18
BAB I PENDAHULUAN Aqidah Islam pada dasarnya adalah iman kepada Allah, iman kepada para Malaikat, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada para Rasul-Nya, iman kepada hari akhir, dan iman kepada takdir yang baik dan yang buruk. Dasar-dasar ini telah dijelaskankan oleh Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. Allah berfirman dalam kitab sucinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, para Malaikat, kitab-kitab dan nabi-nabi…” ( QS. Al- Baqarah : 177). Dalam masalah takdir, Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut takdir (ukuran), dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata.” (QS. Al- Qomar: 49-50). Beriman kepada Allah SWT, berarti meyakini akan keberadaan-Nya, baik itu wujud, sifat-sifat, maupun zat-Nya. Untuk meyakini itu semua, kita harus paham mengenai Ma’rifatullah. Dan untuk mencapai kepada Ma’rifat Allah, Kita harus mengetahui tentang segala ciptaannya, baik yang ada di Bumi maupun di Langit. Namun hal yang perlu diketahui bahwa kita itu tidak akan dapat memahami tentang zat-Nya Iman kepada Allah SWT | 1

Makalah aqidah (iman kepada allah)

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Makalah aqidah (iman kepada allah)

BAB I

PENDAHULUAN

Aqidah Islam pada dasarnya adalah iman kepada Allah, iman kepada para

Malaikat, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada para Rasul-Nya, iman kepada hari

akhir, dan iman kepada takdir yang baik dan yang buruk. Dasar-dasar ini telah

dijelaskankan oleh Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya.  Allah berfirman dalam kitab

sucinya:

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan

tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, para

Malaikat, kitab-kitab dan nabi-nabi…” ( QS. Al-Baqarah : 177).

Dalam masalah takdir, Allah berfirman:

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut takdir (ukuran), dan perintah

Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata.” (QS. Al-Qomar: 49-50).

Beriman kepada Allah SWT, berarti meyakini akan keberadaan-Nya, baik itu

wujud, sifat-sifat, maupun zat-Nya. Untuk meyakini itu semua, kita harus paham

mengenai Ma’rifatullah. Dan untuk mencapai kepada Ma’rifat Allah, Kita harus

mengetahui tentang segala ciptaannya, baik yang ada di Bumi maupun di Langit. Namun

hal yang perlu diketahui bahwa kita itu tidak akan dapat memahami tentang zat-Nya

Allah SWT, karena hal itu merupakan diluar akal manusia yang tidak bissa digambarkan.

Untuk itu kami akan memberikan sedikit penjelasan tentang Ilmu Ma’rifat tentang

Allah SWT, juga tentang pengertian nama-nama serta sifat-sifat yang ada pada-Nya, yang

insya Allah nantinya akan dapat membuat kita lebih paham lagi tentang Aqidah untuk

beriman kepada Allah SWT. Supaya kita tidak keliru tentang pengertian tersebut.

Iman kepada Allah SWT | 1

Page 2: Makalah aqidah (iman kepada allah)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Ma’rifat Allah SWT

1. Pengertian Ma’rifat Allah SWT

Menurut Etimologi, kata Allāh (الله) berasal dari gabungan dari kata al- (sang)

dan ʾilāh (tuhan) sehingga berarti "Sang Tuhan". Namun teori ini menyalahi bahasa

dan kaidah bahasa Arab. Bentuk ma'rifat (definitif) dari ilah adalah al-ilah, bukan

Allah. Dengan demikian kata al-ilah dikenal dalam bahasa Arab.

Dalam bahasa Arab pun dikenal kaidah, setiap isim (kata benda atau kata sifat)

nakiroh (umum) yang mempunyai bentuk mutsanna (dua) dan jamak, maka isim

ma'rifat kata itupun mempunyai bentuk mutsanna dan jamak. Hal ini tidak berlaku

untuk kata Allah, kata ini tidak mempunyai bentuk ma'rifat mutsanna dan jamak.

Sedangkan kata ilah mempunyai bentuk ma'rifat baik mutsanna (yaitu al-ilahani atau

al-ilahaini) maupun jamak (yaitu al-alihah). Dengan demikian kata al-ilah dan Allah

adalah dua kata yang berlainan.

Makrifat kepada Allah swt. adalah makrifat yang seluhur-luhurnya, bahkan yang

semulia-mulianya sebab makrifat kepada Allah Taala itulah yang merupakan asas atau

fundamen berdirinya segala kehidupan kerohanian. Bahkan dari makrifat kepada Allah

Taala itu juga bercabang makrifat dengan alam yang ada di balik alam semesta ini,

seperti malaikat jin dan ruh. Juga dari makrifat kepada Allah itu pulalah timbul

makrifat perihal apa yang akan terjadi setelah kehidupan di dunia ini berakhir, juga

mengenai kehidupan di alam barzakh, kehidupan di alam akhirat yang berupa

kebangkitan kembali dari kubur, hisab (perhitungan amal), pahala, siksa, surga dan

neraka.1

2. CARA BERMA’RIFAT

Untuk bermakrifat kepada Allah swt. mempunyai dua cara, yaitu:

Dengan menggunakan akal pikiran dan memeriksa secara teliti ciptaan Allah

Taala yang berupa benda-benda yang beraneka ragam ini.

Dengan mengetahui nama-nama Allah Taala serta sifat-sifat-Nya.2

1 Sayid Sabiq. Aqidah Islam Pola Hidup Manusia Beriman. PT Diponegoro: Bandung, 2010. Hal. 302 Ibid, hal. 31

Iman kepada Allah SWT | 2

Page 3: Makalah aqidah (iman kepada allah)

Dengan menggunakan akal pikiran dari satu sudut dan dengan memakrifati

nama-nama serta sifat-sifat Allah dari sudut lain, seseorang akan dapat bermakrifat

kepada Tuhan dan ia akan memperoleh petunjuk ke arah itu.

3. BERMAKRIFAT LEWAT PIKIRAN

Setiap anggota tentu ada tugasnya, tugas akal ialah merenung, memeriksa,

memikirkan dan mengamati. Jika kekuatan semacam ini menganggur maka hilang

pulalah pekerjaan akal, juga menganggurlah tugasnya yang terpenting dan ini pasti

akan diikuti oleh terhentinya kegiatan hidup. Allah Taala berfirman:

“Katakanlah! ‘Aku hanya hendak mengajarkan kepadamu semua satu perkara saja

yaitu hendaklah kamu semua berdiri di hadapan Allah, dua-dua orang atau seorang-

seorang, kemudian berpikirlah kamu semua (gunakanlah akal pikiranmu)’" (Q.S.

Saba:46)

Barangsiapa yang mengingkari kenikmatan akal dan tidak suka

menggunakannya untuk sesuatu yang semestinya dikerjakan oleh akal, melalaikan

ayat-ayat dan bukti-bukti tentang wujud dan kekuasaan Allah Ta’ala, maka orang

semacam itulah yang patut sekali mendapat cemoohan dan hinaan.3 Allah Taala

berfirman:

“Sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam itu kebanyakan dari jin dan

manusia, yang mempunyai hati, tetapi tidak mengerti dengan hatinya, mempunyai

mata tetapi tidak melihat dengan matanya dan mempunyai telinga tetapi tidak

mendengarkan dengan telinganya. Orang-orang itu seperti binatang ternak bahkan

lebih sesat. Itulah orang-orang yang lalai (dari kebenaran).” (Q.S. Al-A’raf:179)

4. BIDANG-BIDANG PEMIKIRAN

3 Ibid, hal. 32

Iman kepada Allah SWT | 3

Page 4: Makalah aqidah (iman kepada allah)

Agama Islam mengajak seluruh umat manusia supaya berpikir dan

menggunakan akal, dengan anjuran yang demikian hebat. Tetapi yang dikehendaki

bukanlah pemikiran secara tidak terkendalikan lagi kebebasannya. Semua itu

dimaksudkan oleh Islam agar dilakukan dalam batas yang tertentu yang memang

merupakan lapangan bagi manusia dan yang dapat dicapai oleh akal manusia itu. Maka

yang dianjurkan oleh Islam untuk dipikirkan ialah dalam hal ciptaan Allah Taala yakni

apa-apa yang ada di langit, di bumi, dalam dirinya sendiri, dalam masyarakat manusia

dan lain-lain. Tidak ada pemikiran yang dilarang, melainkan memikirkan zat Allah

SWT, sebab soal yang satu ini pasti di luar kekuatan akal pikiran manusia.

Dalam hal ini Rasulullah SAW. bersabda, “Berpikirlah kamu semua perihal

makhluk Allah (apa-apa yang diciptakan oleh Allah) dan janganlah kamu sekalian

berpikir mengenai zat Allah, sebab sesungguhnya kamu semua sudah tentu tidak dapat

mencapai keadaan hakikatnya.”

Alangkah luas dan lebarnya dunia yang diperintah oleh Islam untuk dipikirkan

itu, tetapi sedemikian luasnya masih belum memadai sedikit pun dari keluasan yang

terdapat di dalam alam akhirat.

5. TUJUAN PEMIKIRAN

Di antara tujuan utama yang dikehendaki oleh Islam dalam memerintahkan

berpikir ialah untuk membangunkan akal dan menggunakan tugasnya dalam berpikir

merenungkan dan menyelidiki, dengan demikian akal manusia akan sampai kepada

petunjuk yang memberikan penerangan sejelas-jelasnya mengenai peraturan-peraturan

kehidupan, sebab-sebab wujud alam semesta, tabiat-tabiat keadaan dan hakikat-hakikat

segala sesuatu benda. Manakala hal-hal itu sudah terlaksana dengan baik, tentu akan

dapat merupakan cahaya terang untuk menyingkap persoalan siapa yang sebenarnya

menjadi maha pencipta dan pembentuk semuanya itu. Selanjutnya setelah ini diperoleh

maka dengan perlahan-lahan akan dicapai hakikat yang terbesar yaitu bermakrifat

kepada Allah Taala.4

Jadi kemakrifatan kepada Allah Taala yang sesungguhnya merupakan buah atau

natijah daripada akal pikiran yang cerdik dan bergerak terus, juga sebagai hasil dari

usaha pemikiran yang mendalam serta disinari oleh cahaya yang terang-benderang.

Allah Taala berfirman:

4 Ibid, hal. 35

Iman kepada Allah SWT | 4

Page 5: Makalah aqidah (iman kepada allah)

“Dan barangsiapa yang tidak diberi cahaya oleh Allah, maka orang itu pun tidak akan

memperoleh cahaya apapun.” (Q.S. An-Nur:40)

B. Nama-nama dan Sifat-sifat Allah

Kata “asma” adalah bentuk jama dari kata “ismun”, yang artinya ‘nama’.

“Asma Allah” berarti ‘nama-nama Allah’. Asma’ul husna berarti nama-nama yang

baik dan terpuji. Sehingga istilah “asma’ul husna” bagi Allah maksudnya adalah

nama-nama yang indah, baik dan terpuji yang menjadi milik Allah. Misalnya: Ar

Rahman, Ar Rahim, Al Malik, Al Ghafur, dan lain-lain.

Sedangkan kata “sifat” dalam bahasa Arab berbeda dengan “sifat” dalam

bahasa indonesia. Kata “sifat” dalam bahasa arab mencakup segala informasi yang

melekat pada suatu yang wujud. Sehingga “sifat bagi benda” dalam bahasa arab

mencakup sifat benda itu sendiri, seperti besar  kecilnya, tinggi rendahnya,

warnanya, keelokannya, dan lain-lain. Juga mencakup apa yang dilakukannya, apa

saja yang dimilikinya, keadaan, gerakan, dan informasi lainnya yang ada pada

benda tersebut.

Dengan demikian, kata “sifat Allah” mencakup perbuatannya,

kekuasaannya, apa saja yang ada pada Dzat Allah, dan segala informasi tentang

Allah.

Secara istilah syariat, tauhid asma dan sifat adalah pengakuan seorang

hamba tentang nama dan sifat Allah, yang telah Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam

kitab-Nya ataupun dalam sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa

melakukan empat hal berikut:

1. Tahrif (menyimpangkan makna), yaitu mengubah atau mengganti makna yang

ada pada nama dan sifat Allah, tanpa dalil.

2. Ta’thil (menolak), Yaitu menolak penetapan nama dan sifat Allah yang

disebutkan dalam dalil. Baik secara keseluruhan maupun hanya sebagian.

Iman kepada Allah SWT | 5

Page 6: Makalah aqidah (iman kepada allah)

3. Takyif (membahas bagaimana bentuk dan hakikat nama dan sifat Allah), yaitu

menggambarkan bagaimanakah hakikat sifat dan nama yang dimiliki oleh

Allah.

4. Tamtsil (menyamakan Allah dengan makhluk-Nya), Misalnya, berkeyakinan

bahwa tangan Allah sama dengan tangan budi, Allah bersemayam di ‘arsy

seperti joki naik kuda.5 Allah berfirman,

ص�ير� الب م�يع� الس� وه�و ي�ء� ش �ه� �ل م�ث ك �س ي ل

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha

Mendengar dan Melihat.” (Qs. Asy-Syuura: 11)

Berikut beberapa kaidah penting yang ditetapkan oleh para ulama, terkait

nama dan sifat Allah:

1. Mengimani segala nama dan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Alquran dan

sunnah (hadits-hadits sahih).

2. Menyucikan Allah dari menyerupai makhluk dalam segala sifat-sifat-Nya.

3. Menutup keinginan untuk mengetahui bentuk hakikat sifat-sifat Allah tersebut.

Yang perlu kita imani adalah Allah memiliki sifat yang bermacam-macam

dan Allah Maha sempurna dengan segala sifat yang dimiliki-Nya. Dan untuk

mengimani sesuatu tidaklah mengharuskan kita harus mengetahui hakikat zat

tersebut.

C. Kemustahilan mengetahui Zat Allah

Allah SWT telah menganjurkan dalam Kitab-Nya agar berfikir dan bertadabbur.

Anjuran ini ada dua macam:

Pertama, Anjuran mentadabburi ayat-ayat Al-Qur'an dan ayat-ayat-Nya yang dapat

disimak. Agar seorang hamba dapat memahami maksud Allah swt dan dapat

meyakini kehebatan atau Al-Qur'an sebagai Kalamullah dan mukjizat yang tidak

ada kebathilan di dalamnya, dari depan maupun dari belakang.

Kedua, Anjuran memikirkan keagungan ciptaan Allah, kerajaan dan kekuasaan-

Nya, serta ayat-ayat yang dapat disaksikan, agar seorang hamba dapat merasakan

keagungan al-Khaliq, dapat mengakui Al-Qur'an. Sebagaimana yang Allah SWT.6

5 Sa’id bin Ali bin Wahfi al-Qahthaniy, Syarh al-’Aqidah al-Wasithiyah, Studi Tentang Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, 6 Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah

Iman kepada Allah SWT | 6

Page 7: Makalah aqidah (iman kepada allah)

firmankan, "Katakanlah, 'Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di

bumi.'" (Yunus: 101).

Memikirkan tanda-tanda kebesaran Allah swt yang dapat disaksikan dan

mentadabburi ayat-ayat Allah yang dapat disimak tidaklah dibatasi dengan keadaan

atau waktu tertentu seperti yang dibuat-buat oleh kaum sufi atau ahli kalam, dengan

menggunakan istilah renungan pemikiran dan lainnya, dalilnya adalah firman Allah

SWT, "(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau

dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi

(seraya berkata), 'Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia,

Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (Ali 'Imran: 191).

Dzat Allah tidak akan bisa terjangkau oleh akal pikiran dan tidak akan bisa dikira-

kirakan. Allah SWT. berfirman, "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,

sedang Dia dapat melihat segala yang penglihatan itu."(Al-An'aam: 103).

Dan bagi al-Khaliq, tidak ada penyerupaan, tandingan dan juga permisalan, "Dan

tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia." (Al-Ikhlash: 4). Oleh sebab itulah

melalui lisan Rasul-Nya, Allah Yang Mahabijaksana melarang berfikir tentang Dzat-

Nya Yang Mahasuci. 

Berfikir tentang Dzat Allah akan menggiring pelakunya kepada keragu-raguan

tentang Allah. Dan siapa saja yang ragu tentang Allah, pasti binasa. Sebab ia akan

dicecar oleh pertanyaan-pertanyaan membingungkan yang lahir dari permikiran sesat,

"Allah menciptakan ini dan itu lalu siapakah yang menciptakan Allah?" Pertanyaan itu

pada hakikatnya sangat kontradiktif dan kabur maksudnya. Sebab Allah adalah

Pencipta bukan makhluk! Allah SWT berfirman, "Dia tidak beranak dan tiada pula

diperanakkan." (Al-Ikhlash: 3).

Pengobatan untuk waswas Iblis dan pemikiran-pemikiran syaitan ini, yaitu

mengikuti tata cara Al-Qur'an dan As-Sunnah yang dijelaskan oleh Rasulullah saw.:

1. Membaca surat Al-Ikhlash.

2. Meludah ke kiri sebanyak tiga kali.

3. Berlindung kepada Allah swt dari gangguan syaitan yang terkutuk dengan

membaca isti'adzah.

4. Mengatakan, "Aku beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya.:

5. Memutus waswas dan menghentikan keraguannya.

 

Iman kepada Allah SWT | 7

Page 8: Makalah aqidah (iman kepada allah)

Bimbingan Nabawi tadi merupakan cara yang paling mujarab untuk mengobati

penyakit waswas dan lebih ampuh untuk memutusnya daripada cara jidal (perdebatan)

logika yang sempit yang pada umumnya malah membuat orang bingung. Hendaklah

orang yang waras akalnya memperhatikan benar sabda Nabi, "Sesungguhnya hal itu

dapat menghilangkannya."

Jadi, siapa saja yang melakukannya semata-mata ikhlas karena Allah dan ketaatan

kepada Rasul-Nya, maka syaitan pasti lari. 

D. Pembagian Sifat-sifat Allah Ta’ala

Sifat-sifat Allah terdiri dari tiga macam, yaitu:

1. Sifat Wajib

Sifat wajib bagi Allah ialah sifat-sifat yang wajib (pasti) ada pada-Nya,

sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa sifat ALLAH itu ada 20 sifat. Dari 20 itu

dibagi pula menjadi empat bagian yaitu:

1. Sifat Nafsiyah, artinya sifat-sifat ALLAH yang dengan sifat itu dapat

membuktikan zat ALLAH SWT. Sifat Nafsiyah yang dimaksud ialah sifat Al-

Wujud.

2. Sifat Salbiyah, artinya sifat yang menafikan. Sifat ini menafikan atau tidak

menerima sifat yang tidak mungkin dan tidak layak bagi Tuhan.

Adapun yang termasuk dalam sifat Salbiyah ialah : Al-Qidam, Al-Baqa,, Al-

Mukhalafatuhu Lilhawadits, Al-Qiyamuhu binafsih dan Al-Wahdaniyah.

3. Sifat Ma'ani, artinya sifat ma'na. Sifat ini berlainan dengan sifat Salbiyah, ia

memastikan yang disifati itu bersifat dengan sifat tersebut. Adapun sifat Ma'ani itu

adalah : Al-Qudrah, Al-Iradah, Al-Ilmu, Al-Hayah, As-Sama', Al-Bashar dan Al-

Kalam. Jadi sifat Ma'ani itu ada tujuh sifat.

4. Sifat Ma'nawiyah, yaitu sifat yang lazim atau memastikan sifat Ma'ani diatas. Tiap-

tiap ada sifat ma'nawi tentu ada sifat ma'ani dan oleh karena sifat ma'ani tadi ada

tujuh, maka sifat ma'nawiyah ada tujuh pula.

Sifat - sifat ALLAH yang dua puluh tersebut diantaranya ada yang mempunyai

Ta'luq, ada yang tidak. Ta'luq artinya perhubungan suatu sifat dengan keadaan suatu

keadaan yang lain. Misalnya sifat ilmu harus berhubungan dengan apa yang diketahui.

Ta'luq terbagi atas dua macam yaitu Ta'luq Tanjizi dan Ta'luq Azali.

Iman kepada Allah SWT | 8

Page 9: Makalah aqidah (iman kepada allah)

Ta'luq Tanjizi, artinya menunaikan. Misalnya perhubungan ilmu dengan segala apa

yang diwujudkan sekarang ini.

Ta'luq Azali, artinya purbakala, menurut ilmu Tuhan. Misalnya perhubungan ilmu

tuhan dengan segala apa yang belum terbukti pada kita sekarang ini, tegasnya

belum wujud.

2. Sifat Mustahil

Disamping sifat - sifat yang wajib, ada lagi sifat yang mustahil bagi ALLAH yaitu

sebagai lawan daripada sifat yang wajib, banyaknya ada dua puluh yaitu :

1. Al-'Adam sebagai lawan dari wujud. Artinya tidak ada jadi mustahillah oleh

ALLAH itu tidak ada.

2. Al-Hudusts artinya baru, jadi mustahillah bagi ALLAH itu zat yang baru, wajiblah

baginya Qidam.

3. Al-Fana artinya lenyap, jadi mustahillah ALLAH itu lenyap atau tidak kekal.

Tetapi wajiblah baginya Baqa atau kekal abadi.

4. Al-Mumatsalah artinya serupa dengan apa yang baru (selain ALLAH), tetapi

wajiblah bagi ALLAH bersifat Mukhalafah lil Hawadits atau tidak menyerupai

dengan segala apa yang baru.

5. 'Adamulqiyami Binafsihi Al-Ikhtiaju Lighairihi artinya mustahil ALLAH itu tidak

berdiri dengan sendirinya (berhajat dengan yang lain).

6. Atta'addud artinya berbilang. Jadi mustahil ALLAH itu berbilang atau lebih dari

satu.

7. Al-'Ajuz, sifat ini lawan dari sifat Qudrah yang berarti lemah. Jadi mustahil

ALLAH itu lemah, tetapi wajib bagi-Nya bersifat Qudrah atau kuasa.

8. Al-Mukrah ( Al-Karohah ), artinya terpaksa atau dipaksa.

9. Al-Jehlu, artinya mustahil ALLAH itu bodoh atau tidak mengerti suatu perkara

yang bagaimanapun keadaannya, tetapi wajib bagi ALLAH Ilmu atau mengetahui

segala apa saja.

10. Al-Mautu , artinya mati. Mustahil ALLAH itu mati, tetapi wajib ALLAH itu Hayat

atau hidup.

11. Al-Asummu, artinya Tuli atau pekak. Jadi mustahil ALLAH itu pekak. Tetapi

wajib baginya Sama' atau mendengar apa saja.

12. Al-A'ma, artinya buta. Mustahil kalau ALLAH itu buta tetapi wajib bagi-Nya

Bashar atau melihat.

Iman kepada Allah SWT | 9

Page 10: Makalah aqidah (iman kepada allah)

13. Al-Bukmu, artinya bisu. Mustahil kalau ALLAH itu bisu, tetapi wajiblah ALLAH

itu Kalam atau berkata-kata.

14. Kaunuhu artinya keadaan-Nya atau berkeadaan.

15. 'Ajizan artinya yang lemah, tidak berkuasa lawan dari sifat kaunuhu Qadiran.

16. Makrurah (Karihah) artinya Yang terpaksa, lawannya sifat kaunuhu Muridun.

17. Jahilan artinya yang bodoh, lawannya sifat kaunuhu 'Aliman.

18. Mayyitan artinya yang mati, lawannya sifat kaunuhu Hayyan.

19. Ashamm artinya yang tuli, lawannya kaunuhu Sami'an.

20. A'ma artinya yang bisu, lawannya kaunuhu Mutakalliman.

Itulah sifat yang mustahil bagi ALLAH. Artinya sifat - sifat yang tidak dapat

diterima oleh akal adanya bagi ALLAH. Pembahasan secara lebih mendalam akan

dientry di lain kesempatan.

3. Sifat Jaiz

Disamping sifat yang wajib dan mustahil tersebut diatas, terdapat pula sifat yang jaiz

bagi ALLAH yaitu : “Fi’lu kulli mumkinin au tarkuhu”, artinya memperbuat

sesuatu yang mungkin terjadi atau tidak memperbuatnya. Maksudnya

Allah itu berwenang untuk menciptakan dan berbuat sesuatu atau tidak

sesuai dengan kehendak-Nya.

Bahwa ALLAH bebas berbuat, artinya perbuatan ALLAH terhadap makhluknya itu

boleh diperbuat-Nya dan boleh pula tidak. Maksudnya ALLAH tidak wajib

membuatnya dan tidak pula Mustahil kalau tidak membuatnya.

BAB III

PENUTUP

Iman kepada Allah SWT | 10

Page 11: Makalah aqidah (iman kepada allah)

A. Kesimpulan

Beriman kepada Allah adalah meyakini akan keberadaan Allah, baik berupa

nama, sifat serta zat-Nya Allah SWT. Ma’rifat merupakan ciri utama seseorang yang

telah meyakini akan adanya Allah, dari Ilmu ma’rifat itulah seseorang dapat memahami

tentang kekuasaan dan keberadaan-Nya. Melalui pemikiran, seseorang akan dapat

mengerti tentang Ma’rifat Allah SWT. Namun satu hal yang harus diketahui bahwa

seseorang tidak akan mampu memahami tentang zat-Nya Allah SWT, karena hal itu

merupakan diluar akal manusia.

Asma’ul husna berarti nama-nama yang baik dan terpuji. Sehingga

istilah “asma’ul husna” bagi Allah maksudnya adalah nama-nama yang indah, baik

dan terpuji yang menjadi milik Allah. Sedangkan sifat-sifat Allah mencakup

perbuatannya, kekuasaannya, apa saja yang ada pada Dzat Allah, dan segala

informasi tentang Allah.

Sifat-sifat Allah dibagi menjadi 3 sifat, Wajib, Mustahil dan Jaiz. Sifat

wajib terdiri dari 20 sifat, sifat mustahil merupakan kebalikan dari keduapuluh

sifat wajib tersebut, dan sifat jaiz adalah sifat yang

B. Kritik dan Saran

Apabila dalam makalah kami terdapat salah, baik dari ucapan maupun tulisan,

agar sekiranya saudara dapat memakluminya. Kritik serta saran dari kalian akan sangat

berarti untuk kami sebagai bahan evaluasi nanti, agar kami dapat memperbaiki kesalahan-

kesalahan kami.

DAFTAR PUSTAKA

Iman kepada Allah SWT | 11

Page 12: Makalah aqidah (iman kepada allah)

Sayid Sabiq. Aqidah Islam Pola Hidup Manusia Beriman. PT Diponegoro: Bandung,

2010

Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-

Nabawiyyah

Sa’id bin Ali bin Wahfi al-Qahthaniy, Syarh al-’Aqidah al-Wasithiyah, Studi Tentang

Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah,

Iman kepada Allah SWT | 12