لله الحمد و الله سبحان

العظيم العلي بالله إال قوة ال و حول

“Maha suci Alloh dan Segala puji bagi Nya, Tidak ada Ilah yang

berhak disembah melainkan Dia, Alloh Maha Besar serta Tidak

Page 34: MAKALAH FIKIH IBADAH

ada daya dan upaya kecuali dengan Alloh yang Maha tinggi lagi

Maha Besar.”

(HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i dan dishohihkan oleh Ibnu

Hibban dan Daruquthni dan Hakim)

Juga berdasarkan firman Alloh :

“Bertaqwalah kepada Alloh semampu kalian.”

(QS. At Taghobun : 16)

serta sabda Rosululloh :

استطعتم ما منه فأتوا بأمر أمرتكم إذا

“Jika kalian saya perintahkan dengan sebuah perintah maka

kerjakanlah semampu kalian .”

(HR. Bukhori 7288, Muslim 1337)

Hal ini berlaku sampai dia belajar bahasa arab dan dia harus

segera melakukanya.” (Lihat Fatawa Lajnah Daimah 6/401)

 

DAFTAR PUSTAKA

Andri. 2010. shalat yang Sah Secara Hukum Islam.

http://www.facebook.com. Di akses 29 maret 2011

Page 35: MAKALAH FIKIH IBADAH

Anonim.2009.Al-Qura’an. http://www.indonesiaindonesia.com. Di

akses 29 maret 2011

Assuyuti, Basori. 1998. Bimbingan Shalat Lengkap. Mitra Umat:

Jakarta

Asy Syidiqi, Hasbi. 1976. Pedoman Shalat. Bulan Bintang :

Bandung

Quthub, Muhammad. 1987. Koreksi atas Pemahaman Ibadah.

Pustaka Al Kautsar : Jakarta