Upload
amalia-hardiani
View
130
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim (dengan menyebut nama Allah Yang Maha
Pengasih Lagi Maha Penyayang). Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan ilmu kepada hamba-Nya serta salawat dan
salam terhadap jujungan kita Nabi Muhammad SAW. Di mana penulis telah dapat
menyelesaikan Makalah yang sederhana ini untuk memeuhi tugas Hukum
Agraria dengan judul Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.
Dalam penulisan Makalah, penulis telah berusaha semaksimal mungkin
untuk menyelesaikannya dengan baik. Tapi sunguhpun demikian, penulis
menyadari kekurangan pada isinya dengan kata lain belum sempurna. Untuk itu
sangat diharapkan adanya kritikan yang bersifat membangun dari pembaca, demi
perbaikan selanjutnya dalam tulisan yang akan datang.
Penulis menyadari bahwa tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, tidak
mungkin Karya Tulis ini dapat selesai. Karena itu tanpa mengurangi rasa terima
kasih kepada pihak yang mungkin tidak seluruhnya dapat disebutkan di sini,
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada...
Akhirnya tiada gading yang tak retak, penulis menyadari Karya Tulis ini jauh
dari kesempurnaan yang diharapkan, kesempurnaan sejati hanya milik Allah SWT.
Akhir kata penulis memohon kepada Allah SWT, semoga amal dan kebaikan yang
telah diberikan memperoleh imbalan yang tidak terhingga dari-Nya.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Bandung, Januari 2013
Penulis
1
Daftar Isi
Kata Pengantar .................................................................................... 1
Daftar Isi .............................................................................................. 2
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang ................................................................... 3
1.2 Tujuan Penulisan ............................................................... 4
1.3 Rumusan Masalah ............................................................. 4
BAB II Pembahasan
A. Definisi pengadaan tanah .................................................. 5
B. Definisi Kepentingan Umum .............................................. 7
C. Dasar hukum pengadaan tanah ........................................ 10
D. Bentuk pengadaan tanah dalam Hukum Agraria ............. 10
E. Prosedur tata cara pengadaan tanah ................................. 12
F. Panitia pengadaan tanah ................................................... 14
BAB III Penutup
A. Kesimpulan ....................................................................... 16
Daftar Pustaka .................................................................................... 18
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan Nasional yang dilaksanakan dalam rangka memenuhi
amanat Pembukaan UUD 45, dari tahun ke tahun terus meningkat. Bersamaan
dengan itu jumlah penduduk terus bertambah, dan sejalan dengan semakin
meningkatnya pembangunan dan hasil-hasilnya, maka semakin meningkat dan
beragam pula kebutuhan penduduk itu.
Termasuk dalam kegiatan pembangunan Nasional itu adalah
pembangunan untuk kepentingan umum. Pembangunan untuk kepentingan
umum ini harus terus diupayakan pelaksanaannya seiring dengan semakin
bertambahnya jumlah penduduk yang disertai dengan semakin meningkatnya
kemakmurannya.
Penduduk yang semakin bertambah dengan tingkat kemakmuran yang
semakin baik, tentunya membutuhkan berbagai fasilitas umum seperti :
jaringan/transportasi, fasilitas pendidikan, peribadatan, sarana olah raga,
fasilitas komunikasi, fasilitas keselamatan umum dan sebagainya.
Pembangunan fasilitas-fasilitas umum seperti tersebut di atas,
memerlukan tanah sebagai wadahnya. Dalam hal persediaan tanah masih
luas, pembangunan fasilitas umum tersebut tidak menemui masalah. Tetapi
persoalannya tanah merupakan sumber daya alam yang sifatnya terbatas, dan
tidak pernah bertambah luasnya. Tanah yang tersedia sudah banyak yang
dilekati dengan hak (tanah hak), dan tanah negara sudah sangat terbatas
persediaannya.
Pada masa sekarang ini adalah sangat sulit melakukan pembangunan
untuk kepetingan umum di atas tanah negara, dan sebagai jalan keluar yang
ditempuh adalah dengan mengambil tanah-tanah hak. Kegiatan “mengambil”
tanah (oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum) inilah yang kemudian disebut dengan pengadaan tanah.
3
1.2 Tujuan Penulisan
Pada dasarnya tugas ini dibuat sebagai wujud dari pertanggung
jawaban penulis atas tugas yang diberikan oleh dosen sebagai syarat untuk
memenuhi aspek penilaian mata kuliah Hukum Agraria. Selain itu tugas ini juga
ditujukan untuk menambah wawasan pembaca mengenai pengadaan tanah
untuk kepentingan umum.
1.3 Rumusan Masalah
1. Definisi Pengadaan Tanah
2. Definisi Kepentingan Umum
3. Dasar Hukum Pengadaan Tanah
4. Bentuk Pengadaan-pengadaan tanah dalam hukum agraria
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Pengadaan Tanah
Tanah merupakan sumber daya alam yang penting sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa bagi kelangsungan hidup umat manusia. Arti penting
ini menunjukan adanya pertalian yang sangat erat antara hubungan manusia
dengan tanah, karena tanah merupakan tempat pemukiman dan tempat mata
pencaharian bagi manusia. Tanah juga merupakan kekayaan nasional yang
dibutuhkan oleh manusia baik secara individual, badan usaha maupun
pemerintah dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional.
Perkembangan pembangunan di Indonesia semakin hari semakin
meningkat. Kegiatan pembangunan gedung sekolah inpres, rumah sakit,
pasar, stasiun kereta api, tempat ibadah, jembatan, pengadaan berbagai
proyek pembuatan dan pelebaran jalan serta pembangunan lainnya
memerlukan tanah sebagai sarana utamanya.
Persoalan yang kemudian muncul adalah bagaimana pengambilan
tanah kepunyaan masyarakat untuk keperluan proyek pembangunan. Hal ini
memang menyangkut persoalan yang paling kontroversial mengenai masalah
pertanahan. Pada satu pihak tuntutan pembangunan akan tanah sudah
sedemikian mendesak sedangkan pada lain pihak sebagian besar warga
masyarakat juga memerlukan tanah sebagai tempat pemukiman dan tempat
mata pencahariannya.
Berkenaan dengan pengambilan tanah masyarakat yang akan dipakai
untuk keperluan pembangunan dilaksanakan melalui proses pengadaan tanah
dengan cara pelepasan atau penyerahan hak sesuai pasal 2 ayat (1)
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Pengertian Pengadaan Tanah dari berbagai peraturan perundang-
undangan antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum pasal 1 butir 2 yang
berbunyi “pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah
5
dengan cara memberik ganti kerugian yang layak dan adil kepada
pihak yang berhak.”
2. Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah
bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum pasal 1
butir 1 yang berbunyi “Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk
mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada
yang berhak atas tanah tersebut.”
3. Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah
bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum pasal 1
butir 1 yang berbunyi “Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk
mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang
melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan
benda-benda yang berkaitan dengan tanah.”
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah
bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum hanya berumur
kurang dari setahun. Kemudian pada tanggal 5 Juni 2006 diterbitkan
Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 tentang tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah
bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang kemudian
diperbarui lagi dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
(selanjutnya disebut UU No.2 Tahun 2012).
Dalam kegiatan pengadaan tanah, ada beberapa tahapan yang harus
dilakukan yaitu penetapan lokasi pembangunan, pembentukan panitia
pengadaan tanah, penyuluhan, identifikasi dan inventarisasi, pembentukan
lembaga/tim penilai tanah, penilaian harga tanah, musyawarah, pembayaran
6
ganti rugi dan penitipan ganti rugi, serta pelepasan atau penyerahan hak atas
tanah.
Proses pemberian ganti rugi dalam kegiatan pengadaan tanah adalah
hal yang sangat penting, karena tanpa ganti rugi, pembangunan akan
terhambat. Ganti kerugian menurut UU No. 2 Tahun 2012 adalah penggantian
yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan
tanah. Kerugian yang bersifat non fisik meliputi hilangnya pekerjaan, bidang
usaha, sumber penghasilan, dan sumber pendapatan lain yang berdampak
terhadap penurunan tingkat kesejahteraan seseorang.[1]
Menurut Oloan Sitorus dan Carolina Sitepu ganti rugi adalah imbalan
yang diterima oleh pemegang hak atas tanah sebagai pengganti dari nilai
tanah, termasuk yang ada diatasnya, yang telah dilepaskan atau diserahkan.
[2] Sebagai imbalan, maka prinsip pemberian ganti-rugi harus seimbang
dengan nilai tanah, termasuk segala benda yang terdapat diatasnya, yang
telah dilepaskan atau diserahkan itu.[3]
Pelaksanaan pemberian ganti rugi dalam kegiatan pengadaan tanah
juga dilaksanakan dalam Pembangunan perluasan landasan pacu Bandar
Udara Fatmawati Soekarno di Provinsi Bengkulu. Diharapkan dengan adanya
perluasan area bandara ini dapat meningkatkan kelancaran arus transportasi
melalui udara di daerah Bengkulu dan sekitarnya.
B. Definisi Kepentingan Umum
Pengertian Kepentingan Umum Menurut Keppres No. 55 Tahun 1993 :
Pasal 1 angka (3) : “Kepentingan Umum adalah kepentingan seluruh lapisan
masyarakat “.
Pasal 5 : “Pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan Keppres ini
dibatasi untuk :
1. Kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjtunya dimiliki
pemerintah serta tak digunakan untuk mencari keuntungan dalam
bidang-bidang antara lain :
a. jalan umum, saluran pembuangan air.
b. waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk
saluran irigasi.
7
c. rumah sakit umum dan pusat-pusat kesehatan masyarakat.
d. pelabuhan, bandar udara atau terminal.
e. peribadatan.
f. pendidikan atau sekolahan.
g. pasar umum atau pasar INPRES.
h. fasilitas pemakaman umum.
i. fasilitas keselamatan umum seperti antara lain tanggul
penanggulangan bahaya banjir, lahar dan lain-lain bencana.
j. pos dan telekomunikasi.
k. sarana olah raga.
l. stasiun penyiaran radio, televisi beserta sarana pendukungnya.
m. kantor pemerintah.
n. fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
2. Kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum selain yang
dimaksud dalam angka (1) yang ditetapkan dalam Keputusan
Presiden.
Pengertian Kepentingan Umum Menurut Perpres No. 36 Tahun 2005:
Pasal 1 angka (5) : “Kepentingan umum adalah kepentingan umum sebagian
masyarakat”
Pasal 5 : Pembangunan kepentingan umum yang dilaksanakan pemerintah
atau pemerintah daerah meliputi :
a. jalan umum, jalan tol, rel kereta api ( di atas tanah, di ruang atas tanah
atau pun di ruang bawah tanah), saluran air minum/ air bersih, saluran
pembuangan air dan sanitasi.
b. waduk, bendungan, bendung, irigasi, dan bangunan pengairan lainnya.
c. rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat.
d. pelabuhan, Bandar udara, stasiun kereta api dan terminal.
e. peribadatan.
f. pendidikan atau sekolah.
g. pasar umum.
h. fasilitas pemakaman umum.
i. fasilitas keselamatan umum.
8
j. pos dan telekomunikasi.
k. sarana olah raga.
l. stasiun penyiaran radio, televise dan sarana pendukungnya.
m. kantor pemerintah, pemerintah daerah, Perwakilan Negara Asing,
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan/ atau lembaga-lembaga
Internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
n. fasilitas Tentara Negara Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
o. lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan.
p. rumah susun sederhana
q. tempat pembuangan sampah.
r. cagar alam dan cagar budaya.
s. pertamanan.
t. panti sosial.
u. pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.
Perpres No 36 Tahun 2005 yang kemudian dirampingkan oleh Perpres 65
Tahun 2006 dimana telah ditentukan secara limitatif dan konkret pengertian
dari kepentingan umum yaitu :
a. Jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas
tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih,
saluran pembuangan air dan sanitasi;
b. Waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan
lainnya;
c. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;
d. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya
banjir, lahar, dan lain-lain bencana;
e. Tempat pembuangan sampah;
f. Cagar alam dan cagar budaya;
g. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.
9
C. Dasar Hukum Pengadaan Tanah
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sejak tahun 1961 sampai
dengan sekarang telah berlaku Undang-undang No. 20 Tahun 1961, kemudian
dilanjutkan dengan kebijakan pemerintah melalui PMDN (Penanaman Modal
Dalam Negeri) No. 15 Tahun 1975, kemudian dicabut dan diganti dengan
Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan
Umum. Namun dengan berlakunya ketentuan tersebut dalam proses
pelaksanaannya tetap menimbulkan konflik dalam masyarakat. Untuk itu perlu
dikaji ulang keberadaan dari Keppres No. 55 Tahun 1993 dan dikaitkan pula
dengan Undangundang No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah
dan Undang-undang No. 25 Tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Pengadaan tanah kemudian diatur dengan Peraturan Presiden Nomor
36 Tahun 2005 yang kemudian dirubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65
Tahun 2006. Sampai dengan saat ini Indonesia belum memiliki Undang-
Undang yang mengatur secara khusus tentang Pengadaan Tanah.
Ditingkat Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), pengadaan tanah
diatur dalam Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan
Pelaksana Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006
tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum.
D. Bentuk-Bentuk Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dalam
Hukum Agraria Indonesia
Pada prinsipnya Hukum Agraria Indonesia mengenal 2 (dua) bentuk
pengadaan tanah yaitu :
1. Dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
(pembebasan hak atas tanah) ;
2. Dilaksanakan dengan cara pencabutan hak atas tanah.
10
Perbedaan yang menonjol antara pencabutan hak atas tanah dengan
pembebasan tanah ialah, jika dalam pencabutan hak atas tanah dilakukan
dengan cara paksa, maka dalam pembebasan tanah dilakukan dengan
berdasar pada asas musyawarah. Sebelumnya oleh Perpres No 36 Tahun
2005 ditentukan secara tegas bahwa bentuk pengadaan tanah dilakukan
dengan cara pembebasan hak atas tanah dan dengan cara pencabutan hak
atas tanah. Namun dengan dikeluarkannya Perpres No 65 Tahun 2006, hanya
ditegaskan bahwa pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan.
Tidak dicantumkannya secara tegas cara pencabutan hak atas tanah di dalam
Perpres No.65/2006 bukan berarti menghilangkan secara mutlak cara
pencabutan tersebut, melainkan untuk memberikan kesan bahwa cara
pencabutan adalah cara paling terakhir yang dapat ditempuh apabila jalur
musyawarah gagal . Hal ini ditafsirkan secara imperatif dimana jalur
pembebasan tanah harus ditempuh terlebih dahulu sebelum mengambil jalur
pencabutan hak atas tanah.
Jika pada Perpres No. 36 Tahun 2005 terdapat kesan alternatif antara
cara pembebasan dan pencabutan, maka pada Perpres No.65 Tahun 2006
antara cara pembebasan dan pencabutan sifatnya prioritas-baku. Ini agar
pemerintah tidak sewenangwenang dan tidak dengan mudah saja dalam
mengambil tindakan dalam kaitannya dengan pengadaan tanah. Artinya
ditinjau dari segi Hak Asasi Manusia (HAM), Perpres No 65 Tahun 2006 dinilai
lebih manusiawi jika dibandingkan peraturan-peraturan sebelumnya.
Selain bersifat lebih manusiawi, Perpres No 65 Tahun 2006 juga
memberikan suatu terobosan kecil yaitu dengan dicantumkannya pasal 18A.
Pasal 18A menentukan apabila yang berhak atas tanah atau benda-benda
yang ada di atasnya yang haknya dicabut tidak bersedia menerima ganti rugi
sebagaimana ditetapkan, karena dianggap jumlahnya kurang layak, maka
yang bersangkutan dapat meminta banding kepada Pengadilan Tinggi agar
menetapkan ganti rugi sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang
Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya dan
Peraturan Pemerintah.
Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh
Pengadilan Tinggi Sehubungan dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan
Benda-Benda yang ada di Atasnya. Ketentuan Pasal 18 A ini mempertegas
11
ketentuan Pasal 8 UU No. 20 Tahun 1961. Meskipun pengaduan ini sudah
ditentukan sebelumnya oleh UU No. 20/1961 namun kurang memberikan
kepastian hukum karena Perpres-Perpres yang ada hanya menegaskan
pengajuan keberatan kepada Bupati/Walikota, Gubernur, atau Menteri Dalam
Negeri. Sehingga dianggap dapat memberikan ruang untuk meminimalisir
kesewenang-wenangan birokrasi eksekutif yang notabene adalah pihak yang
paling berkepentingan dalam urusan ini.
E. Prosedur Tata Cara Pengadaan Tanah
Bagaimana prosedur yang ditempuh bilamana satu instansi pemerintah
memerlukan satu areal untuk keperluan tertentu dalam melaksanakan
pembangunan untuk kepentingan umum. Ada beberapa cara yang
dikemukakan sehubungan dengan hal ini.
1. Instansi pemerintah yang memerlukan tanah mengajukan permohonan
untuk mendapatkan tanah yang diperlukan.
2. Bilamana setelah dinilai permohonan adalah instansi yang benar-
benar memerlukan tanah tersebut guna pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum, maka pemerintah setempat dalam rangka
pemenuhannya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 bilamana
penetapan rencana pembangunan untuk kepentingan umum tersebut
sesuai dan berdasar pada rencana untuk tata ruang telah ditetapkan
terlebih dahulu, oleh karena wewenang untuk menilai ini tidak
diserahkan pada panitia maka penilaiannya dilakuka oleh pemerintah
daerah setempat.
3. Kalau semua persyaratan sudah dipenuhi barulah panitia mulai
berfungsi dengan melakukan penelitian dan inventarisasi
4. Bilamana berdasarkan inventarisasi tersebut takpak bahwa proyek
yang bersangkutan mempunyai dampak potensial terhadap lingkungan
perlu dibuat Penyajian Imformasi Lingkungan (PIL) atau Analisasi
Dampak Lingkungan (Andal) sebagaimana yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1986
5. Apabila tidak ada halangan yang disebutkan pada angka (4) tersebut
berulah kegiatan selanjutnya diteruskan. Langkah berikutnya ialah
sesuai dengan tugas panitia lalu mengadakan panelitian status hukum
12
dari tanah yang akan dilepaskan. Berdasarkan penilaian ini akan dapat
ditentukan bahwa tanah yang bersangkutam adalah :
a. Tanah negara bebas
b. Tanah adat/tanah rakyat
c. Tanah yang belum terdaftar
d. Tanah yang terdaftar
6. Melakukan penaksiran ganti kerugian dan mengusulkan ganti kerugian
yang harus diberikan
7. Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada pemegang hak atas
tanah menganai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut.
Berbagai kasus timbul disebutkan oleh ketidakjelasan rencana, karena
itu dalam suasana demokrasi keterbukaan dalam hubungan ini perlu
dijaga.
8. Dilaksanakan musyawarah antara panitia, pemegang hak, dan instansi
pemerintah yang memerlukan tanah.
9. Bagaimana setelah musyawarah dilakukan ada dua keuntungan yang
terjadi, mereka hasil memperoleh kesepakatan tentang ganti
kerugiannya atau mereka tidak berhasil menyepakati bentuk dan ganti
kerugian berkenaan dengan pengadaan tanah yang bersangkutan.
10. Keppres NO. 55 Tahun 1993 tidak mengatur lebih jauh bagaimana
langkah selanjutnya setelah musyawarah diperoleh kesepakatan
mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian. Akan tetapi dari tugas
panitia yang disebut dalam Pasal 8 dapat disimpulkan, instansi yang
memerlukan tanah menyerahkan uang ganti kerugian kepada
pemegang hak dengan disaksi oleh panitia.
11. Bagaimana kalau masyarakat sudah berhasil sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 19, panitia mengeluarkan keputusan mengenai bentuk
dan besarnya ganti kerugian yang ditetapkan sepihak oleh panitia.
12. Dalam Kappres No.55 Tahun 1993 ditetapkan satu jembatan
perhubungan, yang tidak kita jumpai dalam peraturan pembebasan
tanah, bilamana keputusan gebernur tetap tidak disetujui oleh
pemegang hak, maka proses penyelesaian selanjutnya beralih pada
proses pencabutan hak sebagaimana yang diatur dalam Undang-
undang No. 20 Tahun 1961.
13
F. Panitia Pengadaan Tanah
Timbul berbagai kasus dalam masyarakat adalah sisebabkan
ketidakmampuan panitia memberikan penyelesaian yang sebaik-baiknya,
disamping adanya berbagai penyelewengan atau manipulsi yang dilakukan
oleh oknum panitia terutama yang berkaitan dengan ganti kerugian. Karena
itu, seyogianya persoalan tentang kepanitiaan ini perlu diatur secara baik
dalam pengaturan, pembentukan dan penugasannya di lapangan.
Mengenai komposisi kepanitiaan dapat dibandingkan dengan panitia
pembebeasan tanah sebagaimana yang disebut dalam Pasal 2 Peraturan
Menteri Dalam Negeri No.15 Tahun 1975 yang terdiri diatas :
a. Kepala Subdirektorat Agraria Kabupaten/Kotamadya sebagai ketua
merangkap anggota
b. Seorang pejabat dari kantor pemerintahan Dairah TK.II yang ditunjuk
Oleh Bupati/Walikotanya Kepala Daerah yang bersangkuta sebagai
anggota.
c. Kepala kantor Ipeda/Ireda atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota
d. Seorang pejabat yang ditunjuk oleh instansi yang memerlukan tanah
sebagai anggota
e. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Daerah TK.II atau pejabat yang
ditunjuknya apabila menganai tanah bangunan dan/atau Kepala Dinas
Pertanian Daerah TK.II atau pejabat yang ditunjuknya akan mengenai
tanah pertanian sebagai anggota
f. Kepala Kecamatan yang bersangkutan sebagai anggota
g. Kepala Desa atau yang dipersamakan dengan itu sebagai anggota
h. Seorang pejabat dari Kantor Subdirektorat Agraria
Kabupaten/Kotamadya yang ditunjuk oleh Kepala Subdirektorat Agraria
Kabupaten Kotamadya yang bersangkutan sebagai sekretaris bukan
anggota.
Hal lain yang menunjukkan perbedaan antara panitia Pengadaan
Tanah dan Panitia Pembebasan Tanah ialah tidak duduknya lagi pihak yang
memerlukan tanah dalam kepanitian walaupun dalam perundingan nantinya
mereka juga dilibatkan/keadaan, yang demikian lebih menjamin objektitasnya.
14
Uraian mengenai tugas-tugas dari panitia akan tamoak lebih jelas
dalam hubunga dengan proses pengadaan tanah dalam proses
pelaksanaannya sebagaimana akan diuraikan berikut ini.
Selain dari panitia yang disebutkan tadi sebenarnya masih ada lagi
satu panitia yang disebut dalam undang-undang No.20 Tahun 1961 yaitu yang
disebut “Panitia Penkasir” yang susuna honorarium, dan tata kerjanya
ditetapkan oeh materi Agraria. Panitia ini adalah dalam konteks dengan
pencabutan hak tidak pernah dilaksanakan, maka kita pun tidak banyak tahu
tentang panitia ini.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Uraian diatas banyak membahas tentang pengadaan tanah dalam
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang berakhir
dengan Perpres No 65 Tahun 2006 secara normatif akan tetapi dalam
realita banyak kalangan menganggap negatif Perpres tersebut, Peraturan
ini dituding akan bisa menjadi alat semena-mena untuk menghilangkan hak
atas tanah dengan tiba-tiba. Meskipun memiliki dokumen dan surat-
menyurat yang sah dan lengkap, oleh Perpres ini, pemerintah (presiden)
bisa mencabut hak atas tanah tersebut apabila tanah itu akan digunakan
untuk kepentingan umum.
Yang paling dikhawatirkan adalah Perpres ini akan disalahgunakan.
Misalnya, sejauh apa pemahaman "demi kepentingan umum" yang
dimaksud ? Hal ini dipertanyakan sebab seringkai dalam praktiknya terjadi
"perubahan arah", misalnya ruang lingkup "kepentingan umum" berubah
menjadi kepentingan "pemilik modal". Hal inilah yang justru sering
mendapat penolakan dari rakyat pemilik tanah.
Dari pengalaman, pembebasan tanah untuk kepentingan umum
yang bukan disebabkan oleh tidak relanya rakyat pemilik tanah atau tidak
sepakatnya harga tanah, melainkan oleh ulah oknum aparat dan atau
spekulan tanah, baik itu yang berkaitan dengan urusan administrasi tanah
maupun oknum yang memanfaatkan situasi. Sebagai akibatnya, sengketa
tanah telah berubah menjadi ajang rebutan rezeki, yang dampak nya
cenderung tak terkendali.
Satu hal yang harus diwaspadai dan memang sering terjadi di
lapangan dimana istilah “demi kepentingan umum” dijadikan tameng oleh
pihak pengusaha yang berselingkuh dengan pemerintah untuk
menggerogoti tanah-tanah milik rakyat. Disini rakyat harus jeli memahami
16
maksud kepentingan umum sebagaimana yang telah ditentukan secara
limitatif dalam Perpres No.65 Tahun 2006.
17
Daftar Pustaka
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria
2. Oloan Sitorus dkk., 2004. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum,
Cetakan Pertama, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta
3. www.google.co.id
18