of 36 /36
Lupus Eritematosus Sistemik Prima Magdalena Desiyanthi* 10-2011-393 / F2 Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA *Alamat Korespendensi: Prima Magdalena Desiyanthi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510 No. Telp (021) 5694-2061, e-mail: [email protected] Pendahuluan Reumatologi merupakan ilmu yang relatif muda di Indonesia dibandingkan dengan sejawatnya Ilmu Bedah Ortopedi. Reumatologi adalah ilmu yang mempelajari penyakit sendi, termasuk penyakit artitis, fibrositis, bursitis, neuralgia dan kondisi lainya yang menimbulkan nyeri somatik dan kekakuan. Reumatologi mencakup penyakit autoimun, artritis dan kelainan muskuloskeletal. Jenis, berat dan penyebaran penyakit reumatik dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko seperti faktor umur, jenis kelamin, genetik dan faktor lingkungan. Saat ini telah dikenal lebih dari 110 jenis penyakit reumatik yang sering menunjukkan gambaran klinik yang hampir sama. 1,2

Lupus Eritematosus Sistemik

Embed Size (px)

Text of Lupus Eritematosus Sistemik

Lupus Eritematosus SistemikPrima Magdalena Desiyanthi*10-2011-393 / F2Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA*Alamat Korespendensi:Prima Magdalena DesiyanthiFakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510No. Telp (021) 5694-2061, e-mail: [email protected]

Pendahuluan

Reumatologi merupakan ilmu yang relatif muda di Indonesia dibandingkan dengan sejawatnya Ilmu Bedah Ortopedi. Reumatologi adalah ilmu yang mempelajari penyakit sendi, termasuk penyakit artitis, fibrositis, bursitis, neuralgia dan kondisi lainya yang menimbulkan nyeri somatik dan kekakuan. Reumatologi mencakup penyakit autoimun, artritis dan kelainan muskuloskeletal. Jenis, berat dan penyebaran penyakit reumatik dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko seperti faktor umur, jenis kelamin, genetik dan faktor lingkungan. Saat ini telah dikenal lebih dari 110 jenis penyakit reumatik yang sering menunjukkan gambaran klinik yang hampir sama. 1,2Dari sekian banyak penyakit reumatik tersebut salah satu penyakin yang cukup banyak dijumpai adalah lupus eritematosus sistemik. Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang kronik dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Penyakit ini ditandai dengan adanya inflamasi tersebar luas yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. 3-5

AnamnesisPenyakit sistem muskuloskeletal bisa bermanifestasi sebagai nyeri (khususnya pada sendi), deformitas, pembengkakan, berkurangnya mobilitas, penurunan fungsi, dan gambaran sistemik seperti ruam atau demam. 61. Riwayat penyakit terdahulu Adakah riwayat kelainan sendi atau tulang sebelumnya?Pernahkah pasien menjalani operasi seperti penggantian sendi?

2. Obat-obatanTanyakan juga pada pasien mengenai obat-obat yang pernah dikonsumsi sebelum datang ke dokter, seperti analgesic, AINS, kortikosteroid, imunosupresan lain, penisilamin, garam emas, dan klorokuin.

3. Penyelidikan fungsionalTanyakan secara khusus mengenai gambaran sistemik penyakit, seperti demam, penurunan berat badan, dan ruam. Tanyakan pula adakah penyakit genitourinarius atau saluran cerna.

4. Riwayat sosialTemukan akibat fungsional seperti pasein tidak dapat berjalan, makan, dan sebagainya, dan alat bantu apa yang dipakai pasien, seperti kursi roda, tongkat, dan lainnya.

SLE merupakan gangguan autoimun sistemik. Penyakit ini ditandai oleh adanya antibodi antinuklear. Manifestasinya bisa ditemukan pada berbagai organ sehingga gejala dan tandanya sangat banyak. Presentasi klinisnya termasuk ruam malar, artralgia, alopesia, perikarditis, gagal ginjal, defisit neurologis, atau bahkan gangguan psikiatrik. Prevalensinya 100/100.000. 3,61. Gejala apa yang pernah dialami pasien? Misalnya ruam malar yaitu ruam kemerahan pada pipi, fotosensitivitas yang mengakibatkan ruam kulit yang timbul akibat terkena sinar matahari, ruam diskoid yaitu bintik-bintik eritematosa menimbul, artralgia, artritis tidak erosif pada dua atau lebih sendi-sendi perifer, demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik, perikarditis, bengkak pada pergelangan kaki, kejang, ulkus di mulut.

2. Organ apa lagi yang terkena?

3. Pernahkan ada peristiwa tromboembolik atau aborsi spontan (Pertimbangkan sindrom anti-fosfolipid yang terkait)?

4. Tanyakan penyakit ginjal dan neurologis karena memiliki kepentingan khusus.

Riwayat penyakit dahulu.Adakah riwayat penyakit ginjal atau manifestasi SLE yang serius? Pertimbangkan riwayat kejadian tromboembolik. Adakah riwayat kondisi autoimun lain? Misalnya hipotiroidisme. 6 Obat-obatan Apakah pasien mendapat terapi dengan imunosupreasan? Misalnya kortikosteroid, azatioprin. Apakah pasien mengkonsumsi antikoagulan? Misalnya warfarin, aspirin? Hati-hati terhadap lupus akibat obat. 6Riwayat keluarga.Adakah riwayat lupus atau penyakit autoimun lain dalam keluarga? 6

Pemeriksaan FisikPada pemeriksaan fisik secara umum dokter dapat melihat dan mencari adanya deformitas yang terlihat jelas, postur tubuh abnormal, pengecilan otot yang terlihat jelas dan apakah masa otot tampak normal pada bagian bahu, pantat, tangan, dan otot kuadriseps, kelainan terkait, misalnya nodul rheumatoid, tofi gout, psoriasis, atau tanda-tanda penyakit reumatologis sistemik. Pemeriksa sendi juga perlu dilakukan untuk mencari adanya pembengkakan, deformitas, efusi, eritema, dan nilai kisaran gerak aktif dan pasif pasien. 1,2,6Secara khusus perlu diperhatikan apakah muncul gejala-gejala seperti berikut. 6 Ruam. Demam. Anemia. Alopesia. Limfadenopati. Ulkus mulut. Bengkak sendi: efusi dan nyeri tekan. Takipnea: pertimbangkan hipertensi pulmonal, emboli paru, gagal ginjal disertai kelebihan cairan, efusi pleura, dan fibrosis paru. TD: periksa adanya hipertensi. Gesekan perikard/pleural. Edema pergelangan kaki. Neuropati. Defisit neurologis, termasuk defisit fokal dan gangguan kognitif. Gangguan psikiatrik, khususnya psikosis. Urin: proteinuria dipstik, hematuria, dan silinder.

Gambar 1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik SLE 6

Pemeriksaan PenunjangANA positif pada lebih dari 95% pasien SLE. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui adanya antibodi yang mampu menghancurkan inti dari sel-sel tubuh sendiri. Selain mendeteksi adanya ANA, juga berguna untuk mengevaluasi pola dari ANA dan antibodi spesifik. Pola ANA dapat diketahui dari pemeriksaan preparat yang diperiksa dibawah lampu ultraviolet. Suatu pemeriksaan banding untuk mengetahui tipe ANA spesifik saat ini sudah dapat dilakukan, dan pemeriksaan ini berguna untuk membedakan SLE dari tipe-tipe gangguan lain. Dengan pemeriksaan yang baik, 99% pasien SLE menunjukkan pemeriksaan yang positif. 1-3Antibodi terhadap DNA dapat digolongkan dalam antibodi yang reaktif terhadap DNA natif (double stranded DNA). Antibodi terhadap dsDNA merupakan uji spesifik untuk SLE. Anti dsDNA positif dengan kadar yang tinggi dijumpai pada73% SLE dan mepunyai arti diagnostik dan prognostik. Peingkatan kadar anti dsDNA menunjukkan peningkatan aktivitas penyakit. Pada SLE, anti dsDNA mempunyai korelasi yang kuat dengan nefritis lupus dan aktivitas penyakit SLE. Gangguan reumatologik lain dapat juga menyebabkan ANA positif, tertapi antibody anti-DNA jarang ditemukan kecuali pada SLE. 1-3Anti snRNP adalah suatu auto antibodi terhadap partikel small nuclear ribocleoprotein dari RNA. Anti-Sm dan anti u1 snRNP termasuk golongan anti snRNP. Anti U1 snRNP dijumpai 30-40% pasien SLE. Anti SM mempunyai spesifisitas yang tinggi terhadap SLE (spesifisitas 99%) walaupun hanya ditemukan pada 20-30% pasien SLE. 1Laju endap darah pada pasien SLE biasanya meningkat. Ini adalah uji nonspesifik untuk mengukur peradangan dan tidak berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit. 3Uji laboratorium yang sudah dipakai sebelumnya dan yang terkadang masih dipakai sampai sekarang adalah uji faktor LE. Sel LE dibentuk dengan merusak beberapa leukosit pasien, sehingga sel-sel tersebut mengeluarkan nukleoproteinnya. Protein ini bereaksi dengan IgG, dan kompleks ini difagositosis oleh leukosit normal yang masih ada. Sel LE dapat juga ditemukan pada gangguan sistemik lain dari penyakit golongan reumatik yang juga diperantari oleh imunitas. 3Urin diperiksa untuk mengetahui adanya protein, leukosit, eritrosit, dan silinder. Uji ini dilakukan untuk menentukan adanya komplikasi ginjal dan untuk memantau perkembangan penyakit ini. 3

Diagnosis KerjaDiagnosis SLE dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium. American College of Rheumatology (ACR) pada tahun 1982 mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi SLE, dimana bila didapatkan empat kriteria, maka diagnosis SLE dapat ditegakkan. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut. 11. Ruam malar.2. Ruam diskoid.3. Fotosensitifitas.4. Ulserasi di mulut atau nasofaring.5. Artritis.6. Serositis, yaitu pleuritis atau perikarditis.7. Kelainan ginjal, yaitu proteinuriapersisten > 0,5 gr/ hari atau ada silinder sel.8. Kelainan neurologik, yaitu kejang-kejang atau psikosis.9. Kelainan hematologik, yaitu anemia hemolitik atau lekopenia atau limfopenia atau trombositopenia.10. Kelainan imunologik, yaitu sel LE positif atau anti DNA positif, taua anti Sm positif atau tes serologik untuk sifilis yang positif palsu11. Antobodi antnuklear ( Antinuclear antibody, ANA) positif.

Keterlibatan akan penyakit SLE bila dijumpai dua atau lebih keterlibatan organ sebagaimana tercantum dibawah ini. 11. Gender wanita pada rentang usia reproduksi2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi), dan penurunan berat badan3. Muskuloskeletal: artritis, arthralgia, myositis4. Kulit: ruam kupu-kupu (Butterfly Rash), fotosensitifitas, SLEi membrane mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis5. Ginjal: hematuria, proteinuria, cetakan, sindroma nefrotik6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen7. Paru-paru: pleuritis, hipertensi pulmonal, SLEi parenkim paru8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali)10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, myelitis, transversa, neuropati kranial dan perifer

Diagnosis Banding1. Arthritis RheumatoidArtritis rheumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama. Manifestasi klinik klasik AR adalah poliartritis simetrik yang terutama mengenai sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki. Selain lapisan sinovial sendi, AR juga bisa mengenai organ-organ diluar persendian seperti kulit, jantung, paru-paru, dan mata. Menegakkan diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin dapat menurunkan progresifitas AR. Metode terapi yang dianut saat ini adalah pendekatan piramida terbalik (reverse pyramid), yaitu pemberian DMARD sedini mungkin untuk menghambat perburukan penyakit. Bila tidak mendapat terapi yang adekuat, akan terjadi destruksi sendi, deformitas, dan diabilitas. 1,2Prevalensi AR lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki dengan rasio 3:1 dan dapat terjadi pada semua kelompok umur, shingga diduga hormon sex berperan dalam perkembangan penyakit ini. Beberapa virus dan bakteri juga diduga sebagai agen penyebab penyakit ini, walaupun belum ditemukan agen infeksi yang secara nyata terbukti sebagai penyebab AR. Etiologi dari AR tidak diketahui secara pasti. Terdapat faktor yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik berperan penting terhadap kejadian AR, dengan angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%. Hubungan gen HLA-DRB1 dengan kejadian AR telah diketahui dengan baik, walaupun beberapa lokus non-HLA juga berhubungan dengan AR. Gen ini berperan penting dalam resorpsi tulang pada AR. Faktor genetik juga berperan penting dalam terapi AR karena aktivitas enzim seperti methylenetetrahydrofolate reductase dan thiopurine methyltrasferase untuk metabolisme methotrexate dan azathioprine ditentukan oleh faktor genetik. 1,2

Kerusakan sedi pada AR dimulai dari proliferasi makrofag dan fibroblast synovial setelah adanya factor pencetus berupa autoimun atau infeksi. Limfosit menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel, yang selanjutnya terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan-bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terjadi pertumbuhan yang ireguler pada jaringan synovial yang mengalami inflmasi, sehingga membentuk jaringan pannus. Pannus menginvasi dan merusak tulang dan tulang rawan sendi. Berbagai macam sitokin, interleukin, proteinase, dan faktor pertumbuhan dilepaskan, sehingga mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik. 1,2Artritis pada penderita AR seringkali diikuti oleh kekakuan sendi pada pagi hari yang berlangsung selama satu jam atau lebih. Beberapa penderita juga mempunyai gejala konstitusional berupa kelemahan, kelelahan, anoreksia, dan demam. Penderita AR pada umumnya datang dengan keluhan nyeri dan kaku pada banyak sendi. Walaupun tanda kardinal inflamasi mungkin ditemukan pada awal penyakit atau selama kekambuhan, namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin tidak dijumpai pada AR kronik. 1,2Penyebab artritis pada AR adalah sinovitis, yaitu adanya inflamasi pada membran synovial yang membungkus sendi. Pada umumnya sendi yang terkena adalah persendian tangan, kaki, dan vertebra servikal, tetapi persendian besar seperti bahu dan lutut juga dapat terkena. Sendi yang terlibat pada umumnya simetris, meskipun pada presentasi awal tidak simetris. Sinovitis akan menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi. 1,2

Tabel 1. Bentuk-Bentuk Deformitas pada Artritis Reumatoid 1Bentuk DeformitasKeterangan

Deformitas leher angsa (swan neck)Hiperekstensi PIP dan flesi DIP

Deformitas boutonniereFleksi PIP dan hiperekstensi DIP

Deviasi ulnarDeviasi MCP dan jari-jari ke arah ulnar

Deformitas kunci piano (piano key)Dengan penekanan manual akan terjadi pergerakan naik turun dari ulnar styloid yang disebabkan rusaknya sendi radioulnar

Deformitas Z-thumbFleksi dan subluksasi sendi MCP I dan hiperekstensi sendi IP

Arthritis mutilansSendi MCP, PIP, tulang carpal, dan kapsul sendi mengalami kerusakan, sehingga terjadi instabilitas sendi dan tangan tampak mengecil (operetta glass hand)

Hallux valgusMTP I terdesak ke arah medial dan jempol kaki mengalami deviasi ke arah luar yang terjadi secara bilateral

Walaupun artritis merupakan manifestasi utama, tetapi AR merupakan penyakit sistemik sehingga banyak penderita juga mempunyai manifestasi ekstra articular. Manifestasi ekstra articular pada umumnya didapat pada pasien yang mempunyai titer RF serum tinggi. Nodul rheumatoid merupakan manifestasi kulit yang paling sering dijumpai. 1

Tabel 2. Manifestasi Ekstraartikular Artritis Reumatoid 1Sistem OrganManifestasi

KonstitusionalDemam, anoreksia, fatigue, kelemahan, limfadenopati

KulitNodul reumatoid, accelerated rheumatoid nodulosis, rheumatoid vasculitis, pyoderma gangernosum, intersitial granulomatosus dermatitis with arthritis, palisaded neutrophillic dan granulomatosis dermatitits, dan adul-onset still disease

MataSjogren syndrome (keratoconjunctivitis sicca), skleritis, episkleritis, skleromalacia

KardiovaskularPerikarditis, efusi perikardial, endokarditis, valvulitis

Paru-paruPleuritis, efusi pleura, intesitial fibrosis, nodul reumatoid paru, Caplain's syndrome (infiltrat nodular pada paru dengan pneumoconiosis)

HematologiAnemia penyakit kronik, trombositosis, eosinofilia, Felty syndrome (AR dengan neutropenia dan splenomegali)

GastrointestinalSjogren syndrome (xerostomia), amyloidosis, vaskulitis

NeurologiEntrapment neuropathy, myelopathy/ myositis

GinjalAmyloidosis, renal tubular acidosis, intersitial nephritis

MetabolikOsteoporosis

2. Anemia defisiensi besi (Fe)Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari normal. Faktor-faktor penyebab anemia gizi besi adalah status gizi yang dipengaruhi oleh pola makanan, social ekonomi keluarga, lingkungan dan status kesehatan. Selain itu penyebab anemia gizi besi dipengaruhi oleh kebutuhan tubuh yang meningkat, akibat mengidap penyakit kronis dan kehilangan darah karena menstruasi dan infeksi parasit (cacing). Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan, baik sel tubuh maupun sel otak. Kekurangan kadar Hb dalam darah dapat menimbulkan gejala lesu, lemah, letih, lelah dan cepat lupa. Akibatnya dapat menurunkan prestasi belajar, olah raga dan produktifitas kerja. Selain itu anemia gizi besi akan menurunkan daya tahan tubuh dan mengakibatkan mudah terkena infeksi. Anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah, artinya konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang karena terganggunya pembentukan sel-sel darah merah akibat kurangnya kadar zat besi dalam darah. Diagnosis anemia defisiensi besi ditegakkan berdasarkan adanya anemia dan penurunan kadar besi di dalam serum.7

EpidemiologiDalam 30 tahun terakhir, SLE menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi SLE di berbagai negara bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-beda, bervariasi antara 2,9/100.000 400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, Cina, dan mungkin juga Filipina. Terdapat juga tendensi familial. Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita dibandingkan pada pria berkisar antara 5,5-9 : 1. 1

Etiologi dan Patogenesis.Etiopatologi dari SLE belum diketahui secara pasti, tetapi adanya antibodi (terhadap antigen-antigen diri) yang jumlahnya seperti tidak terbatas pada para pasien ini menunjukkan bahwa kelainan mendasar pada SLE adalah kegagalan mekanisme yang mempertahankan toleransi diri. Terdapat antibodi terhadap beragam komponen nukleus dan sitoplasma sel yang tidak spesifik terhadap organ atau spesies. Selain itu, terdapat kelompok ketiga dari antibodi yang ditujukan pada antigen permukaan sel darah. 1,3,7Etiopatologi SLE diduga melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktoral antara variasi genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik diduga berperan penting dalam predisposisi penyakit ini. Pada kasus SLE yang terjadi secara sporadik tanpa identifikasi faktor genetik, berbagai faktor lingkungan diduga terlibat atau belum diketahui faktor yang bertanggung jawab. 1,3,7Interaksi antara sex, status hormonal, dan aksis hypothalamus-hipofise-adrenal (HPA) mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis SLE. Adanya gangguan dalam mekanisme pengaturan imun merupakan kontributor yang penting dalam perkembangan penyakit ini. Hilangnya toleransi imun, meningkatnya beban antigenik (antigenic load), bantuan sel T yang berlebihan, gangguan supresi sel B, dan peralihan respon imun dari Th1 ke Th2 menyebabkan hiperaktivitas sel B dan memproduksi antibody patogenik. Respon imun yang terpapar faktor eksternal atau lingkungan seperti radiasi ultraviolet atau infeksi virus dalam periode yang cukup lama bisa juga menyebabkan disregulasi sistem imun. 1,3,71. Faktor GenetikSLE adalah suatu sifat genetik yang kompleks dengan kontribusi paling banyak pada gen dari Kompleks Histokompatibilitas Mayor (MHC). Penelitian populasi menunjukkan bahwa kepekaan terhadap SLE melibatkan polimorfisme dari gen HLA (Human Leucocyte Antigen) kelas II. Gen HLA kelas III, khususnya yang mengkode komponen komplemen C2 dan C4, memberikan risiko SLE pada kelompok etnik tertentu. Sebagian pasien lupus mewarisi defisiensi komponen-komponen awal komplemen. Ketiadaan komplemen dapat mengganggu pembersihan kompleks imun dalam darah oleh sistem fagosit mononukleus sehingga kemungkinan pengendapan kompleks imun di jaringan lebih besar. Penurunan aktivitas komplemen meningkatkan kepekaan terhadap penyakit oleh karena berkurangnya kemampuan netralisasi dan pembersihan, baik terhadap antigen diri sendiri maupun antigen asing. Jika beban antigen melebihi kapasitas pembersihan dari sistem imun, maka autoimunitas mungkin terjadi. 1,3,7 2. Faktor HormonalSLE adalah penyakit yang lebih banyak menyerang perempuan. Serangan pertama kali SLE jarang terjadi pada usia prepubertas dan setelah menopause. Metabolisme estrogen yang abnormal telah ditunjukkan pada kedua jenis kelamin. Perempuan dengan SLE juga mempunyai konsentrasi androgen plasma yang rendah. Konsentrasi androgen berkorelasi negatif dengan aktivitas penyakit. Konsentrasi testosteron plasma yang rendahdan meningkatnya konsentrasi luteinizing hormon ditemukan pada beberapa penderita SLE laki-laki. Jadi estrogen yang berlebihan dengan aktivitas hormon androgen yang tdak adekuat baik pada laki-laki maupun perempuan, mungkin bertanggungjawab terhadap perubahan respon imun. 1,3,7

3. Faktor LingkunganMeskipun faktor genetik dan hormonal mungkin merupakan predisposisi untuk SLE, tetapi inisiasi penyakit ini diduga merupakan hasil dari beberapa faktor eksogen dan lingkungan. Agen infeksi seperti virus Epsteinn-Barr (EBV) mungkin menginduksi respon spesifik melalui kemiripan molekular dan gangguan terhadap regulasi imun. Diet mempengaruhi mediator inflamasi. Toksin atau obat-obatan memodifikasi respon selular dan imunogenisitas dari self antigen. Agen fisik atau kimia seperti sinar ultraviolet dapat menyebabkan inflamasi, memicu apoptosis sel dan menyebabkan kerusakan jaringan. Radiasi ultraviolet bisa mencetuskan dan mengeksaserbasi ruam fotosensitivitas pada SLE, juga ditemukan bukti bahwa sinar UV dapat merubah struktur DNA yang menyebabkan terbentuknya autoantibodi. Pengaruh faktor lingkungan terhadap faktor predisposisi individual sangat bervariasi. Hal ini mungkin bisa menjelaskan heterogenitas dan adanya periode bergantian antara remisi dan kekambuhan dari penyakit ini. 1,3,7

4. Faktor ImunologiGangguan imunologis utama pada penderita SLE adalah produksi autoantibodi. Antibodi ini ditujukan kepada self molecules yang terdapat pada nukleus, sitoplasma, permukaan sel, dan juga terhadap molekul terlarut seperti IgG dan faktor koagulasi. Antibodi antinuklear (ANA) adalah antibodi yang paling banyak banyak ditemukan pada penderita SLE (lebih dari 95%). Anti ds-DNA dan anti-Sm antibodi merupakan antibodi yang spesifik untuk SLE sehingga dimasukkan dalam kriteria klasifikasi dari SLE. Titer antibodi anti-DNA sering kali berubah sesuai dengan waktu dan aktivitas penyakit, sedangkan titer antibodi anti-Sm biasanya konstan. Meskipun telah ditemukan hubungan yang jelas antara gambaran klinis tertentu dari SLE dengan autoantibodi, patogenisitas dari antibodi ini belum diteliti secara adekuat. Sehingga mekanisme imunologis yang pasti dari kelainan ini masih belum jelas. 1,3,7

Manifestasi KlinikManifestasi klinik penyakit ini sangat beragam dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai SLE. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinik SLE seringkali tidak terjadi secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama beberapa lama mengeluhkan nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti oleh manifestasi klinis lainnya seperti fotosensitifitas dan manifestasi lainnya yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria SLE. Gambaran klinis keterlibatan sendi atau muskuloskeletal dijumpai pada 90% kasus SLE, walaupun artritis sebagai manifestasi awal hanya dijumpai pada 55% kasus. 1,2

Gejala Konstitusional.1. KelelahanKelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita SLE, biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini agak sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan, seperti anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednison. Apabila kelelahan disebabkan oleh SLE, maka perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lain, yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat SLE ini memberikan respon terhadap pemberian steroid atau latihan. 1,2

2. Penurunan Berat BadanKeluhan ini dijumpai pada sebagian penderita SLE dan terjadi dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau akibat gejala gastrointestinal. 1,2

3. DemamDemam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari sebab lain seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 40o C tanpa adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis. Demam akibat SLE biasanya tidak disertai menggigil. 1,2

4. Gejala-gejala lain yang sering dijumpai pada penderita SLE dapat terjadi sebelum ataupun seiring aktifitas penyakitnya seperti rambut rontok, hilangnya nafsu makan, pembesaran kelenjar getah bening, bengkak, sakit kepala, mual dan muntah. 1,2

Manifestasi MuskuloskeletalKeluhan muskuloskeletal merupakan manifestasi klinik yang paling sering dijumpai pada penderita SLE. Keluhan dapat berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (artralgia), atau merupakan suatu artritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini seringkali dianggap sebagai manifestasi RA (Rheumatoid Arthritis) karena keterlibatan sendi yang banyak dan simetris. Untuk itu, perlu dibedakan dengan RA dimana pada umumnya SLE tidak menyebabkan kelainan deformitas, kaku sendi yang berlangsung beberapa menit. 1Manifestasi KulitRuam kulit merupakan manifestasi SLE pada kulit yang telah lama dikenal oleh para ahli. Lesi mukokutaneus yang tampak sebagai bagian SLE dapat berupa reaksi fotosensitifitas, diskoid LE (DLE), subacute cutaneous lupus erythematous (SCLE), lupus profundus/ paniculitis, alopecia, lesi vaskuler berupa eritema periungual, livedo retricularis, teleangiectasia, fenomena raynauds atau vaskulitis atau bercak yang menonjol berwarna putih perak dan dapat pula berupa bercak eritema pada palatum mole dan durum, bercak atrofis, eritema atau depigmentasi pada bibir. 1

Manifestasi ParuBerbagai manifestasi klinik pada paru-paru dapat terjadi baik berupa radang interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, atau shrinking lung syndrome. Penumonitis lupus dapat terjadi secara akut atau berlanjut hingga kronik. Pada keaaan akut perlu dibedakan dengan pneumonia bakterial. Apabila terjadi keraguan, dapat dilakukan tindakan invasive seperti bilas bronkoalveolar. Biasanya penderita akan merasa sesak, batuk kering, dan dijumpai ronkhi di basal. Hemoptisis merupakan keadaan serius yang merupakan bagian dari perdarahan paru akibat SLE, dan memerlukan penanganan yang tepat. 1Manifestasi KardiologisBaik perikardium, endokardium, miokardium, ataupun pembuluh darah koroner dapat terlibat pada penderita SLE, walaupun yang paling banyak terkena adalah perikardium. Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri substernal, friction rub, gambaran silhouette sign pada foto dada, maupun melalui gambaran EKG. Apabila dijumpai adanya aritmia atau gangguan konduksi, kardiomegali, bahkan takikardia yang tidak jelas penyebabnya, maka kecurigaan adanya miokarditis perlu dibuktikan. Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita SLE dan bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard, atau gagal jantung kongestif, terutama pada penderita SLE usia muda dengan jangka penyakit yang panjang serta penggunaan steroid jangka panjang. Valvulitis, gangguan konduksi, dan hipertensi merupakan komplikasi lain yang juga sering dijumpai pada penderita SLE. 1Manifestasi RenalKeterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besar terjadi setelah lima tahun menderita SLE. Rasio wanita dibandingkan dengan pria adalah 10 : 1 dengan puncak insidensi pada usia 20-30 tahun. Gejala atau tanda keterlibatan renal pada umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Untuk mendapatkan suatu diagnosis pasti, mungkin perlu dilakukan biopsi ginjal. 1Manifestasi GastrointestinalManifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita SLE, karena dapat merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ atau sebagai akibat pengobatan. Secara klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esophagus (disfagia dan dispesia), mesenteric vasculitis, inflammatory bowel disesase (IBS), pankreatitis, dan penyakit hati (hepatomegaly). Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada peritoneum yang dibuktikan dengan pemeriksaan autopsi. 1Manifestasi NeuropsikiatrikKeterlibatan neuropsikiatrik akibat SLE sulit ditegakkan karena gambaran klinis yang begitu luas. Kelainan ini dikelompokan sebagai manifestasi neurologik dan psikiatrik. Keterlibatan susunan saraf pusat dapat bermanifestasi sebagai epilepsi, hemiparesis, lesi saraf kranial, lesi batang otak, meningitis aseptik, atau myelitis transversal. Sedangkan pada susunan saraf tepi akan bermaifestasi sebagai neuropati perifer, myasthenia gravis, atau mononeuritis multiplex. Dari segi psikiatrik, gangguan fungsi mental dapat bersifat organik maupun non-organik. 1Manifestasi Hemik-LimfatikLimfadenopati baik menyeluruh ataupun terlokalisir sering dijumpai pada penderita SLE. Kelenjar getah bening yang paling sering terkena adalah aksila dan servikal, dengan karakteristik tidak nyeri tekan, lunak, dan ukuran bervariasi sampai 3-4 cm. Organ limfoid lain yang sering dijumpai pada penderita SLE adalah splenomegali yang biasanya disertai dengan pembesaran hati (hepatomegali). Anemia dapat dijumpai pada suatu periode perkembangan penyakit SLE. Diklasifikasikan sebagai anemia yang diperantarai proses imun dan non-imun. Pada anemia yang bukan diperantarai proses imun diantaranya berupa anemia karena penyakit kronik, defisiensi besi, sickle cell anemia, dan anemia sideroblastik. Untuk anemia yang diperantarai proses imun dapat bermanifestasi sebagai pure red cell aplasia, anemia aplastik, anemia hemolitik autoimun, dan beberapa kelainan lain yang dikaitkan dengan proses autoimun seperti anemia pernisiosa dan acute hemophagocytic syndrome. 1PenatalaksanaanPenatalaksanaan pasien SLE bersifat banyak segi dan meliputi penyuluhan, terapi obat yang kompleks, dan tindakan-tindakan pencegahan. Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam penatalaksanaan penderita SLE. 1,2,4,5Butir-butir edukasi terhadap pasien SLE:1. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya.2. Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut.3. Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait dengan pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu maupun diet, megatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian kontrasepsi.4. Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien SLE, mengatasi rasa lelah, stress emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa nyeri.5. Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian, dan sebagainya. Perlukah suplementasi mineral dan vitamin? Obat-obatan yang dipakai jangka panjang.6. Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE ini, adakah kelompok pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE.

Sebelum penderita SLE diberi pengobatan, harus ditentukan terlebih dahulu apakah penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif atau imunosupresif yang agresif. Pada umumnya, penderita SLE yang tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ dapat diterapi secara konservatif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-ogan mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan lainnya. 1,2,4,5

Terapi Konservatif1. Artritis, arthralgia, dan myalgia merupakan keluhan yang sering dijumpai pada penderita SLE. Pada keluhan yang ringan dapat diberikan analgetik sederhana atau obat antiinflamasi nonsteroid. Yang harus diperhatikan pada peggunaan obat-obat ini adalah efek sampingnya, agar tidak memperberat keadaan umum penderita. Bila obat analgetik dan antiiflmasi non steroid tidak memberikan respon yang baik, dapat dipertimbangkan pemberian obat antimalaria misalnya hidroksiklorokuin 400mg/hari. Bila dalam waktu 6 bulan obat ini tidak memberikan efek yang baik, harus segera di stop. Pemberian klorokuin lebih dari 3 bulan atau hidroksiklorokuin lebih dari 6 bulan memerlukan evaluasi oftalmologik, karena obat ini mempunyai efek toksik terhadap retina. 1,4,5Pada beberapa penderita yang tidak menunjukkan respons adekuat terhadap obat analgetik atau obat antiinflamasi nonsteroid atau obat antimalria, dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah, dengan dosis tidak lebih dari 15mg setiap pagi. Metotreksat dosis rendah (7,5-15mg/ minggu) juga dapat dipertimbangkan untuk mengatasi artritis pada penderita SLE. 1,4,5

2. Sekitar 70% penderita SLE akan mengalami fotosensitifitas. Eksaserbasi akut SLE dapat timbul bila penderita terpapar oleh sinar UV, sinar inframerah, panas, dan kadang-kadang juga sinar fluoresensi. Penderita fotosensitifitas harus berlindung terhadap paparan sinar-sinar tersebut dengan menggunakan baju pelindung, kaca jendela digelapkan, menghindari paparan langsung, dan menggunakan sunscreen. Sunscreen ini harus selalu dipakai ulang setelah mandi atau bila berkeringat. Glukokortikoid lokal seperti krem, salep, atau injeksi dapat dipertimbangkan pada dermatitis lupus. 1,4,5Pemilihan preparat topikal harus hati-hati karena glukokortikoid topikal, terutama yang bersifat diflorinasi dapat menyebabkan atrofi kulit, depigmentasi, teleangiektasis, dan fragilitas. Penggunaan krem glukokortikoid topikal berkekuatan tinggi harus dibatasi selama 2 minggu, untuk kemudian diganti dengan yang lebih rendah. Untuk kulit muka dianjurkan penggunaan preparat steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak diflorinasi, misalnya hidrokortison, sedangkan untuk kulit badan dan lengan dapat digunakan steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya betametason valerat dan triamsinolon asetonid. 1,4,5Obat-obat antimalaria sangat baik digunakan untuk lupus kutaneus karena antimalaria mempunyai efek sunblocking, antiinflamasi, dan imunosupresan. Antimalaria juga mengikat melanin dan berperan sebagai sunscreen. Pada penderita yang resisten terhadap antimalaria, dapat dipertimbangkan pemberian glukokortikoid sistemik dan obat eksperimental lainnya. 1,4,5

3. Fatigue merupakan keluhan utama yang sering didapatkan pada penderita SLE, demikian juga penurunan berat badan dan demam. Fatigue juga dapat timbul akibat terapi glukokortikoid, sedangkan penurunan berat badan dan fever dapat juga diakibatkan oleh pemberian quinakrin. Pada keadaan yang berat menunjukkan peningkatan aktifitas SLE dan pemberian glukokotikoid sistemik dapat dipertimbangkan. 1,4,5

Terapi AgresifTerapi agresif dapat dimulai dengan pemberian glukokortikoid dosis tinggi harus segera dimulai bila timbul manifestasi serius SLE yang mengancam nyawa, misalnya vaskulitis, lupus kutaneus yang berat, poliartritis, poliserosits, miokardistis pneumonitis lupus, glomerulonefritis, anemia hemolitik, trombositopneia, isndrom otak organik, defek kognitif yang berat, mielopati, neuropati perifer dan krisis lupus. Dosis glukokortikoid sangat penting diperhatikan dibandingkan jenis yang akan diberikan. Walaupun demikian, pemberian glukokortikoid berefek panjang seperti deksametason sebaiknya dihindari. Pemberian prednison lebih banyak disukai karena lebih mudah mengatur dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral sebaiknya diberikan dalam dosis tunggal pada pagi hari. Bila dalam waktu 4 minggu setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi tidak menunjukkan perbaikan yang nyata, maka dipertimbangkan untuk memberikan imunosupresan lain atau terapi agresif lainnya. 1,4,5

Bolus sikofosfamid intravena 0,5-1 gr/m2 dalam 250 ml NaCl 0,9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam setelah pemberian obat, banyak digunakan secara luas pada terapi SLE. Siklofosfamid diindikasikan pada:1. Penderita SLE yang membutuhkan steroid dosis tinggi.2. Penderita SLE yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi3. Penderita SLE kambuh yang telah diterapi dengan steroid jangka lama atau berulang.4. Glomerulonefritis difus awal.5. SLE dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid.6. Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin serum tanpa adanya faktor-faktor ekstrarenal lainnya.7. SLE dengan manifestasi susunan saraf pusat.Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama pemberian siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara bertahap dengan memperhatikan aktifitas lupusnya. Toksisitas siklofosfamid meliputi nausea dan vomitus, alopesia, sistitis hemoragika, keganasan kulit, penekanan fungsi ovarium dan azoospermia. 1,4,5Obat sitotoksik lain yang toksisitas dan efektifitasnya lebih rendah dari sikolofosfamid adalah azatioprin. Diberikan dengan dosis 1-3 mg/ kgBB/ hari secara peroral. Obat ini dapat diberikan selama 6-12 bulan pada penderita SLE. Setelah penyakitnya dapat dikontrol dan dosis steroid sudah seminimal mungkin, maka dosis azatioprin juga dapat diturunkan perlahan dan dihentikan setelah penyakitnya betul-betul terkontrol dengan baik. 1,4,5KomplikasiGagal ginjal adalah penyebab tersering kematian pada pengidap LES. Dapat terjadi perikarditis. Peradangan membran pleura yang mengelilingi paru dapat membatasi pernapasan. sering terjadi bronkitis. Dapat terjadi vaskulitis di semua pembuluh otak dan perifer. Komplikasi susunan saraf pusat termasuk stroke dan kejang. Perubahan kepribadian, termasuk psikosis dan depresi dapat terjadi. Perubahan kepribadian mungkin berkaitan dengan terapi obat atau penyakitnya. 5PrognosisPrognosis SLE bervariasi tergantung pada keparahan gejala, organ-organ yang terlibat, dan lama waktu remisi dapat dipertahankan. SLE tidak dapat disembuhkan. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengatasi gejala. Prognosis berkaitan dengan sejauh mana gejala-gejala ini dapat diatasi. 3KesimpulanKelemahan, nyeri pada jari-jari kedua tangan serta kaku pada pagi hari, banyak rambut yang rontok, dan wajah yang seringkali memerah bila sebentar saja terpapar sinar matahari merupakan manifestasi klinis dari penyakit lupus eritematosus sistemik. Etiologi dan patogenesis dari penyakit ini belum jelas. Keluhan muskuloskeletal merupakan manifestasi klinik yang paring sering dijumpai pada penderita SLE. Keluhan yang muncul dapat berupa mialgia, artralgia, atau artritis sehingga harus dapat dibedakan dengan manifestasi dari penyakit arthritis rheumatoid. Pada umumnya SLE tidak menyebabkan kelainan deformitas dan kaku sendi hanya berlangsung beberapa menit. Untuk memastikan diagnosis, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memeriksa antinuklear antibodi atau anti dsDNA. Penyakit ini tidak dapat disembuhkan namun dapat diberikan terapi untuk menekan penyakit ini sehingga SLE dalam keadaan remisi. Terapi yang diberikan dapat berupa terapi konservatif untuk menekan gejala-gejala yang ada dan terapi imunosupresif yang agresif apabila penderita SLE telah mengalami kerusakan organ-organ mayor yang mengancam nyawa. Daftar Pustaka1. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5, Jilid 3. Jakarta: Internal Publishing; 2010.h.2353-2579.2. Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB, FAuci AS, Kasper DL. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi ke-13, Volume 4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2000 bab 285.3. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6, Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.h.1392-5.4. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins & Cotran dasar patologis penyakit. Edisi ke-7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2010.h.235-43.5. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001.h.75-8.6. Gleadle J. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2005.h.40-197.7. Daniel A. Diagnosis, pengobatan, dan pencegahan anemia defisiensi besi. Sari Pediatri. Vol. 4, No. 2, September 2002: 74 77.8. Pringgoutomo S, Himawan S, Tjarta A. Buku ajar patologi I. Jakarta: Sagung Seto; 2006.h.267-70.