Lp Demam Tifus

Embed Size (px)

DESCRIPTION

a

Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERWATAN ANAK DENGAN DEMAM TIFUSDI RUANG MENUR RSST KLATEN

Disusun untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik Keperawatan III

Disusun oleh :Elsa Anggrahini P07120213016Nuraini MaghfurohP07120213028

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIAPOLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTAJURUSAN KEPERAWATAN2015

LEMBAR PENGESAHANLAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERWATAN PADA ANAK DENGAN DEMAM TIFUSDI RUANG MENUR RSST KLATEN

Diajukan untuk disetujui pada :Hari:Tanggal:Tempat:

Pembimbing Lapangan

Nanik Budi Astuti, S.Kep., NsPembimbing Pendidikan

Agus Sarwo Prayogi, S.Kep., Ns

KATA PENGANTARPuji syukur senantiasa kami ucapkan pada Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala bekat dan karunia-Nya yang telah diberikan, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan Praktik Klinik Keperawatan III yang berjudul Laporan Pendahuluan Asuhan Keperwatan Anak dengan Demam Tifus dengan lancar dan tepat waktu.Dalam pembuatan laporan tersebut, tentunya kami tidak terlepas dari bantuan orang-orang di sekitar kami. Oleh karena itu, tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada :1. Abidillah Mursyid, SKM., MS selaku Direktur Poltekkes Kemenkes Yogyakarta,2. Tri Prabowo, S.Kp., M.Sc selaku Ketua Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta,3. Agus Sarwo Prayogi, S.Kep., Ns selaku dosen pembimbing akademik Poltekkes Kemenkes Yogyakarta yang telah membimbing kami dalam pembuatan laporan ini,4. Nanik Budi Astuti, S.Kep., Ns selaku pembimbing lapangan RSST Klaten yang telah membimbing kami dalam pembuatan laporan iniSemoga dengan terselesaikannya laporan ini, menjadikan penyusun lebih banyak memperoleh pengetahuan yang nantinya bermanfaat bagi penyusun serta bagi para pembaca.Penyusun sudah berupaya sekuat tenaga untuk menampilkan yang terbaik dalam laporan ini namun, masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun kami harapkan dan perlukan demi sempurnanya laporan ini.

Yogyakarta, September 2015

Penyusun

BAB IPENDAHULUANA. PengertianDemam thypoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 1 minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran (Mansjoer, 2000). Demam typoid dan demam paratypoid adalah infeksi akut usus halus (Juwono, 1996). Demam thypoid adalah infeksi demam sistemik akut yang nyata pada fogosit mononuclear dan membutuhkan tatanama yang terpisah (Smeltzer, 2001). Berdasarkan berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa thypoid adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Salmonela typhosa ditandai dengan demam satu minggu.

B. Anaomi dan FisiologiSistem pencernaan atau sistem gastrointestinal (mulai dari mulut sampai anus) adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima makanan, mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah serta membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa proses tersebut dari tubuh. Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rectum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang terletak di luar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu. 1. Usus Halus (usus kecil) Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak. Lapisan usus halus: lapisan mukosa (sebelah kanan), lapisan otot melingkar (M sirkuler), lapisan otot memanjang (M longitudinal) dan lapisan serosa (sebelah luar). Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus kosong (jejenum) dan usus penyerapan (ileum). a. Usus dua belas jari (Duodenum) Usus dua belas jari menghubungkan lambung ke usus kosong (jejenum). Bagian usus dua belas jari merupakan bagian terpendek dari usus halus. Pada usus dua belas jari terdapat dua muara saluran yaitu dari pancreas dan kantung empedu. Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari (duodenum) melalui sfingter pylorus dalam jumlah yang bisa dicerna oleh usus halus. Jika penuh, duodenum akan mengirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti mengalirkan makanan. b. Usus Kosong (jejenum) Usus kosong atau jejenum (terkadang sering ditulis yeyunum). Usus kosong dan usus penyerapan digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium. Permukaan dalam usus kosong berupa membran mukus dan terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas permukaan dari usus. c. Usus Penyerapan (ileum)Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada sistem pencernaan manusia, ini memiliki panjang sekitar 2-4 m dan terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam-garam empedu. 2. Usus Besar (Kolon)Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses. Usus besar terdiri dari : kolon asendens (kanan), kolon transversum, kolon desendens (kiri), kolon sigmoid (berhubungan dengan rectum). Bakteri didalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare. 3. Usus Buntu (sekum) Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin : caecus, "buta") dalam istilah anatomi adalah suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon menanjak dari usus besar. Organ ini ditemukan pada mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil. Sebagian besar herbivore memiliki sekum yang besar, sedangkan karnivora ekslusif memiliki yang kecil, yang sebagian atau seluruhnya digantikan oleh umbai cacing.4. Umbai Cacing (Appendix) Umbai cacing atau apendiks adalah organ tambahan pada usus buntu. Infeksi pada organ ini disebut apendisitis atau radang umbai cacing. Banyak orang percaya umbai cacing tidak berguna dan organ vestigial (sisihan), sebagian yang lain percaya bahwa apendiks mempunyai fungsi dalam sistem limfatik. Operasi membuang umbai cacing dikenal sebagai appendiktomi. 5. Rektum dan Anus Rectum (Bahasa Latin : regere, "meluruskan, mengatur") adalah sebuah ruangan yang berawal dari usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material didalam rectum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, seringkali material akan dikembalikan ke usus besar, dimana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.C. Etiologi dan Predisposisi 1. Etiologi Penyebab demam thypoid adalah Salmonella thyposa, basil gram negatif, bergerak dengan rambut getar, tidak berspora, mempunyai sekurang-kurangnya empat macam antigen yaitu antigen O (somatic), H (flagella), Vi, dan protein membran hialin (Mansjoer, Arief, 2000). 2. Predisposisi Menurut Sarwono (1996) penyebaran thypoid tidak bergantung pada iklim, tetapi banyak di jumlah di negara yang beriklim tropis. Hal ini disebabkan karena penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan dan kebersihan individu dan lingkungan.

D. Patofisiologi Kuman Salmonella typosa masuk melalui mulut, setelah melewati aliran selanjutnya akan kedinding usus halus melalui aliran limfa ke kelenjar mesentrium mengadakan multipikasi (bakteremia). Biasanya pasien belum tampak adanya gejala klinik (asimtomatik) seperti mual, muntah, tak enak badan, nafsu makan menurun, pusing karena segera diserbu sel sistem retikulo endotetial. Tetapi kuman masih hidup, selanjutnya melalui duktus toraksikus masuk ke dalam peredaran darah sehingga tubuh merangsang untuk mengeluarkan sel pirogen akibatnya terjadi lekositopenia. Sel pirogen inilah yang mempengaruhi pusat termoregulasi di hipotalamus sehingga timbul gejala demam dan apabila demam tinggi tidak segera diatasi maka dapat terjadi gangguan kesadaran dalam berbagai tingkat. Setelah dari peredaran darah, kuman menuju ke organ-organ tersebut (hati, limfa, empedu), sehingga timbul peradangan yang menyebabkan membesarnya organ tersebut dan nyeri tekan, terutama pada folikel limfosial dan apabila kuman tersebut dihancurkan oleh sel-sel tersebut maka penyakit berangangsur-angsur mengalami perbaikan dan apabila tidak dihancurkan akan menyebar keseluruh organ sehingga timbul komplikasi dapat memperburuk kondisi pasien. (Juwono, 1996). E. Manifestasi Klinik Gejala dapat timbul secara tiba-tiba / berangsur-angsur yaitu antara 10 sampai 14 hari. Mulainya samar-samar bersama nyeri kepala, malaise, anoreksia dan demam, rasa tidak enak di perut dan nyeri di seluruh badan. Minggu pertama keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu: demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, konstipasi /diare, perasaan tidak enak pada perut, batuk dan epistaksis. Pada minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas yaitu: demam, bradikardi relatif, lidah yang khas (kotor ditengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental. (Sarwono, 1996).

F. Penatalaksanaan Penalaksanaan thypoid terdiri dari 3 bagian yaitu : 1. Perawatan Penderita thypoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan. Penderita harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari. Besar demam/ kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah komplikasi perdarahan/ perforasi usus. Penderita dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostaltik dan dekubitu2. Diet Dimasa lalu penderita tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai tingkat kesembuhan penderita. Pemberian bubur saring ini dimaksudkan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus, karena ada pendapat bahwa ulkus-ulkus perlu diistirahatkan. Makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada penderita tifoid.

3. Obat Obat -obat anti mikroba yang sering dipergunakan ialah: a. Kloramfenikol Belum ada obat anti mikroba yang dapat menurunkan demam lebih cepat dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa 4x.500 mg sehari oral atau intravena sampai 7 hari bebas demam. Dengan penggunan kloramfenikol, demam pada demam tifoid turun rata-rata setelah 5 hari. b. Tiamfenikol Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam thypid sama dengan kloramfenikol komplikasi pada hematologis pada penggunan tiamfenikol lebih jarang dari pada kloramfenikol. Dengan tiamfemikol demam pada demam tifoid turun setelah rata-rata 5-6 hari. c. Ko-trimoksazol (kombinasi dan sulfamitoksasol) Dosis itu orang dewasa, 2 kali 2 tablet sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam (1 tablet mengandung 80 mg trimitropin dan 400 mg sulfametoksazol). Dengan kontrimoksazol demam pada demam tifoid turun rata-rata setelah 5-6 hari. d. Ampicillin dan Amoksilin Indikasi mutlak pengunaannya adalah pasien demam thypid dengan leokopenia. Dosis yang dianjurkan berkisar antara 75-150 mg/kg berat badan sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam. Dengan ampicillin dan amoksisilin demam pada demam tifoid turun rata-rata setelah 7-9 hari. e. Sefalosforin generasi ketiga Beberapa uji klinis menunjukan sefalosporin generasi ketiga amtara lain sefiperazon, seftriakson dan cefotaksim efektif untuk demam thypoid, tatapi dan lama pemberian yang oktimal belum diketahui dengan pasti.f. Fluorokinolon Fluorokinolon efektif untuk untuk demam thypoid, tetapi dosis dalama pemberian yang optimal belum diketahui dengan pasti. Obat-obat Simtomatik: a. Antipiretika Antipiretika tidak perlu diberikan secara rutin pada setiap pasien demam thypoid, karena tidak dapat berguna. b. Kortikosteroid Pasien yang toksik dapat diberikan kortikosteroid oral atau parenteral dalam dosis yang menurun secara bertahap (Tapering off) selama 5 hari. Hasilnya biasanya sangat memuaskan, kesadaran pasien menjadi jernih dan suhu badan cepat turun sampai normal. Akan tetapi kortikosteroid tidak boleh diberikan tanpa indikasi, karena dapat menyebabkan perdarahan intestinal dan relaps.

G. Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi dari demam thypoid menurut Juwono (1996), adalah: 1. Komplikasi pada usus halus : perdarahan usus, perforasi usus, dan peritonitis. 2. Komplikasi di luar usus halus : bronkhitis dan bronkopneumoni, kolesistitis, thypoid ensefalopati, meningitis, miokarditis, karier kronik.

H. Pengkajian Fokus 1. Identitas Didalam identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan, no. registrasi, status perkawinan, agama, pekerjaan, tinggi badan, berat badan, tanggal masuk RS. 2. Riwayat kesehatan a. Keluhan utama Pada pasien Thypoid biasanya mengeluh perut merasa mual dan kembung, nafsu makan menurun, panas dan demam. b. Riwayat penyakit dahuluApakah sebelumnya pasien pernah mengalami sakit Thypoid, apakah tidak pernah, apakah menderita penyakit lainnya. c. Riwayat penyakit sekarang Pada umumnya penyakit pada pasien Thypoid adalah demam, anorexia, mual, muntah, diare, perasaan tidak enak di perut, pucat (anemi), nyeri kepala pusing, nyeri otot, lidah tifoid (kotor), gangguan kesadaran.d. Riwayat kesehatan keluarga Apakah dalam kesehatan keluarga ada yang pernah menderita Thypoid atau sakit lainnya. 3. Pola-pola Fungsi Kesehatan a. Pola Persepsi dan Pemeliharaan Kesehatan Perubahan penatalaksanaan kesehatan yang dapat menimbulkan masalah dalam kesehatannya. b. Pola nutrisi dan metabolisme Adanya mual dan muntah, penurunan nafsu makan selama sakit, lidah kotor, dan rasa pahit waktu makan sehingga dapat mempengaruhi status nutrisi tubuh. c. Pola aktifitas dan latihan Pasien akan terganggu aktifitasnya akibat adanya kelemahan fisik serta pasien akan mengalami keterbatasan gerak akibat penyakitnya. d. Pola istirahat dan tidur Kebiasaan tidur pasien akan terganggu dikarenakan suhu badan yang meningkat, sehingga pasien merasa gelisah pada waktu tidur. e. Pola Persepsi Sensori dan Kognitif Perubahan kondisi kesehatan dan gaya hidup akan mempengaruhi pengetahuan dan kemampuan dalam merawat diri.

f. Pola Hubungan dengan orang lain Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap hubungan interpersonal dan peran serta mengalami tambahan dalam menjalankan perannya selama sakit. g. Pola reproduksi dan seksualitas Pada pola reproduksi dan seksual pada pasien yang telah atau sudah menikah dan terjadi perubahan. h. Persepsi diri dan konsep diri Didalam perubahan bila pasien tidak efektif dalam mengatasi penyakitnya. i. Pola mekanisme koping Stress timbul apabila seorang pasien tidak efektif dalam mengatasi masalah penyakitnya. j. Pola Nilai Kepercayaan / Keyakinan Timbulnya distress dalam spiritual pada pasien, maka pasien akan menjadi cemas dan takut akan kematian, serta ibadahnya akan terganggu. 4. Pemeriksaan Fisik a. Keadaan Umum Biasanya pada pasien thypoid mengalami badan lemah, panas, pucat, mual, perut tidak enak, anorexia. b. Kepala dan leher Biasanya pada pasien thypoid yang ditemukan adanya konjungtiva anemia, mata cowong, bibir kering, lidah kotor ditepi dan ditengah merah. c. Dada dan abdomen Didaerah abdomen ditemukan nyeri tekan. d. Sistem integumen Kulit bersih,turgor kulit menurun, pucat, berkeringat banyak. 5. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang pada klien dengan thypoid adalah pemeriksaan laboratorium, yang terdiri dari : a. Pemeriksaan leukosit Pada kebanyakan kasus, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam thypoid. b. Pemeriksaan SGOT dan SGPT SGOT dan SGPT pada demam thypoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal setelah sembuhnya typoid. c. Biakan darah Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam thypoid, tetapi bila biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam thypoid. Hal ini dikarenakan beberapa faktor, yaitu : 1) Teknik Pemeriksaan Laboratorium Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung. 2) Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali. 3) Vaksinasi dimasa lampau Vaksinasi terhadap demam thypoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif. 4) Pengobatan dengan obat anti mikroba Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif. d. Uji Widal Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadal salmonella thypi dalam serum klien dengan thypoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita thypoid. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu : 1) Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman) 2) Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman) 3) Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman) Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita thypoid. Faktor-faktor yang mempengaruhi uji widal : 1) Faktor yang berhubungan dengan klien : a) Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi b) Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit : aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah klien sakit 1 minggu dan mencapai puncaknya pada minggu ke-5 atau ke-6 c) Penyakit-penyakit tertentu : ada beberapa penyakit yang dapat menyertai demam thypoid yang tidak dapat menimbulkan antibodi seperti agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjutd) Pengobatan dini dengan antibiotika : pengobatan dini dengan obat anti mikroba dapat menghambat pembentukan antibodi e) Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid : obat-obat tersebut dapat menghambat terjadinya pembentukan antibodi karena supresi sistem retikuloendotelialf) Vaksinasi dengan tipa : seseorang yang divaksinasi dengan kotipa atau tipa, titer aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu titer aglutinin H pada orang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik. g) Infeksi klien dengan klinis / subklinis oleh salmonella sebelumnya : keadaan ini dapat mendukung hasil uji widalyang positif, walaupun dengan hasil titer yang rendah h) Reaksi anamnesa : keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin terhadap salmonella thypi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan thypoid pada seseorang yang pernah tertular salmonella di masa lalu 2) Faktor-faktor Teknis a) Aglutinasi silang : beberapa spesies salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama, sehingga reaksi aglutinasi pada suatu spesies dapat menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies yang lain b) Konsentrasi suspensi antigen :konsentrasi ini akan mempengaruhi hasil uji widal c) Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen : ada penelitian yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih baik dari suspensi dari strain lain

I. Diagnosa Keperawatan 1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual muntah, nafsu makan menurun. 2. Defisit volume cairan berhubungan dengan output yang berlebihan. 3. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan nyeri tekan (peradangan pada usus). 4. Gangguan eliminasi BAB : konstipasi berhubungan dengan penurunan absorpsi dinding usus. 5. Gangguan eliminasi BAB : diare berhubungan dengan absorbsi dinding usus sekunder, infeksi salmonella thyposa. 6. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses peradangan pada usus halus. 7. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik.

J. Intervensi KeperawatanDiagnosa Keperawatan/ Masalah KolaborasiRencana keperawatan

Tujuan dan Kriteria HasilIntervensi

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuhBerhubungan dengan : Ketidakmampuan untuk memasukkan atau mencerna nutrisi oleh karena faktor biologis, psikologis atau ekonomi. DS: Nyeri abdomen Muntah Kejang perut Rasa penuh tiba-tiba setelah makanDO: Diare Rontok rambut yang berlebih Kurang nafsu makan Bising usus berlebih Konjungtiva pucat Denyut nadi lemah NOC:a. Nutritional status: Adequacy of nutrientb. Nutritional Status : food and Fluid Intakec. Weight ControlSetelah dilakukan tindakan keperawatan selama.nutrisi kurang teratasi dengan indikator: Albumin serum Pre albumin serum Hematokrit Hemoglobin Total iron binding capacity Jumlah limfosit Kaji adanya alergi makanan Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian. Timbang BB Monitor lingkungan selama makan Monitor turgor kulit Monitor mual dan muntah Monitor pucat Informasikan pada klien dan keluarga tentang manfaat nutrisi Kelola pemberan anti emetik:..... Anjurkan banyak minum Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas oval

Defisit Volume CairanBerhubungan dengan: Kehilangan volume cairan secara aktif Kegagalan mekanisme pengaturan

DS : Haus DO: Penurunan turgor kulit/lidah Membran mukosa/kulit kering Peningkatan denyut nadi, penurunan tekanan darah, penurunan volume/tekanan nadi Pengisian vena menurun Perubahan status mental Konsentrasi urine meningkat Temperatur tubuh meningkat Kehilangan berat badan secara tiba-tiba Penurunan urine output HMT meningkat Kelemahan

NOC: Fluid balance Hydration Nutritional Status : Food and Fluid IntakeSetelah dilakukan tindakan keperawatan selama.. defisit volume cairan teratasi dengan kriteria hasil: Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal, Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal Tidak ada tanda tanda dehidrasi, Orientasi terhadap waktu dan tempat baik Elektrolit, Hb, Hmt dalam batas normal pH urin dalam batas normal Intake oral dan intravena adekuatNIC : Ukur balance cairan Monitor hasil lab yang sesuai dengan retensi cairan (BUN , Hmt , osmolalitas urin, albumin, total protein ) Kolaborasi pemberian cairan IV Monitor status nutrisi Dorong keluarga untuk membantu pasien makan

Nyeri akut berhubungan dengan: Agen injuri (biologi, kimia, fisik, psikologis), kerusakan jaringan

DS: Laporan secara verbal DO: Posisi untuk menahan nyeri Tingkah laku berhati-hati Gangguan tidur (mata sayu, tampak capek, sulit atau gerakan kacau, menyeringai) Terfokus pada diri sendiri Fokus menyempit (penurunan persepsi waktu, kerusakan proses berpikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan) Respon autonom (seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi dan dilatasi pupil) Tingkah laku ekspresif (contoh : gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas panjang/berkeluh kesah) NOC : Pain Level, pain control, comfort levelSetelah dilakukan tinfakan keperawatan selama . Pasien tidak mengalami nyeri, dengan kriteria hasil: Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang Tanda vital dalam rentang normal Tidak mengalami gangguan tidurNIC : Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan Kurangi faktor presipitasi nyeri Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala, relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin Tingkatkan istirahat

Konstipasi berhubungan dengan Fungsi:kelemahan otot abdominal, Aktivitas fisik tidak mencukupi Perilaku defekasi tidak teratur Psikologis: depresi, stress emosi, gangguan mental Farmakologi: antasid, antikolinergis, antikonvulsan, antidepresan, kalsium karbonat,diuretik, besi, overdosis laksatif, NSAID, opiat, sedatif. Mekanis: ketidakseimbangan elektrolit, hemoroid, gangguan neurologis, obesitas, obstruksi pasca bedah, abses rektum, tumor Fisiologis: perubahan pola makan dan jenis makanan, penurunan motilitas gastrointestnal, dehidrasi, intake serat dan cairan kurang, perilaku makan yang burukDS: Nyeri perut Ketegangan perut Anoreksia Perasaan tekanan pada rektum Nyeri kepala Peningkatan tekanan abdominal Mual Defekasi dengan nyeriDO: Feses dengan darah segar Perubahan pola BAB Feses berwarna gelap Penurunan frekuensi BAB Penurunan volume feses Distensi abdomen Feses keras Bising usus hipo/hiperaktif Teraba massa abdomen atau rektal Sering flatus MuntahNOC: Bowl Elimination HidrationSetelah dilakukan tindakan keperawatan selama . konstipasi pasien teratasi dengan kriteria hasil: Pola BAB dalam batas normal Feses lunak Cairan dan serat adekuat Aktivitas adekuat Hidrasi adekuatNIC :Manajemen konstipasi Identifikasi faktor-faktor yang menyebabkan konstipasi Jelaskan penyebab dan rasionalisasi tindakan pada pasien Konsultasikan dengan dokter tentang peningkatan dan penurunan bising usus Kolaburasi jika ada tanda dan gejala konstipasi yang menetap Jelaskan pada pasien manfaat diet (cairan dan serat) terhadap eliminasi Kolaburasi dengan ahli gizi diet tinggi serat dan cairan Dorong peningkatan aktivitas yang optimal Sediakan privacy dan keamanan selama BAB

Diare berhubungan dengan psikologis: stress dan cemas tinggi Situasional: efek dari medikasi, kontaminasi, penyalah gunaan laksatif, penyalah gunaan alkohol, radiasi, toksin, makanan per NGT Fisiologis: proses infeksi, inflamasi, iritasi, malabsorbsi, parasit

DS: Nyeri perut Urgensi Kejang perutDO: Lebih dari 3 x BAB perhari Bising usus hiperaktif

NOC: Bowl Elimination Fluid Balance Hidration Electrolit and Acid Base BalanceSetelah dilakukan tindakan keperawatan selama . diare pasien teratasi dengan kriteria hasil: Tidak ada diare Feses tidak ada darah dan mukus Nyeri perut tidak ada Pola BAB normal Elektrolit normal Asam basa normal Hidrasi baik (membran mukosa lembab, tidak panas, vital sign normal, hematokrit dan urin output dalam batas normal

NIC :Diare Management Evaluasi pengobatan yang berefek samping gastrointestinal Evaluasi jenis intake makanan Monitor kulit sekitar perianal terhadap adanya iritasi dan ulserasi Instruksikan pada pasien dan keluarga untuk mencatat warna, volume, frekuensi dan konsistensi feses Monitor hasil Lab (elektrolit dan leukosit) Monitor turgor kulit, mukosa oral sebagai indikator dehidrasi Konsultasi dengan ahli gizi untuk diet yang tepat

HipertermiaBerhubungan dengan : penyakit/ trauma peningkatan metabolisme aktivitas yang berlebih dehidrasi

DO/DS: kenaikan suhu tubuh diatas rentang normal serangan atau konvulsi (kejang) kulit kemerahan pertambahan RR takikardi Kulit teraba panas/ hangat

NOC:Thermoregulasi

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama..pasien menunjukkan :Suhu tubuh dalam batas normal dengan kreiteria hasil: Suhu 36 37C Nadi dan RR dalam rentang normal Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing, merasa nyamanNIC : Monitor suhu dan TTV Monitor penurunan tingkat kesadaran Monitor WBC, Hb, dan Hct Monitor intake dan output Berikan anti piretik: Berikan cairan intravena Kompres pasien pada lipat paha dan aksila

Intoleransi aktivitas Berhubungan dengan : Tirah Baring atau imobilisasi Kelemahan menyeluruh Ketidakseimbangan antara suplei oksigen dengan kebutuhanGaya hidup yang dipertahankan.DS: Melaporkan secara verbal adanya kelelahan atau kelemahan. Adanya dyspneu atau ketidaknyamanan saat beraktivitas.DO :

Respon abnormal dari tekanan darah atau nadi terhadap aktifitas Perubahan ECG : aritmia, iskemia

NOC : Self Care : ADLs Toleransi aktivitas Konservasi eneergiSetelah dilakukan tindakan keperawatan selama . Pasien bertoleransi terhadap aktivitas dengan Kriteria Hasil : Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi dan RR Mampu melakukan aktivitas sehari hari (ADLs) secara mandiri Keseimbangan aktivitas dan istirahat

NIC : Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yang sesuai dengan kemampuan fisik, psikologi dan sosial Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber yang diperlukan untuk aktivitas yang diinginkan Bantu untuk mengidentifikasi aktivitas yang disukai

Daftar Pustaka

Amin, Hardhi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC-NOC. Jakarta: MediactionHerdman, T. Heater. 2014. Diagnosa Keperawatan: definisi dan klasifikasi 2014-2016. Jakarta: EGCJuwono, Rahmad. 1996. Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 3. Jakarta: FKUIMansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Acus CalpiusSmeltzer, dkk. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth, Edisi 8, Volume 2. Jakarta: EGC