Upload
afrinald-hart-rizhan
View
294
Download
1
Embed Size (px)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada zaman penjajahan Belanda, penguasa mendapatkan kepastian hukum
hak atas tanah berdasarkan domeinverklaring. Mengapa? Karena dalam hal
terjadi sengketa, dalam kondisi apapun, apakah rakyat yang yang jadi
penggugat atau tergugat dalam hubungan hak atas tanah maka rakyatlah yang
wajib membuktikan tentang haknya. Akan tetapi, begitu rakyat dapat
membuktikan haknya maka alat bukti itu akan menjadi mutlak berlakunya.
Setelah kemerdekaan Indonesia, dan dengan berlakunya UUPA maka
pembuat UU menganggap perlu adanya jaminan kepastian hukum hak atas
tanah, sehingga hal itu diatur dalam Pasal 19 UUPA. Lebih lanjut diatur
secara lebih detail dengan PP Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran
Tanah. Produk hukum tersebut mewajibkan kepada pemerintah untuk
melaksanakan pendaftaran tanah demi kepastian hukum hak atas tanah.
Produk akhir dari pendaftaran tanah adalah sertifikat hak atas tanah.Sudah 48
tahun usia Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960. Namun
selama kurun waktu itu pula persoalan sengketa tanah tak pernah reda.
Masalah tanah bagi manusia tidak ada habis-habisnya karena mempunyai arti
yang amat penting dalam penghidupan dan hidup manusia sebab tanah bukan
1
saja sebagai tempat berdiam juga tempat bertani, lalu lintas, perjanjian dan
pada akhirnya tempat manusia berkubur.
Sebagaimana diketahui sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok
Agraria berlaku bersamaan dua perangkat hukum tanah di Indonesia
(dualisme).1 Satu bersumber pada hukum adat disebut hukum tanah adat dan
yang lain bersumber pada hukum barat disebut hukum tanah Barat. Dengan
berlakunya hukum agraria yang bersifat nasional (UU No. 5 Tahun 1960)
maka terhadap tanah-tanah dengan hak barat maupun tanah-tanah dengan hak
adat harus dicarikan padanannya di dalam UUPA. Untuk dapat masuk ke
dalam sistem dari UUPA diselesaikan dengan melalui lembaga konversi.
Konversi adalah pengaturan dari hak-hak tanah yang ada sebelum
berlakunya UUPA untuk masuk sistem dalam dari UUPA.
Secara akademis dapat dikemukakan bahwa penyebab terjadinya konflik
di bidang pertanahan antara lain adalah keterbatasan ketersediaan tanah,
ketimpangan dalam struktur penguasaan tanah, ketiadaan persepsi yang sama
antara sesama pengelola negara mengenai makna penguasaan tanah oleh
negara, inkonsistensi, dan ketidaksinkronisasian. Ini baik secara vertikal
maupun secara horizontal peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya
dengan tanah, praktek-praktek manipulasi dalam perolehan tanah pada masa
lalu dan di era reformasi muncul kembali gugatan, dualisme kewenangan
1 1 A. P. Parlindungan, Beberapa Masalah Dalam UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria), Mandar Maju, Bandung, 1993, hlm. 11.
2
(pusat-daerah) tentang urusan pertanahan serta ketidakjelasan mengenai
kedudukan hak ulayat dan masyarakat hukum adat dalam sistem perundang-
undangan agraria.
Di satu pihak masyarakat masih tetap menggunakan hukum adat sebagai
sandaran peraturan pertanahan dan diakui oleh komunitasnya, akan tetapi di
lain pihak, hukum agraria nasional belum sepenuhnya mengakui validitas
hukum adat tersebut.
B. Identifikasi Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan hak penguasaan atas tanah di Indonesia ?
2. Bagaimanakah prosedur untuk mendapatkan pengakuan hak penguasaan
atas tanah di Indonesia ?
C. Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Agar pembaca mengetahui dan mampu memahami pengertian, prinsip-
prinsip Pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah di Indonesia.
2. Mahasiswa dapat mencapai suatu pengertian yang lebih baik dan spesifik
bahkan menganalisis keberadaan hak-hak penguasaan atas tanah di
Indonesia dan pengaturannya menurut Hukum Tanah Nasional.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Penguasaan Atas Tanah
Ruang lingkup bumi menurut UUPA adalah permukaan bumi, dan tubuh
bumi dibawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan bumi sebagai
bagian dari bumi juga disebut tanah. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan
mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu
aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak-hak
penguasaan atas tanah.
Pengertian ”penguasaan” dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti
yuridis. Juga beraspek privat dan beraspek publik. Penguasaan dalam arti
yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum
dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk
menguasai secara fisik tanah yang dihaki, seperti misalnya pemilik tanah
mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihaki, tidak
diserahkan kepada pihak lain. Ada penguasaan yuridis, yang biarpun memberi
kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada
kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain, dalam hal ini
secara yuridis tanah tersebut dimiliki oleh pemilik tanah akan tetapi secara
4
fisik dilakukan oleh penyewa tanah. Ada juga penguasaan secara yuridis yang
tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara
fisik, misalnya kreditor (bank) pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai
hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan (jaminan), akan
tetapi secara fisik penguasaannya tetap ada pada pemegang hak atas tanah.
Penguasaan yuridis dan fisik atas tanah dipakai dalam aspek privat. Ada
penguasaan yuridis yang beraspek publik, yaitu penguasaan atas tanah
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2
UUPA.2
Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan
atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah
yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib, atau dilarang untuk diperbuat, yang
merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriterium atau tolok ukur
pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum
tanah.3
Makna dikuasai oleh negara tidak terbatas pada pengaturan, pengurusan,
dan pengawasan terhadap pemanfaatan hak-hak perorangan. Akan tetapi
negara mempunyai kewajiban untuk turut ambil bagian secara aktif dalam
mengusahakan tercapainya kesejahteraan rakyat. Dalam hal dikuasai oleh
negara dan untuk mencapai kesejahteraan rakyat, negara Indonesia merdeka
2 Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta , 2009, hlm. 73-74.3 3 Boedi Harsono (I), Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm. 24.
5
adalah negara kesejahteraan sebagaimana termaksud dalam Pembukaan UUD
1945. Dasar pemikiran lahirnya konsep hak penguasaan negara dalam Pasal
33 ayat (3) UUD 1945, merupakan perpaduan antara teori negara hukum
kesejahteraan dan konsep penguasaan hak ulayat dalam persekutuan hukum
adat. Makna penguasaan negara adalah kewenangan negara untuk mengatur
(regelen), mengurus (bestuuren), dan mengawasi (tozichthouden). Substansi
dari penguasaan negara adalah dibalik hak, kekuasaan atau kewenangan yang
diberikan kepada negara terkandung kewajiban negara untuk menggunakan
dan memanfaatkan tanah sebagai sumber daya ekonomi bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Hak ulayat, dari masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataan
masih ada, hak ulayat merupakan hak penguasaan atas tanah bersama
masyarakat hukum adat tertentu, hak ulayat hanya ada pada persekutuan
hukum teritorial dan persekutuan hukum genealogis teritorial pada
persekutuan hukum genealogis hak ulayat tidak ada. Beschikkingrecht atau
hak ulayat adalah berupa hak dan kewajiban daripada persekutuan hukum
sebagai suatu keseluruhan atas suatu wilayah tertentu yakni wilayah dimana
mereka hidup.4
Hak perorangan yang memberikan kewenangan untuk memakai, dalam
arti menguasai, menggunakan, dan atau mengambil manfaat tertentu dari
suatu bidang tanah tertentu, yang terdiri dari :
4 Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung, 1996, hlm. 74-75.
6
a) Hak atas tanah, berupa hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha,
hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun, hak sewa, hak
membuka tanah, dan hak memungut hasil hutan yang ketentun
pokoknya terdapat dalam UUPA, serta hak lain dalam hukum adat
setempat, yang merupakan hak penguasaan atas tanah untuk dapat
memberikan kewenangan kepada pemegang haknya, agar dapat
memakai suatu bidang tanah tertentu yang dihaki dalam memenuhi
kebutuhan pribadi atau usahanya (Pasal 4, 9, 16, dan BAB II UUPA).
b) Hak atas tanah wakaf, yang merupakan penguasaan atas suatu bidang
tanah tertentu, bekas hak milik (wakaf) yang oleh pemiliknya
dipisahkan dari harta kekayaannya dan melembagalan selama-lamanya
untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai
ajaran agama islam (Pasal 49 UUPA jo Pasal 1 PP No. 28 tahun 1977).
c) Hak tanggungan, sebagai satu-satunya lembaga jaminan hak atas tanah
dalam hukum tanah nasional, merupakan hak penguasaan atas tanah
yang memberi kewenangan kepada kreditor tertentu untuk menjual
lelang bidang tanah tertentu yang dijadikan jaminan bagi pelunasan
piutang tertentu dalam hal debitor cidera janji dan mengambil
pelunasan dari hasil penjualan tersebut, dengan hak mendahului dari
hak-hak kreditor (rechts prevelijk) yang lain (Pasal 57 UUPA jo Pasal
1 UU No. 4 tahun 1996).
7
B. Pengaturan Macam-macam Hak Atas Tanah
Dasar hukum ketentuan hak-hak atas tanah diatur dalam Pasal 4 ayat (1)
UUPA, yaitu ”Atas dasar hak menguasai dari negara atas tanah sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bum, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-
orang lain serta badan-badan hukum”.5
Adapun hak-hak atas tanah tersebut menurut Pasal 16 ayat (1) UUPA
terdiri dari :
a. Hak Milik.
b. Hak Guna Usaha.
c. Hak Guna Bangunan.
d. Hak Pakai.
e. Hak Sewa.
f. Hak Membuka Tanah.
g. Hak Memungut Hasil Hutan.
h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak yang tersebut di atas
yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya
sementara.
5 Urip Santoso, op.cit., hlm. 87
8
Menurut Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), sistem
penguasaan tanah di Indonesia yang merupakan hak perorangan mengakui
adanya berbagai hak atas tanah berikut:
Hak milik, hak milik digambarkan sebagai “hak yang paling penuh dan
paling kuat yang bisa dimiliki atas tanah dan yang dapat diwariskan turun
temurun”. Suatu hak milik dapat dipindahkan kepada pihak lain. Hanya warga
negara Indonesia (individu) yang bisa mendapatkan hak milik, sedangkan jika
menyangkut korporasi maka pemerintah akan menentukan korporasi mana
yang berhak mendapatkan hak milik atas tanah dan syarat syarat apa yang
harus dipenuhi oleh korporasi untuk mendapatkan hak ini.
Terjadinya dan cara mendapatkan hak milik bisa diakibatkan karena
Peralihan, beralih atau dialihkan (warisan, jual beli, hibah). Menurut hukum
adat, karena penetapan pemerintah dan undang-undang (konversi).
Hak atas tanah menurut hukum adat yang memberi wewenang
sebagaimana atau mirip dengan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (1) UUPA6 ”hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh
yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan pasal 6.”
maka dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan oleh Kepala Badan
Pertanahan Nasional setelah mendengar kesaksian dari masyarakat setempat,
dikonversi menjadi hak milik.
6 Abdulkadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hlm. 40.
9
Hak guna usaha, suatu hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan
tanah yang dikontrol secara langsung oleh negara untuk waktu tertentu, yang
dapat diberikan kepada perusahaan yang berusaha dibidang pertanian,
perikanan atau peternakan. Suatu hak guna usaha hanya dapat diberikan atas
tanah seluas minimum 5 ha, dengan catatan bahwa jika tanah yang
bersangkutan lebih luas dari 25 hektar, investasi Sistem Penguasaan Tanah
dan Konflik yang cukup akan dilakukan dan pengelolaan usaha secara baik
akan diberlakukan. Hak guna usaha bisa dipindahkan ketangan pihak lain.
Jangka waktu pemberian hak guna usaha diberlakukan dengan ketat
(maksimum 25 tahun). Hanya warga negara Indonesia dan badan usaha yang
dibentuk berdasar undang undang Indonesia dan berdomisili di Indonesia
dapat memperoleh hak guna usaha. Hak guna usaha dapat digunakan sebagai
kolateral pinjaman dengan menambahkan hak tanggungan (security title).
Hak guna bangunan, hak guna bangunan digambarkan sebagai hak untuk
mendirikan dan memiliki bangunan diatas tanah yang dimiliki oleh pihak lain
untuk jangka waktu maksimum 30 tahun. Suatu hak guna bangunan dapat
dipindahkan kepada pihak lain. Kepemilikan hak guna bangunan juga hanya
bisa didapatkan oleh warga negara Indonesia dan perusahaan yang didirikan
dibawah hukum Indonesia yang berdomisili di Indonesia.
Hak pakai, hak pakai adalah hak untuk memanfaatkan, dan/atau
mengumpulkan hasil dari tanah yang secara langsung dikontrol oleh negara
atau tanah yang dimiliki oleh individu lain yang memberi pemangku hak
10
dengan wewenang dan kewajiban sebagaimana dijabarkan didalam perjanjian
pemberian hak. Suatu hak pakai dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu,
atau selama tanah dipakai untuk suatu tujuan tertentu, dengan gratis, atau
untuk bayaran tertentu, atau dengan imbalan pelayanan tertentu. Selain
diberikan kepada warga negara Indonesia, hak pakai juga dapat diberikan
kepada warga negara asing yang tinggal di Indonesia. Dalam kaitannya
dengan tanah yang langsung dikontrol oleh negara, suatu hak pakai hanya
dapat dipindahkan kepada pihak lain jika mendapatkan ijin dari pejabat yang
berwenang.
Hak milik atas satuan bangunan bertingkat, adalah hak milik atas suatu
bangunan tertentu dari suatu bangunan bertingkat yang tujuan peruntukan
utamanya digunakan secara terpisah untuk keperluan tertentu dan masing-
masing mempunyai sarana penghubung ke jalan umum yang meliputi antara
lain suatu bagian tertentu atas suatu bidang tanah bersama. Hak milik atas
satuan bangunan bertingkat terdiri dari hak milik atas satuan rumah susun dan
hak milik atas bangunan bertingkat lainnya.
Hak sewa, suatu badan usaha atau individu memiliki hak sewa atas tanah
berhak memanfaatkan tanah yang dimiliki oleh pihak lain untuk pemanfaatan
bangunan dengan membayar sejumlah uang sewa kepada pemiliknya.
Pembayaran uang sewa ini dapat dilakukan sekaligus atau secara bertahap,
baik sebelum maupun setelah pemanfaat lahan tersebut. Hak sewa atas tanah
11
dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia, warga negara asing, badan usaha
termasuk badan usaha asing. Hak sewa tidak berlaku diatas tanah negara.
Hak untuk membuka tanah dan hak untuk memungut hasil hutan, hak
membuka tanah dan hak memungut hasil hutan hanya bisa didapatkan oleh
warga negara Indonesia dan diatur oleh Peraturan Pemerintah. Menggunakan
suatu hak memungut hasil hutan secara hukum tidaklah serta merta berarti
mendapatkan hak milik (right of ownership) atas tanah yang bersangkutan.
Hak untuk membuka lahan dan memungut hasil hutan merupakan hak atas
tanah yang diatur didalam hukum adat.
Hak tanggungan, hak tanggungan tercantum dalam Undang-Undang No. 4
tahun 1996 sehubungan dengan kepastian hak atas tanah dan objek yang
berkaitan dengan tanah (Security Title on Land and Land-Related Objects)
dalam kasus hipotek.Hak atas tanah meliputi semua hak yang diperoleh
langsung dari negara disebut hak primer dan semua hak yang berasal dari
pemegang hak atas tanah lain berdasarkan pada perjanjian bersama, disebut
hak sekunder. Kedua hak tersebut pada umumnya mempunyai persamaan, di
mana pemegangnya berhak untuk menggunakan tanah yang dikuasainya
untuk dirinya sendiri atau untuk mendapat keuntungan dari orang lain mdalui
perjanjian dimana satu pihak memberikan hak-hak sekunder pada pihak lain.
Hak atas tanah yang diperoleh dari negara terdiri dari Hak Milik, Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan. Tiap-tiap
12
hak mempunyai karakteristik tersendiri dnn semua harus didaftarkan menurut
ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Pasal 20 UUPA hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan
terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Hak milik dapat beralih dan
dialihkan kepada pihak lain.
Salah satu kekhususan dari Hak Milik ini tidak dibatasi oleh waktu dan
diberikan untuk waktu yang tidak terbatas lamanya yaitu selama hak milik ini
masih diakui dalam rangka beriakunya UUPA, kecuali akan ketentuan Pasal
27 UUPA. Pasal 27 UUPA menjelaskan bahwa Hak Milik itu hapus apabila :
Tanahnya jatuh kepada negara :
1. Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18
2. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya
3. Karena diterlantarkan
4. Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2)
Tanahnya musnah.
Pada asasnya badan hukum tidak mungkin mempunyai tanah dengan hak
milik kecuali ditentukan secara khusus oleh Undang-undang atau peraturan
lainnya, seperti yang telah ditentukan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 1973 yaitu:
a. Bank-bank yang didirikan oleh negara.
b. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan
un- dang-undang Nomor 79 Tahun 1958.
13
c. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh menteri pertanian/agraria
setelah mendengar menteri agama.
d. Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh menteri pertanian/agraria setelah
mendengar menteri sosial.
Penjelasan umum UUPA menerangkan bahwa dilarangnya badan hukum
mempunyai hak milik, karena memangnya badan hukum tidak periu
mempunyai hak milik tetapi cukup bagi keperluan-keperluan yang khusus
yaitu hak-hak lain selain hak milik.
C. Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah adalah suatu kegiatan administrasi yang dilakukan
pemilik terhadap hak atas tanah, baik dalam pemindahan hak ataupun
pemberian dan pengakuan hak baru, kegiatan pendaftaran tersebut
memberikan suatu kejelasan status terhadap tanah. Dalam Pasal 1 PP No. 24
tahun 1997 disebutkan pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan
teratur, meliputi pengumpulan pengolahan, pembukuan dan penyajian serta
pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar,
mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk
pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada
14
haknya dan hak milik atas rumah susun serta hak-hak tertentu yang
membebaninya.
Pendaftaran tanah dapat dilakukan melalui pendaftaran tanah secara
sistematis dan sporadis yaitu kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan
secara serentak yang meliputi semua bidang tanah di suatu wilayah atau
bagian wilayah suatu desa/kelurahan, baik tanah dipunyai dengan suatu hak
atas tanah maupun tanah negara. Yang dimaksud dengan suatu hak adalah hak
atas tanah menurut hukum adat dan hak atas tanah menurut UUPA.
Landasan Hukum Pendaftaran Tanah dengan keluarnya Undang-Undang
Pokok Agraria, maka dualisme hak-hak atas tanah dihapuskan, dalam memori
penjelasan dari UUPA dinyatakan bahwa untuk pendaftaran tanah
sebagaimana dimaksud Pasal 19 UUPA, yang ditujukan kepada pemerintah
agar melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia yang
bertujuan untuk menjamin kepastian hukum yang bersifat Recht Kadaster,
untuk menuju kearah pemberian kepastian hak atas tanah telah diatur di dalam
Pasal 19 UUPA yang menyebutkan :
1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan
pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2) Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi :
a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah.
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
15
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat
3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara
dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta
kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri
Agraria.
4) Dalam Peraturan Pemerintah diatas biaya-biaya yang bersangkutan
dengan pendaftaran termasuk dalam ayat 1 diatas, dengan ketentuan
bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-
biaya tersebut.
Kalau di atas ditujukan kepada pemerintah, sebaliknya pendaftaran yang
dimaksud Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 UUPA ditujukan kepada para
pemegang hak, agar menjadikan kepastian hukum bagi mereka dalam arti
untuk kepentingan hukum bagi mereka sendiri, di dalam Pasal tersebut
dijelaskan :
Pasal 23 UUPA :
Ayat 1 : Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan
pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-
ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.
Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 2 merupakan alat pembuktian
yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan
pembebanan hak tersebut.
16
Pasal 32 UUPA :
Ayat 1 : Hak guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian
juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan
menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.
Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian
yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam
hak-hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.
Pasal 38 UUPA :
Ayat 1 : Hak guna bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya,
demikian juga setiap peralihan dan hapusnya dak tersebut harus didaftarkan
menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.
Ayat 2 : Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian
yang kuat mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan
tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya
berakhirnya.
Dari ketentuan pasal-pasal di atas dapatlah disimpulkan bahwa
pendaftaran yang dilakukan oleh pemegang hak milik, hak guna usaha, hak
guna bangunan adalah merupakan alat pembuktian yang kuat serta untuk
sahnya setiap peralihan, pembebanan dan hapusnya hak-hak tersebut.
Tujuan Pendaftaran Tanah adalah merupakan usaha yang menuju kearah
kepastian hukum atas tanah tercantum dalam ketentuan-ketentuan dari pasal-
pasal yang mengatur tentang pendaftaran tanah, dalam pasal 19 UUPA
17
disebutkan untuk menjamin kepastian hukum dari hak-hak atas tanah, UUPA
mengharuskan pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah diseluruh
wilayah Republik Indonesia yang bersifat ‘Rech Kadaster” artinya yang
bertujuan menjamin kepastian hukum, dengan di selenggarakannya
pendaftaran tanah, maka pihak-pihak yang bersangkutan dengan mudah dapat
mengetahui status hukum daripada tanah tertentu yang dihadapinya, letak,
luas dan batas-batasnya, siapa yang empunya dan beban-beban apa yang
melekat di atas tanah tersebut.
Menurut para ahli disebutkan tujuan pendaftaran ialah untuk kepastian hak
seseorang, disamping untuk pengelakkan suatu sengketa perbatasan dan juga
untuk penetapan suatu perpajakan.7
a. Kepastian hak seseorang
Maksudnya dengan suatu pendaftaran, maka hak seseorang itu menjadi
jelas misalnya apakah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau
hak- hak lainnya.
b. Pengelakkan suatu sengketa perbatasan
Apabila sebidang tanah yang dipunyai oleh seseorang sudah didaftar,
maka dapat dihindari terjadinya sengketa tentang perbatasannya, karena
dengan didaftarnya tanah tersebut, maka telah diketaui berapa luasnya serta
batas – batasnya.
c. Penetapan suatu perpajakan
7 A. P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2009, hlm. 8-9.
18
Dengan diketahuinya berapa luas sebidang tanah, maka berdasarkan hal
tersebut dapat ditetapkan besar pajak yang harus dibayar oleh seseorang.
Dalam lingkup yang lebih luas dapat dikatakan pendaftaran itu selain
memberi informasi mengenai suatu bidang tanah, baik penggunaannya,
pemanfaatannya, maupun informasi mengenai untuk apa tanah itu sebaiknya
dipergunakan, demikian pula informasi mengenai kemampuan apa yang
terkandung di dalamnya dan demikian pula informasi mengenai bangunannya
sendiri, harga bangunan dan tanahnya, dan pajak yang ditetapkan.
Untuk memenuhi berbagai kebutuhan seperti tersebut di atas, maka untuk
itu UUPA melalui pasal-pasal pendaftaran tanah menyatakan bahwa
pendaftaran itu diwajibkan bagi pemegang hak yang bersangkutan
Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
dijelaskan bahwa tujuan dari pendaftaran tanah tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas tanah suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-
hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya
sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mcngadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
19
c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Di dalam kenyataannya tingkatan-tingkatan dari pendaftaran tanah
tersebut terdiri dari:
a. Pengukuran Desa demi Desa sebagai suatu himpunan yang terkecil.
b. Dari peta Desa demi Desa itu akan memperlihatkan bermacam-macam hak
atas tanah baik Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak
Pakai, Hak Pengelolaan maupun tanah-tanah yang masih dikuasai oleh
negara.
c. Dari peta-peta tersebut akan dapat juga diketahui nomor pendaftaran,
nomor buku tanah, nomor surat ukur, nomor pajak, tanda batas dan juga
bangunan yang ada di dalamnya.
BAB III
KESIMPULAN
20
Secara yuridis, hak-hak penguasaan atas tanah di Indonesia di atur
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA.
Hak Milik adalah hak terkuat dan terpenuh, tetapi di atas itu ada hak
pemerintah untuk mempergunakan tanah demi kepentingan umum dan
pemilik hak milik di berikann ganti rugi.
Pendaftaran hak atas tanah adat menurut ketentuan PP No. 24 Tahun
1997 adalah sebelum didaftarkan harus dikonversi terlebih dahulu. Terhadap
hak atas tanah adat yang memiliki bukti-bukti tertulis atau tidak tertulis
dimana pelaksanaan konversi dilakukan oleh Panitia Pendaftaran ajudikasi
yang bertindak atas nama Kepala Kantor Pertanahan Nasional, prosesnya
dilakukan dengan penegasan hak sedangkan terhadap hak atas tanah adat
yang tidak mempunyai bukti dilakukan dengan proses pengakuan hak yang
selebihnya diatur dalam UUPA, namun khusus untuk Hak Milik (pasal 23
UUPA), Hak Guna Usaha (Pasal 32 UUPA), dan Hak Guna Bangunan
(pasal 38 UUPA), sedangkan mengenai Hak Pakai, sekarang diatur dalam
PP 40/1996 dan PP 41/1996.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku:
21
Abdulkadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1994.
A. P. Parlindungan, Beberapa Masalah Dalam UUPA (Undang-Undang Pokok
Agraria), Mandar Maju, Bandung, 1993.
A. P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2009.
Boedi Harsono (I), Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2003.
Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung, 1996.
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta , 2009.
22